Uploaded by drajatachmad

Labor Law

advertisement
Undang-undang Ketenagakerjaan
Indonesia
Undang-undang No. 21/2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Undang-undang No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang No. 2/2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Major Labour Laws
of Indonesia
Act No. 21 of 2000 on Trade Unions
Act No. 13 of 2003 on Manpower
Act No. 2 of 2004 on Industrial Relations Disputes Settlement
Prakata
D
engan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada
tanggal 14 Januari 2004, melalui Lembaran Negara Nomor 6
Tahun 2004, lengkaplah sudah instrumen hukum utama dalam
pelaksanaan reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Sebelum pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004,
kita telah memiliki Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga undang-undang di bidang
ketenagakerjaan tersebut merupakan gambaran dan arah kebijakan
ketenagakerjaan, kebutuhan masa kini serta pengejawantahan rasa
keadilan masyarakat di bidang ketenagakerjaan.
Memang terdapat pihak-pihak yang tidak menyetujui atau
menganggap ketiga undang-undang ini belum memenuhi aspirasi
masyarakat. Hal ini tentu tidak dapat dihindarkan, karena tidak mungkin
memenuhi semua keinginan masyarakat, karena satu sama lain
mempunyai aspirasi atau kepentingan yang berbeda. Dengan mengingat
semua perbedaan itu, ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam ketiga
undang-undang tersebut merupakan rumusan yang maksimal dapat kita
hasilkan.
Yang lebih membanggakan kita bangsa Indonesia adalah bahwa
ketiga undang-undang tersebut dibahas pula oleh para konstituent atau
pengguna dan undang-undang ini.
Dengan demikian baik isi maupun proses pembuatannya telah
memenuhi prinsip-prinsip demokratisasi, suatu hal yang didambakan
oleh dunia ketenagakerjaan terutama sejak dimulainya era reformasi
tahun 1998.
i
Hal yang paling penting dari suatu peraturan perundangan adalah
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut, dan
hal mi justru yang paling sulit. Untuk pelaksanaan ketentuan baru
berbagai upaya harus disiapkan yang mencakup di dalamnya perubahan
cara berpikir, perubahan sikap mental, perubahan atau pembangunan
institusi/kelembagaan baru. Pembangunan kelembagaan ini berkaitan
pula dengan dukungan sumber daya baik manusia maupun keuangan.
Memang sama sekali bukan hal yang mudah, namun bukan hal yang
tidak mungkin bahkan merupakan kewajiban kita untuk memenuhinya,
karena sudah merupakan amanat undang-undang.
Salah satu syarat dan pelaksanaan undang-undang yang efektif
adalah adanya masyarakat yang sadar hukum yang merupakan juga upaya
untuk mengubah sikap mental. Upaya untuk menyadarkan masyarakat
tentang adanya nilai-nilai baru di bidang ketenagakerjaan yang
dirumuskan dalam 3 (tiga) undang-undang ini, dilakukan antara lain
melalui sosialisasi.
Sehubungan dengan upaya sosialisasi, kami harapkan himpunan
undang-undang mi dapat membantu proses penyadaran akan nilainilai
baru tersebut.
Akhirnya kepada Kantor International Labour Organisation (ILO)
di Jakarta termasuk ILO/USA Declaration Project yang telah membantu
serta berpartisipasi dalam proses reformasi hukum ketenagakerjaan di
Indonesia sejak tahun 1998 sampai diundangkannya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004, kami mengucapkan penghargaan dan terima
kasih. Diharapkan kerja sama antara Pemerintah khususnya Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan ILO dapat ditingkatkan utamanya
dalam pelaksanaan ketiga undang-undang ini.
Semoga himpunan peraturan perundangan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Jakarta, April 2004
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia
Jacob Nuwa Wea
ii
Preface
I
ndonesia has completed all the main legal instruments of labour
law reform by enacting the Act No. 2 of 2004 regarding Industrial
Relations Dispute Settlement on 14 January 2004, through the
State Gazette No. 6 of 2004.
Act No. 21 of 2000 regarding Trade Union and Act No. 13 of
2003 regarding Manpower has been enacted before this law. These three
Acts represent the policy direction in the field of manpower, taking into
account future needs and the interest of ensuring justice in society.
It is acknowledged that some parties feel that the Acts do not meet
the community interest. This condition cannot be avoided, because it is
impossible to cover all needs in the community due to differences in
interest. Considering these differences, the provisions of the three Acts
aimed to accommodate all the various interests so that the Acts could
provide maximal solutions that can be achieved under the circumstances.
It can be clearly noted that all constituents or the parties affected
by the laws have been involved in various consultations before the Acts
were enacted and the contents and the drafting process of the three Acts
are in line with democratic principles as expected by the industrial
relations society since the reform movement began in 1998.
More importantly is the need for the effective enforcement and
implementation of the provisions of the Acts, and this can be a difficult
thing to do. To be effectively implemented, various efforts need to be
done including change in paradigm, mental attitude and institutional
adjustment and development. Institutional development is influenced
by the availability of human and financial resources. All of these are not
easy task, but it is not impossible to achieve since such obligation is
mandated by the Acts.
iii
One of the requirements for the effective implementation of the
Acts is community awareness and attitude changes as demanded by the
legislation. This can be done by providing support in the socialization
of the three Acts and through the publication of a compilation of the
Acts.
We thank and convey our appreciation to ILO Jakarta Offices
including the ILO/USA Declaration Project, which has assisted and
participated in the process of labour law reformation in Indonesia since
1998 until the enactment of the Act No.2 of 2004. We hope that the
cooperation between the Government of Indonesia, particularly the
Ministry of Manpower and Transmigration, and the ILO can contonue
to improve to ensure the effective implementation of the three Acts.
We hope that this compilation of the Labour Acts will be of real
benefit to all parties.
Jakarta, April 2004
Minister of Manpower and Transmigration
Republic of Indonesia
Jacob Nuwa Wea
iv
Kata Pengantar
P
engundangan Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menandakan
bahwa ada tiga undang-undang inti untuk meggantikan undangundang yang lama seperti yang digambarkan oleh Program Reformasi
Hukum Perburuhan di Indonesia. Dua undang-undang lainnya adalah
Undang-undang No.21 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
diundangkan pada tanggal 4 Agustus 2000 dan Undang-undang No.13
tentang Tenaga Kerja yang berlaku efektif pada tanggal 25 Maret 2003.
Penyelesaian program legislatif ini adalah peristiwa penting dalam
sejarah perburuhan di Indonesia. Pemerintah, bekerja sama dengan
organisasi pekerja dan pengusaha, telah mencapai tujuannya untuk
menciptakan kerangka hukum dasar yang mengatur hubungan pekerja
dan pengusaha sejalan dengan aspirasi dan kepentingan nasional serta
standar dan praktek perburuhan internasional. Pemerintah telah sukses
meletakkan pondasi hukum perburuhan yang dirancang utamanya untuk
meningkatkan hubungan industrial yang baik dan harmonis sekaligus
menghormati hak-hak pekerja dan memastikan efisiensi, stabilitas dan
kesetaraan di tempat kerja.
Program Reformasi Hukum Perburuhan dimulai pada tahun 1998.
Program tersebut mengikuti peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun
yang sama yang mempertimbangkan adanya pembenahan atas peranan
demokrasi di Indonesia dan pengratifikasian Konvensi ILO No.87
mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi. Salah satu efek dari perubahan tersebut adalah penolakan
atas kebijakan lama yang mengijinkan satu serikat pekerja saja yang
memiliki monopoli untuk mewakili pekerja, yaitu dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah mengenai Pendaftaran Serikat Pekerja/Serikat
Buruh pada tanggal 27 Mei 1998. Sejak itu, jumlah serikat pekerja
v
yang bebas dan mandiri terus bertambah dengan cepat dan saat ini
sudah ada lebih dari 80 federasi serikat pekerja yang terdaftar di Indonesia.
Mungkin berguna untuk mengingat kembali rekomendasi dari Misi
Kontak Langsung ILO ke Indonesia pada bulan Agustus 1998 yang
berisi ukuran- ukuran penilaian yang berkaitan dengan reformasi hukum
perburuhan. Ukuran tersebut termasuk memastikan kesesuaian program
reformasi dengan Konvensi ILO No.87 dan 98, pembentukan badan
konsultasi tripartit untuk persiapan dan pelaksanaan peraturan
perburuhan dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang
efektif dan mandiri. Pada bulan Desember 1998, Letter of Intent (Surat
Kesepakatan) ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan ILO –
dimana Pemerintah menegaskan kembali komitmennya untuk
meratifikasi seluruh Konvensi inti ILO dan ILO berkewajiban untuk
menyediakan bantuan teknis untuk peratifikasian dan pelaksanaan
Konvensi-konvensi tersebut.
Indonesia menjadi negara pertama di wilayah Asia yang meratifikasi
seluruh delapan Konvensi inti ILO. Sebagai balasannya, ILO
menyediakan bantuan teknis dalam proses pelaksanaannya. Salah satu
bentuk bantuan teknis tersebut adalah ILO/USA Declaration Project,
yang disokong oleh Departemen Perburuhan Amerika Serikat, yang
bertujuan untuk meningkatkan kebebasan berserikat dan hak yang efektif
untuk berunding bersama, untuk membantu terciptanya hubungan
perburuhan yang baik dan untuk memperkuat kapasitas dari pihak
tripartit di Indonesia.
Fase I dari Proyek Deklarasi dilaksanakan pada tahun 2001-2003
sedangkan Fase II mencakup 2003-2004. Proyek telah melakukan
sejumlah kegiatan untuk pihak tripartit yang berkenaan dengan
pembangunan kapasitas, kemampuan bernegosiasi, kerjasama bipartit,
kesetaraan jender, penyelesaian sengketa dan pelaksanaan undang-undang
perburuhan yang baru. Salah satu contoh dari kontribusi proyek adalah
dukungan yang diberikan kepada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dalam memformulasikan dan mempublikasikan buku
Panduan dan Manual atas undang-undang perburuhan yang baru dan
penerbitan buku mengenai tiga undang-undang ketenagakerjaan
Indonesia.
Peraturan perundang-undangan baru ini adalah bukti yang konkrit
atas keberhasilan yang penting dari pihak tripartit termasuk anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dalam era reformasi di Indonesia. Dibutuhkan
waktu lebih dari lima tahun untuk menyelesaikan program reformasi
hukum perburuhan dan para pihak telah bekerja keras untuk
vi
menyelesaikannya. Hasilnya mungkin tidaklah dapat diterima oleh semua
pihak, dimana hal tersebut biasa terjadi dalam memformulasikan hukum
baru, namun dapat dicatat bahwa peraturan perundang-undangan
tersebut mewakili produk proses demokrasi dari dialog sosial dan
konsultasi yang melibatkan semua pihak yang terkait.
ILO sangat senang dapat membantu Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dalam mempublikasikan perundang-undangan
perburuhan yang baru. Kami yakin bahwa undang-undang ini dapat
secara efektif dilaksanakan sebagai instrumen yang benar dalam
mempromosikan pekerjaan yang layak, kedamaian industrial dan keadilan
sosial bagi semua pihak.
Jakarta, April 2004
Alan Boulton
Carmelo C.Noriel
Direktur
ILO Jakarta
Chief Technical Advisor
ILO/USA Declaration Project
vii
Foreword
T
he enactment into law of the Settlement of Industrial
Relations Disputes Act No. 2 on 14 January 2004
marking the passage of the last of three centerpiece legislation
envisaged under the Labor Law Reform Program of the Government, is
a ground-breaking event in the labor history of Indonesia. The two
other laws are the Trade Union Act No. 21 which was promulgated on
4 August 2000 and the Manpower Act No. 13 which became law on
25 March 2003.
The Government in collaboration with workers’ and employers’
organizations has achieved the goal of establishing the basic legal
framework governing labor and employment relations in line with
national aspirations and interests as well as international labor standards
and practices particularly the fundamental principles and rights at work.
It has succeeded in putting in place a body of labor laws designed mainly
to promote sound and harmonious industrial relations while respecting
workers’ rights and to ensure efficiency, stability, and equity at the
workplace.
The Labor Law Reform Program was launched by the Government
in l998 as an aftermath of the historic events that year in Indonesia
which saw the reinstitution of democratic rule in the country and the
ratification of ILO Convention No. 87 concerning freedom of association
and protection of the right to organize. One of the immediate effects of
these changes was the renunciation of the old policy which allowed one
trade union to have a monopoly in representing the workers, with the
issuance of the Government Regulations on Registration of Workers
Organizations on 27 May 1998. Since then, the number of free and
independent trade unions grew at a very fast rate. There are now more
than 80 trade union federations registered in Indonesia.
ix
It may be useful to recall that the recommendations of the ILO
Direct Contacts Mission to Indonesia in August l998 contained several
measures related to labor law reforms. They included ensuring conformity
with ILO Conventions Nos. 87 and 98, the setting up of a tripartite
consultative body for the preparation and implementation of labor
legislation, and the establishment of an effective and impartial dispute
settlement mechanism. In December l998, a Letter of Intent was also
agreed upon by the Government of Indonesia and the ILO in which the
Government reaffirmed its commitment to ratify all the ILO core
Conventions with the ILO committing in turn to provide technical
assistance for the ratification and implementation of those Conventions.
Indonesia later became the first country in the Asian region to
ratify all the eight ILO core Conventions. In turn, the ILO provided
and continues to provide technical assistance in the entire process of
ratification and implementation. One form of such technical assistance
is the execution of the ILO/USA Declaration Project, supported by the
United States Department of Labor which was designed to promote
and realize freedom of association and the effective right to collective
bargaining, assist in establishing sound labor relations, and strengthen
the capacities of the tripartite constituents in Indonesia.
Phase I of the Declaration Project was implemented in 2001-2003
while the current Phase II covers 2003-2004. The Project has conducted
numerous activities for the tripartite constituents since 2001 dealing
with capacity-building, freedom of association, collective bargaining,
negotiation skills, bipartite cooperation, gender equality, dispute
settlement and the effective implementation of new labor laws. A solid
example of the project’s contributions is the support it has been providing
to the Ministry of Manpower and Transmigration in the formulation
and publication of User Guides and Manuals on the new legislation
including the present publication of the texts of the three new major
labor legislation of Indonesia.
The new legislation and its publication is a concrete testament to
one of the most important achievements of the tripartite constituents
including the member of the parliament in the reform era in Indonesia.
It took at least five years to complete it and they worked very hard for it.
The results may not be totally acceptable to all, which is not always
possible, but it may be reassuring to note that they indeed represent a
product of the democratic process of social dialogue and consultations
involving all the concerned parties.
The ILO takes great pleasure in joining and supporting the Ministry
x
of Manpower and Transmigration in this publication of the first three
major labor legislation under its reform program and expresses the hope
that the laws can and will be effectively implemented as genuine
instruments to promote decent work, industrial peace and social justice
for all.
Jakarta, April 2004
Alan J. Boulton
Carmelo C. Noriel
Country Director
ILO Jakarta
Chief Technical Advisor
ILO/USA Declaration Project
xi
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000
TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Penjelasan
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
Daftar Isi
BAB I
KETENTUAN UMUM
I-7
BAB II
ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN
I-8
BAB III
PEMBENTUKAN
I-10
BAB IV
KEANGGOTAAN
I-12
BAB V
PEMBENTUKAN DAN PENCATATAN
I-13
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
I-15
BAB VII
PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI
I-16
BAB VIII
KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN
I-17
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
I-18
BAB X
PEMBUBARAN
I-18
I-3
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
I-20
BAB XII
SANKSI
I-21
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
I-21
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
I-22
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
I-22
I-4
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2000
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2000
TENTANG
SERIKAT PEKERJA/
SERIKAT BURUH
1. UMUM
TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan
pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan,
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama
dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat,
pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan
serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab;
c. bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana
untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela
kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta
keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan Undang-undang
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
I-5
Pekerja/buruh sebagai warga negara
mempunyai persamaan kedudukan dalam
hukum, hal untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak, mengeluarkan
pendapat, berkumpul dalam satu organsasi,
serta mendirikan dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Hak menjadi anggota serikat pekerja/
serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/
buruh yang telah dijamin di dalam Pasal 28
Undang-undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan hak tersebut, kepada setiap
pekerja/buruh harus diberikan kesempatan
yang seluas-luasnya mendirikan dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh. Serikat
pekerja/serikat buruh berfungsi sebagai sarana
untuk memperjuangkan, melindungi, dan
membela kepentingan dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Dalam menggunakan hak tersebut, pekerja/
buruh dituntut bertanggung jawab untuk
menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu
kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena
itu, penggunaan hak tersebut dilaksanakan
dalam kerangka hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Hak berserikat bagi pekerja/buruh,
sebagaimana diatur dalam Konvensi
International Labour Organization (ILO)
Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, dan
Konvensi ILO Nomor 98 mengenai
Berlakunya Dasar-dasar daripada hak Untuk
Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama
sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi
bagian dari peraturan perundang-undangan
nasional.
Namun, selama ini belum ada
peraturan yang secara khusus mengatur
pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja/
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada
Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama
(Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1050);
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/
SERIKAT BURUH
buruh sehingga serikat pekerja/serikat buruh
belum dapat melaksanakan fungsinya secara
maksimal. Konvensi ILO yang dimaksud
menjamin hak berserikat pegawai negeri sipil,
tetapi karena fungsinya sebagai pelayan
masyarakat pelaksanaan hak itu diatur
tersendiri.
Pekerja/buruh merupakan mitra kerja
pengusaha yang sangat penting dalam proses
produksi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya,
menjamin kelangsungan perusahaan, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Sehubungan
dengan hal itu, serikat pekerja/serikat buruh
merupakan sarana untuk memperjuangkan
kepentingan pekerja/serikat buruh harus
memiliki rasa tanggung jawab atas
kelangsungan perusahaan dan sebaliknya
pengusaha harus memperlakukan pekerja/
buruh sebagai mitra sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan.
Masyarakat pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pengusaha di
Indonesia merupakan bagian dari
masyarakat dunia yang sedang menuju era
pasar bebas. Untuk menghadapi hal tersebut,
semua pelaku dalam proses produksi perlu,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh perlu menyadari pentingnya tanggung
jawab yang sama dengan kelompok
masyarakat lainnya dalam membangun
bangsa dan negara.
Serikat pekerja/serikat buruh didirikan
secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab oleh pekerja/buruh
untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/
buruh dan keluarganya.
Dalam pembentukan serikat pekerja/
serikat buruh dapat menggunakan nama
yang berbeda seperti antara lain perkumpulan
pekerja/perkumpulan buruh, organisasi
pekerja/organisasi buruh, sebagaimana diatur
dalam ketentuan undang-undang ini.
I-6
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
II. PASAL DEMI PASAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
PASAL 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Cukup jelas
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dan, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat
pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/
buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah
serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para
pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan.
Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan
serikat pekerja/serikat buruh.
Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan,
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain.
I-7
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
9. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi pekerja/serikat buruh, dan serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi pekerja/serikat
buruh lain, karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikatpekerjaan.
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
BAB II
ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN
PASAL 2
PASAL 2
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai
dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Meskipun serikat pekerja/serikat buruh
bebas menentukan asas organisasinya, serikat
pekerja/serikat buruh tidak boleh
menggunakan asas yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 karena Pancasila sebagai dasar
negara dan UndangUndang Dasar 1945
sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
PASAL 3
PASAL 3
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan:
Bebas ialah bahwa sebagai organisasi
dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya, serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh tidak dibawah
pengaruh atau tekanan dari pihak lain.
Terbuka ialah bahwa serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dalam
menerima anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh
tidak membedakan aliran politik, agama,
suku bangsa, dan jenis kelamin;
Mandiri ialah bahwa dalam mendirikan,
menjalankan, dan mengembangkan
I-8
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
organisasi ditentukan oleh kekuatan
sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain
di luar organisasi;
Demokratis ialah bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,
memperjuangkan, dan melaksanakan
hak dan kewajiban organisasi dilakukan
sesuai dengan prinsip demokrasi;
Bertanggung jawab ialah bahwa dalam
mencapai tujuan dan melaksanakan hak
dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh bertanggung jawab
kepada anggota, masyarakat, dan negara.
PASAL 4
PASAL 4
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan
perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/
buruh dan keluarganya.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja
bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama
di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab
pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan
kepemilikan saham di perusahaan.
I-9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan lembaga kerja
di bidang ketenagakerjaan, misalnya
Lembaga Kerjasama Bipartit, Lembaga
Kerjasama Tripartit dan lembaga-lembaga
lain yang bersifat Tripartit seperti Dewan
Pelatihan Kerja Nasional, Dewan
Keselamatan Kerja, atau Dewan Penelitian
Pengupahan. Pada lembaga-lembaga
tersebut di atas dibahas kebijakan yang
berkaitan dengan ketenagakerjaan/
perburuhan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
BAB III
PEMBENTUKAN
PASAL 5
PASAL 5
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurangkurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.
Cukup jelas
PASAL 6
PASAL 6
(1) Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan
menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh;
(2) Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan federasi serikat
pekerja/serikat buruh adalah gabungan
beberapa serikat pekerja/serikat buruh baik
berdasarkan sektor usaha, antar sektor usaha
sejenis atau tidak, jenis pekerjaan atau bentuk
lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
PASAL 7
PASAL 7
(1) Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk
dan menjadi anggota konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
Cukup jelas
PASAL 8
PASAL 8
Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur
dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya.
Yang dimaksud dengan penjenjangan
organisasi serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh sesuai dengan wilayah pemerintahan
yaitu tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan
nasional.
PASAL 9
PASAL 9
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas
pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha,
pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.
I - 10
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
PASAL 10
PASAL 10
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor
usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak
pekerja/buruh.
Yang dimaksud dengan sektor usaha
dalam pasal ini termasuk usaha jasa.
Contoh serikat pekerja/serikat buruh yang
dibentuk berdasarkan sektor usaha, yaitu
serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tekstil bergabung dengan
serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tekstil lainnya, atau serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan jasa
perhotelan bergabung dengan serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan jasa
perhotelan lainnya.
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/
serikat buruh yang dibentuk berdasarkan
jenis pekerjaan misalnya serikat pekerja/
serikat buruh tukang las atau serikat
pekerja/serikat buruh pengemudi.
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/
serikat buruh bentuk lain adalah suatu
serikat pekerja/serikat buruh yang
dibentuk tidak berdasarkan satu sektor
usaha tertentu atau jenis pekerjaan
tertentu. Misalnya pekerja/buruh di
perusahaan roti, pekerja/buruh di
perusahaan batik, dan pekerja/buruh di
perusahaan sepatu atau pekerja/buruh
pembantu rumah tangga, para pekerja/
buruh yang bersangkutan bergabung
membentuk itu serikat pekerja/serikat
buruh.
PASAL 11
PASAL 11
(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
(2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
I - 11
Serikat pekerja/serikat buruh yang
menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat
buruh dapat menggunakan anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga federasi serikat
pekerja/serikat buruh, demikian juga federasi
yang menjadi anggota konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dapat menggunakan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran
rumah tangga.
BAB IV
KEANGGOTAAN
PASAL 12
PASAL 12
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima
anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin.
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan
dan perlindungan bagi kaum pekerja/buruh
beserta keluarganya. Oleh karena itu, serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh
membatasi dirinya hanya untuk kelompokkelompok pekerja/buruh tertentu saja.
PASAL 13
PASAL 13
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran
dasar dan anggaran rumah tangganya.
Cukup jelas
PASAL 14
PASAL 14
(1) Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih
dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.
(2) Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan
ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/serikat
buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara
tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam pernyataan tertulis yang
dibuatnya, pekerja/buruh dapat menyatakan
bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak
memilih di antara serikat pekerja/serikat
buruh yang ada.
PASAL 15
PASAL 15
Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam
satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan
kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak
boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
Jabatan tertentu yang dimaksud dalam
pasal ini, misalnya manajer sumber daya
manusia, manajer keuangan, atau manajer
personalia sebagaimana yang disepakati dalam
perjanjian kerja bersama.
PASAL 16
PASAL 16
(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi
anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat buruh.
I - 12
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
(2) Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat
menjadi anggota dari satu konfederasi serikat pekerja/
serikat buruh.
PASAL 17
PASAL 17
(1) Pekerja/buruh dapat berhenti sebagai anggota serikat
pekerja/serikat buruh dengan pernyataan tertulis.
(2) Pekerja/buruh dapat diberhentikan dari serikat pekerja/
serikat buruh sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.
(3) Pekerja/buruh, baik sebagai pengurus maupun sebagai
anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berhenti atau
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang
belum dipenuhinya terhadap serikat pekerja/serikat
buruh.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tanggung jawab dalam ayat ini
meliputi seluruh kewajiban yang belum
diselesaikan oleh pengurus dan/atau anggota
serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan termasuk kewajiban terhadap
pihak ketiga.
BAB V
PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN
PASAL 18
PASAL 18
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dengan dilampiri:
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus.
Cukup jelas
PASAL 19
PASAL 19
Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang akan
diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan lambang
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.
I - 13
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
PASAL 20
PASAL 20
(1) Instansi-instansi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1), wajib mencatat dan memberikan nomor bukti
pencatatan terhadap serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal
11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19, selambat-lambatnya
21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterima pemberitahuan.
(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) dapat menangguhkan pencatatan dan
pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat
(2), dan Pasal 19.
(3) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan
alasan-alasannya diberitahukan secara tertulis kepada
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterima pemberitahuan.
Cukup jelas
PASAL 21
PASAL 21
Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran
rumah tangga, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh memberitahukan
kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga tersebut.
Cukup jelas
PASAL 22
PASAL 22
(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), harus mencatat serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2),
Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19 dalam buku
I - 14
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
pencatatan dan memeliharanya dengan baik.
(2) Buku pencatatan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1)
harus dapat dilihat setiap saat dan terbuka untuk umum.
PASAL 23
PASAL 23
Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan
secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai
dengan tingkatannya.
Cukup jelas
PASAL 24
PASAL 24
Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih
lanjut dengan keputusan menteri.
Cukup jelas
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
PASAL 25
PASAL 25
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan berhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan
perselisihan industrial;
c. mewakili
pekerja/buruh
dalam
lembaga
ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan
pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan usaha
peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh
adalah mendirikan koperasi, yayasan, atau
bentuk usaha lain.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PASAL 26
PASAL 26
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja
I - 15
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/
atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
PASAL 27
PASAL 27
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berkewajiban:
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hakhak dan memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada
anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga.
Cukup jelas
BAB VII
PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI
PASAL 28
PASAL 28
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk,
menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi
anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau
tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/senkat buruh
dengan cara:
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan
sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/
serikat buruh.
Cukup jelas
PASAL 29
PASAL 29
(1) Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus
dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk
menjalankan kegiatan serikat oleh kedua belah pihak dan/
atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.
Yang dimaksud dengan pemberian
kesempatan dalam pasal ini, adalah
membebaskan pengurus dan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dalam beberapa waktu
tertentu dan tugas pokoknya sebagai pekerja/
buruh, sehingga dapat melaksanakan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh.
I - 16
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
(2) Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian
kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diatur mengenai:
a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b. tata cara pemberian kesempatan;
c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang
tidak mendapat upah.
BAB VIII
KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN
PASAL 30
PASAL 30
Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federal dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bersumber dari:
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran
dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Cukup jelas
PASAL 31
PASAL 31
(1) Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 huruf c, berasal dari luar negeri, pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan
untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anggota.
Cukup jelas
PASAL 32
PASAL 32
Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi
pengurus dan anggotanya.
Cukup jelas
PASAL 33
PASAL 33
Pemindahan atau pengalihan keuangan dan harta
kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain
yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar dan/
I - 17
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
PASAL 34
PASAL 34
(1) Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan
pengelolaan keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/
serikat buruh.
(2) Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta
kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada
anggotanya menurut anggaran dasar dan/atau anggaran
rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
Cukup jelas
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
PASAL 35
PASAL 35
Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang bersangkutan.
Cukup jelas
PASAL 36
PASAL 36
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/
serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Cukup jelas
BAB X
PEMBUBARAN
PASAL 37
PASAL 37
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal:
a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan
I - 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
anggaran rumah tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk
selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan
kerja bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan setelah
seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan.
Huruf c
Walaupun pihak-pihak lain di luar
pekerja/buruh tidak dapat membubarkan
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh hal
ini tidak dapat berlaku secara mutlak karena
kepentingan negara harus tetap dilindungi.
Oleh sebab itu, undang-undang ini memberi
kewenangan kepada pengadilan untuk
membubarkan serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh dengan syarat-syarat tertentu.
PASAL 38
PASAL 38
(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf
c dapat membubarkan serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
dalam hal:
a. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945;
b. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/
serikat buruh terbukti melakukan kejahatan terhadap
keamanan negara dan dijatuhi pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal putusan yang dijatuhi kepada para pelaku
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, lama hukumnya tidak sama, maka sebagai dasar gugatan
pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh digunakan
putusan yang memenuhi syarat.
(3) Gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diajukan oleh instansi pemerintah kepada pengadilan
tempat serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan berkedudukan.
I - 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kejahatan
terhadap keamanan negara adalah kejahatan
sebagaimana dimaksud pada Buku II Bab I
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang Berkaitan dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lama hukuman
yang tidak sama dalam ayat ini misalnya
terdapat 5 pelaku tindak pidana yang masingmasing dijatuhi penjara 2 tahun, 3 tahun, 4
tahun, 5 tahun, dan 6 tahun, maka yang
memenuhi syarat adalah putusan yang 5 dan
6 tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
PASAL 39
PASAL 39
(1) Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak melepaskan
para pengurus dari tanggung jawab dan kewajibannya,
baik terhadap anggota maupun terhadap pihak lain.
(2) Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang
menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan, tidak
boleh membentuk dan menjadi pengurus serikat pekerja/
serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan
pengadilan rnengenai pembubaran serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak
melepaskan para pengurus dari tanggung
jawahnya misalnya rnembayar dan menagih
hutang piutang dan tanggung jawab
administratif misalnya menyelesakan
pembukuan atau dokumen organisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
PASAL 40
PASAL 40
Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan
hak serikat pekerja/serikat buruh melaksanakan kegiatannya,
pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan dalam pasal ini adalah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya UndangUndang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dan Republik Indonesia
untuk Seluruh Indonesia.
PASAL 41
PASAL 41
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.
Yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan dalam pasal ini adalah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
I - 20
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
PASAL 42
BAB XII
SANKSI
PASAL 42
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2),
Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31 dapat dikenakan
sanksi administratif pencabutan nomor bukti pencatatan
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang dicabut nomor bukti
pencatatannya kehilangan haknya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan
waktu serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31.
Ayat (1)
Pencabutan nomor buku pencatatan
serikat pekerja/serikat buruh federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak
berarti serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
tersebut bubar, tetapi kehilangan haknya
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1)
huruf a, b, dan c.
Instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan
memberitahukan pencabutan nomor bukti
pencatatan kepada mitra kerja serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Setelah serikat pekerja/serikat buruh
memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal
6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21, dan
Pasal 31 maka nomor bukti pencatatan yang
diberlakukan adalah nomor bukti pencatatan
yang lama.
PASAL 43
PASAL 43
(1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Cukup jelas
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
PASAL 44
PASAL 44
(1) Pegawai negeri sipil mempunyai hak dan kebebasan untuk
berserikat.
(2) Hak dan kebebasan berserikat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pelaksanaannya diatur dengan undangundang tersendiri.
I - 21
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
PASAL 45
PASAL 45
(1) Pada saat diundangkannya undang-undang ini serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor buku
pencatatan harus memberitahukan untuk diberi nomor
bukti pencatatan yang baru sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
terhitung sejak mulai berlakunya undang-undang itu.
(2) Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
undang-undang ini mulai berlaku, serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan
undang-undang ini dianggap tidak mempunyai nomor
bukti pencatatan.
Cukup jelas
PASAL 46
PASAL 46
Pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah diajukan, tetapi pemberitahuan tersebut belum
selesai diproses saat undang-undang ini mulai berlaku, harus
diproses menurut ketentuan undang-undang ini.
Cukup jelas
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 47
PASAL 47
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
I - 22
Cukup jelas
Undang-undang No. 21 Tahun 2000
Penjelasan
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NO. 3989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2000 NOMOR 121
I - 23
Act No. 21 of 2000
PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA
ACT NUMBER 21 YEAR 2000
CONCERNING
TRADE UNIONS
Explanatory Notes
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
I-31
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, NATURE,
AND OBJECTIVES
I-32
CHAPTER III
UNION FORMATION
I-34
CHAPTER IV
MEMBERSHIP
I-36
CHAPTER V
NOTIFICATION AND RECORDING
I-37
CHAPTER VI
RIGHTS AND OBLIGATIONS
I-39
CHAPTER VII
PROTECTION OF THE RIGHT TO ORGANIZE
I-40
CHAPTER VIII
FINANCES AND ASSETS
I-41
CHAPTER IX
DISPUTE SETTLEMENT
I-42
CHAPTER X
DISSOLUTION
I-43
I - 27
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
CHAPTER XI
INSPECTION AND INVESTIGATION
I-44
CHAPTER XII
SANCTIONS
I-45
CHAPTER XIII
MISCELLANEOUS PROVISIONS
I-46
CHAPTER XIV
TRANSITIONAL PROVISIONS
I-46
CHAPTER XV
CLOSING PROVISIONS
I-46
I - 28
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES
ON
ACT OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA
NUMBER 21 YEAR 2000
CONCERNING
TRADE UNION/ LABOR UNION
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 21 YEAR 2000
CONCERNING
TRADE UNIONS
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA,
Considering:
a. That freedom of association and the right to organize, to
express one’s thoughts either orally or in writing, to have
a job and to earn a decent living from the viewpoint of
humanity, and to have equal position in the eyes of the
law are the rights of every citizen;
b. That in order to realize the freedom to organize, workers/
laborers have the right to establish and develop a trade
union/labor union that is free, open, independent,
democratic and responsible;
c. That the trade union/labor union is a vehicle to further,
protect and defend the interests and welfare of workers/
laborers and their families, and to realize industrial relations
that are harmonious, dynamic and uphold justice;
d. That, based on considerations as referred to under points
a, b, and c, it is necessary to establish an Act concerning
Trade Unions;
I - 29
I. GENERAL
Workers/ laborers as citizens have rights
and status that are equal to those of any other
citizens in the eyes of the law. They have the
right to have a job and to earn a living that is
proper, the right to voice their opinion, the
right to group together in one organization,
and the right to establish and become
members of a trade union/ labor union.
The right to become a trade union/
labor union member is a fundamental right
of the worker/ laborer that has been
guaranteed under Article 28 of the 1945
Constitution. To exercise the right, to every
worker/ laborer, as many opportunities as
possible must be given to establish, and to
become members of, a trade union/ labor
union.
Trade unions/ labor unions function as
a structure to fight for, to protect, and to defend
the interests of, and to improve the welfare of,
workers and their families. In exercising this
right, workers/ laborers are demanded that
they also be responsible for guaranteeing that
the broader interests, that is, the interests of
the State and the nation are looked after.
Therefore, the exercise of such right shall be
carried out within the framework of industrial
relations that are harmonious, dynamic and
uphold justice.
The worker/ laborer’s right to organize
– as stipulated under the International Labor
Organization (ILO) Convention Number
87 concerning the Freedom of Association
and Protection of the Right to Organize and
the ILO Convention Number 98 concerning
the Right to Organize and Collective
Bargaining which have been ratified by
Indonesia – becomes part of national statutory
rules and regulations. Until recently, however,
there have been no regulations that specifically
regulate the implementation of the worker/
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
In view of:
1. Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article
27, and Article 28 of the 1945 Constitution as amended
by the First Amendment of the Year 1999;
2. Act Number 18 Year 1956 concerning the Ratification of
the International Labor Organization Convention Number
98 concerning the Effectiveness of the Fundamentals of
the Right to Organize and Collective Bargaining (State
Gazette Year 1956 Number 42, Supplement to State
Gazette Number 1050);
3. Act Number 39 Year 1999 concerning Human Rights
(State Gazette Year 1999 Number 165, Supplement to
State Gazette Number 3886).
By the Approval of
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
DECIDES:
To stipulate:
ACT CONCERNING TRADE UNIONS
laborer’s right to organize. As a result, trade
unions/ labor unions are still unable to carry
out their functions maximally.
These above-mentioned ILO
Conventions guarantee the civil servant’s right
to organize. However, due to their functions
as servants of the public, this right has to be
dealt with separately.
Workers/ laborers are very important
working partners of employers in the
production process when it comes to efforts to
improve the welfare of workers/ laborers and
their families, to ensure the enterprise’s
survival, and to improve the welfare of the
Indonesian community in general.
Within this context, trade unions, as a
vehicle to fight for the rights of the worker/
laborer, shall create industrial relations that
are harmonious, dynamic, and uphold justice.
Therefore, workers/ laborers and trade unions/
labor unions must have a sense of responsibility
for the survival of the enterprise. On the other
hand, employers must treat workers/ laborers
as partners in a way that shows respect to their
dignity and worth as humans.
Workers/ laborers’ community, trade
unions/ labor unions, and employers in
Indonesia are part of the world community
that is heading towards a free market era. To
deal with this, all participants of the
production process need to unite and to
develop professional attitude. In addition,
workers/ laborers and trade unions/ labor
unions need to become aware that they have
equal responsibility with other groups in the
society in developing the nation and the State.
Trade unions/ labor unions are
established in a free, open, independent,
democratic, and responsible way by workers/
laborers to fight for the interests of workers/
laborers and their families. Trade unions/
labor unions may use other names such as
workers’ assemblies/ laborers’ assemblies,
workers’
organizations/
laborers’
organizations, as regulated under this act.
I. ARTICLE BY ARTICLE
I - 30
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 1
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Under this act, the following definitions shall apply:
A trade union/labor union is an organization that comes
from, is established by and for either enterprise-bound or
enterprise-free workers/laborers, which is free, open,
independent, democratic and responsible to fight for,
defend and protect the rights and interests of workers/
laborers and improve the welfare of workers/laborers and
their families.
A trade union/labor union within the enterprise is a trade
union/labor union that are established by the workers/
laborers of one enterprise or several enterprises.
A trade union/labor union outside the enterprise is a trade
union/ labor union that are established by workers/
laborers who do not work at an enterprise.
A federation of trade unions/labor unions is a grouping of
trade unions/labor unions.
A confederation of trade unions/labor unions is a grouping
of trade union/labor union federations.
A worker/laborer are any person who works for a wage or
other forms of remunerative exchange.
An employer is:
a. An individual, a partnership, or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership, or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership, or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
An enterprise is any form of business undertaking, which
operates either as a legal body or not, which is owned by
an individual or a business partnership or a legal body,
which is either privately-owned or state-owned, which
employs workers/laborers and pays them a wage or other
forms of exchange for their work and or service;
I - 31
From point 1 to point 10
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
9. A dispute between labor unions, trade/labor union
federations, and trade/labor union confederations is a
dispute between a trade/labor union, trade/labor union
federation, trade/labor union confederation and another
trade/labor union, trade/labor union federation, trade/
labor union confederation, due to the fact there is nonconvergence regarding membership, implementation of
rights and obligations of the union.
10. Minister is the minister responsible for manpower affairs.
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, NATURE AND OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
(1) Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions accept the Pancasila as the
state ideology and the 1945 Constitution as the
constitution of the Unitary State of the Republic of
Indonesia.
(2) Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions have statutory basis that is
not against the Pancasila and the 1945 Constitution.
ARTICLE 3
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
While trade unions/labor unions are free
to determine the statutory basis of their
organization, they must not run against the
Pancasila and the 1945 Constitution because
the Pancasila is the state ideology and the
1945 Constitution is the Constitution of the
Unitary State of the Republic of Indonesia.
ARTICLE 3
Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions shall be free, open, independent,
democratic and responsible.
What is meant by:
Free means that in exercising its rights
and fulfilling its obligations as an
organization, the trade union/ labor
union, federation and confederation of
trade unions/ labor unions is not under
influence or pressure from other parties.
Open means that in admitting members
and or defending the interests of its
members, the trade union/ labor union,
federation and confederation of trade
unions/ labor unions does not
discriminate on grounds of political
allegiance, religion, ethnicity and sex.
Independent means that the trade union/
labor union, federation and confederation
of trade unions/ labor unions establishes,
runs and develops union organization
with its own strength and is not controlled
I - 32
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
by other parties outside of its organization.
Democratic means that the establishment
of union organization, the election of its
officials, the efforts to fight for and
implement the rights and obligations of
the organization are carried out in
accordance with democratic principles.
Responsible means that in achieving its
objectives and exercising its rights and
obligations, the trade union/ labor union,
federation and confederation of trade
unions/ labor unions is responsible to its
members, the society and the State.
ARTICLE 4
ARTICLE 4
(1) Trade unions/ labor unions, federations and confederations
of trade unions/ labor unions aim to protect, defend the
rights and interests of, and improve the proper welfare of
workers/ laborers and their family.
