HIMPSI ISSN: 0853-3098 JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA 2014, Juni, Vol XI, No 1, h. 1-93 DEFINISI DAN SUMBER KEBAHAGIAAN: DESKRIPSI KEBAHAGIAAN PADA ANAK UMUR 9-12 TAHUN DI JAKARTA PUSAT (h. 1-13) Miwa Patnani dan Dilfa Juniar Fakultas Psikologi, Universitas YARSI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI PERISTIWA TRAUMATIK: EKSPLORASI PERAN PERUBAHAN KEYAKINAN DASAR, PIKIRAN RUMINATIF DAN DUKUNGAN SOSIAL (h. 14-27) H. S. Shinto Sukirna Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia ASPEK-ASPEK PENUNJANG KEBAHAGIAAN PADA WANITA HAMIL (h. 28- 44) Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati dan Sari Zakiah Akmal Fakultas Psikologi, Universitas YARSI PENGARUH SOSIAL: INDIKATOR KEBERBEDAAN PADA NIAT IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI SUPLEMENTASI BESI (h. 45- 52) Sudjatmiko Setyobudihono Prodi Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa Ermina Istiqomah Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat PENGARUH DUKUNGAN SUAMI TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA PEREMPUAN YANG BEKERJA (NILAI KELUARGA-PEKERJAAN SEBAGAI MEDIATOR) (h. 53-65) Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta Faturochman dan M. G. Adiyanti Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI SEKSUAL, SEXTING, DAN PERILAKU SEKS BERISIKO PADA PELAKU SEXTING TIPE TWO-WAY SEXTERS (h. 66-75) Wahyu Rahardjo, Indria Hapsari dan Maizar Saputra Universitas Gunadarma, Jakarta PERILAKU BERISIKO OPERATOR MESIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU) PT PDP (h. 76-93) Joseph Satria dan Ratri Atmoko Benedictus Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia Ketua Dewan Redaksi: A. Supratiknya Sekretaris Dewan Redaksi: Tjipto Susana Anggota Dewan Redaksi: Faturochman Seger Handoyo E. S. Tyas Suci Mitra Bestari BERNADETTE N. SETIADI KRISTI POERWANDARI FENDY SUHARIADI HERA LESTARI PENERBIT Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ALAMAT SURAT/ REDAKSI Sekretariat Himpunan Psikologi Indonesia Jl. Kebayoran Baru No. 85 B, Kebayoran Lama, Velbak Jakarta 12240 Jurnal Psikologi Indonesia terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan berupa laporan hasil penelitian dalam bidang psikologi yang dilakukan oleh para ahli atau pemerhati psikologi. Tulisan dikirimkan dalam bentuk hard copy dan soft copy melalui alamat redaksi dalam satu berkas, atau soft copy dikirimkan secara terpisah melalui e-mail dengan alamat: [email protected] Pengantar Redaksi Kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari kepuasan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh individu. Oleh karena itu mengupayakan kepuasan dan kebahagiaan individu, baik melalui usaha sendiri maupun dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. Volume ini menyajikan kajiankajian psikologi yang berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Miwa Patnani dan Dilfa Juniar dari Fakultas Psikologi Universitas YARSI membuka volume ini dengan tinjauan mengenai pengertian kebahagiaan dan sumber kebahagiaan bagi anak yang berusia 9-12 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber kebahagian bagi anak-anak ini adalah hubungan keluarga yang positif, teman, materi, dan melakukan kegiatan yang mereka sukai. Sementara itu H. S. Shinto Sukirna dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta mencoba melihat dampak positif dari pengalaman traumatik yang disebut posttraumatic growth (PTG). Penelitiannya terhadap 120 siswa SD yang pernah mengalami peristiwa buruk menunjukkan bahwa ruminasi atau pikiran berulang (yang berfokus pada usaha memahami pengalaman traumatik dan dampaknya, menemukan makna peristiwa traumatik, usaha memodifikasi tujuan hidup dan cara pencapaiannya) berkorelasi positif dengan PTG dan menyumbang 29% untuk terjadinya PTG. Kebahagiaan dan kepuasan perempuan sebagai ibu maupun istri sebagai faktor yang ikut menentukan kesejahteraan keluarga tidak bisa diabaikan begitu saja. Oleh karena itu dalam volume ini, beberapa peneliti mencoba mengkaji kebahagiaan dan kepuasan perempuan. Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati, dan Sari Zakiah Akmal dari Fakultas Psikologi, Universitas YARSI meneliti aspek-aspek yang menunjang kebahagiaan pada wanita hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan aspek yang dirasakan paling berkontribusi pada kebahagiaan wanita hamil. Sudjatmiko Setyobudihono dan Ermina Istiqomah dari Prodi Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa menemukan bahwa dukungan sosial suami, ibu, dan ibu mertua berpengaruh terhadap niat para ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet suplemen zat besi. Penelitian yang dilakukan oleh Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto dari Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta serta Faturochman dan M. G. Adiyanti dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada juga menunjukkan bahwa dukungan suami berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja. Dukungan suami ini dimediasi oleh nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan. Dua tulisan terakhir merupakan penelitian yang mengkaji perilaku berisiko. Wahyu Rahardjo, Indria Hapsari, dan Maizar Saputra dari Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta meneliti peran kecenderungan mencari sensasi seksual dan sexting terhadap perilaku seks berisiko pada pelaku sexting. Sementara itu, Joseph Satria dan Ratri Atmoko Benedictus dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta meneliti perilaku berisiko pada operator mesin pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko dari para operator PLTGU XYS muncul sebagai akibat tidak ditampilkannya ketrampilan standar yang dituntut oleh pekerjaannya. Inilah gambaran tentang kesejahteraan psikologis kacamata psikologi yang disajikan dalam volume ini. Selamat membaca! Jurnal Psikologi Indonesia DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN 2014, Vol. XI, No. 1, 1-13, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia 1 DEFINISI DAN SUMBER KEBAHAGIAAN: DESKRIPSI KEBAHAGIAAN PADA ANAK UMUR 9-12 TAHUN DI JAKARTA PUSAT (DEFINITIONS AND SOURCES OF HAPPINESS: DESCRIPTION OF HAPPINESS IN CHILDREN AGE 9-12 YEARS IN CENTRAL JAKARTA) Miwa Patnani dan Dilfa Juniar Fakultas Psikologi, Universitas YARSI Penelitian ini bertujuan memahami definisi kebahagiaan dan sumber kebahagiaan menurut anak, dengan pendekatan psikologi indigenous. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan dianalisis dengan statistik deskriptif. Sebanyak 183 anak berusia 9-12 tahun dari beberapa SD di wilayah Jakarta Pusat berpartisipasi sebagai partisipan. Respon partisipan dikategorikan berdasarkan kemiripan tema, kemudian frekuensi respon dalam setiap kategori ditabulasikan. Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar partisipan: (1) mendefinisikan kebahagiaan sebagai perasaan positif; (2) menemukan sumber kebahagiaan dalam melakukan aktivitas yang disukai, kecukupan materi, pencapaian prestasi, serta relasi positif dengan keluarga dan teman; (3) menganggap kebahagiaan sebagai hal penting; dan (4) menggolongkan dirinya cukup bahagia. Partisipan yang mengaku sangat bahagia menyebutkan faktor memiliki hubungan keluarga yang positif, dapat melakukan aktivitas yang disenangi, teman, dan kecukupan materi sebagai sumber kebahagiaan. Disarankan agar orang tua mampu menciptakan atau meningkatkan relasi yang positif dalam keluarga, memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dan memberi kesempatan pada anak bersosialisasi dengan teman, sambil terus berusaha memenuhi kebutuhan anak. Kata kunci: definisi kebahagiaan, sumber kebahagiaan, kebahagiaan, anak This study seeks to understand more about definition of happiness and sources of happiness according to children. Data were collected using a questionnaire and were analyzed using descriptive statistics. A number of 183 children aged 9-12 years from several primary schools in Central Jakarta participated in the study. Participants’ responses were categorized by theme similarity, and then the frequencies in each category were tabulated.Results showed that most of participants: (1) define happiness as positive feelings; (2) find sources of happiness in doing favored activity, sufficiency of material things, achievement, and positive relationships with family and friends; (3) consider happiness as an important thing; and (4) categorize themselves as quite happy. Participants who considered themselves as very happy claimed positive relationships with family, favored activities, friends, and material things as sources of their happiness. Parents are suggested to create or improve positive relation within the family, to give children the chance to do his or her favored activities, and to give them the opportunity to socialize with friends, while keep trying to fullfil childrens’s needs. Keywords: definition of happiness, sources of happiness, happiness, children 1 2 PATNANI & JUNIAR Veenhoven (dalam Abdel-Khalek, 2006) menyebut kebahagiaan sebagai kepuasan hidup, dan mendefinisikannya sebagai penilaian seseorang terhadap tingkat kualitas hidupnya. Menurut Schimmel (2009), kebahagiaan terkadang juga disebut sebagai kesejahteraan subyektif (subjective well being). Selanjutnya Diener, Suh, Lucas, & Smith, (1999) menyatakan bahwa kebahagiaan ataupun kesejahteraan subyektif dapat dilihat dari adanya emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup secara umum, dan kepuasan pada ranah tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan terkait dengan penilaian seseorang terhadap hidupnya. Hidup bahagia merupakan tujuan dari setiap manusia, tidak terkecuali anak-anak. Seperti halnya orang dewasa, kebahagiaan juga merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Seorang anak yang bahagia akan tumbuh dan berkembang dalam suasana yang lebih kondusif, sehingga ia akan mampu mewujudkan potensinya secara optimal. Diener dan Biswas-Diener (2008) menyatakan bahwa kebahagiaan akan memberikan dampak positif seperti kesehatan yang lebih baik, kemampuan bekerja yang lebih baik, hubungan sosial yang lebih baik dan adanya perilaku yang lebih etis. McReynolds (2008) menyatakan bahwa ketidakbahagiaan (unhappiness) pada anak dapat berupa extreme unhappiness yang terjadi pada anak-anak yang memiliki trauma maupun ordinary unhappiness yang terjadi pada anak-anak yang menjalani kehidupan normal. Namun demikian, menurut McReynolds, baik dalam kondisi extreme unhappiness maupun ordinary unhappiness, jika anak dibiarkan tanpa intervensi akan mendorong munculnya gangguan emosi pada anak. Walaupun menjadi tujuan dari semua manusia, namun tampaknya kebahagiaan tidak dipandang secara seragam oleh berbagai budaya. Setiap budaya memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal-hal yang membahagiakan. Bahkan setiap individu memiliki persepsi, makna, dan penghayatan yang berbeda-beda atas kebahagiaan. Menurut Uchida, Norasakkunkit, & Kitayama, (2004), pada orang dewasa di Amerika Utara, kebahagiaan banyak dikaitkan dengan prestasi individual sehingga harga diri merupakan prediktor yang paling penting dalam menilai kebahagiaan. Sementara di Asia Timur kebahagiaan lebih banyak dikaitkan dengan hubungan interpersonal sehingga keterlibatan dalam hubungan sosial menjadi prediktor yang paling penting dalam menilai kebahagiaan seseorang. Sumber kebahagiaan pada anak tentu saja akan berbeda dengan sumber kebahagiaan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan adalah kecerdasan emosional, religiusitas, relasi sosial, pekerjaan dan tingkat pendapatan (Diener & Ryan, 2009). Dari penelitian yang dilakukan oleh Chaplin (2009), ditemukan bahwa ada lima hal yang dapat membuat anak bahagia yaitu orang dan binatang, prestasi, benda materi, hobi atau kegiatan yang disenangi, dan olahraga. UNICEF (dalam McReynolds, 2008) menilai DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN kebahagiaan anak terkait dengan kenyamanan materi, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, spiritual dan keamanan. Walau demikian, sebagaimana pada orang dewasa, cara pandang seorang anak terhadap kebahagiaan dan hal apa yang membuat mereka bahagia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh budaya di tempat anak tersebut tumbuh dan dibesarkan. Melihat pentingnya kebahagiaan dalam meningkatkan kualitas hidup seorang anak, maka perlu suatu upaya untuk mengkaji lebih dalam tentang kebahagiaan pada anak, terutama pada faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan kebahagiaan pada anak. Studi tentang kebahagiaan sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli, namun sebagian besar studi tersebut mengkaji kebahagiaan pada manusia dewasa, dan baru sebagian kecil yang mengkaji kebahagiaan pada anakanak (Ivens, 2007). Park dan Peterson (dalam Chaplin, 2009) menyatakan bahwa tidak seperti pada orang dewasa, pengukuran kebahagiaan pada anak masih terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk memberikan kontribusi terhadap kesenjangan tersebut dengan menjawab pertanyaan mengenai definisi dan sumber kebahagiaan pada anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang definisi dan sumber kebahagiaan pada anak umur 9-12 tahun di wilayah Jakarta Pusat. Metode Penelitian ini menggunakan desain non 3 eksperimen berupa survey dengan menggunakan kuesioner untuk pengambilan data. Dengan mempertimbangkan adanya pengaruh konteks budaya terhadap pendefinisian kebahagiaan, maka penelitian ini menggunakan pendekatan indigeneous agar diperoleh definisi kebahagiaan yang sesuai dengan konteks budaya di Indonesia. Pendekatan psikologi indigenous melihat fenomena dengan perspektif budaya lokal sebagai konteks, memaparkan serta menafsirkannya berdasarkan budaya dan ekologi tempat fenomena berlangsung (Oetami & Yuniarti, 2011). Dengan demikian diharapkan data yang diperoleh benar-benar menggambarkan realitas di tempat berlangsungnya fenomena. Sejumlah 183 anak berusia 9 sampai 12 tahun atau setara kelas tiga sampai enam SD yang berasal dari tiga SD negeri dan swasta di wilayah Jakarta Pusat berpartisipasi dalam penelitian ini. Anak yang dapat menjadi partisipan penelitian adalah mereka yang tidak mengalami gangguan perkembangan dan tidak mengalami penyakit fisik yang parah. Partisipan terdiri dari 95 (52%) orang anak laki-laki dan 88 (48%) anak perempuan. Sebanyak 32 (17%) partisipan berasal dari kelas IV, 97 (53%) partisipan berasal dari kelas V, dan 54 (30%) partisipan berasal dari kelas VI. Sebaran usia partisipan terdiri dari 15 (8%) partisipan berusia 9 tahun, 76 (42%) partisipan berusia 10 tahun, 74 (40%) berusia 11 tahun, 17 (9%) partisipan berusia 12 tahun, dan 1 (1%) partisipan tidak mengisi informasi usia. Data diperoleh melalui kuesioner. 4 PATNANI & JUNIAR Mengingat subjek penelitian adalah anakanak usia 9-12 tahun, maka perlu dilakukan uji keterbacaan untuk memastikan bahwa pertanyaan dalam kuesioner ini dipahami oleh subyek penelitian. Uji keterbacaan dilakukan terhadap lima orang anak usia 912 tahun. Dari hasil uji keterbacaan ini, peneliti kemudian merevisi beberapa pertanyaan agar lebih mudah dipahami oleh subyek penelitian. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari informasi demografi partisipan (usia, pendidikan, kesehatan) dan pertanyaan terbuka yang menanyakan mengenai definisi kebahagiaan dan hal-hal apa yang membuat partisipan merasa bahagia. Partisipan juga diminta untuk menilai secara subjektif tingkat kebahagiaan yang mereka rasakan, apakah sangat bahagia, cukup bahagia, atau kurang bahagia. Beberapa contoh pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini adalah sebagai berikut: 1. Menurutmu, apakah yang dimaksud dengan hidup bahagia? 2. Sebutkan 3 peristiwa yang membuatmu merasa bahagia! 3. Apakah menurutmu bahagia itu penting? Mengapa? Peneliti membagikan kuesioner langsung kepada partisipan di kelas pada jam pelajaran kosong atau pada waktu yang telah disepakati dengan pihak sekolah serta memberikan penjelasan dan mengawasi jalannya pengisian kuesioner. Subjek penelitian didorong untuk memberikan jawaban sesuai dengan kondisinya masing-masing. Data yang diperoleh dikategorisasikan berdasarkan kemiripan tema (analisis tematik). Untuk itu dilakukan proses coding terhadap jawaban yang diberikan subjek penelitian. Agar proses coding benar-benar memberikan hasil yang memuaskan, maka dilakukan dua mekanisme: 1. Coding dilakukan oleh dua orang secara terpisah. Setelah proses coding selesai, hasil coding kemudian dikomparasi dan dilakukan penyesuaian kembali dengan mempertimbangkan komparasi tersebut. 2. Coding dilakukan dalam 3 tahap sampai pada hasil yang dirasakan benarbenar mewakili tema-tema dalam penelitian ini. Hasil Respon partisipan terhadap pertanyaan: “Menurutmu, apa yang dimaksud dengan hidup bahagia?”, terkait definisi kebahagiaan sangat beragam. Tabel 1 menyajikan kategori besar dari jawabanjawaban partisipan. Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan (45,90%) mendefinisikan kebahagiaan sebagai kondisi yang terkait dengan perasaan positif. Perasaan positif meliputi beberapa kategori kecil yaitu perasaan positif (seperti senang, ceria, dan gembira), hidup bebas, bertemu idola, dan merasa beruntung. Definisi lain dari kebahagiaan adalah memiliki hubungan dengan keluarga yang positif yang dijawab oleh 10,93% partisipan. Kategori hubungan keluarga yang positif meliputi berkumpul dengan orang tua dan melakukan aktivitas dengan keluarga. DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN Tabel 1 Definisi Kebahagiaan No Pengertian bahagia Jumlah Persentase 1. Perasaan positif 84 45,90 2. Pertemanan 11 6,01 Hubungan dengan keluarga 20 10,93 3. 4. Materi yang cukup 18 9,84 10 5,46 5. Melakukan aktivitas yang disukai 6. Pencapaian prestasi 17 9,29 Kehidupan yang berkualitas 11 6,01 7. 8. Berbuat baik 3 1,64 9. Tidak relevan 5 2,73 4 2,19 10. Tidak diisi Sebanyak 9,84% partisipan mendefinisikan kebahagiaan sebagai adanya kecukupan materi. Kategori tersebut meliputi terpenuhinya kebutuhan dan diberi sesuatu yang diinginkan. Pencapaian prestasi merupakan definisi kebahagiaan yang diungkap oleh 9,29% partisipan. Kategori ini hanya terdiri dari kategori berprestasi seperti sukses, dapat rangking di kelas, dan naik kelas. Definisi kebahagiaan berikutnya adalah memiliki teman dan menjalani hidup yang berkualitas yang masing-masing dijawab oleh 6,01% partisipan. Kategori pertemanan sendiri meliputi kategori kecil 5 memiliki teman, hubungan dengan teman yang positif, melakukan aktivitas bersama teman, dan kualitas teman (teman yang menyenangkan dan peduli). Kategori menjalani hidup yang berkualitas terdiri dari kategori hidup yang berkualitas itu sendiri (hidup sehat, damai, tentram, rukun). Sejumlah 5,46% partisipan mendefinisikan kebahagiaan sebagai dapat melakukan aktivitas yang disukai. Hal ini meliputi bermain dan melakukan kegiatan yang disukai oleh anak seperti menggambar dan jalan-jalan. Terdapat 1,64% partisipan yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai berbuat baik. Sedangkan sebanyak 2,73% partisipan memberikan jawaban yang tidak relevan dan 2,19% lainnya tidak memberikan jawaban. Tabel 2 menyajikan kategori-kategori besar dari jawaban partisipan terhadap pertanyaan, “Sebutkan tiga peristiwa atau hal yang membuatmu merasa bahagia”. Kebanyakan partisipan (22,87%) menjawab bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah apabila mereka dapat melakukan aktivitas yang mereka sukai. Kategori ini meliputi diajak melakukan aktivitas yang disukai, jalan-jalan, dan menikmati waktu luang. Sebanyak 18,79% menjawab bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah hidup berkecukupan. Hal ini meliputi kategori materi, hidup cukup, dan memiliki fasilitas internet. Sumber kebahagiaan bagi 14,18% responden adalah pencapaian prestasi. Kategori ini meliputi prestasi, belajar, pintar, dan memikirkan apa yang ingin dicapai. 6 PATNANI & JUNIAR Tabel 2 Sumber Kebahagiaan No Sumber Kebahagiaan 1. Hubungan dengan keluarga yang harmonis 65 11,52 2. Menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu 22 3,90 3. Perasaan positif 35 6,21 4. Mendapat perlakuan baik 41 7,27 5. Pencapaian prestasi 80 14,18 6. Hidup berkecukupan 106 18,79 7. Keinginan terpenuhi 8 1,42 8. Berbuat baik 10 1,77 9. Pertemanan 58 10,28 129 22,87 11. Ibadah 4 0,71 12. Lain-lain 4 0,71 13. Tidak diisi 2 0,35 10. Melakukan hal yang disuka Jumlah Persentase Sebanyak 11,52% partisipan menjawab bahwa sumber kebahagiaan bagi mereka adalah hubungan keluarga yang harmonis. Kategori ini meliputi beraktivitas bersama keluarga, keluarga senang, bangga pada orang tua, dan tidak ada konflik dengan orang tua. Selanjutnya, 10,28% partisipan mengungkapkan bahwa pertemanan adalah sumber kebahagiaan mereka. Kategori ini meliputi teman itu sendiri. Terdapat 7,27% partisipan yang menjawab bahwa sumber kebahagiaan adalah mendapat perlakuan baik yang terdiri dari dimanja dan disayang, dirawat hingga tumbuh besar, serta memiliki guru yang perhatian. Sejumlah 6,21% partisipan memandang sumber kebahagiaan mereka adalah apabila mereka mengalami perasaan positif yang meliputi senang, bercanda, mengalami momen indah, senyum, ulang tahun, dan hidup tenang tanpa tekanan batin. Terdapat 3,90% partisipan yang memandang bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu yang meliputi kategori kecil menjadi anggota tim ataupun aktivitas tertentu, memiliki keluarga yang lengkap, dan memiliki orang tua dan guru. Sejumlah 1,77% partisipan menjawab bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah karena berbuat baik yang terdiri dari membantu orang lain dan berbakti pada orang tua. Sebesar 1,42% partisipan merasa bahagia karena keinginannya terpenuhi yang terdiri dari keinginan terpenuhi dan bisa makan yang disukai. Terakhir, ada 0,71% partisipan yang menjawab bahwa ibadah merupakan sumber kebahagiaan mereka. Sebanyak 0,71% partisipan menjawab lainlain, seperti berada di lingkungan baru, menjawab pertanyaan orang, menjahili orang, dan kemampuan tersalurkan, sedangkan sebanyak 0,35% partisipan tidak memberikan jawaban. Tabel 3 menyajikan penilaian partisipan mengenai tingkat kebahagiaan yang 7 DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN mereka rasakan, apakah sangat bahagia, cukup bahagia, atau kurang bahagia. Tabel 3 Rasa Bahagia Jumlah Persentase 1. Sangat bahagia 77 42% 2. Cukup bahagia 95 52% 3. Kurang bahagia 9 5% Tidak diisi 2 4. Alasan yang Melandasi Anak Memilih Kategori Rasa Bahagia No Alasan tingkat Jumlah Prosentase bahagia Kategorisasi Rasa Bahagia No Tabel 4 1% Secara umum, kebanyakan partisipan menilai dirinya cukup bahagia (52%), diikuti (42%) merasa dirinya masuk dalam kategori sangat bahagia, dan kurang bahagia (5%). Sedangkan 1% partisipan tidak memberikan jawaban. Pengkategorisasian ini dilakukan berdasarkan penilaian subjektif partisipan. Para partisipan memberikan alasan yang sangat beragam mengenai kategori kebahagiaan yang mereka pilih yang terangkum dalam tabel 4. Mayoritas partisipan beralasan bahwa mereka merasa sangat bahagia dan cukup bahagia dikarenakan sudah memiliki hubungan dengan keluarga yang baik dan dapat melakukan hal yang menyenangkan. Partisipan yang mengkategorikan dirinya sebagai cukup bahagia beralasan karena mereka merasa cukup bahagia, terkadang bahagia terkadang tidak. Sedangkan mereka yang mengkategorikan dirinya kurang bahagia beralasan karena mereka merasa kurang bahagia, belum beruntung, dan sering dimarahi Hubungan dengan keluarga 45 24,59 1. Melakukan hal yang menyenangkan 24 13,11 2. 3. Pencapaian prestasi 10 5,46 4. Materi 15 8,20 5. Pertemanan 18 9,84 6. Sangat bahagia 10 5,46 7. Cukup bahagia 43 23,50 8. Kurang bahagia 4 2,19 9. Berbuat kebaikan 3 1,64 10. Bahagia itu penting 2 1,09 11. Bersyukur 1 0,55 12. Tidak diisi 3 1,64 13. Tidak relevan 5 2,73 8 PATNANI & JUNIAR Tabel 5 Pentingnya Bahagia No Pentingnya Bahagia Jumlah Prosentase 1 Penting 153 84% 2 Tidak Penting 11 6% 3 Tidak relevan 4 2% 4 Tidak diisi 15 8% Tabel 6 mayoritas partisipan (84%) memandang bahwa kebahagiaan adalah hal yang penting. Terdapat 6% partisipan yang memandang kebahagiaan sebagai hal yang tidak penting. Alasan yang dikemukakan oleh partisipan mengenai pentingnya kebahagiaan juga beragam dan dapat dilihat pada tabel 6. Mayoritas partisipan beralasan bahwa kebahagiaan adalah hal yang penting karena kebahagiaan dapat membuat mereka mengalami perasaan positif dan menghindari perasaan negatif. Pembahasan Alasan Pentingnya Bahagia No Alasan Jumlah Prosentase 1 Keluarga 12 6,56 2 Bahagia adalah hal yang penting 31 16,94 3 Mendapatkan perasaan positif dan menghindari perasaan negatif 96 52,46 4 Tidak selalu bahagia 4 2,19 5 Aktivitas yang disukai 5 2,73 6 Lain-lain 8 4,37 7 Tidak relevan 17 9,29 8 Tidak diisi 10 5,46 Tabel 5 menyajikan respon partisipan terhadap pertanyaan apakah bahagia itu penting. Hasil tabulasi menunjukkan Sebagaimana tersaji pada tabel 1, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anakanak mendefinisikan kebahagiaan secara beragam. Dari sekian banyak definisi kebahagiaan yang diutarakan anak, definisi kebahagiaan yang paling menonjol adalah perasaan positif yang dialami. Dalam persepsi anak, perasaan positif ditandai antara lain dengan hadirnya perasaan senang, ceria, gembira, dan penuh tawa. Hal ini tampaknya merupakan kondisi yang sangat wajar baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak, mengingat Seligman et al. (2005) menyatakan bahwa hidup yang bahagia itu salah satunya adalah hidup yang menyenangkan (pleasure life). Anak juga mengutarakan definisi-definisi lain terkait dengan kebahagiaan. Namun apabila ditelaah lebih jauh, semua kategori definisi tersebut bermuara pada munculnya perasaan positif pada anak. Misalnya, pada kategori hubungan keluarga dan teman, kedua kategori tersebut mengandung inti adanya DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN relasi positif yang menimbulkan perasaan senang pada anak melalui berkumpul sambil melakukan hal yang menyenangkan dengan keluarga dan bercanda dengan teman. Begitu pula dengan melakukan aktivitas yang disukai seperti jalan-jalan, olah raga, menggambar memunculkan rasa gembira pada anak. Kecukupan materi dan pencapaian prestasi yang juga merupakan definisi kebahagiaan yang dipersepsi oleh anak pada dasarnya berujung pada munculnya rasa senang pada anak. Kecukupan materi yang terdiri dari dapat hidup berkecukupan dan nyaman serta terpenuhinya keinginan untuk memiliki benda yang diinginkan oleh anak akan berujung pada munculnya rasa senang. Sedangkan pencapaian prestasi seperti kesuksesan, pencapaian cita-cita, maupun keberhasilan akademik seperti menjadi juara kelas maupun naik kelas juga akan membuat anak merasa senang sehingga muncul perasaan positif. Anak yang berprestasi pada umumnya juga akan mendapat respon positif dari orang lain misalnya berupa pemberian pujian maupun hadiah sehingga pada akhirnya akan mendatangkan perasaan positif pada anak. Masih terdapat beberapa definisi yang diungkap oleh anak terkait kebahagiaan, seperti pertemanan, melakukan aktivitas yang disukai, menjalani kehidupan yang berkualitas, dan berbuat baik yang kesemuanya memunculkan perasaan positif pada anak. Maka dari itu disimpulkan bahwa anak mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu perasaan yang positif. Mayoritas anak dalam penelitian ini menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal yang penting karena kebahagiaan 9 dapat membuat mereka merasakan hal positif dan menghindarkan mereka dari perasaan negatif. Sebagaimana definisi kebahagiaan, anak juga mempersepsikan sumber kebahagiaan secara beragam (Tabel 2). Secara umum tema-tema sumber kebahagiaan yang ditemukan dalam penelitian ini sejalan dengan temuan dari penelitian lain yang dilakukan di Indonesia yang melibatkan partisipan remaja. Anggoro dan Widhiarso (2010) melakukan penelitian mengenai kebahagiaan pada mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta dengan pendekatan indigenous menemukan bahwa terdapat empat aspek utama penyusun kebahagiaan pada masyarakat lokal, yaitu: ikatan rasa kekeluargaan, prestasi atau pencapaian pribadi, relasi sosial, dan kebutuhan spiritual. Sedangkan penelitian lain mengenai tema kebahagiaan yang juga menggunakan pendekatan indigenous yang dilakukan pada remaja di Yogyakarta oleh Oetami dan Yuniarti (2011) menemukan bahwa hal-hal yang membuat remaja bahagia adalah keluarga, prestasi, mencintai dan dicintai, spiritualitas, teman, waktu luang, uang, dan lain-lain. Walau demikian, terlihat bahwa pada anak-anak sumber kebahagiaan yang paling menonjol adalah dapat melakukan kegiatan yang disukai. Hal ini tampaknya yang membedakan sumber kebahagiaan yang dipersepsi oleh anak dengan sumber kebahagiaan yang dipersepsi oleh remaja. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa sumber kebahagiaan yang dominan pada anak adalah pada saat anak dapat melakukan berbagai aktivitas yang mereka 10 PATNANI & JUNIAR sukai, seperti bermain, jalan-jalan, menggambar, dan lain-lain karena tentunya hal tersebut dapat mendatangkan perasaan positif pada anak. Hal menarik yang dapat dibahas adalah bahwa anak memandang bahwa hidup berkecukupan merupakan sumber kebahagiaan dominan kedua setelah kategori dapat melakukan hal yang mereka sukai. Hal ini meliputi hal-hal yang bersifat material seperti dapat hidup berkecukupan dan nyaman, diberi uang maupun dibelikan benda yang diinginkan, hingga memiliki fasilitas internet. Dalam penelitian kebahagiaan pada remaja di Yogyakarta, tema yang terkait dengan hidup berkecukupan sebenarnya juga muncul, yaitu tema kesejahteraan (Anggoro & Widhiarso, 2010) dan tema uang (Oetami & Yuniarti, 2011), namun tampaknya tidak sedominan pada anak dalam penelitian ini. Materi akan memungkinkan pemenuhan kebutuhan sehingga anak menjadi senang dan puas dengan hidupnya dan pada akhirnya membuat anak merasa bahagia. Pencapaian prestasi, hubungan dengan keluarga, dan teman merupakan tema sumber kebahagiaan yang juga muncul. Pada hasil penelitian (Anggoro & Widhiarso, 2010) sumber kebahagiaan yang utama adalah keluarga, prestasi, diikuti dengan relasi dengan orang lain. Demikian pula hasil penelitian (Oetami & Yuniarti, 2011) yang menunjukkan bahwa sumber kebahagiaan yang paling mendominasi adalah keluarga, diikuti dengan prestasi, kemudian pertemanan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pencapaian prestasi lebih banyak dianggap sebagai sumber kebahagiaan yang kemudian diikuti oleh keluarga, dan pertemanan. Temuan ini dapat mengindikasikan beberapa hal. Hal pertama adalah bahwa perbedaan tersebut dapat disebabkan karena tahapan perkembangan yang berbeda. Partisipan penelitian ini adalah anak berusia 9-12 tahun yang menurut Erikson sedang berada pada tahap industry versus inferiority, dimana pada tahap tersebut salah satu tugas perkembangan anak adalah menguasai tugas-tugas yang dianggap penting oleh lingkungan sekitarnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Tugas yang dianggap penting dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain dan amat dipengaruhi oleh kultur tempat tersebut. Sebagaimana diutarakan oleh Kim dan Park (2006, dalam Anggoro & Widhiarso, 2010), bahwasanya budaya memiliki peranan yang sangat sentral pada setiap individu dalam mempersepsi fenomena sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa budaya di lingkungan Jakarta Pusat menganggap bahwa pencapaian prestasi baik dalam hal akademis maupun non akademis pada anak merupakan sesuatu yang dianggap penting sehingga anak berusaha mencapai prestasi agar memperoleh perasaan positif. Keluarga dan teman juga merupakan sumber kebahagiaan yang cukup dominan bagi anak. Anak memandang bahwa sumber kebahagiaan salah satunya adalah hubungan keluarga yang harmonis yang termanifestasi dalam bentuk beraktivitas bersama keluarga. Sedangkan pertemanan lebih banyak terkait dengan relasi sosial anak. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Diener dan Biswas-Diener DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN (2008), yaitu banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa relasi atau hubungan sosial memiliki pengaruh yang penting pada kebahagiaan. Hubungan sosial yang dekat akan berdampak positif pada kesejahteraan psikologis pada seorang individu karena hubungan dekat memungkinkan individu untuk mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan. Spiritualitas sebagai sumber kebahagiaan ditemukan lebih dominan pada penelitian yang dilakukan oleh Anggoro dan Widhiarso (2010) serta Oetami dan Yuniarti (2011). Kebutuhan spiritual mengacu pada proses memenuhi atau telah terpenuhinya target individu dalam hal spiritual yang dalam hal ini meliputi berbagai aktivitas yang mencerminkan keyakinan terhadap agama (Anggoro & Widhiarso, 2010). Pada anak, hal yang terkait dengan spiritualitas sebagai sumber kebahagiaan diantaranya adalah beribadah dan berbuat kebaikan. Apabila dibandingkan dengan sumber kebahagiaan pada anak yang dilakukan di luar negeri, terdapat persamaan dan juga perbedaan. Hasil studi yang dilakukan oleh Chaplin (2009) menemukan bahwa tema yang membuat anak merasa bahagia adalah orang dan hewan peliharaan, pencapaian prestasi, benda material, hobi, olahraga. Secara garis besar, tema-tema yang muncul di penelitian tersebut juga muncul dalam hasil penelitian ini, meliputi orang, pencapaian prestasi, benda material, hobi, dan olah raga. Namun tema hewan peliharaan tidak muncul dalam hasil penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber-sumber kebahagaiaan 11 memang dipersepsikan berbeda pada kultur yang berbeda. Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep psikologis individu, seperti halnya konsep kebahagiaan. Oleh karena itu, dapat dipahami apabila suatu nilai kebahagiaan individu pasti dipengaruhi oleh konteks budaya yang berlaku (Anggoro & Widhiarso, 2010). Mayoritas anak dalam penelitian ini menggolongkan diri mereka sebagai anak yang cukup bahagia dengan alasan mereka merasa terkadang merasa bahagia dan terkadang tidak. Walau demikian, banyak juga anak yang menggolongkan dirinya sebagai sangat bahagia. Mereka yang merasa sangat bahagia ternyata memiliki alasan yang paling dominan yaitu keluarga, yang diikuti dengan dapat melakukan aktivitas yang menyenangkan, teman, dan terakhir materi. Temuan ini dapat diartikan bahwa walaupun anak memandang materi sebagai sumber kebahagiaan yang dominan, namun hal itu bukan merupakan hal utama yang membuat anak merasa sangat bahagia. Hal ini paralel dengan temuan penelitian lain yang mengatakan bahwa uang atau materi merupakan prediktor yang cukup kuat mengenai evaluasi hidup namun merupakan prediktor yang lemah mengenai perasaan positif dan negatif (Diener, Ng, Harter, & Arora, 2010). Hal senada juga diungkap oleh McReynolds (2008) yang menyatakan bahwa hal-hal material pada dasarnya berfokus pada economic wellbeing, bukan pada emotional well-being. Dalam penelitian ini, hal utama bagi anak yang sangat bahagia dapat dikatakan terkait dengan hubungan sosial yang dalam 12 PATNANI & JUNIAR hal ini meliputi hubungan anak dengan keluarga dan juga teman. Selain itu anak yang dapat melakukan aktivitas yang disukai juga banyak yang menyatakan bahwa aktivitas tersebut akan lebih menyenangkan apabila dilakukan bersama keluarga maupun teman. Hal tersebut dapat dijelaskan terkait konteks budaya sebagaimana diutarakan oleh Uchida, et al. (2004; dalam Anggoro & Widhiarso, 2010) dalam penelitiannya mengenai konstruksi kultural kebahagiaan. Ia menemukan bahwa cara terbaik untuk memprediksi kebahagian dikonteks budaya timur yang cenderung kolektivistik adalah dengan melihat kelekatan diri atau individu dalam hubungan sosial. Temuan penelitian ini paralel dengan temuan dari literatur lain yang melibatkan orang dewasa dan remaja yang menyatakan bahwa hubungan sosial berkorelasi secara signifikan dan merupakan prediktor dari kebahagiaan (Holder & Coleman, 2009). Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu bahwa definisi kebahagiaan menurut anak adalah perasaan yang positif dimana sumber kebahagiaan bagi anak yang dominan adalah melakukan aktivitas yang disukai, kecukupan materi, pencapaian prestasi, relasi positif dengan keluarga dan teman. Anak yang menganggap dirinya sangat bahagia memiliki alasan karena ia memiliki relasi keluarga yang positif, dapat melakukan aktivitas yang disenangi, teman, dan materi. Artinya, walaupun anak menganggap bahwa materi adalah salah satu sumber kebahagiaan mereka, namun hal itu bukanlah hal yang dianggap paling utama oleh anak yang sangat bahagia. Oleh karena itu upaya meningkatkan kebahagiaan pada anak seharusnya lebih difokuskan pada upaya menciptakan maupun meningkatkan relasi yang positif dalam setiap keluarga, memberi kesempatan anak untuk dapat melakukan aktivitas yang menyenangkan, serta memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi dengan teman, sambil orang tua tetap berusaha memenuhi kebutuhan anak. Untuk penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk menggunakan metode pengambilan data berupa wawancara, mengingat dengan menggunakan kuesioner berupa pertanyaan terbuka kurang mampu menggali makna yang lebih mendalam dari jawaban yang diberikan oleh subyek. Daftar Acuan Abdel-Khalek, A. M. (2006). Measuring happiness with a single-item scale. Social Behavior and Personality: An International Journal, 34(2), 139-150. Allen, K. E., & Marotz, L. R. (1994). Developmental profiles: Pre-birth through eight (2nd ed.). Albany, NY: Delmar Publishers. Anggoro, W. J., & Widhiarso, W. (2010). Konstruksi dan identifikasi properti psikometris instrumen pengukuran kebahagiaan berbasis pendekatan indigenous psychology: Studi multitraitmultimethod. Jurnal Psikologi, 37(2), 176-188. Chaplin, L. N. (2009). Please may I have a bike? Better yet, may I have a hug? An examination of children’s and adolescents’ happiness. Journal of DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN Happiness studies, 10(5), 541-562. Diener, E., & Biswas-Diener, R. (2008). Happiness: Unlocking the mysteries of psychological wealth. USA: WileyBlackwell. Diener, E., Ng, W., Harter, J., & Arora, R. (2010). Wealth and happiness across the world: Material prosperity predicts life evaluation, whereas psychosocial prosperity predicts positive feeling. Journal of Personality and Social Psychology, 99(1), 52-61. doi:10.1037/a0018066 Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective well-being: a general overview. South African Journal of Psychology, 39(4), 391-406. Deiner, E., Suh, E., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276-302. Holder, M. D., & Coleman, B. (2009). The contribution of social relationships to children’s happiness. Journal of Happiness Studies, 10(3), 329-349. doi:10.1007/s10902-007-9083-0 Ivens, J. (2007). The development of a happiness measure for school children. Educational Psychology in Practice, 23(3), 221–239. doi:10.1080/02667360701507301 McReynolds, K. (2008). Children’s happiness. Encounter: Education for Meaning and Social Justice, 21(1), 4348. Oetami, P., & Yuniarti, K. W. (2011). Orientasi kebahagiaan siswa SMA, Tinjauan psikologi indigenous pada siswa laki-laki dan perempuan. Humanitas (Jurnal Psikologi Indonesia), 13 8(2), 105-114. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (10th ed.). New York: McGraw-Hill. Schimmel, J. (2009). Development as happiness: The subjective perception of happiness and UNDP’s analysis of poverty, wealth and development. Journal of Happiness Studies, 10(1), 93-111. Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-421. doi:10.1037/0003-066X.60.5.410 Uchida, Y., Norasakkunkit, V., & Kitayama, S. (2004). Cultural constructions of happiness: Theory and empirical evidence. Journal of Happiness Studies, 5(3), 223-239. doi:10.1007/s10902-0048785-9 Alamat surel: [email protected] Jurnal Psikologi Indonesia 14 2014, Vol. XI, No. 1, 14-27, ISSN. 0853-3098 SUKIRNA Himpunan Psikologi Indonesia POSTTRAUMATIC GROWTH PADA ANAKANAK YANG MENGALAMI PERISTIWA TRAUMATIK: EKSPLORASI PERAN PERUBAHAN KEYAKINAN DASAR, PIKIRAN RUMINATIF DAN DUKUNGAN SOSIAL (POSTTRAUMATIC GROWTH IN CHILDREN WITH TRAUMATIC EXPERIENCES: EXPLORING THE ROLE OF CHANGES IN CORE BELIEFS, RUMINATIVE THOUGHTS, AND SOCIAL SUPPORT) H. S. Shinto Sukirna Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Penelitian ini mengeksplorasi peran perubahan keyakinan dasar, pikiran ruminatif dan dukungan sosial untuk terjadinya postraumatic growth pada anak-anak. Perubahan keyakinan dasar diukur dengan Core Beliefs Inventory. PTG diukur dengan PTG Inventory Children-Revised, pikiran ruminatif diukur dengan Ruminative Inventory dan dukungan sosial diukur dengan Social Supports Questionnaire for Children. Hasil: ke 120 siswa Sekolah Dasar mengalami perubahan core beliefs dan pemikiran ruminatif dalam taraf sedang. Dukungan sosial pun mereka terima dalam taraf sedang. Perubahan core beliefs dan dukungan sosial masing-masing berperan menyumbang sebesar 23.9 serta berkorelasi positif dengan pemikiran ruminatif. Pemikiran ruminatif berkorelasi positif dengan PTG dan menyumbang 29% untuk terjadinya PTG. PTG yang terjadi pada anakanak tergolong tinggi dan meliputi kelima ranah. Kata kunci: posttraumatic growth, anak-anak, keyakinan dasar, ruminasi, dukungan sosial This study aims at identifying the roles of changes in core beliefs, ruminative thought, and social supports for the development of PTG in children. Instrument used: Core Beliefs Inventory, PTG Inventory ChildrenRevised, Ruminative Inventory and Social Supports Questionnaire for Children. Linear regression and multiple regression analysis used to identify relation among the variables. Results: all of the 120 elementary school students, showed moderate changes in core beliefs and moderately high ruminative thinking. Social supports also received in moderate amount. Changes in core beliefs and social supports, each contributed 23.9% and positively corelated to ruminative thought. Ruminative thought positively corelated and contributed 29% in producing PTG. PTG was found significantly high and covered all of its five domains. Keywords: posttraumatic growth, children, core beliefs, rumination, social supports 14 POSTTRAUMATIC GROWTH Dampak positif pengalaman traumatik sudah banyak diteliti di kalangan orang dewasa, namun penelitian di kalangan anak-anak masih terbilang langka. Penelitian mengenai trauma pada anakanak masih lebih terfokus pada dampak negatifnya terhadap perkembangan kognitif, fisiologis, emosional dan tingkah laku individu (Aldwin & Sutton, 1998; Pynoos, Steinberg, & Wraith, 1995). Di kalangan orang dewasa diketahui bahwa pergulatan dengan trauma dapat berdampak positif. Perubahan positif pasca trauma oleh Tedeschi dan Calhoun (1996) disebut posttraumatic growth (PTG). Perubahan positif pasca trauma yang dimaksud merupakan perubahan yang bersifat transformasional, bukan hanya mengenai kemampuan bertahan atau memulihkan diri kembali ke keadaan pra trauma. PTG merupakan perubahan persepsi mengenai terjadinya perkembangan yang jauh lebih baik pada diri individu, yang melampaui keadaan pra trauma. PTG diyakini sebagai hasil pergumulan batin individu dengan trauma dan keadaan pasca trauma yang dialaminya. Proses pergumulan batin tersebut melibatkan kemampuan kognitif untuk berpikir abstrak dan melakukan penilaian terhadap diri dan dunia individu. Kemampuan kognitif tersebut, pada anakanak, masih dalam proses perkembangan (Aldwin & Sutton, 1986). Diperkirakan bahwa anak-anak belum mencapai kemampuan kognitif yang memadai untuk mengidentifikasi dan menilai dampak pengalamannya (Cryder, Kilmer, Tedeschi & Calhoun, 2006). Mengingat adanya keterbatasan kognitif tersebut timbul 15 keraguan mengenai dapat terjadinya PTG pada anak-anak. Keraguan tersebut tersingkir oleh penelitian Yaskowich (2002) yang memastikan bahwa PTG ternyata dialami oleh anak-anak yang menderita kanker. Berawal dari penelitian tersebut, sampai saat ini berbagai penelitian menemukan bahwa PTG terjadi pada anakanak dengan latar belakang pengalaman traumatik yang beraneka ragam. Selain pengalaman traumatik, Kilmer (2006) mengemukakan berbagai faktor yang terlibat dalam proses terjadinya PTG pada model hipotetis proses terjadinya PTG pada anak (lihat Gambar 1). Individu menjalani kehidupan dengan berlandaskan pada keyakinan dasar mengenai dirinya, orang lain, dunianya dan keyakinan mengenai hal-hal yang berada di bawah atau di luar kendalinya. Pengalaman traumatik diibaratkan sebagai gempa yang mengguncang dan dapat menghancurkan keyakinan dasar tersebut dan membuat individu kehilangan pegangan. Usaha adaptasi terhadap trauma, yang menghadapkan individu pada keadaan yang amat berbeda dengan keyakinan dasar yang dimilikinya, akan memicu ruminasi, baik ruminasi yang bersifat intrusif mau pun ruminasi yang disengaja. Diperkirakan bahwa semakin besar perubahan pada keyakinan dasar individu, akibat trauma, semakin kuat proses ruminasi yang terjadi. Proses ruminasi atau pemikiran berulang terus menerus, mengenai trauma dan dampaknya terhadap diri dan kehidupan individu merupakan proses sentral untuk terjadinya PTG. Di dalam proses ruminasi tersebut, pengalaman 16 SUKIRNA dikaji ulang, dinilai, dibandingkan dengan pengalaman lain. Proses ruminasi akan menghasilkan pemahaman baru, pengetahuan baru, persepsi baru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman traumatik dan dunia individu pasca trauma. Sejauh ini proses ruminasi belum diteliti di kalangan anak-anak, mengingat adanya perkiraan bahwa kemampuan kognitif anak masih belum memadai untuk berpikir abstrak. Jadi, perlu dijajagi apakah proses ruminasi juga terjadi pada anak-anak. Selain itu, situasi stres dalam kehidupan pasca trauma, respons orang tua, hubungan sosial dan dukungan sosial dari berbagai sumber di dalam mikrosistem anak di masa pasca trauma. Dukungan sosial dan sumber daya yang dimiliki individu, memengaruhi proses ruminasi, dan lebih lanjut akan memengaruhi self system individu: self efficacy, hope dan optimisme. Faktor-faktor tersebut memiliki peran daam proses terjadinya PTG (Kilmer, 2006). Mengacu pada model hipotetis Gambar 1. Model hipotetis posttraumatic growth pada anak-anak (Kilmer, 2006) POSTTRAUMATIC GROWTH tersebut, penelitian ini akan menjelajahi peran perubahan pada keyakinan dasar yang terjadi akibat trauma, dukungan sosial dan proses ruminasi dalam proses terjadinya PTG pada anak-anak. Hasil penelitian ini akan menunjukkan apakah pada anak-anak di Indonesia yang mengalami trauma terjadi perubahan pada keyakinan dasar yang mereka miliki, dan hubungannya dengan proses ruminasi dan terjadinya PTG. Akan ditelaah juga peran dukungan sosial terhadap proses ruminasi dan terjadinya PTG. Sejauh ini PTG ditemukan terjadi pada anak-anak dengan berbagai latar belakang pengalaman traumatik: penderita kanker (a.l. Yaskowich, 2002; Barakat, Alderfer & Kazak, 2006; Turner-Sack, 2007), kecelakaan lalulintas (Salter & Stallard, 2004), bencana alam (Milam, Ritt-Olson & Unger, 2004; Cryder, Kilmer, Tedeschi & Calhoun, 2006; Hafstad, Gil-Rivas, Kilmer, & Raeder, 2010; Kilmer & Gil-Rivas, 2010; Yu, 2010), kematian orang tua (Wolchick, 2008), konflik sosial, tindak kekerasan, kematian, cedera fisik, penyakit di daerah perkotaan (Icovics, Mead, Kershaw, Milan, Lewis & Ethier, 2006), serta situasi peperangan dan teror (Laufer & Solomon, 2006; Milam, Ritt-Olson, Tan, Unger & Nezami, 2004). Penelitian tersebut tidak hanya mengkonfirmasi bahwa PTG dapat terjadi pada anak-anak, namun juga menunjukkan PTG dapat terjadi tidak tergantung pada jenis pengalaman traumatik yang dialami individu. Hasil penelitian tersebut juga meneguhkan keyakinan bahwa bukan pengalaman traumatik itu sendiri yang menumbuhkan PTG. Tedeschi dan Calhoun (1995) 17 mengemukakan bahwa PTG merupakan hasil pergulatan batin individu dengan segala hal yang dihadapi individu pasca pengalaman traumatik. Dalam perkembangannya, Tedeschi dan Calhoun (2004) memperluas konsep PTG tidak hanya terbatas pada perubahan positif pasca peristiwa traumatik, namun juga mencakup perubahan positif pasca krisis kehidupan atau situasi yang mengancam keselamatan atau integritas hidup seseorang. Berbeda dengan resiliensi yang menunjukkan kemampuan bangkit kembali ke kondisi pra trauma, PTG mengacu pada perubahan positif yang bersifat transformasional, perkembangan positif melampaui kondisi pra trauma. PTG yang berkembang dari pergulatan individu dengan berbagai masalah dan perubahan dalam dunia-pasca-trauma yang dihadapinya tersebut meliputi perubahan persepsi mengenai: 1) penghargaan yang lebih besar terhadap kehidupan, 2) kesadaran memiliki kualitas atau karakteristik pribadi yang positif atau lebih baik, 3) hubungan antar pribadi yang lebih berkualitas: lebih peduli, hangat, akrab dan bermakna, 4) terbukanya peluang, tujuan atau arah baru dalam kehidupan, dan 5) perubahan positif dalam area spiritual, keagamaan, falsafah dan makna hidup (Calhoun & Tedeschi, 2006). Perkembangan positif pasca trauma yang serupa dengan yang tercakup di dalam konsep PTG sebenarnya sudah ditemukan dalam penelitian Oltjenbruns (1991) di kalangan remaja yang mengalami kematian orangtua. Dampak positif yang mereka alami meliputi: (1) sikap lebih menghargai kehidupan, (2) kepedulian 18 SUKIRNA lebih besar terhadap orang yang dikasihi, (3) ikatan emosional yang lebih kuat dengan orang lain, (4) kualitas diri yang lebih kuat secara emosional, (5) empati yang lebih besar terhadap orang lain, (6) kemampuan komunikasi yang meningkat, dan (7) kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan masalah. Pada penelitian tersebut tidak ditemukan terjadinya perubahan positif dalam ranah spiritual dan terbukanya peluang baru seperti yang tercakup dalam konsep PTG. Model PTG yang diajukan Tedeschi dan Calhoun (1996) mengemukakan peran pengalaman traumatik ibarat berkekuatan gempa yang mengguncang keyakinandasar individu. Guncangan yang mengubah keyakinan-dasar inilah yang kemudian mengawali terjadinya PTG. Hal ini sejalan dengan pandangan Janoff-Bulman (1992) bahwa pada intinya trauma merupakan cerminan dari keyakinan-dasar yang tercabik atau luluh lantak. Perubahan pada keyakinan-dasar juga tercakup di dalam model yang diajukan Kilmer (2006). Keyakinan dasar atau assumptive world merupakan serangkaian asumsi mengenai dunia dan diri seseorang yang diyakini dengan kuat dan berguna sebagai rujukan dalam mengenali, mengantisipasi, membuat rencana atau bertindak dalam dunianya. Asumsi tersebut berfungsi sebagai landasan dalam mengantisipasi masa depan, mengarahkan perhatian dan ingatan individu terhadap hal-hal yang relevan, serta menjadi rujukan dalam memaknai suatu informasi baru. Keyakinan-dasar utama dalam assumptive world seseorang, menurut Janoff-Bulman (1992) meliputi asumsi bahwa: (1) dunia ini aman dan baik, (2) dunia ini bermakna, dan (3) individu merupakan diri yang berharga. Individu berfungsi dalam kehidupan seharihari dengan bertumpu pada asumsi tersebut. Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatik, keyakinan-dasar mengenai dirinya, orang lain, hubungan dengan orang lain dan dunianya tersebut, ibarat dilanda gempa hebat dan dapat menjadi luluh lantak hancur berantakan. Perubahan besar pada keyakinan-dasar individu merupakan indikator adanya trauma dan merupakan prasyarat untuk terjadinya PTG. Kehancuran keyakinan-dasar membawa individu kedalam pergumulan yang mendorong individu untuk membangun kembali keyakinan-dasar baru yang lebih sesuai dengan dunia-pascatraumanya. Keyakinan-dasar yang baru dibangun tersebut akan memengaruhi interpretasi individu terhadap keadaan pasca trauma, yang memungkinkan terjadinya PTG. Hancurnya keyakinandasar membuat individu bergulat dalam pemikiran ruminatif seputar trauma yang dialaminya. Proses ruminasi ini berperan penting untuk terjadinya PTG karena di dalam proses tersebut segala pengalaman pascatrauma diolah, dicoba untuk dipahami, diintegrasikan dengan skema yang sudah ada sebelumnya, dinilai, dibandingkan dan disesuaikan dalam rangka membangun keyakinan-dasar pasca trauma. Ruminasi diartikan sebagai pemikiran yang terjadi berulang-ulang, disadari, bertujuan mencapai solusi, bukan terjadi karena ada keharusan atau perintah untuk POSTTRAUMATIC GROWTH melakukannya. Terdapat peneliti yang membedakan ruminasi yang bersifat reflektif terarah pada penemuan solusi dan ruminasi dalam arti brooding yang menimbulkan kecemasan. Ruminasi dibedakan juga antara yang bersifat intrusif dan yang dilakukan secara sengaja untuk menemukan solusi atau pemahaman seputar trauma. Proses ruminasi ditemukan berkorelasi positif yang kuat dengan PTG. Ruminasi yang dimaksud adalah yang berfokus pada usaha memahami pengalaman traumatik dan dampaknya, menemukan makna peristiwa traumatik, usaha memodifikasi tujuan hidup dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan berbagai perubahan keadaan pasca traumat. Temuan ini mendukung model PTG yang dikemukakan Tedeschi dan Calhoun (2004). Meski ruminasi juga diperhitungkan sebagai faktor yang perlu ada untuk terjadinya PTG pada anak-anak (Kilmer, 2006) data empiris mengenai kaitan antara ruminasi dan PTG pada anak-anak amat minim. PTG terjadi jika proses ruminasi berisi pikiran yang membantu individu memahami perubahan yang terjadi, belajar dari respons emosional yang dirasakannya, membantu individu menafsirkan dan menemukan makna pengalamannya dan mendukung individu dalam mengenali aspek positif dari pengalaman traumatik dan situasi pasca trauma yang dialaminya (Kilmer, 2006). Isi pikiran yang diolah proses ruminasi bersumber pada pengalaman pascatrauma antara lain melalui dukungan sosial pasca trauma. Dukungan sosial merupakan komunikasi verbal dan/atau nonverbal antara dua pihak yang berfungsi 19 mengurangi ketidakjelasan mengenai suatu situasi, keadaan pribadi, orang lain, hubungan individu dengan orang lain atau situasi, dan berdampak meningkatkan perasaan mampu individu untuk memegang kendali terhadap pengalaman pribadinya. Dukungan sosial diketahui berperan penting dalam menurunkan pengaruh negatif stresor dan memperlancar penyesuaian diri individu. Dukungan sosial tidak hanya membuat individu merasa lebih baik atau membantu individu dalam menghadapi kesulitan, tetapi juga berdampak positif bagi kesehatan fisik, psikologis dan well-being secara umum. Seringkali orang yang mengalami peristiwa traumatik membutuhkan teman bicara dan mencari dukungan dari anggota keluarga atau teman (Rime, 1995). Pencurahan isi pikiran dan perasaannya kepada orang lain membuat individu merasa lebih lega, pikiran ruminatif yang intrusif mengenai trauma menurun, kesehatan dan well-being meningkat dibandingkan dengan individu yang tidak berbagi pikiran dengan orang lain (Lepore, 1997; Lepore, Silver, Wortman, & Wayment, 1996). Sumber dukungan yang bersikap memahami, hangat, peduli yang tersedia di berbagai lingkungan mikro individu diperkirakan akan memudahkan tumbuhnya PTG. PTG dapat tumbuh dengan adanya dukungan sosial yang memberi rasa nyaman, merawat, mengajari atau memberi contoh cara mengatasi masalah dan membantu terbentuknya keyakinan-dasar dengan berbagi pemikiran atau cara pandang orang dewasa yang penuh kasih dan kepedulian (Calhoun & 20 SUKIRNA Tedeschi, 1998). Dari orang dewasa pemberi dukungan sosial, anak-anak dapat belajar memahami makna peristiwa traumatik, kewajaran reaksi emosional mengganggu yang mereka alami, dan melakukan penilaian kognitif mau pun emosional seputar pengalaman traumatik. Sumber atau pemberi dukungan sosial yang baik adalah yang mendorong anak untuk mengungkapkan perasaannya, bersikap tidak menghakimi pikiran atau perasaan individu dan memberi bantuan instrumental mau pun informasi jika diperlukan. Kesemua hal tersebut dipandang mendukung terjadinya proses ruminasi konstuktif dan perkembangan penilaian diri positif serta keyakinan individu mengenai kompetensi dirinya. Dukungan sosial membuat anak merasa memiliki pegangan, meningkatkan rasa aman dalam hubungan dengan orang lain, memantapkan harga diri dan perasaan mampu mengatasi masalah atau situasi stres yang dihadapinya (Kilmer, 2006). Dukungan sosial berperan memberi masukan untuk proses ruminasi dan penilaian kognitif mengenai dunia-pascatrauma yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya PTG. Temuan penelitian mengenai pengaruh sumber dukungan sosial terhadap PTG tidak konsisten. Yaskowich (2002) menemukan bahwa bagi anak-penderita-kanker dukungan sosial dari guru merupakan prediktor untuk terjadinya PTG. Pada anakanak di Cina, dukungan sosial secara umum merupakan prediktor bagi terjadinya PTG (Lau, Yeung, Yu, Mak, Liu & Zhang, 2013). Saran dan dorongan dari orang tua untuk menggunakan positive reframing, yaitu melihat sisi positif dari suatu kesulitan atau musibah, untuk mengatasi dampak bencana badai, berkaitan erat dengan ruminasi reflektif dan PTG (Hafstad, GilRivas, Kilmer, Raeder, 2010). Selama ini dukungan sosial dipercaya berdampak menurunkan gangguan yang berkaitan dengan trauma, namun sejauh mana dukungan sosial berperan sebagai prediktor terjadinya PTG belum terungkap dengan baik. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai PTG pada anak usia sekolah dan kaitannya dengan proses psikologis: perubahan keyakinan-dasar dan ruminasi, dan dukungan sosial sebagai proses sosial. Hasil penelitian diharapkan dapat menjawab pertanyaan: 1. Pengalaman traumatik apa saja yang dialami anak usia sekolah di Depok? 2. Berapa besar perubahan keyakinandasar yang dialami anak penyintastrauma? 3. Berapa besar dukungan sosial yang dipersepsi diperoleh anak-anak? 4. Berapa kuat proses ruminasi yang terjadi pada anak-anak? 5. Bagaimanakah taraf PTG yang dialami anak usia sekolah di Depok? 6. Bagaimanakah peran perubahan keyakinan-dasar, dukungan sosial, ruminasi dalam terjadinya PTG? Metode Sampel Partisipan penelitian secara keseluruhan berjumlah 120 siswa kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar berusia antara 7-13 POSTTRAUMATIC GROWTH tahun, yang terdiri atas 65 siswa dan 55 siswi, dan pernah mengalami peristiwa buruk yang dirasakan masih mengganggu saat penelitian dilakukan. Partisipan direkrut secara purposif insidental sesuai dengan kemudahan dan kesediaan SD tempat siswa tersebut bersekolah.Siswa diminta kesediaan secara sukarela menjadi partisipan penelitian. Pengukuran dan instrumen pengukuran Kuesioner data pribadi dan pengalaman traumatik. Partisipan diminta mengisi data pribadi yang meliputi nama, tanggal lahir, alamat tempat tinggal, kelas dalam jenjang pendidikan dan menuliskan pengalaman buruk yang pernah mereka alami yang dirasakan masih mengganggu sampai saat penelitian dilakukan. Core Belief Inventory (CBI) CBI yang dikembangkan oleh Cann, Calhoun, Tedeschi, Kilmer, Gil-Rivas, Vishnevsky dan Danhauer (2010) merupakan inventori yang terdiri atas 9 item berupa pernyataan. CBI disusun untuk mengukur perubahan atau guncangan yang terjadi pada keyakinan-dasar setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik. Inventori ini terdiri atas 9 pernyataan yang menggambarkan terjadinya peninjauan ulang atau pemikiran ulang mengenai keyakinan-dasar individu dalam dimensi spiritual, karakteristik manusia, hubungan individu dengan orang lain, makna kehidupan serta kekuatan dan kelemahan diri. Contoh item: “Karena kejadian tersebut saya menilai kembali secara sungguhsungguh pandangan saya mengenai 21 hubungan saya dengan orang lain”. Partisipan diminta untuk menilai sejauh mana setiap pernyataan sesuai atau tepat dengan keadaan atau pengalamannya. Kesesuaian dengan keadaan diri partisipan dinilai dalam skala 4 titik: 0 berarti sama sekali tidak tepat dan 3 berarti sangat tepat atau sesuai. Rentang skor yang dapat diperoleh berkisar antara 0- 27. Reliabilitas internal CBI dalam penelitian ini cukup baik (alpha = .82) Rumination Inventory Rumination inventory yang digunakan dalam penelitian ini merupakan versi Indonesia dari inventori yang disusun oleh Calhoun, Tedeschi, Cann dan McMillan (2000). Inventori ini terdiri atas 14 item berupa pernyataan: 7 item mengukur ruminasi yang terjadi dulu segera setelah peristiwa buruk dialami partisipan dan 7 item mengukur sejauh mana ruminasi masih dialami sekarang saat penelitian dilakukan. Contoh item: “Segera setelah mengalami peristiwa buruk itu, dengan sendirinya saya memikirkan terus mengenai tujuan hidup saya”. “Akibat peristiwa buruk itu, sampai sekarang saya masih secara otomatis memikirkan tentang tujuan hidup saya”. Partisipan diminta menilai ketepatan setiap pernyataan dengan keadaan diri atau pengalaman pribadinya dalam skala 4 titik: 0 berarti sama sekali tidak tepat dan 3 berarti sangat tepat atau sesuai. Rentang skor yang dapat diperoleh berkisar antara 0- 42. Rumination inventory memiliki reliabiliras internal yang memadai: untuk 7 item ruminasi “waktu dulu” diperoleh Alpha = .81 dan untuk 7 item ruminasi “saat ini” nilai alpha = .88. 