Uploaded by User37609

Kajian TH

advertisement
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM
RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2016
Pengarah:
Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri
Penanggung Jawab:
Tarman
Tim Penyusun:
Hasni
Naufa Muna
Sahari
Septika Tri Ardiyanti
Ayu Sinta Saputri
Nanang Andrian
Fitria Faradila
Narasumber Pendamping Kajian:
Wayan R. Susila
Rahdi Sumitro
KATA PENGANTAR
Di tengah pelambatan ekonomi global yang belum menunjukkan perbaikan
signifikan, Indonesia perlu mempertimbangkan sektor usaha yang lebih tahan krisis
sebagai pendorong kinerja ekspor non migas. Sektor Usaha Kecil dan Menengah
(UKM)
merupakan
usaha
yang
dapat
bertahan
di
tengah
melambatnya
perekonomian global. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia pada lima tahun
terakhir yang mengalami peningkatan signifikan rata-rata sebesar 6,56% per tahun,
sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun.
Namun disisi lain, UKM masih memiliki beberapa keterbatasan dalam
melakukan ekspor. Salah satu upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah
tersebut adalah melalui pengembangan Trading House bekerjasama dengan UKM
dengan tujuan peningkatan ekspor sekaligus peningkatan kesejahteraan pelaku
UKM. Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi yang
dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang dalam Buku II Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi
bahwa “integrasi fasilitasi pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun
ekspor yang didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house
untuk produk-produk UMKM dan koperasi”.
Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun kajian
tentang Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non
Migas. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya
mempertahankan kesinambungan kinerja ekspor Indonesia khususnya peningkatan
ekspor dari sektor produk yang dihasilkan oleh UKM melalui peran Trading House
sebagai agregator ekspor nasional.
Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Pengembangan
Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas
segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini.
Jakarta, September 2016
PUSAT PENGKAJIAN
PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
ii
ABSTRAK
KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE
DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS
Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi (kembali) permasalahan
yang menyebabkan Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor
non migas Indonesia; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis
pengelolaan Trading House di beberapa negara benchmarking dalam
mendorong ekspor; (3) Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor
yang akan dimasukkan dalam Trading House; (4) Membangun model
kelembagaan operasional Trading House dalam rangka mendukung peningkatan
ekspor sektor UKM. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa survey
dan FGD serta dianalisis menggunakan metode benchmarking dan ANP. Hasil
kajian menunjukkan bahwa Trading House di Indonesia belum berkembang
karena banyak UKM belum memahami fungsi Trading House secara utuh
sementara lembaga sejenis Trading House hanya melaksanakan sebagian kecil
fungsi Trading House. Akibatnya, UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil
fungsi Trading House. Faktor kritis kesuksesan Trading House di luar negeri
antara lain perlu adanya: landasan hukum, status kelembagaan, peran
pemerintah, tingkat keragaman produk, lembaga pendukung, dan kerangka
dasar operasional Trading House yang komprehensif. Kriteria prioritas untuk
menentukan produk Trading House adalah pangsa ekspor, impor dunia dan
ketersediaan bahan baku lokal. Produk prioritas Trading House adalah perhiasan
dan aksesoris, furnitur, makanan olahan, produk tekstil dan garmen, minyak atsiri
(produk spa aromaterapi). Model operasional Trading House sudah berhasil
dibangun dengan 5 fungsi utama yaitu fasilitasi pemberdayaan UKM,
perancangan dan pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan
distribusi informasi, serta pemasaran. Upaya mendesak yang perlu dilakukan
adalah mengimplemetasikan model Trading House yang telah disusun untuk
dijadikan semacam pilot proyek.
Kata kunci: Trading House, ekspor, produk UKM, benchmarking, dan ANP
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
iii
ABSTRACT
STUDY ON DEVELOPMENT OF TRADING HOUSE
TO INCREASE INDONESIA’S NON OIL EXPORTS
This study aims to (1) re-identify problems causing the ineffectiveness of
Trading House in Indonesia for boosting its non-oil exports; (2) Identify the critical
success factors of Trading House management in some benchmarking countries
for boosting their exports; (3) Develop criterias and priorities of potential export
products that will be included in the Trading House; (4) Establish operational
institutional model for Trading House in order to support the SME sector to
encourage their exports. Data collection methods used are survey and FGD. The
data are then analyzed using benchmarking methods and ANP. The results
showed that the Trading House in Indonesia has not evolved as many SMEs do
not understand the overall functions of the Trading House, while similar
institutions that are existing nowadays only carry a small part of Trading House’s
functions. As a result, SMEs only utilize a small part of Trading House’s
functions. Critical success factors of Trading House in other countries include the
need for: legal foundation, institutional status, the role of government, the level of
product diversity, supporting institutions, and basic framework of a
comprehensive operational Trading House. Moreover, criterias to determine
which products should be included in the Trading House are the share of exports,
world imports and the availability of local’s raw materials. Priority products to be
included in Trading House are jewelry and accessories, furniture, processed
foods, textile products and garment, essential oils (aromatherapy spa products).
Operational Model for Trading House has been successfully constructed with 5
main roles, namely facilitation of SMEs empowerment, design and product
development, production coordination, networking and distribution of information,
and marketing. Urgent action needs to be done is to implement a model Trading
House that have been compiled into a pilot project.
Keywords: Trading House, export, SME’s product, benchmarking, and ANP
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................. iii
ABSTRACT ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ................................................................................................v
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1
Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................... 4
1.3
Tujuan Pengkajian .................................................................... 5
1.4
Output Pengkajian..................................................................... 5
1.5
Dampak/Manfaat ....................................................................... 6
1.6
Ruang Lingkup .......................................................................... 6
1.7
Sistematika Laporan ................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9
2.1
Definisi dan Fungsi Trading House ........................................... 9
2.2
Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa
Negara .................................................................................... 10
2.3
Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia . 15
2.4
Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP)
................................................................................................ 18
BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 27
3.1
Metode Analisis ....................................................................... 27
3.1.1
Kerangka Berfikir ...................................................... 27
3.1.2
Metode Benchmarking ............................................. 28
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
v
3.1.3
3.2
Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal
Network Process (ANP) ........................................... 30
Data ........................................................................................ 32
BAB IV KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA
BENCHMARKING DAN INDONESIA ......................................... 33
4.1
Faktor-faktor Keberhasilan Trading House di Negara
Benchmarking ......................................................................... 33
4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara
Benchmark ................................................................... 33
4.1.2 Kelembagaan Operasional ............................................. 40
4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia ............................................. 44
4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting ......... 44
4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia .............. 45
BAB V PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA ............ 53
5.1
Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam
Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas .............................. 53
5.2
Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan
Ekspor Non Migas ................................................................... 55
5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan
Baku Lokal .................................................................... 57
5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai
Output........................................................................... 58
5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan
Ekspor .......................................................................... 59
5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan
Pangsa Ekspor ............................................................. 60
5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan
Impor Dunia .................................................................. 61
5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap
Perekonomian .............................................................. 62
5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas ................ 63
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
vi
5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia ........ 67
BAB VI MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA ......................... 68
6.1
Model Kelembagaan Operasional............................................ 69
6.1.1 Pemasaran Secara Integral ........................................... 69
6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi .............................. 85
6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk .................... 89
6.1.4 Koordinator Produksi.................................................... 100
6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM ..................................... 104
6.2
Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya
.............................................................................................. 107
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............... 111
7.1
Kesimpulan ............................................................................... 111
7.2
Rekomendasi Kebijakan ........................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 113
LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 116
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Manfaat Trading House Bagi Produsen dan Pembeli di
Luar Negeri ………………………………………………...
12
Tabel 2.2
Penelitian Menggunakan Metode ANP………………….
23
Tabel 3.1
Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja ....
29
Tabel 4.1
Benchmarking Trading House Korea Selatan dan
Jepang ……………………………………………………...
39
Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di Negara
Benchmarking ……………………………………………..
40
Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di
Indonesia …………………………………………………...
49
Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria Produk yang akan
ditangani melalui Trading House ………………………..
54
Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan
untuk ditangani melalui Trading House …………………
57
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan
Bahan Baku Lokal ………………………………………..
58
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Nilai Output ………………………………..
59
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Ekspor ……………………………………..
60
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Pangsa Ekspor ……………………………
61
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Impor Dunia ……………………………….
62
Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi
Terhadap Perekonomian …………………………………
63
Tabel 5.9
Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria ………
66
Tabel 5.10
Total Bobot Produk Prioritas …………………………….
67
Tabel 6.1
Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau
Status Trading House ……………………………………..
109
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback ....
24
Gambar 3.1
Pola Pikir Kajian …………………………………………...
28
Gambar 4.1
Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo Shosha…
42
Gambar 4.2
Operasional Kelembagaan KGTC ……………………….
43
Gambar 4.3
Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM ………
45
Gambar 4.4
Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan
Manfaatnya Oleh UKM ……………………………………
47
Gambar 4.5
Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer……...
48
Gambar 6.1
Kerangka Operasional Trading House ………………….
68
Gambar 6.2
Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi Trading
House ……………………………………………………….
87
Gambar 6.3
Bagan Alur Perancangan & Pengembangan Produk
Trading House ……………………………………………..
91
Gambar 6.4
Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam Perencanaan
dan Pengembangan Produk………………………………
94
Gambar 6.5
Urutan Proses Kerja Perencanaan ………………………
95
Gambar 6.6
Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading House ……….
101
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan
ekspor dari sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan
pendekatan yang strategis. UKM adalah sektor yang mampu
bertahan
dalam
situasi ekonomi domestik
dan
global yang
mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang
mengalami peningkatan signifikanselama lima tahun terakhir (20102014) rata-rata sebesar 6,56% per tahun, sedangkan jumlah usaha
besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun (BPS, 2015).
Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan
usaha besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya
menyerap 4,38 juta tenaga kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap
9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015).
UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis,
kecepatan dalam inovasi dan fleksibel terhadap kondisi pasar
(Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi UKM
di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja
ekspor sektor UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2%
dari total ekspor non migas nasional pada tahun 2013. Pada periode
tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp 28,04 triliun, hanya
meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja
ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh
beberapa faktor
seperti rendahnya kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh
informasi pasar, volume ekspor secara individual masih sangat kecil,
kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan yang
kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas,
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
1
serta kemampuan teknis melakukan ekspor yang masih sangat
terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang Dagri, 2009).
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan
masalah tersebut adalah dengan mengembangan Trading House
guna mendukung ekspor produk UKM. Secara teoritis, Trading
House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti
untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional,
peningkatakan skala ekspor dengan melakukan fungsi pengumpul
sehingga mendapat manfaat dari economies of scale, Pengadaan
bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi
produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan
Peningkatan kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan
taste setiap pasar (Puslitbang Dagri, 2009).
Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan
Trading House oleh Jepang dengan sogo shosha mulai tahun
1950an dan Korea Selatan dengan Korean Global Trading company
(KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor manufaktur yang didukung
oleh manajemen sogo shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun
1973 menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor
Korea Selatan setelah melibatkan KGTC meningkat 277% selama
periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi USD 15 miliar. Negara
lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk
meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan
Brazil.
Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran
intermediaries yang dilakukan oleh Trading House efektif untuk
meningkatkan ekspor terutama ditujukan kepada para pelaku UMKM.
Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu hambatan
pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang
antara lain mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang
spesifik, membangun jaringan distribusi, identifikasi pelanggan, dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
2
memahami peraturan di negara importir. Sementara Tsao (2004)
menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading
Companies (SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana
bagi jaringan produksi (production network) domestik di Taiwan.
Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan besarnya peranan
intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT.
Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan
semakin meningkat dan berkembang di masa mendatang khususnya
di negara-negara emerging market seperti negara-negara di kawasan
Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi
yang akan dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang
dalam Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi bahwa “integrasi fasilitasi
pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor yang
didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house
untuk produk-produk UMKM dan koperasi”. Dalam RPJMN juga
disebutkan peningkatan fungsi Lembaga Layanan Pemasaran
Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah (LLP – KUKM) sebagai
trading house bagi produk UMKM dan koperasi secara nasional,
merupakan salah satu kerangka kelembagaan yang dibutuhkan
dalam rangka mendukung peningkatan daya saing UMKM dan
koperasi.
Namun demikian, peran Trading House di Indonesia untuk
mendorong ekspor Indonesia belum efektif. Sebagai contoh, potensi
industri
meubel
dan
furniture
dalam
negeri
sangat
besar,
permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM
adalah kesulitan dalam akses bahan baku seperti melakukan stok
terhadap bahan baku seperti kayu dan rotan serta impor aksesoris
dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena besarnya
biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku
serta ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
3
terkait ekspor-impor. Namun demikian, hingga saat ini, belum ada
Trading House yang berperan dalam pembiayaan serta kemudahan
akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini disebabkan oleh
jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya
berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di
Indonesia adalah PT PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal
dan hanya berfokus pada produk furnitur (Puspadewi, 2015).
Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia
yang masih minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep
kelembagaan Trading House. Walau sudah memiliki landasan hukum
seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997
tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan
menengah (UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House
belum jelas. Dengan konsep yang belum jelas tersebut Trading
House yang sudah ada, tidak memiliki model kelembagaan seperti
yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah dalam pengkajian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah permasalahan utama yang menyebabkan Trading House
di Indonesia belum efektif untuk mendorong ekspor non migas
Indonesia, khususnya sektor UKM?
b. Apakah yang menjadi faktor penentu keberhasilan Trading House
di beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor?
c. Apakah produk yang diprioritaskan dalam Trading House?
d. Bagaimanakah model kelembagaan operasional Trading House
yang sesuai di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan
ekspor non migas?
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
4
1.3 Tujuan Pengkajian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan
Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor non
migas Indonesia;
b. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan
Trading House di beberapa negara benchmarking dalam
mendorong ekspor;
c. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang
akan dimasukkan dalam Trading House;
d. Membangun model kelembagaan operasional Trading House
dalam rangka mendukung peningkatan ekspor sektor UKM.
1.4 Output Pengkajian
Kajian
Pengembangan
Trading
House
dalam
Rangka
Peningkatan Ekspor Non Migas diharapkan menghasilkan beberapa
output sebagai berikut:
a. Peta permasalahan yang menyebabkan Trading House belum
berkembang di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan
target ekspor non migas Indonesia;
b. Faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di
negara benchmarking;
c. Rekomendasi prioritas produk-produk yang akan dimasukkan
dalam Trading House;
d. Rekomendasi kebijakan pengembangan
Trading House
di
Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan target ekspor
non migas Indonesia;
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
5
1.5 Dampak/Manfaat
Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk
peningkatan kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produkproduk yang dihasilkan oleh UKM dan sesuai untuk diperdagangkan
melalui konsep pengembangan Trading House yang tepat.
1.6 Ruang Lingkup
Adapun yang menjadi ruang lingkup dari kajian ini adalah:
a. Konsep/Model Trading House
b. Metode Benchmarking dilakukan dengan negara yang sukses
dalam mengembangkan Trading House
c. Produk potensial ekspor yang sesuai untuk dikembangkan
melalui Trading House, dibatasi pada produk-produk yang
dihasilkan oleh UKM.
Sementara kegiatan survey dengan metode wawancara dan
kunjungan lapangan akan dilaksanakan di daerah sentra-sentra
pengembangan produk UKM yaitu di provinsi Bali, Jawa Tengah,
Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat.
Sedangkan
kegiatan
Focuss
Group
Discussion
(FGD)
diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
1.7 Sistematika Laporan
Laporan penelitian terdiri dari tujuh Bab dengan isi masingmasing Bab sebagai berikut:
a. BAB I Pendahuluan
Pada bagian ini diuraikan masalah umum yang berkaitan dengan
kinerja ekspor sektor UKM. Faktor umum yang menghambat
peningkatan
ekspor
UKM.
Masalah
penelitian
selanjutnya
diuraikan secara fokus pada peran dan lemahnya peran Trading
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
6
House di Indonesia serta beberapa contoh Trading House di
beberapa negara yang berhasil mendorong ekspor. Dalam
pendahuluan juga diuraikan rumusan masalah, tujuan, output,
dampak/manfaat, ruang lingkup kajian, dan sistematika laporan.
b. BAB II Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini diuraikan studi literatur yang berkaitan dengan
studi ini. Pada bagian pertama dari tinjauan pustaka dibahas
berbagai aspek yang berkaitan dengan definisi dan fungsi Trading
House di Indonesia. Tinjauan juga membahas berbagai hasil studi
secara empiris dari model kelembagaan Trading House di
berbagai negara termasuk kebijakan dan model Trading House di
beberapa negara. Sub bab selanjutnya, pembahasan lebih
difokuskan pada metode analisis data yang digunakan yaitu
metode benchmarking dan metode ANP baik dari sisi teori
maupun aplikasinya di berbagai bidang studi.
c. BAB III Metode Pengkajian
Bab ini diawali dengan kerangka berpikir yang terdiri dari uraian
latar
belakang
secara
singkat,
metode
pengkajian
dan
rekomendasi yang diharapkan sebagai output dari kajian ini.
Selanjutnya dibahas dua hal yaitu metode analisis data dan teknik
pengumpulan data. Pada metode analisis data diuraikan bentuk
model benchmarking yang digunakan, dan metode ANP untuk
penyusunan kriteria dan produk prioritas untuk ditingkatkan
ekspornya melalui Trading House. Pada bagian ini juga diuraikan
data yang dibutuhkan serta sumber data.
d. BAB IV Trading House di Indonesia dan Negara Benchmark
Pada sub bab awal dari bab ini dibahas tinjauan atau kondisi
eksisting Trading House yang ada di Indonesia selama ini. Sub
bab selanjutnya membahas faktor keberhasilan Trading House di
negara benchmark, termasuk kebijakan pendukung Trading
House dan kelembagaan operasional di negara-negara tersebut.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
7
e. BAB V Produk Prioritas Trading House Indonesia
Pada bab ini pembahasan ditekankan pada pengembangan
kriteria untuk menentukan produk yang sesuai diperdagangkan
melaluiTrading House. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut,
pembahasan dilanjutkan dengan penyusunan komoditas prioritas
untuk Trading House dalam rangka meningkatkan ekspor non
migas dengan menggunakan metode ANP.
f. BAB VI Model Kelembagaan Operasional dan Kebijakan
Pendukung Untuk Trading House Indonesia
Bab ini akan menyajikan usulan model kelembagaan operasional
untuk Trading House Indonesia. Selain itu, dipaparkan juga
kebijakan pendukung dalam penerapan Trading House termasuk
keberadaan pendanaan, asuransi, dan lembaga terkait Trading
House lainnya.
g. BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Bagian pertama dari bab ini membahas kesimpulan yang ditarik
dari bab-bab sebelumnya terutama mengenai hasil benchmarking
dan usulan model dasar operasionalisasi Trading House serta
produk prioritas yang diusulkan untuk ditangani oleh Trading
House Indonesia. Pada sub bab berikutnya dibahas mengenai
rekomendasi
dan
implikasi
kebijakan
berkaitan
dengan
pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan
ekspor non migas.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Fungsi Trading House
Beberapa
negara
keberhasilan
peningkatan
ekspornya
didukung oleh keberadaan suatu lembaga yang berperan dalam
memfasilitasi eksportir untuk dapat meningkatkan kinerja ekspor.