(2) In order to achieve the objectives as referred to under
Subsection (1), trade unions/ labor unions, federations
and confederations of trade unions/ labor unions shall have
the following functions:
a. As a party in the making of a Collective Labour
Agreement and the settlement of an industrial dispute;
b. As workers/ laborers’ representative in cooperation
institutes in the area of manpower in accordance with
the union’s hierarchy;
c. As a structure to create industrial relations that are
harmonious, dynamic, and uphold justice according
to prevailing laws and regulations;
d. As a structure to channel aspirations in defense of the
rights and interests of its members;
e. As the planner of, the actor of, and the party that is
responsible for a strike in accordance with prevailing
laws and regulations;
f. As workers/ laborers’ representative in striving for the
ownership of shares in the enterprise.
I - 33
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Point a
Sufficiently clear
Point b
The cooperation institutes in the area of
manpower are, for instance, Bipartite
Cooperation Institute, Tripartite Cooperation
Institute and other tripartite institutes such as
National Job Training Council, Occupational
Safety Council, or Wage System Research
Council. These councils/ institutes discuss
manpower/ labor policies.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
Point e
Sufficiently clear
Point f
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
CHAPTER III
UNION FORMATION
ARTICLE 5
ARTICLE 5
(1) Every worker/laborer has the right to form and become a
member of a trade union/labor union.
(2) A trade union/ labor union is formed by at least 10 (ten)
workers/laborers.
ARTICLE 6
Sufficiently clear
ARTICLE 6
(1) Trade unions/labor unions have the right to form and have
membership in a federation of trade unions/labor unions.
(2) A federation of trade unions/labor unions is formed by at
least 5 (five) trade unions/ labor unions.
ARTICLE 7
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
A federation of trade unions/labor
unions means a grouping of several trade
unions/ labor unions either according to
business sector, inter business sector or not,
type of work or other forms according to the
will of the worker/ laborer.
ARTICLE 7
(1) Federations of trade unions/labor unions have the right
to form and have membership in a confederation of trade
unions/ labor unions.
(2) A confederation of trade unions/labor unions is formed
by at least 3 (three) federations of trade unions/ labor
unions.
Sufficiently clear
ARTICLE 8
ARTICLE 8
The hierarchical arrangements of the organization of trade
unions/labor unions, federations and confederations of trade
unions/labor unions are regulated in their union constitutions
and/or by-laws.
Hierarchical arrangements of the
organization of trade unions/ labor unions,
federations and confederations of trade unions/
labor unions are made in accordance with
those of regional state administration, i.e.,
regency/ city level, provincial level and national
level.
ARTICLE 9
ARTICLE 9
Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions shall be formed of the free will of
workers/laborers without pressure or intervention from the
employer, the government, any political party and or any other
parties.
I - 34
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 10:
ARTICLE 10
Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions may be established according to
business sector, type of work (trade), or other categories
according to the will of the worker/ laborer.
The term business sector as referred to
under this article shall include “service
industry.” An example of a trade union/
labor union that is established according
to business sector is a trade union/labor
union in a textile manufacturing company
that joins another trade union/ labor union
in another textile manufacturing company,
or a trade union/labor union in a hotel
or hotel-related service company that joins
another trade union/labor union in
another hotel or hotel-related service
company.
Trade/labor unions that are established
according to type of work are, for instance,
a trade/labor union of welders or a trade/
labor union of drivers.
Trade/labor unions that are established
according to other forms of occupation
are unions that are not based on any
business sector or any type of work. For
instance, if workers/laborers who work in
a bakery, workers/laborers in a batik
manufacturing company, and workers/
laborers in a shoes making company or
domestic workers join forces to establish
one trade union/labor union, the
resulting trade/labor union is said to be
established according to other forms of
occupation.
ARTICLE 11
ARTICLE 11
(1) Every trade union/labor union, federation and
confederation of trade unions/labor unions must have a
constitution and by-laws.
(2) The constitution as referred to under subsection (1) must
at least contain the following:
a. The union’s name and emblem/symbol;
b. The state ideology, the union statutory basis, and
objectives;
c. The date the union was established;
d. The domicile/seat of the union;
e. Union membership and administration;
I - 35
Trade/ labor unions that are members
of a federation of trade/ labor unions may
adopt the constitution and by-laws of the
federation of trade/ labor unions to which
they belong. In the same manner, federations
of trade/ labor unions that are members of a
confederation of trade/ labor unions may also
adopt the constitution and by-laws of the
confederation of trade/ labor unions to which
they belong.
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
f. The union’s financial sources and accountability; and
g. Provisions concerning changes in the union’s
constitution and or by-laws.
CHAPTER IV
MEMBERSHIP
ARTICLE 12
ARTICLE 12
Trade unions/labor unions, federations, and confederations
of trade unions/labor unions must be open to accept members
without discriminating them on grounds of political allegiance,
religion, ethnicity and sex.
Trade unions/labor unions, federations
and confederations of trade/labor unions are
established to improve the welfare of, and to
protect workers/laborers and their families.
Therefore, trade unions/labor unions,
federations and confederations of trade/labor
unions must not limit their membership to
certain groups of workers/laborers only.
ARTICLE 13
ARTICLE 13
Membership in a trade union/labor union, a federation
of trade unions/labor unions, and a confederation of trade
unions/labor unions shall be regulated in the constitution and
by-laws of the union, federation of trade unions/labor unions,
and confederation of trade unions/labor unions in question.
Sufficiently clear
ARTICLE 14
ARTICLE 14
(1) A worker/laborer are not allowed to have membership in
more than one trade union/labor union at one enterprise.
(2) In case a worker/laborer at an enterprise turns out to have
been registered as a member in more than one trade union/
labor union, he or she must make a written declaration
stating the trade union/labor union in which he chooses
to retain his membership.
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
In the written declaration that he or she
makes, a worker/laborer may state that he or
she chooses not to belong to any available
trade/ labor unions.
ARTICLE 15
ARTICLE 15
A worker/laborer whose position in the enterprise creates
conflict of interests between the management and the
enterprise’s workers/laborers shall not be allowed to become
trade/labor union official in the enterprise in question.
“Certain positions” as referred to under
this article refer to such positions as human
resources manager, finance manager, or
personnel manager as stipulated under the
collective labour agreement.
I - 36
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 16
ARTICLE 16
(1) Every trade union/labor union can only have membership
in one federation of trade unions/labor unions.
(2) Every federation of trade unions/labor unions can only
have membership in one confederation of trade unions/
labor unions.
ARTICLE 17
Sufficiently clear
ARTICLE 17
(1) A worker/laborer may quit his union membership by
submitting a written notification to this effect.
(2) A worker/laborer may be dismissed from his/her trade
union/labor union membership according to the
stipulations of the constitution and or by-laws of his trade
union/labor union.
(3) A worker/laborer, in his/her capacity as either an official
or as a member of a trade union/labor union, who quits
or is dismissed from his/her union membership as referred
to under subsection (1) and subsection (2), shall remain
accountable for any unfulfilled obligations to the trade
union/labor union.
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
The accountability referred to in the
phrase “shall remain accountable for any
unfulfilled obligations to the trade union/
labor union” shall also include the
accountability for all obligations/ liabilities
that the affected official and or member of
the trade/ labor union in question has not
fulfilled, including his/ her obligations that
arise as a result of a transaction with a third
party.
CHAPTER V
NOTIFICATION AND RECORDING
ARTICLE 18
ARTICLE 18
(1) Upon its establishment, a trade union/labor union, a
federation or a confederation of trade unions/labor unions
shall give a written notification to the local government
agency responsible for manpower affairs for the sake of
record keeping.
(2) The notification as referred to under subsection (1) shall
be supplemented with:
a. A list containing the names of founding members;
b. The union’s constitution and by-laws;
c. Its officials’ lineup and names.
ARTICLE 19
Sufficiently clear
ARTICLE 19
A trade union/labor union, a federation and a
I - 37
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
confederation of trade unions/labor unions whose
establishment is to be notified to the local government agency
responsible for manpower affairs is not allowed to have a name
and emblem that is the same as the name and emblem of any
trade union/labor union, federation and confederation of trade
unions/labor unions that have been previously recorded.
ARTICLE 20
ARTICLE 20
(1) The government agency as referred to under Article 18
subsection (1) is obliged to keep a record of, and issue a
record number to, the trade union/labor union, federation
and confederation of trade unions/labor unions that have
fulfilled the requirements as referred to under Article 2,
Article 5 subsection (2), Article 6 subsection (2), Article
7 subsection (2), Article 11, Article 18 subsection (2),
and Article 19, within a period of no longer than 21
(twenty one) workdays since the date it received the union
notification.
(2) The government agency as referred to under Article 18
subsection (1) may postpone the recording and the
issuance of record number in case the trade union/labor
union, federation and confederation of trade unions/labor
unions in question have not fulfilled the requirements as
referred to under Article 2, Article 5 subsection (2), Article
6 subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 11,
Article 18 subsection (2), and Article 19.
(3) The postponement as referred to under subsection (2)
and the reasons for the postponement shall be
communicated in writing to the trade union/labor union,
federation and confederation of trade unions/labor unions
in question within a period of at least 14 (fourteen)
workdays since the date the union notification is received.
ARTICLE 21
Sufficiently clear
ARTICLE 21
Should changes in union constitution and or by-laws
occur, the officials of the trade union/labor union, federation
and confederation of trade unions/labor unions concerned shall
inform the government agency as referred to under Article 18
subsection (1) within a period of no later than 30 (thirty)
days since the date the changes in the constitution and or the
by-laws of the union were made.
I - 38
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 22
ARTICLE 22
(1) The government agency as referred to under Article 18
subsection (1) must record trade unions/labor unions,
federations and confederations that have met the
requirements as referred to under Article 2, Article 5
subsection (2), Article 6 subsection (2), Article 7
subsection (2), Article 11, Article 18 subsection (2) and
Article 19 in the union record book and maintain the
book.
(2) The union record book as referred to under subsection
(1) must be open to inspection at all times and must be
accessible to the public.
ARTICLE 23
Sufficiently clear
ARTICLE 23
The officials of trade unions/labor unions, federations and
confederations of trade unions/labor unions that already have
a record number must give a written notification of their
existence to their working partners according to their
hierarchical levels.
ARTICLE 24
Sufficiently clear
ARTICLE 24
Regulations concerning trade/labor union record-keeping
procedures shall be stipulated further by means of a ministerial
decision.
Sufficiently clear
CHAPTER VI
RIGHTS AND OBLIGATIONS
ARTICLE 25
ARTICLE 25
(1) A trade union/labor union, federation and confederation
of trade unions/labor unions that has a record number
has the right to:
a. Negotiate a collective labour agreement with the
management;
b. Represent workers/laborers in industrial dispute
settlements;
c. Represent workers/laborers in manpower institutions;
d. Establish an institution or carry out activities related
to efforts to improve workers/laborers’ welfare.
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Sufficiently clear
Point d
Efforts to improve the welfare of the
worker/ laborer include efforts to establish a
cooperative, a foundation, or other forms of
business activities.
Point e
Sufficiently clear
I - 39
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
e. Carry out other manpower or employment-related
activities that are not against prevailing laws and
regulations.
(2) The exercise of the rights as referred to under subsection
(1) shall be carried out in accordance with prevailing laws
and regulations.
ARTICLE 26
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 26
Trade unions/labor unions, federations and confederations
of trade unions/labor unions may affiliate to and or cooperate
with international trade unions/labor unions and or other
international organizations on the condition that the affiliation
or the cooperation is not against prevailing laws and regulations.
ARTICLE 27
Sufficiently clear
ARTICLE 27
A trade union/labor union, a federation or a confederation
of trade unions/labor unions that has already a record number
is obliged to:
a. Protect and defend its members from any violations of
their rights and further their interests;
b. Improve the welfare of its members and their families;
c. Present its accountability on organizational activities to
its members in accordance with its constitution and bylaws.
Sufficiently clear
CHAPTER VII
PROTECTION OF THE RIGHT TO ORGANIZE
ARTICLE 28
ARTICLE 28
Everybody is prohibited from preventing or forcing a
worker/ laborer from forming or not forming a trade union/
labor union, becoming union official or not becoming union
official, becoming union member or not becoming union
member and or carrying out or not carrying out trade/labor
union activities by:
a. Terminating his employment, temporarily suspending his
employment, demoting him, or transferring him to
another post, another division or another place in order
to discourage or prevent him from carrying out union
activities or make such activities virtually impossible;
I - 40
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
b. Not paying or reducing the amount of the worker/ laborer’s
wage;
c. Intimidating him or subjecting him to any other forms of
intimidation;
d. Campaigning against the establishment of trade unions/
labor unions.
ARTICLE 29
ARTICLE 29
(1) The employer must provide opportunity to the officials
and members of a trade/labor union to carry out trade/
labor union activities during working hours that are agreed
upon by both parties and or arranged in the collective
labour agreement.
(2) The agreement by both parties and or the arrangement
in the collective labour agreement as referred to under
subsection (1) must regulate:
a. Types of union activities for which the opportunity is
provided;
b. Procedures for the provision of the opportunity;
c. Which provisions of opportunity shall be entitled to
pay and which ones shall not be entitled to pay.
The term to provide opportunity as
referred to under this article shall mean to
free trade/labor union officials and members
from their main duties as workers/laborers
for certain period of time so that they can
carry out union activities.
CHAPTER VIII
FINANCES AND ASSETS
ARTICLE 30
ARTICLE 30
Trade unions/labor unions’ finances come from:
a. Membership fee (union dues) whose amount shall be
determined in the union constitution/by-laws;
b. Profits earned from the union’s legitimate money-making
activities;
c. Unconditional financial assistance from members or other
parties.
ARTICLE 31
Sufficiently clear
ARTICLE 31
(1) In case the financial assistance from other parties as referred
to under Article 30 point (c) comes from overseas sources,
the officials of the trade union/labor union concerned must
I - 41
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
report it in writing to the government agency responsible
for manpower affairs according to prevailing laws and
regulations.
(2) The assistance as referred to under subsection (1) shall be
used to improve the quality and welfare of union members.
ARTICLE 32
ARTICLE 32
Finances and assets of a trade union/labor union, a
federation and a confederation of trade unions/labor unions
must be separate from the private finances and assets of their
officials and members.
ARTICLE 33
Sufficiently clear
ARTICLE 33
The disposal or transfer of union finances and assets to
another party, investments of union funds and other legitimate
business transactions by the union can only be made in
accordance with what is stipulated in the constitution and or
by-laws of the trade union/labor union, the federation and
the confederation of trade unions/labor unions in question.
ARTICLE 34
Sufficiently clear
ARTICLE 34
(1) Union officials shall be responsible for the utilization and
the management of finances and assets of the trade union/
labor union, the federation and the confederation of trade
unions/labor unions.
(2) Union officials are under an obligation to keep the records
of the finances and assets, and to periodically present
financial reports to union members in accordance with
the constitution and or by-laws of the trade/labor union,
the federation and the confederation of trade/labor unions
concerned.
Sufficiently clear
CHAPTER IX
DISPUTE SETTLEMENT
ARTICLE 35
ARTICLE 35
Every dispute between one trade union/labor union,
federation and confederation of trade unions/labor unions and
another shall be settled through deliberations by the trade/
labor unions, the federations and the confederations of trade/
labor unions that are involved in the conflict.
I - 42
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 36
ARTICLE 36
If the deliberations as referred to under Article 35 fail to
reach an agreement, the inter-trade/labor union, trade/labor
union federation, trade/labor union confederation dispute shall
be settled in accordance with prevailing laws and regulations.
Sufficiently clear
CHAPTER X
DISSOLUTION
ARTICLE 37
ARTICLE 37
A trade union/labor union, a federation and a
confederation of trade unions/labor unions is dissolved:
a. If it is so declared by its members in accordance with the
constitution and or by-laws of the union.
b. If the enterprise is closed or stops its activities for good
and this results in the termination of all employment
relationships with all workers/laborers in the enterprise
after the employer has fulfilled all his obligations to his
workers/laborers in accordance with prevailing laws and
regulations.
c. If it is so declared by a court decision.
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Nobody except workers/laborers can
dissolve a trade union/ labor union, a
federation and a confederation of trade/ labor
unions. This, however, cannot be applied
absolutely. The interests of the State and the
general public must continue to be protected.
Hence, this act authorizes the court as a
judiciary body to dissolve a trade union/ labor
union, a federation and a confederation of
trade/ labor unions on certain conditions.
ARTICLE 38
ARTICLE 38
(1) The court as implied under Article 37 point c may dissolve
a trade/labor union, a federation and a confederation of
trade/labor unions in case:
a. The trade/labor union, federation and confederation
of trade/labor unions has a statutory basis that against
the Pancasila and the 1945 Constitution;
b. Its administrators and or members prove to be guilty
of committing a crime – in the name of the trade/
labor union, federation and confederation of trade/
labor unions – that harms the security of the State,
and by the imprison sentences of at least 5 (five) years
as attested by the legally and permanently binding
court decisions that have been issued against them.
(2) In case the court decisions imposed on the perpetrators of
the crime as referred to under subsection (1) point b
stipulate different terms, the decisions carrying the eligible
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
A crime that harms the security of the
State as referred to under this subsection refers
to crimes as referred to in Book II Chapter I
of the Criminal Code and Act No 27 Year
1999 concerning Amendment to Criminal
Code which is related with Crimes Against
State Security.
I - 43
Subsection (2):
The different terms of imprisonment as
referred to under this article can be illustrated
as follows. If, for instance, five perpetrators
are sentenced to two years, three years, four
years, five years and six years in prison
respectively, then the eligible imprison terms
that can be used as the bases for the dissolution
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
terms for legally demanding the dissolution of the trade/
labor union, federation and confederation of trade/labor
unions shall be used as the basis for the dissolution.
(3) The lawsuit demanding the dissolution of trade/labor
union, federation and confederation of trade/labor unions
as referred to under subsections (1) and (2) shall be filed
by government agency to the district court where the
affected trade/labor union, federation and confederation
of trade/labor unions domicile.
of the perpetrators’ trade/labor union are those
stipulating the five-year sentence and the sixyear sentence.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 39
ARTICLE 39
(1) The dissolution of a trade/labor union, federation and
confederation of trade/labor unions does not free its officials
from their responsibilities and obligations to the union’s
members as well as to other parties.
(2) The officials and or members of a trade/labor union,
federation and confederation of trade/labor unions who
prove to be guilty of a wrongdoing according to a court
decision and who cause the dissolution of the trade/labor
union, federation and confederation of trade/ labor unions
are subjected to a 3 (three)-year suspension, during which
they are not allowed to establish and become officials of
another trade/labor union, federation and confederation
of trade/labor unions. The three-year suspension is
effective starting from the point at which the court decision
concerning the dissolution of the trade/labor union in
question is officially declared to be permanently and legally
binding.
Subsection (1)
The phrase “does not free its
administrators from their responsibilities”
implies that the officials have to, for instance,
pay their debts and collect back union money
that they have lent. Also, they have to settle
other administrative responsibilities such as
completing the bookkeeping or organizational
documents.
Subsection (2)
Sufficiently clear
CHAPTER XI
INSPECTION AND INVESTIGATION
ARTICLE 40
ARTICLE 40
To guarantee workers/ laborers’ right to organize and trade
unions/labor unions’ right to carry out union activities,
government labor inspectors shall carry out inspection in
accordance with prevailing laws and regulations.
The phrase “prevailing laws and
regulations” here refers to Act No. 3 of the
year 1951 concerning Declaration of the
Coming into Force of the Labor Inspection
Act No. 23 of the year 1948 of the Republic
of Indonesia that is applicable to all Indonesia.
I - 44
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
ARTICLE 41
ARTICLE 41
In addition to the special authority of the investigating
police officers from the Police of the Republic of Indonesia,
special authority to function as investigators according to
prevailing laws and regulations to carry out investigations of
crimes is also given to certain civil servants within the
jurisdiction of the government agencies whose jobs and
responsibilities on manpower affairs.
The phrase prevailing laws and
regulations as referred to under this article
refers to Act No. 8 Year 1981 concerning
Law of Criminal Procedure.
CHAPTER XII
SANCTIONS
ARTICLE 42
ARTICLE 42
(1) Violation against Article 5 subsection (2), Article 6
subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 21 or
Article 31 may result in the revocation of the union record
number of the violating trade/labor union, federation and
confederation of trade/labor unions as an administrative
sanction.
(2) Trade/labor unions, federations and confederations of
trade/labor unions whose record number is revoked lose
their rights as referred to under Article 25 subsection (1)
points a, b, and c until the trade/labor unions, federations
and confederations of trade/labor unions in question fulfil
what is required under Article 5 subsection (2), Article 6
subsection (2), Article 7 subsection (2), Article 21 or
Article 31.
ARTICLE 43
Subsection (1)
The revocation of the union record
number of a trade/ labor union, federation
and confederation of trade/ labor unions does
not dissolve the trade/ labor union, federation
and confederation of trade/ labor unions in
question. However, the revocation causes them
to lose their rights as referred to under Article
25 subsection (1) points a, b, and c. The
government agency responsible for manpower
affairs notifies the revocation to the working
partners of the affected trade/ labor union,
federation and confederation of trade/ labor
unions.
Subsection (2)
After the trade/ labor union has fulfilled
what is stipulated under Article 5 subsection
(2), Article 6 subsection (2), Article 7
subsection (2), Article 21, and Article 31,
the union record number that applies is the
old one.
ARTICLE 43
(1) Everybody who bars or forces workers/laborers as referred
to under Article 28 is subjected to a sentence of at least 1
(one) year and no longer than 5 (five) years in prison and
or a fine of at least Rp100,000,000 (one hundred million
Rupiahs) and no more than Rp500,000,000 (five hundred
million Rupiahs).
(2) The criminal act as referred to under subsection (1) is a
grave criminal offense.
I - 45
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
CHAPTER XIII
MISCELLANEOUS PROVISIONS
ARTICLE 44
ARTICLE 44
(1) Civil servants have freedom of association and the right to
organize.
(2) The implementation of the freedom of association and
the right to organize as referred to under subsection (1)
shall be regulated in a separate act.
Sufficiently clear
CHAPTER XIV
TRANSITIONAL PROVISIONS
ARTICLE 45
ARTICLE 45
(1) Upon the enactment of this act, any trade union/labor
union, federation and confederation of trade/labor unions
that has been issued a union record number must report
in order to be given a new union record number according
to what is stipulated under this act within a period of no
later than 1 (one) year after the date this act comes into
effect.
(2) Within a period of 1 (one) year since this act starts to
come into effect, any trade union/labor union that fails to
comply with what is stipulated under this act is assumed
to have no union record number.
ARTICLE 46
Sufficiently clear
ARTICLE 46
Any notification concerning the establishment of a trade
union/labor union, federation and confederation of trade/labor
unions that has been made but is still being processed at the
time this act takes effect must be processed in accordance with
what is stipulated under this act.
Sufficiently clear
CHAPTER XV
CLOSING PROVISIONS
ARTICLE 47
ARTICLE 47
This act shall be effective upon the date of its
I - 46
Sufficiently clear
Act No. 21 of 2000
Explanatory Notes
promulgation. For the cognizance of the public, orders the
promulgation of this act by having it placed on the State
Gazette of the Republic of Indonesia.
Legalized in Jakarta
On 4 August 2000
PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
ABDURRAHMAN WAHID
Promulgated in Jakarta
On 4 August 2000
STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA,
DJOHAN EFFENDI
STATE GAZZETTE OF THE REPUBLIC
OF INDONESIA NUMBER 121 OF 2000
I - 47
SUPPLEMENT TO THE STATE
GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 3989
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
II - 1
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
II - 2
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
Daftar Isi
BAB I
KETENTUAN UMUM
II-11
BAB II
LANDASAN, ASAS DAN TUJUAN
II-15
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN
YANG SAMA
II-16
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA
DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
II-16
BAB V
PELATIHAN KERJA
II-17
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
II-24
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
II-27
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
II-29
II - 3
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
II-31
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN
DAN KESEJAHTERAAN
II-39
Bagian Kesatu : Perlindungan
Paragraf 1 : Penyandang Catat
Paragraf 2 : Anak
Paragraf 3 : Perempuan
Paragraf 4 : Waktu Kerja
Paragraf 5 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Bagian Kedua : Pengupahan
Bagian Ketiga : Kesejahteraan
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
II-53
Bagian Kesatu : Umum
Bagian Kedua : Serikat Pekerja/Serikat buruh
Bagian Ketiga : Organisasi Pengusaha
Bagian Keempat : Lembaga Kerja Sama Bipartit
Bagian Kelima : Lembaga Kerja Sama Tripartit
Bagian Keenam : Peraturan Perusahaan
Bagian Ketujuh : Perjanjian Kerja Sama
Bagian Kedelapan : Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Paragraf 1 : Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 2 : Mogok Kerja
Paragraf 3 : Penutupan Perusahaan (Lock-Out)
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
II-70
BAB XIII
PEMBINAAN
II-84
II - 4
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB XIV
PENGAWASAN
II-85
BAB XV
PENYIDIKAN
II-86
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu : Ketentuan Pidana
Bagian Kedua : Sanksi Administratif
II-87
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
II-90
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
II-90
II - 5
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
II - 6
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
KETENAGAKERJAAN
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I. UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
II - 7
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil,
makmur, dan merata, baik materiil maupun
spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus
diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi
hak-hak dan perlindungan yang mendasar
bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta
pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan
kondisi yang kondusif bagi pengembangan
dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan
dengan kepentingan pengusaha, pemerintah,
dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh dan
komprehensif, antara lain mencakup
pengembangan sumberdaya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
industrial.
Pembinaan hubungan industrial
sebagai bagian dari pembangunan
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang
ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan,
oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk
Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal
28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan persetujuan bersama antara:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG ETENAGAKERJAAN
ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus
mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk
itu, pengakuan dan penghargaan terhadap
hak asasi manusia sebagaimana yang
dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/
MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam
bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini
merupakan tonggak utama dalam
menegakkan demokrasi di tempat kerja.
Penegakkan demokrasi di tempat kerja
diharapkan dapat mendorong partisipasi yang
optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/
buruh Indonesia untuk membangun negara
Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundangundangan tentang ketenagakerjaan yang
berlaku selama ini, termasuk sebagian yang
merupakan produk kolonial, menempatkan
pekerja pada posisi yang kurang
menguntungkan dalam pelayanan
penempatan tenaga kerja dan sistem
hubungan industrial yang menonjolkan
perbedaan kedudukan dan kepentingan
sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan
masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan
tersebut adalah :
Ordonansi tentang Pengerahan Orang
Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan
Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun
1887 No. 8);
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925
Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan
Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun
1926 Nomor 87);
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang
Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan Mencari Calon Pekerja
(Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh
yang Diterima atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1939
Nomor 545);
II - 8
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2);
Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a);
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut
dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih
relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undangundang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut
masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk
menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa
Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi
manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International
Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok
yaitu :
Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100, dan Nomor 111);
Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29, dan Nomor 105); dan
Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ).
II - 9
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di
tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar
tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka
Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan
dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat :
Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/
buruh;
Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja
dan produktivitas perusahaan.
Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja
secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan;
Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis,
dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian
kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit,
pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial;
Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/
buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan
sosial tenaga kerja;
Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
II - 10
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
II. PASAL DEMI PASAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Cukup jelas
PASAL 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
II - 11
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan
dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi,
dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian,
dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah,
naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan
makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk
memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi
jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di
lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja,
sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
II - 12
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/
buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi
dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja
dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/
serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/
buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
II - 13
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Penjelasan
perusahaan.
Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang
direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/
atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan
pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau
sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai
dengan pukul 18.00.
1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat)
jam.
Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah
dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja
yang aman dan sehat.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi
dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
II - 14
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
PASAL 2
PASAL 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
PASAL 3
Pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab
itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia
dan masyarakat Indonesia yang sejahtera,
adil, makmur, dan merata baik materiil
maupun spiritual.
PASAL 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas
sektoral pusat dan daerah.
PASAL 4
Asas pembangunan ketenagakerjaan
pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas
demokrasi Pancasila serta asas adil dan
merata. Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan
dengan berbagai pihak yaitu antara
pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh.
Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu
dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.
PASAL 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
II - 15
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan
tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan
kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia. Melalui pemberdayaan dan
pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja
Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal
dalam Pembangunan Nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai
kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus
diupayakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu
kesatuan pasar kerja dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
PASAL 5
sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan
penempatan tenaga kerja perlu diupayakan
agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh
sektor dan daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
PASAL 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras,
agama, dan aliran politik sesuai dengan minat
dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama
terhadap para penyandang cacat.
PASAL 6
PASAL 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Pengusaha harus memberikan hak dan
kewajiban
pekerja/buruh
tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras,
agama, warna kulit, dan aliran politik.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
PASAL 7
PASAL 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah
menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga
kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
II - 16
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun
dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan
melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja
nasional, daerah, dan sektoral.
Ayat (2)
Huruf a.
Yang dimaksud dengan perencanaan
tenaga kerja makro adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang
memuat pendayagunaan tenaga kerja secara
optimal, dan produktif guna mendukung
pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara
nasional, daerah, maupun sektoral sehingga
dapat membuka kesempatan kerja seluasluasnya, meningkatkan produktivitas kerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/
buruh.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan
tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis
dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah
maupun swasta dalam rangka meningkatkan
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal
dan produktif untuk mendukung pencapaian
kinerja yang tinggi pada instansi atau
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 8
PASAL 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik
instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (1)
Informasi
ketenagakerjaan
dikumpulkan dan diolah sesuai dengan
maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja
nasional, perencanaan tenaga kerja daerah
provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, partisipasi swasta
diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta
mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat di pusat,
provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
BAB V
PELATIHAN KERJA
PASAL 9
PASAL 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk
membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi
Yang dimaksud dengan peningkatan
kesejahteraan dalam pasal ini adalah
II - 17
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
PASAL 10
kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh
karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui
pelatihan kerja.
PASAL 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program
pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja
dilakukan oleh Menteri dengan
mengikutsertakan sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya
terdiri atas tingkat dasar, trampil, dan ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.
Cukup jelas.
PASAL 12
PASAL 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan
kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi
pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur
dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama
untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang
tugasnya.
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah
pengusaha, oleh karena itu pengusaha
bertanggung jawab mengadakan pelatihan
kerja untuk meningkatkan kompetensi
pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi diwajibkan bagi pengusaha
karena perusahaan yang akan memperoleh
manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan
dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada
di perusahaan agar tidak mengganggu
kelancaran kegiatan perusahaan.
II - 18
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 13
PASAL 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan
atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan
pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
PASAL 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja
swasta juga termasuk pelatihan kerja
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan
hukum Indonesia atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran
lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
sehingga hasil pelatihan, sarana dan
prasarana pelatihan dapat berdaya guna dan
berhasil guna secara optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan
penyelenggaraan pelatihan kerja.
PASAL 16
Cukup jelas.
PASAL 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh
izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah
terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
II - 19
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan
pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
PASAL 17
PASAL 17
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling
lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program
pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam)
bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap
melaksanakan program pelatihan kerja yang telah
dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan
pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan
pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 18
Cukup jelas.
PASAL 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi
kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang
II - 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
(2)
(3)
(4)
(5)
Penjelasan
diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat
kerja.
Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah
berpengalaman.
Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk
badan nasional sertifikasi profesi yang independen.
Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang
independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses
pemberian sertifikat kompetensi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada
standar kompetensi nasional dan/atau
internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PASAL 19
PASAL 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan
dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan
kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Cukup jelas.
PASAL 20
PASAL 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam
rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu
sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan
pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan
kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah
keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur
pelatihan kerja yang antara lain meliputi
peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga
kepelatihan, program dan metode, serta
lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan
kerja nasional, semua unsur dan sumber daya
pelatihan kerja nasional yang tersebar di
instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan
dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 21
PASAL 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem
pemagangan.
PASAL 22
Cukup jelas.
PASAL 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian
pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang
dibuat secara tertulis.
II - 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan
kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian
pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain
memperoleh uang saku dan/atau uang
transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus
di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas
hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut
pemagang sebagai pekerja/buruh bila
memenuhi persyaratan.
Kewajiban peserta pemagangan antara
lain menaati perjanjian pemagangan,
mengikuti tata tertib program pemagangan,
dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara
lain menyediakan uang saku dan/atau uang
transpor bagi peserta pemagangan,
menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan
instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan
kesehatan kerja .
Jangka waktu pemagangan bervariasi
sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan
untuk mencapai standar kompetensi yang
ditetapkan dalam program pelatihan
pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan, maka berhak
atas segala hal yang diatur dalam peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
PASAL 23
PASAL 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan
berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari
perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga
sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi
oleh pemerintah bila programnya bersifat
umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang
bersangkutan bila programnya bersifat khusus.
PASAL 24
PASAL 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di
tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain,
baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
II - 22
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 25
PASAL 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia
wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan
hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di
luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 26
Cukup jelas.
PASAL 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia
harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan,
termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila
di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
PASAL 27
Cukup jelas.
PASAL 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang
memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program
pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan
kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
II - 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan
perusahaan dalam ayat ini adalah agar
terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli
pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru
las spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan
masyarakat misalnya untuk membuka
kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan
industri yang bersifat spesifik seperti teknologi
budidaya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan
negara misalnya untuk menghemat devisa
negara, maka perusahaan diharuskan
melaksanakan program pemagangan seperti
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
keahlian membuat alat-alat pertanian
modern.
PASAL 28
PASAL 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan
kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Cukup jelas.
PASAL 29
PASAL 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke
arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi
penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya
produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Cukup jelas.
PASAL 30
PASAL 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga
produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan
peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga
produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Cukup jelas.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
PASAL 31
PASAL 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
II - 24
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar
negeri.
PASAL 32
PASAL 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa
diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan
keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan
perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan
program nasional dan daerah.
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan terbuka adalah
pemberian informasi kepada pencari kerja
secara jelas antara lain jenis pekerjaan,
besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini
diperlukan untuk melindungi pekerja/
buruh serta untuk menghindari
terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja
ditempatkan.
- Yang dimaksud dengan bebas adalah
pencari kerja bebas memilih jenis
pekerjaan dan pemberi kerja bebas
memilih tenaga kerja, sehingga tidak
dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk
menerima suatu pekerjaan dan pemberi
kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk
menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
- Yang dimaksud dengan obyektif adalah
pemberi kerja agar menawarkan
pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja
sesuai dengan kemampuannya dan
persyaratan jabatan yang dibutuhkan,
serta harus memperhatikan kepentingan
umum dengan tidak memihak kepada
kepentingan pihak tertentu.
- Yang dimaksud dengan adil dan setara
adalah penempatan tenaga kerja
dilakukan berdasarkan kemampuan
tenaga kerja dan tidak didasarkan atas
ras, jenis kelamin, warna kulit, agama,
dan aliran politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus
diupayakan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan
pasar kerja nasional dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Demikian pula pemerataan kesempatan kerja
perlu diupayakan agar dapat mengisi
II - 25
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan
daerah.
PASAL 33
PASAL 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari:
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Cukup jelas
PASAL 34
PASAL 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan
undang-undang.
Sebelum undang-undang mengenai
penempatan tenaga kerja di luar negeri
diundangkan maka segala peraturan
perundangan yang mengatur penempatan
tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku.
PASAL 35
PASAL 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau
melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak
rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan
perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah
pemberi kerja di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 36
PASAL 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan
memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu
sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsurunsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
II - 26
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara
terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
PASAL 37
PASAL 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan
pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
PASAL 38
Ayat (1)
Huruf a.
Penetapan instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah
ditentukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya
penempatan, baik langsung maupun tidak langsung,
sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan
pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat
memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan
tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
PASAL 39
PASAL 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja.
II - 27
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan
perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah
di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non
perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan
memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat
yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan
kesempatan kerja.
PASAL 40
PASAL 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja
dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan
berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat
guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola
pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat
guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola
lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.
PASAL 41
Cukup jelas
PASAL 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang
beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan
pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
II - 28
Karena upaya perluasan kesempatan
kerja mencakup lintas sektoral, maka harus
disusun kebijakan nasional di semua sektor
yang dapat menyerap tenaga kerja secara
optimal. Agar kebijakan nasional tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik, maka
pemerintah dan masyarakat bersama-sama
mengawasinya secara terkoordinasi.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
PASAL 42
PASAL 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan
tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu
tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang
dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
PASAL 43
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan
tenaga kerja warga negara asing
dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja
warga negara asing dilaksanakan secara
selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga
kerja Indonesia secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
PASAL 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus
memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam
struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia
sebagai pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
II - 29
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja
warga negara asing merupakan persyaratan
untuk mendapatkan izin kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan
internasional dalam ayat ini adalah badanbadan internasional yang tidak mencari
keuntungan seperti lembaga yang bernaung
di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
antara lain ILO, WHO, atau UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan
internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan
Menteri.
PASAL 44
PASAL 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan
mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar
kompetensi adalah kualifikasi yang harus
dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing
antara lain pengetahuan, keahlian,
keterampilan di bidang tertentu, dan
pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 45
PASAL 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
tenaga pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan
direksi dan/atau komisaris.
Ayat (1)
Huruf a.
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja
asing tidak secara otomatis menggantikan atau
menduduki jabatan tenaga kerja asing yang
didampinginya. Pendampingan tersebut
lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan
alih keahlian agar tenaga kerja pendamping
tersebut dapat memiliki kemampuan
sehingga pada waktunya diharapkan dapat
mengganti tenaga kerja asing yang
didampinginya.
Huruf b.
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh
pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan
baik di dalam negeri maupun dengan
mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk
berlatih di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 46
PASAL 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
II - 30
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 47
PASAL 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah,
perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan
tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan
penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi
dimaksudkan dalam rangka menunjang
upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 48
PASAL 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah
hubungan kerjanya berakhir.
PASAL 49
Cukup jelas.
PASAL 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja
pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
Cukup jelas.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
PASAL 50
PASAL 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh.
PASAL 51
Cukup jelas.
PASAL 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat
secara tertulis, namun melihat kondisi
masyarakat yang beragam dimungkinkan
perjanjian kerja secara lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
II - 31
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
secara tertulis harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara
lain perjanjian kerja waktu tertentu,
antarkerja antardaerah, antarkerja
antarnegara, dan perjanjian kerja laut.
PASAL 52
PASAL 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
PASAL 53
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan
atau kecakapan adalah para pihak yang
mampu atau cakap menurut hukum untuk
membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak,
yang menandatangani perjanjian adalah
orang tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan
pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab pengusaha.
PASAL 54
Cukup jelas.
PASAL 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/ buruh;
II - 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh
bertentangan dalam ayat ini adalah apabila
di perusahaan telah ada peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka isi perjanjian kerja baik kualitas
maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah
dari peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama di perusahaan yang
bersangkutan.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/
buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 55
PASAL 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah,
kecuali atas persetujuan para pihak.
Cukup jelas.
PASAL 56
PASAL 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
PASAL 57
Cukup jelas.
PASAL 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis
serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf
latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak
tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia
dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian
kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
II - 33
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 58
PASAL 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
PASAL 59
Cukup jelas.
PASAL 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang
atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama
2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian
kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari
sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
II - 34
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini
dicatatkan ke instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang
bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan
yang sifatnya terus menerus, tidak terputusputus, tidak dibatasi waktu dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam satu
perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman
adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca
atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan
itu merupakan pekerjaan yang terus menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu,
dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, tetapi tergantung cuaca atau
pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan musiman yang tidak
termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat
menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Ayat (8)
Cukup jelas.
PASAL 60
PASAL 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga)
bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah
upah minimum yang berlaku.
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus
dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka
syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang
bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Dalam hal
tidak
dicantumkan dalam perjanjian kerja atau
dalam surat pengangkatan, maka ketentuan
masa percobaan kerja dianggap tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 61
PASAL 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang
disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang
II - 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti
bencana alam, kerusuhan sosial, atau
gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian
kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
atau hak-hak yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang
harus diberikan yang lebih baik dan
menguntungkan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
PASAL 62
PASAL 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan
karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja.
PASAL 63
Cukup jelas
PASAL 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
Cukup jelas.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), sekurang- kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
PASAL 64
PASAL 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
PASAL 65
Cukup jelas.
PASAL 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
II - 36
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Penjelasan
perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berbentuk badan hukum.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/
buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka
hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan
II - 37
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7).
PASAL 66
PASAL 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang
dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/
buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha
yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3)
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
II - 38
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan
dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, pengusaha hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan
perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah
kegiatan yang berhubungan di luar usaha
pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service),
usaha penyediaan makanan bagi pekerja/
buruh catering, usaha tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja maupun penyelesaian
perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja
dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama atas perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/
buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN,
DAN KESEJAHTERAAN
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAGIAN KESATU
PERLINDUNGAN
PARAGRAF 1
PENYANDANG CACAT
PASAL 67
PASAL 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis
dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat ini misalnya penyediaan
aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat
pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis
dan derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PARAGRAF 2
ANAK
PASAL 68
PASAL 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
PASAL 69
Cukup jelas.
PASAL 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan
ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua
atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu
waktu sekolah;
II - 39
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada
usaha keluarganya.
PASAL 70
PASAL 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang
merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau
pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan
pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam
melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
PASAL 71
Cukup jelas.
