PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE DI TENGAH PANDEMI COVID-19 1.1 Latar Belakang Covid-19 merupakan salah satu ancaman besar di tahun ini yang melumpuhkan hampir seluruh perekonomian masyarakat mulai dari UMKM sampai dengan perusahaan besar. Hal ini dikarenakan Covid-19 telah menyebar ke seluruh dunia sehingga dirasakan oleh semua negara. Adanya berbagai kebijakan pembatasan juga mempengaruhi pertumbuhan perekonomian yang semakin terhambat. Di tengah pandemi Covid-19 ternyata membawa dampak besar bagi aktivitas e-commerce. Perusahaan Criteo S.A telah mengumumkan hasil penelitian mereka mengenai analisis dampak Covid-19 terhadap industri e-commerce. Data menunjukkan bahwa sekitar setengah dari semua negara di dunia mengalami peningkatan dalam angka penjualan online. Ini kemungkinan berasal dari pergeseran perilaku pembeli karena konsumen melakukan social distancing. Peningkatan penjualan mencapai puncaknya pada minggu ketiga untuk 2018 dan 2019. Pada tahun lalu, Malaysia dan Indonesia khususnya, melihat traksi yang lebih besar dengan kenaikan 106%, dibandingkan dengan peningkatan 90% pada 2018. Khusus untuk Indonesia, trafik harian yang dicatat dalam indeks dan penjualan untuk ritel online mengalami peningkatan sebesar 115% pada 2019 dibandingkan dengan 2018, yang mencatat peningkatan sebesar 44%. Pembeli juga lebih aktif seminggu sebelum Ramadan dan minggu pertama Ramadan pada 2019, bila dibandingkan dengan 2018. Ini menunjukkan perubahan dalam perilaku konsumen, peningkatan pembelian di menit terakhir tepat sebelum dimulainya bulan ibadah ini. Mengingat lonjakan transaksi online tahun ini yang diproyeksikan karena adanya Covid-19, pemain e-commerce harus bersiap untuk lonjakan penjualan yang belum pernah terjadi sebelumnya1. 1 Dinda Ayu Widiastuti, 2020, Covid-19 Berdampak Signifikan Bagi E-commorce tersedia pada situs https://www.tek.id/tek/covid-19-berdampak-signifikan-bagi-ecommerce-b1ZLw9hAf diakses pada tanggal 7 Juni 2020. Penjualan ritel online di Asia Tenggara juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi tahun ini dibandingkan tahun 2019, dengan peningkatan penjualan tertinggi terlihat pada minggu 23 Maret sebesar 82%. Sementara jumlah ini diperkirakan akan meningkat dengan momen Ramadan yang akan datang, pembeli akan lebih memprioritaskan kebutuhan untuk ekonomi social distancing, lebih dari sekedar kegiatan keagamaan2. Pertumbuhan e-commerce yang tinggi membuat Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi pasar besar dalam sektor perekonomian. Pertumbuhan pemesanan e-commerce yang semakin pesan terjadi pada bulan Maret 2020 tepatnya setelah wabah Covid-19 menyebar di Indonesia. Peningkatan ecommerce terjadi karena masyarakat lebih memilih membeli kebutuhannya secara online, hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yaitu bekerja dari rumah atau work from home (WFH) serta perpanjangan masa belajar dirumah3. Dalam aktivitas e-commerce tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Hal ini dikarenakan dalam transaksi para konsumen dan pelaku usaha tidak bertatap muka secara langsung dan juga barang yang ditawarkan hanya berupa sebuah foto/video dan sedikit deskripsi sehingga tidak secara detail mengetahui bagaimana barang tersebut. Tidak jarang bahwa barang yang sampai ke konsumen berbeda dengan detail pada gambar/video dan dekripsi yang tersedia sehingga konsumen merasa dirugikan dalam hal ini. Selain barang yang datang tidak sesuai dengan ekspektasi, permasalahan yang muncul adalah ketika konsumen yang hendak membeli barang dan sudah membayarkan sejumlah uang agar barang yang dibeli dapat dikirimkan ke tangan konsumen namun barang yang diinginkan tidak dikirim dan uang yang telah dibayarkan konsumen tidak kembali serta pelaku usahanya menghilang. Hal ini termasuk ke dalam penipuan dan sangat merugikan konsumen apalagi konsumen tidak tahu bagaimana cara untuk mencari pelaku usaha. 2 Ibid. Tiara Safitri, 2020, Dampak Wabah Virus Corna terhadap e-commerce dan Industri Kurir tersedia pada situs https://supplychainindonesia.com/dampak-wabah-virus-corona-terhadap-ecommerce-dan-industri-kurir/ diakses pada tanggal 7 Juni 2020. 3 Regulasi mengenai perlindungan konsumen telah ada semenjak tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam regulasi tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta hal-hal apa saja yang dilarang oleh undangundang untuk dilakukan pelaku usaha. Namun masih banyak konsumen yang belum paham tentang hak serta perlindungan hukum bagi mereka sehingga ketika dirugikan oleh pelaku usaha, konsumen tidak tahu langkah-langkah yang harus ditempuh untuk pemenuhan haknya sebagai konsumen salah satunya adalah berhak menuntut ganti kerugian terhadap pelaku usaha yang telah membuat kerugian. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan atas dasar pengetahuan konsumen akan haknya sehingga dapat memilih penyelesaian sengketa apa yang digunakan untuk menuntut kerugian. Saat ini, pemberlakuan pembatasan akibat pandemi Covid-19 mempersulit penyelesaian sengketa sehingga diperlukan suatu kepastian hukum mengenai penyelesaian sengketa di tengah pandemi Covid-19. 1.2 Rumusan Masalah Ditengah maraknya penyebaran Covid-19 ternyata berdampak terhadap kenaikan transaksi e-commerce yang dilakukan, namun e-commerce tidak sepenuhnya menjamin keamanan bagi konsumen karena maraknya kasus penipuan sehingga diperlukan penyelesaian sengketa e-commerce, lalu bagaimana proses penyelesaian sengketa ditengah pandemi Covid-19 ? 