Uploaded by User54670

KEARIFAN MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA TANAH ATAU LAHAN PERTANIAN Ngadas

advertisement
KEARIFAN MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA TANAH ATAU
LAHAN PERTANIAN (STUDI PADA MASYARAKAT ADAT TENGGER
KABUPATEN NGADAS PONCOKUSUMO KOTA MALANG)
DISUSUN OLEH:
RISKA RUTH VERARUSSY
165010107111100
PANGERAN RHAKA HELMY
165010107111114
MUHAMMAD ARIFF DWI PRASTYO
165010107111119
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2019
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 4
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................
2.1 Metode penelitian ..................................................................................................... 4
2.2 Kajian Pustaka........................................................................................................... 5
2.3 Hasil dan Pembahasan............................................................................................... 9
BAB 3 PENUTUP.......................................................................................................... 22
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 23
LAMPIRAN .................................................................................................................. 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku,
agama, dan ras. Indonesia terdiri atas 70% perairan dan 30% daratan. Salah
satunya adalah Ngadas. Ngadas adalah sebuah desa di wilayah kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Desa ini merupakan
salah satu desa yang tetap mempertahankan kelestarian kebudayaan masyarakat
tengger yang ada di Ngadas. Masyarakat Tengger adalah salah satu suku yang
harus kita jaga tidak hanya budayanya. Masyarakat Tengger mempunyai sifat
gotong royong yang kuat, jujur, memegang teguh sistem nilai adat budaya serta
kepercayaan
sebagai
pemersatu
yang
mengedepankan
musyawarah
berlandaskan kasih sayang 1(Welas Asih Pepitu) yaitu Welas Asih marang
Bapa Kuasa, Syang Hyang Widhi, Welas Asih Ibu Pertiwi serta tanah dan
lingkungannya, Welas Asih Bapa Biyung, Welas Asih Rasa Jiwa, Welas Asih
Sepadane Urip, Welas Asih Sato Kewan dan Welas Asih Tandur Tinuwuh.
Kesemuanya merupakan ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan turun
temurun secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang mereka, roh ada
pada setiap benda, manusia, hewan maupun tumbuhan (DKDJPH &
PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).Desa ini disebut Negara diatas awan
karena desa ini berada di ketinggian mencapai 2200 mdpl dengan luas area
sekitar 395 ha dengan topografi berbukit, dan mengakibatkan suhunya berkisar
0˚C sampai 20˚C.
1
Okta Hadi Nurcahyono, 2018, , Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger, Vol. 2
Sebagian besar masyarakat disana berprofesi sebagai petani. Ciri khas
kebudayaan masyarakat tengger salah satunya adalah dalam bercocok tanam.
Cara masyarakat tengger dalam bertani berbeda dengan cara bertani
masyarakat pada umumnya. Terasering atau sengkedan yang dibuat masyarakat
tengger berbeda dengan terasering yang ada. Karena sebagian besar masyarakat
tengger bertani, hasil pertaniannya yang memiliki kualitas bagus dikirim dan
dijual ke pasar di wilayah Malang. Pengetahuan masyarakat lokal tentang lahan
pertanian tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah dan adat istiadat, tetapi juga
kondisi sumber daya alam (SDA) yang tersedia, tingkat kesuburan tanah,
teknik peladangan, dan cara kerja. Untuk tanah – tanah yang dimiliki
masyarakat tengger dilarang untuk dijual kepada masyarakat yang bukan suku
tengger. Adanya hubungan antara manusia terhadap keanekaragaman hayati,
dan tata cara kehidupan sangat berkaitan dengan keanekaragaman budaya dari
masyarakat.Masyarakat Tengger sendiri telah mempunyai aturan adat dalam
mengelola jenis tanaman cemara gunung ini yaitu jika seseorang memotong 1
pohon cemara gunung, maka orang tersebut harus menanam 10 pohon. Jenis
tumbuhan lain ditanam sebagai pembatas lahan meliputi dadap (Erythrina
variegata),
paitan
(Tithonia
diversifolia),
rumput
gajah
(Pennisetum
purpureum), acasia (Acacia decurrens), trabasan (Artemisia vulgaris) dan
kaliandra (Calliandra haematocephala). Jenis lokal tanaman pisang memiliki 11
kultivar lokal diantaranya adalah pisang raja, salik, cici, pisang ambon, agung,
candi, gajih, nongko, rojo molo, dan saloso.
2
Masyarakat Tengger
mengusahakan juga jenis tanaman sendei (Brassica sp) merupakan usaha
terobosan budidaya untuk kepentingan ekonomi yaitu hasilnya dijual selain
memiliki nilai ekonomi juga jenis tanaman ini cepat menghasilkan yaitu dalam
waktu 70 hari sudah berproduksi. Pada umumnya masyarakat memiliki
pengetahuan dalam memilih lahan yang sesuai dengan jenis tanaman yang
akan diusahakan. Misalnya masyarakat sudah mengetahui mana tanah yang
cocok untuk jenis tanaman tomat yaitu tumbuh subur pada jenis tanah gembur
dan letaknya di lahan yang datar. Budidaya tanaman tomat berperan penting
2
https://www.kompasiana.com/vividamayanti/55001e63a33311377250fbff/masyarakat-tenggerberbakti-pada-bumi-menghormati-leluhur
bagi kehidupan ekonominya. Menurut masyarakat dengan luas lahan tanah 250
meter yang ditanami tomat jika harganya baik maka dapat menghasilkan uang
sebanyak 20 juta rupiah.
Masyarakat
Tengger
dalam
mengolah
lahan
tegalannya
juga
memperhitungkan pertanda musim (pranoto mongso) meliputi musim
penghujan dan musim kemarau serta memperhitungkan hari baik menurut
perhitungannya. Pengolahan lahan tegalan dilakukan secara sederhana yaitu
dengan cara mencangkul, menyiangi gulma dan pemberantasan hama dan
penyakit. Pada musim kemarau maupun musim penghujan masyarakat Tengger
sudah memiliki strategi untuk mengusahakan suatu jenis tanaman yang
disesuaikan dengan kondisi musim. Sebagai contoh adalah jenis bawang prei
(Allium fistulosum) yang sangat sesuai untuk di tanam pada musim kemarau.
Untuk mengatasi musim kemarau atau kekurangan air mereka membuat bak
tandon air yang dialirkan dari sumber air atau sungai.
Kawasan pertanian masyarakat Tengger yang didominasi kawasan
perbukitan, masyarakat Tengger mengembangkan strategi adaptasi pembuatan
terasering pada lahan yang memiliki kemiringan terjal meliputi teras bangku
dan tersiring dengan pembuatan tanggul dan kalenan. Pembuatan terasering
tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mengurangi erosi lahan. Sistem
pertanian menggunakan sistem terasiring menurut pandangan masyarakat
Tengger sangat cocok, namun jika kurang pengalaman dalam menata arah,
posisi, aliran air (menyilang, tegak lurus atau sejajar) akan terjadi longsor.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana budaya asli masyarakat tengger?