Fasilitas tersebut mulai dari proses produksi hingga pengiriman
produk ke negara tujuan ekspor, lembaga ini disebut Trading House.
Trading House merupakan commercial intermediaries yang lebih
berfokus pada kegiatan ekspor dan impor yang menjadi aktivitas
utamanya dan menjadikan pasar luar negeri sebagai pasar utama
(Ontario Association for Trading House/OATH, 2015).
Sementara itu, menurut The World Federation of Trading House
Associations (WFTA) dalam Puslitbang Dagri, 2009 disebutkan
bahwa Trading House are commercial intermediaries involved in
Trading accros international borders in goods and services mainly
supplied by others.
Peran
Trading
companies
kerap
berkembang
seiring
berjalannya waktu. Pada akhir tahun 1990, karena keterkaitannya
yang erat dengan dengan aktivitas lain seperti shipping, insurance,
finance dan manufacturing, hanya sedikit trading companies yang
diklasifikasikan sebagai pure trading companies. Definisi Trading
companies yang lebih luas ini lalu disebut dengan hybrid Trading
companies. Kendati demikian, fokus utama Trading companies
adalah sebagai perantara antara penjual dan pembeli.
Trading companies dapat berperan sebagai broker atau
reseller. Baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar dapat
memanfaatkan Trading companies. Bagi perusahaan kecil, trading
companies
dapat
membantu
menembus
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
pasar
internasional.
9
Sedangkan bagi perusahaan besar, Trading companies dapat
dimanfaatkan untuk mencari dan menembus pasar baru.
Menurut Fedorowicz (2004) fungsi Trading House meliputi
antara lain: (1) Pemilihan pasar dan riset pasar; (2) Identifikasi dan
evaluasi konsumen; (3) Negosiasi komersial dan teknis; (4)
Pengembangan
vendor;
(5)
Adaptasi
produk/kemasan
dan
peningkatan teknologi; (6) Impor, terutama barang yang dibutuhkan
untuk
produksi
mengamankan
terhadap
risiko
ekspor;
kredit;
ekspor
(7)
(8)
Pengaturan
keuangan
Counter-Trading;
termasuk
asuransi;
termasuk
(9)
Perlindungan
(10)
Memastikan
pembayaran; (11) Dokumentasi ekspor dan pengiriman; (12)
Mengelola krisis dan bencana; (13) Pengurusan klaim; (14)
Ketersediaan layanan purna jual dan suku cadang; (15) Proyek
ekspor, konsorsium dan bisnis tender; (16) Menciptakan jaringan
distribusi luar negeri; (17) Hubungan khusus dengan pemerintah.
2.2 Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa
Negara
Beberapa kebijakan dan model kelembagaan Trading House di
berbagai negara dapat dijadikan sebagai usulan model Trading
House di Indonesia, antara lain Kanada, Taiwan dan Swedia.
a. Kanada
Trading House yang terdapat di beberapa negara memiliki
karakteristik yang berbeda-beda di setiap negara, termasuk salah
satunya adalah Kanada. Asosiasi Trading House di Kanada
dikenal dengan nama Ontario Association of Trading House
(OATH) yang berpusat di Ontario, Kanada yang didirikan pada
tahun 1996. OATH di Kanada adalah profit organization yang
berkomitmen untuk pengembangan perdagangan internasional
Kanada. OATH tersebut dikelola oleh para ahli di bidang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
10
perdagangan internasional dan beranggotakan para produsen
(manufacturer) yang terlibat dalam perdagangan internasional
serta perusahaan yang menyediakan layanan perdagangan.
OATH mulai didirikan karena pada saat itu belum terdapat
asosiasi Trading House yang dinilai cukup kohesif di Kanada.
Pembentukan Trading House di Kanada dimulai pada tahun 1984,
pada saat pemerintah federal membentuk satuan tugas (task
force) Trading House. Trading House di Kanada merupakan
murni lembaga swasta atau Private entrepreneurial effort dan
tidak terdapat spesialisasi produk.
Trading House di Kanada berperan sebagai perantara bisnis
antara produsen yang terdapat di Kanada dengan para konsumen
atau pembeli yang terdapat di luar negeri. Salah satu Trading
House Kanada adalah melakukan ekspor, impor dan terlibat
dalam perdagangan dengan negara ketiga sehingga secara
umum bertindak sebagai:
a. Agen ekspor yang bertindak atas nama pihak lain dan dibayar
berdasarkan komisi;
b. Perusahaan manajemen ekspor yang menangani sebagian
dari ekspor perusahaan induk;
c. Dapat terlibat kegiatan imbal dagang (countertrade) jika
diperlukan;
d. Agen pembelian yang menjadi supplier bagi perusahaan
asing.
Dengan demikian, Trading House yang berperan sebagai
trade intermediaries diharapkan dapat memberikan keuntungan
bagi kedua belah pihak produsen dan buyer (Tabel 2.1).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
11
Tabel 2.1 Manfaat Trading House Bagi Produsen dan
Pembeli di Luar Negeri
PRODUSEN
Barang dikumpulkan dan
pembayaran dilakukan di depan
pintu.
PEMBELI DI LUAR NEGERI
Kehandalan terbukti untuk
kualitas, harga dan pengiriman
Realisasi harga yang lebih baik
karena organisasi pemasaran di
luar negeri
Biaya lebih rendah karena
jaringan fasilitas pengadaan
Semua risiko dan kesulitan untuk
ekspor dihindari.
Fasilitas one stop shopping
Jaringan global untuk informasi
techno-komersial
Layanan purna jual terjamin
Masuk pasar dengan biaya yang
lebih rendah
Transportasi dan penanganan
dengan biaya lebih rendah.
Perspektif bisnis jangka panjang
Perspektif bisnis jangka
panjang
Sumber: OATH (2015)
b. Taiwan
Pemerintah Taiwan mendirikan Large Trading Companies
(LTC) pada tahun 1978. Pendirian ini didorong oleh keberhasilan
Sogo shosha di Jepang dan Global Trading Companies (GTC) di
Korea Selatan. Sama seperti alasan pendirian Sogo shosha dan
GTC, LTC didirikan oleh pemerintah Taiwan juga untuk
mengurangi kontrol foreign companies dalam perdagangan
internasional di wilayahnya, dimana untuk kasus Taiwan sebagian
besar dikuasai oleh perusahaan Jepang.
Pada akhir tahun 1970, foreign traders menguasai 70 persen
export Taiwan dan pada tahun 1986 masih menguasai 65 persen
export. Namun, latar belakang pendirian LTC Taiwan berbeda
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
12
dengan latar belakang pendirian Sogo shosha di Jepang dan
GTC Korea Selatan. Sogo shosha terbentuk secara natural
dibawah support Keiretsu dan GTC di Korea Selatan dibentuk
dengan dukungan penuh dari pemerintah dan support dari
chaebols. Masing-masing Keiretsu dan Caebols kemudian
menggunakan Sogo shosha dan GTC sebagai perpanjangan
usaha
perdagangan
internasionalnya.
LTC
Taiwan
tidak
mendapat dukungan dari konglomerat dan tidak didukung dengan
kebijakan pemerintah yang solid.
LTC Taiwan didirikan untuk melaksanakan beberapa tujuan,
antara lain:
a. Untuk
mengurangi
kontrol
pedagang
asing
dalam
perdagangan internasionalnya, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan
kemampuan
perusahaan
Taiwan
untuk
melakukan ekspor secara langsung ke pasar internasional
dengan menggunakan merek (brand) Taiwan sendiri. Secara
tidak
langsung
juga
diharapkan
dapat
meningkatkan
diversifikasi pasar karena Taiwan terlalu bergantung pada
pasar Amerika Serikat, Jepang dan Hong Kong
b. Membantu UKM untuk mempromosikan produk ekspornya;
c. Membangun subsidiaries dan jaringan perdagangan di luar
negeri
untuk
meningkatkan
kemampuan
memperoleh
informasi yang dapat membantu eksportir Taiwan agar dapat
bersaing di pasar internasional
d. Memperoleh material bahan baku secara lebih efektif.
Selain tujuan utama tersebut di atas, LTC juga diharapkan
dapat menjalankan beberapa fungsi berikut:
a. Mengumpulkan informasi komersial;
b. Pemasaran produk dan mengunjungi pelanggan di luar
negeri;
c. Mengembangkan pasar;
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
13
d. Mendapatkan dukungan dari bank - pendanaan modal;
e. Mendirikan pusat-pusat distribusi di luar negeri
f. Berbagi risiko dengan UKM.
Pada tahun 1978, LTC yang pertama di Taiwan berdiri dan
pada tahun 1983 telah terdapat 7 LTC. Ketujuh perusahaan
tersebut dan tahun pendiriannya adalah: 1) Pan Overseas
International, 1978; 2) Collins, 1979; 3) Tainan Textuile
Enterprises, 1979; 4) Great International, 1979; 5) E-Hsin
International, 1980; 6) Peacock, 1984; dan 7) Taipoly, 1984.
Namun demikian, tidak semua LTC ini dapat bertahan lama. Pada
tahun 1989 hanya 3 perusahaan yang bertahan (E-Hsin, Collins
dan
Pan
Overseas) dan
pada
tahun 2000
hanya
satu
perusahaan, yaitu Collins yang mampu bertahan.
c. Swedia
Sejarah munculnya Trading House di Swedia diawali oleh
kebutuhan perusahaan-perusahaan Swedia akan perusahaan
perantara
dalam
pengalaman
dalam
melakukan
melakukan
ekspor
karena
ekspor
serta
kurangnya
pengetahuan
mengenai regulasi di negara tujuan ekspor. Pada abad ke-19,
Trading House di Swedia hanya berperan sebagai agen
perdagangan beberapa komoditas, seperti gandum-ganduman,
besi dan baja, serta pulp. Seiring dengan kemajuan industri dan
telekomunikasi Swedia, dimana informasi pasar bisa didapatkan
dengan mudah, sebagian besar Trading House Swedia tutup.
Hanya beberapa Trading House masih dapat bertahan hingga
saat
ini
karena
memiliki
pengembangan
strategik
dan
mempertahankan peran penting.
Salah satu Trading House Swedia, Ekman & Co., Ltd.,
merupakan salah satu Trading House tertua di dunia. Ekman &
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
14
Co., Ltd. merupakan perusahaan penjualan dan pemasaran hasil
industri kehutanan, seperti pulp, kertas dan packaging, recovered
materials, dan bioenergi, yang didirikan pada tahun 1802. Selain
berperan sebagai trader, Ekman & Co., Ltd. juga melayani
analisis pasar, invoicing dan dokumen, administrasi logistik dan
pergudangan,
transportasi
dan
asuransi,
pembiayaan
perdagangan, serta lindung nilai suku bunga dan price risk.
Selain Ekman & Co., Ltd., Business Sweden adalah Trading
House Swedia yang dimiliki oleh pemerintah Swedia, dibawah
Kementerian Luar Negeri, dan swasta dari Sveriges Allmanna
Utrikeshandelsforening. Tujuan utama didirikannya Business
Sweden adalah untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan
Swedia, terutama UMKM, untuk melakukan ekspor serta untuk
membantu perusahaan asing untuk melakukan bisnis dan
investasi di Swedia. Business Sweden terdapat di 50 negara di
dunia dan bekerjasama dengan kedutaan dan konsulat Swedia,
serta kantor dagang di seluruh dunia. Fokus industri dari
Business Sweden antara lain teknologi lingkungan dan energi,
industri makanan, ilmu alam dan perawatan kesehatan, ritel,
keamanan dan pertahanan, teknologi informasi, serta otomotif
dan transportasi. Beberapa layanan yang disediakan oleh
Business Sweden adalah konsultasi mengenai pasar, akuisisi,
pembentukan perusahaan, penjualan dan pemasaran; pendidikan
dan panduan mengenai peraturan perdagangan dan ekspor;
pertemuan bisnis; international procurement; dan layanan untuk
UMKM.
2.3 Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia
Konsep mengenai Trading House di Indonesia telah tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan antara Usaha Besar dengan Usaha Kecil dan Menengah
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
15
(UKM). Di dalam peraturan tersebut dijabarkan mengenai pola-pola
kemitraan antara kedua skala usaha tersebut serta hak dan
kewajiban baik untuk usaha besar maupun UKM dalam menjalankan
kemitraan. Terdapat lima pola kemitraan antara kedua usaha
tersebut yang memiliki kesamaan dengan konsep Trading House
negara-negara lain.
Pada pola kemitraan inti-plasma, usaha besar merupakan inti
dan UKM merupakan plasma, dengan demikian usaha besar
bertindak sebagai pembina bagi UKM dengan menyediakan sarana
produksi, bimbingan teknis, dan pemasaran hasil produksi kedua
usaha. Kemitraan pola subkontrak merupakan kerjasama antara
usaha besar dengan UKM, dimana UKM memproduksi komponen
untuk produksi usaha besar.
Pada kemitraan pola dagang umum, usaha besar melakukan
pemasaran produk UKM dapat bertindak sebagai pemasok untuk
kebutuhn usaha besar. Pola kemitraan yang lain adalah pola
waralaba
dimana
usaha
besar
sebagai
pemberi
waralaba
memberikan kepada UKM hak penggunaan lisensi, merek dagang,
dan saluran distribusi perusahaannya dengan disertai bantuan
manajemen. Pola yang terakhir adalah pola keagenan dimana UKM
diberi hak oleh usaha besar untuk memasarkan produknya.
Trading House di Indonesia selain dilaksanakan oleh sektor
swasta juga dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti BUMN
dan lembaga tinggi negara setingkat kementerian. Trading House
yang berasal dari sektor swasta umumnya merupakan perusahaan
asing yang kemudian mendirikan branch office di Indonesia. Selain
itu, terdapat juga beberapa asosiasi pengusaha dan perusahaan
dagang di Indonesia yang berupaya melaksanakan tugas dan fungsi
Trading House seperti Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft
Indonesia (ASEPHI) yang telah membantu UKM yang menjadi
anggota untuk melakukan kegiatan ekspor.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
16
Sementara The Indonesia Trading company (Indotraders)
merupakan Trading House yang membantu untuk memfasilitasi dan
melakukan ekspor termasuk masalah packaging dan shipping untuk
produk furnitur dan kerajinan yang berasal dari Bali. Selain sektor
swasta, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) merupakan
satu-satunya BUMN yang berperan sebagai Trading House yang
bergerak di bidang distribusi, ekspor dan impor. Kementerian
Koperasi dan UKM juga telah membentuk Lembaga Layanan
Pemasaran (LLP-KUKM) yang berfungsi untuk memasukkan seluruh
produk UKM ke pasar global dan memberikan pencitraan bagi
produk UKM Indonesia termasuk salah satunya dengan labelling
(Kementerian Koperasi dan UKM, 2015).
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan merencanakan
untuk mendorong dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
selama ini telah bergerak di bidang perdagangan yaitu PT.
Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) dan PT. Sarinah
untuk dapat berperan sebagai Trading House dalam rangka
mendukung peningkatan ekspor non migas.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan Trading House di
Indonesia antara lain (Puslitbang Dagri, 2009);
a. PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan belum ditindaklanjuti
dengan
kebijakan
operasional
yang
berkaitan
dengan
pengembangan Trading House;
b. Kepmenperindag No. 402 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Perizinan Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing,
peraturan mengenai penetapan PPn dirasa menghambat Trading
House;
c. Belum ada Peraturan daerah (Perda) yang mengatur pembinaan
dan dukungan bagi pengembangan Trading House di daerah.
Trading House di Indonesia umumnya dilaksanakan oleh
swasta dan merupakan kepanjangan tangan dari pembeli di luar
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
17
negeri.
Dalam
beberapa
tahun
terakhir,
beberapa
asosiasi
pengusaha berupaya mengoperasikan Trading House di beberapa
daerah di dalam dan luar negeri, seperti HIPMI Jateng yang telah
membuka pusat promosi di Rotterdam untuk mempromosikan produk
yang dihasilkan propinsi Jawa Tengah ke pasar Eropa. Kementerian
Koperasi dan UKM melalui LLP-KUKM telah membuka Trading
House di Plodiv Bulgaria, bekerja sama dengan mitra lokal (Log
Consultant Ltd), yang bertanggung jawab memasarkan produk
Indonesia
di
Eropa.
Departemen
Perdagangan
juga
pernah
menginisiasi pendirian beberapa Trading House di beberapa daerah,
seperti di Pekalongan (industri batik), Ciputat (industri konveksi) dan
Jakarta Timur (industri meubel), namun Trading House tersebut
dinilai belum maksimal dalam memberikan layanan bagi UKM mitra
usahanya (Puslitbang Dagri, 2009).
2.4 Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP)
Efektivitas organisasi (organizational effectiveness) adalah
tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi dan sasaran-sasaran
yang direncanakan, serta tingkat penyelesaian terhadap masalahmasalah
yang
dihadapi
oleh
organisasi
yang
bersangkutan.
Efektivitas juga berarti bahwa organisasi telah melaksanakan atau
mengerjakan hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan yang benar sesuai
dengan tugas pokok, fungsi, dan tujuan keberadaan organisasi yang
bersangkutan (Anonymous, 2007). Efektivitas organisasi ditentukan
oleh beberapa faktor yang terkait langsung dengan proses
operasional yang dilakukan untuk menjalankan tugas pokok dan
fungsinya,
dengan
melakukan
proses
transformasi
terhadap
beberapa faktor input untuk menghasilkan keluaran (output) yang
sesuai dengan tujuan dan sasarannya.
Berbagai riset telah banyak dilakukan untuk mengukur dan
mengevaluasi efektivitas suatu organisasi. Ashraf dan Kadir (2012)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
18
dan Love dan Skitmore (1996) menyatakan bahwa ada empat
metode pendekatan yang paling sering digunakan di dalam menilai
efektivitas suatu organisasi, yaitu melalui pendekatan pencapaian
tujuan (goal approach) atau juga disebut dengan model tujuan
rasional, pendekatan sumber
daya
sistem
(resource
system
approach), pendekatan proses operasi (process approach) atau juga
disebut model proses manajerial, dan pendekatan konstituen
strategis (strategic constituent approach). Cunningham (1977) juga
mengungkapkan bahwa selain keempat pendekatan tersebut, riset
tentang
efektivitas
organisasi
juga
ada
yang
menggunakan
pendekatan-pendekatan lainnya. Model tawar-menawar (bargaining
model) digunakan jika pertukaran antar kemampuan individu, atau
antara kelompok individu di dalam organisasi serta kemampuan
pembuatan
keputusan
yang
tepat
dan
seimbang
dalam
mengakomodasikan tujuan-tujuan individu dan kelompok menjadi
faktor yang penting.
