Uploaded by common.user42793

bismillah akhir-print hlm 36-37

advertisement
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia. Beras dikonsumsi lebih dari 90% penduduk di Indonesia. Berdasarkan
data dari BPS (2018), tingkat konsumsi beras pada tahun 2011 hingga tahun 2015
cenderung cukup stabil. Konsumsi beras pada tahun 2011 adalah 113,72 kg/ kapita
per tahun. Pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 114,61 kg/ kapita per
tahun hingga mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 111,58 kg/ kapita per
tahun.
Komposisi kimia dari 100 g beras adalah 360 kkal energi; 12,89 g air; 6,61
g protein; 0,58 g lemak dan 79,34 g karbohidrat (USDA, 2018a). Komposisi kimia
terbesar pada beras adalah karbohidrat sebesar 79%, sehingga beras menjadi salah
satu pangan sumber karbohidrat. Menurut Oba et al. (2013), karbohidrat dalam
tubuh akan dipecah menjadi glukosa yang dapat berkontribusi meningkatkan kadar
glukosa darah. Glukosa darah yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesehatan
salah satunya diabetes. Menurut Hermawan dan Meylani (2016), peningkatan
konsumsi beras putih berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit diabetes.
Berdasarkan hasil penelitian Hu et al. (2012) yang dilakukan pada penduduk China,
Jepang, US dan Australia menunjukkan peningkatan risiko diabetes 11% setiap kali
terjadi kenaikan jumlah asupan beras putih setiap hari. Oleh karena itu, konsumsi
beras mulai dikurangi oleh masyarakat terlebih para penderita diabetes.
Penderita diabetes biasanya mengkonsumsi beras yang memiliki daya cerna
pati rendah. Daya cerna pati yang rendah mengakibatkan kenaikan kadar glukosa
menjadi lebih lambat, sehingga mampu mempertahankan kadar glukosa darah
senormal mungkin (Sonia et al., 2015). Pangan dengan daya cerna pati rendah
memiliki nilai IG yang rendah pula (Arif et al., 2013). Beberapa jenis beras yang
memiliki nilai IG rendah adalah beras Basmati dan beras Taj Mahal. Beras tersebut
memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan beras putih pada umumnya,
2
sehingga perlu adanya alternatif pengolahan beras agar dapat menghasilkan beras
yang memiliki daya cerna pati yang rendah.
Upaya untuk menurunkan daya cerna pati dapat dilakukan dengan
modifikasi pengolahan menggunakan autoclaving-cooling (Setiarto et al., 2018a;
Setiarto et al., 2018b dan Faridah et al., 2013). Berdasarkan hasil beberapa
penelitian, pengolahan dengan autoclaving-cooling mampu menurunkan daya
cerna pati pada tepung talas dari 56,42-48,72% (Setiarto et al., 2018a), tepung
sorgum dari 37,78% menjadi 34,78% (Setiarto et al., 2018b) dan pada pati garut
dari 84,35% menjadi 48,45% (Faridah et al., 2013). Pada hasil penelitian tersebut,
selain menurunkan daya cerna pati, autoclaving-cooling dapat meningkatkan kadar
amilosa dan pati resisten.
Pada penelitian ini dilakukan upaya penurunan daya cerna pati pada beras
dengan modifikasi pengolahan beras menjadi beras instan. Pembuatan beras
instan dilakukan dengan pengolahan pemanasan kemudian dilakukan
pembekuan (Koswara, 2009; Widowati, 2007 dan Luna et al., 2015). Pengolahan
tersebut disebut dengan istilah autoclaving-freezing yang prinsip pengolahannya
sama seperti autoclaving-cooling, yaitu pengolahan menggunakan panas
bertekanan, lalu dilakukan pendinginan. Proses autoclaving mengakibatkan
terjadinya gelatinisasi pati dan cooling mengakibatkan retrogradasi (Ashwar et
al., 2015). Retrogradasi menyebabkan amilosa dan amilopektin yang
sebelumnya memiliki struktur amorf menjadi kristalin (Jenie et al. 2012),
sehingga dapat mengurangi tingkat daya cerna pati (Ordonio dan Matsuoka,
2016).
Pembuatan beras instan pada penelitian ini dilakukan perlakuan
penambahan ekstrak karoten wortel yang bertujuan untuk memberikan warna pada
beras agar lebih menarik, selain itu kandungan-karoten yang terdapat pada wortel
menurut Ergun dan Susluoglu (2018) dapat berperan sebagai antioksidan dan
provitamin A. Wortel mengandung -karoten yang dapat memberikan warna
orange atau kuning (Trianto et al., 2014). Wortel juga mengandung serat pangan
yang diharapkan dapat menurunkan daya cerna pati pada beras. Serat pangan
3
merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna, sehingga
berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014).
Beras yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua varietas yang
berbeda, yaitu beras Membramo dan Ciherang untuk mengetahui perbedaan
kandungan nutrisi dari kedua varietas beras tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat meliputi kadar total pati,
amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro serta profil hidrolisis pati
secara enzimatis pada beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan
Ciherang.
1.2 Rumusan Masalah
Konsumsi beras putih saat ini mulai dihindari oleh masyarakat khususnya
para penderita diabetes. Hal ini dikarenakan daya cerna pati yang tinggi dari beras
putih dapat meningkatkan kadar glukosa darah dalam tubuh, sehingga konsumsi
beras yang memiliki daya cerna pati rendah menjadi alternatif solusi. Banyak beras
yang memiliki daya cerna pati rendah beredar di pasaran dengan harga yang relatif
tinggi, sehingga perlu adanya alternatif pengolahan beras untuk menghasilkan beras
yang memiliki daya cerna pati rendah. Upaya yang dilakukan untuk menurunkan
daya cerna pati salah satunya dengan modifikasi pengolahan beras menjadi beras
instan dengan metode autoclaving-freezing dan dilakukan penambahan ekstrak
karoten wortel untuk mendapatkan warna kuning. Pemberian warna pada makanan
diperlukan untuk memenuhi segi kualitas sensoris makanan yang baik. Penambahan
ekstrak karoten wortel juga dapat memberikan manfaat kesehatan sebagai
antioksidan dan provitamin A, selain itu mengandung serat yang dapat menurunkan
daya cerna pati. Penelitian ini belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan
untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat meliputi kadar total pati, amilosa,
amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro serta profil hidrolisis pati secara
enzimatis pada beras kuning instan.
1.3 Tujuan
4
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat
meliputi kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro
serta profil hidrolisis pati secara enzimatis pada beras kuning instan yang terbuat
dari beras Membramo dan Ciherang dengan pengolahan metode autoclavingfreezing serta penambahan ekstrak karoten wortel.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menghasilkan produk inovatif berupa beras kuning instan yang memiliki daya
cerna rendah, sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan.
b. Memberikan produk alternatif untuk penderita diabetes.
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras
Beras merupakan hasil penggilingan gabah dari tanaman padi (Oryza sativa
L.) yang lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga serta
lapisan bekatulnya telah dipisahkan dari butir beras utuh, beras kepala, beras patah
maupun menir (BSN, 2015). Kandungan nutrisi beras dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya varietas, lokasi produksi, metode penanaman, durasi
penyimpanan dan tingkat penggilingan. Berdasarkan data USDA (2018a), dalam
100 g beras terkandung 360 kkal energi; 12,89 g air; 6,61 g protein; 0,58 g lemak
dan 79,34 g karbohidrat. Komposisi kimia beras terbesar adalah karbohidrat yaitu
sebesar 79%.
Karbohidrat dalam beras sebagian besar terdiri dari pati, sedangkan
sebagian lainnya adalah pentosa, selulosa, hemiselulosa dan gula. Kandungan pati
pada beras adalah sekitar 85-90%, sedangkan kandungan pentosa 2% dan gula 1%
(Asghar et al., 2012). Pati terbentuk dari dua komponen utama yaitu amilosa dan
amilopektin. Kandungan amilosa dan amilopektin pada beras berpengaruh terhadap
tekstur nasi. Menurut Septianingrum et al. (2016), beras yang mengandung amilosa
tinggi memiliki karakteristik nasi yang lebih keras biasanya disebut dengan nasi
pera, sedangkan beras yang mengandung amilosa rendah memiliki karakteristik
nasi yang bertekstur lunak yang biasanya disebut nasi pulen. Menurut Haryadi
(2006), nasi pera memiliki tekstur yang keras dan kering ketika dingin serta tidak
lekat antara butir nasi satu dengan yang lain, sedangkan nasi pulen memiliki tekstur
yang tetap lunak walaupun dalam keadaan dingin dan antar butir nasi lebih lengket.