2. Apa saja kearifan masyarakat tengger dalam bidang lahan pertanian dan
tanah?
C. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yaitu
melakukan pengamatan langsung di lapangan. Melakukan wawancara bebas
(open ended) dan terstruktur, pada setiap desa dengan 7 orang informan kunci
untuk menggali pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman jenis
tumbuhan berguna. Perhitungan Index of Cultural Significance (ICS)
didasarkan pada formula yang dikembangkan oleh Turner (1988). Perhitungan
ICS ini memiliki tujuan dan fungsi untuk mengevaluasi atau mengukur
kepentingan jenis tumbuhan bagi masyarakat Tengger.
Metode Penelitian ini dilakukan pada bulan september - oktober 2019
dilakukan dengan cara survey ke tempat yaitu desa ngadas bromo tengger ,
teknik memperoleh data dengan cara berkunjung kerumah perangkat desa dan
wawancara terhadap warga desa setempat serta mengunjungi kawasan
pertanian warga
D. KAJIAN PUSTAKA
Sumber daya alam pada dasarnya menyediakan penghuninya
untuk dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelangsungan kehidupannya.
Manusia sebagai bagian dari unsur penghuni bumi paling mudah untuk
menyesuaikan
dirinya
dengan
alam
lingkungan
dimana
mereka
bermukim. Melalui daya cipta, rasa dan karsa manusia melakukan
adaptasi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang diperoleh
dari lingkungannya, sehingga setiap kelompok masyarakat atau etnik
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dalam mengelola sumber
daya alam hayati di lingkungannya. Indonesia yang mempunyai banyak
pulau besar maupun kecil dihuni oleh berbagai suku dengan sistem adat
maupun budaya yang bermacam-macam. Masing-masing suku tersebut
memiiki kemampuan adaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kawasan pertanian masyarakat Tengger meliputi tanah tegalan,
komplangan, pertanian jalur hijau dan pekarangan. Menurut Iskandar
(1992) dan Soemarwoto (1997) lahan pertanian dapat dibagi lahan
persawahan, pekarangan dan tegalan dimana ketiganya mempunyai ciri
dan fungsi khusus.
Lahan pertanian tegalan atau ladang adalah tempat kegiatan utama
pertanian masyarakat Tengger dan merupakan tempat untuk menghasilkan
bahan makanan pokok serta sayuran untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya (Gambar 10 a,b). Tegalan tersebut dibuat dengan sistem
terasiring dan setiap sebidang tegalan dibatasi dengan penanaman pohon
cemara gunung (Casuarina junghuhniana) atau dengan jenis tanaman
lainnya yaitu jenis jambu wer (Prunus persica) dan jenis tumbuhan semak
seperti paitan (Tithonia diversifolia), triwulan (Eupatorium sp), cubung
(Brugmansia suaveolens), putihan (Buddleja asiatica). Sedang galengan
atau tanggul biasanya ditanami rumput astruli (Pennisetum purpureum).
Rumput astruli disamping sebagai pakan ternak digunakan juga sebagai
tanaman pelindung untuk penahan erosi air.
Pemilihan jenis tanaman cemara gunung sebagai jenis tanaman
konservasi karena jenis tanaman ini dianggap paling kuat dan memiliki
kegunaan lainnya yaitu sebagai kayu bahan bangunan dan kayu bakar.
Tanaman cemara gunung dipilih sebagai tanaman pembatas lahan karena
akarnya menancap ke bawah sehingga tidak mengganggu tanaman
budidaya di sekitarnya. Usulan dari pihak Dinas Pertanian, BBTNBTS,
dan pemerintah daerah agar cemara ditanam secara konsisten di wilayah
Tengger. Masyarakat Tengger sendiri telah mempunyai aturan adat dalam
mengelola jenis tanaman cemara gunung ini yaitu jika seseorang
memotong 1 pohon cemara gunung, maka orang tersebut harus menanam
10 pohon. Jenis tumbuhan lain ditanam sebagai pembatas lahan meliputi
dadap (Erythrina variegata), paitan (Tithonia diversifolia), rumput gajah
(Pennisetum purpureum), acasia (Acacia decurrens), trabasan (Artemisia
vulgaris) dan kaliandra (Calliandra haematocephala). Keanekaregaman
jenis tanaman tegalan selengkapnya di tampilkan pada Lampiran 1.
Masyarakat Tengger dalam mengolah lahan tegalannya juga
memperhitungkan pertanda musim (pranoto mongso) meliputi musim
penghujan dan musim kemarau serta memperhitungkan hari baik menurut
perhitungannya. Pengolahan lahan tegalan dilakukan secara sederhana
yaitu dengan cara mencangkul, menyiangi gulma dan pemberantasan
hama dan penyakit. Pada musim kemarau maupun musim penghujan
masyarakat Tengger sudah memiliki strategi untuk mengusahakan suatu
jenis tanaman yang disesuaikan dengan kondisi musim. Sebagai contoh
adalah jenis bawang prei (Allium fistulosum) yang sangat sesuai untuk di
tanam pada musim kemarau. Untuk mengatasi musim kemarau atau
kekurangan air mereka membuat bak tandon air yang dialirkan dari
sumber air atau sungai.
Kawasan pertanian masyarakat Tengger yang didominasi kawasan
perbukitan, masyarakat Tengger mengembangkan strategi adaptasi
pembuatan terasering pada lahan yang memiliki kemiringan terjal
meliputi teras bangku dan tersiring dengan pembuatan tanggul dan
kalenan. Pembuatan terasering tersebut merupakan usaha masyarakat
untuk mengurangi erosi lahan.
Sistem
pertanian
menggunakan
sistem
terasiring
menurut
pandangan masyarakat Tengger sangat cocok, namun jika kurang
pengalaman dalam menata arah, posisi, aliran air (menyilang, tegak lurus
atau sejajar) akan terjadi longsor. Pihak dari Dinas Pertanian maupun
TNBTS menyarankan membuat teras bangku, namun masyarakat kurang
berminat dan kembali ke terasiring tradisional lagi. Menurut Setiadi et al.
(2007) budidaya dalam strip (strip cropping) merupakan cara mengubah
petak lahan di lereng menjadi lahan dataran tinggi yang produktif. Hal ini
dimungkinkan
untuk
menstabilkan
dan
memperkaya
tanah,
mempertahankan kelembaban, mengurangi hama dan penyakit serta
pupuk kimia.
