Uploaded by User62745

FIKS TUGAS KAJANG SOSIOLOGI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional yang terletak di
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Daerah Kajang terbagi atas 8 Desa dan
6 Dusun, Namun perlu diketahui secara geografis. Kajang dibagi atas 2 wilayah
yakni Kajang luar dan Kajang dalam.
Kajang luar ialah daerah yang sudah terbiasa menerima modernisasi,
berbeda halnya dengan Kajang dalam yang masih memegang teguh nilai-nilai
budaya yang sudah ada sejak dulu. Suku kajang, yang merupakan salah satu suku
terkenal di Sulawesi Selatan, yang di kenal dengan pakaian hitamnya. Masyarakat
ini bermukim di Desa Tana Towa.
Kajang dalam atau Desa Tana Towa sangat jauh berbeda dengan daerahdaerah lain pada umumnya. Ditengah era globalisasi atau modern saat ini,
Masyarakat Kajang dalam tidak mudah terpengaruh terhadap hal-hal yang berbau
modern. Masyarakat tersebut sangat menjunjung tinggi kebudayaannya,
kehidupan masyarakat Kajang dalam sangat memegang kuat tradisi dan pola
hidup yang juga senantiasa harmonis dengan alam.
Desa Tana Towa, di bawah kepemimpinan adat yang dipegang oleh satu
orang dijuluki dengan sebutan Ammatoa yang berarti bapak atau yang dituakan di
Desa tersebut. Ammatoa memegang kepemimpinan seumur hidup sejak setelah ia
dinobatkan melalui upacara adat.
Masyarakat di Desa Tana Towa identik dengan pakaian yang seba hitam
dan juga memiliki nasihat atau berbagai peraturan adat “Pasang Ri Kajang” yang
dipesankan secara turun temurun dari Ammatoa pertama. Bukan hanya
masyarakatnya saja yang menarik, tetapi juga berbagai ritual atau perayaan seperti
acara pemakaman yang dilakukan di Desa Tana Towa, penerapan IPTEKS untuk
anak-anak mereka, juga model kepemimpinan masyarakat Kajang dalam dan juga
terdapat keunikan pada pakaian dan model bangunan Rumah di Desa Tana Toa.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pola interaksi masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar?
2. Bagaimana penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang?
3. Bagaimana pola kepemimpinan Masyarakat Kajang?
4. Bagaimana filosofi pakaian dan Rumah di Kajang?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan ini adalah
1. Untuk mengetahui pola interaksi masyarakat Kajang Dalam dan Kajang
Luar
2. Untuk mengetahui penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang
3. Untuk mengetahui pola kepemimpinan masyarakat Kajang
4. Untuk mengetahui filosofi pakaian dan rumah di Kajang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat Adat Amma Toa Kajang
Suku Amma Toa Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman
Sulawesi Selatan yang berada dalam wilayah administrasi Desa Tanah Towa,
Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, berjarak ± 56 km dari Kota
Bulukumba. Desa Tanah Towa terdiri atas 9 dusun, 7 dusun di antaranya berada
dalam Komunitas adat Kajang. Komunitas adat tersebut dipimpin oleh seorang
yang bernama Amma Toa yang merupakan gelar bagi orang yang terpilih menjadi
pemimpin adat. Kawasan adat ini dikenal dengan nama Ilalang Embaya,
sedangkan di luar kawasan adat disebut Ipantarang Embaya. Penduduk Desa
Tanah Towa, baik yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa Kajang maupun
yang ada di luar kawasan adat digolongkan sebagai subsuku dari suku bangsa
Makassar. Bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari, adalah
bahasa Konjo.
Suku Amma Toa Kajang menganut ajaran Patuntung dengan berpedoman
pada pasang ri Kajang. Secara harfiah, pasang mengandung arti sebagai pesan
akan tetapi, pemahaman masyarakat adat Amma Toa, pasang bermakna lebih
sekedar sebuah pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanah yang sifatnya sakral.
Secara tidak langsung, pasang dapat dikatakan sebagai kalimat-kalimat atau
ungkapan-ungkapan suci yang berisi pesan-pesan lisan dan disampaikan dari
mulut ke mulut (Salle, 2015). Pasang merupakan pencerahan atau penuntun hidup
bagi masyarakat adat Amma Toa, pasang menyimpan pesan-pesan luhur yang
bermakna bahwa masyarakat adat harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Bagi
masyarakat adat Amma Toa, memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan,
menjadi suatu keharusan bagi mereka untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal.
Pasang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua
aturan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia
dengan manusia, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya (alam). Selain
itu, isi pasang bercerita tentang masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan
datang yang merupakan sebuah pesan-pesan moral atau kebajikan dan hakikathakikat kebenaran.
Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam
kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang
diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh
komponen komunitas, tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur
yang disampaikan secara turun-temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai
sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada setiap orang yang telah
melakukan pelanggaran. Dalam hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam
arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi,
sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi: “Anre nakulle nipinrapinra punna anu lebba” Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa diubah
lagi.
1. Makna Filosofis Warna Hitam
Warna hitam bagi suku Adat Ammatoa adalah sebagai lambang kejujuran
dan harus di patuhi karena merupakan sebuah pesan dari nenek moyangnya atau
pesan dari Turiek Akrakna. Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja
yang di jadikan sakral tetapi juga warna putih karena mereka percaya dan
menganggap bahwa di dunia ini hanya ada gelap dan terang. Warna hitam di
gunakan karena dapat menselaraskan dan bermakna sederhana. Sedangkan putih
hanya bisa digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. Namun,
tetaplah warna hitam dijadikan sebagai warna sakral karena dapat bermakna
persamaan derajat tanpa membeda-bedakan.
2. Kepercayaan Orang Kajang Dan Upacara Kematiannya
Masyarakat Ammatoa mempraktekkan sebuah agama adat yang disebut
dengan Patuntung. Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber
kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth).
Ajaran Patuntung mengajarkan, jika manusia ingin mendapatkan sumber
kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu
menghormati Tu Rie‟A‟ra‟na (Tuhan), tanah yang diberikan Tu Rie‟A‟ra‟na, dan
nenek moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tu
Rie‟A‟ra‟na merupakan
suatu
keyakinan
yang
paling
mendasar
dalam
agama Patuntung.
Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Tu Rie‟A‟ra‟na adalah pencipta
segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
Tu Rie‟A‟ra‟na menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam
bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia
pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun,
pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan
pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan
dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari
generasi ke generasi (Usop, 1985).
Pasang tersebut wajib ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat
adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal
buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang
berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki” (Artinya: Kalau kita
jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh).
Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan
dilaksanakan
oleh
manusia, Tu
Rie‟A‟ra‟na memerintahkan Ammatoa untuk
menjaga, menyebarkan,dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam
masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antara Tu
Rie‟A‟ra‟na dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat
Kajang, Ammatoa merupakan
manusia
pertama
yang
diturunkan
oleh Tu
Rie‟A‟ra‟na ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama
kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi
tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat
ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di
muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu
mengikuti perintah Tu Rie‟A‟ra‟na atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To
Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang yang
menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi
permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia
sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa.
Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima
sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka
mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat
pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung
sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan mengikuti
segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka
dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai
nama komunitas mereka.
Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman di daearah Kajang pada umumnya, sama dengan
upacara pemakaman umat islam lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dan
disholati. Tapi, pada saat ingin dikuburkan ada 4 tingkatan pemakaman yaitu:
Jika Amma Toa yang meninggal, maka kedalamannya sampai setinggi
orang yang menggali kubur tersebut, dan hanya orang tertentu yang diperbolehkan
untuk melakukannya, dan diatas pemakamannya, diberikan semacam rumahrumah yang di mana atapnya, terbuat dari daun rumbiah. Jika yang meninggal
adalah kepala suku, maka kedalaman pemakamannya setinggi leher orang
dewasa. Jika yang meninggal adalah kepala desa atau yang mempunyai jabatan
yang sederajat, kedalaman pemakamannya adalah sampai dada orang dewasa, dan
apabila yang meninggal hanya masyarakat biasa, kedalaman pemakamannya
hanya setinggi pusar orang dewasa.
PEMAKAMAN AMMATOA
Orang yang dibutuhkan pada saat memandikan jenasah, sekurangkurangnya 2 sampai 4 orang dari keluarganya sendiri, dan jenasahnya dimandikan
2x. Jika anak-anak yang baru saja dilahirkan kemudian meninggal, hanya 1 orang
yang boleh memandikannya. Tergantung dari orang yang mahir dan orang yang
mengurus kematiannya adalah keluarganya sendiri.
26 Adat yang dipakai saat ada orang yang meninggal disebut
dengan kamateang ki dirapi, yang datang Ammatoa, Imam dusun, Kepala dusun,
Ketua RT, dll. Dalam melakukan tausiyah, berbeda dengan tausiyah yang
dilakukan
dengan
umat
islam
pada
umumnya, yaitu
dimana
masyarakat Kajang Ammatoa, hanya berkomunikasi, sampai seratus hari tanpa
henti kepada keluarga yang ditinggalkan. Dimulai setelah 3 s/d 5 hari, acara
disiarai 7 s/d 10 malam, 20 malam dibacakan doa namanya dikulli. Hari
pertamanya dipotongkan kerbau (tedong). 12 kain kafannya, 12 siku panjangnya,
dan siku bawahnya 2 lembar. Sesudah dimandikan, kemudian dibungkus,
disembahyani oleh imam dusun. Kuburan dijenguk/disiarai 3x sehari, pagi, siang,
sore.
Orang yang bersiap-siap 3x sehari untuk keselamatan akhirat, berdoa
diberikan keselamatan. Hari kematiannya digendangkan benrong, benrong
dibunyikan apabila semua orang telah dating. Kuburannya diteduhkan, jika
perempuan 2 tenda dan jika laki-laki 1 tenda. Di Kajang tidak ada Tausiyah yang
ada hanya addanang.
Jika perempuan meninggal hanya memakai baju dalaman, tidak
diperbolehkan tertawa karena kalau tidak disebut menghina. 20 malamnya
memotong tedong, ayam, dan uhu‟-uhu‟. Orang bernyanyi basing untuk diakhirat.
Basing baruga untuk menjemput tamu, kalau bernyanyi tidak boleh sembarangan.
Jika ada yang meninggal tetap berpakaian hitam-hitam, dan perempuan yang
modern memakai jilbab namun di Tanatoa tetap mengikuti adat tidak memakai
jilbab hanya dililitkan ke kepala (massimboleng).
PEMAKAMAN DI DESA AMMATOA
B. Pola Interaksi Masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial, kenyataan tersebut menyebabkan
manusia tidak akan dapat hidup normal tanpa kehadiran manusia yang lain.
Hubungan tersebut dapat dikategorikan sebagai interaksi sosial. Adapun
pengertian interaksi sosial menurut para ahli dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
berkaitan dengan orang perorangan, kelompok perkelompok, maupun
perorangan terhadap perkelompok ataupun sebaliknya. (Setiadi & Kolip,
2011: 63)
2.
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
(Soekanto, 2010: 55)
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengertian interaksi sosial adalah
hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia yang lain, baik secara
individu maupun dengan kelompok.
