1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi geografis Indonesia sebagai kontinen maritim memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi dinamika atmosfer dalam berbagai skala. Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) dengan dominasi lautan hampir dua pertiga wilayahnya. Hal ini menyebabkan kawasan ini diduga sebagai penyimpan panas terbesar baik yang sensibel ataupun latent bagi pembentukkan awan-awan kumulus, seperti Cumulonimbus (Hermawan 2002). Dinamika awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang dikenal dengan istilah Super Cloud Cluster (SCCs) inilah yang membangkitkan fenomena atmosferik. Salah satu kajian dinamika atmosfer yang cukup penting di kawasan tropis adalah kajian mengenai fenomena gelombang atmosferik, khususnya gelombang atmosfer ekuatorial berskala-planeter. Salah satu dinamika gelombang ekuatorial yang cukup penting adalah gelombang Kelvin. Berdasarkan hasil kajian Wallace dan Kousky pada tahun 1968 menunjukkan bahwa gelombang Kelvin bergerak dominan ke arah timur dengan periode bervariasi antara 15-20 harian di lapisan stratosfer bawah. Gelombang Kelvin yang pertama kali ditemukan memiliki panjang gelombang zonal 20.000 km dan panjang gelombang vertikalnya 6-10 km (Holton 2004). Gelombang Kelvin berpropagasi di Tropical Tropopause Layer (TTL) dan sangat mempengaruhi modulasi suhu (Immler et al. 2008). Gelombang Kelvin diduga sebagai pemicu fenomena Intraseasonal Variability khususnya Madden Julian Oscillation (MJO). Analisis data OLR dan suhu menunjukkan bahwa jika aktifitas gelombang Kelvin dan MJO muncul secara bersamaan, maka gelombang ekuatorial bersifat ‘convectively coupled’. Selain itu puncak-spektrum sebagai fungsi bilangan gelombang dan frekuensi akan menjadi lebih kompleks (Wheeler & Kiladis 1999). Berbagai penelitian telah menjelaskan studi tentang propagasi dan struktur vertikal gelombang Kelvin. Namun data yang digunakan cenderung hanya menggunakan data OLR, GPS RO, NCEP/NCAR reanalysis dan radiosonde. Penggunaan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) diharapkan dapat lebih menjelaskan propagasi dan struktur vertikal gelombang Kelvin lebih baik terutama untuk gelombang Kelvin di atmosfer. Hal ini karena EAR memiliki kemampuan mendeteksi gerakan udara dalam ketiga komponen ruang : utara-selatan (u-s), barattimur (b-t), dan vertikal dengan resolusi waktu dan ketinggian yang tinggi. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian kali ini adalah : a. Menganalisis penjalaran gelombang Kelvin di atas Kototabang menggunakan data EAR b. Mengetahui lapisan terjadinya gelombang Kelvin di atas Kototabang serta mengetahui osilasi dominan gelombang Kelvin di Kototabang c. Mengetahui karakteristik gelombang Kelvin saat musim basah dan musim kering. d. Mengetahui keterkaitan antara gelombang Kelvin di atas Kototabang dengan Tropical Tropopause Layer (TTL). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Atmosfer Gelombang atmosfer merupakan osilasi variabel medan atmosferik yang merambat dalam ruang seperti: suhu, tekanan, dan kecepatan angin. Gelombang atmosfer memiliki skala gerak yang luas, yaitu mulai dari skala-mikro dengan panjang gelombang beberapa kilometer hingga skala planeter dengan panjang gelombang lebih dari 10.000 km. Dalam aspek meteorologis, gerak gelombang atmosfer dikelompokkan menjadi beberapa jenis gelombang. Beberapa tipe gelombang tersebut sangat menarik dan sering dikaji dalam bidang meteorologi dinamik. Gelombang atmosfer dapat dibagi dalam tiga bagian (Widyastuti 1995) yaitu : a. Gelombang longitudinal yaitu partikel udara berosilasi secara periodik searah dengan penjalaran gelombang. b. Gelombang transversal – vertikal yaitu partikel udara berosilasi dalam bidang vertical sementara gelombang menjalar dalam arah horizontal. c. Gelombang transversal – horizontal yaitu partikel udara melakukan osilasi dalam bidang horizontal tegak lurus terhadap arah penjalaran gelombang. 