Syaikh Luqman tentang Khusuk menerangkan : Pertama-tama harus kita ketahui bahwa Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk khusyu' dalam shalat. Dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak ada satu kalimat pun yang berbentuk fi'il ‘amr (kalimat perintah) tentang khusyu'. Kenapa ? Karena Allah Maha Tahu bahwa manusia memang mengalami kesulitan untuk bisa khusyu' sekalipun dia itu seorang ulama atau kiai. Memang belum ada pakar tentang khusyu' dalam sejarah intelektual Islam yang benar-benar representatif. Bahasa Al-Qur'an menyebut orang yang khusyu' dengan sebutan khâsyi’ûn sebagaimana dalam firman Allah : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” (Q.S. al-Mu'minun [23] : 1-2). Bentuk kata khâsyi’ûn, adalah bentuk fa’il, bukan kata perintah tetapi semacam penghargaan luar biasa bahwa Anda termasuk orang-orang khusyu'. Karena itu, Anda sebagai fa’il, atau pelaku khusyu'. Cukup menarik apa yang pernah diungkapkan oleh Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari, pengarang kitab al-Hikâm. Beliau mengatakan : “Jika Anda ingin shalat khusyu' lalu Anda berusaha sekuat tenaga untuk khusyu', Anda malah tidak bisa khusyu’.” Inilah bukti jika seseorang yang sedang shalat dikhusyu'-khusyu'kan, apalagi dadanya ditekan-tekan untuk khusyu' akhirnya malah tidak bisa khusyu'. Kenapa ? Karena keinginan Anda untuk khusyu' itu merupakan bagian dari hawa nafsu. Hawa nafsu untuk ingin khusyu', oleh sebab itu Anda malah terhalang dari khusyu' itu sendiri. Lalu bagaimana caranya khusyu' ? Beliau melanjutkan : “Caranya khusyu', yaitu ketika Anda menyadari bahwa shalat Anda tidak khusyu' itu adalah takdir dari Allah. Terimalah takdir Allah saat itu bahwa Anda tidak atau belum ditakdirkan khusyu.” “Ya Allah, aku terima bahwa saat ini aku belum bisa khusyu'." Kelak Anda dihantar khusyu' oleh Allah. Jadi khusyu' itu lebih sebagai al-ahwâl itu sendiri. Apakah al-ahwâl itu ? Jika disebut : La haulâ walâ quwwata illâ billâh, artinya : “Tidak ada kekuatan secara batin dan kekuatan lahir kecuali bersama Allah." Karena dari kalimat haulun ini berkembang jamaknya menjadi ahwâl. Ini adalah kondisi ruhaniah, ketika kita khusyu’, masuklah di dalam ahwâl al-qalb, karena itu merupakan gerak-gerik hati kita. Khusyu' itu tentu bersemayam di dalam hati, bukan dalam tingkah laku. Jika Anda berjalan dengan menekuk leher Anda, menunduk, itu tidak bisa dibilang bahwa Anda orang yang khusyu'. Dulu ada seorang pemuda yang seperti itu, lalu dibentak oleh Sayyidina Umar : “Hai fulan, khusyu' itu bukan di situ” (khusyu' itu di dada Anda). Jadi, khusyu' pada akhirnya membutuhkan elemen-elemen yang mendukung. Dukungan khusyu' itu antara lain al-khudhû’. Artinya ketundukan hati kepada Allah. Orang khusyu' juga harus mempunyai perasaan at-tawakkul (kepasrahan). Artinya ketika kita shalat, dzikir menghadap Allah, mestinya hati kita juga harus pasrah menghadap kepada Allah. Jiwa Anda, bagaikan sajadah yang Anda gelar. “Ya Allah, inilah saya, apa adanya, kupasrahkan lahir batin saya kepada-Mu ...” Anda, jangan menghadap Allah, seperti orang yang mengajukan proposal : "Ya Allah, sudah sekian tahun saya sujud, dzikir, wirid, tahajud, maka saya mohon dipenuhi permintaan saya ...” Pada saat itu seseorang merasa menutupi kelemahannya. Dia melebih-lebihkan dirinya, padahal Allah itu butuh ash-shidqu (kejujuran hati), bukan kejujuran mulut. Allah Mahasenang kepada orang-orang yang jujur di hadapan-Nya. "Ya Allah, saya ini lebih banyak jeleknya daripada baiknya ..." Tuhan, Allah lebih senang kepada orang seperti itu, daripada yang mengatakan : “Ya Allah, saya sudah melakukan ini dan itu..., namun do'a saya belum juga dikabulkan...” Lebih baik bicara apa adanya kepada Allah. Itulah antara lain usaha khusyu'. Selanjutnya, dalam Al-Qur'an disebutkan : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingatAllah.” (Q.S. al-Hadid [57] : 10)