Ammatoa adalah kepala adat di suku Kajang yang sangat memegang teguh
kitab lontara. Pesan di Kajang (Pasang ri Kajang) menyimpan pesan-pesan luhur,
yakni penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus
memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga
diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga
mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaikbaiknya. Secara turun temurun, penduduk Tana Toa yang tinggal di Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba. dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan
mereka menyebutnya, Tana Toa. Suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok,
Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh
desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun
Benteng.
Masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa dalam berinteraksi mereka
menganut dan bersandar pada Pasang ri kajang. Hal ini dapat di lihat ketika
mereka berinteraksi, baik itu antara individu dengan individu (antar masyarakat),
individu dengan kelompok (antar masyarakat dengan Amma Toa) dan kelompok
dengan kelompok (antar pemangku adat dengan Amma Toa).
1. Antar Individu (Antar Masyarakat)
Masyarakat adat kajang yang masih memegang teguh adat-istiadat
senantiasa menanam perilaku tolong-menolong terhadap sesama masyarakat.
Dalam pergaulan di masyarakat, mereka menjadikan lingkungan sebagai alat
utama pembentuk sikap tolong-menolong. Walaupun ada beberapa pandangan
yang menganggap bahwa sikap itu sudah di bawah sejak lahir, tetapi masih
membutuhkan lingkungan sebagai tempat sosialisasi dalam mengembangkan
sikap tolong-menolong tersebut. Masyarakat adat kajang sebagai masyarakat yang
menjunjung tinggi sikap menolong (rera) dan merupakan suatu norma dalam
hubungan antar individu (masyarakat) membuat perilaku tolong-menolong tidak
asing bagi masyarakat kajang. Palasa (37 Tahun) selaku warga masyarakat Kajang
mengatakan bahwa: “masyarakat adat kajang sangat menjunjung tinggi perilaku
tolong-menolong, hal ini dibuktikan ketika ada seseorang warga yang membangun
rumah, maka semua masyarakat yang berada di kawasan adat Amma Toa, mereka
berbondong-bondong untuk datang membantu.
(“injo masyarakat ri kajangnga sanna na hargai sipa‟ assibantu-bantu
konjoi ni gitte punna rie tau tumbaung balla, injo masyarakat yang ngase
ia lalang ri kawasan adat amma toa a‟rurung-rurungi mange ambantu ”
palasan(37 tahun))
Sama halnya dalam membajak sawah, masyarakat selalu ikut serta
membantu karena apabila mereka tidak datang maka akan dikena sanksi (adat).
Oleh karena itu, mereka selalu tolong menolong dalam mengerjakan suatu hal.
Masyarakat kajang dalam juga lebih banyak berinteraksi dengan sesama orang
kajang dalam, hal itulah yang mengakibatkan masyarakat kajang dalam
mengalami hambatan saat berinteraksi sosial dengan partisipan yang berbeda
etnik. Proses komunikasi sesama masyarakat kajang dalam terdengar khas dan
kurang mengalami hambatan sebab masyarakat kajang dalam menggunakan
bahasa yang sama yaitu (bahasa konjo).
2.
Individu dengan Kelompok (Antar Masyarakat dengan Amma Toa)
Komunitas adat Ammatoa yang masih kental akan adat-istiadat yang
mengikat masyarakatnya secara turun temurun dalam kehidupan sehari-hari.
Ammatoa adalah Palasa (37 Tahun), Warga Ammatoa, Wawancara, jabatan bagi
pemimpin tertinggi adat yang memegang keputusan tertinggi yang wajib dipatuhi
oleh masyarakat kajang. Rasa hormat dan penghargaan terhadap pemimpin
tertinggi adat yaitu Ammatoa, sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat kajang dalam. Bukan hanya anak-anak yang sangat menghormati
Ammatoa, tetapi para orang dewasa juga mengetahui bagaimana seharusnya
bersikap kepada pemimpin adat masyarakat kajang dalam tersebut. Dalam
kehidupan masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa tetap memegang prinsip
hidup “Tallase Kamase-mase” (kesederhanaan).
(“jabatan pamarentah nukambiangngia keputusan paling tinggi nukkulea
napatuhi masyarakat kajang. Nikangalikang nani hargai mange ri
pamarentah paling tinggi ia mintu amma toa.konjomi ri itte rikehidupan
allo-allona masyaraka‟ kajang kaminang lalang. Tania angkau anakanakji angkangalikangngi amma toa, manna tau toa na isse‟ji antere
kamua mange sipa‟a mange ri pamatentah masyaraka‟ kajangnga.
Rilalang kehidupanna masyaraka‟ adat kajang ri desa tanah toa tattai ri
kambiang prinsip kehidupan “tallasa kamase-mase” ”)
Hidup kamase-mase bermula dari seorang pemimpin yang lebih dikenal
dengan sebutan Ammatoa, ketika Ammatoa sudah dinobatkan sebagai pemimpin
adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual di Desa Tana Toa Kajang, seorang
pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa adanya tanpa harus
mengejar materi. Tallase kamase-mase merupakan salah satu prinsip hidup yang
terkandung dalam Pasang ri kajang. Pasang ri kajang tersebutlah yang menjadi
pedoman dan perilaku hidup masyarakat kajang yang juga di dalamnya
mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada pemimpinnya.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bapak Appe (37 Tahun)
mengatakan bahwa: “kalau terjadi gagal panen atau musim paceklik, maka orang
yang pertama merasakan lapar adalah Ammatoa. sebaliknya, jika panen berhasil,
maka para masyarakat adat kajang yang harus lebih dahulu dipersilahkan untuk
menikmatinya, Ammatoa kemudian belakangan. Sikap kepemimpinan yang
dicontohkan oleh komunitas kajang di Desa Tana Toa tentunya berbanding
terbalik dengan sikap pemimpin masyarakat pada umumnya”.Appe, (37 Tahun),
Warga Ammatoa, Wawancara
(“punna gagal panangngi, injo tau pertama kapa‟reang iamintu
ammatoa,
passibalekangna
punna
berhasil
ii
panengnga
injo
masyaraka‟a rikajang ia loro ri suro annikmati ii,amma toa ribokopi,
sippa‟ pemimpin nuna contohkan ia tukajang ri desa tanah toa tantui
sibalekang na sipa‟na pamarentah ri masyarakat umumnga ”.Appe, (37
Tahun), Warga Ammatoa, Wawancara ”)
3. Kelompok dengan Kelompok (antar pemangku adat dengan Amma Toa)
Secara tradisional masyarakat di desa Tana Toa dipimpin oleh seseorang
yang bernama Ammatoa, gelar Ammatoa diberikan kepada seseorang yang pantas
untuk menjadi pemimpin. Kedudukan Ammatoa adalah seumur hidup, artinya
sampai orang yang sudah dilantik jadi Ammatoa meninggal dunia. Setelah itu
dipilih lagi Ammatoa baru yang harus memenuhi kriteria tertentu yang merupakan
sesuatu yang gaib, artinya mendapat petunjuk dari Turiek Akrakna untuk
melakukan beberapa hal sebelum jadi Ammatoa. Ammatoa yang dibantu dengan
beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan ada‟
limayya karaeng tallu.
Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu
memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam mengurusi masyarakatnya.
Ammatoa sebagai pemimpin adat di desa Tana Toa dalam menunaikan tugas yang
diamanahkan oleh Turiek Akrakna dibantu oleh sejumlah pemangku adat yang
terdiri dari ada‟ limayya, karaeng tallua, lompo ada‟ dan aparat adat lainnya.
Ammatoa dengan para pemangku adat memiliki tanggungjawab yang besar
terhadap seluruh masyarakat adat kajang, melaksanakan amanah secara jujur,
tegas dan konsisten. Ammatoa secara lisan menyampaikan kepada para pemangku
adat kemudian para pemangku adat tersebut yang menyampaikan kepada
masyarakat kajang dalam secara menyeluruh. Ammatoa, (72 Tahun), Pemimpin
Adat, Wawancara.
(“amma toa pamarentah paling tinggia lalang masyaraka‟ tantumi sannai
berkuasa lalang angurusui masyaraka‟na, amma toa lalang ammarentah
ri desa tanah toa lalang anjama ri percayai oleh turiek a‟rakna ribali ii ri
pemangku ada‟ lalangna injo batturi ada‟ limayya . karaeng tallua, lompo
ada‟ na battu ri pamarentah maraengngang, amma toa surang
pamarentah maraeng rie tanggung jawab bakka‟na mange ri masyaraka‟
kajang. Najamai pasang secara jujur, terasa na toje‟toje‟. Amma toa
lalang a‟bicara mange ri pamarentah maraengnga, maengnginjo
pemarentah maraeng napallantei mange ri yangaseiiya masyraka‟
kajang)”
Didesa ammatoa interaksi sosial sudah terjadi tetapi hanya sesama orang
desa saja karena untuk berinteraksi dengan warga desa yang diluar kajang sedikit
memiliki kesulitan, karena jika warga kajang dalam ingin berinteraksi harus
keluar desa terlebih dahulu. Karena budaya yang dimiliki desa kajang dalam
dengan desa kajang luar memilki kebudayaan yang berbeda. Tetapi, menurut kami
tidak menutup kemungkinan kalau Budaya dari desa kajang dalam dapat berubah
karena perkembangan zaman serta pola interaksi masyarakat sekarang sudah
dalam keadaan modernisasi. Jadi, pola interaksi pun akan sangat berperan penting
dalam proses ini. Pola interaksi dari desa kajang hampir sama dengan pola
interaksi di desa-desa lainnya hanya yang membedakannya yaitu dari segi sanksi
jika melanggar aturan.
C. Penerapan IPTEKS di Kajang
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) dewasa
ini memiliki pengaruh yang teramat besar dalam kehidupan umat manusia.
Demikian hebat pengaruh yang dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia di dunia dapat diperoleh dengan mempertuhankan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni melahirkan dampak positif dalam kehidupan
umat manuisia. Tetapi pada sisi lain juga membawa pengaruh yang negatif
terhadap kehidupan umat manusia.
Kajang tidak sekedar nama wilayah di kabupaten Bulukumba, Kajang
identik dengan kepercayaan. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan keseharian
dengan pakaian seragam “hitam-hitam” tapi juga keyakinan mereka yang teguh
dan tak tergoyahkan yang dianut selma ini.
Kajang juga disebut komunitas
Ammatoa dengan corak pakaian hitam-hitam. Diantara suku bangsa yang ada di
propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan kajang, terdapat
satu kelompok masyarakat
yang kokoh memegang tradisinya. Mereka
mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek
moyangnya dan cenderung kurang menerima, bahkan sebagian ditolak sama
sekali hal-hal baru (medernisasi).
Mengenai pendidikan, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan
pendidikan bagi mereka dan anak-anaknya. Buktinya ada beberapa warga
Ammatoa yang menjadi tokoh pendidikan di kalangan manusia yang telah
mengalami banyak pergeseran (modernisasi). Akan tetapi, perkembangan IPTEKS
tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka
sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka. Hal ini dapat
dibenarkan, karena setelah melakukan pengamatan langsung, memang masyarakat
kajang seperti tidak mengenal perubahan teknologi di luar ammatoa. Alat
teknologi seperti TV, Radio ataupun sepeda tidak bisa di jumpai di daerah kajang
(Ammatoa), kehidupan mereka sangat alami.
