MAKALAH MAKNA DAN IMPLIKASI AGAMA DALAM KEHIDUPAN ANAK Makalah Ini Di Susun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Perkembangan keberagamaan Peserta Didik Dosen Pengampu : Prof. Dr. Muh. Zuhri, M.A. Disusun Oleh: Nurul Khabib Allin (12010190004) PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2020 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi sejumlah potensi yang diperlukan untuk kehidupannya. Ia memiliki potensi untuk beragama, berfikir, berkreasi, merasa, berkomunikasi dengan orang lain, dan potensi-potensi lainnya. Upaya pengembangan potensi anak perlu dilakukan pada usia dini sebab pada masa itulah terjadi masa-masa emas dari masa perkembangan berbagai potensi tersebut. Dijelaskan oleh para ahli ( Bloom, 1994; Bredekamp dan copple, 1997; Kostenik etal, 1999; Newberger, 1997) bahwa pada usia dini terdapat periode-periode optimal dalam perkembangan anak. Maksudnya pada masa ini terdapat kesempatan-kesempatan yang lebih memungkinkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek perkembangan anak. Namun, dengan periode-periode optimal tidak berarti bahwa anak harus dijejali dengan berbagai pengetahuan serta dipaksa untuk menguasai berbagai katerampilan tanpa mempedulikan taraf perkembangan individu anak yang bersangkutan. Yang penting di sini adalah bahwa anak mendapat kesempatan yang luas untuk memperoleh rangsangan dan pengalaman belajar yang mendorong terjadinya proses-proses aktivitas mental dan fisik melalui cara-cara yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan yang bersangkutan. (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI,2007:96) Perkembangan Agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap tindakan, kelakuan dan cara menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. (Daradjat,1970:55). Sebagai umat beragama, orang tua dan pendidik berkewajiban untuk menanamkan dasar-dasar aqidah yang benar kepada anak sejak usia dini, sebab ajaran agama merupakan sumber rujukan nilai yang sangat fundamental bagi kepentingan hidup manusia beragama. Apabila nilai-nilai aqidah itu sudah dibangun pada diri anak sejak usia dini, maka hal tersebut akan menjadi suatu landasan esensial bagi perkembangan kehidupan keagamaan anak pada tahap-tahap berikutnya. Sementara itu Clark berpendapat, religiositas berkembang sejak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiositas yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupam sehari-hari. Proses perkembangan religiositas melewati tiga fase utama, yakni fase anak, remaja dan dewasa. Masing-masing fase perkembangan memiliki kekhasan dalam sifat serta perannya terhadap keseluruhan perkembangan religiositas. ( Clark, W.H, 1958: 85) Dalam makalah ini akan dibahas tentang makna dan implikasi agama dalam kehidupan anak. B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Bagaimana perkembangan jiwa beragama pada anak? 2. Bagaimana implikasi agama dalam kehidupan anak? C. Tujuan 1. Mengetahui makna agama bagi kehidupan anak 2. Mengetahui implikasinya dalam kehidupan anak BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan jiwa beragama pada anak 1. Agama pada masa anak Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi 5 periode: 1) Umur 0-3 tahun, periode Vital atau Menyusui 2) Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba atau masa bermain 3) Umur 6-12 tahun, periode intelektual ( masa sekolah) 4) Umur 12-21 tahun, periode sosial atau masa pemuda 5) Umur 21 tahun ke atas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan anak- anak adalah masa dimana seseorang sebelum berumur 12 tahun. Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development Of Religion On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu : a. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng) Tingkatan ini dimuali pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa kini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dapat menggapai agama pun anak masih mengggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng. b. The Realistic Stage (tingkat kenyataan) Tingkat ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia adolensen. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam ligkungan mereka. Segala bentuk tindakan (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat. c. The Individual Stage (tingkat individu) Pada tingkat ini anak mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang individualis ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu : 1. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal terserbut disebabkan oleh pengaruh luar. 2. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan). 3. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. (Jalaluddin,2007: 67 ). Religiositas anak adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari lahir sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut berbagai faktor, intern, ekstern ikut berperan. Empat diantarannya yang akan dipaparkan dalam makalah ini, yaitu perkembangan kognisi, peran hubungan orang tua dengan anak, peran Conscience, Guilt, Shame, serta Interaksi sosial. 1) Peran kognisi dalam perkembangan religiositas anak Konsep tentang nila-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu. Perkembangan kognisi melewati beberapa fase yang masing-masing memiliki ciri yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri individu akan hanya terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya. Demikian juga pengetahuan dan pengalaman keagamanannya. 2) Peran hubungan orang tua dengan anak dalam perkembangan religiositas anak Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak. ( Clark, W.H : 87) Melalui hubungan dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep keimanan (belief & faith), ibadah (ritual), maupun mu’amalah (ethic & moral). Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak, yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, serta kualitas dari religiositas orang tua. 3) Paran Conscience, Guilt dan Shame dalam perkembangan religiositas anak Conscience, Guilt dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara berurutan. Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam untuk mengerti tentang benar dan salah, baik dan buruk. Dalam istilah lain dapat disamakan dengan istilah inner light, superhero, atau internalized policeman, yang berperan untuk mengontrol perilaku dari dalam diri. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak berperilaku sesuai dengan kata hatinya, rasa bersalah juga dapat disebut evaluasi diri secara negative yang muncul ketika seseorang memahami bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standar nilai yang dia rasa harus ditaati. Beriringan dengan itu kemudian muncul Shame, yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya. 4) Peran interaksi sosial dalam perkembangan religiositas anak Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu dengan kelompok kawan sepermainan dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai berikut: pertama, malalui interaksi sosial anak akan mengetahuai apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standar nilai religiositas dalam keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua, interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya. (Hurlock, E.B.1978:390) Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagiaan, yaitu : a. Fase dalam kendungan. Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada janin, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas Tuhannya. b. Fase Bayi. Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti mendengarkan azan dan iqomah saat kelahiran anak. c. Fase kanak-kanak . Pada fase ini merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah memulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika ia berhubungan dengan orang-orang disekelilingnya. Dalam perkembangan inilah ia mulai mengenal Tuhan dari ucapan-ucapan orang di sekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi di sinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru. d. Masa anak sekolah. Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkeitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang. 2. Sifat-sifat Agama pada Anak Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on othority. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas : a. Unrevlective (Tidak mendalam). Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. b. Egosentris. Masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. c. Antromorphis. Pada umumnya konsep ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ketika ia berhubungan dengan orang lain. Sehingga konsep keTuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. d. Verbalis dan Ritualis. Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. e. Imitatif. Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. f. Rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak ini belum bersifat kreatif. Rasa kagum mereka dapat disalurkan lewat cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. (Jalakuddin, 2007: 70-73). B. Implikasi Agama pada Kehidupan anak 1. Dasar-dasar pendidikan agama bagi anak Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya didunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Dalam hal ini Imam Ghazali mengatakan : Bayi itu merupakan amanat bagi kedua orang tuanya, hatinya suci dan bersih. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan, ia akan tumbuh dengan kebiasaan, pengajaran, dan berbahagia di dunia dan di akhirat.(Ulwan, 1992: 160). Dengan demikaian orang tua harus berusaha semaksimal mungkin agar anak mendapatkan pendidikan agama yang baik dan terbiasa melaksanakannya. Berbicara tentang terbiasa melaksanakan berarti menyangkut metode keteladanan, metode keteladanan dalam pembiasaan merupakan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada anak agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, aklak, kesenian dan lain-lain.(Ali, 1999: 185). Oleh karena itu yang perlu kita ketahui adalah Bentuk-bentuk pelaksanaan Ajaran islam atau Dasar – dasar pendidikan agama bagi anak yaitu sebagai berikut: a. Pembinaan Aqidah pada Anak Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologi berarti landasan yang mengikat yaitu keimanan. Aqidah juga sebagai ketentuan dasar mengenai keimanan seorang muslim, landasan dari segala prilakunya, bahkan aqidah sebenarnya merupakan landasan bagi ketentuan syariah yang merupakan pedoman bagi seseorang berperilaku di muka bumi. (Daradjat, 1992: 317) Aqidah memiliki enam Aspek yaitu: keimanan pada Allah, pada para Malaikat-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, pada hari akhir, dan iman kepada ketentuan yang telah dikehendaki-Nya. Apakah ini takdir baik atau takdir buruk. Dan seluruh Aspek ini merupakan hal yang gaib. Kita tidak mampu menangkapnya dengan panca indra kita. ( Hafihz, 1988: 109 ) Seperti yang telah dijelaskan di atas maka kita akan menemukan lima pola dasar pembinaan aqidah anak seperti : Membacakan kalimat tauhid pada Anak, menanamkan kecintaan mereka pada Allah, pada Rasulullah Muhammad SAW, mengajarkan Al-qur’an dan menanamkan nilai perjuangan rasul serta pengorbanan beliau pada mereka. Adapun langkah-langkah yang mesti kita lakukan untuk membentuk Aqidah anak adalah sebagai berikut: a) Mendiktekan kalimat Tauhid pada Anak b) Menanamkan kecintaan Anak kepada Allah, senantiasa meminta pertolongan dan pengawasan hanya kepada Allah serta yakin akan ketentuan Allah SWT. c) Menanamkan kecintaan Anak pada Nabi Muhammad SAW. b. Pembinaan Ibadah pada Anak Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan Aqidah karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya atau dalam istilah lain, semakin tinggi nilai ibadah yang ia miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya. Maka bentu ibadah yang dilakukan anak bisa dikatakan sebagai cerminan atau bukti nyata dari Aqidahnya. Bentuk pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya atau dalam istilah khusus yaitu ibadah memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam diri anak. Pada saat anak melakukan salah satu ibadah itu, secara tidak disadari ada dorongan kekuatan yang membuat dia merasa tenang dan tentram. Pembinaan dalam beribadah bagi anak ini terbagi dalam 4 dasar pembinaan, yang uraiannya adalah pembinaan Shalat, pembinaan ibadah puasa, pembinaan mengenai ibadah haji, pembinaan ibadah zakat, dan pembinaan akhlak pada anak. Adapun pembinaan Akhlak kepada anak, yaitu: 1. Pembinaan Budi Pekerti dan Sopan Santun. 