Selanjutnya, Cunningham (1977) juga menguraikan bahwa
model
fungsional
struktur
pernah
digunakan
jika
efektivitas
organisasi sangat ditentukan oleh perbaikan dalam hal kemampuan
pengembangan struktur, aliansi, tradisi, doktrin, kontrak, dan
komitmen, serta mekanisme partisipasi. Jika efektivitas organisasi
lebih dipengaruhi oleh aktivitas sosial dan konsekuensinya, maka
model fungsional dapat digunakan. Dalam hal ini setiap sistem harus
mampu
mendefinisikan
maksud
keberadaannya,
menentukan
sumber daya yang diperlukan untuk mencapai maksud tersebut,
memantapkan
arti
untuk
mengkoordinasikan
dirinya
dalam
mengurangi tekanan dan ketegangan terhadap lingkungannya.
Dalam kondisi suatu organisasi mengalami lingkungan yang
kompetitif dan perlu dikembangkan nilai-nilai penting untuk dapat
bersaing secara efektif Yu dan Wu (2009) serta Love dan Skitmore
(1996) menguraikan suatu model penilaian efektivitas yang disebut
kerangka nilai-nilai kompetisi (competing value frame work), yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
19
pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dalam hal
ini ada dua dimensi internal yang penting bagi suatu organisasi untuk
dapat bersaing dan bertahan secara efektif, yaitu dimensi nilai-nilai
internal dan pengembangan sumberdaya manusia untuk mampu
menanggapi lingkungan makro yang meliputi orientasi kepada tujuan
individu dan orientasi kepada tujuan organisasi, serta dimensi terkait
dengan struktur organisasi yang sesuai dalam aspek keseimbangan
antara kemapanan dan keluwesan untuk merespon lingkungan
tersebut. Kedua dimensi tersebut akan mangarah kepada nilai-nilai
dan budaya organisasi yang dikembangkan untuk dapat bertahan
pada
lingkungan
yang
kompetitif.
Hossein
et
al.
(2011)
mengungkapkan bahwa model ini juga banyak dipakai di dalam
mengevaluasi efektivitas dalam olahraga dan organisasi yang
bergerak dalam bidang keolahragaan.
Untuk lembaga yang sedang berkembang dan pada fase untuk
memperkuat kompetensinya, Cunningham (1977) menunjuk model
pengembangan organisasi (organizational development model)
merupakan
pendekatan
yang
lebih
sesuai
dalam
penilaian
efektivitasnya. Pada dasarnya, model pengembangan organisasi
yang menekankan pentingnya mengatasi permasalahan organisasi
dan pembaruan tentang kemampuan dan kapasitas organisasi.
Dalam model ini beberapa parameter penting yang digunakan ada
empat, yaitu perilaku supervisi terhadap karyawan, semangat tim,
keyakinan kepercayaan dan komunikasi antara karyawan dan
manajemen, serta kebebasan untuk mencapai tujuan.
Pendekatan dengan metode Balanced Scorecard (BSC) pernah
dilakukan oleh Banwet et al. (2006) untuk mengevaluasi institusi
penelitian dan pengembangan. Sesuai dengan konsep dasar BSC,
keseimbangan
antara
proses
innovasi,
pembelajaran,
dan
pertumbuhan organisasi dengan aspek pasar dan konsumen,
keuangan, dan internal proses merupakan faktor penting bagi
organisasi
untuk
mencapai
efektivitas
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
dan
keberhasilannya.
20
Keterpaduan antara strategi inovasi dan arah pengembangan harus
sejalan
dengan
kebutuhan
dioperasionalisasikan
dalam
konsumen/pasar,
proses
serta
manajemen
internal
dapat
dan
ketersediaan keuangan organisasi.
Pemilihan komoditas prioritas harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang terus berupaya menggalakkan diversifikasi produk
ekspor dan negara tujuan ekspor, namun tetap terus menjaga dan
meningkatkan ekspor di negara-negara yang selama ini menjadi
mitra dagang utama Indonesia. Oleh karena itu, dalam menentukan
komoditas prioritas, pengambil keputusan dihadapkan dengan situasi
yang cukup kompleks dan rumit. Keputusan pemilihan produk UKM
yang tepat merupakan salah satu aspek yang krusial dalam
mengembangkan Trading House untuk mencapai peningkatan
ekspor non migas. Oleh karena itu dalam pengkajian ini juga
dilakukan pemilihan prioritas kriteria produk UKM yang akan
memanfaatkan Trading House dengan metode Analitycal Network
Process (ANP).
Metode
ANP
adalah
salah
satu
metode
yang
mempertimbangkan tingkat kepentingan berbagai pihak dengan
memperhatikan saling keterkaitan antar kriteria dan subkriteria yang
ada. Model ini merupakan pengembangan dari AHP sehingga lebih
memiliki kompleksitas dibanding metode AHP. Metode ANP mampu
memperbaiki kelemahan AHP berupa kemampuan mengakomodasi
keterkaitan antar kriteria atau alternatif. Keterkaitan pada metode
ANP ada 2 jenis yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner
dependence) dan keterkaitan antar elemen yang berbeda (outer
dependence). Adanya keterkaitan tersebut menyebabkan metode
ANP lebih kompleks dibanding metode AHP. Berbeda dengan AHP,
ANP dapat menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level
seperti pada hirarki yang digunakan dalam AHP. Konsep utama
dalam ANP adalah pengaruh (influence), sementara konsep utama
dalam AHP adalah preferensi (preference).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
21
Prinsip-prinsip dasar ANP ada tiga, yaitu dekomposisi, penilaian
komparasi (comparative judgements), dan komposisi hirarki atau
sintesis
dari
prioritas.
Prinsip
dekomposisi
diterapkan
untuk
menstrukturkan masalah yang kompleks menjadi kerangka hirarki
atau jaringan cluster, sub cluster, sub-subcluster, dan seterusnya.
Dengan kata lain dekomposisi adalah memodelkan masalah ke
dalam kerangka ANP. Prinsip penilaian komparasi diterapkan untuk
membangun pembandingan pasangan (pairwise comparison) dari
semua kombinasi elemen-elemen dalam cluster dilihat dari cluster
induknya.
Pembandingan
pasangan
ini
digunakan
untuk
mendapatkan prioritas lokal dari elemen-elemen dalam suatu cluster
dilihat dari cluster induknya. Prinsip komposisi hirarkis atau sintesis
diterapkan untuk mengalikan prioritas lokal dari elemen-elemen
dalam cluster dengan prioritas global dari elemen induk, yang akan
menghasilkan prioritas global seluruh hirarki dan menjumlahkannya
untuk menghasilkan prioritas global untuk elemen level terendah
(biasanya merupakan alternatif).
Kelebihan ANP dibandingkan dengan metode AHP adalah:
a. Kekuatan ANP terletak dalam penggunaan rasio skala untuk
menangkap semua jenis interaksi dan membuat prediksi yang
akurat, dan bahkan lebih, untuk membuat keputusan yang lebih
baik.
b. Kemampuannya
untuk
membantu
kita
dalam
melakukan
pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hirarki
atau jaringan.
c.
Kesederhanaan metode ANP menjadikannya metode yang lebih
umum dan lebih mudah diaplikasikan untuk studi kualitatif yang
beragam, seperti pengambilan keputusan, forecasting, evaluasi,
mapping,strategizing, alokasi sumber daya, dan lain sebagainya.
d. Apabila dibandingkan dengan metode AHP, metode ANP
memiliki banyak kelebihan, seperti komparasi yang lebih
obyektif, prediksi yang lebih akurat, dan hasil yang lebih stabil
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
22
dan kuat. Software ANP yang digunakan dalam kajian ini adalah
Super Decisions.
e. ANP akan sangat membantu perusahaan dalam riset evaluasi
dan
pengambilan
keputusan,
yang
berhubungan
dengan
pengembangan organisasi dan manajemen, produk, layanan dan
marketing, karena akan lebih akurat dan sangat efisien.
Adapun beberapa penelitian yang menggunakan metode ANP
antara lain;
Tabel 2.2 Penelitian Menggunakan Metode ANP
Peneliti/tahun
Ascarya,
Yumanita/2005
Jaharnsyah,
et.al/2013
Goal Penggunaan Metode ANP
Mencari solusi rendahnya pembiayaan
bagi
hasil
perbankan
syariah
Indonesia
Merumuskan Strategi Pengembangan
Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya
Gorener/2012
Menentukan prioritas faktor dari SWOT
untuk mengambil keputusan pada
perusahaan Manufaktur.
Endri/2009
Permasalahan Pengembangan Sukuk
Korporasi Di Indonesia Menggunakan
Metode ANP
Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, sub kriteria,
dan alternatif, dimana masing-masing level memiliki elemen.
Sementara itu, pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster
yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, yang
sekarang disebut simpul (Gambar 2.1).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
23
Gambar 2.1. Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback
Sumber: Azis (2003)
Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat bergantung/terikat
pada kriteria seperti pada hirarki tetapi dapat juga bergantung/terikat
pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria itu sendiri
dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria.
Oleh karena itu, hasil dari ANP diperkirakan akan lebih stabil.
Dari jaringan feedback pada gambar 2.1 dapat dilihat bahwa
simpul
atau
elemen
utama
dan
simpul-simpul
yang
akan
dibandingkan dapat berada pada cluster-cluster yang berbeda.
Sebagai contoh, ada hubungan langsung dari simpul utama C4 ke
cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outerdependence.
Sementara itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan
dibandingkan berada pada cluster yang sama, sehingga cluster ini
terhubung dengan dirinya sendiri dan membentuk hubungan loop,
disebut innerdependence.
Elemen dalam suatu komponen/cluster dapat mempengaruhi
elemen lain dalam komponen/cluster yang sama (innerdependence),
dan dapat pula mempengaruhi elemen pada cluster yang lain
(outerdependence) dengan memperhatikan setiap kriteria. Akhirnya,
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
24
hasil dari pengaruh ini dibobot dengan tingkat kepentingan dari
kriteria, dan ditambahkan untuk memperoleh pengaruh keseluruhan
dari masing-masing elemen.
Pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise comparison
(pembandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk
mengetahui mana di antara keduanya yang lebih besar pengaruhnya
(lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya dilihat dari satu
sisi. Skala numerik 1-9 yang digunakan merupakan terjemahan dari
penilaian verbal.
Pengisian kuesioner oleh responden harus
didampingi peneliti untuk menjaga konsistensi dari jawaban yang
diberikan. Pada umumnya, pertanyaan pada kuesioner ANP sangat
banyak
jumlahnya.
Sehingga
faktor-faktor
non
teknis
dapat
menyebabkan tingginya tingkat inkonsistensi.
Menurut Saaty et.al (2006) ANP digunakan untuk menurunkan
rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan
pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling
berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol.ANP merupakan teori
matematika yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan
dependence dan feedback secara sistematis yang dapat menangkap
dan mengombinasi faktor-faktor tangible dan intangible.
Berkaitan dengan kajian ini, dalam melakukan pengembangan
dalam kinerja ekspor, diperlukan prioritas dalam menerapkan strategi
pengembangan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah
dengan menggunakan metode Metode ANP. Metode ANP digunakan
untuk mengetahui bobot dari masing-masing alternatif sehingga
terpilih sebuah prioritas strategi pengembangan ekspor yang terbaik
dan paling diprioritaskan. Sebelum dilakukan penentuan bobot
kriteria,
sub-kriteria, dan
alternatif,
dilakukan
terlebih dahulu
identifikasi hubungan antar kriteria, antar sub-kriteria, dan antara sub
kriteria dan alternatif.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
25
Metode ANP dilakukan dengan bantuan software Super
Decision, dimana pada prosesnya diawali dengan pembuatan model
cluster yang menunjukkan hubungan antara goal, kriteria, subkriteria, dan alternatif. Melalui model ini pula akan terlihat hubungan
antar kriteria, antar sub-kriteria, serta antara sub-kriteria dengan
alternatif produk.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
26
BAB III
METODE PENGKAJIAN
Bab
ini
akan
menjelaskan
kerangka
berfikir
kajian
secara
keseluruhan yang dimulai dari latar belakang singkat dan usulan
rekomendasi
yang
diharapkan
muncul setelah
kajian
ini selesai
dilaksanakan. Selanjutnya sesuai dengan tujuan pengkajian maka ada
dua metode analisis yang akan digunakan dalam pengkajian ini. Metode
yang digunakan adalah metode benchmarking dan ANP. Benchmarking
untuk membangun model kelembagaan Trading House yang terdiri dari
kriteria landasan hukum, fungsi Trading House, status kelembagaan,
peran pemerintah, keragaman produk, lembaga pendukung dan kerangka
dasar operasi. Sedangkan metode ANP untuk memilih kriteria produk
prioritas yang akan diperdagangkan melalui Trading House.
3.1 Metode Analisis
3.1.1 Kerangka Berfikir
Terlihat dari pertumbuhannya yang cukup signifkan dan
daya resistensi yang kuat terhadap kondisi ekonomi global,
potensi ekspor UKM sangat besar. Kendati demikian, hingga
saat ini potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik.
Pangsa ekspor UKM masih sangat rendah yakni 2% dari total
ekspor non migas di tahun 2013. UKM menghadapi beberapa
kendala dalam melakukan ekspor seperti skala uaha yang
kecil dan sulitnya serta mahalnya UKM dalam mencari
informasi pasar.
Keberadaan Trading House dapat mengatasi kendalakendala yang dihadapi oleh UKM. Dengan fungsinya sebagai
agen ekspor, promotor, integrator, manajemen ekspor impor
sekaligus agen pembelian, Trading House dapat secara aktif
membantu UKM dalam melakukan ekspor. Kesuksesan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
27
Trading House dalam mendorong ekspor UKM sudah
dibuktikan di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan,
Kanada, Taiwan dan Swedia. Berbeda dengan kondisi di
negara tersebut, peran Trading House di Indonesia belum
efektif dalam mendukung ekspor, khususnya UKM.
Untuk itu diperlukan suatu model pengembangan Trading
House untuk mendukung ekspor UKM melalui identifikasi
masalah Trading House di Indonesia dan benchmarking
kelembangan dan kebijakan Trading House di negara lain
serta pemilihan kriteria dan produk prioritas Trading House
dengan ANP. Pada gambar 3.1 berikut disajikan kerangka
berfikir kajian secara ringkas.
Gambar 3.1. Pola Pikir Kajian
3.1.2 Metode Benchmarking
Benchmarking merupakan salah satu teknik mengukur
kinerja dalam suatu perusahaan atau organisasi dengan
tujuan untuk melakukan perbaikan. Benchmarking adalah cara
sederhana pengukuran kinerja suatu perusahaan dengan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
28
membandingkannya kepada industri yang terkait. Pada
dasarnya
teknik
benchmarking
merupakan
bagian
dan
tahapan dari suatu learning process bagi organisasi tersebut.
Dengan teknik ini, maka suatu unit atau perusahaan dapat
belajar dari unit atau perusahaan lain dalam mencapai kinerja
yang optimal (Lankford, W.M, 2001)1.
Pemilihan unit, perusahaan atau organisasi lain sebagai
pembanding
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
kemiripannya dengan unit, perusahaan atau organisasi yang
bersangkutan dalam melaksanakan proses operasi/proses
bisnis.
Dalam
melaksanakan
benchmarking,
proses
perbandingan unsur-unsur kinerja perlu memperhatikan rantai
nilai dan proses operasinya, di samping produk atau keluaran
yang dihasilkan oleh unit, perusahaan, atau organisasi yang
bersangkutan. Terkait hal itu perlu dipilih beberapa faktor
keberhasilan kunci (Lankford, W.M, 2001). Berdasarkan
proses operasi yang diterapkan oleh Trading House, maka
kriteria benchmarking yang merupakan faktor pembanding
kinerja Trading House Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja
Indikator
N Kriteria Benchmarking
1Lankford,
1
Landasan hukum
UU, Peraturan
Agen pembelian, packaging,
promosi, pendanaan, dst.
2
Fungsi Trading House
3
Status Kelembagaan
Pemerintah, Swasta, BUMN/BUMD
4
5
Peran Pemerintah
Keragaman Produk
6
Lembaga Pendukung
7
Kerangka Dasar Operasi
Kebijakan, Anggaran, Fasilitas
Tinggi, Sedang, Rendah
Warehouse, Bank,
Transportasi/ekspedisi
Koordinasi, Katalog, Promosi,
Negosiasi, Transaksi, Asuransi,
Ekspedisi.
W.M. (2001). Benchmarking: Understanding the basics. The Coastal Business
Journal.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
29
3.1.3 Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal
Network Process (ANP)
Metode
untuk
memilih
kriteria
dalam
penentuan
kelompok produk atau komoditas UKM yang akan dimasukkan
dalam
konsep
Trading
House
menggunakan
metode
Analitycal Network Process (ANP). Penyusunan prioritas akan
dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah
melakukan
penyusunan
prioritas
awal
kriteria
produk
berdasarkan beberapa kriteria antara lain;
a) Sumber bahan baku (domestik atau impor)
b) Tren nilai output
c) Pertumbuhan ekspor Indonesia
d) Pertumbuhan pangsa ekspor
e) Pertumbuhan impor dunia
f)
Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia
Tahap kedua adalah menentukan kriteria dan produk
prioritas UKM yang akan dimasukkan dalam Trading House
dengan menggunakan hasil dari penentuan kirteria prioritas
tersebut. Kajian ini akan menggunakan metode ANP yang
telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelumnya
untuk membuat prioritas sehingga diperoleh keputusan yang
tepat. Metode ANP terdiri dari dua bagian yaitu;
a. Bagian pertama terdiri dari suatu hirarki kontrol atau
jaringan kriteria dan sub kriteria yang mengontrol interaksi
dalam sistem.
b. Bagian kedua adalah suatu jaringan yang memperlihatkan
pengaruh antar elemen dalam suatu kluster atau antar
kluster.
Suatu masalah pengambilan keputusan dengan ANP
digambarkan melalui suatu jaringan atau control hirarchy.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
30
Jaringan keputusan terdiri dari kluster-kluster, elemen-elemen
dan jaringan (links). Suatu kluster terdiri dari elemen-elemen
yang bersesuaian dalam suatu jaringan atau sub jaringan.
Untuk masing-masing jaringan, kluster dari suatu sistem
dengan elemen-elemennya dilakukan perhitungan. Semua
interaksi dan umpan balik di dalam suatu kluster disebut
innerdependence, sedangkan interaksi dan umpan balik antar
kluster disebut outerdependence. Melalui innerdependence
dan
outerdependence,
pengambil
keputusan
dapat
menggambarkan konsep hubungan interaksi antar kluster dan
antar elemen di dalam suatu kluster.
Struktur jaringan ANP digambarkan dengan panah dua
jalur
(busur
lingkaran)
yang
menghadirkan
saling
ketergantungan antar kluster atau jika di dalam tingkatan
faktor yang sama menghadirkan saling ketergantungan antar
elemen dalam kluster atau jika di dalam tingkatan faktor yang
sama akan terbentuk loop. Arah busur lingkaran menandakan
ketergantungan. Busur lingkaran berasal dari pengendalian
atribut yang menghubungkan atribut dengan atribut lain yang
saling
mempengaruhi.
