UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) CREATIVE COMMUNICATION PERANCANGAN KOMUNIKASI KREATIF HUTAN ITU INDONESIA “TAK JENGAH JAGA JENGGALA” UNTUK MAHASISWA USIA 19-23 TAHUN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER PADA TANGGAL 20-22 MARET 2020 Disusun oleh: Radik Sahaja (55218120014) Naufal Mamduh (55218120023) Mellisa Fransisca (55218120032) Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana 2019 i Bab I - Pendahuluan 1.1. Latar belakang Salah satu masalah besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang hampir terjadi setiap tahun di Indonesia dan sudah menjadi isu global. Beberapa faktor yang menyebabkan karhutla yaitu curah hujan yang sedikit ketika musim kemarau dan naiknya suhu udara. Pembakaran lahan secara disengaja oleh oknum tertentu untuk alih fungsi lahan juga menjadi faktor karhutla. Terdapat beberapa cara untuk mencegah dan mengendalikan Karhutla. Dari sisi pencegahan dilakukan dengan penerapan zero burning dalam penyiapan lahan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat, misalnya program Desa Makmur Peduli Api yang menyadarkan masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar. Selain itu melakukan tata kelola gambut melalui teknologi untuk menjaga muka air tanah, kanal blocking, perbaikan zonasi tata air, serta melakukan penyadartahuan bahaya karhutla ke masyarakat. Karhutla di Indonesia multidimensi dan kompleks, upaya-upaya pencegahan dan pengendalian memerlukan kolaborasi aktif multipihak. Pengendalian karhutla memerlukan kerja sama para pihak yaitu masyarakat, akademisi, korporasi, komunitas (LSM/NGO), pemerintah dan pemerintah daerah, Polri dan TNI.Berdasarkan data dari BNPB yang dirilis pada Senin (16/9) pukul 16.00 WIB, dikutip oleh CNN Indonesia, hingga Agustus ini dampak kebakaran terluas terjadi di Riau yang mencapai hingga 49.266 ha. Menyusul Kalimantan Tengah yang mencapai 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Sumatra Selatan 11.426 ha, dan Jambi seluas 11.022 ha. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang belum berakhir dan hujan yang masih belum turun. Menurut data terakhir tersebut, saat ini titik api yang terbanyak berada di Kalimantan Tengah yang mencapai 513 titik panas (hotspot). Kemudian menyusul Kalimantan Barat dengan 384 titik panas. Seperti kita ketahui, keberadaan hutan sangat penting karena memiliki fungsi ekologis sebagai penampung karbon dioksida (CO2), penghasil oksigen (O2), penyedia air, dan mencegah timbulnya masalah global. Penghilangan hutan akan menyebabkan sedikit banyak mengganggu ekosistem yang ada di sekitarnya. Keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya akan tertekan akibat kegiatan penghilangan hutan yang tidak bertanggungjawab atau yang biasa disebut pembalakan liar atau illegal logging. Illegal logging adalah kegiatan pemanenan pohon hutan, pengangkutan, serta penjualan kayu maupun hasil olahan kayu yang tidak sah dan tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Secara umum, kegiatan ini dilakukan terhadap areal hutan yang dilarang untuk 1 pemanenan kayu. Illegal logging biasa terjadi pada kondisi hutan yang sulit dijangkau oleh orang lain sehingga sulit dilakukannya pengawasan. Mirisnya, penebangan yang tidak didasari oleh surat izin sah sangat marak terjadi di Indonesia.Illegal logging tentu saja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi laju deforestasi di suatu wilayah. Deforestasi atau hilangnya penutupan hutan terjadi akibat banyaknya perusahaan produksi kayu yang melakukan penebangan secara besar-besaran pohon hutan tanpa melakukan penanaman kembali. Illegal logging masih marak terjadi akibat tingginya permintaan pasar terhadap kayu asal Indonesia. Banyak hutan yang menjadi korban pembalakan liar, antara lain Kawasan Hutan Lindung Gunung Bentarang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Taman Nasional Rimbang Baling di Pekanbaru, Riau dan di hutan daerah Nunukan, Kalimantan Utara. Dalam artikel Detik.com, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakui sejak 2015 hingga sekarang jumlah kasus illegal logging berkurang. Pada 2015, kasus illegal logging masih mencapai jutaan hektare, pada 2016 angkanya menurun tinggal sekitar 600 ribuan hektare, dan pada 2017 jadi 470 ribuan hektare. Akan tetapi, sebagaimana diberitakan oleh Voaindonesia.com, dari enam operasi peredaran dan pengamanan hutan hingga Maret 2019, pemerintah menyita 455 kontainer kayu ilegal dari Papua, Papua Barat, dan Maluku. Illegal logging menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi laju deforestasi di suatu wilayah. Deforestasi atau hilangnya penutupan hutan terjadi akibat banyaknya perusahaan produksi kayu yang melakukan penebangan secara besar-besaran pohon hutan tanpa melakukan penanaman kembali. Berdasarkan hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2018 yang dikeluarkan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berdasarkan sistem monitoring hutan (SIMONTANA) menunjukkan bahwa luas lahan adalah 93,5 juta ha, di mana 71,1% atau 85,6 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Kemudian deforestasi netto tahun 2017 -2018 di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 0,44 juta ha, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 0,49 juta ha, dengan dikurangi reforestasi sebesar 0,05 juta ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 0,3 juta ha, di mana 51,8% atau 0,16 juta ha berada di dalam kawasan hutan, dan sisanya seluas 0,15 juta ha di luar kawasan hutan. Sejalan dengan hasil pemantauan tingkat nasional yang dilakukan oleh KLHK, di tingkat global, pemantauan hutan yang dilakukan oleh University of Maryland melalui GLAD (Global Land Analysis and Discovery), dan dirilis oleh Global Forest Watch (GFW) serta dikutip oleh World Recources Institut (WRI) Indonesia. Dari pemantauan independen tersebut tercatat bahwa di Indonesia terjadi penurunan angka deforestasi yang signifikan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa GLAD menggunakan sistim, metodologi dan peristilahan yang berbeda dengan KLHK, dan lebih mengangkat istilah tree cover loss (tidak hanya deforestasi/kehilangan hutan alam, namun termasuk pemanenan pada hutan tanaman). Bila mengacu pada GLAD (yang 2 dirujuk oleh GFW/WRI), di tahun 2018, angka primary forest loss (hutan alam versi Indonesia) 40 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat kehilangan hutan tahunan di periode 2002-2016. Berbicara mengenai hutan tentu menyinggung mengenai hasil hutan. Yang dimasksud hasil hutan adalah semua jenis material yang diperoleh dari dalam hutan dan dipergunakan secara komersil atau untuk kepentingan ekonomi. Secara umum hasil hutan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu Hasil Hutan Non-Kayu dan Hasil Hutan Kayu. Hasil hutan non-kayu, yaitu yang didapatkan dengan tanpa menebang pohon hutan. Sedangkan hasil hutan kayu, yaitu yang didapatkan dengan menebang pohon hutan. Contoh hasil hutan non kayu antara lain rotan, damar, kapur barus, kemenyan, gambir, bambu, sutra alam, madu, dan masih banyak lagi. Sedangkan contoh hasil hutan kayu antara lain agathis, bakau, jati, meranti, dan lainnya. Adanya kegiatan untuk beralih pada jenis kayu alternatif dapat membantu mengurangi tingginya permintaan pasar akan jenis-jenis kayu konvensional, seperti jati, merbau, bangkirai, ulin, dan beberapa lainnya. Secara tidak langsung hal ini akan mengurangi kecenderungan pihak-pihak pencari untung untuk melakukan penebangan ilegal. Selain mulai mengoptimalkan beragam jenis kayu alternatif, ada baiknya kita sebagai konsumen mulai sadar untuk menggunakan produk-produk yang hanya menggunakan kayu legal. Salah satu caranya adalah dengan mengutamakan produk berbahan kayu yang telah memiliki label Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari program Indonesian Legal Wood. Indonesian Legal Wood adalah program Departemen Kehutanan untuk memastikan kejelasan sumber bahan baku kayu yang digunakan oleh industri agar program pelestarian hutan industri dan hutan lindung dapat berjalan dengan semestinya. Untuk mendapatkan label SVLK, sebuah produk harus memenuhi persyaratan yang menunjukkan legalitas dari bahan baku kayu tersebut. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dalam proses pembuatan kertas adalah hal yang wajar terjadi karena merupakan salah satu bentuk upaya pemanfaatan hasil dari hutan. Namun kenyataannya yang terjadi sekarang ini adalah peningkatan kebutuhan terhadap bahan baku kertas yang berupa kayu tidak sebanding dengan pemeliharaan hutan sebagai penghasil kayu itu sendiri. Sangat banyak barang-barang yang terbuat dari kertas yang dimanfaatkan oleh masyarakat, tetapi di sisi lain, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan kertas tersebut. Contoh perilaku pemborosan penggunaan kertas antara lain membuang kertas yang satu sisi nya belum terpakai ke tempat sampah, pemakaian tisu di tempat makan dan toilet yang jumlahnya tidak terkendali, serta tidak adanya penguraian kertas menjadi bahan yang berguna. 