Analisis gaya bunyi dan gaya wacana pada kumpulan sajak karya Sapardi Djoko Damono Waesy Tibyani, Ds. Nogoraji Rt 04 Rw05 Kec. Buayan, Kebumen, 54474 [email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas gaya bahasa Sapardi Djoko Damono dalam sajak “Aku Ingin”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Hanya”, “Sajak-sajak Kecil tentang Cinta”, dan “Menjenguk Wajah di Kolam”. Pemilihan sajak tersebut dalam analisis dilatarbelakangi atas penggunaan gaya bahasa yang lebih dominan. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan isi dari setiap sajak. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori stilistika yang mencakup unsur-unsur gaya bahasa, di antaranya adalah gaya bunyi dan gaya wacana. Berdasarkan unsur-unsur gaya bahasa tersebut, pada penelitian ini didapatkan efek dan pemaknaan dari kelima sajak Sapardi Djoko Damono tersebut. Kata kunci: Gaya bunyi, Gaya wacana, Sajak, Stilistika, Sapardi Djoko Damono. Pendahuluan Gaya merupakan cara penggungkapan pikiran yang yang berbeda dengan lainnya. Penyimpangan ini dapat bertujuan untuk keindahan, seperti yang ada dalam karya sastra. Sastra adalah karya tulis yang mengandung unsur estetis atau keindahan dan imajinatif. Oleh karena itu, dalam karya sastra banyak dijumpai gaya yang berbeda-beda yang bergantung pada penulisnya. Tidak hanya indah, bahasa dalam karya sastra juga mengandung makna tertentu sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karyanya (Endraswara, 2003:71). Dalam sebuah karya tulis baik sastra maupun nonsatra, seorang penyair maupun penulis pasti mempunya gaya penulisannya masing-masing. Gaya tersebut bisa berupa penggunaan kosa kata asing, kata yang tabu, vulgar, ada pula penggunaan kata yang penuh dengan metafora. Pada penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah sajak atau puisi. Karya sastra puisi dapat dianalisis dalam hal gaya bahasanya. Hal tersebut karena di balik puisi mengandung berbagai makna yang dapat diteliti. Terkadang, makna tersebut dapat berbeda-beda walaupun yang dianalisis hanya satu buah puisi. Dalam hal ini, yang akan dianalisis adalah gaya bahasa yang digunakan oleh penulis untuk menyampaikan maksud dari puisinya. Jenis-jenis gaya bahasa itu sendiri dapat dibedakan menjadi intonasi, gaya bunyi, gaya kata atau leksikal, dan gaya kalimat (Pradopo, 2005:55). Akan tetapi, yang akan dibahas pada penelitian ini hanya gaya bunyi dan gaya wacana. Penelitian ini difokuskan pada kumpulan sajak karya Sapardi Djoko Damono yaitu, sajak “Aku Ingin”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Hanya”, “Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta”, dan “Menjenguk Wajah di kolam”. Dipilihnya lima sajak tersebut karena dianggap mempunyai penggunaan gaya bahasa yang dominan. Stilistika atau stylistics adalah ilmu tentang gaya bahasa. Stylistics berhubungan dengan kata style yang berarti gaya. Menurut Kridalaksana (2011:227), stilistika adalah penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Selain itu, Kridalaksana juga menyebutkan bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Masing-masing penulis dalam menyapaikan pemikirannnya, ia akan menggunakan gaya bahasa yang yang paling mewakili apa yang dipikirkan. Menurut Pradopo (dalam Endraswara, 2003:72), nilai sebuah karya sastra terletak pada gaya bahasa yang digunakannya. Gorys Keraf (2007:113) juga berpendapat bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkankepribadian penulisnya. Gaya bahasa pada karya sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stilistika deskriptif dan stilistika genetis. Stilistika deskriptif adalah gaya bahasa berfungsi sebagai keseluruhan ekspresi kejiwaan yang terkandung dalam suatu bahasa dan meneliti nilainilai ekspresivitas yang terkandung di