Tanah tegalan wilayah masyarakat Tengger sebagian besar berupa
bukit dengan lereng rendah sampai curam, struktur tanah padas sampai
berpasir. Tanaman cemara selain digunakan untuk pembatas lahan dan
pencegah dari tanah longsor dan angin, juga dipergunakan sebagai kayu
bakar dan bangunan.Tanaman budidaya yang menjadi andalan pada lahan
tegalan adalah bawang prei (Allium fistulosum), kentang (Solanum
tuberosum) dan kobis (Brassica oleracea), karena jenis tanaman sayuran
tersebut memiliki nilai atau harga yang baik. Sedangkan tanaman
budidaya lainnya seperti pisang raja (Musa paradisiaca cv. Raja), lombok
(Capsicum annum) dan Lombok rawit (C. frustescens), kapri (Pisum
sativum) dan jagung (Zea mays) adalah sebagai tanaman sampingan atau
ajiran. Jenis lokal tanaman pisang memiliki 11 kultivar lokal diantaranya
adalah pisang raja, salik, cici, pisang ambon, agung, candi, gajih, nongko,
rojo molo, dan saloso.
Masyarakat Tengger mengusahakan juga jenis tanaman sendei
(Brassica sp) merupakan usaha terobosan budidaya untuk kepentingan
ekonomi yaitu hasilnya dijual selain memiliki nilai ekonomi juga jenis
tanaman ini cepat menghasilkan yaitu dalam waktu 70 hari sudah
berproduksi.
Pada umumnya masyarakat memiliki pengetahuan dalam memilih
lahan yang sesuai dengan jenis tanaman yang akan diusahakan. Misalnya
masyarakat sudah mengetahui mana tanah yang cocok untuk jenis
tanaman tomat yaitu tumbuh subur pada jenis tanah gembur dan letaknya
di lahan yang datar. Budidaya tanaman tomat berperan penting bagi
kehidupan ekonominya. Menurut masyarakat dengan luas lahan tanah 250
meter yang ditanami tomat jika harganya baik maka dapat menghasilkan
uang sebanyak 20 juta rupiah.
Pada tahun 1980 pertanian utama masyarakat Tengger adalah
bawang putih (Allium sativum) dan jagung (Zea mays), namun dengan
perjalanan waktu telah terjadi perubahan jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan di lahan tegalan masyarakat Tengger. Pada saat ini jenis
tanaman kentang dan jenis sayuran lainnya menjadi andalan masyarakat
Tengger di lahan tegalan.
Dalam
budidaya
kentang
masyarakat
Tengger
melakukan
pembibitan kentang sendiri terutama granula atau membeli bibit dari
Dinas Pertanian dan dari masyarakat Tengger sendiri. Proses penanaman
pada umumnya didahului dengan upacara adat sesaji tetamping dan
selanjutnya dimulai proses penanaman mulai dari pengolahan tanah,
penanaman, perawatan, pemupukan, hingga pemanenan. Pengolahan
lahan dilakukan secara sederhana dengan cara pencangkulan lahan.
Perawatan meliputi penyiangan gulma dan pemupukan dengan pupuk
kandang yang terbuat dari kotoran ayam dan sapi yang disebut ngecroh.
Pembibitan dilakukan dengan cara memilah umbi kentang yaitu untuk
kentang besar dibagi menjadi kelompok kentang A, B dan C yang dijual.
Sedangkan kentang sebesar telur ayam yang bagus dan sehat dipilih
sebagai bibit. Penyiangan kebun disebut nyetok dilakukan untuk
membersihkan rumput dan jenis tumbuhan pengganggu lainnya.
Perawatan lainnya adalah pemberantasan hama dan penyakit dengan
menyemprot pestisida (insektisida). Selain itu dalam perawatan lainnya
adalah penumbuhanbibit kentang melalui stimulasi
disemprot dengan
pupuk daun (gentorik, gandasil) yaitu bibit disemprot 2 hari sekali sampai
15 hari.
Budidaya tanaman sayuran yang paling stabil produksinya adalah
budidaya kentang yaitu. Setiap 1 Ha dengan 30000 bibit dapat
menghasilkan kentang sebanyak 2-2.5 ton. Bibit kentang lokal F1 dapat
diperoleh dari Dinas Pertanian yaitu kultivar granula kembang dan
granula unggul. Untuk bibit kentang diambil dari bongkaran kentang
dipilih sebesar telur, kemudian diletakkan di kranjang atau peti, dibiarkan
lebih kurang 1-2 bulan maka tunas akan siap untuk ditanam.
E. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu Dharma, sejak
lama telah menghuni lereng-lereng pegunungan Bromo Tengger Semeru pada
ketinggian antara 800–2200 m di atas permukaan laut. Persebaran wilayahnya
terletak di kabupaten tingkat II Malang, Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang.
Sebagian masyarakat Tengger mendiami daerah penyangga Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (Stibbe & Ulenbeck 1921; DKDJPH & PABTNBTS
1999; Anonim 2004; DKDJPH & PABTNBTS 2008). Masyarakat Tengger
dengan pengalaman yang telah teruji terhadap alam lingkungan pegunungan,
sehingga mempunyai seperangkat pengetahuan, sistem pertanian, sistem nilai
budaya, sistem kemasyarakatan, sistem kelembagaan, sistem kepercayaan dan
keagamaan. Tatanan kepemimpinan, tata ruang, kesenian, hak tanah, adat
budaya, teknologi tradisional, pengobatan, adat perkawinan, pantangan,
perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan dan pasaran, sehingga
mempunyai tatanan sosial (social order) mantap. Sistem pengetahuan
tradisional sangat berhubungan dengan adat istiadat budaya, tradisi serta
persepsi yang merupakan ungkapan pola fikir didalamnya terkandung tata
nilai, norma, kaidah dan sumber daya hayati serta alam lingkungannya
(DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001). Berdasarkan prasasti
Walandit (Desa Walandit) berangka tahun 851 Saka (929 M), masyarakat
Tengger berasal dari kerajaan Majapahit, dikenal sebagai wong Majapahit yang
dibebaskan dari pajak (tetileman) dan dipersembahkan pada gunung Bromo
(Bataviaasch Geootschap Voor Kunsten en Wetenschappen Notulen tahun
1899 dalam DKDJPH & PABKSD IV (1984), dimana para penghuni dianggap
sebagai Hulun Spiritual Sang Hyang Widhi Wasa, mereka menempati tempat
suci (hila-hila). Berdasarkan prasasti Kumbolo, kitab Pararaton dan menurut
kepercayaan mereka masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng putri
Majapahit dan Joko Seger, putra seorang pertapa.
Masyarakat Tengger mempunyai sifat gotong royong yang kuat, jujur,
memegang teguh sistem nilai adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu
yang mengedepankan musyawarah berlandaskan kasih sayang (Welas Asih
Pepitu) yaitu Welas Asih marang Bapa Kuasa, Syang Hyang Widhi, Welas
Asih Ibu Pertiwi serta tanah dan lingkungannya, Welas Asih Bapa Biyung,
Welas Asih Rasa Jiwa, Welas Asih Sepadane Urip, Welas Asih Sato Kewan
dan Welas Asih Tandur Tinuwuh. 3Kesemuanya merupakan ajaran nenek
moyang mereka yang diwariskan turun temurun secara lisan. Menurut
kepercayaan nenek moyang mereka, roh ada pada setiap benda, manusia,
hewan maupun tumbuhan (DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).
