Uploaded by User54344

Raden Haji Abdul Manaf Ulama Sunda

advertisement
Islam Digest Republika, 5 Juni 2011
Raden Haji Abdul Manaf, Ulama Sunda di Bandung Selatan
Abad ke-17/18 yang Meninggalkan Kampung Ziarah yang Unik
Moeflich Hasbullah
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati
Raden Haji Abdul Manaf disebut juga Eyang Dalem
Mahmud adalah seorang ulama Sunda yang hidup pada
abad peralihan abad ke-17/18, hidup diperkirakan antara
tahun 1650–1725. Hingga saat ini, riwayat ulama ini belum
banyak diketahui. Belum ada penelitian mendalam yang
mengungkap peranannya di Kota Bandung atau di Sunda
pada abad tersebut. Tentang tempat asalnya, beredar dua
versi: dari keturunan Cirebon dan keturunan Mataram.
Mungkin, dari Mataram, ke Cirebon terus ke Bandung. Tapi
melihat para leluhurnya, ia adalah seorang keturunan
Sunda. Tetapi, dari namanya, ia bukan orang Sunda,
mungkin dari Mataram. Bukti pasti bahwa ia seorang ulama berpengaruh adalah
makamnya yang dianggap keramat dan hingga kini banyak diziarahi banyak orang.
Selain makam, ia pun meninggalkan peninggalannya yaitu sebuah kampung unik
yang disebut Kampung Mahmud di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih.
Kampung ini berada dipinggiran Sungai Citarum yang melewati kawasan Bandung
Selatan. Letaknya yang di pinggiran sungai ini, membuat kampung ini eksklusif,
menutup komunikasi langsung sehari-hari warganya dengan dunia luar sehingga
dalam waktu cukup lama keaslian tradisinya terjaga. Keunikannya adalah, rumahrumah di kawasan Mahmud bentuknya sama yaitu rumah panggung, pantangan
memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian, dilarang menyetel
musik dan memelihara binatang. Namun, seperti akan diuraikan, nilai-nilai adat ini
kini sudah banyak dilanggar. Keadaan mulai banyak berubah.
Riwayat Haji Abdul Manaf [1]
Menurut tradisi lisan, diceritakan oleh Raden Haji Mangkurat Natapradja (Lurah
Desa Babakan Ciparay tahun 1915-1950), bahwa bupati saat itu bernama Dalem
Dipati Agung Suriadinata. Ia mempunyai putra bernama Dalem Natapradja.
Natapraja ini adalah ayahnya Raden Haji (RH) Abdul Manaf atau dikenal dengan
sebutan Dalem Mahmud.
Suatu saat, RH. Abdul Manaf pergi menunaikan haji ke Mekkah. Ketika ia berada di
depan Ka’bah ia bermunajat kepada Allah dan mendapat ilham (wangsit) berbentuk
1
perintah: “Kamu harus mengambil segenggam tanah dari pelataran Ka’bah ini
untuk dibawa pulang ke tanah air. Setibanya di kampung halamanmu, tanah itu
harus ditebarkan di sekitar rumah kemudian namailah kampungmu itu dengan
nama Mahmud. Kemudian kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haram”
(tanah suci) yang tidak boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak
beragama Islam. Selanjutnya, tandailah dengan sebuah tugu yang menjadi tanda
bahwa tanah itu adalah tanah haram.” Sepulang dari Mekkah, Abdul Manaf
melaksanakan perintah itu. Kampung Mahmud itu bertahan beratus-ratus tahun
berhasil menjadi kampung yang terjaga sesuai pesan dari Mekkah itu.
Setelah kampung itu bernama
Mahmud, tempat itu berkembang
menjadi salah satu pusat pelajaran
spiritual Islam [2] terkenal di tatar
Sunda dan sekaligus menjadi sebuah
tempat perlindungan
(persembunyian) dan pengayoman
bagi mereka yang mencari
perlindungan. Sebuah kisah
diceritakan R. Endih Natapraja dan
pernah ditulis oleh R. Suandi
Natapraja sebagai berikut:
Suatu ketika, Eyang Dalem Mahmud kedatangan seoang pria setengah baya yang
mengaku berasal dari daerah timur bernama Zainal Arif. Tamu itu menceritakan
bahwa kedatangannya dalam rangka melarikan diri karena ia dituduh
membahayakan keamanan penguasa Kolonial Belanda. Setelah menempuh
perjalanan sekian jauh, atas petunjuk beberapa orang yang ditemuinya, sampailah
ia ke kawasan Mahmud tersebut dan menemui RH. Abdul Manaf. Ia kemudian
memohon perlindungan. Abdul Manaf menerimanya dan menjadikannya sebagai
murid serta pengikutnya.
