studi patomorfologi kasus urolithiasis dan sindrom

advertisement
STUDI PATOMORFOLOGI KASUS UROLITHIASIS DAN
SINDROM UREMIA PADA KUCING
SUCI SITI SHOLIHAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Patomorfologi
Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Kucing adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Suci Siti Sholihah
NIM B04110012
ABSTRAK
SUCI SITI SHOLIHAH. Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom
Uremia pada Kucing. Dibimbing oleh EVA HARLINA dan MAWAR SUBANGKIT.
Urolithiasis adalah penyakit dimana ditemukannya batu atau kalkuli pada
traktus urinarius. Kucing merupakan karnivora atau hewan pemakan daging,
namun karena komposisi pakan yang tidak sehat menyebabkan
ketidakseimbangan nutrisi dan menimbulkan penyakit urolithiasis. Urolith pada
traktus urinarius menyebabkan obstruksi sehingga menahan produk buangan dari
ginjal, salah satunya adalah urea. Uremia adalah meningkatnya kadar urea di
dalam darah karena gagal ginjal kronis, dan menyebabkan berbagai gejala klinis
dan lesio multisistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patomorfologi
urolithiasis dan uremia pada seekor kucing yang dinekropsi di Laboratorium
Patologi FKH IPB. Sediaan histopatologi diwarnai Hematoksilin-Eosin (HE), dan
pewarnaan khusus Masson Trichrome, Periodic Acid Schiff (PAS), dan Von
Kossa. Secara histopatologi ditemukan berbagai perubahan yang disebabkan
urolithiasis dan uremia, diantaranya ginjal mengalami nefrolithiasis, gagal ginjal
kronis dan fibrosis, hati mengalami nekrosa sentrilobuler, dan paru-paru yang
mengalami hemoragi, kongesti dan emfisema. Pada paru-paru ditemukan
multifokal abses akibat infeksi jamur yang menunjukkan kucing mengalami
infeksi sekunder akibat imunosupresi. Sindrom uremia yang ditemukan berupa
mineralisasi di pleura musculus intercostalis, degenerasi organ parenkim, dan
hiperplasia kelenjar paratiroid. Penyebab kematian kucing adalah gagal ginjal,
yang memicu terjadinya hipertensi dan menginduksi terjadinya gagal jantung.
Kata kunci: histopatologi, kucing, urolithiasis, uremia,
ABSTRACT
SUCI SITI SHOLIHAH. Pathomorphological Changes of Urolithiasis and Uremic
Syndrome on Cat. Supervised by EVA HARLINA and MAWAR SUBANGKIT.
Urolithiasis is a disease which presence of stones in the urinary tract. Cat is
carnivore or animal mostly eat meat, but because of unhealthy food composition
cause nutrition imbalance and get urolithiasis disease. Urolith in urinary tract
cause obstruction and restrain waste product from kidney, which one is urea.
Uremia is increase in level of urea in blood because of renal failure and causes
various syndromes which related to clinical signs and multisystemic lesions. The
aim of this research is to study pathomorphological changes of urolithiasis and
uremia on cat that necropsied by Pathology Laboratory, FKH IPB. The tissue
stained with Hematoxyllin-Eosin (HE), special stains Masson Trichrome, Periodic
Acid Schiff (PAS), and Von Kossa. Histopathologically, there is some lesions in
many organs because of urolithiasis and uremia, i.e. nephrolithiasis, chronic renal
failure and fibrosis, centrilobuler necrosis of liver, and hemorrhage, congestion
and emphysema of the lung. There were found multifocal abscesses with fungal
infection caused by secondary infection of immunosupression. Uremia syndrome
was found as mineralization of pleura at intercostae, parenchyma organ
degeneration and parathyroid hyperplasia. The cause of the death of the cat was
renal failure that triggers hypertension which induces heart failure.
Key words: cat, histopathology, urolithiasis, uremia
STUDI PATOMORFOLOGI KASUS UROLITHIASIS DAN
SINDROM UREMIA PADA KUCING
SUCI SITI SHOLIHAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi
: Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada
Nama
: Suci Siti Sholihah
NIM
: B04110012
Kucing
Disetujui oleh
}My
Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet
Pembimbing I
Tanggal Lulus :
1 5 SEP 7.015
Drh Mawar Subangkit. MSi. APVet
Pembimbing II
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni 2014 hingga Februari 2015 ini
adalah Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Kucing.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Eva Harlina, MSi,
APVet dan Bapak Drh Mawar Subangkit, MSi, APVet selaku dosen pembimbing.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Drh Adi Winarto, PhD selaku
dosen pembimbing akademik. Selain itu, terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh, dan Bapak Endang beserta staf Bagian
Patologi FKH IPB yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik beserta seluruh keluarga atas
segala doa, semangat dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada para sahabat
yakni Naim, Sri, Resti, Mimi, Rina, Ega, Mangga, Hesti, Laras, Najia dan teh
Rika yang telah banyak membantu dan memberi dukungan, serta rekan-rekan
angkatan 48.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Suci Siti Sholihah
DAFTAR ISI
PRAKATA
DAFTAR ISI
vii
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelititan
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Urolithiasis
2
Uremia
2
Gagal Ginjal
3
METODE PENELITIAN
3
Waktu dan Tempat penelitian
3
Bahan dan Alat
3
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Histopatologi
6
6
Patogenesis Penyakit
14
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL
1 Hasil pemeriksaan patologi anatomi berbagai organ kucing P 256/11
2 Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai organ kucing P 256/11
4
6
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Ginjal kucing urolithiasis
Degenerasi hidropis dan tubulus ginjal nekrotik
Ginjal urolithiasis, fibrosis, deposit mineral di lumen tubulus
Edema paru-paru, multifokal abses pada paru-paru dan hifa jamur.
