See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/315455530 Arsitektur Lokal di Tengah Pengaruh Global Conference Paper · January 2017 CITATIONS READS 0 1,793 1 author: Antariksa Sudikno Brawijaya University 199 PUBLICATIONS 86 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Kosmologi Ruang View project All content following this page was uploaded by Antariksa Sudikno on 21 March 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file. Arsitektur Lokal di Tengah Pengaruh Global Antariksa Pendahuluan Secara umum yang dimaksud dengan ‘arus global’ adalah arah pergerakan masyarakat dunia menuju, sedangkan yang dimaksud dengan lokalitas adalah ‘Nusantara’, sering juga kita dengar dengan sebutan ‘Jamrud Katulistiwa’. Lokalitas dengan bentang Nusantara yang panjang ini telah memberikan keanekaragaman alami dan budaya begitu luar biasa. Dengan keanekaragaman yang kita punyai, sebaiknya perkembangan arsitektur tidak boleh lepas dalam melihat fenomena yang terjadi di dunia pada saat ini. Termasuk juga dengan isu pemanasan global maupun kelatahan yang muncul akhir-akhir ini seperti keberlanjutan, ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi inti permasalahan lingkungan, dan tidak akan lepas dari permasalahan arsitektur tentunya. Globalisasi adalah sebuah kenyataan yang mempunyai segala konsekuensi bagaimana semua berjalan dan harus diterima. Proses tersebut datang sejak awal peradaban di Nusantara ini melalui sinkretisme dan akulturasi. Dapat dilihat dengan banyaknya peninggalan arsitektur bangunan percandian sebagai tempat peribadatan. Penyebaran agama Hindu dan Budha telah meninggalkan arsitektur percandian yang megah, seperti Borobudur dan Prambanan. Kemudian berlanjut ke masa kerajaan Majapahit di Jawa, yang ditandai dengan dimulainya sejarah baru arsitektur candi bata abad ke-14, yang juga mendapat pengaruh dari arsitektur Hindu, Budha serta lokal Jawa sendiri. Kelanjutan globalisasi terus berjalan hingga masa kolonial Belanda dengan arsitektur Indisnya. Merupakan percampuran antara arsitektur lokal Nusantara dengan arsitektur dari tanah Eropa yang dipadukan dalam bentuk tatanan bangunannya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya berarsitektur masyarakat setempat dengan masing -masing kondisi geografisnya. Kearifan maupun produk arsitektur masa lalu secara terus-menerus dapat dijadikan pegangan hidup masyarakat dalam berhuni. Karena secara konseptual, kaerifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai etika, cara-cara yang melembaga secara tradisional. Lokalitas arsitektur yang ada di Nusantara juga mengalami perkembangan baik bahan, teknologi dan juga pada cara berhuni masyarakat dengan kesetempatannya. Perkembangan arsitektur akibat pengaruh globalisasi juga muncul di beberapa wilayah negara di dunia ini. Apa yang telah berkembang di Cina, Korea, dan Jepang juga memberikan tanda identitas baru dalam arsitektur. Hal ini bertolak belakang dengan tradisi budaya yang mereka punyai di masa lalu, dan dapat hadir berdampingan menjadi identitas baru mereka tanpa mengurangi lokalitas yang mereka punyai. Lalau bagaimana dengan arsitektur lokal dan modern yang ada di Indonesia? Apakah tetap mempertahankan tradisional Nusantara yang kita punyai, atau menerima globalisasi dalam arti berjalan bersama, berdampingan dengan menyesuaikan perkembangan bahan, dan teknologi. Globalisai dan Kearifan Lokal Pandangan globalisasi Definisi globalisasi adalah suatu proses yang menyeluruh atau mendunia dan setiap orang terikat oleh negara atau batas-batas wilayah, artinya setiap individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi di tempat manapun dan kapan pun melalui media elektronik maupun cetak. Pengertian globalisasi menurut bahasa, yaitu suatu proses yang mendunia. Pendapat lain dikatakan bahwa globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Dengan adanya proses yang mendunia ini, dipastikan akan membawa negara-negara dibelahan wilayah lain menjadi kekuatan baru, maka perkembangan dan pertukaran budaya akan berpengaruh pada bentukan-bentukan arsitekturnya. Kalau pengertian global