Uploaded by User5882

307589623-Makalah-Materi-Platyhelminthes

advertisement
2.2 Plathyhelmintes.
Platyhelmintes merupakan cacing yang mempunyai simetri bilateral dan
tubuhnya pipih secara dorsoventral (Kastawi et. all., 2003). Platyhelminthes
berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes = cacing. Jadi
berarti cacing bertubuh pipih. Filum Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000
species, terbagi menjadi tiga kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas.
Filum Platyhelminthes dibagi menjadi 3 kelas yaitu: Tubellaria, Trematoda dan
Cestoda (Sutarno, 2009). Planaria dan kerabatnya dikelompokkan sebagai kelas
Turbellaria. Cacing hati adalah parasit eksternal atau internal dari Kelas
Trematoda. Cacing pita adalah parasit internal dari kelas Cestoda. Umumnya,
golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam
tubuh organisme lain. Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut,
dan tempat-tempat yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di
dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh
Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang
2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang mencapai 60 cm),
Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
Gambar 1 : Bagian Turbellaria (sumber :www.google.com/platyhelmites)
2.2.1 Morfologi dan Anatomi
Platyhelminthes memiliki bentuk tubuh pipih memanjang, seperti pita, dan
sperti daun. Panjang tubuhnya berfariasi ada yang beberapa millimeter dan ada
yang sampai belasan meter. Platyhelmintes tidak memiliki rongga tubuh (selom)
sehingga disebut hewan aselomata. Tubuh pipih dorsoventral, tidak berbukubuku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung anterior dan posterior.
Lapisan tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik) yaitu ektoderm yang akan
berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi otot – otot
dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi alat
pencernaan makanan. Walaupun cacing pipih mengalami perkembangan
triploblastik, mereka merupakan aselomata (hewan yang tidak memiliki rongga
tubuh) (Campbell, 2008).
Gambar 2 : Lapisan Tubuh Platyhelmintes (Sumber : www.schoolbag.info)
System ekresi terdiri atas satu atau sepasang protonefridia dengan sel api.
System syaraf pada hewan ini masih primitive dan disebut dengan system tangga
tali. Organ sensori umum dijumpai pada turbellaria, tetapi pada hewan parasitt
organ tersebut mereduksi. Reseptor kimia dan peraba pada umumnya berbentuk
lubang atau lekukan yang bersilia. Platyhelmintes bersifat hemafrodit dan system
reproduksinya berkembang serta kompleks. Menurut Kastawi (2003 : 117),
reproduksi aseksual dengan cara memotong tubuh dialami oleh turbellaria pada air
tawar. Secara seksual terjadi dengan pembuahan, pembuahan silang sering terjadi
pada trematode dan pembuahan sendiri sering terjadi pada cestoda. Fertilsasi
terjadi secara internal dan siklus hidupnya melibatkan banyak inang.
2.2.2 Fisiologi
2.2.2.1 Sistem Gerak
Cacing yang hidup bebas dapat bergerak aktif. Planaria meskipun hidup di
air tidak bergerak dengan cara berenang, tetapi bergerak dengan cara meluncur
dan merayap. Gerakan meluncur terjadi akibat adanya gerakan silia pada bagian
ventral tubuh serta lender yang disekresikan oleh kalenjar lender yang terletak di
tepi tubuh planaria. Gerakan merayap terjadi akibat dari memanjangnya tubuh
cacing yang merupakan akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral.
Kemudian bagian depan tubuh akan mencengkeram pada subtract dengan mukosa
atau alat pelekat khusus. Beberapa Turbellaria yang juga menggunakan ototototnya untuk berenang melalui air dengan gerakan berdenyut (Campbell, 2008)..