1. Faktor Pendorong Perkembangan Pendidikan Formal di Kajang
Kontak dengan kebudayaan lain dapat menyebabkan manusia saling
berinteraksi dan mampu menghimpun penemuanpenemuan baru yang telah
dihasilkan. Penemuan-penemuan baru tersebut dapat berasal dari kebudayaan
asing atau merupakan perpaduan antara budaya asing dengan budaya sendiri.
Proses
tersebut
dapat
mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan
memperkaya kebudayaan yang ada.
Komunitas adat Kajang di bawah kepemimimpinan Amma Toa telah
membangun
hubungan-hubungan
kerajaankerajaan besar di Sulawesi
dengan
masyarakat
luar
diantaranya
Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone.
Pengalaman dalam membangun kerjasama terasebut, sekarang ini secara langsung
bisa dilihat dengan aksebilitas komunitas adat Kajang dengan pihak luar semakin
mudah dan bisa kita saksikan sebagai pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan
studi dan berbagai aktivis lainnya.
Keunikan adat istiadat komunitas Adat Kajang menarik banyak orang
untuk mengetahui lebih jauh kehidupan kemunitas adat Kajang. Baik kehidupan
sehari-hari ,maupun upacara-upacara adat yang biasa mereka lakuakn.Bukan
hanya orang biasa yang sekedar datang untuk berlibur, tapi juga orang-orang yang
berpendidikan banyak yang melakukan penelitian tentang komunitas Adat Kajang.
Orang-orang yang sering berkunjung tersebut tidak jarang yang tinggal
dalam waktu yang cukup lama di Desa Tanah Towa dan berinteraksi dengan
komunitas adat Kajang. Komunitas adat Kajang sesekali keluar dari Desa Tanah
towa untuk kepentingan keluarga ataupun untuk pemenuhan kebutuhan seharihari. Interaksi yang terjadi antara orang-orang dari luar komunitas adat Kajang
menimbulkan adanya proses saling mempengaruhi sikap dan perilaku dari
masing-masing pihak. Keterbukaan komunitas adat Kajang dapat juga dilihat
dengan adanya pembagian wilayah Desa Tanah Towa menjadi dua bagian yaitu
Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya.
Pada wilayah Ilalang Embayya tidak dibolehkan adanya pembangunan
jalan yang beraspal, tidak dibolehkan masuknya kendaraan bermotor, juga tidak
dibolehkan adanya listrik. Wilayah Ilalang Embayya ini sengaja dipertahankan
tetap alami, salah satunya adalah untuk tetap menjaga pelestarian hutan. Selain itu
juga merupakan wilayah bagi komunitas Kajang untuk tetap hidup sedrhana
dengan prinsip hidup kamasemasea. Wilayah ipantarang embaya sebagai tempat
bagi komunitas adat Kajang untuk dapat bisa menuntut pendidikan formal,karena
sekolah tidak bisa dibangun di Kajang dalam. Komunitas adat Kajang tidak
pernah menutup diri dari masyarakat di luar komunitasnya. Demikianlah juga
orang-orang yang dating ke komunitas Kajang selalu diterima dengan baik.
Kerjasama dengan pemerintah juga dijalin dengan baik,hal ini di lakukan dengan
memasukkan aparat pemerintah sebagai pemangku adat.
Program pendidikan formal dapat meningkat karena komunitas adat
kajang dapat menerima program pendidikan formal sebagai upaya untuk
meningkatkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Orang tua memberikan
dukungan yang besar bagi anak-anaknya untuk bersekolah bukan hanya di Desa
Tanah Towa saja tapi juga ke daerah lain, bahkan sampai di Makassar. Sudah
banyak anak-anak dari Desa Tanah Towa yang mengikuti pendidikan tinggi di
Makassar baik yang berasal dari ilalang Embaya maupun dari ipantarang
Embaya. Sikap yang sangat terbuka dari komunitas adat Kajang terhadap
pembauran dengan masyarakat lain, termasuk penerapan program pendidikan
formal yang terdapat memberikan perubahan bagi komunitas Kajang, misalnya
dengan banyaknya komunitas Kajang yang tidak tinggal di ilalang embaya karena
harus menempuh pendidikan di daerah lain. Demikian juga jika sudah bekerja
tidak jarang yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan di daerah lain.
Sikap terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertical atau horizontal
yang
lebih
luas
kepada
anggota
mayarakat.
Masyarakat
tidak
lagi
mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya.
Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan
kemampuan dirinya. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan
membuat masyarakat selalu berfikir maju dan mendorong terciptanya penemuanpenemuan baru yang di sesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
Ikhtiar harus selalu dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya
yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
Pendidikan formal diharapkan oleh pemerintah dapat meningkatkan mutu
sumber daya manusia sehingga dapat bersaing dalam era globalisasi. Bagi
komunitas adat Kajang pendidikan formal yang ditempuh diharapkan dapat
meningkatkan tarap hidup mereka menjadi lebih baik. Orang tua berharap
anakanaknya nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Harapan orang
tua ini yang menyebabkan mereka berusaha agar anaknya dapat bersekolah.
2. Integrasi Nilai-nilai Budaya yang berkarakter ke dalam Pendidikan
Nilai-nilai luhur yang dapat diimplementasikan ke dalam pendidikan
karakter konservasi dari kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa adalah:
a. cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya,
b. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri,
c. jujur,
d. mematuhi aturan yang berlaku dan santun,
e. peduli lingkungan,
f. kerja keras dalam pelestarian alam,
g. keadilan,
h. rendah hati,
i. cinta damai dan persatuan.
Nilai-nilai tersebut sangat cocok diimplementasikan dalam proses
pembelajaran guna membentuk karakter konservasi (peduli lingkungan) pada
peserta didik. Terintegrasinya muatan nilai-nilai kearifan lokal pada pembelajaran,
akan esuai dengan lingkungan yang ada dan dialami peserta didik. Peserta didik
akan lebih termotivasi dalam belajar. Hal ini sejalan dengan Nurhadi (2004)
bahwa upaya mengaitkan pembelajaran dengan kejadian atau fakta di dunia nyata
dapat menciptakan proses pembelajaran yang bermakna.
Nilai-nilai budaya Pasang tentang pelestarian hutan mengajarkan secara
praktis untuk budaya hidup bersih dengan memelihara lingkungan tetap bersih,
dan tidak melakukan pengrusakan fasilitas kebersihan, dan memiliki sikap disiplin
untuk menjaga kebersihan. Eserta didik juga dapat diajarkan untuk melakukan
penghematan penggunaan air bersih dengan bijaksana. Guru dan peserta didik
tidak membuang sampah sembarangan. Oleh karena itu, sebagai masyarakat
Indonesai kita memiliki budaya bangsa dan karakter bangsa yang harus kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri
melalui pemaknaan kembali dan rekontruksi nilai-nilai luhur budaya (Asriati,
2012). Melalui implementasi pendidikan kearifan lokal diharapkan tercipta sistem
pendidikan yang mampu menyiapkan sumber daya manusia berkualitas dan siap
bersaing di era global, namun memiliki nilai-nilai karakter, kepribadian, moral,
dan etika yang baik. Melalui pendidikan kearifan lokal diharapkan potensi dan
kekayaan daerah dapat dikembangkan secara optimal bagi kepentingan
masyarakat.
Peran strategis tersebut akan memberikan dampak optimal apabila disertai
dengan strategi implementasi yang sesuai. Lembaga pendidikan sebagai pranata
utama pengembangan sumberdaya manusia memiliki tanggung jawab dan peran
strategis untuk merumuskan startegi yang tepat dalam mengimplementasikan
nilai-nilai tersebut.
3. Penerapan
Nilai-Nilai
Karakter
Peduli
Lingkungan
Dalam
Pembelajaran Dalam Dunia Pendidikan
Penerapan nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran terjadi dengan
cara mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam komponen pembelaran yaitu ke
dalam sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak
instruksional dan dampak pengiring. Sebagai contoh model pembelajaran
kooperatif Berbasis Budaya Lokal Pasang ri Kajang pada mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial dengan tema pelestarian hutan, Menjaga kebersihan lingkan,
kepedulian lingkungan dan lain sebagainya.
Sintaks model pembelajaran ini dapat menggunakan pendekatan saintifik
dalam belajar kelompok dan juga menggunakan pendekatan belajar dari alam.
Peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan mengarahkan peserta didik untuk
mengenali lingkungannya, dan berpartisipasi aktif dalam menerapkan upaya
kepedulian terhadap lingkungan. Sistem pendukung berupa video, bacaan tentang
lingkungan, inspirasi peduli lingkungan. Sistem sosial antara guru dan peserta
didik untuk bersama-sama mempromosikan kepedulian terhadap lingkungan
dengan mengikuti aturan dan peraturan pemerintah misalnya perda tentang
kebersihan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Makassar dengan segala slogan
seperti Makassar tena Rantasa, LISA (lihat Sampah Ambil) dan lain-lain. Dampak
interusksionalnya adalah kesadaran diri, motivasi diri, dan penerapan dalam
praktisk. Sementara dampak pengiring yaitu nilai-nilai karakter peduli lingkungan
(tanggung jawab, disiplin, rasa hormat, kejujuran).
D. Sistem Pemerintahan Adat Suku Kajang Sulawesi Selatan
1. Ammatoa sebagai Kepala Pemerintahan
Pemahaman masyarakat adat suku Kajang tetang Ammatoa sebagai
utusan, perintah atau amanah dari Tu Riek Arak‟na (Yang Maha Tinggi, Maha
ber-Kehendak) disampaikan melalui manusia pilihan yang memiliki nilai-nilai
keistimewaan serta mempunyai kelebihan yang dimiliki. Dalam Islam, Ammatoa
seperti seorang Nabi Muhammad yang diutuskan Tuhan SWT pada umat pada
saat untuk menyempurnakan tingkah laku, manusia dangan manusia, serta
manusia dengan Tuhannya.
Menurut mitosnya Ammatoa yang pertama, sosok manusia yang turun
kebumi, sedangkan tanah yang dimaksud adalah Tanah Toa. Ammatoa turun
bersama seekor burung raksasa yang dinamakan oleh masyarakat adat Koajang.
Koajang dijadikan sebuah nama yaitu Kajang, kemudian sebagai orang yang
pertama diberikan pada Ammatoa atau Bohe Tomme atau nenek moyang.
Ammatoa bukan nama diri akan tetapi istilah tersebut jabatan dan status
orang tersebut. Ammatoa bagi masyarakat adat suku Kajang adalah sebagai
panutan, dan orang yang mempunyai kesaktian, serta orang pilihan dari
masyarakat adat suku Kajang. Nama asli Ammatoa patang disebut oleh
masyarakat Kajang ketika itu terjadi merupakan pelangaran atau bassung.1
Kepercayaan masyarakat adat suku Kajang pada Ammatoa tidak hanya
terletak pada sikap empati pada nilai-nilai spritual saja, tapi Ammatoa juga
dianggap manusia yang memiliki kemampuan shamanistik. Dalam agama-agama
primitif, seorang shaman (dukun) memiliki kemampuan kesaktian dan secara
terminologi penafsiran adalah seseorang yang mampu berjalan ketempat yang
jauh, mendapatkan pengetahuan, dan kembali untuk menyampaikannya pada
masyarakat.