dalamnya secara morfologis, sintaksis, dan semantis. Stilistika genetis memandang gaya bahasa sebagai ungkapan yang khas pribadi seorang penulis (Endraswara, 2003:73). Jenis-jenis gaya bahasa itu sendiri dapat dibedakan menjadi intonasi, gaya bunyi, kata atau leksikal, dan gaya kalimat. Akan tetapi, intonasi hanya ada dalam bahasa lisan (Pradopo, 2005:55). Stilistika dimaksudkan untuk menungkapkan berbagai makna gaya bahasa dan efeknya. Stilistika berusaha mengungkapkan bagaimana unsur-unsur estetis bergabung untuk menyampaikan suatu pesan dari pengarang kepada pembacanya. Hal ini sesuai dengan sastra sebagai sarana komunikasi antara pembaca dan penulis (Sudjiman, 1993:7). Teeuw (dalam Sudjiman, 1993:12) mengatakan bahwa dalam memberi makna terhadap suatu karya sastra, diperlukan pengetahuan terhadap tiga macam kode, yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Kode bahasa adalah hal yang paling penting karena suatu karya sastra tidak akan dapat dipahami apabila tidak memahami bahasa yang digunakan dalam karya tersebut. Setelah memahami kode bahasa, terdapat kode-kode lain dalam sastra yang harus dipahami yang membedakannya dengan karya nonsastra, misalnya rima sebagai kode dalam puisi. Setelah memahami kode sastra, untuk dapat menangkap makna karya sastra, tidak dapat lepas dari konteks budaya yang melingkupi karya sastra karena karya sastra adalah suatu produk masyarakat (Sudjiman, 1993:12). Pada umumnya, pengkajian stilistika diterapkan pada karya sastra puisi karena metafor yang ada di dalamnya sangat kental atau dominan. Selain itu, struktur puisi yang ringkas juga memudahkan pembahasan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori stilistika sebagai teori utama dalam menganalisis gaya bahasa Sapardi Djoko Damono pada sajak-sajaknya. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deksriptif kualitatif dengan menjabarkan dan mendeskripsikan hasil analisis data secara informal atau menggunakan kalimat-kalimat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber data tertulis, yakni sajak “Aku Ingin”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Hanya”, “Sajak-sajak Kecil tentang Cinta”, dan “Menjenguk wajah di kolam”. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah dengan menganalisis gaya bunyi dan gaya wacana dengan menggunakan teori stilistika. Hasil dan pembahasan Hasil dari penelitian ini yaitu, didapatkan efek dan pemaknaan dari kelima sajak karya Sapardi Djoko Damono tersebut. Efek dan makna tersebut didapatkan dengan hasil yang dijabarkan dari kedua gaya bahasa, yaitu gaya bunyi dan gaya wacana. a. Data Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari Hanya Hanya suara burung yang kau dengar Dan tak pernah kaulihat burung itu Tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa Dan tak pernah kaulihat angin itu Tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini Dan tak pernah kaulihat siapa aku Tapi yakin aku ada dalam dirimu” Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta Mencintai angin Harus menjadi siut Mencintai air Harus menjadi ricik Mencintai gunung Harus menjadi terjal Mencintai api Harus menjadi jilat BAHASTRA |2 Mencintai cakrawala Harus menebas jarak Mencintai-Mu Harus menjelma aku Menjenguk Wajah di Kolam Jangan kauulang lagi Menjenguk Wajah yang merasa Sia-sia, yang putih Yang pasi Itu. Jangan sekaliKali membayangkan Wajahmu sebagai Rembulan. Ingat, Jangan sekaliKali. Jangan. Baik, Tuan. b. Gaya Bunyi Gaya bunyi (fonem) merupakan unsur lingual terkecl dalam suatu bahasa yang dapat menimbulkan dan/ atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjdi vokal (bunyi hidup seperti a,i,e,o,u) dan konsonan (bunyi mati seperti b, f, g, h, j, l, k dan sebagainya) dalam (Al-Ma’ruf, 2009:47). Timbul irama yang indah