22 SUKIRNA Social Support Questionnaire for children (SSQC) Alat ukur ini merupakan versi bahasa Indonesia dari kuesioner yang disusun oleh Gordon, Thompson, Kelley, Schexnaildre dan Burns (2011). Alat ukur ini digunakan untuk mengidentifikasi sumber dan jenis dukungan sosial yang diterima anak-anak berusia antara 8-18 tahun dengan beragam latar belakang kelompok etnis. Sumber dukungan sosial dalam kuesioner ini meliputi orangtua, kerabat atau saudara, orang dewasa lain, teman sebaya, dan saudara kandung. Jenis dukungan sosial yang diidentifikasi meliputi dukungan instrumental, emosional atau informasi. Kuesioner ini terdiri atas 10 pernyataan mengenai jenis dukungan sosial dan kesepuluh dukungan sosial tersebut masing-masing diberikan oleh 5 sumber dukungan sosial seperti yang tersebut di atas, sehingga secara keseluruhan item dalam kuesioner ini berjumlah 50. Contoh item: “Orangtuaku memberi kasih sayang”, “Keluargaku membantu aku ketika aku sakit atau terluka”, “Ada orang dewasa lain yang bersedia menemani ketika dibutuhkan”. Partisipan diminta menilai sejauh mana dukungan sosial dalam pernyataan tersebut sering atau tidak pernah diterima. Penilaian diberikan dalam skala 4 titik: 0 berarti sama sekali tidak tepat dan 3 berarti amat tepat. Reliabilitas internal SSQC dalam penelitian ini tergolong baik, dengan alpha = .978, setelah dilakukan perbaikan formulasi kalimat pada tiga item. Posttraumatic Growth Inventory (PTGI) Inventori yang digunakan merupakan versi bahasa Indonesia dari PTGI yang disusun oleh Tedeschi dan Calhoun (1996). Inventori ini terdiri atas 21 item berupa pernyataan yang menggambarkan perubahan positif dalam lima ranah PTG. Partisipan diminta menilai kesesuaian pernyataan dengan keadaan atau pengalaman pribadinya. Penilaian dilakukan dalam skala 4 titik: 0 berarti sama sekali tidak tepat dan 3 berati sangat sesuai dengan diri partisipan. Contoh item: “Sekarang saya menjadi lebih bisa mensyukuri kehidupanku”. Rentang skor yang mungkin diperoleh dari inventori ini adalah 0-63. PTGI untuk penelitian ini memiliki reliabilitas internal yang tinggi dengan koefisien alpha = .957 setelah dilakukan perbaikan formulasi pernyataan pada dua item. Hasil Penelitian, Diskusi dan Saran Peristiwa traumatik yang dialami partisipan Jenis pengalaman buruk yang dialami partisipan (N = 120) cukup bervariasi yang meliputi kecelakaan kendaraan (28.3 %), kecelakaan ketika bermain (16.7 %), jatuh dari tempat tinggi (13.3%), tindak kekerasan (9.2%), perkelahian (8.3%), diserang binatang (7.5%), tersesat dan terpisah dari orangtua di sarana publik yang asing (3.3%), tersiram minyak panas (1.6%) dan tenggelam di sungai (1.6%). Pengalaman buruk tersebut sudah alami partisipan dalam kurun waktu antara dua sampai tiga tahun yang lalu, namun ingatan mengenai pengalaman tersebut masih dirasakan sangat mengganggu. POSTTRAUMATIC GROWTH Perubahan keyakinan-dasar (core beliefs) yang dialami Rentang skor yang mungkin diperoleh pada pengukuran perubahan core beliefs adalah antara 0-27 dan median = 13.5. Perubahan core beliefs pada 120 partisipan berkisar antara 3-25 dengan skor rata-rata = 15.91 dan simpang baku = 4.35. Setelah mengalami peristiwa traumatik partisipan mengalami perubahan core beliefs dengan kadar sedang. Dukungan sosial Rentang skor yang mungkin diperoleh pada pengukuran dukungan sosial adalah antara 0-150 dan median = 75. Skor dukungan sosial pada 120 partisipan berkisar antara 16-129 dengan skor ratarata = 80.76 dan simpang baku = 23.61. Setelah mengalami peristiwa traumatik partisipan memeroleh dukungan sosial dalam kadar sedang. Proses ruminasi Rentang skor yang mungkin diperoleh pada pengukuran proses ruminasi adalah antara 0-42 dan median = 21. Frekuensi proses ruminasi pada 120 partisipan berkisar antara 3-42 dengan skor rata-rata = 22,67 dan simpang baku = 7.63. Setelah mengalami peristiwa traumatik partisipan mengalami proses ruminasi dengan kadar sedang. Posttraumatic growth Rentang skor yang mungkin diperoleh pada pengukuran PTG berkisar antara 0-63 dan median = 31.5. Partisipan mengalami PTG dalam lima ranah. Skor PTG pada 23 120 partisipan berkisar antara 9-62 dengan skor rata-rata = 42.49 dan simpang baku = 9.21. Setelah mengalami peristiwa traumatik partisipan mengalami PTG dalam kadar yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PTG dapat terjadi pada anak-anak meski pun pengalaman traumatik yang dialami berbeda-beda. Jenis pengalaman traumatik bukan merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya PTG. Pengalaman traumatik menyebabkan perubahan dalam skala sedang pada keyakinan-dasar partisipan. Ruminasi yang mereka alami pun berskala sedang. Partisipan rata-rata terlibat dalam proses ruminasi dengan intensitas sedang, baik dimasa lalu ketika peristiwa buruk baru saja terjadi, mau pun saat ini, ketika peristiwa buruk sudah berlalu dua sampai tiga tahun. Partisipan rata-rata mendapat dukungan sosial dalam kadar sedang. Dukungan emosional dari orang tua merupakan dukungan sosial yang dipersepsi paling membantu. PTG yang terjadi pada partisipan tergolong cukup tinggi dan meliputi kelima ranahnya. Hubungan antara guncangan pada keyakinan-dasar, dukungan sosial dan ruminasi Terdapat hubungan positif yang signifikan antara perubahan pada keyakinan-dasar dan kegiatan ruminasi. Semakin besar perubahan keyakinan-dasar yang dialami individu, akan semakin tinggi frekuensi ruminasi yang terjadi. Terdapat hubungan positif yang siginifikan antara dukungan sosial dan ruminasi. Semakin kuat dukungan sosial 24 SUKIRNA yang diperoleh, semakin tinggi frekuensi proses ruminasi yang terjadi. Dukungan sosial yang diterima akan mempergiat proses ruminasi. Peran keyakinan-dasar, dukungan sosial dan ruminasi dalam proses terjadinya PTG Guncangan pada keyakinan-dasar dan besarnya dukungan sosial masing-masing memberi berkontribusi sebesar 23.9% pada terjadinya terjadinya proses ruminasi (lihat Gambar 2). Proses ruminasi, kemudian memberi kontribusi sebesar 29% terhadap terjadinya PTG. Dalam penelitian ini PTG pada partisipan yang berusia sekolah dijumpai dalam lima ranah seperti yang dikemukakan oleh Tedeschi dan Calhoun (1996). Anak-anak lebih banyak mengemukakan perubahan positif dalam ranah hubungan antar pribadi. Hal yang menarik adalah terjadinya perubahan yang relatif lebih rendah pada ranah spiritual dibandingkan dengan keempat ranah lainnya. Perlu pengkajian lebih lanjut apakah hal ini menunjukkan bahwa proses ruminasi dengan masukan dari dukungan sosial kurang menyentuh ranah spiritual, atau perubahan positif pada ranah spiritual Gambar 2. Peran dan hubungan antara perubahan keyakinan dasar, dukungan sosial, proses ruminasi dan PTG Temuan penelitian ini memantapkan berbagai temuan penelitian terdahulu di negara lain bahwa PTG merupakan gejala yang dapat terjadi pada anak-anak. Berbeda dengan keyakinan para ahli di masa lalu, anak-anak ternyata mampu melakukan penilaian terhadap hal-hal abstrak yang terjadi pada diri dan dunianya, meski pun kemampuan kognitifnya belum berkembang secanggih orang dewasa. menjadi tidak tinggi karena partisipan sudah memiliki pemahaman spiritual positif dan tidak berubah akibat trauma. Ruminasi sebagai proses psikologis internal berperan penting dalam terjadinya PTG, serupa dengan proses yang terjadi pada orang dewasa. Dukungan sosial cukup berperan penting dalam menumbuhkan PTG. Orang tua dipersepsi sebagai pemberi dukungan sosial yang signifikan. Hal ini sejalan POSTTRAUMATIC GROWTH dengan temuan berbagai penelitian mengenai orang tua sebagai dukungan sosial yang penting bagi anak dalam mengatasi dampak negatif trauma. Terutama dalam konteks anak-anak di Indonesia masih sangat perlu dilakukan penelitian untuk memahami peran sumber daya internal lainnya dalam terjadinya PTG. Sumber daya internal tersebut antara lain: coping strategy, optimisme, self efficacy, self esteem, hope atau pun attachment. Sejauh mana kaitan PTG dengan kepribadian pun masih terbuka untuk diteliti. Selain itu, kaitan PTG dengan masalah atau gangguan psikologis pasca trauma pun masih amat terbuka untuk dieksplorasi. Daftar Acuan Albrecht, T. L., & Goldsmith, D. J. (2003). Social support, social networks, and health. In T. L. Thompson, A. M. Dorsey, K. I. Miller, & R. Parrott (Eds.), Handbook of health communication (p. 263-284). New York, NY: Routledge Aldwin, C. M. & Sutton, K. J. (1998). A developmental perspective on posttraumatic growth. In R. G. Tedeschi, C. L. Park, & L. G. Calhoun (Eds.), Posttraumatic growth: Positive changes in the aftermath of crisis (p. 4363). Mahwah, NJ: Lawrence Elrbaum. Barakat, L. P., Alderfer, M. A., & Kazak, A. E. (2006). Posttraumatic growth in adolescent survivors of cancer and their mothers and fathers. Journal of Pediatric Psychology, 31(4), 413–419. doi:10.1093/jpepsy/jsj058 Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (1998). 25 Posttraumatic growth: Future directions. In R. G.Tedeschi, C. L. Park, & L. G. Calhoun (Eds.), Posttraumatic growth: Positive changes in the aftermath of crisis (p. 215–238). Mahwah, NJ: Lawrence Elrbaum. Tedeschi, R. G., Park, C. L., & Calhoun, L. G. (Eds.). (1998). Posttraumatic growth: Positive changes in the aftermath of crisis. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (2006). The foundations of posttraumatic growth: An expanded framework. In L. G. Calhoun, & R, G. Tedeschi (Eds.), Handbook of posttraumatic growth: Research and practice (p. 3–23). Mahwah, NJ: Erlbaum. Cann, A., Calhoun, L. G., Tedeschi, R. G., Kilmer, R. P., Gil-Rivas, V., Vishnevsky, T., & Danhauer, S. C. (2010). The core beliefs inventory: A brief measure of disruption in the assumptive world. Anxiety, Stress & Coping, 23(1), 19-34. Cryder, C. H., Kilmer, R. P., Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2006). An exploratory study of posttraumatic growth in children following a natural disaster. American Journal of Orthopsychiatry, 76(1), 65-69. Gordon, A. T. (2011). Assessing social supports in children: Development and initial validation of The Social Supports Questionnaire for Children (Doctoral dissertation). Graduate School Faculty of Louisiana State University and Agriculture and Mechanical College. Hafstad, G. S., Gil-Rivas, V., Kilmer, R. P., & Raeder, S. (2010). Parental adjustment, family functioning, and posttraumatic growth among Norwegian 26 SUKIRNA children and adolescents following a natural disaster. American Journal of Orthopsychiatry, 80(2), 248-257. Ickovics, J. R., Meade, C. S., Kershaw, T. S., Milan, S., Lewis, J. B., & Ethier, K. A. (2006). Urban teens: Trauma, posttraumatic growth, and emotional distress among female adolescents. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74(5), 841–850. Janoff-Bulman, R. (1992). Shattered Assumptions: Towards A New Psychology of Trauma. New York: Free Press. Kilmer, R. P. (2006). Resilience and posttraumatic growth in children. In L. G. Calhoun, L. G. & R. G. Tedeschi (Eds.), Handbook of posttraumatic growth (p. 264-288). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Kilmer, R. P., & Gil‐Rivas, V. (2010). Exploring posttraumatic growth in children impacted by Hurricane Katrina: Correlates of the phenomenon and developmental considerations. Child Development, 81(4), 1211-1227. Lau, J. T., Yeung, N. C., Yu, X., Zhang, J., Mak, W. W., & Lui, W. W. (2013). Psychometric properties of the Chinese version of the revised posttraumatic growth inventory for children (PTGICR). Asia-Pacific Journal of Public Health, 1010539513479967. Laufer, A., & Solomon, Z. (2006). Posttraumatic symptoms and posttraumatic growth among Israeli youth exposed to terror incidents. Journal of Social and Clinical Psychology, 25(4), 429-447. Lepore, S. J. (1997). Expressive writing moderates the relation between intrusive thoughts and depressive symptoms. Journal of Personality and Social Psychology, 73(5), 1030-1037. Lepore, S. J., Silver, R. C., Wortman, C. B., & Wayment, H. A. (1996). Social constraints, intrusive thoughts, and depressive symptoms among bereaved mothers. Journal of Personality and Social Psychology, 70(2), 271-282. Milam, J. E., Ritt-Olson, A., & Unger, J. B. (2004). Posttraumatic growth among adolescents. Journal of Adolescent Research, 19(2), 192-204. Oltjenbruns, K. A. (1991). Positive outcomes of adolescents' experience with grief. Journal of Adolescent Research, 6(1), 43-53. Pynoos, R. S., Steinberg, A. M., & Wraith, R. (1995). A developmental model of childhood traumatic stress. In D. J. Cohen, & Colume (Eds.), Risk, disorder and adaptation (p. 72-95). Oxford: John Wiley & Sons. Rime, B. (1995). Mental rumination, social sharing, and the recovery from emotional exposure. In J. W. Pennebaker (Ed.), Emotion, disclosure, and health (p. 271-292). Washington, DC, US: American Psychological Association. Salter, E. & Stallard, P. (2004). The psychological impact of traumatic events on children. Psychological Injury and Law, 1(2), 138–146. doi: 10.1007/s12207-008-9014-3 Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Posttraumatic growth: Conceptual foundations and empirical evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1-18. POSTTRAUMATIC GROWTH Wolchik, S. A., Coxe, S., Tein, J. Y., Sandler, I. N., & Ayers, T. S. (2008). Six-year longitudinal predictors of posttraumatic growth in parentally bereaved adolescents and young adults. OMEGA-Journal of Death and Dying, 58(2), 107–128. doi:10.2190/OM.58.2.b. Yaskowich, K. M. (2002). Posttraumatic growth in children and adolescents with cancer (Unpublished doctoral dissertation). University of Calgary, Alberta. Alamat surel: [email protected] 27 Jurnal Psikologi Indonesia 2014, Vol. XI, No. 1, 28-44, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia ASPEK-ASPEK PENUNJANG KEBAHAGIAAN PADA WANITA HAMIL (SUPPORTING ASPECTS ON HAPPINESS IN PREGNANT WOMEN) Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati, dan Sari Zakiah Akmal Fakultas Psikologi Universitas YARSI Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting bagi wanita, salah satu fase kehidupan wanita yang menjadi sumber kebahagiaan adalah kehamilan. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran kebahagiaan para ibu hamil dengan menggunakan metode indigeneous. Subjek penelitian adalah 129 ibu hamil dan menggunakan alat ukur kuisioner kebahagiaan pada ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan tema yang bervariasi yaitu, 7 tema muncul tentang peristiwa paling membahagiakan, tema paling banyak muncul adalah proses kehamilan yang baik; 7 tema muncul dari alasan merasa sangat bahagia, tema paling banyak muncul adalah kondisi janin; 7 tema muncul dari arti peristiwa yang membahagiakan, tema paling banyak muncul adalah kehadiran anak; 3 tema muncul dari kesulitan/masalah yang harus diatasi saat hamil, tema paling banyak muncul adalah masalah fisik; 5 tema muncul dari pendukung yang membuat bahagia selama hamil, tema paling banyak muncul adalah keluarga; dan 3 tema muncul dari bentuk dukungan yang diberikan saat hamil, tema paling sering muncul adalah bentuk dukungan psikologis. Kata kunci: kebahagiaan; kehamilan; metode indijenus Happiness is important for women; pregnancy is one of life event that will bring happiness in women. Purpose of this study is exploring description about happiness in pregnant women with indigenous method. Sample of this study is 129 pregnant women and this study uses happiness in pregnant women questionnaire as the measurement tools. This study shows that there are various themes: there are 7 themes about the most happiest experience during pregnancy, and good pregnancy process is the most frequent theme; there are 7 themes about reasons feeling happy during pregnancy, and fetus condition is the most frequent theme; there are 7 themes about the meaning of happy experience, and child presence is the most frequent theme; there are 3 themes about problem during pregnancy, and physical problem is the most frequent theme; there are 5 themes about supporter that bring happinnes, and family is the most frequent theme; and 3 themes about type of support during happinnes, and psychological support is the most frequent theme. Keywords: happinnes; pregnancy; indigenous method 28 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Kebahagiaan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh tiap manusia di dunia, namun apa arti kebahagiaan sebenarnya? Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena ternyata setiap individu memiliki definisi sendiri-sendiri dalam mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Schimmel (dalam Patnani, 2010) mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap keseluruhan dari penilaian individu terhadap kualitas hidupnya. Pada beberapa literatur, kebahagiaan biasanya dijelaskan dalam penggambaran pengalaman positifsubjektif, atau biasa disebut dengan kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing). Definisi tentang kebahagiaan menurut Seligman (2002) dapat diartikan sebagai hasil dari psikologi positif yang mencakup perasaan positif (seperti kebahagiaan yang luar biasa dan kenyamanan) dan aktivitas positif yang tidak melibatkan komponen perasaan (seperti absorption dan engagement). Absorption dapat diartikan sebagai melibatkan diri secara total dalam suatu kegiatan dan mencoba untuk tidak memikirkannya, hanya merasakan (Seligman, 2002). Sedangkan engagement sering disamakan dengan gratification atau kepuasan. Kunci dari tercapainya suatu kepuasan adalah melakukan sesuatu yang mengikat kita sepenuhnya dan menyerap kita dalam melakukan kegiatan tersebut tanpa disertai dengan emosi positif (Seligman, Parks, & Steen, 2004). Lebih lanjut, Seligman (2002) mengemukakan bahwa kebahagiaan memiliki dua komponen yaitu emosi positif (terkait masa 29 lalu dan masa yang akan datang) dan aktivitas positif (emosi positif berkaitan dengan kondisi saat ini). Sejalan dengan beberapa definisi di atas, Carr (2004) juga menyatakan bahwa kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap individu merupakan hal yang bersifat subjektif, dimana masing-masing individu memiliki ukuran dan sumber kebahagiaan yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor budaya cukup berperan dalam menentukan sumber kebahagiaan seseorang. Lu dan Shih (dalam Patnani, 2010) menyebutkan hasil penelitiannya pada orang china di Taiwan bahwa sumber kebahagiaan terdiri dari 9 hal yaitu: keinginan untuk dihormati, hubungan interpersonal yang harmonis, kepuasaan dalam kebutuhan material, prestasi dalam bekerja, hidup yang tenang dan memahami arti hidup, merasa lebih senang atau beruntung dari orang lain, pengendali dan aktualisasi diri, kesenangan dan emosi positif, dan kesehatan secara fisik. Selain faktor budaya, perbedaan jenis kelamin menentukan sumber kebahagiaan yang dimiliki inidivu. Hal ini disebutkan pula oleh Crossley dan Langridge (dalam Patnani, 2010) bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sumber kebahagaiaan yang berbeda, pada perempuan hal yang menjadi sumber kebahagiaan adalah: perasaan dicintai oleh orang yang dicintai, persahabatan, rasa percaya diri, kondisi fisik yang sehat, hubungan yang dekat dengan keluarga dan dapat membantu orang lain. Perkembangan jaman seperti berkembangnya peran wanita dalam dunia 30 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL kerja dan pendidikan ternyata belum terlalu mempengaruhi keinginan wanita untuk menjadi ibu dengan memiliki anak. Peran sebagai ibu secara umum dianggap sebagai sentral dari kehidupan dan identitas sebagai wanita, bahkan disebutkan pula bahwa wanita akan dianggap sudah meraih pencapaian hidup dengan memiliki anak sehingga peran sebagai ibu adalah peran yang ‘normal’ bagi seorang wanita. Hal ini pun turut mempengaruhi bagaimana media massa menggambarkan seorang wanita yang bahagia adalah wanita yang memiliki anak dan pasangan yang mendukung (Oakley, 1974; Nicolson, 1999b; Nicolson, 1990, dalam Ogden, 2007). Dengan kehadiran seorang anak, wanita akan mengembangkan rasa keibuan yang dimilikinya. Bahkan pandangan yang terkini menginginkan wanita mampu melakukan pengasuhan yang intensif terhadap anaknya yaitu dengan memfokuskan diri pada anak dan melakukan pengorbananpengorbanan minat dan kebutuhan personalnya untuk anak (Weiten, Llyod, Dun, & Hammer, 2009). Penelitian tentang kebahagiaan pada wanita pernah dilakukan oleh Patnani (2010) yang menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber kebagaiaan yang paling penting baik pada perempuan yang menikah maupun perempuan yang tidak menikah. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada perempuan yang telah menikah urutan sumber kebahagiaan selanjutnya adalah keberadaan anak. Hal ini menunjukkan bahwa kehamilan menjadi satu tahap dalam hidup seorang wanita untuk mencapai pengharapan sosial sebagai seorang ibu, selain itu bisa menjadi tahap untuk mendapatkan sumber kebahagiaan bagi ibu tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Blake, Kiely, Gard, ElMohandes, El-Khorazaty, & NIH-DC Initiative (2007) pada 1044 orang wanita di Columbia, menunjukkan bahwa 41% dari wanita merasa bahagia dengan kehamilannya. Kebahagiaan tersebut dirasakan oleh wanita yang menantikan kehamilannya (67%), kehamilan yang tidak tepat waktu/tidak sesuai rencana (27%) maupun wanita yang tidak menginginkan kehamilan (6%). Akan tetapi, bagaimanakah sebenarnya gambaran kebahagiaan yang dialami seorang ibu saat hamil? Hal inilah yang akan mejadi fokus penelitiaan kali ini karena pengalaman saat hamil yang dialami seorang wanita belum tentu sama karena kehamilan sendiri memiliki dampak dan menjadi pengalaman yang berbeda bagi setiap wanita hamil, baik secara fisik maupun psikologis. Kehamilan merupakan peristiwa istimewa yang diawali oleh pembentukan zygot yang kemudian membentuk embrio dan berkembang menjadi fetus di dalam rahim hingga melahirkan. Kehamilan normal berlangsung sekitar 38 hingga 40 minggu yang dibagi ke dalam 3 periode triwulan (trimester), yaitu trimester I (pembuahan hingga minggu ke12), trimester II (minggu ke-13 hingga minggu ke-28), dan trimester III (minggu ke-28 hingga minggu ke-40) (Santrock, 2002). Pada minggu ke-38, kehamilan telah memasuki rentang hari perkiraan lahir (HPL), yaitu sekitar 2 hingga 4 minggu terakhir (Sari & Hadjam, 2010). 31 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Proses kehamilan yang terjadi pada wanita pada bulan-bulan awal (trimester pertama), wanita hamil akan merasakan tanda-tanda kehamilan seperti membesarnya payudara dan berulang kali mengalami mual di pagi hari, mual dan muntah yang terjadi pada pagi hari atau di waktu yang lain. Kemudian pada trimester kedua, wanita hamil akan mengalami penambahan ukuran pada pinggang dan mungkin peningkatan keinginan untuk makan, bahkan terkadang menginginkan makanan yang sebelumnya tidak disukai. Bulan keempat dan kelima seorang wanita akan mulai merasakan pergerakan bayi di perutnya. Kemudian selama bulan ketujuh sampai kesembilan (trimester ketiga), wanita hamil akan mengalami kondisi fisik yang kurang nyaman karena perkembangan janin yang semakin besar dan menyebabkan tekanan pada kandung kemih, paru-paru dan organ lainnya. Wanita hamil juga akan mengalami kesulitan tidur, sakit punggung, dan kaki yang membengkak (William, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Dari berbagai kondisi kehamilan diatas, peneliti ingin mengtahui bagaimana gambaran kebahagiaan tersebut dialami oleh ibu hamil dengan segala kondisi fisik dan psikologis yang menyertai kehamilan tersebut. Hal ini menjadi penting karena kebahagiaan itu sendiri merupakan salah satu cerminan kesejahteraan bagi wanita, dengan mengetahui gambaran kebahagiaan yang dialami oleh seorang wanita, khususnya pada saat hamil. Rumusan Masalah Penelitian Salah satu sumber kebahagian pada wanita adalah mengalami kehamilan karena proses tersebut akan membuat wanita memenuhi harapan sosial sebagai ibu dan di sisi lain sebagai saat dimana wanita bisa menyalurkan naluri keibuannya, namun belum diketahui ada penelitian yang mencoba menggali lebih dalam bagaiamna sebenarnya gambaran kebahagiaan yang dialami oleh ibu hamil dan apa sajakah sumber-sumber dari kebahagiaan saat hamil. Metode Rancangan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian indigenous, yang berusaha mengetahui gambaran kebahagiaan pada ibu hamil. Pengambilan data dalam penelitian akan dilakukan dengan metode survey dengan menggunakan kuisioner tentang kebahagiaan saat hamil. Kuesioner disusun berdasarkan modifikasi yang dilakukan atas kuesioner kebahagiaan yang telah disusun oleh Prof. Uichol Kim dan Tim CICP dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (2009). Proses perizinan untuk menggunakan alat ukur tersebut telah dilakukan dan pihak Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada telah memberikan surat perizinan resmi untuk menggunakan alat ukur tersebut. Modifikasi terhadap alat ukur dilakukan dengan menambahkan data demografi dalam alat ukur tersebut dan menyempurnakan kata/kalimat yang terdapat dalam alat ukur tersebut. 32 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL Partisipan Sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan teknik incidental sampling yaitu dengan menyebarkan kuesioner kepada 150 ibu hamil yang ditemui dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Proses pengambilan data dilakukan di dua institusi kesehatan. Dari 150 kuesioner yang disebarkan, terdapat 129 kuesioner yang layak digunakan sebagai data penelitian. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi yang mengharuskan melakukan identifikasi contoh yang berhubungan dan penting, tema, dan pola dalam data. Peneliti mencari kutipan atau pengamatan yang berjalan bersama, yakni contoh-contoh tentang gagasan, isu, atau konsep yang sama-sama mendasari (Patton, 2006). Pengolahan dan analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data. Higlen dan Finley mengungkapkan bahwa pengorganisasian data yang dilakukan secara sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian (Poerwandari, 1998). Semua data yang dikumpulkan melalui kuisioner anonim bersifat selfadministration, data tersebut kemudian dianalisis dengan kategorisasi berdasarkan kedekatan arti dan kemudian dimasukkan ke dalam tema-tema yang mewakili. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini dibagi menjadi deskripsi subjek penelitian dan analisa respon subjek terhadap masing-masing pertanyaan pada kuesioner. Gambar 1. Grafik gambaran tingkat kebahagiaan ibu hamil 33 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Tabel 1 Data Demografis Subjek Penelitian Total Sangat Bahagia Bahagia Agak Bahagia N=129 N=93 N=34 N=2 Usia ibu saat hamil (***) 20 – 30 tahun 65 % 74 % 44 % 0% 31 – 40 tahun 33 % 26 % 50 % 100 % > 40 tahun 2% 0 6% 0 Kehamilan ke (***) Pertama 63 % 73 % 35 % 50 % Kedua 23 % 17 % 38 % 50 % Ketiga 8% 5% 18 % 0 Keempat 5% 3% 9% 0 Kelima 1% 1% 0 0 Usia kehamilan Trimester pertama 10 % 13 % 3% 0% Trimester kedua 47 % 40 % 65 % 100 % Trimester ketiga 41 % 45 % 32 % 0% Kosong/ tidak ada keterangan 2% 2% 0% 0% Pendidikan ibu SLTP 4% 3% 6% 0% SLTA 40 % 41 % 38 % 50 % Diploma 16 % 13 % 21 % 50 % S1 34 % 39 % 24 % 0% S2 6% 4% 12 % 0% Status Pekerjaan Ibu Bekerja 58 % 58 % 62 % 0% Tidak bekerja 37 % 38 % 32 % 100 % Kosong/ tidak ada keterangan 5% 4% 6% 0% Pengeluaran per bulan 500.000 – 1 juta 9% 11 % 6% 0% 1 juta – 2 juta 19 % 20 % 12 % 50 % 2 juta – 3 juta 36 % 35 % 37 % 50 % 3 juta – 5 juta 21 % 20 % 24 % 0% > 5 juta 15 % 14 % 21 % 0% TOTAL 100% 100% 100% 100% Data demografis *** hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan yang signifikan (p < 0.05). Deskripsi Tingkat Kebahagiaan dan Data Demografis Subjek Penelitian Data Demografis dan Tingkat Kebahagiaan Wanita Hamil Tabel 1 adalah data demografis subjek penelitian ditinjau dari tingkat kebahagiaannya. Tingkat kebahagiaan ibu hamil Penelitian ini bertujuan untuk 34 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL mengetahui bagaimana gambaran kebahagiaan yang dialami oleh para ibu hamil, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui terlebih dahulu apakah para subjek penelitian merasakan kebahagiaan dengan meminta responden untuk mengisi terlebih dahulu tingkatan kebahagiaan yang sedang dialami. Dari hasil penelitian didapatkan gambaran tingkat kebahagiaan ibu hamil adalah sebagai nampak pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa 72% dari subjek penelitian merasakan “sangat bahagia” dengan kehamilan yang sedang dialami, 26 % subjek merasa “bahagia” dengan kehamilannya, sementara itu 2% dari subjek merasa agak bahagia dengan proses kehamilannya. Respon tersebut menunjukkan bahwa tingkatan kebahagiaan yang dirasakan oleh subjek penelitian berada pada range “agak bahagia” hingga “sangat bahagia”. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa mayoritas subjek penelitian adalah ibu hamil yang berusia antara 20 – 30 tahun (65%) dan kehamilan yang dialami saat ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka (63%). Jika ditinjau dari usia kehamilannya, sebagian besar subjek penelitian memasuki usia kehamilan trimester kedua (47%) dan trimester ketiga (41%). Sebagian besar subjek penelitian merupakan ibu hamil dengan tingkat pendidikan SLTA (40%) dan S1 (34%). Ditinjau dari status pekerjaannya saat ini, sebagian besar dari subjek penelitian merupakan ibu bekerja (58%) dan mayoritas subjek penelitian memiliki pengeluaran antara 2 hingga 3 juta setiap bulannya (36%). Tabel 2 Tema dari peristiwa paling membahagiakan KODING TEMATIK Mengetahui Kehamilan Mengetahui Kehamilan Menjadi Ibu Peran Baru Mendapatkan perhatian Mendapatkan perhatian Memiliki anak pertama Memiliki anak Kehadiran anak Bertambah anak Peristiwa yang dinantikan Proses kehamilan yang nikmat Kehamilan tanpa keluhan Proses kehamilan yang baik Mengetahui kondisi perkembangan janin Mengetahui jenis kelamin Bertambah rezeki Pemberian Tuhan Diberi Kepercayaan oleh Allah Membahagiakan keluarga Membahagiakan keluarga Tidak terkategori: - Jarak kelahiran tidak terlalu jauh dengan anak pertama - Menjadi permaisuri - Keluarga dalam kondisi seha, bahagia mempunyai keluarga kecilku yang baru - Alloh memberikan rezeki ini (hamil) saat saya belajar pasrah/tawakal JUMLAH 12 18 20 33 59 6 3 5 35 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Tabel 3 Tema dari alasan merasa sangat bahagia KODING Akan memiliki anak Anak pertama Bertambahnya anak Kondisi janin yang baik Merasakan kehidupan di dalam tubuh Dukungan dan perhatian suami Keluarga senang Menjadi Ibu Menjalani peran perempuan Pengalaman pertama Peristiwa yang dinantikan Pengalaman lebih baik daripada pengalaman hamil sebelumnya Memberikan keturunan Bisa hamil Kosong Tidak terkategori: - Tidak semua dapat merasakan - Jarak kehamilan tidak terlalu jauh - Kebutuhan ekonomi mencukupi - Bebas dari tugas sehari-hari - Karena dengan kehamilan ini rezeki kehamilan bertambah - Karena anak pertama perempuan dan calon bayinya di USG anak lakilaki - Banyak pihak-pihak tertentu yang membantu Dari hasil uji beda tingkat kebahagiaan wanita hamil ditinjau dari karakteristik individu (data demografis), diketahui bahwa usia ibu saat hamil (X² = 12.896, p = 0.02 < 0.05) dan urutan kehamilan (X² = 16.069, p = 0.003 < 0.05) merupakan karakteristik yang signifikan menunjukkan perbedaan tingkat kebahagiaan pada wanita hamil. Sementara itu, usia kehamilan, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan tingkat sosial ekonomi (yang diukur dari rata-rata pengeluaran per bulan) tidak signifikan menunjukkan perbedaan- TEMATIK JUMLAH Kehadiran anak 22 Kondisi janin 26 Mendapat dan dukungan perhatian suami Menyenangkan keluarga 11 Peran baru 14 Pengalaman kehamilan 21 Kemampuan reproduksi 7 Tidak terkategori 13 perbedaan tingkat wanita hamil. 