2 Gelombang atmosfer sangat penting dalam berbagai proses atmosferik, baik proses-proses kimia maupun proses-proses fisis-dinamik dimana gelombang atmosfer mempunyai peranan utama dalam prosesproses coupling di atmosfer. Sumber pembangkit atau pemicu gelombang atmosferik terdapat di troposfer yang berupa konveksi tropis yang terorganisir dalam pembentukan awan-awan Cumulonimbus (Cb), sistem cuaca, penyesuaian geostropik, dan kenaikan orografik akibat bentuk topografik permukan. Dengan mentransfer momentum secara vertikal ke atas, dinamika gelombang dapat mempengaruhi karakter pola sirkulasi utama pada lapisan atmosfer di atasnya (Ern et al. 2008). Sebagai contoh, Gambar 1 memperlihatkan diagram dari efek perambatan gelombang Gravitas dan efek pecah gelombang tersebut terhadap karakter atmosfer di atasnya. atmosfer ekuatorial. Gelombang Kelvin atmosfer merupakan gelombang yang merambat ke arah timur dan mempunyai pertubasi angin zonal dan geopotensial yang bervariasi dalam arah meridional mengikuti fungsi Gaussian yang terpusat di ekuator (Gambar 2). Gelombang Kelvin merupakan gelombang yang non-dispersif, sehingga gelombang tidak mengalami perubahan bentuk selama perambatannya. Gelombang Kelvin yang pertama kali ditemukan oleh Wallace dan Kousky pada tahun 1968 di Pasifik Barat memiliki periode 15 – 20 hari dan panjang gelombang zonal 20.000 km, serta panjang gelombang vertikalnya 6-10 km. Gelombang Kelvin berpropagasi ke timur (secara zonal) dan ke bawah (secara vertikal). Selain itu tidak ada perambatan dalam komponen angin meridional. Selain itupun, gelombang Kelvin hanya terjadi ketika aliran-dasarnya adalah timuran. Dhaka (2007) juga menemukan Gelombang Kelvin dengan periode 7-16 harian di wilayah India (pada 8,5ºLU dan 77ºBT, 8,3ºLU dan 73ºBT, 11,7ºLU dan 92,7ºBT) pada ketinggian 12-16 km (troposfer atas). Gambar 2 Distribusi horizontal pertubasi geopotensial gelombang Kelvin atmosfer. (Matsuno 1966, diacu dalam Holton 2004) Gambar 1 Pengaruh propagasi dan pecahnya gelombang (wave breaking) dari gelombang Gravitas (Ern et al. 2008). 2.2 Gelombang Kelvin Atmosferik Ekuatorial. Ada dua tipe Gelombang Kelvin yaitu coastal kelvin waves yang terjadi di lautan dan equatorial kelvin waves yang terjadi di 2.3 Tropopause Layer Tropopause adalah lapisan pembatas antara troposfer dan stratosfer. Secara umum, tropopause adalah daerah dari atmosfer dimana lapse rate berubah dari negatif (di troposfer) ke positif (di stratosfer). Hal ini terjadi pada equilibrium level (EL), nilai yang penting dalam dinamika atmosfer. WMO mendefinisikan tropopause secara terperinci sebagai : level terendah dimana lapse rate menurun hingga to 2 °C/km atau lebih kecil, dengan ketentuan bahwa lapse rate rata-rata antara level ini dan semua level yang lebih 3 tinggi dalam 2 km tidak melebihi 20C/km (WMO 1957, diacu dalam Seidel et al. 2001). TTL CSRT Gambar 3 Ketinggian tropopause terhadap lintang (Geerts & Linacre 1997) Ketinggian tropopause tergantung pada lokasi, khususnya letak lintang, seperti terlihat pada Gambar 3. Variasi ketinggian tropopause juga tergantung pada musim. Ketinggian tropopause dapat mencapai sekitar 16 km di atas Australia pada akhir tahun, dan antara 1216 km pada tengah tahun, dan akan menjadi lebih rendah pada lintang yang lebih tinggi. Di lintang 60°, tropopause di bawah 9-10 km di atas permukaan laut; ketinggian terendah bisa mencapai 8 km, di atas Antartika, Siberia, dan Kanada bagian utara saat musim dingin. Tropopause rata-rata