Uploaded by User53755

Jurnal Psikologi Indonesia Vol 11 No 1 Juni 2014

advertisement
HIMPSI
ISSN: 0853-3098
JURNAL
PSIKOLOGI
INDONESIA
2014, Juni, Vol XI, No 1, h. 1-93

DEFINISI DAN SUMBER KEBAHAGIAAN: DESKRIPSI KEBAHAGIAAN PADA
ANAK UMUR 9-12 TAHUN DI JAKARTA PUSAT (h. 1-13)
Miwa Patnani dan Dilfa Juniar
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

POSTTRAUMATIC GROWTH PADA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI
PERISTIWA TRAUMATIK: EKSPLORASI PERAN PERUBAHAN KEYAKINAN
DASAR, PIKIRAN RUMINATIF DAN DUKUNGAN SOSIAL (h. 14-27)
H. S. Shinto Sukirna
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

ASPEK-ASPEK PENUNJANG KEBAHAGIAAN PADA WANITA HAMIL (h. 28- 44)
Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati dan Sari Zakiah Akmal
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

PENGARUH SOSIAL: INDIKATOR KEBERBEDAAN PADA NIAT IBU HAMIL
DALAM MENGKONSUMSI SUPLEMENTASI BESI (h. 45- 52)
Sudjatmiko Setyobudihono
Prodi Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa
Ermina Istiqomah
Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat

PENGARUH DUKUNGAN SUAMI TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA
PEREMPUAN YANG BEKERJA (NILAI KELUARGA-PEKERJAAN SEBAGAI
MEDIATOR) (h. 53-65)
Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Faturochman dan M. G. Adiyanti
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI SEKSUAL, SEXTING, DAN PERILAKU
SEKS BERISIKO PADA PELAKU SEXTING TIPE TWO-WAY SEXTERS (h. 66-75)
Wahyu Rahardjo, Indria Hapsari dan Maizar Saputra
Universitas Gunadarma, Jakarta

PERILAKU BERISIKO OPERATOR MESIN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS
DAN UAP (PLTGU) PT PDP (h. 76-93)
Joseph Satria dan Ratri Atmoko Benedictus
Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia
Ketua Dewan Redaksi:
A. Supratiknya
Sekretaris Dewan Redaksi:
Tjipto Susana
Anggota Dewan Redaksi:
Faturochman
Seger Handoyo
E. S. Tyas Suci
Mitra Bestari
BERNADETTE N. SETIADI
KRISTI POERWANDARI
FENDY SUHARIADI
HERA LESTARI
PENERBIT
Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
ALAMAT SURAT/ REDAKSI
Sekretariat Himpunan Psikologi Indonesia
Jl. Kebayoran Baru No. 85 B, Kebayoran Lama, Velbak
Jakarta 12240
Jurnal Psikologi Indonesia terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Juni dan Desember.
Redaksi menerima tulisan berupa laporan hasil penelitian dalam bidang psikologi yang
dilakukan oleh para ahli atau pemerhati psikologi. Tulisan dikirimkan dalam bentuk hard copy
dan soft copy melalui alamat redaksi dalam satu berkas, atau soft copy dikirimkan secara
terpisah melalui e-mail dengan alamat: [email protected]
Pengantar Redaksi
Kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari kepuasan dan kebahagiaan yang
dirasakan oleh individu. Oleh karena itu mengupayakan kepuasan dan kebahagiaan
individu, baik melalui usaha sendiri maupun dukungan sosial merupakan hal yang penting
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. Volume ini menyajikan kajiankajian psikologi yang berkaitan dengan kesejahteraan psikologis.
Miwa Patnani dan Dilfa Juniar dari Fakultas Psikologi Universitas YARSI
membuka volume ini dengan tinjauan mengenai pengertian kebahagiaan dan sumber
kebahagiaan bagi anak yang berusia 9-12 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sumber kebahagian bagi anak-anak ini adalah hubungan keluarga yang positif, teman,
materi, dan melakukan kegiatan yang mereka sukai.
Sementara itu H. S. Shinto Sukirna dari Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Jakarta mencoba melihat dampak positif dari pengalaman traumatik yang
disebut posttraumatic growth (PTG). Penelitiannya terhadap 120 siswa SD yang pernah
mengalami peristiwa buruk menunjukkan bahwa ruminasi atau pikiran berulang (yang
berfokus pada usaha memahami pengalaman traumatik dan dampaknya, menemukan
makna peristiwa traumatik, usaha memodifikasi tujuan hidup dan cara pencapaiannya)
berkorelasi positif dengan PTG dan menyumbang 29% untuk terjadinya PTG.
Kebahagiaan dan kepuasan perempuan sebagai ibu maupun istri sebagai faktor
yang ikut menentukan kesejahteraan keluarga tidak bisa diabaikan begitu saja. Oleh
karena itu dalam volume ini, beberapa peneliti mencoba mengkaji kebahagiaan dan
kepuasan perempuan. Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati, dan Sari Zakiah
Akmal dari Fakultas Psikologi, Universitas YARSI meneliti aspek-aspek yang
menunjang kebahagiaan pada wanita hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dukungan sosial merupakan aspek yang dirasakan paling berkontribusi pada kebahagiaan
wanita hamil. Sudjatmiko Setyobudihono dan Ermina Istiqomah dari Prodi
Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa menemukan bahwa dukungan sosial suami, ibu,
dan ibu mertua berpengaruh terhadap niat para ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet
suplemen zat besi. Penelitian yang dilakukan oleh Triana Noor Edwina Dewayani
Soeharto dari Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta serta
Faturochman dan M. G. Adiyanti dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
juga menunjukkan bahwa dukungan suami berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan
pada perempuan yang bekerja. Dukungan suami ini dimediasi oleh nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan.
Dua tulisan terakhir merupakan penelitian yang mengkaji perilaku berisiko. Wahyu
Rahardjo, Indria Hapsari, dan Maizar Saputra dari Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma, Jakarta meneliti peran kecenderungan mencari sensasi seksual dan
sexting terhadap perilaku seks berisiko pada pelaku sexting. Sementara itu, Joseph
Satria dan Ratri Atmoko Benedictus dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya,
Jakarta meneliti perilaku berisiko pada operator mesin pembangkit listrik tenaga gas dan
uap (PLTGU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko dari para operator
PLTGU XYS muncul sebagai akibat tidak ditampilkannya ketrampilan standar yang
dituntut oleh pekerjaannya.
Inilah gambaran tentang kesejahteraan psikologis kacamata psikologi yang disajikan
dalam volume ini. Selamat membaca!
Jurnal Psikologi Indonesia
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
2014, Vol. XI, No. 1, 1-13, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
1
DEFINISI DAN SUMBER KEBAHAGIAAN:
DESKRIPSI KEBAHAGIAAN PADA ANAK
UMUR 9-12 TAHUN DI JAKARTA PUSAT
(DEFINITIONS AND SOURCES OF
HAPPINESS: DESCRIPTION OF HAPPINESS
IN CHILDREN AGE 9-12 YEARS
IN CENTRAL JAKARTA)
Miwa Patnani dan Dilfa Juniar
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Penelitian ini bertujuan memahami definisi kebahagiaan dan sumber kebahagiaan menurut anak, dengan
pendekatan psikologi indigenous. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan dianalisis dengan
statistik deskriptif. Sebanyak 183 anak berusia 9-12 tahun dari beberapa SD di wilayah Jakarta Pusat
berpartisipasi sebagai partisipan. Respon partisipan dikategorikan berdasarkan kemiripan tema, kemudian
frekuensi respon dalam setiap kategori ditabulasikan. Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar
partisipan: (1) mendefinisikan kebahagiaan sebagai perasaan positif; (2) menemukan sumber kebahagiaan
dalam melakukan aktivitas yang disukai, kecukupan materi, pencapaian prestasi, serta relasi positif dengan
keluarga dan teman; (3) menganggap kebahagiaan sebagai hal penting; dan (4) menggolongkan dirinya
cukup bahagia. Partisipan yang mengaku sangat bahagia menyebutkan faktor memiliki hubungan keluarga
yang positif, dapat melakukan aktivitas yang disenangi, teman, dan kecukupan materi sebagai sumber
kebahagiaan. Disarankan agar orang tua mampu menciptakan atau meningkatkan relasi yang positif dalam
keluarga, memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dan memberi
kesempatan pada anak bersosialisasi dengan teman, sambil terus berusaha memenuhi kebutuhan anak.
Kata kunci: definisi kebahagiaan, sumber kebahagiaan, kebahagiaan, anak
This study seeks to understand more about definition of happiness and sources of happiness according to
children. Data were collected using a questionnaire and were analyzed using descriptive statistics. A number
of 183 children aged 9-12 years from several primary schools in Central Jakarta participated in the study.
Participants’ responses were categorized by theme similarity, and then the frequencies in each category were
tabulated.Results showed that most of participants: (1) define happiness as positive feelings; (2) find sources
of happiness in doing favored activity, sufficiency of material things, achievement, and positive relationships
with family and friends; (3) consider happiness as an important thing; and (4) categorize themselves as quite
happy. Participants who considered themselves as very happy claimed positive relationships with family,
favored activities, friends, and material things as sources of their happiness. Parents are suggested to create
or improve positive relation within the family, to give children the chance to do his or her favored activities, and
to give them the opportunity to socialize with friends, while keep trying to fullfil childrens’s needs.
Keywords: definition of happiness, sources of happiness, happiness, children
1
2
PATNANI & JUNIAR
Veenhoven (dalam Abdel-Khalek, 2006)
menyebut kebahagiaan sebagai kepuasan
hidup, dan mendefinisikannya sebagai
penilaian seseorang terhadap tingkat
kualitas hidupnya. Menurut Schimmel
(2009), kebahagiaan terkadang juga
disebut sebagai kesejahteraan subyektif
(subjective well being). Selanjutnya Diener,
Suh, Lucas, & Smith, (1999) menyatakan
bahwa
kebahagiaan
ataupun
kesejahteraan subyektif dapat dilihat dari
adanya emosi yang menyenangkan, emosi
yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup
secara umum, dan kepuasan pada ranah
tertentu.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan bahwa kebahagiaan terkait
dengan penilaian seseorang terhadap
hidupnya.
Hidup bahagia merupakan tujuan dari
setiap manusia, tidak terkecuali anak-anak.
Seperti halnya orang dewasa, kebahagiaan
juga merupakan hal yang sangat penting
bagi anak. Seorang anak yang bahagia
akan tumbuh dan berkembang dalam
suasana yang lebih kondusif, sehingga ia
akan mampu mewujudkan potensinya
secara optimal. Diener dan Biswas-Diener
(2008) menyatakan bahwa kebahagiaan
akan memberikan dampak positif seperti
kesehatan yang lebih baik, kemampuan
bekerja yang lebih baik, hubungan sosial
yang lebih baik dan adanya perilaku yang
lebih etis.
McReynolds (2008) menyatakan bahwa
ketidakbahagiaan (unhappiness) pada
anak dapat berupa extreme unhappiness
yang terjadi pada anak-anak yang memiliki
trauma maupun ordinary unhappiness yang
terjadi pada anak-anak yang menjalani
kehidupan normal. Namun demikian,
menurut McReynolds, baik dalam kondisi
extreme unhappiness maupun ordinary
unhappiness, jika anak dibiarkan tanpa
intervensi akan mendorong munculnya
gangguan emosi pada anak.
Walaupun menjadi tujuan dari semua
manusia, namun tampaknya kebahagiaan
tidak dipandang secara seragam oleh
berbagai budaya. Setiap budaya memiliki
pemahaman yang berbeda tentang hal-hal
yang membahagiakan. Bahkan setiap
individu memiliki persepsi, makna, dan
penghayatan yang berbeda-beda atas
kebahagiaan.
Menurut
Uchida,
Norasakkunkit, & Kitayama, (2004), pada
orang
dewasa
di
Amerika
Utara,
kebahagiaan banyak dikaitkan dengan
prestasi individual sehingga harga diri
merupakan prediktor yang paling penting
dalam menilai kebahagiaan. Sementara di
Asia Timur kebahagiaan lebih banyak
dikaitkan dengan hubungan interpersonal
sehingga keterlibatan dalam hubungan
sosial menjadi prediktor yang paling
penting dalam
menilai
kebahagiaan
seseorang.
Sumber kebahagiaan pada anak tentu
saja akan berbeda dengan sumber
kebahagiaan pada orang dewasa. Pada
orang dewasa, beberapa faktor yang
mempengaruhi
kebahagiaan
adalah
kecerdasan emosional, religiusitas, relasi
sosial, pekerjaan dan tingkat pendapatan
(Diener & Ryan, 2009). Dari penelitian yang
dilakukan oleh Chaplin (2009), ditemukan
bahwa ada lima hal yang dapat membuat
anak bahagia yaitu orang dan binatang,
prestasi, benda materi, hobi atau kegiatan
yang disenangi, dan olahraga. UNICEF
(dalam
McReynolds,
2008)
menilai
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
kebahagiaan
anak
terkait
dengan
kenyamanan
materi,
pendidikan,
kesehatan, hubungan sosial, spiritual dan
keamanan. Walau demikian, sebagaimana
pada orang dewasa, cara pandang seorang
anak terhadap kebahagiaan dan hal apa
yang membuat mereka bahagia juga
dipengaruhi dan dibentuk oleh budaya di
tempat anak tersebut tumbuh dan
dibesarkan.
Melihat pentingnya kebahagiaan dalam
meningkatkan kualitas hidup seorang anak,
maka perlu suatu upaya untuk mengkaji
lebih dalam tentang kebahagiaan pada
anak, terutama pada faktor-faktor apa yang
dapat meningkatkan kebahagiaan pada
anak.
Studi
tentang
kebahagiaan
sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh
para ahli, namun sebagian besar studi
tersebut mengkaji kebahagiaan pada
manusia dewasa, dan baru sebagian kecil
yang mengkaji kebahagiaan pada anakanak (Ivens, 2007). Park dan Peterson
(dalam Chaplin, 2009) menyatakan bahwa
tidak seperti pada orang dewasa,
pengukuran kebahagiaan pada anak masih
terbatas jumlahnya. Oleh karena itu,
penelitian ini berupaya untuk memberikan
kontribusi terhadap kesenjangan tersebut
dengan menjawab pertanyaan mengenai
definisi dan sumber kebahagiaan pada
anak. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memperoleh deskripsi tentang
definisi dan sumber kebahagiaan pada
anak umur 9-12 tahun di wilayah Jakarta
Pusat.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain non
3
eksperimen
berupa
survey
dengan
menggunakan
kuesioner
untuk
pengambilan
data.
Dengan
mempertimbangkan
adanya
pengaruh
konteks budaya terhadap pendefinisian
kebahagiaan,
maka
penelitian
ini
menggunakan pendekatan indigeneous
agar diperoleh definisi kebahagiaan yang
sesuai dengan konteks budaya di
Indonesia.
Pendekatan
psikologi
indigenous melihat fenomena dengan
perspektif budaya lokal sebagai konteks,
memaparkan
serta
menafsirkannya
berdasarkan budaya dan ekologi tempat
fenomena berlangsung (Oetami & Yuniarti,
2011). Dengan demikian diharapkan data
yang
diperoleh
benar-benar
menggambarkan
realitas
di
tempat
berlangsungnya fenomena.
Sejumlah 183 anak berusia 9 sampai 12
tahun atau setara kelas tiga sampai enam
SD yang berasal dari tiga SD negeri dan
swasta
di
wilayah
Jakarta
Pusat
berpartisipasi dalam penelitian ini. Anak
yang dapat menjadi partisipan penelitian
adalah mereka yang tidak mengalami
gangguan
perkembangan
dan tidak
mengalami penyakit fisik yang parah.
Partisipan terdiri dari 95 (52%) orang anak
laki-laki dan 88 (48%) anak perempuan.
Sebanyak 32 (17%) partisipan berasal dari
kelas IV, 97 (53%) partisipan berasal dari
kelas V, dan 54 (30%) partisipan berasal
dari kelas VI. Sebaran usia partisipan terdiri
dari 15 (8%) partisipan berusia 9 tahun, 76
(42%) partisipan berusia 10 tahun, 74
(40%) berusia 11 tahun, 17 (9%) partisipan
berusia 12 tahun, dan 1 (1%) partisipan
tidak mengisi informasi usia.
Data diperoleh melalui kuesioner.
4
PATNANI & JUNIAR
Mengingat subjek penelitian adalah anakanak usia 9-12 tahun, maka perlu dilakukan
uji keterbacaan untuk memastikan bahwa
pertanyaan dalam kuesioner ini dipahami
oleh subyek penelitian. Uji keterbacaan
dilakukan terhadap lima orang anak usia 912 tahun. Dari hasil uji keterbacaan ini,
peneliti kemudian merevisi beberapa
pertanyaan agar lebih mudah dipahami
oleh subyek penelitian.
Kuesioner dalam penelitian ini terdiri
dari informasi demografi partisipan (usia,
pendidikan, kesehatan) dan pertanyaan
terbuka yang menanyakan mengenai
definisi kebahagiaan dan hal-hal apa yang
membuat partisipan merasa bahagia.
Partisipan juga diminta untuk menilai
secara subjektif tingkat kebahagiaan yang
mereka rasakan, apakah sangat bahagia,
cukup bahagia, atau kurang bahagia.
Beberapa contoh pertanyaan yang diajukan
dalam kuesioner ini adalah sebagai berikut:
1. Menurutmu, apakah yang dimaksud
dengan hidup bahagia?
2. Sebutkan
3
peristiwa
yang
membuatmu merasa bahagia!
3. Apakah menurutmu bahagia itu
penting? Mengapa?
Peneliti
membagikan
kuesioner
langsung kepada partisipan di kelas pada
jam pelajaran kosong atau pada waktu
yang telah disepakati dengan pihak
sekolah serta memberikan penjelasan dan
mengawasi jalannya pengisian kuesioner.
Subjek
penelitian
didorong
untuk
memberikan jawaban sesuai dengan
kondisinya masing-masing.
Data yang diperoleh dikategorisasikan
berdasarkan kemiripan tema (analisis
tematik). Untuk itu dilakukan proses coding
terhadap jawaban yang diberikan subjek
penelitian. Agar proses coding benar-benar
memberikan hasil yang memuaskan, maka
dilakukan dua mekanisme:
1. Coding dilakukan oleh dua orang
secara terpisah. Setelah proses coding
selesai, hasil coding kemudian dikomparasi
dan dilakukan penyesuaian kembali
dengan mempertimbangkan komparasi
tersebut.
2. Coding dilakukan dalam 3 tahap
sampai pada hasil yang dirasakan benarbenar mewakili tema-tema dalam penelitian
ini.
Hasil
Respon partisipan terhadap pertanyaan:
“Menurutmu, apa yang dimaksud dengan
hidup
bahagia?”,
terkait
definisi
kebahagiaan sangat beragam. Tabel 1
menyajikan kategori besar dari jawabanjawaban partisipan.
Dari Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa
kebanyakan
partisipan
(45,90%)
mendefinisikan
kebahagiaan
sebagai
kondisi yang terkait dengan perasaan
positif. Perasaan positif meliputi beberapa
kategori kecil yaitu perasaan positif (seperti
senang, ceria, dan gembira), hidup bebas,
bertemu idola, dan merasa beruntung.
Definisi lain dari kebahagiaan adalah
memiliki hubungan dengan keluarga yang
positif yang dijawab oleh 10,93%
partisipan. Kategori hubungan keluarga
yang positif meliputi berkumpul dengan
orang tua dan melakukan aktivitas dengan
keluarga.
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
Tabel 1
Definisi Kebahagiaan
No
Pengertian
bahagia
Jumlah
Persentase
1.
Perasaan
positif
84
45,90
2.
Pertemanan
11
6,01
Hubungan
dengan
keluarga
20
10,93
3.
4.
Materi yang
cukup
18
9,84
10
5,46
5.
Melakukan
aktivitas yang
disukai
6.
Pencapaian
prestasi
17
9,29
Kehidupan
yang
berkualitas
11
6,01
7.
8.
Berbuat baik
3
1,64
9.
Tidak relevan
5
2,73
4
2,19
10. Tidak diisi
Sebanyak
9,84%
partisipan
mendefinisikan
kebahagiaan
sebagai
adanya
kecukupan materi.
Kategori
tersebut meliputi terpenuhinya kebutuhan
dan diberi sesuatu yang diinginkan.
Pencapaian prestasi merupakan definisi
kebahagiaan yang diungkap oleh 9,29%
partisipan. Kategori ini hanya terdiri dari
kategori berprestasi seperti sukses, dapat
rangking di kelas, dan naik kelas.
Definisi kebahagiaan berikutnya adalah
memiliki teman dan menjalani hidup yang
berkualitas yang masing-masing dijawab
oleh
6,01%
partisipan.
Kategori
pertemanan sendiri meliputi kategori kecil
5
memiliki teman, hubungan dengan teman
yang positif, melakukan aktivitas bersama
teman, dan kualitas teman (teman yang
menyenangkan dan peduli). Kategori
menjalani hidup yang berkualitas terdiri dari
kategori hidup yang berkualitas itu sendiri
(hidup sehat, damai, tentram, rukun).
Sejumlah
5,46%
partisipan
mendefinisikan kebahagiaan sebagai dapat
melakukan aktivitas yang disukai. Hal ini
meliputi bermain dan melakukan kegiatan
yang
disukai
oleh
anak
seperti
menggambar dan jalan-jalan. Terdapat
1,64% partisipan yang mendefinisikan
kebahagiaan
sebagai
berbuat
baik.
Sedangkan sebanyak 2,73% partisipan
memberikan jawaban yang tidak relevan
dan 2,19% lainnya tidak memberikan
jawaban.
Tabel 2 menyajikan kategori-kategori
besar dari jawaban partisipan terhadap
pertanyaan, “Sebutkan tiga peristiwa atau
hal yang membuatmu merasa bahagia”.
Kebanyakan partisipan (22,87%) menjawab
bahwa sumber kebahagiaan mereka
adalah apabila mereka dapat melakukan
aktivitas yang mereka sukai. Kategori ini
meliputi diajak melakukan aktivitas yang
disukai, jalan-jalan, dan menikmati waktu
luang.
Sebanyak 18,79% menjawab bahwa
sumber kebahagiaan mereka adalah hidup
berkecukupan. Hal ini meliputi kategori
materi, hidup cukup, dan memiliki fasilitas
internet.
Sumber kebahagiaan bagi 14,18%
responden adalah pencapaian prestasi.
Kategori ini meliputi prestasi, belajar,
pintar, dan memikirkan apa yang ingin
dicapai.
6
PATNANI & JUNIAR
Tabel 2
Sumber Kebahagiaan
No
Sumber
Kebahagiaan
1.
Hubungan
dengan
keluarga yang
harmonis
65
11,52
2.
Menjadi
bagian dari
kelompok
sosial tertentu
22
3,90
3.
Perasaan
positif
35
6,21
4.
Mendapat
perlakuan
baik
41
7,27
5.
Pencapaian
prestasi
80
14,18
6.
Hidup
berkecukupan
106
18,79
7.
Keinginan
terpenuhi
8
1,42
8.
Berbuat baik
10
1,77
9.
Pertemanan
58
10,28
129
22,87
11. Ibadah
4
0,71
12. Lain-lain
4
0,71
13. Tidak diisi
2
0,35
10. Melakukan
hal yang
disuka
Jumlah Persentase
Sebanyak 11,52% partisipan menjawab
bahwa sumber kebahagiaan bagi mereka
adalah hubungan keluarga yang harmonis.
Kategori ini meliputi beraktivitas bersama
keluarga, keluarga senang, bangga pada
orang tua, dan tidak ada konflik dengan
orang tua.
Selanjutnya,
10,28%
partisipan
mengungkapkan
bahwa
pertemanan
adalah sumber kebahagiaan mereka.
Kategori ini meliputi teman itu sendiri.
Terdapat 7,27% partisipan yang menjawab
bahwa sumber kebahagiaan adalah
mendapat perlakuan baik yang terdiri dari
dimanja dan disayang, dirawat hingga
tumbuh besar, serta memiliki guru yang
perhatian. Sejumlah 6,21% partisipan
memandang sumber kebahagiaan mereka
adalah
apabila
mereka
mengalami
perasaan positif yang meliputi senang,
bercanda, mengalami momen indah,
senyum, ulang tahun, dan hidup tenang
tanpa tekanan batin. Terdapat 3,90%
partisipan yang memandang bahwa
sumber kebahagiaan mereka adalah
menjadi bagian dari kelompok sosial
tertentu yang meliputi kategori kecil
menjadi anggota tim ataupun aktivitas
tertentu, memiliki keluarga yang lengkap,
dan memiliki orang tua dan guru. Sejumlah
1,77% partisipan menjawab bahwa sumber
kebahagiaan mereka adalah karena
berbuat baik yang terdiri dari membantu
orang lain dan berbakti pada orang tua.
Sebesar 1,42% partisipan merasa bahagia
karena keinginannya terpenuhi yang terdiri
dari keinginan terpenuhi dan bisa makan
yang disukai. Terakhir, ada 0,71%
partisipan yang menjawab bahwa ibadah
merupakan sumber kebahagiaan mereka.
Sebanyak 0,71% partisipan menjawab lainlain, seperti berada di lingkungan baru,
menjawab pertanyaan orang, menjahili
orang, dan kemampuan tersalurkan,
sedangkan sebanyak 0,35% partisipan
tidak memberikan jawaban.
Tabel 3 menyajikan penilaian partisipan
mengenai tingkat kebahagiaan yang
7
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
mereka rasakan, apakah sangat bahagia,
cukup bahagia, atau kurang bahagia.
Tabel 3
Rasa
Bahagia
Jumlah Persentase
1.
Sangat
bahagia
77
42%
2.
Cukup
bahagia
95
52%
3.
Kurang
bahagia
9
5%
Tidak diisi
2
4.
Alasan yang Melandasi Anak Memilih
Kategori Rasa Bahagia
No Alasan tingkat Jumlah Prosentase
bahagia
Kategorisasi Rasa Bahagia
No
Tabel 4
1%
Secara umum, kebanyakan partisipan
menilai dirinya cukup bahagia (52%), diikuti
(42%) merasa dirinya masuk dalam
kategori sangat bahagia, dan kurang
bahagia (5%). Sedangkan 1% partisipan
tidak
memberikan
jawaban.
Pengkategorisasian
ini
dilakukan
berdasarkan penilaian subjektif partisipan.
Para partisipan memberikan alasan
yang sangat beragam mengenai kategori
kebahagiaan yang mereka pilih yang
terangkum dalam tabel 4. Mayoritas
partisipan beralasan bahwa mereka
merasa sangat bahagia dan cukup bahagia
dikarenakan sudah memiliki hubungan
dengan keluarga yang baik dan dapat
melakukan hal yang menyenangkan.
Partisipan yang mengkategorikan dirinya
sebagai cukup bahagia beralasan karena
mereka merasa cukup bahagia, terkadang
bahagia terkadang tidak. Sedangkan
mereka yang mengkategorikan dirinya
kurang bahagia beralasan karena mereka
merasa kurang bahagia, belum beruntung,
dan sering dimarahi
Hubungan
dengan
keluarga
45
24,59
1.
Melakukan hal
yang
menyenangkan
24
13,11
2.
3.
Pencapaian
prestasi
10
5,46
4.
Materi
15
8,20
5.
Pertemanan
18
9,84
6.
Sangat
bahagia
10
5,46
7.
Cukup bahagia
43
23,50
8.
Kurang
bahagia
4
2,19
9.
Berbuat
kebaikan
3
1,64
10.
Bahagia itu
penting
2
1,09
11. Bersyukur
1
0,55
12. Tidak diisi
3
1,64
13. Tidak relevan
5
2,73
8
PATNANI & JUNIAR
Tabel 5
Pentingnya Bahagia
No Pentingnya
Bahagia
Jumlah Prosentase
1
Penting
153
84%
2
Tidak
Penting
11
6%
3
Tidak
relevan
4
2%
4
Tidak diisi
15
8%
Tabel 6
mayoritas partisipan (84%) memandang
bahwa kebahagiaan adalah hal yang
penting. Terdapat 6% partisipan yang
memandang kebahagiaan sebagai hal
yang tidak penting.
Alasan
yang
dikemukakan
oleh
partisipan
mengenai
pentingnya
kebahagiaan juga beragam dan dapat
dilihat pada tabel 6. Mayoritas partisipan
beralasan bahwa kebahagiaan adalah hal
yang penting karena kebahagiaan dapat
membuat mereka mengalami perasaan
positif dan menghindari perasaan negatif.
Pembahasan
Alasan Pentingnya Bahagia
No
Alasan
Jumlah Prosentase
1
Keluarga
12
6,56
2
Bahagia
adalah hal
yang penting
31
16,94
3
Mendapatkan
perasaan
positif dan
menghindari
perasaan
negatif
96
52,46
4
Tidak selalu
bahagia
4
2,19
5
Aktivitas yang
disukai
5
2,73
6
Lain-lain
8
4,37
7
Tidak relevan
17
9,29
8
Tidak diisi
10
5,46
Tabel 5 menyajikan respon partisipan
terhadap pertanyaan apakah bahagia itu
penting. Hasil tabulasi menunjukkan
Sebagaimana tersaji pada tabel 1, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa anakanak mendefinisikan kebahagiaan secara
beragam. Dari sekian banyak definisi
kebahagiaan yang diutarakan anak, definisi
kebahagiaan yang paling menonjol adalah
perasaan positif yang dialami. Dalam
persepsi anak, perasaan positif ditandai
antara lain dengan hadirnya perasaan
senang, ceria, gembira, dan penuh tawa.
Hal ini tampaknya merupakan kondisi yang
sangat wajar baik pada orang dewasa
maupun pada anak-anak, mengingat
Seligman et al. (2005) menyatakan bahwa
hidup yang bahagia itu salah satunya
adalah
hidup
yang
menyenangkan
(pleasure life). Anak juga mengutarakan
definisi-definisi
lain
terkait
dengan
kebahagiaan. Namun apabila ditelaah lebih
jauh, semua kategori definisi tersebut
bermuara pada munculnya perasaan positif
pada anak. Misalnya, pada kategori
hubungan keluarga dan teman, kedua
kategori tersebut mengandung inti adanya
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
relasi positif yang menimbulkan perasaan
senang pada anak melalui berkumpul
sambil melakukan hal yang menyenangkan
dengan keluarga dan bercanda dengan
teman. Begitu pula dengan melakukan
aktivitas yang disukai seperti jalan-jalan,
olah raga, menggambar memunculkan rasa
gembira pada anak. Kecukupan materi dan
pencapaian prestasi yang juga merupakan
definisi kebahagiaan yang dipersepsi oleh
anak pada dasarnya berujung pada
munculnya rasa senang pada anak.
Kecukupan materi yang terdiri dari dapat
hidup berkecukupan dan nyaman serta
terpenuhinya keinginan untuk memiliki
benda yang diinginkan oleh anak akan
berujung pada munculnya rasa senang.
Sedangkan pencapaian prestasi seperti
kesuksesan, pencapaian cita-cita, maupun
keberhasilan akademik seperti menjadi
juara kelas maupun naik kelas juga akan
membuat anak merasa senang sehingga
muncul perasaan positif. Anak yang
berprestasi pada umumnya juga akan
mendapat respon positif dari orang lain
misalnya berupa pemberian pujian maupun
hadiah sehingga pada akhirnya akan
mendatangkan perasaan positif pada anak.
Masih terdapat beberapa definisi yang
diungkap oleh anak terkait kebahagiaan,
seperti pertemanan, melakukan aktivitas
yang disukai, menjalani kehidupan yang
berkualitas, dan berbuat baik yang
kesemuanya
memunculkan
perasaan
positif pada anak. Maka dari itu
disimpulkan bahwa anak mendefinisikan
kebahagiaan sebagai suatu perasaan yang
positif. Mayoritas anak dalam penelitian ini
menganggap bahwa kebahagiaan adalah
hal yang penting karena kebahagiaan
9
dapat membuat mereka merasakan hal
positif dan menghindarkan mereka dari
perasaan negatif.
Sebagaimana definisi kebahagiaan,
anak juga mempersepsikan sumber
kebahagiaan secara beragam (Tabel 2).
Secara
umum
tema-tema
sumber
kebahagiaan yang ditemukan dalam
penelitian ini sejalan dengan temuan dari
penelitian lain yang dilakukan di Indonesia
yang
melibatkan
partisipan
remaja.
Anggoro dan Widhiarso (2010) melakukan
penelitian mengenai kebahagiaan pada
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di
Yogyakarta dengan pendekatan indigenous
menemukan bahwa terdapat empat aspek
utama penyusun kebahagiaan pada
masyarakat lokal, yaitu: ikatan rasa
kekeluargaan, prestasi atau pencapaian
pribadi, relasi sosial, dan kebutuhan
spiritual.
Sedangkan
penelitian
lain
mengenai tema kebahagiaan yang juga
menggunakan pendekatan indigenous
yang dilakukan pada remaja di Yogyakarta
oleh
Oetami
dan
Yuniarti
(2011)
menemukan bahwa hal-hal yang membuat
remaja bahagia adalah keluarga, prestasi,
mencintai dan dicintai, spiritualitas, teman,
waktu luang, uang, dan lain-lain. Walau
demikian, terlihat bahwa pada anak-anak
sumber kebahagiaan yang paling menonjol
adalah dapat melakukan kegiatan yang
disukai.
Hal
ini
tampaknya
yang
membedakan sumber kebahagiaan yang
dipersepsi oleh anak dengan sumber
kebahagiaan yang dipersepsi oleh remaja.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa sumber kebahagiaan yang dominan
pada anak adalah pada saat anak dapat
melakukan berbagai aktivitas yang mereka
10
PATNANI & JUNIAR
sukai,
seperti
bermain,
jalan-jalan,
menggambar, dan lain-lain karena tentunya
hal tersebut dapat mendatangkan perasaan
positif pada anak.
Hal menarik yang dapat dibahas adalah
bahwa anak memandang bahwa hidup
berkecukupan
merupakan
sumber
kebahagiaan dominan kedua setelah
kategori dapat melakukan hal yang mereka
sukai. Hal ini meliputi hal-hal yang bersifat
material seperti dapat hidup berkecukupan
dan nyaman, diberi uang maupun dibelikan
benda yang diinginkan, hingga memiliki
fasilitas
internet.
Dalam
penelitian
kebahagiaan pada remaja di Yogyakarta,
tema
yang
terkait
dengan
hidup
berkecukupan sebenarnya juga muncul,
yaitu tema kesejahteraan (Anggoro &
Widhiarso, 2010) dan tema uang (Oetami &
Yuniarti, 2011), namun tampaknya tidak
sedominan pada anak dalam penelitian ini.
Materi akan memungkinkan pemenuhan
kebutuhan sehingga anak menjadi senang
dan puas dengan hidupnya dan pada
akhirnya membuat anak merasa bahagia.
Pencapaian prestasi, hubungan dengan
keluarga, dan teman merupakan tema
sumber kebahagiaan yang juga muncul.
Pada hasil penelitian (Anggoro &
Widhiarso, 2010) sumber kebahagiaan
yang utama adalah keluarga, prestasi,
diikuti dengan relasi dengan orang lain.
