Uploaded by Fuzy Firda Zhan

Bahan referensi esai pariwisata berkelanjutan

advertisement
OLEH: AHMAD ROSYIDI SYAHID | TERAKHIR DISUNTING: 22 MARET 2016
Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan*
You are here: Home / Analisis / Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan*
Bagikan (Gratis) :)
FacebookTwitterWhatsAppLineEmailShare
[alert-announce]Oleh: Drs. H. Oka A. Yoeti, MBA
Diubah seperlunya oleh Ahmad Rosyidi Syahid[/alert-announce]
DAFTAR ISI
Pengantar
Pengertian dan Batasan
Batasan tentang ekowisata oleh beberapa organisasi atau pakar
Perbedaan batasan antara ekowisata dengan pariwisata “biasa”
Kebijaksanaan Pengembangan Ekowisata
Kriteria Pengembangan Ekowisata
Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata
Kriteria pemilihan lokasi ekowisata
Potensi Ekowisata Indonesia
Daerah tujuan ekowisata populer di indonesia
Prinsip-prinsip Pengembangan Ekowisata
Pendidikan Ekowisata
Istilah-istilah dalam Ekowisata
Mari Berdiskusi Tentang Ekowisata
Pengantar
Selama ini, teknologi telah berhasil meningkatkan kesejahteraan umat manusia, tetapi diakui
pula bahwa dampak yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi itu juga banyak menyebabkan
perusakan terhadap lingkungan hidup. Kini kesadaran terhadap kerusakan lingkungan hidup itu
semakin kuat di Indonesia dan mendapat perhatian besar.
Bahaya lubang ozon dan terjadinya pemanasan bumi (global warming) dan bentuk pencemaran
lingkungan lainnya semakin mendapat perhatian dengan munculnya gerakan yang dikenal
dengan Back-To-Nature. Orang-orang sekarang ingin mencari tempat-tempat yang belum
disentuh teknologi, mereka ingin menyatu dengan alam.
Alam Indonesia yang memiliki potensi alam, flora dan fauna, serta lingkungan yang cukup
lestari itu kini mendapat perhatian besar supaya dapat diselamatkan bebas dari pengaruh
lingkungan dan pencemaran yang dapat menimbulkan kerugian bagi penduduk Indonesia yang
jumlahnya kini mencapai 220 juta orang.
Gerakan kembali ke alam yang sekarang banyak dicanangkan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan beberapa pakar lingkungan hidup, pada dasarnya merupakan peluang
(opportunities) bagi pengembangan ekowisata (ecotourism) di Indonesia. kita yakin bahwa
pengembangan ekowisata dilihat dari usaha besar pembangunan untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat Indonesia sekaligus kualitas hidup rakyat yang sudah terlalu lama
menderita.
Tantangan pembangunan utama menjelang abad-21 adalah tuntutan untuk menampung akibat
pertambahan penduduk yang dihadapkan dengan sumber-sumber yang terbatas. Tantangan
pembangunan kedua menghadapi milenium ke-3 adalah bagaimana menghapuskan kemiskinan
di bumi Indonesia yang katanya “kaya-raya” ini.
Tantangan ketiga yang tidak kalah beratnya adalah bahwa di waktu yang akan datang,
permintaan akan sumber-sumber alam kita bertambah besar, baik untuk memenuhi kebutuhan
akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat maupun kenaikan pendapatan penduduk
sehingga diperlukan pengelolaan sumber-sumber alam yang lebih bertanggungjawab dari yang
sudah-sudah.
Dalam mengolah dan mengelola sumber-sumber alam, perlu diperhatikan keharusan
melestarikan sumber-sumber alam dengan bertanggungjawab. Dengan cara demikian, sumbersumber alam itu tetap utuh untuk dimanfaatkan secara berkesinambungan, tidak hanya untuk
generasi sekarang tetapi lebih-lebih untuk generasi yang akan datang.
Memang, kita jangan rakus dan kita harus dapat membangkitkan sikap untuk tidak
menghabiskan sumber-sumber alam untuk keperluan sekarang saja. Di sinilah pentingnya
peranan ekowisata. Ekowisata tidak akan bisa eksis kalau sumber-sumber alam tidak
dikendalikan.