3 Sebagaimana pernyataan Sekjen Serikat Hijau Indonesia Koesnadi, yang dikutip oleh WWF Indonesia (2018), dimana jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta orang, dan setiap harinya mereka menggunakan setengah gulung tisu, artinya konsumsi tisu Indonesia setiap harinya adalah 100 juta gulung. Bila diasumsikan berat satu gulung tisu adalah seperempat kilogram, maka penggunaan tisu Indonesia dalam satu hari mencapai 25 ribu ton. Sedangkan untuk membuat 3,2 juta ton tisu toilet, produsen harus menebang 54 juta batang pohon. Sementara dalam artikel yang ditulis oleh Dhea Nadya pada Kompasiana, diperlukan 1 batang pohon usia 5 tahun untuk memproduksi 1 rim kertas. Penggunaan kertas di Indonesia sendiri diketahui sekitar 5,6 juta ton per tahunnya. Banyaknya pohon di hutan yang ditebang untuk diambil kayunya sebagai bahan utama pembuatan kertas, nantinya dapat berdampak pada berkurangnya jumlah pohon di hutan tanpa adanya pembaharuan penanaman pohon kembali. Perilaku inilah yang nantinya bisa mengganggu fungsi hutan sebagai paru-paru dunia dan penyeimbang iklim global. Perusakan hutan atau deforestasi, pembalakan liar (illegal logging), persoalan sampah terutama di hutan serta perilaku pemborosan penggunaan hasil olahan hutan membuat masyarakat yang menggantungkan hidupnya darihutan, semakin terdesak. Maka cara yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kondisi lingkungan kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan komunikasi lingkungan. Secara pengertian, Komunikasi Lingkungan adalah penggunaan pendekatan, prinsip, strategi dan teknik-teknik komunikasi untuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan (Cangara dan Flor, 2018:3). Dari pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa komunikasi lingkungan diperlukan untuk keberlangsungan hidup manusia dan organisme lainnya berkaitan dengan ekosistem. Sementara komunikasi perubahan iklim adalah bagaimana komunikator mengajak audiens untuk terlibat dalam mengatasi perubahan iklim. Seperti yang dilakukan oleh komunitas seperti Greenpeace Indonesia yang sangat concern terhadap masalahmasalah hutan di Indonesia melakukan aksi damai kampanye Hutan antara lain kampanye ‘HutanTanpaApi’, kampanye ‘PulihkanHutan: PulihkanHarapan’, dan masih banyak kegiatan komunikasi lingkungan lainnya.Selain itu, Rainforest Action Network (RAN) juga meluncurkan situs kampanye ‘Beyond Paper Promises,’ atau ‘Lebih Dari Sekedar Janji-janji Kertas’. Kampanye ini mengusung kondisi masyarakat adat dan kelompok masyarakat yang masih hidup dalam konflik berkelanjutan dengan perusahan kertas dan pulp. Komunitas lainnya yaitu Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia yang salah satu misinya adalah bahwa pengelolaan hutan dan lingkungan yang tepat, penting untuk memastikan pengelola hutan serta pengusaha produk kayu dan non-kayu mampu mempertahankan keanekaragaman hayati hutan, menjaga fungsi hutan, dan proses ekologi yang berkelanjutan. FSC Indonesia memiliki tiga program utama, yaitu: 1) perluasan wilayah hutan dan industri bersertifikat FSC; 2)pengenalan program FSC kepada masyarakat; dan 4 3)peningkatan pengetahuan sertifikasi FSC dalam bentuk-bentuk kegiatan FSC Friday, FSC corner, Training sertifikasi FSC umum, dan kegiatan lainnya. Komunitas lokal lainnya adalah Hutan Itu Indonesia (HII) di mana baru-baru ini tepatnya tanggal 26-28 Agustus 2019, HII melalui Kampanye Hutanku Napasku membagikan tak kurang dari 30.000 masker bertuliskan “ Hutanku Napasku” secara gratis di tujuh titik transportasi publik di Jabodetabek. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar masyarakat ingat (juga mengingatkan orang-orang di sekitarnya) akan hebatnya hutan, yang walaupun jauh di mata namun secara tidak langsung menjaga keberlangsungan hidup manusia. Dilansir dari website resminya hutanitu.id, HII merupakan gerakan terbuka yang percaya akan kekuatan pesan-pesan positif untuk menumbuhkan rasa cinta kepada hutan Indonesia yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia. HII percaya semua orang bisa berkontribusi untuk menjaga hutan, dan dengan kolaborasi, akan bisa mendorong adanya perlindungan hutan yang lebih baik untuk masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dari contoh kegiatan yang dilakukan oleh komunitas pemerhati kelestarian lingkungan hutan diatas, bahwa setiap komunitas memiliki kegiatan kreatif yang bertujuan untuk mengomunikasi strategi penyebaran pesan-pesan dalam rangka upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan terutama hutan Indonesia melalui kegiatan kampanye. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah dalam penulisan ini adalah masih adanya deforestasi dan karhutla yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan perubahan iklim dan merusak keseimbangan ekosistem. Selain itu, penggunaan kertas dan tisu yang merupakan produk hasil olahan hutan masih banyak masyarakat yang mengonsumsinya tidak secara bijak. Banyak komunitas pemerhati kelestrian lingkungan memiliki kegiatan kreatif yang mengomunikasikan strategi upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan melalui kegiatan kampanye. Lantas bagaimana cara merancang strategi komunikasi lingkungan dengan cara mengadakan “Tak Jengah Jaga Jenggala” untuk mahasiswa usia 19-23 tahun? 1.3. Tujuan Melalui strategi komunikasi diharapkan masyarakat dapat mengenali peran sosialnya bagi pelestarian alam, sehingga dapat menempatkan dirinya tidak hanya sebagai pengunjung, tetapi juga pendukung. Dukungan tentunya bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain pengunjung bisa menjadi aktif menyuarakan penyelamatan alam, 5 bergabung dalam kelompok pecinta alam, menjadi kader konservasi ataupun membangun kolaborasi dengan para pihak sesuai minat serta kemampuan masyarakat itu sendiri. Tulisan ini akan menjelaskan suatu strategi komunikasi yang disebut strategy communication plan untuk merancang suatu program atau kegiatan kreatif yang belum pernah dilakukan sebelumnya pada komunitas Hutan Itu Indonesia (HII). Program kreatif yang dirancang akan berkolaborasi dengan komunitas HII dalam rangka mendukung kegiatan pelestarian terhadap hutan, dengan target audiens melibatkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta di Jakarta, untuk aktif terlibat dan berpartisipasi langsung menyuarakan penyelamatan hutan melalui kegiatan camping yang didalamnya terdapat pemberian edukasi mengenai pentingnya menjaga hutan sehingga audiens dapat mengenal hutan lebih dekat (tak kenal maka tak sayang); menginformasikan perihal kondisi hutan Indonesia masa kini; memberikan edukasi bagaimana cara menjaga dan melestarikan hutan, terutama pada kawasan Taman Nasional Gunung Leuser; memberikan penanaman nilai tentang keseimbangan antara alam dan manusia; memberikan bagaimana cara mengelola hutan dengan tetap menjaga ekosistem hutan; dan memberikan wawasan seputar hasil olahan hutan sehingga audiens semakin bijak menggunakan hasil olahan hutan. 6 Bab II - Teori Konsep 2.1. Komunikasi Lingkungan Inti dari pembahasan tentang lingkungan hidup adalah membahas bagaimana kita sebagai manusia berinteraksi dan bersikap bersahabat dengan alam, hewan, tumbuhan, gunung, tumbuhan, langit, dan lautan.Karena pada dasarnya manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang harus dijaga keseimbangannya. Setidaknya pandangan mengenai hal tersebut diakui oleh beberapa agama melalui masing-masing kitab suci dan nubuatnubuatnya. Dalam kitab suci Al-Qur’an kata al-‘alamin (seluruh spesies atau makhluk) disebut 71 kali, al-sama’ (ruang dan waktu) disebut 387 kali, al-ardl (bumi) disebut 463 kali, dan al-bi’ah (lingkungan) disebut 15 kali. Bagi agama Katolik juga terdapat amanah untuk manusia memiliki pandangan yang positif terhadap alam dalam Perjanjian Baru. Di dalam Injil dan Surat Rasuli ditegaskan bahwa kedatangan Yesus Kristus ke dunia untuk menebus/menyelamatkan seluruh dunia (Yohanes 3:16). Beberapa ayat lain pun secara tersirat maupun tersurat menyinggung tentang lingkungan, di antaranya Mazmur 24:1, 107:33-34; Kejadian1:27-31, 2:8-15; dan Yesaha 45:12. Pada agama Buddha terdapat pandangan terhadap lingkungan, setidaknya dalam Sang Buddha, Dhammapada: BungaBunga ayat 49, Karaniyametta Sutta, dan Sutra Buddhis. Agama Hindu pun terdapat pandangan terkait dengan lingkungan antara lain dalam Kitab Artharwaweda (XII:1) dan upaca-upacara keagamaan seperti Butha Yadnya dan Dewa Yadnya. Berdasarkan pemaparan di atas, pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua umat manusia sebagai pemikul amanah untuk tinggal, memanfaatkan, dan memelihari bumi yang diciptakan Sang Maha dengan isi dan sistem yang luar biasa menakjubkan. 2.1.1. Definisi Komunikasi Lingkungan Dalam Komunikasi Lingkungan. Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi (2018:3-4), Prof. Dr. Alexander G. Flor dan Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. mendefinisikan komunikasi lingkungan sebagai pendekatan, prinsip, strategi dan teknik-teknik komunikasi untuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Secara ringkas komunikasi lingkungan merupakan pertukaran informasi yang disengaja baik dalam bentuk pengetahuan maupun dalam bentuk kebijakan tentang lingkungan. Komunikasi lingkungan terinspirasi oleh teori sistem umum (general system theory) dimana dalam sistem kehidupan makhluk hidup, ada tiga fungsi penting, yakni: 1. Pertukaran materi dengan lingkungannya dan dengan sistem kehidupan yang lain; 2. Pertukarang energi dengan lingkungannya dan sistem kehidupan yang lain; dan 3. Pertukaran formasi dengan lingkungannya dan system kehidupan lainnya. 