Uploaded by User42159

filsafat

advertisement
MAKALAH FILSAFAT
Diajukan untuk memenuhi UAS mata kuliah Filsafat
Dosen Pengampu : Gandung Joko Srimoko, M.Sn
Disusun Oleh :
Clara Riva
2815161999
Dwi Annisa Navila
2815161450
Shofia R.P
2815163233
Zulvia Alamanda
2815161598
JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
C. Epistemologi Fenomenologi Edmund Husserl
Ketika kita hendak mengeksplorasi epistemologi fenomenologi Edmund
husserl, kiranya sangat krusial bila kita memahami istilah-istilah kunci yang
digunakan Husserl. Istilah-istilah kunci tersebut mencakup fenomena, kesadaran,
intensionalitas, konstitusi, redaksi dan epoche. Istilah-istilah ini menjadi konsepkonsep inti yang saling terkait satu sama lain untuk tiba pada pemahaman
epistemologi fenomenologi secara tepat.
1. Konsep-konsep Kunci Fenomenologi
Husserl memulai analisis fenomenologinya dengan menggunakan
konsep kesadaran atau intuisi langsung. Bagi Husserl, “prinsip segala prinsip”
ialah bahwa hanya intuisi langsung dengan tidak menggunakan pengantara
apapun juga dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang filsafat.
Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman
dapat dianggap benar dan dapat dianggap salah sejauh diberikan. Dari situ
Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Alasannya ialah bahwa kesadaran secara langsung diberikan kepada saya
selaku subjek.
Sebagaimana sudah tersirat dalam namanya, fenomenologi
mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau
fenomena. Tetapi istilah fenomena yang digunakan Husserl memiliki makna
yang sama sekali baru dan berbeda dengan fenomena yang digunakan
Immanuel Kant sebelumnya. Menurut Kant, ktia sebagai manusia hanya
mampu mengenal fenomena-fenomena, bukan hakikat realitas itu sendiri.
Bagi Kant, yang tampak bagi kita ialah semacam tirai yang menyelubungi
realitas di belakangnya. Kita hanya mengenal pengalaman batin kita sendiri
yang diakibatkan oleh realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak
kita kenal.
Melihat warna merah, misalnya, tak lain tak bukan adalah pencerapan
yang diakibatkan oleh sesuatu di luar. Bagi Kant, fenomena adalah sesuatu
yang menunjuk kepada realitas, yang tidak dikenal pada dirinya. Dalam
perspektif ini, kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas.
Sedangkan dalam paradigma Husserl, fenomena adalah sesuatu yang sama
sekali lain; fenomena adalah realitas itu sendiri yang tampak. Bagi Husserl,
tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari realitas; realitas itu
sendiri tampak bagi kita. Dengan demikian, dapat kita mengerti semboyan
yang dipilih Husserl bagi filsafatnya, yaitu kembalilah pada benda-benda
sendiri. Dengan pandangan tentang fenomena ini Husserl mengadakan
semacam revolusi dalam filsafat Barat.
Dalam filsafat Barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti
sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup; artinya, kesadaran mengenal
diri sendiri dan hanya melalui jalan itu mengenal realitas. Misalnya, saya
mengenal pencerapan-pencerapan saya dan melalui jalan itu saya mengenal
realitas. Husserl berpendapat bahwa kesadaran selalu berarti kesadaran
akan… sesuatu. Atau menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran
menurut kodratnya berfilsafat intensional; intensionalitas adalah struktur
hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Mengatakan
“kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan
“realitas menampakkan diri”. Dua ucapan ini seakan merupakan dua sisi dair
uang logam yang sama. Intensionalitas dan fenomena adalah korelatif.
Korelasi ini berlaku bagi kesadaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga
bagi berbagai aktus kesadaran dan berbagai bentuk realitas, misalnya,
pengalaman estetis-objek estetis (karya kesenian).
Kemudian istilah lain yang sering dipakai oleh Hasserl adalah
konstitusi. Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomenafenomena kepada kesadaran. Fenomena-fenomena mengonstitusi diri dalam
kesadaran, kata Husserl. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan
realitas yang disebut tadi, dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah
aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Husserl
mengatakan bahwa dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Hal itu sama sekali
tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia beserta
perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya, melainkan hanya bahwa
kesadaran harus hadir pada dunia agar penampakkan dunia dapat berlangsung.
