MAKALAH INVESTIGASI, PEMECAHAN MASALAH DAN PEDAGOGIK Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Matematika Dosen Pengampu: Prof. Dr. Cholis Sa’dijah, M.Pd, MA Dr. Abdul Qohar, M.T Disusun Oleh: Indriarti Nurul Hidayah 190311966825 Christi Matitaputty 190311966813 Mira Amelia Amri 190311966816 Reno Warni Pratiwi 190311966821 PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2019 BAB 13 INVESTIGASI, PEMECAHAN MASALAH DAN PEDAGOGIK 1. Matematika Sebagai Hasil Dari Pengajuan dan Pemecahan Masalah Manusia Konstruktivisme sosial mengidentifikasi matematika sebagai lembaga sosial, yang dihasilkan dari pengajuan dan pemecahan masalah manusia. Matematika mungkin unik di tempat pusatnya memberikan masalah, yang tetap tidak dapat terpecahkan tetapi sangat menarik selama ribuan tahun. Tetapi masalah matematika lebih penting daripada tantangan seumur hidup. Seringkali teknik yang dirancang untuk menyelesaikannya mewakili kemajuan besar dalam matematika. Dengan demikian masalah juga berfungsi sebagai titik perkembangan untuk matematika. Sejumlah ahli filsafat telah mengidentifikasi masalah dan pemecahan masalah sebagai jantung dari ilmu pengetahuan. Laudan (1977) secara eksplisit mengusulkan kemajuan Model Pemecahan Masalah pada ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa asalkan masalah yang terjadi berada dalam konteksnya (atau budayanya) memungkinkan terjadinya diskusi kritis, pemecahan masalah adalah karakteristik penting pada rasionalitas ilmu pengetahuan dan metodologinya. Dalam filsafat matematika, Hallett (1979) mengusulkan bahwa masalah harus memainkan perannya dalam teori evaluasi matematika. Hallett mengadopsi “Kriteria Hilbert”, bahwa teori dan program penelitian dalam matematika harus dinilai sejauh mana teori dan program tersebut membantu pemecahan masalah. Kedua pendekatan tersebut mengakui pentingnya masalah dalam kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi kedua pendekatan tersebut masih berfokus pada pembenaran daripada penciptaan teori. Kontras dengan Popper (1959) dalam teorinya “konteks penemuan”. Sejak zaman Euclid, atau sebelumnya, penekanan dalam presentasi matematika telah pada logika deduktif dan perannya dalam pembenaran pengetahuan matematika. Hal ini adalah salah satu prestasi besar matematika. Tetapi penekanannya pada teorema dan pembuktiannya, serta pembenaran secara umum yang telah membantu untuk menopang pandangan absolut matematika. Pengakuan dari pusat masalah dan pemecahan masalah dalam matematika mengingatkan kita pada tradisi sejarah matematika, yang menekankan pada konteks penemuan atau penciptaan. Dari zaman Yunani kuno, sedikitnya telah diakui bahwa pendekatan sistematis dapat memfasilitasi penemuan dalam matematika. Misalnya Pappus menulis sebuah risalah yang membedakan antara analitik dan sintetik metode pemecahan masalah. Yang pertama, analitik melibatkan pemisahan logis atau komponen semantik dari premis atau kesimpulan, sedangkan yang kedua, sintetik melibatkan elemen cerita ke dalamnya dan mencoba untuk menggabungkannya. Perbedaan ini telah terulang sepanjang sejarah, dalam beberapa kali telah digunakan oleh psikolog untuk membedakan berbagai tingkat proses kognitif (Bloom, 1956). Sejak Renaissance, sejumlah para ahli methodologi ilmu pengetahuan berusaha untuk menciptakan cara-cara sistematis pada heuristik matematika. Bacon (1960) mengusulkan metode induksi untuk sampai pada hipotesis, yang kemudian menjadi sasaran pengujian. Dalam rangka memfasilitasi usul hipotesis induktif, ia mengusulkan kontruksi tabel sistematis hasil atau fakta untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan. Seperti proposal yang diterbitkan pada tahun 1620, mengantisipasi penelitian heuristik modern pada pemecahan masalah matematika, seperti Kantowski, orang spesialis “proses heuristik yang terkait dengan perencanaan...Pencarian untuk pola...Tabel Set up atau matrix” (Bell et al., 1983, halaman 208). Pada tahun 1628 Descartes (1931) menerbitkan sebuah karya “Rules for the direction of the mind (Aturan untuk arah pikiran)”. Karya ini adalah heuristik lanjut, banyak penjelasan eksplisit yang diarahkan pada inovasi matematika, termasuk penyederhanaan, penggunaan diagram, simbolisasi relasi, representasi relasi persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan. Heuristik ini mengantisipasi banyak heuristik yang diterbitkan 350 tahun kemudian sebagai alat bantu untuk mengajarkan pemecahan masalah, seperti di Mason et al. (1982) dan Burton (1984). Pada tahun 1830an Whewell menerbitkan “On the philosophy of Discovery”, yang memberikan subtansi pada penemuan ilmu pengetahuan (Blake et al., 1960). Dia mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1) klarifikasi, (2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki sejumlah komponen dan metode. Sebagian besar karya Whewell fokus pada ilmu empiris, meskipun ia percaya, mengikuti Kant, bahwa kebenaran diperlukan pada matematika dan ilmu pengetahuan. Namun demikian, ada analogi yang mencolok antara model penemuan yang diusulkan oleh Polya (1945) untuk matematika, satu abad kemudian. Jika dua tahap model Polya dikombinasikan maka hasilnya adalah (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana dan melaksanakannya, dan (3) melihat ke belakang. Sekarang ada paralel yang tepat antara fungsi tahap ini dan orang-orang dalam model Whewell. Pada contoh sebelumnya yang menampilkan berupa pemikiran-pemikiran baru tentang penemuan matematika dan pemecahan masalah dalam psikologi dan pendidikan telah diantisipasi dalam sejarah serta filsafat matematika dan ilmu pengetahuan. Teori penemuan matematika memiliki sejarah sebanding dengan teori pembenaran. Namun, tidak dikenal sebagian besar dalam sejarah matematika. Sebaliknya, pada abad ini, sampai Polya (1945), terlihat bahwa tulisan pada penemuan matematika cenderung proses membingungkan. Misalnya, Poincaré (1956) dan Hadamard (1945) yang keduanya menekankan peran intuisi dan ketidaksadaran dalam penciptaan matematika, secara implisit menunjukkan bahwa sebagian besar matematikawan berasal dari jurusan matematika yang memungkinkan mereka untuk menembus tabir misterius sekitar “realitas” matematika dan kebenaran. Aktifitas matematika dan wacananya berlangsung pada tiga tingkat yaitu formal, informal dan wacana sosial matematika. Dalam masyarakat barat, dan khususnya, dalam budaya profesional matematika, pada tingkat formal wacana matematika disediakan untuk presentasi pembenaran matematika. Wacana matematika informal berlangsung pada tingkat rendah, sedangkan kegiatan matematika dan penciptaan matematika secara alami terjadi pada tingkat informal, (Hersh, 1988). Dalam bab-bab sebelumnya, konstruktivisme sosial yang diberikan berhubungan antar-relasi penciptaan pengetahuan subyektif dan obyektif dalam matematika. Hal ini menunjukkan bahwa konteks “penemuan” (penciptaan) dan justifikasi tidak dapat sepenuhnya dipisahkan, untuk pembenaran, seperti bukti, sebagian besar merupakan produk kreativitas manusia sebagai konsep, dugaan dan teori. Konstruktivisme sosial mengidentifikasikan semua pelajar matematika sebagai pencipta matematika, tetapi mereka hanya mendapatkan persetujuan kritis dari masyarakat matematika yang menghasilkan pengetahuan matematika baru yang terpercaya, (Dowling, 1988). Aktivitas matematika dari semua pelajar matematika yang produktif, melibatkan pengajuan masalah dan pemecahannya, secara kualitatif tidak ada yang berbeda dari kegiatan profesional matematika. Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama, karena pada dasarnya reproduktif sebagai lawan kreatif, (Gerdes, 1985). 2. Masalah dan Investigasi dalam Pendidikan Mengingat bahwa sebagian besar matematika adalah pengajuan dan pemecahan masalah, dan suatu kegiatan yang dapat diakses oleh semua, maka menjadi konsekuensi penting bagi pendidikan. Konsekuensi ini juga tergantung pada nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ditetapkan dalam bab terakhir, meliputi: 1. Matematika sekolah harus terpusat pada pengajuan dan pemecahan masalah. 2. Permintaan dan investigasi harus menempati tempat sentral dalam kurikulun matematika sekolah. 3. Fakta bahwa matematika adalah sesuatu yang dapat keliru dan perubahan konstruksi manusia secara eksplisit yang diakui dan diwujudkan dalam kurikulum matematika sekolah. 4. Pedagogik yang digunakan merupakan proses dan fokus investigasi, atau implikasi sebelumnya bertentangan. Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa matematika untuk semua menjadi matematika dari semua (Volmink, 1990). A. Masalah dan Investigasi: Beberapa Perbedaan Pemecahan masalah dan investigasi yang diteliti telah menjadi bagian luas dari retorika pendidikan matematika Inggris sejak Cockcroft (1982). Di seluruh dunia, pemecahan masalah dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang, setidaknya pada saat Brownell (1942) dan Polya (1945), dan mungkin sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam tinjauan selektif penelitian pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip 106 referensi penelitian, yang mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan pada saat itu. Pendidikan matematika di Inggris, pemecahan masalah dan investigasi mungkin pertama muncul di tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967). Salah satu kesulitan dalam membahas masalah dan investigasi adalah konsep yang tidak jelas dan tidak dipahami oleh penulis yang lain. Dengan demikian, ada sejumlah perbedaan yang dapat berguna dalam penerapannya. untuk membedakan obyek atau fokus inquiry, proses inquiry, dan inquiry berbasis pedagogik. 1.Obyek Inquiry Obyek inquiry berfokus pada masalah baik masalah itu sendiri atau titik awal dari investigasi. Salah satu definisi dari masalah adalah “situasi di mana seorang individu atau kelompok diminta untuk mengerjakan tugas yang tidak ada algoritma/prosedur yang didapat untuk menentukan penyelesaian sepenuhnya. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan keinginan sebagian individu atau kelompok untuk mengerjakan tugas” (Lester, 1980, halaman 287). Definisi ini menunjukkan sifat non-rutin masalah sebagai tugas yang membutuhkan kreativitas untuk menyelesaikannya. Definisi ini harus direlatifkan ke pemasalah, satu orang mungkin memerlukan sebuah pendekatan dari orang lain. Definisi ini juga relatif berlaku terhadap kurikulum matematika, yang menentukan seperangkat rutinitas dan algoritma. Definisi ini juga melibatkan pengenaan tugas pada seorang individu atau kelompok, dan kemauan atau kepatuhan dalam menjalankan tugas. Hubungan antara seorang individu (atau kelompok), konteks sosial, tujuan mereka, dan tugas adalah kompleks dan subjek dari teori aktivitas (Leont'ev, 1978; Cristiansen dan Walther, 1986). Secara khusus, menjelaskan hubungan antara tujuan guru dan peserta didik adalah kompleks, dan tidak mungkin tujuan guru hanya mentransfer suatu perintah ke peserta didik. Konsep investigasi merupakan sebuah permasalahan karena dua alasan. Pertama, meskipun “investigasi” adalah kata benda, ia menjelaskan proses penyelidikan. Jadi kamus definisi investigasi adalah “Tindakan penyelidikan, pencarian, inquiry, sistematis pemeriksaan, penelitian yang cermat” (Onions, 1944, halaman 1040). Namun, dalam pendidikan matematika telah terjadi pergeseran makna, Facon de Parler mengidentifikasikan sebuah investigasi matematika dengan pertanyaan matematika atau situasi yang berfungsi sebagai titik awal. Hal ini merupakan pergeseran dalam arti kiasan yang menggantikan seluruh aktivitas oleh salah satu komponen (Jakobsen, 1956). Pergeseran ini juga berpusat pada guru yang berfokus pada kontrol guru melalui “setting investigation” sebagai tugas, analog dengan pengaturan masalah, dalam pandangan berbeda pembelajaran berpusat pada investigasi diarahkan kepada aktivitas pelajar. Masalah kedua adalah bahwa dugaan sementara investigasi dapat dimulai dengan situasi atau pertanyaan matematika, fokus pergeseran ini sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi baru yang dihasilkan serta dieksplorasi. Jadi obyek pergeseran investigasi dan didefinisikan ulang adalah nilai terbatas untuk mengidentifikasi investigasi dengan situasi aslinya. 2.Proses Inquiry Berbeda dengan obyek inquiry, proses inquiry itu sendiri tidak dapat dipisahkan seluruhnya, sebagaimana telah kita lihat dalam kasus investigasi. Jika masalah diidentifikasi dengan pertanyaan, maka proses pemecahan masalah matematika didefinisikan sebagai aktivitas mencari sebuah jalan untuk mendapatkan jawabannya. Namun proses ini tidak bisa mengandaikan jawaban, untuk sebuah pertanyaan mungkin memiliki beberapa solusi atau tidak sama sekali, dan menunjukkan kenyataan bahwa pemecahan tingkat tinggi adalah solusi untuk masalah ini. Perumusan proses pemecahan masalah dalam hal mencari sebuah jalan untuk mendapatkan solusi, menggunakan metafora geografis jejak-nyala. Polya menguraikan metafora ini. "Tujuan memecahkan suatu masalah yaitu menemukan sebuah cara dimana tidak ada cara yang diketahui, untuk mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, untuk menemukan jalan di sekitar halangan, untuk mencapai akhir yang diinginkan yang tidak segera dicapai, dengan cara yang tepat“ (Krulik dan. Reys, 1980, halaman 1). Metafora ini telah diwakili secara spasial (Ernest, 1988a, Gambar. 8). Sejak Nilsson (1971) telah memberikan dasar bagi beberapa penelitian tentang pemecahan masalah matematika, yang memanfaatkan gagasan tentang “ruang solusi” atau “statespace yang merepresentasikan masalah sebagai ilustrasi diagram kumpulan semua state yang dicapai dari state awal. State adalah kumpulan semua ekspresi yang telah diperoleh dari pernyataan awal masalah sampai saat tertentu” (Lester., 1980, halaman 293). Kekuatan dari metafora ini adalah bahwa tahapan dalam proses dapat direpresentasikan, dan alternatif “route” merupakan bagian representasi yang utuh. Namun kelemahan metafora adalah realisme matematika implisit. Dengan demikian metafora ini mengisyaratkan suatu absolut, bahkan pandangan Platonis tentang pengetahuan matematika. Metafora geografis juga diterapkan pada proses investigasi matematika. "Penekanannya adalah mengeksplorasi bagian matematika ke segala arah (Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi bidang yang diketahui, daripada proses ke tujuan tertentu. Jadi proses pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, sedangkan investigasi matematika digambarkan divergen (HMI, 1985). Bell et al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses investigasi, dengan empat fase: Merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi. "Di sini istilah "Investigasi" digunakan dalam upaya untuk merangkul seluruh berbagai sarana untuk memperoleh pengetahuan” (Bell dkk., 1983, halaman 207). Mereka menyarankan bahwa investigasi matematika adalah bentuk khusus, dengan karakteristik komponen yang abstrak, representatif, pemodelan, generalisasi, pembuktian, dan pelambangan. Pendekatan ini memiliki keutamaan dalam menentukan sejumlah proses mental yang terlibat dalam investigasi matematika (dan pemecahan masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945) mencakup banyak komponen model sebagai proses pemecahan masalah. Perbedaan utama adalah rumusan masalah atau problem posing, yang mendahului pemecahan masalah. Namun, sementara model yang diusulkan memiliki beberapa empiris dasar. 