Uploaded by User38819

bbktk

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam industri pengolahan migas banyak digunakan pipa untuk
membantu proses produksinya, sebagai contoh : pipa atau tube pada
furnace, pada boiler atau steam injection. Pada instalasi ini tube
merupakan komponen yang vital karena tube tersebut digunakan sebagai
alat untuk mengalirkan fluida yang panas ke sistem-sistem yang
membutuhkan, dimana suhu operasi sekitar 454º – 540º C sesuai dengan
suhu operasi dan jenis material yang digunakan, dan jam operasi yang
mencapai 100.000 jam operasi (API Recommended 530). Dalam
pengoprasiannya tube furnace akan mengalami proses pengotoran dan
kerusakan, sehingga kemampuannya akan menurun. Maka dari itu perlu
adanya sistem pemeliharaan atau maintenance dan penanggulangan
kerusakan yang tepat. Hal ini dikarenakan furnace merupakan unit yang
vital pada kilang minyak. Apabila furnace mengalami kegagalan maka
akan terjadi kegagalan pada semua sistem kilang minyak. Permasalahan
korosif tidak bisa lepas dari tube ini mengingat suhu operasi yang tinggi,
fluida yang mengalir juga dapat mengakibatkan adanya deposit. Karena
produk industri migas pada umunya sangatlah korosif diperlukan
pengawasan dan kontrol material secara periodik dalam hal eksploitasi dan
proses distribusinya untuk menjamin mutu dalam penggunaannya.
1.2.
Perumusan Masalah
Sesuai dengan gambaran permasalah, bahwa salah satu perlatan
pendukung dalam industri pengolahan minyak bumi adalah Furnace, yang
digunakan untuk mengalirkan fluida – fluida yang telah dipanas melalui
1
pipa – pipa pembakaran didalam alat tersebut. Maka, yang menjadi batasan
rumusan masalah tersebut adalah :
1. Bagaimana mekanisme kerusakan pada Furnace.
2. Apa penyebab kerusakan yang terjadi pada tube di Furnace .
3. Bagaimana penanggulangan akan permasalah yang terjadi pada tube di
Furnace .
1.3.
Tujuan dan Manfaat penulisan
1.3.1. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui mekanisme kerusakan yang terjadi pada tube di
Furnace
b. Untuk mengetahui dan membahas solusi pencegahan kerusakan
yang terjadi di Furnace
1.3.2. Manfaat Penulisan
a. Menambah
wawasan
dan
pemahaman
tentang
alat-alat
pendukung dalam industri pengolahan minyak bumi, khususnya
Furnace
b. Dapat mengetahui jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada
Furnace
2
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Dasar teori Furnace
Dalam industri pengolahan minyak bumi dibutuhkan suatu
peralatan yang disebut Furnance. Furnace atau Fired heater, adalah
peralatan yang digunakan untuk memanaskan airan di dalam tube,
dengan sumber yang berasal dari proses pembakaran yang
menggunakan bahan bakar gas atau cairan secara terkendali di dalam
burner.
Tujuan pemanasan ini adalah agar diperoleh kondisi operasi (suhu)
yang diinginkan pada proses berikutnya dalam suatu peralatan yang
lain. Supaya proses pemanasan berlansung optimal, maka tube-tube
Fired heater dipasang atau diatur sedemikian rupa sehingga panas
yang dihasilkan dari pembakaran dapat dimanfaatkan.
Rancangan bangun Fired heater juga harus diperhatikan dengan
teliti supaya panas yang dihasilkan tidak terbuang ke udara. Misalnya
panas hilang lewat dinding dan cerobong (stack).
Hal ini berhubungan dengan struktur refraktori untuk dinding serta
suhu gas pembakaran dan udara excess. Jika suhu stack, dan udara
excess tinggi maka akan banyak panas yang hulang terbawa oleh flue
gas. Heater akan beroperasi dengan efisien, apabila :
1. Sistem penyalaan api burner baik
2. Reaksi pembakaran berlansung sempurna
3. Panas pembakaran dari fuel gas dan fuel oil dapat tersalur
dengan baik pada fluida yang dipanaskan
4. Permukaan tube yang bersih
5. Dapat memperkecil panas yang hilang baik melalui stack /
cerobong maupun dinding.