7 Komunikasi tidak lebih dari pertukaran informasi dalam arti luas, komunikasi lingkungan diperlukan untuk kelangsungan hidup setiap kehidupan, baik itu organisme, ekosistem, maupun untuk sistem sosial. Komunikasi lingkungan juga menganut prinsip bahwa tujuan dari komunikasi manusia adalah saling pengertian. Prinsip ini menjadi dasar dari Model Konvergensi Komunikasi yang dibuat oleh D. Lawrence Kincaid atas teori sistem umum (GST) pada tahun tujuh puluhan. Komunikasi lingkungan juga tidak harus senantiasa berorientasi pada media (media-sentris), tetapi komunikasi harus mampu membangkitkan partisipasi masyarakat yang lebih besar. Komunikasi harus mampu memberdayakan anggota masyarakat untuk tidak tinggal diam sebagai penerima pasif, tetapi juga bisa menjadi sumber informasi yang aktif. 2.1.2. Inti Pesan Disebutkan dalam Komunikasi Lingkungan. Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi (2018:4-5), dalam dekade terakhir telah terjadi kesepakatan umum di kalangan praktisi komunikasi lingkungan tentang empat inti pesan komnikasi lingkungan yang sesuai dengan empat hukum ekologi yang disebutkan oleh Barry Commoner, ahli biologi Amerika. Keempat inti pesan itu adalah sebagai kesepakatan umum di kalangan praktisi komunikasi lingkungan tentang empat inti pesan komnikasi lingkungan yang sesuai dengan empat hokum ekologi yang disebutkan oleh Barry Commoner, ahli biologi Amerika. Keempat inti pesan itu adalah sebagai berikut: 1. Segala sesuatunya berhubungan satu sama lainnya. Setiap yang ada dalam ekosistem akan saling terkait dan saling berhubungan seperti jaringan raksasa. 2. Segala seuatunya akan pergi ke suatu tempat. Adanya keterkaitan antara limbah dan manajemen. Limbah menjadi bagian dari lingkungan. Di sini limbah bukan dalam arti kata yang sempit bahwa ia dibuang di sekitar tempat kita, tetapi akan selalu berakhir di suatu tempat. 3. Alam memiliki jalan terbaik.Teknologi tidak bisa menyelesaikan semua masalah masyarakat. Alam memiliki cara sendiri untuk mengompensasi ketidakadilan, menjaga keseimbangan, dan memecahkan masalah. 4. Segala sesuatunya tidak serta merta gratis. Setiap yang diperoleh itu memiliki biaya. Pemanfaatan sumber daya alam setelah diproses akan memiliki nilai (harga). Di saat tertentu, harga itu lebih tinggi nilainya dari manfaat yang kita dapatkan. 2.1.3. Resolusi Konflik Konflik lingkungan merupakan fenomena umum dalam masyarakat di beberapa negara berkembang yang mayoritas disebabkan oleh kurangnya informasi dari pemrakarsa proyek. Dalam Komunikasi Lingkungan. Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Melalui Strategi 8 Komunikasi (2018:7) disebutkan bahwa dalam konflik lingkungan para praktisi komunikasi menemukan dirinya sebagai mediator atau arbitrator dan harus memiliki keterampilan resolusi konfik. Bentuk resolusi konlfik lingkungan, yaitu: 1. Kampanye komunikasi. Komunikasi lingkungna dapat dibuat melalui perencanaan lalui diimplementasikasikan sebagai kampanye komunikasi dengan spesifik khalayak, pesan, media, strategi, dan jadwal waktu pelaksanaannya. 2. Intervensi budaya. Intervensi budaya sebagai bentuk komunikasi lingkungan dalam penanganan resoulsi konflik juga bisa digunakan. Intervensi budaya hanya memerlukan pendekatan nilai-nilai budaya yang dipegang atau dipelihara oleh masyarakat setempat. 2.1.4. Mitigasi Bencana Dalam Komunikasi Lingkungan. Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi (2018:277) disebutkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, baik yang ditimbulkan oleh alam, ulah manusia maupun gabungan dari keduanya. Bencana alam merupakan suatu rangkaian peristiwa bencana yang disebabkan oleh faktor alam, seperti gempa, kekeringan, erupsi gunung merapi,angin topan, dan tsunami. Penggundulan hutan mengakibatkan banjir, pembakaran hutan untuk perkebunan sawit mengakibatkan kebakaran dan asap yang mengganggu kesehatan dan lingkungan, dan pembebanan tanah karena pendirian bangunan yang berat atau pengambilan air tanah menyebabkan longsor merupakan contoh dari bencana yang terjadi karena ulah manusia. Salah satu tujuan dair mitigasi adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam mengahadapi serta mengurangi dampak atau risiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (Flor dan Cangara, 2018:279). Beberapa kegiatan mitigasi bencana sebagaimana ditulis dalam Komunikasi Lingkungan. Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi (2018:280), antara lain: 1. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; 2. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencan; 3. pengembangan budaya sadar bencana; 4. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; 5. pemantauan terhadap pengelollaan sumber daya alam; 6. pengeawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup 9 Sedangkan berdasarkan siklus waktunya, kegiatan penanganan bencana dapat dibagi menjadi empat kategori, yakni: 1. kegiatan sebelum bencana terjadi (mitigasi), 2. kegiatan saat bencana terjadi (perlindungan dan evakuasi) 3. kegiatan setelah bencana terjadi (pencarian dan penyelamatan) 4. kegiatan pasca bencana (pemulihan/penyembuhan dan perbaikan/rehabilitasi) Jika melihat definisi, mitigasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum bencana terjadi; untuk mencegah atau mengurangi dampak risiko bencana, kegiatan preventif. 2.1. Berkemah untuk Remaja Baden Powell (1857-1941) dikutip oleh Idik Sulaeman (1983:4) menulis: “Berkemah adalah sesuatu yang menyenangkan dalam hidup seorang pandu. Hidup di alamat Tuhan yang terbuka, di sekitar bukit-bukit dan pepohnan, burung dan binatang, lautan dan sungai; hidup di alam terbuka beratapkan tenda serta mengadakan penyelidikan, sungguh mendatangkan kesehatan. Kebahagiaan semacam itu tidak akan kamu jumpai di lingkungan tembok dan asap kota.” Dari pernyataan Baden Powell di atas dapat didefinsikan bahwa berkemah adalah sebuah kegiatan rekreasi di luar ruangan. Kegiatan ini umumnya dilakukan untuk beristirahat dari ramainya perkotaan, atau dari keramaian secara umum, untuk menikmati keindahan alam. Berkemah biasanya dilakukan dengan menginap di lokasi perkemahan, dengan menggunakan tenda, di bangunan primitif, atau tanpa atap sama sekali. Kegiatan berkemah dilaksanakan di alam terbuka sehingga memerlukan persiapan yang matang, baik persiapan fisik maupun mental. Secara umum orang yang berkemah adalah orang-orang yang mempunyai hobi bertualang, para petualang ini umumnya mereka akan berkemah baik di pantai di gunung maupun di tempat-tempat yang mereka inginkan. Organisasi yang sangat dekat dengan kegiatan berkemah adalah pecinta alam dan pramuka. Macam perkemahan dilihat dari aspek tujuannya sebagai berikut:a) Perkemahan bhakti atau perkemahan wirakarya yang biasa disebut kemah kerja; b)Perkemahan ilmiah yang bertujuan mengadakan perkemahan ilmiah; c)Perkemahan edukatif yang bertujuan pendidikan watak, melatih ketrampilan, pendidikan organisasi; d)Perkemahan rekreasi yang bertujuan menumbuhkan daya kreatif; dan e)Perkemahan mengenal daerah lain yang bertujuan mengenal geografis budaya. Tujuan dari berkemah yaitu 1) memberikan pengalaman adanya saling ketergantungan antara unsur-unsur alam dan kebutuhan untuk melestarikan, menjaga lingkungan dna mengembangkan sikap bertanggung jawab akan masa depan yang menghormati keseimbangan alam; 2) mengembangkan kemampuan diri mengatasi tantangan yang dihadapi, menyadari tidak ada sesuatu yang berlebihan di dalam dirinya, 10 menemukan kembali cara hidup yang menyenangkan; dan 3) membina kerjasama dan persatuan serta persaudaraan antar peserta. Melalui kegiatan berkemah dapat menumbuh kembangkan komptensi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) secara maksimal. Kegiatan berkemah bukan hanya untuk kegiatan rekreasi, tetapi juga mampu untuk memerkenalkan dan memelajari lingkungan. Kegiatan berkemah membuat peserta lebih menghayati keadaan alam, seperti suhu udara, iklim, suasana atau mengenal masyarakat. Secara umum, berkemah memiliki banyak sekali manfaat yang didapat oleh peserta, diantaranya: a) Mengagumi alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa b) Mempraktikan sistem kerukunan c) Dapat mengenal alam dan kawan dari dekat d) Kita akan menemukan hal-hal yang baru yang akan mempertebal percaya pada diri sendiri e) Menambah ilmu dan pengetahuan baru f) Menambah pengalaman baru Beberapa sifat dari watak dan pribadi anak/remaja yang dapat ditumbuhkan dalam perkemahan, sebagaimana ditulis dalam Petunjuk Praktis Berkemah (1983:7-9) adalah (1) tangkas dan terampil, (2) percaya pada diri sendiri, (3) keberanian, (4) tertib, (5) pendealian diri, (6) idealism dan fantasi, (7) keinginan untuk maju, (8) kewajiban dan tanggung jawab, (9) cinta alam, (10) ketuhanan, dan (11) ksatria. Kegiatan yang dilakukan dalam perkemahan (khususnya perkemahan pramuka) antara lain: 1. Permainan. Perkemahan selain digunakan untuk pertemuan anggota pramuka juga dapat digunakan sebagai sarana permainan yang dilombakan guna mencari tim terbaik dengan anggota yang cerdas dan tangkas 2. Wide Game. Wide game atau kegiatan mencari jejak merupakan kegiatan penjelajahan lingkungan sekitar dengan penambahan perlombaan-perlombaan kecil dalam rutenya 3. Api Unggun. Api unggun bisa dikatakan merupakan kegiatan puncak dalam acara berkemah pramuka yang diadakan di malam terakhir perkemahan 2.2. Hutan Indonesia Di dalam Ekologi Hutan (2017:4) disebutkan beberapa definisi tentang hutan, yaitu: 1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No.. 41 Tahun 1999). 