PASAL 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan
bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau
wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk
mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud
daam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
PASAL 72
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
untuk melindungi anak agar pengembangan
bakat dan minat anak yang pada umumnya
muncul pada usia ini tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/
buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari
tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
II - 40
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 73
PASAL 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya.
PASAL 74
Cukup jelas.
PASAL 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak
pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam
ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan,
atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi
pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan,
atau melibatkan
anak untuk produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Cukup jelas.
PASAL 75
PASAL 75
(1) Pemerintah
berkewajiban
melakukan
upaya
penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di
luar hubungan kerja dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang
bekerja di luar hubungan kerja. Upaya
tersebut harus dilakukan secara terencana,
terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi
terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan
kerja misalnya anak penyemir sepatu atau
anak penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
II - 41
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PARAGRAF 3
PEREMPUAN
PASAL 76
PASAL 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18
(delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul
23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan hamil yang menurut keterangan dokter
berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput
bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas
pelanggaran ayat ini adalah pengusaha.
Apabila pekerja/buruh perempuan yang
dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara
pukul 23.00 sampai dengan 07.00 maka
yang bertanggung jawab atas pelanggaran
tersebut adalah pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PARAGRAF 4
WAKTU KERJA
PASAL 77
PASAL 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam
1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam
1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
II - 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau
pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai,
sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak
jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau
penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 78
PASAL 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat
belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja
sedapat mungkin harus dihindarkan karena
pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang
cukup untuk istirahat dan memulihkan
kebugarannya. Namun, dalam hal-hal
tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak
yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat
dihindari sehingga pekerja/buruh harus
bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 79
PASAL 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah
jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus
dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk
5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari
kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan
dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan
masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang
II - 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Cukup jelas.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d.
Selama menjalankan istirahat panjang,
pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak
istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar
½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan
yang telah memberlakukan istirahat panjang
yang lebih baik dari ketentuan undangundang ini, maka tidak boleh mengurangi
dari ketentuan yang sudah ada.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja
6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang
bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 80
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PASAL 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya
kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang
diwajibkan oleh agamanya.
PASAL 81
Yang dimaksud kesempatan secukupnya
yaitu menyediakan tempat untuk
melaksanakan ibadah yang memungkinkan
pekerja/buruh dapat melaksanakan
ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi
dan kemampuan perusahaan.
PASAL 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha,
tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada
waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
PASAL 82
Cukup jelas.
PASAL 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu
setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.
II - 44
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang
berdasarkan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan, baik sebelum
maupun setelah melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 83
PASAL 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus
diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika
hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
PASAL 84
Yang dimaksud dengan kesempatan
sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya
waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh
perempuan untuk menyusui bayinya dengan
memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan,
yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
PASAL 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c,
dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
PASAL 85
Cukup jelas.
PASAL 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur
resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk
bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat
pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
untuk melayani kepentingan dan
kesejahteraan umum. Di samping itu untuk
pekerjaan yang karena sifat dan jenis
pekerjaannya tidak memungkinkan
pekerjaan itu dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PARAGRAF 5
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PASAL 86
PASAL 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
II - 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja
dimaksudkan untuk memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan cara
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja,
promosi kesehatan, pengobatan, dan
rehabilitasi.
PASAL 87
PASAL 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan
sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAGIAN KEDUA
PENGUPAHAN
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
adalah bagian dari sistem manajemen
perusahaan secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, perencanaan,
pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya yang dibutuhkan
bagi pengembangan penerapan, pencapaian,
pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat
kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 88
PASAL 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya;
II - 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak
adalah jumlah penerimaan atau pendapatan
pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya
sehingga mampu memenuhi kebutuhan
hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara
wajar yang meliputi makanan dan
minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan
hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan
hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
PASAL 89
PASAL 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88
ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah
provinsi atau kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian
kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Upah minimum sektoral dapat
ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha
beserta pembagiannya menurut klasifikasi
lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/
kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional
dan tidak boleh lebih rendah dari upah
minimum regional daerah yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan
kepada pencapaian kebutuhan hidup layak
dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah
minimum harus disesuaikan dengan tahapan
pencapaian perbandingan upah minimum
dengan kebutuhan hidup layak yang
besarannya ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak
perlu dilakukan secara bertahap karena
kebutuhan hidup layak tersebut merupakan
peningkatan dari kebutuhan hidup
minimum yang sangat ditentukan oleh
tingkat kemampuan dunia usaha.
II - 47
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 90
PASAL 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat
dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah
minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan
perusahaan yang bersangkutan melaksanakan
upah minimum yang berlaku dalam kurun
waktu tertentu. Apabila penangguhan
tersebut berakhir maka perusahaan yang
bersangkutan wajib melaksanakan upah
minimum yang berlaku pada saat itu tetapi
tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan
upah minimum yang berlaku pada waktu
diberikan penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 91
PASAL 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/
serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/
buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
PASAL 92
Cukup jelas.
PASAL 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan
produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Menteri.
II - 48
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah
dimaksudkan sebagai pedoman penetapan
upah sehingga terdapat kepastian upah tiap
pekerja/buruh serta untuk mengurangi
kesenjangan antara upah terendah dan
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk
penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi
kerja, perkembangan, dan kemampuan
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 93
PASAL 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama
dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/
buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya
karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya
karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang
telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri
maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/
serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari
perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai
berikut :
II - 49
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang
pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/
buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat melakukan
pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit
ialah sakit menurut keterangan dokter.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan
kewajiban terhadap negara adalah
melaksanakan kewajiban negara yang telah
diatur dengan peraturan perundangundangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/
buruh yang menjalankan kewajiban terhadap
negara dilaksanakan apabila :
a. negara tidak melakukan pembayaran;
atau
b. negara membayar kurang dari upah yang
biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal
ini maka pengusaha wajib membayar
kekurangannya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan menjalankan
kewajiban ibadah menurut agamanya
adalah melaksanakan kewajiban ibadah
menurut agamanya yang telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus
perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh
puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima
puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan
kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak
masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
c sebagai berikut:
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga)
hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu
meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,
dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PASAL 94
PASAL 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan
tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya
75 % (tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah pokok
dan tunjangan tetap.
Yang dimaksud dengan tunjangan
tetap dalam pasal ini adalah pembayaran
kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara
teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran
pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja
tertentu.
II - 50
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 95
PASAL 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena
kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah,
dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari
upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha
dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
PASAL 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan
pembayarannya adalah upah pekerja/buruh
harus dibayar lebih dahulu dari pada utang
lainnya.
PASAL 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.
PASAL 97
Cukup jelas.
PASAL 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan
pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan
pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan
pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL 98
Cukup jelas.
PASAL 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan
merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan
oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi,
dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan
II - 51
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/
Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/
Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi
keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian
keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Presiden.
BAGIAN KETIGA
KESEJAHTERAAN
PASAL 99
PASAL 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
PASAL 100
Cukup jelas.
PASAL 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh
dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas
kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan
ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PASAL 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas
kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga
berencana, tempat penitipan anak,
perumahan pekerja/buruh, fasilitas
beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin,
fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
PASAL 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,
dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha
produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha
II - 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usahausaha produktif di perusahaan adalah
kegiatan yang bersifat ekonomis yang
menghasilkan pendapatan di luar upah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAGIAN KESATU
UMUM
PASAL 102
PASAL 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah
mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota
beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan
organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan
kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara
terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
PASAL 103
Cukup jelas.
PASAL 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
II - 53
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
d.
e.
f.
g.
h.
Penjelasan
lembaga kerja sama tripartit;
peraturan perusahaan;
perjanjian kerja bersama;
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
SERIKAT
BAGIAN KEDUA
PEKERJA/SERIKAT BURUH
PASAL 104
PASAL 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak
menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk
dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam
anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk
atau tidak masuk menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh merupakan salah satu
hak dasar pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
BAGIAN KETIGA
ORGANISASI PENGUSAHA
PASAL 105
PASAL 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Cukup jelas.
BAGIAN KEEMPAT
LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT
PASAL 106
PASAL 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh)
orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah
pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh)
II - 54
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan
konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili
kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan
keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat
dilakukan secara individual dengan baik dan
efektif. Pada perusahaan dengan jumlah
pekerja/buruh 50 (limapuluh) orang atau
lebih, komunikasi dan konsultasi perlu
dilakukan melalui sistem perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAGIAN KELIMA
LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
PASAL 107
PASAL 107
(1) Lembaga Kerja Sama tripartit memberikan pertimbangan,
saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait
dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja Sama Tripartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), terdiri dari:
a. Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota; dan
b. Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja Sama
Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
II - 55
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
BAGIAN KEENAM
PERATURAN PERUSAHAAN
PASAL 108
PASAL 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurangkurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan
perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
PASAL 109
Cukup jelas.
PASAL 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung
jawab dari pengusaha yang bersangkutan.
PASAL 110
Cukup jelas.
PASAL 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan
saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah
terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum
terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/
buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk
mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan.
PASAL 111
Cukup jelas.
PASAL 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
II - 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja
adalah hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh yang belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa
berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila
serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka
pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak
mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah
peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari
peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan apabila ternyata bertentangan,
maka yang berlaku adalah ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PASAL 112
PASAL 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan
perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan
perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat
(1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha
mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha
II - 57
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah
diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
PASAL 113
PASAL 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka
waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar
kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Cukup jelas.
PASAL 114
PASAL 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi
serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pemberitahuan dilakukan dengan cara
membagikan salinan peraturan perusahaan
kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan
di tempat yang mudah dibaca oleh para
pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan
langsung kepada pekerja/buruh.
PASAL 115
PASAL 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan
pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan
Menteri.
Cukup jelas.
BAGIAN KETUJUH
PERJANJIAN KERJA BERSAMA
PASAL 116
PASAL 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa
pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin
dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat
tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian
kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
II - 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama
harus dilandasi dengan itikad baik, yang
berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan
para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang
artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak
terhadap pihak lain.
Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama
dibuat dalam bahasa Indonesia dan
diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila
terjadi perbedaan penafsiran, maka yang
berlaku perjanjian kerja bersama yang
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan
tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
menggunakan bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 117
PASAL 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dapat dilakukan melalui lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
PASAL 118
PASAL 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu)
perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/
buruh di perusahaan.
PASAL 119
Cukup jelas.
PASAL 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat
pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh
tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/
buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan
untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam)
bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara
dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
II - 59
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 120
PASAL 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili
pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/
serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
PASAL 121
Cukup jelas.
PASAL 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan
kartu tanda anggota.
PASAL 122
Cukup jelas.
PASAL 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari
wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
PASAL 123
Cukup jelas.
PASAL 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama
1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
II - 60
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling
lama 1 (satu) tahun.
PASAL 124
PASAL 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta
pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian
kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja
bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan
yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang
berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundangundangan.
PASAL 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah kualitas dan
kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak
boleh lebih rendah dari peraturan
perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan
perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
PASAL 126
Cukup jelas.
PASAL 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/
buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau
II - 61
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah
perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas
biaya perusahaan.
PASAL 127
PASAL 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja
bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian
kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
PASAL 128
Cukup jelas.
PASAL 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang
diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku
adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
PASAL 129
Cukup jelas.
PASAL 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama
dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang
bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/
serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan
peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam
peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
PASAL 130
Cukup jelas.
PASAL 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui
dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak
mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan
di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
II - 62
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal
120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh
serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat
buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu
dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan
di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/
serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut
ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
PASAL 131
PASAL 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat
buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka
perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan
masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja
bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih
menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger)
antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja
bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger)
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
bersama.
PASAL 132
Cukup jelas.
PASAL 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari
penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
kerja bersama tersebut.
II - 63
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak
yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya
didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
PASAL 133
PASAL 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan,
perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja
bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 134
Cukup jelas.
PASAL 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/
buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan
pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
PASAL 135
Cukup jelas.
PASAL 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung
jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Cukup jelas.
BAGIAN KEDELAPAN
LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
PARAGRAF 1
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
PASAL 136
PASAL 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib
dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang.
II - 64
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PARAGRAF 2
MOGOK KERJA
PASAL 137
PASAL 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai
sebagai akibat gagalnya perundingan.
PASAL 138
Yang dimaksud dengan gagalnya
perundingan dalam pasal ini adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan karena pengusaha tidak mau
melakukan perundingan atau perundingan
mengalami jalan buntu.
Yang dimaksud dengan tertib dan
damai adalah tidak mengganggu keamanan
dan ketertiban umum, dan/atau mengancam
keselamatan jiwa dan harta benda milik
perusahaan atau pengusaha atau orang lain
atau milik masyarakat.
PASAL 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang
bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok
kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan
tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak
memenuhi ajakan tersebut.
PASAL 139
Cukup jelas.
PASAL 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain.
Yang dimaksud dengan perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia
adalah rumah sakit, dinas pemadam
kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta
api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu
lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas
laut.
Yang dimaksud dengan pemogokan
yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan
yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang
tidak sedang menjalankan tugas.
PASAL 140
PASAL 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan
II - 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan
mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masingmasing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat
buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh
yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang
ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab
mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat
produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada
di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang
mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
PASAL 141
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Tempat mogok kerja adalah tempattempat yang ditentukan oleh penanggung
jawab pemogokan yang tidak menghalangi
pekerja/buruh lain untuk bekerja.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima
surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan
dengan
mempertemukan
dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan
II - 66
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar
perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/
serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok
kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara
atau dihentikan sama sekali.
PASAL 142
PASAL 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140
adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan
Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
PASAL 143
PASAL 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak
mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau
penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara
sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalanghalangi dalam ayat ini antara lain dengan
cara :
PASAL 144
PASAL 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan
II - 67
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun;
atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk
apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan
mogok kerja.
PASAL 145
PASAL 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara
sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguhsungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.
PARAGRAF 3
PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK-OUT)
Yang dimaksud dengan sungguhsungguh melanggar hak normatif adalah
pengusaha secara nyata tidak bersedia
memenuhi kewajibannya sebagaimana
dimaksud dan/atau ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan,
meskipun sudah ditetapkan dan
diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pembayaran upah pekerja/buruh yang
mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan
ketentuan pengenaan sanksi terhadap
pengusaha yang melakukan pelanggaran
ketentuan normatif.
PASAL 146
PASAL 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar
pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau
seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan
perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan
adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
PASAL 147
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan
(lock out) dilakukan secara tidak sah atau
sebagai tindakan balasan terhadap mogok
yang sah atas tuntutan normatif, maka
pengusaha wajib membayar upah pekerja/
buruh.
PASAL 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih,
pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik,
II - 68
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.
PASAL 148
PASAL 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out)
dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan
perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan
perusahaan yang bersangkutan.
PASAL 149
Cukup jelas.
PASAL 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus
memberikan tanda bukti penerimaan dengan
mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out)
berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan
perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari
II - 69
Cukup jelas
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out)
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar
perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan
atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148
ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
PASAL 150
PASAL 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam
undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang
terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Cukup jelas
PASAL 151
PASAL 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya
dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang
positif yang pada akhirnya dapat menghindari
terjadinya pemutusan hubungan kerja antara
II - 70
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
lain pengaturan waktu kerja, penghematan,
pembenahan metode kerja, dan memberikan
pembinaan kepada pekerja/buruh.
PASAL 152
PASAL 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang
menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial apabila telah
dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat
(2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja
hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud
untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan,
tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan.
PASAL 153
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
PASAL 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
II - 71
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di
dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan
pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada
yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau
status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum
dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/
buruh yang bersangkutan.
PASAL 154
PASAL 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat
(3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja,
bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pertama kali;
II - 72
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
c.
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
PASAL 155
PASAL 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa
tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh.
PASAL 156
Cukup jelas.
PASAL 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan
upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari
2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari
3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang
dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
II - 73
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan)
bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih,
10 (sepuluh) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima
bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
II - 74
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL 157
PASAL 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap
yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya,
termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan
kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila
catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka
sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan
adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar
perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi,
maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan
rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah
minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan
upahnya didasarkan pada upah borongan, maka
perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata
12 (dua belas) bulan terakhir.
PASAL 158
Cukup jelas.
PASAL 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan
barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan perusahaan;
II - 75
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di
lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau
mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di
lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau
membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman
sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan
yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan
perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya
2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
II - 76
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan
pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
PASAL 159
PASAL 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/
buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
PASAL 160
Cukup jelas.
PASAL 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas
pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada
keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh
lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh
lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh
lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50%
(lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak
hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak
dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena
dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan
tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan
II - 77
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungan adalah istri/suami, anak atau
orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/
buruh berdasarkan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh
dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang
mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4).
PASAL 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,
kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
II - 78
PASAL 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masing-masing surat peringatan dapat
diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan
secara berurutan maka surat peringatan
pertama berlaku untuk jangka 6 (enam)
bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan
kembali pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama masih dalam
tenggang waktu 6 (enam) bulan maka
pengusaha dapat menerbitkan surat
peringatan kedua, yang juga mempunyai
jangka waktu berlaku selama 6 (enam)
bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih
melakukan pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat menerbitkan peringatan ketiga
(terakhir) yang berlaku selama 6 (enam)
bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga.
Apabila dalam kurun waktu peringatan
ketiga pekerja/buruh kembali melakukan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak diterbitkannya surat peringatan
pertama sudah terlampaui, maka apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan
kembali pelanggaran perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, maka surat peringatan yang
diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali
sebagai peringatan pertama, demikian pula
berlaku juga bagi peringatan kedua dan
ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama
dapat memuat pelanggaran tertentu yang
dapat diberi peringatan pertama dan terakhir.
Apabila pekerja/buruh melakukan
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama
dalam tenggang waktu masa berlakunya
peringatan pertama dan terakhir dimaksud,
pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan
dimaksudkan sebagai upaya mendidik
pekerja/buruh agar dapat memperbaiki
kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam)
bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi
pengusaha untuk melakukan penilaian
terhadap kinerja pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 162
PASAL 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara
tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran
diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
II - 79
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 163
PASAL 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan
status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perubahan status,
penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya,
maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4).
PASAL 164
Cukup jelas.
PASAL 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa
(force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua)
tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan
karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut
atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/
buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
II - 80
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
PASAL 165
PASAL 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
PASAL 166
Cukup jelas.
PASAL 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh
meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah
uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2),
1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
PASAL 167
Cukup jelas.
PASAL 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun
dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh
pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh
pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak
mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang
diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya
dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/
buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya
II - 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah :
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya
diterima pekerja/buruh adalah Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan besarnya jaminan pensiun menurut
program pensiun adalah Rp
6.000.000,00. (enam juta rupiah) serta
dalam pengaturan program pensiun
tersebut telah ditetapkan premi yang
ditanggung oleh pengusaha 60% (enam
puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh
40% (empat puluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah
dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar
60% x Rp 6.000.000,00 = Rp
3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya
dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar
40% X Rp 6000.000,00 = Rp
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun
yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/
buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena
usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak
menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua
yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus
dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp
10.000.000,00 dikurangi Rp
3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh
pekerja/buruh pada saat PHK karena
pensiun tersebut adalah :
Rp 3.600.000,00 (santunan dari
penyelenggara program pensiun yang
preminya 60% dibayar oleh
pengusaha).
Rp 6.400.000.00 (berasal dari
kekurangan pesangon yang harus
dibayar oleh pengusaha).
Rp 2.400.000.00 (santunan dari
penyelenggara program pensiun yang
preminya 40% dibayar oleh pekerja/
buruh).
Jumlah = Rp 12.400.000,00 (dua
belas juta empat ratus ribu rupiah).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
PASAL 168
PASAL 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis
yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan
tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat
pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak
menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
II - 82
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara
patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh
telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan
pada alamat pekerja/buruh sebagaimana
tercatat di perusahaan berdasarkan laporan
pekerja/buruh. Tenggang waktu antara
pemanggilan pertama dan kedua paling
sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
PASAL 169
PASAL 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah
ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau
lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan
kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan
pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat
uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
II - 83
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 170
PASAL 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak
memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal
169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah
dan hak yang seharusnya diterima.
Cukup jelas.
PASAL 171
PASAL 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162,
dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima
pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun
sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Tenggang waktu 1 tahun dianggap
merupakan waktu yang cukup layak untuk
mengajukan gugatan.
PASAL 172
PASAL 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan,
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua
belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja
dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Cukup jelas.
BAB XIII
PEMBINAAN
PASAL 173
PASAL 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur
dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/
serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan
ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan
dalam ayat ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil
guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik
untuk meningkatkan dan mengembangkan
semua kegiatan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan.
II - 84
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi dalam ayat
ini adalah instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.
PASAL 174
PASAL 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 175
Cukup jelas.
PASAL 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang
atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan
ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk
lainnya.
Cukup jelas.
BAB XIV
PENGAWASAN
PASAL 176
PASAL 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen
guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
PASAL 177
Yang dimaksudkan dengan independen
dalam pasal ini adalah pegawai pengawas
dalam mengambil keputusan tidak
terpengaruh oleh pihak lain.
PASAL 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
PASAL 178
Cukup jelas.
PASAL 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
II - 85
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/
kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
PASAL 179
PASAL 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
PASAL 180
PASAL 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan
kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 181
Cukup jelas.
PASAL 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Cukup jelas.
BAB XV
PENYIDIKAN
PASAL 182
PASAL 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan
dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
II - 86
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
keterangan tentang tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen
lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan tentang adanya
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI
ADMINISTRATIF
BAGIAN KESATU
KETENTUAN PIDANA
PASAL 183
PASAL 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
II - 87
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
PASAL 184
PASAL 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
PASAL 185
Cukup jelas.
PASAL 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69
ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,
dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
PASAL 186
Cukup jelas.
PASAL 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2),
Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Cukup jelas.
PASAL 187
PASAL 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat
(1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal
78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat
(3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
II - 88
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
PASAL 188
PASAL 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat
(1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat
(3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana
denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
PASAL 189
Cukup jelas.
PASAL 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/
atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.
Cukup jelas.
BAGIAN KEDUA
SANKSI ADMINISTRATIF
PASAL 190
PASAL 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15,
Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat
(1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan
Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
II - 89
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat
produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
PASAL 191
PASAL 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 192
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan
yang mengatur ketenagakerjaan dalam
undang-undang ini adalah peraturan
pelaksanaan dari berbagai undang-undang
di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah
dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam
hal peraturan pelaksanaan belum dicabut
atau diganti berdasarkan undang-undang
ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum,
maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu
peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum
undang-undang ini berlaku dan masih
dalam proses penyelesaian pada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, maka sesuai dengan azas legalitas,
terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan
tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan
pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya
undang-undang ini.
PASAL 192
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun
1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
II - 90
Cukup jelas.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja
Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad
Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja
(Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima
Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun
1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan
Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan
Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958
Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib
Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out)
Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
II - 91
Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Penjelasan
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
PASAL 193
PASAL 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Cukup jelas.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
SEKTERARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2003 NOMOR 39
II - 92
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4279
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA
ACT NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER
II - 93
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
II - 94
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
II-103
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, PRINCIPLES
AND OBJECTIVES
II-106
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES
II-108
CHAPTER IV
MANPOWER PLANNING AND
MANPOWER INFORMATION
II-108
CHAPTER V
JOB TRAINING
II-109
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT
II-117
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES
II-119
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER
II-121
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS
II-123
II - 95
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
II-131
Section One : Protection
Subsection 1 : Disabled Person
Subsection 2 : Children
Subsection 3 : Women
Subsection 4 : Working Hours
Subsection 5 : Occupational Safety and Health
Section Two : Wages
Section Three : Welfare
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
II-146
Section One : General
Section Two : Trade/Labour Union
Section Three : Entrepreneurs’ Organization
Section Four : Bipartite Cooperation Institution
Section Five : Tripartite Cooperation Institution
Section Six : Company Ragulations
Section Seven : Collective Labour Agreement
Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of
Industrial Relation Disputes
Subsection 1 : Industrial Relations Disputes
Subsection 2 : Strike
Subsection 3 : Lock-Out
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT
II-163
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT
II-178
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION
II-179
CHAPTER XV
INVESTIGATION
II-180
II - 96
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
Section One : Criminal Provisions
Section Two : Administrative Sanctions
II-181
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS
II-184
CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS
II-184
II - 97
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
II - 98
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES
ON THE ACT OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 OF THE YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER AFFAIRS
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
I. GENERAL
MANPOWER
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA,
Considering:
a. That Indonesia’s national development shall be
implemented within the framework of building
Indonesians as fully-integrated human beings and of
building the whole Indonesian society in order to realize
a society in which there shall be welfare, justice and
prosperity based on equity both materially and spiritually
with the Pancasila and the 1945 Constitution at its
foundation.
b. That in the implementation of national development,
workers have a very important role and position as actors
of development as well as the goal of development itself;
c. That in accordance with the role and position of workers,
manpower development is required to enhance the quality
of workers as well as their role and participation in national
development and in improving protection for workers and
their families in respect to human dignity and values;
d. That protection of workers is intended to safeguard the
II - 99
Manpower development as an integral
part of the national development based on
the Pancasila and the 1945 Constitution shall
be carried out within the framework of
building up Indonesian as fully integrated
human beings and the overall, integrated
development of Indonesia’s society in order to
enhance the dignity, values and status of
manpower and to create a prosperous, just
and well-off society in which material and
spiritual benefits are evenly distributed.
Manpower development must be
regulated in such a way so as to fulfill the
rights of and to provide basic protection to
manpower and workers/ labourers and at the
same time to be able to create conducive
conditions for the development of the world
of business.
Manpower development has many
dimensions and interconnectivity. The
interconnectivity is not only related to the
interests of the workforce during, prior to and
after the term of employment but also related
to the interests of the entrepreneur, the
government and the public. Therefore,
comprehensive and all-inclusive arrangements
are needed. And this shall include, among
others, the development of human resources,
improvement of productivity and
competitiveness of Indonesian manpower,
efforts to extend job opportunities, job
placement service, and industrial relations
development.
Industrial relations development as part
of manpower development must be directed
to keep on realizing industrial relations that
Act No. 13 Year 2003
e.
f.
Explanatory Notes
fundamental rights of workers and to secure the
implementation of equal opportunity and equal treatment
without discrimination on whatever basis in order to
realize the welfare of workers/ labourers and their family
by continuing to observe the development of progress
made by the world of business;
That several acts on manpower are considered no longer
relevant to the need and demand of manpower
development and hence, need to be abolished and/or
revoked;
That based on the considerations as mentioned under
points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act
concerning Manpower.
In view of:
Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27
Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of
the 1945 Constitution.
By the joint approval between
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
AND
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DECIDE:
To stipulate:
ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS
are harmonious, dynamic and based on
justice. For this purpose, recognition and
appreciation of human rights as stated under
the Decree of the People’s Consultative
Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR
NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As
far as manpower business is concerned, this
MPR decree serves as a chief milestone in
promoting and upholding democracy in the
workplace. It is expected that the
implementation of democracy in the workplace
will encourage optimal participation from all
manpower and workers/ labourers of
Indonesia to build the aspired State of
Indonesia.
Some prevailing laws and regulations
concerning manpower that has been ongoing
thus far, including parts that are of colonial
products, put workers in a less advantageous
position especially when it comes to job
placement service and industrial relations
system that put too much emphasis on
differences of positions and interests so that
they are no longer suitable for today’s needs as
well as for future demands. The said statutory
legislations are:
Ordinance concerning the Mobilization
of Indonesian People To Perform Work
Outside of Indonesia (Staatsblad Year
1887 Number 8);
Ordinance dated December 17, 1925,
which is a regulation concerning the
Imposition of Restriction on Child Labour
and Night Work for Women (Staatsblad
Year 1925 Number 647);
Ordinance Year 1926, which is a
regulation concerning Child and Youth
Labour on Board of A Ship (Staatsblad
Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936
concerning Ordinance To Regulate
Activities To Recruit Candidates
(Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation
of Labourers Who Come From or Are
Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949
concerning Restriction of Child Labour
II - 100
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(Staatsblad Year 1949 Number 8);
Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of the Enactment of
Employment Act Year 1948 Number 12 From the Republic of Indonesia For All
Indonesia (State Gazette Year 1951 Number 2);
Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement Between Labour
Union and Employer (State Gazette Year 1954 Number 69, Supplement to State
Gazette Number 598a);
Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of Foreign Manpower (State
Gazette Year 1958 Number 8);
Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work for University Graduates
Holding Master’s Degree (State Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to
State Gazette Number 2270);
Act Number 7 of the Year 1963 serving as the Presidential Resolution on Prevention
of Strike and or Lockout at Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963 Number 67);
Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental Provisions concerning
Manpower (State Gazette Year 1969 Number 55, Supplement to State Gazette
Number 2912);
Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette of the Republic
of Indonesia Year 1997 Number 73, Supplement to State Gazette of the Republic
of Indonesia Number 3702);
Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act
Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette Year 1998 Number
184, Supplement to State Gazette Number 3791);
Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment of Government
Regulation in lieu of Law Number 3 Year 2000 concerning Changes to Act
Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State Gazette Year 2000 Number
204, Supplement to State Gazette Number 4042).
The above-mentioned statutory legislations are considered necessary to be revoked
and replaced by a new act. Relevant provisions of the old statutory rules and regulations
are accommodated under this manpower act. Implementing regulations from the
abolished acts shall remain effective until new implementing regulations are established
to replace them.
This act does not only abolish rules, regulations and provisions that are no longer
suitable/ relevant in the manpower context of today but also accommodate very
fundamental changes in all aspects of the life of Indonesian as a nation that started
with the 1998 reformation era.
At international labour forums, fundamental human rights in the workplace
are recognized through the 8 (eight) core conventions of the International Labour
Organization (ILO). These core conventions are basically made up of four groups:
Freedom of Association (ILO Conventions No. 87 and 98);
Prohibition against Discrimination (ILO Conventions No. 100 and 111);
Abolition of Forced Labour (ILO Conventions No. 29 and 105);
Minimum Age for Admission to Employment (ILO Convention No. 138 and
No. 182).
II - 101
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Indonesian, as a nation, is committed to the recognition and appreciation of
fundamental human rights in the workplace. This has been realized, among others,
through the ratification of the 8 (eight) core conventions of the ILO. In line with the
ratification in recognition of the fundamental rights, this manpower act must also
reflect observance and appreciation of the seven core principles.
This act contains, among others:
Statutory basis, fundamental principles and the objectives of manpower
development;
Manpower planning and manpower information;
Provision of equal opportunities and equal treatment for manpower and workers/
labourers;
Job training that is directed to improve and develop skills and expertise of manpower
in order to increase labour productivity as well as enterprise productivity;
Job placement service in order to optimally use manpower and the placement of
people available for work in jobs that uphold human values and human dignity
as a form of responsibility of the government and the society in efforts to extend job
opportunities;
The proper use of manpower of foreign citizenship in accordance with the
competences that are needed.
Industrial relations development that accords with the values of the Pancasila,
directed towards the development of harmonious, dynamic and justice-based
relations among actors of production process;
Institutional development and structures of industrial relations, including collective
labour agreements, bipartite cooperative institutes, tripartite cooperative institutes,
the provision of information on industrial relations to the society, and the settlement
of industrial relations disputes.
Protection for workers/ labourers, including protection of the worker/ labourer’s
fundamental rights to negotiate with the entrepreneur, protection of the worker/
labourer’s occupational safety and health, special protection for female workers/
labourers, children, youths and disabled or handicapped workers, and protection
concerning wages, welfare and social security for employees;
Labour inspection, in order to make sure that statutory rules and regulations
concerning manpower are indeed carried out, as they should.
II - 102
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
II. ARTICLE BY ARTICLE
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
ARTICLE 1
Under this act, the following definitions shall apply:
Manpower affairs are referring to every matter that is related
to people who are needed or available for a job before,
during and after their employment.
Manpower is every individual or person who is able to
work in order to produce goods and/ or services either to
fulfill his or her own needs or to fulfill the needs of the
society.
A worker/labourer are any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
An employer is individual, entrepreneur, legal entities, or
other entity that employ manpower by paying them wages
or other forms of remuneration.
An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
Manpower planning is the process of making a manpower
plan systematically that is used as a basis and reference
for formulating the policy, strategy and implementation
of a sustainable manpower development program.
II - 103
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
8. Manpower information is a group, a set or series and an
analysis of data in the form of processed numbers, texts
and documents that have specific meanings, values and
messages concerning labour.
9. Job training is the whole activities of providing workers
or potential workers with, and paving the way for them
to acquire, enhance and develop job competence,
productivity, discipline, work attitude and ethics until a
desired level of skills and expertise that match the grade
and qualifications required for a position or a job is reached.
10. Job competence or competency is the capability of each
individual that covers aspects of knowledge, skills and work
attitude which accords with prescribed standards.
11. Apprenticeship is a part of a job training system that
integrates training at a training institute with working
directly under the tutelage and supervision of an instructor
or a more experienced worker/ labourer in the process of
producing goods and/ or services in an enterprise in order
to master a certain skill or trade.
12. Job placement service is an activity aimed at matching
up manpower with employers so that manpower get jobs
that are suitable to their talents, interest and capability
and employers get the manpower they need.
13. Foreign worker is a visa holder of foreign citizenship with
the intention to work in Indonesia’s territory.
14. Work agreement is an agreement made between a worker/
labourer and an entrepreneur or an employer that specifies
work requirements, rights and obligations of the parties.
15. An employment relation is a relationship between an
entrepreneur and a worker/ labourer based on a work
agreement, which contains the elements of job, wages and
work order.
16. Industrial relations is a system of relations that is formed
among actors in the process of producing goods and/or
services, which consist of employers, workers/ labourers
and the government, which is based on the values of the
Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia.
17. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/labourers either within
II - 104
Act No. 13 Year 2003
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Explanatory Notes
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
A bipartite cooperation institution is a communication
and consultation forum on matters pertaining to industrial
relations in an enterprise whose members consist of
entrepreneurs and trade/labour unions that have been
registered at a government agency responsible for
manpower affairs or workers/labourers’ representatives.
A tripartite cooperation institute is a communication,
consultation and deliberation forum on manpower issues
(problems) whose members consist of representatives from
entrepreneurs’ organizations, workers/labourers’
organizations and the government.
Company regulations is a set of rules and regulations made
in writing by an entrepreneur that specifies work
requirements and the enterprise’s discipline and rule of
conduct.
A collective labour agreement is an agreement resulted
from negotiations between a trade/labour union or several
trade/ labour unions registered at a government agency
responsible for manpower affairs and an entrepreneur or
several entrepreneurs or an association of entrepreneurs
that specifies work requirements, rights and obligations
of the parties.
An industrial relations dispute is a difference of opinion
that results in a conflict between an entrepreneur or an
association of entrepreneurs and a worker/labourer or a
trade/labour union because of dispute over rights, interests
and termination of employment and dispute between a
trade/labour union and another trade/labour union in the
same enterprise.
A strike is a collective action of workers/labourers, which
is planned and carried out by a trade/labour union to
stop or slower work.
A lockout is the entrepreneur’s action of refusing the
worker/labourer in whole or in part to perform work.
The termination of an employment relationship is
II - 105
Act No. 13 Year 2003
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Explanatory Notes
termination of employment relationship because of a
certain thing that results in the coming of an end of the
rights and obligations of the worker/ labourer and the
entrepreneur.
A child is every person who is under 18 (eighteen) years
old.
Day is a period of time between 6am to 6pm.
One (1) day is a period of time of 24 (twenty four) hours.
A week is a period of 7 (seven) days.
A wage is the right of the worker/ labourer that is received
and expressed in the form of money as remuneration from
the entrepreneur or the employer to workers/ labourer,
whose amount is determined and paid according to a work
agreement, consensus, or laws and regulations, including
allowances for the worker/ labourer and their family for a
job and or service that has been performed or will be
performed.
Workers/ labourers’ welfare is a fulfillment of physical and
spiritual needs and/or necessities [of the worker] either
within or outside of employment relationships that may
directly or indirectly enhance work productivity in a
working environment that is safe and healthy.
Labour inspection is the activity of controlling and
enforcing the implementation of laws and regulations in
the field of manpower.
Minister is the minister responsible for manpower affairs.
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND
OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
Manpower development shall have the Pancasila and the
1945 Constitution as its statutory basis.
II - 106
The National Development shall be
carried out in the framework of the whole,
undivided development of Indonesian as a
human being. Therefore, manpower
development shall be carried out with the
aim to develop Indonesian and the
Indonesian society as a whole into a
prosperous, just, and well-off society in which
material and spiritual benefits are evenly
shared.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 3
ARTICLE 3
Manpower development shall be carried out based on
the basic principle of integration through functional, crosssector, central, and provincial/municipal coordination.
The fundamental principle of
manpower development basically accords with
the fundamental principle of national
development, in particular with the
fundamental principle of democracy of the
Pancasila and the fundamental principles of
social justice and equity. Manpower
development has many dimensions and
interconnectivity with many stakeholders such
as the government, the entrepreneur and the
worker/ labourer. Therefore, manpower
development shall be carried out in an
integrated manner and in the form of a
mutually supportive cooperation.
ARTICLE 4
ARTICLE 4
Manpower development aims at:
a. Empowering and making efficient use of manpower
optimally and humanely;
b. Creating equal opportunity and providing manpower
(supply of manpower) that suits the need of national and
provincial/ municipal developments;
c. Providing protection to manpower for the realization of
welfare; and
d. Improving the welfare of manpower and their family.
Point a
The empowerment and the effective
employment of manpower and the
development of their potentials shall go hand
in hand as an integrated activity aimed at
providing as many job opportunities as possible
to Indonesian manpower. Through the
empowerment and their employment/
potential development, Indonesian manpower
shall be able to participate optimally in the
national development but with keeping on
upholding their values as human beings.
Point b
All efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities throughout
all the territory of the Unitary State of the
Republic of Indonesia as a unified job markets
by providing equal opportunities to all
Indonesian manpower to find job that is in
line with their talents, interest and capabilities.
All efforts must also be made to ensure equal
distribution of job placement in order to fulfill
the needs in all sectors and regions.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
II - 107
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES
ARTICLE 5
ARTICLE 5
Any manpower shall have the same opportunity to get a
job without discrimination.
Every person who is available for a job
shall have the same right and opportunity to
find a decent job and to earn a decent living
without being discriminated against on
grounds of sex, ethnicity, race, religion, political
orientation, in accordance with the person’s
interest and capability, including the provision
of equal treatment to the disabled.
ARTICLE 6
ARTICLE 6
Every worker/ labourer has the right to receive equal
treatment without discrimination from their employer.
CHAPTER IV
Entrepreneurs are under an obligation
to give the worker/ labourer equal rights and
responsibilities without discrimination based
on sex, ethnicity, race, religion, skin color,
and political orientation.
MANPOWER PLANNING AND MANPOWER
INFORMATION
ARTICLE 7
ARTICLE 7
(1) For the sake of manpower development, the government
shall establish manpower policy and develop manpower
planning.
(2) Manpower planning shall include:
a. Macro manpower planning; and
b. Micro manpower planning.
(3) In formulating policies, strategies, and implementation
of sustainable manpower development program, the
government must use the manpower planning as
mentioned under subsection (1) as guidelines.
II - 108
Subsection (1)
Manpower planning that is formulated
and established by the government shall be
implemented through sector-based, regional
and national manpower planning
approaches.
Subsection (2)
Point a
Macro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning, which makes effective, productive
and optimal use of workforce in order to
support economic or social developments at
national, regional or sector-based level. In
this way as many as possible job opportunities
can be made available while job productivity
and workers/ labourers’ welfare can also be
increased.
Point b
Micro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning within an agency – either a
government agency or a private agency – in
order to enhance the effective, productive and
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
optimal use of workforce to support the
achievement of high performance at the agency
or enterprise concerned.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 8
ARTICLE 8
(1) Manpower planning shall be developed on the basis of
manpower information, which, among others, includes
information concerning:
a. Population and manpower;
b. Employment opportunity;
c. Job training including job competence;
d. Workers’ productivity;
e. Industrial relations;
f. Working environment condition;
g. Wages system and workers’ welfare; and
h. Social security for the employed.
(2) The manpower information as mentioned under
subsection (1) shall be obtained from all related parties,
including from government and private agencies.
(3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower
information as well as procedures for the formulation and
implementation of manpower planning as mentioned
under subsection (1) shall be regulated with a Government
Regulation.
Subsection (1)
Manpower information is collected and
processed according to the objectives of the
formulation of national manpower planning
and provincial or district or city manpower
planning.
Subsection (2)
For the sake of manpower development,
the participation of the private sector is expected
to provide information concerning manpower.
The term “private sector” shall include
enterprises/ companies, universities, and nongovernment organizations at central level,
provincial or district/ city levels.
Subsection (3)
Sufficiently clear
CHAPTER V
JOB TRAINING
ARTICLE 9
ARTICLE 9
Job training is provided and directed to instill, enhance,
and develop job competence in order to improve ability,
productivity and welfare.