Hubungan antara ekowisata dan lingkunga, ibarat ikan dengan air. Ikan tidak bisa hidup tanpa
air, oleh karena itu sumber air harus dan mutlak dipelihara dan kalau itu tidak dituruti, hari
kiamat sudah menunggu kita semua.
Pengertian dan Batasan
Apa yang dimaksud dengan Ecotourism? Dalam bahasa Indonesia
istilah ecotourism diterjemahkan menjadi “Ekowisata”, yaitu sejenis pariwisata yang
berwawasan lingkungan. Maksudnya, melalui aktiitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan
diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga
membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semuanya ini sering disebut dengan istilah BackTo-Nature.
Berbeda dengan pariwisata yang biasa kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak
menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau glamour yang dilengkapi dengan
peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan.
Pada dasarnya, ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan,
memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat,
kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan
fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan
manusia dengan alam sekitarnya.
Misalnya, Pulau Kotok, salah satu pulau dalam kelompok Pulau Seribu di Utara Jakarta. Pulau
itu ditata sedemikian rupa sehingga kelihatan tidak pernah mendapat sentuhan dunia modern.
Di situ tidak ada listrik, tidak ada radio atau TV, bahkan koran dan majalah juga tidak
disediakan. Pohon-pohon tidak boleh ditebang sembarangan dan ranting tidak boleh dipatah.
Binatang tidak boleh dibunuh, kalau ada sarang jatuh dengan anak atau telurnya, harus
dikembalikan ke tempat semula. Wisarawan yang darang ke sana tidur di rumah-rumah persis
seperti rumah rakyat biasa, mandi pakai gayung, WC (sedikit dimodifikasi), kursi dan balai-balai
untuk tempat istirahat. Jalan setapak juga tidak diaspal, tetapi diatur secara rapi dan bersih dan
pendatang tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Jadi, ekowisata bukan jenis pariwisata yang semata-mata menghamburkan uang atau
pariwisata glamour, melainkan jenis pariwisata yang dapat meningkatkan pengetahuan,
memperluas wawasan, atau mempelajari sesuatu dari alam, flora dan fauna, atau sosial-budaya
etnis setempat.
Dalam ekowisata ada empat unsur yang dianggap amat penting, yaitu unsur pro-aktif,
kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal, unsur
pendidikan. Wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi
juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman.
Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan hidup dalam Harian Karya edisi hari
Jum’at tanggal 12 April 1991 memberi batasan tentang ekowisata sebagai berikut:
Ecotourism adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pengembangannya selalu
memperhatikan keseimbangan nilai-nilai.
Oleh karena itu, kata Emil Salim, lingkungan alam dan kekayaan budaya adalah aset utama
pariwisata Indonesia yang harus dijaga agar jangan sampai rusak atau tercemar.
Entin Supriatin dalam tulisannya berjudul “Ada Lima Unsur Dalam Pengelolaan Ekowisata” yang
dimuat dalam Berita Wisata tanggal 21 Oktober 1997 memberikan batasan tentang ekowisata
sebagai berikut:
Puposeful travel to natural area to understand the culture and natural history of the
environment, taking care not to alter the integrity of the ecosystem, while producing economic
opportunities that make the conservation of natural resources beneficial to local people
(Ecotourism Society).
Secara bebas batasan itu dapat diartikan sebagai berikut: Ekowisata suatu jenis pariwisata yang
kegiatannya semata-mata menikmati aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan
segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan berkencenderungan sebagai ajang
atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan
proyek ekowisata.
Batasan tentang ekowisata oleh beberapa organisasi atau pakar
1. Australian National Ecoutourism Strategy, 1994:
Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkaitan dengan pendidikan dan pemahaman
lingkungan alam dan dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
2. Alam A. Leq, Ph.D. The Ecotourism Market in The Asia Pacific Region, 1996:
Ekowisata adalah kegiatan petualangan, wisata alam, budaya, dan alternatif yang mempunyai
karakteristik:
Adanya pertimbangan yang kuat pada lingkungan dan budaya lokal
Kontribusi positif pada lingkungan dan sosial-ekonomi lokal
Pendidikan dan pemahaman, baik untuk penyedia jasa maupun pengunjung mengenai
konservasi alam dan lingkungan.