Abses di paru-paru karena infeksi jamur.
Nekrosa sentrilobular hati dan degenerasi lemak hepatosit
Degenerasi otot jantung
Limpa splenitis
Mineralisasi di pleura parietalis
Hiperplasia kelenjar paratiroid
Bagan patogenesis urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing
7
8
9
10
10
11
12
13
13
14
16
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing merupakan karnivora atau hewan pemakan daging, namun
seringkali pemilik memberikan pakan yang tidak sehat yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan nutrisi. Nutrisi yang tidak seimbang dapat menimbulkan
penyakit, salah satunya adalah batu ginjal (urolithiasis). Urolithiasis merupakan
salah satu penyebab Feline Urolithiasis Syndrome (FUS), selain idiopathic
cystitis. Pakan kering tertentu merupakan faktor penyebab terjadinya FUS
(Buffington 2001).
Feline Urolithiasis Syndrome (FUS) sering menyerang kucing-kucing
rumahan. Gejala penyakit ini yaitu rasa nyeri di daerah pinggang ataupun di
daerah saluran kencing lainnya. Rasa nyeri mulai dari ringan sampai berat
tergantung dari besar kecilnya batu yang terbentuk. Gejala lainnya adalah kucing
kesulitan urinasi dan urin kadang merah disertai darah akibat luka gesekan batu
pada dinding vesika urinaria (Wakidi 2003). Jika dibiarkan, kucing sama sekali
tidak bisa kencing karena sumbatan urolith dalam saluran kencingnya. Kucing
jantan paling rentan dengan masalah ini, karena saluran kencingnya lebih panjang.
Kucing akan menjadi pendiam, tidak mau makan hingga menunjukkan gejala
muntah. Pada bagian perut belakang akan teraba kandung kemih yang membesar
dan keras seperti bola.
Urolithiasis adalah adanya batu atau kalkuli (urolith) di traktus urinarius
yang disebabkan oleh adanya akumulasi zat-zat yang terkandung di dalam urin
sehingga membentuk seperti batu (Brunner dan Suddarth 2002). Batu ginjal
tersusun atas mikrolit-mikrolit (calon urolith) yang memadat kemudian dapat
tumbuh membesar (Fuadi 2009). Batu dapat ditemukan sepanjang saluran kemih
mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria dan uretra. Batu
dapat terbentuk di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah. Batu
dapat juga terbentuk karena adanya stasis urin, seperti batu di vesika urinaria atau
karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk di dalam divertikel
uretra.
Seekor kucing betina mixed Persia berumur 1,5 tahun dinekropsi di
Laboratorium Patologi FKH IPB, untuk didiagosis penyebab kematiannya.
Anamnese kucing tersebut adalah kesulitan urinasi dan kejang-kejang. Dari hasil
pemeriksaan patologi anatomi didiagnosis kucing tersebut menderita urolithiasis
dan sindrom uremia. Untuk mempelajari patomorfologi urolithiasis dan
hubungannya dengan sindrom uremia maka dilakukan pemeriksaan histopatologi
organ-organ kucing tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patomorfologi urolithiasis dan
sindrom uremia pada kucing.
2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
patomorfologi urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing.
mengenai
TINJAUAN PUSTAKA
Urolithiasis
Urolithiasis adalah kalsifikasi berupa kalkuli yang terjadi pada sistem
urinari yang seringkali disebut batu ginjal. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk
di tubuli ginjal, kemudian dapat berada di kaliks dan pelvis ginjal bahkan bisa
mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal (Purnomo 2008). Batu terbentuk karena
adanya supersaturasi zat-zat yang terlarut dalam urin seperti kalsium oxalat,
fosfat, asam urat, dan lain-lain pada suatu keadaan tertentu, seperti retensi urin
dan suasana asam dan basa urin. Urolith membungkus nidus di sekelilingnya,
yang terdiri atas leukosit, bakteri, dan matriks organik bercampur kristal, atau
hanya kristalnya saja. Nidus adalah nukleus atau inti dari urolith atau embrio
kristal. Nidus menyusun sekitar 10-20% dari total massa urolith. Nidus dibentuk
dari berbagai tipe kristal dan bagian lainnya, yang biasa dikenal sebagai epitaxial
growth. Struvite dan kalsium oksalat adalah jenis urolith yang paling banyak
ditemukan pada kasus klinik (Buffington 2001).
Bentuk batu ginjal ada yang licin, kasar, bulat dan ada yang bercabangcabang sepeti tanduk rusa. Permukaannya ada yang tajam sehingga dapat
menimbulkan luka pada dinding saluran kencing (Wakidi 2003). Urolithiasis
merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada sistem perkemihan
kucing (Holt 1983; Vedrenne et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi
pembentukan urolith pada kucing diantaranya infeksi bakteri, kurangnya aktivitas
fisik, kurang minum atau kualitas minum yang buruk, dan juga karena selalu
diberi pakan kering.
Uremia
Uremia merupakan peningkatan kadar ureum dalam darah yang diakibatkan
oleh kondisi gagal ginjal. Uremia dapat menyebabkan berbagai sindrom yang
berhubungan dengan tanda klinis dan lesio multisistemik yang diakibatkan gagal
ginjal (Zachary dan McGavin 2012). Gagal ginjal mengakibatkan menurunnya
daya pembersihan ureum oleh ginjal sehingga menyebabkan retensi ureum.
