BAB 1 PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (Bhan, 2005). Sejak awal abad ke 20, insidensi demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang (Parry, 2011). Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidensi demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya (Bhan, 2005). Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses (Bhutta, 2006). 1 2 Di Indonesia, insidensi demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah (Vollaard, 2004). Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) merupakan penyakit yang sering dijumpai di banyak negara berkembang. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pohan, 2011). Kasus demam tifoid di negara berkembang dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit (Soedomo, 2010). Kasus demam tifoid di Indonesia tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demam tifoid antara lain jenis kelamin, usia, status gizi, kebiasaan jajan, kebiasaan cuci tangan, pendidikan orang tua, tingkat penghasilan orang tua, pekerjaan orang tua, dan sumber air (Soedomo, 2010). 3 Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 3-19 tahun karena pada usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar rumah, yang sebagian besar kurang memperhatikan higienitas. Insidensi demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia sekolah. Frekuensi sering jajan sembarangan yang tingkat kebersihannya masih kurang, merupakan faktor penularan penyakit demam tifoid. Bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak dalam makanan yang kurang dijaga higienitasnya (Vollaard, 2004). Anak sekolah cenderung kurang memperhatikan kebersihan atau higenitas perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam tifoid (Anggrani, 2012). Angka prevalensi penyakit demam tifoid menurut provinsi didapatkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menduduki peringkat pertama (2.600/100.000) selanjutnya Provinsi Bengkulu (2.500/100.000), dan Provinsi Gorontalo (2.400/100.000). Prevalensi tifoid tertinggi dilaporkan dari Kabupaten Aceh Utara 7,0%. Dilihat dari aspek pekerjaan, prevalensi tertinggi tifoid dijumpai pada kelompok sekolah (RISKESDAS, 2007). Fenomena yang terjadi di masyarakat, masih banyak warga yang tidak menerapkan perilaku higiene perseorangan meskipun tingkat pengetahuan dan sikap mereka tentang kesehatan sudah cukup baik. Hal yang demikianlah yang menyebabkan jumlah penderita demam tifoid meningkat setiap tahunnya (Anggarani, 2012).