3. Hector Cebollos Lascurain, 1987:
Ekowisata adalah wisata ke alam perawan yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan
tujuan khusus mempelajari, mengagumi, serta perwujudan bentuk budaya yang ada di dalam
kawasan tersebut.
4. Linberg and Harkins, The Ecotourism Society, 1993:
Ekowisata adalah wisata alam asli yang bertanggungjawab menghormati dan melestarikan
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Kalau kita simpulkan dari batasan yang dikemukakan di atas, kita dapat memberikan batasan
yang lebih sederhana sebagai berikut:
Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas
melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial-budaya etnis
setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di
sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal.
Perbedaan batasan antara ekowisata dengan pariwisata “biasa”
Batasan ekowisata hendaknya memiliki ciri khusus dan berbeda dengan batasan tentang
pariwisata yang biasa kita kenal. Dalam hal ini kita dapat membedakannnya sebagai berikut:
1. Objek dan atraksi wisata
Baik obyek maupun atraksi yang dilihat adalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan,
termasuk di dalamnya alam, flora dan fauna, sosial dan ekonomi, dari budaya masyarakat di
sekitar proye yang memiliki unsur-unsur keaslian, langka, keunikan, dan mengagumkan.
2. Keikutsertaan wisatawan
Keikutsertaan seorang wisatawan berkaitan keingintahuan (curiousity), pendidikan (education),
kesenangan (hoby), dan penelitian (research) tentang sesuatu yang berkaitan dengan
lingkungan sekitar.
3. Keterlibatan penduduk setempat
Adanya keterlibatan penduduk setempat, seperti penyediaan penginapan, barang/kebutuhan,
memberikan pelayanan, tanggungjawab memlihara lingkungan, atau bertindak sebagai
instruktur atau pemandu.
4. Kemakmuran masyarakat setempat
Proyek pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat di
sekitar.
5. Kelestarian lingkungan
Proyek pengembangan ekowisata harus sekaligus dapat melestarikan lingkungan, mencegah
pencemaran seni dan budaya, menghindari timbulnya gejolak sosial, dan memlihara
kenyamanan dan keamanan.
Kebijaksanaan Pengembangan Ekowisata
Kebijaksanaan pengembangan ekowisata dapat dilihat dari ruang lingkup kepentingan nasional,
seperti dijelaskan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur kebijaksanaan
pengembangan ekowisata sebagai berikut:
UU no.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup
Kepmen Parpostel No.KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.
Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No.Kep.18/U/11/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha
Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata.
Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Parpostel No.24/KPTS-11/89 dan
No.KM.1/UM.209/MPPT-1998 tentang Peningkatan Koordinasi dua instansi tersebut untuk
mengembangkan Obyek Wisata Alam sebagai Obyek Daya Tarik Wisata.
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem.
UU. No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
UU. No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruangan.
UU No.5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan
kawasan pelestarian alam.
Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.
Pada dasarnya, kebijakasanaan pengembangan ekowisata itu hendaknya dapat berpedoman
pada hal-hal yang disebutkan sebagai berikut:
Dalam pembangunan, prasarana dan sarana sangat dianjurkan dilakukan sesuai kebutuhan saja,
tidak berlebihan, dan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di daerah tersebut.
Diusahakan agar penggunaan teknologi dan fasilitas modern seminimal mungkin.
Pembangunan dan aktivitas dalam proyek dengan melibatkan penduduk lokal semaksimal
mungkin dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
Masyarakat setempat dihimbau agar tetap memelihara adat dan kebiasaan sehari-hari tanpa
terpengaruh terhadap kedatangan wisatawan yang berkunjung.
Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan atau pengelolaan suatu kawasan untuk dijadikan
sebagai kawasan Ekowisata, harus memperhatikan 5 unsur yang dianggap paling menentukan,
yaitu:
1. Pendidikan (Education)
Aspek pendidikan merupakan bagian utama dalam mengelola keberadaan manusia, lingkungan,
dan akibat yang mungkin ditimbulkan bila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam manajemen
pemberdayaan lingkungan.