Retensi atau tertahannya ureum menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologis
cairan tubuh. Retensi ureum menyebabkan beberapa komponen plasma berperan
sebagai toksin uremik diantaranya senyawa inorganik, urea, oxalic acid, hormon
paratiroid (PTH), dan ß2-microglobulin (Vanholder dan Smet 1999). Lesio yang
ditimbulkan akibat uremia diantaranya edema pulmonum, perikarditis fibrinosa,
gastritis hemoragik dan ulseratif, stomatitis ulseratif dan nekrotik, trombosis
atrium dan aorta, mineralisasi di berbagai jaringan lunak (lambung, paru-paru,
3
pleura dan ginjal), osteodistrofi fibrosa, dan hiperplasia paratiroid (Carlton dan
McGavin 1995).
Gagal Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah, dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Fungsi vital ginjal dicapai melalui filtrasi plasma darah oleh glomerulus, dan
reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan melalui sistem
pengumpulan urin (Price dan Wilson 2005).
Fungsi ginjal dapat menurun karena penyakit ginjal atau oleh penyebab
postrenal, seperti obstruksi aliran urin pada saluran urinari bawah. Menurunnya
fungsi ginjal mengakibatkan retensi komponen plasma yang secara normal
dikeluarkan oleh ginjal. Uji konsentrasi urea dan kreatinin yang merupakan
produk buangan nitrogen dari katabolisme protein, secara rutin digunakan sebagai
indikasi berkurangnya fungsi ginjal. Apabila fungsi ginjal yang terganggu
mencapai 25%, akan mengakibatkan gagal ginjal (Dewayani 2007). Penyakit
ginjal yang hebat dapat mengakibatkan gagal ginjal, yang terbagi menjadi bentuk
akut dan kronis. Pada gagal ginjal akut ditandai dengan tingginya onset dari
oliguria atau anuria dan azotemia. Gagal ginjal kronis adalah akhir dari banyaknya
penyakit ginjal kronis yang bersifat irreversible, yang ditandai dengan sindrom
uremia dalam waktu yang lama (Jubb et al. 1993).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi,
dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2014 hingga Februari 2015.
Bahan dan Alat
Bahan studi patomorfologi berasal dari organ seekor kucing yang
dinekropsi di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi
FKH-IPB dengan kode P 256/11. Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi
anatomi organ ginjal dan organ-organ lainnya menunjukkan kucing tersebut
menderita urolithiasis dan sindrom uremia. Hasil pemeriksaan patologi anatomi
organ kucing keseluruhan disajikan pada Tabel 1.
4
Tabel 1 Hasil pemeriksaan patologi anatomi berbagai organ kucing P 256/11
Sistem Organ
Integumen
Sirkulasi
Respirasi
Organ
Kulit
Jantung
Paru-paru
Perubahan
Hidrops anasarka
Dilatasi bilateral
Edema pulmonum, multifokal abses,
hidrothoraks
Pleura parietalis Kalsifikasi musculus intercostae
Urinaria
Ginjal
Nefrolithiasis (16 buah batu di ginjal kanan
dan satu buah batu ginjal kiri), nefritis
interstitialis kronis
Digesti
Lidah
Glossitis
Lambung
Stomatitis, ulkus lambung, hidrops ascites
Hati
Kongesti
Limforetikuler
Limpa
Splenitis, kongesti
Saraf
Otak
Vasa injeksio
Kelenjar endokrin Kelenjar thyroid Atrofi
Sumber: Buku P, Divisi Patologi, Departemen KRP FKH-IPB Tahun 2011
Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol konsentrasi 70%, 80%, 90%,
96%, etanol absolut, xylene, parafin, akuades, pewarna Mayer’s HaematoxylinEosin, pewarna Von Kossa, pewarna Masson Trichrome dan pewarna PAS.
Peralatan yang digunakan adalah timbangan, tissue casette, tissue basket,
parrafin embedding console, automatic tissue processor, cetakan blok parafin,
mikrotom putar, waterbath, gelas objek, gelas penutup, aluminium foil,
mikroskop cahaya dan digital eyepiece camera MD 150.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampel organ dipotong dan ditempatkan ke dalam tissue casette, lalu
dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing,
dan embedding. Dehidrasi yaitu merendam jaringan secara berturut-turut ke dalam
etanol 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut I, II dan III, clearing yaitu merendam
jaringan dalam larutan xylene I dan II, dan infiltrasi yaitu merendam jaringan
dalam parafin cair I dan II yang bersuhu 60oC. Perendaman pada setiap larutan
dilakukan selama 2 jam. Kemudian dilakukan embedding, yaitu menanam
jaringan dalam parafin cair dan didinginkan hingga terbentuk blok parafin.
Selanjutnya jaringan dipotong dengan ketebalan 3-5 µm menggunakan mikrotom
putar. Hasil potongan dimasukkan ke dalam air hangat 45oC dalam waterbath
untuk menghilangkan lipatan, kemudian sediaan diangkat dengan gelas objek
yang sudah diberi albumin dan dikeringkan dalam inkubator 60oC.
Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE)
Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi.
Deparafinasi dengan cara diinkubasi pada suhu 60oC selama dua jam, kemudian
5
sediaan direndam dalam xylene I, II dan III selama 2 menit. Rehidrasi
menggunakan etanol absolut, 95% dan 80% masing-masing selama 2 menit, dan
dicuci dengan air mengalir 1 menit. Selanjutnya sediaan direndam dalam pewarna
Mayer’s Haematoxylin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan
Lithium karbonat selama 15-30 detik, dan dibilas dengan air mengalir kembali.
Kemudian sediaan dicelup ke dalam pewarna Eosin selama 3 menit dan dibilas
dengan air mengalir selama 30-60 detik. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi yaitu
sediaan dicelup ke dalam etanol 95% sebanyak 10 kali, etanol absolut I sebanyak
10 kali, etanol absolut II selama 2 menit dan xylene I, II dan III masing-masing
selama 2 menit. Tahap akhir, sediaan ditetesi Permount® dan ditutup dengan gelas
penutup.
