STUDI PATOMORFOLOGI KASUS UROLITHIASIS DAN SINDROM UREMIA PADA KUCING SUCI SITI SHOLIHAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Kucing adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Suci Siti Sholihah NIM B04110012 ABSTRAK SUCI SITI SHOLIHAH. Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Kucing. Dibimbing oleh EVA HARLINA dan MAWAR SUBANGKIT. Urolithiasis adalah penyakit dimana ditemukannya batu atau kalkuli pada traktus urinarius. Kucing merupakan karnivora atau hewan pemakan daging, namun karena komposisi pakan yang tidak sehat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi dan menimbulkan penyakit urolithiasis. Urolith pada traktus urinarius menyebabkan obstruksi sehingga menahan produk buangan dari ginjal, salah satunya adalah urea. Uremia adalah meningkatnya kadar urea di dalam darah karena gagal ginjal kronis, dan menyebabkan berbagai gejala klinis dan lesio multisistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patomorfologi urolithiasis dan uremia pada seekor kucing yang dinekropsi di Laboratorium Patologi FKH IPB. Sediaan histopatologi diwarnai Hematoksilin-Eosin (HE), dan pewarnaan khusus Masson Trichrome, Periodic Acid Schiff (PAS), dan Von Kossa. Secara histopatologi ditemukan berbagai perubahan yang disebabkan urolithiasis dan uremia, diantaranya ginjal mengalami nefrolithiasis, gagal ginjal kronis dan fibrosis, hati mengalami nekrosa sentrilobuler, dan paru-paru yang mengalami hemoragi, kongesti dan emfisema. Pada paru-paru ditemukan multifokal abses akibat infeksi jamur yang menunjukkan kucing mengalami infeksi sekunder akibat imunosupresi. Sindrom uremia yang ditemukan berupa mineralisasi di pleura musculus intercostalis, degenerasi organ parenkim, dan hiperplasia kelenjar paratiroid. Penyebab kematian kucing adalah gagal ginjal, yang memicu terjadinya hipertensi dan menginduksi terjadinya gagal jantung. Kata kunci: histopatologi, kucing, urolithiasis, uremia, ABSTRACT SUCI SITI SHOLIHAH. Pathomorphological Changes of Urolithiasis and Uremic Syndrome on Cat. Supervised by EVA HARLINA and MAWAR SUBANGKIT. Urolithiasis is a disease which presence of stones in the urinary tract. Cat is carnivore or animal mostly eat meat, but because of unhealthy food composition cause nutrition imbalance and get urolithiasis disease. Urolith in urinary tract cause obstruction and restrain waste product from kidney, which one is urea. Uremia is increase in level of urea in blood because of renal failure and causes various syndromes which related to clinical signs and multisystemic lesions. The aim of this research is to study pathomorphological changes of urolithiasis and uremia on cat that necropsied by Pathology Laboratory, FKH IPB. The tissue stained with Hematoxyllin-Eosin (HE), special stains Masson Trichrome, Periodic Acid Schiff (PAS), and Von Kossa. Histopathologically, there is some lesions in many organs because of urolithiasis and uremia, i.e. nephrolithiasis, chronic renal failure and fibrosis, centrilobuler necrosis of liver, and hemorrhage, congestion and emphysema of the lung. There were found multifocal abscesses with fungal infection caused by secondary infection of immunosupression. Uremia syndrome was found as mineralization of pleura at intercostae, parenchyma organ degeneration and parathyroid hyperplasia. The cause of the death of the cat was renal failure that triggers hypertension which induces heart failure. Key words: cat, histopathology, urolithiasis, uremia STUDI PATOMORFOLOGI KASUS UROLITHIASIS DAN SINDROM UREMIA PADA KUCING SUCI SITI SHOLIHAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Judul Skripsi : Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Nama : Suci Siti Sholihah NIM : B04110012 Kucing Disetujui oleh }My Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet Pembimbing I Tanggal Lulus : 1 5 SEP 7.015 Drh Mawar Subangkit. MSi. APVet Pembimbing II PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni 2014 hingga Februari 2015 ini adalah Studi Patomorfologi Kasus Urolithiasis dan Sindrom Uremia pada Kucing. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet dan Bapak Drh Mawar Subangkit, MSi, APVet selaku dosen pembimbing. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Drh Adi Winarto, PhD selaku dosen pembimbing akademik. Selain itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh, dan Bapak Endang beserta staf Bagian Patologi FKH IPB yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik beserta seluruh keluarga atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada para sahabat yakni Naim, Sri, Resti, Mimi, Rina, Ega, Mangga, Hesti, Laras, Najia dan teh Rika yang telah banyak membantu dan memberi dukungan, serta rekan-rekan angkatan 48. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2015 Suci Siti Sholihah DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI vii viii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelititan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Urolithiasis 2 Uremia 2 Gagal Ginjal 3 METODE PENELITIAN 3 Waktu dan Tempat penelitian 3 Bahan dan Alat 3 Prosedur Penelitian 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Histopatologi 6 6 Patogenesis Penyakit 14 SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 17 RIWAYAT HIDUP 18 DAFTAR TABEL 1 Hasil pemeriksaan patologi anatomi berbagai organ kucing P 256/11 2 Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai organ kucing P 256/11 4 6 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ginjal kucing urolithiasis Degenerasi hidropis dan tubulus ginjal nekrotik Ginjal urolithiasis, fibrosis, deposit mineral di lumen tubulus Edema paru-paru, multifokal abses pada paru-paru dan hifa jamur. Abses di paru-paru karena infeksi jamur. Nekrosa sentrilobular hati dan degenerasi lemak hepatosit Degenerasi otot jantung Limpa splenitis Mineralisasi di pleura parietalis Hiperplasia kelenjar paratiroid Bagan patogenesis urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing 7 8 9 10 10 11 12 13 13 14 16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kucing merupakan karnivora atau hewan pemakan daging, namun seringkali pemilik memberikan pakan yang tidak sehat yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi. Nutrisi yang tidak seimbang dapat menimbulkan penyakit, salah satunya adalah batu ginjal (urolithiasis). Urolithiasis merupakan salah satu penyebab Feline Urolithiasis Syndrome (FUS), selain idiopathic cystitis. Pakan kering tertentu merupakan faktor penyebab terjadinya FUS (Buffington 2001). Feline Urolithiasis Syndrome (FUS) sering menyerang kucing-kucing rumahan. Gejala penyakit ini yaitu rasa nyeri di daerah pinggang ataupun di daerah saluran kencing lainnya. Rasa nyeri mulai dari ringan sampai berat tergantung dari besar kecilnya batu yang terbentuk. Gejala lainnya adalah kucing kesulitan urinasi dan urin kadang merah disertai darah akibat luka gesekan batu pada dinding vesika urinaria (Wakidi 2003). Jika dibiarkan, kucing sama sekali tidak bisa kencing karena sumbatan urolith dalam saluran kencingnya. Kucing jantan paling rentan dengan masalah ini, karena saluran kencingnya lebih panjang. Kucing akan menjadi pendiam, tidak mau makan hingga menunjukkan gejala muntah. Pada bagian perut belakang akan teraba kandung kemih yang membesar dan keras seperti bola. Urolithiasis adalah adanya batu atau kalkuli (urolith) di traktus urinarius yang disebabkan oleh adanya akumulasi zat-zat yang terkandung di dalam urin sehingga membentuk seperti batu (Brunner dan Suddarth 2002). Batu ginjal tersusun atas mikrolit-mikrolit (calon urolith) yang memadat kemudian dapat tumbuh membesar (Fuadi 2009). Batu dapat ditemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria dan uretra. Batu dapat terbentuk di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah. Batu dapat juga terbentuk karena adanya stasis urin, seperti batu di vesika urinaria atau karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk di dalam divertikel uretra. Seekor kucing betina mixed Persia berumur 1,5 tahun dinekropsi di Laboratorium Patologi FKH IPB, untuk didiagosis penyebab kematiannya. Anamnese kucing tersebut adalah kesulitan urinasi dan kejang-kejang. Dari hasil pemeriksaan patologi anatomi didiagnosis kucing tersebut menderita urolithiasis dan sindrom uremia. Untuk mempelajari patomorfologi urolithiasis dan hubungannya dengan sindrom uremia maka dilakukan pemeriksaan histopatologi organ-organ kucing tersebut. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patomorfologi urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing. 2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi patomorfologi urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing. mengenai TINJAUAN PUSTAKA Urolithiasis Urolithiasis adalah kalsifikasi berupa kalkuli yang terjadi pada sistem urinari yang seringkali disebut batu ginjal. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal, kemudian dapat berada di kaliks dan pelvis ginjal bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal (Purnomo 2008). Batu terbentuk karena adanya supersaturasi zat-zat yang terlarut dalam urin seperti kalsium oxalat, fosfat, asam urat, dan lain-lain pada suatu keadaan tertentu, seperti retensi urin dan suasana asam dan basa urin. Urolith membungkus nidus di sekelilingnya, yang terdiri atas leukosit, bakteri, dan matriks organik bercampur kristal, atau hanya kristalnya saja. Nidus adalah nukleus atau inti dari urolith atau embrio kristal. Nidus menyusun sekitar 10-20% dari total massa urolith. Nidus dibentuk dari berbagai tipe kristal dan bagian lainnya, yang biasa dikenal sebagai epitaxial growth. Struvite dan kalsium oksalat adalah jenis urolith yang paling banyak ditemukan pada kasus klinik (Buffington 2001). Bentuk batu ginjal ada yang licin, kasar, bulat dan ada yang bercabangcabang sepeti tanduk rusa. Permukaannya ada yang tajam sehingga dapat menimbulkan luka pada dinding saluran kencing (Wakidi 2003). Urolithiasis merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada sistem perkemihan kucing (Holt 1983; Vedrenne et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi pembentukan urolith pada kucing diantaranya infeksi bakteri, kurangnya aktivitas fisik, kurang minum atau kualitas minum yang buruk, dan juga karena selalu diberi pakan kering. Uremia Uremia