tertinggi di atas lautan yang hangat di ekuator pasifik sebelah barat, besarnya sekitar 17.5 km. di Asia Tenggara, selama monsun musim panas, tropopause adakalanya mencapai 18 km (Geerts & Linacre 1997) Tabel 1 LRT CPT TTT STT Level aliran konvektif minimum. Biasanya di ketinggian 11-12km. Tropical tropopause layer: daerah di antara STT dan TTT. Clear-sky radiative tropopause: level dimana pemansan langit cerah nol. Di atas CSRT terjadi kenaikan rata-rata (di luar awan konveksi) di bawah CSRT terjadi penurnan ratarata. Biasanya terdapat di ketinggian 14-16km. Gambar 4 Tropical Tropopause Layer (TTL) secara skematis (Gettelman & Forster 2002, diacu dalam Burrows et al. 2004). Akronim Tropopause (Haynes & Shepherd 2001) Lapse-rate tropopause: definisi meteorologi secara konvensional dari tropopause, baik di daerah tropis mapun ekstratropis, berdasarkan pada lapisan dengan ketinggian tidak kurang dari 2 km yang suhunya menurun terhadap ketinggian kurang dari 2 K/km Cold-point tropopause:Level suhu minimum. CPT bermanfaat, dan juga signifikan di tropis. Tropical thermal tropopause: TTT biasanya pada 16-17km. Secondary tropical tropopause: Gambar 5 Suhu radisosonde dan awan Cirrus yang dideteksi dengan Lidar di Nauru (Boehm & Verlinde 2000). Tropical Tropopause Layer (TTL) biasanya ditemukan di ketinggian sekitar 15 km (Gambar 4). Lapisan ini dikarakteristikkan 4 oleh kenaikan massa udara yang lambat dan merupakan daerah sumber dari sirkulasi Brewer-Dobson, sirkulasi stratosferik skala hemisfer dalam arah meridional yang bergerak lamban dan hanya terjadi pada musim dingin dimana pada daerah ektratropis udara bergerak menurun dan pada daerah tropis udara bergerak menaik menuju ke arah kutub (Haklander 2008). Boehm dan Verlinde (2000) menunjukkan bahwa suhu di Tropical Ttropopause secara signifikan dipengaruhi oleh gelombang Kelvin ecuatorial. Selain itu, terjadinya awan cirrus di atas Tropical Ttropopause berhubungan dengan anomali dingin dari gelombang ini (Gambar 5). 2.4 Equatorial Atmosphere Radar (EAR). Radar Atmosfer Katulistiwa atau Equatorial Atmosphere Radar (EAR) tidak lain merupakan pengembangan dari BLR. EAR adalah Doppler pulse monostatic radar yang beroperasi pada frekuensi sekitar 47 MHz dengan menggunakan antenna Yagi tiga elemen berbaris sebanyak 560 buah (Gambar 6). Radar ini terletak di bukit Kototabang, Bukittinggi, Sumatera Barat (100,32oBT; 0,20oLS) pada ketinggian 865 meter diatas permukaan laut (Gambar 7). Kelebihan radar ini dibandingkan dengan radar di Indonesia lainnya adalah menggunakan antenna putar (rotatite antenna) sehingga dalam operasinya dapat diputar ke segala arah, asalkan masih dalam rentang 30o dari sumbu vertikal (Hermawan.2002). Alat ini dirancang khusus untuk memantau arah dan kecepatan angin dan turbulensi secara kontinu mulai lapisan 1,5 hingga 20 km dalam arah tiga dimensi (vertikal, meridional, dan zonal) dalam selang waktu dan ketinggian sekitar 2,3 menit untuk setiap ketinggian 150 meter. Selain itu radar ini juga mampu mendeteksi fenomena irregularitas ionosfer yang terjadi pada ketinggian sekitar 100 km (Fukao et al 2001 dalam Hermawan 2002). Penjabaran EAR secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 7 Lokasi EAR (JMA 2007) Tabel 2 Spesifikasi Equatorial Atmosphere Radar (EAR) (Fukao et al. 2003) Lokasi Frekuensi Daya Keluaran Sistem antenna Lebar beam Arah beam Jarak Pengamatan Gambar 6 560 Yagi Antena Equatorial Atmosphere Radar (EAR) (RISH 2007) Klasifikasi 100.32oBT; 0.2oLS; 865 m mdpl 47 MHz 100 kW (peak envelope) 560 antena Yagi tiga elemen berbaris pada area hampir lingkaran berdiameter 110 m 3.4o (-3,one way) Ke segala arah dalam rentang 30 derajat dari sudut zenith 1.5 hingga 20 km dalam arah 3 