Pewarnaan Masson Trichrome
Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi.
Selanjutnya sediaan ditetesi larutan Mordant selama 2 menit, dibilas dengan
akuades, kemudian ditetesi larutan Carrazi’s Haematoxylin selama 5-7 menit, lalu
dibilas dengan akuades. Tahap selanjutnya, sediaan ditetesi larutan Orange G
0.75% selama 1-2 menit, dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali,
ditetesi larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 5 menit, dibilas dengan Asam
Asetat 1% sebanyak dua kali, lalu ditetesi Phosphotungstic Acid 2.5% selama 2
menit, dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali, ditetesi Anilin Blue
selama 5 menit, dan dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali. Terakhir
sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama 3 menit yang dilanjutkan
dengan proses dehidrasi dan ditutup dengan gelas penutup.
Pewarnaan Von Kossa
Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi.
Selanjutnya sediaan direndam dalam silver nitrat dan diletakkan di tempat yang
gelap selama 30-60 menit, kemudian dibilas dengan akuades. Setelah itu sediaan
direndam dalam akuades dan disinari lampu selama 60 menit. Sediaan dan lampu
ditutupi dengan kertas aluminium foil. Selanjutnya sediaan dibilas kembali
dengan akuades, kemudian direndam dalam Sodium Thiosulphat selama 3-5
menit, dicuci dengan akuades, direndam dalam pewarna latar (0.2% Safranin
dalam 1% Asam Asetat) selama 1-5 menit, dan dilanjutkan dengan proses
dehidrasi dan ditutup dengan gelas penutup.
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi.
Kemudian sediaan direndam dalam Asam Asetat 1% selama 5 menit, dibilas
dengan akuades, dan dioksidasi dalam Periodic Acid 1% selama 5-10 menit,
kemudian dibilas dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam
Schiff Reagent selama 15-30 menit, dibilas dengan Air Sulfit (10% sodium
bisulfate/NaHSO3 10 mL), dibilas dengan air mengalir, lalu dibilas dengan
akuades. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam Haematoxylin selama 2-3
6
menit, dibilas air mengalir dan akuades, dan dilanjutkan dengan proses dehidrasi
dan ditutup dengan gelas penutup.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pemeriksaan Histopatologi
Hasil pemeriksaan histopatologi organ-organ kucing kasus P 256/11
mendukung adanya urolithiasis dan sindrom uremia. Hasil pemeriksaan
histopatologi organ kucing keseluruhan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai organ kucing kasus P 256/11
Sistem Organ
Sirkulasi
Respirasi
Organ
Jantung
Paru-paru
Urinaria
Ginjal
Digesti
Limforetikuler
Kelenjar endokrin
Hati
Limpa
Kelenjar Paratiroid
Perubahan
Degenerasi otot
Kongesti, hemoragi, emfisema,
multifokal abses dengan infeksi hifa
jamur
Nefrolithiasis, nefritis interstitialis
kronis
Nekrosa sentrilobuler, kongesti
Splenitis dan kongesti limpa
Hiperplasia
Ginjal
Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal ditemukan adanya perubahan
pada parenkim maupun interstitiumnya yang diakibatkan oleh urolithiasis dan
sindrom uremia. Pada glomerulus ditemukan atrofi glomerulus serta penebalan
dan penipisan kapsula Bowman. Penipisan kapsula Bowman diakibatkan adanya
retensi urin, sedangkan penebalan kapsula Bowman diakibatkan gagal ginjal
kronis. Atrofi glomerulus ditandai dengan mengecilnya glomerular tuft dalam
kapsula Bowman, sehingga ruang Bowman tampak meluas. Menurut Mu’nisa et
al. (2013), kerusakan glomerulus yang parah dapat mengganggu sistem vaskular
peritubular dan berpotensi mengalirkan zat racun ke tubuli. Sebaliknya, kerusakan
yang parah pada tubuli akibat peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan
terjadinya atrofi glomerulus. Atrofi glomerulus disajikan pada Gambar 1.
Perubahan histopatologi yang ditemukan pada tubulus ginjal kucing ini
berupa dilatasi tubulus, degenerasi hialin, degenerasi hidropis, dan nekrosis
(Gambar 1). Pada tubulus yang dilatasi terlihat epitel kubus sebaris menjadi pipih
karena tertekan oleh cairan. Dilatasi tubulus terjadi akibat urin hasil filtrasi
glomerulus tidak bisa disalurkan ke pielum karena saluran tersumbat oleh batu
ginjal. Hal ini mengakibatkan urin kembali dan menggenangi tubulus sehingga
menyebabkan tubulus melebar. Pada beberapa tubulus ditemukan endapan
mineral (mineralisasi), yang merupakan calon urolith.
Pada lumen tubulus kucing ini banyak dijumpai massa hialin sehingga
tubulus didiagnosis mengalami degenerasi hialin (Gambar 1). Hialin merupakan
7
massa homogen berwarna merah muda cerah dan tidak berstruktur dengan
pewarnaan HE, yang merupakan perubahan dalam sel atau ruang ekstraseluler.
Terjadinya degenerasi hialin menunjukkan butiran protein yang diserap ulang di
bagian lumen tubulus ginjal. Benda hialin pada lumen tersebut sebenarnya adalah
albumin, namun protein ini telah mengalami pembekuan di dalam lumen. Jika
ditemukan benda hialin, biasanya jaringan epitel dari tubulus telah menjadi kecil
karena atrofi. Biasanya bagian glomerulus ginjal tidak mengalami kelainan, hanya
beberapa yang akan mengalami degenerasi hialin (Sudiono et al. 2001).
