Sejarah Logika Masa Yunani Kuno Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif. Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari: Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati) Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia Air jugalah uap Air jugalah es Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu: 1 1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian 2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan 3. Analytica Posteriora tentang pembuktian. 4. Analytica Priora tentang Silogisme. 5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat. 6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir. Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri. Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. St. Yohanes dari Damaskus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae. Abad pertengahan dan logika modern Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. St. Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.[2] Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti: 2 Petrus Hispanus (1210 - 1278) Roger Bacon (1214-1292) Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. William Ocham (1295 - 1349) Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti: Gottfried Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian. George Boole (1815-1864) John Venn (1834-1923) Gottlob Frege (1848 - 1925) Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di Johns Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs) Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). 3 Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (18911970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain. 4 2.1. Sejarah Logika Logika berasal dari kata Yunani kuno (Logos) yang berarti hasil pertimbangan yang berasal dari akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan Logike Episteme (Latin: Logica Scientia) atau Ilmu Logika (Ilmu Pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. Dalam sejarah perkembangan logika muncul bersama dengan filsafat. Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340 SM – 265 SM) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit[[1]]. 2.2.Masa Yunani Kuno Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.[[2]] Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari: Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati) Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia Air jugalah uap 5 Air jugalah es Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.[[3]] Aristoteles meninggalkan 6 buku yang diberi nama to Oraganon oleh muridnya, bukunya yaitu: 1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian 2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan 3. Analytica Posteriora tentang pembuktian. 4. Analytica Priora tentang Silogisme. 5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat. 6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.[[4]] Dalam karyanya ini Aristoteles telah menggarap masalah kategori, struktur bahasa, hukum formal konsistensi proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, pembedaan atribut hakiki dan yang bukan hakiki, sebagai kesatuan pemikiran, bahkan telah menyentuh bentukbentuk dasar simbolisme. Sehingga pola dari buku Organon masih tetap dipakai rujukan sampai saat ini dikarenakan 1. Tentang Ide, 2. Tentang keputusan, 3. Tentang proses pemikiran.[[5]] Pada 370 SM-288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M-201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri, yakni metode ilmu ukur. Galenus sangat berpengaruh karena tuntutannya yang sangat ketat aksiomatisasi logika. Karya utama Galenus berjudul Logika Ordini Geometrico Demonstrata. Tapi impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad 17 melalui karya saceheri yang berjudul Logica Demonstrativa. 6 Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Salama ini logika mengembang karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat perhatian kita, yakni Eisagogen dari Porphyrios, kemudian komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae (Sumber Ilmu) karya Johannes Damascenus.[[6]] 2.3.Masa Pertengahan dan Modern Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles ( De Interpretatione, Categoriae ), Porphyus ( Eisagoge ) dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas (1224 – 1274 M) dan kawan-kawannya berusaha mengadakan Sistematisasi Logika[[7]]. Mereka juga serentak mengembangkan logika yang sudah ada. Logika modern muncul pada abad 13 hingga abad 15 Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini adalah: Petrus Hispanus (1210 – 1278 M) Roger Bacon (1214-1292 M) Raymundus Lullus (1232 -1315 M) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. William Ocham (1295 – 1349 M)[[8]] Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan Logika Induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. J.S. Mills (1806 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic. Lalu diperkaya dengan hadirnya tokoh – tokoh pelopor Logika Simbolik: Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun Logika Aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian. 7 George Boole (1815-1864) John Venn (1834-1923) Gottlob Frege (1848 - 1925) Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan Dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan Logika sebagai Teori Umum Mengenai Tanda (General Theory of Signs) puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (18911970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.[[9]] 2.4.Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam Buah tangan Aristotes diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar Abad 7 Masehi, dan kemudian diberinya nama ilmu al-Mantiq. Ilmu Mantiq yang merupakan terjemahan dari Ilmu Logika adalah hasil karya para filosof Yunani sejak abad ke-4 SM. Kaum Sofis, Socrates dan Plato adalah perintis lahirnya Logika. Sedangkan Logika lahir sebagai suatu ilmu adalah atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[[10]] Aristoteles (384-322 SM) sebagai peletak dasar Ilmu Logika, meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku tersebut terdiri dari : 1. Categoriae (mengenai pengertian-pengertian) 2. De Interpretiae (mengenai keputusan-keputusan) 3. Analitica priora (tentang silogisme atau menarik kesimpulan) 4. Analitica posteriora (tentang pembuktian) 5. Topika (mengenai berdebat) 6. De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir). 8 Buku-buku inilah yang kemudian menjadi dasar Logika Tradisional. Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Pada abad ke-8 Masehi, ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itu terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk Ilmu Logika. Ilmu ini sangat menarik perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga dipelajari secara meluas. Diantara mereka kemudian menulis buku Ilmu Mantiq dan mengembangkannya. Dalam berbagai segi, mereka mengislamisasikan ilmu logika melalui contoh-contoh yang mereka munculkan. Ilmu Mantiq tidak saja digunakan untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dalam menarik kesimpulan yang benar, tetapi juga membantu mengokohkan hujjah-hujjah agama dalam persoalan akidah.[10] Di antara ulama dan cendekiawan muslim yang mendalami Ilmu Mantiq dan menulis buku tentang mantiq adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’, Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (185 H-260 H/801 M-873 M), Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi (251 H-313 H/865 M- 925 M), Abu Nasr alFarabi (258 H-339 H/870 M-950 M), Ibnu Sina (370 -428 H/980-1037 M), Abu Hamid alGhazali, Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M), al-Qurthubi dan lain-lain. [11] Al-Farabi kemudian dikenal sebagai Guru Kedua Logika setelah Aristoteles. Karya-karya Al-Farabi dibagi menjadi dua, mengenai logika dan filsafat. Karya-karya tentang Logika menyangkut bagianbagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah. Selain Al-Farabi, juga dikenal Ibnu Sina sebagai Guru ke tiga Logika. Buku Logika Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di penghujung abad ke-12. Yang lainnya adalah karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14. Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).[12] 9 Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah berbagai kritikan terhadap Ilmu Mantiq / Logika karena dianggap logika sebagai penyebab lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari ilmu logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (13221389 M).[13] Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan. Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan (Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M). Menjelang penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia Islam yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan itu perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di Mesir. Di Indonesia, Ilmu Mantiq pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruanperguruan agama dan pesantren. Ilmu Mantiq sampai ke Indonesia bersama ilmu-ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah. Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.[14] 10 BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari uraian pembahasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa sejarah perkembangan logika terjadi masa yunani kuno, abad pertengahan dan modern serta pada masa islam hingga menyebar ke berbagai kawasan. Yang mencatat berbagai perkebagan logika dari orang pertama yang menggunakan istilah logika yaitu Zeno dari Citium (340 - 265), disebutkan bahwa tokah Stoa adalah yang pertamakali menggunakan istilah Logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Pada masa yunani kuno yang dimulai oleh Thales filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Dan Aristoteles, logika yang disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Dan muncul beberapa tokoh seperti Theophrastus, murid Aristoteles, Galenus dan Sextus Empiricus, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri, yakni metode ilmu ukur. Lalu pada masa pertengahan dan modern Thomas Aquinas 1224 – 1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan Sistematisasi Logika hingga masa modern muncul berbangai tokoh – tokoh dan pelopor logika. Dan bekembang hingga pada masa islam, dari mulai sekitar abad ke 7 sampai abad ke 19 ilmu logika mengalami kemajuan dan kemunduran serta kebangkitan, dimulai pada masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid dan Al-Makmun Ilmu ini sangat menarik perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga dipelajari secara meluas. Adapun cendikiawan muslim yang terkenal mendalami menerjemah dan mengarang di bidang ilmu mantiq adalah Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd Al-Kuthubi dan masih banyak yang lainnya. Kemudian menyusulah zaman kemunduran di bidang ilmu mantiq karena dianggap terlalu memuja akal. Diantara ulama-ulama besar islam, seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibn Shalah, Taqiyun Ibn Taimiyah, Saduddin At-Taftajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantik dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhad dan kufur. Menjelang penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia Islam yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan itu perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di Mesir dan keberbagai kawasan hingga masuk di Indonesia 11 A. Sejarah Logika Pada Era Para Nabi Pohon sejarah logika tumbuh sejak awal penciptaan manusia. Kalau bukan karena kegilaan, manusia batal menghuni bumi. Logika iblis berseberangan dengan ‘logika’ Tuhan. Ketika ia diperintahkan ‘bersujud ‘ sebagai simbol penghormatan kepada Adam, iblis melawan ‘logika’ Tuhan. Kegilaan iblis membuatnya terkutuk dengan ancaman neraka, lalu perseteruan kebenaran-logika menjadi cerita abadi manusia hingga kiamat tiba. Logika gila iblis versus ‘logika waras’ Tuhan, seperti