Uploaded by User58452

98965887-Shalat-Dalam-Berbagai-Keadaan

advertisement
Shalat Dalam Keadaan Darurat
Ibadah shalat merupakan ibadah yang tidak dapat ditinggalkan walau dalam keadaan
apapun. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
Jika seseorang sedang sakit pada bulan ramadhan dan tidak mampu untuk berpuasa, maka
ia boleh tidak berpuasa dan harus menggantinya pada hari lain. Orang yang tidak mampu
membayar zakat ia tidak wajib membayar zakat. Demikian pula halnya dengan ibadah
haji, bila seseorang tidak mampu maka tidak ada kewjiban baginya.
Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih memiliki
akal dan ingatannya masih normal. Kewajiban tersebut harus dilakukan tepat pada
waktunya. Halangan untuk tidak mengerjakan shalat hanya ada tiga macam, yaitu hilang
akal seperti gila atau tidak sadar, karena tidur dan lupa (namun demikian ada kewajiban
mengqadha di waktu lain).
Betapa pentingnya ibadah shalat ini, Rasulullah pernah bersabda :
“Urusan yang memisahkan antara kita (orang-orang Islam) dengan mereka (orang-orang
kafir) adalah shalat. Oleh sebab itu siapa yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah
menjadi kafir.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Shalat Dalam Keadaan Sakit
Orang yang sedang sakit harus tetap melakukan shalat lima waktu, selama akal atau
ingatannya masih tetap normal. Cara melaksanakannya sesuai dengan kemampuan orang
yang sakit tersebut. Jika ia tidak mampu shalat dengan berdiri, maka ia boleh shalat
dengan duduk. Jika ia tidak mampu dengan duduk, boleh shalat dengan berbaring ke
sebelah kanan menghadap kiblat. Jika ia tidak mampu berbaring boleh shalat dengan
terlentang dan isyarat.
Yang termasuk dalam arti tidak mampu adalah apabila ia mendapatkan kesulitan dalam
berdiri atau duduk, atau sakitnya akan bertambah apabila ia berdiri atau ia takut bahaya.
Hal ini dijelaskan dalam hadits sebagai berikut :
Dari Ali bin Abu Thalib ra. telah berkata Rasulullah SAW tentang shalat orang sakit :
“Jika kuasa seseorang shalatlah dengan berdiri, jika tidak kuasa shalatlah sambil duduk.
Jika ia tidak mampu sujud maka isyarat saja dengan kepalanya, tetapi hendaklah sujud
lebih rendah daripada ruku;nya. Jika ia tidak kuasa shalat sambil duduk, shalatlah ia
dengan berbaring ke sebelah kanan menghadap kiblat. Jika tidak kuasa juga maka
shalatlah dengan terlentang, kedua kakinya ke arah kiblat.” (HR. Ad-Daruquthni).
Shalat dalam Kendaraan
Orang yang sedang berada dalam kendaraan mengalami situasi yang berbeda. Ada yang
di dalam kendaraan itu bisa tenang seperti dalam kapal laut yang besar, adakalanya
sesorang tidak merasa nyaman seperti berada di dalam bis yang sempit. Untuk melakukan
shalat di kendaraan ini tentunya di sesuaikan dengan jenis kendaraan yang
ditumpanginya.
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bagaimana cara sholat di atas
perahu. Beliau bersabda : “Sholatlah di dalam perahu itu dengan berdiri kecuali kalau
kamu takut tenggelam.” (HR. Ad-Daruquthni).
Bila selama perjalanan (dengan kendaraan) itu masih dapat turun dari kendaraan, maka
hendaknya kita melaksanakan sholat seperti dalam keadaan normal. Tetapi bila memang
tidak ada kesempatan lagi untuk turun dari kendaraan seperti bila naik pesawat terbang,
maka kita melakukan shalat di atas kendaraan itu. Hal ini dilakukan mengingat :
1. Shalat adalah ibadah yang wajib dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan baik
secara normal atau dengan menjama‘. Sedangkan meninggalkan sholat walau dalam safar
lalu mengerjakan bukan pada waktunya tidak didapati dalil/contoh dari Rasullullah.
