6. Studi Pustaka 6.1. Perjanjian Jaminan Kebendaan Dalam Kredit Fasilitas kredit adalah salah satu bentuk pemberian pinjaman uang yang disediakan oleh bank. Dalam fasilitas pembiayaan dan kredit dibagi menjadi dua pihak: Pertama, debitor selaku pihak yang berutang; Kedua, bank selaku kreditor yang memiliki piutang. Fasilitas tersebut diberikan dengan mengajukan permohonan kepada bank serta memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh masing-masing bank. Saat pengajuan fasilitas pembiayaan dan kredit, biasanya bank menetapkan besaran bunga dan mempersyaratkan jaminan atau agunan dari pihak Perjanjian tersebut akan berjalan dengan baik apabila para pihak dapat memenuhi kewajibannya. Sebaliknya jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, tentu saja akan menimbulkan permasalahan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dalam suatu perjanjian kredit perlu didukung dengan perjanjian ikutan berupa perjanjian jaminan. Perjanjian jaminan pada umumnya senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok. Dalam dunia perbankan, perjanjian pokoknya berupa perjanjian kredit dengan memberikan jaminan berupa beberapa kemungkinan seperti Hak Tanggungan, gadai, fidusia, dan lain-lain. Adanya perjanjian jaminan ini sebagai perjanjian ikutan yang memperkuat atau mengamankan kredit perbankan.1 Bilamana mengkaji Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dan penjelasannya, maka arti jaminan pemberian kredit diberikan arti yang lain dengan agunan. Jaminan pemberian kredit diartikan sebagai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai 1 Priyo Handoko, Menakar Jaminan Atas Tanah Sebagai Pengaman Kredit Bank, Center For Society Studies, Jember, 2006, h.113. dengan yang diperjanjikan. Dengan kata lain bahwa Undang-Undang Perbankan telah memberikan arti yuridis bagi jaminan pemberian kredit bukan sebagai agunan kredit, sedangkan agunan kredit hanya merupakan salah satu unsur dari jaminan pemberian kredit.2 Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dan penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa orientasi bank dalam memberikan kredit lebih mengutamakan feasibility dari proyek atau usaha nasabah, bukan collateral oriented. Sehingga dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya. Adapun keyakinan bank terbentuk dari penilaian seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor, yang dikenal dengan sebutan ”Prinsip 5C”. Meskipun agunan bukan unsur yang pertama, tetapi keberadaannya sangat penting mengingat agunan akan berperan bilamana terjadi kredit bermasalah.3 Pada dasarnya perjanjian kebendaan4dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accessoir.5 2 Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora Bakarbessy, Buku Referensi Hukum Perbankan : Hukum Jaminan, Revka Petra Media, Surabaya, 2014, h.18. 3 Id. Hlm. 20. 4 Salim H.S., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 29 5 Id. Hlm 30