Setelah sekian lama mengikuti pelajaran, ternyata didapati bahwa Zainal Arif adalah
seorang pemuda yang pandai, cerdas dan cekatan dalam menerima pelajaran yang
diberikan. Karena ia pun menunjukkan kesetiaannya sebagai murid Eyang, ia pun
akhirnya dinikahkah dengan salah seorang keturunannya kemudian diberi gelar
Eyang Agung. Zainal Arif yang telah menjadi menantu Eyang Dalem kemudian
berpengaruh dan tumbuh menjadi “Eyang kedua.” Eyang Dalem Mahmud Haji
Abdul Manaf diperkirakan wafat tahun 1725. Dari catatan keturunannya yang masih
hidup hingga sekarang, seperti tercatat dalam buku tipis yang ditulis oleh Iwan
Natapraja (keturunan ke-10 dari RH. Abdul Manaf), Riwayat Maqam Mahmud:
Peristirahatan RH. Abdulmanap Eyang Dalem Mahmud (Galura, 2003). terdapat
urutan silsilahnya leluhur dan keturunannya sebagai berikut:
Prabu Linggawastu
Prabu Mundingkawati (Siliwangi I)
2
Prabu Anggalarang (Siliwangi II)
Parubu Pucuk Umum (Siliwangi III)
Prabu Anggalarang (Siliwangi IV)
Prabu Seda (Siliwangi V)
Prabu Guru Bantangan
Prabu Lingga Pakuan
Panandean Ukur
Dipati Ukur Ageung
Dipati Ukur Anom
Dipati Ukur Delem Suriadinata
Dalem Nayadireja (Sontak Dulang)
Raden Haji Abdul Manaf
Raden Saedi
Raden Jeneng
Raden Jamblang
Raden Brajayuda Sepuh (Jagasatru I)
Raden Haji Abdul Jabar (Jagasatru II)
Raden Brajayuda Anom (Jagasatru III)
Raden Haji Mangkurat Natapradja (H. Abdulmanap)
Sedangkan silsilah Zainal Arif, nyambung kepada Syekh Haji Abdul Muhyi di
Pamijahan, Tasikmalaya.
Syekh Abdul Muhyi
Sembah Dalem Bojong
Sembah Eyang Samadien
Sembah Eyang Asmadien
Sembah Eyang Zainal Arif [3]
Embah Ta’limudin
KH. Marjuki (Mama Prabu Cigondewah)
Komplek Makam
Syawalan di Makam Mamud (Foto: Komunitas Aleut)
3
Raden Haji Abdul Manaf dikebumikan di bawah pohon beringin yang rindang
berdekatan dengan makam Zainal Arif, berjarak sekitar 15 meter. Tugu yang
dibangun berdasarkan ilham di tanah suci hingga kini terpelihara karena dilestarikan
dengan dibangun sebuah bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi pagar
besi dan beratap. Makam RH. Abdul Manaf merupakan makam utama dibangun
dari lempengan batu murni berbentuk segi empat. Di sekitarnya, terdapat pula
beberapa makam murid dan keluarga dekat Abdul Manaf. Komplek makam ini
cukup nyaman sebagai tempat ziarah yang sepertinya dibangun sengaja untuk para
penziarah. Ziarah pada saat hari-hari besar Islam seperti bulan Maulud dan Rajab
melebihi jumlah hari-hari biasa.
Sejarah dan Nilai Strategis Kampung Mahmud
Foto: Ridwan Hutagalung
Hingga saat ini, kampung Mahmud masih sebagai kampung “tertutup” atau “tanah
haram” yang hanya boleh dikunjungi oleh orang yang beragama Islam. Untuk
menjaga keutuhan kampung, hanya terdapat satu jalan masuk yang dipintunya
memakai gapura atau portal bertuliskan “Kampung Mahmud.” Akses ke Kampung
Mahmud sekarang semakin mudah dengan angkutan umum langsung ke lokasi.
Sepanjang pengetahuan kuncen, sejak zaman Belanja, kemudian Jepang, kampung
Mahmud hingga saat ini belum pernah diinjak oleh orang non-Muslim. Karenanya,
tidak ditemukan orang asing disini atau non-pribumi yang berani membuka usaha.
Semua kegiatan ekonomi atau perniagaan dipegang oleh orang-orang pribumi. Di
kawasan luar kampung, baru ditemui beberapa toko dan usaha kelompok “nonpribumi.” Adat Kampung Mahmud melarang pembunyian alat-alat musik, beduk
dan pemeliharaan hewan piaraan.
Lokasi di pinggiran Citarum ternyata adalah pilihan strategis Raden Haji Abdul
Manaf dalam situasi penjajahan Belanda. Kampung Mahmud dulunya adalah rawarawa yang sulit dilalui. Daerah itu dikelilingi Sungai Citarum lama dan sepotong
Sungai Citarum baru. Secara geologis, daerah yang kini dihuni sekitar 400 keluarga
4
tersebut berbentuk cekungan. Tempat yang menjorok dari kota dan terpisahkan
oleh Sungai Citarum membuat kampung ini sulit tersentuh oleh Belanda sehingga
aman sebagai tempat persembunyian dan untuk mengembangkan ajaran Islam.