diartikan sebagai pengertian yang mendunia, maka tentunya ada yang melokal. Seperti yang dikemukakan oleh Prijotomo (2013) bahwa, “Tuhan tidak menciptakan lagi udara, Air dan Tanah serta iklim dan gempa sebagai isi bumi”. Udara, air dan tanah adalah karya cipta Illahi yang tak terbarukan serta iklim dan gempa adalah karya Illahi yang tak terubahkan, manusia diberi kebebasan untuk mengolahnya dan menjalankannya. Pernyataan ini menjelaskan bahwa bumi merupakan sebuah tempat yang harus dijaga dan dirawat sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, inilah yang di maksud dengan lokal. (Hidayatun, 2014) Adanya era globalisasi ini segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia akan mempengaruhi pada bentukan hunian arsitekturnya. Meskipun ada yang mengatakan bahwa hal ini juga akan menghilangkan identitas masyarakat-manusianya ketika sesuatu yang mungkin sulit untuk bisa dipertahankan lagi. Bentukan arsitektur yang berkembang akan didominasi oleh apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan, dan konteks ini sangat luas dapat mempengaruhi pada bahan bangunan, teknologi, konstruksi, ide, pemikiran bahkan konsepnya. Globalisasi dapat membentuk keragaman arsitektur pada wilayah-wilayah yang ada di dunia ini. Dengan melihat kejadian yang muncul di atas, apakah kebanggaan tradisionalisme dalam arsitektur yang kita punyai harus mendunia? Bagaimana dengan kearifan yang kita punyai pada lokalitas arsitektur di wilayah Nusantara, dapatkah menerima dan berjalan bersamaan? Dalam globalisasi, dominasi budaya muncul dan berpengaruh terhadap langgam dan busana arsitektur, yang diwujudkan dalam bentukbentuk transformasi simbol-simbol arsitektur. Globalisasi sendiri datang dari segala arah wilayah negara-negara yang ada di dunia ini, tanpa memandang kelas, baik menengah atau atas, dan datang dari wilayah Barat, Tengah maupun Timur sebagai kapitalisme baru. Globalisasi dapat memberikan makna dalam bertransformasi menjadi bagian dari tradisi masyarakat dalam berarsitektur, dan tradisi berarsitektur ini dapat bertahan maupun menghilang. Adaptasi ataupun adopsi yang datang dari luar serta disesuaikan dengan kondisi pada saat ini, diharapkan masih bisa memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat ke masa depan. Terbentuk melalui asimilasi penyesuaian bahan, teknologi, pelestarian, dan sebagainya. Globalisasi budaya terjadi karena ada kontak antar budaya bangsa-bangsa di dunia yang mengakibatkan akulturasi terjadi, dan akhirnya berdampak pada perkembangan arsitektur. Elemen dari budaya yang pertama kali mengglobal adalah melalui agama, seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Mereka memberikan konstribusi besar bagi perkembangan globalisasi yang terjadi pada ranah arsitektur sebagai tempat untuk berhuni atau bernaung termasuk tempattempat peribadatan mereka. Ada beberapa pemikiran secara teoritis dengan para globalis di dunia ini. Menurut Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara- negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. Meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu, dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi). Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoretis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung ". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan. Memahami kearifan lokal Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam mengunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek atau situasi, sedangkan lokal (local) menunjukkan ruang interaksi tempat peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai agama dan adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegangteguh, yang disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budidaya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, obejk, atau eristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan 2007). Pandangan lain mengenai kearifan lokal dapat dipahami sebagai, gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local), yang bersifat bijaksana, penuh kearifan bernilai baik dan tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah local genius. Istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa, yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Soebadio dalam Ayatrohaedi 1986:18-19). Kemudian dipertegas lagi bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuanya untuk bertahan sampai sekarang (Moendardjito dalam Ayatrohaedi 1986:4041). Ciri-cirinya adalah: mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur -unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi dan berlangsung turun temurun sebagai akibat interaksi anatara manusia dengan lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini bermuara pada munculnya sistem nilai yang terkristalisasi dalam bentuk hukum adat, kepercayaan dan budaya setempat. Secara konseptual kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, caracara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Dapat disimpulkan kearifan lokal adalah nilai-nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Dengan demikian, tujuan dari kearifan lokal adalah membuat suatu budaya bangsa memiliki akar dan sebagai penyatu budaya bangsa di atas identitas daerahdaerah Nusantara. Akan terbentuk identitas keruangan sebagai penyeimbang sinergi globalisasi lokal yang berkaitan dengan arsitektur kawasan, dan salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik kesenjangan yang urgen yang berkaitan dengan perancangan kota. Menurut Yuwono (2005:76) identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya. Dalam tatanan tradisionalistik ada hal yang lebih mendalam lagi yang disebut dengan kearifan adat yang dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. (Sartini 2004:11 2). Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apa bila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus menerus. Dengan demikian kearifan lokal secara substansi merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari- hari. Oleh karena itu sangat beralasan jika Geertz mengatakan kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Awal Globalisasi dan perkembangannya di wilayah Nusantara Pada abad ke- 3 sampai abad ke-5 M, agama Hindu dan Budha mulai menyebar di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara. Awal peradaban arsitektur telah berkembang dan menjelajah di wilayah Nusantara. Peradaban awal ini dimulai dengan rancangan bangunan candi yang disusun dengan struktur dan konstruksi dari susunan batu- batu, yang sebagian besar digunakan untuk bangunan peribadatan. Zaman prasejarah di Indonesia pun berakhir kala prasasti pertama ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta oleh berbagai kerajaan Hindu di Indonesia. Globalisasi terjadi dengan masuknya pengaruh agama Budha dan Hindu yang menandai berkembangnya arsitektur percandian di Nusantara. Perkembangan arsitektur percandian yang sangat menonjol adalah pada masa Borobudur dan Prambanan, sejarah globalisasi Hindu dan Budha telah memberikan bentuk serta tatanan arsitektur percandian. Hal ini juga dapat dilihat dengan pola tatanan ruang dan massa serta relief-relief yang terukir pada dinding-dinding candi. Candi Borobudur dibangun di daerah Kedu pada tahun 750-825 M oleh Wangsa Syailendra. Pembangunannya dimulai dari masa pemerintahan Rakai Panangkaran dan dituntaskan pada masa pemerintahan Smaratungga. Pembangunan Borobudur memakan waktu 75 tahun. Periode pembangunan candi ini hampir bersamaan dengan pembangunan Candi Sewu di Dataran Prambanan bersama dengan candicandi Hindu lainnya, yang menunjukkan kerukunan hidup di antara umat beragama pada zaman itu. Bentuk Borobudur jika dilihat dari atas membentuk mandala. Mandala adalah peta yang menggambarkan tatanan semesta maupun sifat batin. Bentuk mandala yang mendasari arsitektur Borobudur adalah Mandala Dharmadhatu dan Wajradhatu. Teras Borobudur disusun sesuai dengan kaidah matematis Mandala Wajradhatu. Menurut legenda, arsitek Candi Borobudur bernama Gunadharma, yang berasal dari India. Figur wajah Gunadharma konon bisa dilihat dari lekuk Bukit Menoreh tak jauh dari Candi Borobudur. Arsitektur Borobudur merupakan perpaduan budaya India dan Jawa yang harmonis dan