3. Inquiry berbasis pedagogik Ketiga pemecahan masalah dan investigasi diatas sebagai pendekatan pedagogis untuk matematika. Cockcroft (1982) mendukung pendekatan ini di bawah judul “teaching style”, meskipun terminologi yang dipakai tidak ada perbedaan antara model belajar dan mengajar. Salah satu cara pendekatan penyelidikan kontras adalah untuk membedakan peran guru dan pelajar, seperti pada Tabel 13.1. Tabel 13.1 Perbandingan Metode Inquiry untuk Pembelajaran Matematika Tabel 13.1 menggambarkan bahwa pergeseran dari penemuan terbimbing, melalui pemecahan masalah, untuk pendekatan investigasi melibatkan proses matematika. Hal ini juga melibatkan kekuatan guru dalam mengontrol jawaban siswa, atas metode yang diterapkan pada peserta didik, dan atas pilihan isi pelajaran. Peserta didik mendapatkan kontrol atas aplikasi metode tersebut dan atas dirinya sendiri. Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan pengajaran memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas dan hubungannya. Pemecahan masalah memungkinkan pelajar untuk menerapkan pembelajaran yang kreatif, namun guru masih mempertahankan banyak kendalinya atas konten dan bentuk instruksi. Jika pendekatan investigasi diterapkan mampu memungkinkan pelajar untuk memunculkan masalah dan pertanyaan investigasi yang relatif bebas, maka pembelajaran tersebut menjadi pemberdayaan dan emansipatoris. Namun, karakteristik yang diperlukan adalah komunikasi pandangan progresif atau fallibilist matematika melalui pengalaman di kelas. B. Perbedaan Persepsi Masalah dan Investigasi Salah satu hasil dari perbedaan di atas yaitu interpretasi yang berbeda atas masalah dan investigasi serta peran mereka dalam pengajaran matematika. a. Penolakan Pemecahan Masalah dan Investigasi Reaksi negatif atas masalah dan investigasi adalah penolakan masalah dan investigasi sebagai materi yang pantas untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan pada persepsi bahwa matematika sekolah adalah berorientasi pada isi dan fungsi utamanya adalah untuk menanamkan keterampilan dasar matematika. Penolakan ini merupakan respon dari kelompok trainer industri. Kelompok ini memiliki pandangan yang sempit terhadap isi matematika karena epistemology dualistiknya. Selain itu, teori trainer industri mengajarkan model transmisi otoriter, dan setiap pindah ke otonomi pelajar tingkat tinggi mendapatkan tentangan (Lawlor, 1988). b. Penggabungan masalah dan investigasi sebagai isi Kelompok kedua memberikan respon terhadap masalah dan investigasi dengan memperlakukan masalah dan investigasi sebagai isi tambahan yang akan digabungkan ke isi kurikulum matematika. Dengan demikian masalah dan investigasi dianggap sebagai objek inquiry yang digunakan untuk memperkaya pengajaran, dan tidak sebagai peserta didik, dimana proses atau pendekatan pedagogis diadopsi pada matematika. Dalam hal tertentu, investigasi tidak dipahami sebagai problem posing. Dalam cara yang berbeda baik humanis kuno dan pragmatis teknologi masingmasing berbagi pandangan ideologi mereka. Keduanya didasarkan pada filosofi absolutism matematika. Keduanya sebagian besar melihat masalah sebagai cara untuk memperkaya isi dari kurikulum matematika, untuk mengidentifikasi investigasi dengan masalah. Nilai-nilai masalah perspektif humanis kuno sebagai aplikasi non-rutin dari pengetahuan dan sebagai sarana penting untuk mendemonstrasikan pembelajaran, pemahaman dan bakat. Namun, perspektif ini bersangkutan pada pengetahuan matematika murni untuk pelajar, sehingga investigasi tidak dipahami dalam hal problem posing oleh peserta didik. Nilai perspektif pragmatis teknologi adalah aplikasi pemecahan masalah serta pemodelan matematika. Jadi pemecahan masalah dipahami dalam hal masalah praktis (“masalah nyata”), yang mengarah ke hasil yang nyata. Investigasi matematika termasuk ke dalam konsepsi masalah, atau dipahami sebagai teka-teki. Burghes (1984) merepresentasikan perspektif ini dengan mengkategorikan investigasi menjadi (1) investigasi eureka (seperti teka-teki), (2) investigasi eskalator ('proses' atau masalah kombinatorial), (3) keputusan masalah dan (4) masalah nyata. Representatif Ini merupakan identifikasi investigasi dengan masalah, untuk dimensi problem posing diabaikan atau ditolak. Secara keseluruhan, masalah dan investigasi diidentifikasi dengan objek inquiry, dan diperlakukan sebagai tambahan isi kurikulum, kecuali pemodelan matematika termasuk dalam hal proses. c. Pemecahan masalah dan investigasi sebagai pedagogik Kelompok perspektif ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai pendekatan pedagogis kurikulum secara keseluruhan. Pandangan tersebut berasal dari filsafat matematika yang setidaknya melihatnya sebagai bidang pengembangan ilmu pengetahuan, bukan sebagai konstruksi sosial. Pandangan ini prihatin dengan peran manusia dalam pertumbuhan pengetahuan, dan karenanya mencerminkan proses pemecahan masalah dan investigasi dalam kurikulum matematika. Penggabungan dari proses ke dalam kurikulum, termasuk problem posing, mengarah pada pemecahan masalah dan investigasi pedagogik. Perspektif pendidik progresif terfokus untuk memfasilitasi kreativitas individu dalam matematika serta pemecahan masalah dan investigasi yang dianggap sebagai pusat dalam perspektif. Jadi pemecahan masalah dan investigasi dipahami baik dalam hal proses pembelajaran dan pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam kelas. Peran guru dipahami