Misi tersebut tidak mudah karena untuk menjabarkan dalam satu paket wisata seringkali
bentrok dengan kepentingan antara perhitungan ekonomi dan terjebak dalam misi pendidikan
konservatif yang kaku.
2. Perlindungan atau Pembelaan (Advocasy)
Setiap pengelolaan ekowisata memerlukan integritas kuat karena kadang-kadang nilai
pendidikan dari ekowisata sering terjadi salah kaprah. Misalnya, pada Taman Nasional seperti
Raflesia di Bengkulu yang memiliki ciri-ciri yang khas atau unik, waktu sedang berkembang
dipublikasikan secara gencar sebagai bunga langka yang tidak ada duanya di dunia. Lingkungan
di sekitar bunga tersebut ditata sedemikian rupa dengan biaya yang relatif mahal dan berbeda
dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Tindakan yang membangun infrastruktur secara
berlebihan justru akan membuat perlindungan (Advocasy) terhadap bunga tadi menjadi
tersamar.
Seharusnya, prasarana yang dibuat hendaknya mampu memberikan nilai-nilai berwawasan
lingkungan dan menggunakan bahan-bahan di sekitar obyek itu walau kelihatan sangat
sederhana. Dengan cara itu, keaslian dapat dipertahankan karena dengan kesederhanaan itu
masyarakat di sekitar kawasan mampu mengelola dan mempertahankan kelestarian alam
dengan sendirinya tanpa mengada-ada.
3. Keterlibatan komunitas setempat (Community Involvement)
Dalam pengelolaan kawasan ekowisata, peran serta masyarakat setempat tidak bisa diabaikan.
Mereka lebih tahu dari pendatang yang punya proyek karena keterlibatan mereka dalam
persiapan dan pengelolaan kawasan sangat diperlukan.
Mereka lebih mengetahui di mana sumber mata air yang banyak, ahli tentang tanaman dan
buah-buahan yang bisa dimakan untuk keperluan obat, tahu mengapa binatang pindah tempat
pada waktu-waktu tertentu, sangat mengerti mengapa semut berbondong-bondong
meninggalkan sarangnya, karena takut banjir yang segera datang, misalnya.
4. Pengawasan (Monitoring)
Kita sangat menyadari bahwa budaya yang berkembang pada masyarakat di sekitar kawasan
tidak sama dengan budaya pengelola yang pendatang. Dalam melakukan aktivitas, akan terjadi
pergeseran yang lambat laun akan mengakibatkan hilangnya kebudayaan asli. Ini harus
diusahakan jangan sampai terjadi.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan (monitoring) yang berkesinambungan sehingga
masalah integritas, loyalitas, atau kualitas dan kemampuan untuk mengelola akan sangat
menentukan untuk mengurangi dampak yang timbul.
5. Konservasi (Conservation)
Dari kasus itu, baik pengelola maupun wisatawan yang datang berkunjung harus menyadari
bahwa tujuan pengembangan ekowisata adalah aspek konservasi bagi suatu kawasan dengan
memperhatikan kesejahteraan, kelestarian, dan mempertahankan kelestarian lingkungan
kawasan itu sendiri.
Memang diakui bahwa pengelola kawasan ekowisata ibarat memiliki pisau yang harus dilihat
dari dua sisi mata pisau itu sendiri. kita menjalankan misi dengan tujuan dua kepentingan yang
bertolak belakang satu dengan yang lainnya.
Pada satu sisi kita harus berpedoman pada prinsip ekonomi dengan mencari keuntungan
sebesar-besarnya, sedangkan sisi lain kita harus menjalankan misi konservasi yang ketat dengan
nilai-nilai perlindungan yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh karena itu, dalam perjalanannya
sering terjadi menjurus pada hanya satu sisi, biasanya karena kuatnya pengaruh manajemen
yang digariskan pengelola sebagai pengambil kebijaksanaan.