yang tercipta dalam puisis, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi itu akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang meniptakan nada dan suasana tertentu. Asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris. Adapun pengulangan bunyi konsonan yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris disebut Aliterasi (Al-Ma’ruf, 2009:47). Efoni adalah bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi yang indah. Adapun bunyi-bunyi parau, aneh, berata. Kasar, terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi disebut kakafoni. (Al-Ma’ruf, 2009:48). Berikut dipaparkan sajak “ Aku Ingin” beserta analisisnya. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Pada bait pertama, didominasi bunyi vokal (a,e) yang merupakan bunyi efoni. Efek yang ditimbulkan dari dominasi bunyi puisis adalah kesederhanan, pengorbanan. Bunyi efoni yang ada menggambarkan keseriusan penyair mengenai keinginannya. Keseriusan dalam hal mencintai yang diibaratkan langsung oleh penyair melalui larik kedua dan ketiga. Larik tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang ingin mencintai dengan cara dirinya sendiri yang sederhana. Sederhana yang dimagsudkan adalah bukti nyata dari semua tindakan yang penyair lakukan. rela berkorban dan tanpa banyak omong kosong. Pada bait kedua didominasi konsonan (t,n) yang merupakan bunyi kakafoni. Menggambarkan keseriusan penyair mengenai keinginannya. Keseriusan dalam hal mencintai yang diibaratkan langsung oleh penyair melalui larik kedua dan ketiga. Pada larik tersebut memaknai bahwa seseorang yang ingin mencintai dengan cara dirinya sendiri yang sederhana. Sederhana yang dimagsudkan penyair adalah rela berkorban dalam mencintai. Berikut dipaparkan “Pada Suatau Hari Nanti” beserta analisisnya. Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari. Pada bait pertama, didominasi bunyi vokal (a,i,u) yang merupakan bunyi efoni. Bunyi efoni yang ada menggambarkan kesedihan dan kekawatiran. Makna yang terdapat alam bait pertama menggambarkan mengenai kehidupan yang akan datang , ketika raga sudah tidak ada atau sudah mengalami kematian. Namun pada larik ke-3 BAHASTRA |3 menjelaskan pertentangan bahwa ketika “aku” sudah mengalami akhir dari kehidupan ia ingin tetap menemani seorang “kau”. Bukan melalui raganya namun melalui bait-bait yang iya tuliskan. Pada bait kedua pun di dominasi oleh bunyi vokal (a,i,u) yang merupakan bunyi efoni. Efek dan makna yang terdapat dalam bait kedua menggambarkan mengenai kehidupan yang akan datang, ketika suara sudah tidak ada lagi untuk didengar. Namun pertentangan terhadap kematian terjadi pada larik ketiga dan keempat, yaitu dengan ia meletakkan jejak kehidupannya dalam larik-larik dalam sajak yang ia buat. Ia melakukan apapun supaya jejak kehidupaannya akan tetap ada dalam karya-karyanya. Sehingga orang yang mencintai akan selalu merasakan kehadiran jiwa penyair ketika sudah tidak ada di dunia. Pada bait ketiga pun di dominasi oleh bunyi vokal (a,i,u) yang merupakan bunyi efoni. Efek dan makna yang terdapat dalam bait ketiga menggambarkan mengenai kehidupan yang akan datang, ketika impiannya tidak akan bisa diraih setelah kematian. Namun pertentangan terhadap kematian terjadi pada larik ketiga dan keemmpat, yaitu walaupun impiannya sudah tidak dapat ia usahakan karena kematian, tetapi penyair berusaha agar impian-impiannya kekal “disela-sela sajak ini” yang merupakan hasil dari impiannya yaitu karya yang ia cipatakan. Berikut dipaparkan “Hanya” beserta analisisnya. Hanya suara burung yang kau dengar Dan tak pernah kaulihat burung itu Tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kau rasa Dan tak pernah kaulihat angin itu Tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini Dan tak pernah kaulihat