Demam Tifoid demam tifoid yaitu penyakit infeksi akut yang disebabkan salmonella typhi, ditandai dengan demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan pada system saraf pusat (sakit kepala, kejang dan gangguan kesadaran) Menurut butler (1991), yaitu suatu infeksi bacterial pada manusia yang disebabkan oleh salmonella typhi ditandai dengan demam berkepanjangan, nyeri perut, diare, delirium, bercak rose, dan splenomegaly serta kadang-kadang di sertai komplikasi perdarahan dan perforasi usus. Penyebab tifoid Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi. Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negative yang motil, bersifat aerob dan tidak membentuk spora. Salmonella typhi dapat tumbuh dalam semua media. Salmonella typhi hanya dapat hidup dalam tubuh manusia. Sumber penularan berasala dari tinja dan urin karier, dari penderita pada fase akut dan penderita dalam fase penyembuhan. Demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi yang dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 C. organisme ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu, sampah kering dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama 1 minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Penyebaran tifoid Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang di jumpai secara luas di daerah daerah tropis dan subtropics terutama didaerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygine dan sanitasi yang rendah. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami salmonella typhi, melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis. Tranmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia. Epidemic demam tifoid yang bersal dari sumber air yang tercemar merupakan masalah yang utama. Transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan olehh seorang ibu yang merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral. Patogenesis dan Patofisiologis Infeksi didapat dengan cara menelan makanan dan minuman yang terkontaminasi, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urine, secret saluran nafas, atau dengan puss penderita yang terinfeksi. Pada fase awal demam typhoid dapat ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk kedalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. sering mengeluh nyeri telan yang disebabkan karena kekeringan mokusa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Di lambung organisme menemui suasana asam dengan pH rendah dimana kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap terjadinya infeksi. Faktor Yang Berperan Gambaran Klinis Deman Tifoid 1. Faktor Mikroorganisme a. Jumlah mikroorganisme yang tertelan Semakin besar dosis S. typhi yang tertelan semakin banyak pula orang yang menunjukkan gejala klinis, semakin pendek masa inkubasi tetapi tidak merubah sindroma klinik yang timbul. b. Virelensi dari Serotipe dan Strain yang Tertelan Antigen Vi berhubungan dengan virulensi kuman, dan hanya dimiliki oleh S.thypi dan S.hirschfeldii (paratyphi). Strain Quailes seperti kebanyakan S.thypi mempunyai antigen Vi yang berperan pada perlindungan terhadap antigen O dari antibodi yang bersifat bakterisidal , menghambat fatogenesis dan berperan pada kemampuan kuman melalui invasi dan menimbulkan penyakit. 2. Faktor Pejamu (Hospes) a. Keasaman Lambung Bila keasaman lambung meningkat misalnya karena penggunaan antacid dalam waktu lama akan meningkatkan kepekaan seseorang terhadap infeksi dengan Strain Salmonella yang resisten. b. Motilitas Saluran Cerna Penurunan motilitas usus karena factor obat-obatan atau factor anatomis akan meningkatkan derajat beratnya penyakit, meningkatkan timbulnya komplikasi dan memperpanjang keadaan karier konvalasen 3. Flora normal di usus kecil dan usus besar flora normal memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana asam serta memproduksi zat antibacterial seperti colicin. Penggunaan antibiotika dapat merubah flora normal usus sehingga lebih rentan terhadap infeksi. 4.Sistem Imunitas Humoral dan Seluler Demam tifoid membentuk kekebalan humoral dan seluler. Imunitas humoral adalah mekanisme ektraseluler yang bertanggungjawab terhadap pembersihan bakteri, yang dilakukan oleh agglutinin O yang berperan sebagai opsonin pada proses fagositosis. Imunitas seluler bertujuan untuk menghambat multiplikasi Salmonella yang berada intraseluler dan merupakan mekanisme yang paling penting dalam mekanisme eliminasi S.typhi . 5. Malnutrisi Keadaan malnutrisi dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh untuk membatasi penyebaran dan multiplikasi kuman. Adanya defisiensi protein menyebabkan penekanan pada respon imun seluler, pembentukan C3, reduksi igA, dan penekanan prooses pemusnahan kuman oleh PNM sehingga meningkatkan kepekaan tubuh terhadap kuman. Demikian pula defisiensi vitamin A,B dan C dapat mengganggu integritas mukosa sehingga meningkatkan kepekaan terhadap infeksi dan menambah gambaran klinis yang kompleks. 