A
B
Gambar 1 Ginjal kucing urolithiasis. (A). Degenerasi hialin (anak panah), endapan
mineral di lumen tubulus (panah), dilatasi tubulus (asterik), fibrosis dan
infiltrasi sel radang (bintang). (B). Tubulus nekrotik (panah) dan atrofi
glomerulus (anak panah). Pewarnaan HE, bar 100 µm
Epitel tubulus yang mengalami degenerasi dan nekrosa tampak terlepas dari
membran basalnya (Gambar 1). Beberapa tubulus yang nekrotik dicirikan oleh inti
yang piknotis dan struktur sitoplasma yang tidak telihat jelas. Inti yang piknotis
berwarna lebih gelap, padat seperti limfosit, dan lebih mengambil warna
hematoksilin (Gambar 2). Epitel tubulus merupakan bagian yang sensitif terhadap
bahan-bahan toksik. Bahan toksik dapat menimbulkan perubahan pada epitel
tubulus berupa cloudy swelling, degenerasi hialin, degenerasi lemak, dan nekrosa
(Mu’nisa et al. 2013). Epitel tubuli yang nekrotik tampak berdilatasi dan
hiperselular. Tubuli kemungkinan berisi sel nekrotik, debris dan hialin berbutir
(Carlton dan McGavin 1995). Nekrosa tubuli dapat disebabkan keadaan iskemia
atau zat toksik yang masuk ke epitel tubuli. Respon sel epitel tubuli berupa
degenerasi yang kemudian dilanjutkan dengan nekrosa dan deskuamasi epitel.
Menurut Nelson dan Couto (2003), pembentukan urolith biasanya
dipengaruhi oleh adanya nidus kristal (embrio kristal), pH urin serta ada atau
tidaknya faktor inhibitor kristal dalam urin. Pembentukan urolith meliputi fase
awal pembentukan dan fase pertumbuhan. Fase awal dimulai dengan terbentuknya
nidus kristal, yang sangat tergantung pada pusat nukleus atau matriks, dan
supersaturasi urin oleh kristal kalkulogenik. Derajat supersaturasi urin
dipengaruhi oleh banyaknya kristal yang dieksresikan oleh ginjal dan volume
urin. Fase pertumbuhan nidus kristal tergantung pada kemampuannya untuk tetap
8
bertahan dalam lumen traktus urinarius, derajat dan durasi supersaturasi urin yang
mengandung kristal, baik yang identik atau berbeda dengan kristal yang ada
dalam nidus. Jika suatu kristal mempunyai sifat yang cocok dengan kristal lain,
maka beberapa kristal bergabung dan tumbuh menjadi nidus atau kristal lain.
Pada bagian interstitial ginjal ditemukan infiltrasi sel radang limfosit dan
makrofag (Gambar 1). Adanya sel radang menandakan reaksi tanggap kebal
terhadap benda asing yang masuk. Selain itu banyak ditemukan hemoragi atau
perdarahan yang disebabkan perlukaan jaringan karena endapan urolith.
Selain degenerasi hialin, ditemukan juga degenerasi hidropis. Degenerasi
hidropis terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan
masuk ke dalam sitoplasma dan menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai
besar. Akibatnya epitel menjadi tidak berbatas jelas. Pembengkakan sel epitel
terjadi karena tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang
menyebabkan hidrasi sel. Degenerasi hidropis pada epitel tubulus menyebabkan
inti terdesak ke tepi, karena sitoplasma sel mengandung air. Menurut Sudiono et
al. (2001), sebenarnya bagian sel yang mengalami kerusakan adalah mitokondria.
Sel yang mengalami degenerasi hidropis menjadi renggang dan mengandung
vakuola berisi cairan (Gambar 2).
Gambar 2 Degenerasi hidropis (anak panah) pada epitel tubulus ginjal, dan
tubulus ginjal yang nekrotik dengan inti piknotis (panah). Pewarnaan
HE, bar 50 µm
Pada ginjal kucing ini banyak ditemukan jaringan ikat atau fibrosis (Gambar
3). Pewarnaan Masson Trichrome (MT), digunakan untuk melihat jaringan ikat
tersebut (Lumongga 2008). Jaringan ikat terlihat berwarna biru, parenkim
berwarna merah dan sel darah merah berwarna kuning. Nukleus terwarnai biru
gelap, otot berwarna merah, kalsium berwarna ungu, hialin biru muda, dan
kolagen biru kehijauan. Banyaknya jaringan ikat di bagian interstisium
menandakan peradangan bersifat kronis, karena parenkim ginjal yang nekrosa
digantikan oleh jaringan ikat. Seperti diketahui jaringan ikat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal sehingga filtrasi tidak berjalan maksimal.
9
A
B
Gambar 3 Ginjal urolithiasis. (A). Bagian interstitium meluas karena fibrosis
(warna biru, pewarnaan MT); (B). Deposit mineral mengandung
kalsium di lumen tubulus (warna coklat, Von Kossa). Bar 100 µm
Untuk meyakinkan massa yang terbentuk di lumen tubulus adalah mineral
yang mengandung kalsium, maka dilakukan pewarnaan Von Kossa. Pada sediaan
yang telah diwarnai, terlihat deposit kalsium berwarna coklat gelap sampai hitam
(Gambar 3), sedangkan untuk nukleus dan jaringan yang lain berwarna merah dan
rose.
Paru-paru
Pada pengamatan histopatologi paru-paru ditemukan lesio berupa emfisema,
kongesti, hemoragi dan edema. Keadaan ini disebabkan adanya gangguan di ginjal
dan sindrom uremia. Selain itu ditemukan pula multifokal abses yang diakibatkan
oleh infeksi jamur. Emfisema disebabkan robeknya dinding alveol sehingga
beberapa alveol bersatu (Gambar 4). Emfisema terjadi karena adanya peradangan
pada alveol. Menurut Jubb et al. (1993), emfisema dapat timbul karena faktor
genetik, peradangan, atrofi septa alveolar yang berkaitan dengan iskemia, faktor
mekanik hingga terjadi perluasan dan ruptur ruang udara, atau penyebab yang
tidak diketahui.