Dengan mengkontraksikan otot longitudinal maka bagian tubuh belakang akan
tertarik ke depan (Kastawi et. all., 2003). Sedangkan cacing trematode dan cestoda
parasite dewasa tidak bergerak aktif dan umumnya menetap pada organ tubuh
tertentu dari inang
2.2.2.2 Sistem Respirasi dan degesti
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuhnya secara
difusi dan belum memiliki alat pernafasan khusus. Sedangkan yang hidup sebagai
endoparasit bernafas secara anaerob. Sistem pencernaan terdiri dari mulut, faring,
dan usus (tanpa anus), usus bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya. Planaria dapat
hidup tanpa makanan dalam waktu yang lama dengan jalan melarutkan organ
reproduksi, parenkim dan ototnya sendiri sehingga ukurannya akan menyusut.
Pada trematode memiliki alat pengisap pada mulutnya. Makanan
trematode bisa berupa darah, sel yang rusak, cairan empedu dan cairan limfa.
Makanan yang tidak tercerna akan dimuntahkan lewat mulut. Sedangkan cacing
cestoda tidak memiliki alat percernaan sama sekali. Makanan yang berupa sari
sari makanan langsung diserap dari intestine inang melalui seluruh permukaan
tubuh.
2.2.2.3 Sistem Ekresi dan Koordinasi
Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah (sirkulasi) dan alat
ekskresinya berupa sel-sel api. Sel sel api mengumpulkan kelebihan air dan
kotoran yang bersifat cair. Di dalam rongga sel api terdapat silian yang dapat
menggerakkan zat buangan pembuluh yang ujungnya terbuka pada permukaan
tubuh. Kelompok Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali.
Sistem saraf tangga tali terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan
sepasang tali saraf yang memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti
tangga.
2.2.2.4 Sistem Reproduksi
Cacing pipih dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual.
Menurut Kastawi (2003: 127), perkembangbiakan secara aseksual sering terjadi
pada sebagian besar trematode. Cacing Dugestia mempunyai dua strain yang
bersifat seksual dan aseksual. Pembelahan akan terjadi jika cacing telah mencapai
ukuran maksimal. Pada strain yang bersifat seksual, keberadaan alat reproduksi
hanya bersifat sementara yaitu pada saat musim kawin. Sesudah itu alat
reproduksinya akan mengalami degenerasi dan hewan menjadi strain yang bersifat
seksual.
Cacing hati bersifat hemafrodit dan dapat melakukan pembuahan sendiri.
Meskipun demikian fertilisasi sering terjadi secara silang. Sedangkan pada
cestoda, proglotid yang menyusun tubuh cacing mempunyai kemampuan untuk
melakukan reproduksi. Fertilisasi terjadi dengan sendirinya pada satu proglotid,
akan tetapi lebih sering terjadi adalah fertilisasi antar proglotid yang berbeda daric
acing yang sama.
2.2.2.5 Habitat dan Habitus
Hewan yang tergolong kelas turbelaria umumnya hidup bebas di
lingkungan yang berair. Cacing pipih yang tergolong trematoda kebanyakan
bersifat parasit yang membutuhkan inang untuk kelangsungan hidupnya. Cacing
dewasa hidup di hewan sebagai inang definitive. Sedangkan kelompok cestoda
kebanyakan juga hidup parasit di hewan vertebrata (Kastawi, 2003).
Gambar 3 : kelompok platyhelmintes (sumber : academia.edu)
2.2.3 Klasifikasi
1. Turbellaria
Keberadaan: 4000+ spesies di seluruh dunia; hidup di batu dan permukaan
sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah batang kayu. Hampir semua
Turbellaria hidup bebas (bukan parasit). Kebanyakan turbellaria berwarna bening,
hitam, atau abu-abu. Ciri khas turbellaria adalah adanya sel kelenjar khusus yang
jumlahnya banyak dan terletak di epidermis. Kalenjar ini berfungsi untuk
menghasilkan mukosa untuk melekat, untuk menutup subtract yang dilalui dan
untuk melibas mangsa.
Kelas turbellaria memiliki 5 ordo yaitu Aceola,
Rhabdocoeala, Alloecoela, Tricladida dan Polikladida.
Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang mewakili anggota kelas
Turbellaria pada umumnya. Anggota genus Dugesia, yang umumnya dikenal
sebagai Planaria, berlimpah dalam kolam dan aliran sungai yang tidak terpolusi.
Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh, misalnya
di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam air. Bentuk tubuh
anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang berbentuk
seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing yang panjang
tubuh sekitar 5-25 mm. Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau memakan
hewan-hewan yang sudah mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak memiliki
organ yang khusus untuk pertukaran gas dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya yang
pipih itu menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air sekitarnya, dan
percabangan halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh
hewan tersebut. Menurut Jasin (1984), Di sepanjang tubuh Planaria sp bagian
ventral diketemukan zona adesif yang berfungsi menghasilkan lendir liat yang
berfungsi untuk melekatkan tubuh Planaria ke permukaan benda yang
ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut
getar halus, berfungsi dalam pergerakan.
Sistem saluran pencernaan makanan terdiri dari mulut, faring, esofagus,
dan usus. Mulut, terletak di bagian ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat dengan
pertengahan agak ke arah ekor. Lubang mulut ini dilanjutkan oleh kantung yang
bentuknya silindris memanjang yang disebut rongga mulut (Faring). Esofagus
merupakan persambungan daripada faring yang langsung bermuara kedalam usus;
ususnya bercabang tiga, yaitu menuju ke arah anterior, sedang yang dua lagi
sejajar menuju ke arah posterior. Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya,
Planaria juga belum mempunyai alat pernafasan yang khusus. Pengambilan O2
maupun pengeluaran CO2 secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan
tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi longitudinal yang mulai dari
sel-sel nyala (flame cells) yang di bagian anteriornya berhubungan silang. Seluruh
sistem ini terbuka ke luar melalui porus ekskretorius. Flame cells atau sel-sel api
berfungsi sebagai alat ekskresi yang membuang zat-zat sampah yang merupakan
sisa-sisa metabolisme dan juga sebagai alat osmoregulasi dalam arti ikut
membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air di dalam tubuh, sehingga
nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf yang membujur memanjang, yang
di bagian anteriornya berhubungan silang, dan 2 ganglion anterior yang terletak
dekat di bawah mata. Ganglion berfungsi sebagai otak dalam arti bertindak
sebagai pusat susunan saraf serta mengkoordinir aktivitas-aktivitas anggota tubuh.
Seonggok ganglion tersebut letaknya di bagian kepala persis di bawah lapisan
epidermis agak di sebelah bintik mata. Ganglion ini karena terletak di bagian
kepala dan berfungsi sebagai otak maka biasa disebut ganglion kepala atau
ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini keluarlah cabang-cabang urat saraf
secara radier menuju ke arah lateral, anterior, dan pasterior. Cabang anterior
menuju ke bagian bintik mata, cabang lateral menuju ke alat indera cemoreseptor,
sedangkan cabang posterior ada satu pasang kanan kiri yang saling bersejajar yang
membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera yang berupa bintik mata, dan indera
aurikel, yang kedua-duanya terletak di bagian kepala. Bintik mata merupakan titik
hitam yang terletak di bagian dorsal daripada bagian kepala. Masing-masing
bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen yang tersusun dalam bentuk mangkok yang
dilengkapi dengan sel-sel saraf sensorik yang sangat sensitif terhadap sinar. Bintik
mata itu sekedar dapat membedakan gelap dan terang saja.
Planaria bersifat hermafrodit, terdapat alat kelamin jantan dan betina. Alat
kelamin jantan terdiri dari:
1.
Testis, yang berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang sisi
tubuh keduanya.
2.
Vasa eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis
dengan bagian pembuluh lainnya.
3.
Vasa deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang masing-
masing membentang di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya saling bertemu dan
bermuara ke dalam suatu kantung yang disebut vesiculus seminalis.
4.
Vesiculus seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan menyalurkan
sperma menuju ke penis.
5.