untuk mendukung pedagogik, sebagai manajer lingkungan belajar dan sumber belajar, dan fasilitator pembelajaran. Berbagai investigasi matapelajaran memungkinkan akan dibatasi pada situasi matematika murni, atau topik tematik mengenai “aman” sebagai lawan dari isu-isu politik. Sesuai dengan ideologi keseluruhan, penekanannya adalah pada individual dan minat siswa mereka, dan bukan konteks sosial struktural dimana mereka hidup, belajar dan akan mencari nafkah. Para pendidik publik menerima banyak pandangan perspektif sebelumnya dari pemecahan masalah dan investigasi pedagogik, tetapi penambahannya pada dimensi sosial-politik. Dengan demikian pedagogik diadopsi oleh pendekatan ini yang melibatkan sejumlah fitur yang memfasilitasi pendekatan yang diteliti, termasuk tugas kelompok kooperatif dan diskusi serta otonomi diri siswa dalam arah problem posing dan investigasi. Semua ini dapat dipergunakan bersama dengan perspektif pendidik progresif. Namun dimana pendidik publik melampauinya melalui dorongan dari pemikiran kritis dengan cara pertanyaan pembelajaran isi materi, pedagogik dan penilaian, penggunaan dari situasi masalah sosial yang relevan, proyek dan topik, untuk keterlibatan sosial dan pemberdayaan peserta didik. Jadi pemecahan masalah dan investigasi akan sebagian didasarkan pada bahan otentik, seperti koran, statistik resmi, dan masalah sosial. Untuk pendidik masyarakat, pedagogik ini merupakan sarana untuk mengembangkan keterampilan kewarganegaraan dan keterlibatan sosial. C. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogik Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah laporan resmi dan otoritatif telah diterbitkan mengenai perekomendasian penggabungan pemecahan masalah ke dalam pengajaran matematika sekolah. Di Inggris laporan tersebut telah menyertakan Cockcroft (1982) dan Inspektorat Majestinya (1985), dan di Amerika Serikat mereka termasuk Dewan Nasional Guru Matematika (1980, 1989). Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut adalah penafsiran yang diberikan seperti rekomendasi. Untuk konsep pemecahan masalah dan investigasi yang berasimilasi ke dalam perspektif penafsir, dan dipahami seperti yang telah kita lihat di atas. Kinerja para guru pada pemecahan masalah dan pendekatan pengajaran, tergantung pada kebenaran matematika (Schoenfeld, 1985). Bukti empiris menunjukkan bahwa guru dapat menafsirkan masalah dan investigasi secara sempit. Sebagai contoh Lerman (1998a) menggambarkan bagaimana pekerjaan investgasi dalam matematika sekolah digulingkan oleh pandangan bahwa ada hasil yang benar dan unik, mengkhianati filosofi absolut yang mendasari matematika. Kendala yang kedua yaitu implementasi. Implementasi ini melibatkan hubungan antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mewujudkan pedagogik dari perspektif partikular dan praktek kelas. Pada skala besar perbedaan ini antara yang direncanakan dan kurikulum yang diajarkan. Sedangkan perbedaan antara teori-teori yang dianut para guru tentang belajar dan mengajar, dan teori versi ini pada skala kecil. Beberapa studi telah mengungkapkan guru yang dianut pada pendekatan suatu pemecahan masalah pengajaran matematika (biasanya, konsonan dengan para pendidik progresif) tapi yang ada di praktek berkisaran ekspositoris, transmisi model pengajaran yang diperkaya dengan penambahan masalah (Cooney, 1983; 1985, Thompson, 1984; Brown, 1986). Penjelasan utama pada perbedaan yang diajukan dalam studi ini adalah kendala dan peluang yang diberikan oleh konteks sosial penyebab pengajaran guru untuk menggeser niat pedagogis dan praktek jauh dari teori yang dianut mereka (Ernest, 1989b, 1989c). Efek sosialisasi konteksnya cukup kuat walaupun memiliki perbedaan keyakinan tentang matematika dan pengajarannya, guru di sekolah yang sama diamati untuk mengadopsi praktik kelas yang sama (Lerman, 1986). Gambar 13.1 menyajikan model dari beberapa relasi yang terlibat. Gambar 13.1. Relasi antara keyakinan yang berlaku dan yang dianut guru matematika Hal ini menunjukkan bagaimana komponen primer ideologi guru, pribadi filsafat matematika, yang mendasari dua komponen sekunder yaitu teori mengajar dan belajar matematika. Hal ini berdampak pada praktik berlakunya model pembelajaran dan pengajaran matematika, termasuk salah satu penggunaan sumber daya yang dipilih, yaitu penggunaan teks matematika. Hal ini cukup penting untuk membedakan teks yang mewujudkan sebuah epistemologi, dan sejauh mana mereka mempresentasikan serta mengurutkan matematika sekolah dari sifat kurikulum yang diimplementasikan (Cooney, 1988; Goffree, 1985). Panah ke bawah pada gambar 1 menunjukkan arah pengaruh utama. Isi komponen kepercayaan yang lebih tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah. Karena model yang berlaku saling terkait, seperti teori yang dianut pengajaran dan pembelajaran, hal ini direpresentasikan pada gambar 1 sebagai hubungan horisontal yang ditarik diantaranya. Dampak dari teori yang dianut pada praktek yang dimediasi oleh kendala dan peluang yang diberikan adalah konteks sosial pengajaran (Clark dan Peterson, 1986). Konteks sosial memiliki pengaruh yang kuat, sebagai hasil dari sejumlah faktor termasuk harapan orang lain, seperti