Adapun
langkah-langkah
dalam
menggunakan metode ANP:
a. Menyusun
suatu
hirarki
jaringan
keputusan
yang
menunjukkan hubungan antar faktor keputusan
b. Membuat perbandingan berpasangan di antara faktor
yang mempengaruhi keputusan
c. Menghitung relative importance weight vectors dari
faktor-faktor tersebut.
d. Membuat suatu supermatriks yang tersusun dari relative
importance weight vectors.
e. Menghitung bobot akhir dengan supermatriks.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
31
Adapun pengolahan data dengan metode ANP pada
kajian ini akan menggunakan software Super Decision.
3.2 Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian yaitu data
primer dan sekunder. Data primer diambil dengan dua metode yaitu
survey dengan melakukan teknik wawancara dan Focus Group
Discussion (FGD). Survey dilakukan kepada pelaku UKM, dan
lembaga yang telah menjalankan fungsi Trading House di provinsi
Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan
Sumatera Barat. Survey ke daerah dilakukan bekerja sama dengan
perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),
Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) dan
Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Republik Indonesia
(APIKRI) di lokasi survey tersebut. Adapun tujuan survey adalah
untuk memperoleh informasi dan usulan model kelembagaan
Trading House serta permasalahan UKM yang terkait dengan
Trading House. Survey dilakukan dengan panduan kuisioner yang
telah disusun, yaitu untuk pelaku UKM dan lembaga pelaksana
Trading House.
Selain itu, Focussed Group Discussion (FGD) juga dilakukan
untuk memilih kriteria produk ekspor UKM yang dimasukkan dalam
Trading House dan memberi masukan terhadap usulan model
kelembagaan operasional Trading House. FGD diselenggarakan di
Mataram, provinsi NTB dengan peserta FGD yang diundang antara
lain para pelaku UKM, eksportir, dan lembaga yang terkait Trading
House.
Data sekunder yang digunakan dalam kajian ini antara lain,
data kinerja ekspor Indonesia menurut produk dan negara tujuan,
pangsa nilai ekspor Indonesia, jenis produk UKM Indonesia. Data
sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti BPS dan
COMTRADE.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
32
BAB IV
KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA BENCHMARKING
DAN INDONESIA
4.1 Faktor-faktor
Keberhasilan
Trading
House
di
Negara
Benchmarking
Bab
ini akan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong
keberhasilan pengembangan Trading House pada kedua negara
benchmarking, termasuk sub bab di dalamnya membahas tentang
kebijakan pendukung dan kelembagaan operasional dari masingmasing negara.
4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara Benchmark
a.
Sogo Shosha di Jepang
Jepang merupakan salah satu negara yang berhasil
menerapkan konsep Trading companies atau yang disebut
sogo shosha. Sogo shosha muncul pada zaman restorasi Meiji
di Jepang pada abad ke 18. Zaman restorasi Meiji merupakan
zaman dimana Jepang melakukan proses industrialisasi dan
komersialisasi secara masif melalui pembangunan infrastruktur
dan industri. Pada periode ini, peranan pebisnis sangat besar
bagi ekonomi Jepang. Pebisnis besar atau yang disebut
Zaibatsu banyak melakukan perdagangan luar negeri. Kondisi
ini diperkirakan sebagai lahirnya Trading company di Jepang.
Trading company memiliki kontribusi yang sangat besar bagi
ekonomi Jepang. Sekitar tahun 1980, total transaksi yang
dilakukan Trading company berkontribusi sekitar 30% PDB
Jepang. Impor Trading company tercatat 65% dari total impor
Jepang dan ekspor tercatat 50% (Ryan, 2013).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
33
Sogo shosha memiliki konsep yang unik. Pertama, satu
Sogo shosha menangani sekitar 30.000 produk yang berbeda.
Produk-produk ini memiliki variasi yang beragam dari barang
mentah ke produk teknologi tinggi. Dalam hal ini, sogo shosha
menerapkan prinsip economies of scale dan economies of
scope. Prinsip economies of scale dilakukan ketika sogo
shosha menangani perdagangan dengan produk yang sudah
memiliki pangsa ekspor yang besar di Jepang. Sementara
economies
of
scope
dimana
sogo
shosha
menangani
perdagangan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Selanjutnya,
perusahaan
sogo
shosha
merupakan
perusahaan Multinational Corporation (MNC) yang mempunyai
anak perusahaan di industri yang beragam dengan ruang
lingkup global. Bisnis sogo shosha sering kali dibedakan
tergantung jenis industrinya, seperti energi, makanan, kimia,
mineral dan logam dan manufaktur. Selain berdasarkan
industry, sogo shosha juga merupakan perusahaan global yang
tersebar di dunia melalui kantor perwakilan di negara lain.
Selain itu, semua aktivitas yang dilakukan oleh sogo
shosha terintegrasi menjadi satu organisasi. Selain menjadi
intermediary/broker/reseller, sogo shosha juga menaungi aspek
lain seperti informasi, logistik, keuangan, manajemen resiko,
koordinasi dan organisasi. Hal ini menandakan bahwa sogo
shosha memiliki aspek economies of function.
Adapun kunci sukses sogo shosha antara lain: (i) Sogo
shosha
mempunyai
kemampuan
untuk
mengumpulkan,
mengevaluasi dan menerjemahkan informasi pasar menjadi
peluang bisnis melalui sistem informasi yang baik; (ii) Jumlah
transaksi
yang
ditangani
banyak
sehingga
memberikan
keuntungan berupa pengurangan biaya; (iii) Sogo shosha
melayani pasar dengan pangsa yang besar di dunia sehingga
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
34
memberikan keuntungan transaksi. Selain itu terdapat konsep
unik dalam sogo shosha, seperti mekanisme barter trade; dan
(iv) Sogo shosha memiliki akses volume modal yang besar baik
di pasar modal Jepang maupun internasional. Dengan modal
yang besar, sogo shosha dapat melayani transaksi yang besar
dan beresiko (Tanaka, 2012).
b. KGTC di Korea Selatan
Sistem General Trading Companies (GTCs) di Korea
Selatan dibentuk dengan mencontoh Sogo shosha di Jepang.
Sistem GTCs di Korea dimulai dengan Presidential Decree for
Enforcement for Trade dan dilanjutkan dengan sosialisasi
Kementerian Perdagangan dan Industri (MCI) dalam MCI
Notice Nomor 10607 tanggal 30 April 1975. Namun, diskusi
panjang tentang perlunya sistem GTC telah mengemuka sejak
pertengahan 1960-an karena ekonomi Korea telah berkembang
pesat
sejak
awal
tahun
1960-an
dengan
pelaksanaan
serangkaian Rencana Ekonomi Lima Tahun. Dalam proses
pertumbuhan ekonomi yang cepat, terjadi berbagai masalah
karena ketergantungan pada dukungan pemerintah yang
ditawarkan untuk banyak perusahaan ekspor (Jun, 2009).
Pertama, pemerintah tidak mampu memberikan dukungan
keuangan untuk semua perusahaan ekspor. Hal tersebut tidak
mampu untuk terus mendukung peningkatan jumlah dan ukuran
semua perusahaan ekspor dengan peningkatan jumlah subsidi.
Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan insentif
yang tepat untuk membuat perusahaan ekspor mandiri.
Kurangnya
insentif
pemerintah
perusahaan
ekspor
tidak
pemasaran
ekspor.
cukup
Ketiga,
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
tersebut
kuat
dukungan
mengakibatkan
untuk
mengelola
pemerintah
untuk
35
perusahaan-perusahaan tersebut dengan partisipasi produsen
skala
kecil
di
menyebabkan
pasar
internasional
persaingan
yang
berlebihan
di
sama
antara
malah
mereka.
Persaingan tersebut menyebabkan harga ekspor menurun
sehingga berdampak pada keuntungan yang juga menurun
(Jun, 2009).
Dalam situasi tersebut, pembuat kebijakan pemerintah
harus
merenovasi
sistem
ekspor
untuk
mengikuti
laju
peningkatan ekspor. Kebutuhan perusahaan yang berdaya
saing tinggi di pasar luar negeri sehingga memutuskan untuk
mengadopsi sistem Sogo shosha Jepang (mesin penggerak
pertumbuhan ekonomi melalui ekspor di Jepang).
Pemerintah Korea Selatan mengarahkan Korean Global
Trading Company (KGTC) sekurangnya harus memiliki dua
fungsi dasar. Pertama, keterampilan pemasaran internasional
yang kuat untuk mengatasi proteksionisme negara-negara
industri dan harus dapat mendekati konsumen di negaranegara industri serta memanfaatkan potensi yang belum
dimanfaatkan.
Kedua, membantu ekspor produk dari produsen yang
sudah menunjukkan inefisiensi karena persaingan berlebihan,
dumping, atau hambatan yang timbul dari terlalu banyaknya
eksportir. Selain itu diperlukan fungsi pendukung lainnya seperti
networking
dan
distribusi
informasi,
perancangan
dan
pengembangan produk melalui market research, koordinasi
produk
dan
Kementerian
fasilitasi
pemberdayaan
Perdagangan
dan
UKM.
Industri
Selanjutnya
Korea
Selatan
mengumumkan prosedur dan persyaratan formal untuk KGTC
untuk dibentuk pada bulan April 1975.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
36
Syarat minimum yang ditetapkan pemerintah untuk
penunjukan KGTC antara lain: 1) memiliki modal minimal satu
miliar Won Korea; 2) nilai ekspor per tahun mencapai USD 50
juta; 3) memiliki sepuluh kantor cabang di luar negeri; 4)
memiliki minimal 10 negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor
masing-masing sebesar USD 1 juta; 5) memiliki 7 kategori
produk dengan nilai ekspor masing-masing lebih dari USD
500.000 per tahun; dan 6) penawaran publik dari saham KGTC.
KGTC yang didirikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah
dapat
menentukan
target
ekspor
minimum,
persyaratan
kapitalisasi, jumlah barang-barang ekspor, jumlah kantor
cabang luar negeri dan tingkat kepemilikan saham publik untuk
setiap KGTC.
Samsung ditunjuk sebagai KGTC pertama pada bulan Mei
1975, diikuti oleh Ssangyong, Daewoo, Kukjae dan Hanil pada
tahun yang sama. Kemudian enam perusahaan yang ditunjuk
sebagai KGTC bertambah pada tahun 1976 yaitu Koryo,
Hyosung, Bando, Sunkyoung, Samwha dan Kumho. Pada
tahun 1978, Yulsan dan Hyundai juga ditunjuk, sehingga jumlah
total KGTC Korea untuk 13. Namun, Yulsan bangkrut pada
tahun
1979,
yang
mengakibatkan
likuidasi
perusahaan
perdagangan Yulsan. Sekali lagi Hanil, Samwha dan Kumho
juga gagal mempertahankan status KGTC, karena tidak dapat
mencapai pangsa 2% dari total ekspor Korea, yang merupakan
persyaratan untuk mendapatkan insentif KGTC.
Selama periode 1975 - 1981, tata cara yang mengatur
sistem GTCs Korea Selatan menjalani serangkaian perubahan
karena perubahan dalam lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Sebagian besar kelompok bisnis besar Korea
Selatan (Chaebol) sangat ingin untuk mendapatkan status
KGTC, karena banyaknya insentif yang diberikan pemerintah.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
37
Pertama, status KGTC dapat meningkatkan kredibilitas
kelompok bisnis baik di Korea Selatan dan di pasar dunia.
Kedua,
dengan
status
KGTC,
kelompok
usaha
dapat
meningkatkan kemungkinan memperoleh konsesi pemerintah
pada berbagai proyek-proyek yang diprakarsai pemerintah,
seperti pabrik kimia dan alat berat. Selain imbalan fisik tersebut,
KGTC
juga
memiliki
banyak
insentif
yang
ditawarkan
pemerintah, seperti dalam perdagangan dan administrasi,
keuangan, valuta asing dan pajak.
Dalam hal perdagangan dan administrasi insentif, KGTC
diperlakukan istimewa dalam penawaran internasional seperti
kemudahan untuk mengakses impor bahan baku untuk mereka
gunakan sendiri. Dalam insentif keuangan, mereka memiliki
prioritas dalam memperoleh pinjaman bank berdasarkan kinerja
ekspor masa lalu. Insentif juga diberikan pada bidang valuta
asing dan pajak. Pemerintah mengizinkan KGTC untuk
meningkatkan batas kepemilikan mata uang asing oleh cabang
luar negeri dan membebaskan mereka dari pajak penghasilan
bisnis. Selain insentif langsung di atas, beberapa insentif tidak
langsung juga diberikan. Setiap KGTC juga memiliki pertemuan
rutin dengan KGTC lain dan konsultasi rutin dengan instansi
pemerintah.
Untuk mengetahui bentuk kelembagaan Trading House
yang efektif di Indonesia dilakukan benchmarking dengan
Trading House Korea Selatan dan Jepang. Alasannya karena
Trading House Korea Selatan dan Jepang telah berhasil
meningkatkan kinerja ekspor secara signifikan dan turut
membantu pemasaran produk UKM.
Berlandaskan pada Teori Benchmarking dari Lankford,
faktor keberhasilan Trading House di negara Korea Selatan dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
38
Jepang berhasil diidentifikasi melalui kriteria pada Tabel 4.1
berikut:
Tabel 4.1 Benchmarking Trading House Korea Selatan dan
Jepang
No
Kriteria Benchmarking
Korea Selatan
Accelerate
Economic
Development
Keputusan
Presiden
1 Landasan hukum
2 Fungsi Trading House
- Pemasaran
- Networking & Distribusi Informasi
- Perancangan & Pengembangan Produk
- Koordinasi Produk
- Fasilitasi Pemberdayaan UKM
3 Status Kelembagaan
Jepang
√
√
√
√
√
Pemerintah
Insentif pajak,
Prioritas akses
pinjaman,
Kemudahan
impor bahan baku
√
√
√
√
Swasta
Fasilitas
keuangan,
Penyediaan
asuransi
5 Keragaman Produk
Tinggi
6 Lembaga Pendukung
Bank
Tinggi
JETRO,
JIBC/Bank,
NEXI/Asuransi
7 Kerangka Dasar Operasi
Market
Research,
Information
Network, Market
Penetration
4 Peran Pemerintah
Bisnis Model
Sumber: Hasil Benchmarking
Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis
pengelolaan Trading House di negara benchmarking dan hasil
survey serta FGD maka dapat diambil usulan rekomendasi
kebijakan
pemerintah
sebagai
salah
satu
upaya
pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
39
ekspor non migas melaui sektor UKM sebagaimana yang
disajikan pada Tabel 4.2 berikut
Tabel 4.2 Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di
Negara Benchmarking
Negara
Deskripsi
Korsel
Awal mula KGTC di
Korsel:
• Perusahaan
ditunjuk sebagai
GTC melalui
Keputusan
Presiden
• Sekitar 70 persen
produk ekspor dari
sektor UKM
• Insentif pemerintah
bagi perusahaan
TH yang mampu
melakukan ekspor
pada level tertentu
• GTC di Korsel
modal awal
minimal 1 miliar
Won dengan 7
jenis produk ekspor
dan 10 negara
tujuan.
• Sogo Shosha
dimulai dari
perusahaan swasta
mencari info pasar
luar negeri
• Memanfaatkan
orang Jepang yang
tinggal di luar negeri
untuk mengetahui
info kebutuhan
produk di suatu
negara
• Perusahaan yang
terlibat Sogo
shosha mempunyai
cabang di berbagai
negara.
• Pendanaan bekerja
sama dengan bank
internasional
• Produksi dan
pemasaran
terpisah
• Pasar domestik
kuat dan ada
diversifikasi pasar
Jepang
Faktor
Keberhasilan Kritis
Usulan Trading House
Indonesia
• Trading House dibangun
dengan dukungan aktif
dari Atdag, ITPC dan
Trade Commisioner
Officer (TCO) di berbagai
negara tujuan ekspor
• Modal 3 tahun pertama
dari APBN
• Fasilitas pembiayaan
ekspor produk dan impor
bahan baku dan mesinmesin
• Tax holiday diberikan
kepada perusahaan yang
aktif dalam Trading House
selama masa awal
pengembangannya
• Insentif pajak diberikan
kepada pelaku Trading
House
Sumber: Hasil Benchmarking, survey dan FGD
4.1.2 Kelembagaan Operasional
a. Sogo Shosha Jepang
Besarnya peranan sogo shosha untuk meningkatkan ekspor
Jepang dimulai dengan memanfaatkan keberadaan orang-orang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
40
Jepang yang tinggal di luar negeri. Jaringan orang-orang Jepang
tersebut kemudian dikenal sebagai shosha man’s dan bertugas
memberikan
informasi
mengenai
selera
dan
kebutuhan
masyarakat yang ada di negara tersebut. Dari informasi tersebut
kemudian Jepang menciptakan produk yang sesuai dengan
permintaan konsumen luar negeri tersebut. Sogo shosha
mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, mengevaluasi
dan menerjemahkan informasi pasar menjadi peluang bisnis
melalui sistem informasi yang baik. Hal ini sejalan dengan
Program Akselerasi Pengembangan Ekonomi Jepang melalui
penyusunan rencana aksi pemerintah Jepang dengan penetapan
target peningkatan ekspor dan investasi. Setidaknya terdapat
tiga lembaga pemerintah yang mendukung program Sogo
shosha yaitu;
1. The Japan External Trade Organization (JETRO) yang
mengarahkan rencana pemerintah berkolaborasi dengan
jaringan shosha man’s.
2. Japan International Bank for Corporation (JIBC) yang
menyediakan fasilitas keuangan untuk Perdagangan dan
Investasi.
3. Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) yang
menyediakan asuransi untuk kegiatan Perdagangan dan
Investasi.
Sogo shosha juga didukung oleh perusahaan swasta yang
membantu dalam hal penyediaan resiko finansial, ekspor dan
bisnis investasi. Akses modal yang besar di Jepang maupun
internasional mendukung Sogo shosha untuk dapat memenuhi
permintaan dalam jumlah besar. Lebih jelasnya hubungan antara
pemerintah Jepang dengan Sogo shosha dapat dilihat pada
Gambar 4.1 berikut.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
41
Gambar 4.1 Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo shosha
Sumber: JETRO, 2015
b. KGTC Korea Selatan
Trading company di Korea Selatan dimulai dengan
ditetapkannya Keputusan Presiden untuk dasar penunjukan
perusahaan sebagai Korean Global Trading Company (KGTC).
Syarat untuk diangkat sebagai
KGTC di Korsel adalah
perusahaan tersebut harus memiliki modal awal minimal 1 miliar
Won dengan 7 jenis produk ekspor dan 10 negara tujuan.
