BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional yang terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Daerah Kajang terbagi atas 8 Desa dan 6 Dusun, Namun perlu diketahui secara geografis. Kajang dibagi atas 2 wilayah yakni Kajang luar dan Kajang dalam. Kajang luar ialah daerah yang sudah terbiasa menerima modernisasi, berbeda halnya dengan Kajang dalam yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya yang sudah ada sejak dulu. Suku kajang, yang merupakan salah satu suku terkenal di Sulawesi Selatan, yang di kenal dengan pakaian hitamnya. Masyarakat ini bermukim di Desa Tana Towa. Kajang dalam atau Desa Tana Towa sangat jauh berbeda dengan daerahdaerah lain pada umumnya. Ditengah era globalisasi atau modern saat ini, Masyarakat Kajang dalam tidak mudah terpengaruh terhadap hal-hal yang berbau modern. Masyarakat tersebut sangat menjunjung tinggi kebudayaannya, kehidupan masyarakat Kajang dalam sangat memegang kuat tradisi dan pola hidup yang juga senantiasa harmonis dengan alam. Desa Tana Towa, di bawah kepemimpinan adat yang dipegang oleh satu orang dijuluki dengan sebutan Ammatoa yang berarti bapak atau yang dituakan di Desa tersebut. Ammatoa memegang kepemimpinan seumur hidup sejak setelah ia dinobatkan melalui upacara adat. Masyarakat di Desa Tana Towa identik dengan pakaian yang seba hitam dan juga memiliki nasihat atau berbagai peraturan adat “Pasang Ri Kajang” yang dipesankan secara turun temurun dari Ammatoa pertama. Bukan hanya masyarakatnya saja yang menarik, tetapi juga berbagai ritual atau perayaan seperti acara pemakaman yang dilakukan di Desa Tana Towa, penerapan IPTEKS untuk anak-anak mereka, juga model kepemimpinan masyarakat Kajang dalam dan juga terdapat keunikan pada pakaian dan model bangunan Rumah di Desa Tana Toa. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu: 1. Bagaimana pola interaksi masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar? 2. Bagaimana penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang? 3. Bagaimana pola kepemimpinan Masyarakat Kajang? 4. Bagaimana filosofi pakaian dan Rumah di Kajang? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan ini adalah 1. Untuk mengetahui pola interaksi masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar 2. Untuk mengetahui penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang 3. Untuk mengetahui pola kepemimpinan masyarakat Kajang 4. Untuk mengetahui filosofi pakaian dan rumah di Kajang BAB II PEMBAHASAN A. Masyarakat Adat Amma Toa Kajang Suku Amma Toa Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Sulawesi Selatan yang berada dalam wilayah administrasi Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, berjarak ± 56 km dari Kota Bulukumba. Desa Tanah Towa terdiri atas 9 dusun, 7 dusun di antaranya berada dalam Komunitas adat Kajang. Komunitas adat tersebut dipimpin oleh seorang yang bernama Amma Toa yang merupakan gelar bagi orang yang terpilih menjadi pemimpin adat. Kawasan adat ini dikenal dengan nama Ilalang Embaya, sedangkan di luar kawasan adat disebut Ipantarang Embaya. Penduduk Desa Tanah Towa, baik yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa Kajang maupun yang ada di luar kawasan adat digolongkan sebagai subsuku dari suku bangsa Makassar. Bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari, adalah bahasa Konjo. Suku Amma Toa Kajang menganut ajaran Patuntung dengan berpedoman pada pasang ri Kajang. Secara harfiah, pasang mengandung arti sebagai pesan akan tetapi, pemahaman masyarakat adat Amma Toa, pasang bermakna lebih sekedar sebuah pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanah yang sifatnya sakral. Secara tidak langsung, pasang dapat dikatakan sebagai kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan suci yang berisi pesan-pesan lisan dan disampaikan dari mulut ke mulut (Salle, 2015). Pasang merupakan pencerahan atau penuntun hidup bagi masyarakat adat Amma Toa, pasang menyimpan pesan-pesan luhur yang bermakna bahwa masyarakat adat harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Bagi masyarakat adat Amma Toa, memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan, menjadi suatu keharusan bagi mereka untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya (alam). Selain itu, isi pasang bercerita tentang masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang yang merupakan sebuah pesan-pesan moral atau kebajikan dan hakikathakikat kebenaran. Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen komunitas, tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun-temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran. Dalam hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi: “Anre nakulle nipinrapinra punna anu lebba” Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa diubah lagi. 1. Makna Filosofis Warna Hitam Warna hitam bagi suku Adat Ammatoa adalah sebagai lambang kejujuran dan harus di patuhi karena merupakan sebuah pesan dari nenek moyangnya atau pesan dari Turiek Akrakna. Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja yang di jadikan sakral tetapi juga warna putih karena mereka percaya dan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada gelap dan terang. Warna hitam di gunakan karena dapat menselaraskan dan bermakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. Namun, tetaplah warna hitam dijadikan sebagai warna sakral karena dapat bermakna persamaan derajat tanpa membeda-bedakan. 2. Kepercayaan Orang Kajang Dan Upacara Kematiannya Masyarakat Ammatoa mempraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran Patuntung mengajarkan, jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Tu Rie‟A‟ra‟na (Tuhan), tanah yang diberikan Tu Rie‟A‟ra‟na, dan nenek moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tu Rie‟A‟ra‟na merupakan suatu keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Tu Rie‟A‟ra‟na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Tu Rie‟A‟ra‟na menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi (Usop, 1985). Pasang tersebut wajib ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki” (Artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh). Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Tu Rie‟A‟ra‟na memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan,dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antara Tu Rie‟A‟ra‟na dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Tu Rie‟A‟ra‟na ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Tu Rie‟A‟ra‟na atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka. Upacara Pemakaman Upacara pemakaman di daearah Kajang pada umumnya, sama dengan upacara pemakaman umat islam lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dan disholati. Tapi, pada saat ingin dikuburkan ada 4 tingkatan pemakaman yaitu: Jika Amma Toa yang meninggal, maka kedalamannya sampai setinggi orang yang menggali kubur tersebut, dan hanya orang tertentu yang diperbolehkan untuk melakukannya, dan diatas pemakamannya, diberikan semacam rumahrumah yang di mana atapnya, terbuat dari daun rumbiah. Jika yang meninggal adalah kepala suku, maka kedalaman pemakamannya setinggi leher orang dewasa. Jika yang meninggal adalah kepala desa atau yang mempunyai jabatan yang sederajat, kedalaman pemakamannya adalah sampai dada orang dewasa, dan apabila yang meninggal hanya masyarakat biasa, kedalaman pemakamannya hanya setinggi pusar orang dewasa. PEMAKAMAN AMMATOA Orang yang dibutuhkan pada saat memandikan jenasah, sekurangkurangnya 2 sampai 4 orang dari keluarganya sendiri, dan jenasahnya dimandikan 2x. Jika anak-anak yang baru saja dilahirkan kemudian meninggal, hanya 1 orang yang boleh memandikannya. Tergantung dari orang yang mahir dan orang yang mengurus kematiannya adalah keluarganya sendiri. 26 Adat yang dipakai saat ada orang yang meninggal disebut dengan kamateang ki dirapi, yang datang Ammatoa, Imam dusun, Kepala dusun, Ketua RT, dll. Dalam melakukan tausiyah, berbeda dengan tausiyah yang dilakukan dengan umat islam pada umumnya, yaitu dimana masyarakat Kajang Ammatoa, hanya berkomunikasi, sampai seratus hari tanpa henti kepada keluarga yang ditinggalkan. Dimulai setelah 3 s/d 5 hari, acara disiarai 7 s/d 10 malam, 20 malam dibacakan doa namanya dikulli. Hari pertamanya dipotongkan kerbau (tedong). 12 kain kafannya, 12 siku panjangnya, dan siku bawahnya 2 lembar. Sesudah dimandikan, kemudian dibungkus, disembahyani oleh imam dusun. Kuburan dijenguk/disiarai 3x sehari, pagi, siang, sore. Orang yang bersiap-siap 3x sehari untuk keselamatan akhirat, berdoa diberikan keselamatan. Hari kematiannya digendangkan benrong, benrong dibunyikan apabila semua orang telah dating. Kuburannya diteduhkan, jika perempuan 2 tenda dan jika laki-laki 1 tenda. Di Kajang tidak ada Tausiyah yang ada hanya addanang. Jika perempuan meninggal hanya memakai baju dalaman, tidak diperbolehkan tertawa karena kalau tidak disebut menghina. 20 malamnya memotong tedong, ayam, dan uhu‟-uhu‟. Orang bernyanyi basing untuk diakhirat. Basing baruga untuk menjemput tamu, kalau bernyanyi tidak boleh sembarangan. Jika ada yang meninggal tetap berpakaian hitam-hitam, dan perempuan yang modern memakai jilbab namun di Tanatoa tetap mengikuti adat tidak memakai jilbab hanya dililitkan ke kepala (massimboleng). PEMAKAMAN DI DESA AMMATOA B. Pola Interaksi Masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar Manusia terlahir sebagai makhluk sosial, kenyataan tersebut menyebabkan manusia tidak akan dapat hidup normal tanpa kehadiran manusia yang lain. Hubungan tersebut dapat dikategorikan sebagai interaksi sosial. Adapun pengertian interaksi sosial menurut para ahli dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang berkaitan dengan orang perorangan, kelompok perkelompok, maupun perorangan terhadap perkelompok ataupun sebaliknya. (Setiadi & Kolip, 2011: 63) 2. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. (Soekanto, 2010: 55) Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengertian interaksi sosial adalah hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia yang lain, baik secara individu maupun dengan kelompok. Ammatoa adalah kepala adat di suku Kajang yang sangat memegang teguh kitab lontara. Pesan di Kajang (Pasang ri Kajang) menyimpan pesan-pesan luhur, yakni penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaikbaiknya. Secara turun temurun, penduduk Tana Toa yang tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa. Suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa dalam berinteraksi mereka menganut dan bersandar pada Pasang ri kajang. Hal ini dapat di lihat ketika mereka berinteraksi, baik itu antara individu dengan individu (antar masyarakat), individu dengan kelompok (antar masyarakat dengan Amma Toa) dan kelompok dengan kelompok (antar pemangku adat dengan Amma Toa). 1. Antar Individu (Antar Masyarakat) Masyarakat adat kajang yang masih memegang teguh adat-istiadat senantiasa menanam perilaku tolong-menolong terhadap sesama masyarakat. Dalam pergaulan di masyarakat, mereka menjadikan lingkungan sebagai alat utama pembentuk sikap tolong-menolong. Walaupun ada beberapa pandangan yang menganggap bahwa sikap itu sudah di bawah sejak lahir, tetapi masih membutuhkan lingkungan sebagai tempat sosialisasi dalam mengembangkan sikap tolong-menolong tersebut. Masyarakat adat kajang sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi sikap menolong (rera) dan merupakan suatu norma dalam hubungan antar individu (masyarakat) membuat perilaku tolong-menolong tidak asing bagi masyarakat kajang. Palasa (37 Tahun) selaku warga masyarakat Kajang mengatakan bahwa: “masyarakat adat kajang sangat menjunjung tinggi perilaku tolong-menolong, hal ini dibuktikan ketika ada seseorang warga yang membangun rumah, maka semua masyarakat yang berada di kawasan adat Amma Toa, mereka berbondong-bondong untuk datang membantu. (“injo masyarakat ri kajangnga sanna na hargai sipa‟ assibantu-bantu konjoi ni gitte punna rie tau tumbaung balla, injo masyarakat yang ngase ia lalang ri kawasan adat amma toa a‟rurung-rurungi mange ambantu ” palasan(37 tahun)) Sama halnya dalam membajak sawah, masyarakat selalu ikut serta membantu karena apabila mereka tidak datang maka akan dikena sanksi (adat). Oleh karena itu, mereka selalu tolong menolong dalam mengerjakan suatu hal. Masyarakat kajang dalam juga lebih banyak berinteraksi dengan sesama orang kajang dalam, hal itulah yang mengakibatkan masyarakat kajang dalam mengalami hambatan saat berinteraksi sosial dengan partisipan yang berbeda etnik. Proses komunikasi sesama masyarakat kajang dalam terdengar khas dan kurang mengalami hambatan sebab masyarakat kajang dalam menggunakan bahasa yang sama yaitu (bahasa konjo). 2. Individu dengan Kelompok (Antar Masyarakat dengan Amma Toa) Komunitas adat Ammatoa yang masih kental akan adat-istiadat yang mengikat masyarakatnya secara turun temurun dalam kehidupan sehari-hari. Ammatoa adalah Palasa (37 Tahun), Warga Ammatoa, Wawancara, jabatan bagi pemimpin tertinggi adat yang memegang keputusan tertinggi yang wajib dipatuhi oleh masyarakat kajang. Rasa hormat dan penghargaan terhadap pemimpin tertinggi adat yaitu Ammatoa, sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kajang dalam. Bukan hanya anak-anak yang sangat menghormati Ammatoa, tetapi para orang dewasa juga mengetahui bagaimana seharusnya bersikap kepada pemimpin adat masyarakat kajang dalam tersebut. Dalam kehidupan masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa tetap memegang prinsip hidup “Tallase Kamase-mase” (kesederhanaan). (“jabatan pamarentah nukambiangngia keputusan paling tinggi nukkulea napatuhi masyarakat kajang. Nikangalikang nani hargai mange ri pamarentah paling tinggi ia mintu amma toa.konjomi ri itte rikehidupan allo-allona masyaraka‟ kajang kaminang lalang. Tania angkau anakanakji angkangalikangngi amma toa, manna tau toa na isse‟ji antere kamua mange sipa‟a mange ri pamatentah masyaraka‟ kajangnga. Rilalang kehidupanna masyaraka‟ adat kajang ri desa tanah toa tattai ri kambiang prinsip kehidupan “tallasa kamase-mase” ”) Hidup kamase-mase bermula dari seorang pemimpin yang lebih dikenal dengan sebutan Ammatoa, ketika Ammatoa sudah dinobatkan sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual di Desa Tana Toa Kajang, seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa adanya tanpa harus mengejar materi. Tallase kamase-mase merupakan salah satu prinsip hidup yang terkandung dalam Pasang ri kajang. Pasang ri kajang tersebutlah yang menjadi pedoman dan perilaku hidup masyarakat kajang yang juga di dalamnya mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada pemimpinnya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bapak Appe (37 Tahun) mengatakan bahwa: “kalau terjadi gagal panen atau musim paceklik, maka orang yang pertama merasakan lapar adalah Ammatoa. sebaliknya, jika panen berhasil, maka para masyarakat adat kajang yang harus lebih dahulu dipersilahkan untuk menikmatinya, Ammatoa kemudian belakangan. Sikap kepemimpinan yang dicontohkan oleh komunitas kajang di Desa Tana Toa tentunya berbanding terbalik dengan sikap pemimpin masyarakat pada umumnya”.Appe, (37 Tahun), Warga Ammatoa, Wawancara (“punna gagal panangngi, injo tau pertama kapa‟reang iamintu ammatoa, passibalekangna punna berhasil ii panengnga injo masyaraka‟a rikajang ia loro ri suro annikmati ii,amma toa ribokopi, sippa‟ pemimpin nuna contohkan ia tukajang ri desa tanah toa tantui sibalekang na sipa‟na pamarentah ri masyarakat umumnga ”.Appe, (37 Tahun), Warga Ammatoa, Wawancara ”) 3. Kelompok dengan Kelompok (antar pemangku adat dengan Amma Toa) Secara tradisional masyarakat di desa Tana Toa dipimpin oleh seseorang yang bernama Ammatoa, gelar Ammatoa diberikan kepada seseorang yang pantas untuk menjadi pemimpin. Kedudukan Ammatoa adalah seumur hidup, artinya sampai orang yang sudah dilantik jadi Ammatoa meninggal dunia. Setelah itu dipilih lagi Ammatoa baru yang harus memenuhi kriteria tertentu yang merupakan sesuatu yang gaib, artinya mendapat petunjuk dari Turiek Akrakna untuk melakukan beberapa hal sebelum jadi Ammatoa. Ammatoa yang dibantu dengan beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan ada‟ limayya karaeng tallu. Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam mengurusi masyarakatnya. Ammatoa sebagai pemimpin adat di desa Tana Toa dalam menunaikan tugas yang diamanahkan oleh Turiek Akrakna dibantu oleh sejumlah pemangku adat yang terdiri dari ada‟ limayya, karaeng tallua, lompo ada‟ dan aparat adat lainnya. Ammatoa dengan para pemangku adat memiliki tanggungjawab yang besar terhadap seluruh masyarakat adat kajang, melaksanakan amanah secara jujur, tegas dan konsisten. Ammatoa secara lisan menyampaikan kepada para pemangku adat kemudian para pemangku adat tersebut yang menyampaikan kepada masyarakat kajang dalam secara menyeluruh. Ammatoa, (72 Tahun), Pemimpin Adat, Wawancara. (“amma toa pamarentah paling tinggia lalang masyaraka‟ tantumi sannai berkuasa lalang angurusui masyaraka‟na, amma toa lalang ammarentah ri desa tanah toa lalang anjama ri percayai oleh turiek a‟rakna ribali ii ri pemangku ada‟ lalangna injo batturi ada‟ limayya . karaeng tallua, lompo ada‟ na battu ri pamarentah maraengngang, amma toa surang pamarentah maraeng rie tanggung jawab bakka‟na mange ri masyaraka‟ kajang. Najamai pasang secara jujur, terasa na toje‟toje‟. Amma toa lalang a‟bicara mange ri pamarentah maraengnga, maengnginjo pemarentah maraeng napallantei mange ri yangaseiiya masyraka‟ kajang)” Didesa ammatoa interaksi sosial sudah terjadi tetapi hanya sesama orang desa saja karena untuk berinteraksi dengan warga desa yang diluar kajang sedikit memiliki kesulitan, karena jika warga kajang dalam ingin berinteraksi harus keluar desa terlebih dahulu. Karena budaya yang dimiliki desa kajang dalam dengan desa kajang luar memilki kebudayaan yang berbeda. Tetapi, menurut kami tidak menutup kemungkinan kalau Budaya dari desa kajang dalam dapat berubah karena perkembangan zaman serta pola interaksi masyarakat sekarang sudah dalam keadaan modernisasi. Jadi, pola interaksi pun akan sangat berperan penting dalam proses ini. Pola interaksi dari desa kajang hampir sama dengan pola interaksi di desa-desa lainnya hanya yang membedakannya yaitu dari segi sanksi jika melanggar aturan. C. Penerapan IPTEKS di Kajang Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) dewasa ini memiliki pengaruh yang teramat besar dalam kehidupan umat manusia. Demikian hebat pengaruh yang dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia dapat diperoleh dengan mempertuhankan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melahirkan dampak positif dalam kehidupan umat manuisia. Tetapi pada sisi lain juga membawa pengaruh yang negatif terhadap kehidupan umat manusia. Kajang tidak sekedar nama wilayah di kabupaten Bulukumba, Kajang identik dengan kepercayaan. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan keseharian dengan pakaian seragam “hitam-hitam” tapi juga keyakinan mereka yang teguh dan tak tergoyahkan yang dianut selma ini. Kajang juga disebut komunitas Ammatoa dengan corak pakaian hitam-hitam. Diantara suku bangsa yang ada di propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan kajang, terdapat satu kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung kurang menerima, bahkan sebagian ditolak sama sekali hal-hal baru (medernisasi). Mengenai pendidikan, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan pendidikan bagi mereka dan anak-anaknya. Buktinya ada beberapa warga Ammatoa yang menjadi tokoh pendidikan di kalangan manusia yang telah mengalami banyak pergeseran (modernisasi). Akan tetapi, perkembangan IPTEKS tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka. Hal ini dapat dibenarkan, karena setelah melakukan pengamatan langsung, memang masyarakat kajang seperti tidak mengenal perubahan teknologi di luar ammatoa. Alat teknologi seperti TV, Radio ataupun sepeda tidak bisa di jumpai di daerah kajang (Ammatoa), kehidupan mereka sangat alami. 1. Faktor Pendorong Perkembangan Pendidikan Formal di Kajang Kontak dengan kebudayaan lain dapat menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun penemuanpenemuan baru yang telah dihasilkan. Penemuan-penemuan baru tersebut dapat berasal dari kebudayaan asing atau merupakan perpaduan antara budaya asing dengan budaya sendiri. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan yang ada. Komunitas adat Kajang di bawah kepemimimpinan Amma Toa telah membangun hubungan-hubungan kerajaankerajaan besar di Sulawesi dengan masyarakat luar diantaranya Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone. Pengalaman dalam membangun kerjasama terasebut, sekarang ini secara langsung bisa dilihat dengan aksebilitas komunitas adat Kajang dengan pihak luar semakin mudah dan bisa kita saksikan sebagai pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan studi dan berbagai aktivis lainnya. Keunikan adat istiadat komunitas Adat Kajang menarik banyak orang untuk mengetahui lebih jauh kehidupan kemunitas adat Kajang. Baik kehidupan sehari-hari ,maupun upacara-upacara adat yang biasa mereka lakuakn.Bukan hanya orang biasa yang sekedar datang untuk berlibur, tapi juga orang-orang yang berpendidikan banyak yang melakukan penelitian tentang komunitas Adat Kajang. Orang-orang yang sering berkunjung tersebut tidak jarang yang tinggal dalam waktu yang cukup lama di Desa Tanah Towa dan berinteraksi dengan komunitas adat Kajang. Komunitas adat Kajang sesekali keluar dari Desa Tanah towa untuk kepentingan keluarga ataupun untuk pemenuhan kebutuhan seharihari. Interaksi yang terjadi antara orang-orang dari luar komunitas adat Kajang menimbulkan adanya proses saling mempengaruhi sikap dan perilaku dari masing-masing pihak. Keterbukaan komunitas adat Kajang dapat juga dilihat dengan adanya pembagian wilayah Desa Tanah Towa menjadi dua bagian yaitu Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya. Pada wilayah Ilalang Embayya tidak dibolehkan adanya pembangunan jalan yang beraspal, tidak dibolehkan masuknya kendaraan bermotor, juga tidak dibolehkan adanya listrik. Wilayah Ilalang Embayya ini sengaja dipertahankan tetap alami, salah satunya adalah untuk tetap menjaga pelestarian hutan. Selain itu juga merupakan wilayah bagi komunitas Kajang untuk tetap hidup sedrhana dengan prinsip hidup kamasemasea. Wilayah ipantarang embaya sebagai tempat bagi komunitas adat Kajang untuk dapat bisa menuntut pendidikan formal,karena sekolah tidak bisa dibangun di Kajang dalam. Komunitas adat Kajang tidak pernah menutup diri dari masyarakat di luar komunitasnya. Demikianlah juga orang-orang yang dating ke komunitas Kajang selalu diterima dengan baik. Kerjasama dengan pemerintah juga dijalin dengan baik,hal ini di lakukan dengan memasukkan aparat pemerintah sebagai pemangku adat. Program pendidikan formal dapat meningkat karena komunitas adat kajang dapat menerima program pendidikan formal sebagai upaya untuk meningkatkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Orang tua memberikan dukungan yang besar bagi anak-anaknya untuk bersekolah bukan hanya di Desa Tanah Towa saja tapi juga ke daerah lain, bahkan sampai di Makassar. Sudah banyak anak-anak dari Desa Tanah Towa yang mengikuti pendidikan tinggi di Makassar baik yang berasal dari ilalang Embaya maupun dari ipantarang Embaya. Sikap yang sangat terbuka dari komunitas adat Kajang terhadap pembauran dengan masyarakat lain, termasuk penerapan program pendidikan formal yang terdapat memberikan perubahan bagi komunitas Kajang, misalnya dengan banyaknya komunitas Kajang yang tidak tinggal di ilalang embaya karena harus menempuh pendidikan di daerah lain. Demikian juga jika sudah bekerja tidak jarang yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan di daerah lain. Sikap terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertical atau horizontal yang lebih luas kepada anggota mayarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berfikir maju dan mendorong terciptanya penemuanpenemuan baru yang di sesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Ikhtiar harus selalu dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Pendidikan formal diharapkan oleh pemerintah dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia sehingga dapat bersaing dalam era globalisasi. Bagi komunitas adat Kajang pendidikan formal yang ditempuh diharapkan dapat meningkatkan tarap hidup mereka menjadi lebih baik. Orang tua berharap anakanaknya nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Harapan orang tua ini yang menyebabkan mereka berusaha agar anaknya dapat bersekolah. 2. Integrasi Nilai-nilai Budaya yang berkarakter ke dalam Pendidikan Nilai-nilai luhur yang dapat diimplementasikan ke dalam pendidikan karakter konservasi dari kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa adalah: a. cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, b. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, c. jujur, d. mematuhi aturan yang berlaku dan santun, e. peduli lingkungan, f. kerja keras dalam pelestarian alam, g. keadilan, h. rendah hati, i. cinta damai dan persatuan. Nilai-nilai tersebut sangat cocok diimplementasikan dalam proses pembelajaran guna membentuk karakter konservasi (peduli lingkungan) pada peserta didik. Terintegrasinya muatan nilai-nilai kearifan lokal pada pembelajaran, akan esuai dengan lingkungan yang ada dan dialami peserta didik. Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar. Hal ini sejalan dengan Nurhadi (2004) bahwa upaya mengaitkan pembelajaran dengan kejadian atau fakta di dunia nyata dapat menciptakan proses pembelajaran yang bermakna. Nilai-nilai budaya Pasang tentang pelestarian hutan mengajarkan secara praktis untuk budaya hidup bersih dengan memelihara lingkungan tetap bersih, dan tidak melakukan pengrusakan fasilitas kebersihan, dan memiliki sikap disiplin untuk menjaga kebersihan. Eserta didik juga dapat diajarkan untuk melakukan penghematan penggunaan air bersih dengan bijaksana. Guru dan peserta didik tidak membuang sampah sembarangan. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesai kita memiliki budaya bangsa dan karakter bangsa yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara Indonesia yang baik. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri melalui pemaknaan kembali dan rekontruksi nilai-nilai luhur budaya (Asriati, 2012). Melalui implementasi pendidikan kearifan lokal diharapkan tercipta sistem pendidikan yang mampu menyiapkan sumber daya manusia berkualitas dan siap bersaing di era global, namun memiliki nilai-nilai karakter, kepribadian, moral, dan etika yang baik. Melalui pendidikan kearifan lokal diharapkan potensi dan kekayaan daerah dapat dikembangkan secara optimal bagi kepentingan masyarakat. Peran strategis tersebut akan memberikan dampak optimal apabila disertai dengan strategi implementasi yang sesuai. Lembaga pendidikan sebagai pranata utama pengembangan sumberdaya manusia memiliki tanggung jawab dan peran strategis untuk merumuskan startegi yang tepat dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. 3. Penerapan Nilai-Nilai Karakter Peduli Lingkungan Dalam Pembelajaran Dalam Dunia Pendidikan Penerapan nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran terjadi dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam komponen pembelaran yaitu ke dalam sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak pengiring. Sebagai contoh model pembelajaran kooperatif Berbasis Budaya Lokal Pasang ri Kajang pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan tema pelestarian hutan, Menjaga kebersihan lingkan, kepedulian lingkungan dan lain sebagainya. Sintaks model pembelajaran ini dapat menggunakan pendekatan saintifik dalam belajar kelompok dan juga menggunakan pendekatan belajar dari alam. Peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan mengarahkan peserta didik untuk mengenali lingkungannya, dan berpartisipasi aktif dalam menerapkan upaya kepedulian terhadap lingkungan. Sistem pendukung berupa video, bacaan tentang lingkungan, inspirasi peduli lingkungan. Sistem sosial antara guru dan peserta didik untuk bersama-sama mempromosikan kepedulian terhadap lingkungan dengan mengikuti aturan dan peraturan pemerintah misalnya perda tentang kebersihan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Makassar dengan segala slogan seperti Makassar tena Rantasa, LISA (lihat Sampah Ambil) dan lain-lain. Dampak interusksionalnya adalah kesadaran diri, motivasi diri, dan penerapan dalam praktisk. Sementara