Tidak ada kebenaran-pada-dirinya, lepas dari kesadaran. Kesadaran hanya
mungkin dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut
“realitas” itu tidak lain dari dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus
dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses
penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomena bagi
kesadaran intensional.
Untuk sekadar menjelaskan maksud Husserl engan konstitusi
(terutama konstitusi aktif atau konstitusi sebagai aktus kesadaran), kita dapat
memandang sebentar proses persepsi. Saya melihat suatu gunung,
umpamanya. Tetapi sebetulnya yang saya lihat selalu perspektif dair gunung:
saya melihat gunung itu dari sebelah timur atau utara atau dari atas, dan
seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gunung adalah sebuah sintesis semua
perspektif itu. Dalam persepsi, objek telah dikonstitusi. Tetapi hal yang
sejenis berlaku untuk setiap aktus kesadaran, juga untuk aktus-aktus
intelektual. Misalnya, saya memikirkan “dalil Phythagoras”. Hal itu dapat
saya ulangi terus-menerus dan setiap kali saya memandang “dalil
Phythagoras” yang sama. Hal itu hanya mungkin karena suatu konstitusi oleh
kesadaran.
Terakhir, konsep kunci yang sangat signifikan dalam konsep
fenomenologi Husserl adalah reduksi fenomenologis, atau reduksi
transcendental yang juga menggunakan aplikasi praktis epoche, sebuah
metode penundaan atau penyaringan. Lalu apakah yang dimaksud dengan
reduksi? Secara sederhana, untuk memahami reduksi Husserl, ktia berangkat
dari pengamatan yang sering kali kita lakukan. Dalam pengamatan kita seharihari, kita merasa berhubungan langsung dengan realitas yang tampak di
hadapan kita secara secara dangkal atau di level permukaan saja. Ketika kita
melihat, mendengar, menyentuh, dan menangkap realitas kehidupan seharihari, kita segera mengakui bahwa semua kenyataan tersebut bersifat objektif:
apapun yang kita candra melalui pancaindra kita, begitu pulakeadaan realitas
itu sebenarnya. Sudut pandang inilah yang disebut Husserl sebagai sudut
pandang awam atau pendirian biasa.
Bagi Husserl, natural standpoint yang biasa kita gunakan dalam
pengamatan hidup sehari-hari itu belum cukup. Penglihatan itu masih
diselimuti kabut yang menutupi hakikat realitas. Kabut-kabut yang
menghalangi kita dalam menangkap hakikat dunia eksternal itu adalah
konsepsi-konsepsi kita, endapan-endapan kultur dimana kita hidup, cara-cara
kita berpikir, dan semua suasana hidup yang sudah menjadi prasangka dalam
diri kita. Kabut-kabut perspektif inilah yang menjadikan pengamatan kita
terhadap realitas menjadi subjektif sifatnya, tidak lagi objektif.
Dengan apa kita dapat menangkap realitas objektif secara esensial?
Husserl menjawab dengan jalan reduksi yakni penangguhan sejenak terhadap
segala pengetahuan yang telah kita peroleh sebelum kita melakukan
pengamatan intuitif. Pencandraan awal kita bersama dengan asumsi-asumsi
yang kita bawa, hanya menjadi first look, tilikan pertama yang belum mampu
menyingkap selubung yang membaluti hakikat realitas yang sebenarnya.
Karena itulah, diperlukan second look, tilikan kedua dengan melakukan
pengamatan intuitif agar hakikat dunia eksternal menampilkan wujudnya
secara murni sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Ketika kita
mnggunakan metode reduksi tersebut, maka Husserl mengklaim bahwa kita
telah mengaplikasikan sebuah sudut pandang fenomenologis, the
phenomenological stance.
Sebagaimana telah dikehendaki Husserl sejak awal, dengan metode
reduksi ini ia mendambakan fenomenologi menjadi suatu ilmu yang rigorus.
Ucapan-ucapan yang dikemukakan dalam suatu ilmu rigorus harus bersifat
apodiktis (tidak mengizinkan keraguan) dan absolut. Kriteria rigorus itu tidak
pernah dapat dipenuhi dalam ucapan-ucapan kita tentang dunia real. Setiap
benda material selalu diebrikan melalui profil-profil (Abschattungen).
