1 DINAMIKA HIDUP KRISTIANI: DOSA, PERTOBATAN DAN HIDUP BERKEUTAMAAN 1. PERBUATAN BURUK/JAHAT SECARA MORAL: DOSA Dalam diri manusia modern kita dapat melihat berkurangnya kesadaran akan dosa. Sebabnya: - karena arti dosa sbg pelanggaran thd Allah sedang di dalam krisis: dimana iman akan Allah berkurang, maka berkurang pula kesadaran akan dosa sbg pelanggaran terhadap otoritas yg lebih tinggi. - ketika manusia otonom menjadi kriteria bagi semua hal. - lemahnya cita rasa dosa dan kelemahan moral, misalnya teori determinisme beberapa aliran sosiologi dan psikologi. - karena penggunaan berlebihan ungkapan dosa dalam teologi sendiri: (inflasi arti). Namun di pihak lain, kenyataan tentang dosa diterima dengan jelas. Kejahatan dan dosa dibahas panjang lebar dalam literatur. Kejahatan dan kebobrokan manusia adalah fakta yang terlalu gamblang untuk disembunyikan. Juga bahwa panggilan menuju moralitas dewasa ini makin terasa: “bahkan apabila normanorma dan hukum kurang dihargai, moralitas itu sendiri tetap tidak disangkal.” (bdk. Tuntutan moral utk figur publik). Juga ada pergeseran cita rasa kesalahan: sekarang kita dapat melihat kepekaan leibh besar thd penyimpangan sikap sosial daripada tempo dulu. Tumbuh rasa turut bersalah akan timbulnya ketidakadilan struktural, lewar sikap pasif terhadap kejahatan di dalam masyarakat dll. (Catatan: Dengan adanya kepedulian yang semakin besar thd ketidakadilan struktural, semakin sering terjadi kecenderungan untuk mengalihkan kesalahan pada strukur dan “pihak lain.” 1. Definisi dosa: ada kesukaran untuk mendefinisikan dosa karena dosa adalah suatu realitas yang kompleks, mengandung banyak dimensi sehingga sukar ditampung dalam satu definisi yang tepat, lengkap, menyeluruh. Ada tiga aspek/dimensi: personal, sosial (transpersonal), religius. Dosa bukanlah barang, melainkan suatu peristiwa personal dan transpersonal yang menyangkut banyak kondisi yang harus dipenuhi untuk dapat disebut dosa. Selain itu, dimensi religius tak diuraikan seluruhnya karena menyangkut misteri hubungan antara Tuhan dan manusia. Beberapa definisi dosa: Meski ada kesukaran mendefinisikan dosa, namun ada beberapa definisi klasik yang terkenal dan patut diketahui: - St. Agustinus: Dosa ialah perbuatan atau perkataan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi. - St. Thomas Aquinas: Ciri kedosaan perbuatan manusia terletak dalam kurangnya kesesuaian dengan budi (Tuhan dan manusia). - Definisi klasik: dari masa skolastik: avertio a Deo, convertio ad creaturas. Dosa sebagai penjauhan diri manusia dari Tuhan dan kelekatan (tak teratur) pada ciptaan. Unsur utama dosa: penjauhan diri dari Tuhan. Hakekat dosa. Manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan dan ia mempunyai kewajiban untuk mengarahkan diri menuju tujuan itu, dan secara khusus ia tidak boleh melakukan hal yang membahayakan tujuan akhirnya. Sebenarnya hukum moral obyektif dan hati nurani diberikan untuk menuntun manusia kepada tujuan akhir ini. Manusia dikatakan bertindak buruk secara moral apabila ia tidak memperhatikan kewajiban hukum moral dan petunjuk hati nuraninya yang sebenarnya mengarahkan dia pada perwujudan tujuan tersebut. Dalam konteks suatu moralitas yang mengakui Tuhan, perbuatan moral yang buruk ini disebut dosa. Namun harus diperhatikan bahwa hanya pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja dan keluar dari kehendak bebas, yakni tahu dan mau dengan persetujuan bebas, dapat dikategorikan sebagai suatu dosa (yang kemudian harus dipertanggungjawabkan). Dalam konteks ini ada suatu analogi dalam pemakaian istilah “dosa besar” dan “dosa kecil”. Yang sebenarnya suatu dosa ialah dosa besar, dosa kecil hanyalah suatu analogi. Suatu pelanggaran yang tidak disengaja memang