Demikian pula hasil penelitian (Oetami &
Yuniarti, 2011) yang menunjukkan bahwa
sumber
kebahagiaan
yang
paling
mendominasi adalah keluarga, diikuti
dengan prestasi, kemudian pertemanan.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
pencapaian prestasi lebih banyak dianggap
sebagai
sumber
kebahagiaan
yang
kemudian diikuti oleh keluarga, dan
pertemanan.
Temuan
ini
dapat
mengindikasikan
beberapa
hal.
Hal
pertama adalah bahwa perbedaan tersebut
dapat
disebabkan
karena
tahapan
perkembangan yang berbeda. Partisipan
penelitian ini adalah anak berusia 9-12
tahun yang menurut Erikson sedang
berada pada tahap industry versus
inferiority, dimana pada tahap tersebut
salah satu tugas perkembangan anak
adalah menguasai tugas-tugas yang
dianggap
penting
oleh
lingkungan
sekitarnya (Papalia, Olds, & Feldman,
2007). Tugas yang dianggap penting dapat
berbeda dari satu tempat dengan tempat
lain dan amat dipengaruhi oleh kultur
tempat tersebut. Sebagaimana diutarakan
oleh Kim dan Park (2006, dalam Anggoro &
Widhiarso, 2010), bahwasanya budaya
memiliki peranan yang sangat sentral pada
setiap
individu
dalam
mempersepsi
fenomena sosial. Hal ini mengindikasikan
bahwa budaya di lingkungan Jakarta Pusat
menganggap bahwa pencapaian prestasi
baik dalam hal akademis maupun non
akademis pada anak merupakan sesuatu
yang dianggap penting sehingga anak
berusaha
mencapai
prestasi
agar
memperoleh perasaan positif.
Keluarga dan teman juga merupakan
sumber kebahagiaan yang cukup dominan
bagi anak. Anak memandang bahwa
sumber kebahagiaan salah satunya adalah
hubungan keluarga yang harmonis yang
termanifestasi dalam bentuk beraktivitas
bersama keluarga. Sedangkan pertemanan
lebih banyak terkait dengan relasi sosial
anak. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan Diener dan Biswas-Diener
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
(2008), yaitu banyak hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa relasi atau hubungan
sosial memiliki pengaruh yang penting
pada kebahagiaan. Hubungan sosial yang
dekat akan berdampak positif pada
kesejahteraan psikologis pada seorang
individu
karena
hubungan
dekat
memungkinkan
individu
untuk
mendapatkan dukungan sosial yang
dibutuhkan.
Spiritualitas
sebagai
sumber
kebahagiaan ditemukan lebih dominan
pada penelitian yang dilakukan oleh
Anggoro dan Widhiarso (2010) serta
Oetami dan Yuniarti (2011). Kebutuhan
spiritual mengacu pada proses memenuhi
atau telah terpenuhinya target individu
dalam hal spiritual yang dalam hal ini
meliputi
berbagai
aktivitas
yang
mencerminkan keyakinan terhadap agama
(Anggoro & Widhiarso, 2010). Pada anak,
hal yang terkait dengan spiritualitas
sebagai sumber kebahagiaan diantaranya
adalah beribadah dan berbuat kebaikan.
Apabila dibandingkan dengan sumber
kebahagiaan pada anak yang dilakukan di
luar negeri, terdapat persamaan dan juga
perbedaan. Hasil studi yang dilakukan oleh
Chaplin (2009) menemukan bahwa tema
yang membuat anak merasa bahagia
adalah orang dan hewan peliharaan,
pencapaian prestasi, benda material, hobi,
olahraga. Secara garis besar, tema-tema
yang muncul di penelitian tersebut juga
muncul dalam hasil penelitian ini, meliputi
orang,
pencapaian
prestasi,
benda
material, hobi, dan olah raga. Namun tema
hewan peliharaan tidak muncul dalam hasil
penelitian ini. Hal ini mengindikasikan
bahwa
sumber-sumber
kebahagaiaan
11
memang dipersepsikan berbeda pada
kultur yang berbeda. Budaya memiliki
sumbangan
tersendiri
terhadap
pembentukan konsep psikologis individu,
seperti halnya konsep kebahagiaan. Oleh
karena itu, dapat dipahami apabila suatu
nilai kebahagiaan individu pasti dipengaruhi
oleh konteks budaya yang berlaku
(Anggoro & Widhiarso, 2010).
Mayoritas anak dalam penelitian ini
menggolongkan diri mereka sebagai anak
yang cukup bahagia dengan alasan
mereka merasa terkadang merasa bahagia
dan terkadang tidak. Walau demikian,
banyak juga anak yang menggolongkan
dirinya sebagai sangat bahagia. Mereka
yang merasa sangat bahagia ternyata
memiliki alasan yang paling dominan yaitu
keluarga, yang diikuti dengan dapat
melakukan aktivitas yang menyenangkan,
teman, dan terakhir materi. Temuan ini
dapat diartikan bahwa walaupun anak
memandang materi sebagai sumber
kebahagiaan yang dominan, namun hal itu
bukan merupakan hal utama yang
membuat anak merasa sangat bahagia.
Hal ini paralel dengan temuan penelitian
lain yang mengatakan bahwa uang atau
materi merupakan prediktor yang cukup
kuat mengenai evaluasi hidup namun
merupakan prediktor yang lemah mengenai
perasaan positif dan negatif (Diener, Ng,
Harter, & Arora, 2010). Hal senada juga
diungkap oleh McReynolds (2008) yang
menyatakan bahwa hal-hal material pada
dasarnya berfokus pada economic wellbeing, bukan pada emotional well-being.
Dalam penelitian ini, hal utama bagi anak
yang sangat bahagia dapat dikatakan
terkait dengan hubungan sosial yang dalam
12
PATNANI & JUNIAR
hal ini meliputi hubungan anak dengan
keluarga dan juga teman. Selain itu anak
yang dapat melakukan aktivitas yang
disukai juga banyak yang menyatakan
bahwa aktivitas tersebut akan lebih
menyenangkan apabila dilakukan bersama
keluarga maupun teman. Hal tersebut
dapat dijelaskan terkait konteks budaya
sebagaimana diutarakan oleh Uchida, et al.
(2004; dalam Anggoro & Widhiarso, 2010)
dalam penelitiannya mengenai konstruksi
kultural kebahagiaan. Ia menemukan
bahwa cara terbaik untuk memprediksi
kebahagian dikonteks budaya timur yang
cenderung kolektivistik adalah dengan
melihat kelekatan diri atau individu dalam
hubungan sosial. Temuan penelitian ini
paralel dengan temuan dari literatur lain
yang melibatkan orang dewasa dan remaja
yang menyatakan bahwa hubungan sosial
berkorelasi
secara
signifikan
dan
merupakan prediktor dari kebahagiaan
(Holder & Coleman, 2009).
Simpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini yaitu bahwa definisi
kebahagiaan
menurut
anak
adalah
perasaan yang positif dimana sumber
kebahagiaan bagi anak yang dominan
adalah melakukan aktivitas yang disukai,
kecukupan materi, pencapaian prestasi,
relasi positif dengan keluarga dan teman.
Anak yang menganggap dirinya sangat
bahagia memiliki alasan karena ia memiliki
relasi keluarga yang positif, dapat
melakukan aktivitas yang disenangi, teman,
dan materi. Artinya, walaupun anak
menganggap bahwa materi adalah salah
satu sumber kebahagiaan mereka, namun
hal itu bukanlah hal yang dianggap paling
utama oleh anak yang sangat bahagia.
Oleh karena itu upaya meningkatkan
kebahagiaan pada anak seharusnya lebih
difokuskan pada upaya menciptakan
maupun meningkatkan relasi yang positif
dalam
setiap
keluarga,
memberi
kesempatan anak untuk dapat melakukan
aktivitas yang menyenangkan, serta
memberi kesempatan pada anak untuk
bersosialisasi dengan teman, sambil orang
tua tetap berusaha memenuhi kebutuhan
anak. Untuk penelitian selanjutnya dapat
dipertimbangkan
untuk
menggunakan
metode
pengambilan
data
berupa
wawancara,
mengingat
dengan
menggunakan
kuesioner
berupa
pertanyaan
terbuka
kurang
mampu
menggali makna yang lebih mendalam dari
jawaban yang diberikan oleh subyek.
Daftar Acuan
Abdel-Khalek, A. M. (2006). Measuring
happiness with a single-item scale.
Social Behavior and Personality: An
International Journal, 34(2), 139-150.
Allen, K. E., & Marotz, L. R. (1994).
Developmental
profiles:
Pre-birth
through eight (2nd ed.). Albany, NY:
Delmar Publishers.
Anggoro, W. J., & Widhiarso, W. (2010).
Konstruksi dan identifikasi properti
psikometris
instrumen
pengukuran
kebahagiaan
berbasis
pendekatan
indigenous psychology: Studi multitraitmultimethod. Jurnal Psikologi, 37(2),
176-188.
Chaplin, L. N. (2009). Please may I have a
bike? Better yet, may I have a hug? An
examination
of
children’s
and
adolescents’ happiness. Journal of
DEFINISI SUMBER KEBAHAGIAAN
Happiness studies, 10(5), 541-562.
Diener, E., & Biswas-Diener, R. (2008).
Happiness: Unlocking the mysteries of
psychological wealth. USA: WileyBlackwell.
Diener, E., Ng, W., Harter, J., & Arora, R.
(2010). Wealth and happiness across
the world: Material prosperity predicts
life evaluation, whereas psychosocial
prosperity predicts positive feeling.
Journal of Personality and Social
Psychology,
99(1),
52-61.
doi:10.1037/a0018066
Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective
well-being: a general overview. South
African Journal of Psychology, 39(4),
391-406.
Deiner, E., Suh, E., Lucas, R. E., & Smith,
H. L. (1999). Subjective well-being:
Three
decades
of
progress.
Psychological Bulletin, 125(2), 276-302.
Holder, M. D., & Coleman, B. (2009). The
contribution of social relationships to
children’s
happiness.
Journal
of
Happiness Studies, 10(3), 329-349.
doi:10.1007/s10902-007-9083-0
Ivens, J. (2007). The development of a
happiness measure for school children.
Educational Psychology in Practice,
23(3),
221–239.
doi:10.1080/02667360701507301
McReynolds,
K.
(2008).
Children’s
happiness. Encounter: Education for
Meaning and Social Justice, 21(1), 4348.
Oetami, P., & Yuniarti, K. W. (2011).
Orientasi kebahagiaan siswa SMA,
Tinjauan psikologi indigenous pada
siswa
laki-laki
dan
perempuan.
Humanitas (Jurnal Psikologi Indonesia),
13
8(2), 105-114.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R.
D. (2007). Human Development (10th
ed.). New York: McGraw-Hill.
Schimmel, J. (2009). Development as
happiness: The subjective perception of
happiness and UNDP’s analysis of
poverty, wealth and development.
Journal of Happiness Studies, 10(1),
93-111.
Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N.,
& Peterson, C. (2005). Positive
psychology
progress:
Empirical
validation of interventions. American
Psychologist,
60(5),
410-421.
doi:10.1037/0003-066X.60.5.410
Uchida, Y., Norasakkunkit, V., & Kitayama,
S. (2004). Cultural constructions of
happiness: Theory and empirical
evidence. Journal of Happiness Studies,
5(3), 223-239. doi:10.1007/s10902-0048785-9
Alamat surel: [email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
14
2014, Vol. XI, No. 1, 14-27, ISSN. 0853-3098
SUKIRNA
Himpunan Psikologi Indonesia
POSTTRAUMATIC GROWTH PADA ANAKANAK YANG MENGALAMI PERISTIWA
TRAUMATIK:
EKSPLORASI PERAN PERUBAHAN
KEYAKINAN DASAR, PIKIRAN RUMINATIF
DAN DUKUNGAN SOSIAL
(POSTTRAUMATIC GROWTH IN CHILDREN
WITH TRAUMATIC EXPERIENCES:
EXPLORING THE ROLE OF CHANGES IN
CORE BELIEFS, RUMINATIVE THOUGHTS,
AND SOCIAL SUPPORT)
H. S. Shinto Sukirna
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Penelitian ini mengeksplorasi peran perubahan keyakinan dasar, pikiran ruminatif dan dukungan sosial untuk
terjadinya postraumatic growth pada anak-anak. Perubahan keyakinan dasar diukur dengan Core Beliefs
Inventory. PTG diukur dengan PTG Inventory Children-Revised, pikiran ruminatif diukur dengan Ruminative
Inventory dan dukungan sosial diukur dengan Social Supports Questionnaire for Children. Hasil: ke 120 siswa
Sekolah Dasar mengalami perubahan core beliefs dan pemikiran ruminatif dalam taraf sedang. Dukungan
sosial pun mereka terima dalam taraf sedang. Perubahan core beliefs dan dukungan sosial masing-masing
berperan menyumbang sebesar 23.9 serta berkorelasi positif dengan pemikiran ruminatif. Pemikiran ruminatif
berkorelasi positif dengan PTG dan menyumbang 29% untuk terjadinya PTG. PTG yang terjadi pada anakanak tergolong tinggi dan meliputi kelima ranah.
Kata kunci: posttraumatic growth, anak-anak, keyakinan dasar, ruminasi, dukungan sosial
This study aims at identifying the roles of changes in core beliefs, ruminative thought, and social supports for
the development of PTG in children. Instrument used: Core Beliefs Inventory, PTG Inventory ChildrenRevised, Ruminative Inventory and Social Supports Questionnaire for Children. Linear regression and multiple
regression analysis used to identify relation among the variables. Results: all of the 120 elementary school
students, showed moderate changes in core beliefs and moderately high ruminative thinking. Social supports
also received in moderate amount. Changes in core beliefs and social supports, each contributed 23.9% and
positively corelated to ruminative thought. Ruminative thought positively corelated and contributed 29% in
producing PTG. PTG was found significantly high and covered all of its five domains.
Keywords: posttraumatic growth, children, core beliefs, rumination, social supports
14
POSTTRAUMATIC GROWTH
Dampak positif pengalaman traumatik
sudah banyak diteliti di kalangan orang
dewasa, namun penelitian di kalangan
anak-anak
masih
terbilang
langka.
Penelitian mengenai trauma pada anakanak masih lebih terfokus pada dampak
negatifnya
terhadap
perkembangan
kognitif, fisiologis, emosional dan tingkah
laku individu (Aldwin & Sutton, 1998;
Pynoos, Steinberg, & Wraith, 1995). Di
kalangan orang dewasa diketahui bahwa
pergulatan
dengan
trauma
dapat
berdampak positif. Perubahan positif pasca
trauma oleh Tedeschi dan Calhoun (1996)
disebut posttraumatic growth (PTG).
Perubahan positif pasca trauma yang
dimaksud merupakan perubahan yang
bersifat transformasional, bukan hanya
mengenai kemampuan bertahan atau
memulihkan diri kembali ke keadaan pra
trauma. PTG merupakan perubahan
persepsi
mengenai
terjadinya
perkembangan yang jauh lebih baik pada
diri individu, yang melampaui keadaan pra
trauma. PTG diyakini sebagai hasil
pergumulan batin individu dengan trauma
dan keadaan pasca trauma yang
dialaminya. Proses pergumulan batin
tersebut melibatkan kemampuan kognitif
untuk berpikir abstrak dan melakukan
penilaian terhadap diri dan dunia individu.
Kemampuan kognitif tersebut, pada anakanak, masih dalam proses perkembangan
(Aldwin & Sutton, 1986). Diperkirakan
bahwa
anak-anak
belum
mencapai
kemampuan kognitif yang memadai untuk
mengidentifikasi dan menilai dampak
pengalamannya (Cryder, Kilmer, Tedeschi
& Calhoun, 2006). Mengingat adanya
keterbatasan kognitif tersebut timbul
15
keraguan mengenai dapat terjadinya PTG
pada anak-anak. Keraguan tersebut
tersingkir oleh penelitian Yaskowich (2002)
yang memastikan bahwa PTG ternyata
dialami oleh anak-anak yang menderita
kanker. Berawal dari penelitian tersebut,
sampai saat ini berbagai penelitian
menemukan bahwa PTG terjadi pada anakanak dengan latar belakang pengalaman
traumatik yang beraneka ragam.
Selain pengalaman traumatik, Kilmer
(2006) mengemukakan berbagai faktor
yang terlibat dalam proses terjadinya PTG
pada model hipotetis proses terjadinya
PTG pada anak (lihat Gambar 1). Individu
menjalani kehidupan dengan berlandaskan
pada keyakinan dasar mengenai dirinya,
orang lain, dunianya dan keyakinan
mengenai hal-hal yang berada di bawah
atau di luar kendalinya. Pengalaman
traumatik diibaratkan sebagai gempa yang
mengguncang dan dapat menghancurkan
keyakinan dasar tersebut dan membuat
individu kehilangan pegangan. Usaha
adaptasi
terhadap
trauma,
yang
menghadapkan individu pada keadaan
yang amat berbeda dengan keyakinan
dasar yang dimilikinya, akan memicu
ruminasi, baik ruminasi yang bersifat
intrusif mau pun ruminasi yang disengaja.
Diperkirakan
bahwa
semakin
besar
perubahan pada keyakinan dasar individu,
akibat trauma, semakin kuat proses
ruminasi yang terjadi.
Proses
ruminasi
atau
pemikiran
berulang terus menerus, mengenai trauma
dan dampaknya terhadap diri dan
kehidupan individu merupakan proses
sentral untuk terjadinya PTG. Di dalam
proses ruminasi tersebut, pengalaman
16
SUKIRNA
dikaji ulang, dinilai, dibandingkan dengan
pengalaman lain. Proses ruminasi akan
menghasilkan
pemahaman
baru,
pengetahuan
baru,
persepsi
baru
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengalaman traumatik dan dunia individu
pasca trauma. Sejauh ini proses ruminasi
belum diteliti di kalangan anak-anak,
mengingat adanya perkiraan bahwa
kemampuan kognitif anak masih belum
memadai untuk berpikir abstrak. Jadi, perlu
dijajagi apakah proses ruminasi juga terjadi
pada anak-anak.
Selain itu, situasi stres dalam kehidupan
pasca trauma, respons orang tua,
hubungan sosial dan dukungan sosial dari
berbagai sumber di dalam mikrosistem
anak di masa pasca trauma. Dukungan
sosial dan sumber daya yang dimiliki
individu, memengaruhi proses ruminasi,
dan lebih lanjut akan memengaruhi self
system individu: self efficacy, hope dan
optimisme.
Faktor-faktor tersebut memiliki peran
daam proses terjadinya PTG (Kilmer,
2006). Mengacu pada model hipotetis
Gambar 1. Model hipotetis posttraumatic growth pada anak-anak (Kilmer, 2006)
POSTTRAUMATIC GROWTH
tersebut, penelitian ini akan menjelajahi
peran perubahan pada keyakinan dasar
yang terjadi akibat trauma, dukungan sosial
dan proses ruminasi dalam proses
terjadinya PTG pada anak-anak. Hasil
penelitian ini akan menunjukkan apakah
pada anak-anak di Indonesia yang
mengalami trauma terjadi perubahan pada
keyakinan dasar yang mereka miliki, dan
hubungannya dengan proses ruminasi dan
terjadinya PTG. Akan ditelaah juga peran
dukungan sosial terhadap proses ruminasi
dan terjadinya PTG.
Sejauh ini PTG ditemukan terjadi pada
anak-anak dengan berbagai latar belakang
pengalaman traumatik: penderita kanker
(a.l. Yaskowich, 2002; Barakat, Alderfer &
Kazak,
2006;
Turner-Sack,
2007),
kecelakaan lalulintas (Salter & Stallard,
2004), bencana alam (Milam, Ritt-Olson &
Unger, 2004; Cryder, Kilmer, Tedeschi &
Calhoun, 2006; Hafstad, Gil-Rivas, Kilmer,
& Raeder, 2010; Kilmer & Gil-Rivas, 2010;
Yu, 2010), kematian orang tua (Wolchick,
2008), konflik sosial, tindak kekerasan,
kematian, cedera fisik, penyakit di daerah
perkotaan (Icovics, Mead, Kershaw, Milan,
Lewis & Ethier, 2006), serta situasi
peperangan dan teror (Laufer & Solomon,
2006; Milam, Ritt-Olson, Tan, Unger &
Nezami, 2004). Penelitian tersebut tidak
hanya mengkonfirmasi bahwa PTG dapat
terjadi pada anak-anak, namun juga
menunjukkan PTG dapat terjadi tidak
tergantung
pada
jenis
pengalaman
traumatik yang dialami individu. Hasil
penelitian tersebut juga meneguhkan
keyakinan bahwa bukan pengalaman
traumatik itu sendiri yang menumbuhkan
PTG. Tedeschi dan Calhoun (1995)
17
mengemukakan bahwa PTG merupakan
hasil pergulatan batin individu dengan
segala hal yang dihadapi individu pasca
pengalaman traumatik.
Dalam perkembangannya, Tedeschi
dan Calhoun (2004) memperluas konsep
PTG tidak hanya terbatas pada perubahan
positif pasca peristiwa traumatik, namun
juga mencakup perubahan positif pasca
krisis kehidupan atau situasi yang
mengancam keselamatan atau integritas
hidup
seseorang.
Berbeda
dengan
resiliensi yang menunjukkan kemampuan
bangkit kembali ke kondisi pra trauma,
PTG mengacu pada perubahan positif yang
bersifat transformasional, perkembangan
positif melampaui kondisi pra trauma. PTG
yang berkembang dari pergulatan individu
dengan berbagai masalah dan perubahan
dalam
dunia-pasca-trauma
yang
dihadapinya tersebut meliputi perubahan
persepsi mengenai: 1) penghargaan yang
lebih besar terhadap kehidupan, 2)
kesadaran
memiliki
kualitas
atau
karakteristik pribadi yang positif atau lebih
baik, 3) hubungan antar pribadi yang lebih
berkualitas: lebih peduli, hangat, akrab dan
bermakna, 4) terbukanya peluang, tujuan
atau arah baru dalam kehidupan, dan 5)
perubahan positif dalam area spiritual,
keagamaan, falsafah dan makna hidup
(Calhoun & Tedeschi, 2006).
Perkembangan positif pasca trauma
yang serupa dengan yang tercakup di
dalam konsep PTG sebenarnya sudah
ditemukan dalam penelitian Oltjenbruns
(1991) di kalangan remaja yang mengalami
kematian orangtua. Dampak positif yang
mereka alami meliputi: (1) sikap lebih
menghargai kehidupan, (2) kepedulian
18
SUKIRNA
lebih besar terhadap orang yang dikasihi,
(3) ikatan emosional yang lebih kuat
dengan orang lain, (4) kualitas diri yang
lebih kuat secara emosional, (5) empati
yang lebih besar terhadap orang lain, (6)
kemampuan komunikasi yang meningkat,
dan (7) kemampuan yang lebih baik dalam
memecahkan masalah. Pada penelitian
tersebut
tidak
ditemukan
terjadinya
perubahan positif dalam ranah spiritual dan
terbukanya peluang baru seperti yang
tercakup dalam konsep PTG.
Model PTG yang diajukan Tedeschi dan
Calhoun (1996) mengemukakan peran
pengalaman traumatik ibarat berkekuatan
gempa yang mengguncang keyakinandasar individu. Guncangan yang mengubah
keyakinan-dasar inilah yang kemudian
mengawali terjadinya PTG. Hal ini sejalan
dengan pandangan Janoff-Bulman (1992)
bahwa pada intinya trauma merupakan
cerminan dari keyakinan-dasar yang
tercabik atau luluh lantak. Perubahan pada
keyakinan-dasar juga tercakup di dalam
model yang diajukan Kilmer (2006).
Keyakinan dasar atau assumptive world
merupakan serangkaian asumsi mengenai
dunia dan diri seseorang yang diyakini
dengan kuat dan berguna sebagai rujukan
dalam
mengenali,
mengantisipasi,
membuat rencana atau bertindak dalam
dunianya. Asumsi tersebut berfungsi
sebagai landasan dalam mengantisipasi
masa depan, mengarahkan perhatian dan
ingatan individu terhadap hal-hal yang
relevan, serta menjadi rujukan dalam
memaknai
suatu
informasi
baru.
Keyakinan-dasar utama dalam assumptive
world seseorang, menurut Janoff-Bulman
(1992) meliputi asumsi bahwa: (1) dunia ini
aman dan baik, (2) dunia ini bermakna, dan
(3) individu merupakan diri yang berharga.
Individu berfungsi dalam kehidupan seharihari dengan bertumpu pada asumsi
tersebut.
Ketika seseorang mengalami peristiwa
traumatik,
keyakinan-dasar
mengenai
dirinya, orang lain, hubungan dengan orang
lain dan dunianya tersebut, ibarat dilanda
gempa hebat dan dapat menjadi luluh
lantak hancur berantakan. Perubahan
besar pada keyakinan-dasar individu
merupakan indikator adanya trauma dan
merupakan prasyarat untuk terjadinya
PTG.
Kehancuran
keyakinan-dasar
membawa individu kedalam pergumulan
yang
mendorong
individu
untuk
membangun kembali keyakinan-dasar baru
yang lebih sesuai dengan dunia-pascatraumanya. Keyakinan-dasar yang baru
dibangun tersebut akan memengaruhi
interpretasi individu terhadap keadaan
pasca trauma, yang memungkinkan
terjadinya PTG. Hancurnya keyakinandasar membuat individu bergulat dalam
pemikiran ruminatif seputar trauma yang
dialaminya.
Proses ruminasi ini berperan penting
untuk terjadinya PTG karena di dalam
proses tersebut segala pengalaman pascatrauma diolah, dicoba untuk dipahami,
diintegrasikan dengan skema yang sudah
ada sebelumnya, dinilai, dibandingkan dan
disesuaikan dalam rangka membangun
keyakinan-dasar pasca trauma. Ruminasi
diartikan sebagai pemikiran yang terjadi
berulang-ulang,
disadari,
bertujuan
mencapai solusi, bukan terjadi karena ada
keharusan
atau
perintah
untuk
POSTTRAUMATIC GROWTH
melakukannya. Terdapat peneliti yang
membedakan ruminasi yang bersifat
reflektif terarah pada penemuan solusi dan
ruminasi dalam arti brooding yang
menimbulkan
kecemasan.
Ruminasi
dibedakan juga antara yang bersifat intrusif
dan yang dilakukan secara sengaja untuk
menemukan solusi atau pemahaman
seputar trauma. Proses ruminasi ditemukan
berkorelasi positif yang kuat dengan PTG.
Ruminasi yang dimaksud adalah yang
berfokus
pada
usaha
memahami
pengalaman traumatik dan dampaknya,
menemukan makna peristiwa traumatik,
usaha memodifikasi tujuan hidup dan cara
pencapaiannya
disesuaikan
dengan
berbagai perubahan keadaan pasca
traumat. Temuan ini mendukung model
PTG yang dikemukakan Tedeschi dan
Calhoun (2004). Meski ruminasi juga
diperhitungkan sebagai faktor yang perlu
ada untuk terjadinya PTG pada anak-anak
(Kilmer, 2006) data empiris mengenai
kaitan antara ruminasi dan PTG pada
anak-anak amat minim. PTG terjadi jika
proses ruminasi berisi pikiran yang
membantu individu memahami perubahan
yang terjadi, belajar dari respons emosional
yang dirasakannya, membantu individu
menafsirkan dan menemukan makna
pengalamannya dan mendukung individu
dalam mengenali aspek positif dari
pengalaman traumatik dan situasi pasca
trauma yang dialaminya (Kilmer, 2006).
Isi pikiran yang diolah proses ruminasi
bersumber pada pengalaman pascatrauma antara lain melalui dukungan sosial
pasca trauma. Dukungan sosial merupakan
komunikasi verbal dan/atau nonverbal
antara
dua
pihak
yang
berfungsi
19
mengurangi ketidakjelasan mengenai suatu
situasi, keadaan pribadi, orang lain,
hubungan individu dengan orang lain atau
situasi, dan berdampak meningkatkan
perasaan
mampu
individu
untuk
memegang kendali terhadap pengalaman
pribadinya. Dukungan sosial diketahui
berperan penting dalam menurunkan
pengaruh
negatif
stresor
dan
memperlancar penyesuaian diri individu.
Dukungan sosial tidak hanya membuat
individu merasa lebih baik atau membantu
individu dalam menghadapi kesulitan,
tetapi juga berdampak positif bagi
kesehatan fisik, psikologis dan well-being
secara umum.
Seringkali orang yang mengalami
peristiwa traumatik membutuhkan teman
bicara dan mencari dukungan dari anggota
keluarga atau teman (Rime, 1995).
Pencurahan isi pikiran dan perasaannya
kepada orang lain membuat individu
merasa lebih lega, pikiran ruminatif yang
intrusif
mengenai
trauma
menurun,
kesehatan dan well-being meningkat
dibandingkan dengan individu yang tidak
berbagi pikiran dengan orang lain (Lepore,
1997; Lepore, Silver, Wortman, &
Wayment, 1996). Sumber dukungan yang
bersikap memahami, hangat, peduli yang
tersedia di berbagai lingkungan mikro
individu diperkirakan akan memudahkan
tumbuhnya PTG. PTG dapat tumbuh
dengan adanya dukungan sosial yang
memberi rasa nyaman, merawat, mengajari
atau memberi contoh cara mengatasi
masalah dan membantu terbentuknya
keyakinan-dasar dengan berbagi pemikiran
atau cara pandang orang dewasa yang
penuh kasih dan kepedulian (Calhoun &
20
SUKIRNA
Tedeschi, 1998). Dari orang dewasa
pemberi dukungan sosial, anak-anak dapat
belajar
memahami
makna
peristiwa
traumatik, kewajaran reaksi emosional
mengganggu yang mereka alami, dan
melakukan penilaian kognitif mau pun
emosional seputar pengalaman traumatik.
Sumber atau pemberi dukungan sosial
yang baik adalah yang mendorong anak
untuk
mengungkapkan
perasaannya,
bersikap tidak menghakimi pikiran atau
perasaan individu dan memberi bantuan
instrumental mau pun informasi jika
diperlukan.
Kesemua
hal
tersebut
dipandang mendukung terjadinya proses
ruminasi konstuktif dan perkembangan
penilaian diri positif serta keyakinan
individu mengenai kompetensi dirinya.
Dukungan sosial membuat anak merasa
memiliki pegangan, meningkatkan rasa
aman dalam hubungan dengan orang lain,
memantapkan harga diri dan perasaan
mampu mengatasi masalah atau situasi
stres yang dihadapinya (Kilmer, 2006).
Dukungan sosial berperan memberi
masukan untuk proses ruminasi dan
penilaian kognitif mengenai dunia-pascatrauma yang pada gilirannya akan
mendukung terjadinya PTG. Temuan
penelitian mengenai pengaruh sumber
dukungan sosial terhadap PTG tidak
konsisten. Yaskowich (2002) menemukan
bahwa
bagi
anak-penderita-kanker
dukungan sosial dari guru merupakan
prediktor untuk terjadinya PTG. Pada anakanak di Cina, dukungan sosial secara
umum merupakan prediktor bagi terjadinya
PTG (Lau, Yeung, Yu, Mak, Liu & Zhang,
2013). Saran dan dorongan dari orang tua
untuk menggunakan positive reframing,
yaitu melihat sisi positif dari suatu kesulitan
atau musibah, untuk mengatasi dampak
bencana badai, berkaitan erat dengan
ruminasi reflektif dan PTG (Hafstad, GilRivas, Kilmer, Raeder, 2010). Selama ini
dukungan sosial dipercaya berdampak
menurunkan gangguan yang berkaitan
dengan trauma, namun sejauh mana
dukungan
sosial
berperan
sebagai
prediktor terjadinya PTG belum terungkap
dengan baik.
Tujuan utama penelitian ini adalah
untuk memeroleh gambaran mengenai
PTG pada anak usia sekolah dan kaitannya
dengan proses psikologis: perubahan
keyakinan-dasar
dan
ruminasi,
dan
dukungan sosial sebagai proses sosial.
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
menjawab pertanyaan:
1. Pengalaman traumatik apa saja yang
dialami anak usia sekolah di Depok?
2. Berapa besar perubahan keyakinandasar yang dialami anak penyintastrauma?
3. Berapa besar dukungan sosial yang
dipersepsi diperoleh anak-anak?
4. Berapa kuat proses ruminasi yang
terjadi pada anak-anak?
5. Bagaimanakah taraf PTG yang
dialami anak usia sekolah di Depok?
6. Bagaimanakah peran perubahan
keyakinan-dasar, dukungan sosial,
ruminasi dalam terjadinya PTG?
Metode
Sampel
Partisipan
penelitian
secara
keseluruhan berjumlah 120 siswa kelas 5
dan 6 Sekolah Dasar berusia antara 7-13
POSTTRAUMATIC GROWTH
tahun, yang terdiri atas 65 siswa dan 55
siswi, dan pernah mengalami peristiwa
buruk yang dirasakan masih mengganggu
saat penelitian dilakukan. Partisipan
direkrut secara purposif insidental sesuai
dengan kemudahan dan kesediaan SD
tempat siswa tersebut bersekolah.Siswa
diminta kesediaan secara sukarela menjadi
partisipan penelitian.
Pengukuran dan instrumen pengukuran
Kuesioner data pribadi dan pengalaman
traumatik.
Partisipan diminta mengisi data
pribadi yang meliputi nama, tanggal lahir,
alamat tempat tinggal, kelas dalam jenjang
pendidikan dan menuliskan pengalaman
buruk yang pernah mereka alami yang
dirasakan masih mengganggu sampai saat
penelitian dilakukan.
Core Belief Inventory (CBI)
CBI yang dikembangkan oleh Cann,
Calhoun, Tedeschi, Kilmer, Gil-Rivas,
Vishnevsky
dan
Danhauer
(2010)
merupakan inventori yang terdiri atas 9
item berupa pernyataan. CBI disusun untuk
mengukur perubahan atau guncangan
yang terjadi pada keyakinan-dasar setelah
seseorang mengalami peristiwa traumatik.
Inventori ini terdiri atas 9 pernyataan yang
menggambarkan terjadinya peninjauan
ulang atau pemikiran ulang mengenai
keyakinan-dasar individu dalam dimensi
spiritual, karakteristik manusia, hubungan
individu dengan orang lain, makna
kehidupan serta kekuatan dan kelemahan
diri. Contoh item: “Karena kejadian tersebut
saya menilai kembali secara sungguhsungguh pandangan saya mengenai
21
hubungan saya dengan orang lain”.
Partisipan diminta untuk menilai sejauh
mana setiap pernyataan sesuai atau tepat
dengan keadaan atau pengalamannya.