Menurut Stibbe dan Ulenbeck (1921) suku Tengger menempati wilayah Distrik
Kandangan, Distrik Pakis (vroeger Toempang), Distrik Pasuruan dan Distrik
Probolinggo. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sekarang
ditemukan lebih dari 33 (tigas puluh tiga) Desa Tengger, yang sebagian besar
dari desa tersebut merupakan daerah penyangga TNBTS (DKDJPH &
PABTNBTS 1999; Nurudin et al. 2004).
3
Okta Hadi Nurcahyono, 2018, Vol. 2, Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger
Hasil sensus penduduk tahun 1930 jumlah masyarakat Tengger adalah
10.000 jiwa, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 30.000 jiwa dan
sekarang jumlah masyarakat Tengger diperkirakan 50.000 jiwa yang tersebar
di empat Kabupaten (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim, 2004).
Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan deretan pegunungan Tengger dan
Jambangan (Semeru) dengan Taman Nasional (TNBTS), Perhutani serta
kekhasan tradisi yang berasal dari kerajaan Majapahit merupakan modal utama
untuk dikembangkan sebagai obyek wisata budaya. Masyarakat Tengger telah
13 kali (tiga belas kali) mempratekkan sistem pertanian pada kondisi tanah
lereng pegunungan terjal dan bersuhu dingin, dengan membuat teras (Strip
Croping), menggunakan pembatas pepohonan terutama cemara gunung
(Casuarina junghuhniana). Masyarakat Tengger sangat paham tentang
bagaimana cara mengatur dan memanfaatkan tata ruang (lanskap) dalam
membangun tempat tinggal maupun praktek tradisi pertaniannya. Tempat
tinggal saling berdekatan dengan yang lain, tanpa pagar. Rumah adat belum
diketahui secara pasti, akan tetapi rumah adat diperkirakan terbuat dari kayu
atau bambu dengan atap berupa klakah (bambu dibelah) atau alang-alang.
Bentuk bangunan selalu dilengkapi perapian (tumang), lincak dan
tempat duduk (dingklik) yang berfungsi untuk tempat berkumpulnya semua
anggota keluarga untuk berdiskusi atau menerima tamu (Suyitno 2001; Sukari
et al. 2004). Pertambahan penduduk, rendahnya pendidikan dan keterbatasan
luas lahan serta keterbukaan dengan masyarakat lain sedikit demi sedikit akan
mempengaruhi pola serta nilai kehidupan masyarakat Tengger yang sebagian
besar menempati Desa penyangga. Oleh sebab itu diperlukan pengumpulan
data yang akurat sebelum terjadi erosi atau degradasi pengetahuan lokal,
keanekaragaman hayati, kemungkinan juga kerusakan hutan sekitar mereka.
Pengetahuan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan maupun hewan dan
lingkungan oleh masyarakat tradisional sudah banyak hilang sebelum ditulis
oleh peneliti, namun disisi lain kita ingin menggunakan sumber nabati alami,
seperti obat tradisional, kosmetika, model perumahan. Masyarakat Tengger
yang mayoritas beragama Hindu Dharma, sejak lama telah menghuni lerenglereng pegunungan Bromo Tengger Semeru pada ketinggian antara 800–2200
m di atas permukaan laut. Persebaran wilayahnya terletak di kabupaten tingkat
II Malang, Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang. Sebagian masyarakat
Tengger mendiami daerah penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(Stibbe & Ulenbeck 1921; DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim 2004;
DKDJPH & PABTNBTS 2008).
Masyarakat Tengger dengan pengalaman yang telah teruji terhadap
alam lingkungan pegunungan, sehingga mempunyai seperangkat pengetahuan,
sistem pertanian, sistem nilai budaya, sistem kemasyarakatan, sistem
kelembagaan, sistem kepercayaan dan keagamaan. Tatanan kepemimpinan, tata
ruang, kesenian, hak tanah, adat budaya, teknologi tradisional, pengobatan,
adat perkawinan, pantangan, perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan
dan pasaran, sehingga mempunyai tatanan sosial (social order) mantap. Sistem
pengetahuan tradisional sangat berhubungan dengan adat istiadat budaya,
tradisi serta persepsi yang merupakan ungkapan pola fikir didalamnya
terkandung tata nilai, norma, kaidah dan sumber daya hayati serta alam
lingkungannya (DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001). 12
Berdasarkan prasasti Walandit (Desa Walandit) berangka tahun 851 Saka (929
M), masyarakat Tengger berasal dari kerajaan Majapahit, dikenal sebagai wong
Majapahit yang dibebaskan dari pajak (tetileman) dan dipersembahkan pada
gunung Bromo (Bataviaasch Geootschap Voor Kunsten en Wetenschappen
Notulen tahun 1899 dalam DKDJPH & PABKSD IV (1984), dimana para
penghuni dianggap sebagai Hulun Spiritual Sang Hyang Widhi Wasa, mereka
menempati tempat suci (hila-hila).
Berdasarkan prasasti Kumbolo, kitab
Pararaton dan menurut kepercayaan mereka masyarakat Tengger adalah
keturunan Roro Anteng putri Majapahit dan Joko Seger, putra seorang pertapa.
Masyarakat Tengger mempunyai sifat gotong royong yang kuat, jujur,
memegang teguh sistem nilai adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu
yang mengedepankan musyawarah berlandaskan kasih sayang (Welas Asih
Pepitu) yaitu Welas Asih marang Bapa Kuasa, Syang Hyang Widhi, Welas
Asih Ibu Pertiwi serta tanah dan lingkungannya, Welas Asih Bapa Biyung,
Welas Asih Rasa Jiwa, Welas Asih Sepadane Urip, Welas Asih Sato Kewan
dan Welas Asih Tandur Tinuwuh. Kesemuanya merupakan ajaran nenek
moyang mereka yang diwariskan turun temurun secara lisan. Menurut
kepercayaan nenek moyang mereka, roh ada pada setiap benda, manusia,
hewan maupun tumbuhan (DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).
Menurut Stibbe dan Ulenbeck (1921) suku Tengger menempati wilayah Distrik
Kandangan, Distrik Pakis (vroeger Toempang), Distrik Pasuruan dan Distrik
Probolinggo. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sekarang
ditemukan lebih dari 33 Desa Tengger, yang sebagian besar dari desa tersebut
merupakan daerah penyangga TNBTS (DKDJPH & PABTNBTS 1999;
Nurudin et al. 2004). Hasil sensus penduduk tahun 1930 jumlah masyarakat
Tengger adalah 10.000 jiwa, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 30.000
jiwa dan sekarang jumlah masyarakat Tengger diperkirakan 50.000 jiwa yang
tersebar di empat Kabupaten (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim, 2004).
Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan deretan pegunungan Tengger dan
Jambangan (Semeru) dengan Taman Nasional (TNBTS), Perhutani serta
kekhasan tradisi yang berasal dari kerajaan Majapahit merupakan modal utama
untuk dikembangkan sebagai obyek wisata budaya.
Masyarakat Tengger telah 13 kali (tiga belas) mempratekkan sistem
pertanian pada kondisi tanah lereng pegunungan terjal dan bersuhu dingin,
dengan membuat teras (Strip Croping), menggunakan pembatas pepohonan
terutama cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Masyarakat Tengger
sangat paham tentang bagaimana cara mengatur dan memanfaatkan tata ruang
(lanskap) dalam membangun tempat tinggal maupun praktek tradisi
pertaniannya. Tempat tinggal saling berdekatan dengan yang lain, tanpa pagar.
Rumah adat belum diketahui secara pasti, akan tetapi rumah adat diperkirakan
terbuat dari kayu atau bambu dengan atap berupa klakah (bambu dibelah) atau
alang-alang. Bentuk bangunan selalu dilengkapi perapian (tumang), lincak dan
tempat duduk (dingklik) yang berfungsi untuk tempat berkumpulnya semua
anggota keluarga untuk berdiskusi atau menerima tamu (Suyitno 2001; Sukari
et al. 2004). Pertambahan penduduk, rendahnya pendidikan dan keterbatasan
luas lahan serta keterbukaan dengan masyarakat lain sedikit demi sedikit akan
mempengaruhi pola serta nilai kehidupan masyarakat Tengger yang sebagian
besar menempati Desa penyangga. Oleh sebab itu diperlukan pengumpulan
data yang akurat sebelum terjadi erosi atau degradasi pengetahuan lokal,
keanekaragaman hayati, kemungkinan juga kerusakan hutan sekitar mereka.
Pengetahuan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan maupun hewan dan
lingkungan oleh masyarakat tradisional sudah banyak hilang sebelum ditulis
oleh peneliti, namun disisi lain kita ingin menggunakan sumber nabati alami,
seperti obat tradisional, kosmetika, dan model perumahan.
Kawasan pertanian masyarakat Tengger meliputi tanah tegalan,
komplangan, pertanian jalur hijau dan pekarangan. Menurut Iskandar (1992)
dan Soemarwoto (1997) lahan pertanian dapat dibagi lahan persawahan,
pekarangan dan tegalan dimana ketiganya mempunyai ciri dan fungsi khusus.
Tegalan Lahan pertanian tegalan atau ladang adalah tempat kegiatan
utama pertanian masyarakat
Tengger dan merupakan tempat
untuk
menghasilkan bahan makanan pokok serta sayuran untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya .Tegalan tersebut dibuat dengan sistem terasiring dan
setiap sebidang tegalan dibatasi dengan penanaman pohon cemara gunung
(Casuarina junghuhniana) atau dengan jenis tanaman lainnya yaitu jenis jambu
wer (Prunus persica) dan jenis tumbuhan semak seperti paitan (Tithonia
diversifolia), triwulan (Eupatorium sp), cubung (Brugmansia suaveolens),
putihan (Buddleja asiatica). Sedang galengan atau tanggul biasanya ditanami
rumput astruli (Pennisetum purpureum). Rumput astruli disamping sebagai
pakan ternak digunakan juga sebagai tanaman pelindung untuk penahan erosi
air. Gambar 10 Pertanian terasiring: (a) Batas tegalan Desa Ranupani dan Zona
Hutan Rimba (TNBTS) dan (b) Lahan pertanian di kawasan perbukitan di desa
Ngadas Kidul, Kecamatan Poncokusumo. a b 50 Pemilihan jenis tanaman
cemara gunung sebagai jenis tanaman konservasi karena jenis tanaman ini
dianggap paling kuat dan memiliki kegunaan lainnya yaitu sebagai kayu bahan
bangunan dan kayu bakar. Tanaman cemara gunung dipilih sebagai tanaman
pembatas lahan karena akarnya menancap ke bawah sehingga tidak
mengganggu tanaman budidaya di sekitarnya. Usulan dari pihak Dinas
Pertanian, BBTNBTS, dan pemerintah daerah agar cemara ditanam secara
konsisten di wilayah Tengger.
Masyarakat Tengger sendiri telah mempunyai aturan adat dalam
mengelola jenis tanaman cemara gunung ini yaitu jika seseorang memotong 1
pohon cemara gunung, maka orang tersebut harus menanam 10 pohon. Jenis
tumbuhan lain ditanam sebagai pembatas lahan meliputi dadap (Erythrina
variegata),
paitan
(Tithonia
diversifolia),
rumput
gajah
(Pennisetum
purpureum), acasia (Acacia decurrens), trabasan (Artemisia vulgaris) dan
kaliandra (Calliandra haematocephala). Masyarakat Tengger dalam mengolah
lahan tegalannya juga memperhitungkan pertanda musim (pranoto mongso)
meliputi musim penghujan dan musim kemarau serta memperhitungkan hari
baik menurut perhitungannya. Pengolahan lahan tegalan dilakukan secara
sederhana yaitu dengan cara mencangkul, menyiangi gulma dan pemberantasan
hama dan penyakit. Pada musim kemarau maupun musim penghujan
masyarakat Tengger sudah memiliki strategi untuk mengusahakan suatu jenis
tanaman yang disesuaikan dengan kondisi musim. Sebagai contoh adalah jenis
bawang prei (Allium fistulosum) yang sangat sesuai untuk di tanam pada
musim kemarau. Untuk mengatasi musim kemarau atau kekurangan air mereka
membuat bak tandon air yang dialirkan dari sumber air atau sungai.
Kawasan pertanian masyarakat Tengger yang didominasi kawasan
perbukitan, masyarakat Tengger mengembangkan strategi adaptasi pembuatan
terasering pada lahan yang memiliki kemiringan terjal meliputi teras bangku
dan tersiring dengan pembuatan tanggul dan kalenan. Pembuatan terasering
tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mengurangi erosi lahan. Sistem
pertanian menggunakan sistem terasiring menurut pandangan masyarakat
Tengger sangat cocok, namun jika kurang pengalaman dalam menata 51 arah,
posisi, aliran air (menyilang, tegak lurus atau sejajar) akan terjadi longsor.