dilihat sebagai ketidakteraturan yang seharusnya tidak boleh terjadi, namun pelanggaran ini tidak merupakan suatu dosa yang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dosa semacam ini merupakan dosa material (dibedakan dengan 2 dosa formal, yaitu dosa yang berkaitan dengan aspek personal perbuatan jahat tsb, yakni keluar dari pribadi yang tahu dan berkehendak bebas) Catatan: Karena tanpa perbuatan bebas manusia tak mungkin ada dosa, maka konsep ”dosa kolektif” dalam teologi moral katolik ditolak. Anggota suatu persekutuan adalah bersalah sejauh mereka ditarik ke dalam perbuatan salah melalui pilihan mereka sendiri, atau paling tidak melalui sikap kelalaian atau sikap tidak acuh mereka. Gagasan dosa dalam Kitab Suci. Gambaran mengenai hakekat dosa dapat ditemukan dalam gagasan-gagasan KS. KS selalu melihat dosa dalam konteks hubungan manusia dengan Allah. Ciri terdalam dosa menurut KS adalah penolakan untuk melaksanakan kehendak Allah. PL : kata yang digunakan “hata” = menyimpang dari tujuan atau menyempang dari jalan yang sudah dikenal. Maka dosa diartikan sebagai pelanggaran atas hukum atau kehendak Allah. Pandangan khas PL tentang dosa bersumber dari konteks perjanjian antara Allah dan umatNya. Dosa dilihat sbg sikap melupakan perjanjian, berpaling dariNya dan sikap tidak tahu bersyukur. PB: menggunakan satu ungkapan tunggal untuk konsep dosa, yaitu “hamartia” = tidak kena, melenceng dari sasaran. PB menghimbau manusia untuk menyesali dosa dan menyerukan pertobatan hati dan sikap. Yesus membersihkan dan memperdalam konsep dosa. Ia menuntut bukan pembersihan bejana (luar), melainkan pembersihan batin (Mrk 7:1-23; Mat 23:25-26). Bagi Paulus, dosa adalah kejahatan manusia yang menyangkal kemuliaan Allah dengan kecongkakan untuk menjadi tuan atas dirinya. Pendosa hidup dalam permusuhan dengan Allah: perang antara keinginan daging dan kehendak Roh. 2. Tiga dimensi dosa. Setiap dosa mengandung tiga pelanggaran: kesalahan terhadap pendosa sendiri (dimensi personal), terhadap sesama (dimensi sosial-ekklesial), dan terhadap Allah (dimensi teologal-kristologis). (i) dimensi personal dosa: menyangkut dua hal: 1. Dimensi personal diartikan sebagai “keluar dari persona”. Dosa menyangkut perbuatan yang keluar dari pribadi sebagai persona yang tahu dan mau secara bebas (aplikasi ajaran mengenai actus humanus). Karena ketahuan dan kemauan secara bebas ini berlaku: “Akulah” yang telah berbuat! 2. Dimensi personal dalam arti “untuk persona”: dalam hal ini dosa ialah suatu perbuatan egosentris & pengurungan diri dan suatu penolakan akan panggilan penyempurnaan diri sepenuhnya. (ii) dimensi sosial-eklesial: - dimensi sosial, maksudnya sejauh langsung mengena pada sesama manusia. - dimensi eklesial, maksudnya sejauh mengena pada Gereja sbg umat Allah (segi khusus dari dimensi sosial). Kesatuan dimensi sosial dan teologal dosa: Diakui adanya hubungan erat antara dimensi sosial dan teologal dosa. Dasarnya: a. berdasarkan ungkapan “dosa terhadap Tuhan dan sesama” b. berdasarkan kesatuan cinta akan Tuhan dan sesama Juga diakui adanya kesatuan dimensi ekklesial dan teologal dosa. Dosa melukai Gereja. Implikasinya: reaksi Gereja atas dosa, yakni: a. larangan partisipasi penuh pada Ekaristi b. perubahan keanggotaan pendosa dalam Gereja (iii) dimensi teologal – kristologis: - Dimensi teologal: berhubungan dengan Tuhan: Dosa = melawan Tuhan yang mewahyukan dirinya kepada manusia: aversio a Deo, conversio ad creaturas: penjauhan diri dari Tuhan, kelekatan diri pada ciptaan. - dimensi kristologis: berkenaan dengan Kristus, pewahyuan konkrit dari Allah Dosa = melawan Kristus, menolaknya (dengan menyalibkannya). 