Larangan menyembunyikan alat-alat musik, pewayangan, gamelan, beduk dan
pemeliharaan binatang (terutama kambing dan angsa) bukanlah mitos atau paham
keagamaan kolot melainkan sebuah kearifan tradisional. Larangan itu adalah
amanat RH. Abdul Manaf agar tidak menimbulkan kebisingan yang bisa
mengundang kecurigaan dan kehadiran pihak penjajah Belanda ke kampung itu.
Jadi, di satu sisi, RH. Abdul Manaf berusaha menjadikan tempat itu sebuah kampung
yang aman dan nyaman sebagai tempat persembunyian. Di sisi lain, sebagai ulama,
ia juga mengajarkan dan menanamkan rasa kebersamaan, kesederajatan sosial,
saling membantu dan sikap gotong royong seperti yang diajarkan Islam. Ajaran ini
ditanamkannya melalui amanat pembuatan rumah yang sama yaitu bentuk
panggung. Sedangkan larangan bangunan bertembok, pembuatan sumur dan
pemasangan kaca karena pertimbangan daerah itu labil. Tembok, sumur dan kaca
tidak fleksibel terhadap guncangan dan mudah ambruk. Larangan ini untuk
menanamkan nilai-nilai kesamaan diantara warga penduduk kampung Mahmud.
Ajaran-ajaran inilah yang membuat kampung ini aman, tenang dan asri.
Dampak Modernisasai: Tak Lagi Asri
Namun, sejak pasca pertengahan abad ke-20, perubahan zaman dan modernisasi
yang tidak terhindarkan, pengaruh teknologi mulai masuk. Komunikasi dengan
dunia luar semakin terbuka. Media komunikasi seperti telepon sudah mulai masuk.
Media elektronik seperti radio dan televisi sekarang sudah diterima, termasuk
media cetak seperti surat kabar, majalah, atau buku. Mereka juga sudah terbiasa
dengan kunjungan para peziarah dari luar.
Rumah Kampung Mahmud yang sudah mengalami modernisasi
5
Sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia, modernisasi mengakibatkan
akibat-akibat buruk di kampung ini:
Pertama, sungai Citarum yang dulu bersih dan asri, digunakan oleh masyarakat
kampung Mahmud untuk mandi dan mencuci, kini berpolusi limbah pabrik dan tidak
bisa digunakan lagi. Ini mendorong penduduk membuat sumur masing-masing.
Pada perubahan-perubahan yang sifatnya tidak bisa dihindari dan untuk kebutuhan
semua orang, seperti kebutuhan air ini, biasanya para pupuhu disitu berdialog
meminta izin dulu kepada Eyang RH. Abdul Manaf. Dan karena direstui, tidak terjadi
akibat apa-apa.
Kedua, penggunaan alat-alat teknologi modern mulai masuk dan secara kultural
merusak keaslian adat dan tradisinya. Televisi banyak merubah cara pandang dan
gaya hidup. Selain sikap materialistik mulai tumbuh, gaya bicara remaja-pemuda
yang mulai “ngota” (tidak berbahasa Sunda), kini warga Mahmud terbiasa
menyaksikan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti menyaksikan tayangantayangan artis selebritis dan sinetron di televisi.
Ketiga, perkembangan ekonomi dan pandangan hidup materialistik mulai merubah
tradisi dan nilai-nilai adat kampung Mahmud yang sebelumnya memegang asas
kesederajatan dan kebersamaan. Kini rumah-rumah mulai bertembok, memakai
genteng mewah dan kaca. Kebun-kebun bambu milik penduduk kampung pun dijual
kepada masyarakat kota untuk dijadikan lahan-lahan pemakaman. Atas
pelanggaran-pelanggaran itu, menurut Syafe'i, yang dituakan di kampung itu,
terbukti mereka yang melanggar biasanya sakit, rumah tangganya tidak rukun, atau
ekonominya mandek. "Bukan karena sumpah leluhur, tapi karena perilaku mereka
sendiri, kata Syafe'i yang menjelaskan adat masyarakatnya memang menerapkan
keseragaman agar masyarakat tak saling menonjolkan diri, berperilaku sederhana,
dan menekan rasa sombong. Kini Kampung Mahmud tak lagi asri. Saya tidak tahu,
bagaimana nanti kalau mereka sudah meninggal, ke mana mereka akan
memakamkan keluarganya?" ungkap Syafe'i.[]
6
Foto-foto:
Masjid Kampung Mahmud
Sausana malam di Kampung Mahmud (Foto: Kaskus)
7
Download