Pemerintah
kemudian
akan
memberikan
insentif
bagi
perusahaan KGTC yang mampu melakukan ekspor pada level
tertentu. Cakupan wilayah KGTC cukup luas memiliki kantor
cabang di 63 negara dan 397 kota dan didukung oleh 4932
karyawan (1184 karyawan kantor pusat dan 3748 karyawan
lokal).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
42
Sekitar 70 persen produk ekspor dari sektor UKM
Operasional kelembagaan KGTC dimulai dari kegiatan penetrasi
pasar. Penetrasi pasar KGTC didukung melalui dua aspek yaitu
kecanggihan informasi teknologi dan penetrasi pasar regional
dengan bantuan mediator Global Trading Company.
Kerjasama dan dukungan pada sektor UKM (Usaha Kecil
dan Menengah) terutama untuk melakukan kegiatan ekspor
dengan menaikkan standar kualitas produk yang dihasilkan,
sehingga dapat meningkatkan kinerja ekspor dari produk yang
dihasilkan oleh sektor UKM. Secara lebih detail operasional
kelembagaan KGTC disajikan pada Gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2 Operasional Kelembagaan KGTC
Sumber: PT. Bumi 1ndawa Niaga, 2015
Jaringan Bisnis Internasional yang luas dengan melibatkan
berbagai pihak di banyak negara dengan banyak channel. Selain
menjadi Mediator antara produsen dan konsumen di luar negeri
juga sebagai hub pasar internasional, penyelenggara proyek dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
43
investor bisnis. Bentuk dan lingkup kegiatan kerjasama yang
dilakukan dengan UKM dapat berbeda diantara KGTC.
Kerjasama dan dukungan bagi UKM dilakukan melalui berbagai
langkah antara lain;

Penghubung antara produsen dengan konsumen di LN.

Menyediakan Financial service, dimana KGTC memberikan
pelayanan keuangan bagi pelaku UKM.

Management support dan sales, dukungan manajemen dan
penjualan bagi pelaku UKM, sehingga UKM dapat lebih
fokus dalam produksi.
4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia
Pada sub bab ini akan menguraikan kondisi eksisting Trading
House yang ada di Indonesia. Selain itu juga dibahas berbagai
masalah yang menghambat berkembangnya Trading House di
Indonesia.
4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting
Trading House di Indonesia ada beberapa yang sudah
pernah ada, namun fungsinya belum komprehensif seperti
Trading House di Jepang maupun di Korea Selatan. Jumlah
Trading House yang pernah ada di Indonesia, setidaknya ada
tujuh yaitu PT. PPI dan Sarinah (BUMN), LLP-KUKM
(Kementerian Koperasi & UKM), JCC dan Imah Tasik (Pemda),
PT Alun-alun dan Mitra Bali (Puslitbang Dagri, 2009).
Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan ke lima
daerah, menurut para pelaku UKM secara umum fungsi Trading
House
yang
selalu
dimanfaatkan
adalah
melakukan
pemasaran. Sedangkan fungsi Trading House yang paling
sering dirasakan manfaatnya oleh UKM adalah mengurus
kegiatan packaging (Gambar 4.3).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
44
Gambar 4.3 Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM
Sumber: Hasil Olahan Survey
4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia
Pengembangan Trading House di Indonesia dinilai
belum efektif untuk menjadi lokomotif pemasaran produk
UMKM dengan melakukan fungsi-fungsi, antara lain: (a)
membantu memperoleh pasar (buyer dan order) dengan
promosi melalui showroom, pameran, kontak dagang, dan
pembuatan katalog; (b) pengembangan produk, baik sumber
daya sendiri maupun dengan sumber daya mitra Trading House
melalui pengembangan desain dan produk, pengembangan
kemasan dan label, pengembangan dan pendaftaran merk, dan
fasilitasi
penyediaan
bahan
baku.
Penyebabnya
sangat
bervariasi dengan spektrum permasalahan yang sangat luas,
antara lain:
1. Peraturan perundang-undangan UKM dan kemitraan belum
ditindaklanjuti dengan kebijakan operasional yang berkaitan
dengan pengembangan Trading House.
2. Kurang harmoninya peraturan perundang-undangan lain
untuk
mendukung
pengembangan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
Trading
House,
45
misalnya: peraturan penetapan PPn, peraturan pengurusan
Surat Keterangan Asal.
3. Koordinasi lintas instansi di pusat dan daerah, serta
koordinasi antara instansi terkait kurang optimal yang
berpengaruh terhadap efektifitas pengembangan Trading
House.
4. Pola kemitraan antara KUMKM dan Trading House belum
terbentuk secara efektif dan efisien;
5. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi mengenai
potensi komoditi KUMKM menuju berfungsinya Trading
House yang efektif;
6. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading
House;
7. Sumber daya manusia pengelola Trading House belum
memadai secara jumlah dan kompetensinya;
8. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi masih
memberatkan.
Dari kegiatan survey yang dilakukan oleh tim kajian Trading
House ke beberapa daerah yaitu provinsi Bali, Jawa Tengah,
Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat
diperoleh identifikasi permasahan Trading House di Indonesia
antara lain;
1. Belum ada regulasi yang jelas sebagai dasar untuk
mendirikan Trading House di Indonesia.
2. Lembaga yang mirip Trading House memang sejak awal
tidak dirancang melaksanakan fungsi Trading House secara
utuh, sehingga hanya melaksanakan sebagian dari fungsi
Trading House saja.
3. Kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti
lembaga terkait riset pasar, koordinasi produksi, perbankan,
asuransi, logistik.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
46
4. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi terutama
mengenai potensi komoditas UKM
5. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading
House dan ruang lingkup layanan yang masih terbatas.
Selain itu, masih banyak UKM yang belum memahami fungsi
Trading House secara utuh, lembaga sejenis Trading House
yang ada saat ini juga hanya melakukan sebagian kecil saja
dari fungsi Trading House. Sehingga tidak mengherankan
UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil fungsi Trading
House. Beberapa fungsi Trading House yang penting, namun
masih jarang dirasakan manfaatnya oleh UKM seperti
memastikan pembayaran dari buyer dan melakukan proteksi
resiko ekspor termasuk asuransi (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan
Manfaatnya oleh UKM
Sumber: Hasil Olahan Survey
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
47
Sementara itu beberapa masalah yang dihadapi UKM
ketika berhadapan dengan buyer antara lain a) standar produk
yang diiinginkan oleh buyer terlalu tinggi, b) harga yang
ditawarkan kurang menarik, c) spesifikasi produk yang diminta
kurang jelas, d) volume permintaan terlalu besar melampaui
kemampuan UKM, e) frekuensi permintaan tidak pasti. Masalah
yang banyak dihadapi oleh UKM dalam memenuhi permintaan
buyer (importir) diharapkan dapat teratasi dengan dijalankannya
fungsi Trading House secara optimal (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer
Sumber: Hasil Olahan Survey
Semua
kriteria
benchmarking
sudah
berhasil
diimplementasikan oleh Trading House di Korea Selatan dan
Jepang. Sementara dari hasil temuan lapangan di lima daerah
survey, ternyata lembaga yang menjalankan peran sebagai
Trading House di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan
lembaga serupa di negara benchmarking. Lembaga sejenis
Trading House di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan
dari berbagai kriteria, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. 3.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
48
Tabel 4.3 Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di Indonesia
No
Kriteria Benchmarking
Bali
Jawa Tengah
NTB
D. I. Yogyakarta
Sumatera Barat
SMESCO
PT. Sarinah
-
-
-
-
-
RPJMN 2015-2019
-
- Fasilitasi Pemberdayaan UKM
√
-
-
√
√
√
√
- Perancangan & Pengembangan Produk
-
-
√
√
-
-
-
- Koordinasi Produk
√
√
√
-
-
-
-
-
-
1
Landasan hukum
2
Fungsi Trading House
3
- Network ing & Distribusi Informasi
-
√
-
-
-
- Pemasaran
√
-
√
√
√
√
√
Perusahaan
Asosiasi
Perusahaan
Asosiasi
Perusahaan
BLU
BUMN
Izin ekspor
-
Bantuan operasional
melalui Balai Besar
Keramik
-
-
-
-
Rendah
Sedang
Rendah
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
World Fair Trade
Organization
International (WFTO)
-
Kemenkop & UKM
BUMN lain
Status Kelembagaan
4
Peran Pemerintah
5
Keragaman Produk
6
7
-
Ekspedisi, Bank
Ekspedisi, Balai
Besar Keramik
Koordinasi produksi
dengan pengrajin
binaannya
Koordinasi dengan
para UKM dilakukan
sebulan sekali,
namun pembagian
informasi dilakukan
setiap hari melalui
Whatsapp,
Facebook , Twitter
Identifikasi dan
evaluasi buyer ,
teknologi dan
pack aging ,
menerima
pembayaran,
membangun relasi
dengan pemerintah
Lembaga Pendukung
Kerangka Dasar Operasi
Membantu UKM
berproduksi dan
memasarkan
produknya
Menampilkan produk
KUKM di UKM
Membantu UKM
GALLERY,
memasarkan
Mempromosikan dan
produknya dan
Memamerkan produk
memasarkan produk
menyediakan
kreatif dari berbagai
ke luar negeri melalui pinjaman khusus
daerah di Sumbar
kegiatan Trading
untuk membiayai
House,
kegiatan usaha mitra
Melaksanakan
binaan
pelatihan bagi KUKM
Keterangan: Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat adalah hasil survey.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
49
Berdasarkan sintesa dari benchmarking, temuan lapangan
dan hasil FGD, maka hal-hal yang perlu diperhatikan terutama
dalam membangun model kelembagaan Trading House yang
operasional adalah melalui lima fungsi utama Trading House
yaitu
fasilitasi
pemberdayaan
UKM,
perancangan
dan
pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan
distribusi informasi, dan pemasaran. Lebih jauh lembaga sejenis
Trading House harus di daerah harus memperbaiki:
a.
Fasilitasi pemberdayaan UKM
Trading House di Jawa Tengah dan NTB belum melakukan
fungsi fasilitasi pemberdayaan UKM. Pemberdayaan UKM
dapat dilakukan dengan melibatkan pihak lain (pemerintah
dan mitra pendukung) guna meningkatkan kemampuan UKM
dalam
beberapa
aspek
seperti
(i)
pelatihan
dan
pendampingan; (ii) akses modal kerja dan investasi; (iii)
akses bantuan fasilitas produksi seperi bahan baku dan
mesin-mesin; (iv) akses informasi pasar; dan (v) penanganan
klaim.
b.
Perancangan dan pengembangan produk
Trading House di Bali, Jawa Tengah dan Sumatera Barat
belum melakukan fungsi perancangan dan pengembangan
produk. Fungsi ini dibangun melalui riset pasar dan masukan
dari lembaga lain, termasuk lembaga pemerintah terkait.
Aspek rancangan dan pengembangan produk antara lain
mencakup jenis dan fitur produk, teknologi produksi, mutu
dan grade, volume dan harga, serta model kerjasama
produksi. Trading House bekerja sama dengan instansi
pemerintah dan mitra kerja lainnya perlu membantu UKM
seperti dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan bantuan
sumber daya berupa bahan baku dan pendanaan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
50
c.
Koordinasi produksi
Trading House di D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat belum
melakukan koordinasi produksi. Fungsi ini dilakukan dengan
mengkoordinasikan
UKM
dan
lembaga
atau
sektor
pendukung (bahan baku dan penolong, kemasan, asuransi,
pergudangan, logistik distribusi) guna menghasilkan produk
secara tepat waktu, jumlah, mutu, memenuhi skala produksi
dan berdaya saing. Produk diharapkan memiliki kontrol
kualitas, sertifikat, hak paten, dan merek dagang, untuk
selanjutnya disusun katalog sebagai salah satu sarana
promosi.
d.
Networking dan distribusi informasi
Trading House di Bali, NTB, D. I. Yogyakata dan Sumatera
Barat belum melakukan fungsi networking dan distribusi
informasi. Fungsi ini mencakup networking dengan (i)
produsen
khususnya
UKM
dalam
hal
jenis
produk,
rancangan produk, teknologi produksi, volume dan harga,
serta persyaratan mutu/standard; (ii) pembeli atau calon
pembeli dalam hal katalog produk, volume dan harga, fitur
produk, dan jaminan/konsistensi mutu; (iii) mitra pendukung
seperti penyedia bahan baku dan komponen, kemasan,
pengiriman, promosi, logistik, pembiayaan dan avalis dan
asuransi; (iv) pemerintah pusat dan daerah yang mencakup
kebijakan insentif untuk UKM dan Trading House, seperti
pemberian tax holiday pada tahap awal pengembangan
Trading House, serta insentif pajak apabila memenuhi target
ekspor
tertentu,
mampu
menembus pasar
baru
dan
diversifikasi produk.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
51
e.
Pemasaran
Trading
House
di
Jawa
Tengah
belum
melakukan
pemasaran secara integral yang antara lain mencakup (i)
perumusan dan implementasi strategi pasar terpadu (bauran
produk, harga, distribusi); (ii) monitoring dan riset pasar
termasuk pemilihan dan pengembangan pasar dan produk;
(iii) pelaksana promosi, komunikasi dan pengelola umpan
balik dari pembeli atau calon pembeli; (iv) pengelola
transaksi penjualan; (v) pengaturan logistik dan distribusi;
dan (vi) melakukan kerjasama dengan Atase Perdagangan,
ITPC, dan lembaga riset.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
52
BAB V
PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA
5.1 Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam
Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas
Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas
kelompok produk yang akan ditangani melalui Trading House
merupakan gabungan dari beberapa masukan dan pertimbangan
melalui diskusi dan FGD dengan stakeholder terkait. Sehingga
dengan demikian diperoleh kriteria untuk menyusun produk prioitas
Trading House sebagai berikut;
a) Ketersediaan bahan baku lokal menunjukkan bahwa produk
prioritas memiliki sumber bahan baku yang tersedia di dalam
negeri, sehingga tidak bergantung pada bahan baku impor. Selain
itu, peningkatan ekspor produk prioritas dengan kandungan bahan
baku lokal yang tinggi akan mendorong pula sektor hulunya.
b) Tren pertumbuhan nilai output yang diindikasikan oleh rata-rata
pertumbuhan nilai produksi selama 2009-2013. Tren pertumbuhan
nilai output digunakan untuk melihat kekonsistenan proses
produksi dari produk prioritas.
c) Tren pertumbuhan ekspor Indonesia, yakni rata-rata pertumbuhan
ekspor Indonesia selama 2011-2015. Tren pertumbuhan ekspor
merupakan indikator untuk melihat kemampuan Indonesia dalam
memasok produk prioritas ke pasar internasional.
d) Tren pertumbuhan pangsa ekspor untuk mengetahui ukuran
kemampuan ekspor Indonesia. Instrumen yang digunakan dalam
kriteria ini adalah rata-rata pertumbuhan pangsa produk terhadap
ekspor non migas Indonesia selama 2011-2015.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
53
e) Tren pertumbuhan impor dunia yang ditunjukkan oleh rata-rata
pertumbuhan
impor
dunia
selama
2010-2014.
Kriteria
ini
menunjukkan tren permintaan impor di pasar dunia.
f) Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia untuk melihat
dampak sektor produk prioritas terhadap aktivitas ekonomi, baik
sektor hulu maupun hilirnya. Indikator yang digunakan adalah
indeks kepekaan dan penyebaran dalam tabel Input-Output (IO).
BOBOT
1,2
0,8
0,8
0,8
6,0
3
0,17
0,6
1,0
0,8
0,8
0,8
0,8
4,8
6
0,13
Nilai Ekspor
0,8
1,2
1,0
0,6
1,0
1,0
5,6
4
0,16
Pangsa Ekspor
1,2
1,2
1,4
1,0
1,2
1,2
7,2
1
0,20
Impor Dunia
1,2
1,2
1,0
0,8
1,0
1,4
6,6
2
0,18
Kontribusi terhadap Ekonomi
1,2
1,2
1,0
0,8
0,6
1,0
5,8
5
0,16
TOTAL
1,4
Impor Dunia
1,0
Nilai Output
Nilai Ekspor
Ketersediaan Bahan Baku Lokal
Nilai Output
PERINGKAT
Kontribusi terhadap Ekonomi
Pangsa Ekspor
KRITERIA
Ketersediaan Bahan Baku Lokal
Tabel 5.1 Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria produk yang
akan ditangani melalui Trading House
Sumber: Hasil ANP
Adapun kriteria prioritas untuk menetapkan produk yang
akan ditangani melalui Trading House adalah; 1. Pangsa ekspor
tinggi, 2. Impor dunia tinggi, 3. Bahan baku lokal tersedia, 4. Nilai
ekspor tinggi, 5. Kontribusi ekonomi tinggi, 6. Nilai output tinggi.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
54
5.2
Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan
Ekspor Non Migas
Penyusunan produk yang diprioritaskan untuk ditingkatkan
ekspornya melalui Trading House diperoleh dari hasil sintesa
masukan dan usulan beberapa pihak terkait, antara lain Smesco,
Asephi dan Sarinah. Adapun kelompok produk yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
A.
Usulan SMESCO-Kemenko UKM (Produk UKM Berdaya
saing)
1. Pakaian dan Batik
2. Perhiasan dan Aksesoris
3. SPA Product
4. Handycraft
5. Furniture
6. Tas dan Sepatu
7. Songket dan Tenun
8. Food dan Snack
B.
Usulan produk UKM yang diusulkan untuk memperoleh
fasilitas Trading House dari ASEPHI adalah:
1. Produk Industri-Kerajinan;
 Produk yang bahan bakunya banyak tersedia di
Indonesia, seperti produk kayu, rotan, keranjang dan
barang anyaman lainnya;
 Produk yang didukung oleh keterampilan kerja (Skill),
seperti furniture, ukiran, dan lukisan;
 Kelompok Perhiasan (Jewelry), termasuk mutiara
(kultivasi);
 Produk Alas Kaki, yakni Sepatu dan Sandal;
 Alat bepergian (Tas, Dompet, dan produk lain dari kulit
dan bahan baku lainnya serta kombinasinya);
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
55
 Produk Tekstil & pakaian jadi (garmen), baik motif
batik, tenun ikat dan tenunan tradisional lainnya;
 Kerajinan logam dan keramik;
 Barang dekoratif.
2. Produk Perikanan;
 Ikan Hias dan tanaman Aquarium;
 Rumput Laut;
 Teripang, hoi som, ubur-ubur.
3. Produk Pertanian (Produk yang diperdagangkan bisa
juga sebagai produk olahannya)
 Tanaman Hias;
 Buah-buahan (manggis, dll);
 Kayu manis;
 Minyak Atsiri;
 Gambir;
 Kopi;
 Coklat;
 Jambu Mete;
 Jahe;
 Ijuk dan sabut kelapa.
C.
Usulan Produk Trading House dari Sarinah
1. Produk Furniture
2. Produk Batik
3. Virgin Coconut Oil (VCO) dan produk kelapa lainnya.
Dari ketiga usulan tersebut, maka dibentuk suatu kelompok
produk prioritas yang mencakup semua usulan. Kelompok produk
prioritas ini akan diolah lebih lanjut menggunakan metode ANP.