Welfare improvement as mentioned
under this Article shall mean the welfare
gained by manpower through the fulfillment
of work competence acquired by means of job
training.
ARTICLE 10
ARTICLE 10
(1) Job training shall be carried out by taking into account
II - 109
Subsection (1)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
the need of the job market and the need of the business
community, either within or outside the scope of
employment relations.
Job training shall be provided on the basis of training
programs that refer to job competence standards.
(2) Job training may be administered step by step.
(3) Provisions concerning procedures for establishing job
competence standards as mentioned under subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 11
Subsection (2)
Work competence standards shall be
established by Minister by including the
sectors concerned.
Subsection (3)
Job training commonly comes in three
levels: elementary level, intermediate level and
advanced level.
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 11
Manpower has the right to acquire and/or improve and/
or develop job competence that is suitable to their talents,
interest and capability through job training.
Sufficiently clear
ARTICLE 12
ARTICLE 12
(1) Entrepreneurs are responsible for improving and or
developing their workers’ competence through job
training.
Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated
with a Ministerial Decision are under an obligation to
improve and or develop the competence of their workers
as mentioned under subsection (1)
(2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to
take part in a job training that is relevant to their field of
duty.
Subsection (1)
Users of skilled manpower are
entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are
responsible for organizing job training in
order to improve their workers’ competence.
Subsection (2)
Entrepreneurs are obliged to enhance
and/or develop the competence of their
workers/ labourers because it is the enterprise
that will benefit from the enhancement of
their workers/ labourers’ job competence.
Subsection (3)
The administration of job training shall
be adjusted to the need of and the available
opportunity at the enterprise so that enterprise
activities are not disrupted.
ARTICLE 13
ARTICLE 13
(1) Job training shall be provided by government job-training
institutes and/or private job-training institutes.
(2) Job training may be provided in a training place or in the
workplace.
(3) In providing job training, government job-training
institutes as mentioned under subsection (1) may work
together with the private sector.
Subsection (1)
Private job training shall also include
enterprise job training.
II - 110
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 14
ARTICLE 14
(1) A private job-training institute can take the form of an
Indonesian legal entity or individual proprietorship.
(2) Private job-training institutes as mentioned under
subsection (1) are under an obligation to have a permit or
register with the agency responsible for manpower affairs
in the local district/ city.
(3) A job-training institute run by a government agency shall
register its activities at the government agency responsible
for manpower affairs in the local district/ city.
(4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit
from the authorities and registration procedures for job
training institutes as mentioned under subsection (2) and
subsection (3) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
ARTICLE 15
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
The registration of training activities
administered by a government job-training
institute at the government agency responsible
for manpower affairs in the district/ city is
intended to get information for optimal
enhancement and development of the
effectiveness of the training, training results,
training structures and infrastructures.
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 15
Job training providers are under an obligation to make
sure that the following requirements are met:
a. The availability of trainers;
b. The availability of a curriculum that is suitable to the
level of job training to be given;
c. The availability of structures and infrastructure for job
training; and
d. The availability of fund for the perpetuation of the activity
of providing job training.
ARTICLE 16
Sufficiently clear
ARTICLE 16
(1) Licensed private job training institutes and registered
government-sponsored job training institutes may obtain
accreditation from accrediting agencies.
(2) The accrediting agencies as mentioned under subsection
(1) shall be independent, consisting of community and
government constituents, and shall be established with a
Ministerial Decision.
(3) The organization and procedures of work of the accrediting
agencies as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
II - 111
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 17
ARTICLE 17
(1) The government agency responsible for labour/ manpower
affairs in a district/ city may temporarily terminate
activities associated with the organization and
administration of a job training in the district/ city if it
turns out that the implementation of the job training:
a. Is not in accordance with the job training directions
as mentioned under Article 9; and/or
b. Does not fulfill the requirements as mentioned under
Article 15.
(2) The temporary termination of activities associated with
the organization and administration of job training as
mentioned under subsection (1) shall be accompanied
with the reasons for the temporary termination and
suggestions for corrective actions and shall apply for no
longer than 6 (six) months.
(3) The temporary termination of the implementation of the
administration of job training only applies to training
programs that do not fulfill the requirements as specified
under Article 9 and Article 15.
(4) Job training providers who, within a period of 6 months,
do not fulfill and complete the suggested corrective actions
as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a
sanction that rules the termination of their training
programs.
(5) Job training providers who do not obey and continue to
carry out the training programs that have been ordered
for termination as mentioned under subsection (4) shall
be subjected to a sanction that revokes their licenses and
cancels their registrations as job training providers.
(6) Provisions concerning procedures for temporary
termination, termination, revocation of license, and
cancellation of registration shall be regulated with a
Ministerial Decision.
ARTICLE 18
Sufficiently clear
ARTICLE 18
(1) Manpower shall be entitled to receive job competence
recognition after participating in job training provided
by government job training institutes, private job training
institutes, or after participating in job training in the
II - 112
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Certification of competence is a process
Act No. 13 Year 2003
(2)
(3)
(4)
(5)
Explanatory Notes
workplace.
The job competence recognition as mentioned under
subsection (1) shall be made through job competence
certification.
Manpower with experience in the job may, despite their
experience, take part in the job training as mentioned
under subsection (1) in order to obtain job competence
certification as mentioned under subsection (2).
To provide job competence certification, independent
profession-based certification agencies shall be established.
Provisions concerning the procedures for the establishment
of certification agencies as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Presidential Decision.
ARTICLE 19
of issuing competence-attesting certificates in
a systematic and objective way through
competence tests that use national as well as
international competence standards as
reference.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
ARTICLE 19
The provision of job training to people with disability
who are available for a job shall take into account the type and
severity of the disability and their ability.
Sufficiently clear
ARTICLE 20
ARTICLE 20
(1) To support the improvement of job training for the sake
of manpower development, a national job-training system
that serves as a reference for the administration of job
training in all fields of work and/or all sectors shall be
developed.
(2) Provisions concerning the form, mechanism and
institutional arrangements of the national job-training
system as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Government Regulation.
Subsection (1)
The national job training system as
mentioned under this subsection is
interconnectivity and integration of various
job training elements/ aspects which include,
among others, participants, costs, structures
and infrastructures, instructors, training
programs and methods and graduates. With
the existence of the national job training
system, all elements and all resources of
national job training found in government
agencies, private agencies and companies can
be optimally used.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 21
ARTICLE 21
Job training may be administered by means of
apprenticeship systems.
ARTICLE 22
Sufficiently clear
ARTICLE 22
(1) Apprenticeship shall be carried out based on an
apprenticeship agreement made in writing between the
II - 113
Subsection (1)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
apprenticeship participant and the entrepreneur.
(2) The apprenticeship agreement as mentioned under
subsection (1) shall at least have stipulations explaining
the rights and obligations of both the participant and the
entrepreneur as well as the period of apprenticeship.
(3) Any apprenticeship administered without an
apprenticeship agreement as mentioned under subsection
(2) shall be declared illegal and as a consequence, the status
of the apprenticeship’s participants shall change to be the
workers/ labourers of the enterprise.
Subsection (2)
The rights of the apprentice include the
right to receive pocket money and or transport
money, the right to receive social security for
employees, certificate upon completion of
apprenticeship if they successfully complete the
apprenticeship program.
The rights of the entrepreneur, on the
other hand, include the right to possess any
products/ services resulted from the
apprenticeship activities, the right to recruit
and install successful apprentices as workers/
labourers if they meet the entrepreneur’s
criteria.
The obligations of the apprentice include
the obligation to comply with the
apprenticeship agreement, to follow
apprenticeship programs and procedures, and
to comply with the enterprise’s discipline and
rule of conduct.
The obligations of the entrepreneur, on
the other hand, include the obligation to
provide pocket money and/or transport money
to the apprentice, training facilities and
infrastructures as well as occupational safety
and health equipment.
The period of apprenticeship varies,
subject to the length of time needed to achieve
the competence standards that have been set/
established in the apprenticeship training
programs.
Subsection (3)
An apprentice who has the status of a
worker/ labourer in the enterprise that employs
him or her as apprentice shall have the right
over everything that is regulated in the
company regulations or the collective labour
agreement.
ARTICLE 23
ARTICLE 23
Manpower that has completed an apprenticeship program
is entitled to get their job competence and qualifications
recognized by enterprises or by certification agency.
Certification may be performed by a
certification agency established by and or
accredited by the government if the program
is general, or by the enterprise if the program
is specific.
ARTICLE 24
ARTICLE 24
Apprenticeship can take place within the enterprise or at
the place where job training is organized, or at another
II - 114
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
enterprise, within or outside of the Indonesia’s territory.
ARTICLE 25
ARTICLE 25
(1) The apprenticeship which is conducted outside of
Indonesia’s territory must obtain a license from Minister
or the appointed official.
(2) In order to obtain the license as mentioned under
subsection (1), the organizer of the apprenticeship must
be in the form of an Indonesian legal entity in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(3) Provisions concerning the procedures for obtaining license
for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory
as mentioned under subsection (1) and subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
Sufficiently clear
ARTICLE 26
ARTICLE 26
(1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s
territory must take into account:
a. The dignity and standing of Indonesians as a nation;
b. Mastery of a higher level of competence; and
c. Protection and welfare of apprenticeship participants,
including their rights to perform religious obligations.
(2) The Minister or appointed official may order the
termination of any apprenticeship taking place outside of
the Indonesia’s territory if it turns out that its organization
is not pursuant to subsection (1).
ARTICLE 27
Sufficiently clear
ARTICLE 27
(1) Minister may require qualified enterprises to organize
apprenticeship programs.
(2) In determining the requirements for organizing
apprenticeship programs as mentioned under subsection
(1), Minister must take into account the interests of the
enterprise, the society and the State.
II - 115
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
The phrase the interests of the enterprise
under this subsection means to ensure the
availability of skilled and expert manpower
at certain competence levels such specialist
welders for performing welding underwater.
The phrase the interests of the society
shall refer to, for instance, the opening up of
opportunities for people to find a job in a
specific industry such as plant cultivation
technology with tissue culture.
The phrase the interests of the State shall
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
refer to, for instance, efforts to save the country’s
foreign exchange reserves through
apprenticeship programs aimed at enabling
the apprentice to manufacture modern
agricultural machines and tools.
ARTICLE 28
ARTICLE 28
(1) In order to provide recommendation and consideration
in the establishment of policies and coordination of job
training and apprenticeship activities, a national job
training coordinator institute shall be established.
(2) The formation, membership and procedures of work of
the national job training coordinator institute as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Presidential Decision.
ARTICLE 29
Sufficiently clear
ARTICLE 29
(1) The Central Government and/or Regional Governments
shall develop job training and apprenticeship.
(2) The development of job training and apprenticeship shall
be directed to improve the relevance, quality, and
efficiency of job training administration and productivity.
(3) Efforts to improve productivity as mentioned under
subsection (2) shall be made through the development of
productive culture, work ethics, technology and efficiency
of economic activities directed towards the realization of
national productivity.
Sufficiently clear
ARTICLE 30
ARTICLE 30
(1) In order to enhance productivity as mentioned under
subsection (2) of Article 29, a national productivity
institute shall be established.
(2) The national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be in the form of an institutional
productivity enhancement service network, which
supports cross-sector and cross-regional activities/
programs.
(3) The formation, membership and procedures of work of
the national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Presidential
Decision.
II - 116
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT
ARTICLE 31
ARTICLE 31
Any manpower shall have equal rights and opportunities
to choose a job, get a job, or move to another job and earn
decent income irrespective of whether they are employed at
home or abroad.
ARTICLE 32
Sufficiently clear
ARTICLE 32
(1) Job placement shall be carried out based on transparency,
free, objectivity, fairness and equal opportunity without
discrimination.
(2) Job placement shall be directed to place manpower in
the right job or position which best suits their skills, trade,
capability, talents, interest and ability by observing their
dignity and rights as human beings as well as legal
protection.
(3) Job placement shall be carried out by taking into account
the equal distribution of equal opportunity and the
available supply of manpower in accordance with the needs
of the national and regional development programs.
Subsection (1)
The term transparency here refers to the
giving of clear information to jobseekers
concerning the type of work, the amount
of wages, and working hours. This is
necessary to protect workers/ labourers and
to avoid disputes after the placement takes
place.
Free means that jobseekers are free to choose
whatever job they like and employers are
also free to choose manpower/ jobseekers
they like. Thus jobseekers must not be
forced to accept a job and employers must
not be forced to accept any manpower
offered to him.
The term objectivity here is intended to
encourage employers to offer to jobseekers
jobs that suit their abilities and
qualifications. In so doing, however,
employers have to consider the interests of
the public and must not take sides.
The phrase fairness and equal here shall
refer to placement purely based on the
ability of the manpower and not based
on the manpower’s race, sex, skin color,
religion, and political orientation.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities in the whole
territory of the State of the Republic of
Indonesia as a unified national job market
by providing the whole manpower with the
same opportunity to get job according to their
II - 117
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
talents, interests and ability. Efforts to ensure
equal distribution of job opportunities also
need to be made so that the need for manpower
in all sectors and regions can be fulfilled.
ARTICLE 33
ARTICLE 33
The placement of manpower consists of:
a. The placement of manpower at domestic level;
b. The placement of manpower in foreign countries.
Sufficiently clear
ARTICLE 34
ARTICLE 34
Provisions concerning the placement of manpower in
foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall
be regulated with an act.
Prior to the enactment of the act on the
placement of manpower in foreign countries,
all laws and regulations that regulate
placement of manpower in foreign countries
shall remain valid.
ARTICLE 35
ARTICLE 35
(1) Employers who need workforce may recruit by themselves
the workforce they need or have them recruited through
job placement agencies.
(2) Job placement agencies as mentioned under subsection
(1) are under an obligation to provide protection to
manpower that they try to find a placement for since their
recruitment takes place until their placement is realized.
(3) In employing people who are available for a job, the
employers as mentioned under subsection (1) are under
an obligation to provide protection which shall include
protection for their welfare, safety and health, both mental
and physical.
Subsection (1)
Employers under this subsection refer to
domestic employers.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 36
ARTICLE 36
(1) The placement of manpower by a job placement agency
as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be
carried out through the provision of job placement service.
(2) Job placement service as mentioned under subsection (2)
shall be provided/rendered in an integrated manner within
a job placement system to which the following elements
are part:
a. Job seekers;
b. Vacancies;
c. Job market information;
II - 118
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
d. Inter-job mechanisms; and
e. Institutional arrangements for job placement.
(3) Activities connected with the elements of the job
placement system as mentioned under subsection (2) can
take place separately and are aimed at the realization of
the placement of manpower.
ARTICLE 37
ARTICLE 37
(1) Job placement agencies as mentioned under subsection
(1) of Article 35 consist of:
a. Government agencies responsible for manpower affairs;
and
b. Private agencies with legal status.
(2) In order to provide job placement service, the private
agency as mentioned under subsection (1) point b is under
an obligation to possess a written permission from Minister
or another appointed official.
ARTICLE 38
Subsection (1)
Point a
The establishment of government
agencies responsible for manpower affairs at
central and regional level shall be regulated
according to prevailing laws and regulations.
Point b
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 38
(1) Job placement agencies as mentioned under point a
subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting
placement fees, either directly or indirectly, in part or in
whole, from people available for work whom they find a
placement for and their users.
(2) Private job placement agencies as mentioned under point
b subsection (1) of Article 37 may only collect placement
fees from users of their service and from workers of certain
ranks and occupation whom they have placed.
(3) The ranks and occupation as mentioned under subsection
(2) shall be regulated with a Ministerial Decision.
Sufficiently clear
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES
ARTICLE 39
ARTICLE 39
(1) The government is responsible for making efforts to extend
job opportunities either within or outside of employment
relationships.
II - 119
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(2) The government and the society shall jointly make efforts
to extend job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(3) All the government’s policies, at the central or regional
level and in each sector, shall be directed to realize the
extension of job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the
business society need to help and facilitate each activity
of the society which can create or develop extension of job
opportunities.
ARTICLE 40
ARTICLE 40
(1) Extension of employment opportunities outside of
employment relationships shall be undertaken through
the creation of productive and sustainable activities by
efficient use of natural resource potentials, human
resources, and effective practical technologies.
(2) Extension of employment opportunities as mentioned
under subsection (1) shall be undertaken through patterns
of formation and development for the self-employed, the
application of labour-intensive system, the application and
development of effective practical technology, and efficient
use of volunteers or other patterns that may encourage
the creation of job opportunity extension.
Sufficiently clear
ARTICLE 41
ARTICLE 41
(1) The government shall determine manpower and job
opportunity extension policies.
(2) The government and the society shall jointly exercise
control over the implementation of the policies as
mentioned under subsection (1).
(3) In implementing the duty as mentioned under subsection
(2), a coordinating body with government and society
constituents as its members may be established.
(4) Provisions concerning the extension of job opportunities
as mentioned under Article 39 and Article 40 and the
formation of a coordinating body as mentioned under
subsection (3) of this Article shall be regulated with a
Government Regulation.
II - 120
Because efforts to extend job
opportunities are of cross-sector coverage, a
national policy must be made in all sectors to
absorb manpower optimally. In order to
properly implement the national policy, the
government and society shall jointly and in a
coordinated way monitor and control the
implementation of the policy.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER
ARTICLE 42
ARTICLE 42
(1) Every employer that employs foreign worker is under an
obligation to obtain written permission from Minister.
(2) An employer who is an individual person is prohibited
from employing foreign worker.
(3) The obligation to obtain permission from Minister as
mentioned under subsection (1) does not apply to
representative offices of foreign countries in Indonesia that
employ foreign citizens as their diplomatic and consular
employees.
(4) Foreign worker can be employed in Indonesia in
employment relations for certain positions and for a
certain period of time only.
(5) Provisions concerning certain positions and certain periods
of time as mentioned under subsection (4) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
(6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose
working period has expired and cannot be extended may
be replaced by other foreign workers.
ARTICLE 43
Subsection (1)
The requirement to obtain permission
for the use of foreign worker is intended to
ensure selective employment of foreign worker
so that Indonesian manpower can be used
and developed optimally.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
Subsection (6)
Sufficiently clear
ARTICLE 43
(1) Employers of foreign worker must have plan concerning
the utilization of foreign worker that are legalized by the
Minister or appointed official.
(2) The plans for the utilization of foreign worker as
mentioned under subsection (1) shall at least contain the
following information:
a. The reasons why the service of foreign worker is needed
or required.
b. The position and or occupation of the foreign worker
within the organizational structure of the enterprise.
c. The timeframe set for the use of the foreign worker;
and
d. The appointment of Indonesian worker as associate
for the foreign worker.
II - 121
Subsection (1)
The plan for the utilization of foreign
worker is a requirement to get working permit
(IKTA).
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
The “international agencies” under this
subsection refer to non-profit international
organizations under the United Nations such
as the ILO, WHO or UNICEF.
Subsection (4)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(3) The provision as mentioned under subsection (1) does
not apply to government agencies, international agencies
and representative diplomatic offices of foreign countries.
(4) The provisions concerning the procedures for the
legalization of plans concerning the utilization of foreign
worker shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 44
ARTICLE 44
(1) Employers of foreign worker are under an obligation to
obey the prevailing regulations concerning occupations
and competence standards.
(2) The provisions concerning occupations and competence
standards as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
Subsection (1)
The competence standards here refer to
qualifications that must be owned by
manpower of foreign citizenship such as
knowledge, skills and expertise in certain fields
and understanding of Indonesian culture.
Subsection (2)
ufficiently clear
ARTICLE 45
ARTICLE 45
(1) Employers who employ foreign worker are under
obligations:
a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign
worker whereby the foreign worker shall transfer
technologies and his/her expertise to his/her
Indonesian associate; and
b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned
under point a, until he/she has the qualifications
required to occupy the position currently occupied by
foreign worker.
(2) The provision as mentioned under subsection (1) does
not apply to foreign worker who occupy the position of
director and/or commissioner.
ARTICLE 46
Subsection (1)
Point a
Indonesian worker who accompany
foreign worker do not automatically replace
or occupy the position of the foreign worker
that they accompany. The accompaniment is
emphasized on transfer of technology and
transfer of expertise/ skills so that the
accompanying Indonesian workers may get
ability to replace the foreign worker that they
accompany in due time.
Point b
Vocational education and training by
employers may be carried out either in the
country home or by sending Indonesian
manpower to foreign countries for training.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 46
(1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal
with personnel and/or occupy certain positions.
(2) The certain positions as mentioned under subsection (1)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
II - 122
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 47
ARTICLE 47
(1) Employers are obliged to pay compensation for each of
foreign worker that they employ.
(2) The obligation to pay compensation as mentioned under
subsection (1) does not apply to government agencies,
international agencies, social and religious undertakings
and certain positions in educational institutions.
(3) The provisions concerning certain positions in educational
institutions as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
(4) The provisions concerning the amount of compensation
and its utilization shall be regulated with a Government
Regulation.
ARTICLE 48
Subsection (1)
The obligation to pay compensation is
intended to support efforts to increase the
quality of Indonesian human resources.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 48
Employers who employ foreign worker are under an
obligation to repatriate the foreign worker to their countries
of origin after their employment comes to an end.
Sufficiently clear
ARTICLE 49
Provisions concerning the procedures for the utilization
of foreign workers and the implementation of education and
training for their Indonesian associate shall be regulated with
a Government Regulation.
ARTICLE 49
Sufficiently clear
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS
ARTICLE 50
ARTICLE 50
Employment relation exists because of the existence of a
work agreement between the entrepreneur and the worker/
labourer.
Sufficiently clear
ARTICLE 51
ARTICLE 51
(1) Work agreements can be made either orally or in writing.
(2) Work agreements that specify requirements in writing shall
be carried out in accordance with valid legislation.
Subsection (1)
Principally, work agreements shall be
made in writing. However, given the various
conditions in the society, oral work agreements
are possible.
II - 123
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Subsection (2)
Work agreements that specify work
requirements in writing must be in
accordance with the prevailing laws and
regulations, including work agreements for a
specified time, inter-work inter-region and
inter-work inter-country and maritime work
agreements.
ARTICLE 52
ARTICLE 52
(1) A work agreement shall be made based on:
a. The agreement of the parties;
b. The capability or competence to take legal actions;
c. The availability/existence of the job which the parties
have agreed about;
d. The notion that the job which the parties have agreed
about is not against public order, morality and what is
prescribed in the prevailing laws and regulations.
(2) If a work agreement, which has been made by the parties,
turns out to be against what is prescribed under point a
and point b of subsection (1), the agreement may be
abolished/cancelled.
(3) If a work agreement, which has been made by the parties,
turns out to be against what is prescribed under point c
and point d of subsection (1), the agreement shall be
declared null and void by law.
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
The phrase capability or competence to
take legal actions refers to parties who are
capable or competent by law to make
agreements. Work agreements for child labour
shall be signed by their parents or guardians.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 53
ARTICLE 53
Everything associated with, and/or the costs needed for,
the making of a work agreement shall be borne by, and shall
be the responsibility of, the entrepreneur.
ARTICLE 54
Sufficiently clear
ARTICLE 54
(1) A written work agreement shall at least include:
a. The name, address and line of business;
b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer;
c. The occupation or the type of job;
d. The place, where the job is to be carried out;
e. The amount of wages and how the wages shall be paid;
f. Job requirements stating the rights and obligations of
II - 124
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
What is meant by the phrase must not
against stated under this subsection is that if
the enterprise already has its rules and
regulations or its collective labour agreement,
then the content of the work agreement, both
in terms of quality and quantity, can not be
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
both the entrepreneur and the worker/ labourer;
g. The date the work agreement starts to take effect and
the period during which it is effective;
h. The place and the date where the work agreement is
made; and
i. The signatures of the parties involved in the work
agreement.
(2) The provisions in a work agreement as mentioned under
point e and point f of subsection (1) are concerned must
not against the company regulations, the collective labour
agreement and prevailing laws and regulations.
(3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall
be made in 2 (two) counterparts which have the same
legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the
entrepreneur and the other by the worker/ labourer.
ARTICLE 55
lower than the provisions under the company
regulations or the collective labour agreement.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 55
A work agreement cannot be withdrawn and/or changed
unless the parties agreed otherwise.
Sufficiently clear
ARTICLE 56
ARTICLE 56
(1) A work agreement may be made for a specified time or for
an unspecified time.
(2) A work agreement for a specified time shall be made based
on:
a. A term; or
b. The completion of a certain job.
ARTICLE 57
Sufficiently clear
ARTICLE 57
(1) A work agreement for a specified time shall be made in
writing and must be written in the Indonesian language
with Latin alphabets.
(2) A work agreement for a specified time, if not made in
writing is against what is prescribed under subsection (1),
shall be regarded as a work agreement for an unspecified
time.
(3) If a work agreement is written in both the Indonesian
language and a foreign language and then differences in
interpretation arise, then the Indonesian version of the
agreement shall prevail.
II - 125
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 58
ARTICLE 58
(1) A work agreement for a specified time cannot stipulate
probation.
(2) If a work agreement as mentioned under subsection (1)
stipulates the probation, it shall then be declared null
and void by law.
ARTICLE 59
Sufficiently clear
ARTICLE 59
(1) A work agreement for a specified time can only be made
for a certain job, which, because of the type and nature of
the job, will finish in a specified time, that is:
a. Work to be performed and completed at once or work
which is temporary by nature;
b. Work whose completion is estimated time which is
not too long and no longer than 3 (three) years;
c. Seasonal work; or
d. Work that is related to a new product, a new activity
or an additional product that is still in the experimental
stage or try-out phase.
(2) A work agreement for a specified time cannot be made for
jobs that are permanent by nature.
(3) A work agreement for a specified time can be extended or
renewed.
(4) A work agreement for a specified time may be made for a
period of no longer than 2 (two) years and can only be
extended one time that is not longer than 1 (one) year.
(5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for
a specified time shall notify the said workers/ labourers of
the intention in writing within a period of no later than 7
(seven) days prior to the expiration of the work agreements.
(6) The renewal of a work agreement for a specified time can
only be made after a grace period of 30 (thirty) days is
over since the work agreement for a specified period comes
to an end; the renewal of a work agreement for a specified
time can only be made once that is no longer than 2 (two)
years.
(7) Any work agreement for a specified time that does not
fulfill the requirements mentioned under subsection (1),
subsection (2), subsection (4), subsection (5) and
II - 126
Subsection (1)
The work agreement as mentioned
under this subsection shall be registered with
the government agency responsible for
manpower affairs.
Subsection (2)
Jobs that are permanent by nature refer
to continuous, uninterrupted jobs that are
not confined by a timeframe and are part of
production process in an enterprise or jobs
that are not seasonal.
Jobs that are not seasonal are jobs that
do not depend on the weather or certain
conditions. If a job is a continuous,
uninterrupted job that is not confined by a
timeframe and part of a production process
but depends on the weather or the job is
needed because of the existence of a certain
condition, then the job is a seasonal job. The
job does not belong to permanent employment
and hence, can be subjected to a work
agreement for a specified time.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
Subsection (6)
Sufficiently clear
Subsection (7)
Sufficiently clear
Subsection (8)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
subsection (6) shall, by law, become a work agreement
for an unspecified time.
(8) Other matters that have not been regulated under this
article shall be further regulated with a Ministerial
Decision.
ARTICLE 60
ARTICLE 60
(1) A work agreement for an unspecified time may require a
probation period for no longer than 3 (three) months.
(2) During the probation period as mentioned under
subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying
wages less than the applicable minimum wage.
Subsection (1)
A requirement for a probationary period
must be stated in a work agreement. If the
work agreement is made orally, the
requirement for a probationary period must
be made known to the worker and stated in
the worker’s letter of appointment. If the work
agreement or the letter of appointment is silent
about probationary period, probationary
period shall be considered non-existent.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 61
ARTICLE 61
(1) A work agreement comes to an end if:
a. The worker dies; or
b. The work agreement expires; or
c. A court decision and/or a resolution or order of the
industrial relations disputes settlement institution,
which has permanent legal force; or
d. There is a certain situation or incident prescribed in
the work agreement, the company regulations, or the
collective labour agreement which may effectively
result in the termination of employment.
A work agreement does not end because the
entrepreneur dies or because the ownership of the
company has been transferred because the company
has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a
grant.
(2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise,
the new entrepreneur shall bear the responsibility of
fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless
otherwise stated in the transfer agreement, which must
not reduce the entitlements of the worker/ labourer.
II - 127
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Sufficiently clear
Point d
A certain situation or incident which
may result in the termination of employment
refers to certain conditions such as natural
disasters, social upheavals/ unrest and security
disturbances.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
What is meant by the worker’s
entitlements that pursuant to the prevailing
laws and regulations or the entitlements that
has been prescribed in the work agreement,
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may
terminate the work agreement after negotiating with the
worker/ labourer.
(4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful
claim to acquire the worker’s entitlements according to
the prevailing laws and regulations or to the entitlements
that has been prescribed in the work agreement, the
company regulations, or the collective labour agreement.
ARTICLE 62
the company regulations, or collective labour
agreement are entitlements that must be given
that are better and more beneficial for the
worker/ labourer.
ARTICLE 62
If either party in a work agreement for a specified time
shall terminates the employment relations prior to the
expiration of the agreement, or if their work agreement has to
be ended for reasons other than what is given under subsection
(1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged
to pay compensation to the other party in the amount of the
worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement.
ARTICLE 63
Sufficiently clear
ARTICLE 63
(1) If a work agreement for an unspecified time is made orally,
the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of
appointment for the relevant worker/ labourer.
The letter of appointment as mentioned under subsection
(1) shall at least contain information concerning:
a. The name and address of the worker/ labourer;
b. The date the worker starts to work;
c. The type of job or work; and
d. The amount of wages.
Sufficiently clear
ARTICLE 64
ARTICLE 64
An enterprise may subcontract part of its work to another
enterprise under a written agreement of contract of work or a
written agreement for the provision of worker/labour.
ARTICLE 65
Sufficiently clear
ARTICLE 65
(1) The subcontract of part of work to another enterprise shall
be performed under a written agreement of contract of
work.
(2) Work that may be subcontracted as mentioned under
subsection (1) must meet the following requirements:
II - 128
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Explanatory Notes
a. The work can be done separately from the main activity;
b. The work is to be undertaken under either a direct or
an indirect order from the party commissioning the
work;
c. The work is an entirely auxiliary activity of the
enterprise; and
d. The work does not directly inhibit the production
process.
The other enterprise as mentioned under subsection (1)
must be in the form of a legal entity.
The protection and working conditions provided to
workers/ labourers at the other enterprise as mentioned
under subsection (2) shall at least the same as the
protection and working conditions provided at the
enterprise that commissions the contract or in accordance
with the prevailing laws and regulations.
Any change and/or addition to what is required under
subsection (2) shall be regulated further with a Ministerial
Decision.
The employment relationship in undertaking the work
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with
a written employment agreement between the other
enterprise and the worker/labourer it employs.
The employment relationship as mentioned under
subsection (6) may be based on an employment agreement
for an unspecified time or on an employment agreement
for a specified time if it meets the requirements under
Article 59.
If what is stipulated under subsection (2), and subsection
(3), is not met, the enterprise that contracts the work to
the contractor shall be held legally responsible by law to
be the employer of the worker/ labourer employed by the
contractor.
In the event of change of employer from the contractor to
the contracting enterprise as mentioned under subsection
(8), the employment relationship between the worker/
labourer and the contracting enterprise shall be subjected
to the employment relationship as mentioned under
subsection (7).
II - 129
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 66
ARTICLE 66
(1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be
utilized by employers to carry out their enterprises’ main
activities or activities that are directly related to production
process except for auxiliary service activities or activities
that are indirectly related to production process.
(2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service
activities or activities indirectly related to production
process must fulfill the following requirements:
a. There is employment relationship between the worker/
labourer and the labour provider;
b. The applicable employment agreement in the
employment relationship as mentioned under point a
above shall be employment agreement for a specified
time which fulfills the requirements under Article 59
and/or work agreement for an unspecified time made
in writing and signed by the parties;
c. The labour provider shall be responsible for wages and
welfare protection, working conditions and disputes
that may arise; and
d. The agreements between enterprises serving as labour
providers and enterprises using the labour they provide
shall be made in writing and shall include provisions
as mentioned under this act.
(3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal
entity business with license from a government agency
responsible for manpower affairs.
(4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point
b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is
not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the
labour provider shall be held legally responsible by law to
be the employer of workers/ labourers provided to it by
the labour provider.
Subsection (1)
If the job is related to the entrepreneur’s
core business activities or activities directly
connected with production process, the
entrepreneur is only allowed to employ
workers/ labourers under an employment/
work agreement for a specified time and/or
under a work agreement for an unspecified
time.
What is meant by auxiliary service
activities or activities indirectly related to
production process are activities outside of the
core business of the enterprise.
Such activities include, among others,
activities associated with the provision of
cleaning service, the provision of catering
service the provision of a supply of security
guards, auxiliary business activities in the
mining and oil sectors, and the provision of
transport for workers/ labourers.
Subsection (2)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Issues concerning wage and welfare
protection, working requirements/ conditions
and settlements of disputes between labour
providers/ suppliers and workers/ labourers
must be in accordance with the prevailing
laws and regulations.
As far as wage and welfare protection,
working conditions, and protection in the
event of a dispute are concerned, workers/
labourers who work at labour provider
enterprises shall receive the same entitlements
as the ones provided in the enterprises that use
their service in accordance with the work
agreements, company regulations or collective
labour agreements.
Point d
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
II - 130
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
SECTION ONE
PROTECTION
SUBSECTION 1
DISABLED PERSONS
ARTICLE 67
ARTICLE 67
(1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under
an obligation to provide protection to the workers in
accordance with the type and severity of their disability.
(2) The protection for disabled workers as mentioned under
subsection (1) shall be administered in accordance with
prevailing laws and regulations.
Subsection (1)
The protection to disabled workers
according to the type and severity of the
disability as mentioned under this subsection
refers to, for instance, the provision of
accessibility, working tools, and personal
protective equipment that are adjusted to the
type and severity of the worker’s disability.
Subsection (2)
Sufficiently clear
SUBSECTION 2
CHILDREN
ARTICLE 68
ARTICLE 68
Entrepreneurs are not allowed to employ children.
ARTICLE 69
Sufficiently clear
ARTICLE 69
(1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may
be made for the employment of children aged between
13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light
work to the extent that the job does not stunt or disrupt
their physical, mental and social developments.
(2) Entrepreneurs who employ children for light work as
mentioned under subsection (1) must meet the following
requirements:
a. The entrepreneurs must have written permission from
the parents or guardians of the children;
b. There must be a work agreement between the
entrepreneur and the parents or guardians;
c. Maximum working time 3 (three) hours a day;
d. Conducting during the day without disturbing school
time;
II - 131
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
e. occupational safety and health;
f. A clear employment relations; and
g. receive wages in accordance with the prevailing
provisions.
(3) The provisions as mentioned under point a, b, f and point
g of subsection (2) shall not apply to children who work
in a family business.
ARTICLE 70
ARTICLE 70
(1) Children may work at a workplace as part of their school’s
education curriculum or training legalized by the
authorities.
(2) The children as mentioned under subsection (1) at least
14 (fourteen) years of age.
(3) The job as mentioned under subsection (1) can be
performed on the conditions:
a. given clear instructions on how to do the job as well as
guidance and supervision on how to carry out the work;
and
b. given the occupational safety and health.
Sufficiently clear
ARTICLE 71
ARTICLE 71
(1) Children may work in order to develop their talents and
interest.
(2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under
subsection (1) are under an obligation to meet the
following requirements:
a. put under direct supervision of their parents or
guardians;
b. maximum working time 3 (three) hours a day; and
c. the working conditions and environment do not disrupt
their physical, mental and social developments as well
as school time;
(3) Provisions concerning children who work to develop their
talents and interest as mentioned under subsection (1)
and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
II - 132
Subsection (1)
What is stipulated under this subsection
is intended to protect children in such a way
that the development of their talents and
interest – that commonly takes place at their
age – is not disrupted.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 72
ARTICLE 72
In case children are employed together with adult
workers/labourers, the children’s workplace must be separated
from the workplace for adult workers/labourers.
ARTICLE 73
Sufficiently clear
ARTICLE 73
Children shall be assumed to be at work if they are found
in a workplace unless there is evidence to prove otherwise.
ARTICLE 74
Sufficiently clear
ARTICLE 74
(1) Anyone shall be prohibited from employing and involving
children in the worst forms of child labour.
(2) The worst forms of child labour as mentioned under
subsection (1) include:
a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar
to slavery;
b. All kinds of job that make use of, procure, or offer
children for prostitution, the production of
pornography, pornographic performances or gambling;
c. All kinds of job that make use of, procure, or involve
children for the production and trade of alcoholic
beverages, narcotics, psychotropic substances and other
addictive substances; and/or
d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral.
(3) The types of jobs that damage the health, safety or moral
of the child as mentioned under point d of subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 75
Sufficiently clear
ARTICLE 75
(1) The government is under an obligation to make efforts to
overcome problems concerning with children who work
outside of employment relationship.
(2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Government Regulation.
II - 133
Subsection (1)
Efforts to overcome problems associated
with children who work outside of employment
relations are intended to ensure that no child
works outside of employment relations or to
reduce the number of children who work
outside of employment relations. These efforts
must be carried out in a well-planned, wellintegrated and well-coordinated manner with
related agencies.
Children who work outside of
employment relations are for instance shoeshine
boys or newspaper boys.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Subsection (2)
Sufficiently clear
SUBSECTION 3
WOMEN
ARTICLE 76
ARTICLE 76
(1) It is prohibited to employ female workers/ labourers aged
less than 18 (eighteen) years of age between 11 p.m. until
7 a.m.
(2) Entrepreneurs are prohibited from employing pregnant
female workers/ labourers who, according to a doctor’s
certificate, are at risk of damaging their health or harming
their own safety and the safety of the baby that are in
their wombs if they work between 11 p.m. until 7 a.m.
(3) Entrepreneurs who employ female workers/ labourers to
work between 11 p.m. until 7 a.m. are under an obligation:
a. To provide them with nutritious food and drinks; and
b. To maintain decency/ morality and security in the
workplace.
(4) Entrepreneurs are under an obligation to provide returned/
roundtrip transport for female workers/ labourers who work
between 11 p.m. until 5 a.m.
(5) Provisions as mentioned under subsection (3) and
subsection (4) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
Subsection (1)
Entrepreneurs shall be the ones
responsible for the violation of this article.
Should female workers/ labourers as
mentioned under this subsection be employed
between 11 p.m. until 7 a.m., the
entrepreneur shall be held responsible for this
violation.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
SUBSECTION 4
WORKING HOURS
ARTICLE 77
ARTICLE 77
(1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the
provision concerning working hours.
(2) The working hours as mentioned under subsection (1)
cover:
a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6
(six) workdays in a week; or
b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5
(five) workdays in a week;
(3) The provisions concerning the working hours as mentioned
under subsection (2) do not apply to certain business
II - 134
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Under this subsection, certain business
sectors or certain types of work refer to, for
instance, work on offshore oil drilling rigs/
platforms, work involving long distance
driving of vehicles, work involving long
distance flight, work at sea (on a ship) or
work involving the felling of trees.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
sectors or certain types of work.
(4) The provisions concerning working hours for certain
business sectors or certain types of work as mentioned
under subsection (3) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
ARTICLE 78
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 78
(1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work
longer than the working hours determined under
subsection (2) of Article 77 must meet the following
requirements:
a. Approval of the relevant worker/labourer;
b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day
and 14 (fourteen) hours in a week.
(2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work
overtime as mentioned under subsection (1) are under an
obligation to pay overtime pay.
(3) The provisions concerning overtime as mentioned under
subsection (1) point b do not apply to certain business
sector or certain jobs.
(4) The provisions concerning overtime and overtime wages
as mentioned under subsection (2) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
Subsection (1)
Employing workers beyond normal
working hours must be avoided because
workers/ labourers must have enough time to
take a rest and recover their fitness. However,
in certain cases there are urgent needs in which
work must be immediately and inevitably
done so that workers/ labourers have to work
beyond normal working hours.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 79
ARTICLE 79
(1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their
workers/ labourers to take a rest and leave.
(2) The period of rest and leave as mentioned under subsection
(1) shall include:
a. The period of rest between working hours at least half
an hour after working for 4 (four) hours consecutively
and this period of rest shall not be inclusive of working
hours;
The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six)
workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five)
workdays in a week;
b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after
the worker/labourer works for 12 (twelve) months
consecutively; and
II - 135
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Sufficiently clear
Point d
While taking a long period of rest,
workers/ labourers are given compensation
pay for their entitlement to the eighth year’s
annual leave amounting to half their monthly
salary. Enterprises that have already applied a
long period of rest that is better than the one
stipulated under this act are not allowed to
reduce it.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
c. A long period of rest of no less than 2 (two) months,
which shall be awarded in the seventh and eighth year
of work each for a period of 1 (one) month to workers/
labourers who have been working for 6 (six) years
consecutively at the same enterprise on the condition
that the said workers/ labourers will no longer be
entitled to their annual period of rest in 2 (two) current
years. This provision shall henceforth be applicable
every 6 (six) years of work.
(3) The application of the provision concerning the period of
rest as mentioned under point c of subsection (2) shall be
regulated in a work agreement, the company regulations
or the collective labour agreement.
(4) The provisions concerning the long period of rest as
mentioned under point d of subsection (2) only apply to
workers/labourers who work in certain enterprises.