6. Faktor metabolik dan nutrisi Beberapa penulis mengemukakan bahwa anemia, difisiensi vitamin, zink dan trace element lain, disfungsi tiroid, metabolit triptofan dan saat memulai terapi mmerupakan hal penting untuk pathogenesis penyakit dan kemampuan penjamu memobilisasi pertahanan yang adekuat. a. Umur Pengaruh umur pada insiden berhubungan dengan immaturitas, mekanisme imun seluler dan humoral, berkurangnya aktivitas antibacterial flora normal intestinal, dan frekuensi kontaminasi fekal-oral yang lebih sering. b.Penyakit Lain Beberapa hal yang merupakan factor predisposisi terjadinya infeksi adalah defek pada imunitas seluler (AIDS, transplantasi organ, penyakit limfotoproliferatif ) dan defek pada fungsi fagositosis(malaria). Misalnya pada penyakit Malaria merupakan factor predisposisi terhadap infeksi salmonella dengan mekanisme yang tidak jelas. Kemungkinan karena hemolysis, kadar komplemen dan fungsi makrofag yang tidak normal atau terjadinya supresi imunitas humora, Pada HIV hilangnya pertahanan imunitas seluler dan humoral memudahkan terjadinya infeksi oportunis dengan parasit, virus dan bakteri termasuk salmonella. c. Pengunaan Antibiotika Demam tifoid yang resisten terhadap beberapa antibiotik tampak lebih toksik, dengan gejala klinis yang tidak khas, masa sakit lebih lama dan mortalitas yang lebih tinggi. d. Vaksinisasi Penelitian oleh Simanjuntak dkk (1992) menyimpulkan bahwa vaksin demam tifoid oral Ty21a memberi daya perlindungan sebesar 42,2 % 43,3% selama 30 bulan. Akan tetapi Conteras (1992) pada penelitiannya di Spanyol mendapatkan 38% penderita demam tifoid yang dirawat di rumah sakit pernah mendapatkan vaksnisasi tifoid oral dengan Ty21al. Perjalanan penyakit pada penderita tersebut tidak berbeda dengan penderita yang belum pernah mendapat vaksinisasi. e. Lamanya Sakit Gambaran klinis penderita demam tifoid yang khas akan mengikuti pola waktu sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Namun demikian, berbagai faktor turut mempengaruhi penampilan klinis penderita sehingga saat ini sulit ditemukan gambaran klinis yang khas. 4. Faktor Lingkungan Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis dan sub tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid di negara sedang berkembang adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Pengendalian Distribusi Penyakit Typoid Di Indonesia Di Indonesia, masalah rumit yang sering timbul adalah masalah karier (carrier) atau relaps dan resistensi. Penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik, maka selain dapat menyebabkan seseorang menjadi karier atau relaps, dan resistensi, juga menimbulkan komplikasi seperti perforasi dan kematian. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian karier, relaps, dan resisten, adalah: a. b. c. d. e. f. Pemakaian antibiotika yang bebas oleh masyarakat (tanpa resep) Pemakaian antibiotika oleh dokter yang tanpa pedoman dan tanpa kontrol Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang tepat Dosis yang tidak tepat Lama pemberian yang kurang tepat Ada penyakit lain (komorbid) yang menurunkan imunitas, serta kelainan-kelainan yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid. Salah satu cara untuk melakukan pencegahan tifoid adalah dengan melakukan vaksinasi, maka pada dasarnya pemberian vaksinasi tifoid sangat strategis untuk kelompok masyarakat berisiko tinggi, seperti: a. Anak sekolah b. Penjamah makanan di hotel-hotel, restoran, kantin, katering, dan warung-warung yang tersebar luas di Indonesia termasuk para petugas di bagian (instalasi) gizi rumah sakit c. Pekerja atau petugas yang berkaitan atau kontak dengan makanan/minuman atau peralatan makan/ minum yang disajikan kepada sekelompok orang, misalnya di kantorkantor pemerintah dan swasta. Tifoid sangat mudah dicegah dengan perubahan perilaku masyarakat dan ketersediaan fasilitas sanitasi yang baik. Namun merubah perilaku masyarakat tersebut tidaklah mudah. Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: a. Vaksin Vi kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular (IM) di deltoid. Vaksinasi ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kontra indikasi vaksin, yaitu pada keadaan hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil, dan anak <2 tahun. Bila keadaan sedang demam, pemberian vaksin sebaiknya ditunda, dan untuk ibu menyusui perlu dikonsultasikan lebih lanjut ke dokter b. Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif, Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif (double). Kelebihan vaksin ini lebih praktis dalam pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu pemberian. Vaksin ini dapat diberikan pada usia 16 tahun ke atas. Vaksin tersedia dalam bentuk dual-chamber syringe (suntikan) siap pakai dengan volume 1 ml, masing-masing 0,5 ml untuk setiap vaksin. Vaksin diberikan secara intramuskular di deltoid dan vaksinasi ulangan diberikan setiap 3 tahun. Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia : a. b. c. Meningkatkan upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok masyarakat berisiko tinggi. Meningkatkan pengetahuan kesadaran masyarakat tentang tifoid. Menurunkan angkat kesakitan dan kematian. Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar : a. Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok pengendalian tifid. b. Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan penguatan jejaring kerja pengendalian tifoid. c. Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pencegahan dan penanggulangan typoid berbasis masyarakat.