Jual-beli 1. Pengertian • secara bahasa Bai’ yang artinya menjual • Jual beli menurut bahasa adalah memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan tertentu) • Sayyid Sabiq: Yang dimaksud jual beli menurut syari’ah, ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan oleh syara’ • Muhammad bin Ismail al-Kahlani: Sesuatu pemilikan harta dengan harta, sesuai dengan syar’i dan saling rela. • Syaikh Abi Yahya Zakaria al-Anshari: ‚Tukar menukar harta dengan harta yang lain dengan cara tertentu. 2. Dasar Hukum Jual Beli • Al-Qur’an: ۚ الربَا َّ • َوأ َ َح َّل ِّ َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم (Al-Baqarah ayat 275) ارة ً َع ْن ِّ َ• يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِّب ْالب َ اط ِّل ِّإ ََّل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِّ َج َّللا َكانَ بِّ ُك ْم َر ِّحي ًما ٍ ت َ َر َ ُاض ِّم ْن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف َ َّ س ُك ْم ۚ ِّإ َّن (An-Nisa’ ayat 29): Hai orang-orang yang beriman, • janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. • Hadis: يا:• عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم سئل أي الكسب أطيب؟ قال .رواه البزار وصححه الحاكم، عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور: قال • Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya:”Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang mabrur. (Hadits riwayat alBazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim rahimahumallah) • :الكسبmencari rizki dan mendapatkannya dengan berusaha dan kerja keras. : أطيبamalan paling afdhol/utama, paling banyak barokahnya dan paling halal untuk dimakan. : بيعjual beli, yaitu tukar menukar harta (barang) berdasarkan saling ridha (menerima) dengan tujuan kepemilikan. : مبرورsesuatu yang tidak tercampuri dengan dosa, dusta, penipuan, sumpah palsu dan lain-lain, akan tetapi yang terkumpul di dalamnya (sesuatu yang mabrur) adalah kejujuran, ketulusan dan keadilan. Ibnu Qoyyim rahimahullah:”Al-Birru (mabrur) adalah suatu kalimat yang mencakup seluruh macam-macam kebaikan, dan kesempurnaan yang diminta dari seorang hamba, dan lawannya adalah al-Itsmu (dosa) yaitu kalimat yang mencakup segala macam keburukan, kehinaan dan aib. • Ijma’: para ulama’ telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain. bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya tersebut, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 2. Rukun jual-beli 1. Shighat (pernyataan), yaitu ijab dan qabul (serah terima) antara penjual dan pembeli dengan lafadz yang jelas (sarih) bukan secara sindiran (kinayah) yang harus membutuhkan tafsiran sehingga akan menimbulkan perbedaan. Syarat: a. Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad. b. Antara ijab dan qabul harus sesuai dan tidak diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul. c. Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada di tempat yang sama jika kedua pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah diketahui oleh keduanya. Bersambungnya akad dapat diketahui dengan adanya sikap saling mengetahui di antara kedua pihak yang melangsungkan akad, seperti kehadiran keduanya di tempat berbeda, tetapi dimaklumi oleh keduanya. 2. Aqidayn (yang membuat perjanjian), yaitu penjual dan pembeli, dengan syarat keduanya harus sudah baligh dan berakal sehingga mengerti benar tentang hakekat barang yang dijual. Syarat: a. Aqil (berakal). Karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang akan sanggup melakukan transaksi jual beli secara sempurna. Karena itu anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa kontrol pihak walinya, karena akan menimbulkan berbagai kesulitan dan akibat-akibat buruk, misalnya penipuan dan sebagainya. b. Tamyiz (dapat membedakan). Sebagai pertanda kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang buruk. c. Mukhtar (bebas atau kuasa memilih). Yaitu bebas melakukan transaksi jual beli, lepas dari paksaan dan tekanan, 3. Ma’qud ‘alaih, yaitu barang yang dijualbelikan. Syaratnya harus barang yang jelas dan tidak semu. Barang itu harus ada manfaatnya, karena Allah mengharamkan jual beli khamr, babi dan lain-lain yang masuk dalam hukumnya. Syarat: a. Suci b. Bermanfaat c. Milik penjual d. Bisa diserahkan, e. Diketahui keadaannya. 4. Ada nilai tukar pengganti barang (harga barang). Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Dan pada zaman sekarang ini umumnya menggunakan mata uang sebagai alat nilai tukar barang. Syarat harga: a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. b. Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (hutang), maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya. c. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan khamr, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’. 3. Jual beli yang dilarang di dalam Islam 1. Menjual kepada seorang yang masih menawar penjualan orang lainnya, atau membeli sesuatu yang masih ditawar orang lainnya. Misalnya, ‚tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal‛. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain. 2. Membeli dengan tawaran harga yang sangat tinggi, tetapi sebetulnya dia tidak menginginkan benda tersebut, melainkan hanya bertujuan supaya orang lain tidak berani membelinya. 3. Membeli sesuatu sewaktu harganya sedang naik dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, kemudian barang tersebut disimpan dan kemudian dijual setelah harganya melambung tinggi. 5. Mencegat atau menghadang orang-orang yang datang dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar. 6. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar. 7. Jual beli secara ‘arbun, yaitu membeli barang dengan membayar sejumlah harga lebih dahulu, sendirian, sebagai uang muka. Kalau tidak jadi diteruskan pembelian, maka uang itu hilang, dihibahkan kepada penjual. 8. Jual beli secara najasy (propaganda palsu), yaitu menaikkan harga bukan karena tuntutan semestinya, melainkan hanya semata-mata untuk mengelabui orang lain (agar mau membeli dengan harga tersebut). 9. Menjual sesuatu yang haram adalah haram. Misalnya jual beli babi, khamr, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, juga patung, lambang salib, berhala dan sejenisnya. Pembolehan dalam menjual dan memperdagangkannya berarti mendukung praktek maksiat, merangsang orang untuk melakukannya, atau mempermudah orang untuk melakukannya, sekaligus mendekatkan mereka kepadanya. 10. Jual beli barang yang masih belum jelas kualitasnya, misalnya jual beli sistem ijon, jual beli janin binatang, dll. 5. Hak Khiyar • Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan • artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya” • Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. • Sayyid Sabiq: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya • khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. • Tujuan khiyar adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju. • Dasar hukum: hadis yang diriwaytkan oleh AlBukhari dari Abdullah bin Al-Harits: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari). 6. Macam khiyar 1. Khiyar Majelis – adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. – Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. – Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal: 1. Keduanya memilih akan terusnya akad, 2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli. 2. Khiyar Syarat – khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya. – suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya. 3. Khiyar Aib – Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang. – khiyar ‘aib bisa dijalankan dengan syarat: a. b. c. d. e. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika „aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli. Pembeli tidak mengetahui adanya „aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembelimengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya. Tidak ada persyaratan bara‟ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad. 4. Khiyar Ru‟yah Khiyar ru‟yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya. Syarat: a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak. b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi. c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah. Jual Beli yang Terlarang 1. Menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga lebih murah.” si pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan harga lebih tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan pembeli pertama. bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan pembeli pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang. Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli kedua karena ia lebih terpandang. 2. Jual beli najasy adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan. jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad. 3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban Jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya. 4. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman) bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”. syarat terlarang: a. b. c. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah. 5. Menimbun Barang Imam An-Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai. 6. Jual beli dengan penipuan Contoh bentuk jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan ‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru, padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.