Uploaded by User53625

TEORI SOSIOLOGI.pdf

advertisement
TEORI SOSIOLOGI
Oleh:
Khairul Iksan
KOPERTIS WILAYAH IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
( STAI) AL-KHAIROT
PAMEKASAN
TAHUN 2018
1
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Ringkasan Materi
Kuliah “Teori Sosiologi” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Ringkasan Materi Kuliah “Teori Sosiologi” ini dalam penulisannya tidak sedikit
sumbangan pemikiran yang telah diberikan oleh berbagai pihak .Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
atas segala bantuannya
Penulis sangat menyadari bahwa Ringkasan Materi Kuliah “Teori Sosiologi” ini
masih kurang begitu sempurna. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya saran
dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan berikutnya. Akhirnya
penulis berharap agar ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Pamekasan, Pebruari 2018
Penulis,
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
1. PENDAHULUAN ………………………………………………….
1
1.1 Sejarah Sosiologi Sebagai Sebuah Ilmu …………………….
1.2 Pokok Bahasan dalam Sosiologi …………………………….
2. TEORI DAN RAGAM TIPE TEORI SOSIOLOGI .......................
2.1 Pembentukan Teori dan Definisi Teori Sosiologi …………...
2.2 Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi ...................................
3. TEORI SOSIOLOGI ……. ..............................................................
3.1 Definisi dan Fungsi Teori ………........................................
3.2 Pentingnya Studi Teori Sosiologi ...........................................
3.3 Klasifikasi Teori Sosiologi ……………................................
3.4 Teori- teori Sosiologi
…………........................................

Teori Sosiologi Klasik …………………………………

Teori Sosiologi Modern ………………………………...

Teori Sosiologi Postmodern …………………………
1
3
8
8
11
15
15
16
17
4. RAGAM PARADIGMA DALAM PENELITIAN SOSIOLOGI…...
4.1 Ragam Paradigma Dalam Sosiologi ………………………
18
Penutup
19
Referensi
25
4
1. PENDAHULUAN
Apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya ? apa manfaat
mempelajari ?
Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari
proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan
pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik
di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi
perkembangan sosiologis,disamping munculnya pandangan-pandangan filosofis
tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan
mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.
Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, mengantarkan pada
pemahaman tentang pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu sosial
lainnya, yang akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi.
Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran sosiologi telah
memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga
sosiologi dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple
paradigm science’).
1.1 Sejarah Sosiologi Sebagai Sebuah Ilmu
Menurut Berger dan Berger, pemikiran sosiologi berkembang ketika masyarakat
menghadapi ’ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap benar dan seharusnya,
yang menjadi pegangan manusia’ (threats to the taken-for-granted world).
Maksudnya yaitu, suatu keadaan masyarakat dimana tatanan sosial (’social order’)
yang diyakini oleh sebagian besar anggota masyarakat terancam oleh berbagai
bentuk perubahan.
Sampai abad ke-18 Eropa Barat didominasi oleh sistem feodalisme yang sangat
elitis dan mapan. Perkembangan yang terjadi kemudian, mengikuti tumbuhnya
kapitalisme pada akhir abad ke-15, adalah munculnya kesadaran bahwa dominasi
feodalisme sangat menghambat perkembangan kelompok intelektual serta kelas
menengah. Bangkitnya kelas menengah mewarnai sebuah proses perubahan jangka
panjang, seperti tumbuhnya kapitalisme,perubahan sosial dan politik, meningkatnya
5
individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern. Dua revolusi penting pada
abad ke-18, ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker,
1983:11-43).
Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang
masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini
merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara
serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), Pada masa inilah
peran para tokoh sosiologi klasik berawal. Mendorong para pemikir dan intelektual
mencari jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu
menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran
cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokohtokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl
Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920).
Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi
modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the
founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological
thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya
sosiologi sebagai sebuah ilmu.
Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte
memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan
sosiologi, dalam bukunya : ’Course de Philosophie Positive’.Yang berisi
pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati
tiga tahap. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan
gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau
supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada
kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, tahap positif, yaitu manusia
mencari penjelasan gejala alam maupun sosial mangacu pada deskripsi ilmiah.
Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis
positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama
ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi
sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif mendasarkan pada cara berpikir
ilmiah, bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan kajian harus bermanfaat,
serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang digunakan dalam
6
metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode
historis. Penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat
harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak
menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis.
Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui
karya filsafat positifnya. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi
penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri.
Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek
studi sosiologi, dan memberikan rumusan penting dalam metode untuk mendekati
dan mengamati obyek studi.
Pandangan Comte yang masih abstrak tentang filsafat positif kemudian
diperjelas oleh Durkheim dengan meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Dua
karyanya yang besar dan berpengaruh adalah Suicide (1968) dan The Rule of
Sociological Method (1965). Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan
atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena
sosial. Melalui karya ini Durkheim menegaskan bahwa obyek studi sosiologi adalah
fakta sosial (social fact), yang untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan
penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan The
Rule of Sociological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang
dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi.
1.2 Pokok Bahasan Dalam Sosiologi
Untuk membangun pemahaman tentang ruang lingkup serta pokok bahasan
sosiologi. Dengan memahami Istilah sosiologi yang berasal dari kata dalam bahasa
Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan bahwa obyek formal
sosiologi adalah hubungan antar orang.
Pengertian sosiologi sering juga dikacaukan dengan pekerjaan sosial (social
worker). Sebenarnya sosiologi tidak dapat secara langsung menjawab kebutuhankebutuhan semacam itu, dalam arti tidak mempersiapkan secara khusus profesi
sebagai penyuluh atau counselling, atau membantu memecahkan persoalan pribadi.
Namun demikian bukan berarti sosiologi tidak mempunyai kontribusi dalam usaha
memecahkan persoalan semacam itu. Sosiologi telah membangun banyak teori yang
berpijak pada asumsi-asumsi dasar dan perspektif tertentu, serta memiliki
7
metodologi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
untuk
membuat
evaluasi,
interpretasi dan bahkan juga prediksi.
Perhatian sosiologi terhadap fenomena sosial yang terjadi tidak semata-mata
membuat deskripsi, atau merentang perbedaan dan persamaan karakteristik
fenomena sosial yang berkembang, akan tetapi juga memperlihatkan tendensitendensi atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sosiologi mampu
menerangkan dan menafsirkan apa yang ada di balik fenomena sosial tersebut
berdasarkan teori atau penelitian, dan tidak memberikan penilaian berdasarkan baik
dan buruk pada sebuah tindakan sosial. Sehingga, tindakan sosial tertentu yang bagi
orang awam terasa aneh, tidak wajar atau menyimpang, melalui sosiologi dapat
menjadi sesuatu yang menarik, dan dapat ditelusuri pangkal-tolak kemunculannya
dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini merupakan bukti obyektivitas
sosiologi sebagai sebuah ilmu.
Beberapa contoh definisi sosiologi adalah, kajian ilmiah tentang man’s social
life (kehidupan sosial), atau tentang human relationships and their consequences
(hubungan antar orang dan konsekuensi-konsekuensinya), dan juga tentang social
behaviour (tindakan sosial). Tentunya semua definisi ini benar adanya, namun
kerapkali dianggap kurang rinci dan masih belum mampu membedakan sosiologi
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tidak mudahnya menarik definisi sebuah disiplin
ilmu kemasyarakatan, dalam hal ini sosiologi, bisa dipahami karena, pertama, apa
yang ditangkap dan dikonstruksi oleh seorang ahli tentang disiplin tersebut sangat
dipengaruhi oleh kepentingan dan fokus perhatiannya ketika itu; yang kedua, begitu
banyaknya faktor yang berperan dan berubah pada masalah sosial yang tumbuh
dalam masyarakat sehingga orientasi pokok kajian sebuah disiplin menjadi sulit
diselaraskan.
Water dan Crook menyatakan (Sunyoto Usman, 2004:hal 6-7) bahwa :
“Sociology is the systematic analysis of the structure of social behaviour” (sosiologi
adalah analisis yang sistematis tentang struktur tindakan sosial). Dalam definisi ini
terdapat sedikitnya empat elemen penting. Pertama, pokok kajian adalah tindakan
sosial, dan bukan tindakan individual. Tindakan sosial berarti tindakan yang
diorientasikan pada orang lain, mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau
merupakan akibat dari tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua,
tindakan sosial yang dipelajari adalah tindakan yang berstruktur. Struktur disini
8
berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi
akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini,
sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha
memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan
sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial,
sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu
(scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya
berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis,
artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai
disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa
ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi
mikrososiologi
dan
makrososiologi
(menurut
Inkeles,
dalam
Kamanto
Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of
everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan
diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak
dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of
social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara
keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini
masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang
membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok
bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial.
Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok
bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
Hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam
tabel berikut ini :
9
Gambaran dasar
No
Paradigma
pokok permasalahan
Obyek :
1
Metode
Eksemplar
STRUKTURAL
Metode
EMILE
FAKTA

Eksternal
FUNGSIONAL DAN
Survei
DURKHEI
SOSIAL

Memaksa
KONFLIK
dengan
M:

Umum
Kuesioner
The Rules of

Riil
dan
Sociological
wawancar
Method,
a
Suicide
TINDAKAN
Pengamata
MAX
(Weber, Parsons),
n,
WEBER
INTERAKSIONIS
verstehen
Tindakan
Subyek :
2
Teori

internal
DEFINISI

bebas
SOSIAL

khusus


ME
SIMBOLIK
:
Sosial
(Weber, Mac Iver,
Mead,
Cooley,
Thomas, Blumer)

SOSIOLOGI
FENOMENOLOG
I (Weber, Schutz,
Garfinkel)
3
Perilaku manusia
PERILAKU (Burgers
Eksperime
B.F.SKINN
PERILAK
deterministik :
& Bushell, Homans)
n
ER
U SOSIAL
penghargaan dan
Perilaku
hukuman
Sosial
Durkheim membangun konsep fakta sosial yang kemudian diterapkannya
dalam mempelajari gejala bunuh diri, dan dimaksudkan untuk memisahkan
sosiologi dari arena psikologi dan filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial harus
dinyatakan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa.
Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni : struktur sosial dan pranata sosial.
:
10
Paradigma ini memandang tindakan individu sebagai tindakan yang ditentukan
oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.
Eksemplar paradigma definisi sosial adalah karya Max Weber tentang
’tindakan sosial’. Weber tertarik pada makna subyektif yang diberikan individu
terhadap tindakan mereka, dan tidak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang
bersifat makro seperti struktur sosial dan pranata sosial. Bagi Weber yang
menjadi pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan
akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Paradigma ini secara pasti
memandang individu sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya
sendiri, sementara struktur dan pranata sosial hanya merupakan kerangka tempat
proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung.
Paradigma perilaku sosial menetapkan pokok persoalan sosiologi adalah
perilaku atau tingkahlaku dan kemungkinan perulangannya, serta memusatkan
perhatiannya
kepada
hubungan
saling
pengaruh
antara
individu
dan
lingkungannya, atau dengan kata lain tingkahlaku individu yang berlangsung
dalam
hubungannya
dengan
faktor
lingkungan.
Pandangan
ini
lebih
mengarahkan pendekatannya pada psikologi, dimana Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviourisme ke dalam
sosiologi. Teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang
peranan penting dalam pengembangan sosiologi behaviour.
Pengetahuan tentang adanya tiga paradigma ini tidak berkaitan dengan
penganutan dalam mempelajari konsep-konsep dan teori-teori sosiologi. Pada
kenyataannya, sosiologi modern berkembang melampaui perbedaan-perbedaan
ini. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan
diri ke arah hubungan yang harmonis. Eksemplar pada suatu paradigma tertentu
mendapat pengakuan dari hampir semua orang. Keseluruhan pendekatan teoritis
dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang mendasar,
meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi teoritis. Metode yang disukai oleh
masing-masing paradigma jelas sekali saling terpaut dengan masing-masing
paradigma. Menjadi jelas disini bahwa dalam mempelajari sosiologi dan
melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi, seorang
pelajar sosiologi harus memahami benar tentang keragaman konsep yang
muncul, serta pendekatan-pendekatan yang nampaknya bertentangan, serta
11
kemungkinan
adanya
perbedaan
paradigma
yang
mungkin
menjadi
penyebabnya.
2.2TEORI DAN RAGAM TIPE TEORI SOSIOLOGI
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah
terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang
hadir dalam kehidupan masyarakat kita. Hal ini ditandai dengan keberhasilan
sosiologi sebagai cabang ilmu, yang tampil ditengah-tengah persaingan pengaruh
antara psikologi dan filsafat untuk membedah fenomena sosial. Meski demikian,
tak dapat dipungkiri bahwa sosiologi belum seutuhnya mampu melepaskan
pengaruh dengan dua cabang ilmu yang telah disebutkan sebelumnya (Ritzer, 2004).
Dalam tugas sebelumnya telah diuraikan, bahwa syarat terpenting dari ilmu
pengetahuan adalah mampu membuka atau mempertanyakan realitas yang ada
(ontologi) dan mengetahui mengapa realitas itu terjadi (epistimologi). Dengan
mempertanyakan kejadian atau fenomena sosial (ontologi) dan mengetahui mengapa
fenomena sosial tersebut terjadi (epistimologi), maka sosiologi telah membuktikan
dirinya sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya sosiologi mempunyai seperangkat teori
untuk membuka tabir atas realitas sosial yang terjadi dan memepertanyakan
mengapa realitas sosial itu terjadi. Beragam teori pun hadir dengan latar belakang
paradigma yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan itu, kita mengenal beragam
teori dalam sosiologi, seperti: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori
interaksionisme simbolik, teori tindakan sosial, dan lain-lain. Pertanyaannya
kemudian adalah ;
(1) apakah yang dimaksud dengan teori itu?
(2) bagaimana proses pembentukan teori dalam sosiologi? dan
(3) bagaimana landasan kategorisasi atau pemetaan teori-teori dalam
sosiologi?
2.1Pembentukan Teori dan Defenisi Teori Sosiologi
Sebelum menjawab pertanyaan pertama dalam tulisan ini, alangkah baiknya
kita terlebih dahulu memahami bagaimana proses pembentukan suatu teori.
12
Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa
komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini
merupakan komponen ilmu yang hakiki. Adapun komponen yang dimaksud, yakni:
fenomena, konsep, fakta, dan teori. Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga
komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori
merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus
dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang
sesungguhnya.
Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang
ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep.
Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena. Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu
fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa
yang dinamakan variabel. Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah
yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi
variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk
mengetahui fenomena yang hadir.
Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba
menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Keterhubungan antar
konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta.
Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan faktafakta yang lainnya. Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori. Atau dengan
kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang
berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan
bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomenfenomena.
Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004)
yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis
berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai
hukum, yang dapat diuji secara empiris. Selanjutya Poloma (2004) menambahkan
bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepattepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisiproposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.
13
Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi
adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian
empiris.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa pembentukan suatu teori sosiologi
tidak lepas atau sangat terkait dengan cara berfikir (logika) yang dibangun oleh
seorang ilmuwan sosial untuk menjawab pertanyaan atas suatu realita sosial. Dalam
ilmu filsafat, dikenal dua cara berfikir (logika) sebagai ”tipe ideal” (meminjam
istilah Max Weber) untuk mengetahui suatu teori dalam menjawab realita atau
fenomena sosial. Tipe ideal yang dimaksud adalah bahwa pembentukan teori
berangkat dari logika induktif (induktive logical) dan logika deduktif (deductive
logical) yang mempunyai perbedaan satu sama lain. Cara berfikir induktif
berangkat dari fakta empiris yang diperoleh melalui pengamatan dalam membentuk
suatu hukum atau teori sosiologi. Ini berbeda dengan cara berfikir deduktif yang
menempatkan hukum atau teori sosiologi sebagai untuk memprediksi dan
mengeksplanasi kejadian atau fenomena sosial. Meski demikian, antara fakta yang
ada dan prediksi maupun eksplanasi mempunyai keterhubungan dalam membuka
”tabir” atas kejadian atau fenomena sosial.
Tipe ideal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilacak diawalawal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai Bapak Sosiologi,
Aguste Comte dengan teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tingkatan
(tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik) yang berangkat dari
”filasafat positif” (Ritzer dan Goodman, 2003) merupakan pembentukan teori yang
didasari atas deduktive logical, dimana mengembangkan fisika sosial sebagaimana
model ilmu-ilmu pasti atau ”hard science”.
Pendapat ini, kemudian dibantah oleh Durkheim yang mana mentikberatkan
sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada fakta sosial
(empirisme). Berangkat dari penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai
suatu fenomena sosial, Durkheim kembali menegaskan bahwa fakta sosial
menurutnya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi
sasaran penyeledikan filsafat. Atau dengan kata lain, dengan meletakkan fakta
sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari dalam sosiologi, berarti menempatkan
sosiologi sebagai suatu disiplin empiris dan berdiri sendiri dari pengaruh filsafat
(Ritzer, 2004).
14
2.2 Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi
Memetakan tipe teori dalam sosiologi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan
cara befikir akan menentukan posisi teori sosiologi ke dalam tipe tertentu. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh dua sosiolog barat, yakni Randal Collins (1988) dan
William Skidmore (1979).
Dalam bukunya yang berjudul ”Theoretical Sociology”, Collins mencoba
memetakan teori sosiologi ke dalam tiga aras, yakni makro, meso, dan mikro.
Menurutnya teori sosiologi aras makro merupakan teori yang topik kajiannya
menempatkan waktu dan ruang mempunyai pengaruh terhadap manusia.
Unit
analisis dari sosiologi makro ini adalah masyarakat sebagai suatu sistem sosial.
Adapun yang dimaksud Collins dalam teori sosiologi makro ini adalah teori evolusi,
teori sistem, teori fungsionalis, teori ekonomi politik, teori konflik, dan perubahan
sosial.
Berbeda dengan teori sebelumnya, teori sosiologi aras meso muncul karena
pertanyaan mendasar tentang hubungan timbang balik antara mikro dan makro
teori. Dalam hal ini, teori sosiologi pada aras meso berusaha menjambatani antar
teori makro dan mikro terutama yang berupa kontroversi. Adapun yang termasuk ke
dalam teori ini adalah teori jaringan yang mana berusaha menghubungkan teori
makro dan mikro melalui situasi dan struktur sosial dibandingkan dengan ciri-ciri
individu. Selain itu, teori sosiologi yang masuk pada aras meso, meliputi: teori
jaringan yang menjelaskan efek jaringan dari tindakan individu dan kepecayaannya,
jaringan dan ekonomi, dan jaringan kekuasaan.
Sementara itu, teori sosiologi aras mikro merupakan teori yang
memfokuskan pada topik kajian ruang dan waktu dalam ukuran yang lebih kecil
dimana individu dan interaksinya yang didasari oleh prilaku dan kesadaran. Akan