(5) The certain enterprises as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Ministerial Decision.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
ARTICLE 80
ARTICLE 80
Entrepreneurs are under an obligation to provide workers
with adequate opportunity to perform their religious
obligations.
What is meant by the provision of
adequate opportunity shall refer to the
provision of a place for praying to and
worshipping God that enables workers/
labourers to properly perform their religious
obligations/ rituals, in which the enterprise’s
conditions and financial ability for the
provision of such a place shall be taken into
account.
ARTICLE 81
ARTICLE 81
(1) Female workers/labourers who feel pain during their
menstruation period and notify the entrepreneur about
this are not obliged to come to work on the first and second
day of menstruation.
(2) The implementation of what is stipulated under subsection
(1) shall be regulated in work agreements, the company
regulations or collective labour agreements.
Sufficiently clear
ARTICLE 82
ARTICLE 82
(1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-anda-half ) month period of rest before the time at which
they are estimated by an obstetrician or a midwife to give
Subsection (1)
The length of the period of rest may be
extended if required as attested by a written
statement from the obstetrician or midwife
II - 136
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month
period of rest thereafter.
(2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled
to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a
period of rest as stated in the medical statement issued by
the obstetrician or midwife.
either prior to or after the delivery.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 83
ARTICLE 83
Entrepreneurs are under an obligation to provide proper
opportunities to female workers/ labourers whose babies still
need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be
performed during working hours.
What is meant by providing proper
opportunities to female workers/ labourers to
breast-feed their babies during working hours
are periods of time provided by the enterprise
to the female workers/ labourers to breastfeed their babies, by taking into account the
availability of a place/ room that can be used
for such a purpose according to the enterprise’s
conditions and financial ability, which shall
be regulated in the company regulations or
collective labour agreements.
ARTICLE 84
ARTICLE 84
Every worker/ labourer who uses her right to take the
period of rest as specified under points b, c and d of subsection
(2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her
wages in full.
ARTICLE 85
Sufficiently clear
ARTICLE 85
(1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal
public holidays.
(2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work
during formal public holidays if the types and nature of
their jobs must be conducted continuously or under other
circumstances based on the agreement between the worker/
labourer and the entrepreneur.
(3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work
on formal public holidays as mentioned under subsection
(2) are under an obligation to pay overtime pay.
(4) The provisions concerning the types and nature of the
jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated
with a Ministerial Decision.
II - 137
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
What is stipulated under this subsection
is intended to serve the public interest and
public welfare. Moreover, there are works
whose type and nature are such that it is
impossible to stop it.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
SUBSECTION 5
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ARTICLE 86
ARTICLE 86
(1) Every worker/ labourer has the right to receive protection
on:
a. Occupational safety and health;
b. morality and decency; and
c. Treatment that shows respect to human dignity and
religious values.
(2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to
realize optimal productivity, an occupational health and
safety scheme shall be administered.
(3) The protection as mentioned under subsection (1) and
subsection (2) shall be given in accordance with prevailing
laws and regulations.
ARTICLE 87
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Occupational safety and health efforts
are intended to provide guarantee of safety
and increase the level of health of workers/
labourers by preventing occupational
accidents and diseases, controlling hazards in
the workplace, promoting health, medical care
and rehabilitation.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 87
(1) Every enterprise is under an obligation to apply an
occupational safety and health management system that
shall be integrated into the enterprise’s management
system.
(2) The provisions concerning the application of the
occupational safety and health management system as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Government Regulation.
SECTION TWO
WAGES
Subsection (1)
The occupational safety and health
management system is part of the overall
management system of the enterprise, which
includes organizational structure, planning,
implementation, responsibility, procedures,
processes, and resources that are needed for
the development, application, achievement,
study and maintenance of the enterprise’s
occupational safety and health policy in order
to control the risks associated with working
activities for the creation of secure, efficient
and productive workplace.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 88
ARTICLE 88
(1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that
is decent from the viewpoint of humanity
(2) In order to enable the worker to earn a living that is decent
from the viewpoint of humanity as mentioned under
subsection (1), the Government shall establish a wages
policy that protects the worker/labourer.
Subsection (1)
Income that enables workers/ labourers
to properly meet their livelihood needs refers
to the amount of income or earning that
workers/ labourers earns from their work so
that they can reasonably meet what they and
their families need for living, including the
ability to meet the need for food and drinks,
II - 138
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(3) The wages policy that protects workers/labourers as
mentioned under subsection (2) shall include:
a. Minimum wages;
b. Overtime pay;
c. Paid-wages during the absence;
d. Paid-wages because of activities outside of his job that
he has to carry out;
e. Wages payable because he uses his right to take a rest;
f. The form and method of the payment of wages;
g. Fines and deductions from wages;
h. Other matters that can be calculated with wages;
i. Proportional wages structure and scale;
j. Wages for the payment of severance pay; and
k. Wages for calculating income tax.
(4) The Government shall establish/set minimum wages as
mentioned under subsection (3) point (a) based on the
need for decent living by taking into account productivity
and economic growth.
ARTICLE 89
clothes, housing, education, healthcare,
recreation and old age benefit.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 89
(1) The minimum wages as mentioned under point a of
subsection (3) of Article 88 may consist of:
a. Provincial or district/city-based minimum wages;
b. Provincial or district/city-based sectoral minimum
wages.
(2) The establishment of minimum wages as mentioned under
subsection (1) shall be directed towards meeting the need
for decent living.
(3) The minimum wages as mentioned under subsection (1)
shall be determined by Governors after considering
recommendations from Provincial Wages Councils and/
or District Heads/Mayors.
(4) The components of and the implementation of the phases
of achieving the needs for decent living as mentioned under
subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
II - 139
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sector-based minimum wages can be
established for business groups by sector and
their breaking down according to business
classification by sector nationwide (Indonesia),
by district/ city or province. Such sector-based
minimum wages in any given area must not
be lower than the regional minimum wages
applicable to the area in question.
Subsection (2)
The phrase shall follow the guidance
for meeting the need for decent living as
mentioned under this subsection shall mean
that the setting of minimum wages must be
adjusted to the level at which the minimum
wages are on par with the need for decent
living. The amount of such minimum wages
shall be determined by Minister.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
The meeting of the need for decent
living needs to be made gradually because
the need for decent living is an upgrade of the
need for minimum living that heavily
depends on the level of financial ability of the
world of business.
ARTICLE 90
ARTICLE 90
(1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower
than the minimum wages as mentioned under Article 89.
(2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as
mentioned under Article 89 may be allowed to make
postponement.
(3) Procedures for postponing paying minimum wages as
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a
Ministerial Decision.
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
The postponement of the payment of
minimum wages by an enterprise that is
financially not able to pay minimum wages is
intended to release the enterprise from having
to pay minimum wages for a certain period of
time. If the postponement comes to an end,
the enterprise is under an obligation to pay
minimum wages that are applicable at the
time but is not obliged to make up the
difference between the wages it actually paid
and the applicable minimum wages during
the period of time of the postponement.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 91
ARTICLE 91
(1) The amount of wages set based on an agreement between
the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/
labour union must not be lower than the amount of wages
set under the prevailing laws and regulations.
(2) In case the agreement as mentioned under subsection (1)
sets a wages that is lower than the one that has to be set
under the prevailing laws and regulations or against
prevailing laws and regulations, the agreement shall be
declared null and void by law and the entrepreneur shall
be obliged to pay the worker/ labourer a wages according
to the prevailing laws and regulations.
II - 140
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 92
ARTICLE 92
(1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of
wages by taking into account the level, position, years of
work, education and competence of the worker/ labourer.
(2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages
periodically by taking into account their enterprise’s
financial ability and productivity.
(3) The provisions concerning the structure and scales of wages
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with
a Ministerial Decision.
Subsection (1)
The formulation of wages structures and
scales is intended as a guideline for setting
wages so that the wages of each worker can be
determined with certainty. Such formulation
is also intended to reduce the gap between the
lowest wages and the highest wages in the
enterprise.
Subsection (2)
The reviewing of wages shall be done to
adjust the wages to the consumer price index,
the worker’s performance, and the enterprise’s
development and financial ability.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 93
ARTICLE 93
(1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform
work.
(2) However, the provision as mentioned under subsection
(1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged
to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer
does not perform work because of the following reasons:
a. The workers/labourers are ill so that they cannot
perform their work;
b. The female workers/labourers are ill on the first and
second day of their menstruation period so that they
cannot perform their work;
c. The workers/labourers have to be absent from work
because they get married, marry of their children, have
their sons circumcised, have their children baptized,
or because the worker/ labourer’s wife gives birth or
suffers from a miscarriage, or because the wife or
husband or children or children-in-law(s) or parent(s)
or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member
II - 141
Subsection (1)
What is stipulated under this subsection
is a fundamental principle that is basically
applicable to every worker/ labourer, that is,
unless the worker/ labourer cannot perform
his/ her job because of mistakes that are not
his/ her.
Subsection (2)
Point a
A worker/labourer are ill if there is a
statement from the physician.
Point b
Sufficiently clear
Point c
Sufficiently clear
Point d
Fulfilling one’s obligation to the State
means fulfilling State obligation, which is
stipulated under laws and regulations.
The payment of wages to workers/
labourers who have to be absent from work
because they are required to perform their
obligations to the State shall be made if:
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
of the worker/labourer’s household dies.
d. The workers/labourers cannot perform their work
because they are carrying out or fulfilling their
obligations to the State;
e. The workers/labourers cannot perform their work
because they are performing religious obligations
ordered by their religion;
f. The workers/labourers are willing to do the job that
they have been promised to but the entrepreneur does
not employ them, because of the entrepreneur’s own
fault or because of impediments that the entrepreneur
should have been able to avoid;
g. The workers/labourers are exercising their right to take
a rest;
h. The workers/labourers are performing their trade union
duties with the permission from the entrepreneur; and
i. The workers/labourers are undergoing an education
program required by their enterprise.
(3) The amount of wages payable to workers who are taken
ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be
determined as follows:
a. For the first four months, they shall be entitled to
receive 100 % (one hundred percent) of their wages;
b. For the second four months, they shall be entitled to
receive 75 % (seventy five percent) of their wages;
c. For the third four months, they shall be entitled to
receive 50 % (fifty percent) of their wages; and
d. For subsequent months, they shall be entitled to receive
25 % (twenty five percent) of their wages prior to the
termination of employment by the entrepreneur.
(4) The amount of wages payable to workers/ labourers during
the period in which they have to be absent from work for
reasons specified under point c of subsection (2) shall be
determined as follows,
a. If the workers/labourers are get married, shall be
entitled to receive a payment for 3 (three) days;
b. If the workers/labourers marry of their children, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall
II - 142
a. The State does not pay the worker/
labourer; or
b. The State pays worker/labourer less than
the amount of wages he/she usually
receives. In this case the entrepreneur is
under an obligation to make up the
difference.
Point e
Practicing or observing religious duties
ordered/ required by his/her religion means
practicing religious obligations according to
his/her religion requirement, which has been
regulated with laws and regulations.
Point f
Sufficiently clear
Point g
Sufficiently clear
Point h
Sufficiently clear
Point i
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
d. If the workers/labourers’ children are baptized, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
e. If a workers/labourers’ wife gives birth or suffers a
miscarriage, shall be entitled to receive a payment for
2 (two) days;
f. If the workers/labourers’ spouse, or because either one
parent or one of parent-in-law, or because one of
children or children-in-law dies, shall be entitled to
receive a payment for 2 (two) days; and
g. If a member of the worker/labourer’s household dies,
shall be entitled to receive a payment for 1 (one) day.
(5) Arrangements for the implementation of what is stipulated
under subsection (2) shall be specified in the work
agreements, company regulations or collective labour
agreements.
ARTICLE 94
ARTICLE 94
If a wages is composed of basic wage and fixed allowances,
the amount of the basic wage must not be less than 75%
(seventy five percent) of the total amount of the basic wages
and fixed allowances.
What is meant by fixed allowance under
this subsection is payment to workers/ labourers
that is made regularly and not commensurate
with the attendance or certain achievement /
performance of the worker/ labourer.
ARTICLE 95
ARTICLE 95
(1) Violations by the worker/ labourer, either by willful
misconduct or negligence, may result in the imposition
of a fine.
(2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages
late either by willful misconduct or negligence shall be
ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a
certain percentage from the worker/labourer’s wages.
(3) The government shall regulate the imposition of fine on
the entrepreneur and or the worker/ labourer in the
payment of wages.
(4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated
based on the prevailing laws and regulations, the payment
of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take
priority over the payment of other debts.
II - 143
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
The payment of worker/ labourer’s
wages shall take priority over the payment of
other debts. This means that workers/
labourers’ wages must be the first to be paid
before other debts are paid.
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 96
ARTICLE 96
Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages
and all other claims for payments that arise from an employment
relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such
the right is arose.
ARTICLE 97
Sufficiently clear
ARTICLE 97
The provisions concerning decent income, wages policy,
the need for decent living and workers’ wages protection as
mentioned under Article 88, the setting of minimum wages
as mentioned under Article 89, and the provision concerning
the imposition of a fine as mentioned under subsection (1),
subsection (2) and subsection (3) of Article 95 shall be regulated
with a Government Regulation.
ARTICLE 98
Sufficiently clear
ARTICLE 98
(1) In order to provide recommendations and considerations
for the formulation of wages policies to be established by
the Government, and to develop a national wages system,
the National Wage Council, Provincial Wage Councils,
and District/ City Wage Councils shall be established.
(2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have
representatives from the government, entrepreneurs’
organizations, trade/ labour unions, universities and experts
as their members.
(3) The members of the National-level Wage Council shall
be appointed and dismissed by the President while the
members of Provincial Wage Councils and District/ City
Wage Councils shall be appointed and dismissed by the
Governors/ District Heads/ Mayors of the respective
provinces, districts and cities.
(4) The provisions concerning the procedures for the formation
of, membership composition of, procedures for appointing
and dismissing members of and duties and working
procedures of wages system councils as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with
a Presidential Decision.
II - 144
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
SECTIONTHREE
WELFARE
ARTICLE 99
ARTICLE 99
(1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled
to social security.
(2) The social security as mentioned under subsection (1)
shall be administered in accordance with the prevailing
laws and regulations.
Sufficiently clear
ARTICLE 100
ARTICLE 100
(1) In order to improve the welfare of the workers/labourers
and their families, the entrepreneur shall provide welfare
facilities.
(2) The provision of welfare facilities as mentioned under
subsection (1) shall be administered by weighing the need
of the worker/labourer for welfare facilities against the
enterprise’s ability to provide such facilities.
(3) The provisions concerning the type and criteria of welfare
facilities according to the need of the worker/ labourer
and the measurement of the enterprise’s ability to provide
them as mentioned under subsection (1) and subsection
(2) shall be regulated with a Government Regulation.
ARTICLE 101
Subsection (1)
Welfare facilities shall refer to, for
instance, family planning service, babysitting
facilities, housing facilities for workers/
labourers, special rooms for prayer or other
religious facilities, sports facilities, canteens,
policlinic and other medical/ health facilities,
and recreational facilities.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 101
(1) To improve workers/labourers’ welfare, workers/labourers’
cooperatives and productive business at the enterprise shall
be established.
(2) The government, the entrepreneur and the worker/
labourer or the trade/labour union shall make efforts to
develop workers/labourers’ cooperatives and develop
productive business as mentioned under subsection (1).
(3) Efforts to establish workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (1) shall be made in
accordance with the prevailing laws and regulations.
(4) Efforts to develop workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a
Government Regulation.
II - 145
Subsection (1)
Productive business undertakings at the
enterprise shall refer to economic activities that
generate income other than wages.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 102
ARTICLE 102
(1) In conducting industrial relations, the government shall
perform the function of establishing policies, providing
services, taking control and taking actions against any
violations of statutory manpower laws and regulations.
(2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and
their organizations unions shall perform the function of
performing their jobs/ work as obliged, working order to
ensure production, channeling their aspirations
democratically, enhancing their skills and expertise and
helping promote the business of the enterprise and fight
for the welfare of their members and families.
(3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their
associations shall perform the function of creating
partnership, developing business, diversifying employment
and providing welfare to workers/ labourers in a transparent
and democratic way and in a way that upholds justice.
ARTICLE 103
Sufficiently clear
ARTICLE 103
Industrial relations shall be applied through:
a. Trade/ labour unions;
b. Entrepreneurs’ organizations;
c. Bipartite cooperation institutions;
d. Tripartite cooperation institutions;
e. Company regulations;
f. Collective labour agreements;
g. Statutory manpower laws and regulations; and
h. Industrial relations dispute settlement institutes.
II - 146
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
SECTION TWO
TRADE/LABOUR UNION
ARTICLE 104
ARTICLE 104
(1) Every worker/ labourer has the right to form and become
member of a trade/ labour union.
(2) In performing functions as mentioned under Article 102,
a trade/ labour union shall have the right to collect and
manage fund and be accountable for the union’s finances,
including for the provision of a strike fund.
(3) The amount of the strike fund and procedures for collecting
it as mentioned under subsection (2) shall be regulated
under the union’s constitution and/or the union’s by-laws.
Subsection (1)
The freedom to establish a trade/ labour
union and to become or not to become member
of a trade/ labour union is one of the
fundamental rights of workers/ labourers.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
SECTION THREE
ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION
ARTICLE 105
ARTICLE 105
(1) Every entrepreneur has the right to form and become a
member of entrepreneurs’ organization.
(2) The provisions concerning entrepreneurs’ organizations
shall be regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.
Sufficiently clear
SECTION FOUR
BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
ARTICLE 106
ARTICLE 106
(1) Every enterprise employing 50 (fifty) workers/ labourers
or more is under an obligation to establish a bipartite
cooperation institution.
(2) The bipartite cooperation institution as mentioned under
subsection (1) shall function as a forum for communication
and consultation on labour issues at an enterprise.
(3) The membership composition of the bipartite cooperation
institution as mentioned under subsection (2) shall
include the entrepreneur’s representatives and the worker/
labourer’s representatives who are democratically
appointed by workers/ labourers to represent the interests
II - 147
Subsection (1)
At enterprises whose workers/ labourers
number less than 50 (fifty) people, effective
and proper communication and consultation
can still be performed on an individual basis.
However, if the enterprise has 50 (fifty)
workers/ labourers or more, it is necessary to
perform communication and consultation
through a representative system.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
of the worker/ labourer in the relevant enterprise.
(4) The provisions concerning the procedures for establishing
the membership of the bipartite cooperation institution
as mentioned under subsection (1) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
SECTION FIVE
TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
ARTICLE 107
ARTICLE 107
(1) Tripartite cooperation institution shall provide
considerations, recommendations and opinions to the
government and other parties involved in policy making
and problem solving concerning labour issues/ problems.
(2) The tripartite cooperation institution as mentioned under
subsection (1) shall consist of:
a. The National Tripartite Cooperation Institution and
the Provincial, District/City Tripartite Cooperation
Institutions; and
b. Sector-based National Tripartite Cooperation
Institution and sector-based Provincial, District/City
Tripartite Cooperation Institutions.
(3) The membership of tripartite cooperation institutions shall
consist of representatives from the government,
entrepreneurs’ organizations and trade/labour unions.
(4) Procedures and organizational structures of tripartite
cooperation institutions as mentioned under subsection
(1) shall be regulated with a Government Regulation.
Sufficiently clear
SECTION SIX
COMPANY REGULATIONS
ARTICLE 108
ARTICLE 108
(1) Every enterprise which employs at least 10 (ten) workers/
labourers is under an obligation to establish a set of
company regulations that shall come into force after
legalized by the Minister or appointed official.
(2) The obligation to have a set of legalized company
regulations as mentioned under subsection (1), however,
II - 148
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
does not apply to enterprises already having collective
labour agreements.
ARTICLE 109
ARTICLE 109
Entrepreneurs shall formulate the rules and regulations
of their enterprise and shall be responsible for them.
ARTICLE 110
Sufficiently clear
ARTICLE 110
(1) Companies regulations shall be formulated by taking into
account the recommendations and considerations from
the worker/ labourer’s representatives of the enterprise.
(2) If a trade/ labour union have already been established in
the enterprise, the worker/ labourer’s representatives as
mentioned under subsection (1) shall be the trade/ labour
union’s officials.
(3) If there is no trade/ labour union in the enterprise, the
worker/ labourer’s representatives mentioned under
subsection (1) shall be the workers/ labourers who hold a
position in, or are members of, the bipartite cooperation
institution and or has been democratically elected by the
workers/ labourers in the enterprise to represent them and
act on behalf of their interests.
ARTICLE 111
Sufficiently clear
ARTICLE 111
(1) Company regulations shall at least contain:
a. The rights and obligations of the entrepreneur;
b. The rights and obligations of the worker/ labourer;
c. Working conditions;
d. Enterprise discipline and rule of conduct; and
e. The period of the validity of the company regulations.
(2) Company regulations shall not against the prevailing laws
and regulations.
(3) The company regulations is valid for 2 (two) years and
shall be renewed upon its expiration.
(4) During the validity of the company regulations, if the
trade union within the enterprise request negotiation of
the drafting of the collective labour agreement, the
entrepreneur is obligated to do so.
(5) If the negotiation as mentioned under subsection (4) fails
II - 149
Subsection (1)
Point a
Sufficiently clear
Point b
Sufficiently clear
Point c
Working/work requirements refer to the
rights and obligations of the entrepreneur and
the worker/ labourer that have not been
regulated under laws and regulations.
Point d
Sufficiently clear
Point e
Sufficiently clear
Subsection (2)
The sentence ompany regulations shall
not against any prevailing laws and
regulations means that company regulations
must not be lower in both quality and quantity
than those stipulated under the prevailing
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
to reach an agreement, then the existing company
regulations shall remain valid until its expiration.
laws and regulations. If proved otherwise,
however, the stipulations of prevailing laws
and regulations shall apply.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
ARTICLE 112
ARTICLE 112
(1) Legalization of company regulations by the Minister or
appointed official as mentioned under subsection (1) of
Article 108 must have performed within a period of no
later than 30 (thirty) workdays after the draft of the
company regulations is received.
(2) If the company regulations have met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
and the period of 30 (thirty) workdays for legalizing them
as mentioned under subsection (1) has elapsed but the
Minister or the appointed official has not legalized them
yet, then the company regulations shall be assumed to
have been legalized.
(3) If the company regulations have not met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
yet, the Minister or the appointed official must give a
written notification to the entrepreneur the correction to
the company regulations.
(4) Within a period of no later than 14 (fourteen) workdays
after the date on which the written notification is received
by the entrepreneur as mentioned under subsection (3),
the entrepreneur is under an obligation to resubmit the
corrected version of the company regulations to the
Minister or appointed official.
ARTICLE 113
Sufficiently clear
ARTICLE 113
(1) Any changes to the company regulations prior to its
expiration can only be made on the basis of an agreement
between the entrepreneur and the worker/ labourer’s
representatives.
II - 150
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(2) The company regulations resulting from the agreement
as mentioned under subsection (1) shall be legalized by
Minister or appointed official.
ARTICLE 114
ARTICLE 114
The entrepreneur is under an obligation to notify and
explain, as well as deliver, the contents of the company
regulations or its changes to the worker/ labourer.
The entrepreneur is under an obligation
to notify and explain to the worker/ labourer
the company regulations and changes made
to them. To do so, the entrepreneur may
distribute the copies of company regulations
to each worker/ labourer, post them at places
where workers/ labourers can easily read them.
Alternatively, the entrepreneur may also
explain them directly to workers/ labourers.
ARTICLE 115
ARTICLE 115
Provisions concerning procedures for making and
legalizing the company regulations shall be regulated with a
Ministerial Decision.
Sufficiently clear
SECTION SEVEN
COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT
ARTICLE 116
ARTICLE 116
(1) A collective labour agreement shall be made between a
trade/ labour union or several trade unions already recorded
at a government agency responsible for manpower affairs
and an entrepreneur or several entrepreneurs respectively.
(2) The collective labour agreement as mentioned under
subsection (1) shall be formulated by means of
deliberations.
(3) The collective labour agreement as mentioned under
subsection (1) shall be made in writing using Latin
alphabets and in the Indonesian language.
(4) In case the collective labour agreement is not written in
the Indonesian language, the collective labour agreement
must be translated into Indonesian by a sworn translator
and the translation shall be considered to have fulfilled
the requirements stipulated under subsection (3).
II - 151
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Work agreements must be made in good
faith. This means that there must be honesty,
transparency, willingness and awareness on
the part of all parties concerned in the making
of the agreements without any party forcing
or pressurizing another party.
Subsection (3)
If the collective labour agreement is made
in Indonesian and translated into another
language and then differences in interpretation
arise, then the collective labour agreement
that use or are written in Indonesian shall
apply.
Subsection (4)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 117
ARTICLE 117
In case the deliberations as mentioned under subsection
(2) of Article 116 fail to reach any consensus, then shall be
settled through the procedures of industrial relations disputes
settlement.
Settlements through procedures for the
settlement of industrial relations disputes may
be carried out through mediators, conciliators,
arbiters, or institutes for the settlement of
industrial relations disputes.
ARTICLE 118
ARTICLE 118
In one enterprise only 1 (one) collective labour agreement
can be made that shall apply to all workers/labourers working
in the enterprise.
ARTICLE 119
Sufficiently clear
ARTICLE 119
(1) If there is only one trade/labour union in an enterprise,
the only trade/labour union in the enterprise shall have
the right to represent workers/labourers in negotiating a
collective labour agreement with the entrepreneur
provided that more than 50% (fifty percent) of the total
number of workers/labourers who work in the enterprise
are members of the trade/labour union.
(2) In case there is only one trade/labour union in an
enterprise as mentioned under subsection (1) above but
the number of its members does not exceed 50% (fifty
percent) of the total workforce in the enterprise, the trade/
labour union may represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur provided that a vote that is held on this issue
confirms that the trade/labour union wins the support of
more than 50% (fifty percent) of the total number of
workers in the enterprise.
(3) If the support of more than 50% (fifty percent) of the
enterprise’s total workforce as mentioned under subsection
(2) is not obtained, then the trade/labour union concerned
may once again put forward its request to negotiate a
collective labour agreement with the entrepreneur after a
period of 6 (six) months is passed since the vote is held in
accordance with the procedures as mentioned under
subsection (2).
Sufficiently clear
ARTICLE 120
ARTICLE 120
(1) If there are more than 1 (one) trade/labour union in an
enterprise, the trade/labour union that has the right to
II - 152
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
represent workers/labourers in negotiating a collective
labour agreement with the entrepreneur shall be the one
whose members are more than 50% (fifty percent) of the
total number of all the workers/labourers who work in
the enterprise.
(2) If the requirement as mentioned under subsection (1) is
not fulfilled, then the trade/labour unions in the enterprise
may form a coalition until the coalition gets the support
of workers numbering more than 50% (fifty percent) of
the total number of workers/ labourers in the enterprise
so that it is qualified to represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur.
(3) In case what is stipulated under subsection (1) or
subsection (2) is not fulfilled, then the trade/ labour
unions shall establish a negotiating team whose members
shall be determined in proportion to the number of
members that each trade/ labour union has.
ARTICLE 121
ARTICLE 121
Membership in a trade/labour union as mentioned under
Article 119 and Article 120 shall be proved with a membership
card.
Sufficiently clear
ARTICLE 122
ARTICLE 122
The vote as mentioned under subsection (2) of Article
119 shall be administered by a committee that is composed of
workers/ labourers’ representatives and trade/labour union
officials witnessed by the government official responsible for
manpower affairs and by the entrepreneur.
ARTICLE 123
Sufficiently clear
ARTICLE 123
(1) The validity of the collective labour agreement is for 2
(two) years.
(2) The effectiveness of the collective labour agreement as
mentioned under subsection (1) may be extended for no
longer than 1 (one) year based on a written agreement
between the entrepreneur and the trade/labour union(s).
(3) Negotiations for the next collective labour agreement may
be started as early as 3 (three) months prior to the
expiration of the existing collective labour agreement.
II - 153
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(4) In case the negotiations as mentioned under subsection
(3) fail to result in any agreement, the existing collective
labour agreement shall remain valid for a maximum period
of 1 (one) year.
ARTICLE 124
ARTICLE 124
(1) A collective labour agreement shall at least contain:
a. The rights and obligations of the employer;
b. The rights and obligations of the trade/ labour union
and the worker/ labourer;
c. The period during which and the date starting from
which the collective labour agreement takes effect; and
d. The signatures of those involved in making the
collective labour agreement.
(2) The provisions of a collective labour agreement must not
against the prevailing laws and regulations.
(3) Should the contents of a collective labour agreement
against the prevailing laws and regulations as mentioned
under subsection (2), then the contradictory stipulations
shall be declared null and void by law and the provision
under prevailing laws and regulations shall prevail.
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
The phrase “must not against any
prevailing laws and regulations” means that
the contents of the collective labour agreement
must not be lower in both quality and quantity
than their counterparts or equivalence that
are stipulated under the prevailing laws and
regulations.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 125
ARTICLE 125
If the parties agree to change collective labour agreement,
then the changes shall form an inseparable part of the existing
collective labour agreement.
ARTICLE 126
Sufficiently clear
ARTICLE 126
(1) The entrepreneur, the trade/labour union and or the
worker/ labourer is under an obligation to implement the
provisions in the collective labour agreement.
(2) The entrepreneur and the trade/labour union are under
an obligation to inform the contents of the collective labour
agreement or any changes made to it to all workers/
labourers.
(3) The entrepreneur must print and distribute the text of
collective labour agreement to each worker/ labourer on
the enterprise’s expense.
II - 154
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 127
ARTICLE 127
(1) Any work agreement made by the entrepreneur and the
worker/ labourer shall not against the collective labour
agreement.
(2) Should there be any provisions under the work agreement
mentioned under subsection (1) against the collective
labour agreement, then those particular provisions in the
work agreement shall be declared null and void by law
and the provision on the collective labour agreement shall
prevail.
Sufficiently clear
ARTICLE 128
ARTICLE 128
If a work agreement does not contain the rules and
regulations that are stipulated in the collective labour
agreement, then the stipulations specified in the collective
labour agreement shall prevail.
Sufficiently clear
ARTICLE 129
ARTICLE 129
(1) The entrepreneur is prohibited from replacing the
collective labour agreement with the company regulations
as long as there is a trade/ labour union in the enterprise.
(2) If there is no more trade/ labour union in the enterprise
and the collective labour agreement is replaced by the
company regulations, then the provisions in the company
regulations shall by no means be inferior to the provisions
in the collective labour agreement.
ARTICLE 130
Sufficiently clear
ARTICLE 130
(1) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there is only 1 (one) trade/labour
union in the enterprise, then the extension or renewal of
the collective labour agreement shall not require the
requirements under Article 119.
(2) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there are more than 1 (one)
trade/ labour union in the enterprise and the trade/ labour
union that negotiated in the last agreement no longer
meet the requirement under subsection (1) of Article 120,
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made by the trade/ labour union whose members
II - 155
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
are more than 50% (fifty percent) of the total number of
workers/ labourers in the enterprise together with the
trade/ labour union that negotiated in the last agreement
by establishing a negotiating team whose members are
proportional to the members of the trade/ labour unions
represented in the team.
(3) If the expired collective labour agreement will be extended
or renewed and there are more than 1 (one) trade/labour
unions in the enterprise and none of them meet the
requirement under subsection (1) of Article 120, then
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made in accordance with the provision under
subsection (2) and subsection (3) of Article 120.
ARTICLE 131
ARTICLE 131
(1) In case of the dissolution of a trade/labour union or the
transfer of the enterprise’s ownership, then the existing
collective labour agreement shall remain valid until it
expires.
(2) If an enterprise with a collective labour agreement merges
with another enterprise with another collective labour
agreement, then the prevailing collective labour agreement
is the one that gives the worker/labourer more advantages.
(3) If an enterprise that has a collective labour agreement
merges with another enterprise that has no collective
labour agreement, then the collective labour agreement
of the enterprise that has it shall apply to the enterprise
resulted from the merger until the collective labour
agreement expires.
Sufficiently clear
ARTICLE 132
ARTICLE 132
(1) A collective labour agreement shall take effect on the day
it is signed unless otherwise stated in the relevant collective
labour agreement.
A collective labour agreement that has been signed by the
parties must be registered by the entrepreneur at a
government agency responsible for manpower affairs.
ARTICLE 133
Sufficiently clear
ARTICLE 133
The provisions concerning the requirements and
procedures for making, extending, changing and registering
II - 156
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
the collective labour agreement shall be regulated with a
Ministerial Decision.
ARTICLE 134
ARTICLE 134
In order to realize the rights and obligations of both the
worker and the entrepreneur, the Government is under an
obligation to control the implementation of manpower laws
and regulations and ensure their observance and enforcement.
Sufficiently clear
ARTICLE 135
ARTICLE 135
The implementation of manpower laws and regulations
in order to realize industrial relations is the responsibility of
the worker/labourer, the entrepreneur and the government.
Sufficiently clear
SECTION EIGHT
INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SUBSECTION 1
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE
ARTICLE 136
ARTICLE 136
(1) The entrepreneur and the worker/labourer or the trade/
labour union are under an obligation to make efforts to
settle any industrial relations dispute they have through
deliberations aimed at reaching a consensus.
(2) If the deliberations as mentioned under subsection (1)
fail to reach a consensus, then the entrepreneur and the
worker/labourer or the trade/labour union shall have the
industrial relations dispute settled through procedures for
the settlement of industrial relations disputes that are
regulated by law.
Sufficiently clear
SUBSECTION 2
STRIKE
ARTICLE 137
ARTICLE 137
Strike is a fundamental right of workers/labourers and
trade/labour unions that shall be staged legally, orderly and
peacefully as a result of failed negotiation.
What is meant by failed negotiation
under this Article is that no agreement to
settle the industrial relations dispute is reached
because the entrepreneur is not willing to
negotiate or because the negotiation ends in
II - 157
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
deadlock.
The term peacefully and orderly means
that the strike must not disrupt security and
public order and/or threaten the life safety
and property of the entreprise, entrepreneur,
other people or other members of the general
public.
ARTICLE 138
ARTICLE 138
(1) The workers/labourers and/or trade/labour unions
intending to invite other workers/ labourers to strike whilst
the strike is going on shall be performed without violating
laws.
(2) The workers/labourers who are invited to join the strike
as mentioned under subsection (1) may accept or decline
the invitation.
Sufficiently clear
ARTICLE 139
ARTICLE 139
The implementation of strike staged by the workers/
labourers of enterprises that serve the public interest and/or
enterprises whose types of activities, will lead to the
endangerment of human lives, shall be arranged in such a way
so as not to disrupt public interests and/or endanger the safety
of other people.
Enterprises that serve the public interest
and/or enterprises whose types of activities,
when interrupted by a strike, will lead to the
endangerment of human lives are those
running hospitals, fire department, those
providing railway service, those in charge of
sluices, those in charge of regulating air traffic,
and those in charge of sea traffic.
That the strike shall be arranged in such
a way so as not to disrupt public interests and/
or endanger the safety of other people means
that the strike shall be carried out by workers/
labourers who are not on duty.
ARTICLE 140
ARTICLE 140
(1) Within a period of no less than 7 (seven) days prior to the
actual realization of a strike, workers/ labourers and trade/
labour unions intending to stage a strike are under an
obligation to give a written notification of the intention
to the entrepreneur and the local government agency
responsible for manpower affairs.
(2) The notification as mentioned under subsection (1) shall
at least contain:
II - 158
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Point a
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
a. The time (day, date and the hour) at which they will
start and end the strike;
b. The venue of the strike;
c. Their reasons for the strike; and
d. The signatures of the chairperson and secretary of the
striking union and/or the signature of each of the
chairpersons and secretaries of the unions participating
in the strike, who shall be held responsible for the
strike.
(3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not
members of any trade/labour union, the notification as
mentioned under subsection (2) shall be signed by
workers/ labourers’ representatives who have been
appointed to coordinate and/or responsible for the strike.
(4) If a strike is performed not pursuant to the requirements
as mentioned under subsection (1), then in order to save
production equipment and enterprise assets, the
entrepreneur may take temporary action by:
a. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at locations where production processes
normally take place; or
b. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at the enterprise’s premise if necessary.
ARTICLE 141
Point b
Places for staging a strike refer to places
chosen by those responsible for the strike for
staging the strike in a way that will not prevent
other workers/ labourers from performing
work.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
ARTICLE 141
(1) A representative of the government agency and the
management who receives the letter notifying the intention
to strike as mentioned under Article 140 is under an
obligation to issue a receipt of acknowledment.
(2) Prior to and during the strike, the government agency
responsible for manpower affairs is under an obligation to
solve problem that leads to the emergence of strike by
arranging a meeting and negotiate between the disputing
parties.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, the agreement shall be made and
signed by the parties and a responsibble official from the
government agency responsible for manpower affairs shall
serve as witness.
II - 159
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)
results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem(s) that cause(s) the strike to the
authorized institution for the settlement of industrial
relations disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union(s) responsible for the strike or the bearer(s)
of responsibility for the strike, the strike may be continued
or terminated temporarily or terminated at all.
ARTICLE 142
ARTICLE 142
(1) Any strike that is staged without fulfilling the requirement
under Article 139 and Article 140 is illegal.
(2) The legal consequences of staging an illegal strike as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Ministerial Decision.
ARTICLE 143
Sufficiently clear
ARTICLE 143
(1) Nobody is allowed to prevent workers/labourers and trade/
labour unions from using their right to strike legally,
orderly and peacefully.
(2) It is prohibited to arrest and/or detain workers/labourers
and union officials who are on strike legally, orderly and
peacefully pursuant to the prevailing laws and regulations.
Subsection (1)
What is meant by the word ‘to prevent’
under this subsection is preventing the use of
the right to strike by means of, among others:
a. Punishment;
b. Intimidation, in whatever form; or
c. Transfer to another position or place with
the intention to put the transferee at a
disadvantage
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 144
ARTICLE 144
In the event of a strike performed pursuant to Article
140, the entrepreneur is prohibited from:
a. Replacing striking workers/labourers with other workers/
labourers from outside of the enterprise; or
b. Imposing sanctions on or taking retaliatory actions in
whatever form against striking workers/labourers and union
officials during and after the strike is performed.
II - 160
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 145
ARTICLE 145
Workers/ labourers who stage a strike legally in order to
demand the fulfillment of their normative rights, which the
entrepreneur has indeed violated, then they shall have their
wages.
SUBSECTION 3
LOCKOUT
Subsection (1)
The phrase their normative rights,
which the entrepreneur has indeed violated
means that the entrepreneur is, clearly and as
a matter of fact, unwilling to fulfill their
obligations as mentioned and/or as stipulated
under work agreements, company regulations,
collective labour agreements or labour
legislation even though their has been ordered
to do so by the government official responsible
for labour/ manpower affairs.
The payment of the wages of striking
workers/ labourers as mentioned under this
Article shall not eliminate the imposition of
sanction on entrepreneurs who violate
normative provisions.
ARTICLE 146
ARTICLE 146
(1) Lockout is a fundamental right of entrepreneurs to prevent
their workforce either in part or in whole from performing
work as a result from failed negotiation.
(2) Entrepreneurs are not justified to lock out their workforce
as retaliation for normative demands raised by workers/
labourers and/or trade/ labour unions.
(3) Lockouts must be performed pursuant to the prevailing
laws and regulations.
ARTICLE 147
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
If the lockout is carried out illegally or
as retaliation for a legal strike which rightfully
demands the fulfillment of normative rights,
the entrepreneur is under an obligation to
pay the worker/ labourer’s wages.
ARTICLE 147
Lockouts shall be prohibited from taking place at
enterprises that serve the public interest and or enterprises
whose types of activities, when interrupted by lockouts, will
endanger human lives, including hospitals, enterprises that
provide networks of clean water supply to the public, centers
of telecommunications control, centers electricities, oil-andgas processing industries, and trains.
ARTICLE 148
Sufficiently clear
ARTICLE 148
(1) An entrepreneur who intends to perform a lockout is under
an obligation to give a written notification of the lockout
to workers/ labourers and/or trade/ labour union and the
local government agency responsible for manpower affairs
of no less than 7 (seven) workdays before the lockout takes
II - 161
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
place.
(2) The lockout notification as mentioned under subsection
(1) shall at least contain:
a. The time (day, date and hour) will start and end the
lockout; and
b. The reason and cause for the lockout.
(3) The notification as mentioned under subsection (1) shall
be signed by the entrepreneur and/or the management of
the relevant enterprise.
ARTICLE 149
ARTICLE 149
(1) Workers/labourers or trade/labour unions and government
agencies responsible for manpower affairs that directly
receive a written notification of the lockout as mentioned
under Article 148 must issue receipts acknowledging
which state the day, the date, and the hour received.
(2) Before and during the lockout, the government agency
responsible for manpower affairs shall immediately try to
solve the problem that causes of the lockout by arranging
a meeting and between the disputing parties discussing.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, an agreement shall be made and
signed by the parties and also by a official from the
government agency responsible for manpower affairs who
shall serve as witness.
(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)
results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem that cause the strike to the authorized
institution for the settlement of industrial relations
disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then, on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union, the lockout may be continued or terminated
temporarily or terminated at all.