Kesesuaian dengan keadaan diri partisipan
dinilai dalam skala 4 titik: 0 berarti sama
sekali tidak tepat dan 3 berarti sangat tepat
atau sesuai. Rentang skor yang dapat
diperoleh berkisar antara 0- 27. Reliabilitas
internal CBI dalam penelitian ini cukup baik
(alpha = .82)
Rumination Inventory
Rumination inventory yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan versi
Indonesia dari inventori yang disusun oleh
Calhoun, Tedeschi, Cann dan McMillan
(2000). Inventori ini terdiri atas 14 item
berupa pernyataan: 7 item mengukur
ruminasi yang terjadi dulu segera setelah
peristiwa buruk dialami partisipan dan 7
item mengukur sejauh mana ruminasi
masih dialami sekarang saat penelitian
dilakukan. Contoh item: “Segera setelah
mengalami peristiwa buruk itu, dengan
sendirinya
saya
memikirkan
terus
mengenai tujuan hidup saya”. “Akibat
peristiwa buruk itu, sampai sekarang saya
masih secara otomatis memikirkan tentang
tujuan hidup saya”. Partisipan diminta
menilai ketepatan setiap pernyataan
dengan keadaan diri atau pengalaman
pribadinya dalam skala 4 titik: 0 berarti
sama sekali tidak tepat dan 3 berarti sangat
tepat atau sesuai. Rentang skor yang dapat
diperoleh berkisar antara 0- 42. Rumination
inventory memiliki reliabiliras internal yang
memadai: untuk 7 item ruminasi “waktu
dulu” diperoleh Alpha = .81 dan untuk 7
item ruminasi “saat ini” nilai alpha = .88.
22
SUKIRNA
Social Support Questionnaire for children
(SSQC)
Alat ukur ini merupakan versi bahasa
Indonesia dari kuesioner yang disusun oleh
Gordon, Thompson, Kelley, Schexnaildre
dan Burns (2011). Alat ukur ini digunakan
untuk mengidentifikasi sumber dan jenis
dukungan sosial yang diterima anak-anak
berusia antara 8-18 tahun dengan beragam
latar belakang kelompok etnis. Sumber
dukungan sosial dalam kuesioner ini
meliputi orangtua, kerabat atau saudara,
orang dewasa lain, teman sebaya, dan
saudara kandung. Jenis dukungan sosial
yang diidentifikasi meliputi dukungan
instrumental, emosional atau informasi.
Kuesioner ini terdiri atas 10 pernyataan
mengenai jenis dukungan sosial dan
kesepuluh dukungan sosial tersebut
masing-masing diberikan oleh 5 sumber
dukungan sosial seperti yang tersebut di
atas, sehingga secara keseluruhan item
dalam kuesioner ini berjumlah 50. Contoh
item: “Orangtuaku memberi kasih sayang”,
“Keluargaku membantu aku ketika aku
sakit atau terluka”, “Ada orang dewasa lain
yang
bersedia
menemani
ketika
dibutuhkan”. Partisipan diminta menilai
sejauh mana dukungan sosial dalam
pernyataan tersebut sering atau tidak
pernah diterima. Penilaian diberikan dalam
skala 4 titik: 0 berarti sama sekali tidak
tepat dan 3 berarti amat tepat. Reliabilitas
internal SSQC dalam penelitian ini
tergolong baik, dengan alpha = .978,
setelah dilakukan perbaikan formulasi
kalimat pada tiga item.
Posttraumatic Growth Inventory (PTGI)
Inventori yang digunakan merupakan
versi bahasa Indonesia dari PTGI yang
disusun oleh Tedeschi dan Calhoun (1996).
Inventori ini terdiri atas 21 item berupa
pernyataan
yang
menggambarkan
perubahan positif dalam lima ranah PTG.
Partisipan diminta menilai kesesuaian
pernyataan
dengan
keadaan
atau
pengalaman
pribadinya.
Penilaian
dilakukan dalam skala 4 titik: 0 berarti
sama sekali tidak tepat dan 3 berati sangat
sesuai dengan diri partisipan. Contoh item:
“Sekarang saya menjadi lebih bisa
mensyukuri kehidupanku”. Rentang skor
yang mungkin diperoleh dari inventori ini
adalah 0-63. PTGI untuk penelitian ini
memiliki reliabilitas internal yang tinggi
dengan koefisien alpha = .957 setelah
dilakukan perbaikan formulasi pernyataan
pada dua item.
Hasil Penelitian, Diskusi dan Saran
Peristiwa
traumatik
yang
dialami
partisipan
Jenis pengalaman buruk yang dialami
partisipan (N = 120) cukup bervariasi yang
meliputi kecelakaan kendaraan (28.3 %),
kecelakaan ketika bermain (16.7 %), jatuh
dari tempat tinggi (13.3%), tindak
kekerasan (9.2%), perkelahian (8.3%),
diserang binatang (7.5%), tersesat dan
terpisah dari orangtua di sarana publik
yang asing (3.3%), tersiram minyak panas
(1.6%) dan tenggelam di sungai (1.6%).
Pengalaman buruk tersebut sudah alami
partisipan dalam kurun waktu antara dua
sampai tiga tahun yang lalu, namun ingatan
mengenai pengalaman tersebut masih
dirasakan sangat mengganggu.
POSTTRAUMATIC GROWTH
Perubahan
keyakinan-dasar
(core
beliefs) yang dialami
Rentang skor yang mungkin diperoleh
pada pengukuran perubahan core beliefs
adalah antara 0-27 dan median = 13.5.
Perubahan core beliefs pada 120 partisipan
berkisar antara 3-25 dengan skor rata-rata
= 15.91 dan simpang baku = 4.35. Setelah
mengalami peristiwa traumatik partisipan
mengalami perubahan core beliefs dengan
kadar sedang.
Dukungan sosial
Rentang skor yang mungkin diperoleh
pada pengukuran dukungan sosial adalah
antara 0-150 dan median = 75. Skor
dukungan sosial pada 120 partisipan
berkisar antara 16-129 dengan skor ratarata = 80.76 dan simpang baku = 23.61.
Setelah mengalami peristiwa traumatik
partisipan memeroleh dukungan sosial
dalam kadar sedang.
Proses ruminasi
Rentang skor yang mungkin diperoleh
pada pengukuran proses ruminasi adalah
antara 0-42 dan median = 21. Frekuensi
proses ruminasi pada 120 partisipan
berkisar antara 3-42 dengan skor rata-rata
= 22,67 dan simpang baku = 7.63. Setelah
mengalami peristiwa traumatik partisipan
mengalami proses ruminasi dengan kadar
sedang.
Posttraumatic growth
Rentang skor yang mungkin diperoleh
pada pengukuran PTG berkisar antara 0-63
dan median = 31.5. Partisipan mengalami
PTG dalam lima ranah. Skor PTG pada
23
120 partisipan berkisar antara 9-62 dengan
skor rata-rata = 42.49 dan simpang baku =
9.21.
Setelah
mengalami
peristiwa
traumatik partisipan mengalami PTG dalam
kadar yang tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
PTG dapat terjadi pada anak-anak meski
pun pengalaman traumatik yang dialami
berbeda-beda. Jenis pengalaman traumatik
bukan
merupakan
faktor
yang
memengaruhi terjadinya PTG.
Pengalaman traumatik menyebabkan
perubahan dalam skala sedang pada
keyakinan-dasar partisipan. Ruminasi yang
mereka alami pun berskala sedang.
Partisipan rata-rata terlibat dalam proses
ruminasi dengan intensitas sedang, baik
dimasa lalu ketika peristiwa buruk baru saja
terjadi, mau pun saat ini, ketika peristiwa
buruk sudah berlalu dua sampai tiga tahun.
Partisipan
rata-rata
mendapat
dukungan sosial dalam kadar sedang.
Dukungan emosional dari orang tua
merupakan
dukungan
sosial
yang
dipersepsi paling membantu. PTG yang
terjadi pada partisipan tergolong cukup
tinggi dan meliputi kelima ranahnya.
Hubungan antara guncangan pada
keyakinan-dasar, dukungan sosial dan
ruminasi
Terdapat
hubungan
positif
yang
signifikan
antara
perubahan
pada
keyakinan-dasar dan kegiatan ruminasi.
Semakin besar perubahan keyakinan-dasar
yang dialami individu, akan semakin tinggi
frekuensi ruminasi yang terjadi.
Terdapat
hubungan
positif
yang
siginifikan antara dukungan sosial dan
ruminasi. Semakin kuat dukungan sosial
24
SUKIRNA
yang diperoleh, semakin tinggi frekuensi
proses ruminasi yang terjadi. Dukungan
sosial yang diterima akan mempergiat
proses ruminasi.
Peran keyakinan-dasar, dukungan sosial
dan ruminasi dalam proses terjadinya
PTG
Guncangan pada keyakinan-dasar dan
besarnya dukungan sosial masing-masing
memberi berkontribusi sebesar 23.9% pada
terjadinya terjadinya proses ruminasi (lihat
Gambar 2). Proses ruminasi, kemudian
memberi kontribusi sebesar 29% terhadap
terjadinya PTG.
Dalam penelitian ini PTG pada
partisipan yang berusia sekolah dijumpai
dalam
lima
ranah
seperti
yang
dikemukakan oleh Tedeschi dan Calhoun
(1996).
Anak-anak
lebih
banyak
mengemukakan perubahan positif dalam
ranah hubungan antar pribadi. Hal yang
menarik adalah terjadinya perubahan yang
relatif lebih rendah pada ranah spiritual
dibandingkan dengan keempat ranah
lainnya. Perlu pengkajian lebih lanjut
apakah hal ini menunjukkan bahwa proses
ruminasi dengan masukan dari dukungan
sosial kurang menyentuh ranah spiritual,
atau perubahan positif pada ranah spiritual
Gambar 2. Peran dan hubungan antara perubahan keyakinan dasar, dukungan
sosial, proses ruminasi dan PTG
Temuan penelitian ini memantapkan
berbagai temuan penelitian terdahulu di
negara lain bahwa PTG merupakan gejala
yang dapat terjadi pada anak-anak.
Berbeda dengan keyakinan para ahli di
masa lalu, anak-anak ternyata mampu
melakukan penilaian terhadap hal-hal
abstrak yang terjadi pada diri dan
dunianya,
meski
pun
kemampuan
kognitifnya belum berkembang secanggih
orang dewasa.
menjadi tidak tinggi karena partisipan
sudah memiliki pemahaman spiritual positif
dan tidak berubah akibat trauma.
Ruminasi sebagai proses psikologis
internal berperan penting dalam terjadinya
PTG, serupa dengan proses yang terjadi
pada orang dewasa.
Dukungan sosial cukup berperan
penting dalam menumbuhkan PTG. Orang
tua dipersepsi sebagai pemberi dukungan
sosial yang signifikan. Hal ini sejalan
POSTTRAUMATIC GROWTH
dengan
temuan
berbagai
penelitian
mengenai orang tua sebagai dukungan
sosial yang penting bagi anak dalam
mengatasi dampak negatif trauma.
Terutama dalam konteks anak-anak di
Indonesia masih sangat perlu dilakukan
penelitian untuk memahami peran sumber
daya internal lainnya dalam terjadinya
PTG. Sumber daya internal tersebut antara
lain: coping strategy, optimisme, self
efficacy, self esteem, hope atau pun
attachment. Sejauh mana kaitan PTG
dengan kepribadian pun masih terbuka
untuk diteliti. Selain itu, kaitan PTG dengan
masalah atau gangguan psikologis pasca
trauma pun masih amat terbuka untuk
dieksplorasi.
Daftar Acuan
Albrecht, T. L., & Goldsmith, D. J. (2003).
Social support, social networks, and
health. In T. L. Thompson, A. M.
Dorsey, K. I. Miller, & R. Parrott (Eds.),
Handbook of health communication (p.
263-284). New York, NY: Routledge
Aldwin, C. M. & Sutton, K. J. (1998). A
developmental
perspective
on
posttraumatic growth. In R. G.
Tedeschi, C. L. Park, & L. G. Calhoun
(Eds.), Posttraumatic growth: Positive
changes in the aftermath of crisis (p. 4363). Mahwah, NJ: Lawrence Elrbaum.
Barakat, L. P., Alderfer, M. A., & Kazak, A.
E. (2006). Posttraumatic growth in
adolescent survivors of cancer and their
mothers and fathers. Journal of
Pediatric Psychology, 31(4), 413–419.
doi:10.1093/jpepsy/jsj058
Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (1998).
25
Posttraumatic growth: Future directions.
In R. G.Tedeschi, C. L. Park, & L. G.
Calhoun (Eds.), Posttraumatic growth:
Positive changes in the aftermath of
crisis (p. 215–238). Mahwah, NJ:
Lawrence Elrbaum.
Tedeschi, R. G., Park, C. L., & Calhoun, L.
G. (Eds.). (1998). Posttraumatic growth:
Positive changes in the aftermath of
crisis. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (2006).
The foundations of posttraumatic
growth: An expanded framework. In L.
G. Calhoun, & R, G. Tedeschi (Eds.),
Handbook of posttraumatic growth:
Research and practice (p. 3–23).
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Cann, A., Calhoun, L. G., Tedeschi, R. G.,
Kilmer, R. P., Gil-Rivas, V., Vishnevsky,
T., & Danhauer, S. C. (2010). The core
beliefs inventory: A brief measure of
disruption in the assumptive world.
Anxiety, Stress & Coping, 23(1), 19-34.
Cryder, C. H., Kilmer, R. P., Tedeschi, R.
G., & Calhoun, L. G. (2006). An
exploratory study of posttraumatic
growth in children following a natural
disaster.
American
Journal
of
Orthopsychiatry, 76(1), 65-69.
Gordon, A. T. (2011). Assessing social
supports in children: Development and
initial validation of The Social Supports
Questionnaire for Children (Doctoral
dissertation). Graduate School Faculty
of Louisiana State University and
Agriculture and Mechanical College.
Hafstad, G. S., Gil-Rivas, V., Kilmer, R. P.,
& Raeder, S. (2010). Parental
adjustment, family functioning, and
posttraumatic growth among Norwegian
26
SUKIRNA
children and adolescents following a
natural disaster. American Journal of
Orthopsychiatry, 80(2), 248-257.
Ickovics, J. R., Meade, C. S., Kershaw, T.
S., Milan, S., Lewis, J. B., & Ethier, K.
A. (2006). Urban teens: Trauma,
posttraumatic growth, and emotional
distress among female adolescents.
Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 74(5), 841–850.
Janoff-Bulman, R. (1992). Shattered
Assumptions:
Towards
A
New
Psychology of Trauma. New York: Free
Press.
Kilmer, R. P. (2006). Resilience and
posttraumatic growth in children. In L.
G. Calhoun, L. G. & R. G. Tedeschi
(Eds.), Handbook of posttraumatic
growth (p. 264-288). Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum.
Kilmer, R. P., & Gil‐Rivas, V. (2010).
Exploring posttraumatic growth in
children impacted by Hurricane Katrina:
Correlates of the phenomenon and
developmental considerations. Child
Development, 81(4), 1211-1227.
Lau, J. T., Yeung, N. C., Yu, X., Zhang, J.,
Mak, W. W., & Lui, W. W. (2013).
Psychometric properties of the Chinese
version of the revised posttraumatic
growth inventory for children (PTGICR). Asia-Pacific Journal of Public
Health, 1010539513479967.
Laufer, A., & Solomon, Z. (2006).
Posttraumatic
symptoms
and
posttraumatic growth among Israeli
youth exposed to terror incidents.
Journal
of
Social
and
Clinical
Psychology, 25(4), 429-447.
Lepore, S. J. (1997). Expressive writing
moderates
the
relation
between
intrusive thoughts and depressive
symptoms. Journal of Personality and
Social Psychology, 73(5), 1030-1037.
Lepore, S. J., Silver, R. C., Wortman, C. B.,
& Wayment, H. A. (1996). Social
constraints, intrusive thoughts, and
depressive symptoms among bereaved
mothers. Journal of Personality and
Social Psychology, 70(2), 271-282.
Milam, J. E., Ritt-Olson, A., & Unger, J. B.
(2004). Posttraumatic growth among
adolescents. Journal of Adolescent
Research, 19(2), 192-204.
Oltjenbruns, K. A. (1991). Positive
outcomes of adolescents' experience
with grief. Journal of Adolescent
Research, 6(1), 43-53.
Pynoos, R. S., Steinberg, A. M., & Wraith,
R. (1995). A developmental model of
childhood traumatic stress. In D. J.
Cohen, & Colume (Eds.), Risk, disorder
and adaptation (p. 72-95). Oxford: John
Wiley & Sons.
Rime, B. (1995). Mental rumination, social
sharing, and the recovery from
emotional
exposure.
In
J.
W.
Pennebaker (Ed.), Emotion, disclosure,
and health (p. 271-292). Washington,
DC, US: American Psychological
Association.
Salter, E. & Stallard, P. (2004). The
psychological impact of traumatic
events on children. Psychological Injury
and
Law,
1(2),
138–146.
doi:
10.1007/s12207-008-9014-3
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004).
Posttraumatic
growth:
Conceptual
foundations and empirical evidence.
Psychological Inquiry, 15(1), 1-18.
POSTTRAUMATIC GROWTH
Wolchik, S. A., Coxe, S., Tein, J. Y.,
Sandler, I. N., & Ayers, T. S. (2008).
Six-year longitudinal predictors of
posttraumatic growth in parentally
bereaved adolescents and young
adults. OMEGA-Journal of Death and
Dying,
58(2),
107–128.
doi:10.2190/OM.58.2.b.
Yaskowich, K. M. (2002). Posttraumatic
growth in children and adolescents with
cancer
(Unpublished
doctoral
dissertation). University of Calgary,
Alberta.
Alamat surel: [email protected]
27
Jurnal Psikologi Indonesia
2014, Vol. XI, No. 1, 28-44, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
ASPEK-ASPEK PENUNJANG KEBAHAGIAAN
PADA WANITA HAMIL
(SUPPORTING ASPECTS ON HAPPINESS IN
PREGNANT WOMEN)
Rina Rahmatika, Endang Fourianalistyawati,
dan Sari Zakiah Akmal
Fakultas Psikologi Universitas YARSI
Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting bagi wanita, salah satu fase kehidupan wanita yang
menjadi sumber kebahagiaan adalah kehamilan. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran
kebahagiaan para ibu hamil dengan menggunakan metode indigeneous. Subjek penelitian adalah 129 ibu
hamil dan menggunakan alat ukur kuisioner kebahagiaan pada ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan tema
yang bervariasi yaitu, 7 tema muncul tentang peristiwa paling membahagiakan, tema paling banyak muncul
adalah proses kehamilan yang baik; 7 tema muncul dari alasan merasa sangat bahagia, tema paling banyak
muncul adalah kondisi janin; 7 tema muncul dari arti peristiwa yang membahagiakan, tema paling banyak
muncul adalah kehadiran anak; 3 tema muncul dari kesulitan/masalah yang harus diatasi saat hamil, tema
paling banyak muncul adalah masalah fisik; 5 tema muncul dari pendukung yang membuat bahagia selama
hamil, tema paling banyak muncul adalah keluarga; dan 3 tema muncul dari bentuk dukungan yang diberikan
saat hamil, tema paling sering muncul adalah bentuk dukungan psikologis.
Kata kunci: kebahagiaan; kehamilan; metode indijenus
Happiness is important for women; pregnancy is one of life event that will bring happiness in women. Purpose
of this study is exploring description about happiness in pregnant women with indigenous method. Sample of
this study is 129 pregnant women and this study uses happiness in pregnant women questionnaire as the
measurement tools. This study shows that there are various themes: there are 7 themes about the most
happiest experience during pregnancy, and good pregnancy process is the most frequent theme; there are 7
themes about reasons feeling happy during pregnancy, and fetus condition is the most frequent theme; there
are 7 themes about the meaning of happy experience, and child presence is the most frequent theme; there
are 3 themes about problem during pregnancy, and physical problem is the most frequent theme; there are 5
themes about supporter that bring happinnes, and family is the most frequent theme; and 3 themes about type
of support during happinnes, and psychological support is the most frequent theme.
Keywords: happinnes; pregnancy; indigenous method
28
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Kebahagiaan merupakan hal yang
sangat diinginkan oleh tiap manusia di
dunia, namun apa arti kebahagiaan
sebenarnya? Hal ini masih menjadi
perdebatan di kalangan masyarakat karena
ternyata setiap individu memiliki definisi
sendiri-sendiri dalam mendefinisikan apa
itu kebahagiaan. Schimmel (dalam Patnani,
2010) mendefinisikan kebahagiaan sebagai
suatu penilaian yang dilakukan oleh
individu
terhadap
keseluruhan
dari
penilaian
individu
terhadap
kualitas
hidupnya.
Pada
beberapa
literatur,
kebahagiaan biasanya dijelaskan dalam
penggambaran
pengalaman
positifsubjektif, atau biasa disebut dengan
kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing).
Definisi tentang kebahagiaan menurut
Seligman (2002) dapat diartikan sebagai
hasil dari psikologi positif yang mencakup
perasaan positif (seperti kebahagiaan yang
luar biasa dan kenyamanan) dan aktivitas
positif yang tidak melibatkan komponen
perasaan
(seperti
absorption
dan
engagement). Absorption dapat diartikan
sebagai melibatkan diri secara total dalam
suatu kegiatan dan mencoba untuk tidak
memikirkannya,
hanya
merasakan
(Seligman, 2002). Sedangkan engagement
sering disamakan dengan gratification atau
kepuasan. Kunci dari tercapainya suatu
kepuasan adalah melakukan sesuatu yang
mengikat kita sepenuhnya dan menyerap
kita dalam melakukan kegiatan tersebut
tanpa disertai dengan emosi positif
(Seligman, Parks, & Steen, 2004). Lebih
lanjut, Seligman (2002) mengemukakan
bahwa
kebahagiaan
memiliki
dua
komponen yaitu emosi positif (terkait masa
29
lalu dan masa yang akan datang) dan
aktivitas positif (emosi positif berkaitan
dengan kondisi saat ini).
Sejalan dengan beberapa definisi di
atas, Carr (2004) juga menyatakan bahwa
kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap
individu merupakan hal yang bersifat
subjektif, dimana masing-masing individu
memiliki ukuran dan sumber kebahagiaan
yang berbeda-beda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor budaya cukup
berperan dalam menentukan sumber
kebahagiaan seseorang. Lu dan Shih
(dalam Patnani, 2010) menyebutkan hasil
penelitiannya pada orang china di Taiwan
bahwa sumber kebahagiaan terdiri dari 9
hal yaitu: keinginan untuk dihormati,
hubungan interpersonal yang harmonis,
kepuasaan dalam kebutuhan material,
prestasi dalam bekerja, hidup yang tenang
dan memahami arti hidup, merasa lebih
senang atau beruntung dari orang lain,
pengendali
dan
aktualisasi
diri,
kesenangan dan emosi positif, dan
kesehatan secara fisik.
Selain faktor budaya, perbedaan jenis
kelamin menentukan sumber kebahagiaan
yang dimiliki inidivu. Hal ini disebutkan pula
oleh Crossley dan Langridge (dalam
Patnani, 2010) bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki sumber kebahagaiaan
yang berbeda, pada perempuan hal yang
menjadi sumber kebahagiaan adalah:
perasaan dicintai oleh orang yang dicintai,
persahabatan, rasa percaya diri, kondisi
fisik yang sehat, hubungan yang dekat
dengan keluarga dan dapat membantu
orang lain.
Perkembangan
jaman
seperti
berkembangnya peran wanita dalam dunia
30
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
kerja dan pendidikan ternyata belum terlalu
mempengaruhi keinginan wanita untuk
menjadi ibu dengan memiliki anak. Peran
sebagai ibu secara umum dianggap
sebagai sentral dari kehidupan dan
identitas
sebagai
wanita,
bahkan
disebutkan pula bahwa wanita akan
dianggap sudah meraih pencapaian hidup
dengan memiliki anak sehingga peran
sebagai ibu adalah peran yang ‘normal’
bagi seorang wanita. Hal ini pun turut
mempengaruhi bagaimana media massa
menggambarkan seorang wanita yang
bahagia adalah wanita yang memiliki anak
dan pasangan yang mendukung (Oakley,
1974; Nicolson, 1999b; Nicolson, 1990,
dalam Ogden, 2007). Dengan kehadiran
seorang
anak,
wanita
akan
mengembangkan rasa keibuan yang
dimilikinya. Bahkan pandangan yang terkini
menginginkan wanita mampu melakukan
pengasuhan
yang
intensif
terhadap
anaknya yaitu dengan memfokuskan diri
pada anak dan melakukan pengorbananpengorbanan
minat
dan
kebutuhan
personalnya untuk anak (Weiten, Llyod,
Dun, & Hammer, 2009).
Penelitian tentang kebahagiaan pada
wanita pernah dilakukan oleh Patnani
(2010) yang menunjukkan bahwa keluarga
merupakan sumber kebagaiaan yang
paling penting baik pada perempuan yang
menikah maupun perempuan yang tidak
menikah. Disebutkan lebih lanjut bahwa
pada perempuan yang telah menikah
urutan sumber kebahagiaan selanjutnya
adalah
keberadaan
anak.
Hal
ini
menunjukkan bahwa kehamilan menjadi
satu tahap dalam hidup seorang wanita
untuk mencapai pengharapan sosial
sebagai seorang ibu, selain itu bisa
menjadi tahap untuk mendapatkan sumber
kebahagiaan bagi ibu tersebut. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Blake, Kiely, Gard, ElMohandes, El-Khorazaty, & NIH-DC
Initiative (2007) pada 1044 orang wanita di
Columbia, menunjukkan bahwa 41% dari
wanita
merasa
bahagia
dengan
kehamilannya.
Kebahagiaan
tersebut
dirasakan oleh wanita yang menantikan
kehamilannya (67%), kehamilan yang tidak
tepat waktu/tidak sesuai rencana (27%)
maupun wanita yang tidak menginginkan
kehamilan (6%).
Akan tetapi, bagaimanakah sebenarnya
gambaran kebahagiaan yang dialami
seorang ibu saat hamil? Hal inilah yang
akan mejadi fokus penelitiaan kali ini
karena pengalaman saat hamil yang
dialami seorang wanita belum tentu sama
karena kehamilan sendiri memiliki dampak
dan menjadi pengalaman yang berbeda
bagi setiap wanita hamil, baik secara fisik
maupun psikologis. Kehamilan merupakan
peristiwa istimewa yang diawali oleh
pembentukan
zygot yang kemudian
membentuk embrio dan berkembang
menjadi fetus di dalam rahim hingga
melahirkan. Kehamilan normal berlangsung
sekitar 38 hingga 40 minggu yang dibagi ke
dalam 3 periode triwulan (trimester), yaitu
trimester I (pembuahan hingga minggu ke12), trimester II (minggu ke-13 hingga
minggu ke-28), dan trimester III (minggu
ke-28 hingga minggu ke-40) (Santrock,
2002). Pada minggu ke-38, kehamilan telah
memasuki rentang hari perkiraan lahir
(HPL), yaitu sekitar 2 hingga 4 minggu
terakhir (Sari & Hadjam, 2010).
31
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Proses kehamilan yang terjadi pada
wanita pada bulan-bulan awal (trimester
pertama), wanita hamil akan merasakan
tanda-tanda
kehamilan
seperti
membesarnya payudara dan berulang kali
mengalami mual di pagi hari, mual dan
muntah yang terjadi pada pagi hari atau di
waktu yang lain. Kemudian pada trimester
kedua, wanita hamil akan mengalami
penambahan ukuran pada pinggang dan
mungkin peningkatan keinginan untuk
makan, bahkan terkadang menginginkan
makanan yang sebelumnya tidak disukai.
Bulan keempat dan kelima seorang wanita
akan mulai merasakan pergerakan bayi di
perutnya. Kemudian selama bulan ketujuh
sampai kesembilan (trimester ketiga),
wanita hamil akan mengalami kondisi fisik
yang
kurang
nyaman
karena
perkembangan janin yang semakin besar
dan menyebabkan tekanan pada kandung
kemih, paru-paru dan organ lainnya.
Wanita hamil juga akan mengalami
kesulitan tidur, sakit punggung, dan kaki
yang membengkak (William, Sawyer, &
Wahlstrom, 2006).
Dari berbagai kondisi kehamilan diatas,
peneliti
ingin mengtahui
bagaimana
gambaran kebahagiaan tersebut dialami
oleh ibu hamil dengan segala kondisi fisik
dan psikologis yang menyertai kehamilan
tersebut. Hal ini menjadi penting karena
kebahagiaan itu sendiri merupakan salah
satu cerminan kesejahteraan bagi wanita,
dengan
mengetahui
gambaran
kebahagiaan yang dialami oleh seorang
wanita, khususnya pada saat hamil.
Rumusan Masalah Penelitian
Salah satu sumber kebahagian pada
wanita adalah mengalami kehamilan
karena proses tersebut akan membuat
wanita memenuhi harapan sosial sebagai
ibu dan di sisi lain sebagai saat dimana
wanita
bisa
menyalurkan
naluri
keibuannya, namun belum diketahui ada
penelitian yang mencoba menggali lebih
dalam bagaiamna sebenarnya gambaran
kebahagiaan yang dialami oleh ibu hamil
dan apa sajakah sumber-sumber dari
kebahagiaan saat hamil.
Metode
Rancangan
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan metode
penelitian indigenous, yang berusaha
mengetahui gambaran kebahagiaan pada
ibu hamil. Pengambilan data dalam
penelitian akan dilakukan dengan metode
survey dengan menggunakan kuisioner
tentang kebahagiaan saat hamil. Kuesioner
disusun berdasarkan modifikasi yang
dilakukan atas kuesioner kebahagiaan
yang telah disusun oleh Prof. Uichol Kim
dan Tim CICP dari Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada (2009). Proses
perizinan untuk menggunakan alat ukur
tersebut telah dilakukan dan pihak Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada telah
memberikan surat perizinan resmi untuk
menggunakan alat ukur tersebut. Modifikasi
terhadap alat ukur dilakukan dengan
menambahkan data demografi dalam alat
ukur tersebut dan menyempurnakan
kata/kalimat yang terdapat dalam alat ukur
tersebut.
32
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
Partisipan
Sampel penelitian ditetapkan dengan
menggunakan teknik incidental sampling
yaitu dengan menyebarkan kuesioner
kepada 150 ibu hamil yang ditemui dan
bersedia untuk berpartisipasi dalam
penelitian. Proses pengambilan data
dilakukan di dua institusi kesehatan. Dari
150 kuesioner yang disebarkan, terdapat
129 kuesioner yang layak digunakan
sebagai data penelitian.
Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis isi yang
mengharuskan
melakukan
identifikasi
contoh yang berhubungan dan penting,
tema, dan pola dalam data. Peneliti
mencari kutipan atau pengamatan yang
berjalan bersama, yakni contoh-contoh
tentang gagasan, isu, atau konsep yang
sama-sama mendasari (Patton, 2006).
Pengolahan dan analisis data dimulai
dengan mengorganisasikan data. Higlen
dan
Finley
mengungkapkan
bahwa
pengorganisasian data yang dilakukan
secara sistematis memungkinkan peneliti
untuk memperoleh kualitas data yang baik,
mendokumentasikan
analisis
yang
dilakukan, serta menyimpan data dan
analisis yang berkaitan dalam penyelesaian
penelitian (Poerwandari, 1998).
Semua data yang dikumpulkan melalui
kuisioner
anonim
bersifat
selfadministration, data tersebut kemudian
dianalisis dengan kategorisasi berdasarkan
kedekatan arti dan kemudian dimasukkan
ke dalam tema-tema yang mewakili.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dibagi menjadi
deskripsi subjek penelitian dan analisa
respon subjek terhadap masing-masing
pertanyaan pada kuesioner.
Gambar 1. Grafik gambaran tingkat kebahagiaan ibu hamil
33
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Tabel 1
Data Demografis Subjek Penelitian
Total Sangat Bahagia Bahagia Agak Bahagia
N=129
N=93
N=34
N=2
Usia ibu saat hamil (***)
20 – 30 tahun
65 %
74 %
44 %
0%
31 – 40 tahun
33 %
26 %
50 %
100 %
> 40 tahun
2%
0
6%
0
Kehamilan ke (***)
Pertama
63 %
73 %
35 %
50 %
Kedua
23 %
17 %
38 %
50 %
Ketiga
8%
5%
18 %
0
Keempat
5%
3%
9%
0
Kelima
1%
1%
0
0
Usia kehamilan
Trimester pertama
10 %
13 %
3%
0%
Trimester kedua
47 %
40 %
65 %
100 %
Trimester ketiga
41 %
45 %
32 %
0%
Kosong/ tidak ada keterangan
2%
2%
0%
0%
Pendidikan ibu
SLTP
4%
3%
6%
0%
SLTA
40 %
41 %
38 %
50 %
Diploma
16 %
13 %
21 %
50 %
S1
34 %
39 %
24 %
0%
S2
6%
4%
12 %
0%
Status Pekerjaan Ibu
Bekerja
58 %
58 %
62 %
0%
Tidak bekerja
37 %
38 %
32 %
100 %
Kosong/ tidak ada keterangan
5%
4%
6%
0%
Pengeluaran per bulan
500.000 – 1 juta
9%
11 %
6%
0%
1 juta – 2 juta
19 %
20 %
12 %
50 %
2 juta – 3 juta
36 %
35 %
37 %
50 %
3 juta – 5 juta
21 %
20 %
24 %
0%
> 5 juta
15 %
14 %
21 %
0%
TOTAL
100%
100%
100%
100%
Data demografis
*** hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan yang
signifikan (p < 0.05).
Deskripsi Tingkat Kebahagiaan dan Data
Demografis Subjek Penelitian
Data Demografis dan Tingkat Kebahagiaan
Wanita Hamil
Tabel 1 adalah data demografis subjek
penelitian
ditinjau
dari
tingkat
kebahagiaannya.
Tingkat kebahagiaan ibu hamil
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
34
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
mengetahui
bagaimana
gambaran
kebahagiaan yang dialami oleh para ibu
hamil, oleh karena itu peneliti ingin
mengetahui terlebih dahulu apakah para
subjek penelitian merasakan kebahagiaan
dengan meminta responden untuk mengisi
terlebih dahulu tingkatan kebahagiaan yang
sedang dialami. Dari hasil penelitian
didapatkan gambaran tingkat kebahagiaan
ibu hamil adalah sebagai nampak pada
Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui
bahwa 72% dari subjek penelitian
merasakan “sangat bahagia” dengan
kehamilan yang sedang dialami, 26 %
subjek
merasa
“bahagia”
dengan
kehamilannya, sementara itu 2% dari
subjek merasa agak bahagia dengan
proses kehamilannya. Respon tersebut
menunjukkan
bahwa
tingkatan
kebahagiaan yang dirasakan oleh subjek
penelitian berada pada range “agak
bahagia” hingga “sangat bahagia”.
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa
mayoritas subjek penelitian adalah ibu
hamil yang berusia antara 20 – 30 tahun
(65%) dan kehamilan yang dialami saat ini
merupakan pengalaman pertama bagi
mereka (63%). Jika ditinjau dari usia
kehamilannya, sebagian besar subjek
penelitian memasuki usia kehamilan
trimester kedua (47%) dan trimester ketiga
(41%). Sebagian besar subjek penelitian
merupakan ibu hamil dengan tingkat
pendidikan SLTA (40%) dan S1 (34%).
Ditinjau dari status pekerjaannya saat ini,
sebagian besar dari subjek penelitian
merupakan ibu bekerja (58%) dan
mayoritas subjek penelitian memiliki
pengeluaran antara 2 hingga 3 juta setiap
bulannya (36%).