Alveolar paru mengalami atelektasis, yaitu kempesnya alveol. Pada kasus
ini, terjadi atelektasis dapatan atau kolaps alveolar yang diakibatkan oleh
obstruksi aliran udara (Jubb et al. 1993). Paru-paru juga mengalami
pembendungan atau kongesti, yang diakibatkan oleh adanya gagal jantung karena
menurunnya laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal. Menurut Zachary dan
McGavin (2012), kongesti sering diakibatkan oleh gagal jantung. Gagal jantung
menyebabkan stagnasi darah di pembuluh darah paru-paru yang berlanjut menjadi
kongesti disertai eritrosit keluar ke ruang alveolar. Oleh karena itu kongesti yang
berat menyebabkan hemoragi pada paru-paru.
Hemoragi paru-paru dapat diakibatkan oleh berbagai sebab. Menurut Jubb
et al. (1993), hemoragi pada paru-paru dan pleura sering terjadi karena hemoragi
diatheses, septikemia, disseminated intravascular coagulation (DIC) dan kongesti
10
yang hebat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh infark, ruptur aneurisma, dan
trauma.
A
B
Gambar 4 (A). Edema paru-paru, dengan cairan berwarna pink dalam alveol
(panah), dan emfisema (bintang); (B). Multifokal abses pada paruparu yang didominasi oleh sel radang neutrofil (panah), perdarahan
dan hifa jamur. Pewarnaan HE, bar 100µm (A) dan bar 50 µm (B)
Paru-paru juga mengalami peradangan berupa multifokal abses (Gambar 4).
Abses tersebut didominasi oleh sel radang neutrofil, makrofag, sel debris dan
banyak dijumpai perdarahan. Di dalam abses tersebut ditemukan banyak hifa
jamur. Infeksi jamur pada kasus ini diduga merupakan infeksi sekunder.
Tahap peradangan pada paru-paru ini masih bersifat akut karena ditemukan
banyak perdarahan dan tidak ditemukan sel raksasa (giant cell). Menurut Carlton
dan McGavin (1995), jamur yang mungkin menginfeksi kucing ini diantaranya
Blastomyces dermatitidis, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum, dan Mycobacterium bovis.
Gambar 5 Abses di paru-paru karena infeksi jamur. Tampak hifa jamur memenuhi
alveol. Pewarnaan PAS, bar 50 µm
11
Hati
Hasil pemeriksaan histopatologi hati menunjukkan adanya lesio yang
diakibatkan urolithiasis dan sindrom uremia yaitu nekrosa sentrilobular,
degenerasi lemak, dan kongesti. Nekrosa terjadi pada hepatosit-hepatosit yang
berada di sekitar vena sentralis. Nekrosa tipe ini disebabkan oleh adanya kongesti
yang berlangsung kronis, diantaranya diakibatkan oleh gagal jantung. Adanya
kongesti mengakibatkan sinusoid meluas (dilatasi), sehingga menyebabkan
hepatosit tergencet yang akhirnya atrofi.
Kongesti yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit kekurangan
oksigen sehingga menyebabkan degenerasi lemak hati (Gambar 6). Degenerasi
lemak dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bahan toksik, kekurangan
oksigen, atau kelebihan konsumsi lemak (Carvalho et al. 2005). Degenerasi lemak
yang terjadi pada hati dapat disebabkan oleh akumulasi bahan toksik ureum dan
kekurangan oksigen. Perdarahan dan kongesti hati menimbulkan akumulasi
pigmen hemosiderin. Menurut Macfarlane et al. (2000), ada dua pigmen yang
berasal dari runtuhan sel darah merah yaitu hemosiderin dan bilirubin.
Gambar 6 Nekrosa sentrilobular hati dengan sinusoid meluas (insert), degenerasi
lemak hepatosit (anak panah) dan akumulasi pigmen hemosiderin
(panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm dan bar 100 µm (gambar insert)
Otot Jantung
Lesio yang dialami jantung akibat urolithiasis dan sindrom uremia adalah
degenerasi otot-ototnya. Otot jantung terlihat berwarna lebih merah dibanding
yang normal pada pewarnaan HE (Gambar 7). Menurut Pasaribu (2001),
degenerasi otot jantung disebabkan otot tersebut tidak mendapatkan aliran darah
yang cukup akibat vasokonstriksi. Vasokonstriksi terjadi akibat aktivitas sistem
rennin-angiotensin pada gangguan ginjal kronis.
12
Gambar 7 Degenerasi otot jantung dengan ciri sitoplasma lebih merah dan inti
piknotis (panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm
Limpa
Limpa kucing ini mengalami peradangan atau splenitis, yang ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag. Selain itu, struktur
pulpa merah dan pulpa putih sudah tidak terlihat jelas, deplesi folikel limfoid dan
kongesti (Gambar 8). Kongesti limpa sebagai akibat dari adanya gagal jantung.
Limpa merupakan organ pertahanan tubuh yang menghasilkan komponen
sistem kekebalan. Kerusakan limpa menyebabkan sistem pertahanan tubuh
berkurang atau hewan mengalami imunosupresi. Menurut Sakas (2002),
imunosupresi adalah kondisi sistem imun yang tertekan oleh suatu agen infeksius
maupun non infeksius. Kondisi ini terjadi akibat berbagai faktor yaitu manajemen
kandang, stres, malnutrisi, penyakit yang sudah ada sebelumnya, dan terapi
antibiotik atau kortikosteroid yang berkepanjangan. Pada kasus ini kucing
mengalami keadaan imunosupresi.