(6) Notification as mentioned under subsection (1) and
subsection (2) of Article 148 is not needed if:
a. The workers/labourers or trade/labour unions violate
the strike procedures as mentioned under Article 140;
II - 162
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
b. The workers/labourers or trade/labour unions violate
the normative provisions stipulated under the work
agreements, company regulations, collective labour
agreements or prevailing laws and regulations.
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT
ARTICLE 150
ARTICLE 150
The provisions concerning termination of employment
under this act shall cover termination of employment that
happens in a business undertaking which is a legal entity or
not, a business undertaking owned by an individual, by a
partnership or by a legal entity, either owned by the private
sector or by the State, as well as social undertakings and other
undertakings which have administrators/officials and employ
people by paying them wages or other forms of remuneration.
Sufficiently clear
ARTICLE 151
ARTICLE 151
(1) The entrepreneur, the worker/labourer and or the trade/
labour union, and the government must make all efforts
to prevent termination of employment.
(2) If despite all efforts made termination of employment
remains inevitable, then the intention to carry out the
termination of employment must be negotiated between
the entrepreneur and the trade/labour union to which
the affected worker/labourer belongs as member, or
between the entrepreneur and the worker/labourer to be
dismissed if the worker/labourer is not a union member.
(3) If the negotiation as mentioned under subsection (2) fails
to result in any agreement, the entrepreneur may only
terminate the employment of the worker/labourer after
receiving a decision from the institution for the settlement
of industrial relations disputes.
ARTICLE 152
Subsection (1)
The phrase make all efforts under this
subsection refers to positive activities or actions
which may eventually prevent termination of
employment from happening, including,
among others, arrangement of working time,
saving measures, restructuring or
reorganization of working methods, and
efforts to develop the worker/ labourer.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 152
(1) A request for a decision of the institution for the settlement
of industrial relations disputes to allow termination of
employment shall be addressed in writing to the
institution by stating the underlying reasons for the
II - 163
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
request.
(2) The request for such a decision as mentioned under
subsection (1) may be accepted by the institution for
settlement of industrial relations disputes if it has been
negotiated as mentioned under subsection (2) of Article
151.
(3) The decision on the request for termination of
employment can only be made by the institution for the
settlement of industrial relations disputes if it turns out
that the intention to carry out the termination of
employment has been negotiated but that the negotiation
results in no agreement.
ARTICLE 153
ARTICLE 153
(1) The entrepreneur is prohibited from terminating the
employment of a worker/ labourer because of the following
reasons:
a. The worker/labourer is absent from work because of
illness as attested by a written statement from the
doctor provided that it is for a period of longer than
12 (twelve) months consecutively;
b. The worker/labourer is absent from work because he
or she is fulfilling his or her obligations to the State in
accordance with the prevailing laws and regulations;
c. The worker/labourer is absent from work because he
or she is practicing what is required by his or her
religion;
d. The worker/labourer is absent from work because he
or she is getting married;
e. The worker/labourer is absent from work because she
is pregnant, giving birth, having a miscarriage, or
breast-feeding her baby;
f. The worker/labourer is related by blood and or through
marriage to another worker within the enterprise unless
so required in the collective labour agreement or the
company regulations;
g. The worker/labourer establishes, becomes a member
of and or an official of a trade/labour union; the worker/
labourer carries out trade/labour union activities outside
working hours, or during working hours with approval
II - 164
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
from the entrepreneur, or according to that which has
been stipulated in the work agreement, or the company
regulations, or the collective labour agreement;
h. The worker/labourer reports to the authorities the
crime committed by the entrepreneur;
i. Because different of understanding/belief, religion,
political orientation, ethnicity, color, race, sex, physical
condition or marital status;
j. The worker/labourer is permanently disabled, ill as a
result of a work accident, or ill because of an
occupational disease whose period of recovery cannot
be ascertained as attested by the written statement
made by the physician.
(2) Any termination of employment that takes place for reasons
mentioned under subsection (1) shall be declared null
and void by law. The entrepreneur shall then be obliged
to reemploy the affected worker/labourer.
ARTICLE 154
ARTICLE 154
The decision of the institute for the settlement of
industrial relations disputes as mentioned under subsection
(3) of Article 151 is not needed if:
a. The affected worker/ labourer is still on probation provided
that such has been stipulated in writing beforehand;
b. The affected worker/ labourer makes a written request for
resignation at his/her own will with no indication of being
pressurized or intimidated by the entrepreneur; or the
employment relationship comes to an end according to
the work agreement for a specified time for the first time;
c. The affected worker/ labourer has reached a retirement
age as stipulated under the work agreement, company
regulations, collective labour agreements, or laws and
regulations; or
d. The affected worker/labourer dies.
Sufficiently clear
ARTICLE 155
ARTICLE 155
(1) Any termination of employment without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes as mentioned under subsection (3) of Article 151
shall be declared null and void by law.
II - 165
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(2) As long as there is no decision from the institution for the
settlement of industrial relations disputes, the entrepreneur
and the worker/labourer must keep on performing their
obligations.
(3) The entrepreneur may violate the provision under
subsection (2) above by suspending the worker/labourer
who is still in the process of having his/her employment
terminated provided that the entrepreneur continues to
pay the worker/labourer’s wages and other entitlements
that worker/labourer normally receives.
ARTICLE 156
ARTICLE 156
(1) Should termination of employment take place, the
entrepreneur is obliged to pay the dismissed worker
severance pay and or a sum of money as a reward for service
rendered during his or her term of employment and
compensation pay for rights or entitlements.
The calculation of severance pay as mentioned under
subsection (1) shall at least be as follows:
a. 1 (one)-month wages for years of employment less than
1 (one) year;
b. 2 (two)-month wages for years of employment up to 1
(one) year or more but less than 2 (two) years;
c. 3 (three)-month wages for years of employment up to
2 (two) years or more but less than 3 (three) years;
d. 4 (four)-month wages for years of employment up to
3 (three) years or more but less than 4 (four) years;
e. 5 (five)-month wages for years of employment up to 4
(four) years or more but less than 5 (five) years;
f. 6 (six)-month wages for years of employment up to 5
(five) years or more but less than 6 (six) years;
g. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 7 (seven) years;
h. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
7 (seven) years or more but less than 8 (eight) years;
i. 9 (nine)-month wages for years of employment up to
8 (eight) years or more.
(2) The calculation of the sum of money paid as reward for
service rendered during the worker/ labourer’s term of
II - 166
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
employment shall be determined as follows:
a. 2 (two)-month wages for years of employment up to 3
(three) years or more but less than 6 (six) years;
b. 3 (three)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 9 (nine) years;
c. 4 (four)-month wages for years of employment up to
9 (nine) years or more but less than 12 (twelve) years;
d. 5 (five)-month wages for years of employment up to
12 (twelve) years or more but less than 15 (fifteen)
years;
e. 6 (six)-month wages for years of employment up to
15 (fifteen) years or more but less than 18 (eighteen)
years;
f. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
18 (eighteen) years but less than 21 (twenty one) years;
g. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
21 (twenty one) years but less than 24 (twenty four)
years;
h. 10 (ten)-month wages for years of employment up to
24 (twenty four) years or more.
(3) The compensation pay that the dismissed worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (1) shall
include:
a. Annual leaves that have not expired and not have taken;
b. Costs or expenses for transporting the worker/ labourer
and his or her family back to the point of hire;
c. Compensation for housing allowance, medical and
health care allowance is determined at 15% (fifteen
percent) of the severance pay and or reward for years
of service pay for those who are eligible;
d. Other compensations that are stipulated under the
work agreement, company regulations or collective
labour agreements.
(4) Changes concerning the calculation of the severance pay,
the sum of money paid as reward for service during term
of employment and the compensation pay that the worker/
labourer ought to have as mentioned under subsection
(2), subsection (3), and subsection (4) shall be regulated
with a Government Regulation.
II - 167
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 157
ARTICLE 157
(1) Wages components used as the basis for calculating
severance pay, money paid as reward for service rendered,
and money paid to compensate for entitlements that
should have been received, which are deferred, are
composed of:
a. Basic wages;
b. All forms of fixed allowances that are provided to
workers/ labourers and their families, including the
price of buying ration provided to the worker/ labourer
free of change whereby if the ration must be paid by
workers/ labourers with subsidies, the difference
between the buying price of the ration and the price
that must be paid by the worker/ labourer shall be
considered as wage.
(2) In case the worker/ labourer’s wages is paid on the basis of
daily calculation, a one-month wage shall be equal to 30
times a one-day wage.
(3) In case the worker/ labourer’s wage is paid on a piece-rate
or commission basis, a day’s wage shall equal the average
daily wage for the last 12 (twelve) months on the condition
that the wages must not be less than the provisions for
the provincial or district/ city minimum wages.
(4) In case the work depends on the weather and the wage is
calculated on a piece-rate basis, the amount of one month’s
wages shall be calculated from the average wages in the
last 12 (twelve) months.
ARTICLE 158
Sufficiently clear
ARTICLE 158
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a
worker/labourer because the worker/labourer has
committed the following grave wrongdoings:
a. Stolen or smuggled goods and/or money that belong
to the enterprise;
b. Given false or falsified information that causes the
enterprise to incur losses;
c. Drunk, drunken intoxicating alcoholic drinks,
consumed and or distributed narcotics, psychotropic
substances and other addictive substances in the
II - 168
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
working environment;
d. Committed immorality/indecency or gambled in the
working environment;
e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or
her co-workers or the entrepreneur in the working
environment.
f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to
do something that against laws and regulations.
g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property
of the entrepreneur exposed to danger, which caused
the enterprise to incur losses;
h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or
the entrepreneur exposed to danger in the workplace;
i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is
supposed to keep secret unless otherwise required by
the State; or
j. Committed other wrongdoings within the working
environment, which call for imprisonment for 5 (five)
years or more.
(2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection
(1) must be supported with the following evidence:
a. The worker/labourer is caught red-handed;
b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing;
or
c. Other evidence in the form of reports of events made
by the authorities at the enterprises and confirmed by
no less than 2 (two) witnesses.
(3) Workers/ labourers whose employment is terminated
because of reasons as mentioned under subsection (1) may
receive compensation pay for entitlements as mentioned
under subsection (4) of Article 156.
(4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1)
whose duties and functions do not directly represent the
interest of the entrepreneur shall be given detachment
money whose amount and the procedures or methods
associated with its payment shall be determined and
stipulated in the work agreements, company regulations,
or collective labour agreements.
II - 169
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 159
ARTICLE 159
If the worker/labourer is unwilling to accept the
termination as mentioned under subsection (1) of Article 158,
the worker/labourer may file a suit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes.
ARTICLE 160
(1) In case the worker/labourer is detained by the authorities
because he or she is alleged to have committed a crime
and this happens not because of the complaint filed by
the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay
the worker/labourer’s wages but is obliged to provide
assistance to the family who are his or her dependents
according to the following provisions:
a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to
pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s
wages.
b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged
to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/
labourer’s wages.
c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged
to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/
labourer’s wages.
d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is
obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/
labourer’s wages.
(2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall
be provided for no longer than 6 (six) months of calendar
year starting from the first day the worker/labourer is
detained by the authorities.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of the
worker/labourer who after the passing of 6 (six) months
are unable to perform his or her work as worker/labourer
because of the legal process associated with the legal
proceedings as mentioned under subsection (1).
(4) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months as mentioned under subsection (3) and the
worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur
is obliged to reemploy the worker/labourer.
II - 170
Sufficiently clear
ARTICLE 160
Subsection (1)
The members of the worker/ labourer’s
family that are his or her dependents are his
wife or her husband, children or persons who
legally become the worker/ labourer’s
dependents according to company regulations,
work agreements or collective labour
agreements.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
Subsection (6)
Sufficiently clear
Subsection (7)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(5) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months and the worker/labourer is declared guilty,
the entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer.
(6) The termination of employment as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) is carried out without
the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes.
(7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer
whose employment is terminated as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) reward pay for service
rendered during his/her period of employment 1 (one)
time of what is stipulated under subsection (3) of Article
156 and compensation pay that the worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (4) of Article
156.
ARTICLE 161
ARTICLE 161
(1) In case the worker/labourer violates the provisions that
are specified under work agreement, the company
regulations, or the collective labour agreement, the
entrepreneur may terminate the employment after the
entrepreneur precedes it with the issuance of the first,
second and third warning letters consecutively.
(2) Each warning letter issued as mentioned under subsection
(1) shall expire after 6 (six) months unless otherwise stated
in the work agreement or the company regulations or the
collective labour agreement.
(3) Workers/labourers whose employment is terminated for
reasons as mentioned under subsection (1) shall be
entitled to severance pay amounting to 1 (one) time of
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward pay for period of employment
amounting to 1 (one) time of the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for
entitlements according to the provision under subsection
(4) of Article 156.
II - 171
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Each warning letter may be issued either
consecutively or not consecutively, according
to what is stipulated under the work
agreements or company regulations or
collective labour agreements.
In case the warning letter is issued
consecutively then the first warning letter shall
be effective for a period of 6 (six) months. If
the worker/labourer commits a violation
again against the provisions under the work
agreement or company regulations or collective
labour agreement within the 6 (six) month
period, the entrepreneur may issue the second
warning letter, which shall also be effective
for a period of 6 (six) months since the issuance
of the second warning letter.
If the worker/labourer keeps on violating
the provisions under the work agreement or
company regulations or collective labour
agreement, the entrepreneur may issue the
third (last) warning, which shall be effective
for 6 (six) months since the issuance of the
third warning. If within the effective period
of the third warning, the worker/ labourer
once again violate the provisions under the
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
work agreement or company regulations or
collective labour agreement, the entrepreneur
may terminate employment.
If the six-month period since the
issuance of the first warning letter is lapsed
and the worker/ labourer once again violates
the work agreement, company regulations or
collective labour agreement, then the warning
letter issued by the entrepreneur shall once
again be the first warning letter. The same
shall also apply to the second and third
warning.
Work agreements or company regulations
or collective labour agreements may stipulate
the issuance of first and last warning letter for
certain types of violations. So, if the worker/
labourer violate the work agreement or
company regulations or collective labour
agreement within the effective period of the
first and last warning letter, the entrepreneur
may terminate the worker/ labourer’s
employment.
The six-month period is meant as an
effort to educate the affected worker/ labourer
so that he/she has time to correct his/her
behavior. On the other hand, the six-month
period shall give the entrepreneur enough time
to evaluate the performance of the worker/
labourer in question.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 162
ARTICLE 162
(1) Worker/labourer who resign on his/her own will, shall be
entitled to compensation pay in accordance with
subsection (4) of Article 156.
(2) Workers/labourers who resign of their own will, whose
duties and functions do not directly represent the interest
of the entrepreneur shall, in addition to the compensation
pay payable to them according to subsection (4) of Article
156, be given detachment money whose amount and the
procedures/methods associated with its payment shall be
regulated in the work agreements, company regulations
or collective labour agreements.
(3) A worker/labourer who resigns as mentioned under
II - 172
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
subsection (1) must fulfill the following requirements:
a. Submit a resignation letter no later than 30 (thirty)
days prior to the date of resignation;
b. Not being bound by a contract to serve the enterprise;
and
c. Continue to carry out his or her obligations until the
date of his or her resignation.
(4) Termination of employment for the reason of own will
resignation shall be carried out without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes.
ARTICLE 163
ARTICLE 163
(1) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the workers/labourers are
not willing to continue their employment, the worker/
labourer shall be entitled to severance pay 1 (one) time
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward pay for period of employment
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156, and compensation pay for entitlements
that have not been used according to what is stipulated
under subsection (4) of Article 156.
(2) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the entrepreneur is not
willing to accept the workers/labourers to work in the
new enterprise. The worker/labourer shall be entitled to
severance pay twice the amount of severance pay stipulated
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period
of employment 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for
entitlements according to what is stipulated under
subsection (4) of Article 156.
II - 173
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
ARTICLE 164
ARTICLE 164
(1) The entrepreneur may terminate the employment of
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down due to continual losses for 2 (two) years consecutively
or force majeure. The workers/labourers shall be entitled
to severance pay amounting to 1 (one) time the amount
of severance pay stipulated under subsection (2) of Article
156, reward pay for period of employment amounting to
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
according to subsection (4) of Article 156.
(2) The continual losses as referred under subsection (1) must
be proved in the enterprise’s financial reports over the last
2 (two) years that have been audited by public accountants.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of its
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down and the closing down of the enterprise is caused
neither by continual losses for 2 (two) years consecutively
nor force majeure but because of rationalization. The
workers/labourers shall be entitled to severance pay twice
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward for period of employment pay
amounting to 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156 and compensation pay for
entitlements according to subsection (4) of Article 156.
ARTICLE 165
Sufficiently clear
ARTICLE 165
The entrepreneur may terminate the employment of the
enterprise’s workers/labourers because the enterprise goes
bankrupt. The workers/labourers shall be entitled to severance
pay amounting to 1 (one) time the amount of severance pay
stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for
period of employment amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.
ARTICLE 166
Sufficiently clear
ARTICLE 166
If an employment relationship comes to an end because
the worker/ labourer dies, to the worker’s heirs shall be given a
sum of money whose amount shall be the same as twice the
II - 174
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
amount of severance pay as stipulated under subsection (2) of
Article 156, reward pay for period of employment worked by
the worker/ labourer amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.
ARTICLE 167
ARTICLE 167
(1) An entrepreneur may terminate the employment of its
workers/labourers because they enter pension age,
entrepreneur has included the workers/labourers in a
retirement benefit program, the workers/labourers are not
entitled to severance pay according to what is stipulated
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period
of employment in accordance with what is stipulated
under subsection (3) of Article 156, and compensation
pay for entitlements according to subsection (4) of Article
156.
(2) If the amount of retirement benefit that they get as a
single lump-sum payment as a result of their participation
in a pension program as mentioned under subsection (1)
turns out to be lower than twice the amount of the
severance pay stipulated under subsection (2) of Article
156, reward pay for period of employment in accordance
with what is stipulated under subsection (3) of Article
156, and compensation pay for entitlements according
to subsection (4) of Article 156, the entrepreneur shall
pay the difference.
(3) If the entrepreneur has included the worker/labourer in a
pension program whose contributions/premiums are paid
by the entrepreneur and the worker/labourer, then that
which is calculated with the severance pay shall be the
pension whose contributions/premiums have been paid
by the entrepreneur.
(4) Arrangements other than what is stipulated under
subsection (1), subsection (2) and subsection (3) may be
made in the work agreement or company regulations or
collective labour agreements.
(5) If the entrepreneur does not include workers/labourers
whose employment is terminated because they enter
pension age in a pension program, the entrepreneur is
II - 175
Subsection (1)
Sufficiently clear
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
An example for this subsection is:
For instance, if the severance pay that
should have been received by the worker/
labourer is Rp10,000,000 and the
amount of pension benefit payable to the
worker/ labourer according to the pension
program is Rp6,000,000 and
arrangements have been made in the
pension program that the entrepreneur pays
60% of the premium and the worker/
labourer pays the remaining 40%, then:
The total premiums paid by the
entrepreneur are equal to 60% x
Rp6,000,000 = Rp3,600,000
The total pension benefit for which
premiums have been paid by the worker/
labourer are equal to 40% x
Rp6,000,000 = Rp2,400,000
So, the difference that the entrepreneur
has to make up is Rp10,000,000 –
Rp3,600,000 = Rp6,400,000.
This means that the money receivable by
the worker/ labourer upon the
termination of the worker/ labourer’s
employment is:
Rp3,600,000 (which is the benefit paid
by the pension program administrator of
which represents 60% of the total
premiums which had been paid by the
entrepreneur)
Rp6,400,000 (which comes from the
difference in severance pay that must be
made up by the entrepreneur)
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
obliged to pay them severance pay twice the amount of
severance pay as stipulated under subsection (2) of Article
156, reward pay for period of employment amounting to
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
according to subsection (4) of Article 156.
(6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit
as mentioned under subsection (1), subsection (2) and
subsection (3) shall not eliminate their entitlement to
the old age benefit that is compulsory according to
prevailing laws and regulations.
ARTICLE 168
Rp2,400,000 (which is the benefit paid
by the pension program administrator
which represents 40% of the total
premiums which had been paid by the
worker/ labourer)
——————————————
Total: Rp12,400,000 (twelve
million four hundred thousand rupiah)
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
ARTICLE 168
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a
worker/labourer if the worker/labourer has been absent
from work for 5 (five) workdays or more consecutively
without submitting to the entrepreneur a written
explanation supplemented with valid evidence and the
entrepreneur has properly summoned him or her twice
in writing, by qualify the worker/labourer as resigning.
(2) The written explanation supplemented with valid evidence
as mentioned under subsection (1) must be submitted at
the latest on the first day on which the worker/labourer
comes back to the workplace.
(3) In the event of the termination of employment as
mentioned under subsection (1), the worker/labourer shall
be entitled to compensation pay for her/his entitlements
according to subsection (4) of Article 156 and they shall
be given detachment money whose amount and the
procedures and methods associated with its payment shall
be regulated in the work agreements, company
regulations, or collective labour agreements.
Subsection (1)
The phrase ‘the entrepreneur has properly
summoned him or her’ means that the worker/
labourer has been summoned in writing
through a letter sent to the address of the
worker/ labourer as recorded at the enterprise
on the basis of the information provided by
the worker/ labourer to the enterprise. There
shall be a minimum of three-workday spacing
between the first summon and the second
summon.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 169
ARTICLE 169
(1) A worker/labourer may file an official request to the
institution for the settlement of industrial relations
disputes to terminate his/her employment relationship
with his/her entrepreneur if:
II - 176
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
a. Battered, rudely humiliated or intimidated the worker/
labourer;
b. Persuaded and/or ordered the worker/labourer to
commit acts that against statutory laws and regulations;
c. Not paid wages at a prescribed time for three months
consecutively or more;
d. Not performed obligations promised to workers/
labourers;
e. Orders the worker/labourer to perform work outside
of that which has been agreed upon; or
f. Ordered the worker/labourer to carry out work that
endangered life, safety, health and morality of the
worker/labourer which is not mentioned in the work
agreement.
(2) The termination of employment because of reasons as
mentioned under subsection (1), the worker/ labourer is
entitled to receive severance pay amounting to twice the
amount of severance pay stipulated under subsection (2)
of Article 156, reward pay amounting to 1 (one) time the
amount of reward pay for period of employment worked
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.
(3) In case the entrepreneur is found not guilty of committing
the acts mentioned under subsection (1) by the institution
for the settlement of industrial relations disputes, the
entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer without having the decision of the
institution for the settlement of industrial relations
disputes and the worker/ labourer in question is not
entitled to severance pay as mentioned under subsection
(2) of Article 156 and reward pay for period of
employment worked as mentioned under subsection (3)
of Article 156.
ARTICLE 170
ARTICLE 170
Any termination of employment that is carried out
without fulfilling subsection (3) Article 151 and Article 168
except subsection (1) of Article 158, subsection (3) of Article
160, Article 162, and Article 169 shall be declared null and
II - 177
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
void by law and the entrepreneur is obliged to reemploy the
worker/ labourer and pay all the wages and entitlements which
the worker/ labourer should have received.
ARTICLE 171
ARTICLE 171
If workers/labourers whose employment is terminated
without the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes as mentioned under subsection
(1) of Article 158, subsection (3) of Article 160 and Article
162 cannot accept the termination of their employment, the
workers/ labourers may file a lawsuit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes within a period of
no later than 1 (one) year since the date on which their
employment was terminated.
The one-year spacing reserved for
dismissed workers/ labourers to file a lawsuit
starting from the date on which their
employment is terminated is considered as an
appropriate period of time during which to
file a lawsuit.
ARTICLE 172
ARTICLE 172
Workers/labourers who are continuously ill for a very long
time, who are disabled as a result of a work accident and are
unable to perform their work may, after they have been in
such a condition for more than the absenteeism limit of 12
(twelve) months consecutively, request that their employment
be terminated upon which they shall be entitled to receive
severance pay amounting to twice the amount of severance
pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward
pay for the period of employment they have worked amounting
to twice the amount of such reward pay stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay
amounting to one time the amount of that which is stipulated
under subsection (4) of Article 156.
Sufficiently clear
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT
ARTICLE 173
ARTICLE 173
(1) The goverment shall make efforts to develop and build
up elements and activities related to manpower.
(2) The efforts to develop manpower-related elements and
activities as mentioned under subsection (1) may invite
participation of entrepreneurs’ organizations, trade/labour
unions and other related organizations of professions.
II - 178
Subsection (1)
The term develop shall refer to activities
carried out effectively and efficiently to get
better results in order to improve and develop
all manpower-related activities.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(3) The efforts to develop manpower as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be carried out in a
well-integrated and well-coordinated way.
Subsection (3)
Those who shall perform the
coordination as mentioned under this
subsection are the government agency
(agencies) responsible for labour/ manpower
affairs.
ARTICLE 174
ARTICLE 174
For the purpose of manpower development, the
government, associations of entrepreneurs, trade/ labour unions
and other professions organizations may establish international
cooperation in the field of labour according to the prevailing
laws and regulations.
ARTICLE 175
Sufficiently clear
ARTICLE 175
(1) The government may award persons or institutions that
have done meritorious service in the field of manpower
development.
(2) The award as mentioned under subsection (1) may be
given in the form of a charter, money and or other forms
of reward.
Sufficiently clear
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION
ARTICLE 176
ARTICLE 176
Labour inspection shall be carried out by government
labour inspectors who have the competence and independency
to ensure the implementation of the labour laws and
regulations.
The word “independency” attributable
to labour inspectors under this subsection shall
mean that in making decision, labour
inspectors are not under the influence of other
parties.
ARTICLE 177
ARTICLE 177
The labour inspectors as mentioned under Article 176
shall be determined by Minister or appointed officials.
ARTICLE 178
Sufficiently clear
ARTICLE 178
(1) Labour inspection shall be carried out by a separate
working unit of a government agency whose scope of duty
and responsibility are in the field of labour at the Central
Government, Provincial Governments and District/ City
Governments.
II - 179
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(2) The implementation of labour inspection as mentioned
under subsection (1) shall be regulated further with a
Presidential Decision.
ARTICLE 179
ARTICLE 179
(1) The working units for labour inspection as mentioned
under Article 178 at the Provincial Governments and
District/ City Governments are obliged to submit reports
on the implementation of labour inspection to Minister.
(2) Procedures for submitting the reports as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
Sufficiently clear
ARTICLE 180
ARTICLE 180
Provisions concerning the requirements for the
appointment of, the rights and obligations of, the authority
of, labour inspectors as mentioned under Article 176 pursuant
to the prevailing laws and regulations.
ARTICLE 181
Sufficiently clear
ARTICLE 181
In carrying out their duties as mentioned under Article
176, labour inspectors are obliged:
a. To keep secret everything that, by its nature, needs or is
worthy to be kept secret;
b. To refrain from abusing their authority.
Sufficiently clear
CHAPTER XV
INVESTIGATION
ARTICLE 182
ARTICLE 182
(1) Special authority to act as civil servant investigators may
also be given, in addition to the one assigned to the
investigating officials of the Police of the State of the
Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(2) The civil servant investigators as mentioned under
subsection (1) shall have the authority:
a. To examine whether or not reports and explanation
about labour crimes are true;
II - 180
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
b. To investigate individuals suspected of having
committed a labour crime;
c. To require explanations and evidences from persons or
legal entity considered to be relevant to the labour
crime being investigated;
d. To examine or confiscate objects or evidences found in
a case of labour crime;
e. To examine papers and/or other documents related
with labour crimes;
f. To request the help of experts in performing labourrelated criminal investigations; and
g. To stop investigation if there is not enough evidence
to prove that a labour crime has been committed.
(3) The authority of civil servant investigators as mentioned
under subsection (2) shall be exercised in accordance with
the prevailing laws and regulations.
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE
SANCTIONS
SECTION ONE
CRIMINAL PROVISIONS
ARTICLE 183
ARTICLE 183
(1) Whosoever violates the provision under Article 74 shall
be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum
of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years and/or a
fine of a minimum of Rp200,000,000 (two hundred
million rupiah) and a maximum of Rp500,000,000 (five
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.
ARTICLE 184
Sufficiently clear
ARTICLE 184
(1) Whosoever violates what is mentioned under subsection
(5) of Article 167 shall be subjected to a criminal sanction
in jail for a minimum of 1 (one) year and a maximum of
5 (five) years and or a fine of a minimum of Rp100,000,000
II - 181
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
(one hundred million rupiah) and a maximum of
Rp500,000,000 (five hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.
ARTICLE 185
ARTICLE 185
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(1) and subsection (2) of Article 42, Article 68, subsection
(2) of article 69, Article 80, Article 82, subsection (1) of
Article 90, Article 139, Article 143, and subsection (4)
and subsection (7) of Article 160 shall be subjected to a
criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) year
and a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a
minimum of Rp100,000,000 (one hundred million
rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four hundred
million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.
ARTICLE 186
Sufficiently clear
ARTICLE 186
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) and subsection (3) of Article 35, subsection (2) of
Article 93, Article 137, and subsection (1) of Article 138
shall be subjected to a criminal sanction in jail for a
minimum of 1 (one) month and a maximum of 4 (four)
years and/or a fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten
million rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.
Sufficiently clear
ARTICLE 187
ARTICLE 187
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 37, subsection (1) of Article 44, subsection
(1) of Article 45, subsection (1) of Article 67, subsection
(2) of Article 71, Article 76, subsection (2) of Article 78,
subsection (1) and subsection (2) of Article 79, subsection
(3) of Article 85, and Article 144 shall be subjected to a
criminal sanction in prison for a minimum of 1 (one)
month and a maximum of 12 (twelve) months and/or a
fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten million rupiah)
II - 182
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
and a maximum of Rp100,000,000 (one hundred million
rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.
ARTICLE 188
ARTICLE 188
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 14, subsection (2) of Article 38, subsection
(1) of Article 63, subsection (1) of Article 78, subsection
(1) of Article 108, subsection (3) of Article 111, Article
114, and Article 148 shall be subjected to a criminal
sanction in the form of a fine of a minimum of
Rp5,000,000 (five million rupiah) and a maximum of
Rp50,000,000 (fifty million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.
ARTICLE 189
Sufficiently clear
ARTICLE 189
Sanctions imposed on entrepreneurs in the form of a jail,
prison sentence and/or a fine do not release the entrepreneurs
from their obligations to pay entitlements and/or
compensations to the workers/ labourers.
Sufficiently clear
SECTION TWO
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
ARTICLE 190
ARTICLE 190
(1) Minister or appointed official shall impose administrative
sanctions because of violations under Article 5, Article 6,
Article 15, Article 25, subsection (2) of Article 38,
subsection (1) of Article 45, subsection (1) of Article 47,
Article 48, Article 87, Article 106, subsection (3) of Article
126, and subsection (1) and subsection (2) of Article 160
of this act and its implementing regulations.
The administrative sanctions as mentioned under
subsection (1) may take the form of:
a. A rebuke;
b. A written warning;
c. restrict/limit the business activities of the affected
enterprise;
II - 183
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
d.
e.
f.
g.
freeze the business activities of the affected enterprise;
Cancellation of approval;
Cancellation of registration;
Temporary termination of partial or the whole
production tools/instruments;
h. Abolishment/revocation of license or permission to
operate.
(2) The provisions concerning administrative sanctions as
mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall
be regulated further by Minister.
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS
ARTICLE 191
ARTICLE 191
All implementing regulations that regulate manpower
affairs shall remain effective as long as they do not against and/
or have not been replaced by the new regulations made based
on this act.
Implementing regulations which
regulate matters pertaining to labour/
manpower under this act are implementing
regulations from various labour/ manpower
laws irrespective of whether they have been
revoked or are still in place and valid. In
order to avoid legal vacuum, this act shall
apply to implementing regulations that have
not been revoked or replaced on the basis of
this act as long as they are not against this act.
Likewise, if a labour incident or case
happens before the application of this act and
is still in the process of being settled through
an institute for the settlement of industrial
relations disputes, then in accordance with
the principle of legality, implementing
regulations that are in existence prior to the
application of this act shall be used to settle
the incident or case.
CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS
ARTICLE 192
ARTICLE 192
At the time this act starts to take effect, then:
1. Ordinance concerning the Mobilization of Indonesian
People To Perform Work Outside of Indonesia (Staatsblad
Year 1887 Number 8);
2. Ordinance dated December 17, 1925, which is a
regulation concerning Restriction of Child Labour and
Night Work for Women (Staatsblad Year 1925 Number
II - 184
Sufficiently clear
Act No. 13 Year 2003
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Explanatory Notes
647);
Ordinance Year 1926, which is a regulation which
regulates the Employment of Child and Youth on Board
of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To
Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective
Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who
Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction
of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8);
Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of
the Enactment of Employment Act Year 1948 Number
12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State
Gazette Year 1951 Number 2);
Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement
Between Labour Union and Employer (State Gazette Year
1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number
598a);
Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of
Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8);
Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work
for University Graduates Holding Master’s Degree (State
Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State
Gazette Number 2270);
Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential
Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at
Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963
Number 67);
Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental
Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969
Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912);
Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State
Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State
Gazette Number 3702);
Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the
Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning
II - 185
Act No. 13 Year 2003
Explanatory Notes
Manpower (State Gazette Year 1998 Number 184,
Supplement to State Gazette Number 3791);
15. Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment
of Government Regulation in lieu of Law Number 3 Year
2000 concerning Changes to Act Number 11 Year 1998
concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State
Gazette Year 2000 Number 204, Supplement to State
Gazette Number 4042)
shall herewith be declared null and void.
ARTICLE 193
ARTICLE 193
This act shall be effective upon the date of its
promulgation. For the cognizant of the public, orders the
promulgation of this act by having it place on the State Gazette
of the Republic of Indonesia.
Sufficiently clear
Legalized in Jakarta
On 25 March, 2003
PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta:
On 25 March, 2003
STATE SECRETARY OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
SUPPLEMENT TO THE STATE
GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4279
BAMBANG KESOWO
STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 39 OF 2003
II - 186
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
III - 1
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
III - 2
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
Daftar Isi
BAB I
KETENTUAN UMUM
III-9
BAB II
TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu : Penyelesaian Melalui Bipartit
Bagian Kedua : Penyelesaian Melalui Mediasi
Bagian Ketiga : Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Bagian Keempat : Penyelesaian Melalui Arbitrase
III-12
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
II-14
Bagian Kesatu : Umum
Bagian Kedua : Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi
Bagian Ketiga : Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
BAB IV
PENYELESIAN PERSELISIHAN MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
III-41
Bagian Kesatu : Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim
Paragraf 1 : Pengajuan Gugatan
Paragraf 2 : Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Paragraf 3 : Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Paragraf 4 : Pengambilan Putusan
Bagian Kedua : Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi
III - 3
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF DAN
KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu : Sanksi Administratif
Bagian Kedua : Ketentuan Pidana
III-50
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
III-53
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
II-25
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
III-55
III - 4
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan
hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan
kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat,
tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang
yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat
(1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2)
III - 5
I. UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan
keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan
perbedaan pendapat, bahkan perselisihan
antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan
industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan,
atau mengenai keadaan ketenagakerjaan
yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama maupun peraturan perundangundangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat
pula disebabkan oleh pemutusan hubungan
kerja. Ketentuan mengenai pemutusan
hubungan kerja yang selama ini diatur di
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif
lagi untuk mencegah serta menanggulangi
kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal
ini disebabkan karena hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha merupakan
hubungan yang didasari oleh kesepakatan
para pihak untuk mengikatkan diri dalam
suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu
pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat
dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit
bagi para pihak untuk tetap mempertahankan
hubungan yang harmonis. Oleh karena itu
perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi
kedua belah pihak untuk menentukan bentuk
penyelesaian, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial yang diatur dalam
Undang-undang ini akan dapat
menyelesaikan kasus-kasus pemutusan
hubungan kerja yang tidak diterima oleh
salah satu pihak.
Sejalan dengan era keterbukaan dan
demokratisasi dalam dunia industri yang
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
2.
3.
4.
5.
6.
Penjelasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316);
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3327);
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
III - 6
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk
berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah
serikat pekerja/serikat buruh di satu
perusahaan tidak dapat dibatasi. Persaingan
diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu
perusahaan ini dapat mengakibatkan
perselisihan di antara serikat pekerja/serikat
buruh yang pada umumnya berkaitan
dengan masalah keanggotaan dan
keterwakilan di dalam perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial selama ini ternyata
belum mewujudkan penyelesaian perselisihan
secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun
1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dirasa tidak dapat
lagi mengakomodasi perkembanganperkembangan yang terjadi, karena hak-hak
pekerja/buruh perseorangan belum
terakomodasi untuk menjadi pihak dalam
perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
yang selama ini digunakan sebagai dasar
hukum penyelesaian perselisihan hubungan
industrial hanya mengatur penyelesaian
perselisihan hak dan perselisihan kepentingan
secara kolektif, sedangkan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial pekerja/
buruh secara perseorangan belum
terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar
adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Dengan adanya
ketentuan ini, maka jalan yang harus
ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh
maupun oleh pengusaha untuk mencari
keadilan menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik
adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui
musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa
dicampuri oleh pihak manapun.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan
masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban
memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi
dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk
mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi
keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena
itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan
pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang
belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan
ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana
dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di
perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun
organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi
pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/
serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka
salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui
konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan
melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan
kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau
arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih
dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
III - 7
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase
namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu
melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan
dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan
tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah
Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum
dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah
Agung.
10.Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan
tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan
Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak
dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11.Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3
(tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan
organisasi pekerja/organisasi buruh.
12.Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13.Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat
paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
III - 8
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
BAB I
KETENTUAN UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
PASAL 1
PASAL 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/
buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
III - 9
Angka 1 s.d 21
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Penjelasan
yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/
buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.
Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
III - 10
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Penjelasan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para
pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan
khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri
yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang
ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial.
Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada
III - 11
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
PASAL 2
PASAL 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan
mengenai hak normatif, yang sudah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
BAB II
TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAGIAN KESATU
PENYELESAIAN MELALUI BIPARTIT
PASAL 3
PASAL 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan
perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
III - 12
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit
dalam pasal ini adalah perundingan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau
antara serikat pekerja/serikat buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam
satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 4
PASAL 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau
kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan
bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas
untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para
pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk
penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh.
PASAL 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan
kebebasan bagi pihak yang berselisih untuk
secara bebas memilih cara penyelesaian
perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
PASAL 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi
tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
PASAL 6
Cukup jelas.
PASAL 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para
III - 13
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan
perundingan.
PASAL 7
PASAL 7
(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka
dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak.
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan
oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan
perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran
Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon
eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
III - 14
Cukup jelas
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan
ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
BAGIAN KEDUA
PENYELESAIAN MELALUI MEDIASI
PASAL 8
PASAL 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh
mediator yang berada di setiap kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/
Kota.
Cukup jelas
PASAL 9
PASAL 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Oleh karena mediator adalah seorang
pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat
yang ada dalam pasal ini harus
dipertimbangkan pula ketentuan yang
mengatur tentang pegawai negeri sipil pada
umumnya.
PASAL 10
PASAL 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan
mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
PASAL 11
Cukup jelas.
PASAL 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk
hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar
keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak
menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
III - 15
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam
pasal ini adalah seseorang yang mempunyai
keahlian khusus di bidangnya termasuk
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 12
PASAL 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator
guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator
terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus
menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (1)
Yang
dimaksudkan
dengan
membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat dalam pasal ini adalah antara
lain buku tentang upah atau surat perintah
lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh
orang yang ditunjuk mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan
tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya,
maka permintaan keterangan kepada pejabat
dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain
akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan
(Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan). Demikian pula
ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kearsipan dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 13
PASAL 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara
III - 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan dengan anjuran
tertulis adalah pendapat atau saran tertulis
yang diusulkan oleh mediator kepada para
pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan
mereka.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau
menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap
menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai
membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai
berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta
bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi.
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar
wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
III - 17
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 14
PASAL 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak
atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah
satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai pengajuan
gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai
dengan tatacara penyelesaian perkara perdata
pada peradilan umum.
PASAL 15
PASAL 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4).
PASAL 16
Cukup jelas
PASAL 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan
Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
BAGIAN KETIGA
PENYELESAIAN MELALUI KONSILIASI
PASAL 17
PASAL 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh
konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/
Kota.
PASAL 18
Cukup Jelas.
PASAL 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah
kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak
mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis
kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para
III - 18
Cukup Jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan
dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang
dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
PASAL 19
PASAL 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus
memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat
yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan syarat lain
dalam huruf i ini adalah antara lain :
pengaturan tentang standar kompetensi
konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator,
seleksi bagi calon konsiliator, dan masalah
teknis lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 20
PASAL 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara
tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari
kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi
pertama.
PASAL 21
Cukup jelas.
PASAL 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk
III - 19
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak
menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
PASAL 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator
guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator
terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus
menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
PASAL 22
Ayat (1)
Yang
dimaksudkan
dengan
membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat dalam pasal ini adalah antara
lain buku tentang upah atau surat perintah
lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh
orang yang ditunjuk konsiliator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan
tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya,
maka permintaan keterangan kepada pejabat
dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain
akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan
(Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan). Demikian pula
ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kearsipan dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 23
PASAL 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara
III - 20
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau
menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak
anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis
sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah
selesai membantu para pihak membuat Perjanjian
Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai
berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta
bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat
penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar
wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian
Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
III - 21
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 24
PASAL 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak
atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat;
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah
satu pihak.