Kriteria Pengembangan Ekowisata
Pengembangan ekowisata memiliki kriteria khusus. Ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pengembangan
ekowisata, yang penting diantaranya adalah cara-cara pengelolaan, pengusahaan, penyediaan
prasarana dan sarana yang diperlukan.
Atas dasar itu, sifat dan jenis kegiatan yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kriteria
tersebut pada setiap kawasan ekowisata. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah masalah
pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ekowisata.
Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata
Adapun daerah-daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun
dalam negeri adalah:
Daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana
pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman
Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut.
Daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor,
Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya.
Daerah pemanfaatan untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman
Perburuan.
Ketiga jenis daerah atau lokasi pengembangan ekowisata tersebut merupakan lokasi yang boleh
dan dapat dimanfaatkan secara intensif untuk pengembangan sarana dan prasarana untuk
aktivitas ekowisata. Kriteria lain untuk pengembangan lokasi ekowisata harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Kelayakan pasar dan kapasitas kunjungan.
Tersedianya aksesibilitas yang memadai ke daerah tersebut.
Potensi yang dimiliki daerah untuk dijadikan kawasan ekowisata.
Dapat mendukung pengembangan wilayah lain di daerah tersebut.
Memberi peluang bagi pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan bagi
masyarakat setempat.
Mempunyai kemungkinan besar untuk saling mendukung pengembangan pariwisata di daerah
setempat.
Dapat saling mendukung bagi pengembangan pelestarian kawasan hutan bagi daerah tersebut.
Kriteria pemilihan lokasi ekowisata
Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) memberi kriteria pemilihan lokasi sebagai berikut:
Daerah itu harus memiliki keunikan yang khusus dan tidak terdapat di tempat lain, seperti
Kepulauan Nias, Pagai, atau Enggano yang memiliki etnis berbeda dengan suku bangsa lainnya
di Indonesia.
Memiliki atraksi seni budaya yang unik dan berbeda dengan suku bangsa lainnya, seperti Badui,
Tengger, Toraja, Dayak, Kubu, atau Sakai.
Adanya kesiapan masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam proyek yang akan dibangun.
Peruntukkan kawasan tidak meragukan.
Tersedia sarana akomodasi, rumah makan, dan sarana pendukung lainnya.
Tersedia aksesibilitas yang memadai dan dapat membawa wisatawan dari dan ke kawasan yang
akan dikembangkan.
Potensi Ekowisata Indonesia
Indonesia yang memiliki pulau-pulau sebanyak 17.508 ribu pulau merupakan daerah potensial
untuk mengembangkan ekowisata karena potensi alam, seni, budaya, dan etnis yang beraneka
ragam.
Alamnya yang memiliki banyak gunung, perbukitan, dan danau yang indah, sungau dan riam
yang masih perawan, flora dan fauna yang beraneka ragam, menjadikan Indonesia sebagai
surganya ekowisata.
Wilson (1988) membaginya dalam tiga bagian yang sangat berkaitan, yaitu:
Pertama : Berdasarkan Keanekaragaman Ekosistem.
Kedua : Berdasarkan Keanekaragaman Hayati.
Ketiga : Berdasarkan Keanekaragaman Genetika yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
Menurut BAPPENAS dari UNEP tahun 1991, di Indonesia terdapat tidak kurang 49 jenis
ekosistem yang berbeda, baik yang alami maupun buatan. Menurut sumber ini, walau
Indonesia hanya memiliki luas daratan seluas 1,32% dari seluruh daratan yang ada di dunia,
Indonesia memiliki kekayaan yang cukup berlimpah, seperti:
10% jenis tumbuhan berbunga yang terdapat di seluruh dunia
12% binatang menyusui
16% reptilia dan amphibia
17% burung-burung
25% jenis ikan
15% jenis serangga
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh MacNeely at all : 1990, dalam dunia binatang atau hewan,
Indonesia mempunyai kedudukan yang termasuk istimewa di dunia. Dari 515 janis mamalia
besar, 36% endemik, 33% jenis prima, 78% berparuh bengkok, dan 121 jenis kupu-kupu.
