Bab II_2006maa

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang
merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Istilah
culture atau ”budaya” kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku,
ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang
berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok
masyarakat dalam kurun waktu tertentu.
Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang
antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi
kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku
yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir,
merasakan atau bertindak.
Soemardjan dan Soemardi
yang dikutip oleh Soekanto (1990)
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk
keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja
agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil
ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat
6
yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud
teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam
kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah
(spiritual atau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh
karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan
sebagian atau dengan seluruh masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku
yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau
pewarisan melalui unsur genetis.
Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan bahwa kebudayaan
adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang
diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep
yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana
manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan
tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan
Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia
berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi
interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara
historis, bermuatan nilai- nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan,
memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media
sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.
Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat
ciri khas kebudayaan. Pertama , kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam
ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik.
Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar,
bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi
berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada
lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak
berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.
7
Menurut
Mulyana
(2001)
budaya
adalah
suatu
konsep
yang
membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang
dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki
beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu
subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak
nyata dan abstrak.
Semua unit sosial memba ngun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan
interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang
dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan,
pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola
hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri.
Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi
juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti
dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya
kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa
diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah ”budaya”
lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa,
ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing
unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya
memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif
komunikasi, yaitu: menghubungkan individu yang
satu dengan yang lain;
melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi
dan negosiasi diantara para anggota.
Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan.
Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok
kebudayaan, yaitu:
1. Alat-alat teknologi.
2. Sistem ekonomi.
3. Keluarga.
8
4. Kekuasaan politik.
Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional
dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto (1990) menyebut
unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang utama.
4. Organisasi kekuatan.
Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994)
menyimpulkan adanya tujuh
unsur universal yang merupakan isi dari semua
kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan.
4. Bahasa.
5. Kesenian.
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia
dimanapun
dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari
konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud,
yaitu:
1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai- nilai.
2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola
(terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak
dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala -kepala atau dengan
perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan
yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan
9
mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam
karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang
bersangkutan.
Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat
adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tatakelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga
berfungsi sebagai tata -kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah
kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu
secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling
abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih
khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat normanorma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.
Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas
ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide -ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang
paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya
bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak
rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia.
Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat
pertama dalam suatu kebudayaan bia sanya tidak banyak.
Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan
tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih
konkret al gi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis).
Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang
mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam
kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret
sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah
peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam
sistem hukum adalah aturan sopan-santun.
Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,
10
yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian
aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan
didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan
keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling
konkret dan berupa benda -benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.
Misalnya adalah pabrik baja, benda -benda yang besar dan indah seperti bangunan
candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju.
Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi
semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu gene rasi
tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang
dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila
seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus
memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto,
1990):
1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi
perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan
situasi maupun lokasinya.
2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti
mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan
yang mati saja yang bersifat statis.
11
3. Kebudayaan mengisi serta menentuka n jalannya kehidupan manusia,
walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara
singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan
merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan
meyakini seluruh unsur kebudayaannya.
Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai- nilai dan
norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya.
Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang
buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai
suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek,
gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma
merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan
(frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu
(baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada
gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orangorang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam
ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material.
Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini bendabenda fisik buatan manusia. Benda -benda et rsebut dibuat dengan tujuan dan
makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dan
sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa
rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain
kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua
pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang
superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari
generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang
menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan
kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).
12
Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang
dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan
bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup
semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis
pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada
kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Walaupun secara
teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-pengertian tersebut dapat
dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat
dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu
aspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan
cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Perubahan yang terjadi
di
dalam
masyarakat
pada
umumnya
menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilainilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga -lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial
menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat
kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat
dunia.
Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.
Perubahan lambat dan perubahan cepat.
Perubahan–perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetanrentetan perubahan kecil ya ng saling mengikuti dengan lambat, dinamakan
evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau
kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat
dan menyangkut dasar -dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat
(yaitu lembaga -lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.
13
Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan
perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi- sendi pokok kehidupan
masyarakat.
b.
Perubahan kecil dan perubahan besar.
Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas,
karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah
dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan
yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh
langsung atau berarti bagi masyarakat.
c.
Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang
direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki
(unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplannedchange).
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan
yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak
yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak
dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan
yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan
masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak
diharapkan masyarakat.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan
perubahan
kebudayaan
dapat
bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam
masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan
baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau
revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat
tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di
sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Faktor-faktor yang
mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara
lain (Soekanto, 1990):
a.
Kontak dengan kebudayaan lain.
b.
Sistem pendidikan formal yang maju.
14
c.
Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.
d.
Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang
bukan merupakan delik.
e.
Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification).
f.
Penduduk yang heterogen.
g.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
h.
Orientasi ke masa depan.
i.
Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki
hidupnya.
Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah:
a.