Pihak dari Dinas Pertanian maupun TNBTS menyarankan membuat teras
bangku, namun masyarakat kurang berminat dan kembali ke terasiring
tradisional lagi. Menurut Setiadi et al. (2007) budidaya dalam strip (strip
cropping) merupakan cara mengubah petak lahan di lereng menjadi lahan
dataran tinggi yang produktif. Hal ini dimungkinkan untuk menstabilkan dan
memperkaya tanah, mempertahankan kelembaban, mengurangi hama dan
penyakit serta pupuk kimia. Tanah tegalan wilayah masyarakat Tengger
sebagian besar berupa bukit dengan lereng rendah sampai curam, struktur tanah
padas sampai berpasir. Tanaman cemara selain digunakan untuk pembatas
lahan dan pencegah dari tanah longsor dan angin, juga dipergunakan sebagai
kayu bakar dan bangunan. Tanaman budidaya yang menjadi andalan pada
lahan tegalan adalah bawang prei (Allium fistulosum), kentang (Solanum
tuberosum) dan kobis (Brassica oleracea), karena jenis tanaman sayuran
tersebut memiliki nilai atau harga yang baik. Sedangkan tanaman budidaya
lainnya seperti pisang raja (Musa paradisiaca cv. Raja), lombok (Capsicum
annum) dan Lombok rawit (C. frustescens), kapri (Pisum sativum) dan jagung
(Zea mays) adalah sebagai tanaman sampingan atau ajiran.
Jenis lokal tanaman pisang memiliki 11 kultivar lokal diantaranya
adalah pisang raja, salik, cici, pisang ambon, agung, candi, gajih, nongko, rojo
molo, dan saloso. 4Masyarakat Tengger mengusahakan juga jenis tanaman
sendei (Brassica sp) merupakan usaha terobosan budidaya untuk kepentingan
ekonomi yaitu hasilnya dijual selain memiliki nilai ekonomi juga jenis tanaman
ini cepat menghasilkan yaitu dalam waktu 70 hari sudah berproduksi. Pada
umumnya masyarakat memiliki pengetahuan dalam memilih lahan yang sesuai
dengan jenis tanaman yang akan diusahakan. Misalnya masyarakat sudah
mengetahui mana tanah yang cocok untuk jenis tanaman tomat yaitu tumbuh
subur pada jenis tanah gembur dan letaknya di lahan yang datar. Budidaya
tanaman tomat berperan penting bagi kehidupan ekonominya. Menurut
masyarakat dengan luas lahan tanah 250 meter yang ditanami tomat jika
harganya baik maka dapat menghasilkan uang sebanyak 20 juta rupiah.
Pada tahun 1980 pertanian utama masyarakat Tengger adalah bawang
putih (Allium sativum) dan jagung (Zea mays), namun dengan perjalanan
waktu telah terjadi perubahan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan di lahan
tegalan masyarakat Tengger. Pada saat ini jenis tanaman kentang dan jenis
sayuran lainnya menjadi andalan masyarakat Tengger di lahan tegalan. Dalam
4
https://www.kompasiana.com/vividamayanti/55001e63a33311377250fbff/masyarakat-tenggerberbakti-pada-bumi-menghormati-leluhur
budidaya kentang masyarakat Tengger melakukan pembibitan kentang sendiri
terutama granula atau membeli bibit dari Dinas Pertanian dan dari masyarakat
Tengger sendiri. Proses penanaman pada umumnya didahului dengan upacara
adat sesaji tetamping dan selanjutnya dimulai proses penanaman mulai dari
pengolahan tanah, penanaman, perawatan, pemupukan, hingga pemanenan.
Pengolahan lahan dilakukan secara sederhana dengan cara pencangkulan lahan.
Perawatan meliputi penyiangan gulma dan pemupukan dengan pupuk kandang
yang terbuat dari kotoran ayam dan sapi yang disebut ngecroh. Pembibitan
dilakukan dengan cara memilah umbi kentang yaitu untuk kentang besar dibagi
menjadi kelompok kentang A, B dan C yang dijual. Sedangkan kentang sebesar
telur ayam yang bagus dan sehat dipilih sebagai bibit. Penyiangan kebun
disebut nyetok dilakukan untuk membersihkan rumput dan jenis tumbuhan
pengganggu lainnya. Perawatan lainnya adalah pemberantasan hama dan
penyakit dengan menyemprot pestisida (insektisida). Selain itu dalam
perawatan lainnya adalah penumbuhanbibit kentang melalui stimulasi
disemprot dengan pupuk daun (gentorik, gandasil) yaitu bibit disemprot 2 hari
sekali sampai 15 hari. Budidaya tanaman sayuran yang paling stabil
produksinya adalah budidaya kentang yaitu. Setiap 1 Ha dengan 30000 bibit
dapat menghasilkan kentang sebanyak 2-2.5 ton. Bibit kentang lokal F1 dapat
diperoleh dari Dinas Pertanian yaitu kultivar granula kembang dan granula
unggul.
Untuk bibit kentang diambil dari bongkaran kentang dipilih sebesar
telur, kemudian diletakkan di kranjang atau peti, dibiarkan lebih kurang 1-2
bulan maka tunas akan siap untuk ditanam. Jenis tanaman budidaya lainnya
adalah tanaman kobis. Tahapan yang dilakukan meliputi pengolahan tanah
dengan cara mencangkul tanah dan membuat bedengan dengan ukuran 3x1 m,
penanaman bibit, perawatan, dan pemupukan. Untuk memacu pertumbuhannya
dilakukan pemupukan baik dengan pupuk 53 organik (pupuk kandang) maupun
dengan pupuk daun yaitu setiap 1 minggu disemprot sekali dengan pupuk daun
sampai umur 2 bulan. Tanaman kobis mulai memberikan hasil setelah 3-4
bulan dari penanaman. Teknik dalam penanaman jens tanaman tropong atau
bawang prei dapat dilakukan sampai umur 2-3 tahun dengan cara pemanenan
tehnik siwilan. Jenis bawang prei ini sering mendapat gangguan serangan hama
seperti hama orongorong (Grylotaipa grylotaipa), bobor dan wereng berwarna
hitam. Untuk lahan yang berbatasan dengan hutan terkadang diganggu monyet
(Macaca fascicularis).
Jenis usaha tani lainnya di kawasan tegalan adalah pengusahaan jenis
tanaman perkebunan seperti jenis apel (Manalagi, Ana, Australi) dan tanaman
kopi. Kedua jenis tanaman perkebunan ini mempunyai nilai ekonomis tinggi
dan sangat mendukung kesejahteraan masyarakat Tengger. Tanaman tersebut
tumbuh dengan baik pada ketinggian sekitar 1100 m dpl. Jenis perkebunan
tanaman apel diusahakan masyarakat di kawasan Tengger bagian barat seperti
di Kecamatan Poncokusumo, Tumpang, Kabupaten Malang dan Kecamatan
Tutur, Kabupaten Pasuruan. Sedangkan Desa Tengger lain tidak sesuai untuk
ditanami jenis apel. Penanaman apel dilakukan secara monokultur, namun
beberapa petani mengusahakannya dengan cara tumpang sari dengan tanaman
budidaya lainnya.