merupakan peningkatan kadar ureum dalam darah yang diakibatkan oleh kondisi gagal ginjal. Uremia dapat menyebabkan berbagai sindrom yang berhubungan dengan tanda klinis dan lesio multisistemik yang diakibatkan gagal ginjal (Zachary dan McGavin 2012). Gagal ginjal mengakibatkan menurunnya daya pembersihan ureum oleh ginjal sehingga menyebabkan retensi ureum. Retensi atau tertahannya ureum menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologis cairan tubuh. Retensi ureum menyebabkan beberapa komponen plasma berperan sebagai toksin uremik diantaranya senyawa inorganik, urea, oxalic acid, hormon paratiroid (PTH), dan ß2-microglobulin (Vanholder dan Smet 1999). Lesio yang ditimbulkan akibat uremia diantaranya edema pulmonum, perikarditis fibrinosa, gastritis hemoragik dan ulseratif, stomatitis ulseratif dan nekrotik, trombosis atrium dan aorta, mineralisasi di berbagai jaringan lunak (lambung, paru-paru, 3 pleura dan ginjal), osteodistrofi fibrosa, dan hiperplasia paratiroid (Carlton dan McGavin 1995). Gagal Ginjal Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah, dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai melalui filtrasi plasma darah oleh glomerulus, dan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson 2005). Fungsi ginjal dapat menurun karena penyakit ginjal atau oleh penyebab postrenal, seperti obstruksi aliran urin pada saluran urinari bawah. Menurunnya fungsi ginjal mengakibatkan retensi komponen plasma yang secara normal dikeluarkan oleh ginjal. Uji konsentrasi urea dan kreatinin yang merupakan produk buangan nitrogen dari katabolisme protein, secara rutin digunakan sebagai indikasi berkurangnya fungsi ginjal. Apabila fungsi ginjal yang terganggu mencapai 25%, akan mengakibatkan gagal ginjal (Dewayani 2007). Penyakit ginjal yang hebat dapat mengakibatkan gagal ginjal, yang terbagi menjadi bentuk akut dan kronis. Pada gagal ginjal akut ditandai dengan tingginya onset dari oliguria atau anuria dan azotemia. Gagal ginjal kronis adalah akhir dari banyaknya penyakit ginjal kronis yang bersifat irreversible, yang ditandai dengan sindrom uremia dalam waktu yang lama (Jubb et al. 1993). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2014 hingga Februari 2015. Bahan dan Alat Bahan studi patomorfologi berasal dari organ seekor kucing yang dinekropsi di Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi FKH-IPB dengan kode P 256/11. Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi organ ginjal dan organ-organ lainnya menunjukkan kucing tersebut menderita urolithiasis dan sindrom uremia. Hasil pemeriksaan patologi anatomi organ kucing keseluruhan disajikan pada Tabel 1. 4 Tabel 1 Hasil pemeriksaan patologi anatomi berbagai organ kucing P 256/11 Sistem Organ Integumen Sirkulasi Respirasi Organ Kulit Jantung Paru-paru Perubahan Hidrops anasarka Dilatasi bilateral Edema pulmonum, multifokal abses, hidrothoraks Pleura parietalis Kalsifikasi musculus intercostae Urinaria Ginjal Nefrolithiasis (16 buah batu di ginjal kanan dan satu buah batu ginjal kiri), nefritis interstitialis kronis Digesti Lidah Glossitis Lambung Stomatitis, ulkus lambung, hidrops ascites Hati Kongesti Limforetikuler Limpa Splenitis, kongesti Saraf Otak Vasa injeksio Kelenjar endokrin Kelenjar thyroid Atrofi Sumber: Buku P, Divisi Patologi, Departemen KRP FKH-IPB Tahun 2011 Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut, xylene, parafin, akuades, pewarna Mayer’s HaematoxylinEosin, pewarna Von Kossa, pewarna Masson Trichrome dan pewarna PAS. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, tissue casette, tissue basket, parrafin embedding console, automatic tissue processor, cetakan blok parafin, mikrotom putar, waterbath, gelas objek, gelas penutup, aluminium foil, mikroskop cahaya dan digital eyepiece camera MD 150. Prosedur Penelitian Pembuatan Sediaan Histopatologi Sampel organ dipotong dan ditempatkan ke dalam tissue casette, lalu dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing, dan embedding. Dehidrasi yaitu merendam jaringan secara berturut-turut ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut I, II dan III, clearing yaitu merendam jaringan dalam larutan xylene I dan II, dan infiltrasi yaitu merendam jaringan dalam parafin cair I dan II yang bersuhu 60oC. Perendaman pada setiap larutan dilakukan selama 2 jam. Kemudian dilakukan embedding, yaitu menanam jaringan dalam parafin cair dan didinginkan hingga terbentuk blok parafin. Selanjutnya jaringan dipotong dengan ketebalan 3-5 µm menggunakan mikrotom putar. Hasil potongan dimasukkan ke dalam air hangat 45oC dalam waterbath untuk menghilangkan lipatan, kemudian sediaan diangkat dengan gelas objek yang sudah diberi albumin dan dikeringkan dalam inkubator 60oC. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi. Deparafinasi dengan cara diinkubasi pada suhu 60oC selama dua jam, kemudian 5 sediaan direndam dalam xylene I, II dan III selama 2 menit. Rehidrasi menggunakan etanol absolut, 95% dan 80% masing-masing selama 2 menit, dan dicuci dengan air mengalir 1 menit. Selanjutnya sediaan direndam dalam pewarna Mayer’s Haematoxylin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium karbonat selama 15-30 detik, dan dibilas dengan air mengalir kembali. Kemudian sediaan dicelup ke dalam pewarna Eosin selama 3 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 30-60 detik. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi yaitu sediaan dicelup ke dalam etanol 95% sebanyak 10 kali, etanol absolut I sebanyak 10 kali, etanol absolut II selama 2 menit dan xylene I, II dan III masing-masing selama 2 menit. Tahap akhir, sediaan ditetesi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Pewarnaan Masson Trichrome Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi. Selanjutnya sediaan ditetesi larutan Mordant selama 2 menit, dibilas dengan akuades, kemudian ditetesi larutan Carrazi’s Haematoxylin selama 5-7 menit, lalu dibilas dengan akuades. Tahap selanjutnya, sediaan ditetesi larutan Orange G 0.75% selama 1-2 menit, dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali, ditetesi larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 5 menit, dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali, lalu ditetesi Phosphotungstic Acid 2.5% selama 2 menit, dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali, ditetesi Anilin Blue selama 5 menit, dan dibilas dengan Asam Asetat 1% sebanyak dua kali. Terakhir sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama 3 menit yang dilanjutkan dengan proses dehidrasi dan ditutup dengan gelas penutup. Pewarnaan Von Kossa Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi. Selanjutnya sediaan direndam dalam silver nitrat dan diletakkan di tempat yang gelap selama 30-60 menit, kemudian dibilas dengan akuades. Setelah itu sediaan direndam dalam akuades dan disinari lampu selama 60 menit. Sediaan dan lampu ditutupi dengan kertas aluminium foil. Selanjutnya sediaan dibilas kembali dengan akuades, kemudian direndam dalam Sodium Thiosulphat selama 3-5 menit, dicuci dengan akuades, direndam dalam pewarna latar (0.2% Safranin dalam 1% Asam Asetat) selama 1-5 menit, dan dilanjutkan dengan proses dehidrasi dan ditutup dengan gelas penutup. Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan dideparafinasi dan rehidrasi. Kemudian sediaan direndam dalam Asam Asetat 1% selama 5 menit, dibilas dengan akuades, dan dioksidasi dalam Periodic Acid 1% selama 5-10 menit, kemudian dibilas dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam Schiff Reagent selama 15-30 menit, dibilas dengan Air Sulfit (10% sodium bisulfate/NaHSO3 10 mL), dibilas dengan air mengalir, lalu dibilas dengan akuades. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam Haematoxylin selama 2-3 6 menit, dibilas air mengalir dan akuades, dan dilanjutkan dengan proses dehidrasi dan ditutup dengan gelas penutup. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemeriksaan Histopatologi Hasil pemeriksaan histopatologi organ-organ kucing kasus P 256/11 mendukung adanya urolithiasis dan sindrom uremia. Hasil pemeriksaan histopatologi organ kucing keseluruhan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai organ kucing kasus P 256/11 Sistem Organ Sirkulasi Respirasi Organ Jantung Paru-paru Urinaria Ginjal Digesti Limforetikuler Kelenjar endokrin Hati Limpa Kelenjar Paratiroid Perubahan Degenerasi otot Kongesti, hemoragi, emfisema, multifokal abses dengan infeksi hifa jamur Nefrolithiasis, nefritis interstitialis kronis Nekrosa sentrilobuler, kongesti Splenitis dan kongesti limpa Hiperplasia Ginjal Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal ditemukan adanya perubahan pada parenkim maupun interstitiumnya yang diakibatkan oleh urolithiasis dan sindrom uremia. Pada glomerulus ditemukan atrofi glomerulus serta penebalan dan penipisan kapsula Bowman. Penipisan kapsula Bowman diakibatkan adanya retensi urin, sedangkan penebalan kapsula Bowman diakibatkan gagal ginjal kronis. Atrofi glomerulus ditandai dengan mengecilnya glomerular tuft dalam kapsula Bowman, sehingga ruang Bowman tampak meluas. Menurut Mu’nisa et al. (2013), kerusakan glomerulus yang parah dapat mengganggu sistem vaskular peritubular dan berpotensi mengalirkan zat racun ke tubuli. Sebaliknya, kerusakan yang parah pada tubuli akibat peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan terjadinya atrofi glomerulus. Atrofi glomerulus disajikan pada Gambar 1. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada tubulus ginjal kucing ini berupa dilatasi tubulus, degenerasi hialin, degenerasi hidropis, dan nekrosis (Gambar 1). Pada tubulus yang dilatasi terlihat epitel kubus sebaris menjadi pipih karena tertekan oleh cairan. Dilatasi tubulus terjadi akibat urin hasil filtrasi glomerulus tidak bisa disalurkan ke pielum karena saluran tersumbat oleh batu ginjal. Hal ini mengakibatkan urin kembali dan menggenangi tubulus sehingga menyebabkan tubulus melebar. Pada beberapa tubulus ditemukan endapan mineral (mineralisasi), yang merupakan calon urolith. Pada lumen tubulus kucing ini banyak dijumpai massa hialin sehingga tubulus didiagnosis mengalami degenerasi hialin (Gambar 1). Hialin merupakan 7 massa homogen berwarna merah muda cerah dan tidak berstruktur dengan pewarnaan HE, yang merupakan perubahan dalam sel atau ruang ekstraseluler. Terjadinya