2. Pembinaan Bersikap Jujur 3. Pembinaan menjaga Rahasia 4. Pembinaan menjaga kepercayaan 5. Pembinaan Menjauhi Sifat dengki. 2. Metode mengajarkan Agama pada anak. Pendidikan agama sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir bahkan sejak anak dalam kandungan. Anak usia balita atau 0-5 tahun belum termasuk usia sekolah. Dengan demikian ia lebih banyak bersama dan berinteraksi di lingkungan keluarga terutama orang tuanya. Maka orang tua adalah segala-galanya bagi anak. Oleh karena itu, setiap orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah. pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya. Agar agama itu dalam tumbuh dalam jiwa anak dan dapat dipahami nantinya, maka harus ditanamkan semenjak kelahiran bayi. Dengan demikian, ada metode-metode tertentu yang harus diterapkan dalam mengajarkan agam pada anak. (Tafsir,2007:131) Adapun metode yang dimaksud adalah semua cara yang dilakukan dalam upaya mendidik. Mengajar adalah termasuk upaya mendidik metode mengajarkan agama pada anak (balita) telah banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Diantaranya: a. Memperdengarkan Azan dan Iqamat saat kelahiran anak b. Metode hiwar atau percakapan c. Metode Pembiasaan d. Metode drill/Latihan e. Metode pemberian hadiah atau pujian f. Metode keteladanan g. Metode Nasehat h. Metode Kisah i. Metode Hukuman 3. Urgensi Pembinaan Kehidupan Beragama Bagi Anak Dalam kehidupan sehari-hari, sangat banyak sekali kebiasaan yang berlangsung otomatis dalam bertingkah laku. Oleh karena itu pembinaan kehidupan beragama melalui proses pendidikan yang baik akan sangat berpengaruh dari genersi ke generasi sehingga membudaya dalam kehidupan. Pembinaan kehidupan beragama sangat penting bagi anak, sebagai mana yang dikatakan oleh Zakiah Darajat bahwa : Pembinaan moral dan agama bagi generasi muda tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti, dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat, dan waktu atau nilai yang bersumber kepada agama. Oleh karena itu dalam pembinaan generasi muda, kehidupan moral dan agama harus sejalan dan mendapat perhatian yang serius. ( Daradjat, 1982: 39). 4. Pengaruh Pembinaan Kehidupan Beragama Bagi Anak. Dengan adanya pembinaan kehidupan beragama bagi anak, dapat memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan anak. Baik dari segi budaya, social dan Religi. Adapun uraiannya sebagai berikut: Seperti yang dikemukaan oleh Muh. Nur Abdul Hanizh bahwa Pembinaan membuat anak bisa bersikap benar dalam pergaulannya dengan masyarakat disekitarnya, baik bergaul dengan anak seusianya, maupun dalam adab kesopanan terhadap orang yang lebih dewasa. Anak dapat berkelakuan yang sesuai dengan ukuran – ukuran (Nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hatinya sendiri, bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (Tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan pribadi.(Daradjat, 1978:63) umum dari pada kepentingan atau keinginan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan pada usia anak mempunyai makna yang sangat penting karena dalam perkembangan tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi perhatian dan kesanggupan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa. B. Saran Isi makalah ini tentunya masih banyak kekurangan , oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah. Semoga bahan diatas dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pendidik, orang tua dan masyarakat dalam mengetahui makna dan cara implikasi agama dalam mendidik anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa yang berkarakter dan agamis. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hafihz, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Cet.II; Kairo: Al-Bayan, 1988. Ali, Hery Noer,Pendidikan Agama Islam,Jakarta:Logos, ,1999. Abdul Manaf, Mudjahit, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 2, 1966 Arifin, M. Menguat Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: PT Golden Terayon Press, Cet 7, 1997. Clark, W.H, The Psychology Of Religion. New York : The MacMillan Company, 1958. Daradjat, Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Daradjat,Zakiah, Ilmu Jiwa Agama.Jakarta, Bulan Bintang,1970 Daradjat, Zakiah, Peran Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta:Gunung Agung, 1978 Eson, W.H, The Psychology Of Religion, New York: Rinehart and Winston, Inc, 1972. FIP-UPI, Tim Pengembang Pendidikan, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007. Hurlock, E.B, Child Development, New York: McGraw-Hiil Book Company, Inc, 1978. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintangm 1983. Nata, H. Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta Timur: Prenada Media, 2003. Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Tafsir, ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remada Rosdakarya, 2007. Tafsir, ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remada Rosdakarya, 2007. Uluwan, Abdullah Nashih, Tarbiyah Al-Aulad fi-Al Islam,ditrjemahkan oleh Khalilullah Amhad Masykur Hakim dengan judul Pendidikan Anak Menurut Islam kaedah-kaedah Dasar, Cet.1: Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992. Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Belajar Agama (Perspektif Pendidikan Agama Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.