Kandungan amilosa juga mempengaruhi penyerapan air dan tingkat ekspansi dalam
proses pemasakan. Umumnya, beras dengan kandungan amilosa rendah lebih
disukai karena dianggap lezat. Hal ini terkait dengan struktur pecular, karakter antibengkak (anti-swelling), daya rentang yang baik dan karakter gel amilosa yang
berdekatan (Zahara et al., 2016).
6
Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin pada beras mempengaruhi
jenis beras. Jenis beras berdasarkan teksturnya dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok besar, yaitu beras pera dan beras pulen. Beberapa jenis beras pera
menurut Suprihatno et al. (2009) diantaranya adalah beras IR 36; IR 42; Cisokan;
IR 66; Digul; Tukad Unda; Ciujung; Batang Piaman; Batang Lembang dan Logawa,
sedangkan jenis beras pulen diantaranya adalah Cisadane; IR 64; Ciliwung;
Membramo; Maros; Cilamaya Muncul; Ciherang dan Situ Bagendit. Tekstur beras
berdasarkan kadar amilosanya dari beberapa varietas beras dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Tekstur beras berdasarkan kadar amilosa pada beberapa varietas beras
Varietas
IR 36
IR 42
Cisokan
IR 66
Digul
Tukad Unda
Ciujung
Batang Piaman
Batang Lembang
Logawa
Cisadane
IR 64
Ciliwung
Membramo
Maros
Cilamaya Muncul
Ciherang
Situ Bagendit
Kadar Amilosa (%)
25 (sedang)
27 (tinggi)
26 (tinggi)
25 (sedang)
27 (tinggi)
25 (sedang)
25 (sedang)
28 (tinggi)
27 (tinggi)
26 (tinggi)
20 (rendah)
23 (sedang)
22 (sedang)
19 (rendah)
23 (sedang)
21 (sedang)
23 (sedang)
22 (sedang)
Tekstur
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Pera
Sangat pulen
Pulen
Pulen
Sangat pulen
Pulen
Pulen
Pulen
Pulen
Sumber: Suprihatno et al. (2009)
2.2 Beras Instan
Beras instan adalah produk beras yang relatif lebih cepat dan praktis untuk
dikonsumsi (Luna et al., 2015). Beras instan dibuat menjadi porous agar air mudah
masuk dan beras menjadi mudah tergelatinisasi, sehingga waktu pemasakan atau
rehidrasi beras menjadi lebih cepat. Beras siap dikonsumsi biasanya membutuhkan
waktu sekitar 45-60 menit untuk dilakukan proses mulai dari pencucian,
perendaman, pemasakan dan pengukusan. Namun, dengan adanya inovasi
7
pembuatan beras instan, beras siap dikonsumsi membutuhkan waktu 1-5 menit
dengan persiapan yang sangat sederhana (Pamungkas et al., 2013).
Beberapa metode pembuatan beras instan menurut Koswara (2009) dapat
dibagi menjadi 10 jenis proses, yaitu sebagai berikut:
1.
Beras dilakukan perendaman dalam air hingga mencapai kadar air 30%,
kemudian dilakukan pemasakan dengan air panas (dengan atau tanpa uap)
hingga kadar air 50-60%. Kemudian perebusan atau pengukusan hingga kadar
air 60-70%, lalu pengeringan hingga kadar air 8-14% dengan menjaga
strukturnya berpori-pori. Modifikasi pada metode ini adalah dengan perlakuan
panas kering untuk membuat beras berpori-pori sebelum pemasakan dan
pengeringan.
2.
Beras dilakukan perendaman, perebusan, pengukusan atau pengukusan
bertekanan untuk membuat beras tergelatinisasi, pengeringan dengan suhu
rendah untuk menghasilkan butir-butir beras yang agak berat dan mengkilat.
3.
Perlakuan pregelatinisasi pada beras, penggilingan atau penekanan agar
memperoleh bentuk gepeng kemudian dilakukan pengeringan.
4.
Beras diberi perlakuan dengan udara panas yang mengalir cepat pada suhu
65,6-315,6oC untuk proses dekstrinasi pati dalam beras, membuat beras
berpori-pori atau mengembangkan butiran beras.
5.
Beras diaroni, kemudian pembekuan, thawing dan pengeringan. Metode ini
sering dikombinasikan dengan metode 1, 2 dan 3.
6.
Metode gun puffing yang merupakan kombinasi dari perlakuan-perlakuan
pendahuluan terhadap beras dengan penggunaan suhu dan tekanan tinggi,
diikuti dengan pengeluaran secara cepat ke dalam ruangan yang bertekanan
lebih rendah.
7.
Nasi masak dengan pengeringan beku.
8.
Perlakuan atau pemberian bahan kimia.
9.
Kombinasi dari beberapa metode.
10. Metode-metode lain.
8
Proses pembuatan beras instan berdasarkan penelitian dari Widowati
(2007), terdiri dari 5 tahapan meliputi pencucian, perendaman, pemasakan dengan
tekanan, pembekuan dan pengeringan. Pencucian dilakukan 3 kali untuk
menghilangkan kotoran. Beras dilakukan perendaman untuk meningkatkan kadar
air beras menjadi 40%. Perbandingan air perendaman dan beras adalah 1:1. Beras
dimasak dengan tekanan. Pemasakan dilakukan dengan presto (tekanan 80 Kpa)
selama 5-15 menit. Perbandingan air dengan beras adalah 1:1. Beras selanjutnya
dilakukan pembekuan. Pembekuan dilakukan secara cepat dan tidak boleh ditunda
hingga nasi dingin. Pembekuan dilakukan selama 24 jam pada suhu -4oC. Beras
yang telah dibekukan selanjutnya di-thawing dengan tujuan agar beras tidak
menggumpal dan mudah dipisah-pisahkan. Thawing dilakukan dengan suhu 50oC
selama 5 menit. Beras dikeringkan pada suhu 60oC selama 4 jam hingga bahan
menjadi kering dan berbentuk kristal bening dan keras.
Pembuatan beras instan pada penelitian Luna et al. (2015), mengacu dari
Widowati (2007) yang dimodifikasi. Pembuatan beras instan dimulai dengan
perendaman menggunakan larutan kimia yang dapat meningkatkan porositas beras,
yaitu sodium sitrat dan sodium phosphat. Hasil dari penelitiannya menunjukkan
perendaman beras dengan sodium sitrat konsentrasi 5% memiliki waktu rehidrasi
sekitar 4 menit. Perendaman beras dalam larutan sodium sitrat akan mengganggu
dan menguraikan struktur protein beras, sehingga beras menjadi lebih porous.
Perbandingan beras dan air perendaman adalah 1:2 hingga 1:3. Perendaman
dilakukan selama 2 jam. Beras selanjutnya dicuci dengan air sebanyak 3 kali.
Pemasakan beras dengan menggunakan rice cooker. Perbandingan beras dan air
adalah 1:2. Beras selanjutnya dibekukan dengan menggunakan freezer pada suhu 4oC selama 24 jam. Beras yang telah beku di-thawing pada suhu 50oC selama 2 jam.
Beras dikeringkan dengan oven pada suhu 90oC selama 3-4 jam.
Pembuatan beras instan dengan metode pemasakan bertekanan lalu
dilakukan pembekuan dapat disebut dengan autoclaving-freezing, yang prinsip
pengolahannya sama dengan autoclaving-cooling, yaitu pengolahan menggunakan
panas bertekanan, lalu dilakukan pendinginan. Proses autoclaving mengakibatkan
9
terjadinya gelatinisasi pati karena rantai amilosa keluar dari granula sebagai rantai
acak, pada proses cooling terjadi retrogradasi karena rantai linear amilosa
mengalami rekristalisasi dan terbentuk double helix yang distabilkan dengan ikatan
hidrogen (Ashwar et al., 2015). Retrogradasi pati menyebabkan amilosa dan
amilopektin yang bersifat amorf menjadi kristalin (Jenie et al. 2012). Gelatinisasi
dan retrogradasi yang terjadi akan mempengaruhi kecernaan pati didalam usus
halus. Pati yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi tidak tercerna secara
sempurna di dalam usus manusia, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya pati
yang tahan cerna (Septianingrum et al., 2016). Pemasakan beras dengan metode
autoclaving-cooling dapat memungkinkan kadungan amilosa dan amilopektin pada
beras membentuk struktur kristal yang dapat mengurangi tingkat daya cerna dari
pati (Ordinio dan Matsuoka, 2016). Penurunan daya cerna pati dapat
mengindikasikan adanya peningkatan kandungan pati resisten (Setiarto et al.,
2015).