3
Fired heater adalah alat yang berfungsi untuk memindahkan panas
yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar dalam suatu
ruangan ke fluida yang dipanaskan sampai mencapai suhu yang
diinginkan (Priyo Utomo, 1998).
Gambar 2.1. Skema Furnace
Sumber : Lieberman (2004)
Struktur Fired heater berupa bangunan berdinding plat baja yang
bagian dalamnya dilapisi oleh material tahan api, batu isolasi untuk
menahan kehilangan panas ke udara melalui dinding Fired heater dan
refractory. Mekanisme
perpindahan panas dari sumber panas ke
penerima dibedakan atas tigas cara, yaitu:
1.
Perpindahan Panas secara Konduksi
Perpindahan panas secara konduksi adalah perpindahan
panas dimana melekul-molekul dari zat perantara tidak ikut
4
berpindah
tempat
tetapi
molekul-molekul
tersebut
hanya
menghantarkan panas atau proses perpindahan panas dari suhu
yang tinggi ke bagian lain yang suhunya lebih rendah.
2.
Perpindahan Panas secara Konveksi
Perpindahan panas secara konveksi diakibatkan molekulmolekul zat perantara ikut bergerak mengalir dalam perambatan
panas atau proses perpindahan panas dari satu titik ke titik lain
dalam fluida antara campuran fluida dengan bagian yang lain.
3. Perpindahan Panas secara Radiasi
Perpindahan panas secara radiasi adalah perpindahan panas
yang terjadi karena perpindahan energi melalui gelombang
elektromagnetik secara pancaran atau proses perpindahan panas
dari sumber panas ke penerima
panas yang dilakukan dengan
pancaran gelombang panas. Antara sumber panas dengan penerima
panas tidak terjadi kontak. Bagian dapur yang terkena radiasi
adalah ruang pembakaran. (D.Q. Kern,1965)
Untuk pembakaran, bahan bakar yang digunakan pada
furnace biasanya terdiri dari bahan bakar gas (fuel gas), bahan
bakar minyak (fuel oil), kombinasi bahan bakar gas dan minyak,
serta bahan bakar padat seperti batubara, tergantung seberapa besar
panas yang ingin dihasilkan serta aspek keekonomisannya.
Besarnya beban panas yang harus diberikan oleh furnace kepada
fluida yang dipanaskan bergantung pada jumlah umpan dan
perbedaan suhu inlet dan outlet umpan yang ingin dicapai.
Semakin besar perbedaan suhu dan semakin banyak jumlah
umpan, maka beban dapur akan semakin tinggi. Namun, juga harus
diperhatikan, bahwa suhu yang dicapai oleh fluida proses yang
dipanaskan tidak boleh mencapai suhu dimana dapat terjadi
thermal cracking pada fluida proses yang dipanaskan. Thermal
cracking akan mengakibatkan terbentuknya gas-gas ringan yang
akan mengakibatkan volume fluida hasil pembakaran menjadi
5
sangat besar dan melebihi volume pipa fluida proses. Bila hal ini
terjadi, dapat menimbulkan bahaya berupa meledaknya furnace.
Thermal cracking dapat pula mengakibatkan terbentuknya coke
yang dapat mengurangi luas perpindahan panas pada furnace.
Furnace
pada
dasarnya
terdiri
dari
sebuah
ruang
pembakaran yang menghasilkan sumber kalor untuk diserap
kumparan pipa (tube coil) yang didalamnya mengalir fluida. Dalam
konstruksi ini biasanya tube coil dipasang menelusuri dan merapat
kebagian lorong yang menyalurkan gas hasil bakar (flue gas) dari
ruang bakar ke cerobong asap (stack). Perpindahan kalor yang
diruang pembakaran terutama terjadi karena radiasi disebut seksi
radiasi (radiant section), sedangkan saluran gas hasil pembakaran
terutama oleh konveksi disebut seksi konveksi (convection section).
