Hukum-Hukum Menikah 1. Wajib 2. Sunah 3. Mubah 4. Makruh 5. Haram Wajib Hukum nikah dikatakan wajib apabila : orang yang sudah baligh, sudah memiliki pekerjaan/penghasilan belum memiliki pasangan, tetapi memiliki libido yang tinggi, maka hukum nikah menjadi Wajib baginya. Untuk mencegah terjadinya hub. Pranikah/perzinahan. Sunah Hukum nikah dikatakan Sunah apabila : orang yang sudah baligh, sudah memiliki pekerjaan/penghasilan belum memiliki pasangan, tetapi masih dapat mengontrol syahwatnya, maka hukum nikah menjadi Sunah baginya. Mubah Mubah merupakan Hukum dasar nikah, dikatakan Mubah karena Nikah tidak dapat dicegah dengan apapun, jika keduanya sudah cocok dan siap baik yang sudah berpenghasilan ataupun tidak, hingga hingga ada larangan dari nash. Makruh Hukum nikah dikatakan Makruh apabila : Menikah dengan tujuan tidak baik, misal : seorang laki-laki karena memiliki trauma terhadap perempuan, menikah hanya dijadikan ajang untuk melampiaskan dendam, dsb. Haram Hukum nikah dikatakan haram apabila : orang yang sudah baligh sudah memiliki pasangan untuk menikah tetapi belum memiliki penghasilan yang tetap, dikatakan haram karena menikah merupakan tanggung jawab, dan jika belum mampu untuk menafkahi dirinya bagaimana menafkahi orang lain. ْ ض َّم ُن إ َبا َحةَ َو ْ ض ُّم َو ْال َو طءٍ ِبلَ ْف ِظ إ ْن َكاحٍ أ َ ْو ن َْح ِو ِه َّ ُه َو لُغَةً ال.تاب النكاح ً ط ُء َوش َْر َ َع ْق ٌد َيت َ عا Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38). وذلك تبعا ً للحالة التي يكون عليها الشخص،ً وليس حكما ً واحدا،عا للنكاح أحكام متعددة ُ ُحكم النِ َكاحِ ش َْر Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17). Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut: 1. Sunah Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini: ، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج،يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه له وجا ٌء،ومن لم يستطع فعليه بالصوم Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.” 2. Sunah Ditinggalkan Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33: ض ِله ْ ََّللاُ ِمن ف ِ َو ْليَ ْستَ ْع ِف َّ ف الَّذِينَ ََل َي ِجدُونَ ِن َكاحا ً َحتَّى يُ ْغ ِنيَ ُه ْم Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya. 3. Makruh Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan. 4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya. 5. Lebih Utama jika Menikah Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah. Demikian keterangan beberapa hukum nikah dan kondisinya kali ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Muhammad Ibnu Sahroji) Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/84452/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah