1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Beras dikonsumsi lebih dari 90% penduduk di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS (2018), tingkat konsumsi beras pada tahun 2011 hingga tahun 2015 cenderung cukup stabil. Konsumsi beras pada tahun 2011 adalah 113,72 kg/ kapita per tahun. Pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 114,61 kg/ kapita per tahun hingga mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 111,58 kg/ kapita per tahun. Komposisi kimia dari 100 g beras adalah 360 kkal energi; 12,89 g air; 6,61 g protein; 0,58 g lemak dan 79,34 g karbohidrat (USDA, 2018a). Komposisi kimia terbesar pada beras adalah karbohidrat sebesar 79%, sehingga beras menjadi salah satu pangan sumber karbohidrat. Menurut Oba et al. (2013), karbohidrat dalam tubuh akan dipecah menjadi glukosa yang dapat berkontribusi meningkatkan kadar glukosa darah. Glukosa darah yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesehatan salah satunya diabetes. Menurut Hermawan dan Meylani (2016), peningkatan konsumsi beras putih berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit diabetes. Berdasarkan hasil penelitian Hu et al. (2012) yang dilakukan pada penduduk China, Jepang, US dan Australia menunjukkan peningkatan risiko diabetes 11% setiap kali terjadi kenaikan jumlah asupan beras putih setiap hari. Oleh karena itu, konsumsi beras mulai dikurangi oleh masyarakat terlebih para penderita diabetes. Penderita diabetes biasanya mengkonsumsi beras yang memiliki daya cerna pati rendah. Daya cerna pati yang rendah mengakibatkan kenaikan kadar glukosa menjadi lebih lambat, sehingga mampu mempertahankan kadar glukosa darah senormal mungkin (Sonia et al., 2015). Pangan dengan daya cerna pati rendah memiliki nilai IG yang rendah pula (Arif et al., 2013). Beberapa jenis beras yang memiliki nilai IG rendah adalah beras Basmati dan beras Taj Mahal. Beras tersebut memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan beras putih pada umumnya, 2 sehingga perlu adanya alternatif pengolahan beras agar dapat menghasilkan beras yang memiliki daya cerna pati yang rendah. Upaya untuk menurunkan daya cerna pati dapat dilakukan dengan modifikasi pengolahan menggunakan autoclaving-cooling (Setiarto et al., 2018a; Setiarto et al., 2018b dan Faridah et al., 2013). Berdasarkan hasil beberapa penelitian, pengolahan dengan autoclaving-cooling mampu menurunkan daya cerna pati pada tepung talas dari 56,42-48,72% (Setiarto et al., 2018a), tepung sorgum dari 37,78% menjadi 34,78% (Setiarto et al., 2018b) dan pada pati garut dari 84,35% menjadi 48,45% (Faridah et al., 2013). Pada hasil penelitian tersebut, selain menurunkan daya cerna pati, autoclaving-cooling dapat meningkatkan kadar amilosa dan pati resisten. Pada penelitian ini dilakukan upaya penurunan daya cerna pati pada beras dengan modifikasi pengolahan beras menjadi beras instan. Pembuatan beras instan dilakukan dengan pengolahan pemanasan kemudian dilakukan pembekuan (Koswara, 2009; Widowati, 2007 dan Luna et al., 2015). Pengolahan tersebut disebut dengan istilah autoclaving-freezing yang prinsip pengolahannya sama seperti autoclaving-cooling, yaitu pengolahan menggunakan panas bertekanan, lalu dilakukan pendinginan. Proses autoclaving mengakibatkan terjadinya gelatinisasi pati dan cooling mengakibatkan retrogradasi (Ashwar et al., 2015). Retrogradasi menyebabkan amilosa dan amilopektin yang sebelumnya memiliki struktur amorf menjadi kristalin (Jenie et al. 2012), sehingga dapat mengurangi tingkat daya cerna pati (Ordonio dan Matsuoka, 2016). Pembuatan beras instan pada penelitian ini dilakukan perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel yang bertujuan untuk memberikan warna pada beras agar lebih menarik, selain itu kandungan-karoten yang terdapat pada wortel menurut Ergun dan Susluoglu (2018) dapat berperan sebagai antioksidan dan provitamin A. Wortel mengandung -karoten yang dapat memberikan warna orange atau kuning (Trianto et al., 2014). Wortel juga mengandung serat pangan yang diharapkan dapat menurunkan daya cerna pati pada beras. Serat pangan 3 merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna, sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014). Beras yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua varietas yang berbeda, yaitu beras Membramo dan Ciherang untuk mengetahui perbedaan kandungan nutrisi dari kedua varietas beras tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat meliputi kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro serta profil hidrolisis pati secara enzimatis pada beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan Ciherang. 1.2 Rumusan Masalah Konsumsi beras putih saat ini mulai dihindari oleh masyarakat khususnya para penderita diabetes. Hal ini dikarenakan daya cerna pati yang tinggi dari beras putih dapat meningkatkan kadar glukosa darah dalam tubuh, sehingga konsumsi beras yang memiliki daya cerna pati rendah menjadi alternatif solusi. Banyak beras yang memiliki daya cerna pati rendah beredar di pasaran dengan harga yang relatif tinggi, sehingga perlu adanya alternatif pengolahan beras untuk menghasilkan beras yang memiliki daya cerna pati rendah. Upaya yang dilakukan untuk menurunkan daya cerna pati salah satunya dengan modifikasi pengolahan beras menjadi beras instan dengan metode autoclaving-freezing dan dilakukan penambahan ekstrak karoten wortel untuk mendapatkan warna kuning. Pemberian warna pada makanan diperlukan untuk memenuhi segi kualitas sensoris makanan yang baik. Penambahan ekstrak karoten wortel juga dapat memberikan manfaat kesehatan sebagai antioksidan dan provitamin A, selain itu mengandung serat yang dapat menurunkan daya cerna pati. Penelitian ini belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat meliputi kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro serta profil hidrolisis pati secara enzimatis pada beras kuning instan. 1.3 Tujuan 4 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi sifat karbohidrat meliputi kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro serta profil hidrolisis pati secara enzimatis pada beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan Ciherang dengan pengolahan metode autoclavingfreezing serta penambahan ekstrak karoten wortel. 1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menghasilkan produk inovatif berupa beras kuning instan yang memiliki daya cerna rendah, sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan. b. Memberikan produk alternatif untuk penderita diabetes. 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras merupakan hasil penggilingan gabah dari tanaman padi (Oryza sativa L.) yang lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga serta lapisan bekatulnya telah dipisahkan dari butir beras utuh, beras kepala, beras patah maupun menir (BSN, 2015). Kandungan nutrisi beras dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas, lokasi produksi, metode penanaman, durasi penyimpanan dan tingkat penggilingan. Berdasarkan data USDA (2018a), dalam 100 g beras terkandung 360 kkal energi; 12,89 g air; 6,61 g protein; 0,58 g lemak dan 79,34 g karbohidrat. Komposisi kimia beras terbesar adalah karbohidrat yaitu sebesar 79%. Karbohidrat dalam beras sebagian besar terdiri dari pati, sedangkan sebagian lainnya adalah pentosa, selulosa, hemiselulosa dan gula. Kandungan pati pada beras adalah sekitar 85-90%, sedangkan kandungan pentosa 2% dan gula 1% (Asghar et al., 2012). Pati terbentuk dari dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin. Kandungan amilosa dan amilopektin pada beras berpengaruh terhadap tekstur nasi. Menurut Septianingrum et al. (2016), beras yang mengandung amilosa tinggi memiliki karakteristik nasi yang lebih keras biasanya disebut dengan nasi pera, sedangkan beras yang mengandung amilosa rendah memiliki karakteristik nasi yang bertekstur lunak yang biasanya disebut nasi pulen. Menurut Haryadi (2006), nasi pera memiliki tekstur yang keras dan kering ketika dingin serta tidak lekat antara butir nasi satu dengan yang lain, sedangkan nasi pulen memiliki tekstur yang tetap lunak walaupun dalam keadaan dingin dan antar butir nasi lebih lengket. Kandungan amilosa juga mempengaruhi penyerapan air dan tingkat ekspansi dalam proses pemasakan. Umumnya, beras dengan kandungan amilosa rendah lebih disukai karena dianggap lezat. Hal ini terkait dengan struktur pecular, karakter antibengkak (anti-swelling), daya rentang yang baik dan karakter gel amilosa yang berdekatan (Zahara et al., 2016). 