TUGAS AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERKEMBANGAN REGULASI KEUANGAN DI SEKTOR PUBLIK OLEH: SONIA ELIZARNI 1610531011 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS TAHUN 2019 PERKEMBANGAN REGULASI KEUANGAN DI SEKTOR PUBLIK A. Pada Masa Pemerintahan Rasulullah SAW Muhammad melakukan banyak transaksi jual beli sebelum kenabiannya. Setelah diangkat sebagai Nabi oleh Allah SWT, keterlibatannya dalam urusan oerdagangan agak menurun. Bahkan sesudah hijrah ke Madinah, aktivitas perdagangannya semakin sedikit. Nabi Muhammas SAW mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala atau pemimpin agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Rasulullah harus memikirkan cara untuk mengubah keadaan secara perlahan. Dengan demikian, Rasulullah menerapkan berbagai strategi untuk membangun Negara Madinah. Dalam hal ini, strategi menyelesaikan masalah adalah sebagai berikut: Membangun Masjid, Menjalin Ukhuwah Islamiyyah antara Muhajirin dengan Anshar, Membuat Konstitusi Negara, dan Meletakkan Dasar-dasar Sistem Keuangan Negara. Setelah menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional, Rasulullah SAW merubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah SWT semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Pada masa Rasulullah, konsepkonsep tentang berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang boleh dilakukan oleh umat Islam telah diberikan secara tegas sebagai dasar pengembangan ekonomi pada ,asa-masa berikutnya. Dijelaskan juga bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam misalnya riba. Dalam ekonomi, Rasulullah menjelaskan prinsipprinsip muamalah al-mal (muamalah dalam hal harta) seperti berbafai macam bentuk jual beli (al-ba’y), diantaranya jual beli cicil (ba’y bi at-taqsit), jual beli pesan (ba’y bi as-salam), sewa-menyewa (al-ijarah), jaminan (ad-damn), pegadaian (ar-rahn). Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konspe baru di bidang keuangan negara (keuangan publik dan kebijakan fiskal) pada abad ke-7, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milih individu. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai baitu maal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, baitu maal terletak di Masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara. Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Rasulullah SAW tidak hanya bersumber dari zakat saja, sumber-sumber lain antara lain: anfal dan ghanimah adalah sama, yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang-barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain. Pendapatan lain yang diperoleh kaum muslimin pada masa Rasulullah berasal dari tebusan para tawanan perang badar. Fai’ pada masa kenabian diartikan Abu Ubaid (konsep dasar fai’ tipe pertama) sebagai kekayaan yang diberikan kepada Rasul,yang berasal dari kekayaan kaum musyrik tanpa melalui kekerasan atau peperangan. Kharaj menurut bahasa berarti al-kara’ (sewa) dan al-ghullah (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kuffar dengan cara paksa, setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah kharajiyah. Secara aturan syariat jizyah dapat diartikan sejumlah harta yang diwajibkan atas kafir dzimmi, yaitu orang yang masuk dalam lindungan dan kekuasaan kaum muslimin (non-muslim yang sukarela hidup diatur oleh publik Islam). Dalam fatawa iqtishadiyah bahwa usyur ada dua macam, yaitu: usyur pertanian dan usyur merupakan pungutan atas harta perdagangan milik orang kafir dalam konteks perdagangan internasional (melewati perbatasan negara Islam). B. Perkembangan Organisasi Sektor Publik di Dunia Sejarah organisasi sektor publik telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam bukunya, Vernon Kam (1989) mengilustrasikan keberadaan praktek akuntansi sektor publik sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Praktek tersebut dihasilkan dari berbagai interaksi antarwarga masyarakat dan berbagai kekuatan sosial kemasyarakatan. Kekuatan sosial kemasyarakatan tersebut diklasifikasikan dalam: (1) Semangat kapitalisasi (capitalistic spirit) (2) Peristiwa politik dan ekonomi (economic and politic events) (3) Inovasi teknologi (technology inovation) Sejarah Akuntansi Sektor Publik Periode 3000 SM – 1000 SM Peradaban Mesir Kuno Babilonia 1000 SM – Abad ke-1 Yunani Abad ke-1 – Roma Abad ke-5 Pertengahan Eropa abad ke-14 Aktivitas Sejarah praktek pencatatan telah ada sejak zaman mesir kuno. Organisasi kementerian didirikan dengan tujuan mengadministrasi laporan untuk Perdana Menteri. Para Menteri melakukan praktek laporan bulanan yang terkait dengan hasil pemungutan pajak. Dasar pemungutan pajak adalah catatan kekayaan yang disimpan oleh Gubernur setiap distrik. Berikutnya, di masa Babilonia, praktek pencataan telah dilakukan dalam berbagai kegiatan untuk menghasilkan pendapatan dan produksi. Pemerintah yang berkuasa membagi secara adil berbagai sumber pendapatan yang