Misalnya saja, dari meja yang beridri di depan saya, saya hanya
melihat permukaan dan sebelah depan saja; saya tidak melihat sebelah
belakang. Tentu saja, saya bisa memilih sudut lain, sehingga kita melihat
sebelah belakang itu. Tetai, kalua begitu, saya tidak melihat lagi sebelah
depan dan profil-profil lain. Inilah cara benda material tampak bagi saya:
berkeluasan dalam ruang. Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada
saya menurut segala profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material
tampaknya bagia saya bersifat demikian rupa, sehingga tidak dapat
dikemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya.
Karena alas an-alasan itu fenomenologi sebagai ilmu rigorus harus mulai
dengan mempraktikkan reduksi transcendental.
Jika kita menempatkan realitas material antara tanda kurung dengan
mempraktikkan reduksi transcendental tersebut, apakah yang tinggal untuk
mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorus? Ataukah kita harus
meninggalkan saja seluruh usaha kita? Husserl berpendapat bahwa yang
tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan
dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena
itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan
absolut tentangnya. Adanya kesadaran juga struktur kesadaran dapat
dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi
fenomenologi sebagai ilmu rigorus.
Tetapi, kalua begitu, apa yang terjadi dengan dunia real? Apakah itu
berarti bahwa fenomenologi sama sekali tidak dapat berbicara tentang dunia?
Tidak. Janganlah ktia lupa apa yang sudah dikatakan tentang intensionalitas
kesadaran yang begitu dipentingkan Husserl. Kita tidak berbicara lagi tentang
dunia dengan cara naif, seakan-akan dunia sama sekali tidak berkaitan dengan
kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam sikap
fenomenologis kita menemui dunia sebagai korelat bagi kesadaran, dunia
sebagai fenomena. Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari dunia dan
merumuskan ucapan-ucapan apodiktis dan absolut tentangnya. Dunia dapat
diberi tempat dalam fenomenologi sebagai ilmu rigorus. Dalam fenomenologi
kita tidak bertolak belakang dengan dunia; sebaliknya, realitas material
ditemui dalam suatu perspektif baru, yaitu sebagai korelat bagi kesadaran.
2. Tiga Tahapan Reduksi
Pertama, reduksi fenomenologis. Reduksi feomenologis ditempuh
dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang
terarah kepada eksistensi fenomena. Pengalaman indrawi itu tidak ditolak,
tetapi perlu disisihkan dan disaring lebih dahulu sehingga tersingkirlah segala
prasangka, praanggapan, dan prateori, baik yang berdasarkan keyakinan
tradisional, maupun yang berdasarkan keyakinan agamis, bahwa seluruh
keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Segala sesuatu
yang diketahui dan dipahami, lewat pengamatan biasa terhadap fenomena itu,
harus diuji sedemikian rupa dan tidak boleh diterima begitu fenomena itu,
harus diuji sedemikian rup dan tidak boleh diterima begitu saja. Fenomena itu
diamati dalam hubungannya dengan kesadaran tanpa melakukan refleksi
terhadap fakta-akta yang diemukan lewat pengamatan itu karena yang utama
dalam hidup ini ialah menemukan dan menyingkirkan subjektivitas-
subjektivitas yang merupakan penghambat bagi fenomena itu dalam
mengungkapkan hakikat dirinya.
Kalau kita analogikan dengan figure manusia, pada tahap pertama,
dengan reduksi fenomenologis, kita mulai membersihkan perspektif diri kita
dari segala subjektivitas yang telah menggelayuti benak kita terhadap sosok
manusia. Semua bentuk subjektivitas perspektif kita yang berasal dari
pandangan filsafat, budaya, pendidikan, politik, ekonomi, sains, bahkan
agama mesti kita tunda terlebih dulu dalam menilai sosok manusia. Kalau kita
melihat mausia dari perspektif ilmu mantiq atau logika, kita membingkai
seorang manusia dengan istilah animale rationale sebagai makhluk yang
berpikir (dalam istilah ilmu kalam disebut hayawanan nathiq).