Untuk mencegah supaya gas buangan tidak terlalu cepat
meninggalkan ruang konveksi maka pada cerobong seringkali
dipasang penyekat (damper). Perpindahan panas kalor melalui
pembuluh dikenal sebagai konduksi.
2.1.2. Tipe Furnace dan bagiannya
a. Furnace tipe silinder vertikal
Dapur silinder vertikal (vertical cylindrical furnance)
merupakan dapur yang berbentuk silinder tegak. Burner terletak
pada lantai dapur dengan nyala api tegak sejajar dengan dinding
furnace. Tube-tube furnance di daerah radiasi terpasang tegak
melingkar mengelilingi burner.
Panas dipancarkan secara radiasi dibagian silinder. Bagian
konveksi berada di atas bagian radiasi. Diantara bagian radiasi dan
konveksi dipasamg kerucut untuk menyempurnakan radiasi
(Reradiating Cone). Dapur ini biayanya murah dan harga bahan
6
bakarnya rendah. Pemanasan yang diperlukan tidak begitu tinggi
dengan kapasitas maksimim 70 mm BTU.
Gambar 2.2. Furnance tipe silinder vertikal
Sumber : API Standard 560 (2001)
Dalam operasinya, furnace mempunyai resiko tinggi karena menangani
hal yang mudah terbakar didalam coil, apabila terjadi kondisi yang tidak
normal misalnya terjadi kenaikan temperatur sehingga tube pecah dan
menyebabkan kebakaran. Oleh sebab itu diperlukan ketelitian dalam hal
teknologi design, inspection maupun testing sewaktu furnace difabrikasi.
7
Furnace harus dapat memberikan panas yang sebanyak-banyaknya pada
fluida yang dipanaskan, maka diusahakan pembakaran yang sempurna.
Panas yang hilang melalui dinding furnace ditekan seminimal mungkin,
dan panas yang hilang melalui stack juga ditekan seminimal mungkin
dengan cara mengatur posisi buka tutup stack damper sesuai dengan
persen toleransi yang dikehendaki. Karena hal ini erat hubungannya
dengan effisiensi pada furnace itu sendiri.
2.1.3. Dasar Teori Korosi
Definisi dari korosi adalah perusakan atau penurunan mutu dari
material akibat bereaksi dengan lingkungan (MARS G. FONTANA,1987),
dalam hal ini adalah interaksi secara kimiawi. Sedangkan penurunan mutu
yang diakibatkan interaksi secara fisik bukan disebut korosi, namun biasa
dikenal sebagai erosi dan keausan. Contoh korosi antara lain: karat besi
dan paduannya pada temperatur kamar, kerak baja pada temperatur tinggi,
noda pada perak, dan lain sebagainya. Menurut jenis reaksinya korosi
dibagi menjadi dua yaitu korosi kimia atau biasa disebut korosi kering
(Dry Corrosion) dan korosi elektrokimia biasa disebut koros basah
(Aqueous Corrosion). Korosi kimia atau korosi kering atau korosi
temperature tinggi dalah proses korosi yang terjadi melalui reaksi kimia
secara murni yang terjadi tanpa adanya elektrolit atau bisa dikatakan tidak
melibatkan air dengan segala bentuknya. Korosi kimia biasanya terjadi
pada kondisi temperatur tinggi atau dalam keadaan kering yang melibatkan
logam (M) dengan oksigen, nitrogen, sulfida. Proses oksidasinya adalah
sebagai berikut :
M  M 2+ 2e¯
½O2+ 2e¯  O2
M +½O2  MO
8
Pertumbuhan Oksida :
1. Awal proses oksida adalah pembentukan oksida dimana terjadi penarikan
oksigen ke permukaan logam yang dapat dilihat pada gambar 2.5.