1.3 Kerangka Konseptual 1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat 2 (dua) jenis penyelesaian sengketa konsumen diantaranya : a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Sengketa konsumen yang diselesaikan di Pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum. UUPerlindungan Konsumen (UU PK) mengatur pemilihan penyelesaian sengketa baik diluar maupun di pengadilan tergantung dari kesepakatan para pihak. Pada umumnya, proses beracara sengketa perlindungan konsumen di pengadilan dapat berupa gugatan perorangan biasa, gugatan sederhana, class action atau gugatan yang diajukan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan pemerintah/instansi terkait. Jenis gugatan ini tergantung pada siapa yang dirugikan, jumlah orang yang dirugikan dan besarnya kerugian yang ditimbulkan. b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan UU Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan kepada Badan Penyelesaian menyelesaikan Sengketa sengketa Konsumen konsumen di (BPSK) luar untuk pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dilakukan dengan cara mediasi, arbitrase atau konsiliasi. 2. Proses Penyelesaian Sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Tahap penyelesaian sengketa oleh BPSK diatur oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, yaitu: a. Konsumen melakukan pengaduan kepada BPSK baik secara tertulis atau lisan tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; b. Terkait pengaduan ini, BPSK melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; c. Penyelesaian sengketa konsumen wajib diselesaikan dalam waktu 21 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Sekretariat BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK dilakukan melalui persidangan dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Sebelum dimulai konsiliasi ataupun mediasi, BPSK membentuk majelis yang berjumlah ganjil sedikitnya 3 orang ditambah 1 orang panitera. Majelis ini nantinya akan menyelesaikan sengketa konsumen melalui konsiliasi maupun mediasi tersebut. Putusan arbitrase Majelis BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan serta dapat memuat sanksi administratif. Putusan BPSK bersifat final dan mengikat. Apabila para pihak menolak putusan BPSK, maka: a. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut; b. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan yang diajukan, paling lama 21 hari sejak diterimanya keberatan; c. Pelaku usaha yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 14 hari. Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusannya paling lambat 30 hari sejak menerima permohonan kasasi atas keberatan tersebut. 1.4 Pembahasan Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat dipenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya. Perkembangan teknologi juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat yang dulunya hanya dapat melakukan transaksi jual beli secara langsung sekarang sudah bisa melakukan transaksi secara tidak langsung yaitu melalui online. transaksi jual beli online biasanya disebut transaksi elektronik (e-commerce). Adanya fenomena Covid-19 yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat terutama dalam hal perekonomian. Banyak pekerja yang dirumahkan akibat perusahaan merugi dan tidak bisa menggaji karyawannya. Banyak UMKM kehilangan konsumennya sehingga mengalami kerugian yang sangat banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan e-commerce. Selama pandemi Covid-19, e-commerce mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Perubahan gaya hidup masyarakat akibat adanya pembatasan untuk bepergian dan tetap tinggal dirumah menyebabkan masyarakat lebih memilih berbelanja kebutuhan melalui platform digital. Meningkatnya aktivitas masyarakat pada e-commerce tentunya meningkatkan resiko terjadinya kasuskasus e-commerce yang merugikan masyarakat. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Selain itu juga UU Perlindungan Konsumen mengatur ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen. Pasal 45 Ayat (1) memberikan pilihan kepada penggugat untuk menyelesaikan melalui lembaga yang bertugas dalam hal ini BPSK atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan). Penyelesaian, melalui lembaga litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud4. Meskipun demikian pengadilan juga tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui kesepakatan. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa menjadi optimal.Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hakhak konsumen. Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan kurang berperannya BPSK selama ini. 4 Aries Kurniawan, 2008, Peranan BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas, hlm 3. Eksistensi BPSK diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal 49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat,sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja ( Pasal 55), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan (Pasal 56 dan Pasal 58). Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52 UUPK antara lain, Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi, arbitrase dan atau konsiliasi. Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut,Menteri Perindustrian dan perdagangan RI telah mengeluarkan SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang5. Permasalahan yang terjadi adalah penyelesaian sengketa yang lambat dan rumit merugikan para pencari keadilan dalam segala aspek, terlebih apabila hal ini menyangkut dunia bisnis maka akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi telah dibentuk sebuah regulasi khususnya transaksi elektronik yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada dasarnya ecommerce akan melahirkan dokumen elektronik yang memiliki beberapa unsur diantaranya informasi elektronik, berbentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal dapat dilihat dan ditampilkan melalui komputer atau 5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Graika, Jakarta : hlm 23. sistem elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, poto dan sejenisnya. e-commerce merupakan transaksi bisnis dapat dilakukan secara non face dan no sign. Model penyelesaian sengketa yang terlalu banyak memakan waktu biaya dan formalitas-formalitas pada hakikatnya merupakan suatu penyelesaian sengketa yang tidak diharapkan dalam e-commerce. Terjadinya e-commerce di dunia maya dimungkinkan terjadi sengketa seperti halnya sengketa yang terjadi dalam suatu hubungan konvensional. Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan, maka frekuensi terjadinya semakin tinggi. Hal ini berati banyak sengketa yang harus diselesaikan. Sengketa dapat berupa wansprestasi atau perbuatan melawan hukum6. Penyelesaian sengketa sendiri pada dasarnya dapat dikualifikasikan sengketa secara damai dan adversarial. Penyelesaian sengketa damai lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa musyawarah mufakat, sementara penyelesaian sengketa secara adversial lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam sengketa7. Dalam penyelesaian sengketa secara damai tidak ada pihak yang mengambil keputusan bagi penyelesaian sengketa. Keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa secara damai adalah dalam rangka mengusahakan agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketa mereka. Sengketa e-commerce yang cenderung terjadi berkaitan dengan masalah harga, kualitas barang dan jangka waktu pengiriman. Produk yang menjadi obyek sengketa apabila harganya relatif kecil maka para pihak cenderung tidak memerlukan pihak ketiga mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek sengketa. Penyelesaian sengketa secara advesarial biasanya diselesaikan melalui suatu lembaga penyelesaian sengketa. Ada dua jenis penyelesaiannya yaitu melalui pengadilan atau melalui arbitrase8. 6 Rahadi Wasi Bintoro, Tuntutan Hak dalam Persidangan Perkara Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10 No. 2 Mei 2010, hlm 156. 7 Rochani Urip Salami, Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Sengketa Transaksi Elektronik (E-commerce), Jurnal Dinamika Hukum, Volume 13 No.1 Januari 2013. Hlm 126. 8 Ibid, hlm 127. Penyelesaian melalui arbitrase menghasilkan putusan. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang arbitrase terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa. Keuntungan penyelesaian secara arbitrase adalah penyelesaian sengketa bersifat fleksibel dan konsensual. Dalam konteks ini arbitrase tidak formal dan kaku. Proses penyelesaiannya dapat dirahasiakan dimana selain para pihak yang bersengketa dan para artbiter tidak boleh diikuti pihak ketiga. Keuntungan lainnya adalah putusan yang dibuat bersifat netral dan dilakukan oleh orang yang tahu permasalahnnya. Dalam arbitrase para arbiter tidak harus mereka yang menyandang gelar sarjana hukum. Para arbiter dapat berasal dari mereka yang ahli dalam suatu bidang tertentu9. Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan susahnya penyelesaian sengketa karena tidak bisa bertatap muka, penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara ODR (Online Dispute Resolution). ODR merupakan alternatif penyelesaian sengketa bisnis diluar pengedilan yang menggunakan internet sebagai media untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Prosesnya sama dengan arbitrase hanya saja tempat dan media penyelesaian yang digunakan. Arbitrase online bekerja seperti persidangan dimana arbitrator bertindak sebagai hakim yang didahului dengan mendengarkan keterangan kedua belah pihak. Putusan yang dihasilkan ODR dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat tergantung kesepakatan kedua belah pihak10. Penyelesaian sengketa secara ODR juga dapat dilaksanakan meskipun tidak sedang pandemi untuk mempersingkat waktu dan juga biaya yang dibutuhkan. Ini bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang direkomendasikan. 1.5 Penutup Peningkatan daya konsumsi masyarakat terhadap platform online di tengah pandemi Covid-19 memunculkan berbagai resiko yang terjadi salah satunya adalah kerugian konsumen yang harus diselesaikan melalui penyelesaian sengketa namun tidak bisa dilakukan karena adanya pembatasan oleh pemerintah sehingga penyelesaian sengketa konsumen hanya dapat dilakukan 9 Ibid, hlm 128. Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 20 No. 2 Juni 2008 hlm 232. 10 secara online yaitu Online Dispute Resolution (ODR) yang hampir sama dengan arbitrase hanya berbeda tempat dan medianya saja.