11 2. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992). 3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982). 4. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994). Bila ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau definisi tentang hutan di atas, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan dan bersinergi. Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, dan Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 133,7juta ha atau sekitar60 persen dari luas total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2009). Indonesia menempati peringkat ketiga (sesudah Brazil dan Zaire) dalam kekayaan hutan hujan tropis, dan memiliki 10% dari sisa sumber daya ini di dunia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan dimasa yang akan datang. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan memunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konvervasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Hutan juga berperan penting dalam perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source of emission). Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan serapan. Tekanan terhadap sumberdaya hutan cenderung semakin meningkat. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan penyebab utama kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global; Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; Adanya penggunaan kawasan 12 hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya, hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomiyang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Bermula dari pertengahan tahun 1960-an eksploitasi komersial hutan di pulau-pulau di luar pulau Jawatelah tumbuh dengan cepat dan Indonesia kini merupakan salah satu pengekspor kayu tropis yang terbesardi dunia (terutama kayu lapis). Pada tahun 1996 pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berjumlah445 dan meliputi area seluas 54.060.599 ha. Pada tahun1994, kayu dan produk-produk kayu menghasilkansekitar US$ 5,5 milyar pendapatan ekspor Indonesia, kira-kira 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor (Economist Intelligence Unit 1995b:3). Terdapat kira-kira700.000 orang yang dipekerjakan di sektor hutan secara resmi (World Bank 1995:1).Dalam perjalanan perkembangan industri perkayuan, terjadi peningkatan besar dalam jumlah dan lajuhilangnya tutupan hutan di Indonesia. Penelitian FAOtahun 1990 menunjukkan bahwa tutupan hutan dinegeri ini telah berkurang dari 74% menjadi 56%dalam jangka waktu 30-40 tahun (FAO 1990:3). World Bank, mengacu pada penelitian yangdilakukan FAO, mencatat peningkatan dalam estimasi deforestasi setiap tahun yaitu pada tahun 1970-an 300.000ha/tahun; pada tahun 1981 600.000 ha/tahun; dan pada tahun 1990 satu juta ha/tahun. World Bank (1994:51) mengacu pada penelitian Dick (1991), menyatakan bahwa program-program yang disponsori pemerintah (transmigrasi, perkebunan,kegiatan pembalakan) menyebabkan 67% dari semua deforestasi.Perubahan dramatis pada pandangan World Bank tidak boleh diartikan sebagai tanda bahwa para peneliti telah semakin mengerti sampai sejauh mana tingkat deforestasi dan penyebabnya di Indonesia. Ulasan atas beberapa literatur mengenai deforestasi di Indonesia menunjukkan bahwa ada dua penyebab utama kelemahan dasar pengetahuan masalah ini. Pertama, data primer yang dapat diandalkan mengenailaju dan penyebab perubahan tutupan hutan kurang sekali. Dick (1991:32) mengamati bahwa karena keterbatasan ini, estimasi tingkat dan penyebab deforestasi di Indonesia adalah “perkiraan semi-intelek”(semi-educated guesses). Kedua, para komentator mengenai masalah tersebut memakai istilah-istilah seperti “deforestasi” dan “perladangan berpindah” dengan beraneka arti. Para komentator yang mewakili pemerintah atau industri mungkin akanmendukung perkembangan kegiatan ini, karena hasilkayu gelondongan dari hutan tanaman industri perhektar dapat lebih besar dibandingkan dengan hasildari hutan alam. Para komentator yang mewakilikelompok lingkungan dan masyarakat di sekitar dandi dalam hutan 13 memandang situasi ini dengan kaca-mata berbeda, karena proses ini dapat membahayakan keanekaragaman hayati dan kepentingan masyarakatyang tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Darikacamata pendukung lingkungan, pembangunanhutan tanaman industri dapat dipandang sebagai“deforestasi”, sedangkan dari kacamata pemerintah danindustri hal ini dipandang sebagai “reforestasi”. Langkah yang paling berguna menuju peningkatandasar pengetahuan mengenai deforestasi adalah mengadakan ulasan kritis mengenai literatur yang ada.Dengan cara ini kita dapat terlebih dahulu menetapkan‘tingkat kepercayaan’ bagian-bagian yang relevan darianalisa yang telah dikerjakan, menentukan topik-topikyang memerlukan penelitian lebih jauh, dan mengusulkan pedoman untuk mengatasi kerancuan masalah. 2.2.1. Jenis Hutan Studi yang dilakukan RePPRroT (1989), dikutip dalam Penangan Konflik Lingkungan. Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung (2017:8-9), mengidentifikasikan 19 tipe hutan di Indonesia. FAO dan Pemerintah RI (1990) mengelompokkannya menjadi enam tipe/jens berdasarkan potensi pengelilaannya sebagai beritku: 1. Hutan Pegunungan Campuran. Jenis hutan tersebut sangat penting dengan hasil kayunya. Tipe tersebut meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesa. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumaatera, hutan tersebut didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, jenis kayu terpentung di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya bersifat lebih kering. 2. Hutan Sub-montana, Montana, dan Pegunungan. Hutan tersebut tedapat di daerahdaerah dengan ketinggian antara 1.300 sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut. 3. Hutan Bambu/Savana/Hutan Luruh/Hutan Musim Pegunungan. Jenis hutan tersebut tidak luas wilayahnya. Padang rumput savaa alami terdapat di Irian Jaya, Maluku, dan Nusa Tenggara. Hutan luruh terdapat di ketinggian sekita 100 meter. Hutan musim pegunungan terdapat pada ketinggian di atas 100 m. 4. Hutan Rawa Gambut. Terdapat hanya di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya yang mencakup 13 juta hectare atau 10% dari luas dari seluruh hutan. 5. Hutan Rawa Air Tawar. Luasnya sekitar 5,6 hektare, terdapat di Pesisir Timur Sumatera, Pesisir Barat Kalimantan, dan Irian Jaya. 6. Hutan Pasang Surut. Hutan bakau (mangrove) adalah bagian penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta hectare. Hutan bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi bagian Selatan serta Jawa bagian Utara. 14 2.2.2. Ekosistem Hutan dan Manfaatnya Ekosistem hutan merupakan pengertian yang luas yang mempunyai hubungan ketergantungan dan hubungan sebab akibatdi dalam hutan. Hutan merupakan tempat berkembangnya berbagai flora dan fauna yang mulai dari yang berbentuk mikro sampai binatang besar seperti gajah. Interaksi dari komponen-komponen yang terdapat dalam ekosistem hutan terus berjalan. Berdasarkan ekosistemnya hutan di Indonesia dibagi dalam kategori sebagai berikut : a. Hutan hujan dataran renda: Jenis hutan ini banyak ditemukan di bagian barat Indonesia, Sumatera dan Kalimantan yang dicirikan dengan curah hujan tinggi, pada dataran rendah. Jenis tanah podsolik, latosol dan aluvial. Jenis pohonnya antara lain: Shorea spp, Eusideroxylon zwagery, Pometia pinnata, Intsia bijuga, Agathis spp., Pterocarpus indicus, Octomeles sumatrana, Diospyros celebica, dan jenis lainnya. b. Hutan rawa: Dijumpai di dekat muara sungai, sering tergenang air dan kaya bahan organik. Jenis tanah Gley humus, dan aluvial. Jenis penting: Alstonia pneumatopora, Campnosperma macrohylla, Dyera lowii, Palaquium leiocarpum, Shorea balangeran, dan Lophopetalum multinervium. c. Hutan rawa gambut: Jenis tanah tanah gambut yang kaya bahan organik ketebalan 1-20 m. Tanah tergenang air gambut berwarna coklat kekuningan. Jenis tanah organosol, dengan jenis pohon penting yaitu ramin (Gonystylus bancanus). d. Hutan mangrove atau bakau: Ditemukan pada tanah aluvial berpasir di tepi pantai dan dipengaruhi oleh air laut/payau. Jenis yang penting antara lain Avicenia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguieraspp. Ceriops tagal dan Xylocarpus granatum. e. Hutan hujan dataran tinggi : Hutan yang berada pada ketinggian 500–1000 m di atas permukan laut. Jenis tanah latosol, podsolik atau litosol dan iklim basah. Jenis penting diantaranya Quercus spp., Agathis damara, Altingia exelsa dan jenis lain. Keberadaan hutan mempunyai hubungan erat dengan peningkatan kesuburan tanah, berkurangnya banjir, ketersediaan air dan udara bersih. Hara diperoleh dengan pencucian daun oleh air hujan, serasah yang terdekomposisi sertabagian tanaman (batang, cabang, ranting, buah, dan bunga) yang jatuh dan melapuk. Tanaman hutan juga berperan dalam peningkatan infiltrasi air hujan kedalam tanah sehingga pada waktu hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau air masih tersedia sebagai mata air. Hutan juga berperan sebagai pengemisi dan juga penyerap karbon yang erat hubungannya dengan perubahan iklim global. Emisi di bidang kehutanan termasuk lahan gambut per tahun diperkirakan mencapai 1,24 GtCO2e, sedangkan kemampuan menyerap karbon dari atmosfir diperkirakan hanyamencapai 0,707 Gt CO2e pada tahun 2020. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan fungsinya, perubahan hutan menjadi 15 areal non hutan, pengelolaan hutan yang berada di lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan, berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). 2.2.3. Peran Hutan dalam Perubahan Iklim Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Saat ini,perubahan iklim telah menimbulkan bencana baru bagi manusia. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan buktinyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan muka laut serta banjir dan longsor. Berbagai studi menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun dampak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (Stern, 2007).Perubahan iklim ini terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6di atmosfer. Peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan danindustri berbahan bakar migas yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry). Hasil studioleh Stern (2007) untuk tingkat dunia, menunjukkan sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24 %, industri 14 %, transportasi 14 %, konstruksi 8 % dan sumber energi lain 5 %. Emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18 %, pertanian 14 % dan limbah 3 %. Di Indonesia, sektor kehutanan mengemisi gas rumah kaca yang cukup besar, sekitar 48% emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor LULUCF (KLH, 2009). Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink(penyerap/penyimpan karbon) maupun source(pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. 2.2.4. Hutan Sebagai Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, overcutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan. Deforestasi di negera berkembang khususnya di negara tropik tercatat berkontribusi terhadap sekitar 18% emisi karbon global. Dari hasil review oleh Stern (2007), emisi dari deforestasi dapat mencapai 40 Gt CO2antara 2008-2012. Hal ini akan meningkatkan kadar CO2 di atmosfer sebanyak 2ppm jika upaya-upaya mitigasi tidak dilakukan dengan baik. 16 Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Hasil inventarisasi GRK yang dilaporkan dalam SNC (KLH, 2009) menunjukkan emisi yang besar dari sektor kehutanan yaitu 48% dari total emisi belum termasuk emisi dari kebakaran pada lahan gambut. Departemen Kehutanan melaporkan selama tahun 1990-2006 rata-rata deforestasi setiap tahun di Indonesia adalah 1,09 juta ha. Gambar 2.3. Deforestasi di Indonesai (Sumber: Kementrian Kehutanan, 2010) 2.2.5. Illegal Logging Deforestasi dan degradasi merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Sampai saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun untuk periode 1997-2006 (Kementerian Kehutanan, 2010). Penyebab utama deforestasi adalah adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain. Selain itu terjadi penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan 17 lestari. Sedangkan degradasi atau penurunan kualitas hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; illegal loging dan perdagangan ilegal yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya. Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan yang lestari. Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di wilayah yang dilindungi, areal konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu ilegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan.Dengan kata lain, batasan/pengertian ilegal loggingadalah meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak didemarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat. Laju penebangan hutan di Indonesia rata-rata 40 jutakubik meter setahun, sedangkan laju penebangan yang“lestari berkelanjutan” (sustainable)yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan adalah 22 jutakubik meter setahun (World Bank 1995:i). Menurut laporan hanya sebagian kecil pemegang konsesi yang melaksanakan penanaman pemerkayaan. Sebagian orang percaya bahwa perkembangan industri perkayuan dicapai dengan kerugian ekonomi dan lingkunganyang terlalu besar bagi Indonesia (Gillis 1988:181-2;Ahmad 1995) dan bahwa sumbangannya pada pembangunan ekonomi secara keseluruhan rendah (Hariadi1993; Ahmad 1995).Estimasi deforestasi yang disebabkan langsung oleh kegiatan pembalakan berkisar antara 77.000 ha sampai 120.000 ha setiap tahun, yakni kira-kira 10-20% dari keseluruhan kawasan yang telah hilang hutannya, dan 10-15% dari 800.000 ha yang ditebang setiap tahun. 18 2.2.6. Produk Hasil Hutan Pada dasarnya hasil hutan yang dapat kita temukan tak hanya berkutat seputar kayu saja. Ada banyak sekali contoh hasil hutan bukan kayu yang bisa kita temukan. Setiap hasil hutan yang bukan kayu memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda-beda. Beberapa hasil hutan non kayu tersebut yang akan kita bahas sekarang ini, seperti 1. Gaharu Beberapa orang mungkin masih belum paham betul dan mengerti apa itu gaharu sebenarnya. Gaharu adalah salah satu hasil yang di dapat dengan melukai bagian dari pohon Aquilaria malaccensis, bagian yang dilukai tadi kemudian di paksa untuk terinfeksi Fusarium sp. Dari hasil infeksi itulah kemudian akan muncul gaharu yang berbau harum. Meskipun gaharu berbentuk seperti kayu, namun dimasukan kedalam kategori HHBK atau hasil hutan bukan kayu, karena yang dimanfaatkan adalah resin yang ada di dalamnya. Dan resin inilah kemudian digunakan untuk berbagai macam produk. Kebanyakan pemanfaatan yang dilakukan berhubungan dengan parfum, dan beberapa wewangian yang lain. 2. Gondorukem Gondorukem merupakan salah satu dari beberapa hasil hutan yang tak termasuk kedalam golongan kayu. Hasil hutan yang satu ini didapatkan dengan menyadap getah pohon pinus. Gondorukem didapatkan dengan proses destilasi atau penyulingan getah pinus. Gondorukem sendiri merupakan salah satu bentuk dari potensi sumber daya alam hutan di Indonesia yang bisa dikatakan sangat luas. Biasanya gondorukem di Indonesia didapatkan dengan menyadap getah pohon Pinus merkusii. Kebanyakan penyadapan terhadap getah pohon ini banyak di temukan di bagian provinsi Sumatra, yang mana merupakan salah satu pravinsi dengan hutan terluas di Indonesia. 3. Kertas Contoh hasil hutan bukan kayu yang berikutnya dapa kita temukan adalah kertas. Hasil hutan yang satu ini bisa dikatakan merupakan salah satu hasil hutan yang cukup sering dan cukup banyak diketemukan. Manusia memang tak pernah bisa lepas dari yang namanya kertas. Ada banyak sekali aspek kehidupan yang bersinggungan langsung dengan kertas. Meskipun kemajuan teknologi kian cepat, tapi posisi kertas memang akan sangat sulit untuk di gantikan. Kertas sendiri dibuat dengan menghancurkan serat pada kayu, atau biasa disebut juga dengan bubur kayu atau pulp.Tissue mulai diproduksi sekitar tahun 1880-an dengan menggunakan bahan baku kulit kayu yang dijadikan pulp (bubur kertas). Sampai sekarang, bahan baku untuk pembuatan tissue masih menggunakan kayu, yang mana kayu tersebut 19 didapatkan dari hasil penebangan pohon-pohon di hutan. Pada umumnya, proses pembuatan tissue di Indonesia yaitu dengan menggunakan bahan baku pohon. 4. Minyak Atsiri Bentuk pemanfaatan hutan yang berhubungan dengan pengelolaan hasil hutannya adalah terdapatnya minyak Atsiri. Pada beberapa jenis pohon yang ada di dalam hutan baik hutan homogen maupun hutan heterogen terdapat beberapa jenis pohon yang memiliki aroma tertentu. Pada tumbuhan tersebut terdapat senyawa kimia yang disebut dengan atsiri. Untuk mendapatkan atsiri tersebut haruslah di ekstrak terlebih dahulu, biasanya dengan destilasi pada daun. Beberapa contoh tumbuhan yang cukup terkenal sebagai penghasil minyak atsiri adalah kayu putih. 5. Madu Meskipun tak berbentuk terlalu besar, namun madu merupakan salah satu contoh hasil hutan bukan kayu yang bisa kita temukan. Pada beberapa hutan memang menyimpan madu alami yang banyak diperjual belikan. Pemanfaatan madu alami ini sendiri pada dasarnya sudah banyak dilakukan, terutama oleh masyarakat yang ada di sekitar hutan jika dibandingkan instansi yang terkait. Penjualan madu ini biasanya dilakukan secara perseorangan maupun dalam kelompok yang cukup besar dan teroganisir. Madu hutan alami sendiri biasanya lebih banyak diburu dan dicari dibandingkan dengan madu ternak yang juga cukup terkenal. 2.2.7. Indonesian Legal Wood Adanya kegiatan untuk beralih pada jenis kayu alternatif dapat membantu mengurangi tingginya permintaan pasar akan jenis-jenis kayu konvensional, seperti jati, merbau, bangkirai, ulin, dan beberapa lainnya. Secara tidak langsung hal ini akan mengurangi kecenderungan pihak-pihak pencari untung untuk melakukan penebangan ilegal. Selain mulai mengoptimalkan beragam jenis kayu alternatif, ada baiknya kita sebagai konsumen mulai sadar untuk menggunakan produk-produk yang hanya menggunakan kayu legal. Salah satu caranya adalah dengan mengutamakan produk berbahan kayu yang telah memiliki label Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari program Indonesian Legal Wood. Indonesian Legal Wood adalah program Departemen Kehutanan untuk memastikan kejelasan sumber bahan baku kayu yang digunakan oleh industri agar program pelestarian hutan industri dan hutan lindung dapat berjalan dengan semestinya. Untuk mendapatkan label SVLK, sebuah produk harus memenuhi persyaratan yang menunjukkan legalitas dari bahan baku kayu tersebut. Dalam rangka menunjang pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara utuh, dimana SVLK didisain mulai dari penjaminan perolehan bahan baku sampai kepada pemasarannya disatu sisi serta perlunya pusat informasi dalam rangka 20 melaksanakan SVLK disisI lain perlu dikembangkan sebuah organisasi yang akan berfungsi sebagai licensing information unit sekaligus sebagai pusat informasi verifikasi legalitas kayu. Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan dibentuk sebuah organisasi setingkat eselon tiga di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang diberi nama Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu. Organisasi ini merupakan salah satu Sub Direktorat pada Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan. Subdit Informasi Verifikasi Legalitas Kayu secara garis besar bertanggungjawab atas pengelolaan website http://silk.dephut.go.id yang lebih dikenal dengan SILK (Sistem Informasi Legalitas Kayu) online. Website ini didisain secara khusus dalam rangka memberikan kemudahan, kecepatan, meningkatkan obyektivitas dan transparansi serta akuntabilitas dalam pelayanan penerbitan Dokumen V-legal, serta menyediakan data dan informasi secara optimal terkait verifikasi legalitas kayu. Sejak 1 Januari 2013, SILK online telah menerbitkan Dokumen V-legal untuk ekspor produk industri kehutanan yang tergabung dalam 26 HS Code dan diekspor ke berbagai negara di dunia. Berdasarkan monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan pada triwulan pertama tahun 2013, kebijakan penggunaan Dokumen V-legal sebagai dokumen pendukung ekspor dapat berjalan dengan baik. Sampai dengan 1 Juli 2013, dokumen V-legal yang diterbitkan sejumlah 37.874 lembar, yang ditujukan ke 144 negara, dimana 26 diantaranya adalah negara negara anggota Uni Eropa. Jenis produk yang diekspor mencakup 39 HS code, yang diekspor dari 65 pelabuhan muat di seluruh Indonesia ke 835 pelabuhan bongkar di seluruh dunia. Total ekspor barang seberat 3.809.907.630,9693 kg dengan nilai sebesar 2.931.143.786,1408 USD. 2.2.8. Sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) Sertifikasi FSC memberikan kepastian bahwa produk yang digunakan berasal dari hutan yang dikelola dengan baik yang memberikan manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemilik maupun pengelola hutan yang ingin memperoleh sertifikat FSC harus dapat menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola hutan secara bertanggung jawab. Sertifikasi FSC juga dapat memberikan manfaat akses pasar yang baru. Prinsip dan Kriteria FSC (P&C) dikembangkan untuk mendorong praktik yang bertanggung jawab bagi pengelolaan hutan di seluruh dunia. Di banyak negara, Standar Regional maupun Standar Nasional FSC dikembangkan oleh kelompok kerja FSC. Baik standar regional dan nasional FSC akan merujuk pada FSC P&C namun disesuaikan dengan kondisi dan konteks yang berlaku di setiap negara atau region. FSC mengembangkan 2 jenis sistem sertifikasi yaitu : 21 1. Forest Management Certification, atau Sertifikasi Pengelolaan Hutan. Sertifikasi ini memastikan bahwa praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pengelola konsesi atau pemilik lahan telah memenuhi standar pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, yaitu keseimbangan aspek Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi. Pengelola konsesi atau pemilik lahan yang ingin memperoleh Sertifikasi Pengelolaan Hutan dapat menghubungi lembaga sertifikasi yang terakreditasi FSC untuk mengajukan permohonan agar dilakukan penilaian. Lembaga sertifikasi akan melakukan audit lapangan untuk memastikan pengelola konsesi atau pemilik lahan telah mengelola hutan dengan baik dan memenuhi standar FSC. Jika dinilai telah memenuhi, lembaga sertifikasi akan mengeluarkan sertifikat pengelolaan hutan FSC, yang berlaku selama lima tahun dan dipantau setiap tahun untuk memastikan pengelola konsesi atau pemilik lahan selalu memenuhi standar FSC. 2. Chain of Custody Certification atau sertifikasi lacak balak, berlaku untuk produsen, prosesor dan pedagang hasil hutan bersertifikat FSC. Sertifikasi lacak balak berfungsi untukmemastikan bahan baku kayu yang digunakan berasal dari hutan yang bersertifikat FSCdi sepanjang rantai produksi bahan baku FSC tidak tercampur dengan bahan baku lain yang tidak bersertifikat. Lembaga sertifikasi melakukan verifikasi di sepanjang rantai produksi yang bersangkutan untuk memastikan bahwa produk kayu bersertifikat FSC menggunakan kayu dari hutan bersertifikat FSC, dan produknya diolah dan disimpan terpisah dari produk yang tidak bersertifikat. Bahan baku FSC hanya dapat dicampur dengan syarat dan kondisi tertentu yang diatur dalam standar FSC. 22 Bab IV - Perancangan Komunikasi Kreatif 1.1 Tujuan Komunikasi Perancangan komunikasi kreatif yang penulis rancang kali ini, yakni berkemah di Taman Nasional Gunung Leuser. Adapun nama dari kegiatan ini adalah “Tak Jengah Jaga Jenggala”. Diksi yang dipergunakan pun dipilih dengan kata yang sudah mulai jarang dipergunakan dan bahkan kemungkinan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa usia 19-23 tahun, kurang familiar. Setidaknya ada dua kata yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, yakni Jengah yang berarti malu dan Jenggala merupakan sinonim dari hutan. Pemilihan ini didasari banyaknya bahasa-bahasa prokem yang dipergunakan oleh anak muda dalam kegiatan komunikasi yang tidak jarang merupakan kata-kata baku “lama” nan jarang diperdengarkan atau dipergunakan, seperti sekut, tatkala, dan segregasi. Kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” di Taman Nasional Hutan Leuser, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Sumatera Utara pada tanggal 20-22 Maret 2020 —tanggal 20 Maret bertepatan dengan peringatan Hari Kehutanan Sedunia— mendatang, dirancang untuk memberikan perubahan sikap dan perilaku terhadap target audiens. Dengan menggunakan konsep SMART Goals, penulis merumuskan tujuan komunikasi sebagai berikut: 1) Specific Seperti pepatah mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’, bahwa dalam kegiatan“Tak Jengah Jaga Jenggala” mahasiswa usia 19-23 tahun sebagai audiens akan diajak mengenal kehidupan yang ada di tengah hutan dan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Audiens akan diajak terjun langsung ke tengah hutan, merasakan tanah, menghirup segarnya udara, wanginya dedanauan dan merasakan secara langsung energi yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser. Audiens pun akan diberikan informasi perihal kondisi hutan Indonesia masa kini; memeroleh edukasi tentang bagaimana cara menjaga hutan dan melestarikan keanekaragaman hayati, terutama pada kawasan Taman Nasional Gunung Leuser; mendapatkan penanaman nilai tentang keseimbangan antara alam dan manusia; dan mendapatkan wawasan seputar hasil olahan hutan beserta dampaknya terhadap keberlangsungan ekosistem hutan. 2) Measurable Pengenalan akan keberagaman hayati dalam hutan dan pentingnya menjaga kelestarian hutan melalui kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” diharapkan dapat menumbuhkan rasa peduli dan kecintaan audiens terhadap hutan beserta ekosistem yang terdapat di dalamnya; dimana pada akhirnya berbuah tindakan nyata berupa perubahan perilaku audiens menjadi bijak dalam menggunakan produk hasil olahan kayu seperti kertas dan tisu. Perubahan perilaku yang dimulai dari hal kecil pada diri sendiri dan diharapkan 23 dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya untuk bijak menggunakan produk-produk hasil olahan hutan serta peduli atas keberlangsungan keanekaragaman hayati di hutan, khususnya Taman Nasional Hutan Leuser. 3) Attainable/Achievable untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi kertas (termasuk tisu), hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai paru-paru dunia berubah fungsi menjadi hutan-hutan pertanian. Hal tersebut akan memberikan efek negatif untuk keberlangsungan hutan dan mahluk hidup didalamnya. Karena itu, kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”selain kegiatan edukasi, audiens juga akan diberikan wawasan seputar hasil olahan hutan (kertas dan tisu) sehingga secara sadar (mau tidak mau) audiens akan tergerak untuk semakin bijak dalam penggunaan hasil olahan kayu dan keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati tersebut. 4) Relevant Memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan dan wawasan seputar hasil olahan hutan agar bijak menggunakan hasil olahan hutan sangat mendukung kegiatan-kegiatan di dalam komunitas HII. Seluruh kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas HII adalah untuk menumbuhkan rasa cinta kepada hutan Indonesia dan mendorong adanya perlindungan hutan yang lebih baik untuk masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia. 5) Time-bound Pemberian wawasan seputar hasil olahan melalui Kampanye Bijak Menggunakan Hasil Olahan Hutan diharapkan dapat mempengaruhi perilaku audiens dalam 3-12 bulan kedepan. Dari penjabaran konsep penetapan tujuan komunikasi tersebut diatas, maka tujuan kegiatan komunikasi “Tak Jengah Jaga Jenggala”adalah: 1. Memberikan informasi mengenai kondisi hutan Indonesia masa kini dan kemudian mengedukasi pentingnya menjaga hutan dan melestarikan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] di Langkat, Sumatera Utara bagi mahasiswa usia 19-23 tahun perguruan tinggi di Jakarta. Program pengenalan hutan ini dikemas secara fun, penuh petualangan, permainan dan learning by doing. 