3 3. Kategorisasi dosa. Pembedaan dosa dapat menurut species/jenis dan jumlah a. Species/jenis dosa: ditentukan oleh obyek (sasaran utama dan pertama) dari perbuatan. Yang dimaksudkan pada umumnya ialah obyek formal dan obyek total; biasanya dikaitkan dengan perintahperintah dan larangan moral obyektif. b. jumlah dosa: menyangkut dua hal, - jumlah perbuatan: menyangkut jumlah perbuatan batin dan perbuatan lahiriah yang dilakukan - jumlah obyek atau pribadi-pribadi yang terkena: perlu dibedakan antara perbuatan fisik/lahiriah dan perbuatan moral (tidak selalu fisik). Dalam hal ini dibedakan beberapa istilah: Dosa melulu batin = dosa yang diselesaikan dalam/oleh kehendak, ttp tak diteruskan oleh kemampuan lain. Dosa batin = dosa yang diselesaikan dalam kehendak, mis: iri, benci Dosa lahiriah = dosa yang dilakukan dalam kehendak, dan diteruskan oleh kemampuan lain, misal: bunuh. 4. Dosa (melulu) batin. Dosa-dosa batin adalah dosa-dosa yang dilaksanakan secara mental. Ini yang kadang disebut sbg ‘pikiran jahat.’ Bdk. Semua pikiran jahat berasal dari dalam. Tradisi membedakan tiga jenis: 1. rasa puas atas bayangan dosa: mencari kepuasan dalam fantasi dan pemikiran dosa, tanpa maksud melaksanakannya. 2. rasa gembira akan perbuatan-perbuatan dosa yang lampau, entah dosa sendiri atau orang lain: menikmati perbuatan-perbuatan dosa di masa lampau. 3. keinginan jahat: keinginan untuk melakukan suatu perbuatan jahat. Berkaitan dengan dosa batin dalam hal niat jahat, juga dikenal tingkatannya, khususnya berkaitan dengan konsensus (persetujuan) dan pelaksanaan. Bisa jadi semula berniat, kemudian tidak dilaksanakan, atau bisa juga berniat tapi tidak ada niat untuk dilaksanakan. Catatan: dikenal juga (4) prasangka: kecenderungan untuk menyingkirkan dari pertimbangan/keputusan data-data yang dianggap sbg ancaman bagi kepentingan seseorang/kelompok. Bagaimana dengan keburukan dosa batin? Obyek sasaran perbuatan memberi spesifikasi moral pada dosa melulu batin. - kesenangan yang disengaja/dikehendaki pada perbuatan buruk sejauh digambarkan hadir, yang de fakto disukai dan disetujui adalah yang menentukan; tetapi meskipun demikian jelas, tetap masih berbeda dengan dosa batin yang diteruskan dengan dosa lahiriah. - bila masih sejauh ingin dilakukan atau kesenangan dari dosa lama – dikategori sbg dosa melulu batin. 5. Pembedaan dan pembagian dosa-dosa lainnya. A. Dikenal pembedaan antara: dosa kelalaian dan dosa perbuatan dosa perbuatan = dilakukan sesuatu yg bertentangan dgn norma moral kelalaian = tidak dilakukan sesuau yang menurut norma moral seharusnya dilakukan. Kesamaan keduanya adalah bahwa baik berbuat maupun tidak berbuat sama-sama keluar dari keputusan kehendak. Meskipun akibatnya (akibat lahiriah) seringkali sama, tetapi penilaiannya bisa tidak sama. Mis: mematikan dan membiarkan mati untuk orang sakit. Pada pasien sakit, mematikan berarti saya menentukan batas, sedangkan membiarkan mati berarti saya tunduk pada batas (bukan menentukan). Perbuatan dikategorikan sebagai kelalaian bila: - akibat negatif dapat dilihat lebih dahulu - akibat negatif dapat dihindari/dielakkan - akibat negatif seharusnya dielakkan Bagaimana dengan soal ”tidak berbuat”? Ini dapat dipertanggungjawabkan (dibenarkan) bila syarat-syarat di atas tidak ada. B. Beberapa ungkapan macam-macam dosa 1. ungkapan-ungkapan yang bersandar pada KS a. dosa-dosa yang menjerit ke langit 4 b. dosa melawan Roh Kudus 2. beberapa macam dosa lain a. cela-cela pokok (peccata capitalia) b. dosa aktuil dan habituil (peccato actuale & abituale) Cela-cela pokok: 1. keangkuhan = keinginan tak teratur akan keunggulan diri sendiri 2. kelobaan = keinginan tak terkekang akan memiliki harta benda 3. hawa nafsu (cabul) 4. kemarahan = nafsu kemarahan yang tak terkekang 5. kerakusan = nafsu makan minum yang tak terkekang 