Tabel 2
Tema dari peristiwa paling membahagiakan
KODING
TEMATIK
Mengetahui Kehamilan
Mengetahui Kehamilan
Menjadi Ibu
Peran Baru
Mendapatkan perhatian
Mendapatkan perhatian
Memiliki anak pertama
Memiliki anak
Kehadiran anak
Bertambah anak
Peristiwa yang dinantikan
Proses kehamilan yang nikmat
Kehamilan tanpa keluhan
Proses kehamilan yang baik
Mengetahui kondisi perkembangan janin
Mengetahui jenis kelamin
Bertambah rezeki
Pemberian Tuhan
Diberi Kepercayaan oleh Allah
Membahagiakan keluarga
Membahagiakan keluarga
Tidak terkategori:
- Jarak kelahiran tidak terlalu jauh dengan anak pertama
- Menjadi permaisuri
- Keluarga dalam kondisi seha, bahagia mempunyai keluarga kecilku yang
baru
- Alloh memberikan rezeki ini (hamil) saat saya belajar pasrah/tawakal
JUMLAH
12
18
20
33
59
6
3
5
35
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Tabel 3
Tema dari alasan merasa sangat bahagia
KODING
Akan memiliki anak
Anak pertama
Bertambahnya anak
Kondisi janin yang baik
Merasakan kehidupan di dalam tubuh
Dukungan dan perhatian suami
Keluarga senang
Menjadi Ibu
Menjalani peran perempuan
Pengalaman pertama
Peristiwa yang dinantikan
Pengalaman
lebih
baik
daripada
pengalaman hamil sebelumnya
Memberikan keturunan
Bisa hamil
Kosong
Tidak terkategori:
- Tidak semua dapat merasakan
- Jarak kehamilan tidak terlalu jauh
- Kebutuhan ekonomi mencukupi
- Bebas dari tugas sehari-hari
- Karena dengan kehamilan ini rezeki
kehamilan bertambah
- Karena anak pertama perempuan
dan calon bayinya di USG anak lakilaki
- Banyak pihak-pihak tertentu yang
membantu
Dari hasil uji beda tingkat kebahagiaan
wanita hamil ditinjau dari karakteristik
individu (data demografis), diketahui bahwa
usia ibu saat hamil (X² = 12.896, p = 0.02 <
0.05) dan urutan kehamilan (X² = 16.069, p
= 0.003 < 0.05) merupakan karakteristik
yang signifikan menunjukkan perbedaan
tingkat kebahagiaan pada wanita hamil.
Sementara itu, usia kehamilan, tingkat
pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan
tingkat sosial ekonomi (yang diukur dari
rata-rata pengeluaran per bulan) tidak
signifikan
menunjukkan
perbedaan-
TEMATIK
JUMLAH
Kehadiran anak
22
Kondisi janin
26
Mendapat dan dukungan
perhatian suami
Menyenangkan keluarga
11
Peran baru
14
Pengalaman kehamilan
21
Kemampuan reproduksi
7
Tidak terkategori
13
perbedaan tingkat
wanita hamil.
5
kebahagiaan
pada
Hasil Analisis Tema
Analisa dilakukan pada respon-respon
subjek penelitian terhadap kuisioner yang
diberikan, sehingga penentuan tema-tema
dilakukan per pertanyaan yang terdapat
pada kuisioner.
Peristiwa paling membahagiakan
Penentuan tema-tema berdasarkan
pertanyaan tentang peristiwa yang paling
36
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
membahagiakan selama proses kehamilan,
yaitu:
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil
respon dalam menjawab pertanyaan
tentang
peristiwa
yang
paling
membahagiakan selama hamil terdiri dari 7
tema, dan 1 kelompok jawaban yang tidak
terkategori masuk dalam tema yang telah
ada. Respon yang paling banyak muncul
adalah pengalaman proses kehamilan yang
baik yaitu 59 respon. Sedangkan respon
yang paling sedikit bahwa peristiwa yang
paling membahagiakan dalam kehamilan
adalah membahagiakan keluarga (3
respon).
Alasan merasa sangat bahagia
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa
jumlah tema yang terbentuk dari alasan
wanita hamil merasa sangat bahagia
adalah 7 tema dengan 1 tema tidak
terkategori yang didalamnya terdapat
respon yang tidak dapat dimasukkan dalam
tema yang lain dan respon tidak mengisi
Tabel 4.
Tema dari arti peristiwa yang membahagiakan
KODING
Menjadi wanita sempurna
Pengalaman pertama hamil
Menjadi ibu
Kehadiran anak
Mendapatkan keturunan
Keluarga lebih lengkap
Memiliki anak sehat
Memunculkan semangat
Sangat bahagia
Senang
Mendapatkan perhatian yang mengurangi
rasa sakit
Dipercaya untuk mengemban amanah
dari Tuhan
Menambah rasa syukur pada Tuhan
Karunia Tuhan
Anugerah Tuhan
Memenuhi harapan orang lain
Membahagiakan orang lain
Rumah tangga harmonis
Mendapat perhatian suami
Peristiwa sangat berarti/dinanti
Kosong
Tidak terkategori:
Sebuah kehidupan baru
Agar punya teman main
Suami giat mencari uang
Semangat hidup
Cobaan hidup
TEMATIK
JUMLAH
Pengalaman sebagai wanita
14
Kehadiran anak
51
Emosi positif
9
Pemberian Tuhan
18
Pemenuhan harapan sosial
7
Keharmonisan rumah tangga
6
Peristiwa sangat berarti
6
Tidak Terkategori
24
37
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Tabel 5.
Tema dari kesulitan dan masalah yang harus diatasi saat hamil
KODING
Tidak ada keluhan
Keluhan fisik terkait kehamilan
Perubahan fisik
Keluhan psikis
Keluhan fisik dan psikis
Kosong
Tidak terkategori:
- Masih bekerja dan jarak antara
rumah dan kantor terlalu jauh 1 - 1,5
jam di jalan
- Hampir tidak ada keluhan
- Sakit di saat hamil
- Banyak aktivitas
jawaban untuk pertanyaan tentang alasan
merasa sangat bahagia. Tema yang paling
banyak memiliki respon adalah kondisi
janin yaitu 26 respon, dan tema yang paling
sedikit
memiliki
respon
adalah
menyenangkan keluarga yaitu sebanyak 5
respon.
Arti peristiwa yang membahagiakan
Tabel 4 menunjukkan bahwa 8 tema
didapatkan berdasarkan pada respon
subjek penelitian atas pertanyaan tentang
arti peristiwa membahagiakan, dan 1
kelompok tema tidak terkategori untuk
respon yang tidak terkategori dengan tema
lainnya serta respon tidak menjawab.
Jumlah respon terbanyak berada pada
kehadiran anak yaitu 51 respon dan respon
yang paling sedikit dimiliki oleh 2 tema
yaitu keharmonisan rumah tangga (6
respon) dan peristiwa sangat berarti (6
respon).
Kesulitan dan masalah yang harus diatasi
saat hamil
Tabel 5 menunjukkan bahwa respon
TEMATIK
Tidak ada
Masalah fisik
JUMLAH
42
64
Masalah psikis
Masalah fisik dan psikis
5
2
Tidak terkategori
18
dari pertanyaan tentang kesulitan dan
masalah yang harus diatasi saat hamil
membentuk 4 tema, dan 1 kelompok tema
tidak terkategorisasi dengan respon yang
tidak dapat dikategorisasikan dengan tema
lainnya dan respon tidak menjawab. Tema
yang paling banyak memiliki respon adalah
masalah fisik yaitu sebanyak 64 respon
dan yang paling sedikit responnya adalah
masalah fisik dan psikis (2 respon).
Pendukung yang membuat bahagia selama
hamil
Tabel 6 menunjukkan bahwa 5 tema
didapatkan berdasarkan respon subjek
penelitian
pada
pertanyaan
yang
mengungkap tentang pemberi dukungan
yang membuat bahagia pada saat hamil,
dan 1 tema tidak terkategori dengan respon
tidak menjawab. Data menunjukkan bahwa
keluarga adalah respon mayoritas yang
muncul sebagai pemberi dukungan yang
membahagiakan ketika hamil (125 respon)
dan tema suami dan teman adalah tema
yang paling sedikit mendapat respon yaitu
hanya 1 respon.
38
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
Tabel 6.
Tema dari pendukung yang membuat bahagia selama hamil
KODING
Suami
Ibu
Anak
Keluarga
Suami dan Keluarga
Suami dan keluarga besar
Suami dan anak
Suami, ortu, dan mertua
Suami dan orang tua
Saudara kandung
Mertua
Suami dan ibu kandung
Suami dan teman
Suami, keluarga dan teman
Teman
Tidak ada
Kosong
Bentuk dukungan
Pada tabel 7 terlihat bahwa tema yang
muncul pada respon pertanyaan tentang
bentuk dukungan yang diberikan kepada
wanita hamil adalah 3 tema, dan 1 tema
tidak terkategori yang terdiri dari respon
yang tidak dapat dikategorikan ke dalam
tema lainnya dan respon tidak menjawab.
Respon mayoritas terdapat pada tema
dukungan psikologis yaitu sebanyak 83
respon dan dukungan sipiritual adalah
tema yang memiliki jumlah respon paling
sedikit yaitu 5 respon.
Hasil Penelitian
Penelitian
ini
mencoba
untuk
mendapatkan
gambaran
tentang
bagaimana para wanita hamil merasakan
kebahagiaan serta hal apa saja unsur yang
mendukung kebahagiaan tersebut.
TEMATIK
JUMLAH
125
Keluarga
Suami dan teman
Keluarga dan teman
Teman
Tidak ada pendukung
Tidak terkategori
1
5
3
2
2
Disebutkan oleh Lyubomirsky (dalam
Warner & Vroman, 2011) bahwa terdapat 3
tipe variabel yang dapat mempengaruhi
kebahagiaan dan salah satunya adalah
peristiwa hidup yang relevan dengan
kebahagiaan, misalnya pernikahan, status
pekerjaan.
Memiliki anak adalah salah satu tahap
yang dinanti dari sebuah pasangan yang
menikah untuk menunjang kebahagiaan
kehidupan perkawinan. Memiliki anak akan
meningkatkan kepuasan hidup orang
dewasa dan menjadi orang tua adalah
kebutuhan dasar manusia dan akan
merasa gembira setelah mengetahui
kebutuhan dasar mereka dapat tercapai
(Kenrick et al., dalam Dyrdal, Røysamb,
Nes, & Vittersø, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada 129 wanita hamil,
didapatkan data bahwa sebagian besar
(72%) dari wanita hamil merasa sangat
39
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Tabel 7.
Tema dari bentuk dukungan
KODING
Perhatian dan kasih sayang
Perhatian dan memanjakan
Memanjakan
Membahagiakan
Memberi semangat
Memberi dukungan
Mengajak pergi
Membantu dan melayani
Menemani periksa kehamilan
Suami siaga
Mendoakan
Kosong
Tidak terkategori:
- Memahami tujuan saya untuk hamil
setelah menikah
bahagia dengan proses kehamilannya. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Patnani
(2010) dan Blake et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa kehamilan merupakan
salah satu sumber kebahagiaan pada
wanita. Kebahagiaan wanita ketika hamil
sangat berkaitan dengan harapan atau
keinginannya untuk mengalami peristiwa
kehamilan. Oleh karena itu, wanita yang
mengalami kahamilan yang diharapkan
(dinantikan) akan merasakan kebahagiaan
yang lebih besar dibandingkan dengan
wanita yang hamil di waktu yang tidak
tepat, maupun kehamilan yang tidak
diinginkan (Blake et al., 2007).
Pada penelitian ini, diketahui bahwa
sebagian besar partisipan yang merasa
sangat bahagia merupakan ibu yang
mengalami kehamilan pertama (73%). Hal
ini bisa sejalan dengan suatu studi yang
mengindikasikan
bahwa
melahirkan
memiliki efek positif yang bertahap
terhadap kebahagiaan dan kelahiran anak
pertama menjadi penting dan merupakan
TEMATIK
JUMLAH
Dukungan psikologis
83
Dukungan fisik
49
Dukungan spiritual
5
Tidak terkategori
4
sumber dari kesejahteraan bagi para ibu,
namun anak selanjutnya akan mengurangi
tingkat kebahagiaan mereka (Kohler et al.,
dalam Dyrdal et al. 2011)
Sebanyak 14 responden memberikan
jawaban pengalaman menjadi ibu baru dan
wanita sebagai arti kebahagiaannya. Hal ini
sejalan dengan penelitian Sawyer et al.
(2011),
yang
menyatakan
bahwa
perubahan status dipandang sebagai hal
yang positif bagi seorang wanita. Wanita
menjadi lebih bertanggung jawab, dan
meskipun waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas bersama teman, kerabat,
suami dan di kantor menjadi berkurang,
wanita dapat menerimanya menjadi hal
yang positif. Selain itu, sebanyak 18
responden
menyatakan
bahwa
arti
kebahagiaannya
adalah
diberikan
anugerah dan karunia dari Tuhan, sebagai
pemberian dari Tuhan yang perlu disyukuri.
Dalam hasil penelitian Sawyer et al. (2011),
diketahui
bahwa
wanita
sering
menggunakan keyakinannya akan agama
40
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
dan
Tuhannya
dalam
membantu
penyesuaian diri selama kehamilan, dapat
membuat bahagia dan menjadi yakin akan
kelancaran kehamilannya.
Sebanyak 7 responden menganggap
arti
kebahagiaannya
karena
dapat
memenuhi
harapan sosial, dan
6
responden menjawab sebagai penjaga
keharmonisan keluarga. Dalam hasil
penelitian Sawyer et al. (2011) juga
diperoleh hasil yang mendukung hal
tersebut. Kehamilan menjadikan wanita
merasa senang dan gembira. Kehamilan
membuat wanita merasa tenang karena
dapat memberikan keturunan,
yang
membuat mereka diperlakukan spesial dan
lebih baik oleh keluarganya, seperti suami
dan mertua. Jika tidak memiliki anak, dapat
menyebabkan wanita memiliki risiko
diceraikan oleh suami. Selain itu, pada
hasil penelitian Sawyer et al. (2011) juga
terungkap bahwa wanita yang dapat
memberikan anak laki-laki akan lebih
mendapat perhatian lebih oleh suami dan
mertua, dibandingkan pada anak wanita.
Sebanyak 64 responden menjawab
masalah fisik, 5 masalah psikis, dan 2
gabungan keduanya, sebagai kesulitan
yang dialami pada saat hamil dan masalah
fisik menempati hal yang paling umum
dalam masa kehamilan seorang wanita.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari
Sawyer et al. (2011) yang menyatakan
bahwa banyak wanita yang menyampaikan
keluhannya terkait masalah fisik yang
dialami
selama
kehamilan.
Proses
kehamilan yang terjadi pada wanita pada
bulan-bulan awal (trimester pertama),
wanita hamil akan merasakan tanda-tanda
kehamilan seperti membesarnya payudara
dan berulang kali mengalami mual di pagi
hari, mual dan muntah yang terjadi pada
pagi hari atau di waktu yang lain. Kemudian
pada trimester kedua, wanita hamil akan
mengalami penambahan ukuran pada
pinggang dan mungkin peningkatan
keinginan untuk makan, bahkan terkadang
menginginkan makanan yang sebelumnya
tidak disukai. Bulan keempat dan kelima
seorang wanita akan mulai merasakan
pergerakan bayi di perutnya. Kemudian
selama bulan ketujuh sampai kesembilan
(trimester ketiga), wanita hamil akan
mengalami kondisi fisik yang kurang
nyaman karena perkembangan janin yang
semakin besar dan menyebabkan tekanan
pada kandung kemih, paru-paru dan organ
lainnya. Wanita hamil juga akan mengalami
kesulitan tidur, sakit punggung, dan kaki
yang membengkak. (Williams, Sawyer, &
Wahlstrom, 2006).
Usia kehamilan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan terhadap tingkat
kebahagiaan wanita hamil, mayoritas dari
responden
penelitian
memiliki
usia
kehamilan di trimester 2 (47 %) dan
trimester ketiga (41%) padahal menurut
penelitian Dyrdal et al. (2011) para ibu
akan mengalami peningkatan kepuasan
hidup saat mendekati kelahiran dan akan
berlangsung sealam 6 bulan setelah
melahirkan. Kepuasan hidup seseorang
akan menentukan kebahagiaannya, oleh
karena itu perlu dilakukan analisa yang
lebih mendalam terkait usia kehamilan dan
tingkat kebahagiaan.
Hubungan
dengan
pasangan
tampaknya menjadi hal yang penting dalam
meraih kepuasan hidup baik dari masa
transisi saat hamil maupun saat mengasuh
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
balita (Dyrdal et al. 2011). Dari hasil
penelitian didapatkan data dari pertanyaan
terkait pemberi dukungan selama hamil
sehingga
menimbulkan
kebahagiaan.
Sebanyak 125 responden menjawab suami
dan keluarga adalah hal pendukung yang
membuat wanita merasa bahagia selama
masa hamil. Disebutkan pula oleh Blake et
al. (2007) bahwa kualitas hubungan
interpersonal selama masa kehamilan dan
dukungan emosional sangat berkaitan
dengan kebahagiaan pada wanita hamil.
Dukungan emosional tersebut biasanya
berasal dari pasangan (suami) ataupun
orang terdekat lainnya
Di sisi lain, hasil penelitian Sawyer et al.
(2011) menunjukkan, para suami memiliki
persepsi bahwa kehamilan dan kelahiran
merupakan tugas utama dari wanita, dan
mereka hanya sedikit sekali terlibat dalam
proses kehamilan dan kelahiran tersebut.
Kurangnya dukungan suami ini menjadi
penyebab utama wanita merasa distress
dan tidak bahagia selama periode
kehamilannya. Hal ini menunjukkan bahwa
dukungan dan keterlibatan dari suami
khususnya dan keluarga menjadi hal utama
pendukung kebahagiaan pada wanita
hamil. Setelah diketahui bahwa hubungan
romantis akan berpengaruh seiring dengan
lahirnya anak, maka intervensi yang
ditujukan
untuk
memperkuat
dan
meningkatkan kepuasan hubungan selama
transisi masa kehidupan dianggap akan
menjadi penting (Dyrdal et al. 2011).
Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan
dan
kesehatan
mempengaruhi
kebahagiaan, dan kedua hal tersebut lebih
jauh akan berkorelasi dengan 3 variabel
lain yang pendapatan, gaya hidup dan
41
pendidikan (Kageyama, 2012). Dalam
penelitian ini belum dilakukan perbedaan
gambaran kebahagiaan berdasarkan atas
pendapatan, pendidikan dan pekerjaan
para responden karena hal tersebut
mungkin saja memberikan informasi
bermanfaat untuk memahami gambaran
bermanfaat para wanita hamil di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Dyrdal et al. (2011) dinyatakan bahwa level
kepuasan hidup yang ditemukan pada ibuibu yang ada di Norwegia dapat
disebabkan oleh kebijakan sosial dan
fasilitas menguntungkan saat menjadi
seorang ibu, contohnya jaminan kesehatan
gratis dan cuti melahirkan yg panjang yaitu
selama 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan
dapat membuat kelahiran anak dan peran
sebagai orang tua menjadi tidak terlalu
menekan dan tidak membebankan secara
ekonomi dibandingkan dengan negara lain
yang tidak menyediakan fasilitas tersebut.
Simpulan Dan Saran
Kesimpulan
Sejumlah
129
responden
dalam
penelitian ini memberikan gambaran
tentang bagaimana kebahagiaan yang
dialami oleh wanita hamil. Tingkat
kebahagiaan responden bergerak dari
tingkat agak bahagia sampai ke tingkatan
sangat bahagia dan mayoritas responden
menyatakan sangat bahagia dalam proses
kehamilannya.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa tema yang bervariasi
muncul dalam setiap
respon
dari
pertanyaan yang diberikan pada kuisioner,
7 tema muncul dari respon tentang
42
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
peristiwa paling membahagiakan yaitu (1)
mengetahui kehamilan, (2) peran bar, (3)
Mendapatkan perhatian, (4) Kehadiran
anak, (5) proses kehamilan yang baik, (6)
Pemberian Tuhan, dan (7) membahagiakan
kelaurga, dan yang paling banyak muncul
adalah proses kehamilan yang baik; 7 tema
muncul dari alasan merasa sangat bahagia
yaitu (1) kehadiran anak, (2) kondisi janin,
(3) mendapat dan dukungan perhatian
suami, (4) menyenangkan keluarga, (5)
peran baru, (6) pengalaman kehamilan, (7)
kemampuan reproduksi, dengan tema yang
paling banyak muncul adalah tentang
kondisi janin; 7 tema muncul dari arti
peristiwa yang membahagiakan dan arti
yaitu (1) pengalaman sebagai wanita, (2)
kehadiran anak, (3) emosi positif, (4)
pemberian Tuhan, (5) pemenuhan harapan
sosial, (6) keharmonisan rumah tangga, (7)
peristiwa yang sangat berarti, dan yang
paling banyak muncul adalah kehadiran
anak; 3 tema muncul dari kesulitan ada
masalah yang harus diatas saat hamil yaitu
(1) masalah fisik, (2) masalah psikis, (3)
masalah fisik dan psikis, dan yang paling
banyak muncul adalah tentang masalah
fisik; 5 tema muncul dari pendukung yang
membuat bahagia selama hamil yaitu (1)
keluarga, (2) suami dan teman, (3)
keluarga dan teman, (4) teman, (5) tidak
ada pendukung, dan tema yang paling
banyak muncul adalah keluarga; dan 3
tema muncul dari bentuk dukungan yang
diberikan saat hamil adalah (1) dukungan
psikologis, (2) dukungan fisik, (3) dukungan
spiritual, dan yang paling sering muncul
adalah bentuk dukungan psikologis.
Kesimpulan
a) Untuk praktisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai sumber data tentang gambaran
kebahagiaan para wanita hamil sehingga
dapat membantu dalam merumuskan
tentang cara-cara praktis bagi ibu hamil
dan
lingkungan
sosialnya
untuk
mempertahankan kondisi bahagia atau
justru untuk membantu menimbulkan
kebahagiaan bagi para ibu hamil yang
merasa pengalaman hamilnya sebagai
pengalaman yang tidak menyenangkan
dalam hidup.
b) Untuk peneliti selanjutnya
· Bisa menggunakan temuan penelitian
ini yaitu tema-tema yang muncul tentang
gambaran kebahagiaan wanita hamil
sebagai dasar dalam perumusan konsep
kebahagiaan wanita hamil khas Indonesia.
· Melakukan analisa mendalam terkait
data demografi wanita hamil, misalnya
umur,
urutan
kehamilan,
trimester
kehamilan dan bagaimana gambaran
kebahagiaannya.
Daftar Acuan
Blake, S. M., Kiely, M., Gard, C. C., ElMohandes, A. A. E., El-Khorazaty, M.
N., & NIH-DC Initiative. (2007).
Pregnancy intentions and happiness
among pregnant black women at high
risk for adverse infant health outcomes.
Perspectives
on
Sexual
and
ASPEK-ASPEK PENUNJANG
Reproductive Health, 39(4), 194-205.
Carr, A. (2004). Positive psychology: The
science of happiness and human
strengths.
New
York:
BrunnerRoutledge.
Dyrdal, G. M., Røysamb, E., Nes, R. B., &
Vittersø, J. (2011). Can a happy
relationship predict a happy life? A
population-based study of maternal
well-being during the life transition of
pregnancy, infancy, and toddlerhood.
Journal of Happiness Studies, 12(6),
947-962.
doi:10.1007/s10902-0109238-2
Ogden, J. (2007). Health Psychology: A
Textbook (4th ed.). UK: Open university
Press.
Kageyama, J. (2012). Happiness and sex
difference in life expectancy. Journal of
Happiness Studies, 13(5), 947-967.
Patnani, M. (2010). Kebahagiaan pada
perempuan
(Unpublished
research
report). Fakultas Psikologi Universitas
YARSI, Jakarta.
Patton, M. Q. (2006). How to use
qualitative methods in evaluation (B. P.
Priyadi, Trans.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian psikologi.
Jakarta:
Lembaga
Pengembangan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi
(LPSP3)
Universitas
Indonesia.
Santrock, J. W. (2002). Life-span
development (J. Damanik & A. Chusairi,
Trans.). Jakarta: Erlangga.
Sari, W. S., & Hadjam, M. N. R. (2010).
PuRelax
(pregnancy
auto-induced
relaxation) untuk menurunkan tingkat
43
stres kehamilan pada ibu hamil primara
trimester III (Unpublished octoral
dissertation).
Fakultas
Psikologi
Universitas Gadjah Mada: Yogykarta
Sawyer, A., Ayers, S., Smith, H., Sidibeh,
L., Nyan, O., & Dale, J. (2011).
Women's experiences of pregnancy,
childbirth, and the postnatal period in
the Gambia: A qualitative study. British
Journal of Health Psychology, 16(3),
528-541.
Schiffrin, H. H., & Nelson, S. K. (2010).
Stressed and happy? Investigating the
relationship between happiness and
perceived stress. Journal of Happiness
Studies, 11(1), 33-39.
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic
Happiness: Using the New Positive
Psychology to Realize Your Potential for
Lasting Fulfillment. New York: Free
Press.
Seligman, M. E., Parks, A. C., & Steen, T.
(2004). A balanced psychology and a
full life. Philosophical TransactionsRoyal Society of London Series B
Biological Sciences, 359(1449), 13791382. doi:10.1098/rstb.2004.1513
Warner, R. M., & Vroman, K. G. (2011).
Happiness inducing behaviors in
everyday life: An empirical assessment
of “the how of happiness”. Journal of
Happiness Studies, 12(6), 1063-1082.
Weiten, W., Dunn, D., & Hammer, E.
(2011). Psychology applied to modern
life: Adjustment in the 21st century.
USA: Cengage Learning.
Williams, B. K., Sawyer, S. C., &
Wahlstorm, C. M. (2006). Marriages,
Family & Intimate Relationship: A
Practical Introduction. USA: Pearson
44
RAHMATIKA, FOURIANALISTYAWATI, & AKMAL
Education.
Alamat surel: [email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
2014, Vol. XI, No. 1, 45-52, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PENGARUH SOSIAL: INDIKATOR
KEBERBEDAAN PADA NIAT IBU HAMIL
DALAM MENGKONSUMSI SUPLEMENTASI
BESI
(SOCIAL INFLUENCE: DIVERSITY
INDICATORS ON THE INTENTION OF
PREGNANT WOMEN TO CONSUME IRON
SUPPLEMENTATION)
Sudjatmiko Setyobudihono
Prodi Keperawatan, STIKES Cahaya Bangsa
Ermina Istiqomah
Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui individu yang memiliki pengaruh dalam proses pembuatan
keputusan ibu hamil dalam mengkonsumsi suplementasi besi. Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui
individu yang memiliki pengaruh yang diungkap dengan menggunakan kuesioner individu berpengaruh dan
kuesioner pengaruh sosial kepada 130 responden. Hasil menunjukkan bahwa suami merupakan individu
utama pada kelompok pertama yang paling memiliki pengaruh, selanjutnya Orang tua merupakan individu
utama pada kelompok kedua yang memiliki pengaruh. Ibu mertua merupakan individu utama pada kelompok
ketiga yang memiliki pengaruh pada niat ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet suplemen besi. Dari enam
faktor pengaruh sosial yang diteliti maka faktor pengaruh referensi pemberi pengaruh (influencers) merupakan
faktor yang mendominasi. Dalam membuat sebuah keputusan terkait konsumsi suplementasi besi maka
suami, orang tua da ibu mertua merupakan individu yang memberikan pengaruh terutama dalam hal sebagai
pemberi referensi.
Kata kunci: pengaruh sosial, individu berpengaruh, suplementasi besi
The study aims to find out who the individual and the value of the effect on pregnant women consume iron
supplements. Descriptive method is used to determine the individuals who have influence, expressed by using
the enclosed questionnaire of the individual who have influence and the questionnaire of social influence to
130 respondents. The results showed that the husband is the first group who has a very strong influence.
Parents are the second groups. Mother-in-law is the third group who has influence weakest to affecting the
decision to implement the consumption of iron tablets. Six social influence factors have been studied,
suggests that the referent factor is the main factor that an impact on intentions of pregnant women to
consume iron supplementation.
Keywords: social influence, influencer’s individual, iron supplementation
45
46
SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH
Zat besi adalah elemen mikro yang
penting bagi berbagai fungsi metabolisme
selular. Rata-rata berat zat besi dalam
tubuh manusia sehat adalah sekitar 40-50
mg/kg berat badan, sekitar 75% ada dalam
bentuk
erythron
sebagai
bagian
hemoglobin (Yehuda & Mostofsky, 2010).
Anemia
didefinisikan
sebagai
suatu
keadaan kadar hemoglobin di dalam darah
lebih rendah daripada nilai normal untuk
kelompok orang bersangkutan (Lynch,
2011). Anemia gizi besi merupakan
kejadian paling sering ditemui di seluruh
dunia sebagai akibat kurang gizi pangan
dan menjangkiti hampir satu setengah
hingga dua milyar orang di seluruh dunia
(Lynch, 2011). Wanita hamil secara
fisiologis terjadi peningkatan kebutuhan zat
besi, diperkirakan kebutuhan zat besi
harian akan meningkat mulai sekitar 0,8 mg
pada trisemester pertama menjadi 4-5 mg
selama trisemester kedua dan >6 mg pada
trisemester ketiga (Ramakrishnan, 2001).
Penggunaan bentuk tablet dalam program
penanggulangan anemia gizi besi masih
dipandang sebagai salah satu cara terbaik
dan efektif dalam program penanggulangan
anemia gizi besi pada ibu hamil (Zhou et
al., 2006; Agarwal et al., 2008).
Diperkirakan rata-rata temuan anemia
kehamilan di Indonesia adalah 50 sampai
70% dari jumlah ibu hamil (Noronha et al.,
2012).
Tingginya klaim pemberian tablet Fe
pada ibu hamil tidak diikuti dengan
tingginya konsumsi tablet Fe. Persentase
ibu hamil yang mendapat tablet tambah
darah (TTD) di Provinsi Kalimantan Selatan
tercatat 85,4%. Sedangkan persentase ibu
yang melaporkan minum tablet Fe adalah
sebagai berikut: lebih dari 90 hari adalah
21,2%, sehingga masih ada cukup besar
ibu hamil yang menelan tablet Fe secara
tidak teratur, yaitu sebesar 64,2%
(Kemenkes, 2010).
Pengaruh
sosial
merupakan
kekuatan dari pemberi pengaruh yang
menyebabkan perubahan sikap dan
perilaku seseorang (French & Raven,
1959). Pemahaman tentang pengaruh
sosial dalam kehidupan masyarakat adalah
menghubungkan kehadirannya dengan
budaya kolektivistiks, budaya kolektivistik
dapat memunculkan pengaruh sosial bagi
masyarakatnya (Chang et al., 2009).
Budaya
kolektivistik sangat
kentara
berkembang di negara-negara Asia,
termasuk
Indonesia.
Agar
promosi
kesehatan
mendapatkan
perubahan
perilaku yang menetap dalam jangka
panjang diperlukan suatu pendekatan
berbasis budaya setempat (Demaio, 2011).
Dalam kasus kepatuhan (atau
ketidakpatuhan) terhadap konsumsi obat,
khususnya suplementasi besi oleh ibu
hamil, terdapat beberapa keadaan spesifik.
Keberadaan
sosok
yang
memiliki
kewenangan merupakan bagian yang tak
terpisah dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia. Berdasarkan hubungan sosok
berwenang dengan subjek maka sosok
berwenang dalam kehidupan kesehatan
masyarakat Indonesia umumnya dapat
dibagi dalam 2 golongan: (1) golongan
yang secara tegas sedang memiliki
hak/kekuasaan dalam memberi perintah
dan terkait dengan perkawinan dan
keturunan, diantaranya adalah: ibu, anak,
ayah dan ibu mertua, kakek/nenek,
saudara (Galloway et al., 2002); (2)
PENGARUH SOSIAL
golongan yang secara tegas sedang
memiliki hak/kekuasaan dalam memberi
perintah dan tidak terkait dengan
perkawinan atau keturunan, diantaranya:
dokter, tenaga medis (perawat, bidan,
petugas kesehatan), tokoh agama (kyai,
guru agama) (Pye, 1985), dan ketua dalam
masyarakat (ketua suku, ketua RT, ketua
organisasi kemasyarakatan) (Prasilowati,
2000; Wild, 2006; Unni, 2008).
Dalam mempengaruhi seseorang
maka kekuatan sosial dapat dikelompokan
ke dalam enam kelompok kekuatan, yaitu:
(1) hadiah/reward, mereka memandang
sebagai sumber hadiah atau pujian; (2)
pemaksaan/coercive, mereka memandang
sebagai
sumber
hukuman
atau
pemaksaan; (3) pengesahan/legitimate,
mereka percaya bahwa seseorang memiliki
hak yang mengesahkan mereka melakukan
perilaku tertentu; (4) acuan/referent,
mereka mengidentifikasikan dengan atau
seperti seseorang, (5) pengetahuan atau
pengalaman/expert,
mereka
memiliki
persepsi bahwa orang tersebut memiliki
pengetahuan atau pengalaman spesial
bagi mereka, (6) informasi/informational
informasi yang disediakan oleh seseorang
secara mendalam dapat memaksa atau
meyakinkan mereka (Blass & Schmitt,
2001; Raven, 2008).
Penelitian disini bertujuan untuk
mengetahui individu yang berpengaruh,
serta faktor sosial yang mendominasi ibu
hamil dalam membuat keputusan untuk
mengkonsumsi suplementasi besi.
Metode
Metode deskriptif digunakan untuk
mengetahui
individu
yang
memiliki
47
pengaruh yang diungkapkan dengan
menggunakan kuesioner tertutup kepada
130
responden
ibu
hamil
yang
memeriksakan diri di 16 Puskesmas di
Banjarmasin. Analisis deskriptif digunakan
untuk mengetahui individu yang memiliki
pengaruh serta besarnya pengaruh. Faktor
pengaruh sosial, diungkapkan dengan
menggunakan angket pengaruh sosial 20
item pertanyaan. Nilai Cronbach’s alpha
menunjukkan angka 0,891.
Angket pertama berisi pernyataan
tentang individu yang memiliki pengaruh
sosial. Individu yang memiliki pengaruh
dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: (1)
kelompok 1 adalah individu yang memiliki
kemampuan paling mempengaruhi, (2)
kelompok 2 adalah individu yang memiliki
kemampuan
mempengaruhi
dibawah
kelompok ke 1; dan (3) kelompok 3 adalah
individu
yang
memiliki
kemampuan
mempengaruhi dibawah kelompok ke 1 dan
ke 2. Subyek kemudian diminta untuk
memberikan peringkat nilai terhadap
ketiganya mengenai seberapa besar
pengaruh yang diberikan oleh mereka bagi
subyek. Peringkat menggunakan skala 3
poin Likert berkisar dari 1 (tidak cukup
berpengaruh)
hingga
3
(sangat
berpengaruh). Semakin tinggi nilai maka
semakin tinggi pengaruh yang berlaku
dalam sikap yang ditunjukkan oleh subyek.
Berpedoman
pada
penelitian
yang
dilakukan oleh Galloway et al. (2002),
Prasilowati (2000) dan Unni (2008) maka
pilihan orang adalah: suami, anak, orang
tua, kakek/nenek, ibu mertua, anggota
keluarga lain, teman, dokter, perawat,
bidan, apoteker, tokoh agama, tokoh
masyarakat.