6 Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin pada beras mempengaruhi jenis beras. Jenis beras berdasarkan teksturnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu beras pera dan beras pulen. Beberapa jenis beras pera menurut Suprihatno et al. (2009) diantaranya adalah beras IR 36; IR 42; Cisokan; IR 66; Digul; Tukad Unda; Ciujung; Batang Piaman; Batang Lembang dan Logawa, sedangkan jenis beras pulen diantaranya adalah Cisadane; IR 64; Ciliwung; Membramo; Maros; Cilamaya Muncul; Ciherang dan Situ Bagendit. Tekstur beras berdasarkan kadar amilosanya dari beberapa varietas beras dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tekstur beras berdasarkan kadar amilosa pada beberapa varietas beras Varietas IR 36 IR 42 Cisokan IR 66 Digul Tukad Unda Ciujung Batang Piaman Batang Lembang Logawa Cisadane IR 64 Ciliwung Membramo Maros Cilamaya Muncul Ciherang Situ Bagendit Kadar Amilosa (%) 25 (sedang) 27 (tinggi) 26 (tinggi) 25 (sedang) 27 (tinggi) 25 (sedang) 25 (sedang) 28 (tinggi) 27 (tinggi) 26 (tinggi) 20 (rendah) 23 (sedang) 22 (sedang) 19 (rendah) 23 (sedang) 21 (sedang) 23 (sedang) 22 (sedang) Tekstur Pera Pera Pera Pera Pera Pera Pera Pera Pera Pera Sangat pulen Pulen Pulen Sangat pulen Pulen Pulen Pulen Pulen Sumber: Suprihatno et al. (2009) 2.2 Beras Instan Beras instan adalah produk beras yang relatif lebih cepat dan praktis untuk dikonsumsi (Luna et al., 2015). Beras instan dibuat menjadi porous agar air mudah masuk dan beras menjadi mudah tergelatinisasi, sehingga waktu pemasakan atau rehidrasi beras menjadi lebih cepat. Beras siap dikonsumsi biasanya membutuhkan waktu sekitar 45-60 menit untuk dilakukan proses mulai dari pencucian, perendaman, pemasakan dan pengukusan. Namun, dengan adanya inovasi 7 pembuatan beras instan, beras siap dikonsumsi membutuhkan waktu 1-5 menit dengan persiapan yang sangat sederhana (Pamungkas et al., 2013). Beberapa metode pembuatan beras instan menurut Koswara (2009) dapat dibagi menjadi 10 jenis proses, yaitu sebagai berikut: 1. Beras dilakukan perendaman dalam air hingga mencapai kadar air 30%, kemudian dilakukan pemasakan dengan air panas (dengan atau tanpa uap) hingga kadar air 50-60%. Kemudian perebusan atau pengukusan hingga kadar air 60-70%, lalu pengeringan hingga kadar air 8-14% dengan menjaga strukturnya berpori-pori. Modifikasi pada metode ini adalah dengan perlakuan panas kering untuk membuat beras berpori-pori sebelum pemasakan dan pengeringan. 2. Beras dilakukan perendaman, perebusan, pengukusan atau pengukusan bertekanan untuk membuat beras tergelatinisasi, pengeringan dengan suhu rendah untuk menghasilkan butir-butir beras yang agak berat dan mengkilat. 3. Perlakuan pregelatinisasi pada beras, penggilingan atau penekanan agar memperoleh bentuk gepeng kemudian dilakukan pengeringan. 4. Beras diberi perlakuan dengan udara panas yang mengalir cepat pada suhu 65,6-315,6oC untuk proses dekstrinasi pati dalam beras, membuat beras berpori-pori atau mengembangkan butiran beras. 5. Beras diaroni, kemudian pembekuan, thawing dan pengeringan. Metode ini sering dikombinasikan dengan metode 1, 2 dan 3. 6. Metode gun puffing yang merupakan kombinasi dari perlakuan-perlakuan pendahuluan terhadap beras dengan penggunaan suhu dan tekanan tinggi, diikuti dengan pengeluaran secara cepat ke dalam ruangan yang bertekanan lebih rendah. 7. Nasi masak dengan pengeringan beku. 8. Perlakuan atau pemberian bahan kimia. 9. Kombinasi dari beberapa metode. 10. Metode-metode lain. 8 Proses pembuatan beras instan berdasarkan penelitian dari Widowati (2007), terdiri dari 5 tahapan meliputi pencucian, perendaman, pemasakan dengan tekanan, pembekuan dan pengeringan. Pencucian dilakukan 3 kali untuk menghilangkan kotoran. Beras dilakukan perendaman untuk meningkatkan kadar air beras menjadi 40%. Perbandingan air perendaman dan beras adalah 1:1. Beras dimasak dengan tekanan. Pemasakan dilakukan dengan presto (tekanan 80 Kpa) selama 5-15 menit. Perbandingan air dengan beras adalah 1:1. Beras selanjutnya dilakukan pembekuan. Pembekuan dilakukan secara cepat dan tidak boleh ditunda hingga nasi dingin. Pembekuan dilakukan selama 24 jam pada suhu -4oC. Beras yang telah dibekukan selanjutnya di-thawing dengan tujuan agar beras tidak menggumpal dan mudah dipisah-pisahkan. Thawing dilakukan dengan suhu 50oC selama 5 menit. Beras dikeringkan pada suhu 60oC selama 4 jam hingga bahan menjadi kering dan berbentuk kristal bening dan keras. Pembuatan beras instan pada penelitian Luna et al. (2015), mengacu dari Widowati (2007) yang dimodifikasi. Pembuatan beras instan dimulai dengan perendaman menggunakan larutan kimia yang dapat meningkatkan porositas beras, yaitu sodium sitrat dan sodium phosphat. Hasil dari penelitiannya menunjukkan perendaman beras dengan sodium sitrat konsentrasi 5% memiliki waktu rehidrasi sekitar 4 menit. Perendaman beras dalam larutan sodium sitrat akan mengganggu dan menguraikan struktur protein beras, sehingga beras menjadi lebih porous. Perbandingan beras dan air perendaman adalah 1:2 hingga 1:3. Perendaman dilakukan selama 2 jam. Beras selanjutnya dicuci dengan air sebanyak 3 kali. Pemasakan beras dengan menggunakan rice cooker. Perbandingan beras dan air adalah 1:2. Beras selanjutnya dibekukan dengan menggunakan freezer pada suhu 4oC selama 24 jam. Beras yang telah beku di-thawing pada suhu 50oC selama 2 jam. Beras dikeringkan dengan oven pada suhu 90oC selama 3-4 jam. Pembuatan beras instan dengan metode pemasakan bertekanan lalu dilakukan pembekuan dapat disebut dengan autoclaving-freezing, yang prinsip pengolahannya sama dengan autoclaving-cooling, yaitu pengolahan menggunakan panas bertekanan, lalu dilakukan pendinginan. Proses autoclaving mengakibatkan 9 terjadinya gelatinisasi pati karena rantai amilosa keluar dari granula sebagai rantai acak, pada proses cooling terjadi retrogradasi karena rantai linear amilosa mengalami rekristalisasi dan terbentuk double helix yang distabilkan dengan ikatan hidrogen (Ashwar et al., 2015). Retrogradasi pati menyebabkan amilosa dan amilopektin yang bersifat amorf menjadi kristalin (Jenie et al. 2012). Gelatinisasi dan retrogradasi yang terjadi akan mempengaruhi kecernaan pati didalam usus halus. Pati yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi tidak tercerna secara sempurna di dalam usus manusia, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya pati yang tahan cerna (Septianingrum et al., 2016). Pemasakan beras dengan metode autoclaving-cooling dapat memungkinkan kadungan amilosa dan amilopektin pada beras membentuk struktur kristal yang dapat mengurangi tingkat daya cerna dari pati (Ordinio dan Matsuoka, 2016). Penurunan daya cerna pati dapat mengindikasikan adanya peningkatan kandungan pati resisten (Setiarto et al., 2015). 