2. Kendaraan di masa Nabi SAW adalah berupa hewan tunggangan (unta, kuda dan lainlain) yang dapat dengan mudah kita turun dan melakukan shalat. Bila dalam shalat wajib
Nabi SAW tidak shalat di atas kendaraannya, maka hal itu karena Nabi melakukan shalat
wajib wajib secara berjamaah yang membutuhkan shaf dalam shalat. Atau pun juga
beliau ingin shalat wajib itu dilakukan dengan sempurna.
3. Sedangkan kendaraan di masa kini bukan berbentuk hewan tunggangan, tetapi bisa
berbentuk kapal laut, kapal terbang, bus atau kereta api. Jenis kendaraan ini ibarat rumah
yang berjalan karena besar dan sesorang bisa melakukan shalat dengan sempurna
termasuk berdiri, duduk, sujud dan sebagainya. Dan meski tidak bisa dilakukan dengan
sempurna, para ulama membolehkan shalat sambil duduk dan berisyarat. Selain itu
kendaraan ini tidak bisa diberhentikan sembarang waktu karena merupakan angkutan
massal yang telah memiliki jadwal tersendiri.
4. Tetapi bila kita naik mobil pribadi atau sepeda motor, maka sebaiknya berhenti, turun
dan melakukan shalat wajib di suatu tempat agar bisa melakukannya dengan sempurna.
5. Sedangkan riwayat yang mengatakan bahwa Nabi tidak pernah shalat wajib di atas
kendaraan juga diimbangi dengan riwayat yang menceritakan bahwa Nabi SAW
berperang sambil shalat di atas kuda/ kendaraan. Tentunya ini bukan salat sunnah tetapi
shalat wajib karena shalat wajib waktunya telah ditetapkan.
Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun
keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun
telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:
1.Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan
atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)
2.Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
‫إ القَِ ّاق ِّ َلص‬
‫عط َت َصس ْ َصم ْ َن َص‬
‫عط َت َصس ْ َصم ْ َن َص‬
‫ف ٍ َب َص‬
‫ ٍَْفْ َصو ْْ َص‬: َ‫لََْاق ّصي ْم َْ َصأ ْلَ صإ‬
َ ْ ‫إ ْدق َاقّف‬
َ ْ ‫ن ْلعف‬
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika
tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat
Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )
3.Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’
(menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan
shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan
juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula.
Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat
menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).
4.Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
‫إ ْهتَقٍف َنق ا َبنق َقأص ْ َصْ ِّةالّص َعَفص ْ َنص‬
‫ذهركق َلذف َْه َعللنق ْ َص‬
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada
waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
5.Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak
boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang
dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian
kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita
(jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan
tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan
kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan
menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.”