degenerasi hialin menunjukkan butiran protein yang diserap ulang di bagian lumen tubulus ginjal. Benda hialin pada lumen tersebut sebenarnya adalah albumin, namun protein ini telah mengalami pembekuan di dalam lumen. Jika ditemukan benda hialin, biasanya jaringan epitel dari tubulus telah menjadi kecil karena atrofi. Biasanya bagian glomerulus ginjal tidak mengalami kelainan, hanya beberapa yang akan mengalami degenerasi hialin (Sudiono et al. 2001). A B Gambar 1 Ginjal kucing urolithiasis. (A). Degenerasi hialin (anak panah), endapan mineral di lumen tubulus (panah), dilatasi tubulus (asterik), fibrosis dan infiltrasi sel radang (bintang). (B). Tubulus nekrotik (panah) dan atrofi glomerulus (anak panah). Pewarnaan HE, bar 100 µm Epitel tubulus yang mengalami degenerasi dan nekrosa tampak terlepas dari membran basalnya (Gambar 1). Beberapa tubulus yang nekrotik dicirikan oleh inti yang piknotis dan struktur sitoplasma yang tidak telihat jelas. Inti yang piknotis berwarna lebih gelap, padat seperti limfosit, dan lebih mengambil warna hematoksilin (Gambar 2). Epitel tubulus merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan toksik. Bahan toksik dapat menimbulkan perubahan pada epitel tubulus berupa cloudy swelling, degenerasi hialin, degenerasi lemak, dan nekrosa (Mu’nisa et al. 2013). Epitel tubuli yang nekrotik tampak berdilatasi dan hiperselular. Tubuli kemungkinan berisi sel nekrotik, debris dan hialin berbutir (Carlton dan McGavin 1995). Nekrosa tubuli dapat disebabkan keadaan iskemia atau zat toksik yang masuk ke epitel tubuli. Respon sel epitel tubuli berupa degenerasi yang kemudian dilanjutkan dengan nekrosa dan deskuamasi epitel. Menurut Nelson dan Couto (2003), pembentukan urolith biasanya dipengaruhi oleh adanya nidus kristal (embrio kristal), pH urin serta ada atau tidaknya faktor inhibitor kristal dalam urin. Pembentukan urolith meliputi fase awal pembentukan dan fase pertumbuhan. Fase awal dimulai dengan terbentuknya nidus kristal, yang sangat tergantung pada pusat nukleus atau matriks, dan supersaturasi urin oleh kristal kalkulogenik. Derajat supersaturasi urin dipengaruhi oleh banyaknya kristal yang dieksresikan oleh ginjal dan volume urin. Fase pertumbuhan nidus kristal tergantung pada kemampuannya untuk tetap 8 bertahan dalam lumen traktus urinarius, derajat dan durasi supersaturasi urin yang mengandung kristal, baik yang identik atau berbeda dengan kristal yang ada dalam nidus. Jika suatu kristal mempunyai sifat yang cocok dengan kristal lain, maka beberapa kristal bergabung dan tumbuh menjadi nidus atau kristal lain. Pada bagian interstitial ginjal ditemukan infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag (Gambar 1). Adanya sel radang menandakan reaksi tanggap kebal terhadap benda asing yang masuk. Selain itu banyak ditemukan hemoragi atau perdarahan yang disebabkan perlukaan jaringan karena endapan urolith. Selain degenerasi hialin, ditemukan juga degenerasi hidropis. Degenerasi hidropis terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk ke dalam sitoplasma dan menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai besar. Akibatnya epitel menjadi tidak berbatas jelas. Pembengkakan sel epitel terjadi karena tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel. Degenerasi hidropis pada epitel tubulus menyebabkan inti terdesak ke tepi, karena sitoplasma sel mengandung air. Menurut Sudiono et al. (2001), sebenarnya bagian sel yang mengalami kerusakan adalah mitokondria. Sel yang mengalami degenerasi hidropis menjadi renggang dan mengandung vakuola berisi cairan (Gambar 2). Gambar 2 Degenerasi hidropis (anak panah) pada epitel tubulus ginjal, dan tubulus ginjal yang nekrotik dengan inti piknotis (panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm Pada ginjal kucing ini banyak ditemukan jaringan ikat atau fibrosis (Gambar 3). Pewarnaan Masson Trichrome (MT), digunakan untuk melihat jaringan ikat tersebut (Lumongga 2008). Jaringan ikat terlihat berwarna biru, parenkim berwarna merah dan sel darah merah berwarna kuning. Nukleus terwarnai biru gelap, otot berwarna merah, kalsium berwarna ungu, hialin biru muda, dan kolagen biru kehijauan. Banyaknya jaringan ikat di bagian interstisium menandakan peradangan bersifat kronis, karena parenkim ginjal yang nekrosa digantikan oleh jaringan ikat. Seperti diketahui jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi ginjal sehingga filtrasi tidak berjalan maksimal. 