6. kecemburuan/iri hati 7. kemalasan 6. Dosa maut, dosa berat dan dosa ringan. Akal sehat secara spontan membedakan antara dosa ringan dan dosa berat. Ada pelbagai gradasi dosa. Di dalam KS, baik PL maupun PB, juga dikenal gradasi dosa semacam itu. Ajaran gereja juga selalu membedakan antara penyelewengan berat melawan Allah dan Gereja dan kesalahan-kesalahan kecil. Pengakuan gerejani dituntut untuk dosa-dosa yang berat, sementara pengampunan untuk dosa-dosa lebih ringan dapat diperoleh lewat doa, puasa, dan pemberian amal. Dosa berat dan ringan diajarkan secara gamblang dalam Konsili Trente. Sangat disayangkan bahwa penggunaan berlebihan kategori dosa berat/dosa maut menyebabkan erosi dosa. Perlu adanya pembedaan dasar: Dosa maut – dosa ringan: adalah gradasi berkaitan dengan keadaan subyektif pendosa, yaitu entah dia dalam tindakan tsb memisahkan diri dari Allah ataukah hanya mengurangi daya kehidupan ilahi dalam dirinya, tanpa kehilangan hidup ilahi itu sendiri. Dosa berat – dosa ringan: adalah gradasi yang dibuat menyangkut kerugian dalam tatanan obyektif. Penggolongan dosa berat-ringan dikaitkan dengan beberapa persyaratan: - Berkaitan dengan pihak obyek: ini menyangkut besar kecilnya materi. - berkaitan dengan subyek: menyangkut besar – kecilnya tingkat kesempurnaan perbuatan manusia. Kesempurnaan perbuatan ini tergantung dari unsur-unsur: pengetahuan dan perhatian penuh, dan persetujuan sempurna (bebas dari paksaan/desakan). Dosa besar: pemalingan diri manusia dari Tuhan - melenyapkan rahmat, - menghentikan martabat sbg putera Allah, - menundukkan diri di bawah kuasa setan. Dosa kecil? Pemakaian istilah ini adalah pengertian analog. Disebut dosa kecil bila tak memenuhi syarat-syarat dosa besar, - dari segi obyek: karena kecil perkaranya, - dari pihak subyektif: tidak sempurnanya perbuatan (kurangnya pengetahuan dan perhatian, dan juga kurangnya persetuauan) Namun dapat terjadi perubahahan: dosa kecil menjadi dosa besar, dan sebaliknya. - dosa kecil menjadi besar (subyektif): berkaitan dengan nurani yang sesat, maksud sangat jahat, penghinaan morib tdh kewibawaan/otoritas, atau berkaitan dengan kerugian besar yang ditimbulkannnya. - Dosa besar menjadi kecil (subyektif): karena hati nurani sesat, dan juga ketidaksempurnaan periewa itu, atau juga kerena perkaranya kecil. Kritik terhadap teori pembagian dosa menjadi dosa besar – kecil: Terjadi suatu pandangan terlalu obyektivistis thd perbuatan tanpa hubungan erat dgn pribadi, dan juga perlakuan secara kuantitatif-materialistis. Dkl. dosa diperlakukan seolah-olah suatu barang. Dalam hal ini, harus selalu dihindari dua sikap ekstrim: rigoristis,dan laksistis. 5 2. DINAMIKA HIDUP KRISTIANI: TOBAT DAN KEUTAMAAN. Dosa memang realitas yang terjadi dalam hidup manusia. Namun, dosa tidak boleh melumpuhkan pendosa dan membiarkan tinggal dalam status quo keadaan dosa. Ada unsur dinamika hidup kristiani: unsur harapatn bangkit dan bertobat kembali (metanoia). Dinamika ini tak hanya terbatas pada tobat dan kembali ke jalan yang benar, melainkan juga secara lebih positif meneruskan langkah mengarahkan seluruh hidp pada Tuhan dengan hidup berkeutamaan. TOBAT (METANOIA) Titik tolak: keadaan negatig yg harus ditinggalkan. Arti tobat dalam KS PL: - pemakaian kata “syuf” = berpaling, kembali, putar haluan. - Para nabi menentang paham tobat yang eksetrsialisme - Formalisme tobat dikecam habis-habisan. - Tobat: perubahan sikap batin pada Tuhan, dan selurun pribadi manusia terlibat. Dalam PB: penggunaan Metanoia Ringkasan arti metanoia: - tidak berakar dalam bahasa Yunani, melainkan pda pemikiran religius Perjanjian Lama - metanoia berarti: tindakan religius, pengarahan total kepada Tuhan, seringkali berarti kembali dari jalan yang