13
Gambar 8 Limpa mengalami splenitis, kongesti (bintang), infiltrasi limfosit
(panah) dan makrofag (anak panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm
Otot Rangka
Pada pleura parietalis yang melekat di m. intercostalis ditemukan
mineralisasi (Gambar 9). Mineralisasi terlihat sebagai deposit kalsium berwarna
ungu dengan pewarnaan HE. Adanya mineralisasi pada jaringan lunak merupakan
salah satu ciri dari hewan mengalami uremia. Pengendapan mineral disebabkan
oleh perubahan pada mekanisme kalsium-fosfor.
Gambar 9 Mineralisasi di pleura parietalis. Akumulasi kalsium terlihat sebagai
deposit berwarna ungu dengan pewarnaan HE, bar 50 µm.
14
Kelenjar Paratiroid
Uremia berdampak pada kelenjar paratiroid sehingga menyebabkan
hiperplasia kelenjar tersebut. Kondisi ini mengikuti kejadian berkurangnya
kalsium plasma (gangguan metabolisme kalsium-fosfor) pada kondisi gagal ginjal
kronis. Akibatnya kelenjar paratiroid melepaskan hormon parathormon, agar
tulang melepaskan kalsiumnya untuk memenuhi kekurangan kalsium plasma.
Gambar 10 Kelenjar paratiroid yang mengalami hiperplasia. Pewarnaan HE, bar
100 µm
B.
Patogenesis Penyakit
Urolithiasis seringkali terjadi pada keadaan gagal ginjal kronis, ataupun
sebaliknya gagal ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya urolithiasis atau
nefrolitiasis. Metabolit dan hasil filtrasi glomerulus yang seharusnya
diekskresikan bersama urin, tidak bisa dialirkan karena saluran tersumbat oleh
adanya urolith. Akibatnya, metabolit-metabolit kembali bersirkulasi dan
menumpuk dalam darah, salah satunya adalah ureum.
Akumulasi urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Uremia adalah
sindrom klinis dan laboratoris yang mencerminkan disfungsi seluruh sistem
sebagai akibat dari gagal ginjal kronis. Uremia adalah kondisi dimana insufisiensi
ginjal sudah pada tahap lanjut sehingga terjadi gangguan sistem multiorgan
kompleks dan bermanifestasi klinis (Dewayani 2007). Sindrom uremia ditandai
dengan terdapatnya mineralisasi di berbagai organ. Kondisi ini disebabkan oleh
perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme ion) pada ginjal (Carlton dan
McGavin 1995).
Sebagian besar hewan yang gagal ginjal mengalami hiperfosfatemia dan
normokalsemia atau hipokalsemia. Perubahan dalam metabolisme kalsium-fosfor
pada hewan uremia merupakan kumpulan dari kejadian yang kompleks. Ketika
laju filtrasi glomerulus di bawah 25% dari normal, akan mengakibatkan
15
hiperfosfatemia. Keadaan hiperfosfatemia akan mengurangi ion kalsium di dalam
darah, karena seperti diketahui fosfat dan kalsium berada dalam keadaan
seimbang dalam darah.
Keadaan hipokalsemia akan menstimulasi sekresi hormon paratiroid, dan
menyebabkan reabsorbsi kalsium dan fosfor dari tulang. Perubahan dalam
metabolisme kalsium-fosfor akan berakibat lebih parah, karena berkurangnya
kemampuan ginjal untuk mengubah hydroxylate 25-hydroxy cholecalciferol
menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxycholecalciferol (kalsitriol). Keadaan ini
menyebabkan absorbsi kalsium di usus berkurang. Produksi kalsitriol selanjutnya
terhalang karena hiperfosfatemia. Akibatnya akan terjadi hiperplasia paratiroid,
osteodistrofi fibrosa, dan kalsifikasi jaringan lunak (Jubb et al. 1993).
Uremia juga berdampak pada organ lain dan mengakibatkan berbagai lesio
seperti edema pulmonum, kongesti dan hemoragi pada paru-paru. Ginjal yang
rusak menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, sehingga akan merangsang
apparatus juxtaglomerular mensekresikan renin.
Renin yang beredar sistemik akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensin I, dan kemudian berubah menjadi angiotensin II oleh enzim
angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru-paru.
Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi (Jusuf 2001). Akibatnya, tekanan
darah arteri meningkat dan beban jantung akan meningkat pula. Kondisi tersebut
menyebabkan jantung mengalami kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertrofi ini menyebabkan lumen ventrikel kiri menjadi sempit, sehingga volume
darah yang dipompa menjadi lebih sedikit dari seharusnya. Akibat hipertrofi pada
ventrikel kiri jantung menyebabkan pembendungan di paru-paru. Apabila keadaan
tersebut terjadi secara terus-menerus dan berlebihan, maka menyebabkan
terbentuknya edema pulmonum, karena terjadi peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler paru-paru.
Adanya kelemahan otot jantung menyebabkan terjadinya kongesti di organorgan internal, diantaranya hati dan limpa. Akibat kongesti hati yg berlangsung
lama, hati mengalami nekrosa sentrilobular, perluasan sinusoid dan degenerasi
lemak. Mineralisasi akibat uremia dapat terjadi di berbagai jaringan lunak
termasuk otot rangka. Menurut Ganong (2002), perdarahan sebagai dampak
uremia, edema serta pembendungan pada kegagalan jantung menyebabkan
gangguan keseimbangan volume darah atau mengakibatkan hipovolemic shock.