Cukup jelas.
PASAL 25
PASAL 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
PASAL 26
Cukup jelas.
PASAL 26
(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa
berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan
kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
PASAL 27
Cukup jelas.
PASAL 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau
dan dinilai oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di
bidang ketenagakerjaan.
PASAL 28
Cukup jelas.
PASAL 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan
pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi
diatur dengan Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
BAGIAN KEEMPAT
PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE
PASAL 29
PASAL 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
III - 22
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 30
PASAL 30
(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan
oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
PASAL 31
Ayat (1)
Penetapan dalam pasal ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang
dapat bertindak sebagai arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)
tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau
bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran
arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.
PASAL 32
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Mengingat keputusan arbiter ini
mengikat para pihak dan bersifat akhir dan
tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten
di bidangnya, sehingga kepercayaan para
pihak tidak sia-sia.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang
berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam
surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan
masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama.
III - 23
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para
pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan
yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan
dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk
dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda
tangan para pihak yang berselisih.
PASAL 33
PASAL 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat
perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal
atau beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter
tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai
kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak
berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat
sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk
arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis)
dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh Menteri.
III - 24
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib
memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang
mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) harus
memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan
penunjukannya secara tertulis.
PASAL 34
PASAL 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih;
(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para
pihak yang berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan
yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan
diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk
dan menjalankan keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda
tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak
melampaui kewenangannya dalam penyelesaian
perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masingmasing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka
asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua
Majelis Arbiter.
III - 25
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 35
PASAL 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan
menandatangani surat perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak
dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan
penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas
sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat
persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan
permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan
alasan yang dapat diterima.
PASAL 36
Cukup jelas.
PASAL 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau
meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter
pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak
mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka
penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak
yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter
mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para
arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan
kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai
kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para
pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau
para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan
Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan
Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam
III - 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Arbiter yang ditetapkan Pengadilan
tidak boleh arbiter yang telah pernah ditolak
oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus
arbiter lain.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.
PASAL 37
PASAL 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil
yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara.
Yang dimaksud dengan menerima
hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter
pengganti terikat pada hasil arbiter yang
digantikan yang tercermin dalam risalah
kegiatan penyelesaian perselisihan.
PASAL 38
PASAL 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan
perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada
Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti
otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak
dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula
diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan
atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar
tidak dapat diajukan perlawanan.
PASAL 39
Cukup jelas.
PASAL 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua
Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati
diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang
disepakati diajukan kepada majelis arbiter yang
bersangkutan.
Cukup jelas.
PASAL 40
PASAL 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penggantian arbiter
maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
kerja dihitung sejak arbiter pengganti
menandatangani perjanjian arbitrase.
III - 27
Ayat (2)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk
memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan
hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
PASAL 41
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter
atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak
yang berselisih menghendaki lain.
Cukup jelas.
PASAL 42
PASAL 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.
Yang dimaksud surat kuasa khusus
dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan
oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi
kuasa kepada seseorang atau lebih selaku
kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum dan
tindakan lainnya yang berkaitan dengan
perkaranya yang dicantumkan secara khusus
dalam surat kuasa.
PASAL 43
PASAL 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau
kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir,
walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau
majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap
selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang
selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu
alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah
dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat
memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan
dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian
tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut
tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
III - 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipanggil
secara patut” dalam ayat ini yaitu para pihak
telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3
(tiga) kali, setiap panggilan masing-masing
dalam waktu 3 (tiga) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 44
PASAL 44
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter
harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah
pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib
membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para
pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan
perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dilakukan sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta
bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar
wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta
Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan
ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan
sidang arbitrase.
PASAL 45
Cukup jelas.
PASAL 45
(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan
untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap
III - 29
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka
waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para
pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara
tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau
majelis arbiter.
PASAL 46
PASAL 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi
atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar
keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli
wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing.
(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk
melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap
saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang
meminta.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli
dibebankan kepada pihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli
yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.
Cukup jelas.
PASAL 47
PASAL 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau
majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait
dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
III - 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat dalam
pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah
atau surat perintah lembur dan dilakukan
oleh orang yang ahli soal pembukuan yang
ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan
tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiaannya,
maka permintaan keterangan kepada pejabat
dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain
akan dilayani oleh pejabat bank apabila telah
ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
pemilik rekening yang bersangkutan
(Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan). Demikian pula
ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kearsipan dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 48
PASAL 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang
arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau
majelis arbiter.
PASAL 49
Cukup jelas.
PASAL 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian,
kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
PASAL 50
Cukup jelas.
PASAL 50
(1) Putusan arbitrase memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”;
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang
diajukan oleh para pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih
lanjut para pihak yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah
seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia
tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam
III - 31
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan.
PASAL 51
PASAL 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan
putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus
dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada
Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
PASAL 52
Cukup jelas.
PASAL 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah
Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila
putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan
palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak
lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
III - 32
Ayat (1)
Upaya hukum melalui permohonan
pembatalan dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada pihak berselisih yang
dirugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan
industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat
dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan pembatalan.
PASAL 53
PASAL 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
Ketentuan dalam pasal ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum.
PASAL 54
PASAL 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang
diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter,
kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
Cukup jelas.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAGIAN KESATU
UMUM
PASAL 55
PASAL 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan
khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.
PASAL 56
Cukup jelas.
PASAL 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
III - 33
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
PASAL 57
PASAL 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Cukup jelas.
PASAL 58
PASAL 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Cukup jelas.
PASAL 59
PASAL 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk
Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan
Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota
Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang
bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri,
dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
- Berhubung Daerah Khusus Ibukota
Jakarta merupakan Ibu Kota Provinsi
sekaligus Ibu Kota Negara Republik
Indonesia memiliki lebih dari satu
Pengadilan Negeri, maka Pengadilan
Hubungan Industrial yang dibentuk
untuk pertama kali dengan undangundang ini adalah Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Ayat (1)
- Dalam hal di ibukota provinsi terdapat
Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan
Negeri Kabupaten, maka Pengadilan
Hubungan Industrial menjadi bagian
Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kata “segera”
dalam ayat ini adalah bahwa dalam waktu
6 (enam) bulan sesudah undang-undang
ini berlaku.
III - 34
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 60
PASAL 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Cukup jelas.
BAGIAN KEDUA
HAKIM, HAKIM AD-HOC DAN HAKIM KASASI
PASAL 61
PASAL 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung.
PASAL 62
Cukup jelas.
PASAL 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Cukup jelas.
PASAL 63
PASAL 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat
dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang
disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat
buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian
Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial kepada Presiden.
III - 35
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 64
PASAL 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1)
kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
syarat pendidikan sarjana hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal
5 tahun.
PASAL 65
Cukup jelas.
PASAL 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya,
bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama
atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada
dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
III - 36
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji
diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan
agama masing-masing, misalnya untuk
penganut agama Islam “Demi Allah“
sebelum lafal sumpah dan untuk penganut
agama Kristen/Katholik kata-kata “Kiranya
Tuhan akan menolong saya” sesudah lafal
sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan
dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh
Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
PASAL 66
PASAL 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus
organisasi pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap
jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
PASAL 67
Cukup jelas.
PASAL 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua
belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim
Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
III - 37
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sakit jasmani
atau rohani terus menerus adalah sakit yang
menyebabkan penderita tidak mampu lagi
melakukan tugasnya dengan baik.
Huruf d.
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi
pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
Huruf e.
Yang dimaksud dengan tidak cakap
menjalankan tugas misalnya sering
melakukan kesalahan dalam menjalankan
tugas karena kurang mampu.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PASAL 68
PASAL 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu
1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan yang sah;
atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan kepada Mahkamah Agung.
PASAL 69
Cukup jelas.
PASAL 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(2).
Cukup jelas.
PASAL 70
PASAL 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan
III - 38
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/
serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi
pengusaha.
PASAL 71
PASAL 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada
Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri dapat
memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan
Hakim Ad-Hoc.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Ketua Mahkamah Agung dapat
memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan
Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus
perselisihan.
PASAL 72
Cukup jelas.
PASAL 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian
sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Cukup jelas.
PASAL 73
PASAL 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan
Presiden.
Yang dimaksud tunjangan dan hakhak lainnya adalah tunjangan jabatan dan
hak-hak yang menyangkut kesejahteraan.
III - 39
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
BAGIAN KETIGA
SUB KEPANITERAAN DAN PANITERA PENGGANTI
PASAL 74
PASAL 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan
Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh
seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh
beberapa orang Panitera Pengganti.
PASAL 75
Cukup jelas.
PASAL 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74 ayat (1) mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan
Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima
dalam buku perkara.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan
alamat para pihak, dan jenis perselisihan.
Cukup jelas.
PASAL 76
PASAL 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian
surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan
dan penyampaian salinan putusan.
PASAL 77
Cukup jelas.
PASAL 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai
Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan,
dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih lanjut
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
III - 40
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 78
PASAL 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
PASAL 79
Cukup jelas.
PASAL 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan
dalam Berita Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera
Pengganti.
PASAL 80
Cukup jelas.
PASAL 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan
surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak
boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali
atas izin Panitera Muda.]
Cukup jelas.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAGIAN KESATU
PENYELESAIAN PERSELISIHAN OLEH HAKIM
PARAGRAF 1
PENGAJUAN GUGATAN
PASAL 81
PASAL 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja.
PASAL 82
Cukup jelas.
PASAL 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171
III - 41
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya
keputusan dari pihak pengusaha.
PASAL 83
PASAL 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila
terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat untuk
menyempurnakan gugatannya.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan,
Panitera atau Panitera Penganti dapat
membantu penyusunan/menyempurnakan
gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera
Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang
memuat:
- nama lengkap dan alamat atau tempat
kedudukan para pihak;
- pokok-pokok persoalan yang menjadi
perselisihan atau objek gugatan;
- dokumen-dokumen, surat-surat dan halhal lain yang dianggap perlu oleh
penggugat.
PASAL 84
PASAL 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat
diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.
PASAL 85
Cukup jelas.
PASAL 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya
sebelum tergugat memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan
itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan
oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila
disetujui tergugat.
Cukup jelas.
PASAL 86
PASAL 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan
kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus
terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan.
III - 42
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 87
PASAL 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha
dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/
serikat buruh sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal ini meliputi pengurus pada
tingkat perusahaan, tingkat kabupaten/kota,
tingkat provinsi dan pusat baik serikat pekerja/
serikat buruh, anggota federasi, maupun
konfederasi.
PASAL 88
PASAL 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan
harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas
1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang
memeriksa dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya
diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk seorang Panitera
Pengganti.
Cukup jelas
PARAGRAF 2
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA
PASAL 89
PASAL 89
(1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis
Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para
pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat
tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat
kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat
tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau
III - 43
Cukup jelas
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang
terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil
sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda
penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan
pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan
Hubungan Industrial yang memeriksanya.
PASAL 90
PASAL 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli
untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar
keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi
ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan
memberikan kesaksiannya di bawah sumpah.
Cukup jelas.
PASAL 91
PASAL 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis
Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini
wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait
dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan
tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan harus menjaga kerahasiannya,
maka permintaan keterangan kepada pejabat
dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti
prosedur yang ditentukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PASAL 92
PASAL 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1).
Ketentuan sahnya persidangan dalam
pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus
dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim AdHoc yang telah ditunjuk untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
III - 44
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 93
PASAL 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat
menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim
menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau
para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali
penundaan.
Cukup jelas.
PASAL 94
PASAL 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah
setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan
tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali
lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah
dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang
penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan
memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Cukup jelas.
PASAL 95
PASAL 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali
Majelis Hakim menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib
menghormati tata tertib persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat
peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim,
dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
III - 45
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 96
PASAL 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata
pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat
(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera
menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada
pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari
persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih
berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha,
Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam
sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat
digunakan upaya hukum.
PASAL 97
Ayat (1)
Permintaan putusan sela disampaikan
bersama-sama dengan materi gugatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PASAL 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang
harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Cukup jelas.
PARAGRAF 3
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA CEPAT
PASAL 98
PASAL 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah
satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang
berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial
supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
III - 46
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
PASAL 99
PASAL 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat,
dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua
belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi
14 (empat belas) hari kerja.
Cukup jelas.
PARAGRAF 4
PENGAMBILAN PUTUSAN
PASAL 100
PASAL 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim
mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan,
dan keadilan.
Cukup jelas.
PASAL 101
PASAL 101
(1) Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis
Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak
yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
III - 47
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 102
PASAL 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman
atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan
termohon/tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang
diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama
sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc
yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang
hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya
putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
PASAL 103
Cukup jelas.
PASAL 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambatlambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang
pertama.
Cukup jelas.
PASAL 104
PASAL 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim
Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
PASAL 105
Cukup jelas.
PASAL 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2).
III - 48
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 106
PASAL 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah
putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah
menerbitkan salinan putusan.
Dengan ketentuan ini berarti jangka
waktu membuat putusan asli dan salinan
putusan dibatasi selama 14 (empat belas)
hari kerja agar tidak merugikan hak para
pihak.
PASAL 107
PASAL 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan
diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada
para pihak.
Cukup jelas.
PASAL 108
PASAL 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih
dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau
kasasi.
PASAL 109
Cukup jelas.
PASAL 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
PASAL 110
Cukup jelas.
PASAL 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap
apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan
dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal
menerima pemberitahuan putusan.
Cukup jelas.
PASAL 111
PASAL 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak
mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara
tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
III - 49
Yang dimaksud dengan Pengadilan
Negeri setempat dalam pasal ini adalah
Pengadilan Negeri yang memutus perkara
tersebut.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
PASAL 112
PASAL 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara
kepada Ketua Mahkamah Agung.
Cukup jelas.
BAGIAN KEDUA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN OLEH HAKIM KASASI
PASAL 113
PASAL 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung
dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan
mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada
Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
PASAL 114
Cukup jelas
PASAL 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 115
Cukup jelas.
PASAL 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan
pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi.
Cukup jelas.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN
PIDANA
BAGIAN KESATU
SANKSI ADMINISTRATIF
PASAL 116
PASAL 116
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah
III - 50
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan
sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak
mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107
dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 117
PASAL 117
(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir
b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian
Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat
dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan
perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai
konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan.
PASAL 118
Cukup jelas.
PASAL 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
III - 51
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
PASAL 119
PASAL 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan
sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai
arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru
dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan
menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter
diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Cukup jelas.
PASAL 120
PASAL 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil
keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial
melampaui kekuasaannya, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e
dan Mahkamah Agung telah mengabulkan
permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan
arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga)
kali.
III - 52
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai
berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan
yang sedang ditanganinya.
PASAL 121
PASAL 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Cukup jelas.
BAGIAN KEDUA
KETENTUAN PIDANA
PASAL 122
PASAL 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2),
Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama
6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Cukup jelas.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
PASAL 123
PASAL 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
III - 53
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
PASAL 124
PASAL 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial
berdasarkan undang-undang ini, perselisihan hubungan
industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah
diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan,
maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah atau lembaga-lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam huruf a yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh
Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga-lembaga lain yang setingkat yang
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat atau lembaga-lembaga lain sebagaimana
dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan
banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang
waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan
oleh Mahkamah Agung;
III - 54
Cukup jelas.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 125
PASAL 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan
Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686)
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Cukup jelas.
PASAL 126
PASAL 126
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Tenggang waktu dalam pasal ini
dimaksudkan untuk mempersiapkan
penyediaan dan pengangkatan Hakim dan
Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan
prasarana seperti penyediaan kantor dan
ruang sidang Pengadilan Hubungan
Industrial.
III - 55
Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Penjelasan
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4356
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 6
III - 56
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA
ACT NUMBER 2 YEAR 2004
CONCERNING
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT
III - 57
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
III - 58
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
III-65
CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
III-68
Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism
Section Two : Settlement Through Mediation
Section One : Settlement Through Conciliation
Section One : Settlement Through Arbritation
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
III-89
Section One : General
Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge
Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar
Section One : Settlement Through Arbritstion
CHAPTER IV
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
III-97
Section One : Settlement of Dispute by the Justice
Subsection 1 : Submission of Petition
Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure
Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure
Subsection 4 : Passing of Verdict
Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge
III - 59
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTION AND
CRIMINAL PROVISIONS
Section One : Administrative Sanction
Section Two : Criminal Provisions
III-106
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS
III-109
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS
III-109
III - 60
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES OF
ACT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
CONCERNING
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
THE INDUSTRIAL RELATIONS
DISPUTES SETTLEMENT
I. GENERAL
CONCERNING
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SETTLEMENT
BY THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA,
Considering:
a. That harmonious, dynamic, and fair industrial relations
need to be put into practice in an optimal manner in
accordance with Pancasila values;
b. That in the era of industrialization, the problem of
industrial disputes have become more frequent and
complex, so that it is necessary to establish institutions
and mechanisms for settlement of industrial disputes that
are prompt, appropriate, just, and inexpensive;
c. That the Act No. 22 of 1957 concerning Settlement of
Labour Disputes and Act No. 12 of 1964 concerning
Termination of Employment in Private Corporations is
no longer suitable with the needs of the society;
d. That based on considerations as were mentioned under
letters a, b, and c, there needs to be stipulated an Act that
calls for an arrangement of matters concerning Industrial
Dispute Settlement.
III - 61
Industrial Relations, meaning the interlinkage of interests between workers/labourers
and employers, have the potential of giving
rise to differences of opinion and even disputes
between the two sides.
Disputes in the field of industrial
relations up to now have been identified as
occurring with regard to predetermined rights,
or with regard to any manpower conditions
that have not been codified whether they are
work agreements, company regulations,
collective labour agreements, or legislative
articles.
Industrial disputes can also be caused
by termination of the work relationship. The
stipulation on layoffs that up to know has
been arranged under Act No.12 of 1984
concerning the Termination of employment
in Private Corporations, turns out to be no
longer effective in preventing and resolving
cases involving layoffs. This is caused by the
fact that the relationship between the workers/
labourers and employers is a relationship
based on agreement between the parties
involved to bind themselves within such a
working relationship. In the event one party
no longer wishes to be bound by such a work
relationship, it becomes difficult for the parties
concerned to maintain harmonious relations.
For that reason it becomes necessary to find
the best solution for both parties to agree on
the form of settlement, so that the Industrial
Relations Court as arranged under this Act
will be able to resolve cases of termination
that are considered unacceptable by one of
the parties.
In line with the era of openness and
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
In view of:
1. Article 5 subsection (1), Article 20, Article 24, Article
25, Article 27 Subsections (1), as well as Article 28 D
subsection (1) and subsection (2) of the 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia;
2. Act No 14 of 1970 on Principal Provisions of Judiciary
Power (State Gazette No. 74 of 1970, Republic of
Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 2951) as
has been revised by Act No. 35 of 1999 on the Revision
of Act No. 14 of 1970 concerning the Principal Provisions
of Judiciary Power (State Gazette No. 147 of 1999,
Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette
No. 3879);
3. Act No. 14 of 1985 on the Supreme Court (State Gazette
No. 73 0f 1985, Republic of Indonesia, Addendum to
the State Gazette No. 3316);
4. Act No. 2 of 1986 on the General Judiciary (State Gazette
No 20 of 1986, Republic of Indonesia, Addendum to
the State Gazette No. 3327);
5. Act No 21 of 2000 on Wokers/Labour Unions (State
Gazette No. 131 of 2000, Republic of Indonesia,
Addendum to the State Gazette No. 3989);
6. Act No. 13 of 2003 on Manpower (State Gazette No. 39
of 2003, Republic of Indonesia, Addendum to the State
Gazette No. 4279);
By the joint approval between
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
AND
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DECIDE:
To stipulate:
ACT CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS
DISPUTES SETTLEMENT
democratization in the world of industry as
manifested by the existence of freedom of
association for the workers/labourers, the
number of labour unions within a company
may not be limited. Competition between
the labour unions in one company may result
in strife among those labour unions, and in
general are linked to membership and
representation matters related to the
negotiations for drawing up a collective labour
agreement.
Legislation that oversees the resolution
of industrial disputes up to now has not been
able to put into effect a quick, appropriate,
just, and inexpensive way of settling disputes.
Act No. 22 of 1957 that all along has
been used as the legal basis for industrial
relations dispute settlement is felt no longer to
be able to accommodate the developments
that have occurred, as the rights of the
individual workers/labourers have not been
considered sufficiently important to allow
them to be a party in industrial dispute
settlements.
Act No. 22 of 1957 that all along has
been used as the legal basis for industrial
relations dispute settlement only covers the
disputes involving rights and the collective
interest, whereas the settlement of industrial
disputes concerning workers/labourers
individually has not been accommodated.
Another quite fundamental matter is
the passage of the P4P decisions as being
within the realm of the State Administrative
Agency, as stipulated by Act No. 5 of 1986
regarding the State Administrative Agency
Judicial System. With the enactment of this
stipulation, the road to be traversed both by
the workers/labourers and the employers in
order to obtain justice have become
increasingly lengthy.
The best dispute resolution is settlement
by the parties involved in the disagreements
so that a result advantageous to both sides can
be attained. This bipartite settlement is
conducted through deliberations and
consensus between the two parties without
intervention by any other party whatsoever.
Nevertheless the government in its
III - 62
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
endeavors to provide public service, specifically to the community of workers/labourers
as well as employers has the obligation to facilitate the settlement of those industrial
disputes. Efforts at facilitation are carried out through providing the services of a
mediator assigned to reconcile the interests of the two disputing parties.
With the onset of the democratization era in all fields, the involvement of society
in industrial relations dispute settlement should be accommodated, through conciliation
or arbitration.
Dispute settlement through arbitration in general has been codified through the
Act No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlements that
is in effect for commercial disputes. For that reason arbitration in industrial relations
as arranged under this Act is a special solution for dispute settlement in the field of
industrial relations.
With the considerations as outlined above, this Act should oversee settlement of
industrial disputes caused by:
a. differences of opinion or interests on labour conditions that have not been covered
through work agreements, corporate regulations, collective labour agreements, or
legislation.
b. negligence or disregard by one or both parties in carrying out the normative
stipulations as spelled out within the work agreement, company regulations,
collective labour agreement, or enacted legislation.
c. termination of the work relationship.
d. differences of opinion among the trade unions within one company regarding the
implementation of union rights and obligations.
With the range of material concerning industrial disputes as mentioned above,
this Act will include the main topics as follows.
1. The arrangements in resolving industrial disputes that occur both in private
corporations or companies under the aegis of state-owned enterprises (BUMN).
2. The parties involved in these matters are workers/labourers as individuals or as
members of trade union organizations against the employers or employers’
organizations. The parties involved in these cases may also be trade unions facing
other trade unions within a single corporation.
3. Each industrial dispute initially should be settled through deliberations leading to
consensus by the parties in disagreement (in a bipartite manner).
4. In the event deliberations by the parties in dispute (bipartite) fail, then one party
or both parties can register the dispute at the agency responsible for handling local
manpower matters.
5. Disputes concerning differing interests. Disputes arising out of the Termination of
Work Relations or disputes among trade unions that have been registered with the
responsible agency in manpower matters may be settled through conciliation or an
agreement between the two parties, while resolution of disputes through arbitration
can only be for disputes of differing interests and disputes between trade unions. In
the event there is no agreement attained by the two sides to settle their differences
through conciliation or arbitration, then before the case is submitted to the Industrial
Relations Court, firstly mediation should be attempted. This is meant to avoid an
excess of industrial relations dispute cases in the judicial system.
6. Disputes over Rights that have been registered at the agency responsible for the
manpower sector cannot be resolved through conciliation or arbitration, but
before they are submitted to the Industrial Relations Court, must go through a
III - 63
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
mediation process.
7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested
through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action
case to the Industrial Relations Court.
8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted
through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal
action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered
final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted
to the Supreme Court.
9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial
system and is established at the District Court in a phased manner and at the
Supreme Court.
10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the
resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the
general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an
opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations
Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and
disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the
Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at
the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade
unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed
as a supreme court to the Supreme Court.
11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations
disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely
a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are
proposed by the employers organization and workers/labour organization.
12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level
concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within
one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court.
13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger
methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed.
III - 64
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
II. ARTICLE BY ARTICLE
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
ARTICLE 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Under this Act, the following definitions shall apply:
An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion
resulting in a dispute between employers or an association
of employers with workers/labourers or trade unions due
to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute
over termination of employment, or a dispute among trade
unions within one company.
Dispute over rights is a dispute arising over the nonfulfillment of rights, as a result of differences in
implementation or interpretation concerning the laws and
regulations, work agreements, company regulations, or
the collective labour agreement.
Dispute over interest is a dispute arises in the work
relationship due to non-convergence of opinions in the
drawing up of, and/or changes in the work requirements
as stipulated in the working agreement, or company
regulations, or collective labour agreement.
A dispute over termination of employment is a dispute
arising from the lack of convergence of opinions regarding
the termination of employment as conducted by one of
the parties.
A dispute among trade unions is dispute between one
trade union and another trade union within one company,
due to the fact there is non-convergence regarding
membership, implementation of rights, and obligations
to the union.
An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
III - 65
Numbers 1 through 21
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
7. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
8. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/ labourers either within
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
9. A worker/labourer is any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/
labourers or trade unions and the employers to resolve
disputes in industrial relations.
11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred
as to mediation is the settlement of disputes over rights,
conflict over interests, disputes over termination of the
work relationship, and disputes between worker/labour
unions within one company only through deliberations
that are interceded by one or more mediators who are
neutral.
12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred
as to a mediator is a government agency employee
responsible for the manpower field who meet the
requirements as a mediator, and is appointed by the
Minister for the duty of carrying out mediation and has
an obligation to provide a written recommendation to
the parties in dispute in order to resolve disagreements
over rights, conflict over interests, disputes over
termination of working relationships, and disputes
between trade unions within one company.
13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred
as to conciliation is the settlement of disputes over interests,
III - 66
Act No. 2 Year 2004
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Explanatory Notes
disagreements over termination of work relationships, or
disputes between trade unions within one company only,
through deliberations interceded by one or more neutral
conciliators.
An Industrial Relations Conciliator who hereinafter
referred as to a conciliator is one or more persons who
meet the requirements as a conciliator and is appointed
by the Minister, who is assigned to carry out conciliation
and is obliged to give a written recommendation to the
parties in dispute to resolve the disagreements over
interests, dispute over termination of the work relationship,
or a dispute between the trade unions within a single
company.
Industrial Relations Arbitration that hereinafter referred
as to arbitration is the resolution of a dispute over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, outside the Industrial Relations Court through a
written agreement from the parties in dispute who agree
to submit the settlement of the dispute to an arbiter whose
decision is binding on the parties involved and is final.
An Industrial Relations Arbiter who hereinafter referred
as to an arbiter is one or more persons selected by the
parties in dispute from a list of arbiters named by the
Minister to provide a decision on disputes over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, with the settlement handed over to arbitration where
the decision is binding on the parties and is final.
An Industrial Relations Court is a special court established
within the aegis of the District Court that has the authority
to review, bring to court and provide a verdict concerning
an industrial relations dispute.
A Judge is a District Court Career Judge who is assigned
to the Industrial Relations Court.
Ad Hoc Judges are ad-hoc judges at the Industrial
Relations Court and ad-hoc judges at the Supreme Court
whose appointments are upon the proposal of the trade
unions and the employer’s organization.
Supreme Court Judges are Judges and Ad-Hoc Judges at
the Supreme Court who have the authority to review, bring
to court, and produce a verdict on industrial relations
III - 67
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
disputes.
21. Minister is the minister responsible for manpower affairs.
ARTICLE 2
The types of Industrial Relations Disputes cover:
a. disputes of rights;
b. disputes of interests;
c. disputes over termination of employment; and
d. disputes among trade unions within one company.
CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
ARTICLE 3
Article 2
Letter a
A dispute over rights is a disagreement
concerning normative rights that has been
determined by a work agreement, company
regulations, collective labour agreement, or
laws and regulations.
Letter b
Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
Letter d
Sufficiently clear.
ARTICLE 3
(1) Industrial relations disputes are required to be resolved
first through bipartite bargaining in deliberation to reach
consensus.
(2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as
stipulated in subsection (1) must be settled at the latest
within 30 (thirty) working days from the commencement
of negotiations.
(3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days
as stipulated in subsection (2), one party refuses to
continue negotiations or there had been bargaining which
did not result in agreement, then the bipartite meetings
will be considered to have failed.
Subsection (1)
The definition of bipartite bargaining
in this article is negotiations between the
employers or assemblage of employers with
the workers or trade unions, or among one
trade union with another trade union within
one corporation, who are in disagreement.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 4
ARTICLE 4
(1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated
in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties
can file their dispute to the local authorized manpower
offices, and attaching proof that efforts to resolve the
dispute through bipartite bargaining have been
conducted.
(2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1)
were not attached, then the authorized manpower offices
will return the dossier to be made complete at the latest
III - 68
Subsection (1)
Sufficiently clear.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
The stipulations within this article
provide the freedom for the parties in dispute
to freely select the method of dispute settlement
that they wish.
Act No. 2 Year 2004
(3)
(4)
(5)
(6)
Explanatory Notes
within 7 (seven) working days from the date the dossier
was returned.
After receiving a written report from one or both parties,
the local authorized manpower offices is required to offer
to both parties a Collective Agreement to select a
settlement through conciliation or arbitration.
In the event the parties do not select settlement through
conciliation or arbitration within 7 (seven) working days,
then the authorized manpower offices will transfer
settlement of the dispute to a mediator.
Settlement through conciliation is conducted for resolution
of disputes over interests, disputes on termination of work
relationships, or disputes among trade unions.
Settlement through arbitration is conducted for resolution
of disputes over interest or disputes among trade unions.
ARTICLE 5
Subsection (4)
Sufficiently clear.
Subsection (5)
Sufficiently clear.
Subsection (6)
Sufficiently clear.
ARTICLE 5
In cases where an attempt at settlement through
conciliation or mediation does not result in agreement, then
one of the parties can file a legal petition to the Industrial
Relations Court.
Sufficiently clear.
SECTION ONE
SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM
ARTICLE 6
ARTICLE 6
(1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced
by a minutes signed by the parties.
(2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection
(1) must at the least contain:
a. full names and addresses of the parties;
b. date and venue of the bargaining;
c. agenda or reasons underlying the dispute;
d. the positions of each party;
e. a summary or results of the bargaining; and
f. date and signatures of the parties involved in the
bargaining.
III - 69
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 7
ARTICLE 7
(1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3
reach an agreement for settlement, then a Collective
Agreement is drawn up and signed by the parties.
(2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is binding and become the law and must be performed
by the parties.
(3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is required to be registered by the parties to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
parties conducted the Collective Agreement.
(4) The Collective Agreement that has been registered as
mentioned in subsection (3) will be provided with a
Collective Agreement registration deed that will be an
inseparable part of the Collective Agreement.
(5) In the event that the Collective Agreement as mentioned
under subsection (3) and subsection (4) is not
implemented by one of the parties, then the party suffering
injury can file a petition for execution to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
Collective Agreement was registered, in order to obtain
an order for execution.
(6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside
the jurisdiction of the District Court where the Collective
Agreement was registered as mentioned in subsection (3),
then the petitioner can submit a request for court order
through the Industrial Relations Court in the District
Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to
an Industrial Relations Court in the District Court having
the competency to conduct the execution.
Sufficiently clear.
SECTION TWO
SETTLEMENT THROUGH MEDIATION
ARTICLE 8
ARTICLE 8
Settlement of a dispute through mediation is carried out
by a mediator which present at each manpower office at the
District/City level.
III - 70
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 9
ARTICLE 9
A mediator as meant by Article 8 must meet the following
requirements:
a. believe and subservient to God Almighty;
b. Indonesia citizen;
c. physically healthy according to a doctor’s certificate;
d. mastering manpower laws and regulations;
e. has dignity, honesty, fair and good reputation;
f. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1); and
g. other requirements as determined by the Minister.
As the mediator is a government civil
servant, thus besides the requirements
mentioned in this article, there must also be
some consideration of other stipulations that
cover civil servants in general.
ARTICLE 10
ARTICLE 10
At the latest within 7 (seven) working days of receiving
the transfer of responsibility for settlement of the dispute, the
mediator must have conducted an investigation of the case
and immediately prepare a mediation hearing.
ARTICLE 11
Sufficiently clear.
ARTICLE 11
(1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
Subsection (1)
The expert witness mentioned in this
Article is one with special expertise in his/her
field, including Labour Inspectors.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 12
ARTICLE 12
(1) Any person who is asked for information by the mediator
for the purpose of settlement of an industrial dispute based
on this Act, has the obligation to provide information
including opening the books and showing necessary
documents.
(2) In cases where the information needed by the mediator
has some connection with someone who due to his position
must preserve confidentiality, then procedures must be
undertaken as arranged under the prevailing laws and
regulations.
Subsection (1)
What is meant by opening up the
company books and showing documents in
this Article is among others the register of
wages or orders for overtime work and other
documents, carried out by persons named by
the mediator.
III - 71
Subsection (2)
As in certain positions, based on laws
and regulations, secrecy must be preserved,
thus requests for information submitted to
persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(3) The mediator must preserve the confidentiality of all
information requested as meant under subsection (1).
Example: In cases that concern someone
making a request for information about
another party’s bank account details that
request will only be met by bank officials if
there is permission from the Bank Indonesia
or from the owner of the account himself/
herself (Act No. 10 of 1998 on Banking).
Likewise there is also the stipulation
under Act No. 7 of 1971 concerning the
Primary Regulations on Archival Materials
etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 13
ARTICLE 13
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through mediation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the mediator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through mediation, then:
a. the mediator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first mediation session was held, must be conveyed to
both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the mediator with the contents indicating whether they
accept or reject the written recommendation at the
latest within 10 (ten) working days after receiving the
written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
III - 72
Subsection (1)
Sufficiently clear.
Subsection (2)
Letter a
What is meant by a written
recommendation is an opinion or suggestion
in writing that is proposed by the mediator to
the parties involved as an effort to obtain a
settlement of their dispute.
Letter b
Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
Letter d
Sufficiently clear.
Letter e
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
recommendation being agreed upon, the mediator
must have completed work in assisting the parties to
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.
ARTICLE 14
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 14
(1) In the case of the written recommendation as meant in
Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one
or both of the parties, then the parties or one of the parties
may continue to file settlement of the dispute to the
Industrial Relations Court in the local District Court.
(2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection
(1) is conducted through a petition by one of the parties
to the Industrial Relations Court in the local District
Court.
III - 73
Subsection (1)
Sufficiently clear.
Subsection (2)
The stipulation on taking legal action
as arranged under this subsection is in
accordance with the procedures for resolving
civil cases at the general judiciary.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 15
ARTICLE 15
The mediator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received, as
mentioned in Article 4 subsection (4).
ARTICLE 16
Sufficiently clear.
ARTICLE 16
The provisions concerning the procedures for
appointment and termination of the mediator and the work
procedures of mediation shall be regulated with a Ministerial
Decision.
Sufficiently clear.
SECTION THREE
SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION
ARTICLE 17
ARTICLE 17
Settlement of a dispute through conciliation is conducted
by a conciliator registered at the manpower offices at the
District/City level.
ARTICLE 18
Sufficiently clear.
ARTICLE 18
(1) Settlement of disputes over interests, disputes over
termination of employment or disputes between trade
unions within one company, through conciliation is
carried out by a conciliator whose work area covers the
place of work of the workers/labourers.
(2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection
(1) is conducted after the parties submit a request for
settlement in a written to a conciliator appointed and
agreed by the parties.
(3) The parties may know the name of the chosen and agreed
conciliator from a list of conciliators’ names posted and
announced at the local Government office responsible for
manpower affairs.
Sufficiently clear.
ARTICLE 19
ARTICLE 19
(1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet
these requirements:
a. believe and subservient to God Almighty.
b. Indonesia citizen;
III - 74
Subsection (1)
Letter a
Sufficiently clear.
Letter b
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
c. minimal 45 years of age;
d. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1);
e. physically healthy according to a doctor’s certificate;
f. has dignity, honesty, fair, and good reputation;
g. has experience in the industrial relations field for at
least 5 (five) years;
h. Mastering manpower laws and regulations; and
i. other requirements as determined by the Minister.
(2) The registered conciliators as mentioned in subsection
(1) will be given a legitimization by the Minister or the
authorized official on manpower affairs.
Letter c
Sufficiently clear.
Letter d
Sufficiently clear.
Letter e
Sufficiently clear.
Letter f
Sufficiently clear.
Letter g
Sufficiently clear.
Letter h
Sufficiently clear.
Letter i
What is meant by other requirements
under this letter i is among others:
arrangements on the standard of competence
of the conciliator, training of the apprentices
or conciliators, selection of apprentice
conciliators, and other technical matters.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 20
ARTICLE 20
Within maximum of 7 (seven) working days after
receiving the request for dispute settlement in written, the
conciliator must have conducted an investigation regarding
the case and at the latest by the eighth working day, the first
conciliation session must have been held.
Sufficiently clear.
ARTICLE 21
ARTICLE 21
(1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
Sufficiently clear.
ARTICLE 22
ARTICLE 22
(1) Any person who is asked for information by the conciliator
for the purpose of settlement of an industrial dispute based
on this Act, has the obligation to provide information
including opening the books and showing necessary
Subsection (1)
What is meant by opening up the
company books and showing documents in
this Article is among others records of wages
or orders for overtime work and other matters
III - 75
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
documents.
(2) In cases where the information needed by the conciliator
has some connection with someone who due to his position
must preserve confidentiality, then procedures must be
undertaken as arranged under the prevailing laws and
regulations.
(3) The conciliator must preserve the confidentiality of all
information requested as meant under subsection (1).
conducted by persons named by the
conciliator.
Subsection (2)
As in certain positions, based on the laws
and regulations, secrecy must be preserved,
thus requests for information submitted to
persons in those positions acting as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about another party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking).
Similarly there is also the
stipulation under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 23
ARTICLE 23
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through conciliation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the conciliator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through conciliation, then:
a. the conciliator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first conciliation session was held, must be conveyed
to both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the conciliator with the contents indicating whether
they accept or reject the written recommendation at
the latest within 10 (ten) working days after receiving
III - 76
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
the written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
recommendation being agreed upon, the conciliator
must have completed work in assisting the parties to
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.
III - 77
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 24
ARTICLE 24
(1) in the case of the written recommendation as meant in
Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or
both of the parties, then one or both parties may continue
to settle the dispute to the Industrial Relations Court in
the local District Court.
(2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1)
is implemented through a petition by one of the parties.
ARTICLE 25
Sufficiently clear.
ARTICLE 25
The conciliator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received.
ARTICLE 26
Sufficiently clear.
ARTICLE 26
(1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services
rendered based on dispute settlement to be borne by the
state.
(2) The amount of honorarium as mentioned in subsection
(1) will be determined by the Minister.
Sufficiently clear.
ARTICLE 27
ARTICLE 27
The conciliator’s performance within a certain period will
be monitored and assessed by the Minister or government
official on manpower affairs.
ARTICLE 28
Sufficiently clear.
ARTICLE 28
The procedures for candidate registration, appointment
and revocation of conciliator license, and work procedures of
conciliation will be regulated with a Ministerial Decision.
Sufficiently clear.
SECTION FOUR
SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION
ARTICLE 29
ARTICLE 29
Settlement of industrial relations dispute through
arbitration will include disputes over interests and disputes
among workers /labour unions within one company.
III - 78
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 30
ARTICLE 30
(1) The arbiter with authority to settle industrial relations
disputes must be an arbiter who has been determined by
the Minister.
(2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the
Republic of Indonesia.
ARTICLE 31
Subsection (1)
The stipulation contained within this
Article is meant to protect the interests of society,
and for that reason not every person can act as
an arbiter.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 31
(1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article
30 subsection (1) the person must meet the following
requirements :
a. Believe and subservient to God Almighty;
b. Competent to do legal action;
c. Indonesia citizen;
d. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1);
e. at least forty-five (45) years of age;
f. physically healthy according to a doctor’s certificate;
g. mastering manpower laws and regulations as proven
by a certificate or proof of passing an arbitration
examination; and
h. has at least five (5) years experience in the field of
industrial relations.
(2) Provisions concerning examination and procedures for
arbiter registration will be regulated with a Ministerial
Decision.
Subsection (1)
Letter a
Sufficiently clear.
Letter b
Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
Letter d
Sufficiently clear.
Letter e
Sufficiently clear.
Letter f
Bearing in mind that the arbiter’s
decision is binding to all parties and is final
and permanent in nature, the arbiters must
be those competent in their field, so that the
trust given by the parties involved is not
meaningless.
Letter g
Sufficiently clear.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 32
ARTICLE 32
(1) The settlement of an industrial relations dispute through
an arbiter will be performed on the basis of agreement by
the disputing parties.
(2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will
be declared in writing through a letter of arbitration
agreement, made in three (3) copies wherein each party
is to receive one (1) copy with the same legal power.