2. Memersuasi audiens sasaran yaitu para mahasiswa usia 19-23 tahun untuk berpartisipasi dalam menjaga ekosistem hutan dengan cara memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga hutan dan melestarikan keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya, khususnya yang berada pada Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. 24 3. Memberikan penanaman nilai tentang keseimbangan alam dan manusia, serta cara mengelola hutan dengan tetap menjaga ekosistem hutan; khususnya di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. 4. Memberi edukasi bagi mahasiswa usia 19-23 tahun berkenaan dengan dampak dari berkurangnya jumlah pohon pada hutan terhadap kehidupan masyarakat di daerah atau kota lain, baik yang terkena pengaruhnya secara langsung maupun tidak langsung. 1.2 Audiens Sasaran audiens kegiatan komunikasi “Tak Jengah Jaga Jenggala” adalah mahasiswa usia 19-23 tahun. Mahasiswa dalam kehidupannya akan melakukan komunikasi dua arah yang saling mempengaruhi baik komunikasi dengan orang tua, keluarga, tetangga di lingkungan tempat tinggal, teman kuliah, dosen dan karyawan di lingkungan kampusnya, maupun rekan di komunitas atau di tempat kerjanya. Para mahasiswa dikenal memiliki ide kreatif yang cukup tinggi sehingga dipercaya dapat membawa perubahan besar bagi bangsa. Dengan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh mahasiswa maka mahasiswa dapat menjadi agent of changes, yaitu pembawa perubahan kepada masyarakat kearah yang lebih baik. Selain itu, para mahasiswa dapat menjadi agen yang menginspirasi orang atau kelompok untuk mampu melihat kepekaan masalah lingkungan termasuk pelestarian hutan. Merangkul dalam arti bekerjasama dengan para mahasiswa sebagai generasi milenial menjadi salah satu langkah strategis menuju masa depan banga yang lebih baik, termasuk menjaga kelestarian hutan Indonesia yang merupakan paru-paru dunia. Adapun jumlah peserta dari kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” ini sebanyak 25 peserta dan masing-masing tidak dikenakan biaya. Akan tetapi, untuk ikut serta dalam kegiatan ini, mahasiswa wajib untuk membuat tulisan ilmiah dengan tema “Masa Depan Hutan Indonesia” yang nantinya 25 artikel terbaik berhak mengikuti acara ini secara gratis. 1.3 Pesan Pesan yang disampaikan dalam kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” haruslah disusun sedemikian rupa agar : 1. Mampu mengkomunikasikan apa yang dilakukan oleh komunitas HII, 2. Mampu mengkomunikasikan apa yang berbeda dari kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”dengan kegiatan sebelumnya yang telah dilakukan oleh HII atau kegiatan di komunitas lain, 3. Pesan yang disampaikan harus sesuai dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapai, 4. Pesan harus bisa berbicara dan diterima oleh khalayak utama. 25 Isu atau fakta kunci yang ingin disampaikan dalam pesan kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”adalah menjaga kelestarian hutan ditengah isu-isu lingkungan hidup yang meresahkan dan merugikan masyarakat dan bangsa. Janji atau manfaat paling penting yang ingin disampaikan dalam pesan kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” adalah melestarikan keanekaragaman hayati dengan menyediakan kawasan perlindungan (terakhir) bagi kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera. Poin-poin pesan kunci yang akan dimasukkan ke dalam semua pesan pada kegiatan komunikasi “Tak Jengah Jaga Jenggala”adalah: 1. Memberikan edukasi pentingnya menjaga hutan dan melestarikan keanekaragaman hayati di hutan, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] di Langkat, Sumatera Utara pada para mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta usia 19-23 tahun, 2. Menjaga Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] yang memiliki peranan sebagai pengatur air, pelindung bencana ekologis, serta sumber ekonomi penting bagi masyarakat sekitar Langkat, Sumatera Utara dari hasil hutan non-kayu., 3. Memberikan penanaman nilai tentang keseimbangan alam dan manusia serta cara mengolah hutan dengan tetap menjaga ekosistem hutan kepada para mahasiswa mahasiwa (usia 19-23 tahun) perguruan tinggi di Jakarta. 4. Memberi edukasi bagi mahasiswa usia 19-23 tahun berkenaan dengan dampak dari berkurangnya jumlah pohon pada hutan terhadap kehidupan masyarakat di daerah atau kota lain, baik yang terkena pengaruhnya secara langsung maupun tidak langsung. 4.4 Media Pada subbab ini penulis melakukan pemetaan terhadap media. Tujuannya agar kegiatan bisa dipublikasikan dengan baik kepada masyarakat. Terdapat 4 hal dalam melakukan pemetaan media. Pertama adalah melakukan mengidentifikasi media yang dahulu pernah digunakan dan tepat sasaran, tapi saat ini jarang digunakan. Kedua mengindentifikasi media komunikasi yang masih eksis digunakan hingga saat ini. Ketiga adalah melakuan identifikasi terhadap media yang paling banyak digunakan oleh antar individu. Terakhir adalah mengidentifikasi media komunikasi yang terlihat dipakai untuk menjangkau khalayak ramai secara masif dan sistematis. Penulis melakukan identifikasi terhadap 4 hal tersebut. Pertama media yang saat ini jarang digunakan adalah media cetak. Pasalnya media cetak sudah kalah pamor dari media online sehingga jarang dibaca publik. Kedua media komunikasi yang masih eksis digunakan adalah media sosial Instagram, Twitter dan Facebook. Sedangkan aspek media massa adalah media online. Keeempat platform tersebut masih eksis hingga sekarang dan digunakan oleh banyak orang. 26 Ketiga media yang digunakan oleh antar individu adalah WhatsApp, Line dan Telegram. Sedangkan media yang digunakan untuk khalayak umum adalah, Instagram, WhatsApp dan Facebook. Pemetaan ini menjadi dasar untuk mempublikasikan kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”. Tujuannya agar acara ini bisa dipublikasikan di media yang tepat. Maka berdasarkan pemetaan tersebut penulis akan menggunakan publikasi lewat Instagram, Facebook dan Twitter dari Hutan Itu Indonesia. Kemudian untuk publikasi media yang dituju adalah dari media online seperti Kompas.com TribunNews, Detik ataupun Suara.com. Berikut ini tabel berkaitan dengan pemetaan tersebut: Media Ini - yang Digunakan Saat Instagram Facebook Twitter Media Online Media yang Digunakan Antar Individu - Line - WhatsApp - Telegram Media untuk Khalayak Umum - Instagram Facebook Twitter 4.5 Taktik komunikasi Taktik komunikasi kami berkaitan dengan kegiatan apa yang ingin kita jalannya. Adapun kegiatan yang kita lakukan adalah Youth Camp. Pasalnya dalam kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala” para peserta harus menginap dalam beberapa hari, dan melakukan tindakan sukarelawan untuk menjaga hutan. Secara pendanaan biaya setiap peserta sebesar Rp 5 juta atau Rp 125 juta untuk keseluruhan acara. Biaya tersebut sudah termasuk dengan akomodasi 3 hari 2 malam dan biaya transportasi mulai dari pesawat hingga bis menuju lokasi. Biaya tersebut didapatkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebesar Rp 25 juta, Lembaga World Wild Foundation sebesar Rp 25 juta, AQUA sebesar Rp 25 juta, kemudian Bank Mandiri sebesar Rp 20 juta dan Wahana Riset Indonesia (WRI) sebesar Rp 30 juta. Adapun mengenai susunan acara adalah sebagai berikut : Hari, tanggal: Jumat, 20 Maret 2020 No Waktu Kegiatan Kumpul di Pintu 2 Terminal 2, Bandara Soekarno Hatta, Registrasi, 1 04.30 – 05.00 2 05.00 - 07.20 Perjalanan menuju kota Medan, Sum-Ut 07.20 – 08.00 Chec out, bagasi, registrasi ulang di bis 3 08.00 – 11.00 4 11.00 – 13.00 5 13.00 – 15.00 briefing & pembagian snack Perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Langkat, Sum-Ut (dengan bus) Sampai di lokasi, pembagian tenda, istirahat, sholat, makan siang Pengenalan “Tak Jengah Jaga Jenggala’ Program (Program edukasi pentingnya menjaga hutan dan melestarikan 27 keanekaragaman hayati) Sharing Session Bpk. Syamsuar dan Rainun 6 15.00 – 17.00 7 17.00 – 19.00 Ishoma (istirahat, sholat, mandi, makan) 8 19.00 – 20.00 Indoor creative games 9 20.00 (Mengenal Taman Nasional Gunung Leuser) Istirahat Hari, tanggal: Sabtu, 21 Maret 2020 No Waktu Kegiatan 1 05.00-07.00 Senam pagi, mandi dan sarapan 2 07.00-11.00 Tinggalkan Jejakmu: Jelajah hutan 3 11.00-12.00 Ishoma (istirahat, sholat, mandi, makan siang) 4 12.00-14.00 Menyapa Penghuni: Jelajah Satwa 5 14.00-16.00 Kudapan Bubur Kertas: Pengenalan produk-produk olahan hutan 6 17.00-19.00 Ishoma (istirahat, sholat, mandi, makan) 8 19.00 –21.00 9 21.00 Pengenalan Program Bijak Menggunakan Produk Olahan Hutan (penanyangan video, diskusi, pernyataan komitmen bersama) Istirahat Hari, tanggal: Minggu, 22 Maret 2020 No Waktu Kegiatan 1 05.00-07.00 2 07.00 – 09.00 Tancamkan Akarmu: Penanaman pohon 3 09.00 – 12.00 Perjalanan dari Langkat ke Bandara Kualanamu 4 12.00 – 14.00 Makan Siang di kota Medan dan belanja oleh-oleh khas Medan 5 14.00 – 14.30 Check in & persiapan pulang ke Jakarta 6 14.30 – 16.50 Perjalanan pulang ke Jakarta Senam pagi, mandi dan sarapan Pada acara ini terdapat 2 narasumber yang merupakan tokoh pelestarian Taman Nasional Gunug Leuser (TNGL). Narasumber pertama adalah Syamruar yang menjabat sebagai . Senior Advisor di Forum Konservasi Leuser. Syamruar memiliki pengalaman yang mumpuni sebagai pegiat hutan. Karirnya bermula di tahun 1992 saat menjadi juru masak di Stasiun Penelitian Suaq Belimbing, di Rawa Kluet, Aceh. Kemudian Pada 1993, Syamsuar menjadi asisten peneliti orangutan sumatera dari Duke University, perguruan tinggi di Amerika Serikat. Dirinya pernah mendampingi Carel 28 van Schaik dalam melakukan tugas akhir dari doktor hingga professor. Saat ini dirinya menjabat Senior Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL). Narasumber kedua adalah Raniun atau Wak Yun. Beliau adalah Pegiat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) khususnya Hutan di Tangkahan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Raniun atau Wak Yun adalah pelopor reboisasi hutan Leuser. Pasalnya Wak Yun mampu mendekati para pembalak liar untuk tidak melakukan penebangan hutan. Upaya tersebut dilakukan sejak tahun 1997 dan hasilnya mulai dirasakan hingga sekarang. Hasilnya hutan Tangkahan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser dapat terjadi keasriannya. 