2.3 Pati
Pati merupakan biopolimer yang tersusun dari unit-unit glukosa yang
berikatan dengan ikatan glikosida (Karmakar et al., 2014). Pati adalah polimer dari
satuan α-D-glukosa (anhidroglukosa) dengan rumus empiris (C6H10O5)n
(Adebowale and Lewal, 2003). Gambar struktur α-D-glukosa dapat dilihat pada
Gambar 2.1. Secara alami pati berbentuk butiran-butiran kecil yang disebut dengan
granula.
Gambar 2.1 Struktur kimia α-D-glukosa
Karakteristik setiap jenis pati dipengaruhi oleh sumber botani, bentuk dan
ukuran granula pati, rasio amilosa dan amilopektin, kandungan-kandungan dari
komponen non pati, struktur kristalin dan amorf. Struktur dan sifat dari pati pada
10
bahan pangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat penanaman, diantaranya
lokasi geografis, iklim, waktu tanam, keadaan tanah, persediaan air serta praktik
pertanian (Patindol et al., 2015). Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian,
sayuran, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah beras, jagung,
labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong
dan sorgum (Herawati, 2011).
Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin (Karmakar et al., 2014).
Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut
dalam air. Umumnya kandungan amilosa pada pati adalah 0-30%. Amilosa
terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui ikatan (1,4) d-glukosa.
Struktur amilosa yang tidak bercabang menyebabkan amilosa memiliki sifat
kristalin (Jiang et al., 2010). Amilopektin merupakan polimer dari glukosa yang
memiliki ikatan antara unit glukosa melalui ikatan 1,4 α pada rantai lurus dan 1,6
α pada cabangnya. Amilopektin berbentuk amorf (porous) (Luna et al., 2015).
Gambar struktur rantai amilosa dan amilopektin dapat di lihat pada Gambar 2.2.
(a)
(b)
Gambar 2.2 Struktur kimia pati (a) amilosa, (b) amilopektin (Liu, 2005)
11
Berdasarkan dari sumber tanamannya, pati mengandung 20-30% amilosa
dan 70-80% amilopektin (Horstmann et al., 2017). Menurut Asghar et al. (2012),
beras mengandung pati sekitar 85-90%. Kadar amilosa pada beras sekitar 1237% (Setyawardhani, 2008). Menurut Lawal et al. (2011), berdasarkan
kandungan amilosanya beras dapat diklasifikasikan menjadi beras beramilosa
sangat rendah (2-12%), beras beramilosa rendah (12-20%), beramilosa sedang
(20-25%) dan beras beramilosa tinggi (25-33%).
2.4 Daya Cerna Pati
Daya cerna pati merupakan tingkat kemudahan enzim pemecah pati
untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Santoso et al.,
2013 dan Surfiana et al., 2014). Semakin tinggi daya cerna suatu pati
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati yang terhidrolisis, sehingga
semakin banyak glukosa yang dihasilkan dapat menyebabkan kadar glukosa
darah meningkat. Karbohidrat dengan daya cerna pati yang lambat menyebabkan
kadar glukosa dalam darah menjadi lebih konstan (Simonato et al., 2014).
Berdasarkan daya cernanya, terdapat tiga kelompok pati yaitu rapidly digestible
starch (RDS), slowly digestible starch (SDS) dan resistant starch (RS). Pati jenis
RDS dan SDS lebih mudah dicerna serta diserap oleh tubuh sehingga dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. RS merupakan pati yang tidak dapat dicerna
oleh enzim amilase dan dapat melewati saluran pencernaan atas hingga sampai
ke kolon dan difermentasi oleh mikroba kolon (Birt et al., 2013).
Daya cerna pati dipengaruhi oleh karakteristik dari pati, yaitu rasio amilosa
dan amilopektin, tingkat gelatinisasi, tingkat retrogradasi, pembentukan amilosa
kompleks dengan lipid serta adanya komponen lain dalam bahan pangan (Alay dan
Meireles, 2014). Komponen dari bahan pangan yang dapat mempengaruhi daya
cerna pati meliputi kadar serat, lemak, protein, serta pati resisten, yang menghalangi
enzim amilolitik untuk mencerna pati (Ai et al., 2013). Daya cerna pati juga
dipengaruhi oleh kandungan amilosa, kandungan amilosa sering digunakan untuk
memprediksi tingkat kecernaan pati (Septianingrum et al., 2016). Daya cerna pati
juga dapat dipengaruhi oleh ukuran granula pati, derajat kristralinitas pati serta
12
adanya zat antinutrisi (Shandu dan Lim, 2008). Vujic et al. (2014) menyatakan
bahwa kelembaban, suhu, gelatinisasi dan retrogradasi berpengaruh terhadap daya
cerna pati.
Laju penyerapan karbohidrat dalam tubuh berpotensi dalam mengendalikan
daya cerna pati. Diasumsikan bahwa daya cerna pati memiliki korelasi positif
terhadap IG produk. Pati yang mengandung amilosa lebih tinggi mempunyai
struktur yang lebih kristalin karena adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, dengan
demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan dicerna. Amilosa juga mudah bergabung
dan mengkristal, sehingga mudah mengalami retrogradasi dan bersifat sulit dicerna
(Septianingrum et al., 2016). Menurut Syahariza et al. (2013), semakin banyak
jumlah amilosa pada bahan pangan, maka daya cerna pati semakin menurun.
Kadar serat pangan beras juga berpengaruh terhadap daya cerna pati beras.
Menurut Widowati (2009), kadar serat pangan total pada beras giling adalah 4,677,57%. Kadar serat dari beras yang berbeda-beda dipengaruhi oleh varietas dan
derajat sosoh pada beras. Semakin tinggi kadar serat maka semakin menurunkan
daya cerna pati dari bahan pangan (Sumczynski et al., 2015). Daya cerna pati
dipengaruhi oleh serat pangan terlarut dengan cara meningkatkan viskositas atau
kerapatan campuran pangan dalam usus, sehingga memperlambat laju pengosongan
lambung yang mengakibatkan daya cerna pati menurun (Apriliani, 2016). Serat
pangan merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna sehingga
berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014). Selain kadar
serat pangan, daya cerna pati juga dapat dipengaruhi pati resisten. Keberadaan pati
resisten berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Anugrahati et al., 2015).
Proses pemasakan atau pengolahan pangan menyebabkan adanya
perbedaan tingkat daya cerna pati. Proses gelatinisasi pada pati menyebabkan
perubahan struktur amilosa yang awalnya kristalin menjadi amorf, sehingga
meningkatkan daya cerna pati (Fiona, 2017). Pati yang mengalami retrogradasi
dapat menurunkan daya cerna. Pati yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi
tidak tercerna secara sempurna di dalam usus manusia, sehingga dapat menyebabkan
terbentuknya pati yang tahan cerna (Septianingrum et al., 2016).
13
2.5 Wortel
Wortel (Daucus carota L.) merupakan salah satu sumber serat pangan
(Sharma et al., 2012) dan sumber penting senyawa bioaktif lipofilik (karotenoid)
serta hidrofilik (senyawa fenolik) dengan efek yang menguntungkan bagi kesehatan
karena kaya akan antioksidan, terutama -karoten (Bystricka et al., 2015). Wortel
mengandung -karoten yang dapat memberikan warna orange atau kuning (Trianto
et al., 2014). Wortel dikenal sebagai sumber vitamin A dan kandungan karotennya merupakan prekursor vitamin A atau provitamin A yang dapat juga
berfungsi sebagai antioksidan (Ergun dan Susluoglu, 2018). Menurut USDA
(2018b), dalam 100 g wortel terkandung 88,29 g air; 41 kkal energi; 0,93 g protein;
0,24 g lemak; 0,97 g abu; 9,58 g karbohidrat; 2,8 g serat pangan; 4,74 g total gula;
1,43 g pati; 8.285 µg -karoten dan 3.477 µg α-karoten.
Komponen karotenoid paling banyak di wortel adalah -karoten. Menurut
Karnjanawipagul et al. (2010), -karoten pada wortel berkisar antara 72,3-145,9
mg/ kg. Menurut Ullah et al. (2011) dan Rebecca et al. (2014), kandungan karoten pada wortel berturut-turut adalah 112,1 mg/ kg dan 183 mg/ kg. Karotenoid
lain yang terdapat di wortel antara lain α-karoten, lutein, zeaksantin dan likopen,
selain itu juga beberapa senyawa bioaktif kelompok fenolik diantaranya asam
klorogenat, kuersetin, luteolin, kaemferol, mirisetin sebagai flavonoid (Ergun dan
Susluoglu, 2018). -karoten merupakan mikronutrien jenis karotenoid yang larut
dalam lipid. Kandungan -karoten dan karotenoid lainnya juga diyakini memberi
perlindungan antioksidan pada jaringan kaya lipid (Bystricka et al., 2015). karoten adalah salah satu karotenoid yang berwarna jingga kekuningan yang dapat
ditemui pada buah-buahan ataupun berwarna hijau tua pada sayur-sayuran (Mueller
dan Boehm, 2011). Cara ekstraksi zat warna dari wortel dapat dilakukan dengan
pelarut berupa air. Berdasarkan penelitian dari Trianto et al. (2014), ekstraksi
karoten wortel dilakukan menggunakan pelarut berupa air dengan pemanasan pada
suhu tertentu.
14
Wortel selain mengandung -karoten yang dapat digunakan sebagai
pewarna makanan alami juga mengandung serat pangan. Serat pangan merupakan
kompleks karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Serat diklasifikasikan berdasarkan
pada kelarutannya, yaitu serat tidak larut dan serat larut. Serat tidak larut
diantaranya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedangkan serat yang larut
adalah gum, pektin dan getah. Kandungan serat pangan yang terdapat pada wortel
berdasarkan berat kering adalah 7,41% pektin; 9,14% hemiselulosa; 80,94%
selulosa dan 2,48% lignin (Sharma et al., 2012). Menurut Rusilanti dan Kusharto
(2007), kadar serat pada wortel adalah 4 g dalam 100 g wortel. Menurut Muchtadi
(2001), wortel mengandung serat total 46,95% (bk), serat tidak larut (IDF) 41,29%
(bk) dan serat larut (SDF) 5,66% (bk).
Serat pangan (serat larut) dapat berfungsi memperlambat pencernaan di
dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama dan memperlambat laju
peningkatan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer
glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan mengubahnya menjadi energi semakin sedikit
(Arif et al., 2013). Serat pangan merupakan komponen bahan pangan yang tidak
dapat dicerna sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah
et al., 2014). Serat berpengaruh terhadap daya cerna pati, semakin tinggi kadar serat
maka semakin menurunkan daya cerna pati dari bahan pangan (Sumczynski et al.,
2015).
15
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Hasil
Pertanian, Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian serta Laboratorium
Analisa Terpadu, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember. Waktu
pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juli-Desember 2018 dan dilanjutkan
pada bulan September-Oktober 2019.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian terdiri dari beras dari varietas
Membramo, Ciherang, Basmati dan Taj Mahal; wortel dan air serta bahan kimia
berupa sodium sitrat. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah
glukosa murni, amilosa murni, maltosa murni, pati murni, Na2CO3 anhidrat, NaKtatrat, NaHCO3, Na2SO4 anhidrat, CuSO4.5H2O, H2SO4, ammonium molybdat,
Na2HasO4.7H2O, etanol, HCl, heksana, NaOH, CH3COOH, KI, I2, NaH2PO4.2H2O,
Na2HPO4.2H2O dan 3,5-dinitrosalicylic acid.
3.2.2
Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pisau, telenan, blender,
kain saring, ayakan, neraca analitik, panci presto (Maxim 4L), oven, loyang, plastik,
sendok nasi, saringan, baskom, kertas minyak, kompor, mesin pembeku, lemari
pendingin, spatula, pemanas, peralatan gelas, rak tabung reaksi, pipet ukur, pipet
mikro, tip, pi pump, vorteks, spektrofotometer UV-Vis, magnetic stirrer, kertas
saring, water bath dan kertas pH universal.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan dengan 3
tahapan meliputi ekstraksi karoten wortel, pembuatan beras kuning instan dan
tahapan analisis. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini diantaranya analisis
16
kadar total pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati secara in vitro dan profil
hidrolisis pati secara enzimatis. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Tahap I. Ekstraksi karoten wortel
Tahap II. Pembuatan beras kuning instan
Tahap III. Analisis kadar total pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati secara in
vitro dan profil hidrolisis pati secara enzimatis
Gambar 3.1 Alur penelitian beras kuning instan
3.4 Tahap Penelitian
Tahapan pembuatan sampel diawali dengan pembuatan ekstrak karoten
wortel lalu pembuatan beras kuning instan, selain itu juga dilakukan pembuatan
beras kuning sebagai sampel pembanding. Penelitian dilakukan menggunakan dua
varietas beras yang berbeda, yaitu beras Membramo dan Ciherang. Pada penelitian
ini juga menggunakan sampel pembanding berupa beras tanpa perlakuan (beras
putih) dari varietas Membramo, Ciherang, Basmati dan Taj Mahal. Perlakuan
pembuatan beras kuning instan dan beras kuning adalah sebagai berikut:
P1 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 0% (beras putih instan)
P2 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 25% (beras kuning instan
dengan 25% ekstrak karoten wortel)
P3 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 50% (beras kuning instan
dengan 50% ekstrak karoten wortel)
P4 = ekstrak karoten wortel 50% (beras kuning)
3.4.1
Ekstraksi Karoten Wortel
Proses ekstraksi karoten wortel dimulai dengan pengupasan kulit wortel.
Wortel yang telah dikupas dilakukan pengecilan ukuran dengan pisau lalu dicuci
untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada wortel. Irisan wortel
dilakukan ekstraksi dengan diblender dan ditambahkan air (air:wortel = 1:4).
Wortel yang telah halus disaring untuk mendapatkan ekstrak wortel. Diagram alir
proses ekstraksi karoten wortel dapat dilihat pada Gambar 3.2.
17
Wortel
Pengupasan
Kulit
Pengecilan ukuran
Air
Air
Pencucian
Ekstraksi (air:wortel = 1:4)
Penyaringan
Ekstrak karoten wortel
Gambar 3.2 Proses ekstraksi karoten wortel
3.4.2
Pembuatan Beras Kuning Instan
Proses pembuatan beras kuning instan mengacu pada penelitian Luna et al.
(2015) yang dimodifikasi. Beras sebanyak 200 g direndam pada larutan sodium
sitrat 5% dengan perbandingan beras dan larutan sodium sitrat adalah 1:2 selama 2
jam. Beras selanjutnya dicuci untuk membersihkan kotoran-kotoran yang melekat
pada beras serta sisa larutan sodium sitrat lalu ditiriskan. Beras ditiriskan lalu
ditambahkan air yang mengandung ekstrak karoten wortel konsentrasi 0%, 25%
dan 50% dengan perbandingan beras dan air adalah 1:1,5. Beras dimasak
menggunakan presto selama 12 menit. Beras yang telah dimasak selanjutnya
dibekukan pada suhu -20oC selama 24 jam. Beras yang telah beku di-thawing pada
suhu 60oC selama 15 menit untuk memudahkan dalam pemisahan bulir-bulir beras.
Bulir-bulir beras selanjutnya dikeringkan pada suhu 60oC selama 6 jam. Diagram
alir proses pembuatan beras kuning instan dapat dilihat pada Gambar 3.3.
18
Beras 200 g
Larutan
sodium sitrat
5%
Perendaman 2 jam (beras:larutan = 1:2)
Pencucian 3 kali
Air
Penirisan
Air yang mengandung
ekstrak wortel 0%, 25%
dan 50%
Penambahan air
(beras:air = 1:1,5)
Pemasakan dengan presto 12 menit
Pembekuan 24 jam (T = -20oC)
Thawing 15 menit (T = 60oC)
Pemisahan bulir beras
Pengeringan 6 jam (T = 60oC)
Beras kuning instan
Gambar 3.3 Proses pembuatan beras kuning instan
3.4.3
Pembuatan Beras Kuning
Pembuatan beras kuning dilakukan menggunakan beras sebanyak 200 g.