Kelompok produk prioritas tersebut antara lain:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
56
Tabel 5.2 Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan
untuk Ditangani Melalui Trading House
Kelompok
Produk
Furniture
Produk kayu* dan anyaman rotan
Kerajinan gerabah, keramik logam dan produk
dekoratif
Produk Industri Kerajinan
Perhiasan dan aksesoris
Produk tekstil dan garmen
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik,
kulit dan kombinasi
Rumput laut
Produk Perikanan
Ikan hias
Teripang, hoi som, ubur-ubur
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
Tanaman hias
Produk turunan kelapa seperti VCO dan isi jok
Produk Berbasis Pertanian
dari sabut kelapa
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir,
manggis, kopi, coklat, jahe
Makanan olahan (snack/camilan, juice buah,
bumbu olahan)
Sumber: SMESCO, ASEPHI, Sarinah
Keterangan: *Produk kayu yang dimaksud adalah ukiran, lukisan.
5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan
Baku Lokal
Produk prioritas berbasis perikanan, yakni ikan hias,
tanaman hias dan kelompok teripang memiliki bobot tertinggi
dalam kriteria ketersediaan bahan baku lokal sebesar 0,0834.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketiga produk tersebut lebih
banyak menggunakan bahan baku lokal sebagai input
produksi. Selain itu, produk makanan olahan berupa camilan
dan rumput laut juga memiliki bobot yang besar dalam kriteria
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
57
ini yakni 0,08. Sementara, produk sandal, sepatu, tas, dompet
kerajinan
dari
batik
memiliki
bobot
yang
terendah
dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya sebesar 0,0573.
Tabel 5.3 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan
Bahan Baku Lokal
Ketersediaan bahan
baku lokal
Opsi Kelompok Prioritas
Ikan hias
0,0834
Tanaman hias
0,0834
Teripang, hoi som, ubur-ubur
0,0834
Makanan olahan (Camilan, Juice Buah dll)
0,0800
Rumput laut
0,0800
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,0797
Furniture
0,0767
Perhiasan dan aksesoris
0,0700
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0677
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,0642
Produk tekstil dan garmen
0,0583
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,0583
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,0576
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
Sumber: Hasil ANP
0,0573
5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai
Output
Berdasarkan kriteria tren pertumbuhan nilai output, produk
furniture memiliki bobot tertinggi yakni 0,2789. Kondisi ini
menunjukkan
bahwa
produksi
furniture
di
Indonesia
cenderung konsisten dan lebih tinggi dibandingkan kelompok
produk lainnya. Selain furniture, produk lainnya yang
memiliki bobot yang tinggi dalam kriteria ini adalah produk
perkebunan, makanan olahan (snack, juice buah) dan
produk turunan kelapa. Di sisi lain, produk kerajinan
gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya memiliki bobot
terkecil. Adapun produk ikan hias, perhiasan, tanaman hias
dan
teripang
tidak
dimasukkan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
dalam
kriteria
tren
58
pertumbuhan
nilai
output
karena
memiliki
nilai
tren
pertumbuhan yang negatif.
Tabel 5.4 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Nilai Output
Opsi Kelompok Prioritas
Bobot Nilai
Output
Furniture
0,2789
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,1432
Makanan olahan
0,1394
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,1335
Rumput laut
0,1095
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
0,0812
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0642
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,0268
Produk tekstil dan garmen
0,0161
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,0073
Ikan hias
0,0000
Perhiasan dan aksesoris
0,0000
Tanaman hias
0,0000
Teripang, hoi som, ubur-ubur
Sumber: Hasil ANP
0,0000
5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan
Ekspor
Produk perhiasan dan aksesoris memiliki nilai bobot tertinggi
dalam kriteria tren pertumbuhan ekspor. Bobot produk
perhiasaan dan aksesoris sebesar 0,6233, jauh lebih tinggi
dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa produk tersebut mengalami kenaikan
rata-rata lima tahunan yang lebih besar dibandingkan produk
lainnya. Sebaliknya, produk kerajinan gerabah, keramik
logam dan dekoratif lainnya memiliki nilai tren pertumbuhan
ekspor lima tahunan yang lebih rendah dibandingkan produk
lainnya, sehingga nilai bobot pun cenderung rendah. Adapun
produk ikan hias, produk kayu dan anyaman rotan, produk
turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
59
ini karena memiliki tren pertumbuhan ekspor yang negatif
atau cenderung menurun selama 2011-2015.
Tabel 5.5 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Ekspor
Opsi Kelompok Prioritas
Bobot Tren
Pertumbuhan Ekspor
Perhiasan dan aksesoris
0,6233
Produk tekstil dan garmen
0,1375
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
0,0472
Rumput laut
0,0430
Tanaman hias
0,0430
Furniture
0,0376
Makanan olahan
0,0236
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,0230
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,0164
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,0055
Ikan hias
0,0000
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0000
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,0000
Teripang, hoi som, ubur-ubur
0,0000
Sumber: Hasil ANP
5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan
Pangsa Ekspor
Produk perhiasan dan aksesoris memiliki bobot tren
pertumbuhan pangsa ekspor tertinggi sebesar 0,5010.
Produk tekstil dan garmen juga memiliki bobot yang cukup
tinggi sebesar 0,1268. Adapun ikan hias memiliki bobot
terendah sebesar 0,0196. Produk kayu dan anyaman rotan,
produk turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam
kriteria ini karena pangsa ekspor ketiga produk tersebut ratarata menurun selama 2011-2015.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
60
Tabel 5.6 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Pangsa Ekspor
Opsi Kelompok Prioritas
Bobot Tren
Pertumbuhan
Pangsa Ekspor
Perhiasan dan aksesoris
0,5010
Produk tekstil dan garmen
0,1268
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
0,0574
Rumput laut
0,0544
Tanaman hias
0,0542
Furniture
0,0499
Makanan olahan
0,0392
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,0388
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,0337
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,0250
Ikan hias
0,0196
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0000
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,0000
Teripang, hoi som, ubur-ubur
Sumber: Hasil ANP
0,0000
5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan
Impor Dunia
Minyak atsiri dan kerajinan gerabah, keramik logam serta
dekoratif lainnya memiliki bobot tren pertumbuhan impor
dunia tertinggi dibandingkan produk prioritas lainnya yakni
masing-masing sebesar 0,31 dan 0,2786. Kondisi ini
menunjukkan bahwa kedua kelompok produk tersebut
memiliki tren permintaan impor dunia yang lebih tinggi
dibandingkan produk lainnya. Sementara itu, produk kayu
dan anyaman rotan justru memiliki nilai bobot terendah
sebesar 0,0045. Beberapa produk seperti ikan hias, produk
perkebunan, produk turunan kelapa, rumput laut, tanaman
hias dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria tren
pertumbuhan impor dunia karena permintaan impor produk-
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
61
produk tersebut cenderung menurun atau memiliki nilai tren
pertumbuhan yang negatif.
Tabel 5.7 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren
Pertumbuhan Impor Dunia
Bobot Tren
Pertumbuhan Impor
Opsi Kelompok Prioritas
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,3100
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,2786
Furniture
0,1312
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
0,0914
Produk tekstil dan garmen
0,0908
Perhiasan dan aksesoris
0,0561
Makanan olahan
0,0376
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0045
Ikan hias
0,0000
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,0000
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,0000
Rumput laut
0,0000
Tanaman hias
0,0000
Teripang, hoi som, ubur-ubur
Sumber: Hasil ANP
0,0000
5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap
Perekonomian
Berdasarkan kriteria kontribusi terhadap perekonomian,
produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabuk kelapa
memiliki bobot tertinggi sebesar 0,095. Selain produk
turunan kelapa, kerajinan gerabah, keramik logam dan
dekoratif juga memiliki nilai bobot yang tinggi sebesar
0.0835. Keduanya memiliki nilai indeks daya penyebaran
dan indeks daya kepekaan di atas 1 yang menunjukkan
bahwa upaya pengembangan kedua industri ini dapat
berkontribusi
pada
pertumbuhan
sektor
hulu
maupun
hilirnya. Selain kedua produk tersebut, produk prioritas
lainnya yang memiliki bobot yang cukup tinggi antara lain: (i)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
62
makanan olahan (camilan, juice buah); (ii) ikan hias; (iii)
furniture; (iv) produk kayu dan anyaman rotan; (v) perhiasan
dan aksesoris; dan (vi) sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan
dari batik, kulit dan kombinasi.
Tabel 5.8 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi
Terhadap Perekonomian
Bobot Kontribusi Thp
Perekonomian
Opsi Kelompok Prioritas
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
0,0951
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
0,0835
Makanan olahan
0,0821
Ikan hias
0,0773
Furniture
0,0763
Produk kayu dan anyaman rotan
0,0763
Perhiasan dan aksesoris
0,0717
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
0,0702
Produk tekstil dan garmen
0,0673
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
0,0672
Rumput laut
0,0619
Tanaman hias
0,0588
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
0,0575
Teripang, hoi som, ubur-ubur
0,0542
Sumber: Hasil ANP
5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas
Pada metode ANP, dimungkinkan adanya hubungan
timbal balik yang dapat dilihat dari alternatif yakni produk
prioritas. Pada tahap timbal balik, masing-masing kriteria
akan dibandingkan menurut produk prioritasnya. Adapun
kriteria ketersediaan bahan baku lokal dan kontribusi
terhadap perekonomian tidak dapat dibandingkan dengan
kriteria lain karena jenis datanya yang berbeda. Kriteria tren
pertumbuhan
nilai
output,
tren
pertumbuhan
ekspor
Indonesia, tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren
pertumbuhan impor dunia memiliki sifat data yang sama
yakni persentase pertumbuhan, sehingga keempat kriteria ini
dapat dibandingkan untuk setiap produk prioritas.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
63
Berdasarkan produk prioritas furniture, kriteria yang
unggul adalah tren pertumbuhan nilai output, sehingga
kriteria ini diberikan nilai bobot tertinggi yakni 0,7275.
Selanjutnya, bobot tertinggi kedua dalam produk furniture
adalah tren pertumbuhan pangsa ekspor dengan nilai
0,1546. Sementara itu pada produk ikan hias, kriteria tren
pertumbuhan pangsa ekspor merupakan satu-satunya yang
unggul, sehingga bobotnya 1. Adapun kriteria lain untuk
produk tersebut memiliki nilai pertumbuhan yang negatif,
sehingga diberikan bobot 0.
Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor juga memiliki
bobot yang tinggi pada produk kerajinan gerabah, keramik
logam dan dekoratif lainnya sebesar 0,4380. Selain itu,
kriteria pertumbuhan impor dunia dalam produk tersebut juga
memiliki bobot yang cukup tinggi sebesar 0,3874. Sementara
berdasarkan produk makanan olahan, tren pertumbuhan nilai
output merupakan kriteria yang unggul dibandingkan dengan
kriteria yang lain dilihat dari bobotnya yang lebih tinggi
sebesar 0,6633.
Apabila dilihat dari sudut pandang produk makanan
olahan, kriteria tren pertumbuhan nilai output lebih unggul
dibandingkan dengan kriteria lain. Bobot kriteria ini sebesar
0,6633 angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kriteria yang
lain.
Selanjutnya
kriteria
tersebut
diikuti
oleh
tren
pertumbuhan pangsa ekspor dengan bobot 0,2217; tren
pertumbuhan ekspor Indonesia dengan bobot 0,0981; dan
tren pertumbuhan impor dunia sebesar 0,0169.
Pada opsi produk minyak atsiri atau produk spa
aromaterapi, keempat kriteria yang dibandingkan rata-rata
memiliki bobot yang hampir sama. Bobot tertinggi diperoleh
dari kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor sebesar
0,3769; diikuti oleh tren pertumbuhan impor dunia sebesar
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
64
0,2393; tren pertumbuhan nilai output sebesar 0,2190; dan
tren pertumbuhan ekspor Indonesia sebesar 0,1649.
Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren
pertumbuhan nilai ekspor memiliki bobot yang hampir sama
dilihat dari produk perhiasan dan aksesoris yakni masingmasing sebesar 0,5198 dan 0,4755. Adapun bobot tren
pertumbuhan impor dunia sangat rendah sebesar 0,0046.
Pada produk kayu dan anyaman rotan, kriteria tren
pertumbuhan nilai output memiliki bobot jauh lebih besar
dibandingkan bobot kriteria tren pertumbuhan impor dunia.
Bobot tren pertumbuhan nilai output tercatat sebesar 0,9934,
sementara tren pertumbuhan impor dunia hanya tercatat
0,0066.
Kriteria tren pertumbuhan nilai output juga memiliki bobot
yang tinggi pada produk perkebunan, seperti jambu mete,
gambir, manggis, kopi, coklat dan jahe yakni sebesar 0,7250.
Tren pertumbuhan pangsa ekspor berada di urutan kedua
dengan nilai bobot 0,2024. Adapun krieria pertumbuhan nilai
ekspor memiliki bobot terendah sebesar 0,0726.
Pada
produk
tekstil
dan
garmen,
kriteria
tren
pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot tertinggi dengan
nilai 0,5101. Selain pertumbuhan pangsa ekspor, kriteria
pertumbuhan nilai ekspor juga memiliki bobot yang cukup
tinggi sebesar 0,4063. Sementara itu, bobot kriteria tren
pertumbuhan nilai output dan tren pertumbuhan impor dunia
cenderung memiliki bobot yang rendah yakni masing-masing
sebesar 0,0545 dan 0,0290.
Sementara itu, pada produk rumput laut hanya ada dua
kriteria yang dapat dibandingkan, yakni tren pertumbuhan
pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor. Kendati
demikian, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor memiliki
bobot yang lebih besar dibandingkan tren pertumbuhan nilai
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
65
ekspor yakni sebesar 0,6307. Adapun bobot kriteria tren
pertumbuhan ekspor Indonesia tercatat 0,3693.
Selanjutnya pada produk sandal, sepatu, tas, dompet
kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi, kriteria tren
pertumbuhan nilai output memiliki bobot yang paling tinggi
sebesar 0,4077 dan diikuti oleh kriteria tren pertumbuhan
pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor yang
masing-masing memiliki bobot sebesar 0,3421 dan 0,2069.
Adapun kriteria tren pertumbuhan impor dunia memiliki
kriteria terendah sebesar 0,433.
Sama halnya dengan produk rumput laut, kriteria tren
pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot yang lebih besar
dibandingkan tren pertumbuhan nilai ekspor pada produk
tanaman hias. Bobot tren pertumbuhan pangsa ekspor
tercatat 0,6314, sementara bobot tren pertumbuhan nilai
ekspor hanya sebesar 0,3686.
Tabel 5.9 Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria
Ketersediaan bahan baku lokal
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,0000
Produk Prioritas
Produk
perkebunan
seperti
Produk
jambu Produk
kayu dan
mete, tekstil dan
anyaman
gambir, garmen
rotan
manggis,
kopi, coklat,
jahe
0,0000 0,0000 0,0000
Tren pertumbuhan nilai output
0,7275 0,0000 0,1076 0,6633 0,2190
0,0000
0,9934
0,7250
0,0545
1,0000 0,0000 0,4077 0,0000 0,0000
Tren pertumbuhan ekspor Indonesia
0,0855 0,0000 0,0670 0,0981 0,1649
0,4755
0,0000
0,0726
0,4063
0,0000 0,3693 0,2069 0,3686 0,0000
Tren pertumbuhan pangsa ekspor
0,1546 1,0000 0,4380 0,2217 0,3769
0,5198
0,0000
0,2024
0,5101
0,0000 0,6307 0,3421 0,6314 0,0000
Tren pertumbuhan impor dunia
0,0323 0,0000 0,3874 0,0169 0,2393
0,0046
0,0066
0,0000
0,0290
0,0000 0,0000 0,0433 0,0000 0,0000
Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Kriteria
Kerajinan
gerabah,
Ikan keramik Makanan
Furniture
hias logam dan olahan
dekoratif
lainnya
Minyak
atsiri
Perhiasan
(produk
dan
spa
aksesoris
aromatera
pi)
Sandal,
Produk
sepatu,
turunan
tas,
kelapa
Teripang,
Rumput dompet Tanaman
seperti
hoi som,
laut kerajinan hias
VCO dan
ubur-ubur
dari batik,
ijuk/sabut
kulit dan
kelapa
kombinasi
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Sumber: Hasil ANP
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
66
5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia
Berdasarkan kalkulasi bobot dalam metode ANP dengan
menggunakan software Super Decision, maka diperoleh
hasil bahwa produk perhiasan dan aksesoris merupakan
produk prioritas utama yang perlu dikembangkan dalam
Trading House di Indonesia. Perhiasan dan aksesoris unggul
dalam kriteria pertumbuhan ekspor baik secara nilai maupun
pangsa. Pertumbuhan ekspor perhiasan dan aksesoris lebih
tinggi dibandingkan opsi produk prioritas lainnya. Namun
demikian, produk ini lemah dalam kriteria pertumbuhan
output
yang
berarti
produksi
cenderung
mengalami
penurunan. Selain perhiasan dan aksesoris, produk lainnya
yang potensial antara lain: (i) furniture; (ii) makanan olahan
berupa camilan dan juice buah; dan (iii) produk tekstil dan
garmen. Sementara itu, produk ikan hias dan teripang, hoi
sum, ubur-ubur dikategorikan sebagai produk yang kurang
diprioritaskan dalam Trading House di Indonesia.
Tabel 5.10 Total Bobot Produk Prioritas
Urutan per masing-masing Kriteria
PRODUK PRIORITAS
Tren
Kontribusi
Tren
Tren Ketersediaan
Tren
pertumbuhan
terhadap Peringkat
pertumbuhan pertumbuhan bahan baku
pertumbuhan
ekspor
perekonomian
pangsa ekspor impor dunia
lokal
nilai output
Indonesia
Indonesia
Perhiasan dan aksesoris
1
6
8
1
12
7
1
Furniture
6
3
7
6
1
5
2
Makanan olahan
7
7
4
7
3
3
3
Produk tekstil dan garmen
2
5
11
2
9
9
4
Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)
8
1
10
8
8
13
5
Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi
3
4
14
3
6
8
6
Rumput laut
4
12
5
4
5
11
7
Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe
9
10
6
9
2
10
8
Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya
10
2
13
10
10
2
9
Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa
13
11
12
13
4
1
10
Tanaman hias
5
13
2
5
13
12
11
Produk kayu dan anyaman rotan
12
8
9
12
7
6
12
Ikan hias
11
9
1
11
11
4
13
Teripang, hoi som, ubur-ubur
14
14
3
14
14
14
14
Sumber: Hasil ANP
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
67
BAB VI
MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA
Dengan mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai dalam
membantu peningkatan ekspor, budaya kerja masyarakat Indonesia,
kondisi dan karakter para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), serta
posisi Trading House yang akan dikembangkan, harus melibatkan peran
aktif dari berbagai lembaga pendukung. Secara umum gambaran dari
hubungan Trading House dan UKM dengan lembaga terkait disajikan
pada gambar 6.1 berikut.