tetapi, Collins menambahkan bahwa unit mikro tidak memiliki batas yang jelas
dengan mempertanyakan bagaimana keberadaan individu terhadap individu lain
terhadap kelompoknya. Adapun yang termasuk ke dalam teori sosiologi mikro ini
adalah teori ritual interaksi (Durkheim dan Goffman), teori status sosial (Goffman),
dan teori pertukaran, dan teori relasi sosial.
Pemetaan teori sosiologi yang diungkapkan oleh Collins (1988), berbeda
jauh dengan apa yang dikemukakan oleh Skidmore (1979). Menurut Skidmore
bahwa tipe teori dalam sosiologi dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni: teori
15
deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif
(perspective). Teori deduktif merupakan teori yang dibangun dari tujuan yang
bersifat umum tentang suatu subyek atau fenomena atau pertistiwa yang meliputi
hukum-hukum. Skidmore memberikan contoh bahwa setiap kejadian atau peristiwa
X senantiasa mempengaruhi terjadinya kejadian atau peristiwa Y (sebab-akibat) atau
sebaliknya.
Tentunya kejadian atau peristiwa X maupun Y yang merupakan sebab-akibat
tidak terjadi begitu saja, melainkan didasari oleh hukum atau teori yang ada
sebelumnya. Teori ini, kemudian yang ditunkan dalam bentuk tujuan umum tentang
subyek kumpulan hukum-hukum (proposisi-proposisi). Dari kumpulan hukumhukum ini, kemudian menghasilkan apa yang dinamakan hipotesa.
Berbeda dengan teori sebelumnya, teori berpola (pattern theory) tidak
menekankan pada pemikiran teori deduktif, dimana dimensi vertikal tidak menjadi
penting, melainkan logikanya didasarkan atas ”lateral”. Penekanan atas logika
tersebut, mendorong teori ini lebig bertujuan menghubungkan pemikiran secara
teori dengan realita yang ada. Atau dengan kata lain, teori ini lebih berdasarkan atas
fakta sosial atau empirisme dalam membangun teorinya.
Skidmore (1979)
memberikan contoh teori ego dan super-ego yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud.
Adapun tipe teori yang terakhir menurut Skidmore adalah perspektif. Meski
penjelasan Skidmore tidak terlalu jelas, akan tetapi yang menarik untuk
dikemukakan dalam tipe ini adalah bahwa pesepektif sesungguhnya terpisah dari
teori berpola (pattren theory) dan teori deduktif (deductive theory), yang mana
bukan dari jenis subyeknya, melainkan lebih dari derajat subyek. Selanjutnya
menurut Skidmore bahwa perspektif tidak lain merupakan kumpulan ide-ide yang
penting sebagai pembentuk teori. Dalam hal ini, Skidmore (1979) memberikan
contoh teori simbolik-interaksi yang dapat dikatakan sebagai perspektif.
Merujuk pembagian tipe yang dikemukakan oleh Skidmore di atas, penulis
kemudian mencoba membedakan tiga tipe teori sosiologi menurut Skidmore
merujuk dari unit analisis, sifat logika yang dibangun, dan aras teori.
Berangkat dari dua pendapat di atas (Skidmore, 1979 dan Collins, 1988),
pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi penulis dalam pemetaan tipe teori
dalam sosiologi? Menjawab pertanyaan ini, penulis sangat sadari bukanlah
16
pekerjaan yang mudah karena pemetaan teori harus didasarkan atas argumentasi
yang kuat untuk meletakkan suatu teori sosiologi dalam tipe tertentu. Meski
demikian, dua pendapat sosiolog sebelumnya ditambah dengan Ritzer (2005)
dengan paradigma terpadunya yang membagi teori ke dalam 4 kelompok besar
(makro-obyektif,
makro-subyektif,
mikro-obyektif,
dan
mikro-subyektif)
memberikan gambaran kepada penulis untuk mencoba melakukan pemetaan tipe
teori sosiologi.
Pemetaan tipe teori yang akan dilakukan ini, tidak serta ”meninggalkan”
pendapat sebelumnya, melainkan mencoba mengelaborasinya ke dalam pembagian
tipe yang mudah dipahami. Adapun pembagian tipe teori sosiologi yang penulis
maksud adalah menggambungkan pendapat yang dikemukakan oleh Collins (1988),
Skidmore (1979), dan tipe ideal dalam pembentukan teori. Dengan menggunakan
sistem kuadran, penulis menempatkan dua garis yang saling menyilang (X dan Y)
sebagai garis kontinum yang membedakan antara aras teori dengan tipe ideal
pembentukan teori.
Aras teori berpijak pada pendapat Collins, yang kemudian penulis reduksi
menjadi dua aras, yakni makro dan mikro. Alasan mengapa teori aras meso yang
dikemukakan Collins, tidak penulis masukkan karena didasarkan atas dua
argumentasi, yakni: pertama, teori pada aras meso sebagaimana dikemukakan
Collins (1988) hanya menekankan perbedaan unit analisis antara makro dan mikro.
Akan tetapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran teori aras meso tetap
berpijak pada pemikiran yang bersumber dari induktif dan deduktif; dan kedua,
meminjam pembagian sosiologi oleh Sanderson (2003) yang mengemukakan bahwa
teori sosiologi pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan
kajian analitiknya. Adapun kategori yang dimaksud, yaitu: sosiologi makro dan
sosiologi mikro[1]. Dengan demikian, teori aras makro-mikro merupakan satu garis
kontinum yang saling berhubungan (garis sumbu X).
[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ilmu ini
memusatkan berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai
unsur pentingnya, seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan
bentuk sistem keagamaannya. Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya
kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.
Sedangkan sosiologi mikro adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir
dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.
17
Sementara itu, untuk tipe ideal pembentukan teori yang penulis maksud
adalah cara berfikir filsafat yang bersumber dari dua, yakni deduktif dan induktif.
Pernyataan ini senada dengan pendapat Skidmore yang membedakan tipe teori
menjadi 3 bagian, yakni teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern
theory), dan perspektif (perspective). Dalam pembuatan tipe teori sosiologi ini,
teori perspektif yang dikemukakan Skidmore, tidak penulis masukkan karena
cenderung sudah mewakili dua teori sebelumnya. Dengan demikian, deduktive
theory (cara berfikir deduktif) dan pattern theory (cara berfikir induktif) merupakan
satu garis kontinum atau garis sumbu Y.
Berangkat dari pemetaan teori yang disajikan di atas, dengan jelas terlihat
bahwa tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni:
1) Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif
berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukumhukum atau teori sebelumnya. Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah
individu dan kelompok sosial.
2) Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif
berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta
sosial (emperisme). Adapun tipe analisisnya adalah individu dan
kelompok sosial;
3) Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari
hukum-hukum atau teori sebelumnya. Satuan analisis dari tipe teori ini
adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial;
dan
4) Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari
fakta sosial (emperisme). Satuan analisisnya adalah masyarakat atau
sistem sosial.
18
Dengan demikian, beragam teori sosiologi yang ada dapat dimasukkan ke
dalam empat pembagian teori yang telah disebutkan sebelumnya. Atau dengan kata
lain, terdapat empat sel dalam matriks yang akan diisi sesuai dengan pembagian tipe
teori sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan teori sosiologi
hingga kini banyak tergolong ke dalam tipe teori makro-induktif dan mikro-induktif
dibandingkan dengan teori makro-deduktif dan mikro-deduktif. Bukti ini semakin
menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari
fakta sosial (empirisme) yang berbeda jauh dengan psikologi sosial dan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan.
3. TEORI SOSIOLOGI
Kata teori sering kali memberikan arti yang berbeda-beda kepada setiap
orang. Ada yang menghubungkan teori dengan hal-hal yang tidak realistis dan jauh
dari kenyataan. Ada juga orang yang menganggap teori tidak sejalan dengan hal-hal
praktis. Mereka berpikir apa gunanya teori kalau fakta sudah diketahui?.
Teori merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan, “Mengapa?” Mengapa
begini
dan
mengapa
begitu?
Tujuan
ilmu
pengetahuan
adalah
untuk
mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan
berteori, pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai situasi sosial dapat dijawab.
Karena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori sosiologi, maka ada baiknya
diuraikan secara singkat tentang apa itu teori, fungsi teori, pentingnya studi teori
sosiologi, serta pengklasifikasian teori sosiologi.
3.1 Definisi dan Fungsi Teori
Apa yang dimaksud teori? Turner dan Kornblum (Sunarto, 2000: 225)
menjelaskan hal-hal yang terkait dengan teori. Menurut Turner teori merupakan
proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa
peristiwa itu terjadi. Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan
seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati.
Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang
dijelaskan dengan faktor penyebab.
Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya
merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut
19
cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya
dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.
Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara
lain untuk (Zamroni, 1992: 4):
1. sistematisasi pengetahuan;
2. menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol sosial
3. mengembangkan hipotesa
3.2 Pentingnya Studi Teori Sosiologi
Studi tentang teori-teori sosiologi tidak dimulai di ruang-ruang kelas. Teori bisa
lahir dari kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak, dalam kehidupan keseharian,
semua orang berteori, yakni dengan memberikan interpretasi atas kenyataankenyataan tertentu.
Kita sebagai pengkaji sosiologi berkesempatan untuk mengamati realitas sosial
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Suatu aktivitas yang mesti dilakukan, hal
ini sebagai landasan kegiatan yang lain, untuk dapat melakukan analisis secara baik
(social observer).
Hasil pengamatan yang teratur digunakan sebagai alat analisis atas peristiwa,
situasi tertentu yang terjadi di sekitar kita maupun yang ada di luar sana. Pada
kesempatan ini seorang pengkaji sosiologi melakukan analisa berdasarkan
perspektif-perspektif yang dipilihnya, bahkan sampai pada teori yang dibangunnya
(social analitical).
Setelah kegiatan analisis barulah ditingkatkan pada kegiatan kritik. Maksudnya
pengkaji sosiologi dapat mengkritik realitas kemasyarakat berdasarkan hasil
pengamatan dan analisisnya. Kritik ini tentu diarahkan kepada suatu situasi atau
keadaan masyarakat yang dicita-citakan untuk kebaikan bersama (social critical).
Untuk mempercepat terwujudnya realitas masyarakat yang dicita-citakan inilah
diperlukan rekayasa sosial (social engeneering). Dalam rekayasa sosial ini seorang
pengkaji sosiologi membutuhkan power, kekuatan dan kekuasaan untuk mengajak
baik secara persuasif maupun rekayasa.
20
3.3 Klasifikasi Teori Sosiologi
Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori.
Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6 (2006) meskipun tidak
menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi
berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir
sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986) dalam bukunya Teori
Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut:
1) Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi Tahun-Tahun Awal)
Periode ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan tokohtokoh: Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi Jerman
dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. Sosiologi
Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer. Serta Sosiologi Italia dengan
tokoh Vilfredo Pareto.
2) Teori Sosiologi Modern.
Teori-teori ini merupakan pengembangan dari aliran-aliran Sosiologi Klasik.
Aliran-aliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi
Amerika, Fungsionalisme, Teori Konflik, Teori Neo-Marxis, Teori Sistem,
Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori Pertukaran,
Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis Modern, Teori Modernitas
Kontemporer, Strukturalisme, dan Post-Strukturalisme
3) Teori Sosial Post-Modern.
Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal
membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang tergabung
dalam aliran ini antara lain: Michael Foucoult, Jean Baudrillard, Jacques
Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari,
Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Jurgen Habermas, Zygmunt
Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell, Fredric Jameson.
Klasifikasi lain juga dikemukakan Ritzer (1992) dalam karyanya Sociology:
A Multiple Paradigm Science (Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Di dalamnya teori sosiologi diklasifikasikan berdasarkan paradigma. Paradigma
adalah sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan. Menurut Ritzer, sosiologi dibagi menjadi 3 paradigma,
yaitu:
21
1. Paradigma Fakta Sosial, meliputi Teori Fungsionalisme Struktural, Teori
Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiogi Makro;
2. Paradigma Definisi Sosial, meliputi Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik,
dan Fenomenologi;
3. Paradigma Perilaku Sosial, meliputi Teori Pertukaran Sosial dan Teori Sosiologi
Perilaku.
Klasifikasi berbeda juga dilakukan oleh Collins (Sunarto, 2000: 227)
dengan mengacu pada pemikiran sosiologi seabad lalu yang diidentifikasi
berdasarkan luas ruang lingkup pokok bahasan, yaitu:
1. Teori Sosiologi Makro, yaitu teori-teori yang difokuskan pada analisis proses
sosial berskala besar dan jangka panjang, meliputi teori tentang: evolusionisme,
sistem, konflik, perubahan sosial, dan stratifikasi
2. Teori Sosiologi Mikro, yaitu teori yang diarahkan untuk analisis rinci tentang apa
yang dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dalam pengalaman sesaat,
mencakup teori tentang interaksi, diri, pikiran, peran sosial, definisi situasi,
konstruksi sosial terhadap realitas, strukturalisme, dan pertukaran sosial.
3. Teori Sosiologi Meso, mencakup teori tentang hubungan makro-mikro, jaringan,
dan organisasi.
Hal serupa juga dilakukan oleh para sosiolog, seperti Jack Douglas (1973),
Broom dan Selznick (1977), Doyle Paul Johnson (1981), yang membagi teori
sosiologi menjadi dua kelompok besar yakni Sosiologi Makro dan Sosiologi Mikro
(Sunarto, 2007: 18).
3.4 Teori-Teori Sosiologi
Dalam tulisan ini akan disajikan beberapa teori sosiologi yang penting, sering
digunakan para sosiolog untuk membedah suatu fenomena sosial. Dalam penyajian
ini akan diklasifikasikan menurut kelahiran teori itu sendiri, yakni periode Sosiologi
Klasik, Sosiologi Modern, dan Sosiologi Postmodern. Perlu dipahami bahwa
lahirnya teori sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial penciptanya pada saat itu,
sehingga untuk menyebut suatu teori tertentu pasti tidak bisa lepas dari nama tokoh
penciptanya.
22
3.4.1 Teori Sosiologi Klasik
a. Auguste Comte: Sosiologi Positivis
Auguste Comte (1798-1857) sangat prihatin terhadap anarkisme yang
merasuki masyarakat saat berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu
Comte kemudian mengembangkan pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau
filsafat sosial untuk menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan
destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah tentang
masyarakat
melalui
pengamatan
dan
percobaan
untuk
kemudian
mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis
percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif
mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga
disebutnya sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu
alam agar motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya
fisika atau kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang
mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan
sosial).
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat
akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari
pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu
bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya
terhadap kekuatan dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan
abstrak), hingga tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan
evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya organisme,
berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi
diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada
kehidupan sosial.
b. Emile Durkheim: Sosiologi Struktural
Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara
mengenai kesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu
pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society
(1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap
23
pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern.
Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut
bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh
ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga
dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang
kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat
oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki
Solidaritas Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method
(1895), Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu
fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan
bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti struktur-struktur tertentu dalam
masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol tindakan individu dan
dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi
menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan
lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha
membuktikan bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial)
dengan pola-pola bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe
bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk
kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan
kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat
keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial) sebagai faktor kunci
untuk melakukan bunuh diri.
Melalui karya-karyanya, Durkheim selalu berpijak pada fungsi kolektif
sebagai bentuk aktivitas sosial, fakta sosial, dan kesatuan moral. Durkheim
mewakili kutub struktural dari perdebatan “struktural” versus “tindakan sosial”
atau perdebatan “konsensus” versus “konflik” yang berlangsung sepanjang
sejarah sosiologi.
c. Karl Marx: Sosiologi Marxis
Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis
percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx
24
memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata
dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi
(kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang
dieksploitasi (kaum proletar).
Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada
hakikatnya adalah sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan
yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai
pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan
di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan
buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping
itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak
berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx
timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat
Proposisi utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk
organisasi sosial yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik
modal. Kelas borjuis kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum
proletar. Mereka secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi
produksi. Dengan demikian kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang
mendunia.
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi
komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan
merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua
bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah
sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat
keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang
diberikan. Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan
suprastruktur (kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan
sosial yang telah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut
(Osborne, 1996: 50):
a. Semua masyarakat dibangun atas dasar konflik.
b. Penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi.
25
c. Masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah
faktor dominan.
d. Perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari
hubungan manusia dengan organisasi ekonomi.
e. Individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat
melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis ilmiah
(materialisme historis).
f. Bekerja dalam masyarakat kapitalis mengakibatkan keterasingan (alienasi).
g. Dengan berdiri di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami
dan mengubah posisi sejarah mereka.
h. Melalui kritik ilmiah dan aksi revolusioner, masyarakat dapat dibangun
kembali.
Sosiologi Marxis ini selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh abad XX,
seperti Gramsci, Adorno, Althusser, dan Habermas.
d. Herbert Spencer: Sosiologi Evolusioner
Herbert
Spencer
(1820-1903)
menganjurkan
Teori
Evolusi
untuk
menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat
berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi
(beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan
binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya
generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata
lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”.
Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan
model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori
tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di
kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin
laissez-faire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan
individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial
berkembang bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat
itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu
kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang,
26
namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan
populer.
e. Max Weber: Sosiologi Weber
Max Weber (1864-1920) tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan
bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya,
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa
kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam hal ini Protestanisme– yang
membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme. Kaum Protestan dengan
tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama
bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka
menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar
mendapat modal lebih banyak lagi.
Pandangan lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku
individu dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai
memahami Tindakan Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami
dengan memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial.
Pendekatan ini disebut verstehen (pemahaman).
Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat
adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi
operasional (berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses
yang menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan
birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi negara terhadap
kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber
mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam
penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam
studi tentang ilmu politik.
f. Georg Simmel: Filsafat Uang
Georg Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang spesifik
tentang tindakan dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe
orang berinteraksi, kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil
27
lainnya. Karya-karya Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di
Amerika.
Karya yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel
sebagai sosiolog cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering
disebut bervisi pesimistik. Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya.
Menurut Simmel, modernisasi telah menciptakan manusia tanpa kualitas karena
manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri. Sebagai contoh, begitu teknologi
industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja
secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern teknologi, maka
kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.
Di sisi lain, gejala monetisasi di berbagai faktor kehidupan telah
membelenggu masyarakat terutama dalam hal pembekuan kreativitas orang, bahkan
mampu mengubah kesadaran. Mengapa? Uang secara ideal memang alat
pembayaraan, tetapi karena kekuatannya, uang menjadi sarana pembebasan manusia
atas manusia. Artinya uang sudah tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai
tujuan. Kekuatan kuantitatifnya telah mampu mengukur berbagai jarak sosial yang
membentang antar individu, seperti cinta, tanggung jawab, dan bahkan mampu
membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial. Barang siapa memiliki uang
dialah yang memiliki kekuatan.
g. Ferdinand Tonnies: Klasifikasi Sosial
Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan
sosial dan organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies,
masyarakat itu bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft
(asosiasi/ patembayan).
Masyarakat gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan
sosial tertutup, pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas
hubungan kekeluargaan dan kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan
tipikal masyarakat pra-industri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada
masyarakat gesselschaft, hubungan kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial
cenderung impersonal dengan pembagian kerja yang rumit. Bentuk seperti ini
terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar Tonnies
28
adalah hilangnya komunitas dan bangkitnya impersonalitas. Ini menjadi penting
dalam kajian tentang masyarakat perkotaan.
3.4.2 Teori Sosiologi Modern
a. Sosiologi Amerika: Mazhab Chicago
Sosiologi menjadi populer di Amerika Serikat (AS) karena proses perubahan
sosial yang sangat pesat. Hal itu disebabkan masyarakat AS yang pragmatis dan
kapitalis. Sosiologi Amerika berbeda dengan Sosiologi Eropa yang memiliki akar
ilmiah. Sosiologi di AS berkonsentrasi pada kajian empiris yang menangkap detaildetail faktual atas apa yang sebenarnya terjadi. Melalui studi tersebut lahir tokohtokoh seperti Lester W Ward (1841-1913) yang menulis tentang hukum-hukum
dasar kehidupan sosial, Dubois (1868-1963) dan Jane Adams (1860-1935) yang
melakukan survei investigasi yang menggambarkan kondisi masyarakat, seperti
masalah diskriminasi ras, perbudakan, dan kondisi perkampungan kumuh.
Studi tentang kondisi riil masyarakat terus berkembang seiring dibukanya
Jurusan Sosiologi di Universitas Chicago. Sosiolog Chicago memproklamirkan studi
yang sama sekali baru terhadap suatu proses sosial dengan mengkaji masyarakat
secara kelompok kecil, karena masyarakat tumbuh dengan pesat dan multietnis.
Aliran ini terkenal dengan Mazhab Chicago, yang secara spesifik memfokuskan
diri pada bagaimana persepsi individu terhadap situasi pembentukan budaya dan
respon kelompok. Beberapa tokoh penting aliran Chicago adalah: Robert Ezra Park
(1864-1944) dengan pendekatan ekologisnya, Louis Wirth (1897-1952) dengan
Teori Urbanisme, George Herbert Mead (1863-1931) menciptakan Teori Diri dan
konsep Sosialisasi, Charles Horton Cooley melontarkan Teori Looking Glass-Self
atau Cermin Diri. Sosiologi Amerika pada masa ini juga bisa dikatakan sebagai
periode peralihan dari pemikiran sosiologi klasik ke modern.
b. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori/Perspektif ini menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan
konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya
adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes dan keseimbangan
(equilibrium).
29
Dalam teori/perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem
yang stabil dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu
kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dengan kata lain, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitandan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan
pada bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial,
fungsional terhadap yang lain. Para tokoh dalam perspektif fungsionalis: Talcott
Parsons (1937), Kingsley Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957)
Talcott Parsons (1902-1979) mensistemasi rumusan-rumusan terdahulu
tentang pendekatan fungsionalis terhadap sosiologi. Parsons mengawali dari
masalah aturan yang dikemukakan filsuf terdahulu Thomas Hobbes (1585-1679).
Hobbes mengatakan bahwa manusia mungkin secara alamiah saling mencakar satu
sama lain kecuali jika dikontrol dan dikekang secara sosial.
Berpijak dari pandangan itu, Parsons mengembangkan Teori Sistem (1951)
yang menguraikan panjang lebar tentang apa yang disebut prasyarat fungsional
bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Prasyarat tersebut adalah A-G-I-L:
a) Adaptation
(adaptasi):
bagaimana
sebuah
sistem
beradaptasi
dengan
lingkungannya. Konsep ini dikaitkan dengan faktor ekonomi.
b) Goal Attainment (pencapaian tujuan): menentukan tujuan yang kepadanya
anggota masyarakat diarahkan. Konsep ini dikaitkan dengan faktor politik.
c) Integration (integrasi): kebtuhan untuk mempertahankan keterpaduan sosial.
Konsep ini dikaitkan dengan faktor sosial.
d) Laten-Pattern Maintenance (pemeliharaan pola): sosialisasi atau reproduksi
masyarakat agar nilai-nilai tetap terpelihara. Konsep ini dikaitkan dengan faktor
budaya.
Ide Parsons mengenai Teori Sistem adalah bahwa masyarakat merupakan sistem
yang mengatur diri sendiri. Perubahan dalam satu bagian dari sistem akan
menghasilkan reaksi dan kompensasi pada bagian yang lain. Agar masyarakat dapat
bertahan, diperlukan unsur-unsur prasyarat fungsional yang saling mendukung, yaitu:
30
kontrol sosial, sosialisasi, adaptasi, sistem kepercayaan (agama), kepemimpinan,
reproduksi, stratifikasi sosial, dan keluarga.
c. Teori Konflik
Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap Teori
Fungsionalisme Struktural. Para teoritisi konflik melihat bahwa masyarakat sebagai
berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Bertentangan
dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu
keseimbangan yang mantap.
Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx
(1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak
utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang lama perspektif
konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini perspektif tersebut telah
dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956) dan
yang lain Ralph Dahrendorf (1959), Randall Collins, dan Jonathan Turner.
Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas
untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoretisi konflik modern
berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan
dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal,
dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas, bangsa, kewarganegaraan
dan bahkan jenis kelamin.
Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama
karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa
“nilai-nilai bersama’ yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan
pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok
atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai seta peraturan mereka
terhadap semua orang.
Menurut para teoretisi konflik, para fungsionalis gagal mengajukan
pertanyaan, “secara fungsional bermanfaat untuk siapa”. Para teoretisi konflik
menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang serasi”
bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan
merugikan sebagian lainnya. Para teoretisi konflik memandang keseimbangan suatu
masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil
31
mengetahui bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang
dieksploitasi. Para teoretisi konflik mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana pola
saat ini timbul dari perebutan antara kelompok-kelompok yang bertentangan, yang
masing-masing mencari keuntungan sendiri?”, “Bagaimana kelompok dari kelas
yang dominan mencapai dan mempertahankan hak istimewa mereka?”, “Bagaimana
mereka memanipulasi lembaga-lembaga masyarakat (sekolah, gereja, media massa)
untuk melindungi hak istimewa mereka?”, “Siapa yang beruntung dan siapa yang
menderita dari struktur sosial saat ini?”, “Bagaimana masyarakat bisa dibentuk lebih
adil dan lebih manusiawi?”.
d. Teori Neo-Marxis: Teori Kritis
Teori kritis memandang bahwa kenetralan teori tradisional/klasik sebagai
kedok pelestarian keadaan yang ada (mempertahankan statusquo). Padahal menurut
Teori Kritis, realitas yang ada itu adalah realitas semu yang menindas, oleh karena
itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa sampai menjadi
realitas yang demikian. Teori kritik lahir untuk membuka seluruh selubung ideologis
yang tak rasional yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir
manusia modern.
Berpikir kritis adalah berpikir dialektis, yaitu berbikir secara totalitas
timbal balik. Totalitas berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur saling
bernegasi (mengingkari atau diingkari), berkontradiksi (melawan atau dilawan), dan
saling bermediasi (memperantarai atau diperantarai). Pemikiran dialektis menolak
kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat (Sindhunata, 1983).