Beras dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada beras. Beras
ditiriskan dan selanjutnya direndam pada 50% ekstrak karoten wortel selama 4 jam
di dalam lemari pendingin dengan suhu 4oC. Setiap 30 menit dilakukan pengadukan
agar ekstrak karoten wortel terpenetrasi secara merata pada seluruh permukaan
beras. Beras yang telah direndam ekstrak karoten wortel selanjutnya dilakukan
pengeringan dengan pada suhu 60oC selama 6 jam. Diagram alir proses pembuatan
beras kuning dapat dilihat pada Gambar 3.4.
19
Beras 200 g
Air
Pencucian 3 kali
Penirisan
Ekstrak karoten
wortel 50%
Perendaman 4 jam (T = 4oC)
Pengeringan 6 jam (T = 60oC)
Beras kuning
Gambar 3.4 Proses pembuatan beras kuning
3.5 Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan pada penelitian ini meliputi analisis kadar total pati
(Apriyantono et al., 1989 dengan modifikasi), amilosa (IRRI, 1978), amilopektin,
daya cerna pati secara in vitro (Anderson et al., 2002) dan profil hidrolisis pati
secara enzimatis (Anderson et al., 2002 dan Goni et al., 1997).
3.6 Prosedur Analisis
3.6.1
Analisis Kadar Total Pati (Apriyantono et al., 1989 dengan modifikasi)
Sampel beras sebanyak 2 g ditambahkan 50 ml etanol 80% selanjutnya
distirer selama 1 jam. Suspensi selanjutnya disaring menggunakan kertas saring.
Residu yang terdapat pada kertas saring dicuci dengan 10 mL heksan, setelah itu
dilakukan pendiaman hingga heksan menguap dari residu. Residu dicuci kembali
dengan 150 ml etanol 80%. Residu dipindahkan secara kuantitatif lalu ditambahkan
200 ml aquades dan 20 ml HCl 25%, selanjutnya dihidrolisis selama 2,5 jam.
Residu sampel yang telah dihidrolisis didinginkan lalu dinetralkan (pH=7) dengan
ditambahkan NaOH 45%. Sampel yang telah dinetralkan selanjutnya dipindahkan
ke dalam labu ukur 500 ml dan ditera hingga volume 500 ml lalu disaring hingga
diperoleh filtrat.
20
Filtrat sampel yang diperoleh dilakukan analisis dengan metode NelsonSomogyi (Sudarmadji et al., 1997). Filtrat sampel diencerkan terlebih dahulu,
selanjutnya dicuplik sebanyak 0,25 ml. Sampel ditambahkan 1 ml reagen nelson
dan selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 20 menit. Sampel
selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan 1 ml arsenomolybdat. Sampel
ditambahkan aquades hingga total volume 10 ml lalu dilakukan pembacaan nilai
absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Kadar glukosa sampel diperoleh dari pengolahan data nilai absorbansi dengan
persamaan yang diperoleh dari kurva standar. Pembuatan kurva standar dilakukan
menggunakan glukosa murni dari beberapa seri konsentrasi (0; 0,02; 0,04; 0,06;
0,08 dan 0,1 mg/ml). Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi
glukosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Penentuan kadar pati dilakukan
dengan mengalikan kadar glukosa hasil perhitungan dengan 0,9.
3.6.2
Analisis Kadar Amilosa (IRRI, 1978)
Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar
amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis
sampel sebagai berikut:
a.
Pembuatan Kurva Standar Amilosa
Pembuatan kurva standar dimulai dengan preparasi larutan amilosa.
Amilosa sebanyak 40 mg ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.
Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit (hingga terbentuk gel) lalu
didinginkan. Gel amilosa dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml
lalu ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan amilosa digunakan
sebagai larutan stok. Larutan amilosa dilakukan pengambilan sebanyak 1, 2, 3, 4
dan 5 ml, masing-masing dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan
CH3COOH 1 N secara berturut-turut sebanyak 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml. Masingmasing ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditera hingga volume 100 ml dengan
aquades, lalu dilakukan pendiaman selama 20 menit dan dilakukan pembacaan nilai
absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva
21
standar dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi amilosa (sumbu x) dan
absorbansi (sumbu y).
b.
Analisis Sampel
Sampel beras sebanyak 100 mg ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 mL
NaOH 1 N lalu dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit (hingga terbentuk
gel) lalu didinginkan. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur
100 ml lalu ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan sampel dicuplik
sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu ditambahkan 2 ml
larutan iod dan ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Sampel selanjutnya
didiamkan selama 20 menit dan dilakukan pembacaan nilai absorbansi dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa diperoleh dari
pengolahan data nilai absorbansi dengan persamaan yang diperoleh dari kurva
standar.
3.6.3
Analisis Kadar Amilopektin
Kandungan amilopektin sampel beras diperoleh dari hasil selisih dari kadar
total pati dengan kadar amilosa sampel (by difference).
3.6.4
Analisis Daya Cerna Pati (in Vitro) (Anderson et al., 2002)
Sampel beras sebanyak 1 g ditambahkan 100 ml aquadest. Suspensi sampel
dipanaskan pada suhu 90oC sambil distirer selama 30 menit, lalu didinginkan.
Sampel dicuplik sebanyak 2 ml, lalu ditambahkan 3 ml aquadest dan 5 ml larutan
buffer phosphat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya
digunakan sebagai blanko. Sampel dan blanko diinkubasi pada suhu 37oC selama
15 menit. Sampel ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam
larutan buffer phosphat pH 7), sedangkan blanko ditambahkan 5 ml buffer phosphat
pH 7 dan selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37oC selama 30 menit. Sampel
dan blanko masing-masing dicuplik sebanyak 1 ml dan ditambahkan 2 ml larutan
DNS, selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit lalu didinginkan
dengan air mengalir. Sampel dan blanko yang telah dingin ditambahkan 10 mL
aquades, lalu dilakukan pembacaan nilai absorbansi dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa diperoleh dari pengolahan nilai
22
absorbansi dengan kurva standar. Pembuatan kurva standar dilakukan
menggunakan maltosa murni. Larutan stok maltosa yang digunakan memiliki
konsentrasi 1 mg/ml. Larutan stok dilakukan pengenceran hingga konsentrasi 0;
0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mg/ml. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara
konsentrasi maltosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Daya cerna pati (%)
dihitung dengan persentase relatif terhadap pati murni menggunakan rumus sebagai
berikut :
Daya cerna pati (%) =
(A-a)
(B-b)
× 100%
Keterangan:
A
=
kadar maltosa sampel
a
=
kadar maltosa blanko sampel
B
=
kadar maltosa pati murni
b
=
kadar maltosa blanko pati murni
3.6.5
Profil Hidrolisis Pati (Enzimatis) (Anderson et al., 2002 dan Goni et al.,
1997)
Untuk mengetahui profil hidrolisis pati secara enzimatis dilakukan
perhitungan persentase pati yang terhidrolisis pada waktu hidrolisis yang berbedabeda mulai dari 30, 60, 90, 120, 150 hingga 180 menit. Persentase pati yang
terhidrolisis secara enzimatis pada beberapa waktu hidrolisis dilakukan analisis
secara spektroskopi menggunakan prosedur yang sama dengan analisis daya cerna
pati secara in vitro. Persentase pati terhidrolisis dihitung dengan rumus:
% pati terhidrolisis =
Konsentrasi maltosa sampel – blanko (g/ 100 g)
× 100%
Kadar total pati (g/ 100 g)
3.7 Analisis Data
Data hasil analisis kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati
secara in vitro yang diperoleh disajikan dalam bentuk diagram batang. Analisis data
dilakukan dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan nilai signifikansi (α)
adalah 0,05. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut
Duncan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 24. Data
23
profil hidrolisis pati secara enzimatis ditampilkan dalam bentuk grafik dengan
analisis data dilakukan secara deskriptif.
24
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Total Pati
Pati merupakan karbohidrat yang menjadi komponen utama penyusun
beras. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin (Karmakar et al., 2014). Struktur
dan sifat dari pati pada bahan pangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat
penanaman, diantaranya lokasi geografis, iklim, waktu tanam, keadaan tanah,
persediaan air serta praktik pertanian (Patindol et al., 2015). Hasil analisis kadar
total pati pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih
disajikan pada Gambar 4.1.