salah (berbalik) - orientasi baru: hidup untuk masa depan - tobat dilandasi oleh iman: pengertian baru tentang Tuhan dan kehendaknya - suatu jawaban atas panggilan rahmat Tuhan. Penyesalan Adalah salah satu faktor metanoia. Untuk penyesalan, yang terutama bukanlah perasaan belaka, melainkan sikap penolakan terhadap dosa yang keluar dari kehendak persona/pribadi bebas yang melihat dosa sebagai keburukan. Obyek formal penyesalan pada dasarnya ialah pertentangan dosa terhadap kekudusan Tuhan. Tobat Tobat dapat dipakai dalam arti sesungguhnya dan dalam arti analogis. Dalam arti sesungguhnya: penyesalan dari dosa (besar) yang disertai dengan perubahan optio fundamentalis (pilihan dasar). Namun, tobat dipakai juga dalam arti analogis karena batas ke atas tidak dapat ditentukan dan tak pernah selesai. Dinamika hidup kristiani: selalu menjadi makin sempurna, maka selalu butuh pertobatan. Tobat terus menerus/senantiasa bertobat: ini adalah tobat yang mengandaikan manusia yang sudah bertobat, yang sudah „dibenarkan“, jadi hidup dalam rahmat dan cinta kasih. Tobat demikian ini mungkin dan perlu karena manusia “benar” selama hidup di dunia ini ialah juga „homo viator“: memang sudah bertobat “totus”, tetapi masih “non totaliter”, artinya: belum mengintegrasikan seluruh kenyataannya (dgn semua kecenderungannnya) ke dalam tobat sehingga masih mungkin disempurnakan. KEUTAMAAN Dinamika hidup kristen dengan unsur pertobatannya mengandung „hukum pertumbuhan“ Manusia sendiri harus menjadi makin baik oleh pembentukan moral yang makin mendalam dan berkesinambungan. Manusia dipanggil utk hidup dalam keutamaan. Arti keutamaan: Keutamaan merupakan daya (kemampuan/kecakapan, kemudahan yang menetap) untuk mewujudkan kebaikan kesusilaan dalam perbuatan-perbuatan, terutama juga untuk melakukannya dengan gembir dan tekun menentang perlawan dari dalam dan dari luar. (kebalikannya ialah cela). Keutamaan diperoleh dengan berulang-ulang melakukan perbuatan baik. Tapi ini tidak berarti otomatisme. Keutamaan lebih merupakan daya kreatif untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang semakin baik. 6 Keutamaan berdiri di tengah di antara dua posisi ekstrim (virtus stat in medio). Maksudnya, keutamaan memperhatikan semua unsur, mengarah untuk tidak “terlalu” (per excessum) dan tidak “kurang” (per defectum) : Misal: keutamaan hemat dan murah hati terletak antara cela karena terlalu hemat/kurang murah hati dan cela obral karena terlalu murah/kurang hemat. Keutamaan hati-hati dan berani berdiri antara penakut dan sembrono. Jenis-jenis keutamaan: Menyangkut asalnya: dibedakan antara keutamaan yang diperoleh (dgn upaya manusiawi, yakni dgn melakukan berulang-ulang; dikenal sbg keutamaan kodrati) dan keutamaan yang dianugerahkan (dicurahkan oleh Allah sendiri; dikenal sbg keutamaan adikodrati): Menyangkut sasaran/obyeknya: dibagi dalam keutamaan teologal dan keutamaan moral pokok (cardinal). Keutamaan teologal: iman, harapan, cinta. Keutamaan moral pokok: ada empat 1. kearifan (prudentia): kecapakan menemukan yang benar dalam situasi yang konkret. 2. keadilan (iustitia): kesediaan memberikan kepad setiap orang apa yang merupakan haknya 3. keberanian (fortitudo): ke-tekad-an melaksanakan apa yang baik untuk menentang kesukarankesukaran 4. ugahari/tahu ukuran (temperantia): keutamaan yang mengatur hawa nafsu. Gambaran hidup moral dan keutamaan: seperti pohon dan buahnya. Dari buah-buahnya, dikenal pohonnya. Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Untuk menghasilkan buah yang baik, pohonnya perlu dirawat dan dipelihara. Disarikan dari: GO, Piet OCarm, Teologi Moral Fundamental (diktat), Malang: STFT Widya Sasana, 1999. GO, Piet OCarm, Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007.