siapa aku Tapi yakin aku ada dalam dirimu Pada bait pertama didominasi vokal a dan u yang merupakan bunyi efoni. Bunyi efoni yang ada menggambarkan keyakinan. Makna yang ada dalam bait pertama menjelaskan tentang sesuatu yang belum pernah dilihat. Namun sebenanya “kau” mengetahui bahwa sesuatu itu ada di suatu tempat yang ia tahu. Hal ini bisa ditafsirkan seperti jodoh, jodoh yang sesungguhnya sudah ditetapkan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Seseorang pastilah mempunyai jodoh, di sini jodoh seperti sesuatu yang belum pernah dilihat. Akan tetapi kita percaya bahwa jodoh itu sebenarnya ada berama kita di bumi. Pada bait kedua didominasi vokal a dan u yang merupakan bunyi efoni. Bunyi efoni yang ada menggambarkan keyakinan. Makna yang ada dalam bait kedua yaitu mengenai sesuatu yang belum pernah dilihat. Namun, sebenanya itu ada di sekitarmu. Pada bait keetiga didominasi vokal u yang merupakan bunyi efoni. Bunyi efoni yang ada menggambarkan keyakinan. Makna yang ada dalam bait ketiga yaitu mengenai kemampuan yang saat ini hanya bisa ia lakukan. Bahwa hanya doa yang mampu iya panjatkan dan penyair yakin bahwa “aku” lah jodoh yang Tuhan tetapkan untuk seorang “kau”. Larik kedua menegaskan kembali mengenai sesuatu yang belum pernah seorang “kau” lihat. Lalu, penyair meyakinkan bahwa “aku” ada dalam diri sesseorang. Berikut dipaparkan sajak “Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta” beserta analisisnya. Mencintai angin Harus menjadi siut Mencintai air Harus menjadi ricik Mencintai gunung Harus menjadi terjal Mencintai api Harus menjadi jilat Mencintai cakrawala Harus menebas jarak Mencintai-Mu Harus menjelma aku Pada bait pertama didominasi konsonan (t,d) yang merupakan bunyi kakafoni. Efek yang dicapai dari keseluruhan bait pertama yaitu menggambarkan bahwa ketika seseorang sudah yakin untuk menjalin cinta atau ikatan, ia harus siap akan semua hal yang akan ia di hadapi (renungan). Larik pertama mempunyai makna bahwa ia harus siap akan kesusahan atau kesengsaraan. larik kedua mempunai makna bahwa dalam menjalin cinta ia harus siapa akan semua omongan yang harus diterimanya. Larik ketiga mempunyi makna bahwa ia harus siap dengan keterjalan, rintangan, dan kesusahan. Larik keempat mempunyai makna bahwa ia harus siap merasakan semua hal dalam hidup. Larik kelima mempunai makna, harus siap akan jarak dan waktu. Pada bait kedua tidak ada dominasi bunyi yang ditimbulkan. Namun , ada efek yang dicapai dari bait kedua yaitu renungan. Mempunyai makna, BAHASTRA |4 bahwa untuk mencintai suatu hal seseorang harus siap menjadi bagian dari apa yang kita cintai. Di sini digambbarkan mengenai mencintai sang pencipta. Artinya seseorang harus menjadi seperti yang diinginkan oleh sang pencipta. Berikut dipaparkan sajak “Menjenguk Wajah di Kolam” beserta analisisnya. Jangan kauulang lagi Menjenguk Wajah yang merasa Sia-sia, yang putih Yang pasi Itu. Jangan sekaliKali membayangkan Wajahmu sebagai Rembulan. Ingat, Jangan sekaliKali. Jangan. Baik, Tuan. Pada bait pertama didominasi konsosnan (g,k) yang merupakan bunyi kakafoni. Bunyi kakafoni yang didapatkan diakibatkan ketidak utuhan kalimat yang ada dalam setiap larik atau terpenggal-penggal ke larik selanjutnya. Efek yang dicapai yakni larangan dan kesedihan. Mempunyai makna bahwa penyair melarang kepada seorang “kau” untuk tidak melihat wajah yang pucat dan jangan merasa hidupnya sia-sia. Mungkin disini karena terserang sebuah penyakit, yang mengharuskan seorang kau hanya terbaring dan berjalan-jaln ditemani penyair. Larangan yang di lakukan penyair adalah hal baik, supaya “kau” tidak merasa hidupnya sia-sia. Pada bait kedua pun didominasi konsosnan (k,g) yang merupakan bunyi kakafoni. Bunyi kakafoni yang didapatkan diakibatkan ketidak