2.3 Pati Pati merupakan biopolimer yang tersusun dari unit-unit glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosida (Karmakar et al., 2014). Pati adalah polimer dari satuan α-D-glukosa (anhidroglukosa) dengan rumus empiris (C6H10O5)n (Adebowale and Lewal, 2003). Gambar struktur α-D-glukosa dapat dilihat pada Gambar 2.1. Secara alami pati berbentuk butiran-butiran kecil yang disebut dengan granula. Gambar 2.1 Struktur kimia α-D-glukosa Karakteristik setiap jenis pati dipengaruhi oleh sumber botani, bentuk dan ukuran granula pati, rasio amilosa dan amilopektin, kandungan-kandungan dari komponen non pati, struktur kristalin dan amorf. Struktur dan sifat dari pati pada 10 bahan pangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat penanaman, diantaranya lokasi geografis, iklim, waktu tanam, keadaan tanah, persediaan air serta praktik pertanian (Patindol et al., 2015). Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah beras, jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong dan sorgum (Herawati, 2011). Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin (Karmakar et al., 2014). Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air. Umumnya kandungan amilosa pada pati adalah 0-30%. Amilosa terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui ikatan (1,4) d-glukosa. Struktur amilosa yang tidak bercabang menyebabkan amilosa memiliki sifat kristalin (Jiang et al., 2010). Amilopektin merupakan polimer dari glukosa yang memiliki ikatan antara unit glukosa melalui ikatan 1,4 α pada rantai lurus dan 1,6 α pada cabangnya. Amilopektin berbentuk amorf (porous) (Luna et al., 2015). Gambar struktur rantai amilosa dan amilopektin dapat di lihat pada Gambar 2.2. (a) (b) Gambar 2.2 Struktur kimia pati (a) amilosa, (b) amilopektin (Liu, 2005) 11 Berdasarkan dari sumber tanamannya, pati mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin (Horstmann et al., 2017). Menurut Asghar et al. (2012), beras mengandung pati sekitar 85-90%. Kadar amilosa pada beras sekitar 1237% (Setyawardhani, 2008). Menurut Lawal et al. (2011), berdasarkan kandungan amilosanya beras dapat diklasifikasikan menjadi beras beramilosa sangat rendah (2-12%), beras beramilosa rendah (12-20%), beramilosa sedang (20-25%) dan beras beramilosa tinggi (25-33%). 2.4 Daya Cerna Pati Daya cerna pati merupakan tingkat kemudahan enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Santoso et al., 2013 dan Surfiana et al., 2014). Semakin tinggi daya cerna suatu pati menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati yang terhidrolisis, sehingga semakin banyak glukosa yang dihasilkan dapat menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Karbohidrat dengan daya cerna pati yang lambat menyebabkan kadar glukosa dalam darah menjadi lebih konstan (Simonato et al., 2014). Berdasarkan daya cernanya, terdapat tiga kelompok pati yaitu rapidly digestible starch (RDS), slowly digestible starch (SDS) dan resistant starch (RS). Pati jenis RDS dan SDS lebih mudah dicerna serta diserap oleh tubuh sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah. RS merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim amilase dan dapat melewati saluran pencernaan atas hingga sampai ke kolon dan difermentasi oleh mikroba kolon (Birt et al., 2013). Daya cerna pati dipengaruhi oleh karakteristik dari pati, yaitu rasio amilosa dan amilopektin, tingkat gelatinisasi, tingkat retrogradasi, pembentukan amilosa kompleks dengan lipid serta adanya komponen lain dalam bahan pangan (Alay dan Meireles, 2014). Komponen dari bahan pangan yang dapat mempengaruhi daya cerna pati meliputi kadar serat, lemak, protein, serta pati resisten, yang menghalangi enzim amilolitik untuk mencerna pati (Ai et al., 2013). Daya cerna pati juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa, kandungan amilosa sering digunakan untuk memprediksi tingkat kecernaan pati (Septianingrum et al., 2016). Daya cerna pati juga dapat dipengaruhi oleh ukuran granula pati, derajat kristralinitas pati serta 12 adanya zat antinutrisi (Shandu dan Lim, 2008). Vujic et al. (2014) menyatakan bahwa kelembaban, suhu, gelatinisasi dan retrogradasi berpengaruh terhadap daya cerna pati. Laju penyerapan karbohidrat dalam tubuh berpotensi dalam mengendalikan daya cerna pati. Diasumsikan bahwa daya cerna pati memiliki korelasi positif terhadap IG produk. Pati yang mengandung amilosa lebih tinggi mempunyai struktur yang lebih kristalin karena adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan dicerna. Amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal, sehingga mudah mengalami retrogradasi dan bersifat sulit dicerna (Septianingrum et al., 2016). Menurut Syahariza et al. (2013), semakin banyak jumlah amilosa pada bahan pangan, maka daya cerna pati semakin menurun. Kadar serat pangan beras juga berpengaruh terhadap daya cerna pati beras. Menurut Widowati (2009), kadar serat pangan total pada beras giling adalah 4,677,57%. Kadar serat dari beras yang berbeda-beda dipengaruhi oleh varietas dan derajat sosoh pada beras. Semakin tinggi kadar serat maka semakin menurunkan daya cerna pati dari bahan pangan (Sumczynski et al., 2015). Daya cerna pati dipengaruhi oleh serat pangan terlarut dengan cara meningkatkan viskositas atau kerapatan campuran pangan dalam usus, sehingga memperlambat laju pengosongan lambung yang mengakibatkan daya cerna pati menurun (Apriliani, 2016). Serat pangan merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014). Selain kadar serat pangan, daya cerna pati juga dapat dipengaruhi pati resisten. Keberadaan pati resisten berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Anugrahati et al., 2015). Proses pemasakan atau pengolahan pangan menyebabkan adanya perbedaan tingkat daya cerna pati. Proses gelatinisasi pada pati menyebabkan perubahan struktur amilosa yang awalnya kristalin menjadi amorf, sehingga meningkatkan daya cerna pati (Fiona, 2017). Pati yang mengalami retrogradasi dapat menurunkan daya cerna. Pati yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi tidak tercerna secara sempurna di dalam usus manusia, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya pati yang tahan cerna (Septianingrum et al., 2016). 13 2.5 Wortel Wortel (Daucus carota L.) merupakan salah satu sumber serat pangan (Sharma et al., 2012) dan sumber penting senyawa bioaktif lipofilik (karotenoid) serta hidrofilik (senyawa fenolik) dengan efek yang menguntungkan bagi kesehatan karena kaya akan antioksidan, terutama -karoten (Bystricka et al., 2015). Wortel mengandung -karoten yang dapat memberikan warna orange atau kuning (Trianto et al., 2014). Wortel dikenal sebagai sumber vitamin A dan kandungan karotennya merupakan prekursor vitamin A atau provitamin A yang dapat juga berfungsi sebagai antioksidan (Ergun dan Susluoglu, 2018). Menurut USDA (2018b), dalam 100 g wortel terkandung 88,29 g air; 41 kkal energi; 0,93 g protein; 0,24 g lemak; 0,97 g abu; 9,58 g karbohidrat; 2,8 g serat pangan; 4,74 g total gula; 1,43 g pati; 8.285 µg -karoten dan 3.477 µg α-karoten. Komponen karotenoid paling banyak di wortel adalah -karoten. Menurut Karnjanawipagul et al. (2010), -karoten pada wortel berkisar antara 72,3-145,9 mg/ kg. Menurut Ullah et al. (2011) dan Rebecca et al. (2014), kandungan karoten pada wortel berturut-turut adalah 112,1 mg/ kg dan 183 mg/ kg. Karotenoid lain yang terdapat di wortel antara lain α-karoten, lutein, zeaksantin dan likopen, selain itu juga beberapa senyawa bioaktif kelompok fenolik diantaranya asam klorogenat, kuersetin, luteolin, kaemferol, mirisetin sebagai flavonoid (Ergun dan Susluoglu, 2018). -karoten merupakan mikronutrien jenis karotenoid yang larut dalam lipid. Kandungan -karoten dan karotenoid lainnya juga diyakini memberi perlindungan antioksidan pada jaringan kaya lipid (Bystricka et al., 2015). karoten adalah salah satu karotenoid yang berwarna jingga kekuningan yang dapat ditemui pada buah-buahan ataupun berwarna hijau tua pada sayur-sayuran (Mueller dan Boehm, 2011). Cara ekstraksi zat warna dari wortel dapat dilakukan dengan pelarut berupa air. Berdasarkan penelitian dari Trianto et al. (2014), ekstraksi karoten wortel dilakukan menggunakan pelarut berupa air dengan pemanasan pada suhu tertentu. 14 Wortel selain mengandung -karoten yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan alami juga mengandung serat pangan. Serat pangan merupakan kompleks karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Serat diklasifikasikan berdasarkan pada kelarutannya, yaitu serat tidak larut dan serat larut. Serat tidak larut diantaranya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedangkan serat yang larut adalah gum, pektin dan getah. Kandungan serat pangan yang terdapat pada wortel berdasarkan berat kering adalah 7,41% pektin; 9,14% hemiselulosa; 80,94% selulosa dan 2,48% lignin (Sharma et al., 2012). Menurut Rusilanti dan Kusharto (2007), kadar serat pada wortel adalah 4 g dalam 100 g wortel. Menurut Muchtadi (2001), wortel mengandung serat total 46,95% (bk), serat tidak larut (IDF) 41,29% (bk) dan serat larut (SDF) 5,66% (bk). Serat pangan (serat larut) dapat berfungsi memperlambat pencernaan di dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama dan memperlambat laju peningkatan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan mengubahnya menjadi energi semakin sedikit (Arif et al., 2013). Serat pangan merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014). Serat berpengaruh terhadap daya cerna pati, semakin tinggi kadar serat maka semakin menurunkan daya cerna pati dari bahan pangan (Sumczynski et al., 2015). 15 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian serta Laboratorium Analisa Terpadu, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juli-Desember 2018 dan dilanjutkan pada bulan September-Oktober 2019. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian terdiri dari beras dari varietas Membramo, Ciherang, Basmati dan Taj Mahal; wortel dan air serta bahan kimia berupa sodium sitrat. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah glukosa murni, amilosa murni, maltosa murni, pati murni, Na2CO3 anhidrat, NaKtatrat, NaHCO3, Na2SO4 anhidrat, CuSO4.5H2O, H2SO4, ammonium molybdat, Na2HasO4.7H2O, etanol, HCl, heksana, NaOH, CH3COOH, KI, I2, NaH2PO4.2H2O, Na2HPO4.2H2O dan 3,5-dinitrosalicylic acid. 3.2.2 Alat Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pisau, telenan, blender, kain saring, ayakan, neraca analitik, panci presto (Maxim 4L), oven, loyang, plastik, sendok nasi, saringan, baskom, kertas minyak, kompor, mesin pembeku, lemari pendingin, spatula, pemanas, peralatan gelas, rak tabung reaksi, pipet ukur, pipet mikro, tip, pi pump, vorteks, spektrofotometer UV-Vis, magnetic stirrer, kertas saring, water bath dan kertas pH universal. 3.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan dengan 3 tahapan meliputi ekstraksi karoten wortel, pembuatan beras kuning instan dan tahapan analisis. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini diantaranya analisis 16 kadar total pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati secara in vitro dan profil hidrolisis pati secara enzimatis. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. Tahap I. Ekstraksi karoten wortel Tahap II. Pembuatan beras kuning instan Tahap III. Analisis kadar total pati, amilosa, amilopektin, daya cerna pati secara in vitro dan profil hidrolisis pati secara enzimatis Gambar 3.1 Alur penelitian beras kuning instan 3.4 Tahap Penelitian Tahapan pembuatan sampel diawali dengan pembuatan ekstrak karoten wortel lalu pembuatan beras kuning instan, selain itu juga dilakukan pembuatan beras kuning sebagai sampel pembanding. Penelitian dilakukan menggunakan dua varietas beras yang berbeda, yaitu beras Membramo dan Ciherang. Pada penelitian ini juga menggunakan sampel pembanding berupa beras tanpa perlakuan (beras putih) dari varietas Membramo, Ciherang, Basmati dan Taj Mahal. Perlakuan pembuatan beras kuning instan dan beras kuning adalah sebagai berikut: P1 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 0% (beras putih instan) P2 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 25% (beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel) P3 = autoclaving-freezing + ekstrak karoten wortel 50% (beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel) P4 = ekstrak karoten wortel 50% (beras kuning) 3.4.1 Ekstraksi Karoten Wortel Proses ekstraksi karoten wortel dimulai dengan pengupasan kulit wortel. Wortel yang telah dikupas dilakukan pengecilan ukuran dengan pisau lalu dicuci untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada wortel. Irisan wortel dilakukan ekstraksi dengan diblender dan ditambahkan air (air:wortel = 1:4). Wortel yang telah halus disaring untuk mendapatkan ekstrak wortel. Diagram alir proses ekstraksi karoten wortel dapat dilihat pada Gambar 3.2. 17 Wortel Pengupasan Kulit Pengecilan ukuran Air Air Pencucian Ekstraksi (air:wortel = 1:4) Penyaringan Ekstrak karoten wortel Gambar 3.2 Proses ekstraksi karoten wortel 3.4.2 Pembuatan Beras Kuning Instan Proses pembuatan beras kuning instan mengacu pada penelitian Luna et al. (2015) yang dimodifikasi. Beras sebanyak 200 g direndam pada larutan sodium sitrat 5% dengan perbandingan beras dan larutan sodium sitrat adalah 1:2 selama 2 jam. Beras selanjutnya dicuci untuk membersihkan kotoran-kotoran yang melekat pada beras serta sisa larutan sodium sitrat lalu ditiriskan. Beras ditiriskan lalu ditambahkan air yang mengandung ekstrak karoten wortel konsentrasi 0%, 25% dan 50% dengan perbandingan beras dan air adalah 1:1,5. Beras dimasak menggunakan presto selama 12 menit. Beras yang telah dimasak selanjutnya dibekukan pada suhu -20oC selama 24 jam. Beras yang telah beku di-thawing pada suhu 60oC selama 15 menit untuk memudahkan dalam pemisahan bulir-bulir beras. Bulir-bulir beras selanjutnya dikeringkan pada suhu 60oC selama 6 jam. Diagram alir proses pembuatan beras kuning instan dapat dilihat pada Gambar 3.3. 18 Beras 200 g Larutan sodium sitrat 5% Perendaman 2 jam (beras:larutan = 1:2) Pencucian 3 kali Air Penirisan Air yang mengandung ekstrak wortel 0%, 25% dan 50% Penambahan air (beras:air = 1:1,5) Pemasakan dengan presto 12 menit Pembekuan 24 jam (T = -20oC) Thawing 15 menit (T = 60oC) Pemisahan bulir beras Pengeringan 6 jam (T = 60oC) Beras kuning instan Gambar 3.3 Proses pembuatan beras kuning instan 3.4.3 Pembuatan Beras Kuning Pembuatan beras kuning dilakukan menggunakan beras sebanyak 200 g. Beras dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada beras. Beras ditiriskan dan selanjutnya direndam pada 50% ekstrak karoten wortel selama 4 jam di dalam lemari pendingin dengan suhu 4oC. Setiap 30 menit dilakukan pengadukan agar ekstrak karoten wortel terpenetrasi secara merata pada seluruh permukaan beras. Beras yang telah direndam ekstrak karoten wortel selanjutnya dilakukan pengeringan dengan pada suhu 60oC selama 6 jam. Diagram alir proses pembuatan beras kuning dapat dilihat pada Gambar 3.4. 19 Beras 200 g Air Pencucian 3 kali Penirisan Ekstrak karoten wortel 50% Perendaman 4 jam (T = 4oC) Pengeringan 6 jam (T = 60oC) Beras kuning Gambar 3.4 Proses pembuatan beras kuning 3.5 Parameter Pengamatan Parameter pengamatan pada penelitian ini meliputi analisis kadar total pati (Apriyantono et al., 1989 dengan modifikasi), amilosa (IRRI, 1978), amilopektin, daya cerna pati secara in vitro (Anderson et al., 2002) dan profil hidrolisis pati secara enzimatis (Anderson et al., 2002 dan Goni et al., 1997). 