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
b.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
c.
Sikap masya rakat yang sangat tradisional.
d.
Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau
vested interests.
e.
Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
f.
Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup.
g.
Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
h.
Adat atau kebiasaan.
i.
Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki
(Soekanto, 1990).
Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change)
merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya
saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang
pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga
kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus
masyarakat pada suatu masa yang tertentu.
Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup
berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya
untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia
lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak
paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan
15
jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti
adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988).
Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa
latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare
yang berarti membuat sama (to make common). Secara sederhana komunikasi
didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu
tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang
terdistorsi oleh gangguan (noise ), terjadi dalam konteks tertentu dan ada
kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.
Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu
proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran
informasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian
yang mendalam.
Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai
komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi
sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi
sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi
berorientasi
sumber”
komunikasi
sebagai
meyampaikan
(source
kegiatan
rangsangan
oriented
yang
guna
definition)
sengaja
yang
dilakukan
membangkitkan
mengisyaratkan
seseorang
respons
orang
untuk
lain.
Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa
semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.
Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling
sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini
komunikasi terjadi
karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada
orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai
yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut.
Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear
yang didesain
berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh
Mulyana (2003), seperti Gambar 1.
16
Sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Gambar 1. Model Komunikasi Linear
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat
satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini
lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau
indoktrinasi.
Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi
ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi
yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit
lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para
komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi
sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi
yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.
Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang
terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi
walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga
bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut
Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih
mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan
lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan
ada pada suatu saat sejumlah lingkaran
komunikan atau ruang kehidupan yang
tumpang tindih.
Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993)
menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan
situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan
bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang
disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda.
Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau
permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling
memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.
17
Model ziczac menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993)
menunjukkan
situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui
pertukaran tanda -tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik.
Dalam model ini diperlukan adanya waktu
untuk meyakinkan diri bahwa
komunikan sedikit banyak telah memahami apa yang dimaksud yang
dimungkinkan oleh persoalan pemakaian
iterasi. Dengan kata lain, peristiwa
komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.
Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses
penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan
simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi
semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak
peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi
tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon
yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah
berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku
verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih
sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan
para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan
semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan
secara sekunder (Effendy, 2003).
1. Proses Komunikasi Secara Primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya
yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan
komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangs ung apabila terjadi
kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan
perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned)
bagi komunikator dan komunikan.
18
2. Proses Komunikasi Secara Sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan
oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana
sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan
komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang
relatif jauh atau jumlahnya banyak.
Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi
verbal dan non verbal (Sobur, 2004):
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal secara sederhana adalah komunikasi dengan
menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalah
sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata -kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual
kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu
menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili
kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa
yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah
bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana.
2. Komunikasi Non Verbal
Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata,
merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (oversimplification ), karena kata
yang berbentuk tulisan tetap dianggap “verbal” meskipun tidak memiliki unsur
suara. Stewart dan D’Angelo (1980) yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001)
berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal dari
non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi
verbal vokal merujuk pada “komunikasi melalui kata yang diucapkan”.
Komunikasi verbal non vokal, yaitu “kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan”.
Komunikasi non verbal vokal be rupa vokalisasi, misalnya berupa “gerutuan”.
Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya
mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan
19
linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat
mengacungkan tangan untuk memilih “ya” pada suatu pertemuan atau untuk
menghentikan taksi. Kita menyentuh dengan halus tangan seorang teman untuk
menghiburnya.
Komunikasi non verbal menurut Ekman (1965) dan Knapp (1978) yang
dikutip oleh DeVito (1997) memiliki enam fungsi, yaitu:
1. Untuk menekankan.
Komunikasi non verbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan
beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya, kita mungkin tersenyum untuk
menekankan atau ungkapan tertentu, atau memukulkan tangan ke meja untuk
menekankan suatu hal tertentu.
2. Untuk melengkapi (complement).
Komunikasi non verbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang
dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, mungkin kita tersenyum ketika
menceritakan
kisah
lucu
atau
menggeleng-gelengkan
kepala
ketika
menceritakan ketidak-jujuran.
3. Untuk menunjukkan kontradiksi.
Kita dapat juga secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita
dengan gerakan non verbal. Sebagai contoh, menyilangkan jari atau
mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang kita katakan adalah tidak
benar.
4. Untuk mengatur.
Gerak-gerik non verbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan
keinginan
untuk
mengatur
arus
pesan
verbal.
Mengerutkan
bibir,
mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk
menunjukkan bahwa kita ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh
dari fungsi mengatur ini. Kita mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan
jenak (pause ) kita (misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk
memperlihatkan bahwa kita belum selesai bicara.
5. Untuk mengulangi.
Kita dapat mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal.
Misalnya, kita dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan
20
mengangkat alis mata atau dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk
mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi”.