Tidak hanya itu, Ammatoa tokoh yang memiliki kharismatik yang
mempunyai fungsi khusus sebagai tu nila‟ langngi atau suri tauladan. Meskipun
dalam kepemimpinannya Ammatoa lebih dominan sebagai pimpinan keagamaan,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan warga masyarakat adat suku Kajang
kepada Ammatoa sangat besar sekali, setiap ada acara adat peran Ammatoa sangat
dominan
sekali.
Sedangkan
urusan
kepemerintahan
diserahkan
pada
pemerintahan. Hal ini termaktub dalam Pasang :
1
Bassung mengandung arti penderitaan atau kecelakaan, mereka
mempunyai anggapan ini perbuatan dosa akan mendapati penyakit tidak akan
sembuh selain membawa kehinaan bagi orang yang melanggar.
Lgitte tau caddia ammuluki ri adahang
Suruki ri ajoha, nakiminahang ri hajo-hajona pammarentata
Naiyya pammarentata rie‟ I ehanna mingka anre‟ I sauru‟na
Naiyya pammarenta iyamintu anrong ammatta‟
Artinya : Kita warga masyarakat perlu tunduk dan tahluk dibawah
petunjuk pemerintah, tak ada jalan untuk kita lawan apabila kita mau
mengalahkan, pemerintah adalah tua kita.
Berikutnya dijelaskan lagi bahwa tunduk dan patuh masyarakat adat
Ammatoa kepada pemerintahan:
Sallu ri ajoha, mulu ri adahang
Anrai‟–rai pammarentata, anrai‟-rai‟ to‟ ki
Kalau‟-kalau‟ toki.
Artinya: Kita harus taat dan patuh terhadap pemerintahan, apabila
pemerintahan ke timur kita turut „ketimur‟, apabila kita kebarat kita turut
„kebarat‟.
Bagi masyarakat adat bahwa kekuatan itu tidak datang dengan begitu saja,
tetapi ada hal yang substansi untuk menjaga keutuhan dan mempertahankan
identitas adat yaitu harus melakukan kerja sama dengan pemerintahan diluarnya,
untuk menumbuhkan saling kepercayaan satu dengan lain untuk saling
melengkapi dan menjaga. Tetapi keinginan ini masih belum seutuhnya
diakomodir oleh pemerintahan formal, karena meskipun mereka masyarakat adat
menyatakan ketaatan tetapi perlu digarisbawahi harus ada pemisahan wewenang
dan kekuasaan dibelah pihak, pemerintah tetap mengurusi hak dan kewajiban
kepemerintahan tetapi otoritas adat harus dihargai dan dihormati apalagi
kekuasaan daerah adat.
Labelisasi yang diberikan pada Ammatoa oleh masyarakat adat suku
Kajang adalah sebuah bentuk penghormatan sebagai orang yang disegani pada
Ammatoa, terminologi Ammatoa adalah orang yang dituakan dalam masyarakat
adat suku Kajang, dalam bahasa Konjo Amma adalah Bapak, sedangkan Toa
artinya Tua. Bagi masyarakat adat suku Kajang Ammatoa orang sangat disenangi
oleh masyarakatnya kerena di dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan
kesederhanaan dan tidak ada jurang pemisah antara Ammatoa dengan warganya.
Keberadaan Ammatoa sebuah bentuk dari apresiasi dari Pasang untuk
menciptakan tuntunan yang diberikan oleh Tu Riek Arak‟na dalam membangun
spritualitas masyarakat Kajang untuk menciptakan tatanan masyarakat berbudaya
dan taat pada kepercayaannya. Ammatoa tidak hanya seorang yang memiliki
segudang kharismatik dan kekuatan-kekuatan tetapi memiliki wawasan luas untuk
mengatur masyarakatnya dalam situasi apapun.
Kemudian beban yang diamanahkan kepada Ammatoa dalam komunitas
adat Kajang cukuplah berat sebagai seorang yang dituakan dalam komunitas adat
tersebut, dia seorang yang pengayom serta suritauladan bagi masyarakatnya.
Dalam Pasang termaktub: Amma nilangng ere‟, nituruki, siangang nipa‟
la‟langngi, artinya : Amma didengar nasehatnya, ditiru perbuatannya, dijadikan
penutan.
Ako kalangng ere‟ langngere‟, ako kaitte-itte, ako katappa‟-
kappa‟rikarambu lalang, asu timuang, ako tappaki‟ , artinya: jangan mudah
percaya dan terpengaruh pada orang luar, sebelum ke saya (Ammatoa), pelindung
atau sandro apabila negara-nya datang musibah. Bambang lantamaujung latoro,
artinya : jika negeri dilanda wabah penyakit dan bahaya peperangan.
Dalam peran sehari-hari Ammatoa sebagai orang yang penegah dalam
permasalahan sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Persoalan yang muncul
tidak sampai pada dataran hukum pemerintahan formal atau kepolisian dan
peradilan akan tetapi cukup ditingkatan lembaga adat yang dipimpin oleh
Ammatoa.
Keutuhan Pasang juga kewajiban Ammatoa terhadap kelestariannya,
karena pesan yang keluar dari mulut Ammatoa adalah cuplikan Pasang. Ammatoa
juga dibantu oleh para mentri-mentrinya untuk mengurusi lembaga-lembaga adat
dalam berbagai bidang, kewajiban ini tidak bisa dipisahkan antara Pasang dengan
Ammatoa ini sudah menjadi sebuah keharusan. Yang paling menarik Ammatoa
adalah orang yang berperan dalam mediator antara Tuhan dan manusia, jika dalam
masyarakatnya berdoa untuk meminta sebuah permintaan pada Tu Riek Arak‟na
Ammatoa adalah orang yang pertama yang didatangi oleh masyarakatnya untuk di
pa‟nganroang atau dipertemukan. Permintaan-permintaan ini akan diwujudkan
dalam upacara-upacara yang dipimpin oleh Ammatoa. Punnania‟ anakku‟rinakke,
artinya: bila ada yang rindu padaku Tu Riek Arak‟na, cukup dia atau manusia
berhubungan dengan mu Ammatoa, nanti kau yang berhubungan denganku Tu
Riek Arak‟na.
Manusia
Ammatoa
Tu Riek Arak’na
Kewajiban lain adalah menjaga kelestarian hutan adalah lambang sebuah
kehidupan bagi manusia, dalam perjalanannya hutan mempunyai makna khusus
keberlangsungan kehidupan. Keberlangsungan ini terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Kajang anti terhadap barang-barang luar atau modern,
apalagi yang mengandung unsur-unsur perusakan alam. Budaya-budaya yang
berbau modern dalam kawasan adat dilarang dan akan dikena sanksi adat bagi
yang melanggarnya. Ketika hal ini terjadi, akan terjadi proses modernisasi
ekonomi akan menekankan pada prinsip komersialisasi dan industrialisasi yang
akan mengubah dari tatanan masyarakat pada sebelumnya mengandalkan tenaga
swadaya
dan
tradisional
pertanian
menjadi
bentuk
komersialisasi
dan
industrialisasi.
2. Korelasi Pasang atau Konstitusi dan Ammatoa
Pasang secara etimologi dapat diklasifikasikan dalam dua bahasa, yaitu
bahasa Makassar dan Bugis dalam maknanya mempunyai arti yang sama. Pasang
berarti pesan, dalam hasanah budaya masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi
Selatan, Pasang paseng adalah salah satu materi penting yang terdapat didalam
Lontara Paseng atau kumpulan amanat leluhur dan orang bijaksana yang tadinya
diamanatkan secara turun temurun melalui ucapan yang dihafal. Pasang ri Kajang
atau Pasang yang ada di daerah Kajang adalah salah satu Pasang yang hingga kini
masih dianut dan diterapkan dalam masyarakat suku adat, terutama di wilayah
Desa Tana Toa yang termasuk tanah keramat bagi masyarakat adat suku Kajang.
Doktrin Pasang dalam masyarakat adat suku Kajang
sudah sangat
melekat dihati, masyarakat Kajang menggangap kekuatan mistik dalam Pasang
sebuah anugrah dari Yang Maha Mutlak, Pasang aturan-aturan yang harus ditaati
oleh penganut kepercayaan adat bahkan keutaman Pasang lebih dari kitab-kitab
lainnya. Dalam bersikap dan berprilaku dalam bermasyarakat berdasarkan pada
Pasang. Norma kehidupan ini harus dipegang teguh karena Pasang adalah satu
kebenaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kehendak, dalam Pasang juga
dijelaskan :
Kalamanganna tumbang kalasappia
Lalemppea ri kana tojeng
Artinya : “ Lebih baik hanyut atau tumbang dari pada melepas pegangan
pada kebenaran”.
Kalamanganna polong kalapelung
Lata‟ lesanga‟a ri pangatorang
Artinya : Lebih baik patah dari pada bengkok, harus berpegang teguh
kepada peraturan.
Ketaatan masyarakat Kajang terhadap Pasang sebuah kewajiban yang
harus, meskipun mendatangkan sebuah pengorbanan.
Menurut kepercayaan
masyarakat suku adat Kajang “Iayantu korangnga kapatampuloisi toje–tojekna.
Kakunnemintu appa tumbo pattimboanna sampuloa” bahwa Pasang adalah
firman Tuhan turun ke bumi 40 juz, bukan 30. masyarakat adat suku Kajang tak
kenal huruf Arab, akan tetapi mereka punya paham sendiri soal kitab suci. Mereka
punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dari 10 juz. Tuhan sesungguhnya
menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Yang 30 juz, al-Quran itu, ayat
Tuhan buat orang lain. Sedangkan buat Amamatoa 10 juz saja, dan itu tertuang
dalam kitab Lontara Pasang Ri Kajang Puang Ammatoa.
Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri
Kajang menyimpan pesan-pesan luhur, yakni
penduduk Tana Toa harus
senantiasa ingat kepada Tuhan, lalu harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling
memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan
tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan
melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Ajaran Pasang tidak lepas dari
membangun solidaritas antara teori dan praktek yang dilakukan dalam
mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, ketika hal tersebut
dilakukan hal ini akan memperoleh ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.
Doktrin Pasang Kamase-Mase adalah kewajiban dalam menjaga
kehidupan keseimbangan dunia dan hari terakhir. Konsep ini adalah landasaran
dasar bagi masyarakat adat suku Kajang dalam menjalankan kehidupan. Dalam
Pasang ri Kajang menjelaskan:
Katutuinu rie‟ nu
Ri gentengang tambatunna paraiaya
Artinya : “ Jagalah yang ada, sebelum datangnya peceklik”.
Norma yang diajarkan dalam Pasang adalah tata cara bagaimana manusia
bisa hidup dengan penuh makna dan mempunyai arti dimata manusia. Pasang
mengajarkan pada pengikutnya bahwa sopan satun dalam kehidupan adalah alat
komunikasi yang efektif serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Normanorma ini meliputi adat istiadat, tutur kata, life style, berpakaian. Kekuatan
Pasang terletak sejauh mana masyarakatnya mengimplementasikan ditingkat
sosial masyarakatnya, ketika praktek-praktek dilakukan kekuatan-kekuatan diluar
imajinasi akan tumbuh serta menjaga dari perbuatan-perbuatan yang tercela.
