Digital Indonesia, Bagaikan Bangunan Tanpa Dinding Adie Marzuki Produk informatika tidak dibuat berdasarkan adanya permintaan pasar. Pasar tercipta melalui adanya invensi yang menjadi inovasi teknologi. Inovasi tersebut terjadi di setiap sektor yang semakin lama semakin bergantung kepada kecanggihan produk-produk informatika, yang lazim di-branding ekonomi digital. Baik di sektor agraris, maritim, keuangan, maupun kesehatan serta Pendidikan. Dengan memahami pertumbuhan sektor yang di-drive oleh inovasi teknologi tersebut, maka inisiatif pembuatan kebijakan harus lebih pro-aktif dan antisipatif, ketimbang reaktif. Wacana omnibus law yang semakin mengkristal belakangan ini seyogyanya juga mempertimbangkan isu ini. Luasnya sebaran produk-produk teknologi digital membuat industri semakin menumpukan pertumbuhannya kepada perkembangan teknologi tersebut. Hal ini membuat posisi sektor informatika, dengan teknologi digital didalamnya, menjadi semakin strategis dalam konteks pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Sebagai sektor strategis, maka pengamanan dunia digital harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Memprioritaskan anggaran kepada sektor ini adalah investasi yang akan mendatangkan keuntungan baik jangka pendek maupun jangka panjang, sekaligus mengantisipasi potensi kerugian yang akan terjadi, jika tidak dilakukan. Pesatnya pertumbuhan jumlah masyarakat digital di Indonesia telah merambah ke hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Gaya hidup (Lifestyle), ekonomi (Commerce), dan kewarganegaraan (Citizenship), merupakan tiga sektor kehidupan yang terdigitalisasi secara signifikan. Sama seperti revolusi industri, teknologi digital akan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari McKinsey, teknologi disruptif, atau yang diterjemahkan sebagai teknologi inovatif yang terkait dengan internet seluler, big data, teknologi awan (cloud technology), dan sebagainya, akan diprediksi mampu berkontribusi sebesar 4 hingga 12 persen terhadap PDB ASEAN di 2030. Namun sementara dunia semakin intensif dalam keamanan digital, Indonesia masih belum masuk ke permasalahan keamanan digital secara serius. Arus internet yang masuk ke Indonesia dan produk-produk digital yang dibawanya belum benar-benar dimonitor secara memadai, apalagi dikontrol oleh Negara. Sudah sangat banyak hasil riset yang memperlihatkan bahwa dari hari ke hari, jumlah serangan dan potensi ancaman di dunia maya secara kualitas maupun kuantitas meningkat secara signifikan, seiring dengan berkembangnya inovasi teknologi. Serangan dan ancaman tersebut berdampak pada perekonomian nasional secara langsung. Data dari Microsoft Security Intelligence Report 2018 menyebutkan bahwa PDB dunia hilang sebanyak 1% akibat serangan digital global. Gagal untuk memitigasi ancaman terjadinya serangan ini dapat berakibat serius dan fatal bagi Negara atau masyarakat di dalamnya. Selain itu, kebocoran data di Indonesia juga marak terjadi, seperti terlihat pada data yang diolah Lokadata dari Konsultan keamanan digital Gemalto dalam Breach Level Index. Tercatat ada 234,49 juta data pengguna industri ritel online maupun offline diretas oleh pihak luar sepanjang 2018 (malicious outsider). Jumlah penyalahgunaan data di sektor ritel pada 2018 yakni 124 peristiwa atau sekitar 8,2 persen dari kejadian di seluruh sektor industri. Sektor ritel menempati posisi keempat setelah kesehatan 26,4 %, keuangan atau finansial 10,8%, dan pemerintahan 8,97%. Sumber kebocoran data di seluruh sektor tersebut tersebut berasal dari peretasan pihak luar (malicious outsider) dan pihak dalam (malicious insider), kebocoran data yang tak disengaja akibat sistem tak aman (accidental loss), hacktivist, gawai atau ponsel yang raib, perangkat pemeras (ransomware), dan beragam sumber yang tidak dapat diketahui. Sementara di sisi lain, perekonomian Indonesia saat ini banyak dipengaruhi perkembangan dunia digital, terutama ritel atau e-commerce. Dapat dikatan, jumlah 171 juta lebih pengguna internet di Indonesia memberikan kontribusi baru yang signifikan terhadap PDB. Bank Indonesia menyebutkan bahwa di tahun 2019 yang lalu, jumlah transaksi e-commerce per bulannya mencapai Rp.13 triliun. Bahkan nilai pasar e-commerce Indonesia dinilai akan mencapai sekitar Rp.910 triliun pada 2022 (proyeksi McKinsey & Co). Maka insiden kebocoran data seperti disebutkan diatas menjadi ancaman yang serius. Selain dari kondisi yang disebutkan diatas, terdapat segmen yang juga menjadi perlu menjadi perhatian di ranah digital Indonesia yaitu pengguna media sosial. Banyaknya pengguna media sosial di Indonesia yang aktif adalah fenomena yang membuat Indonesia semakin signifikan dalam dunia digital global. Tercatat Average Revenue Per User (ARPU) dari Youtube sebagai media sosial terbanyak digunakan di Indonesia adalah $8.33 atau berkisar Rp.116.620,- per pengguna. Sehingga jika dihitung jumlah pengguna Youtube di Indonesia yang mencapai 80% dari total pengguna internet di Indonesia, maka 147 juta pengguna Youtube di Indonesia menghasilkan pemasukan bagi Youtube sekitar 17,1 Trilyun rupiah. Sedangkan Facebook sebagai pemilik dari 3 media sosial terbanyak digunakan di Indonesia, yaitu Facebook (81% total pengguna internet di Indonesia), Whatsapp (83%), Instagram (80%) mencatat ARPU sebesar $6,18 atau Rp.86.520,- . Angka yang jika dikalikan dengan jumlah pengguna ketiga pengguna media sosial tersebut menghasilkan 12,7 Trilyun rupiah bagi Facebook. Dengan mempertimbangkan bahwa dunia maya di Indonesia dihuni oleh 171.176.716 penduduk Indonesia atau 65% dari total populasi (Data APJII 2018), maka membangun dan mengamankan dunia digital nasional adalah keniscayaan. Dalam dunia digital, tidak dikenal teritori atau batas wilayah. Berbeda dengan produk berupa barang, yang harus melewati cukai jika akan memasuki suatu negara dari negara lain, produk digital dapat dengan mudah masuk ke suatu negara dari negara lain hanya dengan melekatkan certificate authority (CA) dari suatu negara dan melewati international internet exchange di negara tersebut. Di dalam international internet exchange tersebut, produk digital yang telah diverifikasi CA-nya dapat dikontrol oleh negara tersebut, apakah akan ditolak atau diterima. Permasalahannya adalah, Indonesia belum memiliki international internet exchange yang dikelola oleh negara. Arus trafik internet yang masuk ke Indonesia dapat dengan mudah mudah sampai ke setiap pengguna internet di Indonesia tanpa ada kemampuan negara untuk mengamankan. Sedangkan data APJII menyebutkan bahwa trafik internet dari luar Indonesia mencapai lebih dari 90% dari total trafik internet di Indonesia, sehingga kondisi tersebut membuat 65% penduduk Indonesia rentan terpapar produk digital yang membahayakan. Tidak adanya hukum atau aturan yang secara khusus mengatur mengenai ancaman serta kerugian ekonomi di dunia maya, serta belum tersedianya perangkat keamanan yang dibutuhkan membuat Indonesia seperti rumah tanpa dinding, yang menyebabkan 171 juta penghuninya dapat dengan mudah terekspos dan terganggu keamanannya tanpa negara dapat melindunginya. Sebetulnya Indonesia telah memiliki Certificate Authority Indonesia atau CA-ID. Sejumlah rencana untuk membangun international internet exchange (IIX) di berbagai daerah telah dibuat. Hanya dibutuhkan political will yang kuat untuk dapat melakukan negosiasi dengan negara sumber produk digital berasal demi mewajibkan CA-ID dilekatkan di setiap produk yang masuk. Kemudian memprioritaskan anggaran untuk membangun IIX di setiap propinsi, dan menerapkan sistem monitor yang memadai untuk implementasi CA-ID di setiap produk digital yang masuk ke Indonesia. Pada saat itulah Indonesia dapat menegakkan kedaulatan digital. #Ditulis dalam rangka memperingati hari lahir Partai Sosialis Indonesia 12 Februari 2020.