6. Untuk Menggantikan.
Komunikasi non verbal juga dapat menggantikan pesan verbal kita,
misalnya, mengatakan “oke” dengan tangan tanpa berkata apa -apa. Kita dapat
menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala
untuk mengatakan “tid ak”.
Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu
untuk memberi informasi (informatif ), untuk membujuk (persuasif) dan untuk
tujuan menghibur (entertainment). Gorden sebagaimana yang dikutip oleh
Mulyana (2001) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu
komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi
instrumental.
1. Komunikasi Sosial
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa
komunikasi adalah penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan
hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan,
antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan
dengan orang lain.
2. Komunikasi Ekspresif
Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif
yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi
ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat
dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan
perasaan-perasaan
(emosi)
kita.
Perasaan-perasaan
tersebut
terutama
dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu,
simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat
kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan
kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orangdapat menyalurkan
kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan
matanya.
3. Komunikasi Ritual
21
Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual,
yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan
upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut
para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan,
ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan,
perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan
kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik.
Ritus-ritus lain seperti berdo’a (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci,
naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara
wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual. Mereka yang
berpartisipasi dalam bentuk ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka
kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.
Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam
seseorang3.
Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagai komitmen
emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian
kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting,
melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa
kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri, yang bersifat
:abadi”, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Komunikasi
ritual ini kadang-kadang bersifat mistik4.
4. Komunikasi Instrumental
Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu:
menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,
3
Contoh komunikasi ritual yang bersifat ekspresif ini adalah ketika orang menziarahi makam Nabi
Muhammad, bahkan menangis di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Selain itu
para siswa anggota Paskibraka mencium bend era merah putih, untuk menunjukkan rasa cinta
mereka kepada Nusa dan Bangsa, terlepas dari kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak.
4
Contohnya adalah Suku Aborigin (penduduk asli Australia) yang mata pencaharian
tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makaanan, melakukan upacara tahunan untuk
memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan
hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting
dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelestarian
hidup mereka.
22
mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila
diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat
persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk
menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan
hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai
strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik
dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan.
Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat.
Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat
diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana
karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku,
ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya
adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan
mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain.
Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari
melalui proses komunikasi.
Implisit da lam komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural. Para
ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai
hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dari
perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunik asipun turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall
yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa ”budaya adalah komunikasi” dan
”komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu
mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik
secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun
secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain,
budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu
kelompok tertentu, misalnya ”jangan melawan orang tua”, ”bersikaplah ramah
pada tamu”, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah
manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam
23
peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung
pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2001).
Upacara Religi
Durkheim dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan suatu
religi sebagai suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacaraupacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan
dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut Umat.
Banyak para ahli yang melahirkan teori-teori yang berorientasi kepada upacara
religi, antara lain Smith dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) tentang upacara
bersaji, dimana inti teorinya yang menganalisis azas-azas religi tidak berpangkal
pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal
pada upacaranya. Dia menemukakan tiga gagasan penting yang menambah
pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang
pertama , mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem
upacara juga merupa kan suatu perwujudan dari religi atau agama yang
memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, adalah bahwa
upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama
mempunyai fungsi sosial. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada
menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguhsungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah
saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya,
atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena
mereka mengangap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial.
Sedangkan gagasan ketiga, adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada
pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor
binatang, terutama darahnya, kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging
dan darahnya, oleh Smith (1889) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga
dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa
atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai
warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.
24
Preusz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mengemukakan
konsep-konsepnya mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dari
sudut upacara. Anggapannya adalah bahwa rangkaian ritus yang paling penting
dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Menurutnya ritus atau upacara
religi aka n bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di
dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Namun secara naluri manusia
memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada
kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan
dari alam, serta proses pergantian musim dan kedahsyatan alam dalam
hubungannya dengan masalah hidup dan maut.
Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga mengemukakan
analisanya tentang azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya
upacara kematian. Dia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan
manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang
berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara
kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap
orang yang meninggal dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam
masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala
kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa
mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu
ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu
kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus.
Pada berbagai suku-bangsa di
Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) Sepulture
privisoire, (2) Periode intermediare dan (3) Ceremonie finale. Mula -mula mayat
diberi suatu sepulture privisoire , yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada
suatu periode intermediaer atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga
hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal
itu hidup dalam keadaan keramat. Kedudukan yang baru untuk roh yang
meninggal itu dicapai pada ceremonie finale, yaitu pada upacara di mana tulang
belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadangkadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakaman yang tetap. Sesudah
analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada
25
berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa
upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi , Hertz
menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara
kematian manusia dengan unsur -unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada
kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, pada kematian
ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.
Seorang
ahli
folklor
Van
Gennep (1908)
yang
dikutip
Koentjaraningrat (1987) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi
oleh
secara
universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali
semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Serupa dengan Hertz dalam
kaitan dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan
upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau
separation , (2) peralihan atau merge dan (3) integrasi kembali atau agregation.
Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation , manusia melepaskan
kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan
yang melambangkan perpisahan itu. Bagian kedua dari ritus, yaitu bagian merge,
manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam keadaan seperti tidak
tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Sedangkan bagian ketiga dari
upacara, yaitu bagian agregation , yaitu mereka diresmikan ke dalam tahap
kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.
Dalam banyak kehidupan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam
upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong
rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si
bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi.
Data etnografi Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering
berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan
lebih sering berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut. Upacara religi
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi
satu dengan yang bersifat peralihan, diistilahkan sebagai ritus dan (2) yang
bersifat integrasi dan pengukuhan, distilahkan sebagai upacara.
Religi menurut Koentjaraningrat (1987) memiliki lima komponen, yaitu:
26
emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4)
peralatan ritus dan upacara, (5) umat agama (gambar 2). Pemecahan religi ke
dalam lima komponen tersebut digunakan untuk memudahkan analisis.
Kelimanya memiliki peranan sendiri- sendiri, tetapi tetap berkaitan satu sama lain.
Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi,
merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Soderblom dalam
Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap
”takut bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa menjelaskan
lebih lanjut. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan
manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat
Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan
dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat (esykatologi), tentang wujud dan ciriciri kekuatan sakti, roh, dewa dan makhluk halus lainnya. Selain itu sistem
keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran
kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Sistem keyakinan ini biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik yang
sifatnya tertulis maupun lisan dari religi atau agama yang bersangkutan.
Sistem
keyakinan
Umat agama
Emosi
keagamaan
Sistem ritus
dan upacara
keagamaan
Peralatan ritus
dan upacara
Gambar 2. Kelima Komponen Religi
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan
27
tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh
atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara
religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau
kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi
biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa
tindakan, seperti: berdo’a, bersujud, be rsaji, berkorban, makan bersama, menari
dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi.
Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana
dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyibunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng
dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan
pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubah
biksu da n lain-lain).
Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial
yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta
upacara itu. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai:
(1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok
kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga -luas, klen, gabungan klen, suku,
marga dan lain-lain, (3) kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lainlain, (4) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama,
organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berideologi agama,
gerakan agama, orde -orde rahasia dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1987).
Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya
28
Masyarakat Te ngger dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai
ritual upacara yang selalu dilakukan dalam rangka pemanjatan do’a kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa
syukur atas rejeki yang telah mereka terima. Ritual upacara mereka secara garis
besar dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu 5:
1. Upacara Lingkup Keluarga.
Upacara jenis ini terdiri dari upacara kelahiran, upacara perkawinan dan
upacara kematian. Upacara ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga,
sehingga penanggung jawab pelaksanaan adalah keluarga yang punya hajat.
Berbagai macam upacara yang berkaitan dengan jenis ini antara lain:
a.
Upacara sesayut/ upacara mitoni, yaitu upacara yang dilakukan saat bayi
berumur tujuh bulan. Upacara ini menggunakan sarana berupa: tumpeng,
panggang ayam, bunga di dalam air cepel/ kuwali, lawe. Tujuan mitoni ini
adalah agar bayi tersebut mudah saat lahir dan selamat beserta ibunya.
Pelaksanaan upacara ini yaitu: bunga di dalam kuwali dimandikan kepada
ibunya, sedangkan la wenya disabukkan ke perut ibu. Mandi dengan bunga
bermakna agar ibu dan bayinya dalam kandungan tetap harum dan suci.
Sedangkan lawe yang disabukkan bermakna agar ibu dan bayi tetap menyatu
dan lahir dengan selamat.
b.
Upacara kekerik/ membersihkan, dilaksanakan setelah bayi dilahirkan dan
cuplak pusernya. Maknanya adalah membersihkan ibu dan anak setelah
melahirkan. Sebab sebelum upacara kekerik/ pembersihan dilaksanakan, masih
ada saja gangguan-gangguan kepada ibu dan anak yang baru dilahirkan.
c. Upacara among-among, dilakukan bersama upacara kekerik. Upacara ini ini
dilakukan untuk mengamongi keluarga atau saudara-saudara tertua dan orang
tua dari ibu dan bapak yang baru melahirkan. Tujuannya adalah agar nantinya
orang tua dan saudara-saudaranya serta para sesepuh bisa ngemong/ memberi
petunjuk yang baik kepada anak yang dilahirkan supaya setelah dewasa
menjadi orang yang berguna.
d. Upacara tanam ari-ari, dilakukan setelah ari- ari sudah keluar dan dilakukan
oleh dukun bayi.
5
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Dukun Sekawasan Tengger (Bapak
Mudjono) dan juga merupakan dokumentasi pribadi yang tidak dipublikasikan.
