KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSAL MINTOHARDJO Dokter Pembimbing : dr. Lilly Zulkarnain, Sp.A Nama Mahasiswa : Bella Pratiwi NIM : 030.14.030 I. Tanda tangan : IDENTITAS PASIEN Nama : An. Sintya Bella Suku Bangsa : Medan Umur : 13 tahun Agama :Islam Pendidikan : SMP Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Pondok Gede ORANG TUA/ WALI AYAH Nama : Tn. Akbar Agama : Islam Umur : 40 tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan : TNI AL Suku Bangsa : Medan Alamat : Pondok Gede IBU Nama : Ny. Titin Agama : Islam Umur : 37 Tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan :Ibu RumahTangga Suku bangsa : Betawi Alamat : Pondok Gede Hubungan dengan orang tua : anak kandung II. ANAMNESIS Dilakukan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 11 Oktober 2019 (hari ketiga perawatan) KELUHAN UTAMA Demam sejak 5 hari SMRS KELUHAN TAMBAHAN Nyeri ulu hati, mual, nyeri kepala. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT Pasien seorang perempuan berusia 13 tahun, datang ke IGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam awal muncul pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan diukur dirumah 38°C. pasien diberikan paracetamol oleh ibunya, demam turun menjadi 37,4°C. hari kedua demam pasien demam sekitar 37,5°C pada siang hingga sore hari dan demam sekitar 38,5°C hingga 39°C pada malam hari. Pola demam seperti ini berlangsung hingga hari kelima. Keluhan mual muncul pada hari kedua demam. Mual dirasa terus menerus. Tidak ada muntah. Disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Pada hari ke-5 demam, pasien dibawa ke IGD RSAL dr. Mintohardjo. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN KEHAMILAN Perawatan Antenatal Setiap bulan periksa ke dokter kandungan (9x selama kehamilan di RS) Penyakit Kehamilan Tidak ada KELAHIRAN Tempat Kelahiran RS Cilandak Penolong Persalinan Dokter Cara Persalinan Sectio Caesaria Masa Gestasi 38 minggu Berat Badan : 3500 gram Panjang Badan Lahir : 50 cm Riwayat kelahiran Lingkar kepala : tidak tahu Langsung menangis APGAR score : tidak tahu Kelainan bawaan : tidak ada RIWAYAT PERKEMBANGAN Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan Psikomotor Tengkurap :4 bulan Duduk :6 bulan Berdiri :9 bulan Bicara : 12 bulan Berjalan : 16 bulan Baca dan tulis : 5 tahun Gangguan Perkembangan :- Kesan Perkembangan : perkembangan pasien ini sesuai usia Perkembangan pubertas : Haid usia 12 tahun Kesan perkembangan : Perkembangan pasien sesuai usia RIWAYAT IMUNISASI VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur) BCG 0 bulan - - - - - DPT/ DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - - Polio 0 bulan 2 bulan - - Campak 9 bulan - - - - Hepatitis B 0 bulan 2 bulan - - - MMR - - - - - 3 bulan dan 4 bulan 3 bulan dan 4 bulan Kesan : Imunisasi dasar pada pasien sudah lengkap - RIWAYAT MAKANAN Umur (Bulan) ASI/ PASI BUAH/ BISKUIT BUBUR SUSU NASI TIM 0–2 ASI - - - 2–4 Sufor - - - 4–6 Sufor - - - 6–8 Sufor √ - - 8 – 10 Sufor √ √ 10-12 Sufor √ - √ Kesan: Pasien saat ini sudah mengikuti makanan keluarga. JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA Nasi/ pengganti 2x/ hari Sayur 2x/hari Daging 3x/minggu Ayam 3x/minggu Telur 1-2x/ minggu Ikan Jarang Tahu Jarang Tempe Jarang Kesan: asupan gizi pasien cukup baik RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA PENYAKIT KETERANGAN PENYAKIT KETERANGAN Diare 1 tahun Rubella - Otitis - Parotitis - Radang Paru - Demam Berdarah - Tuberculosis - Demam Tifoid - Kejang - Cacingan - Ginjal - Alergi - Jantung - Kecelakaan - Darah - Operasi - RIWAYAT KELUARGA DATA CORAK PRODUKSI No Tanggal lahir Jenis Hidup Lahir Abortus Mati (umur) Kelamin mati 1. 13 tahun Perempuan Hidup - - - 2. 12 tahun Laki-laki Hidup - - - Keterangan (sebab) Pasien Sehat DATA KELUARGA AYAH/ WALI IBU/ WALI Perkawinan ke- 1 1 Umur saat menikah 27 Tahun 23 Tahun Kosanguinitas - - Keadaan kesehatan/ penyakit bila ada - - RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA Tidak ada penyakit keturunan dalam keluarga DATA PERUMAHAN Kepemilikan rumah: Rumah milik sendiri Keadaan rumah: Rumah 1 lantai dengan 3 kamar tidur dan 3 kamar mandi. Cukup banyak, cahaya matahari masuk rumah. Untuk kebutuhan air mandi dan mencuci menggunakan air sumur bor. Untuk minum dan memasak menggunakan air kemasan. Jarak septic tank lebih dari 10 meter. Rumah dibersihkan setiap hari. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah besar. Keadaan lingkungan: Rumah berada di lingkungan bersih dan baik. sampah rumah tangga diambil setiap hari oleh petugas kebersihan. Kesan: Kondisi rumah dan keadaan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik. III. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal : Rabu, 9 Oktober 2019 Pukul : 13.00 WIB PEMERIKSAAN UMUM Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Tanda vital : Nadi : 86x /menit, reguler, volume cukup, equalitas sama kanan kiri Suhu : 37,40C RR : 22x/menit TD : 120/80 mmHg Data Antropometri : BB : 81 kg Lingkar kepala : cm Lingkar dada : 112 cm Lingkar lengan atas : 44 cm Status Gizi TB : 160 cm : BMI Uji torniquet : Negatif STATUS GENERALIS KEPALA Bentuk dan ukuran : Normocephali Rambut dan kulit kepala : Warna rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut. kulit kepala bersih. Mata : Palpebra tidak tampak oedem, konjungtiva tidak anemis, kornea jernih, sklera putih tidak ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+ Telinga : Normotia, sekret -/-, serumen -/- Hidung : Sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-). Epistaksis -/- Bibir : Warna merah muda, bibir kering (+) Mulut : Mukosa bukal merah muda, gusi berdarah (-), stomatitis aphtosa (-), lidah kotor (-), oral hygiene baik, halitosis (-) Gigi-geligi : Gigi belum lengkap (atas 6, bawah 4), karies (-) Lidah : Normoglotia, tidak ada papil atrofi , lidah kotor (-) Tonsil : T1-T1 tampak tenang, kripta tidak melebar, detritus () Faring : Hiperemis (-) sekret (-) arkus faring simeteris, uvula ditengah LEHER : Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba kelenjar getah bening THORAKS Dinding thoraks I : bentuk dada datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis PARU I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak terdapat retraksi P : Vocal fremitus sama teraba sama kuat pada kedua lapang paru P: Sonor di seluruh lapang paru Batas paru kanan-hepar : setinggi ICS V linea midklavikularis dextra Batas paru kiri-gaster : setinggi ICS VII linea axillaris anterior A: Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi basah halus -/-. Wheezing -/- JANTUNG I : Ictus cordis terlihat pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V P : Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V Batas kiri jantung : linea midklavikularis sinistra setinggi ICS V Batas atas jantung : linea parasternalis sinistra setinggi ICS II A: Bunyi jantung I-II irama reguler, murmur (-), gallop (-) ABDOMEN I : bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena A : Bising usus (+) 6x/menit P : lemas, tidak teraba massa, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kulit normal, nyeri tekan epigastrium (+) P: timpani pada empat kuadaran abdomen, shifting dullness(-), nyeri ketok (–) ANUS Tidak ada kelainan GENITAL Jenis kelamin perempuan ANGGOTA GERAK Akral hangat, tidak terdapat oedem dan sianosis pada keempat ekstremitas, turgor kulit baik, CRT <2 detik KULIT Warna kulit sawo matang, tidak kering, tidak terdapat ptekie pada ekstremitas atas maupun bawah KELENJAR GETAH BENING Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening suboccipital, retroaurikuler, preaurikular, submandibular, submental, sepanjang cervical, supraklavikular, infraklavikula, axilla, inguinal PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Refleks fisiologis : Biceps + +/++ , Triceps ++/++ , Patella ++/++ , Achilles++/++ Refleks patologis : Babbinski -/- , Chaddok -/- , Gordon -/Tanda rangsang meningeal (-) IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hematologi darah rutin: 9 Oktober 2019 RSAL dr. Mintohardjo PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN Leukosit 5.900/μL 5.000-10.000/μL Eritrosit 4,69 juta /μL 4,6-6,2 juta/μL Hemoglobin 12,4 g/dL 12-14 g/dL Hematokrit 40% 37-42% Trombosit 149.000/μL 150.000-450.000/μL Basofil 0% 0-1% Eosinofil 2% 0-3% Neutrofil 