(Al Maidah: 6)
Jama’‫ص‬
Jama' antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh dijama'
adalah shalat Dluhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya. Rasulullah SAW
bersabda:
(447 ‫ ص‬/ 3 ‫ (ج‬- ‫سنن أبي داود‬
َّ
َّ
َ
َ
ْ
َّ
ْ
َ
َ
َّ
َّ ‫سو َل‬
َ‫ز‬
‫م‬
‫ش‬
‫ال‬
‫َت‬
‫غ‬
‫ا‬
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ة‬
‫و‬
‫َز‬
‫غ‬
‫ي‬
‫ف‬
‫ك‬
‫م‬
‫ل‬
‫س‬
‫و‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ع‬
‫َّللا‬
‫ى‬
‫ل‬
‫ص‬
ْ
َ‫س قَ ْب َل أ َ ْن َي ْرت َ ِح َل َج َم َع َبيْن‬
َ‫ان‬
َ‫ُوك‬
ِ
ُ ‫َع ْن ُم َعا ِذ ب ِْن َج َبل أ َ َّن َر‬
ِ َ
ُ ْ
َ ِ‫َّللا‬
ِ
َ َ َ ِ َ ُ
ْ
ْ
ْ
ُّ
َ
َ
ُّ ‫ال‬
َّ
َّ ‫ص ِر َوإِ ْن يَ ْرت َِح ْل قَ ْب َل أ ْن ت َِزي َغ ال‬
ْ َ‫ب ِمث ُل ذَلِكَ إِ ْن غَاب‬
‫ت‬
ْ َ‫س أ َّخ َر الظ ْه َر َحتى يَ ْن ِز َل ِللع‬
ْ َ‫ظ ْه ِر َو ْالع‬
ِ ‫ص ِر َوفِي ال َم ْغ ِر‬
ُ ‫ش ْم‬
َّ ‫يب ال‬
َّ ‫ال‬
‫َاء ث ُ َّم‬
ِ ‫ب َحتَّى َي ْن ِز َل ِل ْل ِعش‬
ِ ‫ب َو ْال ِعش‬
َ ‫س أ َ َّخ َر ْال َم ْغ ِر‬
ُ ‫ش ْم‬
َ ‫َاء َو ِإ ْن َي ْرت َِح ْل قَ ْب َل أَ ْن تَ ِغ‬
ِ ‫س قَ ْب َل أ َ ْن َي ْرت َِح َل َج َم َع َبيْنَ ْال َم ْغ ِر‬
ُ ‫ش ْم‬
‫َج َم َع بَ ْينَ ُه َما‬
Artinya: Dari Muadz bin Jabal:"Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk,
jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama' shalat antara Dluhur
dan Ashar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka
mengakhirkan shalat Dluhur sampai berhenti untuk shalat Ashar. Dan pada waktu shalat
Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama'
antara Maghrib dan 'Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari
tenggelam maka mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai berhenti untuk shalat Isya,
kemudian menjama' keduanya" (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Shalat jama' terdiri dari dua macam, yaitu jama taqdiem dan jama' ta'khir. Jama'
taqdiem adalah menggabungkan shalat antara shalat Dluhur dan Asar yang dilakukan
pada waktu Dhuhur dan shalat Maghrib dan Isya' yang dilakukan pada waktu Maghrib.
Sedangkan jama' ta'khir adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Asar
yang dilakukan pada waktu Ashar dan shalat Maghrib dan Isya' yang dilakukan pada
waktu Isya'.
Menurut Jumhur ulama’ selain Hanafiah berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat
dluhur dengan ’Ashar secara taqdiem pada waktu pertama (dluhur) dan ta’khir pada
waktu yang kedua (ashar), shalat Maghrib dengan shalat Isya’ didalam safar yang
panjang. Shalat Jum’at sama halnya dengan shalat Dluhur dalam jama’ taqdiem.
Dan dalil-dalil yang berkaitan dengan shalat jama’ taqdim dan ta’khir, seperti hadis
Mua’dz
.
‫ أن النبي )ص ( كان في غزوة تبوك إذا ارتحل بعد المغرب عجل العشاء فصالها مع‬:‫من حديث معاذ رضي هللا عنه‬
)‫ والبيهقي وابن حبان وصححاه‬،‫ والدارقطني والحاكم‬،‫المغرب ( رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه‬
Artinya; dari hadis muadz ra : Sesungguhnya Nabi saw pada perang Tabuk apabila
melakukan perjalanan setelah Maghrib beliau mensegerakan shalat Isya’, lalu beliau
melaksanakan shalat Isya’ bersama Maghrib. (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,
Daraqutni, Baihaqi, dan Ibnu Hibban dan ia menshahihkannya)
Dan dalil-dalil tentang shalat jama’ ta’khir:
Ada beberapa dalil yang berkaitan dengan shalat jama’ ta’khir, antara lain:
hadis Ibnu Umar.