Bila kita memandang manusia dari kaca mata filsafat, kita memotret
manusia sebagai homo sapiens; sebagai makhluk yang berpikir, makhluk yang
mempunyai budi pekerti. Sedangkan bila kita menilik manusia dari sudut
pandang ilmu semiotika atau ilmu tanda, para filsuf bahasa menamakan
manusia sebagai animal symbolicum: makhluk yang hanya dengan
menggunakan lambing-lambanglah ia dapat mencapai potensi dan tujuan
tertinggi kehidupannya, atau homo semioticus: sebagai makhluk yang hidup
dengan tanda-tanda yang memerlukan penafsiran.
Bahkan, dalam wacana filsafat juga, manusia disebut sebagai homo
iudens yakni makhluk yang bermain, sebab manusia juga sangat menyukai
permainan dan itulah alasannya mengapa tercipta beragam bentuk permainan
yang hingga saat ini masih terus berkembang. Namun sosok manusia
menghasilkan konsep yang berbeda pula kalau dipotret melalui kajian filsafat
agama atau spiritualitas: manusia menjelma homo religious: makhluk yang
beragama; makhluk yang senantiasa dahaga akan makna (as meaning-seeking
creatures). ;atau spiritual animal being: makhluk spiritual yang selalu
memiliki kerinduan ontologies untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, Dzat
Yang Maha Agung, Maha Mulia, Maha Perkasa sekaligus Maha Paripurna.
Meskipun demikian, manusia juga bisa menjadi homo economicus:
manusia yang mengetahui prinsip-prinsip ekonomi jika dilihat dari ilmu
ekonomi; menjadi homo faber: makhluk yang pandai membuat perkakas jika
dilihat dari ilmu budaya; menjadi homo socius: manusia yang hidup
berkelompok dalam masyarakat jika dilihat dari perspektif ilmu sosiologi.
Dan menjadi zoon politikon makhluk yang hidup dalam polis, atau makhluk
sosial, makhluk yang pandai bekerja sama dalam kehidupan politik bila ditilik
dari perspektif wacana politik. Demikian seterusnya, di mana setiap sudut
pandang tentang manusia akan menghasilkan label-label spesifik yang
menggambarkan masing-masing aktivitas manusia secara unik.
Namun, pertanyaan yang mengganggu benak kita ialah apakah semua
konstruksi yang dibangun oleh semua pemikiran diatas sudah melukiskan
hakikat kodrat manusia secara holistic? Pandangan manakah dari semua
perspektid diatas yang paling benar dalam melukiskan kodrat manusia? Tentu
saja masing-masing pandangan di atas memiliki kebenarannya masing-masing
secara perspektivistik. Artinya, ketika figure manusia disoroti eksistensinya
dari sebuah sudut pandang yang spesifik, maka akan menghasilkan gambaran
tentang manusia yang sesuai dengan sudut pandang tersebut secara spesifik
pula. Ada kebenaran dalam pandangan spesifik itu tentang manusia. Setiap
sudut pandang di atas menyuguhkan kebenarannya masing-masing sesuai
dengan paradigm yang digunakannya. Tapi dalam konteks ini pula, kita akan
menyadari bahwa kebenaran yang telah dibentangkan oleh beragam pemikiran
tersebut bersifat fragmentaris, terpecah-pecah dan belum utuh dalam
membingkai makna tentang manusia. Hakikat kodrat manusia dengan segala
kompleksitas dan keunikannya belum tergambarkan secara komprehensif.
Dalam perspektif Husserl, tatkala kita melihat sosok manusia melalui
kaca mata dari berbagai konstruksi filosofis di atas, pandangan kita terhadap
manusia sudah bersifat subjektif: kita menggunakan asumsi, konsep, teori,
atau perspektif-perpektif dari orang lain, siapa pun mereka. Kita belum
memotret eksistensi manusia apa adanya, sebagaimana ia hadir menyapa
kehidupan kita secara transparan, sederhana, dan murni. Di sinilah reduksi
fenomenologis harus memainkan perannya. Husserl menyarankan kita
menggunakan metode yang disebutnya dengan epoche menempatkan sesuatu
di antara dua tanda kurung atau bracketing, pengurungan/(), yang berarti
penundaan atau penghentian. Metode epoche itu digunakan dengan cara yang
secara literal. Terapi ang dimaksud dengan epoche adalah melupakan
pengetahuan-pengetahuan tentang objek untuk sementara dan berusaha
melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengetahuanpengetahuan yang ada sebelumnya.