3.6 Prosedur Analisis 3.6.1 Analisis Kadar Total Pati (Apriyantono et al., 1989 dengan modifikasi) Sampel beras sebanyak 2 g ditambahkan 50 ml etanol 80% selanjutnya distirer selama 1 jam. Suspensi selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Residu yang terdapat pada kertas saring dicuci dengan 10 mL heksan, setelah itu dilakukan pendiaman hingga heksan menguap dari residu. Residu dicuci kembali dengan 150 ml etanol 80%. Residu dipindahkan secara kuantitatif lalu ditambahkan 200 ml aquades dan 20 ml HCl 25%, selanjutnya dihidrolisis selama 2,5 jam. Residu sampel yang telah dihidrolisis didinginkan lalu dinetralkan (pH=7) dengan ditambahkan NaOH 45%. Sampel yang telah dinetralkan selanjutnya dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan ditera hingga volume 500 ml lalu disaring hingga diperoleh filtrat. 20 Filtrat sampel yang diperoleh dilakukan analisis dengan metode NelsonSomogyi (Sudarmadji et al., 1997). Filtrat sampel diencerkan terlebih dahulu, selanjutnya dicuplik sebanyak 0,25 ml. Sampel ditambahkan 1 ml reagen nelson dan selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 20 menit. Sampel selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan 1 ml arsenomolybdat. Sampel ditambahkan aquades hingga total volume 10 ml lalu dilakukan pembacaan nilai absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Kadar glukosa sampel diperoleh dari pengolahan data nilai absorbansi dengan persamaan yang diperoleh dari kurva standar. Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan glukosa murni dari beberapa seri konsentrasi (0; 0,02; 0,04; 0,06; 0,08 dan 0,1 mg/ml). Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi glukosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Penentuan kadar pati dilakukan dengan mengalikan kadar glukosa hasil perhitungan dengan 0,9. 3.6.2 Analisis Kadar Amilosa (IRRI, 1978) Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis sampel sebagai berikut: a. Pembuatan Kurva Standar Amilosa Pembuatan kurva standar dimulai dengan preparasi larutan amilosa. Amilosa sebanyak 40 mg ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit (hingga terbentuk gel) lalu didinginkan. Gel amilosa dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml lalu ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan amilosa digunakan sebagai larutan stok. Larutan amilosa dilakukan pengambilan sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml, masing-masing dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan CH3COOH 1 N secara berturut-turut sebanyak 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml. Masingmasing ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditera hingga volume 100 ml dengan aquades, lalu dilakukan pendiaman selama 20 menit dan dilakukan pembacaan nilai absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva 21 standar dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi amilosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). b. Analisis Sampel Sampel beras sebanyak 100 mg ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N lalu dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit (hingga terbentuk gel) lalu didinginkan. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml lalu ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan sampel dicuplik sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditera hingga volume 100 ml dengan aquades. Sampel selanjutnya didiamkan selama 20 menit dan dilakukan pembacaan nilai absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa diperoleh dari pengolahan data nilai absorbansi dengan persamaan yang diperoleh dari kurva standar. 3.6.3 Analisis Kadar Amilopektin Kandungan amilopektin sampel beras diperoleh dari hasil selisih dari kadar total pati dengan kadar amilosa sampel (by difference). 3.6.4 Analisis Daya Cerna Pati (in Vitro) (Anderson et al., 2002) Sampel beras sebanyak 1 g ditambahkan 100 ml aquadest. Suspensi sampel dipanaskan pada suhu 90oC sambil distirer selama 30 menit, lalu didinginkan. Sampel dicuplik sebanyak 2 ml, lalu ditambahkan 3 ml aquadest dan 5 ml larutan buffer phosphat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya digunakan sebagai blanko. Sampel dan blanko diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Sampel ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam larutan buffer phosphat pH 7), sedangkan blanko ditambahkan 5 ml buffer phosphat pH 7 dan selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37oC selama 30 menit. Sampel dan blanko masing-masing dicuplik sebanyak 1 ml dan ditambahkan 2 ml larutan DNS, selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit lalu didinginkan dengan air mengalir. Sampel dan blanko yang telah dingin ditambahkan 10 mL aquades, lalu dilakukan pembacaan nilai absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa diperoleh dari pengolahan nilai 22 absorbansi dengan kurva standar. Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan maltosa murni. Larutan stok maltosa yang digunakan memiliki konsentrasi 1 mg/ml. Larutan stok dilakukan pengenceran hingga konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mg/ml. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi maltosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Daya cerna pati (%) dihitung dengan persentase relatif terhadap pati murni menggunakan rumus sebagai berikut : Daya cerna pati (%) = (A-a) (B-b) × 100% Keterangan: A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni b = kadar maltosa blanko pati murni 3.6.5 Profil Hidrolisis Pati (Enzimatis) (Anderson et al., 2002 dan Goni et al., 1997) Untuk mengetahui profil hidrolisis pati secara enzimatis dilakukan perhitungan persentase pati yang terhidrolisis pada waktu hidrolisis yang berbedabeda mulai dari 30, 60, 90, 120, 150 hingga 180 menit. Persentase pati yang terhidrolisis secara enzimatis pada beberapa waktu hidrolisis dilakukan analisis secara spektroskopi menggunakan prosedur yang sama dengan analisis daya cerna pati secara in vitro. Persentase pati terhidrolisis dihitung dengan rumus: % pati terhidrolisis = Konsentrasi maltosa sampel – blanko (g/ 100 g) × 100% Kadar total pati (g/ 100 g) 3.7 Analisis Data Data hasil analisis kadar total pati, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati secara in vitro yang diperoleh disajikan dalam bentuk diagram batang. Analisis data dilakukan dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan nilai signifikansi (α) adalah 0,05. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 24. Data 23 profil hidrolisis pati secara enzimatis ditampilkan dalam bentuk grafik dengan analisis data dilakukan secara deskriptif. 24 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Total Pati Pati merupakan karbohidrat yang menjadi komponen utama penyusun beras. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin (Karmakar et al., 2014). Struktur dan sifat dari pati pada bahan pangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat penanaman, diantaranya lokasi geografis, iklim, waktu tanam, keadaan tanah, persediaan air serta praktik pertanian (Patindol et al., 2015). Hasil analisis kadar total pati pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan pada Gambar 4.1. 