Sindrom uremia menimbulkan lesio di berbagai organ bahkan sampai ke
otak. Adanya akumulasi ureum berlebih menyebabkan fungsi neuron terganggu,
karena ureum bersifat toksik. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gejala
klinis kejang-kejang pada kucing sebelum kematiannya.
Berdasarkan pengamatan lesio patologi anatomi dan histopatologi, dapat
disimpulkan penyebab kematian (causa mortis) pada kucing ini adalah karena
gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis menyebabkan timbulnya gangguan pada
jantung, sehingga pintu gerbang kematian (atria mortis) pada kucing ini adalah
jantung. Peningkatan tekanan darah akibat kerja sistem renin menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri. Untuk memenuhi curah jantung yang cukup, maka
jantung bekerja keras hingga mencapai titik balik dan menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Proses patogenesis penyakit yang disebabkan urolithiasis dan
sindrom uremia secara singkat dapat dilihat pada bagan di Gambar 11.
16
Gambar 11 Bagan patogenesis penyakit kasus urolithiasis dan sindrom uremia
pada kucing
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Urolithiasis menyebabkan kerusakan ginjal kronis dan menimbulkan
kerusakan di berbagai organ akibat sindrom uremia. Gagal ginjal kronis menjadi
penyebab kematian kucing dengan pintu gerbang kematian adalah jantung.
Saran
Apabila terdapat kasus atau gangguan yang sama pada penelitian yang
serupa, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan patologi
klinis terhadap fungsi ginjal diantaranya ureum dan kreatinin untuk memastikan
kerusakan ginjal.
17
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Ed ke-8.
Jakarta (ID): EGC.
Buffington CAT. 2001. Managing common chronic lower urinary tract disorders
of cats. Am. J. Vet. Med. Orlando (FL): American College of Veterinary
Internal Medicine. hlm 282-285.
Carlton WW, MD Mac Gavin. 1995. Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. St
Louis, Missouri (US): Mosby-Year Book. Inc.
Carvalho JC, Oishi BO, Pandey A, Soccol CR. 2005. Biopigments from
Monascus: strains selection, citrinin production, and color stability.
Brazilian Archieves of Biology and Technology. 48: 85-94.
Confer AW, RJ Panciera. 1995. The Urinary System. In Thomson. Special
Veterinary Pathology. Ed ke-2. Boston (MA): St Louis Baltimore. hlm 209213.
Dewayani R. 2007. Penyakit Jantung Koroner pada “Chronic Kidney Disease”. J
Kardiol Ind. 28(5): 387-395
Fuadi A. 2009. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Mill)
Terhadap Gambaran Ureum dan Kreatinin pada Tikus Putih Jantan yang
Diinduksi Etilen Glikol [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah
HMD, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah;
Widjajakusumah HMD, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Review
of Medical Physiology.
Holt P. 1983. Urinary Incontinencia in The Dogs. In Practice 5 (5): 167-173.
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Vol 2.
San Diego (US): Academic Pr Inc.
Jusuf AA. 2001. Diktat Kuliah Histologi (Fakultas Ilmu Keperawatan). Sistem
Perkemihan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Lumongga F. 2008. Interpretasi Mikroskopis Jaringan Dari Biopsi Hati. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara.
Macfarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5.
Churchill Livingstone (UK): Harcourt.
Mu’nisa, A Muflihunna, Andi FA. 2013. Gambaran Histologi Ginjal Pada Mencit
Diabetes Yang Diberi Ekstrak Daun Sukun. UNM [Internet]. [diunduh 2015
Juni 25]. Tersedia pada:http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/ unm-digilibunm-amunisaamu-380-1-artikel-3.pdf
Nelson RW, Couto CG. 2003. Small Animal Internal Medicine. Ed ke-3. London
(UK): Mosby Inc. Missoury.
Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed
ke-6.Jakarta (ID): EGC.
Pasaribu S. 2001. Telaah Histopatologi Urolithiasis Pada Kucing [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Purnomo. 2008. Dasar-Dasar Urologi. Ed ke-2. Jakarta (ID): CV. Sagung Seto.
Sakas P. 2002. Essentials of Avian Medicine: A Practitioner’s Guide. Ed ke-2.
Milwuakee (US): AAHA Press.
Sudiono J, Budi K, Andhy H, Bing D. 2001. Penuntun Praktikum Patologi
Anatomi. Jakarta (ID): EGC.
18
Vanholder R, Smet RD. 1999. Review pathopysiologic effects of uremic retention
solution. J Am Soc Nephrol. 10: 1815-1823.
Vedrenne N, JP Cotard, B Paragon. 2003. L’Urolythiase Feline: Actualites
Epidemiologi-ques. Le Point Vet. 232: 44-48.
Wakidi. 2003. Prospek Tumbuhan Obat Tradisional Untuk Menghancurkan Batu
Ginjal (Urolitikum). Medan (ID): Universitas Sumatera Utara, Fakultas
Kedokteran Bagian Farmasi-Kedokteran.
Zachary JF, MD McGavin. 2012. Pathologic Basic of Veterinary Disease. Ed ke5. St Louis, Missouri (US): Mosby-Year Book. Inc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 Februari 1993.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Asep
Gunawan dan Ibu Ai Sopiah. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI. Pendidikan formal yang pernah ditempuh sebelumnya yaitu SD Negeri
Nanjung 2 pada tahun 1999, Ponpes Modern Al-Ihsan pada tahun 2005, dan MAN
1 Bandung pada tahun 2008. Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis aktif
dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan, diantaranya anggota divisi Kubah dan
Internal Himpro Ornithologi danUnggas, anggota DKM An-Nahl, Pet Care Day
(2012), KAKNAS (2013 & 2014), dan asisten praktikum Patologi Sistemik II
(2015).
Download