Ammatoa sebagai kepala pemerintahan mempunyai kewenangan dalam
menjalankan dan memerintah masyarakat untuk mentaati asas legalitas hukum
adat. Hal ini Amamatoa orang suci yang ditunjukan oleh Pasang untuk
menuturkan apa yang termaktub dalam Pasang.
Seorang Ammatoa dipilih berdasarakan petunjuk Tu Rie A‟rana melalui
serangkaian tanda khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang
ikut dalam upacara pengukuhan Amma. Biasa tanda-tanda ada restu dari Tu Riek
Arak‟na yang sudah terdapat dalam Pasang melalui melalui cerita-cerita, seperti,
masuknya tedong tanre nipa nangkalangi, artinya kerbau yang dipelihara khusus
untuk keperluan upacara penetapan Amma, orang yang cikal bakal menduduki
sebagai Ammatoa, orang tersebut sanggup memegang passauan atau pedupaan
yang sangat panas dan asapnya mengarah kemana ia duduk, sekali pun arah angin
berlawanan atau seekor ayam putih yang dipelihara secara khusus bertengger
dibahu orang yang dimaksud.
Adapun syarat sebagai terpilih manjadi Ammatoa, seseorang harus
memiliki tiga kriteria, yaitu: Pertama, dengan memliki empat sifat-sifat, yaitu
kalambusuang (kejujuran), sabbara (kesabaran), dan appisona (keikhlasan) dan
Gattang (Bijak). Kedua, seorang Amamatoa harus memiliki wawasan luas dan
mengerti mengenai isi-isi Pasang. Ketiga, Amamatoa, harus berdasarkan dari
keturunan baik-baik, dalam bahasa Konjo disebutkan Tu kentarang artinya yang
disinari oleh bulan purnama.
Sebenarnya dari kepercayaan masyarakat adat Kajang percaya bahwa
Ammatoa adalah orang yang paling utama, dalam hal ini Ammatoa seorang utasan
Tuhan atau wakil Tuhan di dunia “nipa‟la langngiri bahonnainne linoa” artinya
sebagai panutan didunia. Dalam korelasi jelas sekali, dalam Pasang menjelaskan
bahwa orang yang cocok dan sesuailah yang pantas untuk mendapati kedudukan
sebagai Ammatoa dalam komunitasnya. Seperti:
Bola –bola palettekang, baju-baju pasam peang
Pettai kalennu kamaseang kulantu‟nu
A‟ lele cera‟ memangngi nikuayya mana‟
Maksudnya, rumah-rumah bisa dipindahkan, pakaian bisa digantikan,
bersabarlah dan kuatkan imanmu, yang dikatakan oleh pusaka Pasang memang
harus dipergilirkan kepada orang-orang yang berhak. Dalam perjalanan ketika
Amamatoa meninggal dunia a‟linrung majelis adat akan mengangkat pengganti
sementara (PJS) yang kapasitasnya tidak jauh dari Ammatoa, jabatan sementara
biasa dipengang selama tiga tahun, kemudian diadakan sebuah ritual anyuru‟
borong, yaitu sebuah upacara meminta petunjuk kepada Tu Rie A‟rana untuk
memilih Ammatoa yang baru. Dalam menjalankan tugasnya Ammatoa dibantu
oleh beberapa perangkat adat. Perangkat adat inilah yang mengendalikan
kelestarian Pasang untuk menciptakan ketaatan oleh masyarakat dari dahulu
sampai sekarang.
3. Struktur dan Tipe Pemerintahan Adat Suku Kajang
Masyarakat adat suku Kajang telah mengenal lembaga sosial dalam
masyarakat tradisonal yang dipimpin oleh seorang tokoh spritual adat suku
Kajang yaitu Ammatoa, dalam struktur adat, Ammatoa adalah pemimpin yang
dibantu oleh beberapa mentri untuk mengurus lembaga-lembaga pemerintahan
adat, yang disebut adat limaya dan karaeng tallua.
Adat limaya adalah satu lembaga yang statusnya setingkat dengan karaeng
tallu, yang beranggota lima orang. dalam sejarah yang berkembang dimasyarakat
terbentuknya adat limaya berawal dari anggota-anggota putra-putra Ammatoa
pertama, kemudian setelah putra-putra Ammatoa meninggal dunia digantikan
dengan keturunan yang telah diwariskan oleh Pasang. Sedangkan karaeng tallua
selaku lembaga pemerintahan adat dalam lingkungan masyarakat Ammatoa,
sebelumnya karaeng tallu berarti karaeng yang tiga mereka adalah petugaspetugas yang diangkat oleh Ammatoa sebagai penguasa ditanah Lohea yaitu
daerah-daerah diluar tanah kamase-kamase atau luar kawasan adat.
Maksud dari kareang tallu adalah orang yang bertugas dalam struktur
pemerintahan adat, akan tetapi juga menjabat sebagai tugas dari pemerintahan
diluar Kajang. Pada tahun 1959 terjadi perubahan struktural dalam sistem
pemerintahan Indonesia, berdasarkan undang-undang nomor 29 tahun 1958
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia membentuk kecamatan dengan
camat sebagai pimpinananya, maka diangkatlah Karaeng Kajang sebagai Camat
Kajang sedangkan wakilnya adalah sullehatang.
Fungsi dan kewenangan lembaga tersebut untuk menjaga keseimbangan
dan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan
lingkungan. Lembaga sosial bagi masyarakat adat Kajang adalah sebuah aturan
Pasang untuk menegakkan ketidakseimbangan dalam menjalani kehidupan
masyarakat. Dalam struktur kelembagaan yang sudah diatur harus sejalan dengan
Pasang karena aturan tersebut sudah temaktub didalamnya, menurut Pasang
pimpinan tertinggi adalah Ammatoa, kemudian dibawahnya terdapat beberapa
pembantu untuk menjalani suatu lembaga.
Ammatoa sebagai pemimpin yang tertinggi dalam masyarakat adat Kajang
yang mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana yang diamanatkan oleh Tu
Rie A‟rana, Ammatoa juga dibantu oleh seperangkat aparat adat lainnya : (1)
Galla‟ Pantama, statusnya sebagai kepala pemerintahan dalam struktural
pemerintahan adat yang dipimpin langsung oleh Ammatoa. (2) Galla‟ Lombok,
adalah sebagai mentri luar negeri adat Kajang bertugas mengurusi daerah-daerah
takhluk Ammatoa, sekarang Galla‟ Lombok sebagai kepala desa Tana Toa. (3)
Galla‟ Anjuru, tugasnya adalah mengurus permasalahan para nelayan. Dalam peta
bahwa secara keseluruhan tanah adat Kajang berdekatan dengan laut, meskipun
banyak yang tergeser oleh orang yang tidak bertanggung jawab atas persoalan
tanah. (4) Galla‟ Kajang adalah bertugas mendampingi Galla Pantama dalam
mengendalikan pemerintahan adat serta pesta adat. (5) Galla‟ Puto adalah mentri
penerangan, tugasnya sebagai juru bicara Ammatoa dan pengawasan langsung
tentang pelaksanaan Pasang.
Adat limaya pada mulanya dijabat oleh putra-putri Ammatoa pertama.
Setelah itu jabatan tersebut dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk
Pasang. Sedangkan Karaeng Tallua sebagai salah satu seperangkat adat dalam
struktural pemerintahan adat Ammatoa, memiliki tiga personel, yaitu : Karaeng
Kajang, Karaeng Ilau, dan Karaeng Tambangang. Tugas yang dipercayakan
kepada Karaeng Taalua yaitu mendampingi Galla Pantama pada setiap
berlangsungnya pesta upacara adat, dalam perangkat adat Kajang ada yang disebut
dengan lompo adat atau adat buttaya yang dipercaya untuk mengurusi bidangbidang tertentu.
Pertama, Adak Ri Tana Lohea, pada dasarnya mereka terdiri dari adat
limaya dengan tugas khusus diantaranya adalah Galla‟ Pantama statusnya sebagai
penghulu adat atau adat utama. Galla‟ Lombo dipercaya sebagai penjabat yang
mengurusi perbelanjaan. Galla‟ Kajang bertugas mengurusi perkara-perkara dan
hukum serta persoalan kriminal. Galla‟ Puto bertugas sebagai juru bicara
Ammatoa dan Galla‟ Arjuna sebagai bagian perlengkapan.
Kedua, Bidang Pelaksana, yang terdiri dari tujuh anggota masing-masing :
(1) Guru bertugas sebagai membaca do‟a dan mantra-mantra: (2) Kadahangnga
bertugas dalam bidang pertanian: (3) Lompo Kareang, bertugas membantu adat
limaya ritana lohea dalam pelaksanaan pesta upacara adat; (4) Sanro Kajang,
bertugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat; (5) Anre Guru,
bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; (6) Lompo Adat, bertugas
mendampingi pesta upacara adat; (7) Galla‟ Maleleng, bertugas dalam urusan
perbelanjaan dan keuangan.
Ketiga, Bidang Akkeke Butta. Dalam bidang ini terdapat lima anggota
dengan tugas pokok yaitu memelihara dan menjaga serta memperbaiki saluran air
dan pengairan. Sesuai dengan namanya akkeke yang berarti penggalian tanah,
anggotanya adalah Galla‟ Ganta, Galla‟ Sangkala, Galla‟ Sapo, Galla‟Bantalang,
dan Galla‟ Batu Pajjara.
Selain itu ada yang disebut Adat Pattambai Cidong, anggotanya ini terdiri
orang-orang ahli dalam profesinya:
1. Laha Kareang, yaitu mantan kepala distrik atau mantan kareang Kajang.
2. Laha Adat, yaitu mantan Galarang atau mantan kepala desa.
3. Pattola Karaeng, keluarga dekat pejabat pemerintahan yang sedang
memerintah.
4. Pattola Adat, yaitu keluarga dekat pemangku adat atau pemimpin adat.
5. Tau Toa Pa‟Rasangang, yakni orang-orang terpandang dalam masyarakat.
6. Panreta, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan khusus,
seperti tukang kayu, pandai besi dan sebagainya.
7. Puahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang memiliki perkumpulan
nelayan.
8. Urangi, yaitu pertukangan ahli kayu, dalam keahliannya adalah pertukangan
untuk membuat rumah.
Klasifikasi anggota-anggota tersebut, mereka tidak mempunyai tanggung
jawab atas tugasnya dalam susunan adat, tetapi mereka disebut sebagai pallabbui
rurung, pattambai cidong, dan panroaki bicara, artinya mereka adalah pelengkap
ketika dalam memperpanjang barisan, pelengkap orang-orang yang duduk, serta
turut dalam meramaikan pembicaraan. Kehadirannya tidak menggenapkan dan
tidak mengganjilkan. Maksudnya mereka sebagai tim peramai dalam situasi
apapun tetapi mereka tidak ada kepentingan dalam lembaga adat yang termaktub
dalam Pasang. Dalam Pasang dijelaskan bahwa :
Amma‟mana‟ ada‟, artinya: Amma melahirakan adat, dan
Amma‟ mana‟ Karaeng, bermaksud Amma melahirkan pemerintahan.