diterima. Organisasi kementerian ‘Phartenon’ telah mengembangkan metode pencatatan barang yang berharga. Di masa Roma, praktek akuntansi untuk mendukung mekanisme pajak dilakukan oleh semua pejabat, baik pejabat di gubernuran maupun kekaisaran. Pada saat abad ke-14 para pedagang dari Genoa mulaimengadakan pencatatan secara sederhana. Dengan terbitnya buku yang berjudul “ Summa de Aritmatica, Geomatrica, Pro Portioni et Proportionality”, yang disusun oleh Lucas Paciolo pada tahun 1494, pembukuan mulai dilakukan secara sistematis dengan menggunakan sistem pasangan. Praktek pencatatan akuntansi transaksi keuangan di Genoa adalah berupa bukti transaksi keuangan antara pemerintah yang berkuasa dan rakyat. Selanjutnya, proses pencatatan Awal abad ke-15 Eropa Akhir abad ke-18 Eropa Abad ke-19 – Abad ke20 Eropa berkembang dalam proses perdagangan antarnegara. Pada saat yang sama, di belahan dunia lain, gereja memasuki era peranan gereja dalam pemerintahan. Proses administarsi gereja tela dilakukan secara rapi. Orientasi politik dalam kebijakan administrasi adalah perlawanan kaum gereja terhadap kaum kapitalistik yang berorientasi mencari keuntungan pribadi. Pada awal abad ke-15, kekuatan perekonomian bergeser dari Italia ke Inggris, dimana filosofi ekonomi mercantilism bertahan selama dua abad berikutnya. Sekolah mercantilism membuat sistem di mana pemerintahan pusat berusaha untuk mengendalikan dan mengatur semua tahap perdagangan. Proses pelaporan dikembangkan lebih rinci terutama yang terkait dengan informasi tenaga kerja, metide produksi, jenis dan kualitas barang yang diproduksi, harag jual dan metode pemasaran. Pada akhir abad ke-18, terjadi perubahan mendasar dalam aturan bisinis. Inisiatif individu menjadi lebih dihargai dan diberi peluang seluas-luasnya. Akibatnya, revolusi industri muncul di Inggris. Kejadian ini menunjukkan bahwa pengembangan akuntansi keuangan dan akuntansi biaya di perusahaan lebih dipicu oleh perkembangan praktek akuntansi sektor publik. Praktik akuntansi sektor publik dapat dikatakan berkembang lebih lambat. Interpretasi yang salah mulai muncul dengan menyamakan akuntansi sektor publik sebagai proses pencatatan penarikan pajak yang dipungut oleh pihak pemerintah. Di Inggris, penekanan ini dinyatakan dalam penunjukkan pejabat publik sebagai penanggung jawab pengumpulan pajak, sekaligus pembelanjaan dana kerajaan. Satu-satunya perkembangan di masa itu adalah dimulainya praktik audit atas dana pemerintah. Pada tahun 1832, dibentuk komisi audit untuk melaporkan ke Dewan Perwakilan Rakyat tentang pelaksanaan pengeluaran dana. Kedekatan para auditor dan para pejabat terbilang sangat erat. C. Perkembangan Organisasi Sektor Publik di Indonesia Dalam konteks organisasi sektor publik, diperlukan sebuah paket standar akuntansi tersendiri dikarenakan adanya kekhususan yang signifikan antara organisasi sektor publik dengan perusahaan komersial. Di antaranya adalah adanya kewajiban pertanggungjawaban kepada publik yang lebih besar atas penggunaan dana-dana yang dimiliki. Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat sebuah standar yang relevan dengan praktik-praktik akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan baik oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) maupun oleh pemerintah sendiri. Pemerintah membuat Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pada lingkup Internasional, telah terdapat International Public Sector Accounting Standard –IPSAS (Standar Internasional Akuntansi Sektor Publik) yang disusun oleh International Federation of Accountants-IFAC (Federasi Akuntan International). Kebutuhan atas standar dipicu oleh keberadaan regulasi di sektor publik. Di Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi keuangan negara telah melahirkan banyak peraturan perundang-undangan yang memengaruhi perkembangan akuntansi sektor publik. Reformasi tersebut awalnya dilakukan dengan mengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Poko-Pokok Pemerintah di Daerah dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 yang berkaitan dengan keuangan negara dan daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 berisi tentang perlunya dilaksanakan otonomi daerah, sehingga undang-undang tersebut sering disebut Undangundang Otonomi Daerah. Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, maka terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam pengelolaan daerah, termasuk dalam manajemen atau pengelolaan keuangan daerah. Manajemen Keuangan Daerah di Era Pra Reformasi Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era pra reformasi dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Ciriciri pengelolaan keuangan daerah di era pra reformasi, yaitu: 1. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1975). Artinya tidak ada pemisahan konkret antara eksekutif dan legislatif. 