29
e. Upacara setelah bayi berumur 44 hari. Upacara ini dilakukan agar bayi dapat
diajak keluar. Sebelum berumur 44 hari bayi tidak boleh dibawa keluar dari
rumah atau halaman rumah termasuk ibunya.
f. Upacara tugel gombak/ tugel kuncung. Upacara ini dilakukan dengan
memotong sedikit rambut, tugel kuncung adalah sebutan untuk laki- laki,
sedangkan tugel gombak adalah sebutan untuk perempuan. Tujuannya adalah
untuk menghilangkan sengkala.
g. Upacara Ngruwat/ Ruwatan, dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa.
Dilakukan bagi anak-anak yang tidak punya saudara sama sekali. Tujuannya
adalah untuk menjaga keselamatan agar tidak diganggu oleh butakala.
h. Upacara pernikahan/ Praswala Gara, yaitu upacara pernikahan yang
dilakukan menurut tradisi Tengger. Secara lengkap akan diterangkan pada
bagian pembahasan Upacara Praswala Gara.
i.
Upacara Kematian, rangkaian upacara kematian ini dilakukan pada saat
upacara penguburan di pemakaman, upacara yang dilakukan di rumah duka
dan upacara Entas -Entas yang dilakukan minimal 44 hari setelah kematian.
Upacara Entas -Entas ini diterangkan secara lebih lengkap pada pembahasan
upacara tersebut.
2. Upacara Lingkup Desa.
Upacara jenis ini biasanya memilik i cakupan yang luas karena dilakukan
oleh seluruh warga desa bahkan juga seluruh warga masyarakat Tengger.
Penanggung jawab pelaksana an biasanya adalah Petinggi (Kepala Desa) sebagai
pemangku adat beserta para perangkatnya serta Dukun dan para kerabatnya
(Legen dan Wong Sepuh) sebagai pelaksananya. Beberapa upacara jenis ini antara
lain:
a.
Upacara Kasada , berupa ungkapan syukur yang dilakukan dengan
membuang hasil pertanian ke kawah Gunung Bromo pada bulan ke- dua
belas (bulan Kasada) waktu bulan purnama. Upacara ini diikuti oleh seluruh
masyarakat Tengger yang berpusat di Pura Agung Poten di lautan pasir
Gunung Bromo dan merupakan upacara terbesar dalam kehidupan
masyarakat Tengger.
30
b.
Upacara Karo, dilakukan dengan mengadakan upacara di Pura dan di desa,
merupakan upacara terbesar kedua setelah Kasada.Upacara ini dilakukan
pada tanggal 15 bulan kedua penanggalan Tengger (bulan Karo).
c.
Upacara Unan-Unan , yaitu upacara bersih desa yang dilakukan setiap lima
tahun sekali. Tujuannya adalah untuk menjauhkan desa dari mara bahaya.
Rangkaian upacaranya adalah: Banten Kayopan Agung, Yatnya Nguna Sasi/
korban maesa (berupa kerbau yang dikorbankan dalam upacara tersebut) dan
Yatnya Tandur Tuwuh.
d.
Upacara Pujan, yaitu tradisi pemujaan yang dilakukan pada bulan-bulan
tertentu untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga
masyarakat. Pujan ini macamnya adalah Pujan Kapat (bulan keempat), Pujan
Kapitu (bulan ketujuh), Pujan Kawolu (bulan kedelapan), Pujan Kesanga
(bulan ke sembilan) dan Pujan Kasada (bulan kedua belas).
Sebagaimana hasil penelitian dari Soemanto dalam buku “Agama
Tradisional” menyatakan bahwa nilai budaya masyarakat Tengger terwujud dalam
aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini
didukung pula oleh pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan
dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang
mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri
pada Sang Hyang Agung.
Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap
keberadaan nilai- nilai sosial budaya. Selain hal di atas adalah melekatnya budaya
paternalistik dalam masyarakat. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan
sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial
budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hasil penelitian
terdahulu yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Agama Tradisional”
menjelaskan dalam sistem sosial budaya Tengger selama ini, belum pernah terjadi
peristiwa sosial baru atau bentuk-bentuk budaya baru, baik yang dilakukan oleh
individu atau kelompok sosial dalam masyarakat. Masyarakat (terutama generasi
baru) cenderung ingin mengetahui, memahami, melaksanakan dan menghargai
terhadap sistem sosial budaya yang lama. Nilai-nilai sosial budaya Tengger sudah
31
melembaga
sedemikian
kuat
dalam
masyarakat
Tengger
sehingga
ketradisionalannya tetap terpelihara.
Daerah Tengger adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para
wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para wisatawan sedikit
banyak akan membawa perubahan sosial dalam kehidupan yang belum diketahui
oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Tengger yang banyak melakukan
interaksi dengan wisatawan lambat laun juga akan mengalami perubahan karena
pengaruh modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Dengan demikian, mereka
banyak menyerap pengetahuan dan pengalaman dari orang luar Tengger. Memang
dalam beberapa hal interaksi tersebut perlu untuk dilakukan, namun dalam kasus
lain perlu adanya benteng dari masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Hal
ini perlu dilakukan mengingat interaksi dengan orang asing, baik dalam negeri
maupun luar negeri tidak selamanya membawa pengaruh yang positif (Anwar,
2003).