mahasiswa, orang tua, sesama guru dan atasan. Hal ini juga merupakan hasil dari kurikulum institusional: yang mengadopsi teks atau skema kurikuler, sistem penilaian, dan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Konteks sosial memimpin guru untuk menginternalisasikan kumpulan kendala yang mempengaruhi diberlakukannya model pengajaran dan pembelajaran matematika. Model tersebut diilustrasikan dalam Gambar 1 secara sederhana. Dengan demikian, misalnya, meskipun keyakinan yang berlaku ditampilkan terpisah dari konteks sosial, akan tetapi tertanam di dalamnya. Selain itu, semua keyakinan dan praktik merupakan bagian dari sistem interaktif, dan tekanan pada setiap titik, seperti praktek di kelas, yang memberikan umpan balik dan dapat mempengaruhi semua komponen yang lain. 3. Kekuatan Problem Posing Pedagogik Sebuah problem posing pedagogik, seperti dalam teori pendidik publik pengajaran matematika, dan pada tingkat lebih rendah, teori pendidik progresif, merepresentasikan pendekatan pengajaran emansipatoris dan ketika berhasil dilaksanakan, memberdayakan epistemologis peserta didik. Artinya, hal ini mengetahui pendorong aktif dan kreasi pengetahuan peserta didik, dan melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks sekolah. Telah dikatakan bahwa bukan bentuk dan isi dari pendidikan yang memiliki dampak terbesar, secara umum (Bowles dan Gintis, 1976), dan untuk matematika (Noss, 1989). Pandangan ini ditantang dalam Bab 11, di mana ia berpendapat bahwa hirarkis pandangan pengetahuan serta bentuk hirarki organisasi berkontribusi pada kreasi, jika tidak reproduktif, kesenjangan sosial akan terjadi melalui pendidikan. Implikasi hal ini adalah baik isi dan bentuk materi pengajaran, meskipun mungkin ilusi berpikir mereka dapat dipisahkan. Untuk mencerminkan konstruktivis sosial, atau pandangan absolut progresif matematika, problem posing pedagogik harus mencakup perlakuan khusus konten serta pendekatan pengajaran. A. Mengatasi Kekuatan Reproduktif dalam Kurikulum Matematika Empat dari lima ideologi pendidikan matematika yang disajikan di atas memiliki tujuan reproduktif sosial, baik secara kasar atau halus. Korespondesi secara kasar untuk definisi keterbatasan kelas yang kaku, sementara korespodensi secara halus untuk definisi keterbatasan kelas yang semi-permeabel, memungkinkan peningkatan sosial yang terbatas di dalam masyarakat yang dipandang sebagai progresif dan meritokrasi. Dari lima ideologi, hanya pendidik progresif ideologi perubahan sosial yang berusaha memberdayakan peserta didik menjadi sadar dan kemudian mengambil kendali tantangan reproduktif kekuatan di sekolah dan masyarakat. Cara utama untuk mencapai hal itu adalah melalui problem posing pedagogik. Hal ini tercermin dalam kelas pemberdayaan peserta didik, pada awalnya epistemologis, dan akhirnya, sosial dan politik, melalui kesadaran kritis tentang peran matematika dalam masyarakat. Pendekatan ini mencoba untuk meminimalkan atau membuat secara eksplisit hierarki kekuatan yang tersembunyi yang dicontohkan dalam kelas, yang memainkan peran penting dalam memperkuat penerimaan hirarki sosial. Perspektif pendidik publik juga menantang hirarki kaku tersebut dalam sifat pengetahuan matematika, dalam kurikulum matematika, dan atribusi dari kemampuan matematika untuk peserta didik. Semua hirarki dapat berfungsi untuk mendukung dan mengkonsolidasikan reproduksi hirarki sosial. Melanjutkan kesempatan yang sama dalam matematika Ada masalah-masalah khusus dari reproduktif sosial yang menyangkut penolakan kesempatan yang sama dalam matematika untuk etnis minoritas, terutama kulit hitam, dan wanita (Bab 12). Solusi yang diusulkan untuk masalah ini adalah pelaksanaan problem posing pedagogi, berdasarkan ideologi pendidik publik. Untuk memajukan kesempatan yang sama terhadap kulit hitam dalam matematika, sekolah dan masyarakat memerlukan anti-ras pengajaran matematika. Demikian juga, untuk peluang lebih terhadap perempuan memerlukan anti-seksis mengajar matematika. Kedua pendekatan pada problem solving pedagogik, yang diusulkan karena memberdayakan semua peserta didik, bukan kekurangan minoritas. B. Menumbangkan Tujuan Persempit dari Kurikulum Nasional di Matematika Dalam bab 11 mendasari ideologi pengembangan Kurikulum Nasional dalam matematika. Dalam istilah sederhana, menyatakan bahwai deologi utilitarian yang paling penting bagi perkembangan ini, sementara dorongan menyeluruh pada reformasi pendidikan, termasuk reorganisasi sekolah dan kurikulum serta kerangka penilaian, yang didorong oleh salah satu darinya yaitu pelatih industri. Dalam bagian I ini, menyatakan bahwa perkembangan yang di dalamnya ambiguitas dan kontradiksi dengan kesempatan yang diberikan melalui tujuan khusus ideologiideologi yang dapat diatasi atau dirusak. Selain itu, sarana utama melakukan hal ini adalah dengan cara problem posing pedagogik dari masyarakat pendidik. Meskipun kemungkinan-kemungkinan ini ada, terdapat hambatan yang tidak boleh diabaikan dalam penyelesaiannya. Salah satu masalahnya yaitu melalui spesifikasi ketat dari isi danmodel penilaian dalam matematika, Kurikulum Nasional merupakan bagian dari langkah untuk “Deskill and de-profesionalisme teachers” (Giroux, 