Semua paradigma para ilmuwan dan filsuf di atas mengenai manusia
kita letakkan dulu dalam dua tanda kurung/(). Sbab sewaktu kita
menggunakan konsep-konsep mereka terhadap manusia, maka kita sudah
melihat eksistensi manusia dari sudut pandang ilmu logika dan filsafat, dari
perspektif semiotika atau filsafat bahasa, dari sudut pandang ilmu ekonomi
dan politik, dari perspektif ilmu budaya dan politik, dari perpektif searah
agama atau filsafat agama. Kita tidak menggunakan intuisi kita secara
langsung terhadap manusia, tapi kita justru memakai pandangan-pandangan
orang lain tentang manusia: sehingga penglihatan kita mengenai hakikat
keberadaan manusia tidak objektif apa adanya, tapi sudah bias dengan
mengenakan salah satu atau beberapa sudut pandang tentang manusia. Karena
itu, reduksi fenomenologis tahap pertama ini berfungsi membersihkan diri kita
dari segala subjektivitas yang dapat mendistorsi pandangan kita tentang
hakikat realitas, tentang esensi objek, tentang hakikat manusia. Dengan
reduksi fenomenologis inilah, diharapkan kita sudah bisa memahami lebih
awal untuk melihat hakikat eksistensi manusia.
Tahap kedua, reduksi eidetic. Istilah eidetic berasal dari kata eidos
yang berarti intisari atau esensi sesuatu. Reduksi eidetic berupaya melakukan
penyaringan dan penundaan penilaian dengan menempatkan dalam kurung
(proses epoche) terhadap segala hal yang bukan eidos, bukan intisari, bukan
esensi dari sebuah objek. Dalam tilikan Husserl reduksi eidetic tidak lain dari
upaya untuk menemukan eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi.
Pada tahap ini, segala sesuatu yang dianggap sebagai hakikat fenomena yang
diamati harus disaring untuk menemukan hakikat yang sesungguhnya dari
fenomena itu. Itu berarti segala sesuatu yang dilihat harus dianalisis secara
cecrmat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Dalam upaya
menganalisis fenomena yang diamati dengan cermat dan lengkap itu,
perhatian pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling
fundamental dan segala sesuatu yang bersifat paling hakiki.
Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena
yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah
menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks
mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang
dicari dalam hal ini adalah struktur dasar meliputi isi fundamental dan semua
sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau
bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia
menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representative melukiskan
fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan
atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena
dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eidetic ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria
koherensi berlaku.. artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap
objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap
pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindaan yang sesuai dengan yang
pertama atau yang selanjutnya. Bila kita kembali melihat kepada ilustrasi
manusia, reduksi eidetic hendak mengetahui esensi manusia. Pada sosok
setiap manusia, bila kita melihat berbagai atribut yang bisa kita kurangi atau
kita tambahkan untuk melihat sejauhmana esensi manusia masih tersisa-ada.
Atribut-atribut yang melekat dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
social misalnya status-status yang mereka kenakan: status seorang menteri,
gubernur, dan bupati; status sebagai seorang ilmuwan, filsuf, ekonom,
politikus, budayawan, sejarawan, agamawan, dan anggota legislatifl status
sebagai seorang guru, dosen, dokter, petani, pedagang, dan nelayan; Ataupun
juga berbagai titel-titel yang melekat pada manusia, seperti titel professor,
doktor, master, sarjana, insinyur, dan lain-lain. Ataupun kondisi-kondisi yang
melekat dalam kehidupan mereka, seperti sebagai orang kaya dan miskin,
orang terkenal dan orang biasa, para konglomerat dan orang-orang melarat,
para ningrat keturunan bangsawan dan kaum papa keturunan rakyat jelata.