Adapun potensi obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk ekowisata di Indonesia tidak
kurang dari 120 buah yang terdiri dari:
Taman nasional : 31 buah, (12 diantaranya sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional, 2
diantaranya sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, dan 19 buah lainnya dalam proses
penetapan).
Taman Hutan Raya : 9 buah
Taman Wisata Alam : 73 buah
Taman Wisata Laut : 7 buah
Berdasarkan identifikasi Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI), di Indonesia terdapat 61
Daerah Tujuan Ekowisata (DTE) yang dianggap potensial yang terdapat pada beberapa pulau
sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki Mega Diversity yang dijumpai pada
pulau:
Sumatera : 12 DTE
Kalimantan : 1 DTE
Jawa : 10 DTE
Sulawesi : 8 DTE
Bali : 6 DTE
Maluku : 4 DTE
Nusa Tenggara Barat : 8 DTE
Irian Jaya : 6 DTE
Nusa Tenggara Timur : 6 DTE
Daerah tujuan ekowisata populer di indonesia
Daerah Tujuan Ekowisata populer yang sekarang banyak dikunjungi orang adalah:
Region
National Parks
Natural Reserves
Sumatera
Way Kambas
Bukit Barisan Selatan
Kerinci Sebelat
Gunung Leuser
Bukit Barisan Siberut
Sulawesi
Dumoga Bone
Rawa Aopa Watumohae
Lore Lindu
Tanjung Panjang Lati Mojong
Jawa
Bromo Tengger Semeru
Genteng
Ujung Kulon
Gede Pangraro
Sembu Island Nusa Barung Reserve
Nusa Tenggara
Komodo
Tambora
Maluku
Manusela
Prinsip-prinsip Pengembangan Ekowisata
Direktorat Jenderal Pariwisata menggariskan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, sebagai
berikut:
Kegiatan ekowisata harus bersifat ramah lingkungan, secara ekonomis dapat berkelanjutan dan
serasi dengan kondisi sosial dan kebudayaan Daerah Tujuan Ekowisata (DTE)
Untuk menjamin konsevasi alam dan keanekaragaman hayati sebagai sumber daya
kepariwisataan utama, segenap upaya penting harus dilaksanakan untuk menjamin fungsi dan
daya dukung lingkungan agar tetap terjaga.
Kegiatan ekowisata yang secara langsung mendukung pada upaya perlindungan alam dan
kelestarian keanekaragaman hayati harus dipromosikan.
Harus ada tindakan pencegahan untuk menghindari dan meminimalkan dampak negatif
keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan ekowisata.
Pengembangan kegiatan ekowisata hendaknya selalu menggunakan teknologi ramah
lingkungan.
Semua yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata, termasuk pemerintah swasta atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) harus bertanggungjawab secara bersama untuk mencapai bentuk
ekowisata yang berkelanjutan.
Konsep dan kriteria ekowisata berkelanjutan harus dikembangkan dan dikaitkan dengan
program pendidikan dan pelatihan untuk pekerja dibidang kepariwisataan.
Masyarakat harus diberikan kemudahan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya
mengenai manfaat perlindungan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati melalui
bentuk ekowisata yang berkelanjutan tadi.
Khodyat, seorang pakar yang banyak memberi perhatian pada Ekowisata mengatakan “Dalam
mengembangkan ekowisata seharusnya dilihat sebagai alat peningkatan komunikasi antar
makhluk hidup, kesejahteraan, dan kemampuan individu.” Oleh karena itu
katanya, “Pengembangan suatu kawasan untuk menjadi obyek ekowisata harus didasarkan
pada kebijakan yang dirumuskan dari hasil musyawarah dan mufakat dengan masyarakat
setempat.”
Dalam mengembangkan ekowisata, menurut Khodyat, sangat penting kehadiran Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), terutama dalam memberdayakan masyarakat setempat melalui
pendekatan, penyebaran informasi tentang keuntungan, manfaat, dan dampak negatif yang
mungkin muncul dalam pengembangan ekowisata berkelanjutan.