2. Reaksi antara oksigen dengan logam.
3. Oksidasi terbentuk di permukaan logam
4. Proses berikutnya adalah pertumbuhan oksida yang telah terbentuk.
Gambar 2.3. Pertumbuhan mekanisme Oksida
Pada hampir seluruh bahan material,dikenal terjadinya korosi. Korosi merupakan
perusakan bahan material khususnya logam karena bereaksi dengan berbagai zat
di lingkungan yang menyebabkan munculnya suatu produk yang tidak
dikehendaki. Proses terjadinya korosi berlangsung secara perlahan tetapi pasti.
Korosi dapat menyebabkan suatu bahan memiliki keterbatasan pemakaian,yang
artinya suatu material yang diperkirakan memiliki waktu yang lama dalam
kegunaannya tetapi ternyata material tersebut hanya dapat digunakan pada waktu
yang singkat karena telah mengalami pengkorosian. Hal ini disebabkan karena
proses korosi tidak dapat diperkirakan berapa rentang waktu suatu material
mengalami korosi. Pada umumnya,korosi terjadi pada besi karena besi merupakan
9
logam yang mudah sekali berkarat/berkorosi. Zat yang dihasilkan dari peristiwa
pengkaratan besi adalah berupa zat berwarna merah kecoklatan yang bersifat
rapuh. Korosi disebabkan adanya udara dan air yang bereaksi terhadap bahan
logam dan peristiwa korosi dapat berlangsung lebih cepat ketika terdapatnya
garam yang bereaksi dengan udara dan air terhadap suatu bahan logam tersebut.
Faktor yang menyebabkan korosi dapat dibedakan menjadi 2,yakni yang bersal
dari bahan itu sendiri dan yang berasal dari lingkungan.Faktor yang disebabkan
dari bahan meliputi kemurnian bahan,struktur bahan,bentuk kristal,serta
pencampuran bahan dengan materi lain didalamnya.Sedangkan dari faktor
lingkungan
meliputi
tingkat
kelembapan,suhu,pencemaran
yang
terjadi
disekitarnya,dan keberadaan zat-zat korosif. Seperti yang telah dijelaskan diatas,
bahwa korosi tidak dapat dicegah namun dapat dikendalikan keberadaannya.
Pengendalian korosi dapat dilakukan dengan, Pengecatan, Pelapisan dengan bahan
plastic, Pelumuran dengan oli atau yang mengandung minyak, Pelapisan dengan
timah (Tin Plating), Pelapisan dengan zink (Galvanisasi), Pelapisan dengan
kromium (Chromium plating), Pengorbanan anode (Sacrificial protection). Dari
berbagai pengendalian tersebut,dapat pula dihitung laju korosi suatu logam
material,dan ini hanya sebagai perkiraan terhadap ketahanan suatu material.Cara
tersebut demi menghindari halhal merugikan yang sangat tidak diinginkan. Dan
salah satu cara tersebut dapat dinyatakan dengan menggunakan rumus:
Dengan :
Vk = laju korosi ( ⁄ )
A = laus permukaan specimen mula-mula (mm²)
t = lama waktu pengujian korosi (sekon)
D = berat jenis specimen mula- mula ( ⁄ )
10
M = pengukuran berat specimen akibat uji korosi (gram)
K = konstanta perubahan satuan mm/s menjadi mm/tahun (32258064,52)
Tabel 1. Tingkat Ketahanan Korosi Relatif (Narrayan, 1983)
11
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Kerusakan bagian dalam Tube Furnace
Kerusakan yang terjadi pada bagian dalam tube, biasanya berupa korosi
tube bagian dalam (internal tube corrosion) dan kerak (scale/coke).