Dengan reduksi eidetic, kita bisa meletakkan semua status-status
social, titel-titel keahlian, dan kondisi-kondisi yang menyertai hidup mereka
dalam epoche, dalam pengurungan untuk mencari inti sari seorang manusia
yang sesungguhnya. Apakah dengan menghilangkan semua atribut-atribut
social dan titel-titel keahlian mereka, akan menyebabkan manusia kehilangan
emosinya? Apakah ketika atribut-atribut menteri dan gubernur, ilmuwan dan
filsuf, ekonom dan anggota legislative kita hilangkan, maka mereka yang
menyandangnya menjadi berubah bukan lagi manusia? Apakah ketika titeltitel mentereng bergengsi sebagai gubernur dan doktor, maser dan sarjana
atau insinyur dienyahkan dari seorang manusia, maka mereka menjelma
bukan lagi sosok manusia? Ketika kekayaan dan kemiskinan, ketenaran dan
kesahajaan, bangsawan dan kejelataan tidak lagi menghiasi kehidupan seorang
anak manusia, apakah dengan tiba-tiba mereka tidak pantas lagi disebut
dengan manusia?
Fakta kehidupan menampilkan dirinya secara langsung di hadapan kita
bahwa sosok manusia yang hakiki bukan ditentukan oleh beragam emblememblem social tersebut. Seorang manusia tidak disebut manusia hanya karena
status sosialnya, pngkat jabatannya, gelar-gelar yang disandangnya, ataupun
kondisi-kondisi kekayaan dan kemiskinan mereka semata. Kita semua sadar
bahwa segala bentuk atribut, status, dan kondisi social seseorang sering kali
bersifat dangkal dan tidak mencerminkan karakter pribadi sejati orang-orang
yang menyandangnya. Sayangnya, banyak di antara kita memberikan
penilaian kepada manusia berdasarkan status dan jabatan-jabatan social
tersebut. Banyak di antara kita yang meletakkan standar kriteria pada
kebangsawanan, kekayaan, dan kemasyhurang seseorang. Kita terpukau
dengan segala bentuk emblem-emblem social yang tidak autentik.
Kita katakana tidak autentuk, sebab hokum kehidupan sudah
mengisahkan kepada kita bahwa semua bentuk atribut-atribut social itu dapat
digantikan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Seorang presiden
yang begitu ditakuti ketika berkuasa, namun justru mengundang hujatan tanpa
henti saat turun dari singgasana kekuasaannya. Seorang menteri dan gubernur,
bupati dan anggota legislative, bisa diganti oleh orang lain kapan pun saja.
Ilmuwan, dokter, ekonom, dan agamawan pun satu waktu akan pudar dikikis
putaran zaman dan diganti tunas-tunas baru yang lebih berarti dan relevan
dengan kebutuhan masyarakat, misalnya. Apalagi factor kekayaan yang
sebenarnya amat fluktuatif: banyak orang-orang kaya yang tiba-tiba langsung
jatuh miskin dan tidak sedikit orang-orang miskin dengan cepat menjadi orang
kaya baru.
Dengan alasan-alasan inilah, reduksi eidetic hendak mengatakan
kepada setiap kita bahwa semua bentuk atribut-atribut social yang mengiringi
kehidupan manusia, entah itu pangkat jabatan, titel yang mentereng,
ebangsawanan, ataupun kekayaan dunia, bukanlah inti sari yang
menggambarkan sosok manusia sebenarnya. Esensi sejati seorang manusia
tidak ditentukan oleh segala macam atribut, titel, pangkat social dan
kemewahan dunia yang disandangnya. Jika semua atribut-atribut yang
memayungi manusia itu sudah kita hilangkan dengan reduksi eidetic, kita
mulai melihat titik-titik terang esensi seorang manusia yaitu rohani dan
jasmani yang menyatu dalam dirinya: hati, perasaan, emosi, dan akal yang
bersemayam dalam diri mereka; yang dengan semua fakultas-fakultas itulah
mengalir dalam bentuk tutur kata, sikap, dan perilaku yang menjadi cermin
jernih yang mampu memantulkan otentitas seorang manusia yang sejati.
Tahap ketiga, reduksi fenomenologi-transendental. Dalam reduksi
tahap ketiga ini, yang harus kita tunda penilaiannya dengan menggunakan
epoche, kita tempatkan dalam tanda kurung adalah eksistensi dan segala
sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar
dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek itu
sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai ojek, atau
fenomena bukan mengenai hal-hal yang metampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang
metampakkan diri dalam kesadaran.
Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus
kesadaran sendiri. Kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan
kesadaran dalam arti menyandarkan diri berdasarkan penemuan dengan
fenomena tertentu, kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat
murni atau transcendental, yaitu yang ada bagi diriku di dalam aktus-aktus.
Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendenta.