100
Kadar Total Pati (%, bk)
90
80
81,23f
79,12e
78,53de
77,51bc
P1
P2
78,08cd
75,98a
79,03e
77,14b
83,56h
80,78f
82,52g
81,14f
70
60
50
40
30
20
10
0
Membramo
P3
P4
BP
B
Perlakuan
Ciherang
Basmati
Taj Mahal
TM
Gambar 4.1 Kadar total pati beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan
dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan
50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B =
beras Basmati, TM = beras Taj Mahal)
Kadar total pati pada beras dengan perlakuan dan tanpa perlakuan
autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel yang terbuat dari
beras Membramo berada pada kisaran 75,98-80,78% (bk), sedangkan dari beras
Ciherang berada pada kisaran 78,08-83,56% (bk). Menurut Asghar et al. (2015),
beras mengandung pati sekitar 85-90%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
25
bahwa beras kuning instan mililiki kadar total pati yang berbeda secara signifikan
(α<0,05) dengan beras putih instan, beras kuning dan beras putih.
Kadar total pati pada beras kuning instan dengan 25% dan 50% ekstrak
karoten wortel yang terbuat dari beras Membramo berturut-turut adalah 77,51%
(bk) dan 75,98% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 79,12% (bk) dan
78,08% (bk). Kadar total pati pada beras putih instan yang terbuat dari beras
Membramo adalah 78,53% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 81,23%
(bk). Beras kuning instan memiliki kadar total pati yang lebih rendah dibandingkan
beras putih instan. Beras kuning instan juga memiliki kadar total pati yang lebih
rendah dibandingkan beras kuning (77,14% (bk) yang terbuat dari beras Membramo
dan 79,03% (bk) dari beras Ciherang). Hal ini diduga perlakuan penambahan
ekstrak karoten wortel dan autoclaving-freezing dapat mengakibatkan penurunan
kadar total pati. Penurunan kadar total pati pada perlakuan penambahan ekstrak
wortel dikarenakan oleh komponen dari ekstrak karoten wortel, diantaranya pati
dan serat wortel menempel pada bagian beras sehingga mempengaruhi pengukuran
kadar total pati. Kadar pati pada wortel lebih rendah dibandingkan pati pada beras,
sehingga mengakibatkan penurunan kadar total pati dari beras. Penurunan kadar
pati dikarenakan terjadi degradasi pati akibat putusnya ikatan glikosidik fraksi pati
baik pada ikatan linier α-1,4 amilosa dan ikatan percabangan α-1,6 amilopektin oleh
pemanasan autoklaf (Vatanasuchart et al., 2012).
Beras yang telah diberi perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan
ekstrak karoten wortel (75,98-78,53% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan
78,08-81,23% (bk) dari beras Ciherang) memiliki kadar total pati yang lebih rendah
dibandingkan beras putih (80,78% (bk) pada beras Membramo dan 83,56% (bk)
pada beras Ciherang). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses
autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan
penurunan kadar total pati pada beras. Menurut Wariyah et al. (2007), kadar pati
Membramo adalah 86,13% (bk) dan Ciherang 88,00% (bk). Kadar total pati dari
beras putih lebih rendah dibandingkan dari literatur, hal ini dapat dikarenakan oleh
adanya perbedaan jenis tanaman serta lokasi penanaman beras.
26
Kadar pati beras Ciherang dengan perlakuan dan tanpa perlakuan
autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel menunjukkan kadar
total pati yang lebih tinggi dibandingkan pada beras Membramo. Hasil analisis sidik
ragam kadar total pati juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara
beras varietas Membramo dan Ciherang. Kandungan pati beras berbeda-beda
dikarenakan oleh perbedaan varietas beras.
Kadar total pati beras kuning instan, beras putih instan dan beras kuning dari
beras Membramo serta Ciherang lebih rendah dibandingkan beras Basmati dan Taj
Mahal, namun kadar total pati pada beras putih Membramo dan Ciherang
menunjukkan lebih tinggi dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Beras
Basmati memiliki kadar pati 82,52% (bk) dan beras Taj Mahal memiliki kadar pati
81,14% (bk). Kadar pati beras Basmati adalah 85,30% (bk), sedangkan beras Taj
Mahal adalah 83,75% (bk) (Widowati, 2007).
4.2 Kadar Amilosa
Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut
dalam air. Amilosa menjadi salah satu parameter penting dalam menentukan sifat
pati dalam beras dan sangat berpengaruh pada mutu tanak nasi. Kadar amilosa dari
beras berbeda-beda dikarenakan adanya perbedaan varietas, lokasi penanaman,
kadar N dalam tanah, waktu panen, penyimpanan dan pengaruh perubahan
pascapanen selama penyimpanan (Pangerang dan Rusyanti, 2018). Hasil analisis
amilosa beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih
disajikan pada Gambar 4.2.
Kadar amilosa pada beras dengan perlakuan dan tanpa perlakuan
autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel yang terbuat dari
beras Membramo berada pada kisaran 16,78-21,79% (bk), sedangkan dari beras
Ciherang berada pada kisaran 20,16-25,82%. Kadar amilosa pada beras adalah
sekitar 12-37% (Setyawardhani, 2008). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa beras kuning instan dengan 25% dan 50% ekstrak karoten wortel mililiki
27
kadar amilosa yang tidak berbeda secara signifikan (α>0,05), namun berbeda secara
signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, beras kuning dan beras putih.
35
Kadar Amilosa (%, bk)
30
27,68h
25,82g
25 21,79d
22,94e
18,30b
20
22,48e
17,75b
29,91i
24,78f
20,16c 20,21c
16,78a
15
10
5
0
P1
P2
Membramo
P3
P4
BP
B
Perlakuan
Ciherang
Basmati
Taj Mahal
TM
Gambar 4.2 Kadar amilosa beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan
dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan
50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B =
beras Basmati, TM = beras Taj Mahal)
Kadar amilosa beras kuning instan dengan penambahan ekstrak karoten
wortel 25% dan 50% yang terbuat dari beras membramo secara berturut-turut
adalah 18,30% (bk) dan 17,75% (bk), sedangkan dari beras ciherang adalah
22,94% (bk) dan 22,48% (bk). Beras putih instan yang terbuat dari beras
membramo memiliki kadar amilosa 21,79% (bk) dan 25,82% (bk) dari beras
ciherang. Kadar amilosa beras kuning instan lebih rendah dibandingkan pada
beras putih instan. Penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan
komponen dari wortel menempel pada beras dan menurunkan kadar total pati
dari beras. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin, sehingga apabila kadar
total pati menurun akan berakibat pada penurunan kadar amilosa beras.
Beras kuning instan memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi (17,7518,30% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 22,48-22,94% (bk) dari beras
Ciherang) dibandingkan beras kuning (16,78% (bk) yang terbuat dari beras
Membramo dan 20,16% (bk) dari beras Ciherang). Kadar amilosa yang lebih tinggi
28
pada beras instan kuning diduga karena adanya proses autoclaving-freezing pada
beras instan yang mengakibatkan peningkatan kadar amilosa pada beras.
Peningkatan kandungan amilosa ini terjadi karena degradasi amilosa rantai panjang
menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat pada peningkatan kadar amilosa
(Shin et al., 2004). Pemanasan dengan autoklaf menyebabkan putusnya sebagian
kecil ikatan glikosidik pada percabangan α-1,6 sehingga terjadi perubahan
amilopektin dari struktur cabang menjadi linier (Zaragoza et al., 2010). Linierisasi
amilopektin menjadi amilosa rantai pendek selama pemanasan autoklaf tersebut
menyebabkan peningkatan kadar amilosa (Moongngarm, 2013).
Beras kuning instan dan beras kuning memiliki kadar amilosa yang lebih
rendah (16,78-18,30% (bk) yang terbuat dari beras membramo dan 20,1622,94% (bk)) dibandingkan beras putih (20,21% (bk) pada beras membramo dan
24,78% (bk) pada beras ciherang), sedangkan beras putih instan memiliki kadar
amilosa yang lebih tinggi (21,79% (bk) yang terbuat dari beras membramo dan
25,82% (bk) dari beras ciherang) dibandingkan beras putih. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan adanya proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak
karoten wortel mengakibatkan perubahan kadar amilosa dari beras. Menurut
Wariyah et al. (2014), kadar amilosa dari beras membramo dan ciherang
berturut-turut adalah 18,30% (bk) dan 25,96% (bk), sedangkan menurut
Suprihatno et al. (2009), beras membramo mengandung amilosa 19% dan beras
ciherang mengandung amilosa sebanyak 23%. Berdasarkan klasifikasi kadar
amilosa dari Lawal et al. (2011), beras membramo termasuk beras dengan
amilosa rendah (12-20%), sedangkan beras ciherang adalah beras dengan
amilosa sedang (20-25%).