merupakan mahakarya dunia. Candi Prambanan atau Roro Jonggrang adalah kompleks Candi Hindu terbesar di Indonesia di bangun sekitar tahun 850 Masehi pada abad ke-9 oleh Dinasti Sanjaya, pada masa masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Candi Ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu, yaitu Brama sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Candi ini dibangun sebagai tandingan untuk Dinasti Syailendra yang membangun Candi Borobudur dan Candi Sewu di daerah tersebut. Para sejarawan menyatakan bahwa pembangunan Prambanan mungkin dimaksudkan untuk menandai kembalinya Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu setelah hampir satu abad jatuh di bawah dominasi Dinasti Syailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah, sedangkan nama Prambanan berasal dari nama desa tempat candi itu berdiri. Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka. Candi-candi yang ditata menggunakan batu bata dengan bentukan arsitektur dari pengaruh Hindu-Budha- Jawa (lokal) menandai kebesaran masa Majapahit di wilayah Nusantara ini. Peradaban dalam arsitektur mengalami perubahan besar dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya terutama pada masa candi-candi Borobudur dan Prambanan, baik dalam bahan maupun teknologi struktur dan konstruksinya. Telah terjadi transformasi melalui globalisasi pengaruh Hindu dan Budha dari masa sebelumnya dalam bentukan arsitektur candi-candi masa Majapahit. Majapahit adalah kerajaan besar di Pulau Jawa berpusat di Jawa Timur, Indonesia, dan berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan menguasai sebagian besar wilayah nusantara, Letak dan Lokasi kerajaan majapahit berawal dari sebuah desa kecil di kawasan hutan tarik ini. Pendiri pendiri kerajaan majapahit ialah Raden Wijaya yang dinobatkan dengan nama Kertarajasa Jaya Wardana. Berdasarkan kitab negara Kartagama di masa keemasannya, Majapahit adalah kerajaan dengan budaya keraton yang Adiluhur, anggun dan canggih. Cita rasa seni dan sastranya tinggi dengan sistem ritual keagamaannya yang rumit dua agama besar Hindu-Budha yang dianut masyarakatnya hidup berdampingan dalam harmoni tidak mengherankan jika Majapahit di gambarkan sebagai Mandala Raksasa yang membentang dari Sumatera hingga ke Papua. Kejayaan kerajaan Majapahit mencapai puncaknya di masa Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada pada abad ke-14. Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini. Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali. Kerajaan-kerajaan Hindu -Budha mulai surut berdirilah kerajaankerajaan Islam di Nusantara kita ini. Agama Islam mulai masuk ke Indonesia abad ke-13 M, Agama dan kebudayaan Islam masuk melalui para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat (India), dan Tiongkok. Kerajaan Islam pertama kali ada di Sumatera dan tanah air adalah Kerajaan Perlak (Peureula). Kemudian dalam perjalanan berdiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Di luar wilayah Jawa pun juga muncul Islamisasi di Maluku Utara abad ke-13 dengan Kerajaan Terante dan Tidore. Kedua kerajaan ini banyak mendapat pengaruh dari pedagang Jawa dan Melayu. Selanjutnya berkembang pada abad berikutnya dengan munculnya kerajaan -kerajaan Islam sekitar abad ke-16 terutama pada bangunan-bangunan masjid di Jawa (Cirebon, Banten, Demak, Kudus, Gresik dan lain sebagainya). Menandai peradaban baru dalam arsitektur Islam yang masih terinspirasi oleh tradisi bangunan lokal Jawa yang terjadi melalui proses sinkretisme dan akulturasi pada arsitektur bangunannya terutama masjid-masjid. Globalisasi pada masa kolonial di Indonesia Proses globalisasi juga terjadi pada masa pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, yaitu dengan terdapatnya interaksi antar beberapa kekuatan lokal dan pengaruh global. Pada waktu itu, Indonesia mengalami pengaruh Barat baik dalam kehidupan maupun tata kota dan bangunannya. Para arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam perencanaan dan perancangan kota, permukiman, dan bangunanbangunan gedungnya. Dengan adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain. Gaya arsitektur kolonial adalah gaya desain yang berkembang di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Dengan ditemukannya benua Amerika sekitar abad 15-16, menambah motivasi orang -orang Eropa untuk menaklukkan dan menetap pada “dunia baru”, yaitu daerah yang mereka datangi dan akhirnya dijadikan daerah jajahan. Motivasi mereka menjelajah samudra bervariasi, dari meningkatkan taraf hidup sampai membawa misi untuk menyebarkan agama. Selain itu juga tersimpan sedikit hasrat untuk memperoleh pengalaman dan petualangan baru. Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika. Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya setempat dan faktor budaya asing Eropa atau Belanda. Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan. Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial. Di samping itu juga adanya pengaruh dan keinginan para arsitek untuk berbeda dengan arsitektur kolonial yang sudah ada. Arsitek Belanda Hendrik Petrus Berlage (1856-1934) menyatakan terdapat dua kelompok tentang pemakaian seni budaya lokal dalam bangunan. Kelompok pertama merujuk kepada arus gerakan ekletktisme Eropa abad ke-19 serta menghendaki seni bangunan Eropa diberlakukan di daerah koloni. Kelompok kedua mereka lebih mengharapkan adanya kepekaan terhadap seni bangunan lokal (Nusantara) yang mengarah pada munculnya arsitektur baru, yakni Indo-Eropa (Antariksa, 2016). Menurut Helen Jessup adanya kedua arus gerakan arsitektur yang berkembang saat itu, yakni konteks regional dan eklektisme arsitektur Eropa abad ke-19. Hal ini berkaitan dengan pembaharuan dalam arsitektur nasional dan internasional, yakni upaya mencari identitas arsitektur kolonial Belanda di tanah jajahan (Hindia Belanda) yang juga merujuk pada arsitektur tradisional Nusantara. V.R. van Romondt salah satu pendiri Bandoeng Technische Hoogeschool (1923) sekarang bernama Institut Teknologi Bandung. Berambisi menciptakan “Arsitektur Indonesia” baru, yang berakar pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan kata lain ‘Arsitektur Indonesia’ adalah penerapan gagasan fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern. Namun sangat terinspirasi oleh arsitektur lokal. Globalisasi dalam Dinamika Arsitektur Perkembangan arsitektur sangat cepat dan terjadi di beberapa tempat di dunia, termasuk melanda beberapa wilayah di Timur, seperti Cina, Korea, dan Jepang. Hal ini menandai perubahan besar dari apa yang dikatakan dengan globalisasi arsitektur yang mendunia. Sebenarnya, perkembangan dan terjadinya perubahan besar sudah lebih lama terjadi di ketiga negara tersebut, baik bahan, teknologi maupun tradisi membangunnya. Dinamika ini menjadi ranah perdebatan yang sangat menarik, mengingat apa yang dilihat sekarang dengan bentukan-bentukan arsitekturnya menandakan telah terjadi perkembangan hasil budaya dalam menegakkan identitas mereka. Sentuhan peradaban Barat yang datang ke Timur dapat diterima dengan baik dan bersanding dengan tradisionalistik budaya dan peradaban yang mereka punyai. Perjalanan sejarah yang panjang yang terkait dengan dunia arsitektur telah membawa tradisi lama mereka ke dalam sebuah tatanan baru dalam berarsitektur. Kesempatan besar ini telah membawa arsitek-arsitek Cina untuk berkontribusi dalam perkembangan arsitektur kontemporernya. Arsitektur Cina yang berkembang saat ini mengacu pada gaya arsitektur Asia yang mendunia mewujudkan dirinya sebagai perubahan yang berkembang ke depan. Perkembangan ini tentu saja sangat kontras dengan masa lalu arsitektur mereka yang masih bertahan dengan tradisi budaya yang mereka punyai. Dengan bentuk peradaban dan tradisi khas yang bertahan selama ribuan tahun dapat berjalan berdampingan dengan keragaman serta bahan dan bentuk yang sangat berbeda jauh. Hasil desain kontemporer sebagai ungkapan masa kini yang terkadang masih melihat desain klasik-tradisional masa lalu. Desain kontemporer yang muncul dapat dikatakan mewakili kekinian dalam konsep dan teknologi serta bahan bangunan. Para arsitek di Cina dan dari negara lain mencoba menuangkan seni, gagasan, ide serta konsepnya dalam