Uploaded by fendidps2013

Mengapa kita mendoakan jiwa orang

advertisement
Mengapa kita mendoakan jiwa
orang-orang yang sudah meninggal?
Ada pernyataan bahwa kita tidak usah berdoa untuk jiwa-jiwa yang sudah meninggal,
karena itu menjadi urusan Tuhan sendiri dan doa kita tidak akan berguna bagi mereka.
Benarkah demikian? Gereja Katolik mengajarkan bahwa Tuhan berkuasa
menentukan apakah seseorang yang meninggal itu masuk surga, neraka, atau jika
belum siap masuk surga, dimurnikan terlebih dulu di Api Penyucian. Umat Kristen
non-Katolik yang tidak mengakui adanya Api Penyucian, mungkin menganggap
bahwa tidak ada gunanya mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Namun
Gereja Katolik mengajarkan adanya masa pemurnian di Api Penyucian, silakan
membaca dasar dari Kitab Suci dan pengajaran Bapa Gereja tentang hal ini,
http://katolisitas.org/624/bersyukurlah-ada-api-penyucian, sehingga doa-doa dari kita
yang masih hidup, dapat berguna bagi jiwa-jiwa mereka yang sedang dalam tahap
pemurnian tersebut. Bahkan, dengan mendoakan jiwa-jiwa tersebut, kita
mengamalkan kasih kepada mereka yang sangat membutuhkannya, dan perbuatan ini
sangat berkenan bagi Tuhan (lih. 2 Mak 12:38-45).
Sebenarnya, prinsip dasar ajaran Gereja Katolik untuk mendoakan jiwa-jiwa orang
yang sudah meninggal adalah adanya Persekutuan Orang Kudus yang tidak
terputuskan oleh maut. Rasul Paulus menegaskan “Sebab aku yakin, bahwa baik maut,
maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang
ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas,
maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan
kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:38-39).
Kuasa kasih Kristus yang mengikat kita semua di dalam satu Tubuh-Nya itulah yang
menjadikan adanya tiga status Gereja, yaitu 1) yang masih mengembara di dunia, 2)
yang sudah jaya di surga dan 3) yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Dengan
prinsip bahwa kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus selayaknya saling tolong
menolong dalam menanggung beban (Gal 6:2) di mana yang kuat menolong yang
lemah (Rm 15:1), maka jika kita mengetahui (kemungkinan) adanya anggota keluarga
kita yang masih dimurnikan di Api Penyucian, maka kita yang masih hidup dapat
mendoakan mereka, secara khusus dengan mengajukan intensi Misa kudus (2 Mak
12:42-46).
Memang, umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe ini dalam Kitab
Suci mereka. Juga, bagi mereka, keselamatan hanya diperoleh melalui iman saja (sola
fide), yang sering dimaknai terlepas dari perbuatan, dan hal mendoakan ini dianggap
sebagai perbuatan yang tidak berpengaruh terhadap keselamatan. Sedangkan ajaran
iman Katolik adalah kita diselamatkan melalui iman yang bekerja oleh perbuatan
kasih (Gal 5:6), maka iman yang menyelamatkan ini tidak terpisah dari perbuatan
kasih. Dengan memahami adanya perbedaan perspektif Katolik dan non- Katolik ini,
kita dapat mengerti bahwa umat Kristen non- Katolik menolak ‘perbuatan’
mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sedangkan Gereja Katolik
mengajarkan bahwa perbuatan-perbuatan kasih yang didasari iman sangatlah berguna
bagi keselamatan kita (baik yang didoakan maupuan yang mendoakan). Jika “kasih”
di sini diartikan menghendaki hal yang baik terjadi pada orang lain, dan jika kita
ketahui bahwa maut tidak memisahkan kita sebagai anggota Tubuh Kristus (lih. Rom
8:38-39), maka kesimpulannya, pasti berguna jika kita mendoakan demi keselamatan
jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sebab perbuatan kasih yang menghendaki
keselamatan bagi sesama, adalah ungkapan yang nyata dalam hal
“bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu” (Gal 6:2).
Jangan lupa bahwa yang kita bicarakan di sini adalah bahwa doa- doa yang
dipanjatkan untuk mendoakan jiwa-jiwa orang-orang yang sedang dimurnikan dalam
Api Penyucian, sehingga mereka sudah pasti masuk surga, hanya sedang menunggu
selesainya saat pemurniannya. Dalam masa pemurnian ini mereka terbantu dengan
doa-doa kita, seperti halnya pada saat kita kesusahan sewaktu hidup di dunia ini, kita
terbantu dengan doa-doa umat beriman lainnya yang mendoakan kita. Sedangkan,
untuk orang-orang yang meninggal dalam keadaan tidak bertobat, sehingga masuk ke
neraka, memang kita tidak dapat mendoakan apapun untuk menyelamatkan mereka.
Atau untuk orang -orang yang langsung masuk ke surga (walaupun mungkin tak
banyak jumlahnya), maka doa-doa kita sesungguhnya tidak lagi diperlukan, sebab
mereka sudah sampai di surga. Namun masalahnya, kita tidak pernah tahu, kondisi
rohani orang-orang yang kita doakan. Pada mereka memang selalu ada tiga
kemungkinan tersebut, sehingga, yang kita mohonkan dengan kerendahan dan
ketulusan hati adalah belas kasihan Tuhan kepada jiwa-jiwa tersebut, agar Tuhan
memberikan pengampunan, agar mereka dapat segera bergabung dengan para kudus
Allah di Surga.