Oleh karena itu dalam komunitas adat Ammatoa mengenal struktur
pemerintahan yang membentuk sebuah sistem pemerintahan dalam fungsi dan
tugas yang jelas dalam urusan pemerintahan adat. Untuk lebih jelas kita lihat
struktur pemerintahan adat Kajang Sulawesi Selatan sebagai berikut :
Dengan terbentuknya para penjabat sebagai pembantu Ammatoa dalam
mengatur masyarakat adat Kajang tidak begitu sulit dikarenakan pembagian tugas
kepada gallareng
atau jabatan cukup jalas dan keteguhan hati dalam
melaksanakannya. Dari perangkat tersebut, sistem kemasyarakatan yang dipegang
teguh serta sebagai prinsip hidup oleh masyarakat Ammatoa, seperti yang
termaktub dalam Pasang:
Lambusu‟ nuji nungkaraeng
Gattannuji nu ada‟
Sabbara‟nuji nu guru
Pesona nuji nu santro
Artinya: Hanya kerena kejujuran engkau menjadi pemimpin. Karena
ketegasanmu engkau menjadi pemimpin adat. Karena kesabaranmu engkau
menjadi guru. Karena keikhlasanmu engkau menjadi dukun.
Semua perangkat adat diharapkan sesuai dengan titah Pasang yaitu berhati
sabar ketika menjadi seorang pemimpin, dan kepemimpinan adalah amanat yang
dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya, serta kejujuran dalam kehidupan
sehari-hari yang harus dikedepankan didalam masyarakat kawasan adat. Lebih
lanjut akan menciptakan kesederhaan dalam kehidupan, bagi seseorang pemimpin
tidak boleh berpola hidup mewah dari pada yang dipimpin. Dalam Pasang
dikatakan:
Punna kasi-kasi anne parasanganga
Naminang karioloa kasi-kasi panggulunna Amamatoa
Artinya : Andai dunia ini di takdirkan untuk hidup miskin, maka yang
pertama kali miskin adalah pemimpinnya, Ammatoa.
Mingka punna kalumannyangi anne parangsangangga
Nakaminang ribokokoa kalumannyang panggulunna, Ammatoa
Artinya: Kalau seandainya Tuhan berkehendak menciptakan bumi ini
menjadi sejahtera dan kaya, maka yang paling terakhir merasakan adalah
pemimpinnya, Ammatoa. Adapun tipologi sistem dalam pemerintahan atau sistem
politik muncul dikarenakan adanya sebuah konsep Negara, hal ini tidak lepas dari
peranan pola pemikiran pada masa tersebut. Tipologi ini akan muncul ketika
pengambilan keputusan berdasarkan atas masyarakat yang dipimpinnya. Apakah
menganut sosialisme, demokrasi, monarki dan sebagainya.
Dalam prakteknya Ammatoa bukan dianggap oleh masyarakatnya seorang
Raja, bukan juga mengartikan kawasan masyarakat adat Kajang sebuah sistem
kerajaan, tetapi ada sebuah sistem pemerintahan yang melambangkan sebuah
musyawarah. Ini terlihat dalam jabatan Ammatoa tidak sewenang-wenangnya
jabatan diwariskan pada keturunannya, tidak heran ketika pergantian Ammatoa
sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat adat suku Kajang menyerahkan
kepada putra-putranya, karena pemilihan Ammatoa berdasakan dari semua orang
yang ada didalam komunitas tersebut yang memiliki banyak kelebihan dari
masyarakat biasa. Pemilihan Ammatoa hampir sama seperti pemilihan umum
yang terjadi di pemerintahan formal, yaitu pemilihan langsung oleh masyarakat,
tetapi mereka sudah mendapat firasat bahwa pemimpin mereka benar-benar peduli
terhadap mereka. Pemilihan Ammatoa berdasarkan pandangan masyarakat tetang
individu-individu yang ada di dalam masyarakat adat suku Kajang yang memiliki
suritauladan dan etika sosial yang pantas dipuji, hal ini yang dikatakan oleh
masyarakat pada suku Kajang tanda-tanda dari Tu Riek Arak‟na.
E. Filosofi pakaian
Dalam kehidupan masyarakat Kajang, wanita diwajibkan bisa membuat
kain dan memasak. Sedangkan pria diwajibkan untuk bekerja diladang dan
membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari
kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Bagi
wanita membuat pakaian merupakan syarat untuk melangsungkan pernikahan, jika
tidak mempunyai keahlian membuat pakaian, maka tidak diperbolehkan
melangsungkan pernikahan.
Proses pembuatannya dilakukan dengan cara tradisional mulai dari
pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain.
jika kita berkunjung ke daerah tanah toa, kita akan bertemu dengan orang orang
dengan pakaian serba hitam, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki baik
perempuan maupun laki laki. Baju, sarung hitam (tope leleng), sorban atau
penutup kepala (passapu) yang semuanya berwarna hitam bagi laki laki,
sedangkan untuk perempuan digunakan pakaian yang juga berwarna hitam.
Selain itu, penggunaan alas kaki juga dilarang. Bagi masyarakat kajang
warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna hitam dianggap sebagai
lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang dihadapan Tuhan Yang
Maha Esa, berbeda dengan warna warna mencolok seperti merah, biru dan kuning
yang dianggap suatu kemewahan dan tidak sesuai dengan identitas masyarakat
kajang. Jika kita memasuki daerah Suku Kajang, maka kita harus berpakaian serba
hitam juga.
1. Pola pemukiman
Masuk ke kawasan desa adat Ammatoa disambut oleh tanah bebatuan dan
rerimbuan pepohonan besar di sepanjang jalan masuk. Hal tersebut tidak hanya
ditemui pada jalan masuk melainkan seluruh kawasan desa yang sebagian
besarnya memang msih merupakan kawasan hutan. Sedangkan nama Ammatoa
adalah sebutan bagi kepala adat suku kajang, untuk komunikasi sehari-hari,
mereka menggunakan bahasa konjo.
Pola pemukiman penduduk di dalam kawasan adat hingga saat ini masih
mempertahankan pola lama, terkait dengan sistem kepercayaan mereka yang
masih kokoh. Poa pemukiman penduduk berkelompok setiap dusun, dengan
bentuk rumah seragam. Arah bangunan rumah semua menghadap kiblat. Sebagai
pembatas antara pemukiman dengan hutan keramat dibuat pagar yang tersusun
dengan batu kali setinggi satu meter. Keunikan rumah penduduk dalam kawasan
adat, tidak menggunakan bahan atau material dari industrial modern.
Ketika kita naik kerumah, maka yang pertama didapati adalah dapur
berdekatan dengan pintu masuk, lalu ruang tengah dan bilik bagian belakang
adalah ruang tamu. "Terbuka. Harus'i taua terbuka. Jujuru. Apa nipallu harus'i
taua naisse," kata Amma Toa yang artinya, "Terbuka dan jujur. Kita harus terbuka
kepada tamu. Apa yang ada di dapur wajib diketahui oleh orang (tamu yang
datang)". Selain itu, dengan memosisikan dapur di bagian depan, memudahkan
tamu melihat perempuan di rumah tersebut. Karena, dalam aturan di Suku Kajang,
salah satu sarat perempuan bisa dipersunting adalah bisa memasak.
2. Sumber Kehidupan
Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan merupakan Topena Linua, yang
berarti sumber oksigen sekaligus sumber kehidupan seluruh mahluk sekitarnya.
Sebab itu, pengelolaan hutan tidak bisa secara personal, tetapi secara bersamasama. Untuk memastikan kehidupan ramah lingkungan itu, Masyarakat Adat
Kajang memiliki hukum adat yang terdiri atas beberapa aturan. Salah satunya
ialah „Jagai linoa lollong bonena, kammayya toppa langika siagang rupa taua
siagang boronga‟ yang pada intinya ialah mengenai pemeliharaan Bumi serta
isinya, demikian juga halnya langit, manusia, dan hutan. Hukum adat ini
ditegakkan Ketua Masyarakat Adat Kajang yang disebut Ammatoa. Aturan atau
prinsip lainnya ialah “Yamintu boronga akkio bosi ang ngenne erea nipake
a‟lamung pare, baddo appa‟nia‟ timbusia”, yang artinya, itulah hutan yang
menyebabkan turunnya hujan untuk digunakan menanam padi, jagung dan
sebagainya. “Sebagian besar Masyarakat Adat Kajang ialah petani. Menanam
padi, jagung, dan lain-lain.
Dalam persiapan selama 12 bulan, kami bisa menghasilkan persediaan
yang mencukupi kebutuhan selama tiga tahun, seperti yang kami simpan di atas
ini,” tutur Ammatoa, sambil menunjuk lumbung di atas Bola Tammua (rumah)nya. Ammatoa yang tak berkenan mengungkapkan nama aslinya itu menyebut
luasan hutan mereka mencapai sekitar 314 hektare. Ada empat sumber daya yang
menjadi fokus utama dalam aturan tersebut, antara lain kayu, rotan, lebah, dan
udang. Mereka yang kedapatan menebang atau merusak sumber daya alam itu
didenda 12 real atau sekitar Rp 12.000.000,-. Sementara itu, mereka yang
mengambil untuk kepentingan pribadi semata dikenai sanksi sedang dengan denda
8 real atau setara Rp 8.000.000,-.
Masyarakat Suku Kajang dikenal dengan keterampilannya menenun. Hal
ini dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat Suku Kajang. Seperti
penuturan Juma, perempuan penenun di kawasan adat. Juma menenun sarung
Kajang. Warna sarungnya hitam, dengan sedikit motif berwarna biru tua. Satu
sarung dibandrol dengan harga dari Rp 800.000,- hingga Rp 1.000.000,-.
Tergantung dari kualitas dan kerumitan dalam proses pembuatannya. Penenun di
kawasan adat mayoritas perempuan. Dalam aturan yang dijelaskan Amma Toa,
keterampilan menenun adalah salah satu syarat perempuan di Suku Kajang bisa
dinikahi.
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Pola interaksi masyarakat Kajang
Gambaran keseharian kehidupan masyarakat Kajang menggunakan bahasa
konjo sebagai bahasa sehari-hari mereka yang berkembang dalam suatu komunitas
masyarakat. Menggunakan bahasa konjo dalam berkomunikasi membuat mereka
menjadi lebih nyaman saat berkomunikasi dan kecil kemungkinan akan terjadi
kesalahpahaman saat berkomunikasi.
Sedangkan ketika masyarakat adat Kajang Dalam menggunakan bahasa
indonesia mereka mengalami kesulitan memaknai kata dan merasa tidak nyaman.
Berbeda halnya dengan masyarakat Kajang Luar yang memahami bahasa
indonesia. Saat pertemuan antar warga Kajang Dalam dan Kajang Luar mereka
berkomunikasi menggunakan bahasa adat mereka.
Proses interaksi masyarakat Kajang sangatlah terpelihara. Mereka percaya
bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai antarsesama sekaligus antar
masyarakat yang hidup di tempat berlainan. Bagi mereka, sebuah pantangan besar
untuk berbicara kasar. Mereka dituntun untuk berbicara sopan, terlebih kepada
orang yang lebih tua.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat kajang
memang teguh ajaran leluhur yang di sebut “pasang ri kajang” yang berarti pesan
di Kajang. Pesan ini bukanlah pesan sembarangan, akan tetapi pesan yang
mengandung arti keseluruhan pengengetahuan segala aspek dan lika-liku yang
berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang
kepada seluruh masyarakat adat Tana Towa. Jika masyarakat Kajang melanggar
pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan.