dampak pengiring yaitu nilai-nilai karakter peduli lingkungan (tanggung jawab, disiplin, rasa hormat, kejujuran). D. Sistem Pemerintahan Adat Suku Kajang Sulawesi Selatan 1. Ammatoa sebagai Kepala Pemerintahan Pemahaman masyarakat adat suku Kajang tetang Ammatoa sebagai utusan, perintah atau amanah dari Tu Riek Arak‟na (Yang Maha Tinggi, Maha ber-Kehendak) disampaikan melalui manusia pilihan yang memiliki nilai-nilai keistimewaan serta mempunyai kelebihan yang dimiliki. Dalam Islam, Ammatoa seperti seorang Nabi Muhammad yang diutuskan Tuhan SWT pada umat pada saat untuk menyempurnakan tingkah laku, manusia dangan manusia, serta manusia dengan Tuhannya. Menurut mitosnya Ammatoa yang pertama, sosok manusia yang turun kebumi, sedangkan tanah yang dimaksud adalah Tanah Toa. Ammatoa turun bersama seekor burung raksasa yang dinamakan oleh masyarakat adat Koajang. Koajang dijadikan sebuah nama yaitu Kajang, kemudian sebagai orang yang pertama diberikan pada Ammatoa atau Bohe Tomme atau nenek moyang. Ammatoa bukan nama diri akan tetapi istilah tersebut jabatan dan status orang tersebut. Ammatoa bagi masyarakat adat suku Kajang adalah sebagai panutan, dan orang yang mempunyai kesaktian, serta orang pilihan dari masyarakat adat suku Kajang. Nama asli Ammatoa patang disebut oleh masyarakat Kajang ketika itu terjadi merupakan pelangaran atau bassung.1 Kepercayaan masyarakat adat suku Kajang pada Ammatoa tidak hanya terletak pada sikap empati pada nilai-nilai spritual saja, tapi Ammatoa juga dianggap manusia yang memiliki kemampuan shamanistik. Dalam agama-agama primitif, seorang shaman (dukun) memiliki kemampuan kesaktian dan secara terminologi penafsiran adalah seseorang yang mampu berjalan ketempat yang jauh, mendapatkan pengetahuan, dan kembali untuk menyampaikannya pada masyarakat. Tidak hanya itu, Ammatoa tokoh yang memiliki kharismatik yang mempunyai fungsi khusus sebagai tu nila‟ langngi atau suri tauladan. Meskipun dalam kepemimpinannya Ammatoa lebih dominan sebagai pimpinan keagamaan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan warga masyarakat adat suku Kajang kepada Ammatoa sangat besar sekali, setiap ada acara adat peran Ammatoa sangat dominan sekali. Sedangkan urusan kepemerintahan diserahkan pada pemerintahan. Hal ini termaktub dalam Pasang : 1 Bassung mengandung arti penderitaan atau kecelakaan, mereka mempunyai anggapan ini perbuatan dosa akan mendapati penyakit tidak akan sembuh selain membawa kehinaan bagi orang yang melanggar. Lgitte tau caddia ammuluki ri adahang Suruki ri ajoha, nakiminahang ri hajo-hajona pammarentata Naiyya pammarentata rie‟ I ehanna mingka anre‟ I sauru‟na Naiyya pammarenta iyamintu anrong ammatta‟ Artinya : Kita warga masyarakat perlu tunduk dan tahluk dibawah petunjuk pemerintah, tak ada jalan untuk kita lawan apabila kita mau mengalahkan, pemerintah adalah tua kita. Berikutnya dijelaskan lagi bahwa tunduk dan patuh masyarakat adat Ammatoa kepada pemerintahan: Sallu ri ajoha, mulu ri adahang Anrai‟–rai pammarentata, anrai‟-rai‟ to‟ ki Kalau‟-kalau‟ toki. Artinya: Kita harus taat dan patuh terhadap pemerintahan, apabila pemerintahan ke timur kita turut „ketimur‟, apabila kita kebarat kita turut „kebarat‟. Bagi masyarakat adat bahwa kekuatan itu tidak datang dengan begitu saja, tetapi ada hal yang substansi untuk menjaga keutuhan dan mempertahankan identitas adat yaitu harus melakukan kerja sama dengan pemerintahan diluarnya, untuk menumbuhkan saling kepercayaan satu dengan lain untuk saling melengkapi dan menjaga. Tetapi keinginan ini masih belum seutuhnya diakomodir oleh pemerintahan formal, karena meskipun mereka masyarakat adat menyatakan ketaatan tetapi perlu digarisbawahi harus ada pemisahan wewenang dan kekuasaan dibelah pihak, pemerintah tetap mengurusi hak dan kewajiban kepemerintahan tetapi otoritas adat harus dihargai dan dihormati apalagi kekuasaan daerah adat. Labelisasi yang diberikan pada Ammatoa oleh masyarakat adat suku Kajang adalah sebuah bentuk penghormatan sebagai orang yang disegani pada Ammatoa, terminologi Ammatoa adalah orang yang dituakan dalam masyarakat adat suku Kajang, dalam bahasa Konjo Amma adalah Bapak, sedangkan Toa artinya Tua. Bagi masyarakat adat suku Kajang Ammatoa orang sangat disenangi oleh masyarakatnya kerena di dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan kesederhanaan dan tidak ada jurang pemisah antara Ammatoa dengan warganya. Keberadaan Ammatoa sebuah bentuk dari apresiasi dari Pasang untuk menciptakan tuntunan yang diberikan oleh Tu Riek Arak‟na dalam membangun spritualitas masyarakat Kajang untuk menciptakan tatanan masyarakat berbudaya dan taat pada kepercayaannya. Ammatoa tidak hanya seorang yang memiliki segudang kharismatik dan kekuatan-kekuatan tetapi memiliki wawasan luas untuk mengatur masyarakatnya dalam situasi apapun. Kemudian beban yang diamanahkan kepada Ammatoa dalam komunitas adat Kajang cukuplah berat sebagai seorang yang dituakan dalam komunitas adat tersebut, dia seorang yang pengayom serta suritauladan bagi masyarakatnya. Dalam Pasang termaktub: Amma nilangng ere‟, nituruki, siangang nipa‟ la‟langngi, artinya : Amma didengar nasehatnya, ditiru perbuatannya, dijadikan penutan. Ako kalangng ere‟ langngere‟, ako kaitte-itte, ako katappa‟- kappa‟rikarambu lalang, asu timuang, ako tappaki‟ , artinya: jangan mudah percaya dan terpengaruh pada orang luar, sebelum ke saya (Ammatoa), pelindung atau sandro apabila negara-nya datang musibah. Bambang lantamaujung latoro, artinya : jika negeri dilanda wabah penyakit dan bahaya peperangan. Dalam peran sehari-hari Ammatoa sebagai orang yang penegah dalam permasalahan sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Persoalan yang muncul tidak sampai pada dataran hukum pemerintahan formal atau kepolisian dan peradilan akan tetapi cukup ditingkatan lembaga adat yang dipimpin oleh Ammatoa. Keutuhan Pasang juga kewajiban Ammatoa terhadap kelestariannya, karena pesan yang keluar dari mulut Ammatoa adalah cuplikan Pasang. Ammatoa juga dibantu oleh para mentri-mentrinya untuk mengurusi lembaga-lembaga adat dalam berbagai bidang, kewajiban ini tidak bisa dipisahkan antara Pasang dengan Ammatoa ini sudah menjadi sebuah keharusan. Yang paling menarik Ammatoa adalah orang yang berperan dalam mediator antara Tuhan dan manusia, jika dalam masyarakatnya berdoa untuk meminta sebuah permintaan pada Tu Riek Arak‟na Ammatoa adalah orang yang pertama yang didatangi oleh masyarakatnya untuk di pa‟nganroang atau dipertemukan. Permintaan-permintaan ini akan diwujudkan dalam upacara-upacara yang dipimpin oleh Ammatoa. Punnania‟ anakku‟rinakke, artinya: bila ada yang rindu padaku Tu Riek Arak‟na, cukup dia atau manusia berhubungan dengan mu Ammatoa, nanti kau yang berhubungan denganku Tu Riek Arak‟na. Manusia Ammatoa Tu Riek Arak’na Kewajiban lain adalah menjaga kelestarian hutan adalah lambang sebuah kehidupan bagi manusia, dalam perjalanannya hutan mempunyai makna khusus keberlangsungan kehidupan. Keberlangsungan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang anti terhadap barang-barang luar atau modern, apalagi yang mengandung unsur-unsur perusakan alam. Budaya-budaya yang berbau modern dalam kawasan adat dilarang dan akan dikena sanksi adat bagi yang melanggarnya. Ketika hal ini terjadi, akan terjadi proses modernisasi ekonomi akan menekankan pada prinsip komersialisasi dan industrialisasi yang akan mengubah dari tatanan masyarakat pada sebelumnya mengandalkan tenaga swadaya dan tradisional pertanian menjadi bentuk komersialisasi dan industrialisasi. 2. Korelasi Pasang atau Konstitusi dan Ammatoa Pasang secara etimologi dapat diklasifikasikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Makassar dan Bugis dalam maknanya mempunyai arti yang sama. Pasang berarti pesan, dalam hasanah budaya masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, Pasang paseng adalah salah satu materi penting yang terdapat didalam Lontara Paseng atau kumpulan amanat leluhur dan orang bijaksana yang tadinya diamanatkan secara turun temurun melalui ucapan yang dihafal. Pasang ri Kajang atau Pasang yang ada di daerah Kajang adalah salah satu Pasang yang hingga kini masih dianut dan diterapkan dalam masyarakat suku adat, terutama di wilayah Desa Tana Toa yang termasuk tanah keramat bagi masyarakat adat suku Kajang. Doktrin Pasang dalam masyarakat adat suku Kajang sudah sangat melekat dihati, masyarakat Kajang menggangap kekuatan mistik dalam Pasang sebuah anugrah dari Yang Maha Mutlak, Pasang aturan-aturan yang harus ditaati oleh penganut kepercayaan adat bahkan keutaman Pasang lebih dari kitab-kitab lainnya. Dalam bersikap dan berprilaku dalam bermasyarakat berdasarkan pada Pasang. Norma kehidupan ini harus dipegang teguh karena Pasang adalah satu kebenaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kehendak, dalam Pasang juga dijelaskan : Kalamanganna tumbang kalasappia Lalemppea ri kana tojeng Artinya : “ Lebih baik hanyut atau tumbang dari pada melepas pegangan pada kebenaran”. Kalamanganna polong kalapelung Lata‟ lesanga‟a ri pangatorang Artinya : Lebih baik patah dari pada bengkok, harus berpegang teguh kepada peraturan. Ketaatan masyarakat Kajang terhadap Pasang sebuah kewajiban yang harus, meskipun mendatangkan sebuah pengorbanan. Menurut kepercayaan masyarakat suku adat Kajang “Iayantu korangnga kapatampuloisi toje–tojekna. Kakunnemintu appa tumbo pattimboanna sampuloa” bahwa Pasang adalah firman Tuhan turun ke bumi 40 juz, bukan 30. masyarakat adat suku Kajang tak kenal huruf Arab, akan tetapi mereka punya paham sendiri soal kitab suci. Mereka punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dari 10 juz. Tuhan sesungguhnya menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Yang 30 juz, al-Quran itu, ayat Tuhan buat orang lain. Sedangkan buat Amamatoa 10 juz saja, dan itu tertuang dalam kitab Lontara Pasang Ri Kajang Puang Ammatoa. Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri Kajang menyimpan pesan-pesan luhur, yakni penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan, lalu harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Ajaran Pasang tidak lepas dari membangun solidaritas antara teori dan praktek yang dilakukan dalam mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, ketika hal tersebut dilakukan hal ini akan memperoleh ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Doktrin Pasang Kamase-Mase adalah kewajiban dalam menjaga kehidupan keseimbangan dunia dan hari terakhir. Konsep ini adalah landasaran dasar bagi masyarakat adat suku Kajang dalam menjalankan kehidupan. Dalam Pasang ri Kajang menjelaskan: Katutuinu rie‟ nu Ri gentengang tambatunna paraiaya Artinya : “ Jagalah yang ada, sebelum datangnya peceklik”. Norma yang diajarkan dalam Pasang adalah tata cara bagaimana manusia bisa hidup dengan penuh makna dan mempunyai arti dimata manusia. Pasang mengajarkan pada pengikutnya bahwa sopan satun dalam kehidupan adalah alat komunikasi yang efektif serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Normanorma ini meliputi adat istiadat, tutur kata, life style, berpakaian. Kekuatan Pasang terletak sejauh mana masyarakatnya mengimplementasikan ditingkat sosial masyarakatnya, ketika praktek-praktek dilakukan kekuatan-kekuatan diluar imajinasi akan tumbuh serta menjaga dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Ammatoa sebagai kepala pemerintahan mempunyai kewenangan dalam menjalankan dan memerintah masyarakat untuk mentaati asas legalitas hukum adat. Hal ini Amamatoa orang suci yang ditunjukan oleh Pasang untuk menuturkan apa yang termaktub dalam Pasang. Seorang Ammatoa dipilih berdasarakan petunjuk Tu Rie A‟rana melalui serangkaian tanda khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang ikut dalam upacara pengukuhan Amma. Biasa tanda-tanda ada restu dari Tu Riek Arak‟na yang sudah terdapat dalam Pasang melalui melalui cerita-cerita, seperti, masuknya tedong tanre nipa nangkalangi, artinya kerbau yang dipelihara khusus untuk keperluan upacara penetapan Amma, orang yang cikal bakal menduduki sebagai Ammatoa, orang tersebut sanggup memegang passauan atau pedupaan yang sangat panas dan asapnya mengarah kemana ia duduk, sekali pun arah angin berlawanan atau seekor ayam putih yang dipelihara secara khusus bertengger dibahu orang yang dimaksud. Adapun syarat sebagai terpilih manjadi Ammatoa, seseorang harus memiliki tiga kriteria, yaitu: Pertama, dengan memliki empat sifat-sifat, yaitu kalambusuang (kejujuran), sabbara (kesabaran), dan appisona (keikhlasan) dan Gattang (Bijak). Kedua, seorang Amamatoa harus memiliki wawasan luas dan mengerti mengenai isi-isi Pasang. Ketiga, Amamatoa, harus berdasarkan dari keturunan baik-baik, dalam bahasa Konjo disebutkan Tu kentarang artinya yang disinari oleh bulan purnama. Sebenarnya dari kepercayaan masyarakat adat Kajang percaya bahwa Ammatoa adalah orang yang paling utama, dalam hal ini Ammatoa seorang utasan Tuhan atau wakil Tuhan di dunia “nipa‟la langngiri bahonnainne linoa” artinya sebagai panutan didunia. Dalam korelasi jelas sekali, dalam Pasang menjelaskan bahwa orang yang cocok dan sesuailah yang pantas untuk mendapati kedudukan sebagai Ammatoa dalam komunitasnya. Seperti: Bola –bola palettekang, baju-baju pasam peang Pettai kalennu kamaseang kulantu‟nu A‟ lele cera‟ memangngi nikuayya mana‟ Maksudnya, rumah-rumah bisa dipindahkan, pakaian bisa digantikan, bersabarlah dan kuatkan imanmu, yang dikatakan oleh pusaka Pasang memang harus dipergilirkan kepada orang-orang yang berhak. Dalam perjalanan ketika Amamatoa meninggal dunia a‟linrung majelis adat akan mengangkat pengganti sementara (PJS) yang kapasitasnya tidak jauh dari Ammatoa, jabatan sementara biasa dipengang selama tiga tahun, kemudian diadakan sebuah ritual anyuru‟ borong, yaitu sebuah upacara meminta petunjuk kepada Tu Rie A‟rana untuk memilih Ammatoa yang baru. Dalam menjalankan tugasnya Ammatoa dibantu oleh beberapa perangkat adat. Perangkat adat inilah yang mengendalikan kelestarian Pasang untuk menciptakan ketaatan oleh masyarakat dari dahulu sampai sekarang. 3. Struktur dan Tipe Pemerintahan Adat Suku Kajang Masyarakat adat suku Kajang telah mengenal lembaga sosial dalam masyarakat tradisonal yang dipimpin oleh seorang tokoh spritual adat suku Kajang yaitu Ammatoa, dalam struktur adat, Ammatoa adalah pemimpin yang dibantu oleh beberapa mentri untuk mengurus lembaga-lembaga pemerintahan adat, yang disebut adat limaya dan karaeng tallua. Adat limaya adalah satu lembaga yang statusnya setingkat dengan karaeng tallu, yang beranggota lima orang. dalam sejarah yang berkembang dimasyarakat terbentuknya adat limaya berawal dari anggota-anggota putra-putra Ammatoa pertama, kemudian setelah putra-putra Ammatoa meninggal dunia digantikan dengan keturunan yang telah diwariskan oleh Pasang. Sedangkan karaeng tallua selaku lembaga pemerintahan adat dalam lingkungan masyarakat Ammatoa, sebelumnya karaeng tallu berarti karaeng yang tiga mereka adalah petugaspetugas yang diangkat oleh Ammatoa sebagai penguasa ditanah Lohea yaitu daerah-daerah diluar tanah kamase-kamase atau luar kawasan adat. Maksud dari kareang tallu adalah orang yang bertugas dalam struktur pemerintahan adat, akan tetapi juga menjabat sebagai tugas dari pemerintahan diluar Kajang. Pada tahun 1959 terjadi perubahan struktural dalam sistem pemerintahan Indonesia, berdasarkan undang-undang nomor 29 tahun 1958 dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia membentuk kecamatan dengan camat sebagai pimpinananya, maka diangkatlah Karaeng Kajang sebagai Camat Kajang sedangkan wakilnya adalah sullehatang. Fungsi dan kewenangan lembaga tersebut untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan. Lembaga sosial bagi masyarakat adat Kajang adalah sebuah aturan Pasang untuk menegakkan ketidakseimbangan dalam menjalani kehidupan masyarakat. Dalam struktur kelembagaan yang sudah diatur harus sejalan dengan Pasang karena aturan tersebut sudah temaktub didalamnya, menurut Pasang pimpinan tertinggi adalah Ammatoa, kemudian dibawahnya terdapat beberapa pembantu untuk menjalani suatu lembaga. Ammatoa sebagai pemimpin yang tertinggi dalam masyarakat adat Kajang yang mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana yang diamanatkan oleh Tu Rie A‟rana, Ammatoa juga dibantu oleh seperangkat aparat adat lainnya : (1) Galla‟ Pantama, statusnya sebagai kepala pemerintahan dalam struktural pemerintahan adat yang dipimpin langsung oleh Ammatoa. (2) Galla‟ Lombok, adalah sebagai mentri luar negeri adat Kajang bertugas mengurusi daerah-daerah takhluk Ammatoa, sekarang Galla‟ Lombok sebagai kepala desa Tana Toa. (3) Galla‟ Anjuru, tugasnya adalah mengurus permasalahan para nelayan. Dalam peta bahwa secara keseluruhan tanah adat Kajang berdekatan dengan laut, meskipun banyak yang tergeser oleh orang yang tidak bertanggung jawab atas persoalan tanah. (4) Galla‟ Kajang adalah bertugas mendampingi Galla Pantama dalam mengendalikan pemerintahan adat serta pesta adat. (5) Galla‟ Puto adalah mentri penerangan, tugasnya sebagai juru bicara Ammatoa dan pengawasan langsung tentang pelaksanaan Pasang. Adat limaya pada mulanya dijabat oleh putra-putri Ammatoa pertama. Setelah itu jabatan tersebut dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk Pasang. Sedangkan Karaeng Tallua sebagai salah satu seperangkat adat dalam struktural pemerintahan adat Ammatoa, memiliki tiga personel, yaitu : Karaeng Kajang, Karaeng Ilau, dan Karaeng Tambangang. Tugas yang dipercayakan kepada Karaeng Taalua yaitu mendampingi Galla Pantama pada setiap berlangsungnya pesta upacara adat, dalam perangkat adat Kajang ada yang disebut dengan lompo adat atau adat buttaya yang dipercaya untuk mengurusi bidangbidang tertentu. Pertama, Adak Ri Tana Lohea, pada dasarnya mereka terdiri dari adat limaya dengan tugas khusus diantaranya adalah Galla‟ Pantama statusnya sebagai penghulu adat atau adat utama. Galla‟ Lombo dipercaya sebagai penjabat yang mengurusi perbelanjaan. Galla‟ Kajang bertugas mengurusi perkara-perkara dan hukum serta persoalan kriminal. Galla‟ Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan Galla‟ Arjuna sebagai bagian perlengkapan. Kedua, Bidang Pelaksana, yang terdiri dari tujuh anggota masing-masing : (1) Guru bertugas sebagai membaca do‟a dan mantra-mantra: (2) Kadahangnga bertugas dalam bidang pertanian: (3) Lompo Kareang, bertugas membantu adat limaya ritana lohea dalam pelaksanaan pesta upacara adat; (4) Sanro Kajang, bertugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat; (5) Anre Guru, bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; (6) Lompo Adat, bertugas mendampingi pesta upacara adat; (7) Galla‟ Maleleng, bertugas dalam urusan perbelanjaan dan keuangan. Ketiga, Bidang Akkeke Butta. Dalam bidang ini terdapat lima anggota dengan tugas pokok yaitu memelihara dan menjaga serta memperbaiki saluran air dan pengairan. Sesuai dengan namanya akkeke yang berarti penggalian tanah, anggotanya adalah Galla‟ Ganta, Galla‟ Sangkala, Galla‟ Sapo, Galla‟Bantalang, dan Galla‟ Batu Pajjara. Selain itu ada yang disebut Adat Pattambai Cidong, anggotanya ini terdiri orang-orang ahli dalam profesinya: 1. Laha Kareang, yaitu mantan kepala distrik atau mantan kareang Kajang. 