1983; Brown, 1988). Penggabungan dan pelembagaan pemecahan masalah dan penilaian ke dalam Kurikulum matematika (Departemen Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988; Kurikulum Nasional Council, 1989) berfungsi untuk rutinitas strategi pemikiran matematika,yang merampas kekuasaan emansipatorisnya. Mengingat adanya hambatan tersebut, oleh karena itu perlu mempertimbangkan perubahan peluang tersebut. Konsep pemecahan masalah dan investigasi memiliki arti perspektif berbeda yang berasimilasi dan ditafsirkan.Makna berbeda dariaplikasi reproduktif matematika, untuk kreatif dan pemberdayaan pendekatan epistemologis. Jadi adaambiguitas penting yang mendasari berbagai makna. Sejumlah istilah lain yang digunakan dalam wacana pendidikanyang ambigu, dan terbuka untuk berbagai interpretasi sebanding. Dua ambiguitas tersebut akan dipertimbangkan lagi tentang konsep relevansi dan kewarganegaraan. Relevansi adalah nilai syarat yang digunakan untuk menunjukkan apa yang dianggap tepat olehspeaker. Jadi perspektif utilitarian seperti pelatih industri dan pragmatis teknologi melihat “relevansi” matematika dalam hal keterampilan dasar (seperti berhitung) atau keterkaitan kerja. Relevansi sama artinya, dengan kutukan bagi ideologi murni dari humanis kuno. Pendidik progresif, sebaliknya, memahami relevansi dalam hal kepentingan yang dirasakan dan kebutuhan peserta didik. Pendidik publik, relevansinya berlaku dalam konteks matematika dimana melibatkan peserta didik secara pribadi dan sosial. Perspektif ini mengacu pada teori aktivitas untuk memahami dan saling mengaitkan tujuan pribadi dan sosial, (Mellin-Olsen, 1987). Kurikulum yang“relevan”, menurut perspektif ini, adalah memungkinkan peserta didik untuk terlibat matematis dengan konteks sosial mereka, dengan cara memberdayakan melalui problem posing pedagogik pada setiap pelajaran. Dengan demikian konsep relevansi adalah ambigu, (Keitel, 1987). Terbukti “relevansi” adalah hubungan ternary yang memegang antara situasi atau objek S, seseorang atau kelompok P, dan tujuan G ketika objek S dianggap relevan dengan P ke tujuan G. Saat ini, ada kepentingan dalam “pendidikan kewarganegaraan”, yang meluas dispektrum politik (Morrell, 1990). Kurikulum Dewan Nasional telah mendirikan Kelompok Tugas Kewarganegaraan untuk melaporkan tentang bagaimana kewarganegaraan harus ditangani dalam kurikulum. Yang menarik, dalam konteks sekarang ini, adalah ambiguitas dalam jangka kewarganegaraan. Sebuah interpretasi disukai oleh hak politik warga aktif yang berpartisipasi dalam skema lingkungan yang monoton, membantu ketertiban masyarakat, dan melakukan kegiatan lain yang berguna dalam sosial. Pelaksanaan utama tentang istilah pemahaman kewarganegaraan yang lebih luas, meliputi: Sipil, politik dan hak sosial dan sesuaitanggung jawab individu dalam masyarakat atau negara ... nilai yang terkait dengan hak-hak dan lembaga ... yang memberi mereka efek.Pemberian hak ... yang diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusiadan ... karakter dan konvensi lainnya... Kewarganegaraan juga mencakupkelanjutan dari kebajikan publik baik, sipil dan kewajiban sosial sukarela. (Morrell, 1990, halaman 38) Pandangan yang lebih radikal adalah bahwa dari pendidik publik yang melihat penting kekritisan kewarganegaraan sebagai tujuan mereka (Giroux, 1983). Gagasan ini memerlukan pandangan kritis statistik sosial dan struktur sosial, serta tindakan positif untuk memperbaiki ketidaksetaraan dan memerangi ketidakadilan dan rasisme serta seksisme(Frankenstein, 1990). Hal ini adalah tiga arti yang berbeda untuk istilah yang sama. Seperti masing-masing ambiguitas diatas memungkinkan tujuan dari pendidik publik untuk dijelaskan dandibahas dalam bahasa yang dapat diterima berbagai orang. Faktor penting dalam mengatasi masing-masing ambiguitas tujuan pendidik publik adalah peran problem posing pedagogik, memberdayakan peserta didik untuk mengembangkan keterampilan yang luas, terlibat denganisu-isu sosial dan menjadi warga negara yang sadar akan kekritisan. Selain itu, sejumlah istilah pendidikan lainnya ambigu, dan dapat dimanfaatkan oleh problem posing pedagogik. Sebagai contoh, masing-masing istilah kesadaran ekonomi, perusahaan, pendidikan teknologi, keterampilan matematika, diskusi dan proyek kerja, dapat ditafsirkan dalam cara sempit, atau dengan cara, emansipatoris yang lebih luas, sebagai bagian dari problem posing pedagogik, yang menantang niat utilitarian dari Kurikulum Nasional. Kontradiksi Kurikulum Nasional merupakan langkah paling tajam yang dibuat oleh Pemerintah Inggris modern untuk mengambil alih sistem pendidikan dan untuk mendikte tujuantujuannya serta hasilnya. Meskipun aspek terisolasi dari proposal mungkin memiliki manfaat, pada pandangan sempit dalam tujuan dan ideologi para politisi yang secara langsung memegang kekuasaan tersebut, hasil keseluruhan setidaknya berpotensi, mendalami anti-pendidikan (Noss, 1989). Namun, sistem pendidikan Inggris, dari politisi kepada siswa, melalui guru, tidak sekedar prasasti. Pada tiap tingkat, ada kontradiksi dan pertentangan dengan kekuatan di tempat kerja, yang dapat dimanfaatkan untuk menumbangkan niat anti pendidikan Kurikulum