Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia Undang-undang No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Major Labour Laws of Indonesia Act No. 21 of 2000 on Trade Unions Act No. 13 of 2003 on Manpower Act No. 2 of 2004 on Industrial Relations Disputes Settlement Prakata D engan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004, melalui Lembaran Negara Nomor 6 Tahun 2004, lengkaplah sudah instrumen hukum utama dalam pelaksanaan reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Sebelum pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, kita telah memiliki Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga undang-undang di bidang ketenagakerjaan tersebut merupakan gambaran dan arah kebijakan ketenagakerjaan, kebutuhan masa kini serta pengejawantahan rasa keadilan masyarakat di bidang ketenagakerjaan. Memang terdapat pihak-pihak yang tidak menyetujui atau menganggap ketiga undang-undang ini belum memenuhi aspirasi masyarakat. Hal ini tentu tidak dapat dihindarkan, karena tidak mungkin memenuhi semua keinginan masyarakat, karena satu sama lain mempunyai aspirasi atau kepentingan yang berbeda. Dengan mengingat semua perbedaan itu, ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam ketiga undang-undang tersebut merupakan rumusan yang maksimal dapat kita hasilkan. Yang lebih membanggakan kita bangsa Indonesia adalah bahwa ketiga undang-undang tersebut dibahas pula oleh para konstituent atau pengguna dan undang-undang ini. Dengan demikian baik isi maupun proses pembuatannya telah memenuhi prinsip-prinsip demokratisasi, suatu hal yang didambakan oleh dunia ketenagakerjaan terutama sejak dimulainya era reformasi tahun 1998. i Hal yang paling penting dari suatu peraturan perundangan adalah pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut, dan hal mi justru yang paling sulit. Untuk pelaksanaan ketentuan baru berbagai upaya harus disiapkan yang mencakup di dalamnya perubahan cara berpikir, perubahan sikap mental, perubahan atau pembangunan institusi/kelembagaan baru. Pembangunan kelembagaan ini berkaitan pula dengan dukungan sumber daya baik manusia maupun keuangan. Memang sama sekali bukan hal yang mudah, namun bukan hal yang tidak mungkin bahkan merupakan kewajiban kita untuk memenuhinya, karena sudah merupakan amanat undang-undang. Salah satu syarat dan pelaksanaan undang-undang yang efektif adalah adanya masyarakat yang sadar hukum yang merupakan juga upaya untuk mengubah sikap mental. Upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang adanya nilai-nilai baru di bidang ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam 3 (tiga) undang-undang ini, dilakukan antara lain melalui sosialisasi. Sehubungan dengan upaya sosialisasi, kami harapkan himpunan undang-undang mi dapat membantu proses penyadaran akan nilainilai baru tersebut. Akhirnya kepada Kantor International Labour Organisation (ILO) di Jakarta termasuk ILO/USA Declaration Project yang telah membantu serta berpartisipasi dalam proses reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia sejak tahun 1998 sampai diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, kami mengucapkan penghargaan dan terima kasih. Diharapkan kerja sama antara Pemerintah khususnya Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan ILO dapat ditingkatkan utamanya dalam pelaksanaan ketiga undang-undang ini. Semoga himpunan peraturan perundangan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Jakarta, April 2004 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Jacob Nuwa Wea ii Preface I ndonesia has completed all the main legal instruments of labour law reform by enacting the Act No. 2 of 2004 regarding Industrial Relations Dispute Settlement on 14 January 2004, through the State Gazette No. 6 of 2004. Act No. 21 of 2000 regarding Trade Union and Act No. 13 of 2003 regarding Manpower has been enacted before this law. These three Acts represent the policy direction in the field of manpower, taking into account future needs and the interest of ensuring justice in society. It is acknowledged that some parties feel that the Acts do not meet the community interest. This condition cannot be avoided, because it is impossible to cover all needs in the community due to differences in interest. Considering these differences, the provisions of the three Acts aimed to accommodate all the various interests so that the Acts could provide maximal solutions that can be achieved under the circumstances. It can be clearly noted that all constituents or the parties affected by the laws have been involved in various consultations before the Acts were enacted and the contents and the drafting process of the three Acts are in line with democratic principles as expected by the industrial relations society since the reform movement began in 1998. More importantly is the need for the effective enforcement and implementation of the provisions of the Acts, and this can be a difficult thing to do. To be effectively implemented, various efforts need to be done including change in paradigm, mental attitude and institutional adjustment and development. Institutional development is influenced by the availability of human and financial resources. All of these are not easy task, but it is not impossible to achieve since such obligation is mandated by the Acts. iii One of the requirements for the effective implementation of the Acts is community awareness and attitude changes as demanded by the legislation. This can be done by providing support in the socialization of the three Acts and through the publication of a compilation of the Acts. We thank and convey our appreciation to ILO Jakarta Offices including the ILO/USA Declaration Project, which has assisted and participated in the process of labour law reformation in Indonesia since 1998 until the enactment of the Act No.2 of 2004. We hope that the cooperation between the Government of Indonesia, particularly the Ministry of Manpower and Transmigration, and the ILO can contonue to improve to ensure the effective implementation of the three Acts. We hope that this compilation of the Labour Acts will be of real benefit to all parties. Jakarta, April 2004 Minister of Manpower and Transmigration Republic of Indonesia Jacob Nuwa Wea iv Kata Pengantar P engundangan Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menandakan bahwa ada tiga undang-undang inti untuk meggantikan undangundang yang lama seperti yang digambarkan oleh Program Reformasi Hukum Perburuhan di Indonesia. Dua undang-undang lainnya adalah Undang-undang No.21 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang diundangkan pada tanggal 4 Agustus 2000 dan Undang-undang No.13 tentang Tenaga Kerja yang berlaku efektif pada tanggal 25 Maret 2003. Penyelesaian program legislatif ini adalah peristiwa penting dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Pemerintah, bekerja sama dengan organisasi pekerja dan pengusaha, telah mencapai tujuannya untuk menciptakan kerangka hukum dasar yang mengatur hubungan pekerja dan pengusaha sejalan dengan aspirasi dan kepentingan nasional serta standar dan praktek perburuhan internasional. Pemerintah telah sukses meletakkan pondasi hukum perburuhan yang dirancang utamanya untuk meningkatkan hubungan industrial yang baik dan harmonis sekaligus menghormati hak-hak pekerja dan memastikan efisiensi, stabilitas dan kesetaraan di tempat kerja. Program Reformasi Hukum Perburuhan dimulai pada tahun 1998. Program tersebut mengikuti peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun yang sama yang mempertimbangkan adanya pembenahan atas peranan demokrasi di Indonesia dan pengratifikasian Konvensi ILO No.87 mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Salah satu efek dari perubahan tersebut adalah penolakan atas kebijakan lama yang mengijinkan satu serikat pekerja saja yang memiliki monopoli untuk mewakili pekerja, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai Pendaftaran Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada tanggal 27 Mei 1998. Sejak itu, jumlah serikat pekerja v yang bebas dan mandiri terus bertambah dengan cepat dan saat ini sudah ada lebih dari 80 federasi serikat pekerja yang terdaftar di Indonesia. Mungkin berguna untuk mengingat kembali rekomendasi dari Misi Kontak Langsung ILO ke Indonesia pada bulan Agustus 1998 yang berisi ukuran- ukuran penilaian yang berkaitan dengan reformasi hukum perburuhan. Ukuran tersebut termasuk memastikan kesesuaian program reformasi dengan Konvensi ILO No.87 dan 98, pembentukan badan konsultasi tripartit untuk persiapan dan pelaksanaan peraturan perburuhan dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan mandiri. Pada bulan Desember 1998, Letter of Intent (Surat Kesepakatan) ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan ILO – dimana Pemerintah menegaskan kembali komitmennya untuk meratifikasi seluruh Konvensi inti ILO dan ILO berkewajiban untuk menyediakan bantuan teknis untuk peratifikasian dan pelaksanaan Konvensi-konvensi tersebut. Indonesia menjadi negara pertama di wilayah Asia yang meratifikasi seluruh delapan Konvensi inti ILO. Sebagai balasannya, ILO menyediakan bantuan teknis dalam proses pelaksanaannya. Salah satu bentuk bantuan teknis tersebut adalah ILO/USA Declaration Project, yang disokong oleh Departemen Perburuhan Amerika Serikat, yang bertujuan untuk meningkatkan kebebasan berserikat dan hak yang efektif untuk berunding bersama, untuk membantu terciptanya hubungan perburuhan yang baik dan untuk memperkuat kapasitas dari pihak tripartit di Indonesia. Fase I dari Proyek Deklarasi dilaksanakan pada tahun 2001-2003 sedangkan Fase II mencakup 2003-2004. Proyek telah melakukan sejumlah kegiatan untuk pihak tripartit yang berkenaan dengan pembangunan kapasitas, kemampuan bernegosiasi, kerjasama bipartit, kesetaraan jender, penyelesaian sengketa dan pelaksanaan undang-undang perburuhan yang baru. Salah satu contoh dari kontribusi proyek adalah dukungan yang diberikan kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam memformulasikan dan mempublikasikan buku Panduan dan Manual atas undang-undang perburuhan yang baru dan penerbitan buku mengenai tiga undang-undang ketenagakerjaan Indonesia. Peraturan perundang-undangan baru ini adalah bukti yang konkrit atas keberhasilan yang penting dari pihak tripartit termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam era reformasi di Indonesia. Dibutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menyelesaikan program reformasi hukum perburuhan dan para pihak telah bekerja keras untuk vi menyelesaikannya. Hasilnya mungkin tidaklah dapat diterima oleh semua pihak, dimana hal tersebut biasa terjadi dalam memformulasikan hukum baru, namun dapat dicatat bahwa peraturan perundang-undangan tersebut mewakili produk proses demokrasi dari dialog sosial dan konsultasi yang melibatkan semua pihak yang terkait. ILO sangat senang dapat membantu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam mempublikasikan perundang-undangan perburuhan yang baru. Kami yakin bahwa undang-undang ini dapat secara efektif dilaksanakan sebagai instrumen yang benar dalam mempromosikan pekerjaan yang layak, kedamaian industrial dan keadilan sosial bagi semua pihak. Jakarta, April 2004 Alan Boulton Carmelo C.Noriel Direktur ILO Jakarta Chief Technical Advisor ILO/USA Declaration Project vii Foreword T he enactment into law of the Settlement of Industrial Relations Disputes Act No. 2 on 14 January 2004 marking the passage of the last of three centerpiece legislation envisaged under the Labor Law Reform Program of the Government, is a ground-breaking event in the labor history of Indonesia. The two other laws are the Trade Union Act No. 21 which was promulgated on 4 August 2000 and the Manpower Act No. 13 which became law on 25 March 2003. The Government in collaboration with workers’ and employers’ organizations has achieved the goal of establishing the basic legal framework governing labor and employment relations in line with national aspirations and interests as well as international labor standards and practices particularly the fundamental principles and rights at work. It has succeeded in putting in place a body of labor laws designed mainly to promote sound and harmonious industrial relations while respecting workers’ rights and to ensure efficiency, stability, and equity at the workplace. The Labor Law Reform Program was launched by the Government in l998 as an aftermath of the historic events that year in Indonesia which saw the reinstitution of democratic rule in the country and the ratification of ILO Convention No. 87 concerning freedom of association and protection of the right to organize. One of the immediate effects of these changes was the renunciation of the old policy which allowed one trade union to have a monopoly in representing the workers, with the issuance of the Government Regulations on Registration of Workers Organizations on 27 May 1998. Since then, the number of free and independent trade unions grew at a very fast rate. There are now more than 80 trade union federations registered in Indonesia. ix It may be useful to recall that the recommendations of the ILO Direct Contacts Mission to Indonesia in August l998 contained several measures related to labor law reforms. They included ensuring conformity with ILO Conventions Nos. 87 and 98, the setting up of a tripartite consultative body for the preparation and implementation of labor legislation, and the establishment of an effective and impartial dispute settlement mechanism. In December l998, a Letter of Intent was also agreed upon by the Government of Indonesia and the ILO in which the Government reaffirmed its commitment to ratify all the ILO core Conventions with the ILO committing in turn to provide technical assistance for the ratification and implementation of those Conventions. Indonesia later became the first country in the Asian region to ratify all the eight ILO core Conventions. In turn, the ILO provided and continues to provide technical assistance in the entire process of ratification and implementation. One form of such technical assistance is the execution of the ILO/USA Declaration Project, supported by the United States Department of Labor which was designed to promote and realize freedom of association and the effective right to collective bargaining, assist in establishing sound labor relations, and strengthen the capacities of the tripartite constituents in Indonesia. Phase I of the Declaration Project was implemented in 2001-2003 while the current Phase II covers 2003-2004. The Project has conducted numerous activities for the tripartite constituents since 2001 dealing with capacity-building, freedom of association, collective bargaining, negotiation skills, bipartite cooperation, gender equality, dispute settlement and the effective implementation of new labor laws. A solid example of the project’s contributions is the support it has been providing to the Ministry of Manpower and Transmigration in the formulation and publication of User Guides and Manuals on the new legislation including the present publication of the texts of the three new major labor legislation of Indonesia. The new legislation and its publication is a concrete testament to one of the most important achievements of the tripartite constituents including the member of the parliament in the reform era in Indonesia. It took at least five years to complete it and they worked very hard for it. The results may not be totally acceptable to all, which is not always possible, but it may be reassuring to note that they indeed represent a product of the democratic process of social dialogue and consultations involving all the concerned parties. The ILO takes great pleasure in joining and supporting the Ministry x of Manpower and Transmigration in this publication of the first three major labor legislation under its reform program and expresses the hope that the laws can and will be effectively implemented as genuine instruments to promote decent work, industrial peace and social justice for all. Jakarta, April 2004 Alan J. Boulton Carmelo C. Noriel Country Director ILO Jakarta Chief Technical Advisor ILO/USA Declaration Project xi Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB IV KEANGGOTAAN I-12 BAB V PEMBENTUKAN DAN PENCATATAN I-13 BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN I-15 BAB VII PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI I-16 BAB VIII KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN I-17 BAB IX PENYELESAIAN PERSELISIHAN I-18 BAB X PEMBUBARAN I-18 I-3 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan BAB XI PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN I-20 BAB XII SANKSI I-21 BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN I-21 BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN I-22 BAB XV KETENTUAN PENUTUP I-22 I-4 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH 1. UMUM TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara; b. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab; c. bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan Undang-undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah I-5 Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hal untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu organsasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Hak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/ buruh yang telah dijamin di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hak tersebut, kepada setiap pekerja/buruh harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam menggunakan hak tersebut, pekerja/ buruh dituntut bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, penggunaan hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Hak berserikat bagi pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Namun, selama ini belum ada peraturan yang secara khusus mengatur pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja/ Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan dengan Perubahan Pertama Tahun 1999; 2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050); 3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH buruh sehingga serikat pekerja/serikat buruh belum dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal. Konvensi ILO yang dimaksud menjamin hak berserikat pegawai negeri sipil, tetapi karena fungsinya sebagai pelayan masyarakat pelaksanaan hak itu diatur tersendiri. Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/serikat buruh harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja/ buruh sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Masyarakat pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pengusaha di Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang sedang menuju era pasar bebas. Untuk menghadapi hal tersebut, semua pelaku dalam proses produksi perlu, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh perlu menyadari pentingnya tanggung jawab yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya dalam membangun bangsa dan negara. Serikat pekerja/serikat buruh didirikan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab oleh pekerja/buruh untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/ buruh dan keluarganya. Dalam pembentukan serikat pekerja/ serikat buruh dapat menggunakan nama yang berbeda seperti antara lain perkumpulan pekerja/perkumpulan buruh, organisasi pekerja/organisasi buruh, sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang ini. I-6 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan II. PASAL DEMI PASAL BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1 PASAL 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Cukup jelas Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dan, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/ buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan. Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain. I-7 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan 9. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi pekerja/serikat buruh, dan serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi pekerja/serikat buruh lain, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan. 10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN PASAL 2 PASAL 2 (1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Meskipun serikat pekerja/serikat buruh bebas menentukan asas organisasinya, serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh menggunakan asas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena Pancasila sebagai dasar negara dan UndangUndang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. PASAL 3 PASAL 3 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan: Bebas ialah bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak dibawah pengaruh atau tekanan dari pihak lain. Terbuka ialah bahwa serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin; Mandiri ialah bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan I-8 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi; Demokratis ialah bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi; Bertanggung jawab ialah bahwa dalam mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan negara. PASAL 4 PASAL 4 (1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan keluarganya. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi: a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial; b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya; c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya; e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. I-9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan lembaga kerja di bidang ketenagakerjaan, misalnya Lembaga Kerjasama Bipartit, Lembaga Kerjasama Tripartit dan lembaga-lembaga lain yang bersifat Tripartit seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Kerja, atau Dewan Penelitian Pengupahan. Pada lembaga-lembaga tersebut di atas dibahas kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan/ perburuhan. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan BAB III PEMBENTUKAN PASAL 5 PASAL 5 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurangkurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Cukup jelas PASAL 6 PASAL 6 (1) Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh; (2) Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan beberapa serikat pekerja/serikat buruh baik berdasarkan sektor usaha, antar sektor usaha sejenis atau tidak, jenis pekerjaan atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh. PASAL 7 PASAL 7 (1) Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. (2) Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh. Cukup jelas PASAL 8 PASAL 8 Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya. Yang dimaksud dengan penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan wilayah pemerintahan yaitu tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan nasional. PASAL 9 PASAL 9 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun. I - 10 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan PASAL 10 PASAL 10 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh. Yang dimaksud dengan sektor usaha dalam pasal ini termasuk usaha jasa. Contoh serikat pekerja/serikat buruh yang dibentuk berdasarkan sektor usaha, yaitu serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tekstil bergabung dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tekstil lainnya, atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan jasa perhotelan bergabung dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan jasa perhotelan lainnya. Yang dimaksud dengan serikat pekerja/ serikat buruh yang dibentuk berdasarkan jenis pekerjaan misalnya serikat pekerja/ serikat buruh tukang las atau serikat pekerja/serikat buruh pengemudi. Yang dimaksud dengan serikat pekerja/ serikat buruh bentuk lain adalah suatu serikat pekerja/serikat buruh yang dibentuk tidak berdasarkan satu sektor usaha tertentu atau jenis pekerjaan tertentu. Misalnya pekerja/buruh di perusahaan roti, pekerja/buruh di perusahaan batik, dan pekerja/buruh di perusahaan sepatu atau pekerja/buruh pembantu rumah tangga, para pekerja/ buruh yang bersangkutan bergabung membentuk itu serikat pekerja/serikat buruh. PASAL 11 PASAL 11 (1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. (2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan lambang; b. dasar negara, asas, dan tujuan; c. tanggal pendirian; d. tempat kedudukan; e. keanggotaan dan kepengurusan; f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan I - 11 Serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh dapat menggunakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga federasi serikat pekerja/serikat buruh, demikian juga federasi yang menjadi anggota konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat menggunakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga. BAB IV KEANGGOTAAN PASAL 12 PASAL 12 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi kaum pekerja/buruh beserta keluarganya. Oleh karena itu, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh membatasi dirinya hanya untuk kelompokkelompok pekerja/buruh tertentu saja. PASAL 13 PASAL 13 Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Cukup jelas PASAL 14 PASAL 14 (1) Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan. (2) Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam pernyataan tertulis yang dibuatnya, pekerja/buruh dapat menyatakan bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak memilih di antara serikat pekerja/serikat buruh yang ada. PASAL 15 PASAL 15 Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan yang bersangkutan. Jabatan tertentu yang dimaksud dalam pasal ini, misalnya manajer sumber daya manusia, manajer keuangan, atau manajer personalia sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian kerja bersama. PASAL 16 PASAL 16 (1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat buruh. I - 12 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan (2) Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh. PASAL 17 PASAL 17 (1) Pekerja/buruh dapat berhenti sebagai anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pernyataan tertulis. (2) Pekerja/buruh dapat diberhentikan dari serikat pekerja/ serikat buruh sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. (3) Pekerja/buruh, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang belum dipenuhinya terhadap serikat pekerja/serikat buruh. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Tanggung jawab dalam ayat ini meliputi seluruh kewajiban yang belum diselesaikan oleh pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga. BAB V PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN PASAL 18 PASAL 18 (1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri: a. daftar nama anggota pembentuk; b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; c. susunan dan nama pengurus. Cukup jelas PASAL 19 PASAL 19 Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang akan diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat terlebih dahulu. I - 13 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan PASAL 20 PASAL 20 (1) Instansi-instansi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), wajib mencatat dan memberikan nomor bukti pencatatan terhadap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19, selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan. (2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19. (3) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan alasan-alasannya diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan. Cukup jelas PASAL 21 PASAL 21 Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga tersebut. Cukup jelas PASAL 22 PASAL 22 (1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), harus mencatat serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19 dalam buku I - 14 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan pencatatan dan memeliharanya dengan baik. (2) Buku pencatatan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) harus dapat dilihat setiap saat dan terbuka untuk umum. PASAL 23 PASAL 23 Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya. Cukup jelas PASAL 24 PASAL 24 Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri. Cukup jelas BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 25 PASAL 25 (1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak: a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial; c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan; d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh adalah mendirikan koperasi, yayasan, atau bentuk usaha lain. Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas PASAL 26 PASAL 26 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja I - 15 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/ atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 27 PASAL 27 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban: a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hakhak dan memperjuangkan kepentingannya; b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Cukup jelas BAB VII PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI PASAL 28 PASAL 28 Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/senkat buruh dengan cara: a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/ serikat buruh. Cukup jelas PASAL 29 PASAL 29 (1) Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat oleh kedua belah pihak dan/ atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama. Yang dimaksud dengan pemberian kesempatan dalam pasal ini, adalah membebaskan pengurus dan anggota serikat pekerja/serikat buruh dalam beberapa waktu tertentu dan tugas pokoknya sebagai pekerja/ buruh, sehingga dapat melaksanakan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh. I - 16 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan (2) Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur mengenai: a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan; b. tata cara pemberian kesempatan; c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah. BAB VIII KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN PASAL 30 PASAL 30 Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federal dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bersumber dari: a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga; b. hasil usaha yang sah; dan c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat. Cukup jelas PASAL 31 PASAL 31 (1) Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c, berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anggota. Cukup jelas PASAL 32 PASAL 32 Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya. Cukup jelas PASAL 33 PASAL 33 Pemindahan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar dan/ I - 17 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. PASAL 34 PASAL 34 (1) Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh. (2) Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada anggotanya menurut anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Cukup jelas BAB IX PENYELESAIAN PERSELISIHAN PASAL 35 PASAL 35 Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Cukup jelas PASAL 36 PASAL 36 Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Cukup jelas BAB X PEMBUBARAN PASAL 37 PASAL 37 Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal: a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan I - 18 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan anggaran rumah tangga; b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan. Huruf c Walaupun pihak-pihak lain di luar pekerja/buruh tidak dapat membubarkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh hal ini tidak dapat berlaku secara mutlak karena kepentingan negara harus tetap dilindungi. Oleh sebab itu, undang-undang ini memberi kewenangan kepada pengadilan untuk membubarkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dengan syarat-syarat tertentu. PASAL 38 PASAL 38 (1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c dapat membubarkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam hal: a. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; b. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh terbukti melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan dijatuhi pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Dalam hal putusan yang dijatuhi kepada para pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, lama hukumnya tidak sama, maka sebagai dasar gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh digunakan putusan yang memenuhi syarat. (3) Gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diajukan oleh instansi pemerintah kepada pengadilan tempat serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan berkedudukan. I - 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kejahatan terhadap keamanan negara adalah kejahatan sebagaimana dimaksud pada Buku II Bab I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan lama hukuman yang tidak sama dalam ayat ini misalnya terdapat 5 pelaku tindak pidana yang masingmasing dijatuhi penjara 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, dan 6 tahun, maka yang memenuhi syarat adalah putusan yang 5 dan 6 tahun. Ayat (3) Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan PASAL 39 PASAL 39 (1) Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak melepaskan para pengurus dari tanggung jawab dan kewajibannya, baik terhadap anggota maupun terhadap pihak lain. (2) Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan, tidak boleh membentuk dan menjadi pengurus serikat pekerja/ serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan pengadilan rnengenai pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak melepaskan para pengurus dari tanggung jawahnya misalnya rnembayar dan menagih hutang piutang dan tanggung jawab administratif misalnya menyelesakan pembukuan atau dokumen organisasi. Ayat (2) Cukup jelas BAB XI PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN PASAL 40 PASAL 40 Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh melaksanakan kegiatannya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UndangUndang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. PASAL 41 PASAL 41 Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. I - 20 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan PASAL 42 BAB XII SANKSI PASAL 42 (1) Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. (2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang dicabut nomor bukti pencatatannya kehilangan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan waktu serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31. Ayat (1) Pencabutan nomor buku pencatatan serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak berarti serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tersebut bubar, tetapi kehilangan haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberitahukan pencabutan nomor bukti pencatatan kepada mitra kerja serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Ayat (2) Setelah serikat pekerja/serikat buruh memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21, dan Pasal 31 maka nomor bukti pencatatan yang diberlakukan adalah nomor bukti pencatatan yang lama. PASAL 43 PASAL 43 (1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Cukup jelas BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN PASAL 44 PASAL 44 (1) Pegawai negeri sipil mempunyai hak dan kebebasan untuk berserikat. (2) Hak dan kebebasan berserikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pelaksanaannya diatur dengan undangundang tersendiri. I - 21 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN PASAL 45 PASAL 45 (1) Pada saat diundangkannya undang-undang ini serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor buku pencatatan harus memberitahukan untuk diberi nomor bukti pencatatan yang baru sesuai dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak mulai berlakunya undang-undang itu. (2) Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dianggap tidak mempunyai nomor bukti pencatatan. Cukup jelas PASAL 46 PASAL 46 Pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah diajukan, tetapi pemberitahuan tersebut belum selesai diproses saat undang-undang ini mulai berlaku, harus diproses menurut ketentuan undang-undang ini. Cukup jelas BAB XV KETENTUAN PENUTUP PASAL 47 PASAL 47 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. I - 22 Cukup jelas Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Penjelasan Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2000 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 3989 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Agustus 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 121 I - 23 Act No. 21 of 2000 PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA ACT NUMBER 21 YEAR 2000 CONCERNING TRADE UNIONS Explanatory Notes Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes Contents CHAPTER I GENERAL PROVISIONS I-31 CHAPTER II STATUTORY BASIS, NATURE, AND OBJECTIVES I-32 CHAPTER III UNION FORMATION I-34 CHAPTER IV MEMBERSHIP I-36 CHAPTER V NOTIFICATION AND RECORDING I-37 CHAPTER VI RIGHTS AND OBLIGATIONS I-39 CHAPTER VII PROTECTION OF THE RIGHT TO ORGANIZE I-40 CHAPTER VIII FINANCES AND ASSETS I-41 CHAPTER IX DISPUTE SETTLEMENT I-42 CHAPTER X DISSOLUTION I-43 I - 27 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes CHAPTER XI INSPECTION AND INVESTIGATION I-44 CHAPTER XII SANCTIONS I-45 CHAPTER XIII MISCELLANEOUS PROVISIONS I-46 CHAPTER XIV TRANSITIONAL PROVISIONS I-46 CHAPTER XV CLOSING PROVISIONS I-46 I - 28 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes EXPLANATORY NOTES ON ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 21 YEAR 2000 CONCERNING TRADE UNION/ LABOR UNION ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 21 YEAR 2000 CONCERNING TRADE UNIONS WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA, Considering: a. That freedom of association and the right to organize, to express one’s thoughts either orally or in writing, to have a job and to earn a decent living from the viewpoint of humanity, and to have equal position in the eyes of the law are the rights of every citizen; b. That in order to realize the freedom to organize, workers/ laborers have the right to establish and develop a trade union/labor union that is free, open, independent, democratic and responsible; c. That the trade union/labor union is a vehicle to further, protect and defend the interests and welfare of workers/ laborers and their families, and to realize industrial relations that are harmonious, dynamic and uphold justice; d. That, based on considerations as referred to under points a, b, and c, it is necessary to establish an Act concerning Trade Unions; I - 29 I. GENERAL Workers/ laborers as citizens have rights and status that are equal to those of any other citizens in the eyes of the law. They have the right to have a job and to earn a living that is proper, the right to voice their opinion, the right to group together in one organization, and the right to establish and become members of a trade union/ labor union. The right to become a trade union/ labor union member is a fundamental right of the worker/ laborer that has been guaranteed under Article 28 of the 1945 Constitution. To exercise the right, to every worker/ laborer, as many opportunities as possible must be given to establish, and to become members of, a trade union/ labor union. Trade unions/ labor unions function as a structure to fight for, to protect, and to defend the interests of, and to improve the welfare of, workers and their families. In exercising this right, workers/ laborers are demanded that they also be responsible for guaranteeing that the broader interests, that is, the interests of the State and the nation are looked after. Therefore, the exercise of such right shall be carried out within the framework of industrial relations that are harmonious, dynamic and uphold justice. The worker/ laborer’s right to organize – as stipulated under the International Labor Organization (ILO) Convention Number 87 concerning the Freedom of Association and Protection of the Right to Organize and the ILO Convention Number 98 concerning the Right to Organize and Collective Bargaining which have been ratified by Indonesia – becomes part of national statutory rules and regulations. Until recently, however, there have been no regulations that specifically regulate the implementation of the worker/ Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes In view of: 1. Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27, and Article 28 of the 1945 Constitution as amended by the First Amendment of the Year 1999; 2. Act Number 18 Year 1956 concerning the Ratification of the International Labor Organization Convention Number 98 concerning the Effectiveness of the Fundamentals of the Right to Organize and Collective Bargaining (State Gazette Year 1956 Number 42, Supplement to State Gazette Number 1050); 3. Act Number 39 Year 1999 concerning Human Rights (State Gazette Year 1999 Number 165, Supplement to State Gazette Number 3886). By the Approval of THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DECIDES: To stipulate: ACT CONCERNING TRADE UNIONS laborer’s right to organize. As a result, trade unions/ labor unions are still unable to carry out their functions maximally. These above-mentioned ILO Conventions guarantee the civil servant’s right to organize. However, due to their functions as servants of the public, this right has to be dealt with separately. Workers/ laborers are very important working partners of employers in the production process when it comes to efforts to improve the welfare of workers/ laborers and their families, to ensure the enterprise’s survival, and to improve the welfare of the Indonesian community in general. Within this context, trade unions, as a vehicle to fight for the rights of the worker/ laborer, shall create industrial relations that are harmonious, dynamic, and uphold justice. Therefore, workers/ laborers and trade unions/ labor unions must have a sense of responsibility for the survival of the enterprise. On the other hand, employers must treat workers/ laborers as partners in a way that shows respect to their dignity and worth as humans. Workers/ laborers’ community, trade unions/ labor unions, and employers in Indonesia are part of the world community that is heading towards a free market era. To deal with this, all participants of the production process need to unite and to develop professional attitude. In addition, workers/ laborers and trade unions/ labor unions need to become aware that they have equal responsibility with other groups in the society in developing the nation and the State. Trade unions/ labor unions are established in a free, open, independent, democratic, and responsible way by workers/ laborers to fight for the interests of workers/ laborers and their families. Trade unions/ labor unions may use other names such as workers’ assemblies/ laborers’ assemblies, workers’ organizations/ laborers’ organizations, as regulated under this act. I. ARTICLE BY ARTICLE I - 30 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 1 CHAPTER I GENERAL PROVISIONS ARTICLE 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Under this act, the following definitions shall apply: A trade union/labor union is an organization that comes from, is established by and for either enterprise-bound or enterprise-free workers/laborers, which is free, open, independent, democratic and responsible to fight for, defend and protect the rights and interests of workers/ laborers and improve the welfare of workers/laborers and their families. A trade union/labor union within the enterprise is a trade union/labor union that are established by the workers/ laborers of one enterprise or several enterprises. A trade union/labor union outside the enterprise is a trade union/ labor union that are established by workers/ laborers who do not work at an enterprise. A federation of trade unions/labor unions is a grouping of trade unions/labor unions. A confederation of trade unions/labor unions is a grouping of trade union/labor union federations. A worker/laborer are any person who works for a wage or other forms of remunerative exchange. An employer is: a. An individual, a partnership, or a legal entity that operates a self-owned enterprise; b. An individual, a partnership, or a legal entity that independently operates a non-self-owned enterprise; c. An individual, a partnership, or a legal entity located in Indonesia and representing an enterprise as mentioned under point a and point b that is domiciled outside the territory of Indonesia. An enterprise is any form of business undertaking, which operates either as a legal body or not, which is owned by an individual or a business partnership or a legal body, which is either privately-owned or state-owned, which employs workers/laborers and pays them a wage or other forms of exchange for their work and or service; I - 31 From point 1 to point 10 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes 9. A dispute between labor unions, trade/labor union federations, and trade/labor union confederations is a dispute between a trade/labor union, trade/labor union federation, trade/labor union confederation and another trade/labor union, trade/labor union federation, trade/ labor union confederation, due to the fact there is nonconvergence regarding membership, implementation of rights and obligations of the union. 10. Minister is the minister responsible for manpower affairs. CHAPTER II STATUTORY BASIS, NATURE AND OBJECTIVES ARTICLE 2 ARTICLE 2 (1) Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions accept the Pancasila as the state ideology and the 1945 Constitution as the constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia. (2) Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions have statutory basis that is not against the Pancasila and the 1945 Constitution. ARTICLE 3 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) While trade unions/labor unions are free to determine the statutory basis of their organization, they must not run against the Pancasila and the 1945 Constitution because the Pancasila is the state ideology and the 1945 Constitution is the Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia. ARTICLE 3 Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions shall be free, open, independent, democratic and responsible. What is meant by: Free means that in exercising its rights and fulfilling its obligations as an organization, the trade union/ labor union, federation and confederation of trade unions/ labor unions is not under influence or pressure from other parties. Open means that in admitting members and or defending the interests of its members, the trade union/ labor union, federation and confederation of trade unions/ labor unions does not discriminate on grounds of political allegiance, religion, ethnicity and sex. Independent means that the trade union/ labor union, federation and confederation of trade unions/ labor unions establishes, runs and develops union organization with its own strength and is not controlled I - 32 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes by other parties outside of its organization. Democratic means that the establishment of union organization, the election of its officials, the efforts to fight for and implement the rights and obligations of the organization are carried out in accordance with democratic principles. Responsible means that in achieving its objectives and exercising its rights and obligations, the trade union/ labor union, federation and confederation of trade unions/ labor unions is responsible to its members, the society and the State. ARTICLE 4 ARTICLE 4 (1) Trade unions/ labor unions, federations and confederations of trade unions/ labor unions aim to protect, defend the rights and interests of, and improve the proper welfare of workers/ laborers and their family. (2) In order to achieve the objectives as referred to under Subsection (1), trade unions/ labor unions, federations and confederations of trade unions/ labor unions shall have the following functions: a. As a party in the making of a Collective Labour Agreement and the settlement of an industrial dispute; b. As workers/ laborers’ representative in cooperation institutes in the area of manpower in accordance with the union’s hierarchy; c. As a structure to create industrial relations that are harmonious, dynamic, and uphold justice according to prevailing laws and regulations; d. As a structure to channel aspirations in defense of the rights and interests of its members; e. As the planner of, the actor of, and the party that is responsible for a strike in accordance with prevailing laws and regulations; f. As workers/ laborers’ representative in striving for the ownership of shares in the enterprise. I - 33 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Point a Sufficiently clear Point b The cooperation institutes in the area of manpower are, for instance, Bipartite Cooperation Institute, Tripartite Cooperation Institute and other tripartite institutes such as National Job Training Council, Occupational Safety Council, or Wage System Research Council. These councils/ institutes discuss manpower/ labor policies. Point c Sufficiently clear Point d Sufficiently clear Point e Sufficiently clear Point f Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes CHAPTER III UNION FORMATION ARTICLE 5 ARTICLE 5 (1) Every worker/laborer has the right to form and become a member of a trade union/labor union. (2) A trade union/ labor union is formed by at least 10 (ten) workers/laborers. ARTICLE 6 Sufficiently clear ARTICLE 6 (1) Trade unions/labor unions have the right to form and have membership in a federation of trade unions/labor unions. (2) A federation of trade unions/labor unions is formed by at least 5 (five) trade unions/ labor unions. ARTICLE 7 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) A federation of trade unions/labor unions means a grouping of several trade unions/ labor unions either according to business sector, inter business sector or not, type of work or other forms according to the will of the worker/ laborer. ARTICLE 7 (1) Federations of trade unions/labor unions have the right to form and have membership in a confederation of trade unions/ labor unions. (2) A confederation of trade unions/labor unions is formed by at least 3 (three) federations of trade unions/ labor unions. Sufficiently clear ARTICLE 8 ARTICLE 8 The hierarchical arrangements of the organization of trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions are regulated in their union constitutions and/or by-laws. Hierarchical arrangements of the organization of trade unions/ labor unions, federations and confederations of trade unions/ labor unions are made in accordance with those of regional state administration, i.e., regency/ city level, provincial level and national level. ARTICLE 9 ARTICLE 9 Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions shall be formed of the free will of workers/laborers without pressure or intervention from the employer, the government, any political party and or any other parties. I - 34 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 10: ARTICLE 10 Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions may be established according to business sector, type of work (trade), or other categories according to the will of the worker/ laborer. The term business sector as referred to under this article shall include “service industry.” An example of a trade union/ labor union that is established according to business sector is a trade union/labor union in a textile manufacturing company that joins another trade union/ labor union in another textile manufacturing company, or a trade union/labor union in a hotel or hotel-related service company that joins another trade union/labor union in another hotel or hotel-related service company. Trade/labor unions that are established according to type of work are, for instance, a trade/labor union of welders or a trade/ labor union of drivers. Trade/labor unions that are established according to other forms of occupation are unions that are not based on any business sector or any type of work. For instance, if workers/laborers who work in a bakery, workers/laborers in a batik manufacturing company, and workers/ laborers in a shoes making company or domestic workers join forces to establish one trade union/labor union, the resulting trade/labor union is said to be established according to other forms of occupation. ARTICLE 11 ARTICLE 11 (1) Every trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions must have a constitution and by-laws. (2) The constitution as referred to under subsection (1) must at least contain the following: a. The union’s name and emblem/symbol; b. The state ideology, the union statutory basis, and objectives; c. The date the union was established; d. The domicile/seat of the union; e. Union membership and administration; I - 35 Trade/ labor unions that are members of a federation of trade/ labor unions may adopt the constitution and by-laws of the federation of trade/ labor unions to which they belong. In the same manner, federations of trade/ labor unions that are members of a confederation of trade/ labor unions may also adopt the constitution and by-laws of the confederation of trade/ labor unions to which they belong. Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes f. The union’s financial sources and accountability; and g. Provisions concerning changes in the union’s constitution and or by-laws. CHAPTER IV MEMBERSHIP ARTICLE 12 ARTICLE 12 Trade unions/labor unions, federations, and confederations of trade unions/labor unions must be open to accept members without discriminating them on grounds of political allegiance, religion, ethnicity and sex. Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade/labor unions are established to improve the welfare of, and to protect workers/laborers and their families. Therefore, trade unions/labor unions, federations and confederations of trade/labor unions must not limit their membership to certain groups of workers/laborers only. ARTICLE 13 ARTICLE 13 Membership in a trade union/labor union, a federation of trade unions/labor unions, and a confederation of trade unions/labor unions shall be regulated in the constitution and by-laws of the union, federation of trade unions/labor unions, and confederation of trade unions/labor unions in question. Sufficiently clear ARTICLE 14 ARTICLE 14 (1) A worker/laborer are not allowed to have membership in more than one trade union/labor union at one enterprise. (2) In case a worker/laborer at an enterprise turns out to have been registered as a member in more than one trade union/ labor union, he or she must make a written declaration stating the trade union/labor union in which he chooses to retain his membership. Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) In the written declaration that he or she makes, a worker/laborer may state that he or she chooses not to belong to any available trade/ labor unions. ARTICLE 15 ARTICLE 15 A worker/laborer whose position in the enterprise creates conflict of interests between the management and the enterprise’s workers/laborers shall not be allowed to become trade/labor union official in the enterprise in question. “Certain positions” as referred to under this article refer to such positions as human resources manager, finance manager, or personnel manager as stipulated under the collective labour agreement. I - 36 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 16 ARTICLE 16 (1) Every trade union/labor union can only have membership in one federation of trade unions/labor unions. (2) Every federation of trade unions/labor unions can only have membership in one confederation of trade unions/ labor unions. ARTICLE 17 Sufficiently clear ARTICLE 17 (1) A worker/laborer may quit his union membership by submitting a written notification to this effect. (2) A worker/laborer may be dismissed from his/her trade union/labor union membership according to the stipulations of the constitution and or by-laws of his trade union/labor union. (3) A worker/laborer, in his/her capacity as either an official or as a member of a trade union/labor union, who quits or is dismissed from his/her union membership as referred to under subsection (1) and subsection (2), shall remain accountable for any unfulfilled obligations to the trade union/labor union. Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) The accountability referred to in the phrase “shall remain accountable for any unfulfilled obligations to the trade union/ labor union” shall also include the accountability for all obligations/ liabilities that the affected official and or member of the trade/ labor union in question has not fulfilled, including his/ her obligations that arise as a result of a transaction with a third party. CHAPTER V NOTIFICATION AND RECORDING ARTICLE 18 ARTICLE 18 (1) Upon its establishment, a trade union/labor union, a federation or a confederation of trade unions/labor unions shall give a written notification to the local government agency responsible for manpower affairs for the sake of record keeping. (2) The notification as referred to under subsection (1) shall be supplemented with: a. A list containing the names of founding members; b. The union’s constitution and by-laws; c. Its officials’ lineup and names. ARTICLE 19 Sufficiently clear ARTICLE 19 A trade union/labor union, a federation and a I - 37 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes confederation of trade unions/labor unions whose establishment is to be notified to the local government agency responsible for manpower affairs is not allowed to have a name and emblem that is the same as the name and emblem of any trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions that have been previously recorded. ARTICLE 20 ARTICLE 20 (1) The government agency as referred to under Article 18 subsection (1) is obliged to keep a record of, and issue a record number to, the trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions that have fulfilled the requirements as referred to under Article 2, Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 11, Article 18 subsection (2), and Article 19, within a period of no longer than 21 (twenty one) workdays since the date it received the union notification. (2) The government agency as referred to under Article 18 subsection (1) may postpone the recording and the issuance of record number in case the trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions in question have not fulfilled the requirements as referred to under Article 2, Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 11, Article 18 subsection (2), and Article 19. (3) The postponement as referred to under subsection (2) and the reasons for the postponement shall be communicated in writing to the trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions in question within a period of at least 14 (fourteen) workdays since the date the union notification is received. ARTICLE 21 Sufficiently clear ARTICLE 21 Should changes in union constitution and or by-laws occur, the officials of the trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions concerned shall inform the government agency as referred to under Article 18 subsection (1) within a period of no later than 30 (thirty) days since the date the changes in the constitution and or the by-laws of the union were made. I - 38 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 22 ARTICLE 22 (1) The government agency as referred to under Article 18 subsection (1) must record trade unions/labor unions, federations and confederations that have met the requirements as referred to under Article 2, Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 11, Article 18 subsection (2) and Article 19 in the union record book and maintain the book. (2) The union record book as referred to under subsection (1) must be open to inspection at all times and must be accessible to the public. ARTICLE 23 Sufficiently clear ARTICLE 23 The officials of trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions that already have a record number must give a written notification of their existence to their working partners according to their hierarchical levels. ARTICLE 24 Sufficiently clear ARTICLE 24 Regulations concerning trade/labor union record-keeping procedures shall be stipulated further by means of a ministerial decision. Sufficiently clear CHAPTER VI RIGHTS AND OBLIGATIONS ARTICLE 25 ARTICLE 25 (1) A trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions that has a record number has the right to: a. Negotiate a collective labour agreement with the management; b. Represent workers/laborers in industrial dispute settlements; c. Represent workers/laborers in manpower institutions; d. Establish an institution or carry out activities related to efforts to improve workers/laborers’ welfare. Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Sufficiently clear Point d Efforts to improve the welfare of the worker/ laborer include efforts to establish a cooperative, a foundation, or other forms of business activities. Point e Sufficiently clear I - 39 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes e. Carry out other manpower or employment-related activities that are not against prevailing laws and regulations. (2) The exercise of the rights as referred to under subsection (1) shall be carried out in accordance with prevailing laws and regulations. ARTICLE 26 Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 26 Trade unions/labor unions, federations and confederations of trade unions/labor unions may affiliate to and or cooperate with international trade unions/labor unions and or other international organizations on the condition that the affiliation or the cooperation is not against prevailing laws and regulations. ARTICLE 27 Sufficiently clear ARTICLE 27 A trade union/labor union, a federation or a confederation of trade unions/labor unions that has already a record number is obliged to: a. Protect and defend its members from any violations of their rights and further their interests; b. Improve the welfare of its members and their families; c. Present its accountability on organizational activities to its members in accordance with its constitution and bylaws. Sufficiently clear CHAPTER VII PROTECTION OF THE RIGHT TO ORGANIZE ARTICLE 28 ARTICLE 28 Everybody is prohibited from preventing or forcing a worker/ laborer from forming or not forming a trade union/ labor union, becoming union official or not becoming union official, becoming union member or not becoming union member and or carrying out or not carrying out trade/labor union activities by: a. Terminating his employment, temporarily suspending his employment, demoting him, or transferring him to another post, another division or another place in order to discourage or prevent him from carrying out union activities or make such activities virtually impossible; I - 40 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes b. Not paying or reducing the amount of the worker/ laborer’s wage; c. Intimidating him or subjecting him to any other forms of intimidation; d. Campaigning against the establishment of trade unions/ labor unions. ARTICLE 29 ARTICLE 29 (1) The employer must provide opportunity to the officials and members of a trade/labor union to carry out trade/ labor union activities during working hours that are agreed upon by both parties and or arranged in the collective labour agreement. (2) The agreement by both parties and or the arrangement in the collective labour agreement as referred to under subsection (1) must regulate: a. Types of union activities for which the opportunity is provided; b. Procedures for the provision of the opportunity; c. Which provisions of opportunity shall be entitled to pay and which ones shall not be entitled to pay. The term to provide opportunity as referred to under this article shall mean to free trade/labor union officials and members from their main duties as workers/laborers for certain period of time so that they can carry out union activities. CHAPTER VIII FINANCES AND ASSETS ARTICLE 30 ARTICLE 30 Trade unions/labor unions’ finances come from: a. Membership fee (union dues) whose amount shall be determined in the union constitution/by-laws; b. Profits earned from the union’s legitimate money-making activities; c. Unconditional financial assistance from members or other parties. ARTICLE 31 Sufficiently clear ARTICLE 31 (1) In case the financial assistance from other parties as referred to under Article 30 point (c) comes from overseas sources, the officials of the trade union/labor union concerned must I - 41 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes report it in writing to the government agency responsible for manpower affairs according to prevailing laws and regulations. (2) The assistance as referred to under subsection (1) shall be used to improve the quality and welfare of union members. ARTICLE 32 ARTICLE 32 Finances and assets of a trade union/labor union, a federation and a confederation of trade unions/labor unions must be separate from the private finances and assets of their officials and members. ARTICLE 33 Sufficiently clear ARTICLE 33 The disposal or transfer of union finances and assets to another party, investments of union funds and other legitimate business transactions by the union can only be made in accordance with what is stipulated in the constitution and or by-laws of the trade union/labor union, the federation and the confederation of trade unions/labor unions in question. ARTICLE 34 Sufficiently clear ARTICLE 34 (1) Union officials shall be responsible for the utilization and the management of finances and assets of the trade union/ labor union, the federation and the confederation of trade unions/labor unions. (2) Union officials are under an obligation to keep the records of the finances and assets, and to periodically present financial reports to union members in accordance with the constitution and or by-laws of the trade/labor union, the federation and the confederation of trade/labor unions concerned. Sufficiently clear CHAPTER IX DISPUTE SETTLEMENT ARTICLE 35 ARTICLE 35 Every dispute between one trade union/labor union, federation and confederation of trade unions/labor unions and another shall be settled through deliberations by the trade/ labor unions, the federations and the confederations of trade/ labor unions that are involved in the conflict. I - 42 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 36 ARTICLE 36 If the deliberations as referred to under Article 35 fail to reach an agreement, the inter-trade/labor union, trade/labor union federation, trade/labor union confederation dispute shall be settled in accordance with prevailing laws and regulations. Sufficiently clear CHAPTER X DISSOLUTION ARTICLE 37 ARTICLE 37 A trade union/labor union, a federation and a confederation of trade unions/labor unions is dissolved: a. If it is so declared by its members in accordance with the constitution and or by-laws of the union. b. If the enterprise is closed or stops its activities for good and this results in the termination of all employment relationships with all workers/laborers in the enterprise after the employer has fulfilled all his obligations to his workers/laborers in accordance with prevailing laws and regulations. c. If it is so declared by a court decision. Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Nobody except workers/laborers can dissolve a trade union/ labor union, a federation and a confederation of trade/ labor unions. This, however, cannot be applied absolutely. The interests of the State and the general public must continue to be protected. Hence, this act authorizes the court as a judiciary body to dissolve a trade union/ labor union, a federation and a confederation of trade/ labor unions on certain conditions. ARTICLE 38 ARTICLE 38 (1) The court as implied under Article 37 point c may dissolve a trade/labor union, a federation and a confederation of trade/labor unions in case: a. The trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions has a statutory basis that against the Pancasila and the 1945 Constitution; b. Its administrators and or members prove to be guilty of committing a crime – in the name of the trade/ labor union, federation and confederation of trade/ labor unions – that harms the security of the State, and by the imprison sentences of at least 5 (five) years as attested by the legally and permanently binding court decisions that have been issued against them. (2) In case the court decisions imposed on the perpetrators of the crime as referred to under subsection (1) point b stipulate different terms, the decisions carrying the eligible Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b A crime that harms the security of the State as referred to under this subsection refers to crimes as referred to in Book II Chapter I of the Criminal Code and Act No 27 Year 1999 concerning Amendment to Criminal Code which is related with Crimes Against State Security. I - 43 Subsection (2): The different terms of imprisonment as referred to under this article can be illustrated as follows. If, for instance, five perpetrators are sentenced to two years, three years, four years, five years and six years in prison respectively, then the eligible imprison terms that can be used as the bases for the dissolution Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes terms for legally demanding the dissolution of the trade/ labor union, federation and confederation of trade/labor unions shall be used as the basis for the dissolution. (3) The lawsuit demanding the dissolution of trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions as referred to under subsections (1) and (2) shall be filed by government agency to the district court where the affected trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions domicile. of the perpetrators’ trade/labor union are those stipulating the five-year sentence and the sixyear sentence. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 39 ARTICLE 39 (1) The dissolution of a trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions does not free its officials from their responsibilities and obligations to the union’s members as well as to other parties. (2) The officials and or members of a trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions who prove to be guilty of a wrongdoing according to a court decision and who cause the dissolution of the trade/labor union, federation and confederation of trade/ labor unions are subjected to a 3 (three)-year suspension, during which they are not allowed to establish and become officials of another trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions. The three-year suspension is effective starting from the point at which the court decision concerning the dissolution of the trade/labor union in question is officially declared to be permanently and legally binding. Subsection (1) The phrase “does not free its administrators from their responsibilities” implies that the officials have to, for instance, pay their debts and collect back union money that they have lent. Also, they have to settle other administrative responsibilities such as completing the bookkeeping or organizational documents. Subsection (2) Sufficiently clear CHAPTER XI INSPECTION AND INVESTIGATION ARTICLE 40 ARTICLE 40 To guarantee workers/ laborers’ right to organize and trade unions/labor unions’ right to carry out union activities, government labor inspectors shall carry out inspection in accordance with prevailing laws and regulations. The phrase “prevailing laws and regulations” here refers to Act No. 3 of the year 1951 concerning Declaration of the Coming into Force of the Labor Inspection Act No. 23 of the year 1948 of the Republic of Indonesia that is applicable to all Indonesia. I - 44 Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes ARTICLE 41 ARTICLE 41 In addition to the special authority of the investigating police officers from the Police of the Republic of Indonesia, special authority to function as investigators according to prevailing laws and regulations to carry out investigations of crimes is also given to certain civil servants within the jurisdiction of the government agencies whose jobs and responsibilities on manpower affairs. The phrase prevailing laws and regulations as referred to under this article refers to Act No. 8 Year 1981 concerning Law of Criminal Procedure. CHAPTER XII SANCTIONS ARTICLE 42 ARTICLE 42 (1) Violation against Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 21 or Article 31 may result in the revocation of the union record number of the violating trade/labor union, federation and confederation of trade/labor unions as an administrative sanction. (2) Trade/labor unions, federations and confederations of trade/labor unions whose record number is revoked lose their rights as referred to under Article 25 subsection (1) points a, b, and c until the trade/labor unions, federations and confederations of trade/labor unions in question fulfil what is required under Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 21 or Article 31. ARTICLE 43 Subsection (1) The revocation of the union record number of a trade/ labor union, federation and confederation of trade/ labor unions does not dissolve the trade/ labor union, federation and confederation of trade/ labor unions in question. However, the revocation causes them to lose their rights as referred to under Article 25 subsection (1) points a, b, and c. The government agency responsible for manpower affairs notifies the revocation to the working partners of the affected trade/ labor union, federation and confederation of trade/ labor unions. Subsection (2) After the trade/ labor union has fulfilled what is stipulated under Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 21, and Article 31, the union record number that applies is the old one. ARTICLE 43 (1) Everybody who bars or forces workers/laborers as referred to under Article 28 is subjected to a sentence of at least 1 (one) year and no longer than 5 (five) years in prison and or a fine of at least Rp100,000,000 (one hundred million Rupiahs) and no more than Rp500,000,000 (five hundred million Rupiahs). (2) The criminal act as referred to under subsection (1) is a grave criminal offense. I - 45 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes CHAPTER XIII MISCELLANEOUS PROVISIONS ARTICLE 44 ARTICLE 44 (1) Civil servants have freedom of association and the right to organize. (2) The implementation of the freedom of association and the right to organize as referred to under subsection (1) shall be regulated in a separate act. Sufficiently clear CHAPTER XIV TRANSITIONAL PROVISIONS ARTICLE 45 ARTICLE 45 (1) Upon the enactment of this act, any trade union/labor union, federation and confederation of trade/labor unions that has been issued a union record number must report in order to be given a new union record number according to what is stipulated under this act within a period of no later than 1 (one) year after the date this act comes into effect. (2) Within a period of 1 (one) year since this act starts to come into effect, any trade union/labor union that fails to comply with what is stipulated under this act is assumed to have no union record number. ARTICLE 46 Sufficiently clear ARTICLE 46 Any notification concerning the establishment of a trade union/labor union, federation and confederation of trade/labor unions that has been made but is still being processed at the time this act takes effect must be processed in accordance with what is stipulated under this act. Sufficiently clear CHAPTER XV CLOSING PROVISIONS ARTICLE 47 ARTICLE 47 This act shall be effective upon the date of its I - 46 Sufficiently clear Act No. 21 of 2000 Explanatory Notes promulgation. For the cognizance of the public, orders the promulgation of this act by having it placed on the State Gazette of the Republic of Indonesia. Legalized in Jakarta On 4 August 2000 PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA ABDURRAHMAN WAHID Promulgated in Jakarta On 4 August 2000 STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA, DJOHAN EFFENDI STATE GAZZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 121 OF 2000 I - 47 SUPPLEMENT TO THE STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 3989 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN II - 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan II - 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM II-11 BAB II LANDASAN, ASAS DAN TUJUAN II-15 BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA II-16 BAB IV PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN II-16 BAB V PELATIHAN KERJA II-17 BAB VI PENEMPATAN TENAGA KERJA II-24 BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA II-27 BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING II-29 II - 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB IX HUBUNGAN KERJA II-31 BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN II-39 Bagian Kesatu : Perlindungan Paragraf 1 : Penyandang Catat Paragraf 2 : Anak Paragraf 3 : Perempuan Paragraf 4 : Waktu Kerja Paragraf 5 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagian Kedua : Pengupahan Bagian Ketiga : Kesejahteraan BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL II-53 Bagian Kesatu : Umum Bagian Kedua : Serikat Pekerja/Serikat buruh Bagian Ketiga : Organisasi Pengusaha Bagian Keempat : Lembaga Kerja Sama Bipartit Bagian Kelima : Lembaga Kerja Sama Tripartit Bagian Keenam : Peraturan Perusahaan Bagian Ketujuh : Perjanjian Kerja Sama Bagian Kedelapan : Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Paragraf 1 : Perselisihan Hubungan Industrial Paragraf 2 : Mogok Kerja Paragraf 3 : Penutupan Perusahaan (Lock-Out) BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA II-70 BAB XIII PEMBINAAN II-84 II - 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB XIV PENGAWASAN II-85 BAB XV PENYIDIKAN II-86 BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu : Ketentuan Pidana Bagian Kedua : Sanksi Administratif II-87 BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN II-90 BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP II-90 II - 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan II - 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 KETENAGAKERJAAN TENTANG KETENAGAKERJAAN I. UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia II - 7 Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan usaha; e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan persetujuan bersama antara: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ETENAGAKERJAAN ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/ MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/ buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan. Beberapa peraturan perundangundangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah : Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8); Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545); II - 8 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2); Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a); Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8); Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undangundang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti. Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998. Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu : Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100, dan Nomor 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29, dan Nomor 105); dan Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ). II - 9 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut. Undang-undang ini antara lain memuat : Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/ buruh; Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja; Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan; Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi; Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/ buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya. II - 10 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan II. PASAL DEMI PASAL BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1 Cukup jelas PASAL 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. II - 11 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan 7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. 8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan. 9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. II - 12 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan 16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. 20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/ serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu II - 13 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. Penjelasan perusahaan. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/ atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. II - 14 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB II LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN PASAL 2 PASAL 2 Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PASAL 3 Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. PASAL 3 Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. PASAL 4 Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. PASAL 4 Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan : a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. II - 15 Huruf a Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. Huruf b Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA PASAL 5 sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. PASAL 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. PASAL 6 PASAL 6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. BAB IV PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN PASAL 7 PASAL 7 (1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. (2) Perencanaan tenaga kerja meliputi : a. perencanaan tenaga kerja makro; dan b. perencanaan tenaga kerja mikro. (3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). II - 16 Ayat (1) Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral. Ayat (2) Huruf a. Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluasluasnya, meningkatkan produktivitas kerja Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh. Huruf b Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 8 PASAL 8 (1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi : a. penduduk dan tenaga kerja; b. kesempatan kerja; c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja; d. produktivitas tenaga kerja; e. hubungan industrial; f. kondisi lingkungan kerja; g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h. jaminan sosial tenaga kerja. (2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta. (3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (1) Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (2) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (3) Cukup jelas. BAB V PELATIHAN KERJA PASAL 9 PASAL 9 Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah II - 17 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. PASAL 10 kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja. PASAL 10 (1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. (3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang. (4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan sektor terkait. Ayat (3) Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, trampil, dan ahli. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Cukup jelas. PASAL 12 PASAL 12 (1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri. (3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya. Ayat (1) Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya. Ayat (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh. Ayat (3) Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. II - 18 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 13 PASAL 13 (1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta. (2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. (3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta. PASAL 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 14 (1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan. (2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan prasarana pelatihan dapat berdaya guna dan berhasil guna secara optimal. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 15 Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan : a. tersedianya tenaga kepelatihan; b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. PASAL 16 Cukup jelas. PASAL 16 (1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi. II - 19 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 17 PASAL 17 (1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya ternyata : a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan. (3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15. (4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan. (5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan. (6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 18 Cukup jelas. PASAL 18 (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang II - 20 Ayat (1) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 (2) (3) (4) (5) Penjelasan diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja. Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen. Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (2) Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PASAL 19 PASAL 19 Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. Cukup jelas. PASAL 20 PASAL 20 (1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor. (2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (1) Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 21 PASAL 21 Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. PASAL 22 Cukup jelas. PASAL 22 (1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis. II - 21 Ayat (1) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan. (3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program. Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan. Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan. Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja . Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan. Ayat (3) Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. PASAL 23 PASAL 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus. PASAL 24 PASAL 24 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. II - 22 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 25 PASAL 25 (1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 26 Cukup jelas. PASAL 26 (1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan : a. harkat dan martabat bangsa Indonesia; b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya. (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). PASAL 27 Cukup jelas. PASAL 27 (1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan. (2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara. II - 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air. Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan. Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan keahlian membuat alat-alat pertanian modern. PASAL 28 PASAL 28 (1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional. (2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. Cukup jelas. PASAL 29 PASAL 29 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan. (2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas. (3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional. Cukup jelas. PASAL 30 PASAL 30 (1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional. (2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah. (3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. Cukup jelas. BAB VI PENEMPATAN TENAGA KERJA PASAL 31 PASAL 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama II - 24 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. PASAL 32 PASAL 32 (1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. (2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. (3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Ayat (1) - Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/ buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. - Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan. - Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. - Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi II - 25 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah. PASAL 33 PASAL 33 Penempatan tenaga kerja terdiri dari: a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar negeri. Cukup jelas PASAL 34 PASAL 34 Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku. PASAL 35 PASAL 35 (1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja (3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Ayat (1) Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 36 PASAL 36 (1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja. (2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsurunsur : a. pencari kerja; b. lowongan pekerjaan; c. informasi pasar kerja; II - 26 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan d. mekanisme antar kerja; dan e. kelembagaan penempatan tenaga kerja. (3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja. PASAL 37 PASAL 37 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari : a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. PASAL 38 Ayat (1) Huruf a. Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b. Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 38 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu. (3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA PASAL 39 PASAL 39 (1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. II - 27 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja. PASAL 40 PASAL 40 (1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna. (2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja. PASAL 41 Cukup jelas PASAL 41 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. II - 28 Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING PASAL 42 PASAL 42 (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. (5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. PASAL 43 Ayat (1) Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. PASAL 43 (1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan: a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak II - 29 Ayat (1) Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badanbadan internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF. Ayat (4) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 44 PASAL 44 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 45 PASAL 45 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris. Ayat (1) Huruf a. Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya. Huruf b. Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 46 PASAL 46 (1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. (2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri II - 30 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 47 PASAL 47 (1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan. (3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. (4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (1) Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 48 PASAL 48 Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. PASAL 49 Cukup jelas. PASAL 49 Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden. Cukup jelas. BAB IX HUBUNGAN KERJA PASAL 50 PASAL 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. PASAL 51 Cukup jelas. PASAL 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (1) Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Ayat (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan II - 31 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut. PASAL 52 PASAL 52 (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. PASAL 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 53 Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. PASAL 54 Cukup jelas. PASAL 54 (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat: a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh; II - 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/ buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 55 PASAL 55 Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Cukup jelas. PASAL 56 PASAL 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. PASAL 57 Cukup jelas. PASAL 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. II - 33 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 58 PASAL 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. PASAL 59 Cukup jelas. PASAL 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 II - 34 Ayat (1) Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputusputus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Ayat (8) Cukup jelas. PASAL 60 PASAL 60 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Ayat (1) Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 61 PASAL 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang II - 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan. PASAL 62 PASAL 62 Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. PASAL 63 Cukup jelas PASAL 63 (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Cukup jelas. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya memuat keterangan: a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. PASAL 64 PASAL 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. PASAL 65 Cukup jelas. PASAL 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada II - 36 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Penjelasan perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/ buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan II - 37 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). PASAL 66 PASAL 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/ buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. II - 38 Ayat (1) Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/ buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Huruf d Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. BAGIAN KESATU PERLINDUNGAN PARAGRAF 1 PENYANDANG CACAT PASAL 67 PASAL 67 (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ayat (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ayat (2) Cukup jelas. PARAGRAF 2 ANAK PASAL 68 PASAL 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. PASAL 69 Cukup jelas. PASAL 69 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan : a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; II - 39 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. PASAL 70 PASAL 70 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. PASAL 71 Cukup jelas. PASAL 71 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. (3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud daam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 72 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/ buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. II - 40 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 73 PASAL 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. PASAL 74 Cukup jelas. PASAL 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. PASAL 75 PASAL 75 (1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (1) Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran. Ayat (2) Cukup jelas. II - 41 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PARAGRAF 3 PEREMPUAN PASAL 76 PASAL 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. (2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PARAGRAF 4 WAKTU KERJA PASAL 77 PASAL 77 (1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. II - 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ayat (4) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 78 PASAL 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 79 PASAL 79 (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang II - 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c. Cukup jelas. Huruf d. Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undangundang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. (5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 80 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PASAL 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. PASAL 81 Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. PASAL 81 (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. PASAL 82 Cukup jelas. PASAL 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. II - 44 Ayat (1) Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Ayat (2) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 83 PASAL 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. PASAL 84 Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. PASAL 84 Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. PASAL 85 Cukup jelas. PASAL 85 (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. (2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. (4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. PARAGRAF 5 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PASAL 86 PASAL 86 (1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat II - 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. PASAL 87 PASAL 87 (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAGIAN KEDUA PENGUPAHAN Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 88 PASAL 88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. (3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; II - 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. (4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. PASAL 89 PASAL 89 (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas : a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. (4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/ kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. II - 47 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 90 PASAL 90 (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. (2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. (3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 91 PASAL 91 (1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/ buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 92 Cukup jelas. PASAL 92 (1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. (2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. II - 48 Ayat (1) Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan perusahaan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 93 PASAL 93 (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/ buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. (3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut : II - 49 Ayat (1) Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/ buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundangundangan. Pembayaran upah kepada pekerja/ buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara dilaksanakan apabila : a. negara tidak melakukan pembayaran; atau b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Huruf e Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. (4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut: a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. (5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Huruf i Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PASAL 94 PASAL 94 Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. II - 50 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 95 PASAL 95 (1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. PASAL 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya. PASAL 96 Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. PASAL 97 Cukup jelas. PASAL 97 Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. PASAL 98 Cukup jelas. PASAL 98 (1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan II - 51 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/ Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota. (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden. BAGIAN KETIGA KESEJAHTERAAN PASAL 99 PASAL 99 (1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. (2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. PASAL 100 Cukup jelas. PASAL 100 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. (2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. (3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. PASAL 101 Ayat (1) Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas PASAL 101 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. (2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha II - 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan usahausaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah Ayat (2) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL BAGIAN KESATU UMUM PASAL 102 PASAL 102 (1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. (3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. PASAL 103 Cukup jelas. PASAL 103 Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana : a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; II - 53 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 d. e. f. g. h. Penjelasan lembaga kerja sama tripartit; peraturan perusahaan; perjanjian kerja bersama; peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. SERIKAT BAGIAN KEDUA PEKERJA/SERIKAT BURUH PASAL 104 PASAL 104 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. (3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Ayat (1) Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. BAGIAN KETIGA ORGANISASI PENGUSAHA PASAL 105 PASAL 105 (1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. (2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cukup jelas. BAGIAN KEEMPAT LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT PASAL 106 PASAL 106 (1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Ayat (1) Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) II - 54 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan lembaga kerja sama bipartit. (2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. (3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (limapuluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. BAGIAN KELIMA LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT PASAL 107 PASAL 107 (1) Lembaga Kerja Sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. (2) Lembaga Kerja Sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: a. Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan b. Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (3) Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh. (4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. II - 55 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan BAGIAN KEENAM PERATURAN PERUSAHAAN PASAL 108 PASAL 108 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurangkurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. PASAL 109 Cukup jelas. PASAL 109 Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. PASAL 110 Cukup jelas. PASAL 110 (1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. PASAL 111 Cukup jelas. PASAL 111 (1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat: a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban pekerja/buruh; c. syarat kerja; d. tata tertib perusahaan; dan e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. II - 56 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. (4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani. (5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PASAL 112 PASAL 112 (1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. (2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan. (3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. (4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha II - 57 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. PASAL 113 PASAL 113 (1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. (2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Cukup jelas. PASAL 114 PASAL 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh. PASAL 115 PASAL 115 Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. BAGIAN KETUJUH PERJANJIAN KERJA BERSAMA PASAL 116 PASAL 116 (1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. (2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah. (3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa II - 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain. Ayat (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian kerja bersama yang Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). menggunakan bahasa Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 117 PASAL 117 Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PASAL 118 PASAL 118 Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/ buruh di perusahaan. PASAL 119 Cukup jelas. PASAL 119 (1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/ buruh di perusahaan yang bersangkutan. (2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. (3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). II - 59 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 120 PASAL 120 (1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. (3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/ serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh. PASAL 121 Cukup jelas. PASAL 121 Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. PASAL 122 Cukup jelas. PASAL 122 Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. PASAL 123 Cukup jelas. PASAL 123 (1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun. (2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. II - 60 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. PASAL 124 PASAL 124 (1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundangundangan. PASAL 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 125 Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. PASAL 126 Cukup jelas. PASAL 126 (1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/ buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. (2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau II - 61 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh. (3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan. PASAL 127 PASAL 127 (1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/ buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama. PASAL 128 Cukup jelas. PASAL 128 Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. PASAL 129 Cukup jelas. PASAL 129 (1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh. (2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/ serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. PASAL 130 Cukup jelas. PASAL 130 (1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119. (2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat II - 62 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional. (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/ serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3). PASAL 131 PASAL 131 (1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh. (3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. PASAL 132 Cukup jelas. PASAL 132 (1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut. II - 63 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. PASAL 133 PASAL 133 Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 134 Cukup jelas. PASAL 134 Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/ buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. PASAL 135 Cukup jelas. PASAL 135 Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. Cukup jelas. BAGIAN KEDELAPAN LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PARAGRAF 1 PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PASAL 136 PASAL 136 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. II - 64 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PARAGRAF 2 MOGOK KERJA PASAL 137 PASAL 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. PASAL 138 Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. PASAL 138 (1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum. (2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. PASAL 139 Cukup jelas. PASAL 139 Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. PASAL 140 PASAL 140 (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan II - 65 Ayat (1) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masingmasing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. PASAL 141 Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Tempat mogok kerja adalah tempattempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja. Huruf c. Cukup jelas. Huruf d. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 141 (1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima. (2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan II - 66 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. (5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/ serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. PASAL 142 PASAL 142 (1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah. (2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. PASAL 143 PASAL 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai. (2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (1) Yang dimaksud dengan menghalanghalangi dalam ayat ini antara lain dengan cara : PASAL 144 PASAL 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan II - 67 a. menjatuhkan hukuman; b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau c. melakukan mutasi yang merugikan. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. PASAL 145 PASAL 145 Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguhsungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah. PARAGRAF 3 PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK-OUT) Yang dimaksud dengan sungguhsungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif. PASAL 146 PASAL 146 (1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. (2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. (3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. PASAL 147 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/ buruh. PASAL 147 Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, II - 68 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. PASAL 148 PASAL 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out). (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. PASAL 149 Cukup jelas. PASAL 149 (1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. (2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari II - 69 Cukup jelas Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. (6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila: a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PASAL 150 PASAL 150 Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Cukup jelas PASAL 151 PASAL 151 (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Ayat (1) Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara II - 70 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. PASAL 152 PASAL 152 (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. PASAL 153 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. PASAL 153 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; II - 71 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang bersangkutan. PASAL 154 PASAL 154 Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; II - 72 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia. PASAL 155 PASAL 155 (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. PASAL 156 Cukup jelas. PASAL 156 (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; II - 73 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. II - 74 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan (5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. PASAL 157 PASAL 157 (1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas : a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. PASAL 158 Cukup jelas. PASAL 158 (1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; II - 75 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut: a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). (4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) II - 76 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. PASAL 159 PASAL 159 Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/ buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PASAL 160 Cukup jelas. PASAL 160 (1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan II - 77 Ayat (1) Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). PASAL 161 (1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut. (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). II - 78 PASAL 161 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua. Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 162 PASAL 162 (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. II - 79 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 163 PASAL 163 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). (2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). PASAL 164 Cukup jelas. PASAL 164 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/ buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan II - 80 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). PASAL 165 PASAL 165 Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). PASAL 166 Cukup jelas. PASAL 166 Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). PASAL 167 Cukup jelas. PASAL 167 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. (3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/ buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya II - 81 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh dari ayat ini adalah : - Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00. (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka : - Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 - Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6000.000,00 = Rp Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/ buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2.400.000,00 - Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00 - Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah : Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha). Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus dibayar oleh pengusaha). Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/ buruh). Jumlah = Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. PASAL 168 PASAL 168 (1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. (2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. (3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal II - 82 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. PASAL 169 PASAL 169 (1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. (2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3). II - 83 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 170 PASAL 170 Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. Cukup jelas. PASAL 171 PASAL 171 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya. Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan gugatan. PASAL 172 PASAL 172 Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). Cukup jelas. BAB XIII PEMBINAAN PASAL 173 PASAL 173 (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh, dan organisasi profesi terkait. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. II - 84 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. PASAL 174 PASAL 174 Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 175 Cukup jelas. PASAL 175 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya. Cukup jelas. BAB XIV PENGAWASAN PASAL 176 PASAL 176 Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. PASAL 177 Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain. PASAL 177 Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. PASAL 178 Cukup jelas. PASAL 178 (1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah II - 85 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota. (2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. PASAL 179 PASAL 179 (1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. PASAL 180 PASAL 180 Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 181 Cukup jelas. PASAL 181 Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib : a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; b. tidak menyalahgunakan kewenangannya. Cukup jelas. BAB XV PENYIDIKAN PASAL 182 PASAL 182 (1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta II - 86 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. (3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGIAN KESATU KETENTUAN PIDANA PASAL 183 PASAL 183 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. II - 87 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan PASAL 184 PASAL 184 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. PASAL 185 Cukup jelas. PASAL 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. PASAL 186 Cukup jelas. PASAL 186 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Cukup jelas. PASAL 187 PASAL 187 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua II - 88 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. PASAL 188 PASAL 188 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. PASAL 189 Cukup jelas. PASAL 189 Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/ atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. Cukup jelas. BAGIAN KEDUA SANKSI ADMINISTRATIF PASAL 190 PASAL 190 (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; II - 89 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin. (3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN PASAL 191 PASAL 191 Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP PASAL 192 Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan azas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini. PASAL 192 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka : 1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); II - 90 Cukup jelas. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan 3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); 7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a); 9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); 10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); II - 91 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Penjelasan 15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). dinyatakan tidak berlaku lagi. PASAL 193 PASAL 193 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Cukup jelas. Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 SEKTERARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39 II - 92 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA ACT NUMBER 13 YEAR 2003 CONCERNING MANPOWER II - 93 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes II - 94 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Contents CHAPTER I GENERAL PROVISIONS II-103 CHAPTER II STATUTORY BASIS, PRINCIPLES AND OBJECTIVES II-106 CHAPTER III EQUAL OPPORTUNITIES II-108 CHAPTER IV MANPOWER PLANNING AND MANPOWER INFORMATION II-108 CHAPTER V JOB TRAINING II-109 CHAPTER VI JOB PLACEMENT II-117 CHAPTER VII EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES II-119 CHAPTER VIII EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER II-121 CHAPTER IX EMPLOYMENT RELATIONS II-123 II - 95 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER X PROTECTION, WAGES AND WELFARE II-131 Section One : Protection Subsection 1 : Disabled Person Subsection 2 : Children Subsection 3 : Women Subsection 4 : Working Hours Subsection 5 : Occupational Safety and Health Section Two : Wages Section Three : Welfare CHAPTER XI INDUSTRIAL RELATIONS II-146 Section One : General Section Two : Trade/Labour Union Section Three : Entrepreneurs’ Organization Section Four : Bipartite Cooperation Institution Section Five : Tripartite Cooperation Institution Section Six : Company Ragulations Section Seven : Collective Labour Agreement Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of Industrial Relation Disputes Subsection 1 : Industrial Relations Disputes Subsection 2 : Strike Subsection 3 : Lock-Out CHAPTER XII TERMINATION OF EMPLOYMENT II-163 CHAPTER XIII MANPOWER DEVELOPMENT II-178 CHAPTER XIV LABOUR INSPECTION II-179 CHAPTER XV INVESTIGATION II-180 II - 96 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER XVI CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE SANCTIONS Section One : Criminal Provisions Section Two : Administrative Sanctions II-181 CHAPTER XVII TRANSITIONAL PROVISIONS II-184 CHAPTER XVIII CLOSING PROVISIONS II-184 II - 97 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes II - 98 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes EXPLANATORY NOTES ON THE ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 13 OF THE YEAR 2003 CONCERNING MANPOWER AFFAIRS ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 13 YEAR 2003 CONCERNING I. GENERAL MANPOWER WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA, Considering: a. That Indonesia’s national development shall be implemented within the framework of building Indonesians as fully-integrated human beings and of building the whole Indonesian society in order to realize a society in which there shall be welfare, justice and prosperity based on equity both materially and spiritually with the Pancasila and the 1945 Constitution at its foundation. b. That in the implementation of national development, workers have a very important role and position as actors of development as well as the goal of development itself; c. That in accordance with the role and position of workers, manpower development is required to enhance the quality of workers as well as their role and participation in national development and in improving protection for workers and their families in respect to human dignity and values; d. That protection of workers is intended to safeguard the II - 99 Manpower development as an integral part of the national development based on the Pancasila and the 1945 Constitution shall be carried out within the framework of building up Indonesian as fully integrated human beings and the overall, integrated development of Indonesia’s society in order to enhance the dignity, values and status of manpower and to create a prosperous, just and well-off society in which material and spiritual benefits are evenly distributed. Manpower development must be regulated in such a way so as to fulfill the rights of and to provide basic protection to manpower and workers/ labourers and at the same time to be able to create conducive conditions for the development of the world of business. Manpower development has many dimensions and interconnectivity. The interconnectivity is not only related to the interests of the workforce during, prior to and after the term of employment but also related to the interests of the entrepreneur, the government and the public. Therefore, comprehensive and all-inclusive arrangements are needed. And this shall include, among others, the development of human resources, improvement of productivity and competitiveness of Indonesian manpower, efforts to extend job opportunities, job placement service, and industrial relations development. Industrial relations development as part of manpower development must be directed to keep on realizing industrial relations that Act No. 13 Year 2003 e. f. Explanatory Notes fundamental rights of workers and to secure the implementation of equal opportunity and equal treatment without discrimination on whatever basis in order to realize the welfare of workers/ labourers and their family by continuing to observe the development of progress made by the world of business; That several acts on manpower are considered no longer relevant to the need and demand of manpower development and hence, need to be abolished and/or revoked; That based on the considerations as mentioned under points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act concerning Manpower. In view of: Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27 Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of the 1945 Constitution. By the joint approval between THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DECIDE: To stipulate: ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS are harmonious, dynamic and based on justice. For this purpose, recognition and appreciation of human rights as stated under the Decree of the People’s Consultative Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As far as manpower business is concerned, this MPR decree serves as a chief milestone in promoting and upholding democracy in the workplace. It is expected that the implementation of democracy in the workplace will encourage optimal participation from all manpower and workers/ labourers of Indonesia to build the aspired State of Indonesia. Some prevailing laws and regulations concerning manpower that has been ongoing thus far, including parts that are of colonial products, put workers in a less advantageous position especially when it comes to job placement service and industrial relations system that put too much emphasis on differences of positions and interests so that they are no longer suitable for today’s needs as well as for future demands. The said statutory legislations are: Ordinance concerning the Mobilization of Indonesian People To Perform Work Outside of Indonesia (Staatsblad Year 1887 Number 8); Ordinance dated December 17, 1925, which is a regulation concerning the Imposition of Restriction on Child Labour and Night Work for Women (Staatsblad Year 1925 Number 647); Ordinance Year 1926, which is a regulation concerning Child and Youth Labour on Board of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87); Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To Regulate Activities To Recruit Candidates (Staatsbald Year 1936 Number 208); Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia (Staatsblad Year 1939 Number 545); Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction of Child Labour II - 100 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (Staatsblad Year 1949 Number 8); Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of the Enactment of Employment Act Year 1948 Number 12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State Gazette Year 1951 Number 2); Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement Between Labour Union and Employer (State Gazette Year 1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number 598a); Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of Foreign Manpower (State Gazette Year 1958 Number 8); Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work for University Graduates Holding Master’s Degree (State Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State Gazette Number 2270); Act Number 7 of the Year 1963 serving as the Presidential Resolution on Prevention of Strike and or Lockout at Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963 Number 67); Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969 Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912); Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 1997 Number 73, Supplement to State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3702); Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette Year 1998 Number 184, Supplement to State Gazette Number 3791); Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment of Government Regulation in lieu of Law Number 3 Year 2000 concerning Changes to Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State Gazette Year 2000 Number 204, Supplement to State Gazette Number 4042). The above-mentioned statutory legislations are considered necessary to be revoked and replaced by a new act. Relevant provisions of the old statutory rules and regulations are accommodated under this manpower act. Implementing regulations from the abolished acts shall remain effective until new implementing regulations are established to replace them. This act does not only abolish rules, regulations and provisions that are no longer suitable/ relevant in the manpower context of today but also accommodate very fundamental changes in all aspects of the life of Indonesian as a nation that started with the 1998 reformation era. At international labour forums, fundamental human rights in the workplace are recognized through the 8 (eight) core conventions of the International Labour Organization (ILO). These core conventions are basically made up of four groups: Freedom of Association (ILO Conventions No. 87 and 98); Prohibition against Discrimination (ILO Conventions No. 100 and 111); Abolition of Forced Labour (ILO Conventions No. 29 and 105); Minimum Age for Admission to Employment (ILO Convention No. 138 and No. 182). II - 101 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Indonesian, as a nation, is committed to the recognition and appreciation of fundamental human rights in the workplace. This has been realized, among others, through the ratification of the 8 (eight) core conventions of the ILO. In line with the ratification in recognition of the fundamental rights, this manpower act must also reflect observance and appreciation of the seven core principles. This act contains, among others: Statutory basis, fundamental principles and the objectives of manpower development; Manpower planning and manpower information; Provision of equal opportunities and equal treatment for manpower and workers/ labourers; Job training that is directed to improve and develop skills and expertise of manpower in order to increase labour productivity as well as enterprise productivity; Job placement service in order to optimally use manpower and the placement of people available for work in jobs that uphold human values and human dignity as a form of responsibility of the government and the society in efforts to extend job opportunities; The proper use of manpower of foreign citizenship in accordance with the competences that are needed. Industrial relations development that accords with the values of the Pancasila, directed towards the development of harmonious, dynamic and justice-based relations among actors of production process; Institutional development and structures of industrial relations, including collective labour agreements, bipartite cooperative institutes, tripartite cooperative institutes, the provision of information on industrial relations to the society, and the settlement of industrial relations disputes. Protection for workers/ labourers, including protection of the worker/ labourer’s fundamental rights to negotiate with the entrepreneur, protection of the worker/ labourer’s occupational safety and health, special protection for female workers/ labourers, children, youths and disabled or handicapped workers, and protection concerning wages, welfare and social security for employees; Labour inspection, in order to make sure that statutory rules and regulations concerning manpower are indeed carried out, as they should. II - 102 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes II. ARTICLE BY ARTICLE CHAPTER I GENERAL PROVISIONS ARTICLE 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. ARTICLE 1 Under this act, the following definitions shall apply: Manpower affairs are referring to every matter that is related to people who are needed or available for a job before, during and after their employment. Manpower is every individual or person who is able to work in order to produce goods and/ or services either to fulfill his or her own needs or to fulfill the needs of the society. A worker/labourer are any person who works and receives wages or other forms of remuneration. An employer is individual, entrepreneur, legal entities, or other entity that employ manpower by paying them wages or other forms of remuneration. An entrepreneur is: a. An individual, a partnership or a legal entity that operates a self-owned enterprise; b. An individual, a partnership or a legal entity that independently operates a non-self-owned enterprise; c. An individual, a partnership or a legal entity located in Indonesia and representing an enterprise as mentioned under point a and point b that is domiciled outside the territory of Indonesia. An enterprise is: a. Every form of business, which is either a legal entity or not, which is owned by an individual, a partnership or a legal entity that is either privately owned or state owned, which employs workers/ labourers by paying them wages or other forms of remuneration; b. Social undertakings and other undertakings with officials in charge and which employ people by paying the wages or other forms of remuneration. Manpower planning is the process of making a manpower plan systematically that is used as a basis and reference for formulating the policy, strategy and implementation of a sustainable manpower development program. II - 103 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes 8. Manpower information is a group, a set or series and an analysis of data in the form of processed numbers, texts and documents that have specific meanings, values and messages concerning labour. 9. Job training is the whole activities of providing workers or potential workers with, and paving the way for them to acquire, enhance and develop job competence, productivity, discipline, work attitude and ethics until a desired level of skills and expertise that match the grade and qualifications required for a position or a job is reached. 10. Job competence or competency is the capability of each individual that covers aspects of knowledge, skills and work attitude which accords with prescribed standards. 11. Apprenticeship is a part of a job training system that integrates training at a training institute with working directly under the tutelage and supervision of an instructor or a more experienced worker/ labourer in the process of producing goods and/ or services in an enterprise in order to master a certain skill or trade. 12. Job placement service is an activity aimed at matching up manpower with employers so that manpower get jobs that are suitable to their talents, interest and capability and employers get the manpower they need. 13. Foreign worker is a visa holder of foreign citizenship with the intention to work in Indonesia’s territory. 14. Work agreement is an agreement made between a worker/ labourer and an entrepreneur or an employer that specifies work requirements, rights and obligations of the parties. 15. An employment relation is a relationship between an entrepreneur and a worker/ labourer based on a work agreement, which contains the elements of job, wages and work order. 16. Industrial relations is a system of relations that is formed among actors in the process of producing goods and/or services, which consist of employers, workers/ labourers and the government, which is based on the values of the Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. 17. A trade union/labour union is an organization that is formed from, by and for workers/labourers either within II - 104 Act No. 13 Year 2003 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Explanatory Notes an enterprise or outside of an enterprise, which is free, open, independent, democratic, and responsible in order to strive for, defend and protect the rights and interests of the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/ labourer and their families. A bipartite cooperation institution is a communication and consultation forum on matters pertaining to industrial relations in an enterprise whose members consist of entrepreneurs and trade/labour unions that have been registered at a government agency responsible for manpower affairs or workers/labourers’ representatives. A tripartite cooperation institute is a communication, consultation and deliberation forum on manpower issues (problems) whose members consist of representatives from entrepreneurs’ organizations, workers/labourers’ organizations and the government. Company regulations is a set of rules and regulations made in writing by an entrepreneur that specifies work requirements and the enterprise’s discipline and rule of conduct. A collective labour agreement is an agreement resulted from negotiations between a trade/labour union or several trade/ labour unions registered at a government agency responsible for manpower affairs and an entrepreneur or several entrepreneurs or an association of entrepreneurs that specifies work requirements, rights and obligations of the parties. An industrial relations dispute is a difference of opinion that results in a conflict between an entrepreneur or an association of entrepreneurs and a worker/labourer or a trade/labour union because of dispute over rights, interests and termination of employment and dispute between a trade/labour union and another trade/labour union in the same enterprise. A strike is a collective action of workers/labourers, which is planned and carried out by a trade/labour union to stop or slower work. A lockout is the entrepreneur’s action of refusing the worker/labourer in whole or in part to perform work. The termination of an employment relationship is II - 105 Act No. 13 Year 2003 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. Explanatory Notes termination of employment relationship because of a certain thing that results in the coming of an end of the rights and obligations of the worker/ labourer and the entrepreneur. A child is every person who is under 18 (eighteen) years old. Day is a period of time between 6am to 6pm. One (1) day is a period of time of 24 (twenty four) hours. A week is a period of 7 (seven) days. A wage is the right of the worker/ labourer that is received and expressed in the form of money as remuneration from the entrepreneur or the employer to workers/ labourer, whose amount is determined and paid according to a work agreement, consensus, or laws and regulations, including allowances for the worker/ labourer and their family for a job and or service that has been performed or will be performed. Workers/ labourers’ welfare is a fulfillment of physical and spiritual needs and/or necessities [of the worker] either within or outside of employment relationships that may directly or indirectly enhance work productivity in a working environment that is safe and healthy. Labour inspection is the activity of controlling and enforcing the implementation of laws and regulations in the field of manpower. Minister is the minister responsible for manpower affairs. CHAPTER II STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND OBJECTIVES ARTICLE 2 ARTICLE 2 Manpower development shall have the Pancasila and the 1945 Constitution as its statutory basis. II - 106 The National Development shall be carried out in the framework of the whole, undivided development of Indonesian as a human being. Therefore, manpower development shall be carried out with the aim to develop Indonesian and the Indonesian society as a whole into a prosperous, just, and well-off society in which material and spiritual benefits are evenly shared. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 3 ARTICLE 3 Manpower development shall be carried out based on the basic principle of integration through functional, crosssector, central, and provincial/municipal coordination. The fundamental principle of manpower development basically accords with the fundamental principle of national development, in particular with the fundamental principle of democracy of the Pancasila and the fundamental principles of social justice and equity. Manpower development has many dimensions and interconnectivity with many stakeholders such as the government, the entrepreneur and the worker/ labourer. Therefore, manpower development shall be carried out in an integrated manner and in the form of a mutually supportive cooperation. ARTICLE 4 ARTICLE 4 Manpower development aims at: a. Empowering and making efficient use of manpower optimally and humanely; b. Creating equal opportunity and providing manpower (supply of manpower) that suits the need of national and provincial/ municipal developments; c. Providing protection to manpower for the realization of welfare; and d. Improving the welfare of manpower and their family. Point a The empowerment and the effective employment of manpower and the development of their potentials shall go hand in hand as an integrated activity aimed at providing as many job opportunities as possible to Indonesian manpower. Through the empowerment and their employment/ potential development, Indonesian manpower shall be able to participate optimally in the national development but with keeping on upholding their values as human beings. Point b All efforts must be made to ensure equal distribution of job opportunities throughout all the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia as a unified job markets by providing equal opportunities to all Indonesian manpower to find job that is in line with their talents, interest and capabilities. All efforts must also be made to ensure equal distribution of job placement in order to fulfill the needs in all sectors and regions. Point c Sufficiently clear Point d Sufficiently clear II - 107 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER III EQUAL OPPORTUNITIES ARTICLE 5 ARTICLE 5 Any manpower shall have the same opportunity to get a job without discrimination. Every person who is available for a job shall have the same right and opportunity to find a decent job and to earn a decent living without being discriminated against on grounds of sex, ethnicity, race, religion, political orientation, in accordance with the person’s interest and capability, including the provision of equal treatment to the disabled. ARTICLE 6 ARTICLE 6 Every worker/ labourer has the right to receive equal treatment without discrimination from their employer. CHAPTER IV Entrepreneurs are under an obligation to give the worker/ labourer equal rights and responsibilities without discrimination based on sex, ethnicity, race, religion, skin color, and political orientation. MANPOWER PLANNING AND MANPOWER INFORMATION ARTICLE 7 ARTICLE 7 (1) For the sake of manpower development, the government shall establish manpower policy and develop manpower planning. (2) Manpower planning shall include: a. Macro manpower planning; and b. Micro manpower planning. (3) In formulating policies, strategies, and implementation of sustainable manpower development program, the government must use the manpower planning as mentioned under subsection (1) as guidelines. II - 108 Subsection (1) Manpower planning that is formulated and established by the government shall be implemented through sector-based, regional and national manpower planning approaches. Subsection (2) Point a Macro manpower planning is a process of systematically formulating manpower planning, which makes effective, productive and optimal use of workforce in order to support economic or social developments at national, regional or sector-based level. In this way as many as possible job opportunities can be made available while job productivity and workers/ labourers’ welfare can also be increased. Point b Micro manpower planning is a process of systematically formulating manpower planning within an agency – either a government agency or a private agency – in order to enhance the effective, productive and Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes optimal use of workforce to support the achievement of high performance at the agency or enterprise concerned. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 8 ARTICLE 8 (1) Manpower planning shall be developed on the basis of manpower information, which, among others, includes information concerning: a. Population and manpower; b. Employment opportunity; c. Job training including job competence; d. Workers’ productivity; e. Industrial relations; f. Working environment condition; g. Wages system and workers’ welfare; and h. Social security for the employed. (2) The manpower information as mentioned under subsection (1) shall be obtained from all related parties, including from government and private agencies. (3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower information as well as procedures for the formulation and implementation of manpower planning as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Government Regulation. Subsection (1) Manpower information is collected and processed according to the objectives of the formulation of national manpower planning and provincial or district or city manpower planning. Subsection (2) For the sake of manpower development, the participation of the private sector is expected to provide information concerning manpower. The term “private sector” shall include enterprises/ companies, universities, and nongovernment organizations at central level, provincial or district/ city levels. Subsection (3) Sufficiently clear CHAPTER V JOB TRAINING ARTICLE 9 ARTICLE 9 Job training is provided and directed to instill, enhance, and develop job competence in order to improve ability, productivity and welfare. Welfare improvement as mentioned under this Article shall mean the welfare gained by manpower through the fulfillment of work competence acquired by means of job training. ARTICLE 10 ARTICLE 10 (1) Job training shall be carried out by taking into account II - 109 Subsection (1) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes the need of the job market and the need of the business community, either within or outside the scope of employment relations. Job training shall be provided on the basis of training programs that refer to job competence standards. (2) Job training may be administered step by step. (3) Provisions concerning procedures for establishing job competence standards as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 11 Subsection (2) Work competence standards shall be established by Minister by including the sectors concerned. Subsection (3) Job training commonly comes in three levels: elementary level, intermediate level and advanced level. Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 11 Manpower has the right to acquire and/or improve and/ or develop job competence that is suitable to their talents, interest and capability through job training. Sufficiently clear ARTICLE 12 ARTICLE 12 (1) Entrepreneurs are responsible for improving and or developing their workers’ competence through job training. Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated with a Ministerial Decision are under an obligation to improve and or develop the competence of their workers as mentioned under subsection (1) (2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to take part in a job training that is relevant to their field of duty. Subsection (1) Users of skilled manpower are entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are responsible for organizing job training in order to improve their workers’ competence. Subsection (2) Entrepreneurs are obliged to enhance and/or develop the competence of their workers/ labourers because it is the enterprise that will benefit from the enhancement of their workers/ labourers’ job competence. Subsection (3) The administration of job training shall be adjusted to the need of and the available opportunity at the enterprise so that enterprise activities are not disrupted. ARTICLE 13 ARTICLE 13 (1) Job training shall be provided by government job-training institutes and/or private job-training institutes. (2) Job training may be provided in a training place or in the workplace. (3) In providing job training, government job-training institutes as mentioned under subsection (1) may work together with the private sector. Subsection (1) Private job training shall also include enterprise job training. II - 110 Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 14 ARTICLE 14 (1) A private job-training institute can take the form of an Indonesian legal entity or individual proprietorship. (2) Private job-training institutes as mentioned under subsection (1) are under an obligation to have a permit or register with the agency responsible for manpower affairs in the local district/ city. (3) A job-training institute run by a government agency shall register its activities at the government agency responsible for manpower affairs in the local district/ city. (4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit from the authorities and registration procedures for job training institutes as mentioned under subsection (2) and subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 15 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) The registration of training activities administered by a government job-training institute at the government agency responsible for manpower affairs in the district/ city is intended to get information for optimal enhancement and development of the effectiveness of the training, training results, training structures and infrastructures. Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 15 Job training providers are under an obligation to make sure that the following requirements are met: a. The availability of trainers; b. The availability of a curriculum that is suitable to the level of job training to be given; c. The availability of structures and infrastructure for job training; and d. The availability of fund for the perpetuation of the activity of providing job training. ARTICLE 16 Sufficiently clear ARTICLE 16 (1) Licensed private job training institutes and registered government-sponsored job training institutes may obtain accreditation from accrediting agencies. (2) The accrediting agencies as mentioned under subsection (1) shall be independent, consisting of community and government constituents, and shall be established with a Ministerial Decision. (3) The organization and procedures of work of the accrediting agencies as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. II - 111 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 17 ARTICLE 17 (1) The government agency responsible for labour/ manpower affairs in a district/ city may temporarily terminate activities associated with the organization and administration of a job training in the district/ city if it turns out that the implementation of the job training: a. Is not in accordance with the job training directions as mentioned under Article 9; and/or b. Does not fulfill the requirements as mentioned under Article 15. (2) The temporary termination of activities associated with the organization and administration of job training as mentioned under subsection (1) shall be accompanied with the reasons for the temporary termination and suggestions for corrective actions and shall apply for no longer than 6 (six) months. (3) The temporary termination of the implementation of the administration of job training only applies to training programs that do not fulfill the requirements as specified under Article 9 and Article 15. (4) Job training providers who, within a period of 6 months, do not fulfill and complete the suggested corrective actions as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a sanction that rules the termination of their training programs. (5) Job training providers who do not obey and continue to carry out the training programs that have been ordered for termination as mentioned under subsection (4) shall be subjected to a sanction that revokes their licenses and cancels their registrations as job training providers. (6) Provisions concerning procedures for temporary termination, termination, revocation of license, and cancellation of registration shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 18 Sufficiently clear ARTICLE 18 (1) Manpower shall be entitled to receive job competence recognition after participating in job training provided by government job training institutes, private job training institutes, or after participating in job training in the II - 112 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Certification of competence is a process Act No. 13 Year 2003 (2) (3) (4) (5) Explanatory Notes workplace. The job competence recognition as mentioned under subsection (1) shall be made through job competence certification. Manpower with experience in the job may, despite their experience, take part in the job training as mentioned under subsection (1) in order to obtain job competence certification as mentioned under subsection (2). To provide job competence certification, independent profession-based certification agencies shall be established. Provisions concerning the procedures for the establishment of certification agencies as mentioned under subsection (4) shall be regulated with a Presidential Decision. ARTICLE 19 of issuing competence-attesting certificates in a systematic and objective way through competence tests that use national as well as international competence standards as reference. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear ARTICLE 19 The provision of job training to people with disability who are available for a job shall take into account the type and severity of the disability and their ability. Sufficiently clear ARTICLE 20 ARTICLE 20 (1) To support the improvement of job training for the sake of manpower development, a national job-training system that serves as a reference for the administration of job training in all fields of work and/or all sectors shall be developed. (2) Provisions concerning the form, mechanism and institutional arrangements of the national job-training system as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Government Regulation. Subsection (1) The national job training system as mentioned under this subsection is interconnectivity and integration of various job training elements/ aspects which include, among others, participants, costs, structures and infrastructures, instructors, training programs and methods and graduates. With the existence of the national job training system, all elements and all resources of national job training found in government agencies, private agencies and companies can be optimally used. Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 21 ARTICLE 21 Job training may be administered by means of apprenticeship systems. ARTICLE 22 Sufficiently clear ARTICLE 22 (1) Apprenticeship shall be carried out based on an apprenticeship agreement made in writing between the II - 113 Subsection (1) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes apprenticeship participant and the entrepreneur. (2) The apprenticeship agreement as mentioned under subsection (1) shall at least have stipulations explaining the rights and obligations of both the participant and the entrepreneur as well as the period of apprenticeship. (3) Any apprenticeship administered without an apprenticeship agreement as mentioned under subsection (2) shall be declared illegal and as a consequence, the status of the apprenticeship’s participants shall change to be the workers/ labourers of the enterprise. Subsection (2) The rights of the apprentice include the right to receive pocket money and or transport money, the right to receive social security for employees, certificate upon completion of apprenticeship if they successfully complete the apprenticeship program. The rights of the entrepreneur, on the other hand, include the right to possess any products/ services resulted from the apprenticeship activities, the right to recruit and install successful apprentices as workers/ labourers if they meet the entrepreneur’s criteria. The obligations of the apprentice include the obligation to comply with the apprenticeship agreement, to follow apprenticeship programs and procedures, and to comply with the enterprise’s discipline and rule of conduct. The obligations of the entrepreneur, on the other hand, include the obligation to provide pocket money and/or transport money to the apprentice, training facilities and infrastructures as well as occupational safety and health equipment. The period of apprenticeship varies, subject to the length of time needed to achieve the competence standards that have been set/ established in the apprenticeship training programs. Subsection (3) An apprentice who has the status of a worker/ labourer in the enterprise that employs him or her as apprentice shall have the right over everything that is regulated in the company regulations or the collective labour agreement. ARTICLE 23 ARTICLE 23 Manpower that has completed an apprenticeship program is entitled to get their job competence and qualifications recognized by enterprises or by certification agency. Certification may be performed by a certification agency established by and or accredited by the government if the program is general, or by the enterprise if the program is specific. ARTICLE 24 ARTICLE 24 Apprenticeship can take place within the enterprise or at the place where job training is organized, or at another II - 114 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes enterprise, within or outside of the Indonesia’s territory. ARTICLE 25 ARTICLE 25 (1) The apprenticeship which is conducted outside of Indonesia’s territory must obtain a license from Minister or the appointed official. (2) In order to obtain the license as mentioned under subsection (1), the organizer of the apprenticeship must be in the form of an Indonesian legal entity in accordance with the prevailing laws and regulations. (3) Provisions concerning the procedures for obtaining license for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear ARTICLE 26 ARTICLE 26 (1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s territory must take into account: a. The dignity and standing of Indonesians as a nation; b. Mastery of a higher level of competence; and c. Protection and welfare of apprenticeship participants, including their rights to perform religious obligations. (2) The Minister or appointed official may order the termination of any apprenticeship taking place outside of the Indonesia’s territory if it turns out that its organization is not pursuant to subsection (1). ARTICLE 27 Sufficiently clear ARTICLE 27 (1) Minister may require qualified enterprises to organize apprenticeship programs. (2) In determining the requirements for organizing apprenticeship programs as mentioned under subsection (1), Minister must take into account the interests of the enterprise, the society and the State. II - 115 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) The phrase the interests of the enterprise under this subsection means to ensure the availability of skilled and expert manpower at certain competence levels such specialist welders for performing welding underwater. The phrase the interests of the society shall refer to, for instance, the opening up of opportunities for people to find a job in a specific industry such as plant cultivation technology with tissue culture. The phrase the interests of the State shall Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes refer to, for instance, efforts to save the country’s foreign exchange reserves through apprenticeship programs aimed at enabling the apprentice to manufacture modern agricultural machines and tools. ARTICLE 28 ARTICLE 28 (1) In order to provide recommendation and consideration in the establishment of policies and coordination of job training and apprenticeship activities, a national job training coordinator institute shall be established. (2) The formation, membership and procedures of work of the national job training coordinator institute as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Presidential Decision. ARTICLE 29 Sufficiently clear ARTICLE 29 (1) The Central Government and/or Regional Governments shall develop job training and apprenticeship. (2) The development of job training and apprenticeship shall be directed to improve the relevance, quality, and efficiency of job training administration and productivity. (3) Efforts to improve productivity as mentioned under subsection (2) shall be made through the development of productive culture, work ethics, technology and efficiency of economic activities directed towards the realization of national productivity. Sufficiently clear ARTICLE 30 ARTICLE 30 (1) In order to enhance productivity as mentioned under subsection (2) of Article 29, a national productivity institute shall be established. (2) The national productivity institute as mentioned under subsection (1) shall be in the form of an institutional productivity enhancement service network, which supports cross-sector and cross-regional activities/ programs. (3) The formation, membership and procedures of work of the national productivity institute as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Presidential Decision. II - 116 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER VI JOB PLACEMENT ARTICLE 31 ARTICLE 31 Any manpower shall have equal rights and opportunities to choose a job, get a job, or move to another job and earn decent income irrespective of whether they are employed at home or abroad. ARTICLE 32 Sufficiently clear ARTICLE 32 (1) Job placement shall be carried out based on transparency, free, objectivity, fairness and equal opportunity without discrimination. (2) Job placement shall be directed to place manpower in the right job or position which best suits their skills, trade, capability, talents, interest and ability by observing their dignity and rights as human beings as well as legal protection. (3) Job placement shall be carried out by taking into account the equal distribution of equal opportunity and the available supply of manpower in accordance with the needs of the national and regional development programs. Subsection (1) The term transparency here refers to the giving of clear information to jobseekers concerning the type of work, the amount of wages, and working hours. This is necessary to protect workers/ labourers and to avoid disputes after the placement takes place. Free means that jobseekers are free to choose whatever job they like and employers are also free to choose manpower/ jobseekers they like. Thus jobseekers must not be forced to accept a job and employers must not be forced to accept any manpower offered to him. The term objectivity here is intended to encourage employers to offer to jobseekers jobs that suit their abilities and qualifications. In so doing, however, employers have to consider the interests of the public and must not take sides. The phrase fairness and equal here shall refer to placement purely based on the ability of the manpower and not based on the manpower’s race, sex, skin color, religion, and political orientation. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Efforts must be made to ensure equal distribution of job opportunities in the whole territory of the State of the Republic of Indonesia as a unified national job market by providing the whole manpower with the same opportunity to get job according to their II - 117 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes talents, interests and ability. Efforts to ensure equal distribution of job opportunities also need to be made so that the need for manpower in all sectors and regions can be fulfilled. ARTICLE 33 ARTICLE 33 The placement of manpower consists of: a. The placement of manpower at domestic level; b. The placement of manpower in foreign countries. Sufficiently clear ARTICLE 34 ARTICLE 34 Provisions concerning the placement of manpower in foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall be regulated with an act. Prior to the enactment of the act on the placement of manpower in foreign countries, all laws and regulations that regulate placement of manpower in foreign countries shall remain valid. ARTICLE 35 ARTICLE 35 (1) Employers who need workforce may recruit by themselves the workforce they need or have them recruited through job placement agencies. (2) Job placement agencies as mentioned under subsection (1) are under an obligation to provide protection to manpower that they try to find a placement for since their recruitment takes place until their placement is realized. (3) In employing people who are available for a job, the employers as mentioned under subsection (1) are under an obligation to provide protection which shall include protection for their welfare, safety and health, both mental and physical. Subsection (1) Employers under this subsection refer to domestic employers. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 36 ARTICLE 36 (1) The placement of manpower by a job placement agency as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be carried out through the provision of job placement service. (2) Job placement service as mentioned under subsection (2) shall be provided/rendered in an integrated manner within a job placement system to which the following elements are part: a. Job seekers; b. Vacancies; c. Job market information; II - 118 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes d. Inter-job mechanisms; and e. Institutional arrangements for job placement. (3) Activities connected with the elements of the job placement system as mentioned under subsection (2) can take place separately and are aimed at the realization of the placement of manpower. ARTICLE 37 ARTICLE 37 (1) Job placement agencies as mentioned under subsection (1) of Article 35 consist of: a. Government agencies responsible for manpower affairs; and b. Private agencies with legal status. (2) In order to provide job placement service, the private agency as mentioned under subsection (1) point b is under an obligation to possess a written permission from Minister or another appointed official. ARTICLE 38 Subsection (1) Point a The establishment of government agencies responsible for manpower affairs at central and regional level shall be regulated according to prevailing laws and regulations. Point b Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 38 (1) Job placement agencies as mentioned under point a subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting placement fees, either directly or indirectly, in part or in whole, from people available for work whom they find a placement for and their users. (2) Private job placement agencies as mentioned under point b subsection (1) of Article 37 may only collect placement fees from users of their service and from workers of certain ranks and occupation whom they have placed. (3) The ranks and occupation as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear CHAPTER VII EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES ARTICLE 39 ARTICLE 39 (1) The government is responsible for making efforts to extend job opportunities either within or outside of employment relationships. II - 119 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (2) The government and the society shall jointly make efforts to extend job opportunities either within or outside of employment relationships. (3) All the government’s policies, at the central or regional level and in each sector, shall be directed to realize the extension of job opportunities either within or outside of employment relationships. (4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the business society need to help and facilitate each activity of the society which can create or develop extension of job opportunities. ARTICLE 40 ARTICLE 40 (1) Extension of employment opportunities outside of employment relationships shall be undertaken through the creation of productive and sustainable activities by efficient use of natural resource potentials, human resources, and effective practical technologies. (2) Extension of employment opportunities as mentioned under subsection (1) shall be undertaken through patterns of formation and development for the self-employed, the application of labour-intensive system, the application and development of effective practical technology, and efficient use of volunteers or other patterns that may encourage the creation of job opportunity extension. Sufficiently clear ARTICLE 41 ARTICLE 41 (1) The government shall determine manpower and job opportunity extension policies. (2) The government and the society shall jointly exercise control over the implementation of the policies as mentioned under subsection (1). (3) In implementing the duty as mentioned under subsection (2), a coordinating body with government and society constituents as its members may be established. (4) Provisions concerning the extension of job opportunities as mentioned under Article 39 and Article 40 and the formation of a coordinating body as mentioned under subsection (3) of this Article shall be regulated with a Government Regulation. II - 120 Because efforts to extend job opportunities are of cross-sector coverage, a national policy must be made in all sectors to absorb manpower optimally. In order to properly implement the national policy, the government and society shall jointly and in a coordinated way monitor and control the implementation of the policy. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER VIII EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER ARTICLE 42 ARTICLE 42 (1) Every employer that employs foreign worker is under an obligation to obtain written permission from Minister. (2) An employer who is an individual person is prohibited from employing foreign worker. (3) The obligation to obtain permission from Minister as mentioned under subsection (1) does not apply to representative offices of foreign countries in Indonesia that employ foreign citizens as their diplomatic and consular employees. (4) Foreign worker can be employed in Indonesia in employment relations for certain positions and for a certain period of time only. (5) Provisions concerning certain positions and certain periods of time as mentioned under subsection (4) shall be regulated with a Ministerial Decision. (6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose working period has expired and cannot be extended may be replaced by other foreign workers. ARTICLE 43 Subsection (1) The requirement to obtain permission for the use of foreign worker is intended to ensure selective employment of foreign worker so that Indonesian manpower can be used and developed optimally. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear Subsection (6) Sufficiently clear ARTICLE 43 (1) Employers of foreign worker must have plan concerning the utilization of foreign worker that are legalized by the Minister or appointed official. (2) The plans for the utilization of foreign worker as mentioned under subsection (1) shall at least contain the following information: a. The reasons why the service of foreign worker is needed or required. b. The position and or occupation of the foreign worker within the organizational structure of the enterprise. c. The timeframe set for the use of the foreign worker; and d. The appointment of Indonesian worker as associate for the foreign worker. II - 121 Subsection (1) The plan for the utilization of foreign worker is a requirement to get working permit (IKTA). Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) The “international agencies” under this subsection refer to non-profit international organizations under the United Nations such as the ILO, WHO or UNICEF. Subsection (4) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (3) The provision as mentioned under subsection (1) does not apply to government agencies, international agencies and representative diplomatic offices of foreign countries. (4) The provisions concerning the procedures for the legalization of plans concerning the utilization of foreign worker shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 44 ARTICLE 44 (1) Employers of foreign worker are under an obligation to obey the prevailing regulations concerning occupations and competence standards. (2) The provisions concerning occupations and competence standards as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) The competence standards here refer to qualifications that must be owned by manpower of foreign citizenship such as knowledge, skills and expertise in certain fields and understanding of Indonesian culture. Subsection (2) ufficiently clear ARTICLE 45 ARTICLE 45 (1) Employers who employ foreign worker are under obligations: a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign worker whereby the foreign worker shall transfer technologies and his/her expertise to his/her Indonesian associate; and b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned under point a, until he/she has the qualifications required to occupy the position currently occupied by foreign worker. (2) The provision as mentioned under subsection (1) does not apply to foreign worker who occupy the position of director and/or commissioner. ARTICLE 46 Subsection (1) Point a Indonesian worker who accompany foreign worker do not automatically replace or occupy the position of the foreign worker that they accompany. The accompaniment is emphasized on transfer of technology and transfer of expertise/ skills so that the accompanying Indonesian workers may get ability to replace the foreign worker that they accompany in due time. Point b Vocational education and training by employers may be carried out either in the country home or by sending Indonesian manpower to foreign countries for training. Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 46 (1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal with personnel and/or occupy certain positions. (2) The certain positions as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Ministerial Decision. II - 122 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 47 ARTICLE 47 (1) Employers are obliged to pay compensation for each of foreign worker that they employ. (2) The obligation to pay compensation as mentioned under subsection (1) does not apply to government agencies, international agencies, social and religious undertakings and certain positions in educational institutions. (3) The provisions concerning certain positions in educational institutions as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. (4) The provisions concerning the amount of compensation and its utilization shall be regulated with a Government Regulation. ARTICLE 48 Subsection (1) The obligation to pay compensation is intended to support efforts to increase the quality of Indonesian human resources. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 48 Employers who employ foreign worker are under an obligation to repatriate the foreign worker to their countries of origin after their employment comes to an end. Sufficiently clear ARTICLE 49 Provisions concerning the procedures for the utilization of foreign workers and the implementation of education and training for their Indonesian associate shall be regulated with a Government Regulation. ARTICLE 49 Sufficiently clear CHAPTER IX EMPLOYMENT RELATIONS ARTICLE 50 ARTICLE 50 Employment relation exists because of the existence of a work agreement between the entrepreneur and the worker/ labourer. Sufficiently clear ARTICLE 51 ARTICLE 51 (1) Work agreements can be made either orally or in writing. (2) Work agreements that specify requirements in writing shall be carried out in accordance with valid legislation. Subsection (1) Principally, work agreements shall be made in writing. However, given the various conditions in the society, oral work agreements are possible. II - 123 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Subsection (2) Work agreements that specify work requirements in writing must be in accordance with the prevailing laws and regulations, including work agreements for a specified time, inter-work inter-region and inter-work inter-country and maritime work agreements. ARTICLE 52 ARTICLE 52 (1) A work agreement shall be made based on: a. The agreement of the parties; b. The capability or competence to take legal actions; c. The availability/existence of the job which the parties have agreed about; d. The notion that the job which the parties have agreed about is not against public order, morality and what is prescribed in the prevailing laws and regulations. (2) If a work agreement, which has been made by the parties, turns out to be against what is prescribed under point a and point b of subsection (1), the agreement may be abolished/cancelled. (3) If a work agreement, which has been made by the parties, turns out to be against what is prescribed under point c and point d of subsection (1), the agreement shall be declared null and void by law. Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b The phrase capability or competence to take legal actions refers to parties who are capable or competent by law to make agreements. Work agreements for child labour shall be signed by their parents or guardians. Point c Sufficiently clear Point d Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 53 ARTICLE 53 Everything associated with, and/or the costs needed for, the making of a work agreement shall be borne by, and shall be the responsibility of, the entrepreneur. ARTICLE 54 Sufficiently clear ARTICLE 54 (1) A written work agreement shall at least include: a. The name, address and line of business; b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer; c. The occupation or the type of job; d. The place, where the job is to be carried out; e. The amount of wages and how the wages shall be paid; f. Job requirements stating the rights and obligations of II - 124 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) What is meant by the phrase must not against stated under this subsection is that if the enterprise already has its rules and regulations or its collective labour agreement, then the content of the work agreement, both in terms of quality and quantity, can not be Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes both the entrepreneur and the worker/ labourer; g. The date the work agreement starts to take effect and the period during which it is effective; h. The place and the date where the work agreement is made; and i. The signatures of the parties involved in the work agreement. (2) The provisions in a work agreement as mentioned under point e and point f of subsection (1) are concerned must not against the company regulations, the collective labour agreement and prevailing laws and regulations. (3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall be made in 2 (two) counterparts which have the same legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the entrepreneur and the other by the worker/ labourer. ARTICLE 55 lower than the provisions under the company regulations or the collective labour agreement. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 55 A work agreement cannot be withdrawn and/or changed unless the parties agreed otherwise. Sufficiently clear ARTICLE 56 ARTICLE 56 (1) A work agreement may be made for a specified time or for an unspecified time. (2) A work agreement for a specified time shall be made based on: a. A term; or b. The completion of a certain job. ARTICLE 57 Sufficiently clear ARTICLE 57 (1) A work agreement for a specified time shall be made in writing and must be written in the Indonesian language with Latin alphabets. (2) A work agreement for a specified time, if not made in writing is against what is prescribed under subsection (1), shall be regarded as a work agreement for an unspecified time. (3) If a work agreement is written in both the Indonesian language and a foreign language and then differences in interpretation arise, then the Indonesian version of the agreement shall prevail. II - 125 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 58 ARTICLE 58 (1) A work agreement for a specified time cannot stipulate probation. (2) If a work agreement as mentioned under subsection (1) stipulates the probation, it shall then be declared null and void by law. ARTICLE 59 Sufficiently clear ARTICLE 59 (1) A work agreement for a specified time can only be made for a certain job, which, because of the type and nature of the job, will finish in a specified time, that is: a. Work to be performed and completed at once or work which is temporary by nature; b. Work whose completion is estimated time which is not too long and no longer than 3 (three) years; c. Seasonal work; or d. Work that is related to a new product, a new activity or an additional product that is still in the experimental stage or try-out phase. (2) A work agreement for a specified time cannot be made for jobs that are permanent by nature. (3) A work agreement for a specified time can be extended or renewed. (4) A work agreement for a specified time may be made for a period of no longer than 2 (two) years and can only be extended one time that is not longer than 1 (one) year. (5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for a specified time shall notify the said workers/ labourers of the intention in writing within a period of no later than 7 (seven) days prior to the expiration of the work agreements. (6) The renewal of a work agreement for a specified time can only be made after a grace period of 30 (thirty) days is over since the work agreement for a specified period comes to an end; the renewal of a work agreement for a specified time can only be made once that is no longer than 2 (two) years. (7) Any work agreement for a specified time that does not fulfill the requirements mentioned under subsection (1), subsection (2), subsection (4), subsection (5) and II - 126 Subsection (1) The work agreement as mentioned under this subsection shall be registered with the government agency responsible for manpower affairs. Subsection (2) Jobs that are permanent by nature refer to continuous, uninterrupted jobs that are not confined by a timeframe and are part of production process in an enterprise or jobs that are not seasonal. Jobs that are not seasonal are jobs that do not depend on the weather or certain conditions. If a job is a continuous, uninterrupted job that is not confined by a timeframe and part of a production process but depends on the weather or the job is needed because of the existence of a certain condition, then the job is a seasonal job. The job does not belong to permanent employment and hence, can be subjected to a work agreement for a specified time. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear Subsection (6) Sufficiently clear Subsection (7) Sufficiently clear Subsection (8) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes subsection (6) shall, by law, become a work agreement for an unspecified time. (8) Other matters that have not been regulated under this article shall be further regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 60 ARTICLE 60 (1) A work agreement for an unspecified time may require a probation period for no longer than 3 (three) months. (2) During the probation period as mentioned under subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying wages less than the applicable minimum wage. Subsection (1) A requirement for a probationary period must be stated in a work agreement. If the work agreement is made orally, the requirement for a probationary period must be made known to the worker and stated in the worker’s letter of appointment. If the work agreement or the letter of appointment is silent about probationary period, probationary period shall be considered non-existent. Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 61 ARTICLE 61 (1) A work agreement comes to an end if: a. The worker dies; or b. The work agreement expires; or c. A court decision and/or a resolution or order of the industrial relations disputes settlement institution, which has permanent legal force; or d. There is a certain situation or incident prescribed in the work agreement, the company regulations, or the collective labour agreement which may effectively result in the termination of employment. A work agreement does not end because the entrepreneur dies or because the ownership of the company has been transferred because the company has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a grant. (2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise, the new entrepreneur shall bear the responsibility of fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless otherwise stated in the transfer agreement, which must not reduce the entitlements of the worker/ labourer. II - 127 Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Sufficiently clear Point d A certain situation or incident which may result in the termination of employment refers to certain conditions such as natural disasters, social upheavals/ unrest and security disturbances. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) What is meant by the worker’s entitlements that pursuant to the prevailing laws and regulations or the entitlements that has been prescribed in the work agreement, Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may terminate the work agreement after negotiating with the worker/ labourer. (4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful claim to acquire the worker’s entitlements according to the prevailing laws and regulations or to the entitlements that has been prescribed in the work agreement, the company regulations, or the collective labour agreement. ARTICLE 62 the company regulations, or collective labour agreement are entitlements that must be given that are better and more beneficial for the worker/ labourer. ARTICLE 62 If either party in a work agreement for a specified time shall terminates the employment relations prior to the expiration of the agreement, or if their work agreement has to be ended for reasons other than what is given under subsection (1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged to pay compensation to the other party in the amount of the worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement. ARTICLE 63 Sufficiently clear ARTICLE 63 (1) If a work agreement for an unspecified time is made orally, the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of appointment for the relevant worker/ labourer. The letter of appointment as mentioned under subsection (1) shall at least contain information concerning: a. The name and address of the worker/ labourer; b. The date the worker starts to work; c. The type of job or work; and d. The amount of wages. Sufficiently clear ARTICLE 64 ARTICLE 64 An enterprise may subcontract part of its work to another enterprise under a written agreement of contract of work or a written agreement for the provision of worker/labour. ARTICLE 65 Sufficiently clear ARTICLE 65 (1) The subcontract of part of work to another enterprise shall be performed under a written agreement of contract of work. (2) Work that may be subcontracted as mentioned under subsection (1) must meet the following requirements: II - 128 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Explanatory Notes a. The work can be done separately from the main activity; b. The work is to be undertaken under either a direct or an indirect order from the party commissioning the work; c. The work is an entirely auxiliary activity of the enterprise; and d. The work does not directly inhibit the production process. The other enterprise as mentioned under subsection (1) must be in the form of a legal entity. The protection and working conditions provided to workers/ labourers at the other enterprise as mentioned under subsection (2) shall at least the same as the protection and working conditions provided at the enterprise that commissions the contract or in accordance with the prevailing laws and regulations. Any change and/or addition to what is required under subsection (2) shall be regulated further with a Ministerial Decision. The employment relationship in undertaking the work as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a written employment agreement between the other enterprise and the worker/labourer it employs. The employment relationship as mentioned under subsection (6) may be based on an employment agreement for an unspecified time or on an employment agreement for a specified time if it meets the requirements under Article 59. If what is stipulated under subsection (2), and subsection (3), is not met, the enterprise that contracts the work to the contractor shall be held legally responsible by law to be the employer of the worker/ labourer employed by the contractor. In the event of change of employer from the contractor to the contracting enterprise as mentioned under subsection (8), the employment relationship between the worker/ labourer and the contracting enterprise shall be subjected to the employment relationship as mentioned under subsection (7). II - 129 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 66 ARTICLE 66 (1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be utilized by employers to carry out their enterprises’ main activities or activities that are directly related to production process except for auxiliary service activities or activities that are indirectly related to production process. (2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service activities or activities indirectly related to production process must fulfill the following requirements: a. There is employment relationship between the worker/ labourer and the labour provider; b. The applicable employment agreement in the employment relationship as mentioned under point a above shall be employment agreement for a specified time which fulfills the requirements under Article 59 and/or work agreement for an unspecified time made in writing and signed by the parties; c. The labour provider shall be responsible for wages and welfare protection, working conditions and disputes that may arise; and d. The agreements between enterprises serving as labour providers and enterprises using the labour they provide shall be made in writing and shall include provisions as mentioned under this act. (3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal entity business with license from a government agency responsible for manpower affairs. (4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the labour provider shall be held legally responsible by law to be the employer of workers/ labourers provided to it by the labour provider. Subsection (1) If the job is related to the entrepreneur’s core business activities or activities directly connected with production process, the entrepreneur is only allowed to employ workers/ labourers under an employment/ work agreement for a specified time and/or under a work agreement for an unspecified time. What is meant by auxiliary service activities or activities indirectly related to production process are activities outside of the core business of the enterprise. Such activities include, among others, activities associated with the provision of cleaning service, the provision of catering service the provision of a supply of security guards, auxiliary business activities in the mining and oil sectors, and the provision of transport for workers/ labourers. Subsection (2) Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Issues concerning wage and welfare protection, working requirements/ conditions and settlements of disputes between labour providers/ suppliers and workers/ labourers must be in accordance with the prevailing laws and regulations. As far as wage and welfare protection, working conditions, and protection in the event of a dispute are concerned, workers/ labourers who work at labour provider enterprises shall receive the same entitlements as the ones provided in the enterprises that use their service in accordance with the work agreements, company regulations or collective labour agreements. Point d Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear II - 130 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER X PROTECTION, WAGES AND WELFARE SECTION ONE PROTECTION SUBSECTION 1 DISABLED PERSONS ARTICLE 67 ARTICLE 67 (1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under an obligation to provide protection to the workers in accordance with the type and severity of their disability. (2) The protection for disabled workers as mentioned under subsection (1) shall be administered in accordance with prevailing laws and regulations. Subsection (1) The protection to disabled workers according to the type and severity of the disability as mentioned under this subsection refers to, for instance, the provision of accessibility, working tools, and personal protective equipment that are adjusted to the type and severity of the worker’s disability. Subsection (2) Sufficiently clear SUBSECTION 2 CHILDREN ARTICLE 68 ARTICLE 68 Entrepreneurs are not allowed to employ children. ARTICLE 69 Sufficiently clear ARTICLE 69 (1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may be made for the employment of children aged between 13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light work to the extent that the job does not stunt or disrupt their physical, mental and social developments. (2) Entrepreneurs who employ children for light work as mentioned under subsection (1) must meet the following requirements: a. The entrepreneurs must have written permission from the parents or guardians of the children; b. There must be a work agreement between the entrepreneur and the parents or guardians; c. Maximum working time 3 (three) hours a day; d. Conducting during the day without disturbing school time; II - 131 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes e. occupational safety and health; f. A clear employment relations; and g. receive wages in accordance with the prevailing provisions. (3) The provisions as mentioned under point a, b, f and point g of subsection (2) shall not apply to children who work in a family business. ARTICLE 70 ARTICLE 70 (1) Children may work at a workplace as part of their school’s education curriculum or training legalized by the authorities. (2) The children as mentioned under subsection (1) at least 14 (fourteen) years of age. (3) The job as mentioned under subsection (1) can be performed on the conditions: a. given clear instructions on how to do the job as well as guidance and supervision on how to carry out the work; and b. given the occupational safety and health. Sufficiently clear ARTICLE 71 ARTICLE 71 (1) Children may work in order to develop their talents and interest. (2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under subsection (1) are under an obligation to meet the following requirements: a. put under direct supervision of their parents or guardians; b. maximum working time 3 (three) hours a day; and c. the working conditions and environment do not disrupt their physical, mental and social developments as well as school time; (3) Provisions concerning children who work to develop their talents and interest as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. II - 132 Subsection (1) What is stipulated under this subsection is intended to protect children in such a way that the development of their talents and interest – that commonly takes place at their age – is not disrupted. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 72 ARTICLE 72 In case children are employed together with adult workers/labourers, the children’s workplace must be separated from the workplace for adult workers/labourers. ARTICLE 73 Sufficiently clear ARTICLE 73 Children shall be assumed to be at work if they are found in a workplace unless there is evidence to prove otherwise. ARTICLE 74 Sufficiently clear ARTICLE 74 (1) Anyone shall be prohibited from employing and involving children in the worst forms of child labour. (2) The worst forms of child labour as mentioned under subsection (1) include: a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar to slavery; b. All kinds of job that make use of, procure, or offer children for prostitution, the production of pornography, pornographic performances or gambling; c. All kinds of job that make use of, procure, or involve children for the production and trade of alcoholic beverages, narcotics, psychotropic substances and other addictive substances; and/or d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral. (3) The types of jobs that damage the health, safety or moral of the child as mentioned under point d of subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 75 Sufficiently clear ARTICLE 75 (1) The government is under an obligation to make efforts to overcome problems concerning with children who work outside of employment relationship. (2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Government Regulation. II - 133 Subsection (1) Efforts to overcome problems associated with children who work outside of employment relations are intended to ensure that no child works outside of employment relations or to reduce the number of children who work outside of employment relations. These efforts must be carried out in a well-planned, wellintegrated and well-coordinated manner with related agencies. Children who work outside of employment relations are for instance shoeshine boys or newspaper boys. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Subsection (2) Sufficiently clear SUBSECTION 3 WOMEN ARTICLE 76 ARTICLE 76 (1) It is prohibited to employ female workers/ labourers aged less than 18 (eighteen) years of age between 11 p.m. until 7 a.m. (2) Entrepreneurs are prohibited from employing pregnant female workers/ labourers who, according to a doctor’s certificate, are at risk of damaging their health or harming their own safety and the safety of the baby that are in their wombs if they work between 11 p.m. until 7 a.m. (3) Entrepreneurs who employ female workers/ labourers to work between 11 p.m. until 7 a.m. are under an obligation: a. To provide them with nutritious food and drinks; and b. To maintain decency/ morality and security in the workplace. (4) Entrepreneurs are under an obligation to provide returned/ roundtrip transport for female workers/ labourers who work between 11 p.m. until 5 a.m. (5) Provisions as mentioned under subsection (3) and subsection (4) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) Entrepreneurs shall be the ones responsible for the violation of this article. Should female workers/ labourers as mentioned under this subsection be employed between 11 p.m. until 7 a.m., the entrepreneur shall be held responsible for this violation. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear SUBSECTION 4 WORKING HOURS ARTICLE 77 ARTICLE 77 (1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the provision concerning working hours. (2) The working hours as mentioned under subsection (1) cover: a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6 (six) workdays in a week; or b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5 (five) workdays in a week; (3) The provisions concerning the working hours as mentioned under subsection (2) do not apply to certain business II - 134 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Under this subsection, certain business sectors or certain types of work refer to, for instance, work on offshore oil drilling rigs/ platforms, work involving long distance driving of vehicles, work involving long distance flight, work at sea (on a ship) or work involving the felling of trees. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes sectors or certain types of work. (4) The provisions concerning working hours for certain business sectors or certain types of work as mentioned under subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 78 Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 78 (1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work longer than the working hours determined under subsection (2) of Article 77 must meet the following requirements: a. Approval of the relevant worker/labourer; b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day and 14 (fourteen) hours in a week. (2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work overtime as mentioned under subsection (1) are under an obligation to pay overtime pay. (3) The provisions concerning overtime as mentioned under subsection (1) point b do not apply to certain business sector or certain jobs. (4) The provisions concerning overtime and overtime wages as mentioned under subsection (2) and subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) Employing workers beyond normal working hours must be avoided because workers/ labourers must have enough time to take a rest and recover their fitness. However, in certain cases there are urgent needs in which work must be immediately and inevitably done so that workers/ labourers have to work beyond normal working hours. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 79 ARTICLE 79 (1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their workers/ labourers to take a rest and leave. (2) The period of rest and leave as mentioned under subsection (1) shall include: a. The period of rest between working hours at least half an hour after working for 4 (four) hours consecutively and this period of rest shall not be inclusive of working hours; The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six) workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five) workdays in a week; b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after the worker/labourer works for 12 (twelve) months consecutively; and II - 135 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Sufficiently clear Point d While taking a long period of rest, workers/ labourers are given compensation pay for their entitlement to the eighth year’s annual leave amounting to half their monthly salary. Enterprises that have already applied a long period of rest that is better than the one stipulated under this act are not allowed to reduce it. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes c. A long period of rest of no less than 2 (two) months, which shall be awarded in the seventh and eighth year of work each for a period of 1 (one) month to workers/ labourers who have been working for 6 (six) years consecutively at the same enterprise on the condition that the said workers/ labourers will no longer be entitled to their annual period of rest in 2 (two) current years. This provision shall henceforth be applicable every 6 (six) years of work. (3) The application of the provision concerning the period of rest as mentioned under point c of subsection (2) shall be regulated in a work agreement, the company regulations or the collective labour agreement. (4) The provisions concerning the long period of rest as mentioned under point d of subsection (2) only apply to workers/labourers who work in certain enterprises. (5) The certain enterprises as mentioned under subsection (4) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear ARTICLE 80 ARTICLE 80 Entrepreneurs are under an obligation to provide workers with adequate opportunity to perform their religious obligations. What is meant by the provision of adequate opportunity shall refer to the provision of a place for praying to and worshipping God that enables workers/ labourers to properly perform their religious obligations/ rituals, in which the enterprise’s conditions and financial ability for the provision of such a place shall be taken into account. ARTICLE 81 ARTICLE 81 (1) Female workers/labourers who feel pain during their menstruation period and notify the entrepreneur about this are not obliged to come to work on the first and second day of menstruation. (2) The implementation of what is stipulated under subsection (1) shall be regulated in work agreements, the company regulations or collective labour agreements. Sufficiently clear ARTICLE 82 ARTICLE 82 (1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-anda-half ) month period of rest before the time at which they are estimated by an obstetrician or a midwife to give Subsection (1) The length of the period of rest may be extended if required as attested by a written statement from the obstetrician or midwife II - 136 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month period of rest thereafter. (2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a period of rest as stated in the medical statement issued by the obstetrician or midwife. either prior to or after the delivery. Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 83 ARTICLE 83 Entrepreneurs are under an obligation to provide proper opportunities to female workers/ labourers whose babies still need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be performed during working hours. What is meant by providing proper opportunities to female workers/ labourers to breast-feed their babies during working hours are periods of time provided by the enterprise to the female workers/ labourers to breastfeed their babies, by taking into account the availability of a place/ room that can be used for such a purpose according to the enterprise’s conditions and financial ability, which shall be regulated in the company regulations or collective labour agreements. ARTICLE 84 ARTICLE 84 Every worker/ labourer who uses her right to take the period of rest as specified under points b, c and d of subsection (2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her wages in full. ARTICLE 85 Sufficiently clear ARTICLE 85 (1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal public holidays. (2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work during formal public holidays if the types and nature of their jobs must be conducted continuously or under other circumstances based on the agreement between the worker/ labourer and the entrepreneur. (3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work on formal public holidays as mentioned under subsection (2) are under an obligation to pay overtime pay. (4) The provisions concerning the types and nature of the jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. II - 137 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) What is stipulated under this subsection is intended to serve the public interest and public welfare. Moreover, there are works whose type and nature are such that it is impossible to stop it. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes SUBSECTION 5 OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH ARTICLE 86 ARTICLE 86 (1) Every worker/ labourer has the right to receive protection on: a. Occupational safety and health; b. morality and decency; and c. Treatment that shows respect to human dignity and religious values. (2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to realize optimal productivity, an occupational health and safety scheme shall be administered. (3) The protection as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be given in accordance with prevailing laws and regulations. ARTICLE 87 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Occupational safety and health efforts are intended to provide guarantee of safety and increase the level of health of workers/ labourers by preventing occupational accidents and diseases, controlling hazards in the workplace, promoting health, medical care and rehabilitation. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 87 (1) Every enterprise is under an obligation to apply an occupational safety and health management system that shall be integrated into the enterprise’s management system. (2) The provisions concerning the application of the occupational safety and health management system as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Government Regulation. SECTION TWO WAGES Subsection (1) The occupational safety and health management system is part of the overall management system of the enterprise, which includes organizational structure, planning, implementation, responsibility, procedures, processes, and resources that are needed for the development, application, achievement, study and maintenance of the enterprise’s occupational safety and health policy in order to control the risks associated with working activities for the creation of secure, efficient and productive workplace. Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 88 ARTICLE 88 (1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that is decent from the viewpoint of humanity (2) In order to enable the worker to earn a living that is decent from the viewpoint of humanity as mentioned under subsection (1), the Government shall establish a wages policy that protects the worker/labourer. Subsection (1) Income that enables workers/ labourers to properly meet their livelihood needs refers to the amount of income or earning that workers/ labourers earns from their work so that they can reasonably meet what they and their families need for living, including the ability to meet the need for food and drinks, II - 138 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (3) The wages policy that protects workers/labourers as mentioned under subsection (2) shall include: a. Minimum wages; b. Overtime pay; c. Paid-wages during the absence; d. Paid-wages because of activities outside of his job that he has to carry out; e. Wages payable because he uses his right to take a rest; f. The form and method of the payment of wages; g. Fines and deductions from wages; h. Other matters that can be calculated with wages; i. Proportional wages structure and scale; j. Wages for the payment of severance pay; and k. Wages for calculating income tax. (4) The Government shall establish/set minimum wages as mentioned under subsection (3) point (a) based on the need for decent living by taking into account productivity and economic growth. ARTICLE 89 clothes, housing, education, healthcare, recreation and old age benefit. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 89 (1) The minimum wages as mentioned under point a of subsection (3) of Article 88 may consist of: a. Provincial or district/city-based minimum wages; b. Provincial or district/city-based sectoral minimum wages. (2) The establishment of minimum wages as mentioned under subsection (1) shall be directed towards meeting the need for decent living. (3) The minimum wages as mentioned under subsection (1) shall be determined by Governors after considering recommendations from Provincial Wages Councils and/ or District Heads/Mayors. (4) The components of and the implementation of the phases of achieving the needs for decent living as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. II - 139 Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b Sector-based minimum wages can be established for business groups by sector and their breaking down according to business classification by sector nationwide (Indonesia), by district/ city or province. Such sector-based minimum wages in any given area must not be lower than the regional minimum wages applicable to the area in question. Subsection (2) The phrase shall follow the guidance for meeting the need for decent living as mentioned under this subsection shall mean that the setting of minimum wages must be adjusted to the level at which the minimum wages are on par with the need for decent living. The amount of such minimum wages shall be determined by Minister. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) The meeting of the need for decent living needs to be made gradually because the need for decent living is an upgrade of the need for minimum living that heavily depends on the level of financial ability of the world of business. ARTICLE 90 ARTICLE 90 (1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower than the minimum wages as mentioned under Article 89. (2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as mentioned under Article 89 may be allowed to make postponement. (3) Procedures for postponing paying minimum wages as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) The postponement of the payment of minimum wages by an enterprise that is financially not able to pay minimum wages is intended to release the enterprise from having to pay minimum wages for a certain period of time. If the postponement comes to an end, the enterprise is under an obligation to pay minimum wages that are applicable at the time but is not obliged to make up the difference between the wages it actually paid and the applicable minimum wages during the period of time of the postponement. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 91 ARTICLE 91 (1) The amount of wages set based on an agreement between the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/ labour union must not be lower than the amount of wages set under the prevailing laws and regulations. (2) In case the agreement as mentioned under subsection (1) sets a wages that is lower than the one that has to be set under the prevailing laws and regulations or against prevailing laws and regulations, the agreement shall be declared null and void by law and the entrepreneur shall be obliged to pay the worker/ labourer a wages according to the prevailing laws and regulations. II - 140 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 92 ARTICLE 92 (1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of wages by taking into account the level, position, years of work, education and competence of the worker/ labourer. (2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages periodically by taking into account their enterprise’s financial ability and productivity. (3) The provisions concerning the structure and scales of wages as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) The formulation of wages structures and scales is intended as a guideline for setting wages so that the wages of each worker can be determined with certainty. Such formulation is also intended to reduce the gap between the lowest wages and the highest wages in the enterprise. Subsection (2) The reviewing of wages shall be done to adjust the wages to the consumer price index, the worker’s performance, and the enterprise’s development and financial ability. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 93 ARTICLE 93 (1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform work. (2) However, the provision as mentioned under subsection (1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer does not perform work because of the following reasons: a. The workers/labourers are ill so that they cannot perform their work; b. The female workers/labourers are ill on the first and second day of their menstruation period so that they cannot perform their work; c. The workers/labourers have to be absent from work because they get married, marry of their children, have their sons circumcised, have their children baptized, or because the worker/ labourer’s wife gives birth or suffers from a miscarriage, or because the wife or husband or children or children-in-law(s) or parent(s) or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member II - 141 Subsection (1) What is stipulated under this subsection is a fundamental principle that is basically applicable to every worker/ labourer, that is, unless the worker/ labourer cannot perform his/ her job because of mistakes that are not his/ her. Subsection (2) Point a A worker/labourer are ill if there is a statement from the physician. Point b Sufficiently clear Point c Sufficiently clear Point d Fulfilling one’s obligation to the State means fulfilling State obligation, which is stipulated under laws and regulations. The payment of wages to workers/ labourers who have to be absent from work because they are required to perform their obligations to the State shall be made if: Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes of the worker/labourer’s household dies. d. The workers/labourers cannot perform their work because they are carrying out or fulfilling their obligations to the State; e. The workers/labourers cannot perform their work because they are performing religious obligations ordered by their religion; f. The workers/labourers are willing to do the job that they have been promised to but the entrepreneur does not employ them, because of the entrepreneur’s own fault or because of impediments that the entrepreneur should have been able to avoid; g. The workers/labourers are exercising their right to take a rest; h. The workers/labourers are performing their trade union duties with the permission from the entrepreneur; and i. The workers/labourers are undergoing an education program required by their enterprise. (3) The amount of wages payable to workers who are taken ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be determined as follows: a. For the first four months, they shall be entitled to receive 100 % (one hundred percent) of their wages; b. For the second four months, they shall be entitled to receive 75 % (seventy five percent) of their wages; c. For the third four months, they shall be entitled to receive 50 % (fifty percent) of their wages; and d. For subsequent months, they shall be entitled to receive 25 % (twenty five percent) of their wages prior to the termination of employment by the entrepreneur. (4) The amount of wages payable to workers/ labourers during the period in which they have to be absent from work for reasons specified under point c of subsection (2) shall be determined as follows, a. If the workers/labourers are get married, shall be entitled to receive a payment for 3 (three) days; b. If the workers/labourers marry of their children, shall be entitled to receive a payment for 2 (two) days; c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall II - 142 a. The State does not pay the worker/ labourer; or b. The State pays worker/labourer less than the amount of wages he/she usually receives. In this case the entrepreneur is under an obligation to make up the difference. Point e Practicing or observing religious duties ordered/ required by his/her religion means practicing religious obligations according to his/her religion requirement, which has been regulated with laws and regulations. Point f Sufficiently clear Point g Sufficiently clear Point h Sufficiently clear Point i Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes be entitled to receive a payment for 2 (two) days; d. If the workers/labourers’ children are baptized, shall be entitled to receive a payment for 2 (two) days; e. If a workers/labourers’ wife gives birth or suffers a miscarriage, shall be entitled to receive a payment for 2 (two) days; f. If the workers/labourers’ spouse, or because either one parent or one of parent-in-law, or because one of children or children-in-law dies, shall be entitled to receive a payment for 2 (two) days; and g. If a member of the worker/labourer’s household dies, shall be entitled to receive a payment for 1 (one) day. (5) Arrangements for the implementation of what is stipulated under subsection (2) shall be specified in the work agreements, company regulations or collective labour agreements. ARTICLE 94 ARTICLE 94 If a wages is composed of basic wage and fixed allowances, the amount of the basic wage must not be less than 75% (seventy five percent) of the total amount of the basic wages and fixed allowances. What is meant by fixed allowance under this subsection is payment to workers/ labourers that is made regularly and not commensurate with the attendance or certain achievement / performance of the worker/ labourer. ARTICLE 95 ARTICLE 95 (1) Violations by the worker/ labourer, either by willful misconduct or negligence, may result in the imposition of a fine. (2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages late either by willful misconduct or negligence shall be ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a certain percentage from the worker/labourer’s wages. (3) The government shall regulate the imposition of fine on the entrepreneur and or the worker/ labourer in the payment of wages. (4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated based on the prevailing laws and regulations, the payment of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take priority over the payment of other debts. II - 143 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) The payment of worker/ labourer’s wages shall take priority over the payment of other debts. This means that workers/ labourers’ wages must be the first to be paid before other debts are paid. Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 96 ARTICLE 96 Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages and all other claims for payments that arise from an employment relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such the right is arose. ARTICLE 97 Sufficiently clear ARTICLE 97 The provisions concerning decent income, wages policy, the need for decent living and workers’ wages protection as mentioned under Article 88, the setting of minimum wages as mentioned under Article 89, and the provision concerning the imposition of a fine as mentioned under subsection (1), subsection (2) and subsection (3) of Article 95 shall be regulated with a Government Regulation. ARTICLE 98 Sufficiently clear ARTICLE 98 (1) In order to provide recommendations and considerations for the formulation of wages policies to be established by the Government, and to develop a national wages system, the National Wage Council, Provincial Wage Councils, and District/ City Wage Councils shall be established. (2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have representatives from the government, entrepreneurs’ organizations, trade/ labour unions, universities and experts as their members. (3) The members of the National-level Wage Council shall be appointed and dismissed by the President while the members of Provincial Wage Councils and District/ City Wage Councils shall be appointed and dismissed by the Governors/ District Heads/ Mayors of the respective provinces, districts and cities. (4) The provisions concerning the procedures for the formation of, membership composition of, procedures for appointing and dismissing members of and duties and working procedures of wages system councils as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with a Presidential Decision. II - 144 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes SECTIONTHREE WELFARE ARTICLE 99 ARTICLE 99 (1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled to social security. (2) The social security as mentioned under subsection (1) shall be administered in accordance with the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear ARTICLE 100 ARTICLE 100 (1) In order to improve the welfare of the workers/labourers and their families, the entrepreneur shall provide welfare facilities. (2) The provision of welfare facilities as mentioned under subsection (1) shall be administered by weighing the need of the worker/labourer for welfare facilities against the enterprise’s ability to provide such facilities. (3) The provisions concerning the type and criteria of welfare facilities according to the need of the worker/ labourer and the measurement of the enterprise’s ability to provide them as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with a Government Regulation. ARTICLE 101 Subsection (1) Welfare facilities shall refer to, for instance, family planning service, babysitting facilities, housing facilities for workers/ labourers, special rooms for prayer or other religious facilities, sports facilities, canteens, policlinic and other medical/ health facilities, and recreational facilities. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 101 (1) To improve workers/labourers’ welfare, workers/labourers’ cooperatives and productive business at the enterprise shall be established. (2) The government, the entrepreneur and the worker/ labourer or the trade/labour union shall make efforts to develop workers/labourers’ cooperatives and develop productive business as mentioned under subsection (1). (3) Efforts to establish workers/labourers’ cooperatives as mentioned under subsection (1) shall be made in accordance with the prevailing laws and regulations. (4) Efforts to develop workers/labourers’ cooperatives as mentioned under subsection (2) shall be regulated with a Government Regulation. II - 145 Subsection (1) Productive business undertakings at the enterprise shall refer to economic activities that generate income other than wages. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes CHAPTER XI INDUSTRIAL RELATIONS SECTION ONE GENERAL ARTICLE 102 ARTICLE 102 (1) In conducting industrial relations, the government shall perform the function of establishing policies, providing services, taking control and taking actions against any violations of statutory manpower laws and regulations. (2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and their organizations unions shall perform the function of performing their jobs/ work as obliged, working order to ensure production, channeling their aspirations democratically, enhancing their skills and expertise and helping promote the business of the enterprise and fight for the welfare of their members and families. (3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their associations shall perform the function of creating partnership, developing business, diversifying employment and providing welfare to workers/ labourers in a transparent and democratic way and in a way that upholds justice. ARTICLE 103 Sufficiently clear ARTICLE 103 Industrial relations shall be applied through: a. Trade/ labour unions; b. Entrepreneurs’ organizations; c. Bipartite cooperation institutions; d. Tripartite cooperation institutions; e. Company regulations; f. Collective labour agreements; g. Statutory manpower laws and regulations; and h. Industrial relations dispute settlement institutes. II - 146 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes SECTION TWO TRADE/LABOUR UNION ARTICLE 104 ARTICLE 104 (1) Every worker/ labourer has the right to form and become member of a trade/ labour union. (2) In performing functions as mentioned under Article 102, a trade/ labour union shall have the right to collect and manage fund and be accountable for the union’s finances, including for the provision of a strike fund. (3) The amount of the strike fund and procedures for collecting it as mentioned under subsection (2) shall be regulated under the union’s constitution and/or the union’s by-laws. Subsection (1) The freedom to establish a trade/ labour union and to become or not to become member of a trade/ labour union is one of the fundamental rights of workers/ labourers. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear SECTION THREE ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION ARTICLE 105 ARTICLE 105 (1) Every entrepreneur has the right to form and become a member of entrepreneurs’ organization. (2) The provisions concerning entrepreneurs’ organizations shall be regulated in accordance with the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear SECTION FOUR BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION ARTICLE 106 ARTICLE 106 (1) Every enterprise employing 50 (fifty) workers/ labourers or more is under an obligation to establish a bipartite cooperation institution. (2) The bipartite cooperation institution as mentioned under subsection (1) shall function as a forum for communication and consultation on labour issues at an enterprise. (3) The membership composition of the bipartite cooperation institution as mentioned under subsection (2) shall include the entrepreneur’s representatives and the worker/ labourer’s representatives who are democratically appointed by workers/ labourers to represent the interests II - 147 Subsection (1) At enterprises whose workers/ labourers number less than 50 (fifty) people, effective and proper communication and consultation can still be performed on an individual basis. However, if the enterprise has 50 (fifty) workers/ labourers or more, it is necessary to perform communication and consultation through a representative system. Subsection (2) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes of the worker/ labourer in the relevant enterprise. (4) The provisions concerning the procedures for establishing the membership of the bipartite cooperation institution as mentioned under subsection (1) and subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear SECTION FIVE TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION ARTICLE 107 ARTICLE 107 (1) Tripartite cooperation institution shall provide considerations, recommendations and opinions to the government and other parties involved in policy making and problem solving concerning labour issues/ problems. (2) The tripartite cooperation institution as mentioned under subsection (1) shall consist of: a. The National Tripartite Cooperation Institution and the Provincial, District/City Tripartite Cooperation Institutions; and b. Sector-based National Tripartite Cooperation Institution and sector-based Provincial, District/City Tripartite Cooperation Institutions. (3) The membership of tripartite cooperation institutions shall consist of representatives from the government, entrepreneurs’ organizations and trade/labour unions. (4) Procedures and organizational structures of tripartite cooperation institutions as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Government Regulation. Sufficiently clear SECTION SIX COMPANY REGULATIONS ARTICLE 108 ARTICLE 108 (1) Every enterprise which employs at least 10 (ten) workers/ labourers is under an obligation to establish a set of company regulations that shall come into force after legalized by the Minister or appointed official. (2) The obligation to have a set of legalized company regulations as mentioned under subsection (1), however, II - 148 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes does not apply to enterprises already having collective labour agreements. ARTICLE 109 ARTICLE 109 Entrepreneurs shall formulate the rules and regulations of their enterprise and shall be responsible for them. ARTICLE 110 Sufficiently clear ARTICLE 110 (1) Companies regulations shall be formulated by taking into account the recommendations and considerations from the worker/ labourer’s representatives of the enterprise. (2) If a trade/ labour union have already been established in the enterprise, the worker/ labourer’s representatives as mentioned under subsection (1) shall be the trade/ labour union’s officials. (3) If there is no trade/ labour union in the enterprise, the worker/ labourer’s representatives mentioned under subsection (1) shall be the workers/ labourers who hold a position in, or are members of, the bipartite cooperation institution and or has been democratically elected by the workers/ labourers in the enterprise to represent them and act on behalf of their interests. ARTICLE 111 Sufficiently clear ARTICLE 111 (1) Company regulations shall at least contain: a. The rights and obligations of the entrepreneur; b. The rights and obligations of the worker/ labourer; c. Working conditions; d. Enterprise discipline and rule of conduct; and e. The period of the validity of the company regulations. (2) Company regulations shall not against the prevailing laws and regulations. (3) The company regulations is valid for 2 (two) years and shall be renewed upon its expiration. (4) During the validity of the company regulations, if the trade union within the enterprise request negotiation of the drafting of the collective labour agreement, the entrepreneur is obligated to do so. (5) If the negotiation as mentioned under subsection (4) fails II - 149 Subsection (1) Point a Sufficiently clear Point b Sufficiently clear Point c Working/work requirements refer to the rights and obligations of the entrepreneur and the worker/ labourer that have not been regulated under laws and regulations. Point d Sufficiently clear Point e Sufficiently clear Subsection (2) The sentence ompany regulations shall not against any prevailing laws and regulations means that company regulations must not be lower in both quality and quantity than those stipulated under the prevailing Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes to reach an agreement, then the existing company regulations shall remain valid until its expiration. laws and regulations. If proved otherwise, however, the stipulations of prevailing laws and regulations shall apply. Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear ARTICLE 112 ARTICLE 112 (1) Legalization of company regulations by the Minister or appointed official as mentioned under subsection (1) of Article 108 must have performed within a period of no later than 30 (thirty) workdays after the draft of the company regulations is received. (2) If the company regulations have met the requirements under subsection (1) and subsection (2) of Article 111 and the period of 30 (thirty) workdays for legalizing them as mentioned under subsection (1) has elapsed but the Minister or the appointed official has not legalized them yet, then the company regulations shall be assumed to have been legalized. (3) If the company regulations have not met the requirements under subsection (1) and subsection (2) of Article 111 yet, the Minister or the appointed official must give a written notification to the entrepreneur the correction to the company regulations. (4) Within a period of no later than 14 (fourteen) workdays after the date on which the written notification is received by the entrepreneur as mentioned under subsection (3), the entrepreneur is under an obligation to resubmit the corrected version of the company regulations to the Minister or appointed official. ARTICLE 113 Sufficiently clear ARTICLE 113 (1) Any changes to the company regulations prior to its expiration can only be made on the basis of an agreement between the entrepreneur and the worker/ labourer’s representatives. II - 150 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (2) The company regulations resulting from the agreement as mentioned under subsection (1) shall be legalized by Minister or appointed official. ARTICLE 114 ARTICLE 114 The entrepreneur is under an obligation to notify and explain, as well as deliver, the contents of the company regulations or its changes to the worker/ labourer. The entrepreneur is under an obligation to notify and explain to the worker/ labourer the company regulations and changes made to them. To do so, the entrepreneur may distribute the copies of company regulations to each worker/ labourer, post them at places where workers/ labourers can easily read them. Alternatively, the entrepreneur may also explain them directly to workers/ labourers. ARTICLE 115 ARTICLE 115 Provisions concerning procedures for making and legalizing the company regulations shall be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear SECTION SEVEN COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT ARTICLE 116 ARTICLE 116 (1) A collective labour agreement shall be made between a trade/ labour union or several trade unions already recorded at a government agency responsible for manpower affairs and an entrepreneur or several entrepreneurs respectively. (2) The collective labour agreement as mentioned under subsection (1) shall be formulated by means of deliberations. (3) The collective labour agreement as mentioned under subsection (1) shall be made in writing using Latin alphabets and in the Indonesian language. (4) In case the collective labour agreement is not written in the Indonesian language, the collective labour agreement must be translated into Indonesian by a sworn translator and the translation shall be considered to have fulfilled the requirements stipulated under subsection (3). II - 151 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Work agreements must be made in good faith. This means that there must be honesty, transparency, willingness and awareness on the part of all parties concerned in the making of the agreements without any party forcing or pressurizing another party. Subsection (3) If the collective labour agreement is made in Indonesian and translated into another language and then differences in interpretation arise, then the collective labour agreement that use or are written in Indonesian shall apply. Subsection (4) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 117 ARTICLE 117 In case the deliberations as mentioned under subsection (2) of Article 116 fail to reach any consensus, then shall be settled through the procedures of industrial relations disputes settlement. Settlements through procedures for the settlement of industrial relations disputes may be carried out through mediators, conciliators, arbiters, or institutes for the settlement of industrial relations disputes. ARTICLE 118 ARTICLE 118 In one enterprise only 1 (one) collective labour agreement can be made that shall apply to all workers/labourers working in the enterprise. ARTICLE 119 Sufficiently clear ARTICLE 119 (1) If there is only one trade/labour union in an enterprise, the only trade/labour union in the enterprise shall have the right to represent workers/labourers in negotiating a collective labour agreement with the entrepreneur provided that more than 50% (fifty percent) of the total number of workers/labourers who work in the enterprise are members of the trade/labour union. (2) In case there is only one trade/labour union in an enterprise as mentioned under subsection (1) above but the number of its members does not exceed 50% (fifty percent) of the total workforce in the enterprise, the trade/ labour union may represent workers/labourers in negotiating a collective labour agreement with the entrepreneur provided that a vote that is held on this issue confirms that the trade/labour union wins the support of more than 50% (fifty percent) of the total number of workers in the enterprise. (3) If the support of more than 50% (fifty percent) of the enterprise’s total workforce as mentioned under subsection (2) is not obtained, then the trade/labour union concerned may once again put forward its request to negotiate a collective labour agreement with the entrepreneur after a period of 6 (six) months is passed since the vote is held in accordance with the procedures as mentioned under subsection (2). Sufficiently clear ARTICLE 120 ARTICLE 120 (1) If there are more than 1 (one) trade/labour union in an enterprise, the trade/labour union that has the right to II - 152 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes represent workers/labourers in negotiating a collective labour agreement with the entrepreneur shall be the one whose members are more than 50% (fifty percent) of the total number of all the workers/labourers who work in the enterprise. (2) If the requirement as mentioned under subsection (1) is not fulfilled, then the trade/labour unions in the enterprise may form a coalition until the coalition gets the support of workers numbering more than 50% (fifty percent) of the total number of workers/ labourers in the enterprise so that it is qualified to represent workers/labourers in negotiating a collective labour agreement with the entrepreneur. (3) In case what is stipulated under subsection (1) or subsection (2) is not fulfilled, then the trade/ labour unions shall establish a negotiating team whose members shall be determined in proportion to the number of members that each trade/ labour union has. ARTICLE 121 ARTICLE 121 Membership in a trade/labour union as mentioned under Article 119 and Article 120 shall be proved with a membership card. Sufficiently clear ARTICLE 122 ARTICLE 122 The vote as mentioned under subsection (2) of Article 119 shall be administered by a committee that is composed of workers/ labourers’ representatives and trade/labour union officials witnessed by the government official responsible for manpower affairs and by the entrepreneur. ARTICLE 123 Sufficiently clear ARTICLE 123 (1) The validity of the collective labour agreement is for 2 (two) years. (2) The effectiveness of the collective labour agreement as mentioned under subsection (1) may be extended for no longer than 1 (one) year based on a written agreement between the entrepreneur and the trade/labour union(s). (3) Negotiations for the next collective labour agreement may be started as early as 3 (three) months prior to the expiration of the existing collective labour agreement. II - 153 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (4) In case the negotiations as mentioned under subsection (3) fail to result in any agreement, the existing collective labour agreement shall remain valid for a maximum period of 1 (one) year. ARTICLE 124 ARTICLE 124 (1) A collective labour agreement shall at least contain: a. The rights and obligations of the employer; b. The rights and obligations of the trade/ labour union and the worker/ labourer; c. The period during which and the date starting from which the collective labour agreement takes effect; and d. The signatures of those involved in making the collective labour agreement. (2) The provisions of a collective labour agreement must not against the prevailing laws and regulations. (3) Should the contents of a collective labour agreement against the prevailing laws and regulations as mentioned under subsection (2), then the contradictory stipulations shall be declared null and void by law and the provision under prevailing laws and regulations shall prevail. Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) The phrase “must not against any prevailing laws and regulations” means that the contents of the collective labour agreement must not be lower in both quality and quantity than their counterparts or equivalence that are stipulated under the prevailing laws and regulations. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 125 ARTICLE 125 If the parties agree to change collective labour agreement, then the changes shall form an inseparable part of the existing collective labour agreement. ARTICLE 126 Sufficiently clear ARTICLE 126 (1) The entrepreneur, the trade/labour union and or the worker/ labourer is under an obligation to implement the provisions in the collective labour agreement. (2) The entrepreneur and the trade/labour union are under an obligation to inform the contents of the collective labour agreement or any changes made to it to all workers/ labourers. (3) The entrepreneur must print and distribute the text of collective labour agreement to each worker/ labourer on the enterprise’s expense. II - 154 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 127 ARTICLE 127 (1) Any work agreement made by the entrepreneur and the worker/ labourer shall not against the collective labour agreement. (2) Should there be any provisions under the work agreement mentioned under subsection (1) against the collective labour agreement, then those particular provisions in the work agreement shall be declared null and void by law and the provision on the collective labour agreement shall prevail. Sufficiently clear ARTICLE 128 ARTICLE 128 If a work agreement does not contain the rules and regulations that are stipulated in the collective labour agreement, then the stipulations specified in the collective labour agreement shall prevail. Sufficiently clear ARTICLE 129 ARTICLE 129 (1) The entrepreneur is prohibited from replacing the collective labour agreement with the company regulations as long as there is a trade/ labour union in the enterprise. (2) If there is no more trade/ labour union in the enterprise and the collective labour agreement is replaced by the company regulations, then the provisions in the company regulations shall by no means be inferior to the provisions in the collective labour agreement. ARTICLE 130 Sufficiently clear ARTICLE 130 (1) If a collective labour agreement that has expired will be extended or renewed and there is only 1 (one) trade/labour union in the enterprise, then the extension or renewal of the collective labour agreement shall not require the requirements under Article 119. (2) If a collective labour agreement that has expired will be extended or renewed and there are more than 1 (one) trade/ labour union in the enterprise and the trade/ labour union that negotiated in the last agreement no longer meet the requirement under subsection (1) of Article 120, the extension or renewal of the collective labour agreement shall be made by the trade/ labour union whose members II - 155 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes are more than 50% (fifty percent) of the total number of workers/ labourers in the enterprise together with the trade/ labour union that negotiated in the last agreement by establishing a negotiating team whose members are proportional to the members of the trade/ labour unions represented in the team. (3) If the expired collective labour agreement will be extended or renewed and there are more than 1 (one) trade/labour unions in the enterprise and none of them meet the requirement under subsection (1) of Article 120, then the extension or renewal of the collective labour agreement shall be made in accordance with the provision under subsection (2) and subsection (3) of Article 120. ARTICLE 131 ARTICLE 131 (1) In case of the dissolution of a trade/labour union or the transfer of the enterprise’s ownership, then the existing collective labour agreement shall remain valid until it expires. (2) If an enterprise with a collective labour agreement merges with another enterprise with another collective labour agreement, then the prevailing collective labour agreement is the one that gives the worker/labourer more advantages. (3) If an enterprise that has a collective labour agreement merges with another enterprise that has no collective labour agreement, then the collective labour agreement of the enterprise that has it shall apply to the enterprise resulted from the merger until the collective labour agreement expires. Sufficiently clear ARTICLE 132 ARTICLE 132 (1) A collective labour agreement shall take effect on the day it is signed unless otherwise stated in the relevant collective labour agreement. A collective labour agreement that has been signed by the parties must be registered by the entrepreneur at a government agency responsible for manpower affairs. ARTICLE 133 Sufficiently clear ARTICLE 133 The provisions concerning the requirements and procedures for making, extending, changing and registering II - 156 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes the collective labour agreement shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 134 ARTICLE 134 In order to realize the rights and obligations of both the worker and the entrepreneur, the Government is under an obligation to control the implementation of manpower laws and regulations and ensure their observance and enforcement. Sufficiently clear ARTICLE 135 ARTICLE 135 The implementation of manpower laws and regulations in order to realize industrial relations is the responsibility of the worker/labourer, the entrepreneur and the government. Sufficiently clear SECTION EIGHT INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SUBSECTION 1 INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE ARTICLE 136 ARTICLE 136 (1) The entrepreneur and the worker/labourer or the trade/ labour union are under an obligation to make efforts to settle any industrial relations dispute they have through deliberations aimed at reaching a consensus. (2) If the deliberations as mentioned under subsection (1) fail to reach a consensus, then the entrepreneur and the worker/labourer or the trade/labour union shall have the industrial relations dispute settled through procedures for the settlement of industrial relations disputes that are regulated by law. Sufficiently clear SUBSECTION 2 STRIKE ARTICLE 137 ARTICLE 137 Strike is a fundamental right of workers/labourers and trade/labour unions that shall be staged legally, orderly and peacefully as a result of failed negotiation. What is meant by failed negotiation under this Article is that no agreement to settle the industrial relations dispute is reached because the entrepreneur is not willing to negotiate or because the negotiation ends in II - 157 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes deadlock. The term peacefully and orderly means that the strike must not disrupt security and public order and/or threaten the life safety and property of the entreprise, entrepreneur, other people or other members of the general public. ARTICLE 138 ARTICLE 138 (1) The workers/labourers and/or trade/labour unions intending to invite other workers/ labourers to strike whilst the strike is going on shall be performed without violating laws. (2) The workers/labourers who are invited to join the strike as mentioned under subsection (1) may accept or decline the invitation. Sufficiently clear ARTICLE 139 ARTICLE 139 The implementation of strike staged by the workers/ labourers of enterprises that serve the public interest and/or enterprises whose types of activities, will lead to the endangerment of human lives, shall be arranged in such a way so as not to disrupt public interests and/or endanger the safety of other people. Enterprises that serve the public interest and/or enterprises whose types of activities, when interrupted by a strike, will lead to the endangerment of human lives are those running hospitals, fire department, those providing railway service, those in charge of sluices, those in charge of regulating air traffic, and those in charge of sea traffic. That the strike shall be arranged in such a way so as not to disrupt public interests and/ or endanger the safety of other people means that the strike shall be carried out by workers/ labourers who are not on duty. ARTICLE 140 ARTICLE 140 (1) Within a period of no less than 7 (seven) days prior to the actual realization of a strike, workers/ labourers and trade/ labour unions intending to stage a strike are under an obligation to give a written notification of the intention to the entrepreneur and the local government agency responsible for manpower affairs. (2) The notification as mentioned under subsection (1) shall at least contain: II - 158 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Point a Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes a. The time (day, date and the hour) at which they will start and end the strike; b. The venue of the strike; c. Their reasons for the strike; and d. The signatures of the chairperson and secretary of the striking union and/or the signature of each of the chairpersons and secretaries of the unions participating in the strike, who shall be held responsible for the strike. (3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not members of any trade/labour union, the notification as mentioned under subsection (2) shall be signed by workers/ labourers’ representatives who have been appointed to coordinate and/or responsible for the strike. (4) If a strike is performed not pursuant to the requirements as mentioned under subsection (1), then in order to save production equipment and enterprise assets, the entrepreneur may take temporary action by: a. Prohibiting striking workers/labourers from being present at locations where production processes normally take place; or b. Prohibiting striking workers/labourers from being present at the enterprise’s premise if necessary. ARTICLE 141 Point b Places for staging a strike refer to places chosen by those responsible for the strike for staging the strike in a way that will not prevent other workers/ labourers from performing work. Point c Sufficiently clear Point d Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear ARTICLE 141 (1) A representative of the government agency and the management who receives the letter notifying the intention to strike as mentioned under Article 140 is under an obligation to issue a receipt of acknowledment. (2) Prior to and during the strike, the government agency responsible for manpower affairs is under an obligation to solve problem that leads to the emergence of strike by arranging a meeting and negotiate between the disputing parties. (3) If the discussion as mentioned under subsection (2) reaching an agreement, the agreement shall be made and signed by the parties and a responsibble official from the government agency responsible for manpower affairs shall serve as witness. II - 159 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (4) In case the discussion as mentioned under subsection (2) results in no agreement, the official from the government agency responsible for manpower affairs shall immediately refer the problem(s) that cause(s) the strike to the authorized institution for the settlement of industrial relations disputes. (5) In case the discussion results in no agreement as mentioned under subsection (4), then on the basis of negotiation between the entrepreneur and the trade/ labour union(s) responsible for the strike or the bearer(s) of responsibility for the strike, the strike may be continued or terminated temporarily or terminated at all. ARTICLE 142 ARTICLE 142 (1) Any strike that is staged without fulfilling the requirement under Article 139 and Article 140 is illegal. (2) The legal consequences of staging an illegal strike as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Ministerial Decision. ARTICLE 143 Sufficiently clear ARTICLE 143 (1) Nobody is allowed to prevent workers/labourers and trade/ labour unions from using their right to strike legally, orderly and peacefully. (2) It is prohibited to arrest and/or detain workers/labourers and union officials who are on strike legally, orderly and peacefully pursuant to the prevailing laws and regulations. Subsection (1) What is meant by the word ‘to prevent’ under this subsection is preventing the use of the right to strike by means of, among others: a. Punishment; b. Intimidation, in whatever form; or c. Transfer to another position or place with the intention to put the transferee at a disadvantage Subsection (2) Sufficiently clear ARTICLE 144 ARTICLE 144 In the event of a strike performed pursuant to Article 140, the entrepreneur is prohibited from: a. Replacing striking workers/labourers with other workers/ labourers from outside of the enterprise; or b. Imposing sanctions on or taking retaliatory actions in whatever form against striking workers/labourers and union officials during and after the strike is performed. II - 160 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 145 ARTICLE 145 Workers/ labourers who stage a strike legally in order to demand the fulfillment of their normative rights, which the entrepreneur has indeed violated, then they shall have their wages. SUBSECTION 3 LOCKOUT Subsection (1) The phrase their normative rights, which the entrepreneur has indeed violated means that the entrepreneur is, clearly and as a matter of fact, unwilling to fulfill their obligations as mentioned and/or as stipulated under work agreements, company regulations, collective labour agreements or labour legislation even though their has been ordered to do so by the government official responsible for labour/ manpower affairs. The payment of the wages of striking workers/ labourers as mentioned under this Article shall not eliminate the imposition of sanction on entrepreneurs who violate normative provisions. ARTICLE 146 ARTICLE 146 (1) Lockout is a fundamental right of entrepreneurs to prevent their workforce either in part or in whole from performing work as a result from failed negotiation. (2) Entrepreneurs are not justified to lock out their workforce as retaliation for normative demands raised by workers/ labourers and/or trade/ labour unions. (3) Lockouts must be performed pursuant to the prevailing laws and regulations. ARTICLE 147 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) If the lockout is carried out illegally or as retaliation for a legal strike which rightfully demands the fulfillment of normative rights, the entrepreneur is under an obligation to pay the worker/ labourer’s wages. ARTICLE 147 Lockouts shall be prohibited from taking place at enterprises that serve the public interest and or enterprises whose types of activities, when interrupted by lockouts, will endanger human lives, including hospitals, enterprises that provide networks of clean water supply to the public, centers of telecommunications control, centers electricities, oil-andgas processing industries, and trains. ARTICLE 148 Sufficiently clear ARTICLE 148 (1) An entrepreneur who intends to perform a lockout is under an obligation to give a written notification of the lockout to workers/ labourers and/or trade/ labour union and the local government agency responsible for manpower affairs of no less than 7 (seven) workdays before the lockout takes II - 161 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes place. (2) The lockout notification as mentioned under subsection (1) shall at least contain: a. The time (day, date and hour) will start and end the lockout; and b. The reason and cause for the lockout. (3) The notification as mentioned under subsection (1) shall be signed by the entrepreneur and/or the management of the relevant enterprise. ARTICLE 149 ARTICLE 149 (1) Workers/labourers or trade/labour unions and government agencies responsible for manpower affairs that directly receive a written notification of the lockout as mentioned under Article 148 must issue receipts acknowledging which state the day, the date, and the hour received. (2) Before and during the lockout, the government agency responsible for manpower affairs shall immediately try to solve the problem that causes of the lockout by arranging a meeting and between the disputing parties discussing. (3) If the discussion as mentioned under subsection (2) reaching an agreement, an agreement shall be made and signed by the parties and also by a official from the government agency responsible for manpower affairs who shall serve as witness. (4) In case the discussion as mentioned under subsection (2) results in no agreement, the official from the government agency responsible for manpower affairs shall immediately refer the problem that cause the strike to the authorized institution for the settlement of industrial relations disputes. (5) In case the discussion results in no agreement as mentioned under subsection (4), then, on the basis of negotiation between the entrepreneur and the trade/ labour union, the lockout may be continued or terminated temporarily or terminated at all. (6) Notification as mentioned under subsection (1) and subsection (2) of Article 148 is not needed if: a. The workers/labourers or trade/labour unions violate the strike procedures as mentioned under Article 140; II - 162 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes b. The workers/labourers or trade/labour unions violate the normative provisions stipulated under the work agreements, company regulations, collective labour agreements or prevailing laws and regulations. CHAPTER XII TERMINATION OF EMPLOYMENT ARTICLE 150 ARTICLE 150 The provisions concerning termination of employment under this act shall cover termination of employment that happens in a business undertaking which is a legal entity or not, a business undertaking owned by an individual, by a partnership or by a legal entity, either owned by the private sector or by the State, as well as social undertakings and other undertakings which have administrators/officials and employ people by paying them wages or other forms of remuneration. Sufficiently clear ARTICLE 151 ARTICLE 151 (1) The entrepreneur, the worker/labourer and or the trade/ labour union, and the government must make all efforts to prevent termination of employment. (2) If despite all efforts made termination of employment remains inevitable, then the intention to carry out the termination of employment must be negotiated between the entrepreneur and the trade/labour union to which the affected worker/labourer belongs as member, or between the entrepreneur and the worker/labourer to be dismissed if the worker/labourer is not a union member. (3) If the negotiation as mentioned under subsection (2) fails to result in any agreement, the entrepreneur may only terminate the employment of the worker/labourer after receiving a decision from the institution for the settlement of industrial relations disputes. ARTICLE 152 Subsection (1) The phrase make all efforts under this subsection refers to positive activities or actions which may eventually prevent termination of employment from happening, including, among others, arrangement of working time, saving measures, restructuring or reorganization of working methods, and efforts to develop the worker/ labourer. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 152 (1) A request for a decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes to allow termination of employment shall be addressed in writing to the institution by stating the underlying reasons for the II - 163 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes request. (2) The request for such a decision as mentioned under subsection (1) may be accepted by the institution for settlement of industrial relations disputes if it has been negotiated as mentioned under subsection (2) of Article 151. (3) The decision on the request for termination of employment can only be made by the institution for the settlement of industrial relations disputes if it turns out that the intention to carry out the termination of employment has been negotiated but that the negotiation results in no agreement. ARTICLE 153 ARTICLE 153 (1) The entrepreneur is prohibited from terminating the employment of a worker/ labourer because of the following reasons: a. The worker/labourer is absent from work because of illness as attested by a written statement from the doctor provided that it is for a period of longer than 12 (twelve) months consecutively; b. The worker/labourer is absent from work because he or she is fulfilling his or her obligations to the State in accordance with the prevailing laws and regulations; c. The worker/labourer is absent from work because he or she is practicing what is required by his or her religion; d. The worker/labourer is absent from work because he or she is getting married; e. The worker/labourer is absent from work because she is pregnant, giving birth, having a miscarriage, or breast-feeding her baby; f. The worker/labourer is related by blood and or through marriage to another worker within the enterprise unless so required in the collective labour agreement or the company regulations; g. The worker/labourer establishes, becomes a member of and or an official of a trade/labour union; the worker/ labourer carries out trade/labour union activities outside working hours, or during working hours with approval II - 164 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes from the entrepreneur, or according to that which has been stipulated in the work agreement, or the company regulations, or the collective labour agreement; h. The worker/labourer reports to the authorities the crime committed by the entrepreneur; i. Because different of understanding/belief, religion, political orientation, ethnicity, color, race, sex, physical condition or marital status; j. The worker/labourer is permanently disabled, ill as a result of a work accident, or ill because of an occupational disease whose period of recovery cannot be ascertained as attested by the written statement made by the physician. (2) Any termination of employment that takes place for reasons mentioned under subsection (1) shall be declared null and void by law. The entrepreneur shall then be obliged to reemploy the affected worker/labourer. ARTICLE 154 ARTICLE 154 The decision of the institute for the settlement of industrial relations disputes as mentioned under subsection (3) of Article 151 is not needed if: a. The affected worker/ labourer is still on probation provided that such has been stipulated in writing beforehand; b. The affected worker/ labourer makes a written request for resignation at his/her own will with no indication of being pressurized or intimidated by the entrepreneur; or the employment relationship comes to an end according to the work agreement for a specified time for the first time; c. The affected worker/ labourer has reached a retirement age as stipulated under the work agreement, company regulations, collective labour agreements, or laws and regulations; or d. The affected worker/labourer dies. Sufficiently clear ARTICLE 155 ARTICLE 155 (1) Any termination of employment without the decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes as mentioned under subsection (3) of Article 151 shall be declared null and void by law. II - 165 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (2) As long as there is no decision from the institution for the settlement of industrial relations disputes, the entrepreneur and the worker/labourer must keep on performing their obligations. (3) The entrepreneur may violate the provision under subsection (2) above by suspending the worker/labourer who is still in the process of having his/her employment terminated provided that the entrepreneur continues to pay the worker/labourer’s wages and other entitlements that worker/labourer normally receives. ARTICLE 156 ARTICLE 156 (1) Should termination of employment take place, the entrepreneur is obliged to pay the dismissed worker severance pay and or a sum of money as a reward for service rendered during his or her term of employment and compensation pay for rights or entitlements. The calculation of severance pay as mentioned under subsection (1) shall at least be as follows: a. 1 (one)-month wages for years of employment less than 1 (one) year; b. 2 (two)-month wages for years of employment up to 1 (one) year or more but less than 2 (two) years; c. 3 (three)-month wages for years of employment up to 2 (two) years or more but less than 3 (three) years; d. 4 (four)-month wages for years of employment up to 3 (three) years or more but less than 4 (four) years; e. 5 (five)-month wages for years of employment up to 4 (four) years or more but less than 5 (five) years; f. 6 (six)-month wages for years of employment up to 5 (five) years or more but less than 6 (six) years; g. 7 (seven)-month wages for years of employment up to 6 (six) years or more but less than 7 (seven) years; h. 8 (eight)-month wages for years of employment up to 7 (seven) years or more but less than 8 (eight) years; i. 9 (nine)-month wages for years of employment up to 8 (eight) years or more. (2) The calculation of the sum of money paid as reward for service rendered during the worker/ labourer’s term of II - 166 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes employment shall be determined as follows: a. 2 (two)-month wages for years of employment up to 3 (three) years or more but less than 6 (six) years; b. 3 (three)-month wages for years of employment up to 6 (six) years or more but less than 9 (nine) years; c. 4 (four)-month wages for years of employment up to 9 (nine) years or more but less than 12 (twelve) years; d. 5 (five)-month wages for years of employment up to 12 (twelve) years or more but less than 15 (fifteen) years; e. 6 (six)-month wages for years of employment up to 15 (fifteen) years or more but less than 18 (eighteen) years; f. 7 (seven)-month wages for years of employment up to 18 (eighteen) years but less than 21 (twenty one) years; g. 8 (eight)-month wages for years of employment up to 21 (twenty one) years but less than 24 (twenty four) years; h. 10 (ten)-month wages for years of employment up to 24 (twenty four) years or more. (3) The compensation pay that the dismissed worker/ labourer ought to have as mentioned under subsection (1) shall include: a. Annual leaves that have not expired and not have taken; b. Costs or expenses for transporting the worker/ labourer and his or her family back to the point of hire; c. Compensation for housing allowance, medical and health care allowance is determined at 15% (fifteen percent) of the severance pay and or reward for years of service pay for those who are eligible; d. Other compensations that are stipulated under the work agreement, company regulations or collective labour agreements. (4) Changes concerning the calculation of the severance pay, the sum of money paid as reward for service during term of employment and the compensation pay that the worker/ labourer ought to have as mentioned under subsection (2), subsection (3), and subsection (4) shall be regulated with a Government Regulation. II - 167 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 157 ARTICLE 157 (1) Wages components used as the basis for calculating severance pay, money paid as reward for service rendered, and money paid to compensate for entitlements that should have been received, which are deferred, are composed of: a. Basic wages; b. All forms of fixed allowances that are provided to workers/ labourers and their families, including the price of buying ration provided to the worker/ labourer free of change whereby if the ration must be paid by workers/ labourers with subsidies, the difference between the buying price of the ration and the price that must be paid by the worker/ labourer shall be considered as wage. (2) In case the worker/ labourer’s wages is paid on the basis of daily calculation, a one-month wage shall be equal to 30 times a one-day wage. (3) In case the worker/ labourer’s wage is paid on a piece-rate or commission basis, a day’s wage shall equal the average daily wage for the last 12 (twelve) months on the condition that the wages must not be less than the provisions for the provincial or district/ city minimum wages. (4) In case the work depends on the weather and the wage is calculated on a piece-rate basis, the amount of one month’s wages shall be calculated from the average wages in the last 12 (twelve) months. ARTICLE 158 Sufficiently clear ARTICLE 158 (1) An entrepreneur may terminate the employment of a worker/labourer because the worker/labourer has committed the following grave wrongdoings: a. Stolen or smuggled goods and/or money that belong to the enterprise; b. Given false or falsified information that causes the enterprise to incur losses; c. Drunk, drunken intoxicating alcoholic drinks, consumed and or distributed narcotics, psychotropic substances and other addictive substances in the II - 168 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes working environment; d. Committed immorality/indecency or gambled in the working environment; e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or her co-workers or the entrepreneur in the working environment. f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to do something that against laws and regulations. g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property of the entrepreneur exposed to danger, which caused the enterprise to incur losses; h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or the entrepreneur exposed to danger in the workplace; i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is supposed to keep secret unless otherwise required by the State; or j. Committed other wrongdoings within the working environment, which call for imprisonment for 5 (five) years or more. (2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection (1) must be supported with the following evidence: a. The worker/labourer is caught red-handed; b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing; or c. Other evidence in the form of reports of events made by the authorities at the enterprises and confirmed by no less than 2 (two) witnesses. (3) Workers/ labourers whose employment is terminated because of reasons as mentioned under subsection (1) may receive compensation pay for entitlements as mentioned under subsection (4) of Article 156. (4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1) whose duties and functions do not directly represent the interest of the entrepreneur shall be given detachment money whose amount and the procedures or methods associated with its payment shall be determined and stipulated in the work agreements, company regulations, or collective labour agreements. II - 169 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 159 ARTICLE 159 If the worker/labourer is unwilling to accept the termination as mentioned under subsection (1) of Article 158, the worker/labourer may file a suit to the institution for the settlement of industrial relations disputes. ARTICLE 160 (1) In case the worker/labourer is detained by the authorities because he or she is alleged to have committed a crime and this happens not because of the complaint filed by the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay the worker/labourer’s wages but is obliged to provide assistance to the family who are his or her dependents according to the following provisions: a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s wages. b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/ labourer’s wages. c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/ labourer’s wages. d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/ labourer’s wages. (2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall be provided for no longer than 6 (six) months of calendar year starting from the first day the worker/labourer is detained by the authorities. (3) The entrepreneur may terminate the employment of the worker/labourer who after the passing of 6 (six) months are unable to perform his or her work as worker/labourer because of the legal process associated with the legal proceedings as mentioned under subsection (1). (4) In case the court decides the case prior to the passing of 6 (six) months as mentioned under subsection (3) and the worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur is obliged to reemploy the worker/labourer. II - 170 Sufficiently clear ARTICLE 160 Subsection (1) The members of the worker/ labourer’s family that are his or her dependents are his wife or her husband, children or persons who legally become the worker/ labourer’s dependents according to company regulations, work agreements or collective labour agreements. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear Subsection (6) Sufficiently clear Subsection (7) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (5) In case the court decides the case prior to the passing of 6 (six) months and the worker/labourer is declared guilty, the entrepreneur may terminate the employment of the worker/ labourer. (6) The termination of employment as mentioned under subsection (3) and subsection (5) is carried out without the decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes. (7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer whose employment is terminated as mentioned under subsection (3) and subsection (5) reward pay for service rendered during his/her period of employment 1 (one) time of what is stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay that the worker/ labourer ought to have as mentioned under subsection (4) of Article 156. ARTICLE 161 ARTICLE 161 (1) In case the worker/labourer violates the provisions that are specified under work agreement, the company regulations, or the collective labour agreement, the entrepreneur may terminate the employment after the entrepreneur precedes it with the issuance of the first, second and third warning letters consecutively. (2) Each warning letter issued as mentioned under subsection (1) shall expire after 6 (six) months unless otherwise stated in the work agreement or the company regulations or the collective labour agreement. (3) Workers/labourers whose employment is terminated for reasons as mentioned under subsection (1) shall be entitled to severance pay amounting to 1 (one) time of the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment amounting to 1 (one) time of the amount stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay for entitlements according to the provision under subsection (4) of Article 156. II - 171 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Each warning letter may be issued either consecutively or not consecutively, according to what is stipulated under the work agreements or company regulations or collective labour agreements. In case the warning letter is issued consecutively then the first warning letter shall be effective for a period of 6 (six) months. If the worker/labourer commits a violation again against the provisions under the work agreement or company regulations or collective labour agreement within the 6 (six) month period, the entrepreneur may issue the second warning letter, which shall also be effective for a period of 6 (six) months since the issuance of the second warning letter. If the worker/labourer keeps on violating the provisions under the work agreement or company regulations or collective labour agreement, the entrepreneur may issue the third (last) warning, which shall be effective for 6 (six) months since the issuance of the third warning. If within the effective period of the third warning, the worker/ labourer once again violate the provisions under the Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes work agreement or company regulations or collective labour agreement, the entrepreneur may terminate employment. If the six-month period since the issuance of the first warning letter is lapsed and the worker/ labourer once again violates the work agreement, company regulations or collective labour agreement, then the warning letter issued by the entrepreneur shall once again be the first warning letter. The same shall also apply to the second and third warning. Work agreements or company regulations or collective labour agreements may stipulate the issuance of first and last warning letter for certain types of violations. So, if the worker/ labourer violate the work agreement or company regulations or collective labour agreement within the effective period of the first and last warning letter, the entrepreneur may terminate the worker/ labourer’s employment. The six-month period is meant as an effort to educate the affected worker/ labourer so that he/she has time to correct his/her behavior. On the other hand, the six-month period shall give the entrepreneur enough time to evaluate the performance of the worker/ labourer in question. Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 162 ARTICLE 162 (1) Worker/labourer who resign on his/her own will, shall be entitled to compensation pay in accordance with subsection (4) of Article 156. (2) Workers/labourers who resign of their own will, whose duties and functions do not directly represent the interest of the entrepreneur shall, in addition to the compensation pay payable to them according to subsection (4) of Article 156, be given detachment money whose amount and the procedures/methods associated with its payment shall be regulated in the work agreements, company regulations or collective labour agreements. (3) A worker/labourer who resigns as mentioned under II - 172 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes subsection (1) must fulfill the following requirements: a. Submit a resignation letter no later than 30 (thirty) days prior to the date of resignation; b. Not being bound by a contract to serve the enterprise; and c. Continue to carry out his or her obligations until the date of his or her resignation. (4) Termination of employment for the reason of own will resignation shall be carried out without the decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes. ARTICLE 163 ARTICLE 163 (1) The entrepreneur may terminate the employment of his or her workers/labourers in the event of change in the status of the enterprise, merger, fusion, or change in the ownership of the enterprise and the workers/labourers are not willing to continue their employment, the worker/ labourer shall be entitled to severance pay 1 (one) time the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay for entitlements that have not been used according to what is stipulated under subsection (4) of Article 156. (2) The entrepreneur may terminate the employment of his or her workers/labourers in the event of change in the status of the enterprise, merger, fusion, or change in the ownership of the enterprise and the entrepreneur is not willing to accept the workers/labourers to work in the new enterprise. The worker/labourer shall be entitled to severance pay twice the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay for entitlements according to what is stipulated under subsection (4) of Article 156. II - 173 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes ARTICLE 164 ARTICLE 164 (1) The entrepreneur may terminate the employment of workers/labourers because the enterprise has to be closed down due to continual losses for 2 (two) years consecutively or force majeure. The workers/labourers shall be entitled to severance pay amounting to 1 (one) time the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment amounting to 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. (2) The continual losses as referred under subsection (1) must be proved in the enterprise’s financial reports over the last 2 (two) years that have been audited by public accountants. (3) The entrepreneur may terminate the employment of its workers/labourers because the enterprise has to be closed down and the closing down of the enterprise is caused neither by continual losses for 2 (two) years consecutively nor force majeure but because of rationalization. The workers/labourers shall be entitled to severance pay twice the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward for period of employment pay amounting to 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. ARTICLE 165 Sufficiently clear ARTICLE 165 The entrepreneur may terminate the employment of the enterprise’s workers/labourers because the enterprise goes bankrupt. The workers/labourers shall be entitled to severance pay amounting to 1 (one) time the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment amounting to 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. ARTICLE 166 Sufficiently clear ARTICLE 166 If an employment relationship comes to an end because the worker/ labourer dies, to the worker’s heirs shall be given a sum of money whose amount shall be the same as twice the II - 174 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes amount of severance pay as stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment worked by the worker/ labourer amounting to 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. ARTICLE 167 ARTICLE 167 (1) An entrepreneur may terminate the employment of its workers/labourers because they enter pension age, entrepreneur has included the workers/labourers in a retirement benefit program, the workers/labourers are not entitled to severance pay according to what is stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment in accordance with what is stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. (2) If the amount of retirement benefit that they get as a single lump-sum payment as a result of their participation in a pension program as mentioned under subsection (1) turns out to be lower than twice the amount of the severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment in accordance with what is stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156, the entrepreneur shall pay the difference. (3) If the entrepreneur has included the worker/labourer in a pension program whose contributions/premiums are paid by the entrepreneur and the worker/labourer, then that which is calculated with the severance pay shall be the pension whose contributions/premiums have been paid by the entrepreneur. (4) Arrangements other than what is stipulated under subsection (1), subsection (2) and subsection (3) may be made in the work agreement or company regulations or collective labour agreements. (5) If the entrepreneur does not include workers/labourers whose employment is terminated because they enter pension age in a pension program, the entrepreneur is II - 175 Subsection (1) Sufficiently clear Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) An example for this subsection is: For instance, if the severance pay that should have been received by the worker/ labourer is Rp10,000,000 and the amount of pension benefit payable to the worker/ labourer according to the pension program is Rp6,000,000 and arrangements have been made in the pension program that the entrepreneur pays 60% of the premium and the worker/ labourer pays the remaining 40%, then: The total premiums paid by the entrepreneur are equal to 60% x Rp6,000,000 = Rp3,600,000 The total pension benefit for which premiums have been paid by the worker/ labourer are equal to 40% x Rp6,000,000 = Rp2,400,000 So, the difference that the entrepreneur has to make up is Rp10,000,000 – Rp3,600,000 = Rp6,400,000. This means that the money receivable by the worker/ labourer upon the termination of the worker/ labourer’s employment is: Rp3,600,000 (which is the benefit paid by the pension program administrator of which represents 60% of the total premiums which had been paid by the entrepreneur) Rp6,400,000 (which comes from the difference in severance pay that must be made up by the entrepreneur) Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes obliged to pay them severance pay twice the amount of severance pay as stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for period of employment amounting to 1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. (6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit as mentioned under subsection (1), subsection (2) and subsection (3) shall not eliminate their entitlement to the old age benefit that is compulsory according to prevailing laws and regulations. ARTICLE 168 Rp2,400,000 (which is the benefit paid by the pension program administrator which represents 40% of the total premiums which had been paid by the worker/ labourer) —————————————— Total: Rp12,400,000 (twelve million four hundred thousand rupiah) Subsection (4) Sufficiently clear Subsection (5) Sufficiently clear ARTICLE 168 (1) An entrepreneur may terminate the employment of a worker/labourer if the worker/labourer has been absent from work for 5 (five) workdays or more consecutively without submitting to the entrepreneur a written explanation supplemented with valid evidence and the entrepreneur has properly summoned him or her twice in writing, by qualify the worker/labourer as resigning. (2) The written explanation supplemented with valid evidence as mentioned under subsection (1) must be submitted at the latest on the first day on which the worker/labourer comes back to the workplace. (3) In the event of the termination of employment as mentioned under subsection (1), the worker/labourer shall be entitled to compensation pay for her/his entitlements according to subsection (4) of Article 156 and they shall be given detachment money whose amount and the procedures and methods associated with its payment shall be regulated in the work agreements, company regulations, or collective labour agreements. Subsection (1) The phrase ‘the entrepreneur has properly summoned him or her’ means that the worker/ labourer has been summoned in writing through a letter sent to the address of the worker/ labourer as recorded at the enterprise on the basis of the information provided by the worker/ labourer to the enterprise. There shall be a minimum of three-workday spacing between the first summon and the second summon. Subsection (2) Sufficiently clear Subsection (3) Sufficiently clear ARTICLE 169 ARTICLE 169 (1) A worker/labourer may file an official request to the institution for the settlement of industrial relations disputes to terminate his/her employment relationship with his/her entrepreneur if: II - 176 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes a. Battered, rudely humiliated or intimidated the worker/ labourer; b. Persuaded and/or ordered the worker/labourer to commit acts that against statutory laws and regulations; c. Not paid wages at a prescribed time for three months consecutively or more; d. Not performed obligations promised to workers/ labourers; e. Orders the worker/labourer to perform work outside of that which has been agreed upon; or f. Ordered the worker/labourer to carry out work that endangered life, safety, health and morality of the worker/labourer which is not mentioned in the work agreement. (2) The termination of employment because of reasons as mentioned under subsection (1), the worker/ labourer is entitled to receive severance pay amounting to twice the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay amounting to 1 (one) time the amount of reward pay for period of employment worked stipulated under subsection (3) of Article 156 and compensation pay for entitlements according to subsection (4) of Article 156. (3) In case the entrepreneur is found not guilty of committing the acts mentioned under subsection (1) by the institution for the settlement of industrial relations disputes, the entrepreneur may terminate the employment of the worker/ labourer without having the decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes and the worker/ labourer in question is not entitled to severance pay as mentioned under subsection (2) of Article 156 and reward pay for period of employment worked as mentioned under subsection (3) of Article 156. ARTICLE 170 ARTICLE 170 Any termination of employment that is carried out without fulfilling subsection (3) Article 151 and Article 168 except subsection (1) of Article 158, subsection (3) of Article 160, Article 162, and Article 169 shall be declared null and II - 177 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes void by law and the entrepreneur is obliged to reemploy the worker/ labourer and pay all the wages and entitlements which the worker/ labourer should have received. ARTICLE 171 ARTICLE 171 If workers/labourers whose employment is terminated without the decision of the institution for the settlement of industrial relations disputes as mentioned under subsection (1) of Article 158, subsection (3) of Article 160 and Article 162 cannot accept the termination of their employment, the workers/ labourers may file a lawsuit to the institution for the settlement of industrial relations disputes within a period of no later than 1 (one) year since the date on which their employment was terminated. The one-year spacing reserved for dismissed workers/ labourers to file a lawsuit starting from the date on which their employment is terminated is considered as an appropriate period of time during which to file a lawsuit. ARTICLE 172 ARTICLE 172 Workers/labourers who are continuously ill for a very long time, who are disabled as a result of a work accident and are unable to perform their work may, after they have been in such a condition for more than the absenteeism limit of 12 (twelve) months consecutively, request that their employment be terminated upon which they shall be entitled to receive severance pay amounting to twice the amount of severance pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for the period of employment they have worked amounting to twice the amount of such reward pay stipulated under subsection (3) of Article 156, and compensation pay amounting to one time the amount of that which is stipulated under subsection (4) of Article 156. Sufficiently clear CHAPTER XIII MANPOWER DEVELOPMENT ARTICLE 173 ARTICLE 173 (1) The goverment shall make efforts to develop and build up elements and activities related to manpower. (2) The efforts to develop manpower-related elements and activities as mentioned under subsection (1) may invite participation of entrepreneurs’ organizations, trade/labour unions and other related organizations of professions. II - 178 Subsection (1) The term develop shall refer to activities carried out effectively and efficiently to get better results in order to improve and develop all manpower-related activities. Subsection (2) Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (3) The efforts to develop manpower as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be carried out in a well-integrated and well-coordinated way. Subsection (3) Those who shall perform the coordination as mentioned under this subsection are the government agency (agencies) responsible for labour/ manpower affairs. ARTICLE 174 ARTICLE 174 For the purpose of manpower development, the government, associations of entrepreneurs, trade/ labour unions and other professions organizations may establish international cooperation in the field of labour according to the prevailing laws and regulations. ARTICLE 175 Sufficiently clear ARTICLE 175 (1) The government may award persons or institutions that have done meritorious service in the field of manpower development. (2) The award as mentioned under subsection (1) may be given in the form of a charter, money and or other forms of reward. Sufficiently clear CHAPTER XIV LABOUR INSPECTION ARTICLE 176 ARTICLE 176 Labour inspection shall be carried out by government labour inspectors who have the competence and independency to ensure the implementation of the labour laws and regulations. The word “independency” attributable to labour inspectors under this subsection shall mean that in making decision, labour inspectors are not under the influence of other parties. ARTICLE 177 ARTICLE 177 The labour inspectors as mentioned under Article 176 shall be determined by Minister or appointed officials. ARTICLE 178 Sufficiently clear ARTICLE 178 (1) Labour inspection shall be carried out by a separate working unit of a government agency whose scope of duty and responsibility are in the field of labour at the Central Government, Provincial Governments and District/ City Governments. II - 179 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (2) The implementation of labour inspection as mentioned under subsection (1) shall be regulated further with a Presidential Decision. ARTICLE 179 ARTICLE 179 (1) The working units for labour inspection as mentioned under Article 178 at the Provincial Governments and District/ City Governments are obliged to submit reports on the implementation of labour inspection to Minister. (2) Procedures for submitting the reports as mentioned under subsection (1) shall be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear ARTICLE 180 ARTICLE 180 Provisions concerning the requirements for the appointment of, the rights and obligations of, the authority of, labour inspectors as mentioned under Article 176 pursuant to the prevailing laws and regulations. ARTICLE 181 Sufficiently clear ARTICLE 181 In carrying out their duties as mentioned under Article 176, labour inspectors are obliged: a. To keep secret everything that, by its nature, needs or is worthy to be kept secret; b. To refrain from abusing their authority. Sufficiently clear CHAPTER XV INVESTIGATION ARTICLE 182 ARTICLE 182 (1) Special authority to act as civil servant investigators may also be given, in addition to the one assigned to the investigating officials of the Police of the State of the Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance with the prevailing laws and regulations. (2) The civil servant investigators as mentioned under subsection (1) shall have the authority: a. To examine whether or not reports and explanation about labour crimes are true; II - 180 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes b. To investigate individuals suspected of having committed a labour crime; c. To require explanations and evidences from persons or legal entity considered to be relevant to the labour crime being investigated; d. To examine or confiscate objects or evidences found in a case of labour crime; e. To examine papers and/or other documents related with labour crimes; f. To request the help of experts in performing labourrelated criminal investigations; and g. To stop investigation if there is not enough evidence to prove that a labour crime has been committed. (3) The authority of civil servant investigators as mentioned under subsection (2) shall be exercised in accordance with the prevailing laws and regulations. CHAPTER XVI CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE SANCTIONS SECTION ONE CRIMINAL PROVISIONS ARTICLE 183 ARTICLE 183 (1) Whosoever violates the provision under Article 74 shall be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years and/or a fine of a minimum of Rp200,000,000 (two hundred million rupiah) and a maximum of Rp500,000,000 (five hundred million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a felony. ARTICLE 184 Sufficiently clear ARTICLE 184 (1) Whosoever violates what is mentioned under subsection (5) of Article 167 shall be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) year and a maximum of 5 (five) years and or a fine of a minimum of Rp100,000,000 II - 181 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes (one hundred million rupiah) and a maximum of Rp500,000,000 (five hundred million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a felony. ARTICLE 185 ARTICLE 185 (1) Whosoever violates what is stipulated under subsection (1) and subsection (2) of Article 42, Article 68, subsection (2) of article 69, Article 80, Article 82, subsection (1) of Article 90, Article 139, Article 143, and subsection (4) and subsection (7) of Article 160 shall be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) year and a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a minimum of Rp100,000,000 (one hundred million rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four hundred million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a felony. ARTICLE 186 Sufficiently clear ARTICLE 186 (1) Whosoever violates what is stipulated under subsection (2) and subsection (3) of Article 35, subsection (2) of Article 93, Article 137, and subsection (1) of Article 138 shall be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) month and a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten million rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four hundred million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a misdemeanor. Sufficiently clear ARTICLE 187 ARTICLE 187 (1) Whosoever violates what is stipulated under subsection (2) of Article 37, subsection (1) of Article 44, subsection (1) of Article 45, subsection (1) of Article 67, subsection (2) of Article 71, Article 76, subsection (2) of Article 78, subsection (1) and subsection (2) of Article 79, subsection (3) of Article 85, and Article 144 shall be subjected to a criminal sanction in prison for a minimum of 1 (one) month and a maximum of 12 (twelve) months and/or a fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten million rupiah) II - 182 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes and a maximum of Rp100,000,000 (one hundred million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a misdemeanor. ARTICLE 188 ARTICLE 188 (1) Whosoever violates what is stipulated under subsection (2) of Article 14, subsection (2) of Article 38, subsection (1) of Article 63, subsection (1) of Article 78, subsection (1) of Article 108, subsection (3) of Article 111, Article 114, and Article 148 shall be subjected to a criminal sanction in the form of a fine of a minimum of Rp5,000,000 (five million rupiah) and a maximum of Rp50,000,000 (fifty million rupiah). (2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall be legally categorized as a misdemeanor. ARTICLE 189 Sufficiently clear ARTICLE 189 Sanctions imposed on entrepreneurs in the form of a jail, prison sentence and/or a fine do not release the entrepreneurs from their obligations to pay entitlements and/or compensations to the workers/ labourers. Sufficiently clear SECTION TWO ADMINISTRATIVE SANCTIONS ARTICLE 190 ARTICLE 190 (1) Minister or appointed official shall impose administrative sanctions because of violations under Article 5, Article 6, Article 15, Article 25, subsection (2) of Article 38, subsection (1) of Article 45, subsection (1) of Article 47, Article 48, Article 87, Article 106, subsection (3) of Article 126, and subsection (1) and subsection (2) of Article 160 of this act and its implementing regulations. The administrative sanctions as mentioned under subsection (1) may take the form of: a. A rebuke; b. A written warning; c. restrict/limit the business activities of the affected enterprise; II - 183 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes d. e. f. g. freeze the business activities of the affected enterprise; Cancellation of approval; Cancellation of registration; Temporary termination of partial or the whole production tools/instruments; h. Abolishment/revocation of license or permission to operate. (2) The provisions concerning administrative sanctions as mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall be regulated further by Minister. CHAPTER XVII TRANSITIONAL PROVISIONS ARTICLE 191 ARTICLE 191 All implementing regulations that regulate manpower affairs shall remain effective as long as they do not against and/ or have not been replaced by the new regulations made based on this act. Implementing regulations which regulate matters pertaining to labour/ manpower under this act are implementing regulations from various labour/ manpower laws irrespective of whether they have been revoked or are still in place and valid. In order to avoid legal vacuum, this act shall apply to implementing regulations that have not been revoked or replaced on the basis of this act as long as they are not against this act. Likewise, if a labour incident or case happens before the application of this act and is still in the process of being settled through an institute for the settlement of industrial relations disputes, then in accordance with the principle of legality, implementing regulations that are in existence prior to the application of this act shall be used to settle the incident or case. CHAPTER XVIII CLOSING PROVISIONS ARTICLE 192 ARTICLE 192 At the time this act starts to take effect, then: 1. Ordinance concerning the Mobilization of Indonesian People To Perform Work Outside of Indonesia (Staatsblad Year 1887 Number 8); 2. Ordinance dated December 17, 1925, which is a regulation concerning Restriction of Child Labour and Night Work for Women (Staatsblad Year 1925 Number II - 184 Sufficiently clear Act No. 13 Year 2003 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Explanatory Notes 647); Ordinance Year 1926, which is a regulation which regulates the Employment of Child and Youth on Board of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87); Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208); Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia (Staatsblad Year 1939 Number 545); Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8); Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of the Enactment of Employment Act Year 1948 Number 12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State Gazette Year 1951 Number 2); Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement Between Labour Union and Employer (State Gazette Year 1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number 598a); Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8); Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work for University Graduates Holding Master’s Degree (State Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State Gazette Number 2270); Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963 Number 67); Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969 Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912); Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State Gazette Number 3702); Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning II - 185 Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes Manpower (State Gazette Year 1998 Number 184, Supplement to State Gazette Number 3791); 15. Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment of Government Regulation in lieu of Law Number 3 Year 2000 concerning Changes to Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State Gazette Year 2000 Number 204, Supplement to State Gazette Number 4042) shall herewith be declared null and void. ARTICLE 193 ARTICLE 193 This act shall be effective upon the date of its promulgation. For the cognizant of the public, orders the promulgation of this act by having it place on the State Gazette of the Republic of Indonesia. Sufficiently clear Legalized in Jakarta On 25 March, 2003 PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Promulgated in Jakarta: On 25 March, 2003 STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA SUPPLEMENT TO THE STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 4279 BAMBANG KESOWO STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 39 OF 2003 II - 186 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan III - 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu : Penyelesaian Melalui Bipartit Bagian Kedua : Penyelesaian Melalui Mediasi Bagian Ketiga : Penyelesaian Melalui Konsiliasi Bagian Keempat : Penyelesaian Melalui Arbitrase III-12 BAB III PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL II-14 Bagian Kesatu : Umum Bagian Kedua : Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi Bagian Ketiga : Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti BAB IV PENYELESIAN PERSELISIHAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III-41 Bagian Kesatu : Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Paragraf 1 : Pengajuan Gugatan Paragraf 2 : Pemeriksaan dengan Acara Biasa Paragraf 3 : Pemeriksaan dengan Acara Cepat Paragraf 4 : Pengambilan Putusan Bagian Kedua : Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi III - 3 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan BAB V SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA Bagian Kesatu : Sanksi Administratif Bagian Kedua : Ketentuan Pidana III-50 BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN III-53 BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA II-25 BAB VIII KETENTUAN PENUTUP III-55 III - 4 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah; c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) III - 5 I. UMUM Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundangundangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak. Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang Undang-undang No. 2 Tahun 2004 2. 3. 4. 5. 6. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879); Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316); Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327); Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989); Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 6 diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembanganperkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/ buruh secara perseorangan belum terakomodasi. Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang. Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi atau arbitrase. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh : a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; c. pengakhiran hubungan kerja; d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut : 1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara. 2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan. 3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit). 4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. 5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan. III - 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan 6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. 7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. 8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung. 9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung. 10.Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah Agung. 11.Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh. 12.Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 13.Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati. III - 8 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan BAB I KETENTUAN UMUM II. PASAL DEMI PASAL PASAL 1 PASAL 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum III - 9 Angka 1 s.d 21 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 7. 8. 9. 10. 11. 12. Penjelasan yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan III - 10 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Penjelasan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada III - 11 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. 20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. 21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. PASAL 2 PASAL 2 Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi: a. perselisihan hak; b. perselisihan kepentingan; c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Huruf a Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. BAB II TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BAGIAN KESATU PENYELESAIAN MELALUI BIPARTIT PASAL 3 PASAL 3 (1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. III - 12 Ayat (1) Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 4 PASAL 4 (1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. (2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. (3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. (4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. (5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. (6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. PASAL 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang mereka kehendaki. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas PASAL 5 Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. PASAL 6 Cukup jelas. PASAL 6 (1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para III - 13 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan pihak. (2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggal dan tempat perundingan; c. pokok masalah atau alasan perselisihan; d. pendapat para pihak; e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan. PASAL 7 PASAL 7 (1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. (3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. (4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. (5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. (6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri III - 14 Cukup jelas Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. BAGIAN KEDUA PENYELESAIAN MELALUI MEDIASI PASAL 8 PASAL 8 Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota. Cukup jelas PASAL 9 PASAL 9 Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. warga negara Indonesia; c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya. PASAL 10 PASAL 10 Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. PASAL 11 Cukup jelas. PASAL 11 (1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. (2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. III - 15 Ayat (1) Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 12 PASAL 12 (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk mediator. Ayat (2) Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan. Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 13 PASAL 13 (1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka: a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis; b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara III - 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut: a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama; b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. III - 17 Ayat (3) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 14 PASAL 14 (1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. (2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai dengan tatacara penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum. PASAL 15 PASAL 15 Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). PASAL 16 Cukup jelas PASAL 16 Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. BAGIAN KETIGA PENYELESAIAN MELALUI KONSILIASI PASAL 17 PASAL 17 Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota. PASAL 18 Cukup Jelas. PASAL 18 (1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. (2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para III - 18 Cukup Jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan pihak. (3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. PASAL 19 PASAL 19 (1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. warga negara Indonesia; c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1); e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator, dan masalah teknis lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 20 PASAL 20 Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. PASAL 21 Cukup jelas. PASAL 21 (1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk III - 19 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. (2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. PASAL 22 (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). PASAL 22 Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk konsiliator. Ayat (2) Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan. Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 23 PASAL 23 (1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka: a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis; b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara III - 20 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut: a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama; b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi; c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. III - 21 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 24 PASAL 24 (1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat; (2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. Cukup jelas. PASAL 25 PASAL 25 Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. PASAL 26 Cukup jelas. PASAL 26 (1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara. (2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. PASAL 27 Cukup jelas. PASAL 27 Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan. PASAL 28 Cukup jelas. PASAL 28 Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. BAGIAN KEEMPAT PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE PASAL 29 PASAL 29 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. III - 22 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 30 PASAL 30 (1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri. (2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. PASAL 31 Ayat (1) Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat bertindak sebagai arbiter. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 31 (1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. cakap melakukan tindakan hukum; c. warga negara Indonesia; d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter; g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. (2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan Keputusan Menteri. PASAL 32 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak sia-sia. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 32 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. (2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. III - 23 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan (3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang-kurangnya memuat: a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan; c. jumlah arbiter yang disepakati; d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih. PASAL 33 PASAL 33 (1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. (3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud. (4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. (5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara tertulis. (6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. III - 24 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan (7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan. (8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis. PASAL 34 PASAL 34 (1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih; (2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter; b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan; c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter; d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter; f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih. (3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masingmasing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. (4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter. III - 25 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 35 PASAL 35 (1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak. (2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. (3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut. (4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. PASAL 36 Cukup jelas. PASAL 36 (1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak. (2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter. (3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter. (4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. (5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam III - 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter. PASAL 37 PASAL 37 Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara. Yang dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan. PASAL 38 PASAL 38 (1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan. (2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. (3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan. PASAL 39 Cukup jelas. PASAL 39 (1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan. (2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan. (3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada majelis arbiter yang bersangkutan. Cukup jelas. PASAL 40 PASAL 40 (1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. (2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah Ayat (1) Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian arbitrase. III - 27 Ayat (2) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. (3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja. PASAL 41 Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 41 Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Cukup jelas. PASAL 42 PASAL 42 Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa. PASAL 43 PASAL 43 (1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. (2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya. (3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak. III - 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dipanggil secara patut” dalam ayat ini yaitu para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap panggilan masing-masing dalam waktu 3 (tiga) hari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 44 PASAL 44 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. (2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter. (3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. (4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan sebagai berikut: a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian; b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi; c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. (5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. PASAL 45 Cukup jelas. PASAL 45 (1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap III - 29 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter. (2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter. PASAL 46 PASAL 46 (1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya. (2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. (3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. (4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. (5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak. Cukup jelas. PASAL 47 PASAL 47 (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). III - 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter. Ayat (2) Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan. Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-lain. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 48 PASAL 48 Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter. PASAL 49 Cukup jelas. PASAL 49 Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. PASAL 50 Cukup jelas. PASAL 50 (1) Putusan arbitrase memuat: a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; c. nama lengkap dan alamat para pihak; d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih; e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih; f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan; g. pokok putusan; h. tempat dan tanggal putusan; i. mulai berlakunya putusan; dan j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. (2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. (3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam III - 31 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan putusan. (4) Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan. PASAL 51 PASAL 51 (1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. (2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. (3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. (4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. PASAL 52 Cukup jelas. PASAL 52 (1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; III - 32 Ayat (1) Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau e. putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. (3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan. PASAL 53 PASAL 53 Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum. PASAL 54 PASAL 54 Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. Cukup jelas. BAB III PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BAGIAN KESATU UMUM PASAL 55 PASAL 55 Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. PASAL 56 Cukup jelas. PASAL 56 Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; III - 33 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. PASAL 57 PASAL 57 Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Cukup jelas. PASAL 58 PASAL 58 Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Cukup jelas. PASAL 59 PASAL 59 (1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. (2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. - Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan undangundang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ayat (1) - Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kata “segera” dalam ayat ini adalah bahwa dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku. III - 34 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 60 PASAL 60 (1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari: a. Hakim; b. Hakim Ad-Hoc; c. Panitera Muda; dan d. Panitera Pengganti. (2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari: a. Hakim Agung; b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan c. Panitera. Cukup jelas. BAGIAN KEDUA HAKIM, HAKIM AD-HOC DAN HAKIM KASASI PASAL 61 PASAL 61 Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. PASAL 62 Cukup jelas. PASAL 62 Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cukup jelas. PASAL 63 PASAL 63 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. (3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial kepada Presiden. III - 35 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 64 PASAL 64 Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun. PASAL 65 Cukup jelas. PASAL 65 (1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan III - 36 Ayat (1) Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam “Demi Allah“ sebelum lafal sumpah dan untuk penganut agama Kristen/Katholik kata-kata “Kiranya Tuhan akan menolong saya” sesudah lafal sumpah. Ayat (2) Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk. PASAL 66 PASAL 66 (1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai: a. anggota Lembaga Tinggi Negara; b. kepala daerah/kepala wilayah; c. lembaga legislatif tingkat daerah; d. pegawai negeri sipil; e. anggota TNI/Polri; f. pengurus partai politik; g. pengacara; h. mediator; i. konsiliator; j. arbiter; atau k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha. (2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan. PASAL 67 Cukup jelas. PASAL 67 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan; d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan III - 37 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik. Huruf d. Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; e. tidak cakap dalam menjalankan tugas; f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau g. telah selesai masa tugasnya. (2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Huruf e. Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya sering melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas karena kurang mampu. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL 68 PASAL 68 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan yang sah; atau c. melanggar sumpah atau janji jabatan. (2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung. PASAL 69 Cukup jelas. PASAL 69 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. (2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2). Cukup jelas. PASAL 70 PASAL 70 (1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan III - 38 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan dan sumber daya yang tersedia. (2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha. PASAL 71 PASAL 71 (1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya. (2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc. (4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi. (5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan. PASAL 72 Cukup jelas. PASAL 72 Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Cukup jelas. PASAL 73 PASAL 73 Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Presiden. Yang dimaksud tunjangan dan hakhak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-hak yang menyangkut kesejahteraan. III - 39 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan BAGIAN KETIGA SUB KEPANITERAAN DAN PANITERA PENGGANTI PASAL 74 PASAL 74 (1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda. (2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. PASAL 75 Cukup jelas. PASAL 75 (1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai tugas: a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara. (2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan. Cukup jelas. PASAL 76 PASAL 76 Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan. PASAL 77 Cukup jelas. PASAL 77 (1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. III - 40 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 78 PASAL 78 Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. PASAL 79 Cukup jelas. PASAL 79 (1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara. (2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti. PASAL 80 Cukup jelas. PASAL 80 (1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan. (2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.] Cukup jelas. BAB IV PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BAGIAN KESATU PENYELESAIAN PERSELISIHAN OLEH HAKIM PARAGRAF 1 PENGAJUAN GUGATAN PASAL 81 PASAL 81 Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. PASAL 82 Cukup jelas. PASAL 82 Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 III - 41 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. PASAL 83 PASAL 83 (1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat. (2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat: - nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak; - pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan; - dokumen-dokumen, surat-surat dan halhal lain yang dianggap perlu oleh penggugat. PASAL 84 PASAL 84 Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. PASAL 85 Cukup jelas. PASAL 85 (1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. (2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat. Cukup jelas. PASAL 86 PASAL 86 Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. III - 42 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 87 PASAL 87 Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya. Yang dimaksud dengan serikat pekerja/ serikat buruh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat pekerja/ serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi. PASAL 88 PASAL 88 (1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan. (2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2). (3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti. Cukup jelas PARAGRAF 2 PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA PASAL 89 PASAL 89 (1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama. (2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir. (3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau III - 43 Cukup jelas Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir. (4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan. (5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya. PASAL 90 PASAL 90 (1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. (2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Cukup jelas. PASAL 91 PASAL 91 (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan. Ayat (3) Cukup jelas. PASAL 92 PASAL 92 Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1). Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim AdHoc yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. III - 44 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 93 PASAL 93 (1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya. (2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan. (3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan. Cukup jelas. PASAL 94 PASAL 94 (1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. (2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat. Cukup jelas. PASAL 95 PASAL 95 (1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain. (2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan. (3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang. III - 45 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 96 PASAL 96 (1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. (2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. (3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. (4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum. PASAL 97 Ayat (1) Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. PASAL 97 Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Cukup jelas. PARAGRAF 3 PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT PASAL 98 PASAL 98 (1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. III - 46 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan (2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. (3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum. PASAL 99 PASAL 99 (1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan. (2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. Cukup jelas. PARAGRAF 4 PENGAMBILAN PUTUSAN PASAL 100 PASAL 100 Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan. Cukup jelas. PASAL 101 PASAL 101 (1) Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut. (3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial. (4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. III - 47 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 102 PASAL 102 (1) Putusan Pengadilan harus memuat: a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas; d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa; g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. (2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial. PASAL 103 Cukup jelas. PASAL 103 Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambatlambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Cukup jelas. PASAL 104 PASAL 104 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti. PASAL 105 Cukup jelas. PASAL 105 Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2). III - 48 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 106 PASAL 106 Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan. Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak merugikan hak para pihak. PASAL 107 PASAL 107 Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Cukup jelas. PASAL 108 PASAL 108 Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi. PASAL 109 Cukup jelas. PASAL 109 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. PASAL 110 Cukup jelas. PASAL 110 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja: a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim; b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. Cukup jelas. PASAL 111 PASAL 111 Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. III - 49 Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan PASAL 112 PASAL 112 Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung. Cukup jelas. BAGIAN KEDUA PENYELESAIAN PERSELISIHAN OLEH HAKIM KASASI PASAL 113 PASAL 113 Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. PASAL 114 Cukup jelas PASAL 114 Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 115 Cukup jelas. PASAL 115 Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. Cukup jelas. BAB V SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA BAGIAN KESATU SANKSI ADMINISTRATIF PASAL 116 PASAL 116 (1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah III - 50 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. (2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PASAL 117 PASAL 117 (1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. PASAL 118 Cukup jelas. PASAL 118 Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal: a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; III - 51 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan c. menyalahgunakan jabatan; dan atau d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3). PASAL 119 PASAL 119 (1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter. (3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Cukup jelas. PASAL 120 PASAL 120 (1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal: a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; c. menyalahgunakan jabatan; d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali. III - 52 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan (2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. PASAL 121 PASAL 121 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Cukup jelas. BAGIAN KEDUA KETENTUAN PIDANA PASAL 122 PASAL 122 (1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Cukup jelas. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN PASAL 123 PASAL 123 Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. III - 53 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan BAB VII KETENTUAN PERALIHAN PASAL 124 PASAL 124 (1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah diajukan kepada: a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat; b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung; c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung; d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung; III - 54 Cukup jelas. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan BAB VIII KETENTUAN PENUTUP PASAL 125 PASAL 125 (1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka: a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Cukup jelas. PASAL 126 PASAL 126 Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial. III - 55 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Penjelasan TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4356 Disahkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6 III - 56 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA ACT NUMBER 2 YEAR 2004 CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT III - 57 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes III - 58 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes Contents CHAPTER I GENERAL PROVISIONS III-65 CHAPTER II PROCEDURES ON SETTLEMENT OF INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES III-68 Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism Section Two : Settlement Through Mediation Section One : Settlement Through Conciliation Section One : Settlement Through Arbritation CHAPTER III INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-89 Section One : General Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar Section One : Settlement Through Arbritstion CHAPTER IV SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-97 Section One : Settlement of Dispute by the Justice Subsection 1 : Submission of Petition Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure Subsection 4 : Passing of Verdict Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge III - 59 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes CHAPTER V ADMINISTRATIVE SANCTION AND CRIMINAL PROVISIONS Section One : Administrative Sanction Section Two : Criminal Provisions III-106 CHAPTER VI OTHER PROVISIONS III-109 CHAPTER VII TRANSITIONAL PROVISIONS III-109 III - 60 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes EXPLANATORY NOTES OF ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 2 OF THE YEAR 2004 CONCERNING ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 2 OF THE YEAR 2004 THE INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT I. GENERAL CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT BY THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA, Considering: a. That harmonious, dynamic, and fair industrial relations need to be put into practice in an optimal manner in accordance with Pancasila values; b. That in the era of industrialization, the problem of industrial disputes have become more frequent and complex, so that it is necessary to establish institutions and mechanisms for settlement of industrial disputes that are prompt, appropriate, just, and inexpensive; c. That the Act No. 22 of 1957 concerning Settlement of Labour Disputes and Act No. 12 of 1964 concerning Termination of Employment in Private Corporations is no longer suitable with the needs of the society; d. That based on considerations as were mentioned under letters a, b, and c, there needs to be stipulated an Act that calls for an arrangement of matters concerning Industrial Dispute Settlement. III - 61 Industrial Relations, meaning the interlinkage of interests between workers/labourers and employers, have the potential of giving rise to differences of opinion and even disputes between the two sides. Disputes in the field of industrial relations up to now have been identified as occurring with regard to predetermined rights, or with regard to any manpower conditions that have not been codified whether they are work agreements, company regulations, collective labour agreements, or legislative articles. Industrial disputes can also be caused by termination of the work relationship. The stipulation on layoffs that up to know has been arranged under Act No.12 of 1984 concerning the Termination of employment in Private Corporations, turns out to be no longer effective in preventing and resolving cases involving layoffs. This is caused by the fact that the relationship between the workers/ labourers and employers is a relationship based on agreement between the parties involved to bind themselves within such a working relationship. In the event one party no longer wishes to be bound by such a work relationship, it becomes difficult for the parties concerned to maintain harmonious relations. For that reason it becomes necessary to find the best solution for both parties to agree on the form of settlement, so that the Industrial Relations Court as arranged under this Act will be able to resolve cases of termination that are considered unacceptable by one of the parties. In line with the era of openness and Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes In view of: 1. Article 5 subsection (1), Article 20, Article 24, Article 25, Article 27 Subsections (1), as well as Article 28 D subsection (1) and subsection (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia; 2. Act No 14 of 1970 on Principal Provisions of Judiciary Power (State Gazette No. 74 of 1970, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 2951) as has been revised by Act No. 35 of 1999 on the Revision of Act No. 14 of 1970 concerning the Principal Provisions of Judiciary Power (State Gazette No. 147 of 1999, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 3879); 3. Act No. 14 of 1985 on the Supreme Court (State Gazette No. 73 0f 1985, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 3316); 4. Act No. 2 of 1986 on the General Judiciary (State Gazette No 20 of 1986, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 3327); 5. Act No 21 of 2000 on Wokers/Labour Unions (State Gazette No. 131 of 2000, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 3989); 6. Act No. 13 of 2003 on Manpower (State Gazette No. 39 of 2003, Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 4279); By the joint approval between THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DECIDE: To stipulate: ACT CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT democratization in the world of industry as manifested by the existence of freedom of association for the workers/labourers, the number of labour unions within a company may not be limited. Competition between the labour unions in one company may result in strife among those labour unions, and in general are linked to membership and representation matters related to the negotiations for drawing up a collective labour agreement. Legislation that oversees the resolution of industrial disputes up to now has not been able to put into effect a quick, appropriate, just, and inexpensive way of settling disputes. Act No. 22 of 1957 that all along has been used as the legal basis for industrial relations dispute settlement is felt no longer to be able to accommodate the developments that have occurred, as the rights of the individual workers/labourers have not been considered sufficiently important to allow them to be a party in industrial dispute settlements. Act No. 22 of 1957 that all along has been used as the legal basis for industrial relations dispute settlement only covers the disputes involving rights and the collective interest, whereas the settlement of industrial disputes concerning workers/labourers individually has not been accommodated. Another quite fundamental matter is the passage of the P4P decisions as being within the realm of the State Administrative Agency, as stipulated by Act No. 5 of 1986 regarding the State Administrative Agency Judicial System. With the enactment of this stipulation, the road to be traversed both by the workers/labourers and the employers in order to obtain justice have become increasingly lengthy. The best dispute resolution is settlement by the parties involved in the disagreements so that a result advantageous to both sides can be attained. This bipartite settlement is conducted through deliberations and consensus between the two parties without intervention by any other party whatsoever. Nevertheless the government in its III - 62 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes endeavors to provide public service, specifically to the community of workers/labourers as well as employers has the obligation to facilitate the settlement of those industrial disputes. Efforts at facilitation are carried out through providing the services of a mediator assigned to reconcile the interests of the two disputing parties. With the onset of the democratization era in all fields, the involvement of society in industrial relations dispute settlement should be accommodated, through conciliation or arbitration. Dispute settlement through arbitration in general has been codified through the Act No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlements that is in effect for commercial disputes. For that reason arbitration in industrial relations as arranged under this Act is a special solution for dispute settlement in the field of industrial relations. With the considerations as outlined above, this Act should oversee settlement of industrial disputes caused by: a. differences of opinion or interests on labour conditions that have not been covered through work agreements, corporate regulations, collective labour agreements, or legislation. b. negligence or disregard by one or both parties in carrying out the normative stipulations as spelled out within the work agreement, company regulations, collective labour agreement, or enacted legislation. c. termination of the work relationship. d. differences of opinion among the trade unions within one company regarding the implementation of union rights and obligations. With the range of material concerning industrial disputes as mentioned above, this Act will include the main topics as follows. 1. The arrangements in resolving industrial disputes that occur both in private corporations or companies under the aegis of state-owned enterprises (BUMN). 2. The parties involved in these matters are workers/labourers as individuals or as members of trade union organizations against the employers or employers’ organizations. The parties involved in these cases may also be trade unions facing other trade unions within a single corporation. 3. Each industrial dispute initially should be settled through deliberations leading to consensus by the parties in disagreement (in a bipartite manner). 4. In the event deliberations by the parties in dispute (bipartite) fail, then one party or both parties can register the dispute at the agency responsible for handling local manpower matters. 5. Disputes concerning differing interests. Disputes arising out of the Termination of Work Relations or disputes among trade unions that have been registered with the responsible agency in manpower matters may be settled through conciliation or an agreement between the two parties, while resolution of disputes through arbitration can only be for disputes of differing interests and disputes between trade unions. In the event there is no agreement attained by the two sides to settle their differences through conciliation or arbitration, then before the case is submitted to the Industrial Relations Court, firstly mediation should be attempted. This is meant to avoid an excess of industrial relations dispute cases in the judicial system. 6. Disputes over Rights that have been registered at the agency responsible for the manpower sector cannot be resolved through conciliation or arbitration, but before they are submitted to the Industrial Relations Court, must go through a III - 63 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes mediation process. 7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action case to the Industrial Relations Court. 8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted to the Supreme Court. 9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial system and is established at the District Court in a phased manner and at the Supreme Court. 10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed as a supreme court to the Supreme Court. 11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are proposed by the employers organization and workers/labour organization. 12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court. 13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed. III - 64 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes II. ARTICLE BY ARTICLE CHAPTER I GENERAL PROVISIONS ARTICLE 1 ARTICLE 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. Under this Act, the following definitions shall apply: An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion resulting in a dispute between employers or an association of employers with workers/labourers or trade unions due to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute over termination of employment, or a dispute among trade unions within one company. Dispute over rights is a dispute arising over the nonfulfillment of rights, as a result of differences in implementation or interpretation concerning the laws and regulations, work agreements, company regulations, or the collective labour agreement. Dispute over interest is a dispute arises in the work relationship due to non-convergence of opinions in the drawing up of, and/or changes in the work requirements as stipulated in the working agreement, or company regulations, or collective labour agreement. A dispute over termination of employment is a dispute arising from the lack of convergence of opinions regarding the termination of employment as conducted by one of the parties. A dispute among trade unions is dispute between one trade union and another trade union within one company, due to the fact there is non-convergence regarding membership, implementation of rights, and obligations to the union. An entrepreneur is: a. An individual, a partnership or a legal entity that operates a self-owned enterprise; b. An individual, a partnership or a legal entity that independently operates a non-self-owned enterprise; c. An individual, a partnership or a legal entity located in Indonesia and representing an enterprise as mentioned under point a and point b that is domiciled outside the territory of Indonesia. III - 65 Numbers 1 through 21 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes 7. An enterprise is: a. Every form of business, which is either a legal entity or not, which is owned by an individual, a partnership or a legal entity that is either privately owned or state owned, which employs workers/ labourers by paying them wages or other forms of remuneration; b. Social undertakings and other undertakings with officials in charge and which employ people by paying the wages or other forms of remuneration. 8. A trade union/labour union is an organization that is formed from, by and for workers/ labourers either within an enterprise or outside of an enterprise, which is free, open, independent, democratic, and responsible in order to strive for, defend and protect the rights and interests of the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/ labourer and their families. 9. A worker/labourer is any person who works and receives wages or other forms of remuneration. 10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/ labourers or trade unions and the employers to resolve disputes in industrial relations. 11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred as to mediation is the settlement of disputes over rights, conflict over interests, disputes over termination of the work relationship, and disputes between worker/labour unions within one company only through deliberations that are interceded by one or more mediators who are neutral. 12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred as to a mediator is a government agency employee responsible for the manpower field who meet the requirements as a mediator, and is appointed by the Minister for the duty of carrying out mediation and has an obligation to provide a written recommendation to the parties in dispute in order to resolve disagreements over rights, conflict over interests, disputes over termination of working relationships, and disputes between trade unions within one company. 13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred as to conciliation is the settlement of disputes over interests, III - 66 Act No. 2 Year 2004 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Explanatory Notes disagreements over termination of work relationships, or disputes between trade unions within one company only, through deliberations interceded by one or more neutral conciliators. An Industrial Relations Conciliator who hereinafter referred as to a conciliator is one or more persons who meet the requirements as a conciliator and is appointed by the Minister, who is assigned to carry out conciliation and is obliged to give a written recommendation to the parties in dispute to resolve the disagreements over interests, dispute over termination of the work relationship, or a dispute between the trade unions within a single company. Industrial Relations Arbitration that hereinafter referred as to arbitration is the resolution of a dispute over interests, and disputes between trade unions within one company only, outside the Industrial Relations Court through a written agreement from the parties in dispute who agree to submit the settlement of the dispute to an arbiter whose decision is binding on the parties involved and is final. An Industrial Relations Arbiter who hereinafter referred as to an arbiter is one or more persons selected by the parties in dispute from a list of arbiters named by the Minister to provide a decision on disputes over interests, and disputes between trade unions within one company only, with the settlement handed over to arbitration where the decision is binding on the parties and is final. An Industrial Relations Court is a special court established within the aegis of the District Court that has the authority to review, bring to court and provide a verdict concerning an industrial relations dispute. A Judge is a District Court Career Judge who is assigned to the Industrial Relations Court. Ad Hoc Judges are ad-hoc judges at the Industrial Relations Court and ad-hoc judges at the Supreme Court whose appointments are upon the proposal of the trade unions and the employer’s organization. Supreme Court Judges are Judges and Ad-Hoc Judges at the Supreme Court who have the authority to review, bring to court, and produce a verdict on industrial relations III - 67 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes disputes. 21. Minister is the minister responsible for manpower affairs. ARTICLE 2 The types of Industrial Relations Disputes cover: a. disputes of rights; b. disputes of interests; c. disputes over termination of employment; and d. disputes among trade unions within one company. CHAPTER II PROCEDURES ON SETTLEMENT OF INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES ARTICLE 3 Article 2 Letter a A dispute over rights is a disagreement concerning normative rights that has been determined by a work agreement, company regulations, collective labour agreement, or laws and regulations. Letter b Sufficiently clear. Letter c Sufficiently clear. Letter d Sufficiently clear. ARTICLE 3 (1) Industrial relations disputes are required to be resolved first through bipartite bargaining in deliberation to reach consensus. (2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as stipulated in subsection (1) must be settled at the latest within 30 (thirty) working days from the commencement of negotiations. (3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days as stipulated in subsection (2), one party refuses to continue negotiations or there had been bargaining which did not result in agreement, then the bipartite meetings will be considered to have failed. Subsection (1) The definition of bipartite bargaining in this article is negotiations between the employers or assemblage of employers with the workers or trade unions, or among one trade union with another trade union within one corporation, who are in disagreement. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 4 ARTICLE 4 (1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties can file their dispute to the local authorized manpower offices, and attaching proof that efforts to resolve the dispute through bipartite bargaining have been conducted. (2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1) were not attached, then the authorized manpower offices will return the dossier to be made complete at the latest III - 68 Subsection (1) Sufficiently clear. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) The stipulations within this article provide the freedom for the parties in dispute to freely select the method of dispute settlement that they wish. Act No. 2 Year 2004 (3) (4) (5) (6) Explanatory Notes within 7 (seven) working days from the date the dossier was returned. After receiving a written report from one or both parties, the local authorized manpower offices is required to offer to both parties a Collective Agreement to select a settlement through conciliation or arbitration. In the event the parties do not select settlement through conciliation or arbitration within 7 (seven) working days, then the authorized manpower offices will transfer settlement of the dispute to a mediator. Settlement through conciliation is conducted for resolution of disputes over interests, disputes on termination of work relationships, or disputes among trade unions. Settlement through arbitration is conducted for resolution of disputes over interest or disputes among trade unions. ARTICLE 5 Subsection (4) Sufficiently clear. Subsection (5) Sufficiently clear. Subsection (6) Sufficiently clear. ARTICLE 5 In cases where an attempt at settlement through conciliation or mediation does not result in agreement, then one of the parties can file a legal petition to the Industrial Relations Court. Sufficiently clear. SECTION ONE SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM ARTICLE 6 ARTICLE 6 (1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced by a minutes signed by the parties. (2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection (1) must at the least contain: a. full names and addresses of the parties; b. date and venue of the bargaining; c. agenda or reasons underlying the dispute; d. the positions of each party; e. a summary or results of the bargaining; and f. date and signatures of the parties involved in the bargaining. III - 69 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 7 ARTICLE 7 (1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3 reach an agreement for settlement, then a Collective Agreement is drawn up and signed by the parties. (2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1) is binding and become the law and must be performed by the parties. (3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1) is required to be registered by the parties to the Industrial Relations Court at the local District Court where the parties conducted the Collective Agreement. (4) The Collective Agreement that has been registered as mentioned in subsection (3) will be provided with a Collective Agreement registration deed that will be an inseparable part of the Collective Agreement. (5) In the event that the Collective Agreement as mentioned under subsection (3) and subsection (4) is not implemented by one of the parties, then the party suffering injury can file a petition for execution to the Industrial Relations Court at the local District Court where the Collective Agreement was registered, in order to obtain an order for execution. (6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside the jurisdiction of the District Court where the Collective Agreement was registered as mentioned in subsection (3), then the petitioner can submit a request for court order through the Industrial Relations Court in the District Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to an Industrial Relations Court in the District Court having the competency to conduct the execution. Sufficiently clear. SECTION TWO SETTLEMENT THROUGH MEDIATION ARTICLE 8 ARTICLE 8 Settlement of a dispute through mediation is carried out by a mediator which present at each manpower office at the District/City level. III - 70 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 9 ARTICLE 9 A mediator as meant by Article 8 must meet the following requirements: a. believe and subservient to God Almighty; b. Indonesia citizen; c. physically healthy according to a doctor’s certificate; d. mastering manpower laws and regulations; e. has dignity, honesty, fair and good reputation; f. has a level of education of at least university or bachelor degree (S1); and g. other requirements as determined by the Minister. As the mediator is a government civil servant, thus besides the requirements mentioned in this article, there must also be some consideration of other stipulations that cover civil servants in general. ARTICLE 10 ARTICLE 10 At the latest within 7 (seven) working days of receiving the transfer of responsibility for settlement of the dispute, the mediator must have conducted an investigation of the case and immediately prepare a mediation hearing. ARTICLE 11 Sufficiently clear. ARTICLE 11 (1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses to attend the mediation hearing to request and hear the information. (2) The witness or expert witness that fulfills the summons has a right to receive compensation for transport and accommodation costs with the amount to be determined by a Ministerial Decision. Subsection (1) The expert witness mentioned in this Article is one with special expertise in his/her field, including Labour Inspectors. Subsection (2) Sufficiently clear. ARTICLE 12 ARTICLE 12 (1) Any person who is asked for information by the mediator for the purpose of settlement of an industrial dispute based on this Act, has the obligation to provide information including opening the books and showing necessary documents. (2) In cases where the information needed by the mediator has some connection with someone who due to his position must preserve confidentiality, then procedures must be undertaken as arranged under the prevailing laws and regulations. Subsection (1) What is meant by opening up the company books and showing documents in this Article is among others the register of wages or orders for overtime work and other documents, carried out by persons named by the mediator. III - 71 Subsection (2) As in certain positions, based on laws and regulations, secrecy must be preserved, thus requests for information submitted to persons in those positions serving as expert witnesses must follow a predetermined procedure Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (3) The mediator must preserve the confidentiality of all information requested as meant under subsection (1). Example: In cases that concern someone making a request for information about another party’s bank account details that request will only be met by bank officials if there is permission from the Bank Indonesia or from the owner of the account himself/ herself (Act No. 10 of 1998 on Banking). Likewise there is also the stipulation under Act No. 7 of 1971 concerning the Primary Regulations on Archival Materials etc. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 13 ARTICLE 13 (1) In the event an agreement to settle industrial relations dispute through mediation is reached, then a Collective Agreement shall be drawn up and signed by the parties and witnessed by the mediator, as well as being registered at the Industrial Relations Court in the District Court within the jurisdiction where the parties conducting the Collective Agreement, in order to obtain a registration deed. (2) In the event no agreement is reached on settlement of the industrial dispute through mediation, then: a. the mediator will issue a written recommendation; b. the written recommendation as mentioned under letter a, at the latest within 10 (ten) working days after the first mediation session was held, must be conveyed to both parties; c. the parties should have provided a written answer to the mediator with the contents indicating whether they accept or reject the written recommendation at the latest within 10 (ten) working days after receiving the written recommendation; d. any party not providing an opinion as meant in letter c, will be considered to have rejected the written recommendation; e. in the case of the parties accepting the written recommendation as meant within letter a, then at the latest within 3 (three) working days of the written III - 72 Subsection (1) Sufficiently clear. Subsection (2) Letter a What is meant by a written recommendation is an opinion or suggestion in writing that is proposed by the mediator to the parties involved as an effort to obtain a settlement of their dispute. Letter b Sufficiently clear. Letter c Sufficiently clear. Letter d Sufficiently clear. Letter e Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes recommendation being agreed upon, the mediator must have completed work in assisting the parties to draw up a Collective Agreement and register at the Industrial Relations Court in the District Court within the jurisdiction where the parties conducted their Collective Agreement in order to obtain a registration deed. (3) The registration of the Collective Agreement at the Industrial Relations Court in the District Court as mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e, will be carried out as follows: a. The Collective Agreement that has been registered will be given a proof of registration deed and constitutes an inseparable part of the Collective Agreement; b. in the case of the Collective Agreement as mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being performed by one of the parties, then the party suffering injury may submit a petition for execution to the Industrial Relations Court in the local District Court where the Collective Agreement was registered in order to obtain an order for execution; c. in the event of the petitioner for court action is domiciled outside the jurisdiction of the Industrial Relations Court at the District Court where the Collective Agreement was registered, then the petitioner may submit the petition through the Industrial Relations Court in the District Court at the domicile of the petitioner, to be forwarded to the Industrial Relations Court in the District Court having competence in conducting the execution. ARTICLE 14 Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 14 (1) In the case of the written recommendation as meant in Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one or both of the parties, then the parties or one of the parties may continue to file settlement of the dispute to the Industrial Relations Court in the local District Court. (2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection (1) is conducted through a petition by one of the parties to the Industrial Relations Court in the local District Court. III - 73 Subsection (1) Sufficiently clear. Subsection (2) The stipulation on taking legal action as arranged under this subsection is in accordance with the procedures for resolving civil cases at the general judiciary. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 15 ARTICLE 15 The mediator must complete his duties at the latest within 30 (thirty) working days from the time the transfer of responsibility for settlement of the dispute is received, as mentioned in Article 4 subsection (4). ARTICLE 16 Sufficiently clear. ARTICLE 16 The provisions concerning the procedures for appointment and termination of the mediator and the work procedures of mediation shall be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear. SECTION THREE SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION ARTICLE 17 ARTICLE 17 Settlement of a dispute through conciliation is conducted by a conciliator registered at the manpower offices at the District/City level. ARTICLE 18 Sufficiently clear. ARTICLE 18 (1) Settlement of disputes over interests, disputes over termination of employment or disputes between trade unions within one company, through conciliation is carried out by a conciliator whose work area covers the place of work of the workers/labourers. (2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection (1) is conducted after the parties submit a request for settlement in a written to a conciliator appointed and agreed by the parties. (3) The parties may know the name of the chosen and agreed conciliator from a list of conciliators’ names posted and announced at the local Government office responsible for manpower affairs. Sufficiently clear. ARTICLE 19 ARTICLE 19 (1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet these requirements: a. believe and subservient to God Almighty. b. Indonesia citizen; III - 74 Subsection (1) Letter a Sufficiently clear. Letter b Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes c. minimal 45 years of age; d. has a level of education of at least university or bachelor degree (S1); e. physically healthy according to a doctor’s certificate; f. has dignity, honesty, fair, and good reputation; g. has experience in the industrial relations field for at least 5 (five) years; h. Mastering manpower laws and regulations; and i. other requirements as determined by the Minister. (2) The registered conciliators as mentioned in subsection (1) will be given a legitimization by the Minister or the authorized official on manpower affairs. Letter c Sufficiently clear. Letter d Sufficiently clear. Letter e Sufficiently clear. Letter f Sufficiently clear. Letter g Sufficiently clear. Letter h Sufficiently clear. Letter i What is meant by other requirements under this letter i is among others: arrangements on the standard of competence of the conciliator, training of the apprentices or conciliators, selection of apprentice conciliators, and other technical matters. Subsection (2) Sufficiently clear. ARTICLE 20 ARTICLE 20 Within maximum of 7 (seven) working days after receiving the request for dispute settlement in written, the conciliator must have conducted an investigation regarding the case and at the latest by the eighth working day, the first conciliation session must have been held. Sufficiently clear. ARTICLE 21 ARTICLE 21 (1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses to attend the mediation hearing to request and hear the information. (2) The witness or expert witness that fulfills the summons has a right to receive compensation for transport and accommodation costs with the amount to be determined by a Ministerial Decision. Sufficiently clear. ARTICLE 22 ARTICLE 22 (1) Any person who is asked for information by the conciliator for the purpose of settlement of an industrial dispute based on this Act, has the obligation to provide information including opening the books and showing necessary Subsection (1) What is meant by opening up the company books and showing documents in this Article is among others records of wages or orders for overtime work and other matters III - 75 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes documents. (2) In cases where the information needed by the conciliator has some connection with someone who due to his position must preserve confidentiality, then procedures must be undertaken as arranged under the prevailing laws and regulations. (3) The conciliator must preserve the confidentiality of all information requested as meant under subsection (1). conducted by persons named by the conciliator. Subsection (2) As in certain positions, based on the laws and regulations, secrecy must be preserved, thus requests for information submitted to persons in those positions acting as expert witnesses must follow a predetermined procedure. Example: In the case of someone requesting information about another party’s bank account details that request will only be met by bank officials if there is permission from the Bank Indonesia or from the owner of the account himself/herself (Act No. 10 of 1998 on Banking). Similarly there is also the stipulation under Act No. 7 of 1971 concerning the Primary Regulations on Archival Materials etc. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 23 ARTICLE 23 (1) In the event an agreement to settle industrial relations dispute through conciliation is reached, then a Collective Agreement shall be drawn up and signed by the parties and witnessed by the conciliator, as well as being registered at the Industrial Relations Court in the District Court within the jurisdiction where the parties conducting the Collective Agreement, in order to obtain a registration deed. (2) In the event no agreement is reached on settlement of the industrial dispute through conciliation, then: a. the conciliator will issue a written recommendation; b. the written recommendation as mentioned under letter a, at the latest within 10 (ten) working days after the first conciliation session was held, must be conveyed to both parties; c. the parties should have provided a written answer to the conciliator with the contents indicating whether they accept or reject the written recommendation at the latest within 10 (ten) working days after receiving III - 76 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes the written recommendation; d. any party not providing an opinion as meant in letter c, will be considered to have rejected the written recommendation; e. in the case of the parties accepting the written recommendation as meant within letter a, then at the latest within 3 (three) working days of the written recommendation being agreed upon, the conciliator must have completed work in assisting the parties to draw up a Collective Agreement and register at the Industrial Relations Court in the District Court within the jurisdiction where the parties conducted their Collective Agreement in order to obtain a registration deed. (3) The registration of the Collective Agreement at the Industrial Relations Court in the District Court as mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e, will be carried out as follows: a. The Collective Agreement that has been registered will be given a proof of registration deed and constitutes an inseparable part of the Collective Agreement; b. in the case of the Collective Agreement as mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being performed by one of the parties, then the party suffering injury may submit a petition for execution to the Industrial Relations Court in the local District Court where the Collective Agreement was registered in order to obtain an order for execution; c. in the event of the petitioner for court action is domiciled outside the jurisdiction of the Industrial Relations Court at the District Court where the Collective Agreement was registered, then the petitioner may submit the petition through the Industrial Relations Court in the District Court at the domicile of the petitioner, to be forwarded to the Industrial Relations Court in the District Court having competence in conducting the execution. III - 77 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 24 ARTICLE 24 (1) in the case of the written recommendation as meant in Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or both of the parties, then one or both parties may continue to settle the dispute to the Industrial Relations Court in the local District Court. (2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1) is implemented through a petition by one of the parties. ARTICLE 25 Sufficiently clear. ARTICLE 25 The conciliator must complete his duties at the latest within 30 (thirty) working days from the time the transfer of responsibility for settlement of the dispute is received. ARTICLE 26 Sufficiently clear. ARTICLE 26 (1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services rendered based on dispute settlement to be borne by the state. (2) The amount of honorarium as mentioned in subsection (1) will be determined by the Minister. Sufficiently clear. ARTICLE 27 ARTICLE 27 The conciliator’s performance within a certain period will be monitored and assessed by the Minister or government official on manpower affairs. ARTICLE 28 Sufficiently clear. ARTICLE 28 The procedures for candidate registration, appointment and revocation of conciliator license, and work procedures of conciliation will be regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear. SECTION FOUR SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION ARTICLE 29 ARTICLE 29 Settlement of industrial relations dispute through arbitration will include disputes over interests and disputes among workers /labour unions within one company. III - 78 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 30 ARTICLE 30 (1) The arbiter with authority to settle industrial relations disputes must be an arbiter who has been determined by the Minister. (2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the Republic of Indonesia. ARTICLE 31 Subsection (1) The stipulation contained within this Article is meant to protect the interests of society, and for that reason not every person can act as an arbiter. Subsection (2) Sufficiently clear. ARTICLE 31 (1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article 30 subsection (1) the person must meet the following requirements : a. Believe and subservient to God Almighty; b. Competent to do legal action; c. Indonesia citizen; d. has a level of education of at least university or bachelor degree (S1); e. at least forty-five (45) years of age; f. physically healthy according to a doctor’s certificate; g. mastering manpower laws and regulations as proven by a certificate or proof of passing an arbitration examination; and h. has at least five (5) years experience in the field of industrial relations. (2) Provisions concerning examination and procedures for arbiter registration will be regulated with a Ministerial Decision. Subsection (1) Letter a Sufficiently clear. Letter b Sufficiently clear. Letter c Sufficiently clear. Letter d Sufficiently clear. Letter e Sufficiently clear. Letter f Bearing in mind that the arbiter’s decision is binding to all parties and is final and permanent in nature, the arbiters must be those competent in their field, so that the trust given by the parties involved is not meaningless. Letter g Sufficiently clear. Subsection (2) Sufficiently clear. ARTICLE 32 ARTICLE 32 (1) The settlement of an industrial relations dispute through an arbiter will be performed on the basis of agreement by the disputing parties. (2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will be declared in writing through a letter of arbitration agreement, made in three (3) copies wherein each party is to receive one (1) copy with the same legal power. (3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at III - 79 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes the least contain: a. full names and addresses or domicile of the disputing parties; b. main issues underlying the dispute to be handed over to arbitration for settlement; c. number of arbiters agreed upon; d. a statement of the disputing parties to comply with and implement the arbitration decision; and e. the place and date of drawing up the agreement and signatures of the disputing parties. ARTICLE 33 ARTICLE 33 (1) In the event of the parties having signed the arbitration agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters determined by the Minister. (2) The disputing parties may designate a single arbiter or several arbiters (council) of an odd number of at least three (3) persons. (3) In the event that the parties agree to designate a single arbiter, the parties must reach an agreement at the latest within seven (7) working days on the name of the arbiter. (4) In the event that the parties agree to appoint several arbiters (council) in odd number, each party is entitled to choose an arbiter at the latest within three (3) days, while the third arbiter will be decided by the designated arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed chairman of the Arbitration Council. (5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections (3) and (4) will be performed in writing. (6) In the event that the parties are not in agreement over the appointment of an arbiter whether a single arbiter or several arbiters (council) of odd number as meant in subsection (2), then upon the request of one of the parties the Head of the Court may appoint an arbiter from the list of arbiters determined by the Minister. (7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to notify the parties of any matter that might affect his independence or may result in imbalance in any III - 80 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes adjudication to be made. (8) Any person who accepts appointment as arbiter as mentioned in subsection (6) must notify the parties in writing of his acceptance. ARTICLE 34 ARTICLE 34 (1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of arbiter appointment with the disputing parties. (2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in subsection (1) shall at least contain the following: a. full names and addresses or domiciles of the disputing parties and arbiter; b. main issues underlying the dispute and handed over to the arbiter to settle and make the decision; c. arbitration costs and arbiter honorarium; d. a statement made by the disputing parties to abide by and implement the arbitration decision; e. place, date of drawing up the agreement letter and signatures of the disputing parties and arbiter; f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go beyond their authority in settlement of the case that they are handling; and g. no blood or marriage relationship up to the second degree, with one of the disputing parties. (3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be made in at least three (3) copies, in which each party and the arbiter will receive one (1) copy having similar legal power. (4) In the event of arbitration being performed by several arbiters, the original copy of the agreement will be submitted to the Chairman of the Arbiter Council. ARTICLE 35 Sufficiently clear. ARTICLE 35 (1) In the event of the arbiter accepts his appointment and sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection (1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless upon approval of the parties. III - 81 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (2) The arbiter who intends to withdraw as meant in subsection (1) must make a written request to the parties. (3) In the event of the parties approve the request to withdraw as mentioned in subsection (2), the arbiter may be released from duties as arbiter in settlement of the case. (4) In the case of the request to withdraw is not approved by the parties, the arbiter must make a request to the Industrial Relations Court to be released from duties as arbiter by stating an acceptable reason. ARTICLE 36 ARTICLE 36 (1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away, then the parties must appoint a replacement based on the approval of both parties. (2) In the event of the arbiter designated by the parties withdraw or pass away, appointment of a replacement will be left to the party designating the arbiter. (3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters withdraw or pass away, the arbiters must appoint a substitute arbiter based on agreement of arbiters. (4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection (1), subsection (2) and subsection (3) must reach an agreement to designate a substitute arbiter at the latest within seven (7) working days. (5) In the event the parties or the arbiters fail to reach an agreement as mentioned in subsection (4), then the parties or one of the parties or one of the arbiters or the arbiters may request to the Industrial Relations Court to determine a substitute arbiter and the Court must determine a substitute arbiter at the latest within seven (7) working days from the date of receipt of request for substitute arbiter. Subsection (1) Sufficiently clear. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. Subsection (4) Sufficiently clear. Subsection (5) An arbiter appointed by the Court shall not be an arbiter who in the past was rejected by the parties or the arbiters, but instead must be a different arbiter. ARTICLE 37 ARTICLE 37 The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall make a statement of willingness to accept the results that have been achieved and to continue settlement of the case. What is meant by accepting the result attained is that a replacement arbiter is bound by the result reached by the previous arbiter as reflected in the report of activities leading to dispute settlement. III - 82 Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 38 ARTICLE 38 (1) The arbiter appointed by the parties based on the arbitration agreement may file objections to the District Court if sufficient reasons and authentic proof exist that raise doubt that the arbiter will not carry out his duties independently and show imbalance making a decision. (2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when sufficient proof exists that there is a family or work relationship with one of the parties or their proxy. (3) No appeal may be filed against adjudication of the District Court on claim of breach. Sufficiently clear. ARTICLE 39 ARTICLE 39 (1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by the Head of the Court shall be directed to the Head of the Court. (2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be filed to the concerned arbiter. (3) Claim of breach against a member of the approved arbiter council shall be filed to the concerned arbiter council. Sufficiently clear. ARTICLE 40 ARTICLE 40 (1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes at the latest within thirty (30) working days commencing from the date of signing a letter of agreement for arbiter appointment. (2) Examination of disputes must commence within three (3) working days at the latest after the date of signing a letter of agreement of arbiter appointment. (3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will have authority to extend the time period to settle the industrial relations dispute at the latest for one (1) period of fourteen (14) working days. ARTICLE 41 Subsection (1) In the event there is a change in arbiters, then the time frame for the change to take effect is 30 (thirty) working days from the time the replacement arbiter signed the arbitration agreement. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 41 Examination of industrial relations dispute by the arbiter or arbiter council will be made behind closed doors unless otherwise preferred by the disputing parties. III - 83 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 42 ARTICLE 42 In the arbitration session, the disputing parties may be represented by their authorized representatives with a special letter of authority. What is meant by a special letter of authorization in this Article is the authority given by the parties in dispute as the powers providing authority to someone, or more to be their proxy in order to conduct legal actions or other actions related to the case mentioned specifically in the said letter of authorization. ARTICLE 43 ARTICLE 43 (1) In the event that on the session is held, the disputing parties or their authorized representatives are not present without valid reason, despite proper summon has been made, the arbiter or arbiter council may cancel the agreement of arbiter appointment, and the duties of the arbiter or arbiter council are considered completed. (2) In the event that on the first day of session and further session, one of the parties or their authorized representatives is absent without valid reason, despite proper summon has been made, the arbiter or arbiter council may examine the case and issue an adjudication without the presence of one party or their authorized representative. (3) In the event of costs being incurred with regard to the agreement of arbiter appointment before cancellation of the agreement by the arbiter or arbiter council as mentioned in subsection (1), the parties can not request the returning of the fee. ARTICLE 44 Subsection (1) What is meant by “summoned in a reasonable manner” in this Subsection is that the parties involved have been summoned 3 (three) times in succession, with each one respectively lasting for a time span of 3 (three) days. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 44 (1) The settlement of an industrial relations dispute by an arbiter must commence with efforts to make peace between the parties. (2) In the event of the peaceful settlement as meant in subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is required to draw up a Settlement Deed signed by the parties and arbiter or arbiter council. (3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall be registered at the Industrial Relations Court in the local District Court where the arbiter made the settlement efforts. III - 84 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (4) Registration of the Settlement Deed as mentioned in subsection (3) will be carried out as follows; a. The Settlement Deed that has been registered will be provided with a proof of registration deed and constitutes an inseparable part of the Settlement Deed; b. In the event of the Settlement Deed is not implemented by one of the parties, the party suffering injury may file a petition to the Industrial Relations Court in the local District Court where the Settlement Deed was registered in order to obtain an order for execution; c. In the case of the petitioner is domiciled outside the jurisdiction of the Industrial Relations Court in the District Court where the Settlement Deed was registered, then the petitioner may file the petition through the Industrial Relations Court in the District Court in the petitioner domicile to be forwarded to the Industrial Relations Court in the District Court having competency to conduct execution. (5) In the event of peaceful settlement efforts mentioned in subsection (1) fail, the arbiter or arbiter council shall continue the arbitration session. ARTICLE 45 ARTICLE 45 (1) During the arbitration session the parties will be given opportunities to explain in writing or verbally, their respective opinions, and to submit evidence considered necessary to reinforce their opinions within a period of time determined by the arbiter or arbiter council. (2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the parties to submit additional written explanation, documents or other evidences deemed necessary within a period of time determined by the arbiter or arbiter council. ARTICLE 46 Sufficiently clear. ARTICLE 46 (1) The arbiter or arbiter council may summon one or more witnesses or expert witnesses to provide information. (2) Before giving information, the witness or expert witness will be sworn in according to the respective religion and faith. III - 85 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (3) The cost of summoning and trip for a clergy member to perform the swearing of witnesses or expert witness will be borne by the requesting party. (4) The cost of summoning and trip for witness or expert witness will be borne by the requesting party. (5) The cost of summoning and trip for witness or expert witness requested by the arbiter will be borne by the parties. ARTICLE 47 ARTICLE 47 (1) Any person who is requested to provide information by the arbiter or arbiter council in examination for settlement of an industrial relations dispute based on this Act is required to give such information, including showing the books and necessary letters. (2) In case the information required by the arbiter is related to someone who because of his position must maintain confidentiality, a procedure must be followed as regulated in the prevailing legislation and regulations. (3) The arbiter is required to keep in confidence all information requested as mentioned in subsection (1). Subsection (1) What is meant by opening the company books and showing documents in this Article is for example, showing the register on wages or the order for overtime work, and must be conducted by someone with expertise in bookkeeping, appointed by the arbiter. Subsection (2) Due to the fact that certain positions, based on legal regulations, must preserve secrecy, so any request for information from persons in those positions serving as expert witnesses must follow a predetermined procedure. Example: In the case of someone requesting information about any other party’s bank account details that request will only be met by bank officials if there is permission from the Bank Indonesia or from the owner of the account himself/herself (Act No. 10 of 1998 on Banking). The same applies to the stipulations under Act No. 7 of 1971 concerning the Primary Regulations on Archival Materials etc. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 48 ARTICLE 48 The activities undertaken during the examination and arbitration session will be drawn up into an official report of examination by the arbiter or arbiter council. III - 86 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 49 ARTICLE 49 The adjudication of the arbitration session is made on the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores, justice and public interest. ARTICLE 50 Sufficiently clear. ARTICLE 50 (1) The arbitration adjudication shall contain the following: a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD”; b. full name and address of the arbiter or arbiter council; c. full names and addresses of the parties; d. matters contained in the agreement made by the disputing parties; e. Summary of charges, replies, and further explanations by the disputing parties. f. considerations underlying the adjudication; g. primary topic of adjudication; h. place and date of adjudication; i. effective date of adjudication; and j. arbiter or arbiter council’s signature(s). (2) The arbiter decision which is not signed by one of the arbiters for reasons of illness or his decease will not affect the power of the adjudication. (3) The reason for no signature as mentioned in subsection (2) must be included in the decision. (4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14) working days, the adjudication must be implemented. Sufficiently clear. ARTICLE 51 ARTICLE 51 (1) The arbitration adjudication possesses binding legal force to the disputing parties and constitutes final and permanent in nature (2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection (1) will be registered at the Industrial Relations Court in the local District Court where the arbiter made the decision. (3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned in subsection (1) is not implemented by one of the parties, III - 87 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes the party suffering injury may file a request for court execution to the Industrial Relations Court in the District Court which legal jurisdiction includes the domicile of the party to whom the decision must be performed, in order that implementation of adjudication will be instructed. (4) The instruction as mentioned in subsection (3) must be issued at the latest within thirty (30) working days after the request is registered at the local District Court Clerk without examining the reason or consideration for arbitration adjudication. ARTICLE 52 ARTICLE 52 (1) Any of the parties may file a petition of cancellation of arbitration adjudication to the Supreme Court at the latest within thirty (30) working days since the arbiter decision was made, if the decision is believed to include the following : a. A letter or document that was submitted during examination, after adjudication is made is admitted or stated to be false; b. after adjudication, a document which is decisive in nature is found that was concealed by the other party; c. adjudication is made through deception by one of the parties during the examination of dispute; d. the adjudication is beyond the authority of the industrial relations arbiter; or e. the adjudication is contrary to laws and regulations. (2) In the event of such petition as mentioned in subsection (1) is granted, the Supreme Court will stipulate the consequences of cancellation whether in whole or in part of the arbitration decision. (3) The Supreme Court will decide on the cancellation of petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty (30) working days commencing from the date of receipt of cancellation petition. III - 88 Subsection (1) A legal effort to request cancellation is meant to provide a fair opportunity to the injured party in the dispute. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 53 ARTICLE 53 Industrial relations disputes that are in progress or have been settled through arbitration may not be filed to the Industrial Relations Court. The stipulations in this Article are for the purpose of providing legal certainty. ARTICLE 54 ARTICLE 54 The arbiter or panel of arbiters may not be held legally responsible whatsoever on all actions taken during the session in process, in order to perform their function as the arbiter or panel of arbiters, except when it can be proven that the action is not conducted in good faith. Sufficiently clear. CHAPTER III INDUSTRIAL RELATIONS COURT SECTION ONE GENERAL ARTICLE 55 ARTICLE 55 The Industrial Relations Court is a special court within the general court. ARTICLE 56 Sufficiently clear. ARTICLE 56 The Industrial Court is assigned and authorized to investigate and adjudicate: a. at the first level regarding disputes on rights; b. at the first and final levels regarding disputes on interests; c. at the first level regarding disputes on termination of employment; d. at the first and final levels regarding disputes between workers unions / labor unions in one company. Sufficiently clear. ARTICLE 57 ARTICLE 57 The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court, unless otherwise regulated under this act. Sufficiently clear. ARTICLE 58 ARTICLE 58 The parties in the legal proceeding are not charged any costs for the trial process at the Industrial Relations Court, III - 89 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes including the execution costs which value of suit is below Rp. 150,000,000.00 (one hundred fifty million rupiah). ARTICLE 59 ARTICLE 59 (1) For the first time, the Industrial Relations Court under this act is established at each District Court in the Regency/ City level, located in each Provincial Capital, which jurisdiction covers the concerned province. (2) The Industrial Relations Court should, with the Presidential Decree, immediately be established at the local District Court. Subsection (1) Bearing in mind that the Special Capital City Territory of Jakarta is a provincial capital and simultaneously the capital city of the Republic of Indonesia, and has more than one District Court, the Industrial Relations Court established for the first time with this Act is the Industrial Relations Court at the Central Jakarta District Courthouse. In the event that in any provincial capital, there exist a Municipal District Court and a District Court, then the Industrial Relations Court will be a part of the District Court. Subsection (2) What is meant by the term “immediately” in this Subsection is the time frame within 6 (six) months after this Act takes effect. ARTICLE 60 ARTICLE 60 (1) The composition of the Industrial Relations Court in the District Court is as follows; a. Judge; b. Ad-Hoc Judge; c. Junior Registrar; and d. Substitute Registrar. (2) The composition of the Industrial Relations Court in the Supreme Court is as follows: a. Supreme Judge; b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and c. Registrar. III - 90 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes SECTION TWO JUDGE, AD-HOC JUDGE AND SUPREME COURT JUDGE ARTICLE 61 Sufficiently clear. ARTICLE 61 The Judge at the Industrial Relations Court is appointed and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme Court. ARTICLE 62 ARTICLE 62 The appointment of the Judge as meant in Article 61 is carried out in accordance with the prevailing laws and regulations. ARTICLE 63 Sufficiently clear. ARTICLE 63 (1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is appointed with a Presidential Decree upon proposal of the Head of the Supreme Court. (2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection (1) is proposed by the Head of the Supreme Court from the names approved by the Minister upon proposal of the workers union / labor union or employer’s organization. (3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to the President. Sufficiently clear. ARTICLE 64 ARTICLE 64 The following requirements should be fulfilled in order to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court: a. Indonesian citizen; b. devout to the Only God; c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia; d. minimum age of 30 (thirty) years; e. physically healthy based on a doctor’s certificate; f. has an authoritative bearing, honest, just and has a nondisgraceful behavior; g. has a level of education of at least university degree (S1), III - 91 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes except for the Ad-Hoc Judge in the Supreme Court should have at least university degree on laws; and h. Minimum of 5 years experience in the industrial relations field. ARTICLE 65 ARTICLE 65 (1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the Industrial Court should take an oath or promise according to his/her religion/belief, which oath or promise is as follows: “I swear/promise truthfully that to obtain this position, I shall, directly or indirectly, by using whatever name or way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/ promise that, for carrying out or for not carrying out something in this position, I shall not at all receive a promise or gift, directly or indirectly from whomsoever. I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy of life, state principle and national ideology, and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws and regulations that apply for the Republic of Indonesia. I swear/promise that I shall always carry out my function honestly, thoroughly and without discriminating people, and shall undertake my obligations, as good as possible and as just as possible based on the prevailing laws and regulations”. (2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the Industrial Regulations Court is made by the Head of the District Court or appointed official. ARTICLE 66 Subsection (1) At the time the sacred oath/pledge is taken, certain words are spoken in accordance with the person’s religion, for example for adherents of Islam, “For God’s Sake” is said before repeating the oath, and for Protestants/ Catholics the words “May God Help Me” will be said after repeating the oath. Subsection (2) Sufficiently clear. ARTICLE 66 (1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as: a. member of the State High Institution; III - 92 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. head of region / head of territory; legislative institution at the regional level; civil servant; member of the Indonesian Army / Police; official of political party; lawyer; mediator; conciliator; arbitrator; or official member of workers union / labor union or official member of employers organization; (2) In case an Ad-Hoc Judge serves concurrently with the position as meant in subsection (1), then his/her position as Ad-Hoc Judge may be revoked. ARTICLE 67 ARTICLE 67 (1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at the Supreme Court may be honorably discharged from their positions due to the following reasons: a. passed away; b. upon own request; c. continuously ill, physically or mentally, during (12) months; d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the AdHoc Judge in Industrial Relations Court, and has reached the age of 67 (sixty seven) years for the AdHoc Judge in the Supreme Court: e. not competent in carrying out his/her duties; f. upon request of the employers organization or upon proposal of the Workers union / labor union; or g. Has completed his / her office term. (2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and he/she may be reappointed for another 1 (one) office term. III - 93 Subsection (1) Letter a Sufficiently clear. Letter b Sufficiently clear. Letter c What is meant by continuous physical or mental illness is a disability that causes the sufferer to be no longer capable of carrying out his tasks well. Letter d Sufficiently clear. Letter e What is meant by not competent in carrying out duties is for example, often making mistakes in conducting tasks for reasons of lack of ability. Letter f Sufficiently clear. Letter g Sufficiently clear. Subsection (2) Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 68 ARTICLE 68 (1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is dishonorably discharged from his/her position due to the following reasons: a. condemned for being guilty of conducting criminal acts; b. neglects the obligation to carry out his/her work assignments without valid reasons for 3 (three) successive times during the period of 1 (one) month; or c. violates his/her oath or promise. (2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in subsection (1) is carried out after the concerned is given the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court. ARTICLE 69 Sufficiently clear. ARTICLE 69 (1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article 68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court may be temporary discharged from his/ her position. (2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as meant in Article 68 subsection (1). Sufficiently clear. ARTICLE 70 ARTICLE 70 (1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is conducted by considering the need and available resources. (2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at the District Court is at least 5 (five) persons from the workers union / labor union and 5 (five) persons from the employers organization. Sufficiently clear. ARTICLE 71 ARTICLE 71 (1) The Head of the District Court controls the implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge, Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute Registrar of the Industrial Relations Court at the District Court in accordance with his/her authority. III - 94 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (2) The Head of the Supreme Court controls the implementation of duties by Supreme Court Judge, Junior Registrar and Substitute Registrar of the Industrial Relations Court at the Supreme Court in accordance with his/her authority. (3) In carrying out the control as meant in subsection (1), the Head of the District Court may give instructions and reprimands to the Judge Ad-Hoc Judge. (4) In carrying out the control as meant in subsection (2), the Head of the Supreme Court may give instructions and reprimands to the Supreme Court Judge. (5) The instructions and reprimands as meant in subsection (3) and subsection (4) may not diminish the freedom of the Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme court Judge in the Industrial Relations Court in the hearing and adjudication process of disputes. ARTICLE 72 ARTICLE 72 The method of appointing, honorably discharging, dishonorably discharging, and temporary discharge of the AdHoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is regulated with a Government Regulation. Sufficiently clear. ARTICLE 73 ARTICLE 73 Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court are regulated with a Presidential Decree. What is meant by benefits and other rights are official benefits and employee rights related to their welfare. SECTION THREE SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR ARTICLE 74 ARTICLE 74 (1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court is formed at each District Court that has an Industrial Relations Court, managed by a Junior Registrar. (2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as meant in subsection (1) is assisted by several Substitute Registrars. III - 95 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 75 ARTICLE 75 (1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection (1) is assigned to: a. maintain the administration of the Industrial Relations Court; and b. make the list of all received disputes in the book of cases. (2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b contains at least the sequence number, names and addresses of the parties, and types of disputes. Sufficiently clear. ARTICLE 76 ARTICLE 76 The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery of summons letters for trial, delivery of verdict notifications and delivery of verdict copies. ARTICLE 77 Sufficiently clear. ARTICLE 77 (1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars at the Industrial Relations Court are appointed from Civil Servants of Government Agencies that are responsible in the manpower sector. (2) Provisions concerning the requirements, appointment and discharge procedures of the Junior Registrars and Substitute Registrars at the Industrial relations Court are further regulated in accordance with the prevailing laws and regulations. ARTICLE 78 Sufficiently clear. ARTICLE 78 The organization structure, tasks and work procedure of the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court. ARTICLE 79 Sufficiently clear. ARTICLE 79 (1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial process in the Minutes. (2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar. III - 96 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 80 ARTICLE 80 (1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases and other documents that are kept in the Sub-Registrar Office. (2) All books of cases and other documents as meant in subsection (1), either the originals or photocopies, may not be taken out of the work room of the Sub-Registrar Office, unless upon permission of the Junior Registrar. Sufficiently clear. CHAPTER 1V SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT SECTION ONE SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE SUBSECTION 1 SUBMISSION OF PETITION ARTICLE 81 ARTICLE 81 The Petition of the industrial relations dispute is submitted to the Industrial Relations Court in the District Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/ laborer. ARTICLE 82 Sufficiently clear. ARTICLE 82 The petition which is filed by the worker/laborer as meant in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, may only be submitted within the grace period of 1 (one) year after the decision of the employer is received or informed. Sufficiently clear. ARTICLE 83 Subsection (1) Sufficiently clear. (1) The petition submitted without attachment of the minutes of settlement through mediation or conciliation, should be returned by the judge of the Industrial Relations Court to the plaintiff. (2) The judge is required to examine the contents of the petition, and if there are shortages, then the judge should request the plaintiff to complete his/her petition. III - 97 ARTICLE 83 Subsection (2) During the process for completion of a legal action, the Registrar or Alternate Registrar may assist in drawing up/completing the legal action. For that purpose the Registrar or Alternate Registrar records in a special register data that includes: Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes - full names and addresses or the location of the parties; - the main topics that become a matter of dispute or the reason for the legal action; - documents, correspondence, and other matters that are considered necessary by the plaintiff. ARTICLE 84 ARTICLE 84 Petitions that involve more than one plaintiff may be submitted collectively by providing a special power of attorney. ARTICLE 85 Sufficiently clear. ARTICLE 85 (1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition before the defendant gives his/her reply. (2) If the defendant has given his/her reply on the petition, then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall be agreed by the Industrial Relations Court upon approval of the defendant. ARTICLE 86 Sufficiently clear. ARTICLE 86 In case the dispute on rights and/or dispute on interest are followed by a dispute on termination of employment, then the Industrial Relations Court should first sentence the cases of dispute on rights and/or dispute on interest. Sufficiently clear. ARTICLE 87 ARTICLE 87 The workers union/labor union and employer’s organization may act as legal proxies in the court session at the Industrial Relations Court in order to represent their members. What is meant by trade unions as mentioned under this Article cover the management at the company level, the district/ city level, the provincial level, and central level, whether for trade unions, federation members, or confederation members. ARTICLE 88 ARTICLE 88 (1) Within the period of not later than 7 (seven) working days after receiving the petition, the Chairman of the District Court should have established the Council of Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council III - 98 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes Members who will investigate and adjudicate the dispute. (2) The Ad-Hoc Judges as meant in subsection (1) consist of one Ad-Hoc Judge whose appointment is proposed by the workers union/labor union and one Ad-Hoc Judge whose appointment is proposed by the employer’s organization as meant in Article 63 subsection (2). (3) A Substitute Registrar is appointed to assist the duties of the Council of Judges as meant in subsection (1). SUBSECTION 2 HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE ARTICLE 89 ARTICLE 89 (1) The Chairman of the Council of Judges should have held the first court session within the period of not later than 7 (seven) working days after the establishment of the Council of Judges. (2) The summons to appear before court is conducted legally if it is submitted through a letter of summons to the parties at their addresses of domicile or if their addresses of domicile are not known, then it is submitted to their latest addresses of domicile. (3) If the summoned party is not at his/her address of domicile or latest address of domicile, then the letter of summons is submitted through the Head of Sub-district or Village Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or latest address of domicile of the summoned party. (4) The letter of summons which is received by the summoned party himself/herself or through another party should be given a receipt. (5) If the address of domicile or latest address of domicile is not known, then the letter of summons is placed on the announcement board at the building in the Industrial Relations Court that investigates the case. ARTICLE 90 Sufficiently clear. ARTICLE 90 (1) The Council of Judges may summon the witness or expert witness to be present at the court session in order to request or listen to his/her information. (2) Anyone who is summoned to become a witness or expert III - 99 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes witness is required to comply with the summons and to give his/her testimony under oath. ARTICLE 91 ARTICLE 91 (1) Anyone who is requested by the Council of Judges to provide his/her information in order to conduct investigation for settlement of the industrial relations dispute based on this act, should provide it unconditionally, including the opening of books and showing of necessary letters / documents. (2) In case the information requested by the Council of Judges is related to someone who due to his/her position should maintain the confidentiality, then the procedure to be followed should be as regulated in the prevailing laws and regulations. (3) The judge should keep in confidence all requested information as meant in subsection (1). Subsection (1) Sufficiently clear. Subsection (2) As in certain positions, according to legal provisions, secrecy must be maintained, any request for information from the person in that position and serving as an expert witness, must comply with a certain predetermined procedure. Subsection (3) Sufficiently clear. ARTICLE 92 ARTICLE 92 The court session is valid if it is held by the Council of Judges, as is meant in Article 88 subsection (1). The stipulation requiring the validity of the court proceedings under this Article is for the purpose of guaranteeing that every session must be attended by the Judge and all the Ad-Hoc Judges who have been appointed to resolve the dispute. ARTICLE 93 ARTICLE 93 (1) In case one of the parties or the parties are unable to be present in the court session without any accountable reasons, then the Chairman of the Council of Judges determines the next session day. (2) The next session day as meant in subsection (1) is determined within the period of not later than 7 (seven) working days as of the date of deferment. (3) The deferment due to the absence of one of the parties or the parties is maximum 2 (two) times. ARTICLE 94 Sufficiently clear. ARTICLE 94 (1) In case after being properly summoned as meant in Article 89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing before court at the last deferred session as meant in Article III - 100 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes 93 subsection (3), then his/her petition is considered as abrogated, however, the plaintiff has the right to file his/ her petition one more time. (2) In case after being properly summoned as meant in Article 89, the defendant or his/her legal proxy is not appearing before court at the last deferred session as meant in Article 93 subsection (3), then the Council of Judges may conduct the hearing and adjudicate the dispute without presence of the defendant. ARTICLE 95 ARTICLE 95 (1) The session held by the Council of Judges is open for public, unless otherwise determined by the Council of Judges. (2) Everyone present in the court session should respect the court session order. (3) Everyone who is not following the court session order as meant in subsection (2) may be taken out of the room, after obtaining an admonition from or upon order of the Chairman of the Council of Judges. ARTICLE 96 Sufficiently clear. ARTICLE 96 (1) If in the first court session it is decidedly proven that the employer is not undertaking his/her obligations as meant in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, then the Chairman of Judge of the court session should immediately pass the Interval Verdict in form of an order to pay the wage and other rights that are normally received by the concerned worker/ laborer. (2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be passed on the court session day or on the second court session day. (3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried out by the employer, then the Chairman of Judge of the court session may order a Collateral Confiscation through a Decree of the Industrial Relations Court. (4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be used against the Interval Verdict as meant in subsection III - 101 Subsection (1) A request for a temporary verdict is submitted together with the legal action dossier. Subsection (2) Sufficiently clear. Subsection (3) Sufficiently clear. Subsection (4) Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (1) and the Decree as meant in subsection (3). ARTICLE 97 ARTICLE 97 The obligations that should be carried out and/or the rights that should be received by the parties or by one of the parties on each settlement of the industrial relations dispute are determined in the verdict of the Industrial Relations Court. Sufficiently clear. SUBSECTION 3 HEARING WITH FAST PROCEDURE ARTICLE 98 ARTICLE 98 (1) In case there are rather urgent interests of the parties and/ or of one of the parties, which should be able to be concluded from the reasons of petition of the concerned, then the concerned parties or one of the parties may request the Industrial relations Court to speed up the hearing of the dispute. (2) Within the period of 7 (seven) working days after the request as meant in subsection (1) is received, the Chairman of the District Court issues the decision on whether such request is granted or not. (3) No legal efforts can be used against the decision as meant in subsection (2). ARTICLE 99 Sufficiently clear. ARTICLE 99 (1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1) is granted, then the Chairman of the District Court determines the council of judges, day, place and time of the court session without going through the examination process, within the period of 7 (seven) working days after the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued. (2) The grace periods for reply and authentication by both parties are respectively determined as not exceeding 14 (fourteen) working days. III - 102 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes SUBSECTION 4 PASSING OF VERDICT ARTICLE 100 ARTICLE 100 The Council of Judges takes into consideration the laws, existing agreements, customs and justice in passing the verdict. ARTICLE 101 Sufficiently clear. ARTICLE 101 (1) The verdict of the Council of Judges is read out in the court session, which is open for public. (2) In case one of the parties is not present in the session as meant in subsection (1), then the Chairman of the Council of Judges orders the Substitute Registrar to submit the notification on the verdict to the party that is not present. (3) The verdict of the Council of Judges as meant in subsection (1) is the verdict of the Industrial Relations Court. (4) Non-compliance of the stipulation as meant in subsection (2) causes that the Court verdict is not legal and has no legal power. Sufficiently clear. ARTICLE 102 ARTICLE 102 (1) The court verdict should contain: a. head of the verdict which reads : “FOR JUSTICE BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD”; b. names, positions, citizenships, residences or domiciles of the disputed parties; c. summary of the plaintiff ’s petition and the defendant’s reply; d. considerations on each submitted evidence, data and matters that take place in the court session during the dispute hearing; e. legal reasons as basis of the dispute; f. injunction on the dispute; g. day, date of verdict, name of Judge, name of Ad-Hoc Judge who adjudicate, name of Registrar, and information on the presence or absence of the parties. (2) Non-compliance with one of the stipulations as meant in subsection (1) may cause the abrogation of the Industrial Relations Court verdict. III - 103 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 103 ARTICLE 103 The Council of Judges should pass the verdict on the industrial relations dispute settlement within the period of not later than 50 (fifty) working days as of the date of the first court session. ARTICLE 104 Sufficiently clear. ARTICLE 104 The Industrial Relations Court verdict, as meant in Article 103, is signed by the Judge, Ad-Hoc Judges and Substitute Registrar. Sufficiently clear. ARTICLE 105 ARTICLE 105 The Industrial Relations Substitute Registrar should have submitted the notification on the verdict to the party that is not present in the court session as meant in Article 101 subsection (2) within the period of not later than 7 (seven) working days after the verdict of the Council of Judges is read out. Sufficiently clear. ARTICLE 106 ARTICLE 106 The Junior Registrar should have produced the verdict copy within not later than 14 (fourteen) working days after such verdict is signed. This stipulation means that the time frame for arriving at the verdict in its original form and a copy of that verdict is limited to 14 (fourteen) working days so that the matter is not detrimental to the party’s legal rights. ARTICLE 107 ARTICLE 107 The Registrar of the District Court should have dispatched the verdict copy to the parties within the period of not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is produced. Sufficiently clear. ARTICLE 108 ARTICLE 108 The Chairman of the Council of Judges of the Industrial relations Court may pass a verdict that can be implemented in advance, although a resistance or supreme court is filed towards the verdict. Sufficiently clear. ARTICLE 109 ARTICLE 109 The verdict of the Industrial Relations Court at the District Court on the dispute of interest and dispute between workers unions/labor unions in one company is a final and permanent verdict. III - 104 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 110 ARTICLE 110 The verdict of the Industrial Relations Court at the District Court on the dispute of rights and dispute of termination of employment has permanent legal power if no appeal is filed to the Supreme Court within the period of not later than 7 (seven) working days: a. for the party being present, as of the date the verdict is read out in the session of the council of judges; b. for the party being absent, as of the date the verdict notification is received. Sufficiently clear. ARTICLE 111 ARTICLE 111 One of the parties or the parties intended to file the appeal to the Supreme Court should submit it in writing through the Sub-Registrar’s Office of the Industrial Relations Court at the local District Court. What is meant by the local District Court under this Article is the District Court that decides on the aforementioned case. ARTICLE 112 ARTICLE 112 The Sub-Registrar’s Office of the Industrial relations Court at the District Court should have submitted the case dossiers to the Head of the Supreme Court within the period of not later than 14 (fourteen) working days as of the date the appeal is received. Sufficiently clear. SECTION TWO SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE ARTICLE 113 ARTICLE 113 The Council of Supreme court Judges consists of one Supreme Court Judge and two Ad-Hoc Judges, who are assigned to investigate and preside over industrial relations dispute cases at the Supreme Court, and are appointed by the Head of the Supreme Court. Sufficiently clear. ARTICLE 114 ARTICLE 114 Procedure of appeal to the Supreme Court and settlement of the dispute on rights and dispute on termination of employment by the Supreme Court Judge, are carried out in accordance with the prevailing laws and regulations. III - 105 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 115 ARTICLE 115 Settlement of the dispute on rights or dispute on termination of employment at the Supreme Court is not later than 30 (thirty) working days as of the date the appeal is received. Sufficiently clear. CHAPTER V ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND CRIMINAL PROVISIONS SECTION ONE ADMINISTRATIVE SANCTIONS ARTICLE 116 ARTICLE 116 (1) The Mediator who is unable to settle the industrial relations dispute within the period of 30 (thirty) working days without any valid reasons as meant in Article 15, may be imposed an administrative sanction in form of a disciplinary punishment in accordance with the laws and regulations that apply for Civil Servants. (2) The Junior Registrar who has not produced the verdict copy within the period of 14 (fourteen) working days after the verdict is signed as meant in article 106, and the Registrar who has not dispatched such copy to the parties within the period of 7 (seven) working days as meant in Article 107, may be imposed an administrative sanction in accordance with the prevailing laws and regulations. ARTICLE 117 Sufficiently clear. ARTICLE 117 (1) The Conciliator who has not submitted the written advice within the period of 14 (fourteen) working days as meant in Article 23 subsection (2) letter b, or has not assisted the parties to enter into a Collective Agreement within the period of not later than 3 (three) working days as meant in Article 23 subsection (2) letter e, may be imposed an administrative sanction in form of a written reprimand. (2) The Conciliator who has received 3 (three) written reprimands as meant in subsection (1), may be imposed an administrative sanction in form of temporary revocation III - 106 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes as conciliator. (3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed after the concerned has settled the dispute that is being handled by him/her. (4) The administrative sanction of temporary revocation as conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three) months. ARTICLE 118 ARTICLE 118 The Conciliator may be imposed an administrative sanction in form of permanent revocation as conciliator if the concerned: a. has been passed 3 (three) times the administrative sanction in form of temporary revocation as conciliator as meant in Article 117 subsection (2); b. is proven of conducting a criminal act; c. has misused his/her position; and/or d. has divulged the requested information as meant Article 22 subsection (3). ARTICLE 119 Sufficiently clear. ARTICLE 119 (1) The Arbitrator who is unable to settle the industrial relations dispute within the period of 30 (thirty) working days and within the extension period as meant in Article 40 subsection (1) and subsection (3) or has not prepared the minutes of hearing as meant in Article 48, may be imposed an administrative sanction in form of a written reprimand. (2) The Arbitrator who has received 3 (three) written reprimands as meant in subsection (1) may be imposed an administrative sanction in form of temporary revocation as arbitrator. (3) The sanction as meant in subsection (2) may only be passed after the concerned has settled the dispute that is being handled by him / her. (4) The administrative sanction of temporary revocation as arbitrator is imposed for a period of maximum 3 (three) months. III - 107 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 120 ARTICLE 120 (1) The Arbitrator may be imposed the administrative sanction in form of permanent revocation as arbitrator if the concerned: a. has made at least 3 (three) arbitration decisions on industrial relations disputes that are exceeding his/her authority and are contradicting the laws and regulations as meant in Article 52 subsection (1) letters d and e, and the Supreme Court has granted the appeal judicial review on the decisions of such arbitrator. b. is proven of conducting a criminal act; c. has misused his/her position; d. has been passed 3 (three) times the administrative sanction in form of temporary revocation as arbitrator, as meant in Article 119 subsection (2). (2) The administrative sanction in form of permanent revocation as arbitrator, as meant in subsection (1), commences effective as of the date the arbitrator has settled the dispute that is being handled by him/her. ARTICLE 121 Sufficiently clear. ARTICLE 121 (1) The administrative sanctions as meant in article 117, Article 118, Article 119 and Article 120 are passed by the Minister or appointed official. (2) The method of imposing and revoking sanctions shall be further regulated with a Ministerial Decision. Sufficiently clear. SECTION TWO CRIMINAL PROVISIONS ARTICLE 122 ARTICLE 122 (1) Anyone who violates the stipulations as meant in Article 12 subsection (1), Article 22 subsection (1) and subsection (3), Article 47 subsection (1) and subsection (3), Article 90 subsection (2), Article 91 subsection (1) and subsection (3), is imposed the criminal sanction of minimum 1 (one) month and maximum 6 (six) months confinement and or a fine of minimum Rp. 10,000,000.00 (ten million rupiah) and maximum Rp. 50,000,000.00 (fifty million rupiah). III - 108 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes (2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal act. ARTICLE 123 Sufficiently clear. CHAPTER VI OTHER PROVISIONS ARTICLE 123 In case industrial relations disputes occur at social operations and other operations that are not in form of company operations, but have a management and employ other people by paying wages, then such disputes are settled in accordance with the stipulations of this act. CHAPTER VII TRANSITIONAL PROVISIONS ARTICLE 124 ARTICLE 124 (1) Before the Industrial relations Court is established as meant in Article 59, the Regional Labor Dispute Settlement Committee and the Central Labor Dispute Settlement Committee shall still carry out their functions and duties in accordance with the prevailing laws and regulations. (2) With the establishment of the Industrial Relations Court based on this act, then the industrial relations disputes and terminations of employment that have been proposed to: a. Regional Labor Dispute Settlement Committee or other institutions of similar level that are settling those industrial relations disputes or terminations of employment which have not been adjudicated yet, are settled by the Industrial Relations Court at the local District Court; b. Decisions of the Regional Labor Dispute Settlement Committee or other institutions as meant in letter a, that are rejected and appealed by one of the parties or the parties, and such decisions are received within the grace period of 14 (fourteen) days, are settled by the III - 109 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes Supreme Court; c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other institutions of similar level that are settling those industrial relations disputes or terminations of employment which have not been adjudicated yet, are settled by the Supreme Court; d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement Committee or other institutions as meant in letter c, that are rejected and appealed by one of the parties or the parties, and such decisions are received within the grace period of 90 (ninety) days, are settled by the Supreme Court. CHAPTER VIII CLOSING PROVISIONS ARTICLE 125 ARTICLE 125 (1) With the enactment of this law, then: a. Law Number 22 of 1957 concerning labor Dispute Settlement (State Gazette of 1957 Number 42, Supplement of State Gazette Number 1227); and b. Law Number 12 of 1964 concerning Termination of Employment at Private Companies (State Gazette of 1964 Number 93, Supplement of State Gazette Number 2686); Are declared as no more applicable. (2) At the time this act take into effect, all Laws and Regulations that are the Implementation Regulations of Law Number 22 of 1957 concerning Labor Dispute Settlement (State Gazette of 1957 Number 42, Supplement of State Gazette Number 1227) and Law Number 12 of 1964 concerning termination of Employment at Private Companies (State Gazette of 1964 Number 93, Supplement of State Gazette Number 2686) are declared as still applicable, as long as they are not contradicting the provisions in this act. III - 110 Sufficiently clear. Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes ARTICLE 126 ARTICLE 126 This act shall be effective 1 (one) year after its promulgation. For the cognizant of the public, orders the promulgation of this act by having it place on the State Gazette of the Republic of Indonesia. The grace period in this Article is meant to prepare for the provision and appointment of the Judge and Ad Hoc Judges, preparation of infrastructure and facilities such as providing office space and the courtroom/hall for the Industrial Relations Court. Legalized in Jakarta On 14 January 2004 SUPPLEMENT TO THE STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 4356 PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Promulgated in Jakarta On 14 January 2004 STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA BAMBANG KESOWO STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 6 OF 2004 III - 111