68% 50-70% Limfosit 27% 20-40% Monosit 3% 2-8% IgG Dengue Negatif Negatif IgM Dengue Negatif Negatif Salmonella typhi O Negatif Negatif Salmonella typhi H Negatif Negatif Salmonella paratyphi AO Negatif Negatif HITUNG JENIS IMUNOSEROLOGI Widal Test Salmonella paratyphi AH Negatif Negatif Salmonella paratyphi BO Negatif Negatif Salmonella paratyphi BH Negatif Negatif Salmonella paratyphi CO Negatif Negatif Salmonella paratyphi CH Negatif Negatif Kesan: - Secara umum dari hasil pemeriksaan hematologi rutin secara serial didapatkan adanya penurunan trombosit V. RESUME Pasien seorang perempuan berusia 13 tahun, datang ke IGD RSAL dr. Mintohardjo dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam awal muncul pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan diukur dirumah 38°C. pasien diberikan paracetamol oleh ibunya, demam turun menjadi 37,4°C. hari kedua demam pasien demam sekitar 37,5°C pada siang hingga sore hari dan demam sekitar 38,5°C hingga 39°C pada malam hari. Pola demam seperti ini berlangsung hingga hari kelima. Keluhan mual muncul pada hari kedua demam. Mual dirasa terus menerus. Tidak ada muntah. Disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital TD 120/80 mmHg, temperature 37,4°C, Nadi 86 kali permenit, regular,isi cukup, ekualitas sama kanan dan kiri, pernapasan 22 kali permenit. Terdapat nyeri tekan pada epigastrium. Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Orang-orang disekitar pasien tidak pernah mengalami hal serupa. Pada hasil pemeriksaan laboraturium darah yang dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2019 didapatkan penurunan trombosit menjadi 149.000 /μL. VI. DIAGNOSIS Demam Tifoid VII.DIAGNOSIS BANDING Dengue fever Influenza VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Tubex tes Gaal kultur IX. PROGNOSIS X. Ad vitam : ad bonam Ad functionam : ad bonam Ad sanationam : dubia PENATALAKSANAAN Medikamentosa : Kloramfenikol 50mg/kgBB/hari Paracetamol 3x500 mg Omeprazole 1x20 mg Non Medikamentosa : • Tirah baring • Makan makanan lunak FOLLOW UP Tanggal S O A P 11/10/19 - Demam hari ke 7 - Sakit perut (+) - nyeri kepala (+) - Batuk (-) - Pilek (-) - Sesak (-) - Mual (+) - Muntah(-) - BAB (+) padat -BAK (+) -Intake Baik - - Demam Tifoid - Hari ke 2 MRS CM N: 88x/menit S: 39,8C (05.00) S : 36,7C (11.00) S : 37,6C (15.00) S : 38,9C (19.00) S : 38,5C (23.00) TD 110/80 mmHg RR:24 x/menit Thoraks: SNV Wh-/-. Rh -/-; BJ 1&2 reg, M -, G - Abdomen: supel, BU + 6x/m, turgor kulit baik, Hepar tidak teraba epigastrium (-) Ekstremitas: hangat(+), CRT <2 detik - IVFD RL 25 tpm Diet ML Inj. Omeprazole 1x1 amp Paracetamol 3x500 mg Inj. Ceftriaxone 2x1 gr 12/10/19 Hari ke 3 MRS - Demam hari ke 8 - Sakit perut (+) - nyeri kepala (-) - Batuk (-) - Pilek (-) - Sesak (-) - Mual (+) - Muntah(-) - BAB (+) padat -BAK (+) -Intake Baik - CM N: 88x/menit S: 38,3C (05.00) S : 36,6C (11.00) S : 37,6C (15.00) S : 38,7C (19.00) S : 38,4C (23.00) TD 100/80 mmHg RR:22 x/menit Thoraks: SNV Wh-/-. Rh -/-; BJ 1&2 reg, M -, G - Abdomen: supel, BU + 2x/m, turgor kulit baik, Hepar tidak teraba epigastrium (-) Ekstremitas: hangat(+), CRT <2 detik Demam Tifoid - IVFD RL 25 tpm Diet ML Inj. Omeprazole 1x1 amp Paracetamol 3x500 mg Inj. Ceftriaxone 2x1 gr Boleh rawat jalan ANALISIS KASUS Diagnosis kerja kasus pasien ini adalah demam tifoid. Pertimbangan diagnosisnya sebagai berikut: 1. Pasien mengalami demam lebih dari 7 hari 2. Pola demam fluktuasi dimana terjadi peningkatan suhu tubuh pada malam hari dan demam turun pada siang hari. BAB III TINJAUAN PUSTAKA 12.1 Definisi Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1 2.2 Epidemiologi Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3 Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro- fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1,3 2.3 Etiologi Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktorR yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1 Gambar 2.1. Salmonella Typhi 2.4 Patogenesis Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anakanak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4 Patogenesis (serotipe invasif) Epitel usus fagositosis Lamina propria respons inflamasi endotoxin (lokal, sistemik) Plaque Payeri multiplikasi Duktus torasikus bakteriemi primer Lokal: inflamasi Sistemik: pengeluaran Makrofag sitokin -> Demam,depp SSTl sirkulasi Organ target RES (hati,limpa,ss.tl) bakteriemi sekunder Organ lain ( fenomena metastasis) Gambar 2.2. Patofisiologi Demam Tifoid 2.5 Manifestasi klinik Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5 Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan : Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan Gangguan kesadaran Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen. Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5 2.6 Diagnosis Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5 2.7 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1. Pemeriksaan darah tepi Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6 2. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : a) Uji Widal Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu; 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagel kuman) 3. Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. b) Tes TUBEX Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari pada uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6 Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX : Mendeteksi infeksi akut Salmonella Muncul pada hari ke 3 demam Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella Hasil dapat diperoleh lebih cepat c) Pemeriksaan dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6 3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. 4. Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6 Tabel 2.1. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang pada demam tifoid 2.8 Diagnosis Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1 2.9 Penatalaksanaan Non Medika Mentosa a) Tirah baring Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5 b) Nutrisi Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. c) Cairan Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. d) Kompres air hangat Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7 Medika Mentosa Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan parenteral 8,9,10 Tatalaksana antibiotik Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.1 Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Berdasarkan Pedoman Pelayanan Medis IDAI, tatalaksana antibiotik dapat diberikan: Kloramfenikol (DOC) 50-100 mg/kgBB/hari, peroral/IV dibagi 4 dosis selama 1014 hari Amoksisilin 100mg/kgBB/hari oral/IV selama 10 hari Kotrimoksasol 6 mg/KgBB/Hari oral selama 10 hari Seftriakson 80 mg/KgBB/hari IV/IM sekali sehari selama 5 hari Sefiksim 10 mg/KgBB/Hari, oral dibagi 2 dosis selama 10 Hari Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (Dexamethasone 1-3 mg/KgBB/Hari IV dibagi 3 dosis sampai kesadaran membaik)8 Tabel 2.2. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen IKA RSCM.3 2.10 Komplikasi Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4 1. Komplikasi pada usus halus (intraintestinal) a) Perdarahan usus Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan. b) Perforasi usus Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak. c) Peritonitis Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan. 2. Komplikasi diluar usus halus (ekstraintestinal) a) Bronkitis dan bronkopneumonia Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema. b) Kolesistitis Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier. c) Typhoid ensefalopati Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena. d) Meningitis Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg. e) Miokarditis Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi. f) Infeksi saluran kemih Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. g) Karier kronik Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama. 2.11 Pencegahan Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2 Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. Hindari minum air yang tidak dimasak. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi. Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain: Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari. Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella. Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2 Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni: Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan) Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine) Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 612 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek. Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun. 2.12 Prognosis Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1 3. Ringkasan Pembahasan Kasus Pada pasien ini didapatkan demam sudah hari ke 7, dimana demam naik perlahan sejak hari pertama dengan demam naik turun dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Selain itu pasien juga merasakan adanya gejala gastrointestinal berupa mual, muntah dan BAB cair dan berlendir. Dari data diatas diperkirakan penyebab demam adalah infeksi bakteri dengan suspek utama adalah tifoid. Pada pemeriksaan fisik didapatkan coated tongue,nyeri tekan epigastrium, dan hepatomegali sebesar 1/3-1/3 dengan tepi tajam, licin, dan konsistensi kenyal. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukopenia, trombositopenia ringan, dan hitung jenis shift to the right. Hal ini memang tipikal pada infeksi virus, akan tetapi suspek tifoid tidak bisa dihilangkan. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer Typhi O dan H meningkat, dan juga paratyphi A dan B pada antigen O dan H juga meningkat sebesar 1/320. Untuk memastikan, dilakukan pengecekan Tubex TF pada pasien ini dan diapati hasilnya adalah 6 yang menandakan pasien terindikasi kuat terkena demam tifoid. Oleh karena itu diagnosis kerja demam tifoid sudah bisa ditegakan. Untuk penatalaksanaan diberikan asupan cairan melalui infus karena pasien sangat sulit minum dan didapatkan tanda dehidrasi ringan. Diberikan cairan asering (berisi asetat agar tidak membebani kerja hepar), sebanyak 3 cc/KgBB/Jam. Dengan berat badan 20 Kg, pasien memiliki kebutuhan cairan sekitar 1500 mL. Dengan memberikan cairan sebanyak 3cc/KgBB/Jam maka pasien akan mendapatkan cairan sekitar 1440 mL. Kekurangan cairan 60 mL diharapkan didapatkan pasien pada saat minum secara oral. Untuk asupan makanan, pasien sangat sulit untuk makan dikarenakan rasa mual dan sakit perut yang hebat, pasien diberikan antasid sebanyak 3x5cc seharinya. Penggunaan ranitidin bertujuan untuk menghilangkan rasa mual dan nyeri perut sehingga pasien dapat segera makan makanan secara normal dengan rendah serat secepatnya. Selanjutnya untuk pengobatan kausal diberikan terapi pilihan utama pada demam tifoid yakni kloramfenikol dengan dosis 100 mg/KgBB/Hari yang dibagi menjadi 4 dosis perharinya sehingga dosis yang ditetapkan adalah 4x500 mg perharinya selama 10 hari. Pengobatan simptomatik lainnya adalah penggunaan Paracetamol sebagai antipiretik dengan dosis 10mg/KgBB/hari. 4. Kesimpulan Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma. Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella. Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi. DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45. 2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diket ahui.html. 10 april 2019. 3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43. 4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000. 5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20. 6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10. 7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01 _08_2012.pdf.10 april 2019 . 8. Sánchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella infections: an update on epidemiology, management, and prevention. Travel Med Infect Dis 2011;9:263-77.Background document : the diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. [homepage on the Internet]. Switzerland :Communical disease surveillance and response Vaccines and Biologicals; 2003. Diunduh pada april 2019 dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/ WHO_V&B_03.07.pdf 9. Bhuta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. Br Med J 2006;333:78–82. 10. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. Med J Armed Forces India 2003; 59:130-5.