Pada akhir abad 20-an kehadiran lembaga sekolah tidak diterima secara
mulus oleh masyarakat Tengger. Oleh karena itu cara penanamannya melalui
penyadaran, perintah, bahkan terkadang dengan cara memaksa. Seperti adanya
aturan dari pemerintah desa tentang ijin menikah yang bisa diberikan jika
pasangan calon pengantin sudah lulus sekolah menengah pertama. Penerimaan
pembaruan dan inovasi untuk saat sekarang ini disamping dilakukan melalui
pendidikan formal atau lembaga sekolah, juga dilakukan dengan cara
menghimpun kelompok-kelompok masyarakat melalui jalur-jalur nonformal,
seperti Pramuka. Selain itu penerimaan pembaruan dan inovasi juga banyak
dipengaruhi oleh para pendatang yang berasal dari luar Tengger dan tamu
wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Gunung
Bromo.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan,
baik yang formal maupun nonformal di daerah Tengger, sedikit demi sedikit telah
banyak membantu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Tengger.
Keterbukaan dalam hal pembaruan di daerah Tengger ini sedikit demi sedikit juga
mengalami peningkatan, dalam artian masyarakat Tengger dapat menerima
32
pembaruan tersebut. Akibatnya, orang Tengger dapat dikatakan sudah mulai
berubah dan telah mengalami kemajuan (Machmud, 2003).
Pergeseran atau perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat Tengger
adalah pergeseran atau perubahan nilai- nilai yang bersifat instrumental dan bukan
nilai-nilai hakikinya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
sampai sekarang kepatuhan dan ketaatan terhadap kepercayaan, rasa kekeluargaan
yang masih cukup kental, rasa toleransi terhadap sesama dan orang lain masih
sangat kuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir semua adat dan budaya
warisan nenek moyang mereka masih tetap dilestarikan walaupun dalam bentuk
yang lain, tetapi tetap memiliki makna yang sama (Hayat, 2003).
Beberapa kondisi masyarakat Tengger menurut sejarah dapat dilihat dari
beberapa dekade, yaitu (Hefner, 1985):
(1) Tengger pada Zaman Majapahit
Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui
sebagai tanah suci. Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan
disebut hulun (abdi) dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari
Prasasti Tengger yang pertama ditemukan berasal dari abad ke-10. Prasasti itu
berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan bahwa sebuah desa
bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena
dihuni oleh hulun (abdi Hyang Widhi) . Hal ini diperkuat pula dengan prasasti
berangka tahun 1327 Saka (1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan,
termasuk Desa Wonokitri Pasuruan. Prasasti ini menyatakan bahwa desa Walandit
dihuni oleh Hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut hilahila (suci) (Hefner, 1985). Oleh sebab itu desa tersebut dibebaskan dari
pembayaran pajak.
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama
Hindu. Hal ini tampak pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan Dewa
Brahma dalam agama Hindu. Gunung Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma dan digunakan
sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke kahyangan. Lautan pasir
digambarkan sebagai jalan bagi arwah manusia dalam perjalanan penyucian
sebelum bisa naik ke kahyangan.
33
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat
dengan kerajaan Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat
upacara agama yang berasal dari zaman kera jaan Majapahit, yang sampai saat ini
masih dipakai oleh para Dukun Tengger. Alat-alat itu antara lain adalah prasen
yang merupakan tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari
dewa dan zodiak agama Hindu.
Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka
antara 1243 dan 1352. Saat itu adalah masa kejayaan Majapahit. Alat-alat ritual
lain yang berasal dari Majapahit adalah sampet, yaitu selendang berwarna kuning
yang biasa dipakai oleh Dukun pada waktu memimpin berbagai upacara adat.
Demikian pula menurut naskah yang berasal dari keraton Yogyakarta yang
berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang
dihadiahkan kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.
(2) Tengger dari Abad ke -16 sampai ke -18
Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena
kurangnya informasi mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha diberitakan
adanya seorang guru agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit.
Namun karena kegagalannya keraton-keraton yang dulu terletak di bawah
pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir.
Pada awal abad ke-17 situasi politik di Pulau Jawa berubah dengan
adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan
Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang
akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu
yang masih di ujung timur tinggal di Blambangan, yang akhirnya dapat dikuasai
oleh Sultan Agung. Sebagai akibatnya pada saat pasukan Mataram kembali dari
Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusak keraton, serta
membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah
Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan
Mataram. Pada tahun 1680 M sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan
Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke arah timur dan kemudian dibantu oleh
orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan
pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan
34
dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat
dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.
(3) Tengger pada Abad ke-19
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki
daerah Te ngger untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1875
didirikan sebuah pesanggrahan di Tosari dan di daerah ini mulai ditanam sayurmayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat Belanda itu memperhatikan tradisi
Tengger dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger bebas dari kejahatan,
bebas dari candu serta masyarakat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka
pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.
Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah
Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai padat.
Para penghuni baru mulai berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat
terjadi perlawanan Diponegoro terhadap pasukan Belanda, yang akhirnya dapat
dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegor o lari ke timur dan menghuni daerah
sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya daerah dataran sekitar Tengger
dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger asli.
(4) Tengger Sesudah Tahun 1945
Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas.
Menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan
mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Ma japahit.
Agama yang dipeluk pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri
beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak jelas. Kemudian sejak tahun 1973
mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk agama Hindhu
Dharma. Alasannya, dalam peribadatan yang dipakai, banyak ritual yang
bersumber dari kitab Weda. Begitupun dengan dewa-dewa yang mereka puja,
sebagian merupakan dewa-dewa dari agama Hindu selain beberapa dewa lokal
dari nenek moyang.
35
Pola Komunikasi
Pola merupakan ciri khas bagi tiap kegiatan akibat pengaruh lingkungan
dan tingkah laku orang yang melakukan kegiatan secara terus-menerus baik dalam
pekerjaan, pergaulan dan aktifitas kehidupan lainnya. Pada umumnya pola
komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu pola komunikasi intern vertikal
horisontal dan pola komunikasi ekstern (Departemen Penerangan, 1979).
Instruksi dan laporan yang dikirimkan dan diterima oleh manajemen
merupakan komunikasi intern tegak lurus (vertikal). Instruksi diberikan ke bawah,
sedangkan laporan disampaikan ke atas melalui garis hierarki yang ditentukan.
Selain bersifat instruksi, komunikasi juga merupakan edukasi dan informasi.
Setelah data dan bahan diolah lalu dikembalikan ke bawah berupa putusan.
Komunikasi intern tegak lurus lisan melalui pembicaraan, pertemuan dan telpon.
Sedangkan dengan tulisan dapat berupa instruksi, memorandum, surat edaran,
pemberitahuan, laporan, surat keputusan dan berbagai penerbitan atau media. Pola
pendekatan komunikasi yang lebih luas dapat dilakukan dengan media massa
yang merupakan sumber informasi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.
Menurut Pace (2002) analisis pola -pola komunikasi menyatakan bahwa
pengaturan tertentu mengenai ”siapa berbicara kepada siapa” dan mempunyai
konsekuensi besar dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola
komunikasi, antara lain pola roda, pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan
seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola
lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya
hanya melalui sejenis sistem pengulangan pesan. Selain itu juga terdapat pola lain,
yaitu rantai dan bintang (semua saluran). Menurut Devito (1997) bahwa pola
(struktur) rantai sama dengan struktur lingkaran kecuali bahwa para anggota yang
paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Keadaan terpusat
juga terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai
pemimpin daripada mereka yang berada di posisi lain. Sedangkan pola bintang
hampir sama dengan struktur lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan
semuanya juga memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lain.
Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya. Pola ini
memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum.
36
Pada dasarnya, Patterns (Pola) adalah suatu konsep yang ditujukan untuk
memudahkan komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Patterns
memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu aspek permasalahan dan solusi
untuk permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat spesifik, dan solusi yang
juga sangat spesifik. Patterns mendeskripsikan/menjelaskan permasalahan dan
solusinya, dan juga mengkomunikasikannya. Patterns memungkinkan kita
menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Patterns memudahka n
kita mengkomunikasikan suatu konsep desain.
Pola komunikasi dapat diartikan sebagai struktur yang sistematis tentang
tingkah laku penerimaan dan pengiriman pesan diantara anggota kelompok, siapa
berbicara kepada siapa dan tingkat keseringan tertentu yang membentuk suatu
kebiasaan (Larson, 1985).
Pengetahuan dan Sikap
Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah unsurunsur yang mengisi akal dan jiwa manusia yang sadar, secara nyata terkandung
dalam otaknya. Artinya pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang
dimiliki oleh seseorang. Menurut Nonaka dan Takeuchi yang dikutip oleh
Rinasari (1998), terdapat dua dimensi pengetahuan, yaitu: (1) dimensi ontologi,
dimana pengetahuan diciptakan melalui individu-individu yang kemudian
ditransformasikan dalam kelompok, organisasi dan antar organisasi; (2) dimensi
epistemologi, dibedakan atas: (a) tacit knowledge (implisit), bersifat personal yang
berakal dari dalam diri dan dari pengalaman, termasuk insight, intuisi, firasat dan
kepercayaan diri; (b) explisit knowledge bersifat rasional, metodologis, positif dan
empiris.
Soekanto (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kesan di dalam
pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera. Ashari dalam Zahid
(1997) menambahkan pengetahuan adalah paham subyek mengenai obyek yang
dihadapai. Pengetahuan didapatkan individu baik melalui proses belajar,
pengalaman atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam memori
individu.