karya-karya yang spektakular dengan idealisme yang diyakininya. Dengan kecepatan teknologi dan ide yang sangat luar biasa Korea dapat mengubah tatanan arsitektur dan lingkungan urbannya. Hal yang mereka punya adalah tradisi budaya yang sangat kuat sejak jaman neolitikum sekitar abad ke-7 sampai dengan penjajahan Jepang (19101945). Budaya arsitektur tradisional dengan bahan kayu dan batu yang mereka punya masih bertahan dan dilestarikan sampai saat ini. Pada masa itu terjadi perubahan gaya arsitektur dengan gaya arsitektur Jepang. Globalisasi menjadikan mereka tertutup dari Eropa, sehingga semua pengaruh arsitektur Jepang melanda kesegala wilayah di Korea. Arsitektur modern baru masuk ke Korea setelah masa perang selesai, sehingga pasca perang pengaruh Amerika menjadi lebih besar, dan banyak bangunanbangunan gedung-gedung pencakar langit dan apartemen mulai banyak kena pengaruh dari modernitasnya. Arsitektur kontemporer Korea telah menyoroti dinamika dan keragaman budaya mereka sendiri. Meskipun industrialisasi di perkotaan berkembang dengan pesat, dan mengancam identitas budaya mereka, para arsitek Korea menemukan identitas budaya mereka sendiri dengan sebuah interpretasi modern dari gaya bangunan tradisional. Hal ini masih dilanjutkan salah satu projek arsitektur modern mereka dengan nama 'Presidential Archive', terletak di kawasan perkotaan dengan desain kontemporer masa kini. Melalui penghawaan alaminya tampil sangat ikonik pada seluruh bangunannya, dengan konsep ramah lingkungan beratap hijau untuk mengurangi panas. Perubahan dan perkembangan medasar juga terjadi di Jepang. Arsitektur menjelajah ruang dan waktu tiada hentinya, berkembang dan terus berkembang. Globalisasi arsitektur terjadi sejak Restorasi Meiji tahun1868, kekuatan Jepang dan kekuatan Eropa-Amerika terlihat lebih menonjol. Perkembangan ini memberikan dampak besar bagi perkembangan arsitektur saat itu di Jepang. Pengaruh arsitektr Eropa atau Barat mulai masuk ke dalam desain arsitektur Jepang. Perubahan lebih menonjol terlihat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dimulai dari interior desain rumah mereka sampai pada gedung-gedung besar di perkotaan. Perkembangan arsitektur yang angat berbeda dan tentu saja berlawanan dengan lokalitas teritori budaya yang mereka punyai. Kontemporisasi arsitektur telah menandai perubahan identitas peradaban mereka. Arsitektur tradisional yang dibawa oleh nenek moyang mereka sekarang hidup berdampingan dengan tradisi arsitektur baru. Jepang telah mengalami keterbukaan yang sangat luar biasa pada dunia terhadap perkembangan arsitektur kontemporernya. Setelah era post-modernisme berlalu, perilaku berarsitektur semakin cepat, dan perubahannya mengikuti perkembangan arsitektur di dunia. Kebudayaan lokal yang mereka punyai ternyata dapat menghargai arsitektur kontemporer dan menerima dengan sangat baik. Pertanyaan yang bisa muncul adalah sebenarnya mereka mempunyai lokalitas arsitektur sendiri yang ada sejak ribuan tahun yang lalu. Mengapa tidak mempertahankan teritori ruang budaya yang mereka punyai, yaitu arsitektur kertas dan kayu seperti pada periode awal sejarah arsitektur Jepang. Sebenarnya hal ini diawali sejak era industri yang begitu cepat perkembangan dan perubahannya. Perkembangan ini menjadikan sebuah tuntutan untuk berkembang dan terus berkembang, sehingga menjadikan identitas dari peradaban berarsitektur mereka menjadi lebih kokoh dan kuat. Melalui arsitektur yang begitu akrab dengan bahan-bahan baru, yaitu metal, baja, kaca dan beton menjadi sebuah identitas arsitektur kontemporer di Jepang. Masyarakat Jepang kalau kita perhatikan adalah masyarakat yang efisien terhadap hal apapun. Demikian juga terhadap perkembangan arsitekturnya terutama melalui material dan teknologi yang bisa berdampingan dengan alam budaya dan tempat hidup mereka. Hal ini menjadi sebuah pertimbangan, bahwa mateial-mateial baru yang digunakan berdaya tahan lama, dan sangat efisien. Material dasar arsitektur yang mereka gunakan dari kayu dan kertas digantikan dengan metal dan beton. Tentu saja mereka tidak melupakan inti dasar