Pemanfaatan Teori Kritis dalam pembangunan sebagai wujud dari perubahan
sosial tentunya mempunyai prasyarat. Pertama, harus curiga dan kritis terhadap
masyarakat. Kedua, harus berpikir secara historis (mencari sebab-musababnya).
Ketiga, tidak memisahkan antara teori dan praktis.
Berbicara teori kritis tidak terlepas dari aliran pemikiran Mazhab Frankfurt.
Kelompok teori kritis Jerman ini terabaikan ketika mereka menulis pada tahun 19301940-an tetapi mulai diperhatikan sekitar tahun 1960-an. Mereka melibatkan diri
dalam
persoalan
bahwa
masyarakat
tidak
memperlihatkan
perkembangan
revolusioner sederhana seperti yang diramalkan Marx. Mazhab Frankfurt ini
beranggotakan tokoh-tokoh “kiri” yang terkenal, antara lain: Felix Weil, Friedrich
32
Pollock, Max Horkheimer, Karl Wittfogel, Theodor Adorno, Walter Benjamin,
Herbert Marcuse, dan Erich Fromm.
1) Herbert Marcuse: One Dimensional Man
Herbert Marcuse (1898-1979) merupakan anggota Mazhab Frankfurt yang
setengah hati. Menjadi terkenal selama tahun 1960-an karena dukungannya terhadap
gerakan radikal dan anti-kemapanan. Dia pernah dijuluki “kakek terorisme”,
merujuk pada kritiknya tentang masyarakat kapitalis, One Dimensional Man
(1964) yang berargumen bahwa kapitalisme menciptakan kebutuhan-kebutuhan
palsu, kesadaran palsu, dan budaya massa yang memperbudak kelas pekerja.
2) Jurgen Habermas: Komunikasi Rasional
Setelah tahun 1960-an, sosiologi makin menyadari pentingnya faktor
kebudayaan dan komunikasi dalam menganalisis masyarakat. Jurgen Habermas
(1929- ) menggabungkan kesadaran baru dengan Mazhab Frankfurt. Habermas
membicarakan komunikasi rasional dan kemungkinan keberadaannya dalam
masyarakat kapitalis. Dalam karyanya The Theory of Communicative Action
(1981), Habermas mengemukakan analisis kompleks tentang masyarakat kapitalis
dan cara-cara yang mungkin untuk melawan melalui emansipasi komunikatif dan
moral.
3) Antonio Gramsci: Hegemoni
Antonio Gramsci (1891-1937), seorang sosiolog Italia adalah seorang
pemikir kunci dalam pendefinisian ulang perdebatan mengenai kelas dan kekuasaan.
Konsepnya tentang Hegemoni menjadi diskusi tentang kompleksitas masyarakat
modern. Gramsci menyatakan bahwa kaum Borjuis berkuasa bukan karena paksaan,
melainkan juga dengan persetujuan, membentuk aliansi politik dengan kelompokkelompok lain dan bekerja secara ideologis untuk mendominasi masyarakat. Dengan
kata lain, masyarakat berada dalam keadaan tegang terus-menerus.
Ide mengenai hegemoni (memenangkan kekuasaan berdasarkan persetujuan
masyarakat) sangat menarik karena pada kenyataannya individu selalu bereaksi
terhadap dan mendefinisi ulang masyarakat dan kebudayaan tempat mereka berada.
Ide-ide Gramsci selanjutnya banyak berpengaruh pada studi kebudayaan dan budaya
populer.
33
e. Teori Aksi
Teori ini mengikuti sepenuhnya karya Max Weber yang mencapai puncak
perkembangannya sekitar tahun 1940, dengan beberapa karya sosiolog. Seperti
Florian Znaniecki, Robert M. Mac Iver, Talcot Parsons, dan Robert Hinkle. Beberapa
asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac
Iver, Znaniecki dan Parson, sebagai berikut:
a) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari
situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
b) Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan
c) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik,prosedur, metode serta
perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d) kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat
diubah dengan sendirinya.
e) Manusia memilih, menilai, mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang
dan yang telah dilakukannya.
f) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul
pada saat pengambilan keputusan
g) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukanj pemakaian teknik
penemuan yang bersifat subyektif, seperti metode verstehen, imajinasi,
symphatetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious
experience)
Talcot Parsons, merupakan pengikut Weber yang utama sebagaimana para
pengikut Teori Aksi yang lain menginginkan adanya pemisahan antara Teori Aksi
dan Aliran Behaviorisme. Istilah yang dipilih adalah “action” bukan “behavior”
karena memiliki konotasi yang berbeda. “Behavior” secara tidak langsung
menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respons) dengan
rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan “action” menyatakan secara tidak
langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu.
Parsons menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan
karakteristik sebagai berikut:
a) Adanya individu sebagai aktor
34
b) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu
c) Aktor mempnyai alternatif cara,alat serta teknik untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu
d) Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi
tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan
kondisi, sebagaian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya:
jenis kelamin dan tradisi
e) Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, nrma-norma dan berbagai ide
abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta
tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (voluntarisme).
f. Teori Interaksionisme Simbolik
Perspektif ini tidak menyarankan teori-teori besar tentang masyarakat
karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga masyarakat” adalah abstraksi
konseptual saja, sedangkan yang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orangorang dan interaksinya saja.
Para ahli interaksi simbolik seperti G.H. Mead, C.H. Cooley, dan John
Dewey memusatkan perhatiannya terhadap interaksi antara individu dan
kelompok. Mereka menemukan bahwa orang-orang berinteraksi terutama dengan
menggunakan simbol-simbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling
penting, melalui kata-kata secara tertulis dan lisan. Suatu kata tidak memiliki
makna yang melekat dalam kata itu sendiri, melainkan hanya suatu bunyi, dan
baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut
mengandung suatu arti khusus.
Charles Horton Cooley (1846-1929) memandang bahwa hidup manusia
secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis
manusia tiada beda, tapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan
historislah
yang
menyebabkan
demikian.
Dalam
analisisnya
mengenai
perkembangan individu, Cooley mengemukakan teori yang dikenal dengan
Looking Glass-Self atau Teori Cermin Diri. Menurutnya di dalam individu
terdapat tiga unsur: 1) bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat kita; 2)
bayangan mengenai pendapat orang lain mengenai diri kita; dan 3) rasa diri yang
bersifat positif maupun negatif.
35
George
Herbert
Mead
(1863-1931),
salah
satu
tokoh
sentra
interaksionisme simbolik menggambarkan pembentukan diri” atau tahap
sosialisasi dalam ilustrasi pertumbuhan anak, dimana terdapat tiga tahap
pertumbuhan anak, yakni 1) tahap bermain (play stage); 2) tahap permainan
(game stage); dan 3) tahap mengambil peran orang lain (taking role the other).
Manusia tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara langsung, mereka
bereaksi terhadap makna yang mereka hubungkan dengan benda-benda dan
kejadian-kejadian sekitar mereka, lampu lalu lintas, antrian pada loket karcis,
peluit seorang polisi dan isyarat tangan.
W.I. Thomas (1863-1947),
mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita
hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya. Bila
seorang
laki-laki
mendekat
dan
mengulurkan
tangan
kanannya,
kita
mengartikannya sebagai salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan
mengepal situasinya akan berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku
secara benar dan bereaksi dengan tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang
kurang menyenangkan.
Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Erving
Goffman (1959) dan Herbert Blumer (1962) menekankan bahwa orang tidak
menanggapi orang lain secara langsung, sebaliknya mereka menanggapi orang
lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang itu.” Dalam
perilaku manusia, “kenyataan” bukanlah sesuatu yang tampak. Kenyataan
dibangun dalam alam pikiran orang-orang sewaktu mereka saling menilai dan
menerka perasaan serta gerak hati satu sama lain. Apakah seseorang adalah teman
atau musuh, atau seorang yang asing bukanlah karakteristik dari orang tersebut.
Baik buruknya dia, diukur oleh pandangan tentang dia.
Perspektif interaksionis simbolis memusatkan perhatiannya pada arti-arti
apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan
dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah
banyak sekali memberikan sumbangan terhadap perkembangan kepribadian dan
perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalam studi terhadap kelompokkelompok besar dan lembaga-lembaga sosial.
36
g. Teori Fenomenologi
Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut
persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat
itu dapat terbentuk.
Alfred Schutz sebagai salah seorang tokoh teori ini bertolak dari
pandangan Weber, berpendirian bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu,
dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan
terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan
arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan
menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh aktor.
Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subjektivitas
yang disebutnya antar subjektivitas. Konsep ini menunjuk pada pemisahan
keadaan subjektif dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial
yang sedang saling berintegrasi.
h. Etnometodologi
Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika yang lahir tahun
1960-an dan dimotori oleh Harold Grafinkel (1917). Etnometodologi lebih
memperhitungkan kenyataan bahwa kelompok sosial mampu memahami dan
menganalisis dirinya sendiri (Coulon, 2008). Etnometodologi adalah sebuah
analisis terhadap metode yang dipakai manusia untuk merealisasikan kegiatan
sehari-harinya. Etnometodologi merupakan ilmu tentang etnometode, sebuah
prosedur yang disebut Grafinkel sebagai “penalaran sosiologi praktik”.
Etnometodologi
bergerak
dengan
konsep-konsep
khasnya,
seperti
indeksikalitas, reflektivitas, akuntabilitas, subjektivitas, pengambilan data yang
lebih terbatas pada manuskrip yang belum diterbitkan, catatan kuliah, atau catatan
harian penelitian.
37
i. Teori Pertukaran Sosial
1) Teori Pertukaran
Tokoh utama teori ini adalah George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori
ini dibangun sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial. Homans mengakui
menyerang paradigma fakta sosial secara langsung. Tetapi Homan mengakui bahwa
fakta sosial berperan penting terhadap perubahan tingkah laku yang bersifat
psikologi yang menentukan bagi munculnya fakta sosial baru berikutnya. Menurut
Homan sebenarnya yang menjadi faktor utama dan mendasar adalah variabel yang
bersifat psikologi.
Teori ini mendasarkan sistem deduksinya pada prinsip-prinsip psikologi
yaitu: 1) Tindakan sosial dilihat equivalen dengan tindakan ekonomis; 2) Dalam
rangka interaksi sosial, aktor mempertimbangkan juga keuntungan yang lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio). Proposisi yang perlu
diperhatikan adalah:

Makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh maka makin besar
kemungkinan sesuatu tingkahlaku akan diulang

Demikian sebaliknya. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman
(punishment) yang akan diperoleh semakin kecil kemungkinan tingkah laku
serupa akan diulang


Adanya hubungan berantai antara berbagai stimulus dan antara berbagai
tanggapan.
2) Teori Sosiologi Perilaku
Sosiologi Perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara sejarah
reaksi lingkungan atau akibat dan sifat perilaku kini. Teori ini mengatakan bahwa
akibat perilaku tertentu di masa lalu menentukan perilaku masa kini. Dengan
demikian dapat diprediksi apakah aktor akan menghasilkan perilaku yang sama
dalam situasi kini.
3) Teori Pilihan Rasional
Teori Pilihan Rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang
sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau maksud yang akan melakukan usaha
untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan. Teori ini
tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan, yang penting adalah kenyataan bahwa
tindakan digunakan untuk mencapai tujuan sesuai pilihan aktor.
38
Menurut pandangan teori ini, minimal ada dua hal yang dapat mempengaruhi
pilihan atau bersifat memaksa terhadap tindakan yang dilakukan aktor. Pertama,
keterbatasan sumber; dan kedua, paksaan lembaga sosial. Tokoh teori ini adalah
Friedman dan Hechter.
j. Teori Feminisme
Kaum
feminis
menyatakan
bahwa
penjelasan
sosiologi
hanya
mereproduksi ide bahwa gender bersifat alamiah dan bahwa wanita memenuhi
peran sosial yang relevan. Feminisme pada hakikatnya adalah wanita yang
menghendaki kesetaraan dalam hal akses terhadap pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, politik, dan kekuasaan. Kritik utama kaum feminis atas sosiologi
dapat diringkas sebagai berikut:
a) Riset sosiologi selalu dikonsentrasikan para pria;
b) Riset ini kemudia digeneralisasikan kepada seluruh populasi;
c) Wilayah-wilayah yang menyangkut wanita, seperti reproduksi telah diabaikan;
d) Riset bebas-nilai sebenarnya berarti riset yang buta jenis kelamin, dan wanita
ditampilkan dalam cara pandang yang tidak berimbang;
e) Jenis kelamin dan gender tidak dipandang sebagai variabel penting dalam
menganalisis masyarakat, padahal sangat penting.
Secara historis, wanita selalu dianggap tidak sehebat pria. Baru dalam lima
dasa warsa belakangan ini sajalah wanita secara aktual mencapai semacam
pengakuan kesetaraan, meski masih terbatas. Kritik kaum feminis atas masyarakat
didasarkan pada ide bahwa sebenarnya manusia dilahirkan dalam keadaan sama,
dan cara masyarakat mengorganisasilah yang menimbulkan siskriminasi.
Secara aktual dalam bidang pendidikan ditemukan bahwa wanita yang
diberi kesempatan yang sama dengan pria sebenarnya dapat berprestasi lebih baik
dalam hampir semua mata pelajaran. Ini agak mengkhawatirkan bagi pria karena
kesempatan kerja bagi mereka menjadi berkurang, sementara teknologi mutakhir
kini makin menyisihkan kekuatan otot sebagai penggerak produksi ekonomi.
Program yang dianjurkan feminisme untuk merekonstruksi sosiologi mencakup halhal berikut ini (Osborne, 1996: 122):
a) Menempatkan gender di pusat seluruh analisis, sejajar dengan kelas dan ras;
39
b) Mengkritik perspektif pria dalam seluruh teori sosiologi, yang berarti
menganalisis sikap-sikap yang telah membentuk cara pandang para sosiolog;
c) Menganalisis hubungan antara wilayah publik dan domestik sebagai hal penting
dalam memahami bagaimana masyarakat berfungsi;
d) Memeriksa dengan teliti seluruh teori sosiologi.
Teori Sosiologi Feminis
Teori ini berkembang dari teori feminis pada umumnya, sebuah cabang
ilmu baru tentang wanita yang mencoba menyediakan sistem gagasan mengenai
kehidupan manusia yang melukiskan wanita sebagai objek dan subjek, sebagai
pelaku dan yang mengetahui. Pengaruh gerakan feminis kontemporer terhadap
sosiologi telah mendorong sosiologi untuk memusatkan perhatian pada masalah
hubungan jender dan kehidupan wanita. Banyak teori sosiologi kini yang
membahas masalah ini.
Pertanyaan-pertanyaan feminis dapat diklasifikasikan menurut empat
pertanyaan mendasar:
a) Dan bagaimana dengan perempuan?
b) Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini?
c) Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial?
d) Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?
Jawaban atas pertanyaan ini menghasilkan teori-teori feminis.
Tokoh-tokoh feminisme yang terkenal antara lain: Patricia Hill Collins
(Teori Interseksionalitas), Janet Chafetz (Teori Konflik Analitik), Kathryn B.
Ward (Teori Sistem Dunia), Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams,
Charlotte Perkins Gilman (Feminisme Kultural), Helene Cixous, Luce Irigaray
(Analisis Fenomenologis dan Eksistensial), Jessie Bernard (Feminisme Liberal),
k. Strukturalisme
Setelah pergeseran Neo-Marxis dalam sosiologi, datanglah gelombang
kedua teori strukturalis yang menulis ulang cara-cara ditanamkannya
determinasi sosial dan agen sosial.
Strukturalisme dipelopori oleh perintis linguistik, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) yang mengawali dengan kajian tentang bahasa tetapi
40
berakhir dengan kajian atas segala sesuatu sebagai struktur. Teori semiotika
atau studi atas tanda-tanda dimulai dari aksioma terkenal bahwa bahasa adalah
sistem yang terstruktur, kebudayaan kemudian diuji sebagai sistem terstruktur
yang sama, dan selanjutnya masyarakat secara keseluruhan.
Pada akhirnya kita semua terjebak dalam bahasa dan kita memperoleh
budaya melalui bahasa. Kita adalah makhluk yang berbicara. Oleh karena itu
untuk memahami sebuah budaya, kita harus mengerti struktur yang berfungsi di
dalamnya dan pola dasar yang membentuknya.
Tokoh strukturalis yang terkenal di antaranya adalah Roland Barthes
yang menganalisis tentang tanda-tanda dalam budaya populer. Pentingnya
media massa dalam menyebarkan pandangan ideologis tentang dunia didasarkan
pada kemampuannya untuk membuat tanda, citra, penanda, bekerja dalam cara
tertentu.
3.4.3 Teori Sosial Postmodern
Teori sosial postmodern lahir dari para pemikir aliran postmodernisme.
Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan
memenuhi janji-janjinya. Pemikir postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia, metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme
cenderung
menggembar-gemborkan
fenomena
besar
pramodern, seperti: emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi,
kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen
keagamaan, dan pengalaman mistik (Ritzer, 2006: 19).
Banyak tokoh-tokoh postmodernisme yang sering diperbincangkan dalam
kancah teori sosial karena karyanya yang unik dan menghebohkan. Tokoh-tokoh
tersebut antara lain: Jacques Derrida (Gramatologi dan Utusan), Gilles Deleuze dan
Felix Guattari (Skizoanalisis), Jacques Lacan (Imaginer, Simbolik, Nyata), Paul
Virilio (Dramologi), Ulrich Beck (Modernitas dan Resiko), Jurgen Habermas
(Modernitas: Proyek Yang Tak Selesai), Daniel Bell (Masyarakat Post-Industri),
Fredric Jameson (Logika Kultural Kapitalisme Akhir), dan Anthony Giddens
(Lokomotif Modernitas dan Teori Strukturasi)
41
a. Michael Foucault: Kekuasaan dan Wacana
Perhatian Faucault (1926-1984) terpusat pada bagaimana pengetahuan
dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan
wacana terkait dengan pengetahuan. Radikalisme Faucault adalah bagian dari apa
yang disebut kecenderungan posmodern dalam sosiologi, yaitu penolakan atas teori
besar (metanarasi) tentang masyarakat dan sejarah.
Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan
pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh
Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah
konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan
memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti
kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi
mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang
dibentuk oleh kekuasaan
b. Jean Baudrillard: Simulacra
Menurut Baudrillard, masyarakat itu tidak ada. Jika ada, ia sepenuhnya
tersusun dari tanda-tanda atau simulasi (yang juga diistilahkan dengan simulacra)
karena kita hidup dalam jenis masyarakat pascaindustri. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa komunikasi televisual dan tanda-tandanya telah begitu mendominasi realitas
global sehingga orang-orang sangat kesulitan untuk memutuskan mana kenyataan
sebenarnya.
Baudillard berpandangan bahwa apa disebut realitas tidak lagi stabil dan
tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme.
Namun masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara
cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia dan realitas. Iklan adalah salah
satu kendaraan utama simulasi ini. Simulasi juga cenderung memikirkan hidup
untuk mereka sendiri, melebih-lebihkan kenyataan atas sesuatu.
c. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar
Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita tentang sejarah dan
masyarakat yang diungkap oleh Marxisme dan ahli lain, harus diabaikan dalam
42
dunia postmodern, majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil
tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat
kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal.
4. RAGAM PARADIGMA DALAM PENELITIAN SOSIOLOGI
Pertanyaan penting untuk dikemukakan sebelum mengetahui lebih jauh ragam
paragidma dalam penelitian sosiologi adalah apakah definisi paradigma dan
peranannya? dan sejauhmana paradigma penting bagi seorang ilmuwan sosial?
Menjawab dua pertanyaan di atas, bukanlah hal yang gampang disebabkan
beberapa hal, pertama, paradigma didefinisikan secara beragam dari para ilmuwan
sosial sehingga perlu diketahui secara jelas epistimologi dan ontologi dari
pendefinisian paradigma tersebut, kedua, penyusunan definisi paradigma syarat
dengan muatan nilai (aksiologi) sehingga mempunyai pengaruh secara pribadi
maupun komunal bagi mereka yang menggunakannya, dan ketiga, paradigma
menentukan posisi seorang ilmuwan sosial dalam berpijak menanggapi kondisi
sosial dimana ia berada.