Dalam studi ini juga diamati jenis tanaman non budidaya. Hasil analisis
di lahan pertanian (tegalan) diperoleh data jumlah jenis tercatat 17 jenis. Untuk
tingkat pohon didominasi oleh tanaman cemara gunung (Cassuarina
junghuhniana) yang mempunyai INP paling tinggi adalah (202.86). Hal ini
mengindikasikan bahwa jenis cemara gunung mempunyai peran penting di
lingkungan tegalan masyarakat Tengger. Dari analisis di lahan tegalan untuk
data tingkat perdu menunjukkan jenis ganyong (Canna edulis) mempunyai INP
paling tinggi yaitu (41.21). Jumlah jenis perdu yang tercatat dari hasil analisis
tercatat ada 41 jenis. Pada analisis petak tegalan jenis perdu Asteraceae
mendominasi, sedang tanaman budidaya ganyong (Canna edulis) digunakan
sebagai tanaman bahan makanan mengatasi musim paceklik. Hasil dari analisis
jenis herba tercatat 52 jenis dan jenis tanaman yang memiliki INP paling tinggi
adalah jenis tanaman aseman (Achyranthes bidentata) dengan INP (43.61).
Jenis herba ini merupakan jenis 54 tanaman yang mempunyai peranan penting
dan tahan terhadap gangguan lingkungan berupa abu vulkanik.
Pengetahuan botani lokal masyarakat Tengger, Masyarakat Tengger
dahulu hidup di lingkungan hutan tetapi sekarang sebagian desa berdekatan
bahkan berbatasan langsung dengan hutan konservasi dan hutan Perhutani.
Sehingga mereka memiliki pengetahuan, pengalaman yang baik tentang
pengelolaan sumber daya dan mempunyai kearifan lokal sangat berkompeten
dengan konservasi dan hidrologi. 5Kesadaran terhadap perlunya pelestarian
lingkungan berkaitan dengan kultur masyarakat Tengger yang merupakan
bagian dari keberadaan eksistensi keanekaragaman yang membentuk bahasa
khas, struktur sosial, seni dan budaya, agama, kepercayaan serta sejumlah
simbul lainnya. Manusia mempunyai kemampuan beradaptasi pada kondisi
lingkungan melalui penerapan pengetahuan dan teknologi baik secara teori
berdasarkan pengalamannya secara turun temurun, serta praktek dalam
menyiasati kondisi lingkungannya. Pada setiap kelompok etnis atau suku
mempunyai pengetahuan yang tidak sama, hal ini tergantung kondisi
lingkungan, tingkat kemajuan budaya dalam berakumulasi dan berinteraksi
dengan lingkungan tempat tinggal. Identifikasi serta pengenalan tumbuhan
berkaitan dengan pemanfaatan merupakan dasar di dalam penelitian etnobotani
dalam mengungkap potensi jenis yang dipergunakan secara tradisional oleh
masyarakat lokal.
Pendekatan inventarisasi masih umum dilakukan dan dipergunakan
dalam mengidentifikasi keanekaragaman alam hayati. Perkembangan berlanjut
melalui metode-metode dan perkembangan baru lain seperti bersifat kuantitatif
(Turner 1988; Cotton 1996). Karakter-karakter penting yang dipergunakan oleh
masyarakat dalam mengidentifikasi tumbuhan menggunakan beberapa kriteria
meliputi morfologi, anatomi, sensorial, ekologi, mekanik serta mitologi.
Kriteria morfologi seperti bentuk dan tekstur baik akar, batang, daun, bunga,
buah dan biji. Karakter morfologi juga digunakan dalam persiapan pengolahan
tanaman pertanian seperti kentang bibit diambil sebesar telur ayam, karakter
bunga tanalayu, senikir, daun tlotok, putihan, digunakan dalam imajinasi ritual.
Berbagai macam bentuk morfologi tanaman pisang dengan karakter khas.
5
I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Prespektif Antropologi Hukum,
Malang: UM PRESS
Kriteria sensorial (bau, rasa, warna) dapat digunakan dalam membandingkan
dengan antar jenis tumbuhan sebagai contoh rasa pedas lombok terong, warna
merah dan biru seperti bunga anting-anting, warna bung (bambu muda), bisa
membedakan antara bambu betung dan bambu jajang, tanaman putihan dimana
daun bagian bawah berwarna putih. Ciri khas aroma (fitokimia) seperti pada
daun tanaman sempretan, daun sere, jambu wer, dringu, pohon poo laki-laki
(lanang) dan perempuan (wadon) mempunyai aroma khas. Kriteria mekanik
digunakan untuk menentukan kekuatan dan daya tahan suatu bahan seperti
kekuatan pohon cemara untuk bangunan maupun kayu bakar lebih baik
dibandingkan kayu dari jenis lain.
Demikian pula kayu dadap, dan kayu klandingan kurang baik dibuat
arang karena cepat habis. Kriteria ekologi telah menghasilkan karakter suatu
tanaman yang digunakan dalam mengkonservasi kemiringan lahan yaitu
tanaman cemara, mentigi, dadap, astruli dan gronggong pada lahan pertanian
maupun lahan hutan. Untuk menghadapi tanah longsor meliputi jenis-jenis
tanaman rumput-rumputan, cemara, kecubung, dadap. Kriteria lahan subur
maupun tidak subur ditandai adanya tanaman banyon (Asteraceae), ecek-ecek
(Crotalaria striaca), tehan (Eupatorium riparium), demikian pula jenis tanaman
ternaungi yang dapat dibudidayakan. Mereka juga telah mengetahui jenis
tanaman yang tahan terhadap gas belerang maupun akibat abu vulkanik yaitu
bawang prei (Allium fistulosum), tanaman yang berdekatan dengan hutan akan
lebih subur karena mendapatkan serasah dari tumbuhan hutan. Kriteria
mitologi seperti tebu, piji, pisang yang mempunyai tunas banyak memiliki
makna terkait dengan mitologi kesuksesan atau keberhasilan seseorang. Teknik
pencangkulan serta perlakuan tegalan pada pengolahan ladang telah
disesuaikan dengan jenis tumbuhan tertentu. Kriteria fisik untuk tanah subur
berwarna agak gelap, sedang untuk tanah kurang subur berwarna kuning
keputihan. Tanda alam seperti kabut, uap belerang, aturan musim (pranoto
mongso), juga merupakan kriteria lingkungan dalam melakukan adaptasi
terhadap lingkungan pertanian. Pendekatan identifikasi pada pemanfaatan
tumbuhan merupakan langkah awal studi etnobotani untuk mengungkap serta
mempelajari potensi keanekaragaman hayati yang digunakan oleh masyarakat
Tengger.