Kadar amilosa beras Ciherang dengan perlakuan dan tanpa perlakuan
autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel menunjukkan kadar
amilosa yang lebih tinggi dibandingkan pada beras Membramo. Hasil analisis sidik
ragam kadar amilosa juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara
beras varietas Membramo dan Ciherang. Kadar amilosa beras Membramo dan
Ciherang dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan lebih rendah (16,78-25,82%
(bk)) dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Beras Basmati memiliki kadar
29
amilosa 27,68% (bk), sedangkan beras Taj Mahal 29,91% (bk). Kadar amilosa beras
Basmati adalah 26,51% (bk) (Suhartini dan Wardana, 2011). Beras Taj Mahal
memiliki kadar amilosa 27,58% (bk) (Widowati, 2007).
4.3 Kadar Amilopektin
Amilopektin merupakan polimer dari glukosa yang memiliki ikatan antara
unit glukosa melalui ikatan 1,4 α pada rantai lurus dan 1,6 α pada cabangnya.
Amilopektin berbentuk amorf (porous) (Luna et al., 2015). Hasil analisis kadar
amilopektin beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih
disajikan pada Gambar 4.3.
Kadar amilopektin dari beras Membramo dengan perlakuan dan tanpa
perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel berada
pada kisaran 56,74-60,57% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 55,4158,78% (bk). Hasil analisis sidik ragam pada kadar amilopektin beras,
menunjukkan bahwa beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo
berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, sedangkan pada beras
Ciherang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (α>0,05). Beras kuning
instan dengan 25% dan 50% ekstrak karoten wortel yang terbuat dari beras
Membramo memiliki kadar amilopektin berturut-turut adalah 59,21% (bk) dan
58,23% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 56,17% (bk) dan 55,60% (bk).
Kadar amilopektin beras putih instan yang terbuat dari beras Membramo adalah
56,74% (bk) dan dari beras Ciherang adalah 55,41% (bk). Kadar amilopektin beras
kuning instan lebih tinggi dibandingkan beras putih instan. Kadar amilopektin
dipengaruhi oleh kadar pati dan amilosa beras, semakin tinggi kadar amilosa
semakin rendah kadar amilopektinnya. Supriyadi (2015) menyatakan bahwa, kadar
amilosa dan amilopektin berbanding terbalik, semakin tinggi kandungan amilosa
suatu bahan maka semakin rendah kandungan amilopektin bahan tersebut.
Penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan penurunan kadar total pati dan
amilosa, sehingga juga berakibat terhadap perubahan kadar amilopektin.
30
70
Kadar Amilopektin (%, bk)
e
60
e
59,21
58,23
56,74d
56,17cd
55,60bc
55,41bc
60,57f
60,36f
58,87f
58,78f
54,84b
51,23a
50
40
30
20
10
0
P1
P2
Membramo
P3
P4
BP
B
Perlakuan
Ciherang
Basmati
Taj Mahal
TM
Gambar 4.3 Kadar amilopektin beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning
instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan
dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras
putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan secara signifikan
(α<0,05) pada kadar amilopektin beras kuning instan dan beras kuning. Beras
kuning instan memiliki kadar amilopektin yang lebih rendah (58,23-59,21% (bk)
pada beras Membramo dan 55,60-56,17% (bk) pada beras Ciherang) dibandingkan
beras kuning (60,36% (bk) pada beras Membramo dan 58,87% (bk) pada beras
Ciherang). Penurunan kadar amilopektin diduga terjadi karena pada proses
autoclaving, menurut Zaragoza et al. (2010), pemanasan dengan autoklaf
menyebabkan putusnya sebagian kecil ikatan glikosidik pada percabangan α-1,6
sehingga terjadi perubahan amilopektin dari struktur cabang menjadi linier atau
berubah menjadi struktur amilosa).
Beras kuning instan dan beras putih instan memiliki kadar amilopektin yang
lebih rendah (56,74-59,21% (bk) pada beras Membramo dan 55,41-56,17% (bk)
pada beras Ciherang) dibandingkan beras putih (60,57% (bk) pada beras
Membramo dan 58,78% (bk) pada beras Ciherang), sedangkan kadar amilopektin
pada beras kuning tidak berbeda secara signifikan dengan beras putih. Kadar
amilopektin beras Membramo dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan
31
autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel lebih tinggi
dibandingkan pada beras Ciherang. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa, kadar amilopektin beras pada varietas Membramo dan
Ciherang berbeda secara signifikan (α<0,05). Beras Membramo dan Ciherang baik
yang diberi perlakuan maupun tidak, memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi
(55,41-60,57% (bk)) dibandingkan beras Basmati (54,84% (bk)) dan beras Taj
Mahal adalah (51,23% (bk)).
4.4 Daya Cerna Pati (in Vitro)
Daya cerna pati secara in vitro memberi gambaran tidak langsung
kemudahan pati untuk dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan manusia
(Santoso et al., 2013 dan Surfiana et al., 2014). Daya cerna pati dipengaruhi oleh
karakteristik dari pati, yaitu rasio amilosa dan amilopektin, tingkat gelatinisasi,
tingkat retrogradasi, pembentukan amilosa kompleks serta adanya komponen
lain dalam bahan pangan (Alay dan Meireles, 2015). Hasil analisis daya cerna
pati secara in vitro pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan
beras putih disajikan pada Gambar 4.4.
Hasil analisis daya cerna pati secara in vitro beras Membramo baik dengan
perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel maupun
tidak berkisar pada 59,09-80,28% (bk), sedangkan pada beras Ciherang adalah
51,20-71,68% (bk). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa
daya cerna pati pada beras kuning instan berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan
beras putih instan, beras kuning dan beras putih.
32
90
Daya Cerna Pati (%, bk)
80
70
80,28j
75,72i
68,47g
66,58f
60,21d
59,09c
b
53,01
51,20a
60
71,68h
65,33e
58,67c
60,37d
50
40
30
20
10
0
P1
P2
Membramo
P3
P4
BP
B
Perlakuan
Ciherang
Basmati
Taj Mahal
TM
Gambar 4.4 Daya cerna pati secara in vitro beras (P1 = beras putih instan, P2 =
beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras
kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning,
BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal)
Daya cerna pati pada beras kuning instan dengan penambahan ekstrak
karoten wortel 25% dan 50% berturut-turut adalah 60,21% (bk) dan 59,09% (bk)
pada beras Membramo; 53,01% (bk) dan 51,20% (bk) pada beras Ciherang,
sedangkan beras putih instan memiliki daya cerna pati 75,72% (bk) pada beras
Membramo dan 68,47% (bk) pada beras Ciherang. Beras kuning instan memiliki
daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan beras putih instan. Hal ini diduga
perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel dan proses autoclaving-freezing
mengakibatkan penurunan daya cerna pati pada beras. Penurunan daya cerna pati
pada beras dengan perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel terjadi karena
beras memperoleh tambahan kandungan serat dari wortel yang dapat
mempengaruhi daya cerna pati. Serat pangan merupakan komponen bahan pangan
yang tidak dapat dicerna sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati
(Faridah et al., 2014). Kadar serat dari wortel adalah 2,8% (USDA, 2018b),
sedangkan menurut Rusilanti dan Kusharto (2007), kadar serat pada wortel adalah
4 g dalam 100 g wortel. Menurut Muchtadi (2001), serat total 46,95% (bk), serat
tidak larut (IDF) 41,29% (bk) dan serat larut (SDF) 5,66% (bk). Menurut
33
Sumczynski et al., (2015), semakin tinggi kadar serat maka semakin menurunkan
daya cerna pati dari bahan pangan.
Beras kuning instan juga memiliki daya cerna pati yang lebih rendah (59,0960,21% (bk) pada beras Membramo dan 51,20-53,01% (bk)) dibandingkan beras
kuning (66,58% (bk) pada beras Membramo dan 58,67% (bk) pada beras Ciherang).
Proses autoclaving-freezing mengakibatkan terjadinya penurunan daya cerna pati.
Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis daya cerna pati beras instan yang
menunjukkan lebih rendah dibandingkan beras putih. Pengolahan beras dengan
metode autoclaving-freezing dapat memungkinkan amilosa dan amilopektin
membentuk struktur kristal yang dapat mengurangi tingkat daya cerna (Ordonio dan
Matsuoka, 2016).