4.6 Monitoring dan Evaluasi Evaluasi komunikasi dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada peserta yang disebarkan menjelang kegiatan berakhir. Tujuannya untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan acara “Tak Jengah Jaga Jenggala” untuk pengembangan kegiatan serupa yang akan diadakan di kemudian hari. 29 Bab V - Penutup 4.1. Kesimpulan Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, dan Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Kawasan hutan Indonesia menempati peringkat ketiga (sesudah Brazil dan Zaire) dalam kekayaan hutan hujan tropis. Sayangnya, di balik peringkat ketiga di dunia untuk kawasan hutannya, Indonesia menghadapi persoalan terkait dengan hutan. Salah satu masalah besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Karhutla hampir terjadi setiap tahun dan sudah menjadi isu global. Selain karhutla, isu yang muncul terkait dengan hutan adalah deforestasi dan illegal logging. Berdasarkan penelitian Dick (1991), World Bank menyatakan bahwa program-program yang disponsori pemerintah menyebabkan 67% dari semua deforestasi. Sementara penebangan liar atau illegal loggin adalah tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Estimasi deforestasi yang disebabkan langsung oleh kegiatan pembalakan berkisar antara 77.000 ha sampai 120.000 ha setiap tahun, yakni kira-kira 10-20% dari keseluruhan kawasan yang telah hilanghutannya, dan 10-15% dari 800.000 ha yang ditebang setiap tahun. Salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli dengan isu-isu terkait dengan hutan adalah Hutan Itu Indonesia (HII). Hutan Itu Indonesia adalah organisasi yang berfokus pada pelestarian hutan di Indonesia. Organisasi ini berdiri sejak tanggal 22 April 2016 dan memiliki visi yakni hutan adalah identitas utama bangsa Indonesia yang hidup harmonis dengan hutan. Berdasarkan analisis PEST dan pemetaan aktivitas yang pernah dilakukan oleh HII didapatkan bahwa target audiens mereka adalah anak muda, terutama mahasiswa. Maka dari itu, penulis menetapkan sasaran audiens dalam perancangan kegiatan komunikasi ini adalah para mahasiswa yang kebanyakan kaum milenial atau yang dikenal dengan generasi Z. Penulis memberi nama perancangan kegiatan komunikasi kreatif HII, yakni “Tak Jengah Jaga Jenggala”. Tujuan dari kegiatan komunikasi “Tak Jengah Jaga Jenggala”adalah untuk memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan dan keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya, mengajak audiens untuk berpartisipasi dalam penyelamatan dan peduli atas isu-isu terkait dengan hutan, dan memberi wawasan seputar produk hasil olahan hutan dengan harapan audiens semakin bijak dalam menggunakan produk dari hasil olahan hutan. 30 Adapun pemetaan media pada kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”untuk dipublikasikan dengan baik ke masyarakat luas adalah dengan mengidentifikasi media yang dahulu pernah digunakan dan tepat sasaran dan realitas penggunaan media di masyarakat hari ini. Maka, berdasarkan identifikasi penulis, media yang digunakan saat ini adalah media sosial dan media online, seperti Instagram, Facebook, Twitter, Line, dan Telegram. Oleh karenanya, dalam penyampaian pesan yang berkaitan dengan kegiatan “Tak Jengah Jaga Jenggala”nantinya akan menggunakan media tersebut untuk lebih menjangkau perhatian dari target audiens mahasiswa. 4.2. Saran Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kita berbangga dan bersyukur atas limpahan karunia yang Tuhan berikan pada bangsa ini. Salah satunya adalah begitu luasnya hutan yang dimiliki oleh Indonesia. Sayang, peristiwa-peristiwa seperti deforestasi, pembalakan liar, dan karhutla membuat citra Indonesia buruk di mata dunia. Sudah seharusnya sebagai individu yang berakal dan berakhlak untuk mulai peduli dan membuka mata terhadap isu-isu yang menyangkut hutan dan kekayaan alam Indonesia. Sudah saatnya memerhatikan dampak-dampak yang dihasilkan dari deforestasi, pembalakan liar dan karhutla pada nadi kehidupan kita sehari-hari. Sudah saatnya merubah pola gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dengan bijak menggunakan barang-barang hasil olahan hutan dan meminimalisir sedemikian rupa agar bumi pertiwi ini masih bisa menampakkan senyum dalam menyongsong masa depan yang lebih baik lagi dari hari ini. 31 Daftar Pustaka Cangara, Hafied. 2018. Pengantar Ilmu Komunikasi. Depok: PT Rajagrafindo Persada. Carrazo, Angele Martinez. 2010. Handmade Creative Thinking. European Commision Lifelong Learning Programme. Green, Andi. 2010. Creativity In Public Relations, Fourth Edition. London: Kogan Page. Morissan, Morissan. 2011. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenadamedia Group. Mulyana, Deddy. 2005 Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Paul, Richard & Elder, Linda. 2008. Creative and Critical Thinking. The Foundation for Critcal Thinking Press. California. US. Venus, Antar. 2009. Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Artikel Berita Online https://www.mongabay.co.id/tata-kelola-prinsip-tata-kelola-yang-baik/ (Diakses tanggal 9 Oktober 2019) https://programsetapak.org/setapak-blog/kamu-harus-tahu-lembaga-lembaga-inilah-yangmengurus-lingkungan-indonesia/ (Diakses tanggal 9 Oktober 2019) https://www.mongabay.co.id/bagaimana-tata-kelola-hutan-harusnya-dilakukan/ (Diakses tanggal 19 November 2019) https://foresteract.com/pemanfaatan-hutan/ (Diakses tanggal 19 November 2019) http://pskl.menlhk.go.id/berita/281-masyarakat-adat-kearifan-lokal-yang-menjaga-hutan.html (Diakses tanggal 19 November 2019) https://www.cifor.org/library/57 (Diakses tanggal 19 Oktober 2019) https://www.forda-mof.org/files/TR%2011%20Illegal%20logging%20review.pdf (Diakses tanggal 19 Oktober 2019) https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/hutan/contoh-hasil-hutan-bukan-kayu (Diakses tanggal 19 Oktober 2019) http://www.menlhk.go.id/site/post/107 (Diakses tanggal 21 Oktober 2019) https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc (Diakses tanggal 21Oktoer 2019) https://foresteract.com/illegal-logging-pembalakan-liar/ (Diakses tanggal 27 Oktober 2019) https://www.mongabay.co.id/2019/03/18/gunung-dan-hutan-tidak-luput-dari-ancamansampah-plastik/ (Diakses tanggal 27 Oktober 2019) 32 https://www.wajibbaca.com/2019/05/hasil-hutan-dan-manfaatnya.html (Diakses tanggal 27 Oktober 2019) https://hutanitu.id (diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://programsetapak.org/setapak-blog/kamu-harus-tahu-lembaga-lembaga-inilah-yangmengurus-lingkungan-indonesia/ (diakses tanggal 31 Oktober 2019). https://www.mongabay.co.id/tata-kelola-prinsip-tata-kelola-yang-baik/ (Diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://www.mongabay.co.id/tata-kelola-prinsip-tata-kelola-yang-baik/ (Diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://programsetapak.org/setapak-blog/kamu-harus-tahu-lembaga-lembaga-inilah-yangmengurus-lingkungan-indonesia/ (diakses tanggal 31 Oktober 2019). https://hutanitu.id (diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://em.ub.ac.id/angklungtissue/ (Diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://www.p-wec.org/id/program/edukasi-di-alam/edukasi-hutan (Diakses tanggal 31 Oktober 2019) https://travel.kompas.com/read/2018/02/19/163100827/mau-berkunjung-ke-baduy-taatiperaturannya?page=all (diakses tanggal 20 November 2019) https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/tingkat-pendidikan-angkatan-kerja-20191563776955 (diakses tanggal 20 November 2019) https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019mencapai-267-juta-jiwa (diakses tanggal 20 November 2019). https://bobo.grid.id/read/08679832/bagaimana-tisu-pertama-kali-dibuat?page=all(diakses tanggal 20 November 2019) https://em.ub.ac.id/angklungtissue/ (diakses tanggal 23 November 2019) https://www.mongabay.co.id/2019/04/22/menjaga-leuser-kesungguhan-syamsuar-merawatbumi/ (diakses tanggal 27 November 2019) https://www.mongabay.co.id/2015/07/29/kisah-wak-yun-si-penjaga-hutan-tangkahan/ (diakses tanggal 27 November 2019) 33 34