2. Laha Adat, yaitu mantan Galarang atau mantan kepala desa. 3. Pattola Karaeng, keluarga dekat pejabat pemerintahan yang sedang memerintah. 4. Pattola Adat, yaitu keluarga dekat pemangku adat atau pemimpin adat. 5. Tau Toa Pa‟Rasangang, yakni orang-orang terpandang dalam masyarakat. 6. Panreta, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan khusus, seperti tukang kayu, pandai besi dan sebagainya. 7. Puahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang memiliki perkumpulan nelayan. 8. Urangi, yaitu pertukangan ahli kayu, dalam keahliannya adalah pertukangan untuk membuat rumah. Klasifikasi anggota-anggota tersebut, mereka tidak mempunyai tanggung jawab atas tugasnya dalam susunan adat, tetapi mereka disebut sebagai pallabbui rurung, pattambai cidong, dan panroaki bicara, artinya mereka adalah pelengkap ketika dalam memperpanjang barisan, pelengkap orang-orang yang duduk, serta turut dalam meramaikan pembicaraan. Kehadirannya tidak menggenapkan dan tidak mengganjilkan. Maksudnya mereka sebagai tim peramai dalam situasi apapun tetapi mereka tidak ada kepentingan dalam lembaga adat yang termaktub dalam Pasang. Dalam Pasang dijelaskan bahwa : Amma‟mana‟ ada‟, artinya: Amma melahirakan adat, dan Amma‟ mana‟ Karaeng, bermaksud Amma melahirkan pemerintahan. Oleh karena itu dalam komunitas adat Ammatoa mengenal struktur pemerintahan yang membentuk sebuah sistem pemerintahan dalam fungsi dan tugas yang jelas dalam urusan pemerintahan adat. Untuk lebih jelas kita lihat struktur pemerintahan adat Kajang Sulawesi Selatan sebagai berikut : Dengan terbentuknya para penjabat sebagai pembantu Ammatoa dalam mengatur masyarakat adat Kajang tidak begitu sulit dikarenakan pembagian tugas kepada gallareng atau jabatan cukup jalas dan keteguhan hati dalam melaksanakannya. Dari perangkat tersebut, sistem kemasyarakatan yang dipegang teguh serta sebagai prinsip hidup oleh masyarakat Ammatoa, seperti yang termaktub dalam Pasang: Lambusu‟ nuji nungkaraeng Gattannuji nu ada‟ Sabbara‟nuji nu guru Pesona nuji nu santro Artinya: Hanya kerena kejujuran engkau menjadi pemimpin. Karena ketegasanmu engkau menjadi pemimpin adat. Karena kesabaranmu engkau menjadi guru. Karena keikhlasanmu engkau menjadi dukun. Semua perangkat adat diharapkan sesuai dengan titah Pasang yaitu berhati sabar ketika menjadi seorang pemimpin, dan kepemimpinan adalah amanat yang dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya, serta kejujuran dalam kehidupan sehari-hari yang harus dikedepankan didalam masyarakat kawasan adat. Lebih lanjut akan menciptakan kesederhaan dalam kehidupan, bagi seseorang pemimpin tidak boleh berpola hidup mewah dari pada yang dipimpin. Dalam Pasang dikatakan: Punna kasi-kasi anne parasanganga Naminang karioloa kasi-kasi panggulunna Amamatoa Artinya : Andai dunia ini di takdirkan untuk hidup miskin, maka yang pertama kali miskin adalah pemimpinnya, Ammatoa. Mingka punna kalumannyangi anne parangsangangga Nakaminang ribokokoa kalumannyang panggulunna, Ammatoa Artinya: Kalau seandainya Tuhan berkehendak menciptakan bumi ini menjadi sejahtera dan kaya, maka yang paling terakhir merasakan adalah pemimpinnya, Ammatoa. Adapun tipologi sistem dalam pemerintahan atau sistem politik muncul dikarenakan adanya sebuah konsep Negara, hal ini tidak lepas dari peranan pola pemikiran pada masa tersebut. Tipologi ini akan muncul ketika pengambilan keputusan berdasarkan atas masyarakat yang dipimpinnya. Apakah menganut sosialisme, demokrasi, monarki dan sebagainya. Dalam prakteknya Ammatoa bukan dianggap oleh masyarakatnya seorang Raja, bukan juga mengartikan kawasan masyarakat adat Kajang sebuah sistem kerajaan, tetapi ada sebuah sistem pemerintahan yang melambangkan sebuah musyawarah. Ini terlihat dalam jabatan Ammatoa tidak sewenang-wenangnya jabatan diwariskan pada keturunannya, tidak heran ketika pergantian Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat adat suku Kajang menyerahkan kepada putra-putranya, karena pemilihan Ammatoa berdasakan dari semua orang yang ada didalam komunitas tersebut yang memiliki banyak kelebihan dari masyarakat biasa. Pemilihan Ammatoa hampir sama seperti pemilihan umum yang terjadi di pemerintahan formal, yaitu pemilihan langsung oleh masyarakat, tetapi mereka sudah mendapat firasat bahwa pemimpin mereka benar-benar peduli terhadap mereka. Pemilihan Ammatoa berdasarkan pandangan masyarakat tetang individu-individu yang ada di dalam masyarakat adat suku Kajang yang memiliki suritauladan dan etika sosial yang pantas dipuji, hal ini yang dikatakan oleh masyarakat pada suku Kajang tanda-tanda dari Tu Riek Arak‟na. E. Filosofi pakaian Dalam kehidupan masyarakat Kajang, wanita diwajibkan bisa membuat kain dan memasak. Sedangkan pria diwajibkan untuk bekerja diladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Bagi wanita membuat pakaian merupakan syarat untuk melangsungkan pernikahan, jika tidak mempunyai keahlian membuat pakaian, maka tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan. Proses pembuatannya dilakukan dengan cara tradisional mulai dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain. jika kita berkunjung ke daerah tanah toa, kita akan bertemu dengan orang orang dengan pakaian serba hitam, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki baik perempuan maupun laki laki. Baju, sarung hitam (tope leleng), sorban atau penutup kepala (passapu) yang semuanya berwarna hitam bagi laki laki, sedangkan untuk perempuan digunakan pakaian yang juga berwarna hitam. Selain itu, penggunaan alas kaki juga dilarang. Bagi masyarakat kajang warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna hitam dianggap sebagai lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, berbeda dengan warna warna mencolok seperti merah, biru dan kuning yang dianggap suatu kemewahan dan tidak sesuai dengan identitas masyarakat kajang. Jika kita memasuki daerah Suku Kajang, maka kita harus berpakaian serba hitam juga. 1. Pola pemukiman Masuk ke kawasan desa adat Ammatoa disambut oleh tanah bebatuan dan rerimbuan pepohonan besar di sepanjang jalan masuk. Hal tersebut tidak hanya ditemui pada jalan masuk melainkan seluruh kawasan desa yang sebagian besarnya memang msih merupakan kawasan hutan. Sedangkan nama Ammatoa adalah sebutan bagi kepala adat suku kajang, untuk komunikasi sehari-hari, mereka menggunakan bahasa konjo. Pola pemukiman penduduk di dalam kawasan adat hingga saat ini masih mempertahankan pola lama, terkait dengan sistem kepercayaan mereka yang masih kokoh. Poa pemukiman penduduk berkelompok setiap dusun, dengan bentuk rumah seragam. Arah bangunan rumah semua menghadap kiblat. Sebagai pembatas antara pemukiman dengan hutan keramat dibuat pagar yang tersusun dengan batu kali setinggi satu meter. Keunikan rumah penduduk dalam kawasan adat, tidak menggunakan bahan atau material dari industrial modern. Ketika kita naik kerumah, maka yang pertama didapati adalah dapur berdekatan dengan pintu masuk, lalu ruang tengah dan bilik bagian belakang adalah ruang tamu. "Terbuka. Harus'i taua terbuka. Jujuru. Apa nipallu harus'i taua naisse," kata Amma Toa yang artinya, "Terbuka dan jujur. Kita harus terbuka kepada tamu. Apa yang ada di dapur wajib diketahui oleh orang (tamu yang datang)". Selain itu, dengan memosisikan dapur di bagian depan, memudahkan tamu melihat perempuan di rumah tersebut. Karena, dalam aturan di Suku Kajang, salah satu sarat perempuan bisa dipersunting adalah bisa memasak. 2. Sumber Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan merupakan Topena Linua, yang berarti sumber oksigen sekaligus sumber kehidupan seluruh mahluk sekitarnya. Sebab itu, pengelolaan hutan tidak bisa secara personal, tetapi secara bersamasama. Untuk memastikan kehidupan ramah lingkungan itu, Masyarakat Adat Kajang memiliki hukum adat yang terdiri atas beberapa aturan. Salah satunya ialah „Jagai linoa lollong bonena, kammayya toppa langika siagang rupa taua siagang boronga‟ yang pada intinya ialah mengenai pemeliharaan Bumi serta isinya, demikian juga halnya langit, manusia, dan hutan. Hukum adat ini ditegakkan Ketua Masyarakat Adat Kajang yang disebut Ammatoa. Aturan atau prinsip lainnya ialah “Yamintu boronga akkio bosi ang ngenne erea nipake a‟lamung pare, baddo appa‟nia‟ timbusia”, yang artinya, itulah hutan yang menyebabkan turunnya hujan untuk digunakan menanam padi, jagung dan sebagainya. “Sebagian besar Masyarakat Adat Kajang ialah petani. Menanam padi, jagung, dan lain-lain. Dalam persiapan selama 12 bulan, kami bisa menghasilkan persediaan yang mencukupi kebutuhan selama tiga tahun, seperti yang kami simpan di atas ini,” tutur Ammatoa, sambil menunjuk lumbung di atas Bola Tammua (rumah)nya. Ammatoa yang tak berkenan mengungkapkan nama aslinya itu menyebut luasan hutan mereka mencapai sekitar 314 hektare. Ada empat sumber daya yang menjadi fokus utama dalam aturan tersebut, antara lain kayu, rotan, lebah, dan udang. Mereka yang kedapatan menebang atau merusak sumber daya alam itu didenda 12 real atau sekitar Rp 12.000.000,-. Sementara itu, mereka yang mengambil untuk kepentingan pribadi semata dikenai sanksi sedang dengan denda 8 real atau setara Rp 8.000.000,-. Masyarakat Suku Kajang dikenal dengan keterampilannya menenun. Hal ini dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat Suku Kajang. Seperti