Gambar 6.1 Kerangka Operasional Trading House
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
68
6.1 Model Kelembagaan Operasional
Setidaknya ada enam faktor keberhasilan yang perlu menjadi
fokus perhatian dalam pengembangan Trading House di Indonesia.
Adapun keenam faktor tersebut merupakan rancangan operasional
utama dari suatu Trading House yang harus dikembangkan dalam
menjabarkan perannya sebagai
mediator antara produsen dengan
konsumen. Ini merupakan Konsep Dasar Operasionalisasi Manajemen
Trading House agar Optimalisasi peran Trading House untuk
meningkatkan ekspor non migas dapat diwujudkan. Berikut adalah
uraian keenam peran Trading House tersebut.
6.1.1 Pemasaran Secara Integral
Pemasaran
secara
terintegrasi
(Integrated
Marketing)
merupakan salah satu peran utama yang harus dimiliki oleh
Trading House yang ada di Indonesia. Pemasaran secara
terintegrasi (Integrated Marketing/IM) merupakan salah satu
terminologi yang menjadi sangat populer pada awal abad ke20.
Konsep
tersebut
muncul
sebagai
dampak
adanya
perubahan pola komunikasi (communication environment)
masyarakat saat ini.
Menurut Kotler dan Keller (2008), terdapat dua faktor penting
yang
memicu
adanya
perubahan
dalam
communication
environment:
1) pemasaran secara massal (mass marketing) yang kemudian
berubah menjadi pemasaran terfragmentasi sehingga para
tenaga pemasar saat ini telah beralih dari pemasaran secara
massal
menjadi
pemasaran
yang
terfokus
pada
pengembangan program tertentu dan menyasar pada
segementasi pasar tertentu.
2) Perkembangan yang sangat cepat di bidang Informasi dan
Teknologi (IT) yang kemudian semakin mendukung adanya
pemasaran terfragmentasi.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
69
Konsep pemasaran terintegrasi serta komunikasi pemasaran
terintegrasi sendiri kemudian menjadi salah satu topik yang
banyak dibahas dalam beberapa jurnal seperti Saeed, et al.
(2013), Raman dan Naik (2005), Rehman dan Ibrahim (2011),
dan sebagainya. Raman dan Naik (2005) menyatakan bahwa
komunikasi
dalam
menggabungkan
pemasaran
berbagai
kegiatan
terintegrasi
adalah
pemasaran
sehingga
didapat dampak total yang lebih besar. Sementara itu, Saeed,
et al. (2013) menyatakan bahwa pemasaran terintegrasi
merupakan
konsep
pemasaran
yang
berorientasi
pada
konsumen.
Pemasaran terintegrasi juga didefinisikan sebagai strategi
pemasaran yang menekankan pada pentingnya konsistensi dan
memberikan multi dimensional brand experince kepada para
konsumen. Multi-dimensional brand experince yang dimaksud
adalah dalam memberikan citra produk di berbagai media baik
televisi, internet, media cetak, dll dapat disajikan dalam hal
serupa
sehingga
dapat
memperkuat
pesan
yang
ingin
disampaikan pada produk tersebut (Marketing-School, 2016).
Dengan
menggunakan
beberapa
definisi
dan
konsep
pemasaran terintegrasi di atas, maka Trading House Indonesia
diharapkan memiliki peran untuk menggabungkan dan memilih
metode promosi yang paling efektif untuk memberikan citra
produk Indonesia khususnya UKM yang kuat bagi para
konsumen di luar negeri. Selain itu, Trading House juga harus
berorientasi
pada
konsumen
sehingga
dapat
memenuhi
kebutuhan konsumen di luarr negeri dengan produk UKM
Indonesia yang sesuai.
Di dalam implementasinya terkait dengan pemasaran produkproduk usaha kecil dan menengah yang pada dasarnya
bertumpu kepada keterampilan dan kekhasan lokal, penerapan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
70
konsep pemasaran terintegrasi bermakna bahwa Trading
House tidak hanya memerankan peranan sebagai trader atau
pedagang perantara, tetapi juga terlibat secara langsung atau
tidak langsung dalam perancangan produk dan perencanaan
proses produksinya. Hal demikian dimaksudkan agar apa yang
dihasilkan oleh pengusaha kecil dan menengah memang
sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pasar. Sesuai dengan
prinsip dasar penetapan strategi pemasaran, maka peranan
penting Trading House dalam pemasaran produk-poduk usaha
kecil dan menengah mencakup aspek (Kotler dan Keller, 2008):
 Pemilihan produk yang sesuai untuk dapat dijual kepada
konsumen dan memenangkan persaingan dengan produkproduk lain yang sejenis;
 Penetapan harga jual produk yang profitable dan mampu
meningkatkan / mempertahankan daya saingnya; dan
 Memilih Bauran promosi yang efektif dan efisien sesuai
dengan sasaran pasar dan sasaran konsumennya; serta
 Penyampaian produk kepada konsumen secara aman, tepat
waktu, dan efisien.
Atas dasar konsep di atas, maka meskipun secara formal
Trading House secara organisasi terpisah dengan para
pengusaha kecil dan menengah, secara operasional harus
dapat bekerjasama secara erat sehingga seakan-akan satu
sama lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Dengan
demikian,
Trading
House
Indonesia
dalam
melaksanakan peran sebagai lembaga pemasaran produk yang
terintegrasi setidaknya harus memiliki fungsi-fungsi sebagai
berikut:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
71
1. Perumus dan Implementasi strategi pemasaran terpadu
Dengan mempertimbangkan kondisi para pengusaha kecil dan
menengah
Trading
House
harus
dapat
menjalankan
peranannya secara proaktif, dalam proses penetapan strategi
pemasaran yang tepat. Artinya secara cermat Trading House
harus
mencermati
produk-produk
dari
usaha
kecil
dan
menengah, dan juga mampu mengenali pasar potensial untuk
produk-produk yang bersangkutan, dan selanjutnya secara aktif
mampu merumuskan strategi yang tepat.
Beberapa langkah operasional di dalam merumuskan strategi
pemasaran terpadu ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a) Menginvetarisasi
menengah,
dan
produk-produk
dari
mengenali
jenis,
usaha
kecil
dan
kagunaan,
dan
Keunggulan/kelemahannya.
b) Mengkaji kebutuhan konsumen terkait dengan produkproduk yang bersangkutan, dan sebaran keberadaannya.
c) Mencermati
dinamika
pasar
untuk
produk
yang
bersangkutan, meliputi produk-produk sejenis yang ada dan
produk-produk substitusinya.
d) Menganalisis biaya produksi atau harga pokok dan biaya
pemasaran secara keseluruhan.
e) Melakukan optimalisasi produk, termasuk modifikasi atau
penyempurnaan produk serta biaya dan volume produksi
dengan berkomunikasi secara intensif dengan para pelaku
usaha kecil dan menengah.
f) Merumuskan
strategi
pemasaran
terpadu,
antara
lain
mengenai jenis dan produk dan fiturnya, harga jual, serta
promosi, dan distribusi yang sesuai.
g) Melakukan
sosialisasi
dan
menjadikan
sebagai
alat
komunikasi dan kerja sama dengan para pelaku usaha kecil
dan menengah.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
72
2. Pemilihan dan Pengembangan Pasar
Sesuai dengan peran utamanya, Trading House harus mampu
untuk memilih dan mencari target pasar yang sesuai bagi
produk UKM yang terpilih dalam skema Trading House.
Pemilihan pasar dipertimbangkan pada potensi pasar (daya
serap/volume kebutuhan konsumen) dan daya saing produk,
dan kondisi persaingannya, di samping pertimbangan sinergitas
dari poduk-produk hasil usaha kecil dan menengah yang
dipasarkan.
Selanjutnya,
sebagai
pendapatan
penjualan,
upaya
peningkatan
volume
dan
pengembangan pasar merupakan
langkah yang harus ditempuh melalui beberapa cara oleh
Trading House. Pemilihan dan pengembangan pasar tersebut
termasuk melakukan riset pasar terkait selera dan preferensi
konsumen, serta daya saing produk di pasar terpilih, terhadap
produk-produk pesaing terkait dengan fitur produk (masalah
warna, design, bentuk dan sebagainya), serta harga dan
elemen-elemen pemasaran lainnya.
Dalam menjalankan peran Trading House tersebut, maka beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan secara ringkas
adalah sebagaimana di bawah ini.
a) Dilakukan pencermatan terhadap beberapa pasar potensial,
dengan mengenali berbagai segmen yang terkait dengan
produk-produk yang akan dipasarkan. Selanjutnya dipilih
pasar sasaran awal yang sebagai pijakan strategis dalam
pengembangan pasar selanjutnya.
b) Pada pasar sasaran yang terpilih, langkah pemasaran
diawali dengan kegiatan promosi untuk wilayah pasar yang
bersangkutan sesuai dengan bauran promosi yang sesuai.
Kegiatan promosi secara
konsisten
dilakukan
sampai
produk/produk-produk dikenal dan memiliki posisi yang
mapan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
73
c) Secara konsisten dilakukan langkah-langkah penetrasi pada
pasar yang bersangkutan sehingga mencapai tingkat pangsa
pasar yang optimal dan profitable dengan menerapkan
taktik-taktik pemasaran yang sesuai untuk menerapkan
strategi pemasaran yang telah ditetapkan.
d) Selanjutnya, dengan mempertimbangkan segmen-segmen
yang ada pada wilayah yang bersangkutan, dilakukan
pengembangan pasar, yakni menyesuaikan taktik-taktik
pemasar melayani segmen-segmen pasar yang lainnya.
e) Langkah pengembangan pasar diteruskan ke wilayah atau
negara
lain
dengan
melakukan
langkah-langkah
sebagaimana diuraikan dalam butir a) sampai dengan butir
d).
3. Pemilihan dan Pengembangan Produk
Selain
melakukan
pemilihan
dan
pengembangan
pasar,
Trading House juga harus mampu memilih produk yang akan
dipasarkan di negara tertentu. Potensi, Kegunaan, dan
keunggulan
produk
merupakan
aspek
penting
yang
dipertimbangkan dalam memilih produk yang akan dipasarkan
pada pasar yang memerlukannya. Di samping itu, kesesuaian
dengan
masalah
pertimbangan
standar
lanjutan
dan
untuk
regulasi
lain
merupakan
mencapai
keberhasilan
pemasaran.
Dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh
para pelaku usaha UKM sebagai produsen, pengembangan
produk perlu secara konsisten direncanakan dan dilaksanakan.
Tujuan
pokok
meningkatkan
dari
dan
langkah
ini
ada
mempertahankan
dua,
daya
yaitu
untuk
saing,
serta
merespon kebutuhan konsumen sesuai dengan perilakunya
dan
gaya
hidup
yang
berkembang.
Dengan
demikian,
pengembangan produk dilaksanakan berdasarkan:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
74
 Kondisi/dinamika persaingan, antara lain perkembangan
produk-produk pesaing dan produk-produk substitusi, baik
design,
bahan,
fitur,
dan
kelengkapannya;
maupun
perubahan harga jual.
 Umpan
balik
dan
saran-saran
atau
permintaan
dari
konsumen.
 Perubahan kondisi ketersediaan bahan baku dan bahanbahan pembantu.
 Perubahan teknologi yang terkait dengan proses produksi
dan pemasaran produk.
Sebagai contoh, Trading House melihat potensi bahwa negara
Amerika Latin memiliki pasar yang cukup besar untuk furnitur
rotan, dan dari hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa ada
beberapa design produk yang laku di negara tersebut, maka
kemudian bagian produksi memberikan informasi kepada
produsen UKM untuk mengembangkan produk menghasilkan
produk sesuai dengan spesifikasi di pasar Amerika Latin.
4. Pelaksana Promosi
Promosi merupakan tahapan yang sangat penting di dalam
komunikasi dan penyampaian pesan-pesan bisnis. Tahapan ini
merupakan ujung tombak dalam pemasaran produk, karena
akan mengalirkan informasi tentang produk, manfaat produk,
dan
keunggulannya
dalam
upaya
memenuhi
kebutuhan
konsumen. Secara tidak langsung pelaksanaan promosi juga
akan menjadi pintu masuk aliran informasi mengenai preferensi
mereka terhadap produk-produk yang diperlukan.
Trading House harus dapat berperan aktif dalam melakukan
promosi melalui berbagai media terpilih yang telah disesuaikan
dengan pasar yang menjadi target. Oleh karena itu, setiap
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
75
pasar dimungkinkan dapat memiliki media promosi yang
berbeda bergantung pada produk dan preferensi konsumen.
Menetapkan bauran promosi (promotion mix), merencanakan
pelaksanakaan, dan melakukan promosi merupakan rangkaian
kegiatan yang harus ditangani Trading House. Promosi dan
riset pasar sangat penting bagi keberhasilan bisnis, karena
hidup matinya perusahaan ditentukan oleh respon pasar
terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Tetapi secara
langsung kedua hal tersebut tidak dapat dilakukan secara
efektif oleh para pelaku usaha kecil dan menengah
selaku
produsen. Oleh karena itu kegiatan ini harus diambil alih oleh
Trading House bersama-sama pemerintah yang berkewajiban
melindungi usaha kecil dan menengah.
Oleh karena itu, Trading House juga harus mampu berperan
sebagai pusat informasi pasar dan agen promosi bagi UKM.
Menurut Biesebroeck et al. (2010), perusahaan menghadapi
kendala yang cukup besar dalam memasarkan produknya,
yaitu kendala berupa pengeluaran sunk cost untuk memperoleh
informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan distribusi,
identifikasi pelanggan, dan promosi. Kegiatan tersebut cukup
berisiko, karena jika riset pasar dan promosi mengalami
kegagalan, selain tidak mendapatkan pasar atau pelanggan
baru, perusahaan juga akan kehilangan biaya tersebut. Baik
perusahaan besar maupun UKM cenderung memilih untuk
bekerjasama dengan perusahaan perantara, seperti Trading
House sehingga memperoleh keuntungan mendapat pasar
baru atau akses ke pasar peripheral (de Geer, 1998). Cakupan
area kerja Trading House sebagai pusat informasi pasar dan
agen promosi antara lain:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
76

Merumuskan Bauran Promosi
Sebagai kegiatan yang sangat penting bagi Trading House,
promosi dapat meningkatkan nilai dan citra produk dari UKM
mitra dalam bersaing dengan produk sejenis yang diproduksi
oleh perusahaan lain. Dengan demikian, promosi yang
dilakukan secara efektif dan efisien diharapkan mampu
meningkatkan
penjualan
produk-produk
UKM
serta
mengoptimalkan keuntungan dengan biaya yang relatif rendah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah utama yang perlu
dilakukan oleh Trading House adalah menetapkan strategi
promosi melalui perumusan bauran promosi yang efektif.
Menurut Kotler dan Keller (2008) unsur bauran promosi terdiri
atas lima perangkat utama, yaitu:
a) Advertising: merupakan semua penyajian pesan bisnis
non personal, dengan menyampaikan ide-ide, tentang
produk atau jasa yang dilakukan sponsor tertentu (yang
dibayar) melalui media-media publik.
b) Sales Promotion: kegiatan pengenalan produk kepada
konsumen disertai berbagai insentif jangka pendek untuk
mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu
produk atau jasa.
c) Direct marketing: penggunaan surat, telepon, faksimil, email dan alat penghubung nonpersonal lain untuk
berkomunikasi
secara
langsung
dengan
atau
mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan tertentu
dan calon pelanggan.
d) Personal Selling: Interaksi langsung dengan calon pembeli
atau lebih untuk melakukan suatu presentasi tentang
suatu produk, serta menjawab langsung dan menerima
pesanan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
77
e) Public relation and publicity: berbagai program untuk
mempromosikan dan/atau melindungi citra perusahaan
atau produk individualnya.
Terkait dengan pemasaran produk-produk dari usaha kecil dan
menengah, yang umumnya berupa hasil kerajinan dan
busana/fashion bercirikan ke-Indonesia-an, maka promosi
sebagaimana pada uraian b), c) dan d) perlu mendapat porsi
yang lebih besar, tanpa menghilangkan kemungkinan untuk
melaksanakan cara a) dan e). Di samping itu, karakteristik
produk dan kondisi persaingan juga akan berpengaruh
terhadap rumusan Bauran promosi tersebut.
Dalam merumuskan bauran promosi, Trading House perlu
mempertimbangkan produk apa yang akan dipromosikan serta
siapa pasar yang akan dibidik. Hal ini karena setiap produk dan
konsumen memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga,
bauran promosi yang dipilih dapat berbeda.

Melaksanakan Kegiatan Promosi dan Komunikasi dengan
calon pembeli
Setelah bauran promosi ditetapkan, selanjutnya Trading House
diharapkan dapat melakukan kegitan promosi secara aktif.
Selain itu, Trading House juga perlu membangun komunikasi
yang baik dengan calon pembeli terkait produk-produk yang
dipromosikan. Komunikasi tersebut juga dapat difungsikan
sebagai pengukur dampak promosi yang telah dilakukan,
menerima respon calon pembeli mengenai produk yang
dipromosikan, jumlah calon pembeli yang berminat membeli
produk yang dipromosikan, dan berapa banyak calon pembeli
yang menyukai produk yang dipromosikan. Melalui komunikasi
tersebut, dapat diketahui tingkat efektivitas promosi yang telah
dilakukan serta memungkinkan Trading House untuk mendapat
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
78
konsumen yang tepat dengan penyempurnaan promosi pada
waktu, pasar, dan biaya promosi yang tepat.

Kerjasama dengan ITPC/Atdag dan Instansi Terkait lain
Untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan efisiensi
pelaksanakan promosi, salah satu tugas penting dalam
kegiatan
pemasaran
dalam
suatu
perusahaan
adalah
membangun hubungan dengan perusahaan lokal, pemerintah,
serta stakeholder lainnya di negara pasar sasaran. Namun,
tugas ini membutuhkan biaya yang cukup besar serta
memakan waktu cukup lama, sehingga perusahaan menjadi
ragu dalam menjalankannya. Oleh karena itu, di dalam kegiatan
promosi,
Trading
House
diharapkan
dapat
melakukan
kerjasama dengan ITPC/Atdag dan mitra instansi terkait
lainnya.
ITPC/Atdag
memiliki
tugas,
pokok,
dan
fungsi
mengenai pengembangan jaringan kerjasama dengan berbagai
pihak serta analisis pasar. Dengan demikian, kerja Trading
House akan menjadi lebih efektif dalam melayani UKM mitra.
 Menyusun rencana dan melaksanakan Riset Pasar
Hasil riset pasar merupakan sumber informasi penting bagi
perusahaan dalam beberapa aspek operasional bisnis antara
lain perancangan produk, pelaksanaan promosi, pengelolaan
transaksi penjualan, serta delivery produk kepada para
konsumen. Di samping itu, riset pasar juga dapat mengungkap
kondisi calon pasar, antara lain daya serap/volume kebutuhan,
kondisi persaingan, dan dinamika respon pasar terhadap
berbagai tatik pemasaran.