5 kebahagiaan pada Hasil Analisis Tema Analisa dilakukan pada respon-respon subjek penelitian terhadap kuisioner yang diberikan, sehingga penentuan tema-tema dilakukan per pertanyaan yang terdapat pada kuisioner. Peristiwa paling membahagiakan Penentuan tema-tema berdasarkan pertanyaan tentang peristiwa yang paling 36 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL membahagiakan selama proses kehamilan, yaitu: Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil respon dalam menjawab pertanyaan tentang peristiwa yang paling membahagiakan selama hamil terdiri dari 7 tema, dan 1 kelompok jawaban yang tidak terkategori masuk dalam tema yang telah ada. Respon yang paling banyak muncul adalah pengalaman proses kehamilan yang baik yaitu 59 respon. Sedangkan respon yang paling sedikit bahwa peristiwa yang paling membahagiakan dalam kehamilan adalah membahagiakan keluarga (3 respon). Alasan merasa sangat bahagia Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa jumlah tema yang terbentuk dari alasan wanita hamil merasa sangat bahagia adalah 7 tema dengan 1 tema tidak terkategori yang didalamnya terdapat respon yang tidak dapat dimasukkan dalam tema yang lain dan respon tidak mengisi Tabel 4. Tema dari arti peristiwa yang membahagiakan KODING Menjadi wanita sempurna Pengalaman pertama hamil Menjadi ibu Kehadiran anak Mendapatkan keturunan Keluarga lebih lengkap Memiliki anak sehat Memunculkan semangat Sangat bahagia Senang Mendapatkan perhatian yang mengurangi rasa sakit Dipercaya untuk mengemban amanah dari Tuhan Menambah rasa syukur pada Tuhan Karunia Tuhan Anugerah Tuhan Memenuhi harapan orang lain Membahagiakan orang lain Rumah tangga harmonis Mendapat perhatian suami Peristiwa sangat berarti/dinanti Kosong Tidak terkategori: Sebuah kehidupan baru Agar punya teman main Suami giat mencari uang Semangat hidup Cobaan hidup TEMATIK JUMLAH Pengalaman sebagai wanita 14 Kehadiran anak 51 Emosi positif 9 Pemberian Tuhan 18 Pemenuhan harapan sosial 7 Keharmonisan rumah tangga 6 Peristiwa sangat berarti 6 Tidak Terkategori 24 37 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Tabel 5. Tema dari kesulitan dan masalah yang harus diatasi saat hamil KODING Tidak ada keluhan Keluhan fisik terkait kehamilan Perubahan fisik Keluhan psikis Keluhan fisik dan psikis Kosong Tidak terkategori: - Masih bekerja dan jarak antara rumah dan kantor terlalu jauh 1 - 1,5 jam di jalan - Hampir tidak ada keluhan - Sakit di saat hamil - Banyak aktivitas jawaban untuk pertanyaan tentang alasan merasa sangat bahagia. Tema yang paling banyak memiliki respon adalah kondisi janin yaitu 26 respon, dan tema yang paling sedikit memiliki respon adalah menyenangkan keluarga yaitu sebanyak 5 respon. Arti peristiwa yang membahagiakan Tabel 4 menunjukkan bahwa 8 tema didapatkan berdasarkan pada respon subjek penelitian atas pertanyaan tentang arti peristiwa membahagiakan, dan 1 kelompok tema tidak terkategori untuk respon yang tidak terkategori dengan tema lainnya serta respon tidak menjawab. Jumlah respon terbanyak berada pada kehadiran anak yaitu 51 respon dan respon yang paling sedikit dimiliki oleh 2 tema yaitu keharmonisan rumah tangga (6 respon) dan peristiwa sangat berarti (6 respon). Kesulitan dan masalah yang harus diatasi saat hamil Tabel 5 menunjukkan bahwa respon TEMATIK Tidak ada Masalah fisik JUMLAH 42 64 Masalah psikis Masalah fisik dan psikis 5 2 Tidak terkategori 18 dari pertanyaan tentang kesulitan dan masalah yang harus diatasi saat hamil membentuk 4 tema, dan 1 kelompok tema tidak terkategorisasi dengan respon yang tidak dapat dikategorisasikan dengan tema lainnya dan respon tidak menjawab. Tema yang paling banyak memiliki respon adalah masalah fisik yaitu sebanyak 64 respon dan yang paling sedikit responnya adalah masalah fisik dan psikis (2 respon). Pendukung yang membuat bahagia selama hamil Tabel 6 menunjukkan bahwa 5 tema didapatkan berdasarkan respon subjek penelitian pada pertanyaan yang mengungkap tentang pemberi dukungan yang membuat bahagia pada saat hamil, dan 1 tema tidak terkategori dengan respon tidak menjawab. Data menunjukkan bahwa keluarga adalah respon mayoritas yang muncul sebagai pemberi dukungan yang membahagiakan ketika hamil (125 respon) dan tema suami dan teman adalah tema yang paling sedikit mendapat respon yaitu hanya 1 respon. 38 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL Tabel 6. Tema dari pendukung yang membuat bahagia selama hamil KODING Suami Ibu Anak Keluarga Suami dan Keluarga Suami dan keluarga besar Suami dan anak Suami, ortu, dan mertua Suami dan orang tua Saudara kandung Mertua Suami dan ibu kandung Suami dan teman Suami, keluarga dan teman Teman Tidak ada Kosong Bentuk dukungan Pada tabel 7 terlihat bahwa tema yang muncul pada respon pertanyaan tentang bentuk dukungan yang diberikan kepada wanita hamil adalah 3 tema, dan 1 tema tidak terkategori yang terdiri dari respon yang tidak dapat dikategorikan ke dalam tema lainnya dan respon tidak menjawab. Respon mayoritas terdapat pada tema dukungan psikologis yaitu sebanyak 83 respon dan dukungan sipiritual adalah tema yang memiliki jumlah respon paling sedikit yaitu 5 respon. Hasil Penelitian Penelitian ini mencoba untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana para wanita hamil merasakan kebahagiaan serta hal apa saja unsur yang mendukung kebahagiaan tersebut. TEMATIK JUMLAH 125 Keluarga Suami dan teman Keluarga dan teman Teman Tidak ada pendukung Tidak terkategori 1 5 3 2 2 Disebutkan oleh Lyubomirsky (dalam Warner & Vroman, 2011) bahwa terdapat 3 tipe variabel yang dapat mempengaruhi kebahagiaan dan salah satunya adalah peristiwa hidup yang relevan dengan kebahagiaan, misalnya pernikahan, status pekerjaan. Memiliki anak adalah salah satu tahap yang dinanti dari sebuah pasangan yang menikah untuk menunjang kebahagiaan kehidupan perkawinan. Memiliki anak akan meningkatkan kepuasan hidup orang dewasa dan menjadi orang tua adalah kebutuhan dasar manusia dan akan merasa gembira setelah mengetahui kebutuhan dasar mereka dapat tercapai (Kenrick et al., dalam Dyrdal, Røysamb, Nes, & Vittersø, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 129 wanita hamil, didapatkan data bahwa sebagian besar (72%) dari wanita hamil merasa sangat 39 ASPEK-ASPEK PENUNJANG Tabel 7. Tema dari bentuk dukungan KODING Perhatian dan kasih sayang Perhatian dan memanjakan Memanjakan Membahagiakan Memberi semangat Memberi dukungan Mengajak pergi Membantu dan melayani Menemani periksa kehamilan Suami siaga Mendoakan Kosong Tidak terkategori: - Memahami tujuan saya untuk hamil setelah menikah bahagia dengan proses kehamilannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Patnani (2010) dan Blake et al. (2007) yang menunjukkan bahwa kehamilan merupakan salah satu sumber kebahagiaan pada wanita. Kebahagiaan wanita ketika hamil sangat berkaitan dengan harapan atau keinginannya untuk mengalami peristiwa kehamilan. Oleh karena itu, wanita yang mengalami kahamilan yang diharapkan (dinantikan) akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita yang hamil di waktu yang tidak tepat, maupun kehamilan yang tidak diinginkan (Blake et al., 2007). Pada penelitian ini, diketahui bahwa sebagian besar partisipan yang merasa sangat bahagia merupakan ibu yang mengalami kehamilan pertama (73%). Hal ini bisa sejalan dengan suatu studi yang mengindikasikan bahwa melahirkan memiliki efek positif yang bertahap terhadap kebahagiaan dan kelahiran anak pertama menjadi penting dan merupakan TEMATIK JUMLAH Dukungan psikologis 83 Dukungan fisik 49 Dukungan spiritual 5 Tidak terkategori 4 sumber dari kesejahteraan bagi para ibu, namun anak selanjutnya akan mengurangi tingkat kebahagiaan mereka (Kohler et al., dalam Dyrdal et al. 2011) Sebanyak 14 responden memberikan jawaban pengalaman menjadi ibu baru dan wanita sebagai arti kebahagiaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Sawyer et al. (2011), yang menyatakan bahwa perubahan status dipandang sebagai hal yang positif bagi seorang wanita. Wanita menjadi lebih bertanggung jawab, dan meskipun waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas bersama teman, kerabat, suami dan di kantor menjadi berkurang, wanita dapat menerimanya menjadi hal yang positif. Selain itu, sebanyak 18 responden menyatakan bahwa arti kebahagiaannya adalah diberikan anugerah dan karunia dari Tuhan, sebagai pemberian dari Tuhan yang perlu disyukuri. Dalam hasil penelitian Sawyer et al. (2011), diketahui bahwa wanita sering menggunakan keyakinannya akan agama 40 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL dan Tuhannya dalam membantu penyesuaian diri selama kehamilan, dapat membuat bahagia dan menjadi yakin akan kelancaran kehamilannya. Sebanyak 7 responden menganggap arti kebahagiaannya karena dapat memenuhi harapan sosial, dan 6 responden menjawab sebagai penjaga keharmonisan keluarga. Dalam hasil penelitian Sawyer et al. (2011) juga diperoleh hasil yang mendukung hal tersebut. Kehamilan menjadikan wanita merasa senang dan gembira. Kehamilan membuat wanita merasa tenang karena dapat memberikan keturunan, yang membuat mereka diperlakukan spesial dan lebih baik oleh keluarganya, seperti suami dan mertua. Jika tidak memiliki anak, dapat menyebabkan wanita memiliki risiko diceraikan oleh suami. Selain itu, pada hasil penelitian Sawyer et al. (2011) juga terungkap bahwa wanita yang dapat memberikan anak laki-laki akan lebih mendapat perhatian lebih oleh suami dan mertua, dibandingkan pada anak wanita. Sebanyak 64 responden menjawab masalah fisik, 5 masalah psikis, dan 2 gabungan keduanya, sebagai kesulitan yang dialami pada saat hamil dan masalah fisik menempati hal yang paling umum dalam masa kehamilan seorang wanita. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Sawyer et al. (2011) yang menyatakan bahwa banyak wanita yang menyampaikan keluhannya terkait masalah fisik yang dialami selama kehamilan. Proses kehamilan yang terjadi pada wanita pada bulan-bulan awal (trimester pertama), wanita hamil akan merasakan tanda-tanda kehamilan seperti membesarnya payudara dan berulang kali mengalami mual di pagi hari, mual dan muntah yang terjadi pada pagi hari atau di waktu yang lain. Kemudian pada trimester kedua, wanita hamil akan mengalami penambahan ukuran pada pinggang dan mungkin peningkatan keinginan untuk makan, bahkan terkadang menginginkan makanan yang sebelumnya tidak disukai. Bulan keempat dan kelima seorang wanita akan mulai merasakan pergerakan bayi di perutnya. Kemudian selama bulan ketujuh sampai kesembilan (trimester ketiga), wanita hamil akan mengalami kondisi fisik yang kurang nyaman karena perkembangan janin yang semakin besar dan menyebabkan tekanan pada kandung kemih, paru-paru dan organ lainnya. Wanita hamil juga akan mengalami kesulitan tidur, sakit punggung, dan kaki yang membengkak. (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Usia kehamilan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kebahagiaan wanita hamil, mayoritas dari responden penelitian memiliki usia kehamilan di trimester 2 (47 %) dan trimester ketiga (41%) padahal menurut penelitian Dyrdal et al. (2011) para ibu akan mengalami peningkatan kepuasan hidup saat mendekati kelahiran dan akan berlangsung sealam 6 bulan setelah melahirkan. Kepuasan hidup seseorang akan menentukan kebahagiaannya, oleh karena itu perlu dilakukan analisa yang lebih mendalam terkait usia kehamilan dan tingkat kebahagiaan. Hubungan dengan pasangan tampaknya menjadi hal yang penting dalam meraih kepuasan hidup baik dari masa transisi saat hamil maupun saat mengasuh ASPEK-ASPEK PENUNJANG balita (Dyrdal et al. 2011). Dari hasil penelitian didapatkan data dari pertanyaan terkait pemberi dukungan selama hamil sehingga menimbulkan kebahagiaan. Sebanyak 125 responden menjawab suami dan keluarga adalah hal pendukung yang membuat wanita merasa bahagia selama masa hamil. Disebutkan pula oleh Blake et al. (2007) bahwa kualitas hubungan interpersonal selama masa kehamilan dan dukungan emosional sangat berkaitan dengan kebahagiaan pada wanita hamil. Dukungan emosional tersebut biasanya berasal dari pasangan (suami) ataupun orang terdekat lainnya Di sisi lain, hasil penelitian Sawyer et al. (2011) menunjukkan, para suami memiliki persepsi bahwa kehamilan dan kelahiran merupakan tugas utama dari wanita, dan mereka hanya sedikit sekali terlibat dalam proses kehamilan dan kelahiran tersebut. Kurangnya dukungan suami ini menjadi penyebab utama wanita merasa distress dan tidak bahagia selama periode kehamilannya. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan dan keterlibatan dari suami khususnya dan keluarga menjadi hal utama pendukung kebahagiaan pada wanita hamil. Setelah diketahui bahwa hubungan romantis akan berpengaruh seiring dengan lahirnya anak, maka intervensi yang ditujukan untuk memperkuat dan meningkatkan kepuasan hubungan selama transisi masa kehidupan dianggap akan menjadi penting (Dyrdal et al. 2011). Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan dan kesehatan mempengaruhi kebahagiaan, dan kedua hal tersebut lebih jauh akan berkorelasi dengan 3 variabel lain yang pendapatan, gaya hidup dan 41 pendidikan (Kageyama, 2012). Dalam penelitian ini belum dilakukan perbedaan gambaran kebahagiaan berdasarkan atas pendapatan, pendidikan dan pekerjaan para responden karena hal tersebut mungkin saja memberikan informasi bermanfaat untuk memahami gambaran bermanfaat para wanita hamil di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dyrdal et al. (2011) dinyatakan bahwa level kepuasan hidup yang ditemukan pada ibuibu yang ada di Norwegia dapat disebabkan oleh kebijakan sosial dan fasilitas menguntungkan saat menjadi seorang ibu, contohnya jaminan kesehatan gratis dan cuti melahirkan yg panjang yaitu selama 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan dapat membuat kelahiran anak dan peran sebagai orang tua menjadi tidak terlalu menekan dan tidak membebankan secara ekonomi dibandingkan dengan negara lain yang tidak menyediakan fasilitas tersebut. Simpulan Dan Saran Kesimpulan Sejumlah 129 responden dalam penelitian ini memberikan gambaran tentang bagaimana kebahagiaan yang dialami oleh wanita hamil. Tingkat kebahagiaan responden bergerak dari tingkat agak bahagia sampai ke tingkatan sangat bahagia dan mayoritas responden menyatakan sangat bahagia dalam proses kehamilannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tema yang bervariasi muncul dalam setiap respon dari pertanyaan yang diberikan pada kuisioner, 7 tema muncul dari respon tentang 42 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL peristiwa paling membahagiakan yaitu (1) mengetahui kehamilan, (2) peran bar, (3) Mendapatkan perhatian, (4) Kehadiran anak, (5) proses kehamilan yang baik, (6) Pemberian Tuhan, dan (7) membahagiakan kelaurga, dan yang paling banyak muncul adalah proses kehamilan yang baik; 7 tema muncul dari alasan merasa sangat bahagia yaitu (1) kehadiran anak, (2) kondisi janin, (3) mendapat dan dukungan perhatian suami, (4) menyenangkan keluarga, (5) peran baru, (6) pengalaman kehamilan, (7) kemampuan reproduksi, dengan tema yang paling banyak muncul adalah tentang kondisi janin; 7 tema muncul dari arti peristiwa yang membahagiakan dan arti yaitu (1) pengalaman sebagai wanita, (2) kehadiran anak, (3) emosi positif, (4) pemberian Tuhan, (5) pemenuhan harapan sosial, (6) keharmonisan rumah tangga, (7) peristiwa yang sangat berarti, dan yang paling banyak muncul adalah kehadiran anak; 3 tema muncul dari kesulitan ada masalah yang harus diatas saat hamil yaitu (1) masalah fisik, (2) masalah psikis, (3) masalah fisik dan psikis, dan yang paling banyak muncul adalah tentang masalah fisik; 5 tema muncul dari pendukung yang membuat bahagia selama hamil yaitu (1) keluarga, (2) suami dan teman, (3) keluarga dan teman, (4) teman, (5) tidak ada pendukung, dan tema yang paling banyak muncul adalah keluarga; dan 3 tema muncul dari bentuk dukungan yang diberikan saat hamil adalah (1) dukungan psikologis, (2) dukungan fisik, (3) dukungan spiritual, dan yang paling sering muncul adalah bentuk dukungan psikologis. Kesimpulan a) Untuk praktisi Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber data tentang gambaran kebahagiaan para wanita hamil sehingga dapat membantu dalam merumuskan tentang cara-cara praktis bagi ibu hamil dan lingkungan sosialnya untuk mempertahankan kondisi bahagia atau justru untuk membantu menimbulkan kebahagiaan bagi para ibu hamil yang merasa pengalaman hamilnya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan dalam hidup. b) Untuk peneliti selanjutnya · Bisa menggunakan temuan penelitian ini yaitu tema-tema yang muncul tentang gambaran kebahagiaan wanita hamil sebagai dasar dalam perumusan konsep kebahagiaan wanita hamil khas Indonesia. · Melakukan analisa mendalam terkait data demografi wanita hamil, misalnya umur, urutan kehamilan, trimester kehamilan dan bagaimana gambaran kebahagiaannya. Daftar Acuan Blake, S. M., Kiely, M., Gard, C. C., ElMohandes, A. A. E., El-Khorazaty, M. N., & NIH-DC Initiative. (2007). Pregnancy intentions and happiness among pregnant black women at high risk for adverse infant health outcomes. Perspectives on Sexual and ASPEK-ASPEK PENUNJANG Reproductive Health, 39(4), 194-205. Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human strengths. New York: BrunnerRoutledge. Dyrdal, G. M., Røysamb, E., Nes, R. B., & Vittersø, J. (2011). Can a happy relationship predict a happy life? A population-based study of maternal well-being during the life transition of pregnancy, infancy, and toddlerhood. Journal of Happiness Studies, 12(6), 947-962. doi:10.1007/s10902-0109238-2 Ogden, J. (2007). Health Psychology: A Textbook (4th ed.). UK: Open university Press. Kageyama, J. (2012). Happiness and sex difference in life expectancy. Journal of Happiness Studies, 13(5), 947-967. Patnani, M. (2010). Kebahagiaan pada perempuan (Unpublished research report). Fakultas Psikologi Universitas YARSI, Jakarta. Patton, M. Q. (2006). How to use qualitative methods in evaluation (B. P. Priyadi, Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Santrock, J. W. (2002). Life-span development (J. Damanik & A. Chusairi, Trans.). Jakarta: Erlangga. Sari, W. S., & Hadjam, M. N. R. (2010). PuRelax (pregnancy auto-induced relaxation) untuk menurunkan tingkat 43 stres kehamilan pada ibu hamil primara trimester III (Unpublished octoral dissertation). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada: Yogykarta Sawyer, A., Ayers, S., Smith, H., Sidibeh, L., Nyan, O., & Dale, J. (2011). Women's experiences of pregnancy, childbirth, and the postnatal period in the Gambia: A qualitative study. British Journal of Health Psychology, 16(3), 528-541. Schiffrin, H. H., & Nelson, S. K. (2010). Stressed and happy? Investigating the relationship between happiness and perceived stress. Journal of Happiness Studies, 11(1), 33-39. Seligman, M. E. P. (2002). Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York: Free Press. Seligman, M. E., Parks, A. C., & Steen, T. (2004). A balanced psychology and a full life. Philosophical TransactionsRoyal Society of London Series B Biological Sciences, 359(1449), 13791382. doi:10.1098/rstb.2004.1513 Warner, R. M., & Vroman, K. G. (2011). Happiness inducing behaviors in everyday life: An empirical assessment of “the how of happiness”. Journal of Happiness Studies, 12(6), 1063-1082. Weiten, W., Dunn, D., & Hammer, E. (2011). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 21st century. USA: Cengage Learning. Williams, B. K., Sawyer, S. C., & Wahlstorm, C. M. (2006). Marriages, Family & Intimate Relationship: A Practical Introduction. USA: Pearson 44 RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL Education. Alamat surel: [email protected] Jurnal Psikologi Indonesia 2014, Vol. XI, No. 1, 45-52, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia PENGARUH SOSIAL: INDIKATOR KEBERBEDAAN PADA NIAT IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI SUPLEMENTASI BESI (SOCIAL INFLUENCE: DIVERSITY INDICATORS ON THE INTENTION OF PREGNANT WOMEN TO CONSUME IRON SUPPLEMENTATION) Sudjatmiko Setyobudihono Prodi Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa Ermina Istiqomah Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui individu yang memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan ibu hamil dalam mengkonsumsi suplementasi besi. Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui individu yang memiliki pengaruh yang diungkap dengan menggunakan kuesioner individu berpengaruh dan kuesioner pengaruh sosial kepada 130 responden. Hasil menunjukkan bahwa suami merupakan individu utama pada kelompok pertama yang paling memiliki pengaruh, selanjutnya Orang tua merupakan individu utama pada kelompok kedua yang memiliki pengaruh. Ibu mertua merupakan individu utama pada kelompok ketiga yang memiliki pengaruh pada niat ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet suplemen besi. Dari enam faktor pengaruh sosial yang diteliti maka faktor pengaruh referensi pemberi pengaruh (influencers) merupakan faktor yang mendominasi. Dalam membuat sebuah keputusan terkait konsumsi suplementasi besi maka suami, orang tua da ibu mertua merupakan individu yang memberikan pengaruh terutama dalam hal sebagai pemberi referensi. Kata kunci: pengaruh sosial, individu berpengaruh, suplementasi besi The study aims to find out who the individual and the value of the effect on pregnant women consume iron supplements. Descriptive method is used to determine the individuals who have influence, expressed by using the enclosed questionnaire of the individual who have influence and the questionnaire of social influence to 130 respondents. The results showed that the husband is the first group who has a very strong influence. Parents are the second groups. Mother-in-law is the third group who has influence weakest to affecting the decision to implement the consumption of iron tablets. Six social influence factors have been studied, suggests that the referent factor is the main factor that an impact on intentions of pregnant women to consume iron supplementation. Keywords: social influence, influencer’s individual, iron supplementation 45 46 SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH Zat besi adalah elemen mikro yang penting bagi berbagai fungsi metabolisme selular. Rata-rata berat zat besi dalam tubuh manusia sehat adalah sekitar 40-50 mg/kg berat badan, sekitar 75% ada dalam bentuk erythron sebagai bagian hemoglobin (Yehuda & Mostofsky, 2010). Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang bersangkutan (Lynch, 2011). Anemia gizi besi merupakan kejadian paling sering ditemui di seluruh dunia sebagai akibat kurang gizi pangan dan menjangkiti hampir satu setengah hingga dua milyar orang di seluruh dunia (Lynch, 2011). Wanita hamil secara fisiologis terjadi peningkatan kebutuhan zat besi, diperkirakan kebutuhan zat besi harian akan meningkat mulai sekitar 0,8 mg pada trisemester pertama menjadi 4-5 mg selama trisemester kedua dan >6 mg pada trisemester ketiga (Ramakrishnan, 2001). Penggunaan bentuk tablet dalam program penanggulangan anemia gizi besi masih dipandang sebagai salah satu cara terbaik dan efektif dalam program penanggulangan anemia gizi besi pada ibu hamil (Zhou et al., 2006; Agarwal et al., 2008). Diperkirakan rata-rata temuan anemia kehamilan di Indonesia adalah 50 sampai 70% dari jumlah ibu hamil (Noronha et al., 2012). Tingginya klaim pemberian tablet Fe pada ibu hamil tidak diikuti dengan tingginya konsumsi tablet Fe. Persentase ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah (TTD) di Provinsi Kalimantan Selatan tercatat 85,4%. Sedangkan persentase ibu yang melaporkan minum tablet Fe adalah sebagai berikut: lebih dari 90 hari adalah 21,2%, sehingga masih ada cukup besar ibu hamil yang menelan tablet Fe secara tidak teratur, yaitu sebesar 64,2% (Kemenkes, 2010). Pengaruh sosial merupakan kekuatan dari pemberi pengaruh yang menyebabkan perubahan sikap dan perilaku seseorang (French & Raven, 1959). Pemahaman tentang pengaruh sosial dalam kehidupan masyarakat adalah menghubungkan kehadirannya dengan budaya kolektivistiks, budaya kolektivistik dapat memunculkan pengaruh sosial bagi masyarakatnya (Chang et al., 2009). Budaya kolektivistik sangat kentara berkembang di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Agar promosi kesehatan mendapatkan perubahan perilaku yang menetap dalam jangka panjang diperlukan suatu pendekatan berbasis budaya setempat (Demaio, 2011). Dalam kasus kepatuhan (atau ketidakpatuhan) terhadap konsumsi obat, khususnya suplementasi besi oleh ibu hamil, terdapat beberapa keadaan spesifik. Keberadaan sosok yang memiliki kewenangan merupakan bagian yang tak terpisah dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hubungan sosok berwenang dengan subjek maka sosok berwenang dalam kehidupan kesehatan masyarakat Indonesia umumnya dapat dibagi dalam 2 golongan: (1) golongan yang secara tegas sedang memiliki hak/kekuasaan dalam memberi perintah dan terkait dengan perkawinan dan keturunan, diantaranya adalah: ibu, anak, ayah dan ibu mertua, kakek/nenek, saudara (Galloway et al., 2002); (2) PENGARUH SOSIAL golongan yang secara tegas sedang memiliki hak/kekuasaan dalam memberi perintah dan tidak terkait dengan perkawinan atau keturunan, diantaranya: dokter, tenaga medis (perawat, bidan, petugas kesehatan), tokoh agama (kyai, guru agama) (Pye, 1985), dan ketua dalam masyarakat (ketua suku, ketua RT, ketua organisasi kemasyarakatan) (Prasilowati, 2000; Wild, 2006; Unni, 2008). Dalam mempengaruhi seseorang maka kekuatan sosial dapat dikelompokan ke dalam enam kelompok kekuatan, yaitu: (1) hadiah/reward, mereka memandang sebagai sumber hadiah atau pujian; (2) pemaksaan/coercive, mereka memandang sebagai sumber hukuman atau pemaksaan; (3) pengesahan/legitimate, mereka percaya bahwa seseorang memiliki hak yang mengesahkan mereka melakukan perilaku tertentu; (4) acuan/referent, mereka mengidentifikasikan dengan atau seperti seseorang, (5) pengetahuan atau pengalaman/expert, mereka memiliki persepsi bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan atau pengalaman spesial bagi mereka, (6) informasi/informational informasi yang disediakan oleh seseorang secara mendalam dapat memaksa atau meyakinkan mereka (Blass & Schmitt, 2001; Raven, 2008). Penelitian disini bertujuan untuk mengetahui individu yang berpengaruh, serta faktor sosial yang mendominasi ibu hamil dalam membuat keputusan untuk mengkonsumsi suplementasi besi. Metode Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui individu yang memiliki 47 pengaruh yang diungkapkan dengan menggunakan kuesioner tertutup kepada 130 responden ibu hamil yang memeriksakan diri di 16 Puskesmas di Banjarmasin. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui individu yang memiliki pengaruh serta besarnya pengaruh. Faktor pengaruh sosial, diungkapkan dengan menggunakan angket pengaruh sosial 20 item pertanyaan. Nilai Cronbach’s alpha menunjukkan angka 0,891. Angket pertama berisi pernyataan tentang individu yang memiliki pengaruh sosial. Individu yang memiliki pengaruh dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: (1) kelompok 1 adalah individu yang memiliki kemampuan paling mempengaruhi, (2) kelompok 2 adalah individu yang memiliki kemampuan mempengaruhi dibawah kelompok ke 1; dan (3) kelompok 3 adalah individu yang memiliki kemampuan mempengaruhi dibawah kelompok ke 1 dan ke 2. Subyek kemudian diminta untuk memberikan peringkat nilai terhadap ketiganya mengenai seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh mereka bagi subyek. Peringkat menggunakan skala 3 poin Likert berkisar dari 1 (tidak cukup berpengaruh) hingga 3 (sangat berpengaruh). Semakin tinggi nilai maka semakin tinggi pengaruh yang berlaku dalam sikap yang ditunjukkan oleh subyek. Berpedoman pada penelitian yang dilakukan oleh Galloway et al. (2002), Prasilowati (2000) dan Unni (2008) maka pilihan orang adalah: suami, anak, orang tua, kakek/nenek, ibu mertua, anggota keluarga lain, teman, dokter, perawat, bidan, apoteker, tokoh agama, tokoh masyarakat. 