a. Korosi Erosi (Corrosion erosion)
Gambar 3.1. Korosi Erosi (Corrosion erosion)
b. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
Gambar 3.2. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
12
c. Korosi Retak Regang (Stress Corrosion Cracking)
Gambar 3.3. Korosi Retak Regang (Stress Corrosion Cracking)
d. Korosi Merata (Uniform Corrosion)
Gambar 3.4. Korosi Merata (Uniform Corrosion)
e. Coke/Scale
Gambar 3.5. Coke / Scale
13
3.2. Analisa kerusakan bagian dalam Tube Furnace
Korosi yang terjadi pada bagian dalam tube Furnace sebagian
besar tergolong korosi temperature tinggi (high temperature
corrosion), karena tube Furnace bekerja pada temperatur tinggi
(5420C - 6470C / 1007,60F - 1196,60F) di atas titik kritik air
(4000C/7520F), dengan mekanisme yang berbedabeda dan dapat
digolongkan menjadi :
a. Thining (penipisan) akibat general, localized, dan erosion
corrosion.
b. Stress corrosion cracking
c. High Temperature Hydrogen Attack (HTHA)
Salah satu penyebab terjadinya korosi pada tube adalah adanya
impurities/ketidakmurnian dalam crude oil. Crude oil impurities ini
berasal dari berbagai macam sumber, antara lain :
a. Impurities yang memang terkandung dalam crude oil yang diambil
dari perut bumi, impurities tersebut terikut akibat proses-proses
yang digunakan di exploration sites.
b. Impurities yang terikut saat crude oil dalam perjalanan dari site ke
refinery (hal ini terutama terjadi jika crude oil dibawa ke refinery
dengan menggunakan kapal laut).
Senyawa Crude oil impurities yang dapat menjadi penyebab utama
korosi pada tube Furnace adalah :
1. Sulfur (S), pada temperature tinggi (T>204 0C/400 0F) dapat
menyebabkan peralatan baja mengalami sulfidasi (high
temperature sulfidic corrosion) membentuk lapisan FeS yang
14
tidak protektif dan pada lingkungan akuatik sebagai H2S
yang dapat mengkorosi hampir seluruh metal.
2. Ion klorida (Cl- ), sebagai asam klorida merupakan senyawa
agresif yang dapat menyebabkan korosi hampir seluruh metal
(baja, stainless steel) atau sebagai garam klorida yang dapat
melarutkan lapisan oksida protektif sehingga terjadi korosi
sumuran (pitting/localized corrosion).
3. Asam naphthenat (dinyatakan dalam tan), pada temperatur
tinggi (T>204 0C/400 0F) bersamasama dengan senyawa
sulfur dapat menyebabkan korosi setempat pada baja
(localized corrosion). Air yang terkandung dalam crude oil
juga dapat menjadi penyebab terjadinya korosi, karena air
tersebut mengandung garam-garam anorganik. Garam-garam
yang paling umum adalah garamgaram klorid, sulfat, dan
karbonat dari Na, Mg, dan Ca.Ion klorida akan memproduksi
asam yang akan menghasilkan HCl yang dapat menyebabkan
korosi terutama yang berasal dari garam-garam klorida
(NaCl, MgCl2, dan CaCl2) dengan komposisi masing-masing
75% NaCl, 15%MgCl2, dan 10%CaCl2. Garam-garam
klorida tersebut mengalami hidrolisis menjadi HCl dan bila
terkondensasi akan menjadi senyawa yang agresif (pH
lingkungan dapat mencapai
Parameter yang berpengaruh terhadap kerawanan korosi akibat
asam naphthenat adalah :
1. Temperatur Korosi yang disebabkan oleh asam naphthenat
hanya berlangsung dalam fasa cair, dan berada pada selang
204-3990C (400-7500 F). Semakin tinggi temperatur
operasi, maka laju korosi akan semakin tinggi, tetapi pada
temperatur yang lebih tinggi dari pada titik kritik air (400-
15
750oF), asam naphtenat terdekomposisi atau berubah fasa
menjadi fasa uap, sehingga tingkat kerawananya akan
menurun.
2.