B. Penerapan IPTEKS di masyarakat Kajang
IPTEKS telah diterapkan di masyarakat Kajang, hal itu terlihat dari anakanak di komunitas adat Kajang juga sudah banyak bersekolah, bahkan anak dari
Ammatoa sendiri menempuh pendidikan hingga keluar kota. Hal ini juga tidak
lepas dari dukungan pemerintah berupa program sekolah gratis setingkat Sekolah
Dasar (SD), dan program sekolah gratis setingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) serta Sekolah Menengah Atas (SMA).
Masyarakat adat sangat memegang teguh adat istiadat, namun tidak
melupakan
pentingnya
pendidikan
untuk
anak-anak
mereka.
Mereka
menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar kota. Walaupun anak-anak mereka
mengenyam pendidikan formal dan mengenal teknologi, hal ini tidak membutakan
anak-anak mereka akan dampak modernisasi dan melupakan budayanya.
Mengeyam ilmu pengetahuan dan mengenal dunia luar yang tersentuh
modernisasi merupakan suatu hal yang didapatkan oleh anak-anak masyarakat
Adat. Namun, pada saat kembali ke kampung halaman mereka, apa yang
didapatkan tersebut tidak membawanya masuk di kawasan adat karena masyarakat
adat sangat menolak perubahan dan modernisasi, hal ini membuktikan bahwa
walaupun mereka menempuh pendidikan dan mengenal teknologi, mereka sangat
mematuhi aturan-aturan adat dan menjaga serta melestarikan apa yang menjadi
adat istiadat dari nenek moyang mereka.
C. Pola Kepemimpinan Adat Kajang
Komunitas adat di kawasan Tana Towa masih kental akan adat istiadat
yang mengikat masyarakat secara turun-temurun dalam kehidupan sehari-hari.
Ammatoa merupakan jabatan bagi pemimpin tertinggi adat yang memegang
keputusan tertinggi yang wajib dipenuhi oleh masyarakat Kajang Dalam.
Pemilihan Ammatoa dilakukan dengan menggunakan ritual khusus yang
hanya melibatkan para pemangku adat. Jabatan sebagai Ammatoa dan sebagai
pemangku adat berlaku seumur hidup, kecuali jika melakukan pelanggaran seperti
nganre soso‟ (korupsi) maka akan dipecat dari jabatan yang didudukinya sampai
tujuh turunan tidak boleh menjabat sebagai pemangku adat. Dalam menjalankan
tugas sebagai pemimpin adat, pemerintahan Ammatoa memiliki sedikitnya 27
orang pemangku adat yang membantunya.
Pedoman aturan adat masyarakat kajang dalam disebut Pasang (pesan).
Secara teknis aturan adat yang berupa pasang (pesan) yang disampaikan oleh
Ammatoa secara lisan kepada para pemangku adatnya kemudian para pemangku
adat tersebut yang menyampaikan kepada masyarakat Kajang Dalam secara
menyeluruh. Rasa hormat dan penghargaan terhadap pemimpin tertinggi adat
yaitu Ammatoa, sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang
Dalam. Bukan hanya dengan orang dewasa yang sangat menghormati Ammatoa,
tetapi para anak-anak juga mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap
kepada pemimpin adat masyarakat Kajang Dalam tersebut.
D. Filosofi pakaian dan Rumah Adat Kajang
Masyarakat di Kawasan Adat Tana Towa dalam kehidupan sehari-harinya
menggunakan pakaian yang bernuansa hitam dan warna putih. Mereka hanya
menggunakan warna-warna yang tidak mencolok sesuai peraturan adat. Pakaian
hitam bagi masyarakat pada umumnya mengartikan hanya sekedar warna, namun
untuk masyarakat adat Tana Toa yang hidup dengan kesederhanaan dan jauh dari
perangkat modernisasi memaknai warna hitam tersebut sangat kental akan
kesederhanaan dan kesakralan.
Sarung hitam yang digunakan oleh para kaum pria merupakan buatan
mereka sendiri dengan cara menenun. Bukan hanya pakaian pria saja yang
tersedia, akan tetapi untuk wanita juga tersedia pakaian adat yang berwarna hitam
pekat dinamakan baju bodo. Filosofi bangunan di kawasan adat Tana Toa sendiri,
memiliki makna tersendiri. Rumah-rumah yang dibangun di atas tanah Kawasan
Adat Tana Toa, menghadap ke arah barat. Barat diartikan sebagai sebuah arah
dimana simbol nenek moyang mereka berada.
Konsep bangunan rumah masyarakat adat terbilang seragam tanpa ada
perbedaan, hal ini mengambarkan nilai kesederhanaan dan keseragaman. Mereka
membangun rumah bukan menggunakan batu
batu
melainkan mereka
menggunakan kayu. Adapun bagian-bagian rumah Suku Kajang juga memiliki
fungsi. Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang
dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah
disebut Kale Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal,
bagian bawah disebut Siring sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam
(topeh le‟leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa.
Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri
dari kepala, badan, dan kaki. Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang
dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak-60 cm
yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan
memanjang sepanjang bangunan.
Bagian ini disebut Para-para. Ketinggian para-para setinggi telinga/mata
pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar
jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat
menyimpan peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang: para)
difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti padi
dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka. Bagian paling atas adalah
merupakan penutup para/atap (Kajang: Ata‟ ).
Pada bagian muka dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpalaja,
yakni atap pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga samakaki selain
sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan daritempiasan air hujan
juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun
dan terdapat hanya pada Bola/ Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam)
dan ini merupakan ciri khasyang menunjukkan keseragaman dan memberikan
indikasi keturunan Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan
model rumah.
Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha),
tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5
susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun). Bagian lain
adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada tubuh
manusia dimana nutrisi ditransfer ke embriodan tempat yang ditujukan untuk
perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat
yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius,
dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting
diikuti
dengan
syarat-syarat
termasuk
bahan/jenis
kayu
dan tata
cara
mendirikannya. Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai
dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk
hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah.
Sistem konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Suku Amma Toa Kajang menganut ajaran Patuntung dengan berpedoman
pada pasang ri Kajang yang mengandung arti sebagai pesan akan tetapi,
pemahaman masyarakat adat Amma Toa, pasang bermakna lebih sekedar
sebuah pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanah yang sifatnya sakral.
2. Makna fiosofi pakaian Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja yang
di jadikan sakral tetapi juga warna putih Warna hitam di gunakan karena dapat
menselaraskan dan bermakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa
digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi.
3. Kepercayaan
masyarakat
Rie‟A‟ra‟na merupakan
kajang
keyakinan
agama Patuntung. Masyarakat
adat
dan
yang
penghormatan
paling
Kajang
terhadap Tu
mendasar
percaya
dalam
bahwa Tu
Rie‟A‟ra‟na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui,
Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
4. Pola interaksi Masyarakat adat kajang di Desa Tana Toa ialah mereka
menganut dan bersandar pada Pasang ri kajang. Hal ini dapat di lihat ketika
mereka berinteraksi, baik itu antara individu dengan individu (antar
masyarakat), individu dengan kelompok (antar masyarakat dengan Amma
Toa) dan kelompok dengan kelompok (antar pemangku adat dengan Amma
Toa).
5. Pada penerapan IPTEKS, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan
pendidikan bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, perkembangan IPTEKS
tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena
mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka.
Sebagian besar warga Ammatoa mengalami perubahan hanya sebatas di luar
dan tidak memasukkannya ke wilayah Tana Toa, mereka tetap menjaga
kelestarian budaya mereka dan tidak terkontaminasi dampak modernisasi.
B. Saran
Adapun saran yang ingin sampaikan dalam makalah ini, bahwa kita
sebagai generasi yang akan meneruskan bangsa ini, harus tetap menjaga dan
melestarikan budaya. Dan berusaha lebih keras untuk menggali mengenai
informasi-informasi akan kebudayaan-kebudayaan terkhusus yang ada di Sulawesi
Selatan, dengan ini kita bisa meningkatkan rasa cinta dan solidaritas terhadap
sesama untuk tetap menjaga kebudayaan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Yusuf. 2003.
Potret Manusia Kajang. Makassar: Pustaka Refleksi
Lembaga Penelitian dan Penerbitan Buku.
Asriati, Nuraini. 2012. “Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis
Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah.” Jurnal Pendidikan
Sosiologi dan Humaniora 3 (2) : 106119.
Elly M Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.(Cet. II;
Jakarta: Kencana, 2011)
Katu, Alim. 2005. Tasawuf Kajang. Makassar: Pustaka Refleksi Lembaga
Penelitian dan Penerbitan Buku.
Katu, Samiang. 2001. Pasang Ri Kajang “Kajian Tentang Akomodasi Islam
dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Kajian Islam
dan Masyarakat IAIN Alaudin Makassar.
Muhammad Ikbal, Ahmadin, Amirullah. 2018. Pemikiran Pendidikan dan
Penelitian
Kesejarahan,
Vol
5
No
.
3
Juli
,
2018.
file:///C:/Users/ACER/Documents /pendidikan %20formal.pdf. 28 Maret
2020.
Munirah, Sirajuddin. 2000. Mencermati Makna Pesan di Kajang. Sulawesi
Selatan: Citra Adi Bangsa.
Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: UM Press.
Nursalam. 2016. Sosiologi Pengantar Masyarakat Indonesia. Writing Revolution.
Makassar.
Salle, Ilham Z. Akuntabilitasi Manuntungi : Memaknai Nilai Kalambusang Pada
Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma JAMAL Vol. 6. Malang: Sekolah Tinnggi Ilmu Ekonomi
Indonesia Makassar, 2015.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Cet. Ke-43; Jakarta: Rajawali
Press, 2010) h. 55
Sudirman. 2017. “Proses Interaksi Komunitas Adat Kajang di Desa Tana Toa
Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”. Skripsi. Fakultas Dakwah
dan Komunikasi. PMI Kesejahteraan Sosial. Universitas Islam Negeri
Alauddin. Makassar.
Susilo, Rachmad. 2014. Sosisologi Lingkungan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Usop, KMAM (1985) Pasang ri Kajang, Kajian Sistem Nilai Masyarakat Amma
Toa dalam Mukhlis dan Kathryn Robinson (Eds). Agama dan Realitas
Sosial. Makassar: LEPHAS.
Wahyuni. 2012. Kehidupan Sosial Masyarakat KAjang. 7(2): 174-180.
Internet:
http://sma1kajang.blogspot.com/2011/06/kajang-ammatoa.html. Diakses 28 Maret
2020.
https://www.academia.edu/12501444/tugas_membuat_skripsi. Diakses 28 Maret
2020.