Dengan kata lain, reduksi transcendental ini diterapkan kepada subjeknya
sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni. Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa dunia yang tampak kepada kita tidak dapat
memberi kepastian, bahwa pengertian kita tentang realitas adalah benar.
Dunia tidak dapat memberikan kebenaran kepadakita. Agar supaya ada
kepastian akan kebenaran pengertiak kita, menurut Husserl, kita harus
mencarinya dalam erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Di dalam
pengalaman yang dengan sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku”
kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda di luar kita. Aku kita
senantiasa berada di dalam situasi jasmaniah tertentu, umpamanya” aku
sedang duduk, sedang membaca, sedang bercakap-cakap dan lain sebagainya.
Pengalaman ini tidak termasuk “aku” kita yang sejati. “aku” di dalam
pengalaman ini adalah “aku yang empiris”, yang dijangkau oleh dunia benda.
Oleh karena itu, untuk sementara waktu “aku yang empiris” ini harus kita
tempatkan di antara tanda kurung, harus kita saring dahulu. Setelah “aku yang
empiris” kita beri tanda kurung akan tinggal “kesadaran yang murni”, yang
tidak empiris lagi atau “aku yang murni”, yang tidak empiris lagi, yang
mengatasi segala pengalaman, yang transcendental. Inilah dasar yang pasti
dan tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
Dengan kembali kepada kesadaran murni, kembali kepada ego
transcendental, atau kembali kepada intuisi murni, membawa Husserl
merumuskan konsepnya yang termasyhur: evidenz. Evidenz adalah sesuatu
yang hadir langsung, niscaya, dan absolut, sehingga tidak ada keraguan
sedikit pun di dalamnya. Intuisi selalu menghasilkan pengetahuan yang
membuktikan dirinya sendiri, sebuah evidenz. Konsep evidenz berakar dari
pemikiran Descartes. Cogito adalah sebuah evidenz bagi Descartes. Namun,
Husserl mengambil jalan berbeda. Bagi Husserl, metode meragukan segala
sesuatu memang menyisakan satu yang tidak bisa diragukan lagi.
Namun, yang tidak bisa diragukan lagi bukan hanya aku berpikir,
melainkan juga semua aktivitas mental lainnya. Segala aktivitas mental hadir
secara langsung dan niscaya, berbeda dengan benda-benda, jadi, saya tidak
perlu tahu apakah pengetahuan ini benar atau tidak, sesuai dengan kenyataan
atau tidak. Metode keraguan Descartes masih dipusingkan dengan pertanyaan
dunia ada atau tidak. Sedang Husserl mengambil sikap idiferen (acuh) apakah
dunia ada atau tidak. Bagi Husserl, yang paling dapat dipastikan adalah
berbagai tindak mental saya, karena mereka hadir secara apodiktis (tanpa
setetes pun keraguan).
Husserl menginginkan fenomenologi dikuras dari segala sesuatu yang
sifatnya factual. Ia bahkan membual bahwa fenomenologi dapat terus berjalan
meski dunia lenyap. Ini disebabkan fenomenologi tidak berbicara tentang
eksistensi factual, melainkan struktur konstitusi-makna yang memungkinkan
kesadaran. Husserl menginginkan fenomenologi bertindak sebagai ilmu
“murni” yang bebas lepas dari muatan empiris. Fenomena tidak dipahami
sebagai sesuatu yang factual. Artinya, perbincangan tentang fenomena tidak
lagi berurusan dengan eksistensi dan noneksistensi. Fenomena adalah korelat
kesadaran sebagai sesuatu yang imanen dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga turut mencakup yang transenden. Pengalaman saya tentang satu
objek selalu berarti adanya objek di luar pengalaman yang memiliki kualitas
berbeda dengan pengalaman saya tentangnya. Menangkap esensi adalah
menangkap sesuatu yang memiliki transendensi dalam imanensi.
Akan tetapi, di sini perlu ditegaskan bahwa melalui tahapan-tahapan
reduksi tersebut dan dengan menggunakan cara penundaan epoche, bukanlah
berarti kita harus bersikap skeptis. Dalam perpektif Donny Gahral Adian, kita
akan melakukan kesalahmengertian yang cukup fatal bila mempersamakan
antara metode penundaan dalam epoche dengan sikap skeptis. Menempatkan
sesuatu dalam kurung (epoche) tidak berarti meragukan eksistensinya,
melainkan hanya menunda semua asumsi tentangnya. Seperti sudah
dijelaskan, Husserl lebih memilih sikap indiferen (acuh) daripada ragu. Adatidaknya objek-objek tidak ditanggapi secara serius. Apa yang menjadi focus
semata struktur tindak psikis dan korelatnya, bukan objek-objek yang
terhampar factual.