utuhan kalimat yang ada dalam setiap larik atau terpenggal-penggal ke larik selanjutnya. Efek yang dicapai disini merupakan penegasan efek pertama, yakni larangan. Mempunyai makna bahwa penyair melarang ia membayangkan wajahnya seperti rembulan, yang dilihat dari jauh nampak cantik, namun ketika di dekati begitu buruk. Pada bait ketiga dan keempat merupakan bunyi kakafoni. Bunyi kakafoni yang didapatkan diakibatkan ketidak utuhan kalimat yang ada dalam setiap larik. Efek yang dicapai yakni mempertegas kembali, harus diingat bahwa jangan pernah melakukan itu. Bait terakhir merupakan jawaban dari seorang “kau” sebagai bentuk patuhnya kepada penyair. c. Gaya Wacana Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memeiliki hierarki terttinggi dalam gramatika (Kridalaksana, 1988: 179). Dalam Al-Ma-ruf, gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam prosa atau fiksi), bait (dalam puisi/sajak). Keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi (Al-Ma’ruf 2009: 58). Termasuk dalam gaya wacana dalam sastra adalah gaya wacana dengan pemanfaatan sarna retorika seperti repetisi, paralisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola, serta gaya wacana campur kode dan alih kode (Pradopo, 2004: 12). Kedua gaya itu –campur kode dan alih kode— digunakan untuk memperoleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yag digunakan, misalnya untuk menciptakan efek atau setting lokal, nasional, dan internasional atau universal (Al-Ma’ruf 2009: 59). Berikut dipaparkan sajak “ Aku Ingin” beserta analisisnya. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Gaya wacana yang menonjol dalam puisi “Aku Ingin” yaitu repetisi (pengulangan). Pengulangan terjadi pada larik pertama bait pertama dan kedua. Pengulangan Efek penekanan tersebut menunjukan, bahwa keinginan penyair dalam hal mencintai ia tidak ingin tidak berlebihan. Makna yang muncul akibat pengulangan ini yaitu keseriusan si “aku” dalam hal mencintai seseorang. Berikut dipaparkan sajak “Pada Suatau Hari Nanti” beserta analisisnya. Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, BAHASTRA |5 Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari Gaya wacana yang menonjol pada puisi “ Pada Suatu Hari Nanti “ yaitu repetisi (pengulangan). Pengulangan terjadi pada larik pertama bait kedua dan larik kedua bait ketiga. Efek penekanan tersebut menunjukan bahwa ungkapan penyair akan waktu kedepannya. pemaknaan yang timbul dari pengulangan larik /Pada suatu hari nanti/ merupakan peikiran penyair ketika ia sudah tidak ada lagi di dunia. Berikut dipaparkan sajak “Hanya” beserta analisisnya. Hanya suara burung yang kau dengar Dan tak pernah kaulihat burung itu Tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa Dan tak pernah kaulihat angin itu Tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini Dan tak pernah kaulihat siapa aku Tapi yakin aku ada dalam dirimu Gaya wacana yang menonjol pada puisi “ Hanya“ yaitu repetisi (pengulangan). Pengulangan terjadi pada larik kesatu,dua, dan tiga pada ketiga bait puisi yaitu Hanya .../Dan tak pernah kaulihat .../Tapi .../. Pengulangan kata Hanya menunjukan penekanan penyair terhadap konteks yang ingin dihadirkan kepada pembaca. Efek penekanan tersebut memaknai satu-satunya hal yang ada saat itu. Pengulangan kata Dan tak pernah kaulihat menimbulkan efek penekanan bahwa “kau” tidak pernah melihat hal itu. Pengulangan kata Tapi menimbulkan efek penekanan mengenai suatu keyakinan dalam puisi tersebut. Berikut dipaparkan sajak “Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta” beserta analisisnya. Mencintai angin Harus menjadi siut Mencintai air Harus menjadi ricik Mencintai gunung Harus menjadi terjal Mencintai api Harus menjadi jilat Mencintai cakrawala Harus menebas jarak Mencintai-Mu