Meski demikian, dalam tulisan ini, akan dikemukakan dua pendapat tentang
paradigma. Ritzer (2004) mendefinisikan paradigma sebagai gambaran fundamental
mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu menemukan
apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara
mengajukannya, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang
diperoleh.
Selanjutnya
Ritzer
(2004)
menekankan
bahwa
paradigma
menggolongkan, menetapkan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan
instrumen yang ada di dalamnya.
Senada dengan definisi di atas, Guba dan Lincoln (1994), mendefinisikan
paradigma sebagai seperangkat keyakinan yang mendasar (atau metafisik) tentang
persoalan pokok atau prinsip utama. Ditambahkan bahwa paradigma menggariskan
apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya
dikemukakan dan kaidah-kaidan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan
jawaban yang diperolehnya.
43
Berangkat dari dua pendapat di atas, maka dengan jelas pertanyaan kedua
terjawab dimana paradigma bagi seorang ilmuwan sosial penting untuk menetapkan
atau menentukan posisi paradigmatiknya dalam membedah atau menganalisis
kondisi sosial disekitarnya.
Untuk itu, tulisan ini dibuat untuk menunjukkan beragam paradigma yang hadir
dalam lingkungan ilmu sosial, diantara mengacu pada pembedaan paradigma
menurut Denzin dan Lincoln (2000), Jurgen Habermas (1990), Ritzer (2004),
Gibson Burrel dan Gareth Morgan (1994), dan posisi penulis terhadap ragam
paradigma tersebut.
4.1 Ragam Paradigma dalam Sosiologi
Dalam buknya yang berjudul ” Handbook of qualitative research (second
edition)”, Denzin dan Linclon (2000) membedakan lima paradigma ilmu, yaitu: (1)
positivisme (positivism); (2) post-positivisme (postpositivism); (3) teori kritik
(critical theory); (4) konstruktivisme (constructivism); dan (5) partisipatoris
(participatory). Pembedaan kelima paradigma ini, didasarkan pada ontologi,
epistimologi, dan metodologi dari masing-masing paradigma.
Hal yang berbeda dengan Habermas (1990), dimana dalam epistimologinya
mengungkapkan bahwa ilmu memiliki sifat bebas nilai sehingga tidak dapat
dipisahkan dari nilai dan teori tidak dapat dipisahkan dari praktek. Selanjutnya
Habermas membedakan tiga jenis ilmu berdasarkan kepentingan atau fungsinya,
yaitu: pertama, empiris analisitis, adalah membangun hubungan-hubungan kausal
yang mendasar dalam kepentingan untuk mengontrol alam. Ilmu-ilmu ini dengan
kepentingan teknis menghasilkan informasi yang akan menambah penguasaan
teknis manusia. Kedua, historis hermeneutis, adalah kebutuhan manusia dalam
melakukan komunikasi yang penuh pengertian. Ilmu-ilmu ini ditujukan untuk
kepentingan praktis dan menghasilkan interpretasi yang memungkinkan suatu
orientasi bagi tindakan praktis manusia ke dalam kehidupan bersama; dan ketiga,
sosial kritis ditujukan untuk kepentingan emansipatoris yang menghasilkan analisis
yang membebaskan kesadaran manusia dari kungkungan dominasi kekuasaan dan
struktural. Selanjutnya, perbedaan pembagian paradigma juga dijelaskan oleh Ritzer
44
(2004) dan Burrel dan Morgan (1979). Menurut Ritzer, paradigma sosiologi dapat
dipetakan menjadi bagian, yakni fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Selain itu, Ritzer mencoba mengumukakan alasan paradigma yang lebih
terintegratif dalam sosiologi dari yang sudah ada. Menurutnya, kunci utama dari
paradigma terintegrasi ini adalah gagasan mengenai tingkat-tingkat analisis.
Tingkat analisis sosial ini menggunakan dua kntinum, yakni berdasarkan skala
fenomena sosial yang terjadi berupa mikroskopik dan makroskopik, dan kontinum
berdasarkan atas dimensi obyektif-subyektif dari analisis sosial.
Sedangkan Gibson Burrel dan Gareth Morgan (1979) memetakan paradigma
sosiologi menggunakan dua kata kunci analisis, yakni sifat ilmu dalam dimensi
obyektif dan subyektif, serta dimensi keteraturan dan perubahan radikal. Dalam
pendekatan subyektif, ontologi yang dikembangkan adalah nominalis (kenyataan
ada dalam diri) dengan epistimologi antipositivisme dan metodologi ideografik.
Untuk pendekatan obyektif menganut ontologi realisme, epistimologi positivisme,
dan metodologi nomoetik.
Sementara itu, dimensi keteraturan sosial menekankan pada status quo,
keteraturan sosial, konsensus, kohesi, integrasi sosial, solidaritas, dan pemenuhan
kepuasan. Sedangkan dimensi perubahan radikal menekankan pada perubahan
radikal itu sendiri, konflik struktural, cara dominasi, kontradiksi, emansipasi,
deprivation, dan mengutamakan kejadian potensial yang diharapkan akan terjadi.
Adapun kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan empat pemetaan paradigma,
yaitu: (1) paradigma humanis radikal (radical humanist paradigm); (2) paradigma
strukturalis radikal (radical strukturalist paradigm); (3) paradima interpretatif
(interpretative paradigm); dan paradigma fungsionalis (fungsionalist paradigm).
Hal yang berbeda tentang pembagian paradigma dalam sosiologi juga dijelaskan
oleh Poloma (2004). Merujuk dari perkembangan teori-teori sosiologi kontemporer,
Poloma membagi 3 teori-teori sosiologi yang tidak lain mewakili pandangan
sosiologi dunia. Adapun ketiga pembagian tersebut, yakni teori naturalis dan
positivis, teori humanistis atau interpretatif, dan teori evaluatif.
45
PENUTUP
Teori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta
pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang
berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga/pelaku sosial pun dapat
berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro
mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa,
atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya
dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan antara
teori-teori besar (grand theory) dan teori yang cakupannya tidak seluas itu.
Sosiologi dalam dunia praksis tidak hanya meneliti masalah sosial untuk
membangun proposisi dan teori tetapi sosiologi bukanlah seperangkat doktrin yang
kaku dan selalu menekan apa yang seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut pandang
atau ilmu atau ilmu yang selalu mencoba “mengupas” realitas guna mengungkap
fakta realitas yang tersembunyi dibalik realitas yang tampak.
Untuk selalu membedah dan mengembangkan teori sosiologi, seorang
pengamat sosial atau sosiolog dituntut selalu tidak percaya pada apa yang tampak
sekilas dan selalu mencoba menguak serta membongkar apa yang tersembunyi (laten)
di balik realitas nyata (manifes) karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah
sebagaimana yang tampak tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika
dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan.
46
Referensi
Burrell, G. & G. Morgan, Sociological paradigms and organizational analysis,
Arena,1994.
Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta : Gramedia
Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, Jakarta : Gramedia
Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali
Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI
Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004, Yogyakarta: CIRED
Asriwandari,Hesti. 2008,Multi paradigma dalam Sosiologi sebuah penantar, UNRI
Collins, R., Theoretical Sociology, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Prbl., 1988.
Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi
kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Skidmore, W., Theoretical Thinking in Sociology, Cambridge: Cambridge University
Press, 1979.
Soetrisno dan Hanafie, SR., Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta, 2007.
Stinchcombe, A. L., Constructing Social Theories, New York: Harcourt, Brance and
World, Inc., 1986.
Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA:
Wadsworth Publishing Company, 1998.
[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu pengetahuan
sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ilmu ini memusatkan
berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya,
seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan bentuk sistem
keagamaannya. Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja
dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi. Sedangkan sosiologi mikro
adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam
kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cabin, Philipe & Jean Francois Dortier (ed). 2004. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana
47
Coulon, Alain. 2008. Etnometodologi. Yogyakarta: Lengge-Genta Press.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1992. Sosiologi Jilid 2. Terjemahan Aminuddin
Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Henslin, James N. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Alih Bahasa:
Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Terjemahan Robert
M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nugroho, Heru. 1993. Kritik Sebagai Metode dalam Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Fisipol UGM.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Osborne, Richard & Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi For Begginers.
Bandung: Mizan
Poloma, Margareth M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta: KPG
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka
Ritzer, George.1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur:
Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George. 2006. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Penyadur:
Alimandan. Jakarta: Kencana
Santoso, Listiyono, Dkk. 2006. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh
Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: LPFE-UI
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: CIRedJejak Pena.
Veeger, Karel J. 1997. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama –
APTIK.
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (second edition),
Thousand Oaks: Sage Publ. Inc., 2000.
48
Habermas, J., Ilmu dan teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES, 1990.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi
kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Download