filosofi yang mereka punyai, yaitu filosofi Zen, yang intinya mengharuskan adanya keselarasan dengan alam sebagai tempat bermukim mereka. Globalisasi arsitektur Indonesia Sebenarnya globalisasi di Indonesia atau Nusantara ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Akulturasi dan sinkretisme dari agamaagama yang mereka bawa masuk ke wilayah Nusantara ini telah memberikan kontribusi akan perkembangan arsitektur pada waktu itu. Dalam kehidupan masyarakat etnis di Indonesia telah melahirkan sebuah budaya dengan bentang yang sangat luas mulai dari Aceh sampai Papua. Dengan pola pikir dan kebiasaan hidup yang sangat khas berdasar tradisibudaya-geografisnya. Dalam perjalanan pengaruh luar pun masuk ke dalam tradisi berarsitektur mereka, tradisi budaya Barat dan lokal bercampur menjadi bagian terbentuknya tradisi baru dalam arsitektur. Bahwa globalisasi arsitektur sudah ada dan berkembang sejak lama di Nusantara ini. Arsitektur adalah merupakan ekspresi dari budaya masyarakat di tempat mereka berada. Dalam perkembangan pasti akan mengalami perubahan baik bentuk, material, teknologi dan lain sebagainya. Dengan demikian gelobalisasi seharusnya ditanggapi sebagai bagian dari perkembangan dan perubahan dan terjadi disegala bidang, termasuk bidang arsitektur. Lokalitas arsitektur etnik yang kita punyai menjadikan dasar untuk kita pelajari apa yang ada dibalik bentukan arsitektur tersebut, sehingga bisa bertahan sampai saat ini. Sebagai sesuatu yang arif maka apa yang datang dan masuk harus bisa berjalan berdampingan tidak menolak sama sekali sesuatu yang datang dari arah global manapun. Berjalan berdampingan membentuk suasana peradaban baru, karena material dan teknologi mengalami perkembangan, dan material lokal pun lama kelamaan akan habis dan menghilang. Tugas para arsitek bukan hanya meminjam matrial atau memindah bahkan mengambil sebuah contoh konstruksi dari sesuatu bangunan yang usianya sudah berabad-abad yang lalu. Akan tetapi bagaimana kita harus bisa memahami tentang diri kita dengan waktu dan masa yang sangat berbeda, yang berjalan melalui perjalanan budaya dari peradaban ke peradaban berikutnya. Perlu pemahaman bagaimana cara mengkreasikan sebuah karya arsitektur baru yang ingin memasukkan sebuah tradisi baru yang diambil dari arsitektur etnik yang terdapat di Nusantara ini. Arsitektur Nusantara memberikan kekayaan arsitektur yang luar biasa, dengan material-lokalnya serta tradisi sosial-budayanya dapat dijadikan bagian dari arsitektur kekinian atau kontemporer, yang bisa dan dapat ditransformasikan dalam langgam arsitektur masa kini. Bukan dengan cara mengambil apa yang terdapat di masa lalu baik tradisi maupun sejarahnya, kemudian mencoba untuk dipindahkan dalam ruang dan waktu yang sama sekali berbeda. Maka tempat dan arsitektur yang dihasilkanya pun tidak akan memberikan spirit bagi peradaban budaya dalam berarsitektur. Arsitektur Nusantara sebaiknya juga harus bisa menerima perkembangan dalam memanfaatkan perkembanagn material dan teknologi agar perjalanan arsitekturnya bisa berkelanjutan. Kemudian dapat membangun tradisi baru dengan mengembangkan teknologi yang dapat tepat guna dengan melakukan modifikasi dan semata bukan pemenuhan kebutuhan saja. Arsitek-arsitek muda Indonesia telah melakukan pergerakan arsitektur baru, arsitektur yang mencoba melihat kelokalan/kesetempatan untuk dikembangan dalam kekinian. Terlihat dalam sentuhan-sentuhan desain mereka mencoba menumbuhkembangkan pendekatan-pendekatan baik pada bahan, teknologi maupun kosep-konsep untuk bangunan baru mereka. Perjalanan arsitektur kontemporer di Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang rumit, bagaimana tidak mereka harus melakukan pekerjaan yang tidak mudah. Dengan karya-karya arsitektur yang kreatif dan kontemporer tanpa melupakan unsur lokalitasnya, maka mereka akan memberikan hal- hal baru dalam sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia. Mereka juga akan mengikuti perkembangan dan modernisasi, tetapi tentu saja tidak dengan melupakan inti dari lokalitas dan identitas budaya yang kita punyai. Terutama tantangan yang harus dihadapi oleh para arsitek muda ini adalah dengan adanya pemikiran dan isu-isi baru dalam globalisasi yang datang dari segala penjuru. Tentu saja dengan tawaran-tawaran yang menawan melalui material dan teknologi baru dalam perkembangan perdaban berarsitektur. Para arsitek muda ini harus dapat memberikan semangat baru modernisasi arsitektur, tanpa melupakan sentuhan-sentuhan lokalitasnya mengikuti perubahan paradigma dalam berarsitektur di Indonesia. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade 1977). Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa masa lalau atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikan dan keunikan. Kenyataannya kotakota dalam masa sekarang cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global. Daftar Pustaka Antariksa (2016). Konteks Kekinian Arsitektur dalam Melihat Arsitektur Nusantara. Seminar Nasional Semesta Arsitektur Nusantara IV. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang 1718 November. Antariksa. (2015). Pelestarian Arsitektur & Kota Yang Terpadu. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Antariksa. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2009/08/kearifan-lokaldalam-arsitektur.html. (Diakses 28 Desember 2016). Arsitektur Candi Prambanan. https://candiprambanann.wordpress.com/category/arsitektur/ (Diakses 17 Desember 2016). Arsitektur Kolonial. https://dheavours.wordpress.com/2015/06/11/arsitektur-kolonial/ (Diakses 17 Desember 2016). Arsitektur Kontemporer di China. http://membacaruang.com/arsitekturkontemporer-di-china/. (Diakses 24 Desember 2016). Arsitektur Korea. https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Korea (Diakses 17 Desember 2016). Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Borobudur Indonesia. http://www.borobudurindonesia.com/sejarah.php (Diakses 17 Desember 2016). Eade, J. (1997). Introduction, Living the Global City, Globalization as Local Process. in John Eade, Ed. London: Routledge. Fenomena Arsitektur Indonesia di Era Globalisasi. https://mirabiela.wordpress.com/2008/10/23/fenomena-arsitekturindonesia-di-era-globalisasi/. (Diakses 24 Desember 2016). Globalisasi. https://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi#Budaya (Diakses 10 Desember 2016). Hidayatun, M.I., Prijotomo, J. & Rachmawati, M. (2014). Arsitektur di Indonesia dalam Perkembangan Jaman, Sebuah gagasan untuk Jati Diri Arsitektur di Indonesia. http://repository.petra.ac.id/16632/1/Publikasi1_85012_1436.pdf (Diakses 11 Desember 2016) Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda. https://iketsa.wordpress.com/2010/05/29/karakteristik-arsitekturkolonial-belanda/ (Diakses 17 Desember 2016). Korea Arsitektur Antara Identitas Budaya dan Globalisasi. http://allaboutkorea-hanguk.blogspot.co.id/2010/01/koreaarsitektur-antara-identitas.html. (Diakses 23 Desember 2016). Majapahit. https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit#Arsitektur (Diakses 17 Desember 2016). Ridwan, N.A. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38. Sagrism, H. (2015). Fenomena Arsitektur Indonesia di Era Globalisasi-Kritik dan Saran. http://hamahsagrim.blogspot.co.id/2015/12/fenomenaarsitektur-indonesia-di-era.html (Diakses 11 Desember 2016). Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Dalam: Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120. http://www.searchdocument.com/pdf/1/1/MenggaliKearifan-Lokal-Nusantara-SebuahKajian-Filsafati.html. (Diakses 10 Desember 2016). Sejarah Singkat Kerajaan Majapahit. http://www.antonnb.com/2015/12/sejarah-singkat-kerajaan-majapahit.html (Diakses 17 Desember 2016). Selamat Datang Ikon Baru Arsitektur Korea Selatan!. http://properti.kompas.com/read/2015/09/14/124846321/Selamat.Datang.Ik on.Baru.Arsitektur.Korea.Selatan. (Diakses 17 desember 2016). Seni Arsitektur Prambanan. https://senijogja.wordpress.com/2012/11/10/seni-arsitektur-candiprambanan/ (Diakses 17 Desember 2016). Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Kearifan Lokal dalam Perspektif Global. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Medan 2526 Januari 2017 View publication stats