dimensi (vertikal, meridional, dan zonal) untuk turbulensi atmosfer dalam selang waktu 2,3 menit untuk setiap ketinggian 150 meter dan lebih dari 90 km untuk irregularitas ionosfer (area troposfer sedikit dibawah stratosfer) Instalasi 5 Penggunaan Info Hasil Pengelola Beroperasi untuk meneliti dinamika atmosfer yang terkait perubahan iklim dunia, terutama anomali iklim yang menyebabkan EL Nino dan La Nina. Untuk mengamati resolusi tinggi arah dan kecepatan angin, yang memungkinkan penelitian struktur atmosfer katulistiwa secara lengkap Deputi Sains, Pengkajian dan Informasi – LAPAN Tahun 2001 Hal yang patut diketahui adalah radar ini dibuat hampir menyerupai MU (Middle and Upper Atmosphere) Radar yang ada di Shigaraki, Jepang, baik dari sistem antena yang dipakai maupun frekuensi yang digunakan. Aplikasi data Equatorial Atmosphere Radar (EAR) yang dirancang khusus mendeteksi angin mulai dari lapisan 1,5 hingga 22 km, diharapkan dapat melengkapi data atmosfer radar yang telah ada. Salah satunya adalah pengamatan Quasi Biennial Oscillation (QBO) yang merupakan salah satu parameter penting dalam pendugaan datangnya ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) di Indonesia. Selain itu juga, EAR ini dirancang khusus untuk mengamati fenomena atmosfer yang selang pengamatannya relatif sangat pendek (biasanya permenit) seperti peristiwa penjalaran gelombang Rossby, gelombang Kelvin atau kombinasi keduanya. (Hermawan 2002). III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfir Departemen Geofisika dan Meteorologi selama periode Maret - Juni 2009. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, Matlab versi 7.2.0.232 (R2006a), dan SPSS versi 16. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Equatorial Atmospheric Radar (EAR) berupa data angin zonal, angin meridional, dan vertikal echo intensity per jam daerah Kototabang. Data EAR dengan format .csv dari ketinggian 2 20 km ini memiliki resolusi 150 m (ketinggian) dan 10 menitan (waktu). Data selama periode waktu 1 Desember 2007 - 31 Desember 2008 tersebut diambil dari situs http://www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear/data/. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Spektrum Analisis spektrum adalah suatu cara yang umumnya digunakan untuk melihat karakter data deret waktu dalam domain frekuensi, salah saru informasi penting yang dapat diperoleh dari analisis spectrum adalah periodisitas tersembunyi dalam data deret waktu. Analisis spektral ini digunakan untuk mengestimasi fungsi densitas spektrum dari suatu deret waktu. Karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data medan angin horizontal, maka fungsi densitas spektral menyatakan energi kinetik angin. Metode analisis spektrum yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Fast Fourier Transform (FFT) dan Transformasi Wavelet. Analisis Spektrum Fourier merupakan transformasi dari fungsi autocovarian cxx sebagai berikut f (ω ) = 1 π ∞ ∑c x (k )e −iωk k = −∞ Walaupun analisis spectrum Fourier dapat memberikan informasi tentang periodisitas dari data, akan tetapi kemungkinan adanya variasi kekuatan energi osilasi maupun adanya evolusi dari periodisitas dalam data harus di atasi, karena itu selain menggunakan metoda spectrum Fourier, maka dalam penelitian ini digunakan juga metode transformasi wavelet. Transformasi Wavelet merupakan suatu analisis multi resolusi (AMR) yang menggunakan sebuah jendela modulasi atau fungsi dasar yang fleksibel yang dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik. Karena yang akan dianalisis adalah evolusi dari periodisitas dalam suatu deret data, maka dalam penelitian ini digunakan Transformasi Wavelet kontinu dengan fungsi Morlet sebagai “Mother Wavelet”-nya