penuturan Juma, perempuan penenun di kawasan adat. Juma menenun sarung Kajang. Warna sarungnya hitam, dengan sedikit motif berwarna biru tua. Satu sarung dibandrol dengan harga dari Rp 800.000,- hingga Rp 1.000.000,-. Tergantung dari kualitas dan kerumitan dalam proses pembuatannya. Penenun di kawasan adat mayoritas perempuan. Dalam aturan yang dijelaskan Amma Toa, keterampilan menenun adalah salah satu syarat perempuan di Suku Kajang bisa dinikahi. BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Pola interaksi masyarakat Kajang Gambaran keseharian kehidupan masyarakat Kajang menggunakan bahasa konjo sebagai bahasa sehari-hari mereka yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat. Menggunakan bahasa konjo dalam berkomunikasi membuat mereka menjadi lebih nyaman saat berkomunikasi dan kecil kemungkinan akan terjadi kesalahpahaman saat berkomunikasi. Sedangkan ketika masyarakat adat Kajang Dalam menggunakan bahasa indonesia mereka mengalami kesulitan memaknai kata dan merasa tidak nyaman. Berbeda halnya dengan masyarakat Kajang Luar yang memahami bahasa indonesia. Saat pertemuan antar warga Kajang Dalam dan Kajang Luar mereka berkomunikasi menggunakan bahasa adat mereka. Proses interaksi masyarakat Kajang sangatlah terpelihara. Mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai antarsesama sekaligus antar masyarakat yang hidup di tempat berlainan. Bagi mereka, sebuah pantangan besar untuk berbicara kasar. Mereka dituntun untuk berbicara sopan, terlebih kepada orang yang lebih tua. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat kajang memang teguh ajaran leluhur yang di sebut “pasang ri kajang” yang berarti pesan di Kajang. Pesan ini bukanlah pesan sembarangan, akan tetapi pesan yang mengandung arti keseluruhan pengengetahuan segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang kepada seluruh masyarakat adat Tana Towa. Jika masyarakat Kajang melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. B. Penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang IPTEKS telah diterapkan di masyarakat Kajang, hal itu terlihat dari anakanak di komunitas adat Kajang juga sudah banyak bersekolah, bahkan anak dari Ammatoa sendiri menempuh pendidikan hingga keluar kota. Hal ini juga tidak lepas dari dukungan pemerintah berupa program sekolah gratis setingkat Sekolah Dasar (SD), dan program sekolah gratis setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Sekolah Menengah Atas (SMA). Masyarakat adat sangat memegang teguh adat istiadat, namun tidak melupakan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Mereka menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar kota. Walaupun anak-anak mereka mengenyam pendidikan formal dan mengenal teknologi, hal ini tidak membutakan anak-anak mereka akan dampak modernisasi dan melupakan budayanya. Mengeyam ilmu pengetahuan dan mengenal dunia luar yang tersentuh modernisasi merupakan suatu hal yang didapatkan oleh anak-anak masyarakat Adat. Namun, pada saat kembali ke kampung halaman mereka, apa yang didapatkan tersebut tidak membawanya masuk di kawasan adat karena masyarakat adat sangat menolak perubahan dan modernisasi, hal ini membuktikan bahwa walaupun mereka menempuh pendidikan dan mengenal teknologi, mereka sangat mematuhi aturan-aturan adat dan menjaga serta melestarikan apa yang menjadi adat istiadat dari nenek moyang mereka. C. Pola Kepemimpinan Adat Kajang Komunitas adat di kawasan Tana Towa masih kental akan adat istiadat yang mengikat masyarakat secara turun-temurun dalam kehidupan sehari-hari. Ammatoa merupakan jabatan bagi pemimpin tertinggi adat yang memegang keputusan tertinggi yang wajib dipenuhi oleh masyarakat Kajang Dalam. Pemilihan Ammatoa dilakukan dengan menggunakan ritual khusus yang hanya melibatkan para pemangku adat. Jabatan sebagai Ammatoa dan sebagai pemangku adat berlaku seumur hidup, kecuali jika melakukan pelanggaran seperti nganre soso‟ (korupsi) maka akan dipecat dari jabatan yang didudukinya sampai tujuh turunan tidak boleh menjabat sebagai pemangku adat. Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin adat, pemerintahan Ammatoa memiliki sedikitnya 27 orang pemangku adat yang membantunya. Pedoman aturan adat masyarakat kajang dalam disebut Pasang (pesan). Secara teknis aturan adat yang berupa pasang (pesan) yang disampaikan oleh Ammatoa secara lisan kepada para pemangku adatnya kemudian para pemangku adat tersebut yang menyampaikan kepada masyarakat Kajang Dalam secara menyeluruh. Rasa hormat dan penghargaan terhadap pemimpin tertinggi adat yaitu Ammatoa, sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang Dalam. Bukan hanya dengan orang dewasa yang sangat menghormati Ammatoa, tetapi para anak-anak juga mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap kepada pemimpin adat masyarakat Kajang Dalam tersebut. D. Filosofi pakaian dan Rumah Adat Kajang Masyarakat di Kawasan Adat Tana Towa dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan pakaian yang bernuansa hitam dan warna putih. Mereka hanya menggunakan warna-warna yang tidak mencolok sesuai peraturan adat. Pakaian hitam bagi masyarakat pada umumnya mengartikan hanya sekedar warna, namun untuk masyarakat adat Tana Toa yang hidup dengan kesederhanaan dan jauh dari perangkat modernisasi memaknai warna hitam tersebut sangat kental akan kesederhanaan dan kesakralan. Sarung hitam yang digunakan oleh para kaum pria merupakan buatan mereka sendiri dengan cara menenun. Bukan hanya pakaian pria saja yang tersedia, akan tetapi untuk wanita juga tersedia pakaian adat yang berwarna hitam pekat dinamakan baju bodo. Filosofi bangunan di kawasan adat Tana Toa sendiri, memiliki makna tersendiri. Rumah-rumah yang dibangun di atas tanah Kawasan Adat Tana Toa, menghadap ke arah barat. Barat diartikan sebagai sebuah arah dimana simbol nenek moyang mereka berada. Konsep bangunan rumah masyarakat adat terbilang seragam tanpa ada perbedaan, hal ini mengambarkan nilai kesederhanaan dan keseragaman. Mereka membangun rumah bukan menggunakan batu batu melainkan mereka menggunakan kayu. Adapun bagian-bagian rumah Suku Kajang juga memiliki fungsi. Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le‟leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak-60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggian para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang: para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka. Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang: Ata‟ ). Pada bagian muka dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpalaja, yakni atap pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga samakaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan daritempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/ Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khasyang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun). Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embriodan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Suku Amma Toa Kajang menganut ajaran Patuntung dengan berpedoman pada pasang ri Kajang yang mengandung arti sebagai pesan akan tetapi, pemahaman masyarakat adat Amma Toa, pasang bermakna lebih sekedar sebuah pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanah yang sifatnya sakral. 2. Makna fiosofi pakaian Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja yang di jadikan sakral tetapi juga warna putih Warna hitam di gunakan karena dapat menselaraskan dan bermakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. 3. Kepercayaan masyarakat Rie‟A‟ra‟na merupakan kajang keyakinan agama Patuntung. Masyarakat adat dan yang penghormatan paling Kajang terhadap Tu mendasar percaya dalam bahwa Tu Rie‟A‟ra‟na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. 4. Pola interaksi Masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa ialah mereka menganut dan bersandar pada Pasang ri kajang. Hal ini dapat di lihat ketika mereka berinteraksi, baik itu antara individu dengan individu (antar masyarakat), individu dengan kelompok (antar masyarakat dengan Amma Toa) dan kelompok dengan kelompok (antar pemangku adat dengan Amma Toa). 5. Pada penerapan IPTEKS, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, perkembangan IPTEKS tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka. Sebagian besar warga Ammatoa mengalami perubahan hanya sebatas di luar dan tidak memasukkannya ke wilayah Tana Toa, mereka tetap menjaga kelestarian budaya mereka dan tidak terkontaminasi dampak modernisasi. B. Saran Adapun saran yang ingin sampaikan dalam makalah ini, bahwa kita sebagai generasi yang akan meneruskan bangsa ini, harus tetap menjaga dan melestarikan budaya. Dan berusaha lebih keras untuk menggali mengenai informasi-informasi akan kebudayaan-kebudayaan terkhusus yang ada di Sulawesi Selatan, dengan ini kita bisa meningkatkan rasa cinta dan solidaritas terhadap sesama untuk tetap menjaga kebudayaan yang ada di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Akib, Yusuf. 2003. Potret Manusia Kajang. Makassar: Pustaka Refleksi Lembaga Penelitian dan Penerbitan Buku. Asriati, Nuraini. 2012. “Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah.” Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora 3 (2) : 106119. Elly M Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.(Cet. II; Jakarta: Kencana, 2011) Katu, Alim. 2005. Tasawuf Kajang. Makassar: Pustaka Refleksi Lembaga Penelitian dan Penerbitan Buku. Katu, Samiang. 