2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975) 3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a. Perhitugan APBD b. Nota perhitungan c. Perhitungan Kas dan Pencocokan antara Sisa Kas dan Sisa Perhitungan yang dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Perhitungan Pendapatan dan Belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999) 4. Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri Nomor 903-057 Tahun 1988 tentang penyempurnaan bentuk dan susunan anggaran pendapatan daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja belum melibatkan masyarakat. 6. Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya c. Target dan persentase fisik proyek Yang tercantum dalam penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD) 7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah. Manajemen Keuangan Daerah di Era (Pasca) Reformasi Era reformasi ditandai dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru kepada Orde Reformasi pada tahun 1998. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk merealisasikannya, pemerintah pusat mengeluarkan dua peraturan yakni Undang-undnag Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Karakteristik dari pengelolaan keuangan daerah di era reformasi, antara lain: 1. Pengertian daerah adalah Provinsi dan Kota atau Kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah tingkat I dan II, juga kotamadya tidak lagi digunakan. 2. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah Daerah ini adalah badan eksekutif, sedangkan badan legislatif adalah DPRD (Pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999) 3. Perhitungan APBD menjadi satu dnegan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000) 4. Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas: a. Laporan Perhitungan APBD b. Nota Perhitungan APBD c. Laporan Aliran Kas d. Neraca Daerah Dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur Renstra (Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000) 5. Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos pendapatan (yang menunjukkan hak pemerintah daerah), tetapi masuk dala pos penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah) 6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusun APBD disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD. 7. Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya c. Target dan persentase fisik proyek Tetapi juga meliputi standae pelayanan yang diharapkan. 8. Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya adalah Lpaoran Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila 2 kali ditolak oleh DPRD. 9. Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD) adalah PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 yang menuntut akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran. Perubahan dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD), yaitu: a. Dari vertical accountability menjadi horizontal accountability Sebelum reformasi keuangan daerah, pertanggungjawaban ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi. Adanya reformasi, pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat melalui DPRD. b. Dari traditional budget menjadi performance budget Proses penyusunan anggaran dengan sistem tradisional menggunakan pendekan incremental dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban pada setiap input yang dialokasikan. Reformasi keuangan menuntut penyusunan anggaran dengan sistem anggaran kinerja dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekadar pada input tetapi juga pada output dan outcome. c. Dari pengendalian dan audit keuangan ke pengendalian dan audit keuangan dan kinerja d. Lebih menerapkan konsep value for money yang lebih dikenal dengan konsep 3E (Ekonomis, Efisien, dan Efektif). Artinya dalam mencari dana maupun menggunakan dana daerah dituntut selalu menerapkan prinsip 3E tersebut. e. Penerapan konsep pusat pertanggungajawaban f. Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintahan Sistem akuntansi keuangan pemerintahan menggunakan single entry system dengan dasar pencatatan cash basis. Di era reformasi keuangan daerah, sistem pencatatan yang digunakan adalah double entry system dengan dasar pencatatan modified cash basis (Kepmendagri Nomor 24 Tahun 2002) yang mengarah pada accrual basis (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004). Salah satu pergeseran pengelolan APBD berdasarkan PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah timbulnya perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintahan. Inti dari perubahan ini adalah tuntutan dilaksanakannya “akuntansi” dalam pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. bukan “pembukuan” seperti yang dilaksanakan selama ini. Daftar Pustaka 1. H. A Jajang W. Mahro, Aas Nurasyiah, Julian. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka 2. Halim, Abdul. 2002. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat 3. Bastian, Indra. 2010. Akuntansi Sektor Publk: Suatu Pengantar. Jakrta : Erlangga