Penis, yang merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan
kopulasi pada perkawinan silang.
Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut:
1.
Ovari, berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior tubuh.
2.
Oviduct, dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah
saluran yang disebut oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan dan kiri
saling bersejajar yang masing-masing dilengkapi dengan kelenjar yang
menghasilkan kuning telur.
3.
Kelenjar kuning telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan bagi
sel telur bila telah diproduksi oleh ovarium.
4.
Vagina, merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer
spermatozoid dari cacing planaria lain.
5.
Uterus, merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang berfungsi
untuk menyimpan spermatozoid. Uterus juga biasa disebut receptaculus seminalis.
6.
Genital atrium (ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran telur.
Gambar 4 : Alat reproduksi planaria (Sumber
www.google.com/planaria_reproduction)
Planaria berkembang biak dengan cara seksual maupun aseksual. Menurut
Radiopoetro (1988: 192), Planaria akan menghindarkan diri bila terkena sinar
yang kuat, oleh karena itu pada siang hari cacing itu melindungkan diri di bawah
naungan batu-batu atau daun atau di bawah objek yang lain. Pada waktu istirahat
biasanya Planaria melekatkanatau menempelkan diri pada suatu objek dengan
bantuan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar lendir. Planaria
melakukan dua macam gerak, yaitu gerak merayap dan meluncur. Menurut
Rusyana (2011) Planaria sp memiliki daya regenerasi yang sangat tinggi, bila
hewan ini dipotong-potong, maka bagian yang hilang akan tumbuh kembali dan
menjadi individu utuh seperti sebelumnya
2. Thrematoda
Trematode hidup di dalam atau pada tubuh hewan lain. Semua cacing
hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti daun. Panjang berkisar 1 cm
hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk menempelkan diri ke organ
internal atau permukaan luar inangnya. Sebagai suatu kelompok, cacing trematoda
memparasiti banyak sekali jenis inang, dan sebagian besar spesies memiliki siklus
hidup yang kompleks dengan adanya pergiliran tahap seksual dan aseksual.
Banyak trematoda memerlukan suatu inang perantara atau intermediet tempat
larva akan berkembang sebelum menginfeksi inang terakhirnya (umumnya
vertebrata), tempat cacing dewasa hidup. Sebagai contoh, trematoda yang
memparasati manusia menghabiskan sebagian dari hidupnya di dalam bekicot.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru,
ginjal, dan pembuluh darah vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh
inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula dan permukaan
tubuhnya tidak memiliki silia (Kastawi, 2003)
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di
dalam jaringan parenkim. Tubuh biasanya pipih dorsoventral, dan biasanya tidak
bersegmen dan seperti daun. Mereka mempunyai dua alat penghisap, satu
mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau pada
ujung posterior.
Gambar 5 : Bagian tubuh trematode
(sumber : www.bio.miami.edu)
Sistem pencernaan makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung
anterior, yang dikelilingi oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui
faring yang berotot ke esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua
sekum yang buntu. Sekum ini kadang bercabang, dan percabangan ini kadangkadang sedikit rumit. Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan
demikian sisa bahan makanan harus diregurgitasikan. Sistem reproduksinya
kompleks. Sebagian besar dari trematoda hermafrodit, atau mempunyai organ
jantan dan betina.
a. Siklus Fasciola hepatica
Gambar 6 : Siklus Hidup Fasciola hepatica (Sumber www.cdc.com)
ZygotLarva Myrasidium Sporosit  Redia Sercaria Metacercaria 
Cacing dewasa.
3. Cestoda
Cestoda hidup sebagai parasit dalam tubuh hewan. Contoh cacing pita
adalah Taenia solium dan Taenia saginata yang parasit pada manusia. Taenia
terdiri dari sebuah kepala bulat yang disebut scolex, sejumlah ruas, yang sama
disebut disebut proglotid. Pada kepala terdapat alat hisap dan jenis Taenia solium
mempunyai kait (rostellum) yang sangat tajam untuk melekat pada inang. Di
belakang scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang akan menghasilkan
proglotid . Panjang tubuh cacing pita dapat mencapai 2 m. Setiap proglotid
mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).