LAMPIRAN
1. DOKUMENTASI
Gambar 1.1 Foto spanduk P. IPS Kekhususan Sosiologi
Pascasarjana UNM Angkatan 2019
Gambar 1.2 Foto Pasang Ri Kajang di depan gerbang Desa Ammatoa
Gambar 1.3 Foto Tata Tertib Desa Ammatoa
Gambar 1.4 Foto Daya Tarik di Depan Gerbang Desa Ammatoa
Gambar 1.5 Foto di depan gerbang Desa Ammatoa
Gambar 1.5 Foto bersama di depan gerbang Desa Ammatoa
2. LAPORAN PENGANGGARAN
Rincian Pengeluaran
Buka Rekening Rp. 100.000,Ceklok Tanggal 15/02/2020 (Dirgahayu)
1. Mobil Rental
2. Bensin
3. Makan Siang
4. Cemilan Sore
5. Minuma
6. Permen Kopiko
7. Karcis Masuk Bira
8. Parkir di Bara
9. You C
10. Sopir
11. Panjar Penginapan
= Rp. 500.000,= Rp. 270.000,= Rp. 202.000,= Rp. 108.000,= Rp. 36.000,= Rp. 10.000,= Rp. 85.000,= Rp. 20.000,= Rp. 20.000,= Rp. 200.000,= Rp. 500.000,-
Total : 1.951.000,Keberangkatan Tanggal 07 & 08/03/2020
Transportasi (Nurul Khairi)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sewa bus 3 unit (3 x 3.400.000,-)
= Rp. 10.200.000,Sewa mobil rental 2 unit (2 x 600.000,-)
= Rp. 1.200.000,Uang Bensin Udin
= Rp. 100.000,Parkir di Bara 3 unit bus (3 x 50.000,-)
= Rp. 150.000,Parkir di Kajang
= RP. 150.000,Kopi dan Rokok Sopir tgl 07/03/2020
= Rp. 150.000,Tgl 07/03/2020 Biaya bensin dan uang makan 2 unit mobil rental
(2 x 1.500.000,-)
= Rp. 3.000.000,1. 1.500.000,- (Mobil 1) Rincian Pengeluaran:
- Premium
= Rp. 230.000,- Ibu Desa Kajang
= Rp. 200.000,- Jagung (60x 2)
= Rp. 120.000,- Langsat 15 kg
= Rp. 15.000,- Press Ban
=Rp. 10.000,- Susu Beruang
= Rp.10.000,- You C
= Rp. 8.000,- Cemilan Dosen (Pergi)
= Rp. 29.000,- Cemilan Dosen (Pulang)
= Rp. 59.000,- Makan Siang Dosen (Pergi)
= Rp. 216.000,-
-
Makan Siang Dosen (Pulang)
Pertamina
Bensin
Transportasi
Uang Parkir di Bara
Total Terpakai
= Rp. 152.900,= Rp. 170,054,= Rp. 20.000,= Rp. 50.000,= Rp. 60.000,= Rp. 1.350.000,-
2. 1.500.000,- (Mobil 2) Rincian Pengeluaran:
- Total Terpakai
= RP. 1.129.200,-
Total Keseluruhan: 14.429.200,Perlengkapan (Ridwan)
1. Pelunasan Penginapan
= Rp. 3.000.000,2. Masuk Bara
- Kelas A
= Rp. 319.000,- Kelas B
= Rp. 315.000,- Kelas C
= Rp. 315.000,3. Honor Dosen
= Rp. 6.000.000,4. Ammatoa
= Rp. 200.000,5. Kebutuhan Dosen
= Rp. 60.000,6. Biaya penerjemah 2 orang ( 2 x 200.000,-) = Rp. 400.000,7. Perlengkapan Sebelum Berangkat (Kak Ridwan)
Rincian
- Spanduk 1 x 3m, 2 lembar+ 1 x 1 lembar = 35.000/m x 9 m =Rp
315.000
- I rol latban putih 1 buah =Rp 30.000
- Tissue 1 buah
= Rp13.000
- Amplot 1 rim
= Rp17.000
- Gabus piring
=Rp 17.000
- Gelas 16 oz
=Rp 67.600
- Hd. Sampah 90 x 110 cm =Rp 92.500
- Bensin
=Rp 30.000
- Tali rapiah
=Rp 5.000
- Baterai ABC X 20.000 =Rp 80.000
- Tabung gas
=Rp 30.000
- Tempat pembakar jagung =Rp 20.000
Total Keseluruhan: 11.326.100,-
Komsumsi (Ulfah Maulidhya)
Dana : Rp. 11.000.000,00-
Rincian Pengeluaran
1. 30 dus air botol
2. Catering Makassar
3. Kue Dosen Pas Berangkat
4. Snack dos
5. Catering Bulukumba
6. Amanda
7. Kantong hitam
8. Air panas dan galon
9. Kue pagi
10. Sabuk bakar
11. Jagung
12. Uang kopi + rokok 3 supir tgl 8/3/2020
13. Sunlight
14. Grab
15. Bensin
16. Parkir
 Parkir Tgl 3/3/2020
 Parkir Tgl 4/3/2020
17. Tentengan Dosen
 Tas tentengan + kwitansi
 Isi tentengan
> All merk
18. Bingkisan Amma Toa
 10 gula
>Rosebrand (10 x 12.500)
 10 kopi
> SP merah (10 x 11.700)
 10 teh
>Tehariwangi (10 x 5.100)
 10 minyak goreng
> Fortune 1 ltr (10 x 5.100)
19. Tambahan
 4gula
>Rosebrand (4 x 12.500)
 2 kopi
> SP merah (2 x 23.200)
 3 teh
>The sariwangi (3 x 5.100)
 20 permen
> All merk
 Tisu
> All merk
 1 gula
= 1.800.000
= 1.800.000
= 50.000
= 380.000
= 5.400.000
= 84.000
= 25.000
= 55.000
= 15.000
= 45.000
= 225.000
= 150.000
= 5.000
= 33.000
= 50.000
= 3000
= 5000
= 23.000
= 96.300
= 125.000
= 117.000
= 51.000
= 121.000
= 50.000
= 46.400
= 15.300
= 107.500
= 104.100
= 14.000
Total
Total Uang terpakai
= 10.945.600
= Rp. 38.751.900,-
3. DAFTAR HADIR MAHASISWA
1. Andy Ganing
(1910502030001)
2. Dirgahayu
(1910502030002)
3. Mardi Lestari
(1910502030003)
4. Musdalifah
(1910502030004)
5. Wahyudin
(1910502030005)
6. Resty Rahayu Darmayanti
(1910502030006)
7. Muthiah Rahmi
(1910502030007)
8. Marhamah
(1910502030008)
9. Aan Wildana Putra
(1910502030009)
10. Marwati
(1910502030010)
11. Nur Syahdi Abdi
(1910502030011)
12. Murni
(1910502030012)
13. Ramlah
(1910502030013)
14. Andi Kartika Andryani
(1910502030014)
15. Nurmagfirah
(1910502030015)
16. Mildayanti
(1910502030016)
17. Hasanudin Kasim
(1910502030017)
18. Ulfah Maulidhya
(1910502030018)
19. Ashari Ramlan
(1910502030019)
20. Anugrah Mattewakkang
(1910502030020)
21. Nurwahida
(1910502030021)
22. Arwina Fadhilah
(1910502030022)
23. Syahrul Alamsyah
(1910502030023)
24. Abd. Rachman
(1910502030024)
25. April Cahaya
(1910502030025)
26. Nur Wahida Yusuf
(1910502030026)
27. Khairunizha Medina
(1910502030027)
28. Muh. Rijal
(1910502030028)
Makassar, 15 Februari 2020
Nomor : 1246/UN.36/10/KM/2020
Lamp. : Perihal : Surat Perizinan
Kepada Yth,
Kepala Desa Tanah Toa, Kec. Kajang
Di –
Tempat
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan begitu banyak
nikmat kepada para hamba-NYA. Shalawat dan salam tercurah bagi
hamba-Nya yang mulia Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam sebagai
suritauladan manusia.
Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Program Studi Budaya
oleh Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Pendidikan IPS, Universitas
Negeri Makassar yang akan dilaksanakan pada :
Hari
Waktu
Tempat
: Ahad / 8 Maret 2020
: Pukul 10.00 – 14.00
: Desa Tanah Toa, Kec. Kajang
Maka dengan ini, kami bermaksud untuk memohon kepada
Bapak/Ibu Kepala Desa agar kiranya bersedia memberikan izin untuk bisa
memasuki kawasan Desa Tanah Toa, Kec. Kajang guna berjalan lancarnya
kegiatan kami ini.
Demikian surat permohonan izin ini, atas seluruh perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Panitia Pelaksana,
Ketua Panitia
Mengetahui,
Ketua Prodi Pendidikan IPS
Nurul Khairi Nurdin
Prof. Dr. Darman Manda, M. Hum
NIP. 196501031990031001
1.
2.
Muh. Rijal, S.Sos
191050203028
0813-4001-9870
[email protected]
Resty Rahayu Darmayanti, S.Pd
191050203006
0852-4089-0043
[email protected]
3.
Syahrul Alamsyah, S.E
191050203023
0823-4406-7830
[email protected]
4.
Marwati, S.Pd
191050203010
0852-8557-2888
[email protected]
5.
Wahyudin, S.Pd
191050203005
0812-4262-5494
[email protected]
6.
7.
Ramlah, S.Pd
191050203013
0823-9652-1589
[email protected]
Aan Wildana Putra, S.Pd
191050203009
089-9084-8629
[email protected]
8.
9.
10.
Arwina Fadhilah, S.Sos
191050203022
0822-9383-4036
[email protected]
April Cahaya, S. Pd
191050203025
0823-4558-7715
[email protected]
Khairunizha Medina, S.Pd
191050203027
0823-9472-9711
[email protected]
11.
Anugrah Mattewakkang, S.Pd
191050203020
0853-4207-0205
[email protected]
12.
Musdalifah, S.Pd
191050203004
0823-2883-8625
[email protected]
13.
Nur Syahdi Abdi, S.Pd
191050203011
0877-8486-4321
[email protected]
14.
Ulfah Maulidhya, S.Pd
191050203018
0823-4935-3853
[email protected]
15.
16.
Mardi Lestari A, S.Sos
191050203003
0813-2649-4349
[email protected]
Muthiah Rahmi, S.Pd
191050203007
0823-1160-5250
[email protected]
17.
Hasanudin Kasim, S.Pd
191050203017
0823-4194-2316
[email protected]
18.
Dirgahayu, S.Pd
191050203002
0853-9856-5864
[email protected]
19.
20.
21.
Andy Ganing, S.Sos
191050203001
0853-4384-9141
[email protected]
Nurwahida, S.Pd
191050203021
0853-9414-1072
[email protected]
Ashari Ramlan, S.Pd
191050203019
0823-9333-1515
[email protected]
22.
Marhamah, S.Pd
191050203008
0823-4804-0288
[email protected]
23.
Mildayanti, S.Pd
191050203016
0823-4708-5308
[email protected]
24.
25.
Andi Kartika Andryani, S.Sos
191050203014
0823-9363-3060
[email protected]
Murni, S. Pd
191050203012
0852-4286-9024
[email protected]
26.
Abd. Rachman, S. Pd
191050203024
0853-4095-8039
[email protected]
27.
Nurmagfirah, S. Sos
191050203015
0852-4280-2440
[email protected]
28.
Nur wahida Yusuf, S.Pd
191050203026
0812-6089-8597
[email protected]
Download