100 Kadar Total Pati (%, bk) 90 80 81,23f 79,12e 78,53de 77,51bc P1 P2 78,08cd 75,98a 79,03e 77,14b 83,56h 80,78f 82,52g 81,14f 70 60 50 40 30 20 10 0 Membramo P3 P4 BP B Perlakuan Ciherang Basmati Taj Mahal TM Gambar 4.1 Kadar total pati beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal) Kadar total pati pada beras dengan perlakuan dan tanpa perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel yang terbuat dari beras Membramo berada pada kisaran 75,98-80,78% (bk), sedangkan dari beras Ciherang berada pada kisaran 78,08-83,56% (bk). Menurut Asghar et al. (2015), beras mengandung pati sekitar 85-90%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan 25 bahwa beras kuning instan mililiki kadar total pati yang berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, beras kuning dan beras putih. Kadar total pati pada beras kuning instan dengan 25% dan 50% ekstrak karoten wortel yang terbuat dari beras Membramo berturut-turut adalah 77,51% (bk) dan 75,98% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 79,12% (bk) dan 78,08% (bk). Kadar total pati pada beras putih instan yang terbuat dari beras Membramo adalah 78,53% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 81,23% (bk). Beras kuning instan memiliki kadar total pati yang lebih rendah dibandingkan beras putih instan. Beras kuning instan juga memiliki kadar total pati yang lebih rendah dibandingkan beras kuning (77,14% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 79,03% (bk) dari beras Ciherang). Hal ini diduga perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel dan autoclaving-freezing dapat mengakibatkan penurunan kadar total pati. Penurunan kadar total pati pada perlakuan penambahan ekstrak wortel dikarenakan oleh komponen dari ekstrak karoten wortel, diantaranya pati dan serat wortel menempel pada bagian beras sehingga mempengaruhi pengukuran kadar total pati. Kadar pati pada wortel lebih rendah dibandingkan pati pada beras, sehingga mengakibatkan penurunan kadar total pati dari beras. Penurunan kadar pati dikarenakan terjadi degradasi pati akibat putusnya ikatan glikosidik fraksi pati baik pada ikatan linier α-1,4 amilosa dan ikatan percabangan α-1,6 amilopektin oleh pemanasan autoklaf (Vatanasuchart et al., 2012). Beras yang telah diberi perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel (75,98-78,53% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 78,08-81,23% (bk) dari beras Ciherang) memiliki kadar total pati yang lebih rendah dibandingkan beras putih (80,78% (bk) pada beras Membramo dan 83,56% (bk) pada beras Ciherang). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan penurunan kadar total pati pada beras. Menurut Wariyah et al. (2007), kadar pati Membramo adalah 86,13% (bk) dan Ciherang 88,00% (bk). Kadar total pati dari beras putih lebih rendah dibandingkan dari literatur, hal ini dapat dikarenakan oleh adanya perbedaan jenis tanaman serta lokasi penanaman beras. 26 Kadar pati beras Ciherang dengan perlakuan dan tanpa perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel menunjukkan kadar total pati yang lebih tinggi dibandingkan pada beras Membramo. Hasil analisis sidik ragam kadar total pati juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara beras varietas Membramo dan Ciherang. Kandungan pati beras berbeda-beda dikarenakan oleh perbedaan varietas beras. Kadar total pati beras kuning instan, beras putih instan dan beras kuning dari beras Membramo serta Ciherang lebih rendah dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal, namun kadar total pati pada beras putih Membramo dan Ciherang menunjukkan lebih tinggi dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Beras Basmati memiliki kadar pati 82,52% (bk) dan beras Taj Mahal memiliki kadar pati 81,14% (bk). Kadar pati beras Basmati adalah 85,30% (bk), sedangkan beras Taj Mahal adalah 83,75% (bk) (Widowati, 2007). 4.2 Kadar Amilosa Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air. Amilosa menjadi salah satu parameter penting dalam menentukan sifat pati dalam beras dan sangat berpengaruh pada mutu tanak nasi. Kadar amilosa dari beras berbeda-beda dikarenakan adanya perbedaan varietas, lokasi penanaman, kadar N dalam tanah, waktu panen, penyimpanan dan pengaruh perubahan pascapanen selama penyimpanan (Pangerang dan Rusyanti, 2018). Hasil analisis amilosa beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan pada Gambar 4.2. Kadar amilosa pada beras dengan perlakuan dan tanpa perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel yang terbuat dari beras Membramo berada pada kisaran 16,78-21,79% (bk), sedangkan dari beras Ciherang berada pada kisaran 20,16-25,82%. Kadar amilosa pada beras adalah sekitar 12-37% (Setyawardhani, 2008). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa beras kuning instan dengan 25% dan 50% ekstrak karoten wortel mililiki 27 kadar amilosa yang tidak berbeda secara signifikan (α>0,05), namun berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, beras kuning dan beras putih. 35 Kadar Amilosa (%, bk) 30 27,68h 25,82g 25 21,79d 22,94e 18,30b 20 22,48e 17,75b 29,91i 24,78f 20,16c 20,21c 16,78a 15 10 5 0 P1 P2 Membramo P3 P4 BP B Perlakuan Ciherang Basmati Taj Mahal TM Gambar 4.2 Kadar amilosa beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal) Kadar amilosa beras kuning instan dengan penambahan ekstrak karoten wortel 25% dan 50% yang terbuat dari beras membramo secara berturut-turut adalah 18,30% (bk) dan 17,75% (bk), sedangkan dari beras ciherang adalah 22,94% (bk) dan 22,48% (bk). Beras putih instan yang terbuat dari beras membramo memiliki kadar amilosa 21,79% (bk) dan 25,82% (bk) dari beras ciherang. Kadar amilosa beras kuning instan lebih rendah dibandingkan pada beras putih instan. Penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan komponen dari wortel menempel pada beras dan menurunkan kadar total pati dari beras. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin, sehingga apabila kadar total pati menurun akan berakibat pada penurunan kadar amilosa beras. Beras kuning instan memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi (17,7518,30% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 22,48-22,94% (bk) dari beras Ciherang) dibandingkan beras kuning (16,78% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 20,16% (bk) dari beras Ciherang). Kadar amilosa yang lebih tinggi 28 pada beras instan kuning diduga karena adanya proses autoclaving-freezing pada beras instan yang mengakibatkan peningkatan kadar amilosa pada beras. Peningkatan kandungan amilosa ini terjadi karena degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat pada peningkatan kadar amilosa (Shin et al., 2004). Pemanasan dengan autoklaf menyebabkan putusnya sebagian kecil ikatan glikosidik pada percabangan α-1,6 sehingga terjadi perubahan amilopektin dari struktur cabang menjadi linier (Zaragoza et al., 2010). Linierisasi amilopektin menjadi amilosa rantai pendek selama pemanasan autoklaf tersebut menyebabkan peningkatan kadar amilosa (Moongngarm, 2013). Beras kuning instan dan beras kuning memiliki kadar amilosa yang lebih rendah (16,78-18,30% (bk) yang terbuat dari beras membramo dan 20,1622,94% (bk)) dibandingkan beras putih (20,21% (bk) pada beras membramo dan 24,78% (bk) pada beras ciherang), sedangkan beras putih instan memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi (21,79% (bk) yang terbuat dari beras membramo dan 25,82% (bk) dari beras ciherang) dibandingkan beras putih. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan perubahan kadar amilosa dari beras. Menurut Wariyah et al. (2014), kadar amilosa dari beras membramo dan ciherang berturut-turut adalah 18,30% (bk) dan 25,96% (bk), sedangkan menurut Suprihatno et al. (2009), beras membramo mengandung amilosa 19% dan beras ciherang mengandung amilosa sebanyak 23%. Berdasarkan klasifikasi kadar amilosa dari Lawal et al. (2011), beras membramo termasuk beras dengan amilosa rendah (12-20%), sedangkan beras ciherang adalah beras dengan amilosa sedang (20-25%). Kadar amilosa beras Ciherang dengan perlakuan dan tanpa perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel menunjukkan kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan pada beras Membramo. Hasil analisis sidik ragam kadar amilosa juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara beras varietas Membramo dan Ciherang. Kadar amilosa beras Membramo dan Ciherang dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan lebih rendah (16,78-25,82% (bk)) dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Beras Basmati memiliki kadar 29 amilosa 27,68% (bk), sedangkan beras Taj Mahal 29,91% (bk). Kadar amilosa beras Basmati adalah 26,51% (bk) (Suhartini dan Wardana, 2011). Beras Taj Mahal memiliki kadar amilosa 27,58% (bk) (Widowati, 2007). 