Kandungan sulfur Semakin tinggi kandungan sulfur, laju
sufidasi akan meningkat, dan pada temperatur >2040C
(4000 F), lapisan sulfida tidak cukup protektif untuk
melindungi logam induk (base metal). Keberadaan asam
naphthenat akan merusak lapisan protektif yang terbentuk
dari reaksi sulfidasi, sehingga menyebabkan laju sulfidasi
dan korosi asam naphthenat meningkat dalam area terbatas
(localized corrosion).
3.
Laju aliran (velocity) Semakin tinggi laju aliran fluida, maka
korosi asam naphthenat akan semakin parah.
3.3.
Kerusakan Bagian Luar Tube Furnace
Kerusakan yang terjadi pada tube bagian luar, biasanya berupa korosi tube
bagian luar (external tube corrosion) dan kerusakan berupa pemuaian
material tube akibat temperature tinggi (over heating). Kerusakankerusakan tersebut antara lain :
A. Korosi Bagian Luar (External Tube Corrosion)
Gambar 3.6. Korosi Bagian Luar (External Tube Corrosion)
16
B. Terbakar (Burning)
Gambar 3.7. Tube terbakar (Burning)
C. Melengkung (Sagging)
Gambar 3.8. Tube Melengkung (Sagging)
D. Membungkuk (Bowing)
Gambar 3.9. Tube Membungkung (Sagging)
17
E. Membengkak (Bulking)
Gambar 3.10. Tube membengkak dan pecah
3.4.
Analisa kerusakan pada Tube bagian luar Furnace
Pada waktu dipanaskan, tube akan memuai dan akan kembali ke
kondisi seperti semula setelah didinginkan (tergantung pada elastisitas dari
material tube). Jika terjadi overheating maka saat operasi normal tube akan
mengalami pemuaian ke samping atau membengkak (bulging) dan
akibatnya coke akan mengisi volume tube sebesar muai penambahan
keliling tube tersebut. Saat shutdown, seharusnya pemuaian tidak terjadi
lagi dan kondisi tube yang memuai akan kembali normal, namun karena
tube sudah terisi dengan coke, maka proses tersebut tidak terjadi. Proses
tersebut terjadi berulang-ulang hingga akhirnya tube tidak mampu lagi
menahan pemuaian dan akhirnya pecah dan mengakibatkan kebakaran
furnace.
3.5.
Solusi kerusakan pada bagian dalam dan luar di Tube Furnace
Dengan dasar pengetahuan tentang elektrokimia proses korosi. Kita
dapat menjelaskan mekanisme dari korosi dan dapat melakukan
usahausaha untuk pencegahan terbentuknya korosi. Banyak cara sudah
ditemukan untuk pencegahan terjadinya korosi diantaranya adalah dengan
cara proteksi katodik, coating, dan penggunaan chemical inhibitor.
18
1. Proteksi Katiodik
Untuk mencegah terjadinya proses korosi atau setidak-tidaknya untuk
memperlambat proses korosi tersebut, maka dipasanglah suatu anoda
buatan di luar logam yang akan diproteksi. Daerah anoda adalah suatu
bagian logam yang kehilangan elektron. Ion positifnya meninggalkan
logam tersebut dan masuk ke dalam larutan yang ada sehingga logam
tersebut berkarat. Terlihat disini karena perbedaan potensial maka arus
elektron akan mengalir dari anoda yang dipasang dan akan menahan
melawan arus electron dari logam yang didekatnya, sehingga logam
tersebut berubah menjadi daerah katoda. Inilah yang disebut Cathodic
Protection. Dalam hal diatas elektron disuplai kepada logam yang
diproteksi oleh anoda buatan sehingga elektron yang hilang dari
daerah anoda tersebut selalu diganti, sehingga akan mengurangi
proses korosi dari logam yang diproteksi. Anoda buatan tersebut
ditanam dalam suatu elektrolit yang sama (dalam hal ini tanah
lembab) dengan logam (dalam hal ini pipa) yang akan diprotekasi dan
antara dan pipa dihubungkan dengan kabel yang sesuai agar proses
listrik diantara anoda dan pipa tersebut dapat mengalir terus menerus.