Gambar 7 : Bagian tubuh Taenia solium
Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi
terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Setelah reproduksi seksual, proglotid
yang penuh dengan ribuan telur yang terfertilisasi dilepaskan dari ujung posterior
dan meninggalkan tubuh inang bersama feses (Campbell, 2008). Proglotid dapat
melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan
tinja dengan membawa ribuan telur. Jika termakan hewan lain, telur akan
berkembang dan memulai siklus hidup barunya. Menurut Suwignyo (2005:45)
cacing pita tidak memiliki saluran pencernaan. Cacing pita menyerap makanan
yang telah dicerna terlebih dahulu oleh inang.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus
inangnya. Sari makanan diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya
karena cacing ini tidak memiliki mulut dan pencernaan (usus) ( Kastawi, 2003).
Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak
tidak sempurna. Inang perantara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan
babi pada taenia solium.
Siklus Hidup Taenia sp
Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan berkembang menjadi kista
pada jaringan tubuh inang, misal pada otot. Manusia yang memakan daging yang
terinfeksi, akan menyebabkan kista berkembang menjadi cacing pita dewasa
Cacing pita dewasa terdiri dari scolex dan proglotid. Proglotid pada bagian ujung
mengandung telur yang telah dibuahi yang siap dikeluarkan bersama feses untuk
menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi, embrio berkembang
menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput dan akan
menjadi inang sementara bagi cacing pita.
2.2.4 Manfaat
Adapun peranan Platyhelminthes dalam kehidupan adalah sebagai berikut:
1.
Planaria menjadi salah satu makanan bagi organisme lain.
2.
Cacing hati maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia
a.
Schistosoma sp, dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang
ditularkan melalui siput air tawar pada manusia. Apabila cacing tersebut
berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti
kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.Kerusakan tersebut
disebabkan perkembangbiakan cacing Schistosoma di dalam tubuh.
b.
Clonorchis sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada manusia dan
hewan mamalia lainnya, spesies ini dapat menghisap darah manusia.
c.
Paragonimus sp, parasit pada paru-paru manusia. dapat menyebabkan gejala
gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum
becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing).
d.
Fasciolisis sp, parasit di dalam saluran pencernaan. Terjadinya radang di
daerah gigitan, menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga
menyebabkan hambatan makanan yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi,
haemoragik dan absces pada dinding usus. Terjadi gejala diaree kronis.
e.
Taeniasis, penyakit yang disebabkan oleh Taenia sp. Cacing ini menghisap
sari-sari makanan di usus manusia.
f.
Fascioliasis, disebabkan oleh Fasciola hepatica. Merupakan penyakit parasit
yang menyerang semua jenis ternak. Hewan terserang ditandai dengan nafsu
makan turun, kurus, selaput lendir mata pucat dan diare.
Campbell, Neil A. 2008. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Jasin, Maskoeri. 1984. Sistematik Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya:
Sinar Wijaya.
Kastawi, Y., Indriwati, S. E., Ibrohim., Masjhudi., & Rahayu, S.E . 2003. Zoologi
Avertebrata. Malang : Jurusan Biologi FMIPA UM
Radiopuetro. 1988. Zoology. Jakarta : Erlangga
Sutarno, Nono. 2009. Platyhelminthes. Website: http :// file. upi. edu/ Direktori/
FPMIPA/
JUR._PEND._
BIOLOGI/
194808181974121
NONO_SUTARNO/ZOOIN/ PLATYHELMINTHES.pdf. Diakses Selasa,
2 Januari 2016 pukul 12.27 WIB
Suwignyo, S ., Wardianto, Y., Widigdo, B. & Krisanti, M. 2015. Avertebrata Air
Jilid 1. Jakarta : Penebar Swadaya
Download