48
SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH
Angket kedua berisi pertanyaan
tentang pengaruh sosial pada seseorang
dalam melakukan proses pengobatan
merupakan
persepsi
akan
proses
pengobatan dan menjadi gambaran akan
impresi pasien akan perasaan peran sosial
dalam mempengaruhi suatu program
pengobatan. Instrumen yang digunakan
terbagi dalam 6 bagian: (1) hadiah/reward,
mereka memandang sebagai sumber
hadiah
atau
pujian;
(2)
pemaksaan/coercive, mereka memandang
sebagai
sumber
hukuman
atau
pemaksaan; (3) pengesahan/legitimate,
mereka percaya bahwa seseorang memiliki
hak yang mengesahkan mereka melakukan
perilaku tertentu; (4) acuan/referent,
mereka mengidentifikasikan dengan atau
seperti seseorang, (5) pengetahuan atau
pengalaman/expert,
mereka
memiliki
persepsi bahwa orang tersebut memiliki
pengetahuan atau pengalaman spesial
bagi mereka, (6) informasi/informational
informasi yang disediakan oleh seseorang
secara mendalam dapat memaksa atau
meyakinkan mereka (French & Raven,
1959; Raven, 2008). Menggunakan skala 5
poin dari Likert mulai dari 1 (Sangat Tidak
Setuju) hingga 5 (Sangat Setuju). Semakin
besar nilai tekanan maka akan semakin
besar pula kekuatan tekanan sosial berlaku
pada individu (Raven, 2008).
kelompok 3 (lihat pada Tabel 1).
Tabel 1
Distribusi
Individu
yang
Memiliki
Pengaruh Paling Kuat di Tiap Kelompok
Pada 130 Responden
Jumlah Persentase
kelompok 1
Suami
95
73,1
Anak
1
0,8
Orang tua
14
10,8
Ibu mertua
1
0,8
Anggota keluarga
1
0,8
Dokter
4
3,1
Bidan
14
10,8
Suami
20
15,4
Orang tua
73
56,2
Ibu mertua
9
6,9
Anggota keluarga
4
3,1
Dokter
6
4,6
Bidan
16
12,3
2
1,5
Suami
11
8,5
Anak
3
2,3
Orang tua
21
16,2
Ibu mertua
41
31,5
Kakek/nenek
2
1,5
Anggota keluarga
4
3,1
Hasil dan Pembahasan
Teman
3
2,3
Hasil menunjukkan bahwa 3 individu
utama yang paling memberikan pengaruh
dari masing-masing kelompok, yaitu: (1)
suami, individu utama dari kelompok 1; (2)
orang tua, individu utama dari kelompok 2;
dan (3) ibu mertua, individu utama dari
Dokter
9
6,9
Bidan
33
25,4
3
2,3
kelompok 2
Kader kesehatan
kelompok 3
Kader kesehatan
Sumber: Data primer diolah
Analisis
angket
pengaruh
sosial
PENGARUH SOSIAL
menunjukkan bahwa pengaruh sosial
memiliki pengaruh yang cukup tinggi
(42,3%). Sementara itu nilai pengaruh
masing-masing bagian adalah: (1) reward
memiliki pengaruh yang cukup tinggi
(33,1%); (2) coercive memiliki pengaruh
sangat rendah (38,5%); (3) legitimate
memiliki pengaruh cukup tinggi (34,6%); (4)
referent memiliki pengaruh tinggi (36,2%);
(5) experience memiliki pengaruh tinggi
(34,6%); dan (6) informational memiliki
pengaruh cukup tinggi (33,8%) (lihat pada
Tabel 2).
Analisis faktor pengaruh sosial
menunjukkan bahwa pengaruh referent
memiliki tingkat pengaruh paling tinggi
sebesar 0,833. Diikuti oleh pengaruh
legitimate (0,776), pengaruh coercive
(0,716), pengaruh informational (0,704),
pengaruh reward (0,694), dan pengaruh
experience (0,661).
Kesimpulan
Individu yang memiliki pengaruh
berdasarkan pada 3 kelompok individu
maka suami merupakan individu utama dati
kelompok 1 yang paling memiliki pengaruh.
Keputusan suami akan sangat didengar
dan dipatuhi oleh para ibu hamil. Pengaruh
lebih kecil dimiliki oleh orang tua dan ibu
mertua.
Pengaruh sosial merupakan hal
yang mempengaruhi ibu hamil dalam
melakukan
pengobatan
dengan
suplementasi besi. Ibu hamil menyatakan
bahwa pengaruh sosial memiliki pengaruh
yang cukup tinggi. Faktor referent/acuan
merupakan faktor pengaruh sosial yang
berpengaruh paling kuat.
49
Pengaruh referent ini terjadi ketika
seseorang atau masyarakat terpengaruh
karena mereka ingin menyamakan diri,
rasa hormat, kagum dan mengidentikkan
diri dengannya dan berharap dapat menjadi
seperti dirinya dengan pihak yang memiliki
pengaruh. Dalam penelitian ini, ibu hamil
menyatakan bahwa individu yang paling
memilki pengaruh referent adalah suami.
50
SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH
Tabel 2
Distribusi Besarnya Pengaruh Secara Umum dan Masing-masing Faktor
Pengaruh Sosial Pada 130 Responden
Jumlah
Secara Umum
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh reward/hadiah
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh coercive/pemaksaan
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh legitimate/
pengesahan
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh referent/acuan
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh experience/
pengalaman
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Faktor pengaruh informational/
informasi
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Sumber: Data primer diolah
Persentase
10
38
55
25
2
7,7
29,2
42,3
19,2
1,5
13
33
43
35
6
10,0
25,4
33,1
26,9
4,6
50
26
28
15
11
38,5
20,0
21,5
11,5
8,5
16
31
45
31
7
12,3
23,8
34,6
23,8
5,4
6
42
29
47
6
4,6
32,3
22,3
36,2
4,6
3
43
38
45
1
2,3
33,1
29,2
34,6
0,8
5
36
44
38
7
3,8
27,7
33,8
29,2
5,4
PENGARUH SOSIAL
Daftar Acuan
51
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Agarwal, T., Kochar, G. K., & Goel, S.
(2008). Impact of iron supplementation
on anemia during pregnancy. EthnoMedicine, 2(2), 149-151.
Lynch, S. R. (2011). Why nutritional iron
deficiency persists as a worldwide
problem. The Journal of Nutrition,
141(4), 763S-768S.
Blass, T., & Schmitt, C. (2001). The nature
of perceived authority in the Milgram
paradigm: Two replications. Current
Psychology, 20(2), 115-121.
Noronha, J. A., Al Khasawneh, E., Seshan,
V., Ramasubramaniam, S., & Raman,
S. (2012). Anemia in pregnancyconsequences and challenges: A review
of literature. Journal of South Asian
Federation
of
Obstetrics
and
Gynecology, 4(1), 64-70.
Chang, M., Feller, E., & Nimmagadda, J.
(2009). Barriers to healthcare access in
Southeast Asian community of Rhode
Island. Medicine and Health, 92(9), 310313.
Demaio, A. (2011). Local wisdom and
health promotion: Barrier or catalyst?
Asia-Pacific Journal of Public Health,
23(2), 127-132.
French, J. R. P., & Raven, B. (1959). The
bases of social power. In D. Cartwright
(Ed.), Studies in social power (p. 150167). Ann Arbor, Mich: Institute for
Social Research for Group Dynamics.
University of Michigan.
Galloway, R., Dusch, E., Elder, L., Achadi,
E., Grajeda, R., Hurtado, E., ... &
Stephen,
C.
(2002).
Women's
perceptions of iron deficiency and
anemia prevention and control in eight
developing countries. Social science &
medicine, 55(4), 529-544.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset
kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta:
Prasilowati, S. L. (2000). An analysis of
women’s education in Indonesia:
Empowerment
and
barriers
(Unpublished doctoral dissertation).
International Development Studies Saint
Mary’s University, Halifax, Canada.
Pye, M. W., & Pye, L. W. (1985). Asian
power and politics: The cultural
dimensions of authority. USA: Harvard
University Press.
Ramakrishnan, U. (Ed.). (2001). Nutritional
anemias. Boca Raton, FL: CRC Press
LLC.
Raven, B. H. (2008). The bases of power
and the power/interaction model of
interpersonal influence. Analyses of
Social Issues and Public Policy, 8(1), 122.
Unni, E. J. (2008). Development of models
to predict medication non-adherence
52
SETYOBUDIHONO & ISTIQOMAH
based on a new typology. ProQuest.
Wild, T. C., Cunningham, J. A., & Ryan, R.
M. (2006). Social pressure, coercion,
and client engagement at treatment
entry: A self-determination theory
perspective.
Addictive
Behaviors,
31(10), 1858-1872.
Yehuda, S., & Mostofsky, D. I. (Eds.).
(2010). Iron deficiency and overload:
from basic biology to clinical medicine.
New York: Humana Press.
Zhou, S. J., Gibson, R. A., Crowther, C. A.,
Baghurst, P., & Makrides, M. (2006).
Effect of iron supplementation during
pregnancy on the intelligence quotient
and behavior of children at 4 y of age:
long-term follow-up of a randomized
controlled trial. The American Journal of
Clinical Nutrition, 83(5), 1112-1117.
Alamat surel:
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
2014, Vol. XI, No. 1, 53-65, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
53
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI TERHADAP
KEPUASAN PERKAWINAN
PADA PEREMPUAN YANG BEKERJA
(NILAI KELUARGA-PEKERJAAN SEBAGAI
MEDIATOR)
Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Faturochman dan M. G. Adiyanti
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran nilai pekerjaan-keluarga (nilai positif pekerjaan-keluarga dan
konflik pekerjaan-keluarga) mendasarkan pada teori gender dan ekologi sebagai mediator pengaruh
dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada ibu yang bekerja. Hipotesis penelitian adalah model
pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi
oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan didukung dengan data empirik.
Karakteristik subjek penelitian sebagai berikut: subjek tinggal bersama dengan suami yang bekerja dan
mempunyai anak berusia di bawah 12 tahun yang tinggal bersama dengan subjek; bekerja penuh waktu;
bekerja sebagai guru, perawat dan pegawai bank. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala. Ada 4 skala yaitu skala kepuasan perkawinan, skala nilai positif keluarga-pekerjaan, skala
konflik keluarga-pekerjaan, dan skala dukungan suami. Tehnik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan: teknik analisis model persamaan struktural (Structural Equation Model disingkat SEM).
Analisis SEM yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian menunjukkan ada
pengaruh dukungan suami terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan yang bekerja dengan dimediasi
oleh nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan.
Kata kunci: dukungan suami, nilai pekerjaan-keluarga, kepuasan perkawinan
This research aims to examine the role of family-work value (family-work positive value and family-work
conflict) which is based on gender theory and ecological theory as a mediation of spousal support influence
toward marital satisfaction for working women. The hypothesis of this research husband’s support influence
toward marital satisfaction for working women that is mediated by the family-work positive value and the
family-work conflict reviewed from the gender theory and ecological theory supported also by empirical data
that forms a model of family-work value toward the working women. The characteristics of the subject of this
research are subjects who live with their husbands and take care of their under 12 years old children. The
methods to collect data are marital satisfaction scale, family-work positive value scale, family-work conflict
scale, husband’s support scale. The technique of analyzing the data is structural equation model analysis. The
result shows family-work positive value and family-work conflict are the mediators between husband’s support
and marital satisfaction.
Keywords: husband’s support, family-work value, marital satisfaction
53
54
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
Selama beberapa tahun terakhir,
peningkatan jumlah penduduk yang bekerja
didominasi oleh perempuan. Jika dilihat
berdasarkan jumlah angkatan kerja,
selama periode 2006-2008 peningkatan
jumlah angkatan kerja perempuan jauh
lebih
besar
dibandingkan
dengan
peningkatan jumlah angkatan kerja lakilaki. Jumlah angkatan kerja perempuan
pada tahun 2006 mencapai 38,6 juta orang
dan meningkat hingga 42,8 juta orang pada
tahun 2008, sementara angkatan kerja lakilaki meningkat dari 67,7 juta orang menjadi
69,1 juta orang dalam waktu yang sama.
Tahun 2009, peningkatan penduduk
perempuan yang bekerja sebesar 3,26 juta
orang sedangkan peningkatan penduduk
laki-laki yang bekerja hanya sebesar 1,21
juta orang (Sumber: BPS, Survey Angkatan
Kerja Nasional 2008 diolah Pusdatinaker).
Tingginya
peningkatan
penduduk
perempuan yang bekerja karena dorongan
ekonomi, yaitu tuntutan keluarga untuk
menambah penghasilan dan semakin
terbukanya kesempatan bekerja pada
kaum perempuan (Badan Pusat Statistik,
2008). Peningkatan pendidikan juga
mengakibatkan peningkatan perempuan
memasuki pasar tenaga kerja. Semakin
meluasnya peran perempuan dalam sektor
publik akan menimbulkan permasalahan
dalam diri perempuan. Apabila perempuan
yang bekerja menikah dan mempunyai
anak ikut membantu mencari nafkah di
sektor publik tetapi beban domestik tidak
berkurang
maka
tanggung
jawab
perempuan tersebut menjadi berganda
(Noor, 2002).
Kompleksitas permasalahan mengenai
peran perempuan yang bekerja di sektor
publik terkait dengan struktur budaya.
Dalam budaya Indonesia, seperti juga di
banyak negara dunia ketiga lain, budaya
patriarki masih sangat kental. Patriarkal
merupakan struktur yang mengabsahkan
bentuk
struktur
kekuasaan
lelaki
mendominasi
perempuan
(Koentjaraningrat, 1974). Sistem patriarkal
memisahkan peran utama antara lelaki dan
perempuan
dalam
keluarga.
Lelaki
berperan
sebagai
kepala
keluarga,
terutama bertugas di sektor publik sebagai
pencari nafkah sedangkan perempuan
terutama bertugas di sektor domestik.
Hal tersebut diperkuat dengan isi pasal
31 Undang-Undang No. 1 tahun 1974,
suami adalah kepala rumah tangga dan
isteri adalah ibu rumah tangga. Adanya
ketentuan formal-yuridis bahwa suami
adalah kepala keluarga dan isteri ibu
rumah tangga, berarti peran suami
ditentukan di sektor publik. Peran isteri
sebagai ibu rumah tangga, berarti bahwa
tempat dan kewajiban isteri adalah di
sektor
domestik
(Sadli,
2010).
Ketidaksetaraan peran perempuan dan
laki-laki membuat perempuan yang bekerja
lebih
mengalami
konflik
pekerjaankeluarga.
Berkaitan dengan peran yang dijalani,
perempuan yang bekerja dengan suami
juga bekerja lebih mengalami konflik
karena
laki-laki
dan
perempuan
mempunyai peran yang berbeda dalam
keluarga (Duxbury & Higgins, 1991; Gutek
& Searle, 1991). Hal ini didukung penelitian
Ahmad
(2005),
metaanalisis
yang
dilakukan Ford et al. (2007) dan Kossek
dan Ozeki (1998) menjelaskan perempuan
mengalami
konflik
pekerjaan-keluarga
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
karena pekerjaan laki-laki dalam keluarga
lebih fleksibel, sedangkan pekerjaan
perempuan
lebih
bersifat
rutinitas,
contohnya tanggung jawab terhadap anak
terutama usia di bawah 12 tahun.
Jenis pekerjaan yang menimbulkan
konflik pekerjaan-keluarga adalah jenis
pekerjaan melibatkan tanggung jawab
terhadap orang lain (Dierdorff & Ellington,
2008). Pekerjaan yang dengan beban kerja
ekstra dan melibatkan tanggung jawab
yang tinggi terhadap pekerjaan akan
meningkatkan konflik pekerjaan-keluarga
(Aryee, 1992). Pekerja yang bekerja di
bidang
profesional
dilaporkan
lebih
mengalami
konflik pekerjaan-keluarga
daripada pekerja yang bekerja di bidang
non profesional. Pekerjaan profesional
yang melibatkan tanggung jawab terhadap
orang lain dan melibatkan tangungjawab
yang tinggi terhadap pekerjaan antara lain
adalah pekerjaan sebagai guru, perawat
dan pegawai bank (Aycan & Eskin, 2005;
Kinnunen, et al., 2006; Noor, 2002; Noor,
2004). Guru, perawat dan pegawai bank
termasuk pekerja di sektor publik
(Wadsworth & Owens, 2007).
Berkaitan dengan status pernikahan,
perempuan yang sudah menikah dan
mempunyai anak lebih mengalami nilai
positif
pekerjaan-keluarga
daripada
perempuan
yang
belum
menikah
(Grzywacz & Marks, 2000). Perempuan ini
memperoleh keuntungan dari peran yang
dijalankan
dalam
keluarga
yaitu
mempermudah menjalankan peran di
tempat kerja.
Menurut penulis, penelitian tentang nilai
keluarga-pekerjaan yaitu nilai positif
keluarga-pekerjaan dan konflik keluarga-
55
pekerjaan perlu dilakukan untuk mengkaji
nilai positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan yang dialami oleh
perempuan yang bekerja. Penelitian
tentang nilai keluarga-pekerjaan terutama
nilai positif keluarga-pekerjaan perlu
dilakukan karena wacana tentang nilai
positif
keluarga-pekerjaan
belum
berkembang di Indonesia. Di Indonesia,
wacana tentang nilai positif keluargapekerjaan belum banyak ditulis dan diteliti.
Wacana tentang nilai positif pekerjaankeluarga tinjauan teoritis ditulis penulis di
jurnal psikologi Insight pada tahun 2008
(Soeharto, 2008) dan dilanjutkan dengan
hasil penelitian yang disajikan di jurnal
ilmiah psikologi Lembaga Penelitian
Universitas Gunadarma pada tahun 2010
(Soeharto,
2010).
Hasil
penelitian
menunjukkan ada kesesuaian model
teoritis
dengan
data
faktual yang
mengasosiasikan
dukungan
sosial
(pasangan dan tempat kerja), nilai positif
pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja
pada wanita yang bekerja.
Selain itu, kajian nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan
dilakukan agar perempuan yang bekerja ini
tidak mengalami dampak negatif dari
konflik, tapi akan memperoleh manfaat nilai
positif keluarga-pekerjaan.
Dampak yang ditimbulkan dari peran
sebagai istri, ibu atau pekerja dapat positif
apabila pekerja mengalami nilai positif
keluarga-pekerjaan yang tinggi. Manfaat
dari berbagai peran memberikan bukti
bahwa
peran
ganda
meningkatkan
kesehatan mental dan kesehatan fisik
pekerja (Barnett & Hyde, 2001). Penelitian
Tiedje, et al. (1990) menunjukkan nilai
56
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
positif pekerjaan-keluarga tinggi dan konflik
pekerjaan-keluarga
rendah
pada
perempuan yang bekerja berkaitan dengan
rendahnya depresi dan meningkatnya
kepuasan (kepuasan kerja, kepuasan
perkawinan
dan
kepuasan
sebagai
orangtua).
Konsep nilai positif pekejaan-keluarga
dan konflik pekerjaan-keluarga mengacu
pada konsep peran ganda. Orang dapat
mempunyai berbagai peran pada saat yang
bersamaan: sebagai ayah/ibu, suami/istri,
sekaligus pekerja (Voydanoff, 2002). Peran
yang dijalankan dalam pekerjaan-keluarga
tersebut
dapat
menimbulkan
nilai
pekerjaan-keluarga baik nilai positif (nilai
positif dari peran-peran yang dijalankan)
maupun nilai negatif (konflik dari peranperan yang dijalankan).
Konsep nilai positif pekejaan-keluarga
mengacu pada konsep peran yang
memberi nilai positif, pengalaman pada
peran yang satu akan meningkatkan
kemampuan untuk menjalankan peran
yang lain (Greenhaus & Powell, 2006). Nilai
positif pekerjaan-keluarga terdiri dari dua
komponen yaitu nilai positif pekerjaankeluarga
(peran
dalam
pekerjaan
mempermudah menjalankan peran dalam
keluarga) dan nilai positif keluargapekerjaan
(peran
dalam
keluarga
mempermudah menjalankan peran dalam
pekerjaan). Dalam penelitian ini, fokus
permasalahan adalah nilai positif keluargapekerjaan.
Konflik pekerjaan-keluarga merupakan
konflik antar peran, konflik timbul apabila
peran di dalam pekerjaan dan keluarga
saling
menuntut
untuk
dipenuhi,
pemenuhan peran yang satu akan
mempersulit pemenuhan peran yang lain
(Aycan & Eskin, 2005; Noor, 2002).
Menurut Aycan dan Eskin (2005), peran
dalam pekerjaan akan mempengaruhi
kehidupan
keluarga
(konflik
antara
pekerjaan-keluarga) dan sebaliknya peran
dalam keluarga akan mempengaruhi peran
dalam
pekerjaan
(konflik
keluargapekerjaan). Dalam penelitian ini, fokus
permasalahan adalah konflik keluargapekerjaan.
Nilai positif keluarga-pekerjaan dan
konflik keluarga-pekerjaan dapat dilihat
sebagai konstruk yang berdiri sendiri
(Voydanoff, 2004). Pendapat ini didukung
oleh pendapat Wadsworth dan Owens
(2007) yang menyatakan nilai positif
keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan merupakan konstruk yang
terpisah. Menurut perspektif tersebut, nilai
positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan dapat terjadi bersamasama
sehingga
walaupun
individu
mengalami konflik, secara bersamaan
individu mungkin memiliki lebih banyak
kesempatan untuk belajar dari setiap peran
yang dijalankan.
Kajian nilai positif keluarga-pekerjaan
dan konflik keluarga-pekerjaan dalam
penelitian ini bukan sebagai hasil akhir,
tetapi sebagai mediator antara dukungan
suami
sebagai
anteseden
dengan
kepuasan
perkawinan
sebagai
konsekuensi.
Model yang digunakan untuk menyusun
model penelitian tentang nilai positif dan
konflik pekerjaan-keluarga adalah model
yang dibuat oleh Aycan dan Eskin (2005);
Ford
et
al.
(2007).
Model
ini
menggambarkan dukungan suami terhadap
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
konflik keluarga-pekerjaan yang rendah.
Model ini didukung hasil penelitian Erdwins
et al. (2001), ada hubungan dukungan dari
suami dengan konflik pekerjaan-keluarga.
Dukungan dari suami yang berupa bantuan
tenaga, nasihat, dan memahami kondisi
isteri akan mengurangi konflik pekerjaankeluarga yang dialami isteri (Kim & Ling,
2001).
Penelitian Bhargava dan Baral (2009)
mengidentifikasi
dukungan
keluarga
muncul sebagai prediktor nilai positif
pekerjaan keluarga. Dukungan yang
diterima dari suami atau isteri sangat
penting artinya bagi isteri/suami untuk
meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga,
dukungan
emosi
dan
instrumental yang diperoleh dari suami
akan meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga (Voydanoff, 2004). Penelitian
Aryee et al. (2005) pada laki-laki dan
perempuan yang bekerja di India juga
menunjukkan
ada
hubungan
antara
dukungan keluarga dengan nilai positif
keluarga-pekerjaan.
Penelitian Wadsworth dan Owens
(2007)
pada
pegawai
menunjukkan
perlunya
dukungan
sosial
untuk
meningkatkan nilai positif pekerjaankeluarga, dukungan dari keluarga yaitu
suami akan berpengaruh positif terhadap
nilai positif pekerjaan-keluarga.
Model yang digambarkan oleh Hill
(2005) menunjukkan tingginya nilai positif
keluarga-pekerjaan berhubungan positif
dengan kepuasan perkawinan. Rendahnya
konflik
keluarga-pekerjaan
akan
mempengaruhi
kepuasan
perkawinan
(Aycan & Eskin, 2005). Model yang dibuat
Ford et al., (2007), menunjukkan ada
57
pengaruh
konflik
pekerjaan-keluarga
terhadap kepuasan perkawinan. Selain itu,
pengaruh konflik keluarga-pekerjaan yang
tinggi dengan kepuasan perkawinan
berdasarkan model yang dibuat Kinnunen
et al. (2006). Model tersebut sejalan
dengan penelitian Kim dan Ling (2001);
metaanalisis Kossek dan Ozeki (1998)
yang menunjukkan ada hubungan negatif
antara konflik pekerjaan-keluarga dengan
kepuasan perkawinan.
Berdasarkan model-model dan hasil
penelitian
di
atas,
peneliti
akan
menggunakan
sebagai
dasar
untuk
membangun model. Penelitian ini akan
membangun model dengan perspektif teori
peran (perspektif peran yang memberi nilai
positif, perspektif peran yang menimbulkan
konflik, perspektif gender) dan teori ekologi.
Teori peran dipilih untuk menjelaskan
masalah nilai keluarga-pekerjaan karena
melalui teori ini dapat dijelaskan peran
yang dijalankan dalam keluarga akan
memberikan
pengalaman
yang
memperkaya perempuan dalam bekerja
tetapi keterlibatan pada beberapa peran
yang dilakukan perempuan yang bekerja
juga akan menimbulkan konflik. Perspektif
gender untuk menjelaskan nilai keluargapekerjaan karena antara laki-laki dengan
perempuan mengalami pengalaman yang
berbeda tentang masalah pekerjaan dan
keluarga. Teori ekologi dipilih untuk
menjelaskan masalah nilai keluargapekerjaan karena melalui teori ini dapat
dijelaskan bahwa antara lingkungan
keluarga dan lingkungan tempat kerja
berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Berdasarkan landasan teori dapat
digambarkan model teoritis pada Gambar
58
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
1.
berusia di bawah 12 tahun yang tinggal
bersama dengan subjek; bekerja penuh
Gambar 1. Model teoritis nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang
bekerja
Hipotesis mayor yang diajukan dalam
penelitian ini adalah model pengaruh
dukungan suami terhadap kepuasan
perkawinan pada perempuan yang bekerja
dengan dimediasi oleh nilai positif
keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan didukung dengan data empirik.
Metode
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari
empat variabel: kepuasan perkawinan,
dukungan suami, nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan.
Variabel-variabel
tersebut
dibedakan
sebagai variabel endogen dan variabel
eksogen.
Variabel
endogen
dalam
penelitian ini adalah kepuasan perkawinan,
sedangkan variabel
eksogen dalam
penelitian ini adalah dukungan suami.
Variabel mediator adalah nilai positif
keluarga-pekerjaan dan konflik keluargapekerjaan yang memediasi hubungan
antara variabel eksogen dengan variabel
endogen.
Karakteristik subjek penelitian sebagai
berikut: subjek tinggal bersama dengan
suami yang bekerja dan mempunyai anak
waktu; bekerja sebagai guru, perawat dan
pegawai bank.
Jumlah subjek penelitian ini merujuk
pada analisis statistik yang digunakan,
yaitu analisis SEM (Struktural Equation
Modeling). Menurut Hair, et al. (Ghozali,
2008), jumlah subjek untuk analisis adalah
sekitar 200. Berdasarkan hal tersebut,
maka jumlah subjek penelitian diperkirakan
200 subjek. Dari 230 eksemplar skala yang
disebar ternyata 202 eksemplar skala yang
kembali dan hanya 189 eksemplar skala
yang dapat dianalisis. 13 eksemplar skala
yang tidak dapat dianalisis karena subjek
penelitian yang mengisi skala tersebut tidak
sesuai
dengan
karakteristik
subjek
penelitian. Setelah dilakukan uji asumsi
outlier maka keseluruhan subjek dalam
penelitian ini berjumlah 188 subjek.
Alat pengumpul data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skala. Ada 4
skala yaitu skala kepuasan perkawinan,
skala nilai positif keluarga-pekerjaan, skala
konflik keluarga-pekerjaan, dan skala
dukungan suami. Hasil seleksi item dan
reliabilitas adalah
a. Skala Kepuasan Perkawinan
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
Hasil seleksi item menunjukkan ke tiga
puluh sembilan item mempunyai dengan
koefisiensi korelasi bergerak dari 0,398 –
0,834. Kecuali, item nomer 36 memiliki
koefisiensi korelasi item dengan total
kurang dari 0, 300 sehingga item no 36
dianggap gugur dan tidak digunakan dalam
perhitungan
selanjutnya.
Koefisien
reliabilitas Alpha Cronbach skala kepuasan
perkawinan sebesar 0,969.
b. Skala Nilai positif Pekerjaan-Keluarga
Hasil seleksi item menunjukkan ke dua
puluh tiga item mempunyai koefisiensi
korelasi bergerak dari 0,349 – 0,713
dengan
koefisien
reliabilitas
Alpha
Cronbach sebesar 0,917.
c. Skala Konflik Pekerjaan-Keluarga
Hasil seleksi item menunjukkan ke
Sembilan
belas
item
mempunyai
koefisiensi korelasi bergerak dari 0,375 –
0,712 dengan koefisien reliabilitas Alpha
Cronbach sebesar 0,918.
d. Skala Dukungan Suami
Hasil seleksi item menunjukkan ke dua
puluh satu item mempunyai koefisiensi
korelasi bergerak dari 0,463 – 0,803
dengan
koefisien
reliabilitas
Alpha
Cronbach sebesar 0,943.
Tehnik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan: teknik analisis model
persamaan struktural (Structural Equation
Model disingkat SEM). Analisis SEM yang
digunakan adalah analisis jalur (path
analysis). Analisis jalur adalah model
persamaan struktural dengan variabel
observed atau regresi simultan dengan
59
variabel observed. Analisis jalur menguji
persamaan regresi yang melibatkan
beberapa variabel eksogen dan variabel
endogen
sekaligus
sehingga
memungkinkan
pengujian
terhadap
variabel antara. Analisis jalur juga dapat
mengukur hubungan langsung maupun
tidak langsung antar variabel dalam model
(Ghozali, 2008).
Hasil Penelitian
Berdasarkan uji model terhadap data
yang ada diperoleh hasil yang tercantum
dalam Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2.
terlihat bahwa nilai kai-kuadrat sebesar
1,382 dengan p = 0,240; nilai GFI sebesar
0,996;
nilai
AGFI
sebesar
0,963.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
yaitu nilai kai-kuadrat dengan p>0,05; nilai
GFI≥0,90); nilai AGFI≥0,90, hasil uji fit telah
memenuhi kriteria. Berdasarkan hasil
tersebut model teruji secara empiris
sehingga hipotesis mayor diterima, model
pengaruh dukungan suami terhadap
kepuasan perkawinan pada perempuan
yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai
positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan membentuk model nilai
keluarga-pekerjaan pada perempuan yang
bekerja didukung dengan data empirik.
60
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
Gambar 2. Hasil uji model nilai keluarga-pekerjaan pada perempuan yang bekerja
Hasil penelitian ini (dapat di lihat pada
Gambar 2.) menunjukkan bahwa nilai
positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan merupakan mediator
antara variabel dukungan suami dengan
kepuasan perkawinan pada perempuan
yang bekerja.
Diskusi
Model teori ini merupakan model nilai
keluarga-pekerjaan pada perempuan yang
bekerja yang ditinjau dari perpektif teori
peran dan teori ekologi untuk melihat
pengaruh dukungan suami terhadap
kepuasan perkawinan baik pengaruh
langsung atau tidak langsung melalui nilai
positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan.
Model
nilai
keluarga-pekerjaan
didasarkan pada teori peran. Peran yang
dijalankan seseorang dapat berpengaruh
positif bagi kehidupan seseorang (nilai
positif dari peran di keluarga ke peran di
pekerjaan)
tetapi
peran-peran
yang
dijalankan
seseorang
juga
dapat
menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga
(nilai negatif dari peran di keluarga ke
peran di pekerjaan) (Sieber, 1974). Nilai
keluarga-pekerjaan (nilai positif keluargapekerjaan dan konflik keluarga-pekerjaan)
ini lebih dialami perempuan karena
menurut teori gender (yang mendasarkan
pada teori peran), antara laki-laki dan
perempuan mengalami pengalaman yang
berbeda tentang masalah pekerjaan dan
keluarga (Greenhaus & Powell, 2006).
Melalui teori ekologi dapat dijelaskan
bahwa lingkungan tempat individu bekerja
dan lingkungan keluarga berinteraksi dan
saling mempengaruhi. Ada hubungan
antara pengalaman berkeluarga dengan
pengalaman bekerja, hubungan ini dapat
saling memudahkan dalam menjalankan
peran (Grzywacz & Mark, 2000).
Jika ditinjau dari teori peran yang
memberi nilai positif, bagi ibu-ibu subjek
penelitian, pengalaman dalam menjalankan
peran di rumah berhubungan penting
dengan pengalaman menjalankan peran di
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
pekerjaan dan sebaliknya. Peran-peran
yang dijalankan ibu di rumah dapat
berpengaruh
positif
bagi
kehidupan
sebagai pekerja. Perempuan yang bekerja
dapat merasakan keuntungan memiliki
beberapa peran karena ada dukungan dari
suami. Perempuan yang bekerja dapat
membawa implikasi yang positif maupun
negatif tergantung pada dinamika fungsi
keluarga dalam kehidupan perempuan
yang bekerja, apakah mendukung atau
menghambatnya.
Ditinjau dari teori ekologi menurut
Brofenbrenner (1979; 2005) ada kaitan
antara sistem mikro dengan individu.
Mikrosistem adalah lingkungan tempat
individu tinggal yang mencakup keluarga,
teman sebaya, sekolah dan lingkungan
tempat tinggal. Individu bukanlah penerima
pasif dari pengalaman dalam lingkungan
tersebut artinya individu sebagai seseorang
yang membantu membentuk lingkungan
tersebut (Santrock, 2002). Perubahan
dalam tiap sistem akan mempengaruhi halhal yang terjadi dalam pekerjaan atau
keluarga. Ada hubungan yang bersifat
relasional, segala sesuatu yang terjadi
pada salah satu anggota keluarga akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga
yang lain. Dukungan dari suami dapat
berpengaruh tidak langsung terhadap
kepuasan perkawinan pada perempuan
yang bekerja melalui nilai positif keluargapekerjaan.
Hasil penelitian juga menunjukkan ada
efek tidak langsung dukungan suami
terhadap kepuasan perkawinan dengan
(bobot regresi terstandarisasi sebesar
0,20). Hal tersebut menunjukkan nilai
positif
keluarga-pekerjaan
berperan
61
sebagai mediator bagi pengaruh dukungan
suami terhadap kepuasan perkawinan.
Pada penelitian ini, dukungan suami yang
dirasakan subjek baik yang bekerja
sebagai pegawai bank, perawat dan guru
adalah penilaian positif. Selain itu, suami
juga dirasakan memberikan dukungan
instrumental yaitu penyediaan bantuan
untuk membantu dalam keberhasilan
tugas, yang meliputi membantu dalam
pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan
anak. Dukungan dari suami yang
dipersepsi atau dirasakan, dinilai atau
diinterpretasi istri akan membuat istri
merasa memperoleh dukungan dan
merasa ada suami yang dapat diandalkan
pada saat dibutuhkan, kondisi ini akan
membuat istri merasa puas dengan
perkawinannya.
Ditinjau
dari
teori
peran
yang
menimbulkan konflik, memiliki beberapa
peran
akan
menimbulkan
konflik.
Lingkungan kerja dan keluarga sebagai
sentral aktivitas seseorang sehingga
mereka
tidak
dapat
mengabaikan
keduanya, hal ini akan menimbulkan konflik
pekerjaan-keluarga (Brofenbrenner, 2005).