Beras yang telah diberi perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan
ekstrak karoten wortel (75,98-78,53% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan
78,08-81,23% (bk) dari beras Ciherang) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah
dibandingkan beras putih (80,28% (bk) pada beras Membramo dan 71,68% (bk)
pada beras Ciherang). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses
autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan
penurunan daya cerna pati. Menurut Widowati (2007), daya cerna pati beras
Membramo adalah 71,18%, sedangkan beras Ciherang adalah 66,78%.
Daya cerna pati beras Ciherang baik dengan perlakuan autoclaving-freezing
dan penambahan ekstrak karoten wortel maupun tidak lebih rendah dibandingkan
beras Membramo. Hasil analisis sidik ragam daya cerna pati pada beras juga
menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara beras varietas Membramo
dan Ciherang. Hal ini dipengaruhi oleh kadar amilosa pada beras, hasil analisis
kadar amilosa menunjukkan kadar amilosa beras Ciherang dengan perlakuan
maupun tidak lebih tinggi (20,16-24,78% bk) dibandingkan beras Membramo
(16,78-21,79% bk). Pati yang mengandung amilosa lebih tinggi, mempunyai
struktur yang lebih kristalin karena adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, selain
itu amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami
retrogradasi yang bersifat sulit dicerna (Septianingrum et al., 2016). Semakin tinggi
34
kadar amilosa pada bahan pangan, maka daya cerna pati semakin menurun
(Syahariza et al., 2013).
Beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan Ciherang
(51,20-60,21% (bk)) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan
beras Basmati (65,33% (bk)) dan beras Taj Mahal (60,37% (bk)). Beras kuning
yang terbuat dari beras Ciherang juga memiliki daya cerna pati yang lebih rendah
(58,67% (bk)) dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal, namun pada beras
kuning yang terbuat dari beras Membramo (66,58% (bk)) menunjukkan daya cerna
yang lebih tinggi dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Jika dilihat dari segi
daya cerna pati yang rendah beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo
dan Ciherang serta beras kuning yang terbuat dari beras Ciherang dapat menjadi
alternatif pengganti beras Basmati dan Taj Mahal yang memiliki daya cerna rendah
yang biasanya dikonsumsi oleh para penderita diabetes.
4.5 Profil Hidrolisis Pati (Enzimatis)
Hidrolisis pati secara in vitro dapat dilakukan untuk memperkirakan respon
glikemik secara in vitro terhadap pangan, semakin banyak jumlah pati yang
terhidrolisis maka menunjukkan semakin cepat daya cerna pati (Simonato et al.,
2014). ................ Persentase hidrolisis pati tinggi dikarenakan degradasi cepat
terjadi pada daerah amorf dari granula pati, sedangkan persentase hidrolisis yang
lebih rendah dikarenakan adanya resistensi yang tinggi terhadap hidrolisis daerah
kristalin dari granula (Adejumo et al., 2013).
Pada analisis profil hidrolisis pati secara enzimatis, sampel beras kuning
instan yang digunakan hanya beras kuning instan dengan penambahan ekstrak
karoten wortel 50%. Hal ini dikarenakan, sampel beras kuning instan dipilih yang
memiliki nilai daya cerna pati paling rendah. Hasil hidrolisis pati secara enzimatis
pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan
pada Gambar 4.5.
Persentase pati yang terhidrolisis pada beras Membramo dengan perlakuan
autoclaving-freezing maupun tidak, dengan waktu hidrolisis selama 30 menit
35
berada pada kisaran 45,72-60,41% dan 42,04-54,27% pada beras Ciherang.
Persentase pati terhidrolisis mengalami kenaikan sebesar 2,23%-6,84% pada saat
hidrolisis dengan waktu 60 menit; kenaikan 5,04-8,08% pada menit ke-90 dan
kenaikan sebesar 0,98-5,60% pada menit ke-120, setelah menit ke-120 hidrolisis
pati berjalan cukup konstan. Pada menit ke-180, total pati yang terhidrolisis berada
pada kisaran 63,91-71,82% pada beras Membramo dan 59,29-66,80% pada beras
Ciherang.
Persentase pati yang terhidrolisis pada beras kuning instan adalah yang
paling rendah dibandingkan beras dari semua perlakuan. Hal ini dikarenakan proses
pengolahan beras dengan metode autoclaving-freezing diduga terjadi retrogradasi
pati pada saat freezing yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi molekul
amilosa dan amilopektin terhadap hidrolisis enzimatis (Millati et al., 2019).
Perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan beras memperoleh
tambahan kandungan serat dari wortel yang dapat berkontribusi dalam menurunkan
daya cerna pati. Serat pangan diketahui dapat menurunkan respon glikemik. Serat
pangan dapat membentuk matriks diluar granula pati sehingga dapat menghambat
pencernaan karbohidrat (Noviasari et al., 2015).
Pati yang terhidrolisis pada beras Ciherang baik dengan perlakuan
autoclaving-frezzing maupun tidak lebih rendah dibandingkan beras Membramo,
hal ini dikarenakan beras Ciherang mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan
beras Membramo. Semakin tinggi kadar amilosa pada bahan pangan, maka daya
cerna pati semakin menurun (Syahariza et al., 2013). Oleh karena itu, pati yang
terhidrolisis juga semakin rendah.
Persentase pati terhidrolisis dari beras kuning instan yang terbuat dari beras
Membramo pada hidrolisis menit ke-30 (45,72%) lebih rendah dibandingkan pada
beras Basmati (46,88%), namun setelah hidrolisis dengan waktu yang lebih lama
(60-180 menit) menunjukkan persentase pati terhidrolisis yang lebih tinggi
dibandingkan beras Basmati (Gambar 4.5). Jika dibandingkan dengan beras taj pada
hidrolisis menit ke-30 (44,05%), persentase pati terhidrolisis pada beras kuning
instan lebih tinggi begitu pula pada hidrolisis menit ke-60 hingga 180. Persentase
36
pati terhidrolisis dari beras kuning instan yang terbuat dari beras Ciherang pada
waktu hidrolisis menit ke-30 (42,04%) lebih rendah dari beras Basmati dan beras
Taj Mahal, setelah hidrolisis selama 60-180 menit persentase pati yang
terhidrolisisnya menunjukkan lebih rendah dari beras Basmati namun lebih tinggi
dibandingkan beras Taj Mahal (Gambar 4.5).
% Pati Terhidrolisis
75
60
45
30
15
0
0
30
60
90
120
Waktu Hidrolisis (menit)
P1
P3
P4
BP
Basmati
150
180
Taj Mahal
(a)
% Pati Terhidrolisis
75
60
45
30
15
0
0
30
60
90
120
Waktu Hidrolisis (menit)
P1
P3
P4
BP
Basmati
150
180
Taj Mahal
(b)
Gambar 4.5 Profil hidrolisis pati secara enzimatis beras (a) Membramo, (b)
Ciherang (P1 = beras putih instan, P3 = beras kuning instan dengan
50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B =
beras Basmati, TM = beras Taj Mahal)
37
BAB 5. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel pada beras kuning instan
mengakibatkan penurunan kadar total, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati.
Proses autoclaving-freezing pada pembuatan beras kuning instan dapat
menurunkan kadar pati, amilopektin dan daya cerna pati, namun meningkatkan
kadar amilosa. Persentase pati yang terhidrolisis pada beras kuning instan adalah
yang paling rendah dibandingkan beras dari semua perlakuan. Beras kuning instan
yang terbuat dari beras Ciherang memiliki kadar total pati dan amilosa yang lebih
tinggi dari beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo, namun kadar
amilopektin dan daya cerna pati yang dimiliki lebih rendah.
Beras kuning instan memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan
beras Basmati dan Taj Mahal. Daya cerna yang rendah juga dimiliki oleh beras
kuning yang terbuat dari beras Ciherang. Pada penelitian ini diharapkan
menghasilkan beras yang memiliki daya cerna rendah. Oleh karena itu, beras
tersebut dapat menjadi produk alternatif sebagai pengganti beras Basmati dan Taj
Mahal yang biasanya dikonsumsi oleh penderita diabetes.
5.2 SARAN
Daya cerna pati dapat dipengaruhi oleh adanya serat pangan dan pati
resisten, sehingga penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis
kadar serat pangan dan pati resisten untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel terhadap kadar
serat pangan dan pati resisten pada beras kuning instan yang dihasilkan.
Download