‫ ثم‬،‫ فجمع بينهما‬،‫ ثم نزل‬،‫ فأخر المغرب حتى غاب الشفق‬،‫ فجدَّ به السير‬،‫ أنه استُغيث على بعض أهله‬:‫ابن عمر فهو‬
‫ ومعناه عند الجماعة إال ابن‬،‫أخبرهم أن رسول هللا )ص ( كان يفعل ذلك إذا جدَّ به السير( رواه الترمذي بهذا اللفظ‬
)‫ماجه‬
Artinya: dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia dimintai pertolongan oleh salah seorang dari
keluarganya, lalu ia bersungguh melakukan perjalanan, lalu ia mengakhirkan Maghrib
sehingga tengelam cahaya kemerah-merahan, kemudia ia melaksanakan dan menjama’
keduanya. Kemudian ia mengkhabarkan kepada orang-orang bahwa Rasulullah
melakukan itu apabila mendapati (bersungguh) melakukan perjalanan. (HR. Tirmidzi
dengan lafadz ini)
Safar
Safar secara bahasa berarti: Melakukan perjalanan, lawan dari iqomah. Orangnya
dinamakan musafir lawan dari muqim. Sedangkan secara istilah, safar adalah: Seseorang
keluar dari daerahnya dengan maksud ke tempat lain yang ditempuh dalam jarak tertentu.
Jadi seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Niat, keluar dari
daerahnya dan memenuhi jarak tertentu. Jika seseorang keluar dari daerahnya tetapi tidak
berniat safar maka tidak dianggap musafir. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat
musafir tetapi tidak keluar dari daerahnya maka tidak dianggap musafir. Begitu juga jarak
yang ditempuh menentukan apakah seseorang dianggap musafir atau belum, karena kata
safar biasanya digunakan untuk perjalanan jauh. (konsultasi syariah @syariahonline)
Rukhsoh Shalat Bagi Musafir
Seorang musafir mendapatkan rukhsoh dari Allah swt dalam pelaksanaan shalat.
Rukhsoh tersebut adalah: Mengqashar shalat yang bilangannya empat rakaat menjadi
dua, menjama' shalat Zluhur dengan Ashar dan Maghrib dengan 'Isya, shalat di atas
kendaraan, tayammum dengan debu/tanah pengganti wudhu dalam kondisi tidak
mendapatkan air dll.
Shalat Qashar
Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya pada shalat fardlu yang
mestinya empat rakaat dikerjakan dua rakaat saja. Shalat fardlu yang boleh diqashar
hanya Dluhur, Ashar, dan ’Isya. Sedangkan Maghrib dan subuh tetap dikerjakan
sebagaimana biasanya dan tidak boleh diqashar.
Dalil Shalat Qashar
Allah swt berfirman:
‫ص َالةِ ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ ْن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّذِينَ َكفَ ُروا ِإ َّن ْالكَافِ ِرينَ كَانُوا‬
َّ ‫ص ُروا ِمنَ ال‬
ُ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْق‬
ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ْس‬
َ ‫َو ِإذَا‬
َ ‫ض فَلَي‬
)101( ‫لَ ُك ْم َعد ًُّوا ُم ِبينًا‬
Artinya:"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS an-Nisaa' 101).
Rasulullah SAW bersabda:
‫ وزيد في صالة الحضر] أخرجه الشيخان‬،‫ فأقرت صالة السفر‬،‫ [فرضت الصالة ركعتين ركعتين‬:‫من حديث عائشة‬
‫في الصحيحين‬
Dari 'Aisyah ra berkata : "Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian
ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak
safar)"(Muttafaqun 'alaihi)
Dari 'Aisyah ra berkata:" Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka
diwajibkan empat rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)" (HR
Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : "Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah
shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat
tersebut.