Nasional. Pertama-tama, ada yang menentang ideologi dari kelompok-kelompok yang berbeda di belakang Kurikulum Nasional. Termasuk kedua pelatih industri dan pragmatis teknologi, dengan pandangan sempit dan luas dari utilitas pendidikan.Hal ini berarti bahwa spesifikasi Kurikulum Nasional mencakup sejumlah istilah ambigu, seperti yang dibahas di atas, yang dapat ditafsirkan pemberdayaan pedagogik. Kedua, beberapa makna diadopsi untuk memajukan tujuan utilitarian, seperti aplikasi matematika dan teknologi dan pemrograman komputer, yang sama-sama dapat melayani tujuan-tujuan emansipatoris. Untuk arti aplikasi matematika yang cukup luas meliputipemecahan masalah dan problem posing, dan contoh-contoh yang diberikan (dalamTarget pencapaian 1 dan 9) mendukung daripada pengecualian penafsiran ini. Pemrograman komputer bahasa Logo digunakan untuk contoh kebutuhan dalam matematika. Tetapi bahasa ini dipromosikan sebagai yang paling cocok untuk problem posing dan investigasi, untuk pelajar sekolah dari segala usia (Papert, 1980). Akhirnya, meskipun Kurikulum Nasional dalam matematika memberikan keterangan yang ketat tentang isi dan cara penilaian matematika sekolah, hal ini tetap meninggalkan pedagogik yang tidak ditentukan. Tidak ada kontrol hukum atas pendekatan pengajaran yang diadopsi. Untuk problem posing pedagogik, berdasarkan pada filosofi matematika, pemenuhan kewajibannya dalam hal isi dan penilaian, namun masih emansipatoris. Penyediaan isi kurikulum dipahami dalam hal konstruktivis sosial, atau progesif epistemologi absolut, filosofi ini dapat tercermin dalam pendekatan pedagogis. Jadi, misalnya, bekerja dengan anak-anak di Amerika Serikat (Cobb, 1987; Yackel, 1987) dan di Inggris (Perdana, 1987; Rowland, 1989) menegaskan bahwaspesifikasi konvensional konten matematika dapat digunakan sebagai dasar untuk problem posing pedagogik. Bahkan, saran-saran pedagogis yang mendampingi Kurikulum Nasional dalam matematika (Kurikulum NasionalDewan, 1989) mempromosikan pendekatan pemecahan masalah. Jadi ajakan untuk menggunakan pendekatan pengajaran berorientasi inquiry, yang memungkinkan penyebaran problem posing pedagogik, dibangun ke dalam sistem tersebut. Sejumlah penulis telah mengatakan bagaimana kontradiksi dalam sebuah sistem pendidikan dapat digunakan untuk menumbangkan kekuatan reproduksi yang melekat di tempat kerja pada umumnya, dan untuk matematika pada khususnya (Gintis dan Bowles, 1980; Noss, 1989). Sebuah argumen terkait bahwa kekuatan-kekuatan menyebabkan resistensi di kalangan peserta didik (Giroux, 1983;Mellin-Olsen, 1987). Apa yang dikatakan di atas adalah kontradiksi dengan kemungkinan guruuntuk menantang kekuatan tersebut melalui problem posing pedagogik. Namun, untuk menjadiemansipatoris harus berhasil dalam melibatkan peserta didik. Sebagaimana telah kita lihat, hal ini jugaharus didasarkan pada pandangan matematika, dan ilmu pengetahuan pada umumnya, yang mengakui peserta didik dan karenanya juga guru sebagai agen epistemologis. Hal ini menimbulkan masalah guru sebagai 'praktisi reflektif' (Schon, 1983), dan seorang peneliti (Stenhouse, 1975; Meighan, 1986). Sebuah pedagogik yang memberdayakan peserta didik sebagai agen epistemologis tergantung pada guru yang melakukannya pada tingkat ini juga. Dengan demikian guru dapat menciptakan matematika dalam bukunya atau kelasnya, tetapi sebagai seorangprofesional, juga menciptakan pengetahuan pendidikan. Meskipun hal ini tidak akan diuraikan lebih lanjut di sini, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari buku ini, dengan menjelajahi landasan filosofis pendidikan matematika, adalah untuk menyediakan alat untuk berpikirguru sebagai praktisi reflektif dan peneliti. 4. Kesimpulan Tema bab ini adalah bahwa dengan merenungkan sifat matematika sebagai pemecahan problem posing dan kegiatan penyelesaian, problem posing pedagogik menjadi emansipatoris. Sebagai bagian dari pendekatan publik untuk pengajaran matematika, maka memungkinkan tujuan sosial tertinggi pendidikan matematika harus diatasi. Tujuan ini termasuk pemenuhan potensi individu sebagai manusia, berpindah kesadaran sosial ke yang lebih tinggi dan kebutuhan untuk perubahan sosial, dan melawan ketidakadilan, khususnya rasisme dan seksisme. Namun, tujuan-tujuan sosial adalah bagian dari ini, dan tidak bertentangan dengan pengembangan keterampilan individu dan kreativitas dalam matematika. Tentu saja, apa yang terletak di jantung ideologi pendidik publik adalah konstruktivis sosial filsafat matematika. Kelebihan atau kekurangan masing-masing dari lima ideologi pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika. Dalam pendapatnya, seluruh filsafat matematika, atau mendukung semua kurikulum matematika dan pengajaran.Hal ini adalah tema dari buku ini. Yaitu bahwa: apakah satu keinginan atau tidak, semua pedagogik matematika, bahkan jika hampir koheren, berpijak pada filosofi matematika. (Thom, 1971, hal. 204) Danuntuk mengambil argumen kembali ke awal dari buku ini: Masalahnya, kemudian, Apa cara terbaik untuk mengajar? namun, Apa matematika benar-benar tentang semua Kontroversi tentang mengajar? tidak bisa diselesaikan tanpa menghadapi masalah tentang sifat matematika. (Hersh, 1979, hal.34)