Konflik
keluarga-pekerjaan
berperan
sebagai mediator bagi: pengaruh dukungan
suami terhadap kepuasan perkawinan.
Dukungan dari suami yang berupa bantuan
tenaga, nasihat, dan memahami kondisi
isteri akan mengurangi konflik pekerjaankeluarga yang dialami isteri (Kim & Ling,
2001). Selanjutnya, konflik pekerjaankeluarga yang rendah akan mempengaruhi
kepuasan perkawinan.
Model ini didukung Rodríguez-Carvajal,
Moreno-Jiménez,
Rivas-Hermosilla,
Álvarez- Bejarano dan Vergel (2010) yang
62
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
menelaah 154 artikel yang berhubungan
dengan psikologi positif di tempat kerja.
Artikel yang berhubungan dengan masalah
nilai
positif
pekerjaan
keluarga
menunjukkan ada hubungan nilai positif
pekerjaan-keluarga
dengan
kepuasan
kerja, kepuasan perkawinan, kepuasan
hidup dan kesejahteraan.
Nilai
positif
keluarga-pekerjaan
membantu perempuan yang bekerja
mencapai
keseimbangan
antara
menjalankan peran dalam keluarga dengan
peran sebagai pekerjaan. Ditinjau dari
perspektif teori gender, kemampuan ini
didukung oleh sifat feminin pada diri
perempuan. Sifat feminin terkandung sifat
fleksibel dan luwes (Handayani & Novianto,
2004). Justru dengan keluwesannya ini
perempuan dapat menyesuaikan diri dan
mengatasi
segala
situasi
yang
menghimpitnya. Jadi, ketika perempuan
harus
menjalankan beberapa peran
sekaligus yaitu menjadi ibu, isteri dan
pekerja maka perempuan ini dapat
menyesuaikan diri dan mengambil manfaat
positif
dari
beberapa
peran
yang
dijalankan.
Ditinjau dari perspektif teori ekologi,
permasalahan mengenai peran perempuan
yang bekerja di sektor publik terkait dengan
kehidupan keluarga yang di dalamnya
terdapat suami. Masalah perempuan yang
menjalankan peran di sektor publik dan
sektor domestik dapat menjadi positif
tergantung
pada
situasi
kehidupan
keluarga dalam hal ini adalah dukungan
suami. Hubungan isteri yang bekerja
dengan suaminya bersifat relasional.
Perempuan yang bekerja ini merasakan
bahwa suami memberi dukungan untuk
berkonsentrasi pada pekerjaan mereka.
Subjek penelitian ini merasakan suami
memberi dukungan yang tinggi terutama
dalam penelitian ini dukungan suami
berupa penilaian positif sehingga subjek
merasakan kepuasan perkawinan yang
tinggi.
Jadi berdasarkan model ini, dukungan
suami diperlukan perempuan yang bekerja
terutama bagi mereka yang masih
mengalami nilai positif keluarga-pekerjaan
rendah agar dapat mengambil manfaat
positif dari beberapa peran yang dijalankan
dan akhirnya meningkatkan kualitas
kehidupan keluarga (mengalami kepuasan
perkawinan).
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Model nilai keluarga-pekerjaan pada
perempuan yang bekerja menunjukkan ada
pengaruh dukungan suami terhadap
kepuasan perkawinan pada perempuan
yang bekerja dengan dimediasi oleh nilai
positif keluarga-pekerjaan dan konflik
keluarga-pekerjaan. Perpektif teori peran
(perspektif teori peran yang memperkaya,
perspektif teori peran yang menimbulkan
konflik dan perspektif teori gender) dan
teori ekologi dipakai untuk menjelaskan
model tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dibuat
rekomendasi sebagai berikut:
Nilai positif pekerjaan-keluarga dan
konflik pekerjaan-keluarga berlandaskan
teori peran dan teori ekologi. Dari
perspektif teori peran, perempuan yang
bekerja tidak hanya memperhatikan konflik
pekerjaan-keluarga tetapi juga perlu
memperhatikan nilai positif pekerjaankeluarga. Berdasarkan teori ekologi,
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
perempuan
yang
bekerja
perlu
memperhatikan hubungan interpersonal
dengan orang-orang yang ada di sekitar,
yang didalamnya terdapat dukungan yang
berupa
dukungan
emosi,
dukungan
informatif,
dukungan
instrumen
dan
penilaian positif.
Daftar Acuan
Ahmad, A. (2005). Work-family conflict
among
dual-earner
couples:
Comparisons by gender and profession.
Jurnal Psikologi Malaysia, 19, 1-12.
Aryee, S. (1992). Antecedents and
outcomes of work-family conflict among
married professional women: Evidence
from Singapore. Human Relations,
45(8), 813-837.
Aryee, S., Srinitas, E. S., & Tan, H. H.
(2005). Rhythms of life: Antecedents
and outcomes of work-family balance in
employed parents. Journal of Applied
Psychology, 90(1), 132-146.
Aycan, Z., & Eskin, M. (2005). Relative
contributions of childcare, spousal
support, and organizational support in
reducing work-family conflict for men
and women: The case of Turkey. Sex
Roles, 53(7-8), 453-471.
Badan Pusat Statistik. (2008). Keadaan
angkatan kerja di Indonesia. Jakarta:
CV Petratama Persada.
Barnett, R. C., & Hyde, J. S. (2001).
Women, men, work, and family.
American Psychologist, 56(10), 781796.
Bhargava, S., & Baral, R. (2009).
Antecedents and consequences of
63
work-family enrichment among Indian
managers.
National Academy
of
Psychology (NAOP) India Psychological
Studies, 54(3), 213–225.
Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of
human development: Experiments by
nature and design. USA: Harvard
University Press.
Bronfenbrenner, U. (Ed.). (2005). Making
human beings human: Bioecological
perspectives on human development.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications
Ltd.
Dierdorff, E. C. & Ellington, K. J. (2008). It’s
the nature of the work: Examining
behavior-based sources of work-family
conflict across occupations. Journal of
Applied Psychology, 93(4), 883-892.
Duxbury, L. E. & Higgins, C. A. (1991).
Gender differences in work-family
conflict. Journal of Applied Psychology,
76(1), 60-74.
Dyson-Washington,
F.
(2006).
The
relationship between optimism and
work-family enrichment and their
influence on psychological well-being
(Unpublished doctoral dissertation).
Drexel University.
Erdwins, C. J, Buffardi, L. C, Casper, W. J.,
& O`Brien, A. S. (2001). The
Relationship of women`s role strain to
social support, role satisfaction and selfefficacy. Family Relations, 50(3), 230238.
Ford, M. T., Heinen, B. A., & Langkamer, K.
L. (2007). Work and family satisfaction
and conflict: A meta-analysis of crossdomain relations. Journal of Applied
Psychology, 92(1), 57-80.
Ghozali, I. (2008). Model persamaan
64
SOEHARTO, FATUROCHMAN, & ADIYANTI
struktural, konsep & aplikasi dengan
program AMOS 16.0. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Greenhaus, J. H. & Powell, G. N. (2006).
When work and family are allies: A
theory of work-family enrichment.
Academy of Management Review,
31(1), 72-92.
Grzywacz, J. G., & Marks, N. F. (2000).
Reconceptualizing
the
work–family
interface: An ecological perspective on
the correlates of positive and negative
spillover between work and family.
Journal
of
Occupational
Health
Psychology, 5(1), 111-126.
Gutek, B. A., Searle, S., & Klepa, L. (1991).
Rational
versus
gender
role
explanations for work-family conflict.
Journal of Applied Psychology, 76(4),
560-568.
Handayani, C. S. & Novianto, A. (2004).
Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Hill, E. J. (2005). Work-family facilitation
and conflict, working fathers and
mothers, work-family stressors and
support. Journal of Family Issues, 26(6),
793-819.
Judge, T. A., & Colquitt, J. A. (2004).
Organizational justice and stress: The
mediating role of work-family conflict.
Journal of Applied Psychology, 89(3),
395-404.
Kim, J. L. S. & Ling, C. S. (2001). Workfamily conflict of women entrepreneurs
in Singapore. Women in Management
Review, 16(5), 204-221.
Kinnunen, U., Feldt, T., Geurts, S., &
Pulkkinen, L. (2006). Types of workfamily interface: well-being correlates of
negative and positive spillover between
work and family. Scandinavian Journal
of Psychology, 47(2), 149-162.
Koentjaraningrat (1974). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kossek, E. E., & Ozeki, C. (1998). Workfamily conflict, policies, and the job-life
satisfaction relationship: A review and
directions for organizational behaviorhuman resources research. Journal of
Applied Psychology, 83(2), 139-149.
Noor, M. N. (2002). Work-family conflict,
locus of control, and women’s wellbeing: Tests of altenative pathways.
The Journal of Social Psychology,
142(5), 645-662.
Noor, M. N. (2004). Work-family conflict,
work- and family-role salience, and
women’s well-being. The Journal of
Social Psychology, 144(4), 389-406.
Pusdatinaker. (2011). Survey Angkatan
Kerja Nasional 2008, 2009, 2010, 2011.
National Institute of Mental Health. (1990).
Clinical training in serious mental illness
(DHHS Publication No. ADM 90-1679).
Washington, DC: U.S. Government
Printing Office.
Rodríguez-Carvajal, R., Moreno-Jiménez,
B., de Rivas-Hermosilla, S., ÁlvarezBejarano, A., & Vergel, A. I. S. (2010).
Positive psychology at work: Mutual
gains for individuals and organizations.
Revista de Psicología del Trabajo y de
las Organizaciones, 26(3), 235-253.
doi:10.5093/tr2010v26n3a7
Sadli, S. (2010). Berbeda tetapi setara:
Pemikiran tentang kajian perempuan.
Jakarta: PT Gramedia.
Santrock, J. W. (2002). Life-span
Development. McGraw-Hill College.
PENGARUH DUKUNGAN SUAMI
Sieber, S. D. (1974). Towards a theory of
role
accumulation.
American
Sociological Review, 39(4), 567-578.
Soeharto, T. N. E. D. (2008). Nilai positif
pekerjaan-keluarga: Tinjauan
teori.
Jurnal Insight, 6(2), 165-177.
Soeharto, T. N. E. D. (2010). Dukungan
sosial dan kepuasan kerja yang
dimediasi oleh nilai positif pekerjaankeluarga pada wanita bekerja. Jurnal
ilmiah Psikologi Lembaga Penelitian
Universitas Gunadarma, 4(1), 44-54.
Tiedje, L. B., Wortman, C. B., Downey, G.,
Emmons, C., Biernat, M. & Lang, E.
(1990). Women with multiple roles:
Role-compatibility
perceptions,
satisfaction, and mental health. Journal
of Marriage and the Family, 52(1), 6372.
Undang-Undang Republik Indonesia No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Voydanoff, P. (2002). Linkages between
the work-family interface and work,
family, and individual outcomes: An
integrative model. Journal of Family
Issues, 23(1), 138-164.
Voydanoff, P. (2004). The effects of work
demands
and
resources
on
work‐to‐family conflict and facilitation.
Journal of Marriage and Family, 66(2),
398-412.
Wadsworth, L. L., & Owens, B. P. (2007).
The effects of social support on work–
family enhancement and work–family
conflict in the public sector. Public
Administration Review, 67(1), 75-87.
Alamat surel: [email protected]
65
Jurnal Psikologi Indonesia
2014, Vol. XI, No. 1, 66-75, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
SEKSUAL, SEXTING, DAN PERILAKU SEKS
BERISIKO PADA PELAKU SEXTING TIPE
TWO-WAY SEXTERS
(SEXUAL SENSATION SEEKING, SEXTING,
AND RISKY SEXUAL BEHAVIOR IN TWO-WAY
SEXTERS)
Wahyu Rahardjo, Indria Hapsari dan Maizar Saputra
Universitas Gunadarma, Jakarta
Perilaku seks berisiko kian lazim dilakukan oleh banyak orang saat ini. Sementara itu di dalam beberapa
penelitian terdahulu, muncul pula sexting atau perilaku berbagi pesan, gambar, foto, dan video dari telepon
genggam dengan unsur seksualitas sebagai fenomena sosial baru yang kerap dilakukan oleh pelaku perilaku
seks berisiko. Penelitian ini bertujuan melihat peran kecenderungan mencari sensasi seksual dan sexting
terhadap perilaku seks berisiko pada pelaku sexting yang menerima dan juga mengirimkan konten seksual
melalui pesan, gambar, foto, dan video dari telepon genggam. Penelitian ini melibatkan 89 orang partisipan
pria dan wanita yang terdiri dari mahasiswa dan karyawan dan wirausahawan dengan orientasi seks
heteroseksual, biseksual dan gay. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah regresi dan uji beda dengan
Anova. Beberapa hasil penelitian yang ditemukan adalah (1) sexting tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan mencari sensasi seksual dan perilaku seks berisiko, (2) kecenderungan mencari sensasi
seksual berpengaruh terhadap perilaku seks berisiko, (3) terdapat perbedaan jumlah hubungan seks ditinjau
dari jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan status pernikahan, dan (4) terdapat perbedaan jumlah
pasangan seks dan kecenderungan mencari sensasi seksual ditinjau dari jenis kelamin dan orientasi seks.
Hasil penelitian juga menyiratkan bahwa sexting merupakan perilaku yang biasa dilakukan oleh pria dan
wanita, apa pun orientasi seks, pekerjaan, latar belakang pendidikan, status pernikahan, dan status pacaran
partisipan. Sementara itu juga diketahui bahwa figur yang paling banyak disebut sebagai tujuan sexting
adalah pasangan tidak tetap dan teman biasa dari jenis kelamin yang sama. Adapun motivasi melakukan
sexting yang paling sering disebut adalah menggoda pasangan, sekedar berbagi, dan usaha awal agar dapat
berhubungan seks.
Kata kunci: perilaku seks berisiko, kecenderungan mencari sensasi seksual, sexting
Risky sexual behavior is easier to be committed by the people nowadays. Meanwhile, in the previous
researches, sexting or the behavior of sharing sexual suggestive text, picture, photo, and video from mobile
phone is the new social phenomenon committed by people involving risky sexual behavior. This research aim
is to measure the role of sexual sensation seeking and sexting to risky sexual behavior in people who receive
and send sexual content in text, picture, photo, and video from mobile phone. The participants of this research
are 89 males and females who work as college students, employees, and entrepreneurs, with sexual
orientation as heterosexuals, bisexuals and gays. Regression and one way Anova is used as analysis
technique. Some of the results are (1) sexting has no effect on sexual sensation seeking and risky sexual
66
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
67
behavior, (2) sexual sensation seeking has effect on risky sexual behavior, (3) there are statictical differences
in the amount of sexual intercourse based on sex, educational background, and marital status, and (4) there
are statictical differences in the amount of sexual partners and sexual sensation seeking based on sex and
sexual orientation. Another result shows that sexting is a kind of behavior committed by both male and female
no matter his/her sexual orientation, educational background, marital status and dating status. On the other
hand, casual partners and friends from the same sex are mentioned as figure the participant often committed
the sexting. Meanwhile, the motivation for doing sexting are for teasing the partner, just sharing the sexual
contents, and also initial effort in engaging sexual intercourse.
Keywords: risky sexual behavior, sexual sensation seeking, sexting
Perilaku seks berisiko merupakan
perilaku seks yang kian lazim dilakukan
oleh banyak kelompok dewasa ini, baik itu
heteroseksual
maupun
homoseksual,
dengan status lajang dan menikah.
Perilaku seks berisiko merupakan bentuk
perilaku seks baik itu vaginal maupun anal
yang dilakukan oleh individu, apa pun
orientasi seksnya, dengan risiko terinfeksi
penyakit
menular
seksual
seperti
HIV/AIDS.
Terdapat beberapa hal yang ditengarai
memengaruhi perilaku seks berisiko yang
dilakukan oleh individu. Salah satu di
antaranya adalah kecenderungan mencari
sensasi seksual. Kecenderungan mencari
sensasi seksual berkembang dari konsep
kecenderungan mencari sensasi milik
Zuckerman (2007). Individu dengan
kecenderungan mencari sensasi seksual
yang tinggi mementingkan kebaruan dan
spontanitas dalam hal kenikmatan seksual.
Hal ini terjadi pada kelompok pria dan
wanita heteroseksual (Arnold, Fletcher, &
Farrow, 2002), dan juga pada pria gay dan
biseksual (Dudley, Rostosky, Korfhage, &
Zimmerman, 2004; Preston, D’Augelli,
Kassab,
&
Starks,
2007).
Prinsip
keterkaitan antara kecenderungan mencari
sensasi seksual dan perilaku seks berisiko
adalah bahwa perilaku seks berisiko
dilakukan oleh individu agar pemenuhan
kebutuhan
dan
kenikmatan
seksual
mendapat kesegeraan (Patel, Yoskowitz, &
Kaufman, 2007), dan hal ini diakomodasi
oleh kecenderungan mencari sensasi
seksual.
Hal lain yang juga diduga memiliki
peran terhadap dilakukannya perilaku seks
berisiko adalah sexting. Definisi sexting
cukup beraneka ragam walaupun benang
merahnya sama. Bauermeister, Yeagley,
Meanley, dan Pingel (2014) menyebutkan
bahwa terminologi sexting merupakan
gabungan kata seks (sex) dan SMS
(sexting) atau perilaku mengirim foto atau
pesan seksual sugestif melalui SMS.
Menurut Walker, Sanci, dan Temple-Smith
(2013), sexting adalah produksi dan
distribusi gambar yang secara eksplisit
mengandung seksualitas melalui teknologi
komunikasi. Sexting disebut bukan hanya
berbagi foto, gambar, atau pesan seksual
saja, melainkan juga video seksual melalui
68
RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA
telepon genggam (Drouin, Vogel, Surbey, &
Stills, 2013; Weisskirch & Delevi, 2011).
Telepon genggam disebut sebagai media
komunikasi terbaik dalam melakukan
sexting,
terutama
memotret
dan
menyebarkan gambar diri sendiri yang
provokatif secara seksual (Gomez & Ayala,
2014; Zhang, 2010).
Di dalam definisi sexting tidak
disebutkan
kepada
siapa
individu
melakukan sexting karena definisi sexting
menitikberatkan pada konten dan media
pengiriman, namun demikian banyak riset
memang memfokuskan sexting yang
dilakukan individu kepada pasangan
romantisnya (Delevi & Weisskirch, 2013).
Namun
demikian
menjadi
menarik
melakukan riset lebih lanjut di Indonesia
mengenai sexting untuk benar-benar
mengetahui bahwa apakah benar sexting
dilakukan hanya atau mayoritas kepada
pasangan romantis atau ada figur lain yang
dituju dalam melakukan sexting.
Di sisi lain, kecenderungan mencari
sensasi seksual juga diduga berkorelasi
dengan sexting.
Sexting
cenderung
dilakukan oleh individu yang menganggap
bahwa seks merupakan sesuatu yang
menyenangkan
dan
memuaskan
(Ferguson, 2011). Hal ini dapat terkait
dengan
sikap
yang
positif
dan
kecenderungan mencari sensasi seksual.
Sexting memberikan akses kepada
individu untuk bertemu dengan orang baru
dan memungkinkan individu melakukan
inisiasi hubungan seksual dengan orang
baru. Individu dengan kecenderungan
mencari sensasi yang tinggi, termasuk
seksualitas, cenderung melakukan sexting
(Dir, Cyders, & Coskunpinar, 2013). Pada
titik ini tampak bahwa individu dengan
kecenderungan mencari sensasi seksual
yang tinggi melakukan sexting hingga
terlibat dalam perilaku seks berisiko,
terutama dilakukannya hubungan seks
dengan orang asing (atau dengan orang
yang tidak diketahui secara pasti status
kesehatan seksualnya), dan kurang
konsisten dalam mengenakan kondom saat
berhubungan seks dengan pasangannya
tersebut (Benotsch, Snipes, Martin, & Bull,
2013; Dir, Cyders, & Coskunpinar, 2013).
Pelaku sexting digolongkan menjadi
tiga, yaitu penerima (receivers), pengirim
(senders),
dan
penerima
sekaligus
pengirim pesan, gambar, foto, dan video
seksual
sugestif
(two-way
sexters)
(Gordon-Messer, Bauermeister, Grodzinski,
& Zimmerman, 2013). Penelitian ini
menitikberatkan pada pelaku two-way
sexters dengan asumsi individu yang
berada dalam kelompok ini adalah individu
yang secara aktif dan ekspresif terlibat
sexting
dan
kemungkinan
memang
melakukan sexting dengan tujuan tertentu
berkaitan dengan seksualitas, bukan
sekedar berbagi konten seks belaka.
Berdasarkan keterangan tersebut maka
tujuan penelitian ini adalah menguji peran
antara kecenderungan mencari sensasi
seksual, sexting, dan perilaku seks berisiko
pada pelaku sexting dengan tipe two-way
sexters.
Metode
Skala penelitian dalam bentuk angket
disebarkan
dengan
teknik
snowball
sampling kepada beberapa partisipan kunci
yang memiliki akses terhadap beberapa
partisipan lainnya. Berdasarkan data awal
yang masuk, pada awalnya jumlah
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
partisipan ini sejumlah 155 orang. Data
sejumlah itu kemudian dipilah kembali
sesuai dengan kriteria inklusi yang
ditetapkan. Sekitar 15 orang di antaranya
mengaku hanya menerima pesan, gambar,
foto, dan video seksual (receivers), 20
orang mengaku mengirimkan pesan,
gambar, foto, dan video seksual (senders),
dan 120 orang sisanya merupakan
kelompok penerima sekaligus pengirim
pesan, gambar, foto, dan video seksual
(two way sexters). Namun demikian, dari
120 orang partisipan dengan tipe two way
sexters hanya 89 orang saja yang
merupakan pelaku perilaku seks berisiko.
Sehingga, pada akhirnya hanya sekitar 89
orang saja yang memenuhi kriteria
partisipan penelitian ini.
Partisipan penelitian ini memiliki
rentang usia antara 17 hingga 32 tahun
dengan rerata sekitar 25.37 tahun. Hal ini
sesuai dengan pendapat Gomez dan Ayala
(2014) bahwa mayoritas pelaku sexting
adalah remaja dan diikuti dengan dewasa
awal. Dari 89 partisipan, 72 orang atau
sekitar 80.90% di antaranya adalah pria,
dan 17 orang atau sekitar 19.10% sisanya
adalah
wanita.
Mayoritas
partisipan
mengaku memiliki orientasi seks sebagai
heteroseksual (n = 64; 71.91%), disusul
gay (n = 17; 19.10%), dan biseksual (n = 8;
8.98%). Mayoritas partisipan bekerja
sebagai karyawan (n = 53; 59.55%),
disusul mahasiswa (n = 27; 30.33%), dan
wiraswasta (n = 9; 10.11%). Di sisi lain juga
tampak bahwa
mayoritas
partisipan
memiliki latar belakang pendidikan SMA (n
= 45; 50.56%), disusul oleh partisipan
dengan latar belakang pendidikan S1 (n =
43.82%), dan D3 (n = 5; 5.61%).
69
Dilihat dari status pernikahan terlihat
bahwa mayoritas partisipan belum menikah
atau lajang (n = 81; 91.01%), dan sisanya
menikah (n = 9; 9.98%). Namun demikian,
dapat diketahui pula bahwa ternyata ada
cukup banyak yang mengaku sedang
berpacaran (n = 34; 38.20%), meskipun
mayoritas
mengaku
sedang
tidak
berpacaran (n = 55; 61.79%).
Kecenderungan
mencari
sensasi
seksual adalah suatu kebutuhan untuk
merasakan sensasi dan pengalaman
seksual yang berbeda, baru dan kompleks,
serta kerelaan menempuh resiko secara
fisik dan sosial untuk pendapatkan
pengalaman-pengalaman tersebut. Skala
kecenderungan mencari sensasi seksual
dalam penelitian ini diteliti dengan
menggunakan
skala
kecenderungan
mencari sensasi seksual milik Rahardjo
(2013) yang terdiri dari (1) pengalaman
seks berbeda, (2) pasangan seks, dan (3)
eksplorasi seksual. Skala ini berjumlah 5
item dengan rentang daya diskriminasi item
antara 0.488-0.748 dan koefisien reliabilitas
sebesar 0.842.
Sexting merupakan perilaku berbagi
pesan, gambar foto, dan video yang
mensugesti secara seksual melalui telepon
genggam. Skala sexting ini dibuat
berdasarkan konsep milik Gordon-Messer,
Bauermeister, Grodzinski, dan Zimmerman
(2013) yaitu (1) menerima, dan (2) berbagi.
Skala ini terdiri dari 8 item dengan daya
diskriminasi item antara 0.548-0.783 dan
koefisien reliabilitas sebesar 0.904.
Perilaku seks berisiko adalah perilaku
seks, baik vaginal dan anal, yang dilakukan
individu dan membuatnya menjadi rentan
terinfeksi penyakit menular seksual.
70
RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA
Perilaku seks berisiko disusun penulis
berdasarkan jenis-jenis perilaku seks
berisiko,
yaitu
(1)
inkonsistensi
penggunaan kondom, (2) jumlah pasangan
seks, dan (3) dengan siapa individu paling
sering berhubungan seks. Pengukuran
perilaku seks berisiko ini memiliki batasan
selama kurun waktu 6 bulan terakhir.
Hasil
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui beberapa hal. Pertama adalah
bahwa partisipan penelitian ini tergolong
inkonsisten dalam menggunakan kondom
saat berhubungan seks. Hal ini diketahui
dari perbedaan rerata jumlah hubungan
seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (M
= 7.02; SD = 5.38) dan rerata jumlah
pemakaian kondom saat melakukan
hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir (M = 5.05; SD = 4.41). Artinya
adalah bahwa dari sekitar 7 kali hubungan
seks dilakukan hanya 5 kali partisipan
mengenakan kondom saat melakukan
hubungan seks tersebut.
Hasil penelitian juga memperlihatkan
bahwa sexting tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan mencari sensasi seksual
dan perilaku seks berisiko. Sementara itu,
kecenderungan mencari sensasi seksual
memiliki pengaruh terhadap perilaku seks
berisiko. Kecenderungan mencari sensasi
seksual memiliki pengaruh sebesar 4.6%
(R2 = 0.057, Adjusted R2= 0.046, p < .05)
terhadap jumlah hubungan seks yang
dilakukan selama kurun waktu 6 bulan
terakhir, kemudian 9.4% (R2 = 0.104,
Adjusted R2= 0.094, p < .01) terhadap
jumlah
pemakaian
kondom
setiap
berhubungan seks dalam kurun waktu 6
bulan terakhir, dan kontribusi sebesar
15.3% (R2 = 0.162, Adjusted R2= 0.153, p <
.00) terhadap dengan siapa individu
melakukan hubungan seks.
Berdasarkan hasil penelitian juga
diketahui tidak ada perbedaan sexting dan
jumlah pemakaian kondom saat melakukan
hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir ditinjau dari jenis kelamin. Namun
demikian ditinjau dari jenis kelamin
terdapat perbedaan dalam hal jumlah
hubungan seks dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir (F(1,89) = 6.771, p < .05), jumlah
pasangan seks dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir (F(1,89) = 8.282, p < .01), dan
kecenderungan mencari sensasi seksual
(F(1,89) = 28.306, p < .00).
Dapat diketahui pula bahwa pria
melakukan hubungan seks lebih sering (M
= 7.72; SD = 5.66) dibandingkan wanita (M
= 4.05; SD = 2.43) dalam kurun waktu 6
bulan terakhir. Pria juga memiliki pasangan
seks lebih banyak (M = 3.25; SD = 1.89)
dalam kurun waktu 6 bulan terakhir
dibandingkan wanita (M = 1.82; SD = 1.55).
Pria lebih permisif melakukan sexting (M =
28.80; SD = 5.96) dibandingkan wanita (M
= 27.64; SD = 9.34). Pria juga memiliki
kecenderungan mencari sensasi seksual
lebih tinggi (M = 16.27; SD = 2.78)
dibandingkan wanita (M = 12.47; SD
=1.97).
Berdasarkan orientasi seks tidak
dijumpai perbedaan yang signifikan pada
jumlah hubungan seks dan jumlah
pemakaian kondom dalam kurun waktu 6
bulan terakhir, serta perilaku sexting.
Perbedaan yang signifikan ditemui pada
jumlah pasangan seks (F(1,89) = 8.720, p
< .00), dan kecenderungan mencari
71
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
sensasi seksual (F(1,89) = 6.609, p < .01).
Berdasarkan hasil penelitian juga
tampak
bahwa
berdasarkan
jumlah
hubungan seks yang dilakukan dalam
kurun waktu 6 bulan terakhir, kelompok gay
memiliki rerata paling tinggi (M = 8.35; SD
= 2.23) dibandingkan kelompok biseksual
(M = 8.25; SD = 3.49), dan kelompok
heteroseksual (M = 6.51; SD = 6.08).
Sementara itu, hal yang sama dijumpai
pada kecenderungan mencari sensasi
seksual. Kelompok gay memiliki rerata
paling tinggi (M = 17.70; SD = 2.41) disusul
kelompok biseksual (M = 16.12; SD =
3.44), dan kelompok heteroseksual (M =
14.90; SD = 2.89).
Di sisi lain, tampak pula perbedaan
yang signifikan pada jumlah hubungan
seks dalam kurun waktu 6 bulan terakhir
ditinjau dari status pernikahan (F(1,89) =
7.666, p< .01). Pada kategori ini, kelompok
yang sudah menikah memiliki rerata skor
tertinggi (M = 11.87; SD = 4.38)
dibandingkan kelompok yang masih lajang
(M = 6.54; SD = 5.26). Hal ini dapat terjadi
dikarenakan individu melakukan hubungan
seks dengan suami atau istri sebagai
pasangan tetapnya, sekaligus juga dengan
beberapa orang lain sebagai pasangan
tidak tetap yang dimilikinya.
Penelitian ini juga memberikan paparan
data deskriptif yang menarik. Saat ditanya
dengan siapa sexting paling sering
dilakukan oleh partisipan maka jawaban
yang paling banyak muncul adalah
melakukan sexting dengan pasangan tidak
tetap (n = 68; 41.21%), lalu dengan teman
sesama jenis kelamin (n = 51; 30.90%),
kekasih (n = 38; 20.03%), teman beda jenis
kelamin (n = 6; 3.63%), dan suami atau istri
(n = 2; 1.21%).
Data deskriptif penelitian ini juga
memperlihatkan variasi jawaban yang
menarik untuk pertanyaan mengenai
alasan melakukan sexting. Berada di
urutan pertama sebagai alasan yang paling
banyak disebut oleh partisipan adalah
untuk menggoda pasangan atau teman (n
= 66; 32.83%), disusul oleh niat sekedar
berbagi (n = 49; 24.37%), usaha awal agar
dapat berhubungan seks (n = 46; 22.88%),
dan diminta pasangan atau teman (n = 39;
19.40%).
Hasil lain yang menarik untuk
dipaparkan adalah keterangan dengan
aplikasi apa sexting dilakukan melalui
telepon genggam yang dimiliki partisipan.
Jawaban pertama yang paling sering
disebut adalah melalui BBM atau
BlackBerry Messenger (n = 75; 41.43%),
disusul oleh WhatsApp atau WA (n = 40;
22.22%), grup BBM (n = 33; 18.23%),
pesan singkat atau SMS (short message
service) (n = 19; 10.49%), Line (n = 4;
2.22%), Facebook dan Twitter masing
disebut sama banyak (n = 3; 1.65%), dan
lainnya (n = 4; 2.22%). Kemudahan
penggunaan aplikasi tertentu pada telepon
genggam juga memberikan fungsi yang
berbeda bagi individu berkaitan dengan
komunikasi dan hal-hal lainnya seperti
pemenuhan kebutuhan afiliasi sekaligus
seksualitas.
Hasil
Studi milik Noar, Zimmerman, dan
Atwood (2004) menyebutkan bahwa
hubungan seks yang tidak konsisten
melibatkankan
penggunaan
kondom
merupakan hal yang sering terjadi.
72
RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA
Anggapan bahwa mengunakan kondom
membuat
sensasi
kenikmatan
seks
berkurang mungkin merupakan alasan bagi
sejumlah pasangan enggan menggunakan
kondom saat behubungan. Di dalam
konteks heteroseksual, persoalan persepsi
bahwa kondom mengurangi kenikmatan
berhubungan seks terungkap dalam
beberapa
riset
(Rahardjo,
2008;
Rosengard, Anderson, & Stein, 2006).
Beberapa hal lain yang sering disebutkan
sebagai alasan mengapa kondom tidak
digunakan dalam hubungan seks adalah
persepsi bahwa pasangan seksnya aman,
dan
menimbulkan
intimasi
dengan
pasangan seks, serta kondom dianggap
simbol ketidaksetiaan (Afifi, 1999). Hal-hal
yang telah disebutkan tersebut mungkin
dapat menjelaskan alasan mengapa subjek
dalam penelitian ini cenderung inkonsisten
dalam
mengunakan
kondom
saat
melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya.
Hasil penelitian memang menunjukkan
bahwa sexting tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan mencari sensasi seksual
dan perilaku seks beresiko. Hal ini berarti
penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Dir, Cyders, dan
Coskunpinar (2013) yang menyebutkan
sexting berkaitan dengan perilaku seks
berisiko seperti hubungan seks dengan
orang asing, dan hubungan seks tanpa
pengaman.
Sebelum
bertemu
dan
berhubungan seks dengan pasangan tidak
tetapnya, individu terlebih dahulu saling
melakukan sexting. Hal ini mungkin
dikarenakan sexting pada subjek dalam
penelitian ini mayoritas dilakukan sebagai
media untuk saling menggoda teman atau
pasangan atau sekedar untuk berbagi,
dibandingkan
sebagai
usaha
untuk
mendapatkan hubungan seksual. Hal itu
sesuai
dengan
motivasi
sexting
dikemukakan oleh (Drouin, Vogel, Surbey,
& Stills, 2013), yang menyebutkan bahwa
motivasi seseorang dalam melakukan
sexting adalah untuk menggoda atau
mengatasi kejenuhan.
Sementara kecenderungan mencari
sensasi seksual berpengaruh terhadap
perilaku seks beresiko. Hal ini mungkin
karena ekspolasi seks seseorang membuat
dirinya
mengganti-ganti
pasangan
seksualnya
sehingga
kemungkinan
terjadinya perilaku seks beresiko. Riset Qiu
(2005) serta Gullette dan Lyons (2005)
menyebutkan
bahwa
kecenderungan
mencari sensasi seksual mendorong
individu mencari dan menjalani hal-hal baru
dan tidak lazim berkaitan dengan perilaku
seksual, seperti hubungan seks tanpa
kondom dengan pasangan seks dalam
jumlah yang banyak.
Di dalam masyarakat dikatakan bahwa
pria lebih permisif dalam hal yang berbau
seks. Persoalan standar ganda dalam
seksualitas memang masih ada di dalam
masyarakat sehingga toleransi terhadap
permisivitas seks yang dilakukan oleh pria
seperti didukung oleh persepsi banyak
orang (Rahardjo & Hermita, 2012). Riset
Clark dan Weiderman (2000) juga
menyatakan
bahwa
pria
memiliki
kecenderungan mencari sensasi seksual
yang lebih tinggi dibandingkan wanita.