2001. Pasang Ri Kajang “Kajian Tentang Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Kajian Islam dan Masyarakat IAIN Alaudin Makassar. Muhammad Ikbal, Ahmadin, Amirullah. 2018. Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 5 No . 3 Juli , 2018. file:///C:/Users/ACER/Documents /pendidikan %20formal.pdf. 28 Maret 2020. Munirah, Sirajuddin. 2000. Mencermati Makna Pesan di Kajang. Sulawesi Selatan: Citra Adi Bangsa. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press. Nursalam. 2016. Sosiologi Pengantar Masyarakat Indonesia. Writing Revolution. Makassar. Salle, Ilham Z. Akuntabilitasi Manuntungi : Memaknai Nilai Kalambusang Pada Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Vol. 6. Malang: Sekolah Tinnggi Ilmu Ekonomi Indonesia Makassar, 2015. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Cet. Ke-43; Jakarta: Rajawali Press, 2010) h. 55 Sudirman. 2017. “Proses Interaksi Komunitas Adat Kajang di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”. Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi. PMI Kesejahteraan Sosial. Universitas Islam Negeri Alauddin. Makassar. Susilo, Rachmad. 2014. Sosisologi Lingkungan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Usop, KMAM (1985) Pasang ri Kajang, Kajian Sistem Nilai Masyarakat Amma Toa dalam Mukhlis dan Kathryn Robinson (Eds). Agama dan Realitas Sosial. Makassar: LEPHAS. Wahyuni. 2012. Kehidupan Sosial Masyarakat KAjang. 7(2): 174-180. Internet: http://sma1kajang.blogspot.com/2011/06/kajang-ammatoa.html. Diakses 28 Maret 2020. https://www.academia.edu/12501444/tugas_membuat_skripsi. Diakses 28 Maret 2020. LAMPIRAN 1. DOKUMENTASI Gambar 1.1 Foto spanduk P. IPS Kekhususan Sosiologi Pascasarjana UNM Angkatan 2019 Gambar 1.2 Foto Pasang Ri Kajang di depan gerbang Desa Ammatoa Gambar 1.3 Foto Tata Tertib Desa Ammatoa Gambar 1.4 Foto Daya Tarik di Depan Gerbang Desa Ammatoa Gambar 1.5 Foto di depan gerbang Desa Ammatoa Gambar 1.5 Foto bersama di depan gerbang Desa Ammatoa 2. LAPORAN PENGANGGARAN Rincian Pengeluaran Buka Rekening Rp. 100.000,Ceklok Tanggal 15/02/2020 (Dirgahayu) 1. Mobil Rental 2. Bensin 3. Makan Siang 4. Cemilan Sore 5. Minuma 6. Permen Kopiko 7. Karcis Masuk Bira 8. Parkir di Bara 9. You C 10. Sopir 11. Panjar Penginapan = Rp. 500.000,= Rp. 270.000,= Rp. 202.000,= Rp. 108.000,= Rp. 36.000,= Rp. 10.000,= Rp. 85.000,= Rp. 20.000,= Rp. 20.000,= Rp. 200.000,= Rp. 500.000,- Total : 1.951.000,Keberangkatan Tanggal 07 & 08/03/2020 Transportasi (Nurul Khairi) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sewa bus 3 unit (3 x 3.400.000,-) = Rp. 10.200.000,Sewa mobil rental 2 unit (2 x 600.000,-) = Rp. 1.200.000,Uang Bensin Udin = Rp. 100.000,Parkir di Bara 3 unit bus (3 x 50.000,-) = Rp. 150.000,Parkir di Kajang = RP. 150.000,Kopi dan Rokok Sopir tgl 07/03/2020 = Rp. 150.000,Tgl 07/03/2020 Biaya bensin dan uang makan 2 unit mobil rental (2 x 1.500.000,-) = Rp. 3.000.000,1. 1.500.000,- (Mobil 1) Rincian Pengeluaran: - Premium = Rp. 230.000,- Ibu Desa Kajang = Rp. 200.000,- Jagung (60x 2) = Rp. 120.000,- Langsat 15 kg = Rp. 15.000,- Press Ban =Rp. 10.000,- Susu Beruang = Rp.10.000,- You C = Rp. 8.000,- Cemilan Dosen (Pergi) = Rp. 29.000,- Cemilan Dosen (Pulang) = Rp. 59.000,- Makan Siang Dosen (Pergi) = Rp. 216.000,- - Makan Siang Dosen (Pulang) Pertamina Bensin Transportasi Uang Parkir di Bara Total Terpakai = Rp. 152.900,= Rp. 170,054,= Rp. 20.000,= Rp. 50.000,= Rp. 60.000,= Rp. 1.350.000,- 2. 1.500.000,- (Mobil 2) Rincian Pengeluaran: - Total Terpakai = RP. 1.129.200,- Total Keseluruhan: 14.429.200,Perlengkapan (Ridwan) 1. Pelunasan Penginapan = Rp. 3.000.000,2. Masuk Bara - Kelas A = Rp. 319.000,- Kelas B = Rp. 315.000,- Kelas C = Rp. 315.000,3. Honor Dosen = Rp. 6.000.000,4. Ammatoa = Rp. 200.000,5. Kebutuhan Dosen = Rp. 60.000,6. Biaya penerjemah 2 orang ( 2 x 200.000,-) = Rp. 400.000,7. Perlengkapan Sebelum Berangkat (Kak Ridwan) Rincian - Spanduk 1 x 3m, 2 lembar+ 1 x 1 lembar = 35.000/m x 9 m =Rp 315.000 - I rol latban putih 1 buah =Rp 30.000 - Tissue 1 buah = Rp13.000 - Amplot 1 rim = Rp17.000 - Gabus piring =Rp 17.000 - Gelas 16 oz =Rp 67.600 - Hd. Sampah 90 x 110 cm =Rp 92.500 - Bensin =Rp 30.000 - Tali rapiah =Rp 5.000 - Baterai ABC X 20.000 =Rp 80.000 - Tabung gas =Rp 30.000 - Tempat pembakar jagung =Rp 20.000 Total Keseluruhan: 11.326.100,- Komsumsi (Ulfah Maulidhya) Dana : Rp. 11.000.000,00- Rincian Pengeluaran 1. 30 dus air botol 2. Catering Makassar 3. Kue Dosen Pas Berangkat 4. Snack dos 5. Catering Bulukumba 6. Amanda 7. Kantong hitam 8. Air panas dan galon 9. Kue pagi 10. Sabuk bakar 11. Jagung 12. Uang kopi + rokok 3 supir tgl 8/3/2020 13. Sunlight 14. Grab 15. Bensin 16. Parkir Parkir Tgl 3/3/2020 Parkir Tgl 4/3/2020 17. Tentengan Dosen Tas tentengan + kwitansi Isi tentengan > All merk 18. Bingkisan Amma Toa 10 gula >Rosebrand (10 x 12.500) 10 kopi > SP merah (10 x 11.700) 10 teh >Tehariwangi (10 x 5.100) 10 minyak goreng > Fortune 1 ltr (10 x 5.100) 19. Tambahan 4gula >Rosebrand (4 x 12.500) 2 kopi > SP merah (2 x 23.200) 3 teh >The sariwangi (3 x 5.100) 20 permen > All merk Tisu > All merk 1 gula = 1.800.000 = 1.800.000 = 50.000 = 380.000 = 5.400.000 = 84.000 = 25.000 = 55.000 = 15.000 = 45.000 = 225.000 = 150.000 = 5.000 = 33.000 = 50.000 = 3000 = 5000 = 23.000 = 96.300 = 125.000 = 117.000 = 51.000 = 121.000 = 50.000 = 46.400 = 15.300 = 107.500 = 104.100 = 14.000 Total Total Uang terpakai = 10.945.600 = Rp. 38.751.900,- 3. DAFTAR HADIR MAHASISWA 1. Andy Ganing (1910502030001) 2. Dirgahayu (1910502030002) 3. Mardi Lestari (1910502030003) 4. Musdalifah (1910502030004) 5. Wahyudin (1910502030005) 6. Resty Rahayu Darmayanti (1910502030006) 7. Muthiah Rahmi (1910502030007) 8. Marhamah (1910502030008) 9. Aan Wildana Putra (1910502030009) 10. Marwati (1910502030010) 11. Nur Syahdi Abdi (1910502030011) 12. Murni (1910502030012) 13. Ramlah (1910502030013) 14. Andi Kartika Andryani (1910502030014) 15. Nurmagfirah (1910502030015) 16. Mildayanti (1910502030016) 17. Hasanudin Kasim (1910502030017) 18. Ulfah Maulidhya (1910502030018) 19. Ashari Ramlan (1910502030019) 20. Anugrah Mattewakkang (1910502030020) 21. Nurwahida (1910502030021) 22. Arwina Fadhilah (1910502030022) 23. Syahrul Alamsyah (1910502030023) 24. Abd. Rachman (1910502030024) 25. April Cahaya (1910502030025) 26. Nur Wahida Yusuf (1910502030026) 27. Khairunizha Medina (1910502030027) 28. Muh. Rijal (1910502030028) Makassar, 15 Februari 2020 Nomor : 1246/UN.36/10/KM/2020 Lamp. : Perihal : Surat Perizinan Kepada Yth, Kepala Desa Tanah Toa, Kec. Kajang Di – Tempat Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Segala puji bagi Allah yang telah memberikan begitu banyak nikmat kepada para hamba-NYA. Shalawat dan salam tercurah bagi hamba-Nya yang mulia Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam sebagai suritauladan manusia. Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Program Studi Budaya oleh Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Pendidikan IPS, Universitas Negeri Makassar yang akan dilaksanakan pada : Hari Waktu Tempat : Ahad / 8 Maret 2020 : Pukul 10.00 – 14.00 : Desa Tanah Toa, Kec. Kajang Maka dengan ini, kami bermaksud untuk memohon kepada Bapak/Ibu Kepala Desa agar kiranya bersedia memberikan izin untuk bisa memasuki kawasan Desa Tanah Toa, Kec. Kajang guna berjalan lancarnya kegiatan kami ini. Demikian surat permohonan izin ini, atas seluruh perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Panitia Pelaksana, Ketua Panitia Mengetahui, Ketua Prodi Pendidikan IPS Nurul Khairi Nurdin Prof. Dr. Darman Manda, M. Hum NIP. 196501031990031001 1. 2. Muh. Rijal, S.Sos 191050203028 0813-4001-9870 [email protected] Resty Rahayu Darmayanti, S.Pd 191050203006 0852-4089-0043 [email protected] 3. Syahrul Alamsyah, S.E 191050203023 0823-4406-7830 [email protected] 4. Marwati, S.Pd 191050203010 0852-8557-2888 [email protected] 5. Wahyudin, S.Pd 191050203005 0812-4262-5494 [email protected] 6. 7. Ramlah, S.Pd 191050203013 0823-9652-1589 [email protected] Aan Wildana Putra, S.Pd 191050203009 089-9084-8629 [email protected] 8. 9. 10. Arwina Fadhilah, S.Sos 191050203022 0822-9383-4036 [email protected] April Cahaya, S. Pd 191050203025 0823-4558-7715 [email protected] Khairunizha Medina, S.Pd 191050203027 0823-9472-9711 [email protected] 11. Anugrah Mattewakkang, S.Pd 191050203020 0853-4207-0205 [email protected] 12. Musdalifah, S.Pd 191050203004 0823-2883-8625 [email protected] 13. Nur Syahdi Abdi, S.Pd 191050203011 0877-8486-4321 [email protected] 14. Ulfah Maulidhya, S.Pd 191050203018 0823-4935-3853 [email protected] 15. 16. Mardi Lestari A, S.Sos 191050203003 0813-2649-4349 [email protected] Muthiah Rahmi, S.Pd 191050203007 0823-1160-5250 [email protected] 17. Hasanudin Kasim, S.Pd 191050203017 0823-4194-2316 [email protected] 18. Dirgahayu, S.Pd 191050203002 0853-9856-5864 [email protected] 19. 20. 21. Andy Ganing, S.Sos 191050203001 0853-4384-9141 [email protected] Nurwahida, S.Pd 191050203021 0853-9414-1072 [email protected] Ashari Ramlan, S.Pd 191050203019 0823-9333-1515 [email protected] 22. Marhamah, S.Pd 191050203008 0823-4804-0288 [email protected] 23. Mildayanti, S.Pd 191050203016 0823-4708-5308 [email protected] 24. 25. Andi Kartika Andryani, S.Sos 191050203014 0823-9363-3060 [email protected] Murni, S. Pd 191050203012 0852-4286-9024 [email protected] 26. Abd. Rachman, S. Pd 191050203024 0853-4095-8039 [email protected] 27. Nurmagfirah, S. Sos 191050203015 0852-4280-2440 [email protected] 28. Nur wahida Yusuf, S.Pd 191050203026 0812-6089-8597 [email protected]