Para ahli ilmu bersepakat untuk mengqashar shalat bagi musafir baik perjalanan yang
wajib seperti haji, jihad, hijrah, dan umrah atau yang mustahab seperti mengunjungi
saudara, menjenguk orang sakit, berkunjung ke salah satu dari dua mesjid; mesjid
Madinah dan Aqsha’, mendatangi orang tua atau yang mubah seperti, tamasyah,
pertunjukan (show), perdagangan atau yang dimakruhkan
Hukum Qashar
Dengan ungkapan bahwa apakah seorang musafir diharuskan menqashar secara syar’i
atau hanya berupa pilihan antara qashar dan menyempurnakan (itmam), kemudian
manakah yang lebih baik antara qashar dan tidak (itmam)
Beragam pendapat para Fuqaha tentang hal ini, diantaranya adalah wajib, sunah, dan
rukhsoh yang dipilih seorang musafir.
Hanafiah berpendapat bahwa qashar adalah wajib-azimah. Diwajibkan di setiap shalat
yang beraka’at empat untuk mengqashar menjadi dua raka’at, tidak boleh menambahnya
dengan sengaja.
‫ وفي الخوف‬،‫ وفي السفر ركعتين‬،‫ [فرض هللا الصالة على لسان نبيكم في الحضر أربع ركعات‬:‫وحديث ابن عباس‬
‫ركعة] أخرجه مسلم‬
Dari Ibnu ’Abbas ra berkata : "Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian pada
shalat hadhar (tidak safar) empat rakaat, dan di dalam safar dua rakaat (4 rakaat) bagi
shalat hadhar (tidak safar)". (HR Muslim)
Malikiyah berpendapat atas pendapat yang paling masyhur dan paling rajih; bahwa
qashar itu sunah muakkad karena perbuatan Nabi, karena Nabi di dalam safar-safarnya
selalu tidak menyempurnakan shalat atau mengqashar.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa qashar itu rukhsoh atas pilihan, artinya
boleh menyempurnakan dan mengqashar, tapi mengqashar lebih baik secara mutlaq
menurut Hanabilah dan syafi’iyah atas pendapat yang masyhur lebih baik
menyempurnakan apabila terdapat pada dirinya kesusahan (tidak tenang) apabila
qasharnya. (Fiqh Islam: 1339-1340)
Hikmah Disyariatkan Qashar.
Hikmah adanya shalat qashar bagi musafir adalah untuk menolak atau menghindari
kesulitan yang terkadang dihadapi musafir di perjalanan. Dan sebab disyariatkannya
qashar adalah karena dalam perjalanan yang panjang menurut Jumhur selain Hanafiyah.
Jarak Qashar
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar dan menjama' jika
telah memenuhi jarak tertentu.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana'i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik
tentang jarak shalat Qashar ? "Anas menjawab:" Adalah Rasulullah SAW jika keluar
menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat" (HR Muslim)
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda:" Wahai penduduk Mekkah
janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan" (HR atTabrani, ad-Daruqutni, hadis mauquf)
"Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:" Qashar shalat dalam jarak perjalanan
sehari semalam"
"Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa pada
perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh".
Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16
farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang
dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadis Ibnu Syaibah
menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah
perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya
adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini
mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi'i dan imam Ahmad serta pengikut
ketiga imam tadi.
Kesimpulan: Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama' shalat, menurut
jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16
farsakh atau sekitar 88, 656 km. (Konsultasi Stariah @syariahonline)
Lama Waktu Qashar
Jika seseorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana
maka dia dapat melakukan qashar dan jama' shalat. Menurut pendapat imam Malik dan
Asy-Syafi'i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah
melewati 4 hari ia harus melakukan shalat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak
akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Berkata Ibnul Qoyyim:" Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat".
Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari:" Rasulullah SAW melaksanakan shalat
di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua
rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna".
Download