9 A B Gambar 3 Ginjal urolithiasis. (A). Bagian interstitium meluas karena fibrosis (warna biru, pewarnaan MT); (B). Deposit mineral mengandung kalsium di lumen tubulus (warna coklat, Von Kossa). Bar 100 µm Untuk meyakinkan massa yang terbentuk di lumen tubulus adalah mineral yang mengandung kalsium, maka dilakukan pewarnaan Von Kossa. Pada sediaan yang telah diwarnai, terlihat deposit kalsium berwarna coklat gelap sampai hitam (Gambar 3), sedangkan untuk nukleus dan jaringan yang lain berwarna merah dan rose. Paru-paru Pada pengamatan histopatologi paru-paru ditemukan lesio berupa emfisema, kongesti, hemoragi dan edema. Keadaan ini disebabkan adanya gangguan di ginjal dan sindrom uremia. Selain itu ditemukan pula multifokal abses yang diakibatkan oleh infeksi jamur. Emfisema disebabkan robeknya dinding alveol sehingga beberapa alveol bersatu (Gambar 4). Emfisema terjadi karena adanya peradangan pada alveol. Menurut Jubb et al. (1993), emfisema dapat timbul karena faktor genetik, peradangan, atrofi septa alveolar yang berkaitan dengan iskemia, faktor mekanik hingga terjadi perluasan dan ruptur ruang udara, atau penyebab yang tidak diketahui. Alveolar paru mengalami atelektasis, yaitu kempesnya alveol. Pada kasus ini, terjadi atelektasis dapatan atau kolaps alveolar yang diakibatkan oleh obstruksi aliran udara (Jubb et al. 1993). Paru-paru juga mengalami pembendungan atau kongesti, yang diakibatkan oleh adanya gagal jantung karena menurunnya laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal. Menurut Zachary dan McGavin (2012), kongesti sering diakibatkan oleh gagal jantung. Gagal jantung menyebabkan stagnasi darah di pembuluh darah paru-paru yang berlanjut menjadi kongesti disertai eritrosit keluar ke ruang alveolar. Oleh karena itu kongesti yang berat menyebabkan hemoragi pada paru-paru. Hemoragi paru-paru dapat diakibatkan oleh berbagai sebab. Menurut Jubb et al. (1993), hemoragi pada paru-paru dan pleura sering terjadi karena hemoragi diatheses, septikemia, disseminated intravascular coagulation (DIC) dan kongesti 10 yang hebat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh infark, ruptur aneurisma, dan trauma. A B Gambar 4 (A). Edema paru-paru, dengan cairan berwarna pink dalam alveol (panah), dan emfisema (bintang); (B). Multifokal abses pada paruparu yang didominasi oleh sel radang neutrofil (panah), perdarahan dan hifa jamur. Pewarnaan HE, bar 100µm (A) dan bar 50 µm (B) Paru-paru juga mengalami peradangan berupa multifokal abses (Gambar 4). Abses tersebut didominasi oleh sel radang neutrofil, makrofag, sel debris dan banyak dijumpai perdarahan. Di dalam abses tersebut ditemukan banyak hifa jamur. Infeksi jamur pada kasus ini diduga merupakan infeksi sekunder. Tahap peradangan pada paru-paru ini masih bersifat akut karena ditemukan banyak perdarahan dan tidak ditemukan sel raksasa (giant cell). Menurut Carlton dan McGavin (1995), jamur yang mungkin menginfeksi kucing ini diantaranya Blastomyces dermatitidis, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, dan Mycobacterium bovis. Gambar 5 Abses di paru-paru karena infeksi jamur. Tampak hifa jamur memenuhi alveol. Pewarnaan PAS, bar 50 µm 11 Hati Hasil pemeriksaan histopatologi hati menunjukkan adanya lesio yang diakibatkan urolithiasis dan sindrom uremia yaitu nekrosa sentrilobular, degenerasi lemak, dan kongesti. Nekrosa terjadi pada hepatosit-hepatosit yang berada di sekitar vena sentralis. Nekrosa tipe ini disebabkan oleh adanya kongesti yang berlangsung kronis, diantaranya diakibatkan oleh gagal jantung. Adanya kongesti mengakibatkan sinusoid meluas (dilatasi), sehingga menyebabkan hepatosit tergencet yang akhirnya atrofi. Kongesti yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit kekurangan oksigen sehingga menyebabkan degenerasi lemak hati (Gambar 6). Degenerasi lemak dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bahan toksik, kekurangan oksigen, atau kelebihan konsumsi lemak (Carvalho et al. 2005). Degenerasi lemak yang terjadi pada hati dapat disebabkan oleh akumulasi bahan toksik ureum dan kekurangan oksigen. Perdarahan dan kongesti hati menimbulkan akumulasi pigmen hemosiderin. Menurut Macfarlane et al. (2000), ada dua pigmen yang berasal dari runtuhan sel darah merah yaitu hemosiderin dan bilirubin. Gambar 6 Nekrosa sentrilobular hati dengan sinusoid meluas (insert), degenerasi lemak hepatosit (anak panah) dan akumulasi pigmen hemosiderin (panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm dan bar 100 µm (gambar insert) Otot Jantung Lesio yang dialami jantung akibat urolithiasis dan sindrom uremia adalah degenerasi otot-ototnya. Otot jantung terlihat berwarna lebih merah dibanding yang normal pada pewarnaan HE (Gambar 7). Menurut Pasaribu (2001), degenerasi otot jantung disebabkan otot tersebut tidak mendapatkan aliran darah yang cukup akibat vasokonstriksi. Vasokonstriksi terjadi akibat aktivitas sistem rennin-angiotensin pada gangguan ginjal kronis. 12 Gambar 7 Degenerasi otot jantung dengan ciri sitoplasma lebih merah dan inti piknotis (panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm Limpa Limpa kucing ini mengalami peradangan atau splenitis, yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag. Selain itu, struktur pulpa merah dan pulpa putih sudah tidak terlihat jelas, deplesi folikel limfoid dan kongesti (Gambar 8). Kongesti limpa sebagai akibat dari adanya gagal jantung. Limpa merupakan organ pertahanan tubuh yang menghasilkan komponen sistem kekebalan. Kerusakan limpa menyebabkan sistem pertahanan tubuh berkurang atau hewan mengalami imunosupresi. Menurut Sakas (2002), imunosupresi adalah kondisi sistem imun yang tertekan oleh suatu agen infeksius maupun non infeksius. Kondisi ini terjadi akibat berbagai faktor yaitu manajemen kandang, stres, malnutrisi, penyakit yang sudah ada sebelumnya, dan terapi antibiotik atau kortikosteroid yang berkepanjangan. Pada kasus ini kucing mengalami keadaan imunosupresi. 