dua sisi keping koin yang selalu berseberangan posisi. Kegilaan logika Adam ada karena pengaruh bisikan iblis, “Makan buah khuldi membuatmu hidup abadi di surga.” Logika keabadian Adam berseberangan dengan logika Tuhan, Adam disebut gila. ‘Logika’ Tuhan harus dimenangkan! Adam dihukum, turun ke bumi untuk menebus kegilaan karena menyimpang dari ‘logika’ Tuhan. Cerita berlanjut berabad-abad, pertempuran dua sisi keping koin, keping logika, antara logika sehat dan logika gila. Akal sehat, otak, akal pikiran denga ransum pengetahuan sebagai alat bantu memilih sisi koin logika manusia tinggal memutuskan akan berada di sisi yang mana. Logika iblis dan kesesatan sudah disetting untuk eksis sebagai mayoritas, sedang logika Tuhan dan kebenaran sebagai minoritas. Kegilaan nabi-nabi menjadi koin logika pada tiap zaman, tiap generasi, tiap bangsa. Nuh gila ketika membuat perahu raksasa dimusim kemarau. Musa penyihir gila karena logikanya berseberangan dengan logika Fir’aun! Yesus-Isa Al Masih gila karena mengaku sebagai raja, logika mayoritas penguasa harus menyalibnya! Muhammad penyihir -penya’ir gila oleh logika jahiliyyah Quraisy. Lalu setelah logika baru menang, dunia berubah pikiran, ternyata Adam, Nuh, Musa,Yesus-Isa dan Muhammad adalah orang-orang pilihan untuk mengembalikan kewarasan peradaban logika manusia. Busur logika melemparkan anak panah menembus kuantum zaman. Logika gila dan gila logika terus bertarung nasib pada sekeping koin logika. Untuk satu zaman dan bangsa, demokrasi menjadi benar dan logis. Namun di lain zaman dan lain bangsa, demokrasi menjadi salah dan tidak logis. Monarki bagi demokrasi adalah logika gila. Maka monarki harus dihapuskan. Monarki di satu sisi koin, demokrasi di lain sisi. Dua sisi saling berseberangan, dan perang ideologi menjadi keniscayaan. Yang memenangi perang ideologi dialah yang berhak untuk mengklaim kebenaran. Penguasa berlogika gila karena tergila-gila logika kekuasaan-monarki, bahwa yang berkuasa itu absolut benar, alias logis. Maka yang tidak berkuasa harus salah dan sesat, alias tidak logis. Jika di suatu negara telah bersepakat memilih logika demokrasi, maka logika kekuasaan-monarki berarti menabrak logika negara. Penguasa monarki adaah penguasa berlogika gila, maka harus diwaraskan agar logis bagi negara. Thomas jefferson menafsir demokrasi sebagai ruh absolut negara, agama publik, atau suara Tuhan. B. Sejarah Logika Pada Era Yunani 12 Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: Sejarah filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), sejarah filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan sejarah filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini). Sejarah filsafat India dan sejarah filsafat Cina sebagaimana yang kita kenal sekarag ini.Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian. Sedangkan pada tradisi sejarah filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600SM–400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 –525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu mengalir,(“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidakberubah). Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilanganbilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk m 13 . Sejarah Logika Awal mula lahirnya ilmu logika tidak lepas dari pemikiran para ahli Yunani. Ahli pikir yang mempelopori logika adalah Aristoteles (304-322 SM) yang termasuk guru terbesar di dunia sampai dengan saat ini3. Buah tangan Aristoteles bukan hanya dalam ilmu logika tetapi juga dalam berbagai ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam. Perkembangan ilmu logika setelah masa Aristoteles banyak dilanjutkan oleh para muridnya yang diantaranya adalah Theoprastos dan Porphyrius. Disamping jasa para muridnya tersebut, perkembangan logika mengalami suatu kendala. Pada tahun 325 M telah berlangsung sidang gereja pertama di dunia yaitu di Micae yang salah satu keputusan yang diambil adalah membatasi pelajaran ilmu logika antara yang boleh dan yang di larang. Dengan adanya larangan tersebut, buku logika yang terlarang di terjemahkan oleh Boethius (480-524 M ) ke dalam bahasa latin yang akhirnya Boethius di hukum mati. Sejak saat itulah pelajaran logika di barat mengalami kematian pemikiran. Perkembangan ilmu logika pada zaman Islam berawal pada abad ke – 7 didaerah Arab. Logika dipelajari secara meriah dalam kalangan luas setelah adanya penerjemahan ilmu-ilmu yunani kedalam dunia arab pada abad II Hijriah. Dalam hal ini timbullah berbagai pendapat dikalangan para ulama’. Ibnu Salih dan imam nawawi menghukumi haram mempelajari ilmu logika sampai mendalam dan Al-Ghozali menganjurkan dan menganggap baik. Sedangkan jumhurul ulama’ membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya4. Dalam hal ini muncullah pemikir-pemikir handal seperti Al-Kindi, AlFarabi, Al-Ghozali, dan lain-lain. Dan dalam buku filsafat islam ada tokoh islam yang bernama Ikhwan AlSyafa’ yang juga menganggap penting ilmu logika , beliau mengatakan bahwa mengenai lapangan filsafat itu ada empat macam, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu logika disalin kedalam bahasa Arab dengan nama “Ilmu Mantiq” yang berasal dari kata “Nathaqo” yang berarti berfikir. Penyalinan pertama dilakukan oleh Yohana bin Patrik (815 M) lalu disusul oleh para penulis lainnya. Penyalinan istilah-istilah logika kedalam bahasa Arab masih belum sempurna, kemudian disempurnakan oleh Al-Farabi yang tidak mengalami perubahan sampai sekarang yang tercatat dalam ke empat bukunya, yaitu : - Kutubul Manthiqil Tsamaniya - Nuqaddamat Isaguji Allati Wadha “Aha” - Risalat Fil Qiyasih - Risalat Fil Mantiqi Pada abad XIII sampai dengan abad XV muncullah logika modern yang berbeda sekali dengan metode Aristoteles. Dan pada abad XIX logika di pandang sebagai sekedar peristiwa psikologis dan metodis. 14 15 encari sebab awal dari segala sesuatu dengan menurut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkanlah teori ilmiah. 16