2. Coating
Cara ini sering dilakukan dengan melapisi logam (coating) dengan
suatu bahan agar logam tersebut terhindar dari korosi.
3. Pemakaian
Bahan-Bahan
Kimia
(Chemical
Inhibitor)
Untuk
memperlambat reaksi korosi digunakan bahan kimia yang disebut
inhibitor corrosion yang bekerja dengan cara membentuk lapisan
pelindung pada permukaan metal. Lapisan molekul pertama yang
tebentuk mempunyai ikatan yang sangat kuat yang disebut chemis
option. Corrosion inhibitor umumnya berbentuk fluid atau cairan yang
diinjeksikan pada production line. Karena
inhibitor tersebut
merupakan masalah yang penting dalam menangani kororsi maka
perlu dilakukan pemilihan inhibitor yang sesuai dengan kondisinya.
Material corrosion inhibitor terbagi 2, yaitu :
19
1. Organik Inhibitor
Inhibitor yang diperoleh dari hewan dan tumbuhan yang
mengandung unsure karbon dalam senyawanya. Material dasar
dari organik inhibitor antara lain: Turunan asam lemak alifatik,
yaitu: monoamine, diamine, amida, asetat, oleat, senyawasenyawa amfoter.
2. Inorganik Inhibitor
Inhibitor yang diperoleh dari mineral-mineral yang tidak
mengandung unsure karbon dalam senyawanya. Material dasar
dari inorganik inhibitor antara lain : kromat, nitrit, silikat, dan
pospat.
Pada dasarnya proses perengkahan minyak berat akan menghasilkan
produk sampingan berupa coke. Coke/scale adalah deposit keras yang
terbentuk pada peralatan yang beroperasi pada temperatur tinggi. Dalam
industri pengolahan minyak terbentuknya coke tidak dapat dihindari atau
dicegah namun dapat dilakukan pembersihan secara berkala agar tube dapat
berfungsi sebagai mana mestinya (perpindahan panas dari ke fluida tidak
terganggu). Adapun metode pembersihan coke adalah sebagai berikut :
1. Dengan sirkulasi minyak residu yang bertemperatur kurang lebih
100°C setelah itu coil diinjeksi dengan MP steam, residu terdorong
dan keluar dari bagian dalam tube. Pembersihan ini dilakukan sebelum
plug-plug tube dibuka, dan cara ini hanya efektif untuk endapan lunak
yang dapat dilarutkan dengan residu.
2. Dengan mechanical cleaning, cara ini dilakukan apabila scale atau
coke yang telah mengeras. Alat yang digunakan pada mechanincal
cleaning adalah cutter turbine yang berputar didalam tube dan
membersihkan coke yang menempel pada permukaan tube
20
BAB 4
KESIMPULAN & SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kerusakan bagian dalam tube Furnace berupa korosi tube bagian dalam
(internal tube corrosion) yang disebabkan oleh Senyawa - senyawa
korosif (Sulfur, Ion karbida, dan Asam naphthenat) dan pembentukan
lapisan kerak coke/scale pada dinding tube yang disebabkan oleh senyawa
CaCl2 dan CaSO4.
2. Kerusakan bagian luar tube Furnace berupa korosi tube bagian luar
(external tube corrosion) disebabkan oleh sulphuric acid yang berasal dari
gas hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur dan
kerusakan berupa pemuaian material tube akibat temperatur tinggi
(overheating).
3. Pencegahan terjadinya korosi diantaranya adalah dengan cara proteksi
katodik, coating, dan penggunaan chemical inhibitor
4.2. Saran
Adapun, saran yang dibutuhkan dalam penulisan ini dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penyebab dan solusi
pencegahan kegagalan tube Furnace
2. Operator Furnace harus selalu memonitor (mengatur) kondisi operasi
flame patter furnace supaya api burner tidak kontak langsung dengan
tube serta selalu mengamati temperatur tube skin furnace agar tidak
melebihi batasan maksimum temperatur yang ditentukan.
21
Download