13 Gambar 8 Limpa mengalami splenitis, kongesti (bintang), infiltrasi limfosit (panah) dan makrofag (anak panah). Pewarnaan HE, bar 50 µm Otot Rangka Pada pleura parietalis yang melekat di m. intercostalis ditemukan mineralisasi (Gambar 9). Mineralisasi terlihat sebagai deposit kalsium berwarna ungu dengan pewarnaan HE. Adanya mineralisasi pada jaringan lunak merupakan salah satu ciri dari hewan mengalami uremia. Pengendapan mineral disebabkan oleh perubahan pada mekanisme kalsium-fosfor. Gambar 9 Mineralisasi di pleura parietalis. Akumulasi kalsium terlihat sebagai deposit berwarna ungu dengan pewarnaan HE, bar 50 µm. 14 Kelenjar Paratiroid Uremia berdampak pada kelenjar paratiroid sehingga menyebabkan hiperplasia kelenjar tersebut. Kondisi ini mengikuti kejadian berkurangnya kalsium plasma (gangguan metabolisme kalsium-fosfor) pada kondisi gagal ginjal kronis. Akibatnya kelenjar paratiroid melepaskan hormon parathormon, agar tulang melepaskan kalsiumnya untuk memenuhi kekurangan kalsium plasma. Gambar 10 Kelenjar paratiroid yang mengalami hiperplasia. Pewarnaan HE, bar 100 µm B. Patogenesis Penyakit Urolithiasis seringkali terjadi pada keadaan gagal ginjal kronis, ataupun sebaliknya gagal ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya urolithiasis atau nefrolitiasis. Metabolit dan hasil filtrasi glomerulus yang seharusnya diekskresikan bersama urin, tidak bisa dialirkan karena saluran tersumbat oleh adanya urolith. Akibatnya, metabolit-metabolit kembali bersirkulasi dan menumpuk dalam darah, salah satunya adalah ureum. Akumulasi urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Uremia adalah sindrom klinis dan laboratoris yang mencerminkan disfungsi seluruh sistem sebagai akibat dari gagal ginjal kronis. Uremia adalah kondisi dimana insufisiensi ginjal sudah pada tahap lanjut sehingga terjadi gangguan sistem multiorgan kompleks dan bermanifestasi klinis (Dewayani 2007). Sindrom uremia ditandai dengan terdapatnya mineralisasi di berbagai organ. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme ion) pada ginjal (Carlton dan McGavin 1995). Sebagian besar hewan yang gagal ginjal mengalami hiperfosfatemia dan normokalsemia atau hipokalsemia. Perubahan dalam metabolisme kalsium-fosfor pada hewan uremia merupakan kumpulan dari kejadian yang kompleks. Ketika laju filtrasi glomerulus di bawah 25% dari normal, akan mengakibatkan 15 hiperfosfatemia. Keadaan hiperfosfatemia akan mengurangi ion kalsium di dalam darah, karena seperti diketahui fosfat dan kalsium berada dalam keadaan seimbang dalam darah. Keadaan hipokalsemia akan menstimulasi sekresi hormon paratiroid, dan menyebabkan reabsorbsi kalsium dan fosfor dari tulang. Perubahan dalam metabolisme kalsium-fosfor akan berakibat lebih parah, karena berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengubah hydroxylate 25-hydroxy cholecalciferol menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxycholecalciferol (kalsitriol). Keadaan ini menyebabkan absorbsi kalsium di usus berkurang. Produksi kalsitriol selanjutnya terhalang karena hiperfosfatemia. Akibatnya akan terjadi hiperplasia paratiroid, osteodistrofi fibrosa, dan kalsifikasi jaringan lunak (Jubb et al. 1993). Uremia juga berdampak pada organ lain dan mengakibatkan berbagai lesio seperti edema pulmonum, kongesti dan hemoragi pada paru-paru. Ginjal yang rusak menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, sehingga akan merangsang apparatus juxtaglomerular mensekresikan renin. Renin yang beredar sistemik akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I, dan kemudian berubah menjadi angiotensin II oleh enzim angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru-paru. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi (Jusuf 2001). Akibatnya, tekanan darah arteri meningkat dan beban jantung akan meningkat pula. Kondisi tersebut menyebabkan jantung mengalami kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi ini menyebabkan lumen ventrikel kiri menjadi sempit, sehingga volume darah yang dipompa menjadi lebih sedikit dari seharusnya. Akibat hipertrofi pada ventrikel kiri jantung menyebabkan pembendungan di paru-paru. Apabila keadaan tersebut terjadi secara terus-menerus dan berlebihan, maka menyebabkan terbentuknya edema pulmonum, karena terjadi peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru. Adanya kelemahan otot jantung menyebabkan terjadinya kongesti di organorgan internal, diantaranya hati dan limpa. Akibat kongesti hati yg berlangsung lama, hati mengalami nekrosa sentrilobular, perluasan sinusoid dan degenerasi lemak. Mineralisasi akibat uremia dapat terjadi di berbagai jaringan lunak termasuk otot rangka. Menurut Ganong (2002), perdarahan sebagai dampak uremia, edema serta pembendungan pada kegagalan jantung menyebabkan gangguan keseimbangan volume darah atau mengakibatkan hipovolemic shock. Sindrom uremia menimbulkan lesio di berbagai organ bahkan sampai ke otak. Adanya akumulasi ureum berlebih menyebabkan fungsi neuron terganggu, karena ureum bersifat toksik. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gejala klinis kejang-kejang pada kucing sebelum kematiannya. Berdasarkan pengamatan lesio patologi anatomi dan histopatologi, dapat disimpulkan penyebab kematian (causa mortis) pada kucing ini adalah karena gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis menyebabkan timbulnya gangguan pada jantung, sehingga pintu gerbang kematian (atria mortis) pada kucing ini adalah jantung. Peningkatan tekanan darah akibat kerja sistem renin menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Untuk memenuhi curah jantung yang cukup, maka jantung bekerja keras hingga mencapai titik balik dan menyebabkan terjadinya gagal jantung. Proses patogenesis penyakit yang disebabkan urolithiasis dan sindrom uremia secara singkat dapat dilihat pada bagan di Gambar 11. 16 Gambar 11 Bagan patogenesis penyakit kasus urolithiasis dan sindrom uremia pada kucing SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Urolithiasis menyebabkan kerusakan ginjal kronis dan menimbulkan kerusakan di berbagai organ akibat sindrom uremia. Gagal ginjal kronis menjadi penyebab kematian kucing dengan pintu gerbang kematian adalah jantung. Saran Apabila terdapat kasus atau gangguan yang sama pada penelitian yang serupa, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan patologi klinis terhadap fungsi ginjal diantaranya ureum dan kreatinin untuk memastikan kerusakan ginjal. 17 DAFTAR PUSTAKA Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Ed ke-8. Jakarta (ID): EGC. Buffington CAT. 2001. Managing common chronic lower urinary tract disorders of cats. Am. J. Vet. Med. Orlando (FL): American College of Veterinary Internal Medicine. hlm 282-285. Carlton WW, MD Mac Gavin. 1995. Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. St Louis, Missouri (US): Mosby-Year Book. Inc. Carvalho JC, Oishi BO, Pandey A, Soccol CR. 2005. Biopigments from Monascus: strains selection, citrinin production, and color stability. Brazilian Archieves of Biology and Technology. 48: 85-94. Confer AW, RJ Panciera. 1995. The Urinary System. In Thomson. Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. Boston (MA): St Louis Baltimore. hlm 209213. Dewayani R. 2007. Penyakit Jantung Koroner pada “Chronic Kidney Disease”. J Kardiol Ind. 28(5): 387-395 Fuadi A. 2009. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Mill) Terhadap Gambaran Ureum dan Kreatinin pada Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Etilen Glikol [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah HMD, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah; Widjajakusumah HMD, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Holt P. 1983. Urinary Incontinencia in The Dogs. In Practice 5 (5): 167-173. Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Vol 2. San Diego (US): Academic Pr Inc. Jusuf AA. 2001. Diktat Kuliah Histologi (Fakultas Ilmu Keperawatan). Sistem Perkemihan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Lumongga F. 2008. Interpretasi Mikroskopis Jaringan Dari Biopsi Hati. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Macfarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5. Churchill Livingstone (UK): Harcourt. Mu’nisa, A Muflihunna, Andi FA. 2013. Gambaran Histologi Ginjal Pada Mencit Diabetes Yang Diberi Ekstrak Daun Sukun. UNM [Internet]. [diunduh 2015 Juni 25]. Tersedia pada:http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/ unm-digilibunm-amunisaamu-380-1-artikel-3.pdf Nelson RW, Couto CG. 2003. Small Animal Internal Medicine. Ed ke-3. London (UK): Mosby Inc. Missoury. Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6.Jakarta (ID): EGC. Pasaribu S. 2001. Telaah Histopatologi Urolithiasis Pada Kucing [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purnomo. 2008. Dasar-Dasar Urologi. Ed ke-2. Jakarta (ID): CV. Sagung Seto. Sakas P. 2002. Essentials of Avian Medicine: A Practitioner’s Guide. Ed ke-2. Milwuakee (US): AAHA Press. Sudiono J, Budi K, Andhy H, Bing D. 2001. Penuntun Praktikum Patologi Anatomi. Jakarta (ID): EGC. 18 Vanholder R, Smet RD. 1999. Review pathopysiologic effects of uremic retention solution. J Am Soc Nephrol. 10: 1815-1823. Vedrenne N, JP Cotard, B Paragon. 2003. L’Urolythiase Feline: Actualites Epidemiologi-ques. Le Point Vet. 232: 44-48. Wakidi. 2003. Prospek Tumbuhan Obat Tradisional Untuk Menghancurkan Batu Ginjal (Urolitikum). Medan (ID): Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran Bagian Farmasi-Kedokteran. Zachary JF, MD McGavin. 2012. Pathologic Basic of Veterinary Disease. Ed ke5. St Louis, Missouri (US): Mosby-Year Book. Inc. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 Februari 1993. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Asep Gunawan dan Ibu Ai Sopiah. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pendidikan formal yang pernah ditempuh sebelumnya yaitu SD Negeri Nanjung 2 pada tahun 1999, Ponpes Modern Al-Ihsan pada tahun 2005, dan MAN 1 Bandung pada tahun 2008. Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan, diantaranya anggota divisi Kubah dan Internal Himpro Ornithologi danUnggas, anggota DKM An-Nahl, Pet Care Day (2012), KAKNAS (2013 & 2014), dan asisten praktikum Patologi Sistemik II (2015).