4.3 Kadar Amilopektin Amilopektin merupakan polimer dari glukosa yang memiliki ikatan antara unit glukosa melalui ikatan 1,4 α pada rantai lurus dan 1,6 α pada cabangnya. Amilopektin berbentuk amorf (porous) (Luna et al., 2015). Hasil analisis kadar amilopektin beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan pada Gambar 4.3. Kadar amilopektin dari beras Membramo dengan perlakuan dan tanpa perlakuan autoclaving-freezing serta penambahan ekstrak karoten wortel berada pada kisaran 56,74-60,57% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 55,4158,78% (bk). Hasil analisis sidik ragam pada kadar amilopektin beras, menunjukkan bahwa beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, sedangkan pada beras Ciherang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (α>0,05). Beras kuning instan dengan 25% dan 50% ekstrak karoten wortel yang terbuat dari beras Membramo memiliki kadar amilopektin berturut-turut adalah 59,21% (bk) dan 58,23% (bk), sedangkan dari beras Ciherang adalah 56,17% (bk) dan 55,60% (bk). Kadar amilopektin beras putih instan yang terbuat dari beras Membramo adalah 56,74% (bk) dan dari beras Ciherang adalah 55,41% (bk). Kadar amilopektin beras kuning instan lebih tinggi dibandingkan beras putih instan. Kadar amilopektin dipengaruhi oleh kadar pati dan amilosa beras, semakin tinggi kadar amilosa semakin rendah kadar amilopektinnya. Supriyadi (2015) menyatakan bahwa, kadar amilosa dan amilopektin berbanding terbalik, semakin tinggi kandungan amilosa suatu bahan maka semakin rendah kandungan amilopektin bahan tersebut. Penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan penurunan kadar total pati dan amilosa, sehingga juga berakibat terhadap perubahan kadar amilopektin. 30 70 Kadar Amilopektin (%, bk) e 60 e 59,21 58,23 56,74d 56,17cd 55,60bc 55,41bc 60,57f 60,36f 58,87f 58,78f 54,84b 51,23a 50 40 30 20 10 0 P1 P2 Membramo P3 P4 BP B Perlakuan Ciherang Basmati Taj Mahal TM Gambar 4.3 Kadar amilopektin beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal) Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan secara signifikan (α<0,05) pada kadar amilopektin beras kuning instan dan beras kuning. Beras kuning instan memiliki kadar amilopektin yang lebih rendah (58,23-59,21% (bk) pada beras Membramo dan 55,60-56,17% (bk) pada beras Ciherang) dibandingkan beras kuning (60,36% (bk) pada beras Membramo dan 58,87% (bk) pada beras Ciherang). Penurunan kadar amilopektin diduga terjadi karena pada proses autoclaving, menurut Zaragoza et al. (2010), pemanasan dengan autoklaf menyebabkan putusnya sebagian kecil ikatan glikosidik pada percabangan α-1,6 sehingga terjadi perubahan amilopektin dari struktur cabang menjadi linier atau berubah menjadi struktur amilosa). Beras kuning instan dan beras putih instan memiliki kadar amilopektin yang lebih rendah (56,74-59,21% (bk) pada beras Membramo dan 55,41-56,17% (bk) pada beras Ciherang) dibandingkan beras putih (60,57% (bk) pada beras Membramo dan 58,78% (bk) pada beras Ciherang), sedangkan kadar amilopektin pada beras kuning tidak berbeda secara signifikan dengan beras putih. Kadar amilopektin beras Membramo dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan 31 autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel lebih tinggi dibandingkan pada beras Ciherang. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa, kadar amilopektin beras pada varietas Membramo dan Ciherang berbeda secara signifikan (α<0,05). Beras Membramo dan Ciherang baik yang diberi perlakuan maupun tidak, memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi (55,41-60,57% (bk)) dibandingkan beras Basmati (54,84% (bk)) dan beras Taj Mahal adalah (51,23% (bk)). 4.4 Daya Cerna Pati (in Vitro) Daya cerna pati secara in vitro memberi gambaran tidak langsung kemudahan pati untuk dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan manusia (Santoso et al., 2013 dan Surfiana et al., 2014). Daya cerna pati dipengaruhi oleh karakteristik dari pati, yaitu rasio amilosa dan amilopektin, tingkat gelatinisasi, tingkat retrogradasi, pembentukan amilosa kompleks serta adanya komponen lain dalam bahan pangan (Alay dan Meireles, 2015). Hasil analisis daya cerna pati secara in vitro pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan pada Gambar 4.4. Hasil analisis daya cerna pati secara in vitro beras Membramo baik dengan perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel maupun tidak berkisar pada 59,09-80,28% (bk), sedangkan pada beras Ciherang adalah 51,20-71,68% (bk). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa daya cerna pati pada beras kuning instan berbeda secara signifikan (α<0,05) dengan beras putih instan, beras kuning dan beras putih. 32 90 Daya Cerna Pati (%, bk) 80 70 80,28j 75,72i 68,47g 66,58f 60,21d 59,09c b 53,01 51,20a 60 71,68h 65,33e 58,67c 60,37d 50 40 30 20 10 0 P1 P2 Membramo P3 P4 BP B Perlakuan Ciherang Basmati Taj Mahal TM Gambar 4.4 Daya cerna pati secara in vitro beras (P1 = beras putih instan, P2 = beras kuning instan dengan 25% ekstrak karoten wortel, P3 = beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal) Daya cerna pati pada beras kuning instan dengan penambahan ekstrak karoten wortel 25% dan 50% berturut-turut adalah 60,21% (bk) dan 59,09% (bk) pada beras Membramo; 53,01% (bk) dan 51,20% (bk) pada beras Ciherang, sedangkan beras putih instan memiliki daya cerna pati 75,72% (bk) pada beras Membramo dan 68,47% (bk) pada beras Ciherang. Beras kuning instan memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan beras putih instan. Hal ini diduga perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel dan proses autoclaving-freezing mengakibatkan penurunan daya cerna pati pada beras. Penurunan daya cerna pati pada beras dengan perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel terjadi karena beras memperoleh tambahan kandungan serat dari wortel yang dapat mempengaruhi daya cerna pati. Serat pangan merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna sehingga berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati (Faridah et al., 2014). Kadar serat dari wortel adalah 2,8% (USDA, 2018b), sedangkan menurut Rusilanti dan Kusharto (2007), kadar serat pada wortel adalah 4 g dalam 100 g wortel. Menurut Muchtadi (2001), serat total 46,95% (bk), serat tidak larut (IDF) 41,29% (bk) dan serat larut (SDF) 5,66% (bk). Menurut 33 Sumczynski et al., (2015), semakin tinggi kadar serat maka semakin menurunkan daya cerna pati dari bahan pangan. Beras kuning instan juga memiliki daya cerna pati yang lebih rendah (59,0960,21% (bk) pada beras Membramo dan 51,20-53,01% (bk)) dibandingkan beras kuning (66,58% (bk) pada beras Membramo dan 58,67% (bk) pada beras Ciherang). Proses autoclaving-freezing mengakibatkan terjadinya penurunan daya cerna pati. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis daya cerna pati beras instan yang menunjukkan lebih rendah dibandingkan beras putih. Pengolahan beras dengan metode autoclaving-freezing dapat memungkinkan amilosa dan amilopektin membentuk struktur kristal yang dapat mengurangi tingkat daya cerna (Ordonio dan Matsuoka, 2016). Beras yang telah diberi perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel (75,98-78,53% (bk) yang terbuat dari beras Membramo dan 78,08-81,23% (bk) dari beras Ciherang) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan beras putih (80,28% (bk) pada beras Membramo dan 71,68% (bk) pada beras Ciherang). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan penurunan daya cerna pati. Menurut Widowati (2007), daya cerna pati beras Membramo adalah 71,18%, sedangkan beras Ciherang adalah 66,78%. Daya cerna pati beras Ciherang baik dengan perlakuan autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel maupun tidak lebih rendah dibandingkan beras Membramo. Hasil analisis sidik ragam daya cerna pati pada beras juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0,05) antara beras varietas Membramo dan Ciherang. Hal ini dipengaruhi oleh kadar amilosa pada beras, hasil analisis kadar amilosa menunjukkan kadar amilosa beras Ciherang dengan perlakuan maupun tidak lebih tinggi (20,16-24,78% bk) dibandingkan beras Membramo (16,78-21,79% bk). Pati yang mengandung amilosa lebih tinggi, mempunyai struktur yang lebih kristalin karena adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, selain itu amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit dicerna (Septianingrum et al., 2016). Semakin tinggi 34 kadar amilosa pada bahan pangan, maka daya cerna pati semakin menurun (Syahariza et al., 2013). Beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan Ciherang (51,20-60,21% (bk)) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan beras Basmati (65,33% (bk)) dan beras Taj Mahal (60,37% (bk)). Beras kuning yang terbuat dari beras Ciherang juga memiliki daya cerna pati yang lebih rendah (58,67% (bk)) dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal, namun pada beras kuning yang terbuat dari beras Membramo (66,58% (bk)) menunjukkan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Jika dilihat dari segi daya cerna pati yang rendah beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo dan Ciherang serta beras kuning yang terbuat dari beras Ciherang dapat menjadi alternatif pengganti beras Basmati dan Taj Mahal yang memiliki daya cerna rendah yang biasanya dikonsumsi oleh para penderita diabetes. 4.5 Profil Hidrolisis Pati (Enzimatis) Hidrolisis pati secara in vitro dapat dilakukan untuk memperkirakan respon glikemik secara in vitro terhadap pangan, semakin banyak jumlah pati yang terhidrolisis maka menunjukkan semakin cepat daya cerna pati (Simonato et al., 2014). ................ Persentase hidrolisis pati tinggi dikarenakan degradasi cepat terjadi pada daerah amorf dari granula pati, sedangkan persentase hidrolisis yang lebih rendah dikarenakan adanya resistensi yang tinggi terhadap hidrolisis daerah kristalin dari granula (Adejumo et al., 2013). Pada analisis profil hidrolisis pati secara enzimatis, sampel beras kuning instan yang digunakan hanya beras kuning instan dengan penambahan ekstrak karoten wortel 50%. Hal ini dikarenakan, sampel beras kuning instan dipilih yang memiliki nilai daya cerna pati paling rendah. Hasil hidrolisis pati secara enzimatis pada beras kuning instan, beras putih instan, beras kuning dan beras putih disajikan pada Gambar 4.5. Persentase pati yang terhidrolisis pada beras Membramo dengan perlakuan autoclaving-freezing maupun tidak, dengan waktu hidrolisis selama 30 menit 35 berada pada kisaran 45,72-60,41% dan 42,04-54,27% pada beras Ciherang. Persentase pati terhidrolisis mengalami kenaikan sebesar 2,23%-6,84% pada saat hidrolisis dengan waktu 60 menit; kenaikan 5,04-8,08% pada menit ke-90 dan kenaikan sebesar 0,98-5,60% pada menit ke-120, setelah menit ke-120 hidrolisis pati berjalan cukup konstan. Pada menit ke-180, total pati yang terhidrolisis berada pada kisaran 63,91-71,82% pada beras Membramo dan 59,29-66,80% pada beras Ciherang. Persentase pati yang terhidrolisis pada beras kuning instan adalah yang paling rendah dibandingkan beras dari semua perlakuan. Hal ini dikarenakan proses pengolahan beras dengan metode autoclaving-freezing diduga terjadi retrogradasi pati pada saat freezing yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi molekul amilosa dan amilopektin terhadap hidrolisis enzimatis (Millati et al., 2019). Perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel mengakibatkan beras memperoleh tambahan kandungan serat dari wortel yang dapat berkontribusi dalam menurunkan daya cerna pati. Serat pangan diketahui dapat menurunkan respon glikemik. Serat pangan dapat membentuk matriks diluar granula pati sehingga dapat menghambat pencernaan karbohidrat (Noviasari et al., 2015). Pati yang terhidrolisis pada beras Ciherang baik dengan perlakuan autoclaving-frezzing maupun tidak lebih rendah dibandingkan beras Membramo, hal ini dikarenakan beras Ciherang mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan beras Membramo. Semakin tinggi kadar amilosa pada bahan pangan, maka daya cerna pati semakin menurun (Syahariza et al., 2013). Oleh karena itu, pati yang terhidrolisis juga semakin rendah. Persentase pati terhidrolisis dari beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo pada hidrolisis menit ke-30 (45,72%) lebih rendah dibandingkan pada beras Basmati (46,88%), namun setelah hidrolisis dengan waktu yang lebih lama (60-180 menit) menunjukkan persentase pati terhidrolisis yang lebih tinggi dibandingkan beras Basmati (Gambar 4.5). Jika dibandingkan dengan beras taj pada hidrolisis menit ke-30 (44,05%), persentase pati terhidrolisis pada beras kuning instan lebih tinggi begitu pula pada hidrolisis menit ke-60 hingga 180. Persentase 36 pati terhidrolisis dari beras kuning instan yang terbuat dari beras Ciherang pada waktu hidrolisis menit ke-30 (42,04%) lebih rendah dari beras Basmati dan beras Taj Mahal, setelah hidrolisis selama 60-180 menit persentase pati yang terhidrolisisnya menunjukkan lebih rendah dari beras Basmati namun lebih tinggi dibandingkan beras Taj Mahal (Gambar 4.5). % Pati Terhidrolisis 75 60 45 30 15 0 0 30 60 90 120 Waktu Hidrolisis (menit) P1 P3 P4 BP Basmati 150 180 Taj Mahal (a) % Pati Terhidrolisis 75 60 45 30 15 0 0 30 60 90 120 Waktu Hidrolisis (menit) P1 P3 P4 BP Basmati 150 180 Taj Mahal (b) Gambar 4.5 Profil hidrolisis pati secara enzimatis beras (a) Membramo, (b) Ciherang (P1 = beras putih instan, P3 = beras kuning instan dengan 50% ekstrak karoten wortel, P4 = beras kuning, BP = beras putih, B = beras Basmati, TM = beras Taj Mahal) 37 BAB 5. PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Perlakuan penambahan ekstrak karoten wortel pada beras kuning instan mengakibatkan penurunan kadar total, amilosa, amilopektin dan daya cerna pati. Proses autoclaving-freezing pada pembuatan beras kuning instan dapat menurunkan kadar pati, amilopektin dan daya cerna pati, namun meningkatkan kadar amilosa. Persentase pati yang terhidrolisis pada beras kuning instan adalah yang paling rendah dibandingkan beras dari semua perlakuan. Beras kuning instan yang terbuat dari beras Ciherang memiliki kadar total pati dan amilosa yang lebih tinggi dari beras kuning instan yang terbuat dari beras Membramo, namun kadar amilopektin dan daya cerna pati yang dimiliki lebih rendah. Beras kuning instan memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan beras Basmati dan Taj Mahal. Daya cerna yang rendah juga dimiliki oleh beras kuning yang terbuat dari beras Ciherang. Pada penelitian ini diharapkan menghasilkan beras yang memiliki daya cerna rendah. Oleh karena itu, beras tersebut dapat menjadi produk alternatif sebagai pengganti beras Basmati dan Taj Mahal yang biasanya dikonsumsi oleh penderita diabetes. 5.2 SARAN Daya cerna pati dapat dipengaruhi oleh adanya serat pangan dan pati resisten, sehingga penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis kadar serat pangan dan pati resisten untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh proses autoclaving-freezing dan penambahan ekstrak karoten wortel terhadap kadar serat pangan dan pati resisten pada beras kuning instan yang dihasilkan.