(3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at
III - 79
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
the least contain:
a. full names and addresses or domicile of the disputing
parties;
b. main issues underlying the dispute to be handed over
to arbitration for settlement;
c. number of arbiters agreed upon;
d. a statement of the disputing parties to comply with
and implement the arbitration decision; and
e. the place and date of drawing up the agreement and
signatures of the disputing parties.
ARTICLE 33
ARTICLE 33
(1) In the event of the parties having signed the arbitration
agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the
parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters
determined by the Minister.
(2) The disputing parties may designate a single arbiter or
several arbiters (council) of an odd number of at least three
(3) persons.
(3) In the event that the parties agree to designate a single
arbiter, the parties must reach an agreement at the latest
within seven (7) working days on the name of the arbiter.
(4) In the event that the parties agree to appoint several
arbiters (council) in odd number, each party is entitled
to choose an arbiter at the latest within three (3) days,
while the third arbiter will be decided by the designated
arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed
chairman of the Arbitration Council.
(5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections
(3) and (4) will be performed in writing.
(6) In the event that the parties are not in agreement over the
appointment of an arbiter whether a single arbiter or
several arbiters (council) of odd number as meant in
subsection (2), then upon the request of one of the parties
the Head of the Court may appoint an arbiter from the
list of arbiters determined by the Minister.
(7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to
notify the parties of any matter that might affect his
independence or may result in imbalance in any
III - 80
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
adjudication to be made.
(8) Any person who accepts appointment as arbiter as
mentioned in subsection (6) must notify the parties in
writing of his acceptance.
ARTICLE 34
ARTICLE 34
(1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned
in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of
arbiter appointment with the disputing parties.
(2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in
subsection (1) shall at least contain the following:
a. full names and addresses or domiciles of the disputing
parties and arbiter;
b. main issues underlying the dispute and handed over
to the arbiter to settle and make the decision;
c. arbitration costs and arbiter honorarium;
d. a statement made by the disputing parties to abide by
and implement the arbitration decision;
e. place, date of drawing up the agreement letter and
signatures of the disputing parties and arbiter;
f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go
beyond their authority in settlement of the case that
they are handling; and
g. no blood or marriage relationship up to the second
degree, with one of the disputing parties.
(3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be
made in at least three (3) copies, in which each party and
the arbiter will receive one (1) copy having similar legal
power.
(4) In the event of arbitration being performed by several
arbiters, the original copy of the agreement will be
submitted to the Chairman of the Arbiter Council.
ARTICLE 35
Sufficiently clear.
ARTICLE 35
(1) In the event of the arbiter accepts his appointment and
sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection
(1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless
upon approval of the parties.
III - 81
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(2) The arbiter who intends to withdraw as meant in
subsection (1) must make a written request to the parties.
(3) In the event of the parties approve the request to withdraw
as mentioned in subsection (2), the arbiter may be released
from duties as arbiter in settlement of the case.
(4) In the case of the request to withdraw is not approved by
the parties, the arbiter must make a request to the
Industrial Relations Court to be released from duties as
arbiter by stating an acceptable reason.
ARTICLE 36
ARTICLE 36
(1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away,
then the parties must appoint a replacement based on
the approval of both parties.
(2) In the event of the arbiter designated by the parties
withdraw or pass away, appointment of a replacement will
be left to the party designating the arbiter.
(3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters
withdraw or pass away, the arbiters must appoint a
substitute arbiter based on agreement of arbiters.
(4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection
(1), subsection (2) and subsection (3) must reach an
agreement to designate a substitute arbiter at the latest
within seven (7) working days.
(5) In the event the parties or the arbiters fail to reach an
agreement as mentioned in subsection (4), then the parties
or one of the parties or one of the arbiters or the arbiters
may request to the Industrial Relations Court to determine
a substitute arbiter and the Court must determine a
substitute arbiter at the latest within seven (7) working
days from the date of receipt of request for substitute
arbiter.
Subsection (1)
Sufficiently clear.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
Subsection (4)
Sufficiently clear.
Subsection (5)
An arbiter appointed by the Court shall
not be an arbiter who in the past was rejected
by the parties or the arbiters, but instead must
be a different arbiter.
ARTICLE 37
ARTICLE 37
The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall
make a statement of willingness to accept the results that have
been achieved and to continue settlement of the case.
What is meant by accepting the result
attained is that a replacement arbiter is bound
by the result reached by the previous arbiter
as reflected in the report of activities leading
to dispute settlement.
III - 82
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 38
ARTICLE 38
(1) The arbiter appointed by the parties based on the
arbitration agreement may file objections to the District
Court if sufficient reasons and authentic proof exist that
raise doubt that the arbiter will not carry out his duties
independently and show imbalance making a decision.
(2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when
sufficient proof exists that there is a family or work
relationship with one of the parties or their proxy.
(3) No appeal may be filed against adjudication of the District
Court on claim of breach.
Sufficiently clear.
ARTICLE 39
ARTICLE 39
(1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by
the Head of the Court shall be directed to the Head of
the Court.
(2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be
filed to the concerned arbiter.
(3) Claim of breach against a member of the approved arbiter
council shall be filed to the concerned arbiter council.
Sufficiently clear.
ARTICLE 40
ARTICLE 40
(1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes
at the latest within thirty (30) working days commencing
from the date of signing a letter of agreement for arbiter
appointment.
(2) Examination of disputes must commence within three
(3) working days at the latest after the date of signing a
letter of agreement of arbiter appointment.
(3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will
have authority to extend the time period to settle the
industrial relations dispute at the latest for one (1) period
of fourteen (14) working days.
ARTICLE 41
Subsection (1)
In the event there is a change in arbiters,
then the time frame for the change to take
effect is 30 (thirty) working days from the
time the replacement arbiter signed the
arbitration agreement.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 41
Examination of industrial relations dispute by the arbiter
or arbiter council will be made behind closed doors unless
otherwise preferred by the disputing parties.
III - 83
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 42
ARTICLE 42
In the arbitration session, the disputing parties may be
represented by their authorized representatives with a special
letter of authority.
What is meant by a special letter of
authorization in this Article is the authority
given by the parties in dispute as the powers
providing authority to someone, or more to
be their proxy in order to conduct legal actions
or other actions related to the case mentioned
specifically in the said letter of authorization.
ARTICLE 43
ARTICLE 43
(1) In the event that on the session is held, the disputing
parties or their authorized representatives are not present
without valid reason, despite proper summon has been
made, the arbiter or arbiter council may cancel the
agreement of arbiter appointment, and the duties of the
arbiter or arbiter council are considered completed.
(2) In the event that on the first day of session and further
session, one of the parties or their authorized
representatives is absent without valid reason, despite
proper summon has been made, the arbiter or arbiter
council may examine the case and issue an adjudication
without the presence of one party or their authorized
representative.
(3) In the event of costs being incurred with regard to the
agreement of arbiter appointment before cancellation of
the agreement by the arbiter or arbiter council as
mentioned in subsection (1), the parties can not request
the returning of the fee.
ARTICLE 44
Subsection (1)
What is meant by “summoned in a
reasonable manner” in this Subsection is that
the parties involved have been summoned 3
(three) times in succession, with each one
respectively lasting for a time span of 3 (three)
days.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 44
(1) The settlement of an industrial relations dispute by an
arbiter must commence with efforts to make peace
between the parties.
(2) In the event of the peaceful settlement as meant in
subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is
required to draw up a Settlement Deed signed by the
parties and arbiter or arbiter council.
(3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall
be registered at the Industrial Relations Court in the local
District Court where the arbiter made the settlement
efforts.
III - 84
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(4) Registration of the Settlement Deed as mentioned in
subsection (3) will be carried out as follows;
a. The Settlement Deed that has been registered will be
provided with a proof of registration deed and
constitutes an inseparable part of the Settlement Deed;
b. In the event of the Settlement Deed is not
implemented by one of the parties, the party suffering
injury may file a petition to the Industrial Relations
Court in the local District Court where the Settlement
Deed was registered in order to obtain an order for
execution;
c. In the case of the petitioner is domiciled outside the
jurisdiction of the Industrial Relations Court in the
District Court where the Settlement Deed was
registered, then the petitioner may file the petition
through the Industrial Relations Court in the District
Court in the petitioner domicile to be forwarded to
the Industrial Relations Court in the District Court
having competency to conduct execution.
(5) In the event of peaceful settlement efforts mentioned in
subsection (1) fail, the arbiter or arbiter council shall
continue the arbitration session.
ARTICLE 45
ARTICLE 45
(1) During the arbitration session the parties will be given
opportunities to explain in writing or verbally, their
respective opinions, and to submit evidence considered
necessary to reinforce their opinions within a period of
time determined by the arbiter or arbiter council.
(2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the
parties to submit additional written explanation,
documents or other evidences deemed necessary within a
period of time determined by the arbiter or arbiter council.
ARTICLE 46
Sufficiently clear.
ARTICLE 46
(1) The arbiter or arbiter council may summon one or more
witnesses or expert witnesses to provide information.
(2) Before giving information, the witness or expert witness
will be sworn in according to the respective religion and
faith.
III - 85
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(3) The cost of summoning and trip for a clergy member to
perform the swearing of witnesses or expert witness will
be borne by the requesting party.
(4) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness will be borne by the requesting party.
(5) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness requested by the arbiter will be borne by the
parties.
ARTICLE 47
ARTICLE 47
(1) Any person who is requested to provide information by
the arbiter or arbiter council in examination for settlement
of an industrial relations dispute based on this Act is
required to give such information, including showing the
books and necessary letters.
(2) In case the information required by the arbiter is related
to someone who because of his position must maintain
confidentiality, a procedure must be followed as regulated
in the prevailing legislation and regulations.
(3) The arbiter is required to keep in confidence all information
requested as mentioned in subsection (1).
Subsection (1)
What is meant by opening the company
books and showing documents in this Article
is for example, showing the register on wages
or the order for overtime work, and must be
conducted by someone with expertise in
bookkeeping, appointed by the arbiter.
Subsection (2)
Due to the fact that certain positions,
based on legal regulations, must preserve
secrecy, so any request for information from
persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about any other party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking). The same applies to the
stipulations under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 48
ARTICLE 48
The activities undertaken during the examination and
arbitration session will be drawn up into an official report of
examination by the arbiter or arbiter council.
III - 86
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 49
ARTICLE 49
The adjudication of the arbitration session is made on
the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores,
justice and public interest.
ARTICLE 50
Sufficiently clear.
ARTICLE 50
(1) The arbitration adjudication shall contain the following:
a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED
ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. full name and address of the arbiter or arbiter council;
c. full names and addresses of the parties;
d. matters contained in the agreement made by the
disputing parties;
e. Summary of charges, replies, and further explanations
by the disputing parties.
f. considerations underlying the adjudication;
g. primary topic of adjudication;
h. place and date of adjudication;
i. effective date of adjudication; and
j. arbiter or arbiter council’s signature(s).
(2) The arbiter decision which is not signed by one of the
arbiters for reasons of illness or his decease will not affect
the power of the adjudication.
(3) The reason for no signature as mentioned in subsection
(2) must be included in the decision.
(4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14)
working days, the adjudication must be implemented.
Sufficiently clear.
ARTICLE 51
ARTICLE 51
(1) The arbitration adjudication possesses binding legal force
to the disputing parties and constitutes final and
permanent in nature
(2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection
(1) will be registered at the Industrial Relations Court in
the local District Court where the arbiter made the
decision.
(3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned
in subsection (1) is not implemented by one of the parties,
III - 87
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
the party suffering injury may file a request for court
execution to the Industrial Relations Court in the District
Court which legal jurisdiction includes the domicile of
the party to whom the decision must be performed, in
order that implementation of adjudication will be
instructed.
(4) The instruction as mentioned in subsection (3) must be
issued at the latest within thirty (30) working days after
the request is registered at the local District Court Clerk
without examining the reason or consideration for
arbitration adjudication.
ARTICLE 52
ARTICLE 52
(1) Any of the parties may file a petition of cancellation of
arbitration adjudication to the Supreme Court at the
latest within thirty (30) working days since the arbiter
decision was made, if the decision is believed to include
the following :
a. A letter or document that was submitted during
examination, after adjudication is made is admitted or
stated to be false;
b. after adjudication, a document which is decisive in
nature is found that was concealed by the other party;
c. adjudication is made through deception by one of the
parties during the examination of dispute;
d. the adjudication is beyond the authority of the
industrial relations arbiter; or
e. the adjudication is contrary to laws and regulations.
(2) In the event of such petition as mentioned in subsection
(1) is granted, the Supreme Court will stipulate the
consequences of cancellation whether in whole or in part
of the arbitration decision.
(3) The Supreme Court will decide on the cancellation of
petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty
(30) working days commencing from the date of receipt
of cancellation petition.
III - 88
Subsection (1)
A legal effort to request cancellation is
meant to provide a fair opportunity to the
injured party in the dispute.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 53
ARTICLE 53
Industrial relations disputes that are in progress or have
been settled through arbitration may not be filed to the
Industrial Relations Court.
The stipulations in this Article are for
the purpose of providing legal certainty.
ARTICLE 54
ARTICLE 54
The arbiter or panel of arbiters may not be held legally
responsible whatsoever on all actions taken during the session
in process, in order to perform their function as the arbiter or
panel of arbiters, except when it can be proven that the action
is not conducted in good faith.
Sufficiently clear.
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 55
ARTICLE 55
The Industrial Relations Court is a special court within
the general court.
ARTICLE 56
Sufficiently clear.
ARTICLE 56
The Industrial Court is assigned and authorized to
investigate and adjudicate:
a. at the first level regarding disputes on rights;
b. at the first and final levels regarding disputes on interests;
c. at the first level regarding disputes on termination of
employment;
d. at the first and final levels regarding disputes between
workers unions / labor unions in one company.
Sufficiently clear.
ARTICLE 57
ARTICLE 57
The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations
Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court,
unless otherwise regulated under this act.
Sufficiently clear.
ARTICLE 58
ARTICLE 58
The parties in the legal proceeding are not charged any
costs for the trial process at the Industrial Relations Court,
III - 89
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
including the execution costs which value of suit is below Rp.
150,000,000.00 (one hundred fifty million rupiah).
ARTICLE 59
ARTICLE 59
(1) For the first time, the Industrial Relations Court under
this act is established at each District Court in the Regency/
City level, located in each Provincial Capital, which
jurisdiction covers the concerned province.
(2) The Industrial Relations Court should, with the
Presidential Decree, immediately be established at the
local District Court.
Subsection (1)
Bearing in mind that the Special
Capital City Territory of Jakarta is a provincial
capital and simultaneously the capital city of
the Republic of Indonesia, and has more than
one District Court, the Industrial Relations
Court established for the first time with this
Act is the Industrial Relations Court at the
Central Jakarta District Courthouse.
In the event that in any provincial
capital, there exist a Municipal District Court
and a District Court, then the Industrial
Relations Court will be a part of the District
Court.
Subsection (2)
What is meant by the term
“immediately” in this Subsection is the time
frame within 6 (six) months after this Act
takes effect.
ARTICLE 60
ARTICLE 60
(1) The composition of the Industrial Relations Court in the
District Court is as follows;
a. Judge;
b. Ad-Hoc Judge;
c. Junior Registrar; and
d. Substitute Registrar.
(2) The composition of the Industrial Relations Court in the
Supreme Court is as follows:
a. Supreme Judge;
b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and
c. Registrar.
III - 90
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
SECTION TWO
JUDGE, AD-HOC JUDGE AND SUPREME COURT JUDGE
ARTICLE 61
Sufficiently clear.
ARTICLE 61
The Judge at the Industrial Relations Court is appointed
and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme
Court.
ARTICLE 62
ARTICLE 62
The appointment of the Judge as meant in Article 61 is
carried out in accordance with the prevailing laws and
regulations.
ARTICLE 63
Sufficiently clear.
ARTICLE 63
(1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is
appointed with a Presidential Decree upon proposal of
the Head of the Supreme Court.
(2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection
(1) is proposed by the Head of the Supreme Court from
the names approved by the Minister upon proposal of
the workers union / labor union or employer’s
organization.
(3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge
of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to
the President.
Sufficiently clear.
ARTICLE 64
ARTICLE 64
The following requirements should be fulfilled in order
to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations
Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court:
a. Indonesian citizen;
b. devout to the Only God;
c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia;
d. minimum age of 30 (thirty) years;
e. physically healthy based on a doctor’s certificate;
f. has an authoritative bearing, honest, just and has a nondisgraceful behavior;
g. has a level of education of at least university degree (S1),
III - 91
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
except for the Ad-Hoc Judge in the Supreme Court should
have at least university degree on laws; and
h. Minimum of 5 years experience in the industrial relations
field.
ARTICLE 65
ARTICLE 65
(1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Court should take an oath or promise according
to his/her religion/belief, which oath or promise is as
follows:
“I swear/promise truthfully that to obtain this position, I
shall, directly or indirectly, by using whatever name or
way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/
promise that, for carrying out or for not carrying out
something in this position, I shall not at all receive a
promise or gift, directly or indirectly from whomsoever.
I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry
out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy
of life, state principle and national ideology, and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws
and regulations that apply for the Republic of Indonesia.
I swear/promise that I shall always carry out my function
honestly, thoroughly and without discriminating people,
and shall undertake my obligations, as good as possible
and as just as possible based on the prevailing laws and
regulations”.
(2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Regulations Court is made by the Head of the
District Court or appointed official.
ARTICLE 66
Subsection (1)
At the time the sacred oath/pledge is
taken, certain words are spoken in accordance
with the person’s religion, for example for
adherents of Islam, “For God’s Sake” is said
before repeating the oath, and for Protestants/
Catholics the words “May God Help Me”
will be said after repeating the oath.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 66
(1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as:
a. member of the State High Institution;
III - 92
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
head of region / head of territory;
legislative institution at the regional level;
civil servant;
member of the Indonesian Army / Police;
official of political party;
lawyer;
mediator;
conciliator;
arbitrator; or
official member of workers union / labor union or
official member of employers organization;
(2) In case an Ad-Hoc Judge serves concurrently with the
position as meant in subsection (1), then his/her position
as Ad-Hoc Judge may be revoked.
ARTICLE 67
ARTICLE 67
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and
the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at
the Supreme Court may be honorably discharged from
their positions due to the following reasons:
a. passed away;
b. upon own request;
c. continuously ill, physically or mentally, during (12)
months;
d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the AdHoc Judge in Industrial Relations Court, and has
reached the age of 67 (sixty seven) years for the AdHoc Judge in the Supreme Court:
e. not competent in carrying out his/her duties;
f. upon request of the employers organization or upon
proposal of the Workers union / labor union; or
g. Has completed his / her office term.
(2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and
he/she may be reappointed for another 1 (one) office term.
III - 93
Subsection (1)
Letter a
Sufficiently clear.
Letter b
Sufficiently clear.
Letter c
What is meant by continuous physical
or mental illness is a disability that causes the
sufferer to be no longer capable of carrying
out his tasks well.
Letter d
Sufficiently clear.
Letter e
What is meant by not competent in
carrying out duties is for example, often
making mistakes in conducting tasks for
reasons of lack of ability.
Letter f
Sufficiently clear.
Letter g
Sufficiently clear.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 68
ARTICLE 68
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is
dishonorably discharged from his/her position due to the
following reasons:
a. condemned for being guilty of conducting criminal
acts;
b. neglects the obligation to carry out his/her work
assignments without valid reasons for 3 (three)
successive times during the period of 1 (one) month;
or
c. violates his/her oath or promise.
(2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in
subsection (1) is carried out after the concerned is given
the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court.
ARTICLE 69
Sufficiently clear.
ARTICLE 69
(1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article
68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court may be temporary discharged from his/
her position.
(2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also
applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as
meant in Article 68 subsection (1).
Sufficiently clear.
ARTICLE 70
ARTICLE 70
(1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court is conducted by considering the need
and available resources.
(2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge
in the Industrial Relations Court at the District Court is
at least 5 (five) persons from the workers union / labor
union and 5 (five) persons from the employers
organization.
Sufficiently clear.
ARTICLE 71
ARTICLE 71
(1) The Head of the District Court controls the
implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge,
Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute
Registrar of the Industrial Relations Court at the District
Court in accordance with his/her authority.
III - 94
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(2) The Head of the Supreme Court controls the
implementation of duties by Supreme Court Judge, Junior
Registrar and Substitute Registrar of the Industrial
Relations Court at the Supreme Court in accordance with
his/her authority.
(3) In carrying out the control as meant in subsection (1),
the Head of the District Court may give instructions and
reprimands to the Judge Ad-Hoc Judge.
(4) In carrying out the control as meant in subsection (2),
the Head of the Supreme Court may give instructions
and reprimands to the Supreme Court Judge.
(5) The instructions and reprimands as meant in subsection
(3) and subsection (4) may not diminish the freedom of
the Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme court Judge in the
Industrial Relations Court in the hearing and adjudication
process of disputes.
ARTICLE 72
ARTICLE 72
The method of appointing, honorably discharging,
dishonorably discharging, and temporary discharge of the AdHoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is
regulated with a Government Regulation.
Sufficiently clear.
ARTICLE 73
ARTICLE 73
Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Relations Court are regulated with a Presidential
Decree.
What is meant by benefits and other
rights are official benefits and employee rights
related to their welfare.
SECTION THREE
SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR
ARTICLE 74
ARTICLE 74
(1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court
is formed at each District Court that has an Industrial
Relations Court, managed by a Junior Registrar.
(2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as
meant in subsection (1) is assisted by several Substitute
Registrars.
III - 95
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 75
ARTICLE 75
(1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection
(1) is assigned to:
a. maintain the administration of the Industrial Relations
Court; and
b. make the list of all received disputes in the book of
cases.
(2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b
contains at least the sequence number, names and addresses
of the parties, and types of disputes.
Sufficiently clear.
ARTICLE 76
ARTICLE 76
The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery
of summons letters for trial, delivery of verdict notifications
and delivery of verdict copies.
ARTICLE 77
Sufficiently clear.
ARTICLE 77
(1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars
at the Industrial Relations Court are appointed from Civil
Servants of Government Agencies that are responsible in
the manpower sector.
(2) Provisions concerning the requirements, appointment and
discharge procedures of the Junior Registrars and
Substitute Registrars at the Industrial relations Court are
further regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.
ARTICLE 78
Sufficiently clear.
ARTICLE 78
The organization structure, tasks and work procedure of
the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are
regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court.
ARTICLE 79
Sufficiently clear.
ARTICLE 79
(1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial
process in the Minutes.
(2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the
Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar.
III - 96
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 80
ARTICLE 80
(1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases
and other documents that are kept in the Sub-Registrar
Office.
(2) All books of cases and other documents as meant in
subsection (1), either the originals or photocopies, may
not be taken out of the work room of the Sub-Registrar
Office, unless upon permission of the Junior Registrar.
Sufficiently clear.
CHAPTER 1V
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE
SUBSECTION 1
SUBMISSION OF PETITION
ARTICLE 81
ARTICLE 81
The Petition of the industrial relations dispute is
submitted to the Industrial Relations Court in the District
Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/
laborer.
ARTICLE 82
Sufficiently clear.
ARTICLE 82
The petition which is filed by the worker/laborer as meant
in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, may only be submitted within the grace
period of 1 (one) year after the decision of the employer is
received or informed.
Sufficiently clear.
ARTICLE 83
Subsection (1)
Sufficiently clear.
(1) The petition submitted without attachment of the
minutes of settlement through mediation or conciliation,
should be returned by the judge of the Industrial Relations
Court to the plaintiff.
(2) The judge is required to examine the contents of the
petition, and if there are shortages, then the judge should
request the plaintiff to complete his/her petition.
III - 97
ARTICLE 83
Subsection (2)
During the process for completion of a
legal action, the Registrar or Alternate Registrar
may assist in drawing up/completing the legal
action. For that purpose the Registrar or
Alternate Registrar records in a special register
data that includes:
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
- full names and addresses or the location
of the parties;
- the main topics that become a matter of
dispute or the reason for the legal action;
- documents, correspondence, and other
matters that are considered necessary by
the plaintiff.
ARTICLE 84
ARTICLE 84
Petitions that involve more than one plaintiff may be
submitted collectively by providing a special power of attorney.
ARTICLE 85
Sufficiently clear.
ARTICLE 85
(1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition
before the defendant gives his/her reply.
(2) If the defendant has given his/her reply on the petition,
then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall
be agreed by the Industrial Relations Court upon approval
of the defendant.
ARTICLE 86
Sufficiently clear.
ARTICLE 86
In case the dispute on rights and/or dispute on interest
are followed by a dispute on termination of employment, then
the Industrial Relations Court should first sentence the cases
of dispute on rights and/or dispute on interest.
Sufficiently clear.
ARTICLE 87
ARTICLE 87
The workers union/labor union and employer’s
organization may act as legal proxies in the court session at the
Industrial Relations Court in order to represent their members.
What is meant by trade unions as
mentioned under this Article cover the
management at the company level, the district/
city level, the provincial level, and central
level, whether for trade unions, federation
members, or confederation members.
ARTICLE 88
ARTICLE 88
(1) Within the period of not later than 7 (seven) working
days after receiving the petition, the Chairman of the
District Court should have established the Council of
Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman
of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council
III - 98
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
Members who will investigate and adjudicate the dispute.
(2) The Ad-Hoc Judges as meant in subsection (1) consist of
one Ad-Hoc Judge whose appointment is proposed by
the workers union/labor union and one Ad-Hoc Judge
whose appointment is proposed by the employer’s
organization as meant in Article 63 subsection (2).
(3) A Substitute Registrar is appointed to assist the duties of
the Council of Judges as meant in subsection (1).
SUBSECTION 2
HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE
ARTICLE 89
ARTICLE 89
(1) The Chairman of the Council of Judges should have held
the first court session within the period of not later than
7 (seven) working days after the establishment of the
Council of Judges.
(2) The summons to appear before court is conducted legally
if it is submitted through a letter of summons to the parties
at their addresses of domicile or if their addresses of
domicile are not known, then it is submitted to their latest
addresses of domicile.
(3) If the summoned party is not at his/her address of domicile
or latest address of domicile, then the letter of summons
is submitted through the Head of Sub-district or Village
Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or
latest address of domicile of the summoned party.
(4) The letter of summons which is received by the summoned
party himself/herself or through another party should be
given a receipt.
(5) If the address of domicile or latest address of domicile is
not known, then the letter of summons is placed on the
announcement board at the building in the Industrial
Relations Court that investigates the case.
ARTICLE 90
Sufficiently clear.
ARTICLE 90
(1) The Council of Judges may summon the witness or expert
witness to be present at the court session in order to request
or listen to his/her information.
(2) Anyone who is summoned to become a witness or expert
III - 99
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
witness is required to comply with the summons and to
give his/her testimony under oath.
ARTICLE 91
ARTICLE 91
(1) Anyone who is requested by the Council of Judges to
provide his/her information in order to conduct
investigation for settlement of the industrial relations
dispute based on this act, should provide it
unconditionally, including the opening of books and
showing of necessary letters / documents.
(2) In case the information requested by the Council of Judges
is related to someone who due to his/her position should
maintain the confidentiality, then the procedure to be
followed should be as regulated in the prevailing laws and
regulations.
(3) The judge should keep in confidence all requested
information as meant in subsection (1).
Subsection (1)
Sufficiently clear.
Subsection (2)
As in certain positions, according to legal
provisions, secrecy must be maintained, any
request for information from the person in
that position and serving as an expert witness,
must comply with a certain predetermined
procedure.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 92
ARTICLE 92
The court session is valid if it is held by the Council of
Judges, as is meant in Article 88 subsection (1).
The stipulation requiring the validity
of the court proceedings under this Article is
for the purpose of guaranteeing that every
session must be attended by the Judge and all
the Ad-Hoc Judges who have been appointed
to resolve the dispute.
ARTICLE 93
ARTICLE 93
(1) In case one of the parties or the parties are unable to be
present in the court session without any accountable
reasons, then the Chairman of the Council of Judges
determines the next session day.
(2) The next session day as meant in subsection (1) is
determined within the period of not later than 7 (seven)
working days as of the date of deferment.
(3) The deferment due to the absence of one of the parties or
the parties is maximum 2 (two) times.
ARTICLE 94
Sufficiently clear.
ARTICLE 94
(1) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
III - 100
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
93 subsection (3), then his/her petition is considered as
abrogated, however, the plaintiff has the right to file his/
her petition one more time.
(2) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the defendant or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
93 subsection (3), then the Council of Judges may conduct
the hearing and adjudicate the dispute without presence
of the defendant.
ARTICLE 95
ARTICLE 95
(1) The session held by the Council of Judges is open for
public, unless otherwise determined by the Council of
Judges.
(2) Everyone present in the court session should respect the
court session order.
(3) Everyone who is not following the court session order as
meant in subsection (2) may be taken out of the room,
after obtaining an admonition from or upon order of the
Chairman of the Council of Judges.
ARTICLE 96
Sufficiently clear.
ARTICLE 96
(1) If in the first court session it is decidedly proven that the
employer is not undertaking his/her obligations as meant
in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, then the Chairman of Judge of
the court session should immediately pass the Interval
Verdict in form of an order to pay the wage and other
rights that are normally received by the concerned worker/
laborer.
(2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be
passed on the court session day or on the second court
session day.
(3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the
Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried
out by the employer, then the Chairman of Judge of the
court session may order a Collateral Confiscation through
a Decree of the Industrial Relations Court.
(4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be
used against the Interval Verdict as meant in subsection
III - 101
Subsection (1)
A request for a temporary verdict is
submitted together with the legal action
dossier.
Subsection (2)
Sufficiently clear.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
Subsection (4)
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(1) and the Decree as meant in subsection (3).
ARTICLE 97
ARTICLE 97
The obligations that should be carried out and/or the rights
that should be received by the parties or by one of the
parties on each settlement of the industrial relations
dispute are determined in the verdict of the Industrial
Relations Court.
Sufficiently clear.
SUBSECTION 3
HEARING WITH FAST PROCEDURE
ARTICLE 98
ARTICLE 98
(1) In case there are rather urgent interests of the parties and/
or of one of the parties, which should be able to be
concluded from the reasons of petition of the concerned,
then the concerned parties or one of the parties may request
the Industrial relations Court to speed up the hearing of
the dispute.
(2) Within the period of 7 (seven) working days after the
request as meant in subsection (1) is received, the
Chairman of the District Court issues the decision on
whether such request is granted or not.
(3) No legal efforts can be used against the decision as meant
in subsection (2).
ARTICLE 99
Sufficiently clear.
ARTICLE 99
(1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1)
is granted, then the Chairman of the District Court
determines the council of judges, day, place and time of
the court session without going through the examination
process, within the period of 7 (seven) working days after
the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued.
(2) The grace periods for reply and authentication by both
parties are respectively determined as not exceeding 14
(fourteen) working days.
III - 102
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
SUBSECTION 4
PASSING OF VERDICT
ARTICLE 100
ARTICLE 100
The Council of Judges takes into consideration the laws,
existing agreements, customs and justice in passing the verdict.
ARTICLE 101
Sufficiently clear.
ARTICLE 101
(1) The verdict of the Council of Judges is read out in the
court session, which is open for public.
(2) In case one of the parties is not present in the session as
meant in subsection (1), then the Chairman of the Council
of Judges orders the Substitute Registrar to submit the
notification on the verdict to the party that is not present.
(3) The verdict of the Council of Judges as meant in subsection
(1) is the verdict of the Industrial Relations Court.
(4) Non-compliance of the stipulation as meant in subsection
(2) causes that the Court verdict is not legal and has no
legal power.
Sufficiently clear.
ARTICLE 102
ARTICLE 102
(1) The court verdict should contain:
a. head of the verdict which reads : “FOR JUSTICE
BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. names, positions, citizenships, residences or domiciles
of the disputed parties;
c. summary of the plaintiff ’s petition and the defendant’s
reply;
d. considerations on each submitted evidence, data and
matters that take place in the court session during the
dispute hearing;
e. legal reasons as basis of the dispute;
f. injunction on the dispute;
g. day, date of verdict, name of Judge, name of Ad-Hoc
Judge who adjudicate, name of Registrar, and
information on the presence or absence of the parties.
(2) Non-compliance with one of the stipulations as meant in
subsection (1) may cause the abrogation of the Industrial
Relations Court verdict.
III - 103
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 103
ARTICLE 103
The Council of Judges should pass the verdict on the
industrial relations dispute settlement within the period of
not later than 50 (fifty) working days as of the date of the first
court session.
ARTICLE 104
Sufficiently clear.
ARTICLE 104
The Industrial Relations Court verdict, as meant in Article
103, is signed by the Judge, Ad-Hoc Judges and Substitute
Registrar.
Sufficiently clear.
ARTICLE 105
ARTICLE 105
The Industrial Relations Substitute Registrar should have
submitted the notification on the verdict to the party that is
not present in the court session as meant in Article 101
subsection (2) within the period of not later than 7 (seven)
working days after the verdict of the Council of Judges is read
out.
Sufficiently clear.
ARTICLE 106
ARTICLE 106
The Junior Registrar should have produced the verdict
copy within not later than 14 (fourteen) working days after
such verdict is signed.
This stipulation means that the time
frame for arriving at the verdict in its original
form and a copy of that verdict is limited to
14 (fourteen) working days so that the matter
is not detrimental to the party’s legal rights.
ARTICLE 107
ARTICLE 107
The Registrar of the District Court should have
dispatched the verdict copy to the parties within the period of
not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is
produced.
Sufficiently clear.
ARTICLE 108
ARTICLE 108
The Chairman of the Council of Judges of the Industrial
relations Court may pass a verdict that can be implemented in
advance, although a resistance or supreme court is filed towards
the verdict.
Sufficiently clear.
ARTICLE 109
ARTICLE 109
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of interest and dispute between
workers unions/labor unions in one company is a final and
permanent verdict.
III - 104
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 110
ARTICLE 110
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of rights and dispute of
termination of employment has permanent legal power if no
appeal is filed to the Supreme Court within the period of not
later than 7 (seven) working days:
a. for the party being present, as of the date the verdict is
read out in the session of the council of judges;
b. for the party being absent, as of the date the verdict
notification is received.
Sufficiently clear.
ARTICLE 111
ARTICLE 111
One of the parties or the parties intended to file the appeal
to the Supreme Court should submit it in writing through
the Sub-Registrar’s Office of the Industrial Relations Court at
the local District Court.
What is meant by the local District
Court under this Article is the District Court
that decides on the aforementioned case.
ARTICLE 112
ARTICLE 112
The Sub-Registrar’s Office of the Industrial relations
Court at the District Court should have submitted the case
dossiers to the Head of the Supreme Court within the period
of not later than 14 (fourteen) working days as of the date the
appeal is received.
Sufficiently clear.
SECTION TWO
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE
ARTICLE 113
ARTICLE 113
The Council of Supreme court Judges consists of one
Supreme Court Judge and two Ad-Hoc Judges, who are
assigned to investigate and preside over industrial relations
dispute cases at the Supreme Court, and are appointed by the
Head of the Supreme Court.
Sufficiently clear.
ARTICLE 114
ARTICLE 114
Procedure of appeal to the Supreme Court and settlement
of the dispute on rights and dispute on termination of
employment by the Supreme Court Judge, are carried out in
accordance with the prevailing laws and regulations.
III - 105
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 115
ARTICLE 115
Settlement of the dispute on rights or dispute on
termination of employment at the Supreme Court is not later
than 30 (thirty) working days as of the date the appeal is
received.
Sufficiently clear.
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND
CRIMINAL PROVISIONS
SECTION ONE
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
ARTICLE 116
ARTICLE 116
(1) The Mediator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days without any valid reasons as meant in Article 15,
may be imposed an administrative sanction in form of a
disciplinary punishment in accordance with the laws and
regulations that apply for Civil Servants.
(2) The Junior Registrar who has not produced the verdict
copy within the period of 14 (fourteen) working days after
the verdict is signed as meant in article 106, and the
Registrar who has not dispatched such copy to the parties
within the period of 7 (seven) working days as meant in
Article 107, may be imposed an administrative sanction
in accordance with the prevailing laws and regulations.
ARTICLE 117
Sufficiently clear.
ARTICLE 117
(1) The Conciliator who has not submitted the written advice
within the period of 14 (fourteen) working days as meant
in Article 23 subsection (2) letter b, or has not assisted
the parties to enter into a Collective Agreement within
the period of not later than 3 (three) working days as
meant in Article 23 subsection (2) letter e, may be imposed
an administrative sanction in form of a written reprimand.
(2) The Conciliator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1), may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation
III - 106
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
as conciliator.
(3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him/her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.
ARTICLE 118
ARTICLE 118
The Conciliator may be imposed an administrative
sanction in form of permanent revocation as conciliator if the
concerned:
a. has been passed 3 (three) times the administrative sanction
in form of temporary revocation as conciliator as meant in
Article 117 subsection (2);
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position; and/or
d. has divulged the requested information as meant Article
22 subsection (3).
ARTICLE 119
Sufficiently clear.
ARTICLE 119
(1) The Arbitrator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days and within the extension period as meant in Article
40 subsection (1) and subsection (3) or has not prepared
the minutes of hearing as meant in Article 48, may be
imposed an administrative sanction in form of a written
reprimand.
(2) The Arbitrator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1) may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation
as arbitrator.
(3) The sanction as meant in subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him / her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
arbitrator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.
III - 107
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 120
ARTICLE 120
(1) The Arbitrator may be imposed the administrative sanction
in form of permanent revocation as arbitrator if the
concerned:
a. has made at least 3 (three) arbitration decisions on
industrial relations disputes that are exceeding his/her
authority and are contradicting the laws and
regulations as meant in Article 52 subsection (1) letters
d and e, and the Supreme Court has granted the appeal
judicial review on the decisions of such arbitrator.
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position;
d. has been passed 3 (three) times the administrative
sanction in form of temporary revocation as arbitrator,
as meant in Article 119 subsection (2).
(2) The administrative sanction in form of permanent
revocation as arbitrator, as meant in subsection (1),
commences effective as of the date the arbitrator has settled
the dispute that is being handled by him/her.
ARTICLE 121
Sufficiently clear.
ARTICLE 121
(1) The administrative sanctions as meant in article 117,
Article 118, Article 119 and Article 120 are passed by
the Minister or appointed official.
(2) The method of imposing and revoking sanctions shall be
further regulated with a Ministerial Decision.
Sufficiently clear.
SECTION TWO
CRIMINAL PROVISIONS
ARTICLE 122
ARTICLE 122
(1) Anyone who violates the stipulations as meant in Article
12 subsection (1), Article 22 subsection (1) and subsection
(3), Article 47 subsection (1) and subsection (3), Article
90 subsection (2), Article 91 subsection (1) and subsection
(3), is imposed the criminal sanction of minimum 1 (one)
month and maximum 6 (six) months confinement and or
a fine of minimum Rp. 10,000,000.00 (ten million
rupiah) and maximum Rp. 50,000,000.00 (fifty million
rupiah).
III - 108
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
(2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal
act.
ARTICLE 123
Sufficiently clear.
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS
ARTICLE 123
In case industrial relations disputes occur at social
operations and other operations that are not in form of
company operations, but have a management and employ other
people by paying wages, then such disputes are settled in
accordance with the stipulations of this act.
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS
ARTICLE 124
ARTICLE 124
(1) Before the Industrial relations Court is established as
meant in Article 59, the Regional Labor Dispute
Settlement Committee and the Central Labor Dispute
Settlement Committee shall still carry out their functions
and duties in accordance with the prevailing laws and
regulations.
(2) With the establishment of the Industrial Relations Court
based on this act, then the industrial relations disputes
and terminations of employment that have been proposed
to:
a. Regional Labor Dispute Settlement Committee or
other institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Industrial Relations Court at the local
District Court;
b. Decisions of the Regional Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter a,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 14 (fourteen) days, are settled by the
III - 109
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
Supreme Court;
c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other
institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Supreme Court;
d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter c,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 90 (ninety) days, are settled by the
Supreme Court.
CHAPTER VIII
CLOSING PROVISIONS
ARTICLE 125
ARTICLE 125
(1) With the enactment of this law, then:
a. Law Number 22 of 1957 concerning labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227); and
b. Law Number 12 of 1964 concerning Termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of
1964 Number 93, Supplement of State Gazette
Number 2686);
Are declared as no more applicable.
(2) At the time this act take into effect, all Laws and
Regulations that are the Implementation Regulations of
Law Number 22 of 1957 concerning Labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227) and Law
Number 12 of 1964 concerning termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of 1964
Number 93, Supplement of State Gazette Number 2686)
are declared as still applicable, as long as they are not
contradicting the provisions in this act.
III - 110
Sufficiently clear.
Act No. 2 Year 2004
Explanatory Notes
ARTICLE 126
ARTICLE 126
This act shall be effective 1 (one) year after its
promulgation.
For the cognizant of the public, orders the promulgation
of this act by having it place on the State Gazette of the
Republic of Indonesia.
The grace period in this Article is meant
to prepare for the provision and appointment
of the Judge and Ad Hoc Judges, preparation
of infrastructure and facilities such as providing
office space and the courtroom/hall for the
Industrial Relations Court.
Legalized in Jakarta
On 14 January 2004
SUPPLEMENT TO THE STATE
GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4356
PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta
On 14 January 2004
STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA
BAMBANG KESOWO
STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC
OF INDONESIA NUMBER 6 OF 2004
III - 111
Download