Dalam identifikasi mereka mengenal bagian organ tanaman (organ
vegetatif dan generatif) serta nama lokalnya, sebagai contoh nama wit atau
pohon, pang (cabang), pentul (putik) dan gagang kembang (tangkai bunga).
Ukuran dan bentuk suatu benda mempunyai makna sebagai contoh bibit
kentang sebesar telur ayam, pohon besar disebut wit gede, ujung daun runcing
(lancip),
bundar
(pepek).
Kemampuan
masyarakat
Tengger
dalam
mengidentifikasi dan memberi nama jenis tumbuhan diperoleh dari orang tua
baik pengetahuan jenis tanaman budidaya maupun jenis tumbuhan liar dan
jenis tanaman berguna seperti jenis tanaman obat, bahan ritual, bahan
bangunan, bahan teknologi lokal, dan jenis tanaman yang terdapat di
lingkungan rumah, di kawasan tegalan dan di kawasan hutan. Mereka memberi
nama sederhana, praktis dan mudah dikenal dan biasanya berupa nama tunggal
dan jarang memberikan nama majemuk serta tidak pernah terjadi masalah atau
kesalahan. Masyarakat Tengger menyebut rumput-rumputan sebagai jukut
yang sebenarnya terdiri dari banyak jenis yang berbeda. Nama-nama sinonim
lokal juga banyak dijumpai walaupun di dalam masyarakat Tengger sendiri,
sebagai contoh aseman atau surengan (Achiranthes bidentata), paitan atau
nyamu atau liyer (Tithonia diversifolia)
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan:
1. Hasil studi etnobotani masyarakat Tengger tercatat sebanyak 326 jenis
tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pangan 75 jenis, bahan obat
121 jenis, bahan racun 7 jenis, bahan bangunan (22 jenis), bahan
peralatan dan teknologi lokal (22 jenis), bahan tali temali (5 jenis),
bahan pembungkus 4 jenis, bahan bumbu 23 jenis, bahan kayu bakar 16
jenis, bahan pakan ternak 44 jenis, jenis tumbuhan konservasi 137 jenis,
bahan buah-buahan 49 jenis, bahan ritual 94 jenis, bahan pewarna 8
jenis, bahan kosmetika 10 jenis, bahan rokok dan nginang 10 jenis dan
jenis tanaman hias 140 jenis.
2. Pengetahuan masyarakat Tengger tentang keanekaragaman jens
tumbuhan obat cukup baik dengan dikenalnya 121 jenis tumbuhan bahan
obat tradisional. Terdapat 59 jenis penyakit yang dikenal masyarakat
yang pada masanya pengobatannya dengan menggunakan bahan dari
jenis tumbuhan. Pengetahuan pengobatan tradisional masyarakat
Tengger mulai ditinggalkan seiring dengan kemajuan dan kemudahan
akses serta tersedianya sarana dan prasarana pengobatan modern yang
disediakan pemerintah.
3. Pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan oleh
masyarakat Tengger mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Tengger.
Pemanfaatan jenis tanaman budidaya bernilai tinggi memberikan
dampak positif terhadap pelestarian jenis bahan pangan lokal berkaitan
pelestarian keanekaragaman hayati. Hasil perhitungan nilai kepentingan
budaya jenis padi mempunyai nilai ICS tertinggi 179 yaitu 90 dan
merupakan bahan pangan utama. Walaupun jenis padi ini tidak
diusahakan atau dibudidayakan oleh masyarakat Tengger, namun beras
atau padi ini memiliki nilai kegunaan yang tinggi dan merupakan
makanan utama menggantikan peran jagung. Hal ini dikarenakan rasa
padi yang lebih enak, mudah mengolahnya, murah harganya, mudah
didapat dan tersedia dijual di kawasan tersebut.
4. Hasil identifikasi jenis tumbuhan berguna di kawasan Tengger, tercatat 1
jenis sayuran yaitu bawang prei (Allium fistulosum) memiliki ketahanan
terhadap abu vulkanik. Jenis ini tetap mampu tumbuh walaupun ketika
itu terjadi hujan abu vulkanik. Demikian juga satu jenis tanaman pohon
yaitu cemara gunung (Casuarina junghuhniana) juga memiliki sifat tahan
terhadap hujan abu vulkanik.
DAFTAR PUSTAKA
1. [DKDJPH dan PABKSD IV] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1984. Rencana Karya Lima Tahun
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Malang: DKDJPH &
PABKSDA IV.
2. [DKDJPH dan BKSDA IV] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam 1992. Pola Hubungan Masyarakat
Penyangga Dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Malang: DKDJPH & BKSDA IV.
3. [DKDJPH dan PATNBTS] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1999. Potret Desa Penyangga Balai
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTNBTS). Malang: DKDJPH &
PABTNBTS.
4. [DKDJPH dan PATNBTS] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam 1997. Laporan Inventarisasi Flora
(Tanaman Obatobatan dan Tanaman Hias) di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru. (TNBTS). Malang: DKDJPH & PABTNBTS.
5. [DKDJPH dan PATNBTS] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam 1997. Laporan Inventarisasi Fauna
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Malang: DKDJPH &
PABTNBTS.
6. [DKDJPH dan PATNBTS] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam 1995. Laporan Inventarisasi Flora
Penting Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Malang: DKDJPH
& PATNBTS.
7. [DKDJPH dan PABBTNBTS] Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam 2009. Rencana Kerja (RENJA)
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS). Malang:
DKDJPH & PABBTNBTN.
8. Dharmawan AH. 2008. Bahan Kuliah Gerakan Sosial dan Dinamika
Masyarakat Pedesaan. Mayor Sosiologi Pedesaan-Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
9. [Anonim] 2004. Tengger Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Delta
Pamungkas.
10. [Anonim] 2002. Peraturan Perundangan Kehutanan di Era Reformasi. Bogor:
Penerbit Rif Dexts.
11. [Anonim] 2000. Undang-Undang Lingkungan Hidup & Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan. Jakarta: Tamamita Utama.
12. [Anonim] 2009. Data Monografi Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura
Kabupaten Probolinggo. [Anonim] 2011. Suku Tengger. http://www. id
Wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger. Html. [22 Agustus 2011].
13. https://www.kompasiana.com/vividamayanti/55001e63a33311377250fbff/mas
yarakat-tengger-berbakti-pada-bumi-menghormati-leluhur
14. I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Prespektif
Antropologi Hukum, Malang: UM PRESS
15. Hadikusumah Hilman , 2004, Penghantar Antropologi Hukum ,Bandar Lampung
16. Syafa’at Rachmad ,2008 , Metode Advokasi dan Penyelesaian Sengketa , Malang
Lampiran
Selamat Datang Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Loket Masuk Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Gerbang Masuk Desa Ngadas
Foto Bersama Perangkat Desa Ngadas
Wilayah Persawahan Desa Ngadas
Foto Dengan Para Petani Desa Ngadas
Gapura Selamat Jalan Desa Ngadas
Download