Karenanya, tidak mengherankan jika pria
memiliki lebih banyak pasangan intimasi,
dan bahkan pasangan seks dibandingkan
wanita.
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
Hasil penelitian yang menujukkan
bahwa pria lebih permisif dalam melakukan
sexting sesuai dengan hasil penelitian
Dalevi dan Weisskirch (2013) yang
menyebutkan bahwa dalam konteks
hubungan romantis, pria lebih mudah
melakukan sexting kepada siapa saja. Di
sisi lain, wanita membutuhkan lebih banyak
komitmen dalam suatu hubungan sebelum
melakukan sexting dengan pasangannya.
Gay dalam penelitian ini dilaporkan
memiliki kecenderungan paling tinggi
dalam jumlah hubungan sosial dan juga
dalam
mencari
sensasi
seksual.
Permasalahan kecenderungan mencari
sensasi seksual menjadi hal yang krusial
dalam memahami keterlibatan gay dalam
perilaku seks berisiko (Rahardjo, 2013). Di
dalam melakukan sexting pun gay juga
dilaporkan lebih tinggi intensitasnya
dibandingkan dengan mereka yang bukan
gay dan berjenis kelamin laki-laki
(Baeurmeister, Yaegley, Meanley, & Pingel,
2013). Hal ini menarik untuk dicermati.
Riset Rahardjo (2013) menyebutkan
keterlibatan penggunaan telepon genggam
dalam membantu mencari teman kencan
atau pasangan seks. Kecanggihan alat
komunikasi seperti telepon genggam
membantu individu membentuk grup dalam
sistem komunikasi tertentu yang didukung
teknologi dan mendapatkan pasangan seks
dari situ.
Sexting dengan pasangan tidak tetap
merupakan yang paling banyak muncul
dalam penelitian ini. Hal ini didukung oleh
pendapat Drouin, Vogel, Surbey, dan Stills
(2013) yang menyebutkan bahwa motivasi
seseorang melakukan sexting adalah
sebagai langkah awal untuk melakukan
73
hubungan seks, dan paling sering
dilakukan oleh individu dengan pasangan
tidak tetap atau selingkuhannya. Sexting
bisa jadi dianggap sebagai langkah yang
strategis untuk melihat apakah individu
yang menjadi pasangan komunikasi
memberikan lampu hijau atas sexting dan
menampilkan isyarat lebih lanjut apakah
dapat berlanjut kepada hubungan seks
atau tidak.
Hasil dalam penelitian ini di mana
subjek melakukan sexting untuk menggoda
pasangan atau teman sesuai dengan apa
yang dikatakan Druin, Vogel, Surbey, dan
Stills (2013). Riset Drouin, Vogel, Surbey,
dan Stills (2013) ini menyatakan bahwa
ada beberapa motivasi dalam melakukan
texting, di antaranya adalah untuk
menggoda teman di mana jawaban ini
berada di urutan pertama.
Saran untuk penelitian selanjutnya
adalah bahwa jumlah partisipan yang
masih
sedikit
dapat
dijadikan
pertimbangan.
Penambahan
jumlah
partisipan dapat memberikan gambaran
dan hasil yang lebih komprehensif.
Sementara itu, beberapa faktor lain seperti
kepribadian, konformintas kelompok dan
sikap terhadap penggunaan teknologi
komunikasi dapat dipertimbangkan lebih
lanjut dalam kaitannya dengan sexting dan
perilaku seks berisiko.
Kesimpulan
Sexting belum menjadi sarana utama
proses inisiasi keterlibatan individu dalam
perilaku seks berisiko. Namun demikian,
kecenderungan mencari sensasi seksual
masih memiliki peran yang cukup kuat
74
RAHARDJO, HAPSARI, & SAPUTRA
terhadap dilakukannya perilaku seks
berisiko. Hal ini memperlihatkan faktor
internal seperti kecenderungan mencari
sensasi seksual yang sangat dipengaruhi
oleh faktor biologi atau dorongan seks
memiliki peran yang lebih besar dalam
dilakukannya
perilaku
seks
berisiko
dibandingkan
penggunaan
teknologi
komunikasi.
Daftar Acuan
Afifi, W. A. (1999). Harming the ones we
love:
Relational
attachment
and
perceived consequences as predictors
of safe‐sex behavior. Journal of Sex
Research, 36(2), 198-206.
Arnold, P., Fletcher, S., & Farrow, R.
(2002). Condom use and psychological
sensation seeking by college students.
Sexual and Relationship Therapy,
17(4), 355-365.
Bauermeister, J. A., Yeagley, E., Meanley,
S., & Pingel, E. S. (2014). Sexting
among young men who have sex with
men: Results from a national survey.
Journal of Adolescent Health, 54(5),
606-611.
Benotsch, E. G., Snipes, D. J., Martin, A.
M., & Bull, S. S. (2013). Sexting,
substance use, and sexual risk behavior
in young adults. Journal of Adolescent
Health, 52(3), 307-313.
Clark, C. A., & Wiederman, M. W. (2000).
Gender and reactions to a hypothetical
relationship partner's masturbation and
use of sexually explicit media. Journal
of Sex Research, 37(2), 133-141.
Delevi, R., & Weisskirch, R. S. (2013).
Personality factors as predictors of
sexting. Computers in Human Behavior,
29(6), 2589-2594.
Dir, A. L., Cyders, M. A., & Coskunpinar, A.
(2013). From the bar to the bed via
mobile phone: A first test of the role of
problematic alcohol use, sexting, and
impulsivity-related traits in sexual
hookups.
Computers
in
Human
Behavior, 29(4), 1664-1670.
Drouin, M., Vogel, K. N., Surbey, A., &
Stills, J. R. (2013). Let’s talk about
sexting,
baby:
Computer-mediated
sexual behaviors among young adults.
Computers in Human Behavior, 29(5),
A25-A30.
Dudley, M. G., Rostosky, S. S., Korfhage,
B. A., & Zimmerman, R. S. (2004).
Correlates of high-risk sexual behavior
among young men who have sex with
men. AIDS Education and Prevention,
16(4), 328-340.
Ferguson, C. J. (2011). Sexting behaviors
among
young
Hispanic
women:
Incidence and association with other
high-risk sexual behaviors. Psychiatric
Quarterly, 82(3), 239-243.
Gómez, L. C., & Ayala, E. S. (2014).
Psychological aspects, attitudes and
behaviour related to the practice of
sexting: A systematic review of the
existent literature. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 132, 114-120.
Gordon-Messer, D., Bauermeister, J. A.,
Grodzinski, A., & Zimmerman, M.
(2013). Sexting among young adults.
Journal of Adolescent Health, 52(3),
301-306.
Gullette, D. L., & Lyons, M. A. (2005).
Sexual sensation seeking, compulsivity,
and HIV risk behaviors in college
KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI
students. Journal of Community Health
Nursing, 22(1), 47-60.
Noar, S. M., Zimmerman, R. S., & Atwood,
K. A. (2004). Safer sex and sexually
transmitted
infections
from
a
relationship perspective. In J. H.
Harvey, A. Wenzel, & S. Sprecher
(Eds.), The handbook of sexuality in
close relationships (p. 519-544). New
Jersey: Lawrence Earlbaum Associates,
Publishers.
Patel, V. L., Yoskowitz, N. A., & Kaufman,
D. R. (2007). Comprehension of sexual
situations and its relationship to risky
decisions by young adults. AIDS Care,
19(7), 916-922.
Preston, D. B., D'augelli, A. R., Kassab, C.
D., & Starks, M. T. (2007). The
relationship of stigma to the sexual risk
behavior of rural men who have sex
with
men.
AIDS
Education
&
Prevention, 19(3), 218-230.
Rahardjo, W. (2013). Model perilaku seks
berisiko
pada
pria
(Unpublished
doctoral
dissertation).
Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Rahardjo, W. (2008). Perilaku seks
pranikah
pada
mahasiswa
pria:
Kaitannya dengan sikap terhadap tipe
cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis.
Indigenous: Jurnal Imliah Psikologi,
10(5), 3-18.
Rahardjo, W., & Hermita, M. (2012). The
role of sexual sensation seeking and
attitude toward condom use in risky
sexual behavior of the heterosexual
single male. Paper disajikan dalam
konferensi empat tahunan The 30th
International Congress of Psychology,
75
Cape Town, Republic of South Africa,
22-27 July 2012.
Rosengard, C., Anderson, B. J., & Stein, M.
D. (2006). Correlates of condom use
and reasons for condom non-use
among drug users. The American
Journal of Drug and Alcohol Abuse,
32(4), 637-644.
Qiu, Y. (2005). The relationship between
substance use and risky sexual
behavior among adolescents and young
adults
(Unpublished
doctoral
dissertation). The City University of New
York, New York.
Walker, S., Sanci, L., & Temple-Smith, M.
(2013). Sexting: Young women's and
men's views on its nature and origins.
Journal of Adolescent Health, 52(6),
697-701.
Weisskirch, R. S., & Delevi, R. (2011).
“Sexting”
and
adult
romantic
attachment. Computers in Human
Behavior, 27(5), 1697-1701.
Zhang, X. (2010). Charging children with
child pornography–using the legal
system to handle the problem of
“sexting”. Computer Law & Security
Review, 26(3), 251-259.
Zuckerman, M. (2007). Sensation Seeking
and Risk. Washington, DC, USA:
American Psychological Association.
Alamat surel: [email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia
2014, Vol. XI, No. 1, 76-93, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PERILAKU BERISIKO OPERATOR MESIN
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN
UAP (PLTGU) PT PDP
(RISK BEHAVIOR AMONG MACHINE
OPERATORS OF THE GAS AND STEAM
POWER PLANT (PLTGU) PT PDP)
Joseph Satria dan Ratri Atmoko Benedictus
Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya
Melonjaknya kebutuhan pemakaian listrik di Indonesia memicu peningkatan jumlah pembangkit listrik di
Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas. Dalam proses kerjanya, para operator banyak
berinteraksi dengan mesin yang berisiko memunculkan kecelakaan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat gambaran perilaku berisiko yang ditampilkan oleh para operator PLTGU PT PDP. Subjek
penelitiannya terdiri atas 74 karyawan operasional PLTGU PT PDP. Alat pengumpulan data disusun
berdasarkan skala perilaku berisiko merujuk pada teori Rasmussen tentang perilaku berisiko yang ditimbulkan
oleh interaksi manusia dengan mesin. Perilaku berisiko dalam interaksi manusia dengan mesin dapat dilihat
dari tiga domain, yakni Skill Based Behavior, Rules Based Behavior, dan Knowledge Based Behavior. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku berisiko dari para operator PLTGU PT PDP paling tinggi
ditunjukkan pada domain Skill Based Behavior dan paling rendah pada domain Knowledge Based Behavior.
Tingginya perilaku berisiko pada domain Skill Based Behavior diprediksi akan berpengaruh pada tingginya
skill based performance error. Artinya, perilaku berisiko dari para operator PLTGU XYS muncul sebagai akibat
tidak ditampilkannya ketrampilan standar yang dituntut oleh pekerjaannya.
Kata kunci: Perilaku berisiko, Human Machine Interaction
The high demand for electricity consumption in Indonesia triggered the increasing number of power plants in
Indonesia, such as Steam and Gas Power Plant. In the process of its work, the operators interact with the
machine that led to the risk of workplace accidents. This study aims to describe of risk behavior by the
operators of PLTGU PT PDP. Subjects of this study consisted of 74 operational employees. Data collection
tool is based on a scale of risk behaviors referring to the theory of Rasmussen that risk behaviors caused by
human interaction with machines. Risk behavior in human interaction with machines can be viewed from the
three domains, ie Skill-Based Behavior, Rules-Based Behavior and Knowledge Based Behavior. The results
showed that the highest-risk behavior is shown in the domain of Skill Based Behavior and lowest on the
domain of knowledge based behavior. High-risk behavior on skill-based behavior is predicted to effect the high
skill based performance error. It means, risky behavior of the operators PLTGU PT PDP emerged as a result
of not showing skills standards that is demanded by the job.
Keywords: risk behavior, Human machine interaction
76
PERILAKU BERISIKO
Konsumsi listrik di Indonesia terus
bertumbuh dari tahun ke tahun. Bahkan,
kenaikan tarif dasar listrik pun tidak
memengaruhi tren kenaikan konsumsi
listrik. Pertumbuhan konsumsi listrik adalah
salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.
Menurut Benny Marbun yang menjabat
sebagai Kepala Divisi PLN, Pemakaian
listrik pada Mei 2013 sebesar 16,07 Tera
Watt hour (TWh) atau tumbuh 9,96 % bila
dibanding dengan pemakaian listrik pada
Mei 2012 yang sebesar 14,61 TWh.
Sementara pertumbuhan pertumbuhan
pemakaian listrik bulan Mei 2012 bila
dibandingkan pemakaian Mei 2011 sebesar
9,68% (www.pln.co.id). Selama kurun
waktu 17 tahun ke depan, dari tahun 2003
hingga 2020, kebutuhan energi listrik
diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5%
tiap tahunnya. Karenanya, untuk tahun
2020 nanti diperkirakan kebutuhan listrik di
Indonesia akan menembus angka 272,34
TWH (Muchlis & Permana, t.t.).
Tingginya kebutuhan tenaga listrik di
Indonesia diupayakan untuk dipenuhi oleh
Perusahaan
Listrik
Negara
dengan
mengoptimalkan enam jenis pembangkit
listrik yang dimiliki, yakni Pembangkit Listrik
Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga
Uap, Pembangkit Listrik Tenaga Gas,
Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap,
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel.
Meski demikian, upaya tersebut belum
memenuhi total kebutuhan listrik di
Indonesia, baik itu yang dipergunakan di
sektor industri maupun rumah tangga.
Menurut Bambang Dwiyanto selaku
Manajer Senior Komunikasi Korporat PT
PLN (Persero), saat ini tercatat jumlah
77
pembangkit listrik di Indonesia mencapai
5.765 pembangkit yang tersebar di seluruh
Indonesia. Total kapasitas listrik terpasang
nasional mencapai 46.103 MW. Dari jumlah
itu, total kapasitas pembangkit yang dimiliki
PLN mencapai 34.205 MW. Sedangkan
kapasitas pembangkit listrik oleh swasta
11.898 MW atau 25% dari kapasitas
nasional (Dwiyanto, 2014).
Upaya untuk memenuhi kebutuhan
listrik nasional tersebut pada akhirnya tidak
sekedar perlu dibarengi kompetensi dan
kinerja optimal, namun juga perilaku
selamat kerja yang unggul dari para
pekerja di sektor pembangkit listrik. Hal ini
didasarkan pada besarnya potensi risiko
yang
melekat
pada
proses
kerja
pembangkit listrik. Berdasarkan keterangan
Direktur Pelayanan PT Jamsostek, Djoko
Sungkono, dalam Pos Kota dikatakan
bahwa angka kecelakaan kerja lima tahun
terakhir cenderung naik. Pada tahun 2007
terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja,
tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun
2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010
terdapat 98.711 kasus dan tahun 2011
terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414
kasus kecelakaan kerja per hari. Beliau
juga mengungkapkan bahwa banyaknya
kasus
kecelakaan
kerja
ini
juga
menyebabkan meningkatnya jumlah klaim
kecelakaan kerja, yaitu Rp219,7 miliar
pada tahun 2007, Rp297,9 miliar pada
tahun 2008, Rp328,5 miliar pada tahun
2009, Rp401,2 miliar pada tahun 2010 dan
Rp504 miliar pada tahun 2011. Maka dari
itu, Jamsostek menyambut baik penerbitan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No.50 tahun 2012 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
78
SATRIA & BENEDICTUS
Kerja (SMK3) yang diharapkan dapat
menurunkan angka kecelakaan kerja
(Angka Kecelakaan, 2012).
Sementara itu, Kepala Divisi Teknis
Pelayanan PT Jamsostek, Afdiwar Anwar,
menyatakan bahwa dalam tahun 2012
setiap hari ada 9 pekerja peserta
Jamsostek yang meninggal dunia akibat
kecelakaan kerja. Menurutnya, tingginya
angka kecelakaan kerja ini disebabkan oleh
adanya pengabaian atas keselamatan dan
kesehatan kerja di lingkungan perusahaan
yang bersangkutan (Jamsostek, 2013).
Keselamatan dan kesehatan kerja
merupakan hal yang penting bagi
perusahaan, karena dampak kecelakaan
dan penyakit kerja tidak hanya merugikan
karyawan, tetapi juga perusahaan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Rasmussen dan Svedung (2000),
pada
dasarnya
keselamatan
dan
kesehatan kerja mengarah pada interaksi
pekerja dengan mesin atau peralatan yang
digunakan, interaksi pekerja dengan
lingkungan kerja, dan interaksi pekerja
dengan mesin dan lingkungan kerja.
Keselamatan
dan
kesehatan
kerja
merupakan
suatu
upaya
untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan
nyaman untuk mencapai produktivitas
setinggi-tingginya.
Oleh
karena
itu,
keselamatan dan kesehatan kerja mutlak
untuk dilaksanakan pada setiap jenis
bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya ini
diharapkan
dapat
mencegah
dan
mengurangi risiko terjadinya kecelakaan
maupun
penyakit
akibat
melakukan
pekerjaan. Tiga faktor utama yang
mempengaruhi pelaksanaan keselamatan
dan kesehatan kerja adalah: manusia,
bahan, dan metode yang digunakan.
Artinya, ketiga unsur tersebut tidak dapat
dipisahkan dalam mencapai penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja yang
efektif dan efisien (Heryuni, 1991).
Perilaku manusia merupakan refleksi
dari berbagai dinamika psikologis, seperti
pengetahuan, keinginan, minat, emosi,
kehendak, berpikir, motivasi, persepsi,
sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar,
2005). Tiga faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan individu yaitu: faktor
dasar
(predisposing
factor),
faktor
pendukung (enabling factor) dan faktor
pendorong (reinforcing factor). Faktor dasar
(predisposing
factor)
mencakup
pengetahuan,
sikap,
kebiasaan,
kepercayaan, norma sosial dan unsur lain
yang terdapat dalam diri individu di dalam
masyarakat yang terwujud dalam motivasi
atau alasan seseorang berperilaku. Faktor
pendukung (enabling factor) merupakan
faktor yang menjadi pendukung seseorang
berperilaku, seperti sumber daya, potensi
masyarakat, peralatan dan fasilitas serta
peraturan. Faktor pendorong (reinforcing
factor) merupakan faktor lingkungan yang
dominan dalam membentuk perilaku,
seperti sikap dan perilaku seseorang yang
terwujud dalam dukungan sosial (Green,
2000).
Menurut Suizer-Azarof, salah seorang
praktisi behavioral safety, mengemukakan
bahwa para praktisi telah melupakan aspek
utama
dalam
mencegah
terjadinya
kecelakaan kerja yaitu aspek perilaku para
pekerja (Suizer-Azaroff dan Austin, 2000).
Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat
Cooper (2008) yang berpendapat walaupun
sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95%
PERILAKU BERISIKO
dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi
disebabkan
oleh
unsafe
behavior.
Pendapat Cooper tersebut didukung oleh
penelitian
Heinrich
(1959)
tentang
penyebab
kecelakaan,
dimana
ia
melakukan analisis terhadap 75.000
laporan kecelakaan di perusahaan yang
menunjukkan
bahwa
sebesar
88%
kecelakaan disebabkan oleh unsafe acts,
sedangkan 10% unsafe condition dan 2%
unavoidable.
Selain itu, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Prasetyo (2011), perilaku
berisiko merupakan faktor penyumbang
terbesar
kecelakaan
kerja,
yang
merupakan cerminan dari perilaku pekerja
terhadap keselamatan kerja. Perilaku
berisiko ini dapat dilihat dari hasil
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja
yang terlibat secara langsung maupun
kesalahan pihak manajemen. Perilaku
berisiko yang dilakukan secara sadar
maupun tidak sadar, memungkinkan
sebagai
penyebab
terjadinya
suatu
kecelakaan. Maka dari itu, para tenaga
kerja yang berperilaku secara baik dan
sehat akan memperkecil terjadinya risiko
kecelakaan dan gangguan kesehatan
dalam bekerja.
PT PDP merupakan salah satu
perusahaan swasta di Indonesia yang
bergerak dalam sektor energi, yaitu
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
(PLTGU) berkapasitas 19.83 MW di
Propinsi Sumatera Selatan. PT PDP ikut
berperan serta dalam mensukseskan
program pemerintah melalui PT PLN
(Persero)
dalam
mengurangi
ketergantungan pemakaian bahan bakar
solar. Berdasarkan kontrak Jual Beli Listrik
79
antara PT PLN (Persero) WS2JB dan PT
PDP, PT PDP memiliki kewajiban untuk
mendistribusikan energi listrik kapasitas
19.83 MW selama 20 tahun. Untuk
menjaga tingkat ketersediaan energi listrik
selama periode kontrak, PT PDP
melakukan kontrak Perjanjian Jual Beli Gas
(PJBG) tanggal 30 Mei 2006 dengan
Pertamina EP Sumatera Selatan selama 20
Tahun. Di samping itu untuk menjaga
kehandalan pembangkit dalam beroperasi,
PT PDP melakukan kontrak perawatan
(Full Maintenance Contract) dengan
Turbomach selama 15 tahun.
Pada awal mulai beroperasi tanggal 24
Juni 2006, PT PDP mendistribusikan energi
listriknya sebesar 13.83 MW dengan 3 unit
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
kapasitas 4.61 MW dari CaterpillarTurbomach Swiss. Setelah 1 tahun
beroperasi, PT PDP memutuskan untuk
menambah 1 unit steam turbin kapasitas 6
MW
dari
Jianglian
Jianxi
Energy
Corporation dengan mengoptimalkan gas
buang (sisa hasil pembakaran) 3 unit
pembangkit gas turbin yang telah
terpasang. Dengan ditambahnya 1 unit
steam turbin ini perusahaan dapat
melakukan penghematan bahan bakar dari
yang sebelumnya 60% dari harga jual beli
listrik menjadi 40%. Tujuan utama dari
pembangkit kombinasi tersebut adalah
untuk meningkatkan efisiensi termal yang
cukup tinggi mencapai 50 %. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan akan energi
listrik yang meningkat pesat. Sedangkan
penggunaan
turbin
gas
sebagai
pembangkit
energi
listrik
(PLTG)
mempunyai efisiensi termal rendah yaitu 30
% dan pembangkit tenaga uap (PLTU)
80
SATRIA & BENEDICTUS
memiliki efisiensi termal 35 %. Sehingga
dibutuhkan suatu pembangkit listrik dengan
siklus kombinasi yang menghasilkan energi
lebih besar. Dengan dioperasikannya
pembangkit steam turbin pada tanggal 26
September 2009 ini diharapkan dapat
membantu mengurangi defisit kelistrikan di
kota Palembang.
Berdasarkan data riwayat kecelakaan
kerja PT PDP tahun 2011, tercatat 1
kecelakaan
berat
yang
hampir
menyebabkan kematian (terkena gas
karena tidak memakai masker), 12
kecelakaan sedang (cedera pada bagian
tubuh, kejatuhan benda, tertusuk benda
tajam dan lainnya) dan 9 kecelakaan ringan
(lecet, tergores, tersengat listrik atau luka
ringan lainnya). Sedangkan, pada tahun
2012, terdapat 3 kecelakaan berat (patah
tulang, terpapar bahan kimia dari turbin,
jatuh dari ketinggian), 8 kecelakaan sedang
(terjepit, kejatuhan benda, tertusuk benda
tajam dan lainnya) dan 11 kecelakaan
ringan (lecet, tersandung, tergores dan luka
ringan lainnya). Maka dari itu, risiko
pekerjaan yang dimiliki oleh para karyawan
didalamnya tergolong berbahaya.
Selain itu, pembangkit listrik yang
menggunakan bahan bakar gas dan uap
dapat membawa dampak negatif terhadap
kesehatan tenaga kerja dan masyarakat
sekitar apabila proses pemeliharaannya
(maintenance) tidak dikelola dengan benar.
Pada PDP tercatat banyak pengeluaran
pengobatan untuk para karyawannya.
Berdasarkan data riwayat kesehatan tahun
2011, tercatat pengeluaran perusahaan
mencapai Rp59.643.739,00 untuk biaya
pengobatan. Sedangkan, pada tahun 2012
tercatat pengeluaran perusahaan mencapai
Rp53.445.700,00 untuk biaya pengobatan.
Penyebab yang paling mungkin adalah
radiasi,
pencemaran
udara
dan
pencemaran air akibat unsur-unsur gas
alam dan hasil pembuangan. Dalam hal ini,
kelalaian petugas dalam menjalankan
proses maintenance merupakan salah satu
penyebab
terjadinya
pencemaran.
Sedangkan, gejala yang tercatat sering
timbul pada karyawan adalah gangguan
pernafasan, gangguan kardiovascular,
iritasi pada mata dan hidung dan kanker.
Segala perilaku merupakan hasil dari
proses psikologis dari dalam diri individu
yang bersangkutan, sehingga perilakuperilaku yang berisiko akan berbeda-beda
pada setiap orang. Hal ini dikarenakan
terdapat persepsi yang berbeda-beda akan
keyakinan atau keputusan yang diambil
oleh individu akan alternatif yang tersedia.
Contohnya, ketika perusahaan telah
menyediakan APD (Alat Pelindung Diri)
berupa helm (safety helmet), sarung
tangan (gloves) dan masker bagi para
karyawan operasional, namun mereka tidak
menggunakan APD tersebut dengan baik.
Padahal, mereka sudah mengenali dan
mempunyai pengetahuan yang cukup
mengenai bahaya yang ada di tempat
kerja. Dapat dikatakan persepsi pekerja
terhadap bahaya yang ada masih rendah
(perceived risk rendah). Perilaku berisiko
ini kemudian membuka peluang terjadinya
masalah keselamatan dan gangguan
kesehatan bagi karyawan operasional.
Jika
para
karyawan
mengalami
kecelakaan kerja maka dampaknya akan
berimbas tidak hanya pada si pekerja,
namun juga ke organisasi. Di level individu,
dampak dari kecelakaan kerja dapat
PERILAKU BERISIKO
berupa cidera ringan, berat atau bahkan
kematian. Di kultur paternalistic, dimana
kaum pria menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga, dampak kecelakaan
kerja yang menimpa mereka dapat
dirasakan juga oleh para anggota
keluarganya.
Dari segi perusahaan, perilaku berisiko
para
karyawan
opersional
yang
menyebabkan kecelakaan kerja dapat
menimbulkan kerugian tersendiri bagi
perusahaan. Menurut Smith (2011),
kerugian dapat dibagi menjadi dua, yaitu
direct loss (kerugian langsung) dan indirect
loss (kerugian tidak langsung). Direct loss
adalah kerugian yang timbul secara alami
akibat dari pelanggaran itu sendiri.
Contohnya, kematian atau cedera yang
diderita oleh karyawan operasional karena
tidak menggunakan alat pelindung diri.
Sedangkan indirect loss adalah kerugian
yang diperoleh secara tidak langsung
akibat dari kerugian langsung atau
konsekuensi dari pelanggaran yang telah
terjadi sebelumnya. Contohnya, akibat
adanya pekerja yang mengalami kematian
atau cedera, maka perusahaan harus
menghentikan
proses
produksi.
Perusahaan harus menjalani investigasi
kecelakaan yang menyebabkan lapangan
kerja tidak dapat beroperasi karena
digunakan sebagai TKP (tempat kejadian
perkara).
Jika
perusahaan
harus
menghentikan proses produksinya, maka
perusahaan akan menderita kerugian
akibat keterlambatan atau berhentinya
produksi
pasokan
listrik
ke
kota
Palembang.
Heinrich (1959) mendefinisikan perilaku
berisiko sebagai perilaku seseorang atau
81
beberapa orang yang memperbesar risiko
kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Faktor penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
88% unsafe acts, 10% unsafe condition
dan 2% unavoidable. Secara teoritis,
perilaku pekerja dibagi menjadi dua
kondisi. Pertama, pekerja tidak tahu,
sehingga berperilaku tidak aman. Kedua,
pekerja tahu, namun tetap berperilaku tidak
aman. Pada kondisi pertama, dapat
dengan mudah diselesaikan dengan
memberikan pelatihan keselamatan kerja
sehingga dapat menciptakan pengawasan
dan perilaku yang diharapkan. Namun,
pada kondisi kedua lebih sulit karena
perilaku berisiko yang dilakukan pekerja
disebabkan oleh berbagai macam faktor,
seperti pribadi pekerja, jenis pekerjaan,
seberapa tinggi dukungan manajemen dan
sebagainya.
Miner (1992) mendefinisikan perilaku
berisiko sebagai perilaku seseorang yang
mengarah
pada
risiko
terjadinya
kecelakaan kerja, seperti bekerja tanpa
menghiraukan keselamatan, melakukan
pekerjaan tanpa izin, tidak menggunakan
APD, operasi pekerjaan dalam kecepatan
berbahaya, menggunakan peralatan tidak
sesuai prosedur, bertindak kasar, kurang
pengetahuan, cacat tubuh atau emosi.
Rasmussen dan Svedung (2000), dalam
bukunya yang berjudul Proactive Risk
Management In A Dynamic Society,
menjelaskan bahwa perilaku manusia
dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu skills
(kemampuan),
rules
(aturan),
dan
knowledges (pengetahuan). Kemudian,
ketika perilaku manusia berinteraksi
dengan mesin, tiga bentuk perilaku
tersebut dapat dirumuskan menjadi tiga
82
SATRIA & BENEDICTUS
kerangka kerja, yaitu skills-based behavior,
rules-based behavior dan knowledgesbased behavior. Rasmussen merumuskan
tiga kerangka kerja tersebut untuk ditujukan
kepada suatu pekerjaan yang berinteraksi
dengan mesin, seperti operator atau
karyawan operasional. Dalam penelitian ini,
tiga kerangka kerja tersebut akan
digunakan oleh peneliti untuk menyusun
alat ukur perilaku berisiko. Hal ini
dikarenakan karyawan operasional memiliki
pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin.
1. Skills-based behavior
Manusia menggunakan skills based
behavior ketika suatu perilaku sudah
menjadi rutinitas dan secara otomatis dapat
mengambil suatu langkah yang dibutuhkan
dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis
yang cenderung rutin dan berulang. Pada
skills based behavior, manusia telah
menguasai sepenuhnya (well mastered)
dan alokasi mental yang dibutuhkan sangat
minimal sehingga memungkinkan untuk
mengalokasikan perhatian pada aktivitas
lain secara bersamaan.
2. Rules-based behavior
Manusia menggunakan rules based
behavior ketika diharuskan mengikuti suatu
peraturan dan prosedur formal ataupun
informal sehingga dihadapkan pada suatu
pilihan solusi terhadap kondisi teknis yang
ada dengan menggunakan aturan “if-then”
untuk memprioritaskan solusi terbaik. Pada
rules based behavior, manusia berusaha
meraih suatu kemampuan dan keahlian
(acquiring skill and expertise) yang
membutuhkan perhatian atau fokus yang
cukup besar. Manusia dihadapkan pada
pilihan antara melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan.
3. Knowledges-based behavior
Manusia menggunakan knowledges
based behavior ketika menemui sebuah
situasi dan kondisi yang baru atau berbeda
dari pengalaman sebelumnya sehingga
membutuhkan perumusan baru dengan
menggunakan ilmu pengetahuan yang ada
untuk mendapatkan solusi dan melakukan
antisipasi.
Pada
knowledges
based
behavior, kurangnya pengetahuan dalam
memahami situasi dan kondisi dapat
mengarah pada pengambilan solusi yang
salah.
Rasmussen dan Svedung (2000) lebih
lanjut menjelaskan bahwa kegagalan
operator atau karyawan operasional dalam
melakukan salah satu dari ketiga kerangka
kerja di atas, maka akan menyebabkan
error. Pertama, skills based performance
error, yaitu ketidakmampuan operator atau
karyawan operasional dalam melakukan
rutinitas pekerjaan yang berulang sehingga
menimbulkan error. Kedua, rules based
performance error, yaitu ketidakmampuan
operator atau karyawan operasional dalam
mengikuti aturan atau prosedur yang
berlaku.
Ketiga,
knowledges
based
performance error, yaitu ketidakmampuan
operator atau karyawan operasional dalam
mengatasi masalah yang berbeda dengan
pengalaman yang dimilikinya.
Menurut Notoatmodjo (2003), faktor
yang mempengaruhi perilaku berisiko
dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal
antara lain:
1. Pendidikan (Education)
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
PERILAKU BERISIKO
seorang pekerja secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi
perilakunya
dalam
bekerja.
Dalam
penelitian ini, tingkat pendidikan karyawan
operasional
akan
mempengaruhi
kecerdasan, kemampuan dan pola pikir
dalam memahami instruksi yang diberikan.
2. Pengetahuan (Knowlegde)
Pengetahuan merupakan hasil tahu
manusia terhadap sesuatu atau hasil usaha
manusia untuk memahami objek tertentu.
Dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan
karyawan
operasional
dapat
mempengaruhi pemahamannya mengenai
bahaya di tempat kerja.
Sementara itu faktor eksternal antara
lain:
1. Pengawasan (monitoring)
Pengawasan
merupakan
proses
memastikan segala aktifitas pekerjaan
terlaksana dengan lancar sesuai tujuan
yang direncanakan. Pengawasan dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengawasan
preventif (sebelum memulai pekerjaan) dan
pengawasan represif (setelah atau saat
pekerjaan
berlangsung).
Selain
itu,
pengawasan juga dapat dibagi menjadi
pengawasan
langsung
(pemeriksaan
langsung di tempat dengan memberi saran
atau instruksi) dan pengawasan tidak
langsung (menganalisa dan mempelajari
dokumen atau laporan). Di PLTGU PT
PDP, tingkat pengawasan yang dilakukan
perusahaan
terhadap
karyawan
operasional
dapat
mempengaruhi
kemungkinan terjadinya perilaku berisiko.
2. Pelatihan (Training)
Pelatihan merupakan suatu proses
pendidikan bagi pekerja untuk memperoleh
pengalaman,
pengetahuan
dan
83
keterampilan
sehingga
dapat
melaksanakan pekerjaan secara efisien
dan efektif. Di PLTGU PT PDP, tidak
semua karyawan operasional (hanya 3-4
orang setiap tahun) mendapatkan pelatihan
tentang keselamatan dan kesehatan kerja.
Karyawan
operasional
yang
tidak
mendapatkan
pelatihan
terbuka
kemungkinan untuk melakukan perilaku
berisiko karena tidak cukup memiliki
kesadaran dan pengetahuan.
3. Hukuman (punishment)
Hukuman
diberikan
untuk
menghilangkan
perilaku
yang
tidak
diharapkan. Hukuman adalah tindakan
paling akhir yang diambil terhadap adanya
pelanggaran yang sudah berkali-kali
dilakukan setelah ditegur dan diperingati.
Hukuman merupakan faktor penting dalam
penerapan program keselamatan kerja
karena diharapkan dapat memotivasi
perilaku keselamatan.
