Fraktur Tulang Belakang A. Definisi Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis, dan lubalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga dsb. Medula spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan syaraf yang masingmasing memiliki sepasang syaraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina intervertebrales (lubang pada tulang vertebra). Berdasarkan tempat keluarnya, syaraf spinal dibagi menjadi 5 bagian yaitu: 1. Saraf servikalis (8 pasang) 2. Saraf torakalis (12 pasang) 3. Saraf lumbalis (5 pasang) 4. Saraf sakralis (5 pasang) 5. Saraf koksigeal (1 pasang) Semua saraf spinal kecuali bagian torakal, pada bagian ventralnya saling terjalin membantuk jalinan saraf yang disebut fleksus. Dengan demikian terbentuk lima buah fleksus yaitu: fleksus servikalis; brakialis, lumbalis, sakralis, koksigealis. Pada setiap fleksus ini terdapat cabang-cabang yang menuju pada bagian-bagian yang dipersarafi. 1. Fleksus servikalis (C1-C4) Mempersarafi leher dan belakang kepala. Salah satu saraf yang penting adalah saraf frenikus yang memperdarafi diafragma. 2. Fleksus brakialis (C5-T1 / T2) Mempersarafi ekstrimitas atas. Cabang-cabangnya yang penting pada tangan adalah saraf radialis, medianus dan ulnaris. 3. Saraf-saraf torakal (T3-T11) Tidak membentuk fleksus tetapi keluar dari ruang interkostal sebagai saraf interkostalis. Mempersarafi otot-otot abdomen bagian atas, kulit dada dan abdomen. 4. Fleksus Lumbalis (T12-L4); fleksus sakralis (L4-S4) dan fleksus koksigealis (L4-saraf koksigealis) Bagian ini mempersarafi kulit dan otot-otot tubuh bagian bawah serta ekstrimitas bagian bawah. Saraf utama pada fleksus ini adalah saraf iskiadikus yang merupakan saraf terbesar dalam tubuh. Saraf isciadikus yang menembus bokong dan bagian belakang paha ini memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang-cabangnya tersebut kemudian mempersarafi otot paha posterior, tungkai bawah , sebagian besar kulit tungkai bawah. Sedangkan perineum dipersarafi khusus oleh pleksus koksigealis. B. Etiologi Cedera tulang belakang terjadi sebagai akibat : 1. Jatuh dari ketinggian, misal pohon kelapa, kecelakaan ditempat kerja. 2. Kecelakaan lalu lintas 3. Kecelakaan olah raga Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur torak. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, udem, atau kompresi. Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanent karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. C. Patofisiologi Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang mengakibatkan patah tulang belakang paling banyak servikalis dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah. D. Tanda dan Gejala Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang dari pusat. Ditandai dengan: 1. Kelumpuhan flasid 2. Arefleksi 3. Hilangnya prespirasi 4. Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih 5. Priapismus 6. Bradikardi dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan kandung kemih dan gangguan defekasi. Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Manifestasinya berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstermitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum tulang belakang. Gejala klinik berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anesthesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. Sindrom kauda equine disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbo sacral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anesthesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. E. Pemeriksaan Penunjang 1. Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang (fraktur atau dislokasi) 2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas 3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal 4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru 5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi F. Pengkajian 1. Aktivitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal 2. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia, ekstremitas dingin atau pucat 3. Eliminasi : inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltic usus hilang 4. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut, cemas, gelisah dan menarik diri 5. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltic usus hilang 6. Pola kebersihan diri : sangat tergantung dalam melakukan ADL 7. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya refle, perubahan reaksi pupil, ptosis 8. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat di atas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada darah trauma 9. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis 10. Keamanan : suhu yang naik turun G. Diagnosa keperawatan 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot difragma 2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan 3. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rectum 4. Perubahan pola eliminasi urine berhubunagn dengan kelumpuhan syaraf perkemihan 5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama H. Pathway DAFTAR PUSTAKA Closkey JC & Bulechek. 1996. Nursing Intervention Classification. 2nd ed. Mosby Year Book. Johnson M, dkk. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby. Lismidar, 1990, Proses Keperawatan, Jakarta, UI. Reksoprodjo Soelarto, 1995. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Binarupa Aksara, Jakarta. Sjamsuhidajat, R. 1997. Buku ajar ilmu bedah. EGC, Jakarta NANDA. 2005-2006. Philadhelphia. Nursing Diagnosis: Deffinition & Classification. Nelhaus, G. Stumpf, D.A. Moe, P.G.,1987, Neurological and Neuromusculer Disorder, Current Pediatric Diagnosis, Hinth ed. Price, S.A. 2005. Patofisiologi Konsep Klimik Prose-proses Penyakit Bag. II. EGC, Jakarta.