Epoche mengandalkan adanya kebebasan. Kebebasan kita dalam
memilih sudut pandang. Kita tidak perlu hanyut dalam sudut pandang
naturalism maupun psikologisme. Kita sepenuhnya bebas mengubah sudut
pandang kita seiring arus pengalaman. Epoche mengatasi karakter factual dari
kesadaran manusia. Artinya, sifat kesadaran yang melulu percaya akan
sesuatu yang hadir terlepas darinya harus dilepas. Lepasnya sifat factual dari
kesadaran akan membawa kita pada fenomena murni.
Saat kita mendayagunakan penundaan fenomenologis, semua karakter
factual lenyap dan menyisakan kita kesadaran murni, kesadaran sebagai
eksistensi absolut di mana objek-objeknya selalu korelat baginya. Dunia
tampil dalam terang baru, yaitu sebagai korelat bagi kesadaran, sebagai
sesuatu yang memiliki modus berada tertentu. Kesadaran oleh Husserl tidak
cukup cogito. Husserl membaginya menjadi dua bagian: cogitationes dan
cogitate. Cogitationes adalah tindak ego, sedang cogitate adalah objek tindak
kesadaran tersebut, apakah itu fisikal ataupun mental. Kesadaran kita
memiliki keterarahan. Kesadaran selalu terarah pada objek. Ini disebut sebagai
intensionalitas kesadaran. Tindakan intensionalitas menyeruak ke luar menuju
objek transenden. Jika saya memikirkan sebuah kardus, maka objek pikiran
saya adalah kardus; sedang jika saya mengimajinasikan sebuah pulau fantasi,
maka pulau fantasi adalah objek imajinasi saya. Intensionalitas artinya kita
tidak pernah memikirkan atau membayangkan kekosongan. Ini adalah kritik
keras terhadap konsep cogito (aku berpikir) Descartes. Cogito Descartes
adalah cogito tertutup, bersibuk dengan isi pikiran sendiri, dan memisahkan
diri dari dunia luar serta cogito lainnya. Cogito selalu cogito yang
berintensionalitas. Artinya, pikiran selalu pikiran tentang sesuatu. Pikiran
mengimplikasikan objek. Berdasarkan itu, Husserl menambahkan konsep
cogitations adalah tindak pikiran, sedang cogitate adalah objek sebagai
korelat cogitations.
Sampai di sini, kiranya cukup jelas bahwa melalui tahapan-tahapan
ketiga macam reduksi tersebut, akhirnya Husserl hendak menunjukkan
kesadaran murni, kesadaran transcendental, atau ego transcendental-lah yang
menjadi pijakan fundamental bagi semua ilmu pengetahuan dan wacana
filsafat yang bersifat absolut, tak tergoyahkan. Akan tetapi, konsep ego
transcendental tetap sangan berisiko terjebak pada solipsism. Solipsism adalah
penyangkalan ego lain dengan embekukan kebenaran egoku orang lain?
Persoalan “ego lain” selalu menggayuti konsep ego transcendental.
Husserl mengatasi kesulitan ini dengan memperkenalkan konsepnya
tentang intersubjektivitas.pengalaman manusia, menurut Husserl, adalah
pengalaman intersubjektif. Persepsi saya tentang pohon di luar sana senantiasa
menunjukkan saya bahwa pohon itu hadir juga bagi orang lain. Manusia
senantiasa berkubang dalam dunia intersubjektif. Dia terisolasi ke dalam
dunia yang dihayati bersama. Tidak ada satu pun yang murni subjektif. Dunia
yang kita amati, pikirkan, rasakan, bayangkan adalah dunia bersama (shared
world). Dunia senantiasa ada di sana bagi kita (us) melalui saya (me).
Intersubjektivitas adalah karakteristik utama ego. Sesuatu yang
menyelamatkan fenomenologi Husserl dari jebakan solipsism.
Download