48 SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH Angket kedua berisi pertanyaan tentang pengaruh sosial pada seseorang dalam melakukan proses pengobatan merupakan persepsi akan proses pengobatan dan menjadi gambaran akan impresi pasien akan perasaan peran sosial dalam mempengaruhi suatu program pengobatan. Instrumen yang digunakan terbagi dalam 6 bagian: (1) hadiah/reward, mereka memandang sebagai sumber hadiah atau pujian; (2) pemaksaan/coercive, mereka memandang sebagai sumber hukuman atau pemaksaan; (3) pengesahan/legitimate, mereka percaya bahwa seseorang memiliki hak yang mengesahkan mereka melakukan perilaku tertentu; (4) acuan/referent, mereka mengidentifikasikan dengan atau seperti seseorang, (5) pengetahuan atau pengalaman/expert, mereka memiliki persepsi bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan atau pengalaman spesial bagi mereka, (6) informasi/informational informasi yang disediakan oleh seseorang secara mendalam dapat memaksa atau meyakinkan mereka (French & Raven, 1959; Raven, 2008). Menggunakan skala 5 poin dari Likert mulai dari 1 (Sangat Tidak Setuju) hingga 5 (Sangat Setuju). Semakin besar nilai tekanan maka akan semakin besar pula kekuatan tekanan sosial berlaku pada individu (Raven, 2008). kelompok 3 (lihat pada Tabel 1). Tabel 1 Distribusi Individu yang Memiliki Pengaruh Paling Kuat di Tiap Kelompok Pada 130 Responden Jumlah Persentase kelompok 1 Suami 95 73,1 Anak 1 0,8 Orang tua 14 10,8 Ibu mertua 1 0,8 Anggota keluarga 1 0,8 Dokter 4 3,1 Bidan 14 10,8 Suami 20 15,4 Orang tua 73 56,2 Ibu mertua 9 6,9 Anggota keluarga 4 3,1 Dokter 6 4,6 Bidan 16 12,3 2 1,5 Suami 11 8,5 Anak 3 2,3 Orang tua 21 16,2 Ibu mertua 41 31,5 Kakek/nenek 2 1,5 Anggota keluarga 4 3,1 Hasil dan Pembahasan Teman 3 2,3 Hasil menunjukkan bahwa 3 individu utama yang paling memberikan pengaruh dari masing-masing kelompok, yaitu: (1) suami, individu utama dari kelompok 1; (2) orang tua, individu utama dari kelompok 2; dan (3) ibu mertua, individu utama dari Dokter 9 6,9 Bidan 33 25,4 3 2,3 kelompok 2 Kader kesehatan kelompok 3 Kader kesehatan Sumber: Data primer diolah Analisis angket pengaruh sosial PENGARUH SOSIAL menunjukkan bahwa pengaruh sosial memiliki pengaruh yang cukup tinggi (42,3%). Sementara itu nilai pengaruh masing-masing bagian adalah: (1) reward memiliki pengaruh yang cukup tinggi (33,1%); (2) coercive memiliki pengaruh sangat rendah (38,5%); (3) legitimate memiliki pengaruh cukup tinggi (34,6%); (4) referent memiliki pengaruh tinggi (36,2%); (5) experience memiliki pengaruh tinggi (34,6%); dan (6) informational memiliki pengaruh cukup tinggi (33,8%) (lihat pada Tabel 2). Analisis faktor pengaruh sosial menunjukkan bahwa pengaruh referent memiliki tingkat pengaruh paling tinggi sebesar 0,833. Diikuti oleh pengaruh legitimate (0,776), pengaruh coercive (0,716), pengaruh informational (0,704), pengaruh reward (0,694), dan pengaruh experience (0,661). Kesimpulan Individu yang memiliki pengaruh berdasarkan pada 3 kelompok individu maka suami merupakan individu utama dati kelompok 1 yang paling memiliki pengaruh. Keputusan suami akan sangat didengar dan dipatuhi oleh para ibu hamil. Pengaruh lebih kecil dimiliki oleh orang tua dan ibu mertua. Pengaruh sosial merupakan hal yang mempengaruhi ibu hamil dalam melakukan pengobatan dengan suplementasi besi. Ibu hamil menyatakan bahwa pengaruh sosial memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Faktor referent/acuan merupakan faktor pengaruh sosial yang berpengaruh paling kuat. 49 Pengaruh referent ini terjadi ketika seseorang atau masyarakat terpengaruh karena mereka ingin menyamakan diri, rasa hormat, kagum dan mengidentikkan diri dengannya dan berharap dapat menjadi seperti dirinya dengan pihak yang memiliki pengaruh. Dalam penelitian ini, ibu hamil menyatakan bahwa individu yang paling memilki pengaruh referent adalah suami. 50 SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH Tabel 2 Distribusi Besarnya Pengaruh Secara Umum dan Masing-masing Faktor Pengaruh Sosial Pada 130 Responden Jumlah Secara Umum Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh reward/hadiah Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh coercive/pemaksaan Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh legitimate/ pengesahan Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh referent/acuan Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh experience/ pengalaman Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Faktor pengaruh informational/ informasi Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi Sumber: Data primer diolah Persentase 10 38 55 25 2 7,7 29,2 42,3 19,2 1,5 13 33 43 35 6 10,0 25,4 33,1 26,9 4,6 50 26 28 15 11 38,5 20,0 21,5 11,5 8,5 16 31 45 31 7 12,3 23,8 34,6 23,8 5,4 6 42 29 47 6 4,6 32,3 22,3 36,2 4,6 3 43 38 45 1 2,3 33,1 29,2 34,6 0,8 5 36 44 38 7 3,8 27,7 33,8 29,2 5,4 PENGARUH SOSIAL Daftar Acuan 51 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Agarwal, T., Kochar, G. K., & Goel, S. (2008). Impact of iron supplementation on anemia during pregnancy. EthnoMedicine, 2(2), 149-151. Lynch, S. R. (2011). Why nutritional iron deficiency persists as a worldwide problem. The Journal of Nutrition, 141(4), 763S-768S. Blass, T., & Schmitt, C. (2001). The nature of perceived authority in the Milgram paradigm: Two replications. Current Psychology, 20(2), 115-121. Noronha, J. A., Al Khasawneh, E., Seshan, V., Ramasubramaniam, S., & Raman, S. (2012). Anemia in pregnancyconsequences and challenges: A review of literature. Journal of South Asian Federation of Obstetrics and Gynecology, 4(1), 64-70. Chang, M., Feller, E., & Nimmagadda, J. (2009). Barriers to healthcare access in Southeast Asian community of Rhode Island. Medicine and Health, 92(9), 310313. Demaio, A. (2011). Local wisdom and health promotion: Barrier or catalyst? Asia-Pacific Journal of Public Health, 23(2), 127-132. French, J. R. P., & Raven, B. (1959). The bases of social power. In D. Cartwright (Ed.), Studies in social power (p. 150167). Ann Arbor, Mich: Institute for Social Research for Group Dynamics. University of Michigan. Galloway, R., Dusch, E., Elder, L., Achadi, E., Grajeda, R., Hurtado, E., ... & Stephen, C. (2002). Women's perceptions of iron deficiency and anemia prevention and control in eight developing countries. Social science & medicine, 55(4), 529-544. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Prasilowati, S. L. (2000). An analysis of women’s education in Indonesia: Empowerment and barriers (Unpublished doctoral dissertation). International Development Studies Saint Mary’s University, Halifax, Canada. Pye, M. W., & Pye, L. W. (1985). Asian power and politics: The cultural dimensions of authority. USA: Harvard University Press. Ramakrishnan, U. (Ed.). (2001). Nutritional anemias. Boca Raton, FL: CRC Press LLC. Raven, B. H. (2008). The bases of power and the power/interaction model of interpersonal influence. Analyses of Social Issues and Public Policy, 8(1), 122. Unni, E. J. (2008). Development of models to predict medication non-adherence 52 SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH based on a new typology. ProQuest. Wild, T. C., Cunningham, J. A., & Ryan, R. M. (2006). Social pressure, coercion, and client engagement at treatment entry: A self-determination theory perspective. Addictive Behaviors, 31(10), 1858-1872. Yehuda, S., & Mostofsky, D. I. (Eds.). (2010). Iron deficiency and overload: from basic biology to clinical medicine. New York: Humana Press. Zhou, S. J., Gibson, R. A., Crowther, C. A., Baghurst, P., & Makrides, M. (2006). Effect of iron supplementation during pregnancy on the intelligence quotient and behavior of children at 4 y of age: long-term follow-up of a randomized controlled trial. The American Journal of Clinical Nutrition, 83(5), 1112-1117. Alamat surel: [email protected] Jurnal Psikologi Indonesia PENGARUH DUKUNGAN SUAMI 2014, Vol. XI, No. 1, 53-65, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia 53 PENGARUH DUKUNGAN SUAMI TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA PEREMPUAN YANG BEKERJA (NILAI KELUARGA-PEKERJAAN SEBAGAI MEDIATOR) Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta Faturochman dan M. G. Adiyanti Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran nilai pekerjaan-keluarga (nilai positif pekerjaan-keluarga dan konflik pekerjaan-keluarga) mendasarkan pada teori gender dan ekologi sebagai mediator pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada ibu yang bekerja. Hipotesis penelitian adalah model pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan didukung dengan data empirik. Karakteristik subjek penelitian sebagai berikut: subjek tinggal bersama dengan suami yang bekerja dan mempunyai anak berusia di bawah 12 tahun yang tinggal bersama dengan subjek; bekerja penuh waktu; bekerja sebagai guru, perawat dan pegawai bank. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Ada 4 skala yaitu skala kepuasan perkawinan, skala nilai positif keluarga-pekerjaan, skala konflik keluarga-pekerjaan, dan skala dukungan suami. Tehnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan: teknik analisis model persamaan struktural (Structural Equation Model disingkat SEM). Analisis SEM yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan. Kata kunci: dukungan suami, nilai pekerjaan-keluarga, kepuasan perkawinan This research aims to examine the role of family-work value (family-work positive value and family-work conflict) which is based on gender theory and ecological theory as a mediation of spousal support influence toward marital satisfaction for working women. The hypothesis of this research husband’s support influence toward marital satisfaction for working women that is mediated by the family-work positive value and the family-work conflict reviewed from the gender theory and ecological theory supported also by empirical data that forms a model of family-work value toward the working women. The characteristics of the subject of this research are subjects who live with their husbands and take care of their under 12 years old children. The methods to collect data are marital satisfaction scale, family-work positive value scale, family-work conflict scale, husband’s support scale. The technique of analyzing the data is structural equation model analysis. The result shows family-work positive value and family-work conflict are the mediators between husband’s support and marital satisfaction. Keywords: husband’s support, family-work value, marital satisfaction 53 54 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI Selama beberapa tahun terakhir, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja didominasi oleh perempuan. Jika dilihat berdasarkan jumlah angkatan kerja, selama periode 2006-2008 peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah angkatan kerja lakilaki. Jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2006 mencapai 38,6 juta orang dan meningkat hingga 42,8 juta orang pada tahun 2008, sementara angkatan kerja lakilaki meningkat dari 67,7 juta orang menjadi 69,1 juta orang dalam waktu yang sama. Tahun 2009, peningkatan penduduk perempuan yang bekerja sebesar 3,26 juta orang sedangkan peningkatan penduduk laki-laki yang bekerja hanya sebesar 1,21 juta orang (Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional 2008 diolah Pusdatinaker). Tingginya peningkatan penduduk perempuan yang bekerja karena dorongan ekonomi, yaitu tuntutan keluarga untuk menambah penghasilan dan semakin terbukanya kesempatan bekerja pada kaum perempuan (Badan Pusat Statistik, 2008). Peningkatan pendidikan juga mengakibatkan peningkatan perempuan memasuki pasar tenaga kerja. Semakin meluasnya peran perempuan dalam sektor publik akan menimbulkan permasalahan dalam diri perempuan. Apabila perempuan yang bekerja menikah dan mempunyai anak ikut membantu mencari nafkah di sektor publik tetapi beban domestik tidak berkurang maka tanggung jawab perempuan tersebut menjadi berganda (Noor, 2002). Kompleksitas permasalahan mengenai peran perempuan yang bekerja di sektor publik terkait dengan struktur budaya. Dalam budaya Indonesia, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Patriarkal merupakan struktur yang mengabsahkan bentuk struktur kekuasaan lelaki mendominasi perempuan (Koentjaraningrat, 1974). Sistem patriarkal memisahkan peran utama antara lelaki dan perempuan dalam keluarga. Lelaki berperan sebagai kepala keluarga, terutama bertugas di sektor publik sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan terutama bertugas di sektor domestik. Hal tersebut diperkuat dengan isi pasal 31 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Adanya ketentuan formal-yuridis bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga, berarti peran suami ditentukan di sektor publik. Peran isteri sebagai ibu rumah tangga, berarti bahwa tempat dan kewajiban isteri adalah di sektor domestik (Sadli, 2010). Ketidaksetaraan peran perempuan dan laki-laki membuat perempuan yang bekerja lebih mengalami konflik pekerjaankeluarga. Berkaitan dengan peran yang dijalani, perempuan yang bekerja dengan suami juga bekerja lebih mengalami konflik karena laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang berbeda dalam keluarga (Duxbury & Higgins, 1991; Gutek & Searle, 1991). Hal ini didukung penelitian Ahmad (2005), metaanalisis yang dilakukan Ford et al. (2007) dan Kossek dan Ozeki (1998) menjelaskan perempuan mengalami konflik pekerjaan-keluarga PENGARUH DUKUNGAN SUAMI karena pekerjaan laki-laki dalam keluarga lebih fleksibel, sedangkan pekerjaan perempuan lebih bersifat rutinitas, contohnya tanggung jawab terhadap anak terutama usia di bawah 12 tahun. Jenis pekerjaan yang menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga adalah jenis pekerjaan melibatkan tanggung jawab terhadap orang lain (Dierdorff & Ellington, 2008). Pekerjaan yang dengan beban kerja ekstra dan melibatkan tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaan akan meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga (Aryee, 1992). Pekerja yang bekerja di bidang profesional dilaporkan lebih mengalami konflik pekerjaan-keluarga daripada pekerja yang bekerja di bidang non profesional. Pekerjaan profesional yang melibatkan tanggung jawab terhadap orang lain dan melibatkan tangungjawab yang tinggi terhadap pekerjaan antara lain adalah pekerjaan sebagai guru, perawat dan pegawai bank (Aycan & Eskin, 2005; Kinnunen, et al., 2006; Noor, 2002; Noor, 2004). Guru, perawat dan pegawai bank termasuk pekerja di sektor publik (Wadsworth & Owens, 2007). Berkaitan dengan status pernikahan, perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak lebih mengalami nilai positif pekerjaan-keluarga daripada perempuan yang belum menikah (Grzywacz & Marks, 2000). Perempuan ini memperoleh keuntungan dari peran yang dijalankan dalam keluarga yaitu mempermudah menjalankan peran di tempat kerja. Menurut penulis, penelitian tentang nilai keluarga-pekerjaan yaitu nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga- 55 pekerjaan perlu dilakukan untuk mengkaji nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan yang dialami oleh perempuan yang bekerja. Penelitian tentang nilai keluarga-pekerjaan terutama nilai positif keluarga-pekerjaan perlu dilakukan karena wacana tentang nilai positif keluarga-pekerjaan belum berkembang di Indonesia. Di Indonesia, wacana tentang nilai positif keluargapekerjaan belum banyak ditulis dan diteliti. Wacana tentang nilai positif pekerjaankeluarga tinjauan teoritis ditulis penulis di jurnal psikologi Insight pada tahun 2008 (Soeharto, 2008) dan dilanjutkan dengan hasil penelitian yang disajikan di jurnal ilmiah psikologi Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma pada tahun 2010 (Soeharto, 2010). Hasil penelitian menunjukkan ada kesesuaian model teoritis dengan data faktual yang mengasosiasikan dukungan sosial (pasangan dan tempat kerja), nilai positif pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja pada wanita yang bekerja. Selain itu, kajian nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan dilakukan agar perempuan yang bekerja ini tidak mengalami dampak negatif dari konflik, tapi akan memperoleh manfaat nilai positif keluarga-pekerjaan. Dampak yang ditimbulkan dari peran sebagai istri, ibu atau pekerja dapat positif apabila pekerja mengalami nilai positif keluarga-pekerjaan yang tinggi. Manfaat dari berbagai peran memberikan bukti bahwa peran ganda meningkatkan kesehatan mental dan kesehatan fisik pekerja (Barnett & Hyde, 2001). Penelitian Tiedje, et al. (1990) menunjukkan nilai 56 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI positif pekerjaan-keluarga tinggi dan konflik pekerjaan-keluarga rendah pada perempuan yang bekerja berkaitan dengan rendahnya depresi dan meningkatnya kepuasan (kepuasan kerja, kepuasan perkawinan dan kepuasan sebagai orangtua). Konsep nilai positif pekejaan-keluarga dan konflik pekerjaan-keluarga mengacu pada konsep peran ganda. Orang dapat mempunyai berbagai peran pada saat yang bersamaan: sebagai ayah/ibu, suami/istri, sekaligus pekerja (Voydanoff, 2002). Peran yang dijalankan dalam pekerjaan-keluarga tersebut dapat menimbulkan nilai pekerjaan-keluarga baik nilai positif (nilai positif dari peran-peran yang dijalankan) maupun nilai negatif (konflik dari peranperan yang dijalankan). Konsep nilai positif pekejaan-keluarga mengacu pada konsep peran yang memberi nilai positif, pengalaman pada peran yang satu akan meningkatkan kemampuan untuk menjalankan peran yang lain (Greenhaus & Powell, 2006). Nilai positif pekerjaan-keluarga terdiri dari dua komponen yaitu nilai positif pekerjaankeluarga (peran dalam pekerjaan mempermudah menjalankan peran dalam keluarga) dan nilai positif keluargapekerjaan (peran dalam keluarga mempermudah menjalankan peran dalam pekerjaan). Dalam penelitian ini, fokus permasalahan adalah nilai positif keluargapekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan konflik antar peran, konflik timbul apabila peran di dalam pekerjaan dan keluarga saling menuntut untuk dipenuhi, pemenuhan peran yang satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain (Aycan & Eskin, 2005; Noor, 2002). Menurut Aycan dan Eskin (2005), peran dalam pekerjaan akan mempengaruhi kehidupan keluarga (konflik antara pekerjaan-keluarga) dan sebaliknya peran dalam keluarga akan mempengaruhi peran dalam pekerjaan (konflik keluargapekerjaan). Dalam penelitian ini, fokus permasalahan adalah konflik keluargapekerjaan. Nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan dapat dilihat sebagai konstruk yang berdiri sendiri (Voydanoff, 2004). Pendapat ini didukung oleh pendapat Wadsworth dan Owens (2007) yang menyatakan nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan merupakan konstruk yang terpisah. Menurut perspektif tersebut, nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan dapat terjadi bersamasama sehingga walaupun individu mengalami konflik, secara bersamaan individu mungkin memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar dari setiap peran yang dijalankan. Kajian nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan dalam penelitian ini bukan sebagai hasil akhir, tetapi sebagai mediator antara dukungan suami sebagai anteseden dengan kepuasan perkawinan sebagai konsekuensi. Model yang digunakan untuk menyusun model penelitian tentang nilai positif dan konflik pekerjaan-keluarga adalah model yang dibuat oleh Aycan dan Eskin (2005); Ford et al. (2007). Model ini menggambarkan dukungan suami terhadap PENGARUH DUKUNGAN SUAMI konflik keluarga-pekerjaan yang rendah. Model ini didukung hasil penelitian Erdwins et al. (2001), ada hubungan dukungan dari suami dengan konflik pekerjaan-keluarga. Dukungan dari suami yang berupa bantuan tenaga, nasihat, dan memahami kondisi isteri akan mengurangi konflik pekerjaankeluarga yang dialami isteri (Kim & Ling, 2001). Penelitian Bhargava dan Baral (2009) mengidentifikasi dukungan keluarga muncul sebagai prediktor nilai positif pekerjaan keluarga. Dukungan yang diterima dari suami atau isteri sangat penting artinya bagi isteri/suami untuk meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga, dukungan emosi dan instrumental yang diperoleh dari suami akan meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga (Voydanoff, 2004). Penelitian Aryee et al. (2005) pada laki-laki dan perempuan yang bekerja di India juga menunjukkan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan nilai positif keluarga-pekerjaan. Penelitian Wadsworth dan Owens (2007) pada pegawai menunjukkan perlunya dukungan sosial untuk meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga, dukungan dari keluarga yaitu suami akan berpengaruh positif terhadap nilai positif pekerjaan-keluarga. Model yang digambarkan oleh Hill (2005) menunjukkan tingginya nilai positif keluarga-pekerjaan berhubungan positif dengan kepuasan perkawinan. Rendahnya konflik keluarga-pekerjaan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan (Aycan & Eskin, 2005). Model yang dibuat Ford et al., (2007), menunjukkan ada 57 pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan perkawinan. Selain itu, pengaruh konflik keluarga-pekerjaan yang tinggi dengan kepuasan perkawinan berdasarkan model yang dibuat Kinnunen et al. (2006). Model tersebut sejalan dengan penelitian Kim dan Ling (2001); metaanalisis Kossek dan Ozeki (1998) yang menunjukkan ada hubungan negatif antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan perkawinan. Berdasarkan model-model dan hasil penelitian di atas, peneliti akan menggunakan sebagai dasar untuk membangun model. Penelitian ini akan membangun model dengan perspektif teori peran (perspektif peran yang memberi nilai positif, perspektif peran yang menimbulkan konflik, perspektif gender) dan teori ekologi. Teori peran dipilih untuk menjelaskan masalah nilai keluarga-pekerjaan karena melalui teori ini dapat dijelaskan peran yang dijalankan dalam keluarga akan memberikan pengalaman yang memperkaya perempuan dalam bekerja tetapi keterlibatan pada beberapa peran yang dilakukan perempuan yang bekerja juga akan menimbulkan konflik. Perspektif gender untuk menjelaskan nilai keluargapekerjaan karena antara laki-laki dengan perempuan mengalami pengalaman yang berbeda tentang masalah pekerjaan dan keluarga. Teori ekologi dipilih untuk menjelaskan masalah nilai keluargapekerjaan karena melalui teori ini dapat dijelaskan bahwa antara lingkungan keluarga dan lingkungan tempat kerja berinteraksi dan saling mempengaruhi. Berdasarkan landasan teori dapat digambarkan model teoritis pada Gambar 58 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI 1. berusia di bawah 12 tahun yang tinggal bersama dengan subjek; bekerja penuh Gambar 1. Model teoritis nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja Hipotesis mayor yang diajukan dalam penelitian ini adalah model pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan didukung dengan data empirik. Metode Variabel dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel: kepuasan perkawinan, dukungan suami, nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan. Variabel-variabel tersebut dibedakan sebagai variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kepuasan perkawinan, sedangkan variabel eksogen dalam penelitian ini adalah dukungan suami. Variabel mediator adalah nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan yang memediasi hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Karakteristik subjek penelitian sebagai berikut: subjek tinggal bersama dengan suami yang bekerja dan mempunyai anak waktu; bekerja sebagai guru, perawat dan pegawai bank. Jumlah subjek penelitian ini merujuk pada analisis statistik yang digunakan, yaitu analisis SEM (Struktural Equation Modeling). Menurut Hair, et al. (Ghozali, 2008), jumlah subjek untuk analisis adalah sekitar 200. Berdasarkan hal tersebut, maka jumlah subjek penelitian diperkirakan 200 subjek. Dari 230 eksemplar skala yang disebar ternyata 202 eksemplar skala yang kembali dan hanya 189 eksemplar skala yang dapat dianalisis. 13 eksemplar skala yang tidak dapat dianalisis karena subjek penelitian yang mengisi skala tersebut tidak sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Setelah dilakukan uji asumsi outlier maka keseluruhan subjek dalam penelitian ini berjumlah 188 subjek. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Ada 4 skala yaitu skala kepuasan perkawinan, skala nilai positif keluarga-pekerjaan, skala konflik keluarga-pekerjaan, dan skala dukungan suami. Hasil seleksi item dan reliabilitas adalah a. Skala Kepuasan Perkawinan PENGARUH DUKUNGAN SUAMI Hasil seleksi item menunjukkan ke tiga puluh sembilan item mempunyai dengan koefisiensi korelasi bergerak dari 0,398 – 0,834. Kecuali, item nomer 36 memiliki koefisiensi korelasi item dengan total kurang dari 0, 300 sehingga item no 36 dianggap gugur dan tidak digunakan dalam perhitungan selanjutnya. Koefisien reliabilitas Alpha Cronbach skala kepuasan perkawinan sebesar 0,969. b. Skala Nilai positif Pekerjaan-Keluarga Hasil seleksi item menunjukkan ke dua puluh tiga item mempunyai koefisiensi korelasi bergerak dari 0,349 – 0,713 dengan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,917. c. Skala Konflik Pekerjaan-Keluarga Hasil seleksi item menunjukkan ke Sembilan belas item mempunyai koefisiensi korelasi bergerak dari 0,375 – 0,712 dengan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,918. d. Skala Dukungan Suami Hasil seleksi item menunjukkan ke dua puluh satu item mempunyai koefisiensi korelasi bergerak dari 0,463 – 0,803 dengan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,943. Tehnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan: teknik analisis model persamaan struktural (Structural Equation Model disingkat SEM). Analisis SEM yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). Analisis jalur adalah model persamaan struktural dengan variabel observed atau regresi simultan dengan 59 variabel observed. Analisis jalur menguji persamaan regresi yang melibatkan beberapa variabel eksogen dan variabel endogen sekaligus sehingga memungkinkan pengujian terhadap variabel antara. Analisis jalur juga dapat mengukur hubungan langsung maupun tidak langsung antar variabel dalam model (Ghozali, 2008). Hasil Penelitian Berdasarkan uji model terhadap data yang ada diperoleh hasil yang tercantum dalam Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2. terlihat bahwa nilai kai-kuadrat sebesar 1,382 dengan p = 0,240; nilai GFI sebesar 0,996; nilai AGFI sebesar 0,963. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yaitu nilai kai-kuadrat dengan p>0,05; nilai GFI≥0,90); nilai AGFI≥0,90, hasil uji fit telah memenuhi kriteria. Berdasarkan hasil tersebut model teruji secara empiris sehingga hipotesis mayor diterima, model pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan membentuk model nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja didukung dengan data empirik. 60 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI Gambar 2. Hasil uji model nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja Hasil penelitian ini (dapat di lihat pada Gambar 2.) menunjukkan bahwa nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan merupakan mediator antara variabel dukungan suami dengan kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja. Diskusi Model teori ini merupakan model nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja yang ditinjau dari perpektif teori peran dan teori ekologi untuk melihat pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan baik pengaruh langsung atau tidak langsung melalui nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan. Model nilai keluarga-pekerjaan didasarkan pada teori peran. Peran yang dijalankan seseorang dapat berpengaruh positif bagi kehidupan seseorang (nilai positif dari peran di keluarga ke peran di pekerjaan) tetapi peran-peran yang dijalankan seseorang juga dapat menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga (nilai negatif dari peran di keluarga ke peran di pekerjaan) (Sieber, 1974). Nilai keluarga-pekerjaan (nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan) ini lebih dialami perempuan karena menurut teori gender (yang mendasarkan pada teori peran), antara laki-laki dan perempuan mengalami pengalaman yang berbeda tentang masalah pekerjaan dan keluarga (Greenhaus & Powell, 2006). Melalui teori ekologi dapat dijelaskan bahwa lingkungan tempat individu bekerja dan lingkungan keluarga berinteraksi dan saling mempengaruhi. Ada hubungan antara pengalaman berkeluarga dengan pengalaman bekerja, hubungan ini dapat saling memudahkan dalam menjalankan peran (Grzywacz & Mark, 2000). Jika ditinjau dari teori peran yang memberi nilai positif, bagi ibu-ibu subjek penelitian, pengalaman dalam menjalankan peran di rumah berhubungan penting dengan pengalaman menjalankan peran di PENGARUH DUKUNGAN SUAMI pekerjaan dan sebaliknya. Peran-peran yang dijalankan ibu di rumah dapat berpengaruh positif bagi kehidupan sebagai pekerja. Perempuan yang bekerja dapat merasakan keuntungan memiliki beberapa peran karena ada dukungan dari suami. Perempuan yang bekerja dapat membawa implikasi yang positif maupun negatif tergantung pada dinamika fungsi keluarga dalam kehidupan perempuan yang bekerja, apakah mendukung atau menghambatnya. Ditinjau dari teori ekologi menurut Brofenbrenner (1979; 2005) ada kaitan antara sistem mikro dengan individu. Mikrosistem adalah lingkungan tempat individu tinggal yang mencakup keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Individu bukanlah penerima pasif dari pengalaman dalam lingkungan tersebut artinya individu sebagai seseorang yang membantu membentuk lingkungan tersebut (Santrock, 2002). Perubahan dalam tiap sistem akan mempengaruhi halhal yang terjadi dalam pekerjaan atau keluarga. Ada hubungan yang bersifat relasional, segala sesuatu yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan berpengaruh terhadap anggota keluarga yang lain. Dukungan dari suami dapat berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja melalui nilai positif keluargapekerjaan. Hasil penelitian juga menunjukkan ada efek tidak langsung dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan dengan (bobot regresi terstandarisasi sebesar 0,20). Hal tersebut menunjukkan nilai positif keluarga-pekerjaan berperan 61 sebagai mediator bagi pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan. Pada penelitian ini, dukungan suami yang dirasakan subjek baik yang bekerja sebagai pegawai bank, perawat dan guru adalah penilaian positif. Selain itu, suami juga dirasakan memberikan dukungan instrumental yaitu penyediaan bantuan untuk membantu dalam keberhasilan tugas, yang meliputi membantu dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Dukungan dari suami yang dipersepsi atau dirasakan, dinilai atau diinterpretasi istri akan membuat istri merasa memperoleh dukungan dan merasa ada suami yang dapat diandalkan pada saat dibutuhkan, kondisi ini akan membuat istri merasa puas dengan perkawinannya. Ditinjau dari teori peran yang menimbulkan konflik, memiliki beberapa peran akan menimbulkan konflik. Lingkungan kerja dan keluarga sebagai sentral aktivitas seseorang sehingga mereka tidak dapat mengabaikan keduanya, hal ini akan menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga (Brofenbrenner, 2005). Konflik keluarga-pekerjaan berperan sebagai mediator bagi: pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan. Dukungan dari suami yang berupa bantuan tenaga, nasihat, dan memahami kondisi isteri akan mengurangi konflik pekerjaankeluarga yang dialami isteri (Kim & Ling, 2001). Selanjutnya, konflik pekerjaankeluarga yang rendah akan mempengaruhi kepuasan perkawinan. Model ini didukung Rodríguez-Carvajal, Moreno-Jiménez, Rivas-Hermosilla, Álvarez- Bejarano dan Vergel (2010) yang 62 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI menelaah 154 artikel yang berhubungan dengan psikologi positif di tempat kerja. Artikel yang berhubungan dengan masalah nilai positif pekerjaan keluarga menunjukkan ada hubungan nilai positif pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja, kepuasan perkawinan, kepuasan hidup dan kesejahteraan. Nilai positif keluarga-pekerjaan membantu perempuan yang bekerja mencapai keseimbangan antara menjalankan peran dalam keluarga dengan peran sebagai pekerjaan. Ditinjau dari perspektif teori gender, kemampuan ini didukung oleh sifat feminin pada diri perempuan. Sifat feminin terkandung sifat fleksibel dan luwes (Handayani & Novianto, 2004). Justru dengan keluwesannya ini perempuan dapat menyesuaikan diri dan mengatasi segala situasi yang menghimpitnya. Jadi, ketika perempuan harus menjalankan beberapa peran sekaligus yaitu menjadi ibu, isteri dan pekerja maka perempuan ini dapat menyesuaikan diri dan mengambil manfaat positif dari beberapa peran yang dijalankan. Ditinjau dari perspektif teori ekologi, permasalahan mengenai peran perempuan yang bekerja di sektor publik terkait dengan kehidupan keluarga yang di dalamnya terdapat suami. Masalah perempuan yang menjalankan peran di sektor publik dan sektor domestik dapat menjadi positif tergantung pada situasi kehidupan keluarga dalam hal ini adalah dukungan suami. Hubungan isteri yang bekerja dengan suaminya bersifat relasional. Perempuan yang bekerja ini merasakan bahwa suami memberi dukungan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan mereka. Subjek penelitian ini merasakan suami memberi dukungan yang tinggi terutama dalam penelitian ini dukungan suami berupa penilaian positif sehingga subjek merasakan kepuasan perkawinan yang tinggi. Jadi berdasarkan model ini, dukungan suami diperlukan perempuan yang bekerja terutama bagi mereka yang masih mengalami nilai positif keluarga-pekerjaan rendah agar dapat mengambil manfaat positif dari beberapa peran yang dijalankan dan akhirnya meningkatkan kualitas kehidupan keluarga (mengalami kepuasan perkawinan). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Model nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja menunjukkan ada pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan. Perpektif teori peran (perspektif teori peran yang memperkaya, perspektif teori peran yang menimbulkan konflik dan perspektif teori gender) dan teori ekologi dipakai untuk menjelaskan model tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dibuat rekomendasi sebagai berikut: Nilai positif pekerjaan-keluarga dan konflik pekerjaan-keluarga berlandaskan teori peran dan teori ekologi. Dari perspektif teori peran, perempuan yang bekerja tidak hanya memperhatikan konflik pekerjaan-keluarga tetapi juga perlu memperhatikan nilai positif pekerjaankeluarga. Berdasarkan teori ekologi, PENGARUH DUKUNGAN SUAMI perempuan yang bekerja perlu memperhatikan hubungan interpersonal dengan orang-orang yang ada di sekitar, yang didalamnya terdapat dukungan yang berupa dukungan emosi, dukungan informatif, dukungan instrumen dan penilaian positif. Daftar Acuan Ahmad, A. (2005). Work-family conflict among dual-earner couples: Comparisons by gender and profession. Jurnal Psikologi Malaysia, 19, 1-12. Aryee, S. (1992). Antecedents and outcomes of work-family conflict among married professional women: Evidence from Singapore. Human Relations, 45(8), 813-837. Aryee, S., Srinitas, E. S., & Tan, H. H. (2005). Rhythms of life: Antecedents and outcomes of work-family balance in employed parents. Journal of Applied Psychology, 90(1), 132-146. Aycan, Z., & Eskin, M. (2005). Relative contributions of childcare, spousal support, and organizational support in reducing work-family conflict for men and women: The case of Turkey. Sex Roles, 53(7-8), 453-471. Badan Pusat Statistik. (2008). Keadaan angkatan kerja di Indonesia. Jakarta: CV Petratama Persada. Barnett, R. C., & Hyde, J. S. (2001). Women, men, work, and family. American Psychologist, 56(10), 781796. Bhargava, S., & Baral, R. (2009). Antecedents and consequences of 63 work-family enrichment among Indian managers. National Academy of Psychology (NAOP) India Psychological Studies, 54(3), 213–225. Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. USA: Harvard University Press. Bronfenbrenner, U. (Ed.). (2005). Making human beings human: Bioecological perspectives on human development. Thousand Oaks, CA: Sage Publications Ltd. Dierdorff, E. C. & Ellington, K. J. (2008). It’s the nature of the work: Examining behavior-based sources of work-family conflict across occupations. Journal of Applied Psychology, 93(4), 883-892. Duxbury, L. E. & Higgins, C. A. (1991). Gender differences in work-family conflict. Journal of Applied Psychology, 76(1), 60-74. Dyson-Washington, F. (2006). The relationship between optimism and work-family enrichment and their influence on psychological well-being (Unpublished doctoral dissertation). Drexel University. Erdwins, C. J, Buffardi, L. C, Casper, W. J., & O`Brien, A. S. (2001). The Relationship of women`s role strain to social support, role satisfaction and selfefficacy. Family Relations, 50(3), 230238. Ford, M. T., Heinen, B. A., & Langkamer, K. L. (2007). Work and family satisfaction and conflict: A meta-analysis of crossdomain relations. Journal of Applied Psychology, 92(1), 57-80. Ghozali, I. (2008). Model persamaan 64 SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI struktural, konsep & aplikasi dengan program AMOS 16.0. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Greenhaus, J. H. & Powell, G. N. (2006). When work and family are allies: A theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72-92. Grzywacz, J. G., & Marks, N. F. (2000). Reconceptualizing the work–family interface: An ecological perspective on the correlates of positive and negative spillover between work and family. Journal of Occupational Health Psychology, 5(1), 111-126. Gutek, B. A., Searle, S., & Klepa, L. (1991). Rational versus gender role explanations for work-family conflict. Journal of Applied Psychology, 76(4), 560-568. Handayani, C. S. & Novianto, A. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS. Hill, E. J. (2005). Work-family facilitation and conflict, working fathers and mothers, work-family stressors and support. Journal of Family Issues, 26(6), 793-819. Judge, T. A., & Colquitt, J. A. (2004). Organizational justice and stress: The mediating role of work-family conflict. Journal of Applied Psychology, 89(3), 395-404. Kim, J. L. S. & Ling, C. S. (2001). Workfamily conflict of women entrepreneurs in Singapore. Women in Management Review, 16(5), 204-221. Kinnunen, U., Feldt, T., Geurts, S., & Pulkkinen, L. (2006). Types of workfamily interface: well-being correlates of negative and positive spillover between work and family. Scandinavian Journal of Psychology, 47(2), 149-162. Koentjaraningrat (1974). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kossek, E. E., & Ozeki, C. (1998). Workfamily conflict, policies, and the job-life satisfaction relationship: A review and directions for organizational behaviorhuman resources research. Journal of Applied Psychology, 83(2), 139-149. Noor, M. N. (2002). Work-family conflict, locus of control, and women’s wellbeing: Tests of altenative pathways. The Journal of Social Psychology, 142(5), 645-662. Noor, M. N. (2004). Work-family conflict, work- and family-role salience, and women’s well-being. The Journal of Social Psychology, 144(4), 389-406. Pusdatinaker. (2011). Survey Angkatan Kerja Nasional 2008, 2009, 2010, 2011. National Institute of Mental Health. (1990). Clinical training in serious mental illness (DHHS Publication No. ADM 90-1679). Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Rodríguez-Carvajal, R., Moreno-Jiménez, B., de Rivas-Hermosilla, S., ÁlvarezBejarano, A., & Vergel, A. I. S. (2010). Positive psychology at work: Mutual gains for individuals and organizations. Revista de Psicología del Trabajo y de las Organizaciones, 26(3), 235-253. doi:10.5093/tr2010v26n3a7 Sadli, S. (2010). Berbeda tetapi setara: Pemikiran tentang kajian perempuan. Jakarta: PT Gramedia. Santrock, J. W. (2002). Life-span Development. McGraw-Hill College. PENGARUH DUKUNGAN SUAMI Sieber, S. D. (1974). Towards a theory of role accumulation. American Sociological Review, 39(4), 567-578. Soeharto, T. N. E. D. (2008). Nilai positif pekerjaan-keluarga: Tinjauan teori. Jurnal Insight, 6(2), 165-177. Soeharto, T. N. E. D. (2010). Dukungan sosial dan kepuasan kerja yang dimediasi oleh nilai positif pekerjaankeluarga pada wanita bekerja. Jurnal ilmiah Psikologi Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma, 4(1), 44-54. Tiedje, L. B., Wortman, C. B., Downey, G., Emmons, C., Biernat, M. & Lang, E. (1990). Women with multiple roles: Role-compatibility perceptions, satisfaction, and mental health. Journal of Marriage and the Family, 52(1), 6372. Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Voydanoff, P. (2002). Linkages between the work-family interface and work, family, and individual outcomes: An integrative model. Journal of Family Issues, 23(1), 138-164. Voydanoff, P. (2004). The effects of work demands and resources on work‐to‐family conflict and facilitation. Journal of Marriage and Family, 66(2), 398-412. Wadsworth, L. L., & Owens, B. P. (2007). The effects of social support on work– family enhancement and work–family conflict in the public sector. Public Administration Review, 67(1), 75-87. Alamat surel: [email protected] 65 Jurnal Psikologi Indonesia 2014, Vol. XI, No. 1, 66-75, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI SEKSUAL, SEXTING, DAN PERILAKU SEKS BERISIKO PADA PELAKU SEXTING TIPE TWO-WAY SEXTERS (SEXUAL SENSATION SEEKING, SEXTING, AND RISKY SEXUAL BEHAVIOR IN TWO-WAY SEXTERS) Wahyu Rahardjo, Indria Hapsari dan Maizar Saputra Universitas Gunadarma, Jakarta Perilaku seks berisiko kian lazim dilakukan oleh banyak orang saat ini. Sementara itu di dalam beberapa penelitian terdahulu, muncul pula sexting atau perilaku berbagi pesan, gambar, foto, dan video dari telepon genggam dengan unsur seksualitas sebagai fenomena sosial baru yang kerap dilakukan oleh pelaku perilaku seks berisiko. Penelitian ini bertujuan melihat peran kecenderungan mencari sensasi seksual dan sexting terhadap perilaku seks berisiko pada pelaku sexting yang menerima dan juga mengirimkan konten seksual melalui pesan, gambar, foto, dan video dari telepon genggam. Penelitian ini melibatkan 89 orang partisipan pria dan wanita yang terdiri dari mahasiswa dan karyawan dan wirausahawan dengan orientasi seks heteroseksual, biseksual dan gay. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah regresi dan uji beda dengan Anova. Beberapa hasil penelitian yang ditemukan adalah (1) sexting tidak berpengaruh terhadap kecenderungan mencari sensasi seksual dan perilaku seks berisiko, (2) kecenderungan mencari sensasi seksual berpengaruh terhadap perilaku seks berisiko, (3) terdapat perbedaan jumlah hubungan seks ditinjau dari jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan status pernikahan, dan (4) terdapat perbedaan jumlah pasangan seks dan kecenderungan mencari sensasi seksual ditinjau dari jenis kelamin dan orientasi seks. Hasil penelitian juga menyiratkan bahwa sexting merupakan perilaku yang biasa dilakukan oleh pria dan wanita, apa pun orientasi seks, pekerjaan, latar belakang pendidikan, status pernikahan, dan status pacaran partisipan. Sementara itu juga diketahui bahwa figur yang paling banyak disebut sebagai tujuan sexting adalah pasangan tidak tetap dan teman biasa dari jenis kelamin yang sama. Adapun motivasi melakukan sexting yang paling sering disebut adalah menggoda pasangan, sekedar berbagi, dan usaha awal agar dapat berhubungan seks. Kata kunci: perilaku seks berisiko, kecenderungan mencari sensasi seksual, sexting Risky sexual behavior is easier to be committed by the people nowadays. Meanwhile, in the previous researches, sexting or the behavior of sharing sexual suggestive text, picture, photo, and video from mobile phone is the new social phenomenon committed by people involving risky sexual behavior. This research aim is to measure the role of sexual sensation seeking and sexting to risky sexual behavior in people who receive and send sexual content in text, picture, photo, and video from mobile phone. The participants of this research are 89 males and females who work as college students, employees, and entrepreneurs, with sexual orientation as heterosexuals, bisexuals and gays. Regression and one way Anova is used as analysis technique. Some of the results are (1) sexting has no effect on sexual sensation seeking and risky sexual 66 KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI 67 behavior, (2) sexual sensation seeking has effect on risky sexual behavior, (3) there are statictical differences in the amount of sexual intercourse based on sex, educational background, and marital status, and (4) there are statictical differences in the amount of sexual partners and sexual sensation seeking based on sex and sexual orientation. Another result shows that sexting is a kind of behavior committed by both male and female no matter his/her sexual orientation, educational background, marital status and dating status. On the other hand, casual partners and friends from the same sex are mentioned as figure the participant often committed the sexting. Meanwhile, the motivation for doing sexting are for teasing the partner, just sharing the sexual contents, and also initial effort in engaging sexual intercourse. Keywords: risky sexual behavior, sexual sensation seeking, sexting Perilaku seks berisiko merupakan perilaku seks yang kian lazim dilakukan oleh banyak kelompok dewasa ini, baik itu heteroseksual maupun homoseksual, dengan status lajang dan menikah. Perilaku seks berisiko merupakan bentuk perilaku seks baik itu vaginal maupun anal yang dilakukan oleh individu, apa pun orientasi seksnya, dengan risiko terinfeksi penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Terdapat beberapa hal yang ditengarai memengaruhi perilaku seks berisiko yang dilakukan oleh individu. Salah satu di antaranya adalah kecenderungan mencari sensasi seksual. Kecenderungan mencari sensasi seksual berkembang dari konsep kecenderungan mencari sensasi milik Zuckerman (2007). Individu dengan kecenderungan mencari sensasi seksual yang tinggi mementingkan kebaruan dan spontanitas dalam hal kenikmatan seksual. Hal ini terjadi pada kelompok pria dan wanita heteroseksual (Arnold, Fletcher, & Farrow, 2002), dan juga pada pria gay dan biseksual (Dudley, Rostosky, Korfhage, & Zimmerman, 2004; Preston, D’Augelli, Kassab, & Starks, 2007). Prinsip keterkaitan antara kecenderungan mencari sensasi seksual dan perilaku seks berisiko adalah bahwa perilaku seks berisiko dilakukan oleh individu agar pemenuhan kebutuhan dan kenikmatan seksual mendapat kesegeraan (Patel, Yoskowitz, & Kaufman, 2007), dan hal ini diakomodasi oleh kecenderungan mencari sensasi seksual. Hal lain yang juga diduga memiliki peran terhadap dilakukannya perilaku seks berisiko adalah sexting. Definisi sexting cukup beraneka ragam walaupun benang merahnya sama. Bauermeister, Yeagley, Meanley, dan Pingel (2014) menyebutkan bahwa terminologi sexting merupakan gabungan kata seks (sex) dan SMS (sexting) atau perilaku mengirim foto atau pesan seksual sugestif melalui SMS. Menurut Walker, Sanci, dan Temple-Smith (2013), sexting adalah produksi dan distribusi gambar yang secara eksplisit mengandung seksualitas melalui teknologi komunikasi. Sexting disebut bukan hanya berbagi foto, gambar, atau pesan seksual saja, melainkan juga video seksual melalui 68 RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA telepon genggam (Drouin, Vogel, Surbey, & Stills, 2013; Weisskirch & Delevi, 2011). Telepon genggam disebut sebagai media komunikasi terbaik dalam melakukan sexting, terutama memotret dan menyebarkan gambar diri sendiri yang provokatif secara seksual (Gomez & Ayala, 2014; Zhang, 2010). Di dalam definisi sexting tidak disebutkan kepada siapa individu melakukan sexting karena definisi sexting menitikberatkan pada konten dan media pengiriman, namun demikian banyak riset memang memfokuskan sexting yang dilakukan individu kepada pasangan romantisnya (Delevi & Weisskirch, 2013). Namun demikian menjadi menarik melakukan riset lebih lanjut di Indonesia mengenai sexting untuk benar-benar mengetahui bahwa apakah benar sexting dilakukan hanya atau mayoritas kepada pasangan romantis atau ada figur lain yang dituju dalam melakukan sexting. Di sisi lain, kecenderungan mencari sensasi seksual juga diduga berkorelasi dengan sexting. Sexting cenderung dilakukan oleh individu yang menganggap bahwa seks merupakan sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan (Ferguson, 2011). Hal ini dapat terkait dengan sikap yang positif dan kecenderungan mencari sensasi seksual. Sexting memberikan akses kepada individu untuk bertemu dengan orang baru dan memungkinkan individu melakukan inisiasi hubungan seksual dengan orang baru. Individu dengan kecenderungan mencari sensasi yang tinggi, termasuk seksualitas, cenderung melakukan sexting (Dir, Cyders, & Coskunpinar, 2013). Pada titik ini tampak bahwa individu dengan kecenderungan mencari sensasi seksual yang tinggi melakukan sexting hingga terlibat dalam perilaku seks berisiko, terutama dilakukannya hubungan seks dengan orang asing (atau dengan orang yang tidak diketahui secara pasti status kesehatan seksualnya), dan kurang konsisten dalam mengenakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangannya tersebut (Benotsch, Snipes, Martin, & Bull, 2013; Dir, Cyders, & Coskunpinar, 2013). Pelaku sexting digolongkan menjadi tiga, yaitu penerima (receivers), pengirim (senders), dan penerima sekaligus pengirim pesan, gambar, foto, dan video seksual sugestif (two-way sexters) (Gordon-Messer, Bauermeister, Grodzinski, & Zimmerman, 2013). Penelitian ini menitikberatkan pada pelaku two-way sexters dengan asumsi individu yang berada dalam kelompok ini adalah individu yang secara aktif dan ekspresif terlibat sexting dan kemungkinan memang melakukan sexting dengan tujuan tertentu berkaitan dengan seksualitas, bukan sekedar berbagi konten seks belaka. Berdasarkan keterangan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah menguji peran antara kecenderungan mencari sensasi seksual, sexting, dan perilaku seks berisiko pada pelaku sexting dengan tipe two-way sexters. Metode Skala penelitian dalam bentuk angket disebarkan dengan teknik snowball sampling kepada beberapa partisipan kunci yang memiliki akses terhadap beberapa partisipan lainnya. Berdasarkan data awal yang masuk, pada awalnya jumlah KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI partisipan ini sejumlah 155 orang. Data sejumlah itu kemudian dipilah kembali sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Sekitar 15 orang di antaranya mengaku hanya menerima pesan, gambar, foto, dan video seksual (receivers), 20 orang mengaku mengirimkan pesan, gambar, foto, dan video seksual (senders), dan 120 orang sisanya merupakan kelompok penerima sekaligus pengirim pesan, gambar, foto, dan video seksual (two way sexters). Namun demikian, dari 120 orang partisipan dengan tipe two way sexters hanya 89 orang saja yang merupakan pelaku perilaku seks berisiko. Sehingga, pada akhirnya hanya sekitar 89 orang saja yang memenuhi kriteria partisipan penelitian ini. Partisipan penelitian ini memiliki rentang usia antara 17 hingga 32 tahun dengan rerata sekitar 25.37 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Gomez dan Ayala (2014) bahwa mayoritas pelaku sexting adalah remaja dan diikuti dengan dewasa awal. Dari 89 partisipan, 72 orang atau sekitar 80.90% di antaranya adalah pria, dan 17 orang atau sekitar 19.10% sisanya adalah wanita. Mayoritas partisipan mengaku memiliki orientasi seks sebagai heteroseksual (n = 64; 71.91%), disusul gay (n = 17; 19.10%), dan biseksual (n = 8; 8.98%). Mayoritas partisipan bekerja sebagai karyawan (n = 53; 59.55%), disusul mahasiswa (n = 27; 30.33%), dan wiraswasta (n = 9; 10.11%). Di sisi lain juga tampak bahwa mayoritas partisipan memiliki latar belakang pendidikan SMA (n = 45; 50.56%), disusul oleh partisipan dengan latar belakang pendidikan S1 (n = 43.82%), dan D3 (n = 5; 5.61%). 69 Dilihat dari status pernikahan terlihat bahwa mayoritas partisipan belum menikah atau lajang (n = 81; 91.01%), dan sisanya menikah (n = 9; 9.98%). Namun demikian, dapat diketahui pula bahwa ternyata ada cukup banyak yang mengaku sedang berpacaran (n = 34; 38.20%), meskipun mayoritas mengaku sedang tidak berpacaran (n = 55; 61.79%). Kecenderungan mencari sensasi seksual adalah suatu kebutuhan untuk merasakan sensasi dan pengalaman seksual yang berbeda, baru dan kompleks, serta kerelaan menempuh resiko secara fisik dan sosial untuk pendapatkan pengalaman-pengalaman tersebut. Skala kecenderungan mencari sensasi seksual dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan skala kecenderungan mencari sensasi seksual milik Rahardjo (2013) yang terdiri dari (1) pengalaman seks berbeda, (2) pasangan seks, dan (3) eksplorasi seksual. Skala ini berjumlah 5 item dengan rentang daya diskriminasi item antara 0.488-0.748 dan koefisien reliabilitas sebesar 0.842. Sexting merupakan perilaku berbagi pesan, gambar foto, dan video yang mensugesti secara seksual melalui telepon genggam. Skala sexting ini dibuat berdasarkan konsep milik Gordon-Messer, Bauermeister, Grodzinski, dan Zimmerman (2013) yaitu (1) menerima, dan (2) berbagi. Skala ini terdiri dari 8 item dengan daya diskriminasi item antara 0.548-0.783 dan koefisien reliabilitas sebesar 0.904. Perilaku seks berisiko adalah perilaku seks, baik vaginal dan anal, yang dilakukan individu dan membuatnya menjadi rentan terinfeksi penyakit menular seksual. 70 RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA Perilaku seks berisiko disusun penulis berdasarkan jenis-jenis perilaku seks berisiko, yaitu (1) inkonsistensi penggunaan kondom, (2) jumlah pasangan seks, dan (3) dengan siapa individu paling sering berhubungan seks. Pengukuran perilaku seks berisiko ini memiliki batasan selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Hasil Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui beberapa hal. Pertama adalah bahwa partisipan penelitian ini tergolong inkonsisten dalam menggunakan kondom saat berhubungan seks. Hal ini diketahui dari perbedaan rerata jumlah hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (M = 7.02; SD = 5.38) dan rerata jumlah pemakaian kondom saat melakukan hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (M = 5.05; SD = 4.41). Artinya adalah bahwa dari sekitar 7 kali hubungan seks dilakukan hanya 5 kali partisipan mengenakan kondom saat melakukan hubungan seks tersebut. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa sexting tidak berpengaruh terhadap kecenderungan mencari sensasi seksual dan perilaku seks berisiko. Sementara itu, kecenderungan mencari sensasi seksual memiliki pengaruh terhadap perilaku seks berisiko. Kecenderungan mencari sensasi seksual memiliki pengaruh sebesar 4.6% (R2 = 0.057, Adjusted R2= 0.046, p < .05) terhadap jumlah hubungan seks yang dilakukan selama kurun waktu 6 bulan terakhir, kemudian 9.4% (R2 = 0.104, Adjusted R2= 0.094, p < .01) terhadap jumlah pemakaian kondom setiap berhubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, dan kontribusi sebesar 15.3% (R2 = 0.162, Adjusted R2= 0.153, p < .00) terhadap dengan siapa individu melakukan hubungan seks. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui tidak ada perbedaan sexting dan jumlah pemakaian kondom saat melakukan hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ditinjau dari jenis kelamin. Namun demikian ditinjau dari jenis kelamin terdapat perbedaan dalam hal jumlah hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (F(1,89) = 6.771, p < .05), jumlah pasangan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (F(1,89) = 8.282, p < .01), dan kecenderungan mencari sensasi seksual (F(1,89) = 28.306, p < .00). Dapat diketahui pula bahwa pria melakukan hubungan seks lebih sering (M = 7.72; SD = 5.66) dibandingkan wanita (M = 4.05; SD = 2.43) dalam kurun waktu 6 bulan terakhir. Pria juga memiliki pasangan seks lebih banyak (M = 3.25; SD = 1.89) dalam kurun waktu 6 bulan terakhir dibandingkan wanita (M = 1.82; SD = 1.55). Pria lebih permisif melakukan sexting (M = 28.80; SD = 5.96) dibandingkan wanita (M = 27.64; SD = 9.34). Pria juga memiliki kecenderungan mencari sensasi seksual lebih tinggi (M = 16.27; SD = 2.78) dibandingkan wanita (M = 12.47; SD =1.97). Berdasarkan orientasi seks tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada jumlah hubungan seks dan jumlah pemakaian kondom dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, serta perilaku sexting. Perbedaan yang signifikan ditemui pada jumlah pasangan seks (F(1,89) = 8.720, p < .00), dan kecenderungan mencari 71 KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI sensasi seksual (F(1,89) = 6.609, p < .01). Berdasarkan hasil penelitian juga tampak bahwa berdasarkan jumlah hubungan seks yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, kelompok gay memiliki rerata paling tinggi (M = 8.35; SD = 2.23) dibandingkan kelompok biseksual (M = 8.25; SD = 3.49), dan kelompok heteroseksual (M = 6.51; SD = 6.08). Sementara itu, hal yang sama dijumpai pada kecenderungan mencari sensasi seksual. Kelompok gay memiliki rerata paling tinggi (M = 17.70; SD = 2.41) disusul kelompok biseksual (M = 16.12; SD = 3.44), dan kelompok heteroseksual (M = 14.90; SD = 2.89). Di sisi lain, tampak pula perbedaan yang signifikan pada jumlah hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ditinjau dari status pernikahan (F(1,89) = 7.666, p< .01). Pada kategori ini, kelompok yang sudah menikah memiliki rerata skor tertinggi (M = 11.87; SD = 4.38) dibandingkan kelompok yang masih lajang (M = 6.54; SD = 5.26). Hal ini dapat terjadi dikarenakan individu melakukan hubungan seks dengan suami atau istri sebagai pasangan tetapnya, sekaligus juga dengan beberapa orang lain sebagai pasangan tidak tetap yang dimilikinya. Penelitian ini juga memberikan paparan data deskriptif yang menarik. Saat ditanya dengan siapa sexting paling sering dilakukan oleh partisipan maka jawaban yang paling banyak muncul adalah melakukan sexting dengan pasangan tidak tetap (n = 68; 41.21%), lalu dengan teman sesama jenis kelamin (n = 51; 30.90%), kekasih (n = 38; 20.03%), teman beda jenis kelamin (n = 6; 3.63%), dan suami atau istri (n = 2; 1.21%). Data deskriptif penelitian ini juga memperlihatkan variasi jawaban yang menarik untuk pertanyaan mengenai alasan melakukan sexting. Berada di urutan pertama sebagai alasan yang paling banyak disebut oleh partisipan adalah untuk menggoda pasangan atau teman (n = 66; 32.83%), disusul oleh niat sekedar berbagi (n = 49; 24.37%), usaha awal agar dapat berhubungan seks (n = 46; 22.88%), dan diminta pasangan atau teman (n = 39; 19.40%). Hasil lain yang menarik untuk dipaparkan adalah keterangan dengan aplikasi apa sexting dilakukan melalui telepon genggam yang dimiliki partisipan. Jawaban pertama yang paling sering disebut adalah melalui BBM atau BlackBerry Messenger (n = 75; 41.43%), disusul oleh WhatsApp atau WA (n = 40; 22.22%), grup BBM (n = 33; 18.23%), pesan singkat atau SMS (short message service) (n = 19; 10.49%), Line (n = 4; 2.22%), Facebook dan Twitter masing disebut sama banyak (n = 3; 1.65%), dan lainnya (n = 4; 2.22%). Kemudahan penggunaan aplikasi tertentu pada telepon genggam juga memberikan fungsi yang berbeda bagi individu berkaitan dengan komunikasi dan hal-hal lainnya seperti pemenuhan kebutuhan afiliasi sekaligus seksualitas. Hasil Studi milik Noar, Zimmerman, dan Atwood (2004) menyebutkan bahwa hubungan seks yang tidak konsisten melibatkankan penggunaan kondom merupakan hal yang sering terjadi. 72 RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA Anggapan bahwa mengunakan kondom membuat sensasi kenikmatan seks berkurang mungkin merupakan alasan bagi sejumlah pasangan enggan menggunakan kondom saat behubungan. Di dalam konteks heteroseksual, persoalan persepsi bahwa kondom mengurangi kenikmatan berhubungan seks terungkap dalam beberapa riset (Rahardjo, 2008; Rosengard, Anderson, & Stein, 2006). Beberapa hal lain yang sering disebutkan sebagai alasan mengapa kondom tidak digunakan dalam hubungan seks adalah persepsi bahwa pasangan seksnya aman, dan menimbulkan intimasi dengan pasangan seks, serta kondom dianggap simbol ketidaksetiaan (Afifi, 1999). Hal-hal yang telah disebutkan tersebut mungkin dapat menjelaskan alasan mengapa subjek dalam penelitian ini cenderung inkonsisten dalam mengunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa sexting tidak berpengaruh terhadap kecenderungan mencari sensasi seksual dan perilaku seks beresiko. Hal ini berarti penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Dir, Cyders, dan Coskunpinar (2013) yang menyebutkan sexting berkaitan dengan perilaku seks berisiko seperti hubungan seks dengan orang asing, dan hubungan seks tanpa pengaman. Sebelum bertemu dan berhubungan seks dengan pasangan tidak tetapnya, individu terlebih dahulu saling melakukan sexting. Hal ini mungkin dikarenakan sexting pada subjek dalam penelitian ini mayoritas dilakukan sebagai media untuk saling menggoda teman atau pasangan atau sekedar untuk berbagi, dibandingkan sebagai usaha untuk mendapatkan hubungan seksual. Hal itu sesuai dengan motivasi sexting dikemukakan oleh (Drouin, Vogel, Surbey, & Stills, 2013), yang menyebutkan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan sexting adalah untuk menggoda atau mengatasi kejenuhan. Sementara kecenderungan mencari sensasi seksual berpengaruh terhadap perilaku seks beresiko. Hal ini mungkin karena ekspolasi seks seseorang membuat dirinya mengganti-ganti pasangan seksualnya sehingga kemungkinan terjadinya perilaku seks beresiko. Riset Qiu (2005) serta Gullette dan Lyons (2005) menyebutkan bahwa kecenderungan mencari sensasi seksual mendorong individu mencari dan menjalani hal-hal baru dan tidak lazim berkaitan dengan perilaku seksual, seperti hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan seks dalam jumlah yang banyak. Di dalam masyarakat dikatakan bahwa pria lebih permisif dalam hal yang berbau seks. Persoalan standar ganda dalam seksualitas memang masih ada di dalam masyarakat sehingga toleransi terhadap permisivitas seks yang dilakukan oleh pria seperti didukung oleh persepsi banyak orang (Rahardjo & Hermita, 2012). Riset Clark dan Weiderman (2000) juga menyatakan bahwa pria memiliki kecenderungan mencari sensasi seksual yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Karenanya, tidak mengherankan jika pria memiliki lebih banyak pasangan intimasi, dan bahkan pasangan seks dibandingkan wanita. KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI Hasil penelitian yang menujukkan bahwa pria lebih permisif dalam melakukan sexting sesuai dengan hasil penelitian Dalevi dan Weisskirch (2013) yang menyebutkan bahwa dalam konteks hubungan romantis, pria lebih mudah melakukan sexting kepada siapa saja. Di sisi lain, wanita membutuhkan lebih banyak komitmen dalam suatu hubungan sebelum melakukan sexting dengan pasangannya. Gay dalam penelitian ini dilaporkan memiliki kecenderungan paling tinggi dalam jumlah hubungan sosial dan juga dalam mencari sensasi seksual. Permasalahan kecenderungan mencari sensasi seksual menjadi hal yang krusial dalam memahami keterlibatan gay dalam perilaku seks berisiko (Rahardjo, 2013). Di dalam melakukan sexting pun gay juga dilaporkan lebih tinggi intensitasnya dibandingkan dengan mereka yang bukan gay dan berjenis kelamin laki-laki (Baeurmeister, Yaegley, Meanley, & Pingel, 2013). Hal ini menarik untuk dicermati. Riset Rahardjo (2013) menyebutkan keterlibatan penggunaan telepon genggam dalam membantu mencari teman kencan atau pasangan seks. Kecanggihan alat komunikasi seperti telepon genggam membantu individu membentuk grup dalam sistem komunikasi tertentu yang didukung teknologi dan mendapatkan pasangan seks dari situ. Sexting dengan pasangan tidak tetap merupakan yang paling banyak muncul dalam penelitian ini. Hal ini didukung oleh pendapat Drouin, Vogel, Surbey, dan Stills (2013) yang menyebutkan bahwa motivasi seseorang melakukan sexting adalah sebagai langkah awal untuk melakukan 73 hubungan seks, dan paling sering dilakukan oleh individu dengan pasangan tidak tetap atau selingkuhannya. Sexting bisa jadi dianggap sebagai langkah yang strategis untuk melihat apakah individu yang menjadi pasangan komunikasi memberikan lampu hijau atas sexting dan menampilkan isyarat lebih lanjut apakah dapat berlanjut kepada hubungan seks atau tidak. Hasil dalam penelitian ini di mana subjek melakukan sexting untuk menggoda pasangan atau teman sesuai dengan apa yang dikatakan Druin, Vogel, Surbey, dan Stills (2013). Riset Drouin, Vogel, Surbey, dan Stills (2013) ini menyatakan bahwa ada beberapa motivasi dalam melakukan texting, di antaranya adalah untuk menggoda teman di mana jawaban ini berada di urutan pertama. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah bahwa jumlah partisipan yang masih sedikit dapat dijadikan pertimbangan. Penambahan jumlah partisipan dapat memberikan gambaran dan hasil yang lebih komprehensif. Sementara itu, beberapa faktor lain seperti kepribadian, konformintas kelompok dan sikap terhadap penggunaan teknologi komunikasi dapat dipertimbangkan lebih lanjut dalam kaitannya dengan sexting dan perilaku seks berisiko. Kesimpulan Sexting belum menjadi sarana utama proses inisiasi keterlibatan individu dalam perilaku seks berisiko. Namun demikian, kecenderungan mencari sensasi seksual masih memiliki peran yang cukup kuat 74 RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA terhadap dilakukannya perilaku seks berisiko. Hal ini memperlihatkan faktor internal seperti kecenderungan mencari sensasi seksual yang sangat dipengaruhi oleh faktor biologi atau dorongan seks memiliki peran yang lebih besar dalam dilakukannya perilaku seks berisiko dibandingkan penggunaan teknologi komunikasi. Daftar Acuan Afifi, W. A. (1999). Harming the ones we love: Relational attachment and perceived consequences as predictors of safe‐sex behavior. Journal of Sex Research, 36(2), 198-206. Arnold, P., Fletcher, S., & Farrow, R. (2002). Condom use and psychological sensation seeking by college students. Sexual and Relationship Therapy, 17(4), 355-365. Bauermeister, J. A., Yeagley, E., Meanley, S., & Pingel, E. S. (2014). Sexting among young men who have sex with men: Results from a national survey. Journal of Adolescent Health, 54(5), 606-611. Benotsch, E. G., Snipes, D. J., Martin, A. M., & Bull, S. S. (2013). Sexting, substance use, and sexual risk behavior in young adults. Journal of Adolescent Health, 52(3), 307-313. Clark, C. A., & Wiederman, M. W. (2000). Gender and reactions to a hypothetical relationship partner's masturbation and use of sexually explicit media. Journal of Sex Research, 37(2), 133-141. Delevi, R., & Weisskirch, R. S. (2013). Personality factors as predictors of sexting. Computers in Human Behavior, 29(6), 2589-2594. Dir, A. L., Cyders, M. A., & Coskunpinar, A. (2013). From the bar to the bed via mobile phone: A first test of the role of problematic alcohol use, sexting, and impulsivity-related traits in sexual hookups. Computers in Human Behavior, 29(4), 1664-1670. Drouin, M., Vogel, K. N., Surbey, A., & Stills, J. R. (2013). Let’s talk about sexting, baby: Computer-mediated sexual behaviors among young adults. Computers in Human Behavior, 29(5), A25-A30. Dudley, M. G., Rostosky, S. S., Korfhage, B. A., & Zimmerman, R. S. (2004). Correlates of high-risk sexual behavior among young men who have sex with men. AIDS Education and Prevention, 16(4), 328-340. Ferguson, C. J. (2011). Sexting behaviors among young Hispanic women: Incidence and association with other high-risk sexual behaviors. Psychiatric Quarterly, 82(3), 239-243. Gómez, L. C., & Ayala, E. S. (2014). Psychological aspects, attitudes and behaviour related to the practice of sexting: A systematic review of the existent literature. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 132, 114-120. Gordon-Messer, D., Bauermeister, J. A., Grodzinski, A., & Zimmerman, M. (2013). Sexting among young adults. Journal of Adolescent Health, 52(3), 301-306. Gullette, D. L., & Lyons, M. A. (2005). Sexual sensation seeking, compulsivity, and HIV risk behaviors in college KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI students. Journal of Community Health Nursing, 22(1), 47-60. Noar, S. M., Zimmerman, R. S., & Atwood, K. A. (2004). Safer sex and sexually transmitted infections from a relationship perspective. In J. H. Harvey, A. Wenzel, & S. Sprecher (Eds.), The handbook of sexuality in close relationships (p. 519-544). New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates, Publishers. Patel, V. L., Yoskowitz, N. A., & Kaufman, D. R. (2007). Comprehension of sexual situations and its relationship to risky decisions by young adults. AIDS Care, 19(7), 916-922. Preston, D. B., D'augelli, A. R., Kassab, C. D., & Starks, M. T. (2007). The relationship of stigma to the sexual risk behavior of rural men who have sex with men. AIDS Education & Prevention, 19(3), 218-230. Rahardjo, W. (2013). Model perilaku seks berisiko pada pria (Unpublished doctoral dissertation). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rahardjo, W. (2008). Perilaku seks pranikah pada mahasiswa pria: Kaitannya dengan sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis. Indigenous: Jurnal Imliah Psikologi, 10(5), 3-18. Rahardjo, W., & Hermita, M. (2012). The role of sexual sensation seeking and attitude toward condom use in risky sexual behavior of the heterosexual single male. Paper disajikan dalam konferensi empat tahunan The 30th International Congress of Psychology, 75 Cape Town, Republic of South Africa, 22-27 July 2012. Rosengard, C., Anderson, B. J., & Stein, M. D. (2006). Correlates of condom use and reasons for condom non-use among drug users. The American Journal of Drug and Alcohol Abuse, 32(4), 637-644. Qiu, Y. (2005). The relationship between substance use and risky sexual behavior among adolescents and young adults (Unpublished doctoral dissertation). The City University of New York, New York. Walker, S., Sanci, L., & Temple-Smith, M. (2013). Sexting: Young women's and men's views on its nature and origins. Journal of Adolescent Health, 52(6), 697-701. Weisskirch, R. S., & Delevi, R. (2011). “Sexting” and adult romantic attachment. Computers in Human Behavior, 27(5), 1697-1701. Zhang, X. (2010). Charging children with child pornography–using the legal system to handle the problem of “sexting”. Computer Law & Security Review, 26(3), 251-259. Zuckerman, M. (2007). Sensation Seeking and Risk. Washington, DC, USA: American Psychological Association. Alamat surel: [email protected] Jurnal Psikologi Indonesia 2014, Vol. XI, No. 1, 76-93, ISSN. 0853-3098 Himpunan Psikologi Indonesia PERILAKU BERISIKO OPERATOR MESIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU) PT PDP (RISK BEHAVIOR AMONG MACHINE OPERATORS OF THE GAS AND STEAM POWER PLANT (PLTGU) PT PDP) Joseph Satria dan Ratri Atmoko Benedictus Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya Melonjaknya kebutuhan pemakaian listrik di Indonesia memicu peningkatan jumlah pembangkit listrik di Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas. Dalam proses kerjanya, para operator banyak berinteraksi dengan mesin yang berisiko memunculkan kecelakaan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perilaku berisiko yang ditampilkan oleh para operator PLTGU PT PDP. Subjek penelitiannya terdiri atas 74 karyawan operasional PLTGU PT PDP. Alat pengumpulan data disusun berdasarkan skala perilaku berisiko merujuk pada teori Rasmussen tentang perilaku berisiko yang ditimbulkan oleh interaksi manusia dengan mesin. Perilaku berisiko dalam interaksi manusia dengan mesin dapat dilihat dari tiga domain, yakni Skill Based Behavior, Rules Based Behavior, dan Knowledge Based Behavior. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku berisiko dari para operator PLTGU PT PDP paling tinggi ditunjukkan pada domain Skill Based Behavior dan paling rendah pada domain Knowledge Based Behavior. Tingginya perilaku berisiko pada domain Skill Based Behavior diprediksi akan berpengaruh pada tingginya skill based performance error. Artinya, perilaku berisiko dari para operator PLTGU XYS muncul sebagai akibat tidak ditampilkannya ketrampilan standar yang dituntut oleh pekerjaannya. Kata kunci: Perilaku berisiko, Human Machine Interaction The high demand for electricity consumption in Indonesia triggered the increasing number of power plants in Indonesia, such as Steam and Gas Power Plant. In the process of its work, the operators interact with the machine that led to the risk of workplace accidents. This study aims to describe of risk behavior by the operators of PLTGU PT PDP. Subjects of this study consisted of 74 operational employees. Data collection tool is based on a scale of risk behaviors referring to the theory of Rasmussen that risk behaviors caused by human interaction with machines. Risk behavior in human interaction with machines can be viewed from the three domains, ie Skill-Based Behavior, Rules-Based Behavior and Knowledge Based Behavior. The results showed that the highest-risk behavior is shown in the domain of Skill Based Behavior and lowest on the domain of knowledge based behavior. High-risk behavior on skill-based behavior is predicted to effect the high skill based performance error. It means, risky behavior of the operators PLTGU PT PDP emerged as a result of not showing skills standards that is demanded by the job. Keywords: risk behavior, Human machine interaction 76 PERILAKU BERISIKO Konsumsi listrik di Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Bahkan, kenaikan tarif dasar listrik pun tidak memengaruhi tren kenaikan konsumsi listrik. Pertumbuhan konsumsi listrik adalah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Menurut Benny Marbun yang menjabat sebagai Kepala Divisi PLN, Pemakaian listrik pada Mei 2013 sebesar 16,07 Tera Watt hour (TWh) atau tumbuh 9,96 % bila dibanding dengan pemakaian listrik pada Mei 2012 yang sebesar 14,61 TWh. Sementara pertumbuhan pertumbuhan pemakaian listrik bulan Mei 2012 bila dibandingkan pemakaian Mei 2011 sebesar 9,68% (www.pln.co.id). Selama kurun waktu 17 tahun ke depan, dari tahun 2003 hingga 2020, kebutuhan energi listrik diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5% tiap tahunnya. Karenanya, untuk tahun 2020 nanti diperkirakan kebutuhan listrik di Indonesia akan menembus angka 272,34 TWH (Muchlis & Permana, t.t.). Tingginya kebutuhan tenaga listrik di Indonesia diupayakan untuk dipenuhi oleh Perusahaan Listrik Negara dengan mengoptimalkan enam jenis pembangkit listrik yang dimiliki, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Pembangkit Listrik Tenaga Gas, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Meski demikian, upaya tersebut belum memenuhi total kebutuhan listrik di Indonesia, baik itu yang dipergunakan di sektor industri maupun rumah tangga. Menurut Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN (Persero), saat ini tercatat jumlah 77 pembangkit listrik di Indonesia mencapai 5.765 pembangkit yang tersebar di seluruh Indonesia. Total kapasitas listrik terpasang nasional mencapai 46.103 MW. Dari jumlah itu, total kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 34.205 MW. Sedangkan kapasitas pembangkit listrik oleh swasta 11.898 MW atau 25% dari kapasitas nasional (Dwiyanto, 2014). Upaya untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional tersebut pada akhirnya tidak sekedar perlu dibarengi kompetensi dan kinerja optimal, namun juga perilaku selamat kerja yang unggul dari para pekerja di sektor pembangkit listrik. Hal ini didasarkan pada besarnya potensi risiko yang melekat pada proses kerja pembangkit listrik. Berdasarkan keterangan Direktur Pelayanan PT Jamsostek, Djoko Sungkono, dalam Pos Kota dikatakan bahwa angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung naik. Pada tahun 2007 terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun 2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus dan tahun 2011 terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari. Beliau juga mengungkapkan bahwa banyaknya kasus kecelakaan kerja ini juga menyebabkan meningkatnya jumlah klaim kecelakaan kerja, yaitu Rp219,7 miliar pada tahun 2007, Rp297,9 miliar pada tahun 2008, Rp328,5 miliar pada tahun 2009, Rp401,2 miliar pada tahun 2010 dan Rp504 miliar pada tahun 2011. Maka dari itu, Jamsostek menyambut baik penerbitan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan 78 SATRIA & BENEDICTUS Kerja (SMK3) yang diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan kerja (Angka Kecelakaan, 2012). Sementara itu, Kepala Divisi Teknis Pelayanan PT Jamsostek, Afdiwar Anwar, menyatakan bahwa dalam tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Menurutnya, tingginya angka kecelakaan kerja ini disebabkan oleh adanya pengabaian atas keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan perusahaan yang bersangkutan (Jamsostek, 2013). Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Rasmussen dan Svedung (2000), pada dasarnya keselamatan dan kesehatan kerja mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan, interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin dan lingkungan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman untuk mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Oleh karena itu, keselamatan dan kesehatan kerja mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Tiga faktor utama yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah: manusia, bahan, dan metode yang digunakan. Artinya, ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang efektif dan efisien (Heryuni, 1991). Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai dinamika psikologis, seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berpikir, motivasi, persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar, 2005). Tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan individu yaitu: faktor dasar (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor pendorong (reinforcing factor). Faktor dasar (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap, kebiasaan, kepercayaan, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi atau alasan seseorang berperilaku. Faktor pendukung (enabling factor) merupakan faktor yang menjadi pendukung seseorang berperilaku, seperti sumber daya, potensi masyarakat, peralatan dan fasilitas serta peraturan. Faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan faktor lingkungan yang dominan dalam membentuk perilaku, seperti sikap dan perilaku seseorang yang terwujud dalam dukungan sosial (Green, 2000). Menurut Suizer-Azarof, salah seorang praktisi behavioral safety, mengemukakan bahwa para praktisi telah melupakan aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek perilaku para pekerja (Suizer-Azaroff dan Austin, 2000). Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Cooper (2008) yang berpendapat walaupun sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95% PERILAKU BERISIKO dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat Cooper tersebut didukung oleh penelitian Heinrich (1959) tentang penyebab kecelakaan, dimana ia melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di perusahaan yang menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan disebabkan oleh unsafe acts, sedangkan 10% unsafe condition dan 2% unavoidable. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2011), perilaku berisiko merupakan faktor penyumbang terbesar kecelakaan kerja, yang merupakan cerminan dari perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja. Perilaku berisiko ini dapat dilihat dari hasil kesalahan yang dilakukan oleh pekerja yang terlibat secara langsung maupun kesalahan pihak manajemen. Perilaku berisiko yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, memungkinkan sebagai penyebab terjadinya suatu kecelakaan. Maka dari itu, para tenaga kerja yang berperilaku secara baik dan sehat akan memperkecil terjadinya risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan dalam bekerja. PT PDP merupakan salah satu perusahaan swasta di Indonesia yang bergerak dalam sektor energi, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) berkapasitas 19.83 MW di Propinsi Sumatera Selatan. PT PDP ikut berperan serta dalam mensukseskan program pemerintah melalui PT PLN (Persero) dalam mengurangi ketergantungan pemakaian bahan bakar solar. Berdasarkan kontrak Jual Beli Listrik 79 antara PT PLN (Persero) WS2JB dan PT PDP, PT PDP memiliki kewajiban untuk mendistribusikan energi listrik kapasitas 19.83 MW selama 20 tahun. Untuk menjaga tingkat ketersediaan energi listrik selama periode kontrak, PT PDP melakukan kontrak Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) tanggal 30 Mei 2006 dengan Pertamina EP Sumatera Selatan selama 20 Tahun. Di samping itu untuk menjaga kehandalan pembangkit dalam beroperasi, PT PDP melakukan kontrak perawatan (Full Maintenance Contract) dengan Turbomach selama 15 tahun. Pada awal mulai beroperasi tanggal 24 Juni 2006, PT PDP mendistribusikan energi listriknya sebesar 13.83 MW dengan 3 unit Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) kapasitas 4.61 MW dari CaterpillarTurbomach Swiss. Setelah 1 tahun beroperasi, PT PDP memutuskan untuk menambah 1 unit steam turbin kapasitas 6 MW dari Jianglian Jianxi Energy Corporation dengan mengoptimalkan gas buang (sisa hasil pembakaran) 3 unit pembangkit gas turbin yang telah terpasang. Dengan ditambahnya 1 unit steam turbin ini perusahaan dapat melakukan penghematan bahan bakar dari yang sebelumnya 60% dari harga jual beli listrik menjadi 40%. Tujuan utama dari pembangkit kombinasi tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi termal yang cukup tinggi mencapai 50 %. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akan energi listrik yang meningkat pesat. Sedangkan penggunaan turbin gas sebagai pembangkit energi listrik (PLTG) mempunyai efisiensi termal rendah yaitu 30 % dan pembangkit tenaga uap (PLTU) 80 SATRIA & BENEDICTUS memiliki efisiensi termal 35 %. Sehingga dibutuhkan suatu pembangkit listrik dengan siklus kombinasi yang menghasilkan energi lebih besar. Dengan dioperasikannya pembangkit steam turbin pada tanggal 26 September 2009 ini diharapkan dapat membantu mengurangi defisit kelistrikan di kota Palembang. Berdasarkan data riwayat kecelakaan kerja PT PDP tahun 2011, tercatat 1 kecelakaan berat yang hampir menyebabkan kematian (terkena gas karena tidak memakai masker), 12 kecelakaan sedang (cedera pada bagian tubuh, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya) dan 9 kecelakaan ringan (lecet, tergores, tersengat listrik atau luka ringan lainnya). Sedangkan, pada tahun 2012, terdapat 3 kecelakaan berat (patah tulang, terpapar bahan kimia dari turbin, jatuh dari ketinggian), 8 kecelakaan sedang (terjepit, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya) dan 11 kecelakaan ringan (lecet, tersandung, tergores dan luka ringan lainnya). Maka dari itu, risiko pekerjaan yang dimiliki oleh para karyawan didalamnya tergolong berbahaya. Selain itu, pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar gas dan uap dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan tenaga kerja dan masyarakat sekitar apabila proses pemeliharaannya (maintenance) tidak dikelola dengan benar. Pada PDP tercatat banyak pengeluaran pengobatan untuk para karyawannya. Berdasarkan data riwayat kesehatan tahun 2011, tercatat pengeluaran perusahaan mencapai Rp59.643.739,00 untuk biaya pengobatan. Sedangkan, pada tahun 2012 tercatat pengeluaran perusahaan mencapai Rp53.445.700,00 untuk biaya pengobatan. Penyebab yang paling mungkin adalah radiasi, pencemaran udara dan pencemaran air akibat unsur-unsur gas alam dan hasil pembuangan. Dalam hal ini, kelalaian petugas dalam menjalankan proses maintenance merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran. Sedangkan, gejala yang tercatat sering timbul pada karyawan adalah gangguan pernafasan, gangguan kardiovascular, iritasi pada mata dan hidung dan kanker. Segala perilaku merupakan hasil dari proses psikologis dari dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga perilakuperilaku yang berisiko akan berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini dikarenakan terdapat persepsi yang berbeda-beda akan keyakinan atau keputusan yang diambil oleh individu akan alternatif yang tersedia. Contohnya, ketika perusahaan telah menyediakan APD (Alat Pelindung Diri) berupa helm (safety helmet), sarung tangan (gloves) dan masker bagi para karyawan operasional, namun mereka tidak menggunakan APD tersebut dengan baik. Padahal, mereka sudah mengenali dan mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai bahaya yang ada di tempat kerja. Dapat dikatakan persepsi pekerja terhadap bahaya yang ada masih rendah (perceived risk rendah). Perilaku berisiko ini kemudian membuka peluang terjadinya masalah keselamatan dan gangguan kesehatan bagi karyawan operasional. Jika para karyawan mengalami kecelakaan kerja maka dampaknya akan berimbas tidak hanya pada si pekerja, namun juga ke organisasi. Di level individu, dampak dari kecelakaan kerja dapat PERILAKU BERISIKO berupa cidera ringan, berat atau bahkan kematian. Di kultur paternalistic, dimana kaum pria menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, dampak kecelakaan kerja yang menimpa mereka dapat dirasakan juga oleh para anggota keluarganya. Dari segi perusahaan, perilaku berisiko para karyawan opersional yang menyebabkan kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi perusahaan. Menurut Smith (2011), kerugian dapat dibagi menjadi dua, yaitu direct loss (kerugian langsung) dan indirect loss (kerugian tidak langsung). Direct loss adalah kerugian yang timbul secara alami akibat dari pelanggaran itu sendiri. Contohnya, kematian atau cedera yang diderita oleh karyawan operasional karena tidak menggunakan alat pelindung diri. Sedangkan indirect loss adalah kerugian yang diperoleh secara tidak langsung akibat dari kerugian langsung atau konsekuensi dari pelanggaran yang telah terjadi sebelumnya. Contohnya, akibat adanya pekerja yang mengalami kematian atau cedera, maka perusahaan harus menghentikan proses produksi. Perusahaan harus menjalani investigasi kecelakaan yang menyebabkan lapangan kerja tidak dapat beroperasi karena digunakan sebagai TKP (tempat kejadian perkara). Jika perusahaan harus menghentikan proses produksinya, maka perusahaan akan menderita kerugian akibat keterlambatan atau berhentinya produksi pasokan listrik ke kota Palembang. Heinrich (1959) mendefinisikan perilaku berisiko sebagai perilaku seseorang atau 81 beberapa orang yang memperbesar risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Faktor penyebab kecelakaan kerja, yaitu: 88% unsafe acts, 10% unsafe condition dan 2% unavoidable. Secara teoritis, perilaku pekerja dibagi menjadi dua kondisi. Pertama, pekerja tidak tahu, sehingga berperilaku tidak aman. Kedua, pekerja tahu, namun tetap berperilaku tidak aman. Pada kondisi pertama, dapat dengan mudah diselesaikan dengan memberikan pelatihan keselamatan kerja sehingga dapat menciptakan pengawasan dan perilaku yang diharapkan. Namun, pada kondisi kedua lebih sulit karena perilaku berisiko yang dilakukan pekerja disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti pribadi pekerja, jenis pekerjaan, seberapa tinggi dukungan manajemen dan sebagainya. Miner (1992) mendefinisikan perilaku berisiko sebagai perilaku seseorang yang mengarah pada risiko terjadinya kecelakaan kerja, seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin, tidak menggunakan APD, operasi pekerjaan dalam kecepatan berbahaya, menggunakan peralatan tidak sesuai prosedur, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau emosi. Rasmussen dan Svedung (2000), dalam bukunya yang berjudul Proactive Risk Management In A Dynamic Society, menjelaskan bahwa perilaku manusia dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu skills (kemampuan), rules (aturan), dan knowledges (pengetahuan). Kemudian, ketika perilaku manusia berinteraksi dengan mesin, tiga bentuk perilaku tersebut dapat dirumuskan menjadi tiga 82 SATRIA & BENEDICTUS kerangka kerja, yaitu skills-based behavior, rules-based behavior dan knowledgesbased behavior. Rasmussen merumuskan tiga kerangka kerja tersebut untuk ditujukan kepada suatu pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin, seperti operator atau karyawan operasional. Dalam penelitian ini, tiga kerangka kerja tersebut akan digunakan oleh peneliti untuk menyusun alat ukur perilaku berisiko. Hal ini dikarenakan karyawan operasional memiliki pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin. 1. Skills-based behavior Manusia menggunakan skills based behavior ketika suatu perilaku sudah menjadi rutinitas dan secara otomatis dapat mengambil suatu langkah yang dibutuhkan dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis yang cenderung rutin dan berulang. Pada skills based behavior, manusia telah menguasai sepenuhnya (well mastered) dan alokasi mental yang dibutuhkan sangat minimal sehingga memungkinkan untuk mengalokasikan perhatian pada aktivitas lain secara bersamaan. 2. Rules-based behavior Manusia menggunakan rules based behavior ketika diharuskan mengikuti suatu peraturan dan prosedur formal ataupun informal sehingga dihadapkan pada suatu pilihan solusi terhadap kondisi teknis yang ada dengan menggunakan aturan “if-then” untuk memprioritaskan solusi terbaik. Pada rules based behavior, manusia berusaha meraih suatu kemampuan dan keahlian (acquiring skill and expertise) yang membutuhkan perhatian atau fokus yang cukup besar. Manusia dihadapkan pada pilihan antara melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. 3. Knowledges-based behavior Manusia menggunakan knowledges based behavior ketika menemui sebuah situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya sehingga membutuhkan perumusan baru dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang ada untuk mendapatkan solusi dan melakukan antisipasi. Pada knowledges based behavior, kurangnya pengetahuan dalam memahami situasi dan kondisi dapat mengarah pada pengambilan solusi yang salah. Rasmussen dan Svedung (2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa kegagalan operator atau karyawan operasional dalam melakukan salah satu dari ketiga kerangka kerja di atas, maka akan menyebabkan error. Pertama, skills based performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional dalam melakukan rutinitas pekerjaan yang berulang sehingga menimbulkan error. Kedua, rules based performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional dalam mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku. Ketiga, knowledges based performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional dalam mengatasi masalah yang berbeda dengan pengalaman yang dimilikinya. Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi perilaku berisiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain: 1. Pendidikan (Education) Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh PERILAKU BERISIKO seorang pekerja secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilakunya dalam bekerja. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan karyawan operasional akan mempengaruhi kecerdasan, kemampuan dan pola pikir dalam memahami instruksi yang diberikan. 2. Pengetahuan (Knowlegde) Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau hasil usaha manusia untuk memahami objek tertentu. Dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan karyawan operasional dapat mempengaruhi pemahamannya mengenai bahaya di tempat kerja. Sementara itu faktor eksternal antara lain: 1. Pengawasan (monitoring) Pengawasan merupakan proses memastikan segala aktifitas pekerjaan terlaksana dengan lancar sesuai tujuan yang direncanakan. Pengawasan dilakukan dengan dua cara, yaitu pengawasan preventif (sebelum memulai pekerjaan) dan pengawasan represif (setelah atau saat pekerjaan berlangsung). Selain itu, pengawasan juga dapat dibagi menjadi pengawasan langsung (pemeriksaan langsung di tempat dengan memberi saran atau instruksi) dan pengawasan tidak langsung (menganalisa dan mempelajari dokumen atau laporan). Di PLTGU PT PDP, tingkat pengawasan yang dilakukan perusahaan terhadap karyawan operasional dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku berisiko. 2. Pelatihan (Training) Pelatihan merupakan suatu proses pendidikan bagi pekerja untuk memperoleh pengalaman, pengetahuan dan 83 keterampilan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan secara efisien dan efektif. Di PLTGU PT PDP, tidak semua karyawan operasional (hanya 3-4 orang setiap tahun) mendapatkan pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Karyawan operasional yang tidak mendapatkan pelatihan terbuka kemungkinan untuk melakukan perilaku berisiko karena tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan. 3. Hukuman (punishment) Hukuman diberikan untuk menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman adalah tindakan paling akhir yang diambil terhadap adanya pelanggaran yang sudah berkali-kali dilakukan setelah ditegur dan diperingati. Hukuman merupakan faktor penting dalam penerapan program keselamatan kerja karena diharapkan dapat memotivasi perilaku keselamatan. Komite Gabungan International Labour Organization (ILO) dan World Health Organization (WHO) mengartikan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai suatu usaha untuk mempromosikan dan mempertahankan tingkat tertinggi dari kondisi fisik, mental dan sosial dari para pekerja (Georg, 2011). Usaha ini dapat diwujudkan melalui peningkatan kondisi kerja, kondisi kesehatan, kondisi peralatan dan kondisi lingkungan sehingga pekerja dapat beradaptasi dengan baik. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun 1997 tentang Sistem Keselamatan Kerja, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya untuk mencegah, mengurangi dan menanggulangi kecelakaan melalui identifikasi, analisa dan pengendalian 84 SATRIA & BENEDICTUS bahaya secara tepat serta melaksanakannya sesuai undang-undang yang berlaku (Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1996) ILO Encyclopaedia of Occupational Health and Safety (Coppee, 1995) mengidentifikasi kecelakaan kerja sebagai kejadian yang tidak terencana dan tidak terkontrol, yang disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang mengganggu proses kerja sehingga menimbulkan cedera, kesakitan, kematian, kerusakan properti dan kejadian tidak diinginkan lainnya. Untuk menjelaskan penyebab kecelakaan, Heinrich (1959) melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di berbagai perusahaan. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan disebabkan oleh perilaku yang berisiko dan berbahaya. Gambar 1. Teori domino Heinrich Berdasarkan penelitian tersebut, ia mengembangkan teori domino yang terdiri dari lima faktor tahapan kecelakaan, yaitu: lingkungan sosial (background), kesalahan manusia (person), perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau unsafe condition), kecelakaan (accident) dan cedera (injury). Kelima faktor tersebut dianalogikan sebagai kartu domino yang posisinya disejajarkan satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu kartu terjatuh, maka akan menyebabkan kartu yang lain ikut terjatuh. Untuk mengatasi hal ini, maka Heinrich menghilangkan salah satu kartu, yaitu unsafe act dan unsafe condition yang merupakan pusat dari susunan kartu domino. Dengan demikian, kecelakaan dan kerugian dapat dihindarkan. Gambar 2. Teori loss causation model Sementara Teori Loss Causation Model adalah salah satu teori yang dikembangkan dari teori domino Heinrich. Pada teori ini, tahapan kecelakaan terdiri dari loss (kerugian akibat kecelakaan), incident (insiden), immediate causes (penyebab langsung), basic causes (penyebab dasar) dan lack of control management (kurangnya kontrol dari manajemen). Pertama, loss merupakan dampak yang timbul akibat kecelakaan, yang mempengaruhi produktivitas pekerja, properti dan proses kerja. Dari sisi karyawan operasional, kerugian yang timbul berupa cedera, sakit, gangguan mental, saraf dan efek sistemik hingga kematian. Dari sisi perusahaan, kerugian yang timbul berupa gangguan proses PERILAKU BERISIKO produksi dan penurunan produktivitas profit. Kedua, incident merupakan suatu kejadian dimana terjadi kontak yang berpotensi memicu kecelakaan kerja sehingga menyebabkan kerugian atau kerusakan. Contohnya, karyawan operasional yang melakukan perilaku berisiko secara tidak sengaja melakukan kontak dengan energi kinetik, listrik, thermal, atau kimia sehingga menyebabkan kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan. Ketiga, immediate causes merupakan segala situasi yang secara langsung dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Hal tersebut mencakup perilaku dan kondisi yang tidak sesuai standar sehingga menyebabkan terjadinya insiden. Dalam penelitian ini, perilaku dan kondisi tidak sesuai standar, seperti tidak memberi peringatan pada rekan kerja, pengoperasian peralatan tanpa wewenang, tidak menggunakan alat pelindung diri (APD), penempatan peralatan yang tidak benar, dibawah pengaruh obat-obatan, dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Keempat, basic causes merupakan penyebab dasar dari gejala yang timbul sekaligus alasan mengapa pekerja melakukan perilaku yang berisiko dan berbahaya (faktor internal) dan mengapa kondisi lingkungan kerja berbahaya (faktor eksternal). Kelima, lack of control management. Salah satu fungsi utama manajemen adalah kontrol manajemen yang kuat. Dengan kontrol manajemen yang kuat, kecelakaan akan lebih mudah dicegah atau 85 diminimalisir. Manajemen harus memahami program pengendalian yang dibutuhkan, standar yang digunakan, pengukuran performa kerja yang benar sehingga dapat mendorong pekerja untuk memenuhi standar dan memperbaiki produktivitas kerja. Dengan kata lain, setiap perusahaan harus memiliki sistem dan standar yang tepat. Untuk menghindari risiko dan kecelakaan kerja, mempromosikan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan cara yang efektif. Misalnya, setiap kali akan mengoperasikan peralatan, para pekerja diwajibkan untuk membaca kembali prosedur dan rambu-rambu keselamatan. Untuk meningkatkan efektifitas rambu-rambu keselamatan antara lain dengan cara memperbarui rambu, poster dan alat bantu visual secara periodik, serta melibatkan pekerja dalam membuat pesan keselamatan. Upaya pencegahan lainnya adalah memperharui perlengkapan alat pelindung diri (APD), seperti kaca mata, sepatu, sarung tangan, helm, penutup telinga, masker dan sebagainya (Green & Marshall, 1991). Selain itu, untuk menghindari risiko kecelakaan kerja, para pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar memahami pentingnya penggunaan dan perawatan APD dengan baik. Berdasarkan penelitian Green dan Marshall (1991), pekerja seringkali tidak menggunakan APD karena menimbulkan ketidaknyamanan saat digunakan dan menambah beban tubuh sehingga menghambat gerak tubuh saat bekerja. Oleh karena itu, APD sebaiknya didesain sesuai standar yang teruji agar layak digunakan. 86 SATRIA & BENEDICTUS Naatanen dan Sumala (dalam Yates, 1994) menjelaskan, bahwa pada umumnya sebagian besar orang akan mencari situasi yang tidak mengandung risiko atau situasi dimana risiko yang ada tidak terlalu tinggi. Dengan kata lain, risiko sama dengan nol. Naatanen dan Sumala menjelaskan semakin tinggi perilaku berisiko yang ditampilkan, maka akan semakin besar pula risiko terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai danger region (semakin jauh dari titik nol). Sedangkan, semakin rendah perilaku berisiko yang ditampilkan, maka semakin rendah pula risiko terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai zero risk region (semakin dekat dengan titik nol). Menurut zero risk theory, setiap pihak harus menjaga danger region sekecil mungkin sehingga mengarah pada terciptanya zero risk region. Proses pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) memiliki ciri yang khas dibandingkan dengan pembangkitpembangkit yang lain, yaitu dapat menjadi proses pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) maupun dapat juga di kombinasi (combine cycle) melalui sisa panas yang dihasilkan PLTG sehingga menjadi pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU). Dalam prosesnya, terdapat empat bagian pekerjaan, yaitu operator dan maintanance gas turbine, operator dan maintanance steam turbine, operator dan maintanance electrical dan operator dan maintanance water osmosis. Karyawan operasional memiliki risiko kecelakaan yang tinggi karena berhadapan langsung dengan bahan kimia, seperti gas, minyak dan uap. Berikut ini akan dijelaskan proses pembangkit listrik secara garis besar: a. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) PLTG sering disebut juga dengan sistem open cycle. Pada prosesnya, gas buangan yang dihasilkan turbin gas setelah terjadi proses produksi listrik langsung dibuang ke cerobong exhaust (jika closed cycle tidak dibuang). Gas buangan yang dibuang oleh gas turbin tersebut bersuhu 500 oC – 540oC. Gambar 3. Proses pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) Proses awal dari PLTG adalah mempersatukan bahan-bahan yang akan digunakan sebagai bahan pembakaran, yaitu udara, bahan bakar dan api. Ketiga elemen tersebut akan menghasilkan pembakaran yang sempurna. Bahan bakar dipompa dan disalurkan bersama-sama dengan udara yang sudah terlebih dahulu dihisap dari lingkungan sekitar menggunakan tenaga starting motor crangking (Air Intake). Kemudian, air intake disaring melalui air filter dan dihembuskan melalui Compressor yang akan bertemu diruang pembakaran. Pada saat itu, elemen api dihasilkan dari percikan busi yang terdapat dalam ruang pembakaran (combustion chambers). Kemudian, uap yang dihasilkan dari ruang pembakaran (combustion chambers) akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada PLTG, proses ini PERILAKU BERISIKO sering disebut sebagai GTG (Gas Turbine Generator). Setelah itu, generator akan membangkitkan listrik 11 kV dan akan dinaikkan tegangannya oleh trafo menjadi 150 kV dan ditransmisikan ke jaringan. Dalam hal ini, PLTGU PT PDP mempunyai 3 GTG. b. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Gambar 4. Proses pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Suhu uap yang dihasilkan ketika open cycle adalah 500oC – 540oC. Pada PLTGU, energi tersebut masih dapat dimanfaatkan. Maka, uap yang dihasilkan turbin gas pada proses open cycle tersebut tidak langsung dibuang melalui cerobong exhaust, melainkan digunakan kembali dan dialirkan ke HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Setelah itu, uap tersebut akan digunakan untuk memasak air dan uap yang dihasilkan melalui pemasakan air tersebut akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada PLTGU, proses ini sering disebut sebagai STG (Steam Turbine Generator). Energi listrik yang dihasilkan akan ditransmisikan ke jaringan. Namun, dalam menambah efisiensi uap yang dihasilkan 87 turbin pada proses PLTGU, akan diarahkan ke condensator (no.17) untuk diembunkan dan nantinya akan menghasilkan air dengan kadar elektrolit yang rendah, lalu air tersebut akan dialirkan ke daerator (no.18). Di dalam daerator, air tersebut akan dihilangkan kadar oksigennya atau gas-gas terlarut lainnya. Hal ini dikarenakan oksigen dan gas-gas terlarut lainya akan menimbulkan korosi pada pipapipa. Setelah melalui daerator, air akan di tampung feed pump (no.19) dan kemudian dialirkan ke pipa-pipa air HRSG kembali. Inilah yang dinamakan proses close cycle. Daya keluaran PLTGU pada GTG dan STG adalah 100 MW. Dalam hal ini, PLTGU PT PDP mempunyai 1 STG. Secara garis besar komponenkomponen yang terdapat pada PLTGU adalah sebagai berikut: 1. Cranking Motor Cranking motor merupakan alat yang berfungsi sebagai penggerak awal saat turbin belum menghasilkan tenaga penggerak generator ataupun compressor. Motor Cranking mendapatkan suplai listrik yang berasal dari jaringan tegangan tinggi. Karyawan operasional pada bagian pekerjaan operator dan maintenance electrical yang berhubungan dengan crangking motor memiliki risiko tersengat aliran listrik karena harus melakukan pengecekan atau perbaikan secara berkala. 2. Air Filter Air Filter merupakan alat yang berfungsi untuk menyaring udara bebas agar udara yang mengalir menuju ke compressor merupakan udara yang bersih. Karyawan operasional yang berhubungan dengan air 88 SATRIA & BENEDICTUS filter tidak memiliki risiko terjadinya kecelakaan kerja karena tidak berbahaya. 3. Compressor Compressor merupakan alat yang berfungsi untuk menghisap udara dari luar, dengan terlebih dahulu melalui air filter. Compressor menghisap udara atmosfer dan menaikkan tekanannya menjadi beberapa kali lipat (sampai 8 kali) tekanan semula. Udara luar ini akan diubah menjadi udara atomizing yang sebagian kecil digunakan untuk pembakaran dan sebagian besar digunakan untuk pendingin turbin. Karyawan operasional yang berhubungan dengan compressor akan berhadapan dengan kebisingan dari bunyi turbin dan risiko terpapar uap panas yang dihasilkan oleh ruang pembakaran. 4. Combustion Chamber Combustion chamber (ruang pembakaran) merupakan ruang yang berfungsi sebagai tempat pembakaran bahan bakar dan udara atomizing. Gas panas yang dihasilkan dari proses pembakaran di combustion chamber digunakan sebagai penggerak turbin gas. Karyawan operasional yang berhubungan dengan combustion chamber akan memiliki risiko terpapar uap panas, serta gas dan minyak yang digunakan untuk melakukan pembakaran. 5. Gas Turbine Gas turbine merupakan turbin yang berputar dengan menggunakan energi gas panas yang dihasilkan dari combustion chamber. Hasil putaran dari turbin inilah yang akan diubah oleh generator untuk menghasilkan listrik. Karyawan operasional yang berhubungan dengan gas turbine akan memiliki risiko terpapar hasil pembakaran dari gas dan minyak yang memiliki suhu 500oC – 540oC, serta turbin yang berputar. 6. Selector Valve Selector valve merupakan katup yang berfungsi untuk mengatur gas buangan dari turbin gas, yang nantinya akan ditentukan apakah harus dibuang langsung ke udara ataukah akan dialirkan menuju ke HRSG. Karyawan operasional yang berhubungan dengan selector valve akan memiliki risiko terpapar gas buang dari gas turbine. 7. GTG (Gas Turbine Generator) GTG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga putaran yang dihasilkan dari turbin gas. Pada PLTGU, satu buah generator ini menghasilkan daya 100 MW. Karyawan operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga memiliki risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari gas dan uap pembakaran akibat putaran turbin, serta hidrogen yang digunakan untuk mendinginkan mesin. 8. Steam Turbine Steam turbine (Turbin uap) merupakan turbin yang berputar dengan menggunakan energi uap. Uap ini diperoleh dari penguapan air yang berasal dari HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Karyawan operasional yang berhubungan dengan steam turbine akan memiliki risiko terpapar uap panas dengan suhu 500oC – 540oC. 9. STG (Steam Turbine Generator) STG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga putaran yang diperoleh dari turbin uap. Tenaga PERILAKU BERISIKO penggeraknya berasal dari uap kering yang dihasilkan oleh HRSG dengan putaran 3000 RPM, berpendingin hidrogen dan tegangan keluar 11,5 KV. Pada PLTGU, satu buah generator ini menghasilkan daya kurang lebihnya sekitar 200 MW. Karyawan operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga memiliki risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari uap kering hasil generator dan hydrogen yang digunakan untuk mendinginkan mesin. 10. HRSG (Heat Recovery Steam Generator) HRSG merupakan alat yang berfungsi untuk memanfaatkan gas buang dari turbin gas untuk memperoduksi uap air bertekanan. HSRG biasanya memiliki 1 blok Combine Cycle Power Plant dengan kapasitas 500 MW. Didalamnya terdiri dari 3 x 100 MW turbin gas dan 1 x 200 MW turbin uap yang merupakan combine cycle dari sisa gas buang dari GTG. 100 oC tergantung dari load gas turbin dan ambien temperatur. HRSG ini didesain untuk beroperasi pada turbin gas dengan pembakaran natural gas dan destilate oil. 514 oC (HSD) pada outlet flow gas. Untuk masing-masing HRSG akan membangkitkan uap sebesar 194,29 ton/jam total flow, pada inlet flow gas. Metode Subjek Responden dari penelitian ini melibatkan 74 karyawan operasional dari 84 orang total seluruh karyawan operasional di PLTGU PT PDP pada tahun 2014. Karyawan operasional di Pembangkit 89 Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) PT PDP terbagi dalam empat unit, yaitu: operator dan maintenance gas turbine, operator dan maintenance steam turbine, operator dan maintenance electrical, operator dan maintenance water system (cooling system dan osmosis). Mayoritas subjek berada pada usia 2535 tahun, yaitu sebanyak 43 orang atau 58,2 % populasi. Kemudian, subjek dengan usia 36-50 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu sebanyak 18 orang atau 24,3 % populasi. Sedangkan, subjek dengan usia < 25 tahun dan usia > 50 tahun tidak memiliki jumlah yang terlalu besar. Mayoritas subjek memiliki lama bekerja lebih dari 5 tahun, yaitu sebanyak 34 orang atau 45,9 % populasi. Kemudian, subjek dengan lama bekerja 3–5 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu sebanyak 16 orang atau 21,6 % populasi. Sedangkan, subjek dengan lama bekerja < 6 bulan, 6–12 bulan dan 1–3 tahun tidak memiliki jumlah yang terlalu besar. Instrumen Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perilaku berisiko dari karyawan operasional PLTGU PT PDP. Alat ukurnya disusun berdasarkan teori Skills, Rules and Knowledges (SRK) dari Rasmussen, dimana terdapat tiga aspek yang diukur, yaitu skills based behavior (kemampuan), rules based behavior (aturan), dan knowledge based behavior (pengetahuan). Expert judgement terhadap rancangan alat ukur dilakukan oleh Ibu Dr. Lidia Laksana Hidajat, Psi, MPH dan Bapak Utama Sandjaja, PhD dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Selain itu, juga dilakukan 90 SATRIA & BENEDICTUS Tabel 1. Deskripsi Perilaku Berisiko N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Perilaku Berisiko 74 139.00 228.00 184.7838 20.77292 Skills Based Behavior 74 64.00 105.00 85.9054 9.14296 Rules Based Behavior 74 40.00 70.00 56.6486 7.58952 Knowledges Based Behavior 74 26.00 59.00 42.2297 7.50260 Tabel 2. Deskripsi Berdasarkan Norma Skala Perilaku Berisiko Jumlah Total Hasil Item Skor Rata-rata Rentang Skor (Sesuai Skala) Skills Based Behavior 18 6357 353.2 4.77 Rules Based Behavior 12 4192 349.3 4.72 Knowledges Based Behavior 10 3125 312.5 4.22 Perilaku Berisiko uji keterbacaan dan menghasilkan 61 buah item pernyataan. Hasil Analisis Data Kesimpulan hasil analisis deskriptif untuk alat ukur penelitian ini adalah sebagai berikut: Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tabel 1 di atas, jumlah karyawan operasional (N) yang terlibat adalah 74 orang dari 84 orang total seluruh populasi. Domain skills based behavior memiliki nilai paling kecil (minimum) sebesar 64, nilai paling besar (maximum) sebesar 105 dan nilai rata-rata (mean) sebesar 85.9054. Domain rules based behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 40, nilai paling besar sebesar 70 dan nilai rata-rata sebesar 56.6486. Domain knowledges based behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 26, nilai paling besar sebesar 59 dan nilai rata-rata sebesar 42.2297. Selain itu, meninjau tiga domain yang PERILAKU BERISIKO digunakan untuk membentuk perilaku berisiko. Peneliti akan mencari tahu domain yang memiliki derajat tingkat perilaku berisiko paling kuat. Berikut ini adalah tabel data berdasarkan norma skala perilaku berisiko: Berdasarkan data pada tabel 2 di atas, diketahui bahwa domain skills based behavior memperoleh rentang skor sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.77 (skala 1-6). Dengan demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada domain skills based behavior termasuk dalam kategori sering. Kemudian, domain rules based behavior memperoleh rentang skor sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.72 (skala 1-6). Dengan demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada domain rules based behavior termasuk dalam kategori sering. Sedangkan domain knowledges based behavior memperoleh rentang skor sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.22 (skala 1-6). Dengan demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada domain knowledges based behavior termasuk dalam kategori cukup sering. Maka, berdasarkan norma skala perilaku berisiko di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku berisiko pada karyawan operasional lebih sering muncul jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan dengan skills based behavior (perilaku yang sudah menjadi rutinitas). Kemudian, perilaku berisiko pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan dengan rules based behavior (perilaku yang berdasarkan peraturan dan prosedur) tidak jauh berbeda dengan skills based behavior. Sedangkan, 91 perilaku berisiko pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan dengan knowledges based behavior (perilaku yang dilakukan ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya) tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kedua domain yang lain. Sementara dalam teori Skills, Rules, dan Knowledges, Rasmussen (1983), menyatakan bahwa ada tiga tipe perilaku karyawan operasional yang berbeda saat berinteraksi dengan mesin, yaitu skillsbased behavior, rules-based behavior dan knowledges-based behavior. Lebih lanjut, dalam bukunya yang berjudul Proactive Risk Management In A Dynamic Society, Rasmussen (2000), memaparkan bahwa kesalahan karyawan operasional dalam melakukan ketiga tipe perilaku tersebut dapat menyebabkan skills based performance error, rules based performance error dan knowledges based performance error. Menurutnya, ketiga kesalahan tersebut berhubungan erat dengan tinggi atau rendahnya produktivitas karyawan operasional, cepat atau lambatnya proses produksi dan tercapai atau terhambatnya target produksi perusahaan yang bersangkutan. Maka dari itu, Rasmussen menekankan pentingnya menjaga perilaku karyawan operasional agar tetap terintegrasi dengan baik saat berinteraksi dengan mesin. 92 SATRIA & BENEDICTUS Daftar Acuan Angka Kecelakaan Kerja Lima Tahun Terakhir Cenderung Naik. (2012, Juni 1). Poskotanews.com. Retrieved from http://poskotanews.com/2012/06/01/ang ka-kecelakaan-kerja-lima-tahun-terahircendrung-naik/ Azwar, S. (2005). Sikap manusia, teori dan pengukurannya (2nd Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cooper, M. D. (2008). User survey report. Franklin, IN: Behavioral-Safety.com. Retrieved March 13, 2014, from http://www.behavioralsafety.com/surveyresults/finalsurveybscom1.html Coppée, G. H. (1995). International cooperation in occupational health: The role of international organizations. International Journal of Occupational and Environmental Health, 1(2), 200210. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1998). Petunjuk petugas kesehatan. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Upaya kesehatan kerja sektor informal di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. ##Georg, K. (2011). International Labour Organization. Ilo.org. Retrieved from http://www.ilo.org/iloenc/partiii/resources-institutional-structural-andlegal/international-governmental-andnon-governmental-safety-andhealth/item/225-international-labourorganization Green, L. W., & Kreuter, M. W. (1991). Health promotion planning: An educational and environmental approach (2nd Ed.). Mountain View, CA: Mayfield Publishing Company. Grech, M. (2008). Human factors in maritime domain. Retrieved April 20, 2014, from http://books.google.co.id/books?id=H4Aj BNNZOz4C&pg=PA53&lpg=PA53&dq= skill+based+behavior+domain&source= bl&ots=FvuuBOMiq7&sig=4NeSYPz8T BtKC7IWVcLkkbTlENk&hl=en&sa=X&ei =BRhVU7v_HsE8gW8w4KACg&ved=0CEoQ6AEwBA# v=onepage&q=skill%20based%20beha vior%20domain&f=false Heinrich, H. W. (1959). Industrial accident prevention: A scientific approach (4th ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Heryuni. (1991). Pemeriksaan kadar debu dalam udara lingkungan kerja: Pusat hiperkes dan keselamatan kerja. Jurnal Higiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja 26(2). Keputusan Menteri Tenaga Kerja. (1996). Jdih.depnakertrans.go.id. Retrieved from http://jdih.depnakertrans.go.id/data_wira ta/1997-1-2.pdf Marbun, B. (2014, Juni 16). Pemakaian listrik tumbuh signifikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia menggembirakan. PLN.co.id. Retrieved from http://www.pln.co.id/blog/pe-makai-nlistrik-tumbuh-signifikan-pertumbuhanekonomi-indonesia-menggembirakan/ Miner, J. B. (1992). Industrialorganizational psychology. New York, NY: McGraw-Hill. Muchlis, M. & Permana, A. D. (t.t). Proyeksi kebutuhan listrik PLN tahun 2003 s.d. PERILAKU BERISIKO 2020. Retrieved from http://www.oocities.org/markal_bppt/publish/slistrk/slmuch.pdf Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Prasetyo, N. (2011). Analysis of implementation of the supervision of occupational safety and health in the department of production PT at Indonesia (Thesis). Retrieved from Universtas Gunadharma. (http://papers.gunadarma.ac.id/files/jour nals/3/articles/15484/submission/review /15484-43519-1-RV.pdf) Rasmussen, J. (1983). Skills, rules, and knowledge; signals, signs, and symbols, and other distinctions in human performance models. Systems, Man and Cybernetics, IEEE Transactions on, 13(3), 257-266. Rasmussen, J., Pejtersen, A. M., & Goodstein, L. P. (1994). Cognitive systems engineering. New York, NY: Wiley-Interscience. Rasmussen, J., & Svdung, I. (2000). Proactive risk management in a dynamic society. Swedish Rescue Services Agency. Smith, H. (2011). Direct and indirect loss. Retrieved Februari 11, 2014, from www.herbertsmithfreehills.com. Suizer-Azaroff, B. & Austin, J. (2000). Does bbs work? Behavior-based safety & injury reduction: a survey of the evidence. Professional Safety, 45(7), 19-24. Suizer-Azaroff, B., Harris, T. C, & McCann, K. B. (1994). Beyond training: organizational performance 93 management techniques. Occupational Medicine, 9(2), 321-339. Suryanto. (2012). Jamsostek: setiap hari 9 orang meninggal karena kecelakaan kerja. Diunduh 14 Oktober 2013 dari http://www.antaranews.com/berita/3607 49/jamsostek-setiap-hari-9-meninggal karena-kecelakaan-kerja Yates, J. F. (Ed). (1994). Risk taking behavior. New York: Wiley. Alamat surel: [email protected] PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Artikel dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris. 2. Judul artikel harus spesifik dan efektif, serta tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia atau 10 kata bahasa Inggris. 3. Artikel harus dilengkapi dengan nama penulis, nama lembaga tempat kegiatan penelitian dilakukan (universitas, lembaga atau pusat penelitian, atau organisasi lain), dan alamat korespondensi termasuk alamat e-mail yang jelas. 4. Artikel harus dilengkapi dengan satu paragraf abstrak berbahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Abstrak harus ditulis secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. 5. Artikel belum pernah diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal, artikel dalam buku, atau artikel dalam prosiding lengkap. 6. Artikel harus berupa laporan penelitian empiris, kecuali artikel atas undangan Redaksi (dapat berupa paparan gagasan atau kajian teoretis). Topik artikel harus dalam bidang psikologi serta relevan dengan perkembangan zaman. 7. Artikel harus dilengkapi dengan kata kunci yang dipilih secara cermat sehingga mampu mencerminkan konsep yang terkandung di dalamnya. 8. Artikel ditulis dengan sistematika dan pembaban yang baik mengikuti sistem American Psychological Association (APA). Pembaban tidak boleh menyerupai penulisan skripsi dengan mencantumkan kerangka teori, perumusan masalah, manfaat penelitian, saran, dan sejenisnya. 9. Artikel dilengkapi dengan daftar acuan, bukan bibliografi. Perujukan daftar acuan dalam naskah dan penyusunan daftar acuan mengikuti sistem APA. 10. Diutamakan artikel yang mengedepankan keuniversalan, bukan kenasionalan apalagi kelokalan. 11. Diutamakan artikel dengan sumber-sumber acuan yang terbit dalam 10 tahun terakhir. Pengacuan terhadap karya sendiri yang terlalu banyak dalam satu artikel seyogyanya dihindari. 12. Khusus untuk penelitian kuantitatif-survey (non-psikometri, non-eksperimen), penelitian harus melibatkan minimal 3 (tiga) variabel. 13. Penulis membuat pernyataan bahwa artikelnya merupakan hasil karya sendiri, dan jika didasarkan pada karya lain yang melibatkan penulis/peneliti lain (skripsi, tesis, disertasi, penelitian kelompok), penulis harus menyertakan pengakuan tentang kontribusi para penulis lain dan surat izin dari peneliti/penulis lain yang terkait. 14. Penulis akan menerima hasil review dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan, dengan kategori hasil review: (1) Diterima tanpa perbaikan, (2) Diterima dengan perbaikan (disertai catatan tentang halhal yang harus diperbaiki), (3) Ditolak (disertai alasan penolakan). Apabila naskah diterima dengan perbaikan, maka penulis wajib merevisi tulisannya sesuai dengan hasil review maksimal 1 (satu) bulan. 15. Sistematika dan format penulisan artikel (Template dapat diunduh melalui http://www.himpsi.or.id/jpi_template.doc): JUDUL Nama Penulis Nama Lembaga Abstrak Kata Kunci Abstract Keywords Pengantar (Memuat latar belakang dan rumusan masalah/hipotesis) Metode (Memuat rancangan penelitian, subjek/sampel, instrumen/teknik pengambilan data disertai pertanggungjawaban mutu berupa validitas dan reliabilitas instrumen, dan rancangan analisis data yang dilengkapi dengan informasi uji asumsi. Untuk penelitian kualitatif, ditambah dengan pertanggungjawaban refleksivitas) Hasil Penelitian Diskusi Kesimpulan dan Implikasi Daftar Acuan 16. Contoh penyusunan daftar acuan (Semua sitasi di badan naskah harus tercantum di dalam Daftar Acuan ini): Bjrok, R. A. (1989). Retrieval inhibition as an adaptive mechanism in human memory. Dalam H. L. Roediger III & F. I. M. Craik (Ed.), Varieties of memory & consciousness (hh. 309-330). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Crystal, L. (Produser Pelaksana). (1993, 11 Oktober). The MacNeil/Lehrer news hour [Tayangan televisi]. New York dan Washington, DC: Public Broadcasting Service. Gibbs, J. T., & Huang, L. N. (Ed.). (1991). Children of color: Psychological interventions with minority youth. San Fransisco: Jossey-Bass. Kandel, E. R., & Squire, L. R. (2000, 10 November). Neuroscience: Breaking down scientific barriers to the study of brain and mind. Science, 290, 1113-1120. Mellers, B. A. (2000). Choice and the relative pleasure of consequences. Psychological Bulletin, 126, 910-924. Mitchell, T. R., & Larson, J. R., Jr. (1987). People in organizations: An introduction to organizational behavior (ed. ke-3). New York: McGraw-Hill. Ruby, J., & Fulton, C. (1993, Juni). Beyond redlining: Editing software that works. Sesi poster disajikan dalam pertemuan tahunan the Society for Scholarly Publishing, Washington, DC. Scorsese, M. (Produser), & Lonergan, K. (Penulis/Sutradara). (2000). You count on me [Film]. United States: Paramount Pictures. Sektor industri mulai menggeliat. (2008, 17 Mei). KOMPAS, h. 21. Shocked, M. (1992). Over the waterfall. Dalam Arkansas traveler [CD]. New York: PolyGram Music. VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of resources by psychology undergraduates. Journal of Bibliographic Research, 5, 117-123. Diunduh 13 Oktober 2001, dari http://jbr.org/articles.html Wilfley, D. E. (1989). Interpersonal analyses of bulimia: Normal-weight obese. Disertasi doctor yang tidak diterbitkan, University of Missouri, Columbia. Yossihara, Anita. (2008, 17 Mei). Banten lama, tak sekadar wisata ziarah. KOMPAS, h. 27. Zuckerman, M., & Kieffer, S. C. (dalam proses penerbitan). Race differences in faceism: Does facial prominence imply dominance? Journal of Personality and Social Psychology.