Pendidikan Ekowisata
Pendidikan ekowisata di Indonesia belum ada. Walau di Indonesia sudah banyak sekolah tinggi
pariwisata, sampai sekarang (tahun 1999 –red) belum tercantum dalam kurikulumnya.
Ekowisata baru disebut-sebut sebagai suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan,
tetapi mengapa ekowisata belum diajarkan secara luas.
Materi pelajaran ekowisata baru tercantum dalam kurikulum pendidikan perguruan tinggi
Biologi, Konservasi, dan Kehutanan, itu pun belum secara luas. Informasi-informasi tentang
ekowisata justru lebih banyak ditemukan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
memang banyak menaruh perhatian terhadap lingkungan.
Sekarang ini di Indonesia muncul pengusaha-pengusaha swasta yang mengelola kawasan
ekowisata. Mereka itu kebanyakan berlatar belakang cenderung mendahulukan bisnisnya
daripada memelihara ekosistem, lingkungan, dan ekowisata.
Pendidikan tentang ecotourism yang sudah maju kita temukan Inggris pada Faculty of The
Environment di beberapa universitas. Mereka sudah mengantisipasinya sejak awal dengan
membuka kursus-kursus singkat dan lama –kelamaan dimasukkan dalam kurikulum beberapa
fakultas. Kurikulum untuk ecotourism mencakup lima unsur yang saling berkaitan seperti:
Kebijakan Politik Ekonomi Nasional dan Internasional
Perencanaan Masalah Konservasi
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Pengorganisasian
Praktek Langsung sebagai Pengelola Ekowisata
Dengan mata kuliah yang seimbang antara nilai-nilai konservasi dan aspek-aspek bisnis
menghasilkan tenaga pengelola ekowisata untuk level Manager yang mandiri. Lulusannya
tersebar di seluruh pelosok kawasan ekowisata di Indonesia.
Mengingat kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, kita sekarang harus berpikir dua kali dengan
mulai membentuk lembaga pendidikan pariwisata yang sama sekali jauh berbeda dengan
seperti yang ada sekarang. kalau pendidikan pariwisata sekarang lebih menjurus pada profesi,
maka kita perlu membentuk lembaga pendidikan tinggi pariwisata yang dapat menghasilkan
ahli dalam:
Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata
Pemasaran dan Promosi Pariwisata
Riset dan Statistik Pariwisata
Ekowisata Pariwisata Alternatif dan Agrowisata
Perencanaan Perjalanan Pariwisata
Wisata Konvensi
Administrasi Perhotelan
Pemasaran dan Promosi Perhotelan
Mungkin dapat dimulai dengan membuka kembali jurusan Bina Wisata yang selama ini
ditinggalkan karena peminatnya kurang. Kita perlu memberi informasi yang luas, mengapa
tenaga-tenaga seperti itu diperlukan?
Kita semua harus dapat menimbulkan minat mahasiswa untuk menghadapi persaingan di abad
ke-21, dunia usaha akan memerlukan keahlian-keahlian khusus yang dapat memecahkan
masalah sebagai akibat pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali.
Istilah-istilah dalam Ekowisata
1. Wisata Alam
Adalah kegiatan perjalanan sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela
serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam
2. Pariwisata Alam
Adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek
dan daya tarik wisata alam serta usaha yang terkait di bidang tersebut.
3. Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
Adalah sumber daya alam dan tata lingkungan yang menjadi sasaran wisata di taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, taman buru, taman wisata laut, serta kawasan hutan
lainnya.
4. Pengusahaan Pariwisata Alam
Adalah suatu kegiatan untuk menyelenggarakan usaha sarana pariwisata di zona pemanfaatan
taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, berdasarkan rencana pengelolaan.
5. Zona Pemanfaatan Taman Nasional
Adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan
wisata.
6. Blok Pemanfaatan Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Adalah bagian dari Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam yang dijadikan pusat rekreasi
dan kunjungan wisata.
7. Rencana Pengelolaan
Adalah suatu rencana yang bersifat umum dalam rangka pengelolaan Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam yang disusun menteri kehutanan.
8. Kawasan Pelestarian Alam
Adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
9. Taman Nasional
Adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budi daya pariwisata, dan rekreasi.