37
Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah mengenal suatu
obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila
pengatahuan ini disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan
tentang obyek itu. Seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu
berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut.
Sedangkan pengertian sikap menurut Koentjaraningrat (1990) adalah
suatu predisposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang untuk
bereaksi terhadap lingkungan, baik lingkungan manusia maupun lingkungan
fisiknya. Walaupun berada di dalam diri individu, sikap itu biasanya juga
dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering pula bersumber kepada sistem nilai
budaya.
Allport dalam Mar’at (1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan
kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan
dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang
mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian
emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju,
tidak setuju dan sebagainya.
Selain itu Mar’at juga membuat rangkuman mengenai pengertian sikap
berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu:
1) Attitudes are learned , yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis
ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar diperoleh melalui
pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
2) Attitudes have referent, yang berarti sikap selalui dihubungkan dengan obyek
seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.
3) Attitudes are social learning, yang berarti sikap diperoleh dalam interaksi
dengan manusia lain.
4) Attitudes have readiness to respond , yang berarti adanya kesiapan untuk
bertindak dengan cara tertentu terhadap obyek.
5) Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan
bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah
positif, negatif atau ragu.
38
6) Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap
terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah.
7) Attitude have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin
hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu
sesuai pada saat lainnya, karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi.
8) Attitudes have a duration factor , yang berarti bahwa sikap dapat bersifat
relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.
9) Attitudes are complex , yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dan
konteks persepsi ataupun kognisi individu.
10) Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian
terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang
bersangkutan.
11) Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan
tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan
yang tidak memadai.
Rakhmat (2001) merangkum pengertian sikap dari beberapa ahli seperti
Sherif dan Sherif, Allport dan Bem sebagai berikut:
(1)
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa
dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai.
(2)
Sikap mempunyai daya dorong dan motivasi.
(3)
Sikap relatif lebih menetap.
(4)
Sikap mengandung aspek evaluatif.
(5) Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan
hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah.
39
Pariwisata Dan Kebijakan Pemerintah
Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru, yang mampu
menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja,
pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam
negara penerima wisatawan. Bentuk-bentuk pariwisata secara umum (Wahab,
2003):
1. Pariwisata rekreasi atau pariwisata santai, dimaksudkan untuk memulihkan
kemampuan fisik dan mental setiap peserta wisata dan memberikan
kesempatan rileks bagi mereka dari kebos anan dan keletihan kerja selama di
tempat rekreasi.
2. Pariwisata budaya, maksudnya untuk memperkaya informasi dan pengetahuan
tentang negara lain dan untuk memuaskan kebutuhan hiburan. Pola hidup
masyarakat sudah menjadi salah satu khasanah wisata yang sangat penting.
Cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap pandangan hidup; kebisaannya,
tradisinya, adat istiadatnya, dalam hal ini termasuk kunjungan ke pameranpameran, perayaan-perayaan adat, tempat-tempat cagar alam, cagar purbakala,
dimana semua itu menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke
negara mereka. Hal ini berlaku khususnya bagi negara -negara sedang
berkembang yang masyarakat tradisionalnya berbeda dari masyarakat tempat
wisatawan itu berasal.
3. Pariwisata pulih sehat, yaitu memuaskan kebutuhan perawatan medis di
tempat dengan fasilitas penyembuhan, misalnya: sumber air panas.
4. Pariwisata sport, yaitu memuaskan hobi, misalnya menyelam, mendaki
gunung, berburu binatang liar, dan lain-lain.
5. Pariwisata temu wicara, pariwisata konvensi mencakup pertemuan-pertemuan
ilmiah, seprofesi dan bahkan politik.
Pariwisata memiliki manfaat bagi suatu negara, antara lain: mampu
menggalang persatuan bangsa yang rakyatnya memiliki daerah, dialek dan adatistiadat yang berbeda; pariwisata mampu menjadi faktor penting dalam
pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Perhatian pemerintah dalam menggali dan
mengembangkan potensi pariwisata daerah sangat penting artinya bagi
peningkatan pendapatan asli daerah. Peran pemerintah ini menjadi salah satu
40
faktor penunjang pertumbuhan pariwisata, disamping faktor-faktor yang lain 6.
Selain itu kebanyakan wisatawan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika
Utara cenderung bepergian jarak jauh ke masyarakat tradisional di Afrika dan
Asia untuk mencari pengalaman-pengalaman baru mengenai lingkungan alam dan
ekologi atau mengenai pola hidup masyarakat, adat-istiadat mereka, kebiasaankebiasaan sosial, perayaan-perayaannya, pola pakaian dan lain-lain (Wahab,
2003).
6
Menurut Salah Wahab (2003) fakt or-faktor yang menunjang pertumbuhan pariwisata
internasional adalah pertambahan waktu luang; perkembangan teknologi dan urbanisasi;
kemajuan alat angkut; kesejahteraan ekonomi; faktor-faktor budaya dan perhatian pemerintah
yang meningkat.
Download