Komite Gabungan International Labour
Organization (ILO) dan World Health
Organization
(WHO)
mengartikan
keselamatan dan kesehatan kerja sebagai
suatu usaha untuk mempromosikan dan
mempertahankan tingkat tertinggi dari
kondisi fisik, mental dan sosial dari para
pekerja (Georg, 2011). Usaha ini dapat
diwujudkan melalui peningkatan kondisi
kerja, kondisi kesehatan, kondisi peralatan
dan kondisi lingkungan sehingga pekerja
dapat beradaptasi dengan baik. Menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun
1997 tentang Sistem Keselamatan Kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja adalah
suatu upaya untuk mencegah, mengurangi
dan menanggulangi kecelakaan melalui
identifikasi, analisa dan pengendalian
84
SATRIA & BENEDICTUS
bahaya
secara
tepat
serta
melaksanakannya sesuai undang-undang
yang berlaku (Keputusan Menteri Tenaga
Kerja, 1996)
ILO Encyclopaedia of Occupational
Health and Safety (Coppee, 1995)
mengidentifikasi kecelakaan kerja sebagai
kejadian yang tidak terencana dan tidak
terkontrol, yang disebabkan oleh manusia,
situasi, faktor lingkungan atau kombinasi
dari
faktor-faktor
tersebut
yang
mengganggu proses kerja sehingga
menimbulkan cedera, kesakitan, kematian,
kerusakan properti dan kejadian tidak
diinginkan lainnya. Untuk menjelaskan
penyebab kecelakaan, Heinrich (1959)
melakukan analisis terhadap 75.000
laporan
kecelakaan
di
berbagai
perusahaan.
Analisis
tersebut
menunjukkan
bahwa
sebesar
88%
kecelakaan disebabkan oleh perilaku yang
berisiko dan berbahaya.
Gambar 1. Teori domino Heinrich
Berdasarkan penelitian tersebut, ia
mengembangkan teori domino yang terdiri
dari lima faktor tahapan kecelakaan, yaitu:
lingkungan sosial (background), kesalahan
manusia (person), perilaku atau kondisi
tidak aman/berbahaya (unsafe act atau
unsafe condition), kecelakaan (accident)
dan cedera (injury).
Kelima faktor tersebut dianalogikan
sebagai kartu domino yang posisinya
disejajarkan satu dengan yang lainnya.
Apabila salah satu kartu terjatuh, maka
akan menyebabkan kartu yang lain ikut
terjatuh. Untuk mengatasi hal ini, maka
Heinrich menghilangkan salah satu kartu,
yaitu unsafe act dan unsafe condition yang
merupakan pusat dari susunan kartu
domino. Dengan demikian, kecelakaan dan
kerugian dapat dihindarkan.
Gambar 2. Teori loss causation model
Sementara Teori Loss Causation Model
adalah salah satu teori yang dikembangkan
dari teori domino Heinrich. Pada teori ini,
tahapan kecelakaan terdiri dari loss
(kerugian akibat kecelakaan), incident
(insiden), immediate causes (penyebab
langsung), basic causes (penyebab dasar)
dan
lack
of
control
management
(kurangnya kontrol dari manajemen).
Pertama, loss merupakan dampak
yang timbul akibat kecelakaan, yang
mempengaruhi
produktivitas
pekerja,
properti dan proses kerja. Dari sisi
karyawan operasional, kerugian yang
timbul berupa cedera, sakit, gangguan
mental, saraf dan efek sistemik hingga
kematian. Dari sisi perusahaan, kerugian
yang timbul berupa gangguan proses
PERILAKU BERISIKO
produksi dan penurunan produktivitas
profit.
Kedua, incident merupakan suatu
kejadian dimana terjadi kontak yang
berpotensi memicu kecelakaan kerja
sehingga menyebabkan kerugian atau
kerusakan.
Contohnya,
karyawan
operasional yang melakukan perilaku
berisiko secara tidak sengaja melakukan
kontak dengan energi kinetik, listrik,
thermal, atau kimia sehingga menyebabkan
kecelakaan
kerja
atau
gangguan
kesehatan.
Ketiga, immediate causes merupakan
segala situasi yang secara langsung dapat
menyebabkan kecelakaan kerja. Hal
tersebut mencakup perilaku dan kondisi
yang tidak sesuai standar sehingga
menyebabkan terjadinya insiden. Dalam
penelitian ini, perilaku dan kondisi tidak
sesuai standar, seperti tidak memberi
peringatan
pada
rekan
kerja,
pengoperasian peralatan tanpa wewenang,
tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD), penempatan peralatan yang tidak
benar, dibawah pengaruh obat-obatan,
dapat
memperbesar
kemungkinan
terjadinya kecelakaan kerja.
Keempat, basic causes merupakan
penyebab dasar dari gejala yang timbul
sekaligus
alasan
mengapa
pekerja
melakukan perilaku yang berisiko dan
berbahaya (faktor internal) dan mengapa
kondisi lingkungan kerja berbahaya (faktor
eksternal).
Kelima, lack of control management.
Salah satu fungsi utama manajemen
adalah kontrol manajemen yang kuat.
Dengan kontrol manajemen yang kuat,
kecelakaan akan lebih mudah dicegah atau
85
diminimalisir. Manajemen harus memahami
program pengendalian yang dibutuhkan,
standar yang digunakan, pengukuran
performa kerja yang benar sehingga dapat
mendorong pekerja untuk memenuhi
standar dan memperbaiki produktivitas
kerja. Dengan kata lain, setiap perusahaan
harus memiliki sistem dan standar yang
tepat.
Untuk
menghindari
risiko
dan
kecelakaan
kerja,
mempromosikan
keselamatan
dan
kesehatan
kerja
merupakan cara yang efektif. Misalnya,
setiap kali akan mengoperasikan peralatan,
para pekerja diwajibkan untuk membaca
kembali prosedur dan rambu-rambu
keselamatan.
Untuk
meningkatkan
efektifitas
rambu-rambu
keselamatan
antara lain dengan cara memperbarui
rambu, poster dan alat bantu visual secara
periodik, serta melibatkan pekerja dalam
membuat pesan keselamatan. Upaya
pencegahan lainnya adalah memperharui
perlengkapan alat pelindung diri (APD),
seperti kaca mata, sepatu, sarung tangan,
helm, penutup telinga, masker dan
sebagainya (Green & Marshall, 1991).
Selain itu, untuk menghindari risiko
kecelakaan
kerja,
para
pekerja
membutuhkan pelatihan tentang APD agar
memahami pentingnya penggunaan dan
perawatan APD dengan baik. Berdasarkan
penelitian Green dan Marshall (1991),
pekerja seringkali tidak menggunakan APD
karena menimbulkan ketidaknyamanan
saat digunakan dan menambah beban
tubuh sehingga menghambat gerak tubuh
saat bekerja. Oleh karena itu, APD
sebaiknya didesain sesuai standar yang
teruji agar layak digunakan.
86
SATRIA & BENEDICTUS
Naatanen dan Sumala (dalam Yates,
1994) menjelaskan, bahwa pada umumnya
sebagian besar orang akan mencari situasi
yang tidak mengandung risiko atau situasi
dimana risiko yang ada tidak terlalu tinggi.
Dengan kata lain, risiko sama dengan nol.
Naatanen dan Sumala menjelaskan
semakin tinggi perilaku berisiko yang
ditampilkan, maka akan semakin besar
pula risiko terjadinya kecelakaan, atau
disebut sebagai danger region (semakin
jauh dari titik nol). Sedangkan, semakin
rendah perilaku berisiko yang ditampilkan,
maka semakin rendah pula risiko terjadinya
kecelakaan, atau disebut sebagai zero risk
region (semakin dekat dengan titik nol).
Menurut zero risk theory, setiap pihak
harus menjaga danger region sekecil
mungkin
sehingga
mengarah
pada
terciptanya zero risk region.
Proses pembangkit listrik tenaga gas
dan uap (PLTGU) memiliki ciri yang khas
dibandingkan
dengan
pembangkitpembangkit yang lain, yaitu dapat menjadi
proses pembangkit listrik tenaga gas
(PLTG) maupun dapat juga di kombinasi
(combine cycle) melalui sisa panas yang
dihasilkan
PLTG
sehingga
menjadi
pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU).
Dalam prosesnya, terdapat empat bagian
pekerjaan, yaitu operator dan maintanance
gas turbine, operator dan maintanance
steam turbine, operator dan maintanance
electrical dan operator dan maintanance
water osmosis. Karyawan operasional
memiliki risiko kecelakaan yang tinggi
karena berhadapan langsung dengan
bahan kimia, seperti gas, minyak dan uap.
Berikut ini akan dijelaskan proses
pembangkit listrik secara garis besar:
a. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
PLTG sering disebut juga dengan
sistem open cycle. Pada prosesnya, gas
buangan yang dihasilkan turbin gas setelah
terjadi proses produksi listrik langsung
dibuang ke cerobong exhaust (jika closed
cycle tidak dibuang). Gas buangan yang
dibuang oleh gas turbin tersebut bersuhu
500 oC – 540oC.
Gambar 3. Proses pembangkit listrik
tenaga gas (PLTG)
Proses awal dari PLTG adalah
mempersatukan bahan-bahan yang akan
digunakan sebagai bahan pembakaran,
yaitu udara, bahan bakar dan api. Ketiga
elemen tersebut akan menghasilkan
pembakaran yang sempurna. Bahan bakar
dipompa dan disalurkan bersama-sama
dengan udara yang sudah terlebih dahulu
dihisap
dari
lingkungan
sekitar
menggunakan tenaga starting motor
crangking (Air Intake). Kemudian, air intake
disaring melalui air filter dan dihembuskan
melalui Compressor yang akan bertemu
diruang pembakaran. Pada saat itu,
elemen api dihasilkan dari percikan busi
yang terdapat dalam ruang pembakaran
(combustion chambers).
Kemudian, uap yang dihasilkan dari
ruang pembakaran (combustion chambers)
akan memutar turbin yang telah terhubung
dengan generator. Pada PLTG, proses ini
PERILAKU BERISIKO
sering disebut sebagai GTG (Gas Turbine
Generator). Setelah itu, generator akan
membangkitkan listrik 11 kV dan akan
dinaikkan tegangannya oleh trafo menjadi
150 kV dan ditransmisikan ke jaringan.
Dalam hal ini, PLTGU PT PDP mempunyai
3 GTG.
b. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
(PLTGU)
Gambar 4. Proses pembangkit listrik
tenaga gas dan uap (PLTGU)
Suhu uap yang dihasilkan ketika open
cycle adalah 500oC – 540oC. Pada
PLTGU, energi tersebut masih dapat
dimanfaatkan. Maka, uap yang dihasilkan
turbin gas pada proses open cycle tersebut
tidak langsung dibuang melalui cerobong
exhaust, melainkan digunakan kembali dan
dialirkan ke HRSG (Heat Recovery Steam
Generator). Setelah itu, uap tersebut akan
digunakan untuk memasak air dan uap
yang dihasilkan melalui pemasakan air
tersebut akan memutar turbin yang telah
terhubung
dengan
generator.
Pada
PLTGU, proses ini sering disebut sebagai
STG (Steam Turbine Generator).
Energi listrik yang dihasilkan akan
ditransmisikan ke jaringan. Namun, dalam
menambah efisiensi uap yang dihasilkan
87
turbin pada proses PLTGU, akan diarahkan
ke condensator (no.17) untuk diembunkan
dan nantinya akan menghasilkan air
dengan kadar elektrolit yang rendah, lalu
air tersebut akan dialirkan ke daerator
(no.18). Di dalam daerator, air tersebut
akan dihilangkan kadar oksigennya atau
gas-gas
terlarut
lainnya.
Hal
ini
dikarenakan oksigen dan gas-gas terlarut
lainya akan menimbulkan korosi pada pipapipa. Setelah melalui daerator, air akan di
tampung feed pump (no.19) dan kemudian
dialirkan ke pipa-pipa air HRSG kembali.
Inilah yang dinamakan proses close cycle.
Daya keluaran PLTGU pada GTG dan STG
adalah 100 MW. Dalam hal ini, PLTGU PT
PDP mempunyai 1 STG.
Secara
garis
besar
komponenkomponen yang terdapat pada PLTGU
adalah sebagai berikut:
1. Cranking Motor
Cranking motor merupakan alat yang
berfungsi sebagai penggerak awal saat
turbin
belum
menghasilkan
tenaga
penggerak generator ataupun compressor.
Motor Cranking mendapatkan suplai listrik
yang berasal dari jaringan tegangan tinggi.
Karyawan
operasional
pada bagian
pekerjaan operator dan maintenance
electrical yang berhubungan dengan
crangking motor memiliki risiko tersengat
aliran listrik karena harus melakukan
pengecekan
atau
perbaikan
secara
berkala.
2. Air Filter
Air Filter merupakan alat yang berfungsi
untuk menyaring udara bebas agar udara
yang mengalir menuju ke compressor
merupakan udara yang bersih. Karyawan
operasional yang berhubungan dengan air
88
SATRIA & BENEDICTUS
filter tidak memiliki risiko terjadinya
kecelakaan kerja karena tidak berbahaya.
3. Compressor
Compressor merupakan alat yang
berfungsi untuk menghisap udara dari luar,
dengan terlebih dahulu melalui air filter.
Compressor menghisap udara atmosfer
dan menaikkan tekanannya menjadi
beberapa kali lipat (sampai 8 kali) tekanan
semula. Udara luar ini akan diubah menjadi
udara atomizing yang sebagian kecil
digunakan
untuk
pembakaran
dan
sebagian besar digunakan untuk pendingin
turbin.
Karyawan
operasional
yang
berhubungan dengan compressor akan
berhadapan dengan kebisingan dari bunyi
turbin dan risiko terpapar uap panas yang
dihasilkan oleh ruang pembakaran.
4. Combustion Chamber
Combustion
chamber
(ruang
pembakaran) merupakan ruang yang
berfungsi sebagai tempat pembakaran
bahan bakar dan udara atomizing. Gas
panas yang dihasilkan dari proses
pembakaran di combustion chamber
digunakan sebagai penggerak turbin gas.
Karyawan operasional yang berhubungan
dengan combustion chamber akan memiliki
risiko terpapar uap panas, serta gas dan
minyak yang digunakan untuk melakukan
pembakaran.
5. Gas Turbine
Gas turbine merupakan turbin yang
berputar dengan menggunakan energi gas
panas yang dihasilkan dari combustion
chamber. Hasil putaran dari turbin inilah
yang akan diubah oleh generator untuk
menghasilkan listrik. Karyawan operasional
yang berhubungan dengan gas turbine
akan memiliki risiko terpapar hasil
pembakaran dari gas dan minyak yang
memiliki suhu 500oC – 540oC, serta turbin
yang berputar.
6. Selector Valve
Selector valve merupakan katup yang
berfungsi untuk mengatur gas buangan dari
turbin gas, yang nantinya akan ditentukan
apakah harus dibuang langsung ke udara
ataukah akan dialirkan menuju ke HRSG.
Karyawan operasional yang berhubungan
dengan selector valve akan memiliki risiko
terpapar gas buang dari gas turbine.
7. GTG (Gas Turbine Generator)
GTG merupakan generator yang
berfungsi sebagai alat pembangkit listrik
dengan menggunakan tenaga putaran
yang dihasilkan dari turbin gas. Pada
PLTGU,
satu
buah
generator
ini
menghasilkan daya 100 MW. Karyawan
operasional melakukan kontrol secara rutin
pada generator sehingga memiliki risiko
kecelakaan dan gangguan kesehatan yang
berasal dari gas dan uap pembakaran
akibat putaran turbin, serta hidrogen yang
digunakan untuk mendinginkan mesin.
8. Steam Turbine
Steam turbine (Turbin uap) merupakan
turbin yang berputar dengan menggunakan
energi uap. Uap ini diperoleh dari
penguapan air yang berasal dari HRSG
(Heat
Recovery
Steam
Generator).
Karyawan operasional yang berhubungan
dengan steam turbine akan memiliki risiko
terpapar uap panas dengan suhu 500oC –
540oC.
9. STG (Steam Turbine Generator)
STG merupakan generator yang
berfungsi sebagai alat pembangkit listrik
dengan menggunakan tenaga putaran
yang diperoleh dari turbin uap. Tenaga
PERILAKU BERISIKO
penggeraknya berasal dari uap kering yang
dihasilkan oleh HRSG dengan putaran
3000 RPM, berpendingin hidrogen dan
tegangan keluar 11,5 KV. Pada PLTGU,
satu buah generator ini menghasilkan daya
kurang lebihnya sekitar 200 MW. Karyawan
operasional melakukan kontrol secara rutin
pada generator sehingga memiliki risiko
kecelakaan dan gangguan kesehatan yang
berasal dari uap kering hasil generator dan
hydrogen
yang
digunakan
untuk
mendinginkan mesin.
10. HRSG (Heat Recovery Steam
Generator)
HRSG merupakan alat yang berfungsi
untuk memanfaatkan gas buang dari turbin
gas untuk memperoduksi
uap
air
bertekanan. HSRG biasanya memiliki 1
blok Combine Cycle Power Plant dengan
kapasitas 500 MW. Didalamnya terdiri dari
3 x 100 MW turbin gas dan 1 x 200 MW
turbin uap yang merupakan combine cycle
dari sisa gas buang dari GTG. 100 oC
tergantung dari load gas turbin dan ambien
temperatur. HRSG ini didesain untuk
beroperasi pada turbin gas dengan
pembakaran natural gas dan destilate oil.
514 oC (HSD) pada outlet flow gas. Untuk
masing-masing
HRSG
akan
membangkitkan uap sebesar 194,29
ton/jam total flow, pada inlet flow gas.
Metode
Subjek
Responden
dari
penelitian
ini
melibatkan 74 karyawan operasional dari
84
orang
total
seluruh
karyawan
operasional di PLTGU PT PDP pada tahun
2014. Karyawan operasional di Pembangkit
89
Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) PT
PDP terbagi dalam empat unit, yaitu:
operator dan maintenance gas turbine,
operator dan maintenance steam turbine,
operator dan maintenance electrical,
operator dan maintenance water system
(cooling system dan osmosis).
Mayoritas subjek berada pada usia 2535 tahun, yaitu sebanyak 43 orang atau
58,2 % populasi. Kemudian, subjek dengan
usia 36-50 tahun merupakan jumlah
terbesar kedua, yaitu sebanyak 18 orang
atau 24,3 % populasi. Sedangkan, subjek
dengan usia < 25 tahun dan usia > 50
tahun tidak memiliki jumlah yang terlalu
besar. Mayoritas subjek memiliki lama
bekerja lebih dari 5 tahun, yaitu sebanyak
34 orang atau 45,9 % populasi. Kemudian,
subjek dengan lama bekerja 3–5 tahun
merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu
sebanyak 16 orang atau 21,6 % populasi.
Sedangkan, subjek dengan lama bekerja <
6 bulan, 6–12 bulan dan 1–3 tahun tidak
memiliki jumlah yang terlalu besar.
Instrumen Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur
perilaku berisiko dari karyawan operasional
PLTGU PT PDP. Alat ukurnya disusun
berdasarkan teori Skills, Rules and
Knowledges (SRK) dari Rasmussen,
dimana terdapat tiga aspek yang diukur,
yaitu skills based behavior (kemampuan),
rules based behavior (aturan), dan
knowledge based behavior (pengetahuan).
Expert judgement terhadap rancangan alat
ukur dilakukan oleh Ibu Dr. Lidia Laksana
Hidajat, Psi, MPH dan Bapak Utama
Sandjaja, PhD dari Fakultas Psikologi
Unika Atma Jaya. Selain itu, juga dilakukan
90
SATRIA & BENEDICTUS
Tabel 1.
Deskripsi Perilaku Berisiko
N
Minimum
Maximum
Mean
Std.
Deviation
Perilaku
Berisiko
74
139.00
228.00
184.7838
20.77292
Skills Based
Behavior
74
64.00
105.00
85.9054
9.14296
Rules Based
Behavior
74
40.00
70.00
56.6486
7.58952
Knowledges
Based
Behavior
74
26.00
59.00
42.2297
7.50260
Tabel 2.
Deskripsi Berdasarkan Norma Skala Perilaku Berisiko
Jumlah
Total
Hasil
Item
Skor
Rata-rata
Rentang
Skor
(Sesuai
Skala)
Skills Based Behavior
18
6357
353.2
4.77
Rules Based Behavior
12
4192
349.3
4.72
Knowledges Based
Behavior
10
3125
312.5
4.22
Perilaku Berisiko
uji keterbacaan dan menghasilkan 61 buah
item pernyataan.
Hasil Analisis Data
Kesimpulan hasil analisis deskriptif
untuk alat ukur penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Berdasarkan hasil analisis deskriptif
pada tabel 1 di atas, jumlah karyawan
operasional (N) yang terlibat adalah 74
orang dari 84 orang total seluruh populasi.
Domain skills based behavior memiliki nilai
paling kecil (minimum) sebesar 64, nilai
paling besar (maximum) sebesar 105 dan
nilai rata-rata (mean) sebesar 85.9054.
Domain rules based behavior memiliki nilai
paling kecil sebesar 40, nilai paling besar
sebesar 70 dan nilai rata-rata sebesar
56.6486. Domain knowledges based
behavior memiliki nilai paling kecil sebesar
26, nilai paling besar sebesar 59 dan nilai
rata-rata sebesar 42.2297.
Selain itu, meninjau tiga domain yang
PERILAKU BERISIKO
digunakan untuk membentuk perilaku
berisiko. Peneliti akan mencari tahu domain
yang memiliki derajat tingkat perilaku
berisiko paling kuat. Berikut ini adalah tabel
data berdasarkan norma skala perilaku
berisiko:
Berdasarkan data pada tabel 2 di atas,
diketahui bahwa domain skills based
behavior memperoleh rentang skor sesuai
skala pengukuran perilaku berisiko sebesar
4.77 (skala 1-6). Dengan demikian, perilaku
berisiko karyawan operasional pada
domain skills based behavior termasuk
dalam kategori sering. Kemudian, domain
rules based behavior memperoleh rentang
skor sesuai skala pengukuran perilaku
berisiko sebesar 4.72 (skala 1-6). Dengan
demikian, perilaku berisiko karyawan
operasional pada domain rules based
behavior termasuk dalam kategori sering.
Sedangkan domain knowledges based
behavior memperoleh rentang skor sesuai
skala pengukuran perilaku berisiko sebesar
4.22 (skala 1-6). Dengan demikian, perilaku
berisiko karyawan operasional pada
domain knowledges based behavior
termasuk dalam kategori cukup sering.
Maka, berdasarkan norma skala
perilaku berisiko di atas, dapat disimpulkan
bahwa perilaku berisiko pada karyawan
operasional lebih sering muncul jika
dihadapkan pada situasi pekerjaan yang
berkaitan dengan skills based behavior
(perilaku yang sudah menjadi rutinitas).
Kemudian, perilaku berisiko pada karyawan
operasional jika dihadapkan pada situasi
pekerjaan yang berkaitan dengan rules
based behavior (perilaku yang berdasarkan
peraturan dan prosedur) tidak jauh berbeda
dengan skills based behavior. Sedangkan,
91
perilaku
berisiko
pada
karyawan
operasional jika dihadapkan pada situasi
pekerjaan
yang
berkaitan
dengan
knowledges based behavior (perilaku yang
dilakukan ketika dihadapkan pada situasi
dan kondisi yang baru atau berbeda dari
pengalaman sebelumnya) tidak terlalu
tinggi jika dibandingkan dengan kedua
domain yang lain.
Sementara dalam teori Skills, Rules,
dan Knowledges, Rasmussen (1983),
menyatakan bahwa ada tiga tipe perilaku
karyawan operasional yang berbeda saat
berinteraksi dengan mesin, yaitu skillsbased behavior, rules-based behavior dan
knowledges-based behavior. Lebih lanjut,
dalam bukunya yang berjudul Proactive
Risk Management In A Dynamic Society,
Rasmussen (2000), memaparkan bahwa
kesalahan karyawan operasional dalam
melakukan ketiga tipe perilaku tersebut
dapat
menyebabkan
skills
based
performance
error,
rules
based
performance error dan knowledges based
performance error. Menurutnya, ketiga
kesalahan tersebut berhubungan erat
dengan tinggi atau rendahnya produktivitas
karyawan
operasional,
cepat
atau
lambatnya proses produksi dan tercapai
atau
terhambatnya
target
produksi
perusahaan yang bersangkutan. Maka dari
itu, Rasmussen menekankan pentingnya
menjaga perilaku karyawan operasional
agar tetap terintegrasi dengan baik saat
berinteraksi dengan mesin.
92
SATRIA & BENEDICTUS
Daftar Acuan
Angka Kecelakaan Kerja Lima Tahun
Terakhir Cenderung Naik. (2012, Juni
1). Poskotanews.com. Retrieved from
http://poskotanews.com/2012/06/01/ang
ka-kecelakaan-kerja-lima-tahun-terahircendrung-naik/
Azwar, S. (2005). Sikap manusia, teori dan
pengukurannya (2nd Ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Cooper, M. D. (2008). User survey report.
Franklin, IN: Behavioral-Safety.com.
Retrieved March 13, 2014, from
http://www.behavioralsafety.com/surveyresults/finalsurveybscom1.html
Coppée, G. H. (1995). International
cooperation in occupational health: The
role of international organizations.
International Journal of Occupational
and Environmental Health, 1(2), 200210.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. (1998). Petunjuk petugas
kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. (1992). Upaya kesehatan
kerja sektor informal di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI.
##Georg, K. (2011). International Labour
Organization. Ilo.org. Retrieved from
http://www.ilo.org/iloenc/partiii/resources-institutional-structural-andlegal/international-governmental-andnon-governmental-safety-andhealth/item/225-international-labourorganization
Green, L. W., & Kreuter, M. W. (1991).
Health
promotion
planning:
An
educational
and
environmental
approach (2nd Ed.). Mountain View,
CA: Mayfield Publishing Company.
Grech, M. (2008). Human factors in
maritime domain. Retrieved April 20,
2014, from
http://books.google.co.id/books?id=H4Aj
BNNZOz4C&pg=PA53&lpg=PA53&dq=
skill+based+behavior+domain&source=
bl&ots=FvuuBOMiq7&sig=4NeSYPz8T
BtKC7IWVcLkkbTlENk&hl=en&sa=X&ei
=BRhVU7v_HsE8gW8w4KACg&ved=0CEoQ6AEwBA#
v=onepage&q=skill%20based%20beha
vior%20domain&f=false
Heinrich, H. W. (1959). Industrial accident
prevention: A scientific approach (4th
ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Heryuni. (1991). Pemeriksaan kadar debu
dalam udara lingkungan kerja: Pusat
hiperkes dan keselamatan kerja. Jurnal
Higiene Perusahaan, Kesehatan dan
Keselamatan Kerja 26(2).
Keputusan Menteri Tenaga Kerja. (1996).
Jdih.depnakertrans.go.id.
Retrieved
from
http://jdih.depnakertrans.go.id/data_wira
ta/1997-1-2.pdf
Marbun, B. (2014, Juni 16). Pemakaian
listrik tumbuh signifikan, pertumbuhan
ekonomi Indonesia menggembirakan.
PLN.co.id.
Retrieved
from
http://www.pln.co.id/blog/pe-makai-nlistrik-tumbuh-signifikan-pertumbuhanekonomi-indonesia-menggembirakan/
Miner,
J.
B.
(1992).
Industrialorganizational psychology. New York,
NY: McGraw-Hill.
Muchlis, M. & Permana, A. D. (t.t). Proyeksi
kebutuhan listrik PLN tahun 2003 s.d.
PERILAKU BERISIKO
2020.
Retrieved
from
http://www.oocities.org/markal_bppt/publish/slistrk/slmuch.pdf
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan
perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Prasetyo,
N.
(2011).
Analysis
of
implementation of the supervision of
occupational safety and health in the
department of production PT at
Indonesia (Thesis). Retrieved from
Universtas Gunadharma.
(http://papers.gunadarma.ac.id/files/jour
nals/3/articles/15484/submission/review
/15484-43519-1-RV.pdf)
Rasmussen, J. (1983). Skills, rules, and
knowledge; signals, signs, and symbols,
and other distinctions in human
performance models. Systems, Man
and Cybernetics, IEEE Transactions on,
13(3), 257-266.
Rasmussen, J., Pejtersen, A. M., &
Goodstein, L. P. (1994). Cognitive
systems engineering. New York, NY:
Wiley-Interscience.
Rasmussen, J., & Svdung, I. (2000).
Proactive risk management in a
dynamic society. Swedish Rescue
Services Agency.
Smith, H. (2011). Direct and indirect loss.
Retrieved Februari 11, 2014, from
www.herbertsmithfreehills.com.
Suizer-Azaroff, B. & Austin, J. (2000). Does
bbs work? Behavior-based safety &
injury reduction: a survey of the
evidence. Professional Safety, 45(7),
19-24.
Suizer-Azaroff, B., Harris, T. C, & McCann,
K. B. (1994). Beyond training:
organizational
performance
93
management techniques. Occupational
Medicine, 9(2), 321-339.
Suryanto. (2012). Jamsostek: setiap hari 9
orang meninggal karena kecelakaan
kerja. Diunduh 14 Oktober 2013 dari
http://www.antaranews.com/berita/3607
49/jamsostek-setiap-hari-9-meninggal
karena-kecelakaan-kerja
Yates, J. F. (Ed). (1994). Risk taking
behavior. New York: Wiley.
Alamat surel: [email protected]
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris.
2. Judul artikel harus spesifik dan efektif, serta tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan
berbahasa Indonesia atau 10 kata bahasa Inggris.
3. Artikel harus dilengkapi dengan nama penulis, nama lembaga tempat kegiatan penelitian
dilakukan (universitas, lembaga atau pusat penelitian, atau organisasi lain), dan alamat
korespondensi termasuk alamat e-mail yang jelas.
4. Artikel harus dilengkapi dengan satu paragraf abstrak berbahasa Indonesia dan terjemahannya
dalam bahasa Inggris. Abstrak harus ditulis secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan
esensi isi keseluruhan tulisan.
5. Artikel belum pernah diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal, artikel dalam buku, atau artikel dalam
prosiding lengkap.
6. Artikel harus berupa laporan penelitian empiris, kecuali artikel atas undangan Redaksi (dapat
berupa paparan gagasan atau kajian teoretis). Topik artikel harus dalam bidang psikologi serta
relevan dengan perkembangan zaman.
7. Artikel harus dilengkapi dengan kata kunci yang dipilih secara cermat sehingga mampu
mencerminkan konsep yang terkandung di dalamnya.
8. Artikel ditulis dengan sistematika dan pembaban yang baik mengikuti sistem American
Psychological Association (APA). Pembaban tidak boleh menyerupai penulisan skripsi dengan
mencantumkan kerangka teori, perumusan masalah, manfaat penelitian, saran, dan sejenisnya.
9. Artikel dilengkapi dengan daftar acuan, bukan bibliografi. Perujukan daftar acuan dalam naskah
dan penyusunan daftar acuan mengikuti sistem APA.
10. Diutamakan artikel yang mengedepankan keuniversalan, bukan kenasionalan apalagi kelokalan.
11. Diutamakan artikel dengan sumber-sumber acuan yang terbit dalam 10 tahun terakhir.
Pengacuan terhadap karya sendiri yang terlalu banyak dalam satu artikel seyogyanya dihindari.
12. Khusus untuk penelitian kuantitatif-survey (non-psikometri, non-eksperimen), penelitian harus
melibatkan minimal 3 (tiga) variabel.
13. Penulis membuat pernyataan bahwa artikelnya merupakan hasil karya sendiri, dan jika
didasarkan pada karya lain yang melibatkan penulis/peneliti lain (skripsi, tesis, disertasi, penelitian
kelompok), penulis harus menyertakan pengakuan tentang kontribusi para penulis lain dan surat
izin dari peneliti/penulis lain yang terkait.
14. Penulis akan menerima hasil review dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan, dengan kategori hasil
review: (1) Diterima tanpa perbaikan, (2) Diterima dengan perbaikan (disertai catatan tentang halhal yang harus diperbaiki), (3) Ditolak (disertai alasan penolakan). Apabila naskah diterima
dengan perbaikan, maka penulis wajib merevisi tulisannya sesuai dengan hasil review maksimal 1
(satu) bulan.
15. Sistematika
dan
format
penulisan
artikel
(Template
dapat
diunduh
melalui
http://www.himpsi.or.id/jpi_template.doc):
JUDUL
Nama Penulis
Nama Lembaga
Abstrak
Kata Kunci
Abstract
Keywords
Pengantar
(Memuat latar belakang dan rumusan masalah/hipotesis)
Metode
(Memuat rancangan penelitian, subjek/sampel, instrumen/teknik pengambilan data disertai
pertanggungjawaban mutu berupa validitas dan reliabilitas instrumen, dan rancangan analisis
data yang dilengkapi dengan informasi uji asumsi.
Untuk penelitian kualitatif, ditambah dengan pertanggungjawaban refleksivitas)
Hasil Penelitian
Diskusi
Kesimpulan dan Implikasi
Daftar Acuan
16. Contoh penyusunan daftar acuan (Semua sitasi di badan naskah harus tercantum di dalam Daftar
Acuan ini):
Bjrok, R. A. (1989). Retrieval inhibition as an adaptive mechanism in human memory. Dalam H. L.
Roediger III & F. I. M. Craik (Ed.), Varieties of memory & consciousness (hh. 309-330).
Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Crystal, L. (Produser Pelaksana). (1993, 11 Oktober). The MacNeil/Lehrer news hour [Tayangan
televisi]. New York dan Washington, DC: Public Broadcasting Service.
Gibbs, J. T., & Huang, L. N. (Ed.). (1991). Children of color: Psychological interventions with
minority youth. San Fransisco: Jossey-Bass.
Kandel, E. R., & Squire, L. R. (2000, 10 November). Neuroscience: Breaking down scientific
barriers to the study of brain and mind. Science, 290, 1113-1120.
Mellers, B. A. (2000). Choice and the relative pleasure of consequences. Psychological Bulletin,
126, 910-924.
Mitchell, T. R., & Larson, J. R., Jr. (1987). People in organizations: An introduction to
organizational behavior (ed. ke-3). New York: McGraw-Hill.
Ruby, J., & Fulton, C. (1993, Juni). Beyond redlining: Editing software that works. Sesi poster
disajikan dalam pertemuan tahunan the Society for Scholarly Publishing, Washington, DC.
Scorsese, M. (Produser), & Lonergan, K. (Penulis/Sutradara). (2000). You count on me [Film].
United States: Paramount Pictures.
Sektor industri mulai menggeliat. (2008, 17 Mei). KOMPAS, h. 21.
Shocked, M. (1992). Over the waterfall. Dalam Arkansas traveler [CD]. New York: PolyGram
Music.
VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of
resources by psychology undergraduates. Journal of Bibliographic Research, 5, 117-123.
Diunduh 13 Oktober 2001, dari http://jbr.org/articles.html
Wilfley, D. E. (1989). Interpersonal analyses of bulimia: Normal-weight obese. Disertasi doctor
yang tidak diterbitkan, University of Missouri, Columbia.
Yossihara, Anita. (2008, 17 Mei). Banten lama, tak sekadar wisata ziarah. KOMPAS, h. 27.
Zuckerman, M., & Kieffer, S. C. (dalam proses penerbitan). Race differences in faceism: Does
facial prominence imply dominance? Journal of Personality and Social Psychology.
Download