Harus menjelma aku Gaya wacana yang menonjol pada puisi “Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta“ yaitu paralelisme (kesejajaran). Kesejajaran kata Mencintai dan harus menjadi menunjukan penekanan penyair terhadap konteks yang ingin dihadirkan kepada pembaca. Efek penekanan tersebut juga menunjukkan bahwa penyair menekankan bahwa mencintai haruslah mampu menjadi bagian dari apa yang dicintainya, serta adanya suatu keharusan yang harus dilakukan. Berikut dipaparkan sajak “Menjenguk Wajah di Kolam” beserta analisisnya. Jangan kauulang lagi Menjenguk Wajah yang merasa Sia-sia, yang putih Yang pasi Itu. Jangan sekaliKali membayangkan Wajahmu sebagai Rembulan. Ingat, Jangan sekaliKali. Jangan. Baik, Tuan. Gaya wacana yang menonjol pada puisi “Menjenguk Wajah di Kolam “ yaitu repetisi (pengulangan). Pengulangan terjadi pada bait pertama dari ketiga bait puisi. Pengulangan kata Jangan dan Jangan sekali-kali menunjukan penekanan penyair terhadap konteks yang ingin dihadirkan kepada pembaca. Efek penekanan BAHASTRA |6 tersebut menunjukan bahwa penyair menekankan kepada “kau” supaya tidak melakukan hal yang penyair larang. Bahkwan pada bait 2 dan 3 penyair menambahkan kata sekali-kali yang bisa di artikan larangan yang sangat keras untuk melakukan hal itu. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang dipaparkan, ditemukan beberapa kesimpulan mengenai gaya bahasa Sapardi Djoko Damono dalam sajak “Aku Ingin”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Hanya”, “Sajaksajak Kecil tentang Cinta”, dan “Menjenguk Wajah di Kolam”. Terdapat efek dan makna dalam kelima sajak tersebut, baik dari segi gaya bunyi maupun gaya wacana. Berdasarkan gaya bunyinya , pada puisi “Aku ingin” ditemukan bunyi efoni dan kakafoni. Berdasarkan gaya wacananya, ditemukan gaya repetisi. Pada sajak “Pada Suatu Hari Nanti” dan sajak “Hanya” ditemukan bunyi efoni dan tidak ditemukannya bunyi kakafoni. Berdasarkan gaya wacananya, ditemukan gaya repetisi. Pada sajak “ Sajak-sajak Kecil tentang Cinta” ditemukan bunyi kakafoni. Berdasarkan gaya wacananya, ditemukan gaya paralelisme. Pada sajak “Menjenguk Wajah di Kolam” ditemukan bunyi kafoni Berdasarkan gaya wacananya, ditemukan gaya repetisi. Hal tersebut menunjukan bahwa gaya bahasa pada penulisannya bervariasi untuk mencapai suatu efek dan pemaknaan tertentu. Keraf, Gorys. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. (2014). Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. (2005). Kajian Stilistika. Tidak Diterbitkan. Sudjiman, Panuti. (1993). Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti. (2016, 26 Oktober ) www.gramedia.com. Dikutip 23 Juli 2019 dari: https://www.gramedia.com/blog/5kumpulan-puisi-cinta-sapardi-djokodamono-paling-romantis/# www.goodreads.com. Dikutip 23 Juli 2019 dari: https://www.goodreads.com/quotes/6756 57-sajak-kecil-tentang-cinta-mencintaiangin-harus-menjadi-siut-mencintai. www.goodreads.com. Dikutip 23 Juli 2019 dari: https://www.goodreads.com/quotes/2844 4-aku-ingin-mencintaimu-dengan-sederhanadengan-kata-yang-tak-sempat Persantunan Puji dan syukur, kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan fisik dan akal sehingga mampu menyelesaikan penulisan artikel. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah menyemangati penulis sampai saat ini. Lalu, tidak lupa ucapan terima kasih kepada Ibu Yosi Wulandari dosen mata kuliah stilistika. Atas semua ilmu yang diajarkan beliau sehingga penulis mampu untuk memahami dan menganalisis suatu karya sastra menggunakan teori stilistika. Terakhir kepada semua teman-teman yang sudah membersamai dalam menuntut ilmu. Daftar Pustaka Al- Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books. Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. BAHASTRA |7