10. Taman Hutan Raya
Adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan atau satwa yang alami atau
buatan, jenis asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
11. Taman Wisata Alam
Adalah kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan terutama untuk pariwisata dan rekreasi
lain.
12. Sarana Pengusaha Pariwisata Alam
Adalah bangunan yang diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata alam.
[alert-announce]Makalah ini dibicarakan pada penataran dosen dan tenaga pengajar bidang
pariwisata Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Swasta se-Indonesia yang diselenggarakan
Direktorat Perguruan Tinggi Swasta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 2327 Agustus 1999 di Cisarua.[/alert-announce]
https://studipariwisata.com/analisis/ecotourism-pariwisata-berwawasan-lingkungan/
Upaya Indonesia Mewujudkan Pariwisata
Berkelanjutan
bel, CNN Indonesia | Kamis, 19/07/2018 14:34 WIB
Bagikan :
Ilustrasi (CNN Indonesia/Gentur Putro Jati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berdasarkan Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) World
Economic Forum (WEF), Indonesia berada di peringkat 42 pada tahun 2017. Pada tahun 2019,
ditargetkan Indonesia berada pada peringkat ke-30 dunia.
Untuk mencapainya, salah satu cara yang perlu dilakukan adalah peningkatan penilaian untuk pilar
keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) yang saat ini masih berada pada peringkat
131 dari 136 negara.
Menyikapi hal ini Menteri Pariwisata, Arief Yahya, tak segan mengajak sektor publik, swasta, dan
masyarakat untuk meningkatkan environmental sustainability melalui ajang Indonesia Sustainable
Tourism Award (ISTA) yang memasuki tahun kedua.
Menurutnya sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan sudah menjadi isu global, dan
Indonesia sangat peduli terhadap pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan.
Diharapkan, Arief
melanjutkan, ISTA 2018
 Lima Agenda Wisata di Bogor Selama Bulan Agustus 2018
dapat menjadi ajang
 Atraksi Unik Festival Lembah Baliem di Jantung Papua
untuk memberikan
 Dari Yogyakarta, Obor Asian Games Singgahi 53 Kota Indonesia
penghargaan sekaligus
mengukur implementasi pariwisata berkelanjutan dalam pengelolaan destinasi wisata di Indonesia,
PILIHAN REDAKSI
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata (Permen) Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
"Permen ini mengandopsi standar internasional Global Sustainable Tourism Council (GSTC) yang
mempertimbangkan tiga aspek utama yaitu aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi untuk saat ini
dan masa depan," kata Arief dalam jumpa pers ISTA 2018 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung
Sapta Pesona Jakarta, kantor Kemenpar, Kamis (19/7).
Pembukaan pendaftaran ISTA 2018 telah dimulai sejak 1 Mei dan akan berakhir pada 20 Agustus
2018. Sedangkan puncak acaranya, yakni pemberian penghargaan akan berlangsung di Bali pada 8
November 2018.
Generasi muda diharapkan menjadi penggerak
Pada kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Menteri Bidang Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Valerina Daniel, mengatakan Permen Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata
Berkelanjutan menjadi acuan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam pembangunan destinasi pariwisata berkelanjutan.
"Prinsipnya adalah 3P, yakni People, Planet, Prosperity, atau pemberdayaan masyarakat,
kelestarian alam, dan peningkatan kesejahteraan. Prinsip inilah yang menjadi tema ISTA 2018,
yakni Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan." kata Valerina.
Untuk mewujudkan Indonesia menjadi destinasi wisata berkelanjutan kelas dunia, Valerina
melanjutkan, harus melibatkan semua pihak termasuk wisatawan yang berkunjung ke destinasi.
Wisatawan diharapkan tidak sekedar berkunjung ke destinasi, tapi juga terlibat menjaga lingkungan
dan budayanya. Generasi muda harus menjadi penggerak semangat demi mewujudkan Indonesia
menjadi destinasi wisata berkelanjutan dunia
"Semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan," ujar Valerina. (agr)
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180719133425-269-315376/upaya-indonesiamewujudkan-pariwisata-berkelanjutan
Download