Pengajaran tentang Api Penyucian termasuk dalam ajaran iman De fide (Dogma):
“The Communion of the Faithful on earth and the Saints in Heaven with Poor Souls in
Purgatory:
The living Faithful can come to the assistance of the Souls in Purgatory by their
intercessions (suffrages).” ((Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma,
Illinois, TAN Books ands Publishers, 1974, p.321))
Terjemahannya:
Persekutuan umat beriman di dunia dan Para Kudus di Surga dengan Jiwa-jiwa yang
menderita di Api Penyucian:
Para beriman yang [masih] hidup dapat membantu jiwa-jiwa di Api Penyucian dengan
doa-doa syafaat (doa silih).
Silih di sini diartikan tidak saja doa syafaat, tetapi juga Indulgensi, derma dan
perbuatan baik lainnya, dan di atas semua itu adalah kurban Misa Kudus. Ini sesuai
dengan yang diajarkan di Konsili Lyons yang kedua (1274) dan Florence (1439).
Jadi meskipun umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe, namun
sesungguhnya mereka secara obyektif tidak dapat mengelak bahwa tradisi mendoakan
jiwa orang yang telah meninggal sudah ada di zaman Yahudi sebelum Kristus. Tradisi
ini kemudian diteruskan oleh para rasul, seperti yang dilakukan oleh Rasul Paulus
ketika mendoakan Onesiforus yang sudah meninggal, “Kiranya Tuhan menunjukkan
rahmat-Nya kepadanya [Onesiorus] pada hari-Nya.” (2 Tim 1:18). Tradisi mendoakan
jiwa orang yang sudah meninggalpun dicatat dalam tulisan para Bapa Gereja, seperti:
1) Tertullian, yang mengajarkan untuk menyelenggarakan Misa kudus untuk
mendoakan mereka pada perayaan hari meninggalnya mereka setiap tahunnya.
((Tertullian, De Monogamia 10; De exhort cas II, lif. St. Cyprian, Ep 1, 2)).
2) St. Cyril dari Yerusalem dalam pengajarannya tentang Ekaristi memasukkan
doa-doa untuk jiwa orang-orang yang sudah meninggal ((St. Cyprian, Cat., Myst., 5.9
et seq)).
3) Sedangkan St. Yohanes Krisostomus dan St Agustinus mengajarkan bahwa para
beriman dapat mendoakan jiwa orang-orang yang meninggal dengan mengadakan
derma. ((St. Yohanes Krisostomus, Phil; hom 3,4; St. Agustinus, Enchiridion 110;
Sermo 172, 2, 2)).
Karena hal mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal telah diajarkan dalam
Kitab Suci dan telah dilakukan oleh Gereja sejak awal mula, terutama dalam perayaan
Ekaristi maka, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1032 Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah
meninggal tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas Makabe]
mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan
dari dosa-dosanya” (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai
peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi
Bdk. DS 856. untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah
dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi
demi orang-orang mati.
“Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub
saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya Bdk. Ayb 1:5.,
bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk
orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan
mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).
KGK 1371 Kurban Ekaristi juga dipersembahkan untuk umat beriman yang mati di
dalam Kristus, “yang belum disucikan seluruhnya” (Konsili Trente: DS 1743), supaya
mereka dapat masuk ke dalam Kerajaan Kristus, Kerajaan terang dan damai:
“Kuburkanlah badan ini di mana saja ia berada: kamu tidak perlu peduli dengannya.
Hanya satu yang saya minta kepada kamu: Di mana pun kamu berada, kenangkan
saya pada altar Tuhan” (Santa Monika sebelum wafatnya, kepada santo Augustinus
dan saudaranya: Agustinus, conf. 9,11,27).
“Lalu kita berdoa [dalam anaforal untuk Paus dan Uskup yang telah meninggal, dan
untuk semua orang yang telah meninggal pada umumnya. Karena kita percaya bahwa
jiwa-jiwa yang didoakan dalam kurban yang kudus dan agung ini, akan mendapat
keuntungan yang besar darinya… Kita menyampaikan kepada Allah doa-doa kita
untuk orang-orang yang telah meninggal, walaupun mereka adalah orang-orang
berdosa… Kita mengurbankan Kristus yang dikurbankan untuk dosa kita. Olehnya
kita mendamaikan Allah yang penuh kasih sayang kepada manusia dengan mereka
dan dengan kita” (Sirilus dari Yerusalem, catech. myst. 5,9,10).
KGK 1414 Sebagai kurban, Ekaristi itu dipersembahkan juga untuk pengampunan
dosa orang-orang hidup dan mati dan untuk memperoleh karunia rohani dan jasmani
dari Tuhan.
Maka memang, mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal bagi orang
Katolik merupakan salah satu perbuatan kasih yang bisa kita lakukan, terutama
kepada orang-orang yang kita kasihi yang telah mendahului kita. Ini adalah salah satu
dogma yang semestinya kita jalankan, sebagai orang Katolik. Tentu saja, kita tidak
bisa memaksakan hal ini kepada mereka yang tidak percaya. Namun bagi kita yang
percaya, betapa indahnya pengajaran ini! Kita semua disatukan oleh kasih Kristus:
kita yang masih hidup dapat mendoakan jiwa-jiwa yang di Api Penyucian, dan jika
kelak mereka sampai di surga, merekalah yang mendoakan kita agar juga sampai ke
surga. Doa mereka tentu saja tidak melangkahi Perantaraan Kristus, sebab yang
mengizinkan mereka mendoakan kita juga adalah Kristus, sebab di atas semuanya,
Kristuslah yang paling menginginkan agar kita selamat dan masuk ke surga. Jadi doa
para kudus saling mendukung dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Kita
tergabung dalam satu persekutuan orang-orang kudus, karena kita semua adalah
anggota Tubuh Kristus yang diikat oleh kasih persaudaraan yang tak terputuskan oleh
maut, sebab Kristus Sang Kepala, telah mengalahkan maut itu bagi keselamatan kita.
Download