Dalam hal riset pasar, beberapa peran Trading House
mencakup penyusunan rencana dan pelaksanaan riset pasar.
Pemilihan pasar yang dibidik harus berdasarkan kriteria yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
79
tepat dan jelas sesuai hasil riset pasar, dan ini tentu akan
berbeda untuk setiap produk. Beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dalam mengelola riset pasar, antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Pada
tahapan
awal,
Trading
House
harus
mampu
mengidentifikasi produk ekspor, kegunaan, serta keunggulan
komparatifnya.
2) Selanjutnya perlu diidentifikasi perilaku konsumen dan
preferensinya terhadap jenis produk yang bersangkutan,
sehingga diketahui karakteristik segmen-segmen pasar yang
ada.
3) Diidentifikasi pula kondisi calon pasar sasaran, antara lain
mencakup daya serap produk, kondisi persaingan, dan
karakteristik respon pasar terhadap taktik pemasaran.
4) Selain itu, Trading House juga harus dapat mendefinisikan
karakteristik-karakteristik pasar yang sesuai untuk produk
tersebut.
Oleh karena itu, Trading House harus memiliki akses terhadap
informasi-informasi tersebut melalui pelaksanaan riset pasar.
Riset pasar yang dilakukan Trading House harus komprehensif,
meliputi kriteria kuantitatif dan kualitatif. Kriteria kuantitatif
meliputi shipping cost, jumlah pesaing, harga produk pesaing,
serta hambatan perdagangan. Sementara kriteria kualitatif
meliputi selera konsumen, culture konsumen, dan kondisi politik
pasar. Selain itu, riset pasar juga diharapkan mampu mencakup
analisa risiko maritim dan fluktuasi mata uang, menentukan
mode dan rute transportasi barang dengan biaya yang rendah
namun tetap menjaga keamanan dan kualitas barang, serta
spesifikasi barang yang memenuhi kebutuhan pasar, standar
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
80
dan peraturan namun tetap sesuai dengan kemampuan UKM
mitra.
 Monitoring dan Evaluasi Pasar
Kondisi pasar akan terus berubah secara dinamis dengan
berjalannya waktu, antara lain akibat dari berbagai perubahan
yang terjadi pada produk, persaingan, aktivitas/perubahan tatik
pemasaran,
dan
faktor-faktor
makro
pada
pasar
yang
bersangkutan. Oleh karena itu, pasar yang sudah ada perlu
terus dimonitor dan dievaluasi oleh Trading House. Kegiatan
monitoring dan evaluasi pasar tersebut berguna untuk menjaga
dan memperbarui informasi komersial masing-masing produk
dan
pelaksanaan
berbagai
aktivitas
pemasaran
untuk
merespon perkembangan pasar, sehingga sasaran pemasaran
dapat tercapai.
Di samping itu monitoring dan evaluasi pasar juga dapat
memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang timbul,
baik untuk keberhasilan produk yang dipasarkan dengan cara
penyempurnaan, maupun untuk meluncurkan produk-produk
lain yang belum ada di pasar yang bersangkutan.
Beberapa parameter yang dimonitor dan dievaluasi antara lain:
a) Perkembangan harga produk;
b) Volume penjualan produk termasuk produk Trading House
dan pesaingnya;
c) Jumlah merk dan ukuran kemasan
d) Kemunculan produk sejenis dan produk Substitusi serta
hilang/menyusutnya beberapa produk.
e) Perkembangan model kemasan, ragam label, dan fitur
produk, serta saluran distribusi/outlet penjualan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
81

Kerjasama dengan lembaga riset
Disadari
sepenuhnya
bahwa
Trading
House
memiliki
keterbatasan sumberdaya untuk dapat melakukan kegiatan
riset pasar yang akurat dan mutakhir. Padahal, kegiatan ini
merupakan faktor penting bagi keberhasilan pemasaran secara
integral dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan
demikian menjalin kerjasama dengan lembaga riset, terutama
lembaga riset pemerintah merupakan suatu keharusan untuk
dapat memperoleh hasil riset yang baik. Lembaga riset pada
umumnya memiliki SDM yang kompeten dan peralatan yang
memadai, sehingga efektivitas, efisiensi, dan akurasinya akan
jauh lebih baik dibanding jika dilaksanakan oleh Trading House
secara sendirian.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada UKM mitra, salah satu
cara yang dapat dipilih oleh Trading House adalah kerjasama
dengan lembaga riset, mengingat Riset pasar membutuhkan
biaya dan waktu yag tidak sedikit. Dengan bekerja sama
dengan lembaga riset, Trading House dapat melakukan
efisiensi waktu dan biaya.
Beberapa hal yang harus dikomunikasikan dengan baik, antara
lain:
a) Potensi produk yang akan dipasarkan
b) Calon konsumen yang potensial
c) Beberapa negara atau segmen pasar yang mungkin ada
terkait dengan jenis produk, manfaat, dan Keunggulan
komparatifnya.
d) Beberapa
informasi
lain
yang
diperlukan
dalam
pemasaran produk, terkait dengan perilaku konsumen,
kondisi sosial ekonomi dan budaya negara tujuan ekspor,
dan sebagainya.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
82
 Mengelola umpan balik dari pembeli dan mitra
Pembelajaran secara langsung melalui pengalaman dalam
melayani
konsumen
memperkaya
akan
sangat
dan meningkatkan
baik
dalam
upaya
kompetensi perusahaan.
Dalam hal ini, Trading House juga harus mengelola umpan
balik dari pembeli dan mitra. Tanggapan dan sikap konsumen
terhadap produk dan pembelian produk merupakan informasi
berharga dalam upaya pengembangan produk dan pelayanan
kepada pembeli. Opini, permintaan/tuntutan, dan saran-saran
yang diberikan oleh pembeli harus dicatat/didokumentasikan
dan dievaluasi serta dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya hasil
analisis dapat ditindaklanjuti dalam proses produksi dan
pemasaran, baik dalam aspek perbaikan dan pembenahan
produk dan sistem pemasaran, maupun dalam pengembangan
produk dengan memperkaya fitur, menyempurnakan design,
atau dalam aspek lain yang dapat meningkatkan kepuasan dan
nilai gunanya bagi pelanggan.
Di samping itu, kegiatan pengelolaan umpan balik tersebut
bertujuan untuk menanggapi dan menyelesaikan klaim dari
konsumen. Dengan cara ini, Trading House dapat memastikan
bahwa hubungan dengan konsumen dan mitra berjalan mulus.
Pengelolaan umpan balik juga dapat menjadi masukan bagi
Trading House atau UKM mitra dalam hal memberikan aftersales service bagi para pelanggannya.
5. Pengelolaan Transaksi Penjualan
Penjualan
produk
merupakan
tujuan
utama
kegiatan
pemasaran dan hal ini terjadi setelah ada pemahaman dan
kesepakatan dari konsumen untuk menggunakan produkproduk yang ditawarkan oleh Trading House. Transaksi
penjualan dapat terjadi pada saat promosi diselenggarakan,
sehingga promosi juga dapat terintegrasi dan harus mencakup
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
83
pengelolaan dalam melakukan transaksi penjualan. Namun,
transaksi penjualan akan terpisah dengan kegiatan promosi,
sehingga harus ditangani dengan sistem yang tepat dan
dilaksanakan
secara
professional.
Sistem
harus
dapat
menangani transaksi secara face to face pada outlet atau di
lokasi yang disepakati, secara jarak jauh melalui order yang
jelas atau melalui transaksi online.
Kejelasan produk yang dipesan/dibeli, termasuk model/tipe dan
ukuran, volume pembelian, pengemasan, cara pembayaran,
cara
pengiriman,
dan
lokasi
serta
tujuan
Pengiriman.
Pengaturan penyiapan barang pesanan, pengecekan, dan
pemeriksaan barang serta pembayarannya merupakan aspek
penjualan yang harus ditangani dengan baik.
Dalam kaitannya dengan penanganan transaksi penjualan,
bagian promosi juga harus dapat menjembatani dan membantu
buyer di luar negeri untuk memilih media pembayaran serta
media pengiriman barang yang akan digunakan. Sebagai
contoh, untuk media pembayaran yang akan digunakan tentu
harus menguntungkan kedua belah pihak yaitu pihak Trading
House dan buyer di luar negeri. Bagi Trading House,
pengelolaan penjualan harus menjamin adanya kepastian
waktu pembayaran serta kemudahan dan keamanan dalam
melakukan transaksi sehingga dapat meminimalisir resiko gagal
bayar bagi produsen dalam negeri. Sementara bagi buyer,
pengelolaan penjualan harus menjamin waktu dan kepastian
pengiriman
barang
serta
barang
yang
dikirimkan
telah
memenuhi spesifikasi dan segala persyaratan kepabeanan.
6. Pengaturan Logistik dan Distribusi
Untuk mendukung tata kelola transaksi penjualan, maka harus
didukung dengan pengaturan logistik dan distribusi yang cukup
baik. Trading House harus memilih dan mengatur media
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
84
distribusi
dan
logistik
yang
akan
digunakan
dengan
mempertimbangkan: 1) Keamanan dan ketepatan waktu
pengiriman; 2) Media yang digunakan memiliki biaya yang
cukup efisien; 3) Kualitas dari barang dapat tetap terjaga, serta
4) Administrasi kepabeanan yang diperlukan telah terpenuhi.
Sesuai dengan karakter masing-masing produk dan perilaku
para konsumen, pembelian pada tingkat konsumen dapat
terjadi dalam dua sifat. Kategori yang pertama adalah membeli
dan segera digunakan atau dikonsumsi, sehingga para
konsumen akan membeli produk yang telah tersedia. Kategori
yang kedua adalah dengan cara memesan terlebih dahulu
untuk digunakan pada waktu kemudian. Untuk mengatasi
kedua hal tersebut, maka Trading House harus memiliki sistem
pengelolaan Persediaan (stok) minimal, agar dapat melayani
konsumen dengan baik. Prinsip Just in time tetap diterapkan,
namun tentu secara luwes harus dapat menjaga keseimbangan
antara modal kerja dan kecukupan persediaan.
Untuk dapat memenuhi kelompok permintaan konsumen
kategori
pertama,
maka
secara
dinamis
pengelolaan
persediaan perlu dilakukan di tiga titik yang penting, yaitu (i) di
negara-negara tujuan ekspor yang dapat dilakukan oleh
importir (mitra bisnis) atau oleh agen; (ii) di gudang dalam
negeri; dan/atau (iii) di tempat penyimpanan produsen, dalam
hal ini adalah para pelaku usaha kecil dan menengah, jika
mudah dalam operasi pengumpulan dan pengiriman, serta
penyimpanan dapat dilakukan oleh produsen.
6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi
Sesuai dengan sasaran pengembangan Trading House yang
akan diawali dengan penanganan industri kecil dan menengah,
maka Trading House akan berhubungan dengan banyak sekali
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
85
produsen serta mitra bisnis yang berasal dari perusahaan
swasta, BUMN, usaha perorangan, dan instansi pemerintah.
Dalam konstelasi yang demikian, keberhasilan akan sangat
ditentukan oleh dua hal utama, yaitu distribusi informasi yang
cepat dan tepat, serta kontribusi yang efektif dan efisien oleh
masing-masing pihak sesuai peranan dan kewenangannya.
Pada faktanya, salah satu kendala UKM dalam melakukan
ekspor adalah kurangnya akses informasi baik kepada pembeli,
pemerintah maupun mitra pendukung lainnya. Pasalnya UKM,
terutama UKM yang baru akan merambah pada tujuan ekspor
kerap
diharapi
berbagai
kendala
seperti
pemahaman
preferensi, perilaku konsumen dan informasi produk, khusunya
mengenai spesifikasi dan standar produk. Selain itu, UKM juga
kerap tidak memiliki akses jaringan/network yang cukup
terhadap pihak lainnya, seperti pemerintah selaku regulator dan
mitra pendukung. Oleh karena itu, salah satu fungsi strategis
Trading
House
dalam
mendorong
ekspor
UKM
adalah
membangun jaringan serta mendistribusikan informasi antara
UKM dan stakeholder lainnya.
Dengan demikian, pengembangan Trading House harus sangat
memperhatikan masalah networking dan komunikasi dengan
berbagai pihak yang menentukan keberhasilan proses produksi
dan pemasaran, di samping menangani promosi, penjualan,
dan distribusi, serta transaksi penjualan. Pada posisinya
sebagai trader/mediator aliran barang dan jasa dari produsen
kepada pembeli, dan aliran finansial dari pembeli kepada
produsen, ada empat kelompok yang harus dilayani melalui
komunikasi yang baik dan jejaring kerja yang efektif. Keempat
kelompok tersebut memiliki karakteristik komunikasi dan tata
kerja yang berbeda, sesuai dengan peranan masing-masing
(Gambar 6.2).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
86
Gambar 6.2 Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi
Trading House
Kelompok yang pertama adalah kelompok pelaku usaha kecil
dan menengah sebagai produsen barang dan jasa, yang antara
lain jumlahnya sangat banyak, keinginan dan kemampuannya
beragam, memiliki sumber daya yang sangat terbatas, serta
kemampuan akses informasi dan pasar sangat kecil. Dengan
demikian, beberapa informasi yang perlu disampaikan Trading
House kepada UKM antara lain: (i) jenis produk yang memiliki
permintaan yang tinggi di luar negeri; (ii) rancangan produk
mencakup desain produk itu sendiri dan packaging; (iii)
teknologi produksi yang efisien; (iv) volume dan harga produk;
dan (v) persyaratan dan mutu.
Kelompok yang kedua adalah buyer, terutama yang berada di
manca
negara.
Sebagai
pembeli
tentu
menginginkan
memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terkait dengan
produk yang ditawarkan kepada mereka. Hal demikian
merupakan aspek penting dalam pembuatan keputusan untuk
memilih dan membeli produk. Dengan demikian, dalam
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
87
berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pembeli, Trading
House perlu menyampaikan beberapa hal yakni katalog produk,
volume dan harga, fitur produk dan jaminan atau konsistensi
mutu.
Disamping
berkomunikasi
kepada
dua
kelompok
yang
merupakan lini dari proses pertukaran manfaat antara produsen
dan konsumen tersebut, Trading House juga harus berperan
sebagai penghubung jaringan dan distribusi informasi bukan
hanya antara UKM dan pembeli saja. Namun stakeholder
terkait lainnya seperti pemerintah dan mitra pendukung yang
tergabung dari pemasok bahan baku, Atase perdagangan dan
ITPC, asuransi, dan lembaga keuangan. Kepada instansi
pemerintah (kelompok ketiga), koordinasi antara Trading House
dan pemerintah mencakup kebijakan dan regulasi serta
bantuan untuk UKM.
Hal
demikian
akan
menjadi
faktor
penting
dalam
pengembangan kompetensi para pelaku usaha kecil dan
menengah, mengingat tidak memungkinkan bagi Trading
House
untuk
melakukan
pembinaan
sepenuhnya
dan
memberikan bantuan semua yang diperlukan oleh usaha kecil
dan menengah. Trading House perlu memberikan informasi
yang jelas tepat, dan mutakhir mengenai kondisi pasar ekspor
dalam kaitannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh
usaha
kecil
dan
menengah
sedemikian
rupa
sehingga
merupakan masukan yang tepat bagi instansi terkait untuk
membuat regulasi yang melindungi terhadap produk dan
kegiatan ekonomi para pelaku usaha kecil dan menengah.
Disamping itu, juga merupakan informasi bagi pmerintah untuk
menetapkan kebijakan yang membantu kompetensi dan
prasarana lain yang diperlukan untuk pengembangan usaha
kecil dan menengah.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
88
Adapun terhadap kelompok ke-empat, yaitu para pemasok
barang dan jasa kepada para pelaku usaha kecil dan
menengah
dan Trading House, komunikasi dan koordinasi
yang sesuai dengan peran mitra pendukung antara lain
dengan: (i) pemasok mencakup bahan baku dan komponen; (ii)
Atdag dan ITPC terkait persyaratan kemasan di negara tujuan,
mekanisme pengiriman dan kegiatan promosi; (iii) asuransi
terkait keperluan asuransi atau perlindungan finansial; (iv)
lembaga keuangan terkait fasilitas modal atau avalis. Melalui
fungsi intermediasi informasi yang kuat, maka keempat elemen
stakeholder akan menjadi satu jaringan yang solid dan
terintegrasi.
6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk
Dalam
kaitannya
memenuhi
kebutuhan
konsumen,
perancangan produk merupakan induk dari rangkaian proses
operasional suatu organisasi/perusahaan. Proses manufaktur,
perencanaan produksi, proses dan pengujian kualitas yang
didasarkan
pada
sifat
suatu
produk
sesuai
dengan
rancangannya. Bahkan logistik dan pengiriman suatu produk
didasarkan pada bagaimana dan produk apa yang telah
dirancang.
perencanaan
Dengan
demikian
merupakan
dapat
cetak
dinyatakan
biru
bahwa
(blueprint)
bagi
keberhasilan suatu perusahaan.
Dalam suatu perusahaan, perencanaan harus dimulai dengan
konsep yang memiliki dasar pendukung yang jelas, mampu
memberikan nilai kepada konsumen, dan menghasilkan laba
atas investasi, serta meningkatkan daya saing perusahaan.
Secara
operasional, perencanaan
produk
akan
memiliki
dampak langsung pada bahan baku dan komponen yang akan
digunakan, suplier yang ditugaskan, mesin dan proses seperti
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
89
yang digunakan untuk membuatnya, di mana akan disimpan,
dan bagaimana produk ekspor tersebut akan didistribusikan.
Perancangan dan pengembangan produk pada umumnya
dilaksanakan berdasarkan kebijakan kualitas dan harga. Hasilhasil survei pasar dapat memberikan informasi mengenai
sasaran
perancangan
produk
dalam
aspek
fungsional,
operasional, kehandalan, dan persyaratan daya tahan dan
kemungkinan.
Pemilihan
ruang
lingkup
fungsional
dan
penerapan standardisasi, penyederhanaan, dan prinsip-prinsip
spesialisasi ternyata terkait erat dengan efisiensi pabrik dan
untuk laba bersih sehingga harus menjadi bagian integrasi dari
kebijakan manajemen.
Nilai ekonomi dari suatu produk baru yang diusulkan atau
model baru harus dianalisis untuk menentukan ukuran pasar
yang
akan
disesuaikan
dengan
produksi.
Pertimbangan
estetika datang biasanya pada stadium lanjut, tapi kadangkadang dapat menjadi faktor dominan dalam desain, terutama
dengan barang-barang konsumsi. Akhirnya, pengembangan
produk dan desain harus dilakukan dengan hubungan dekat
dengan departemen produksi, dalam rangka untuk memastikan
bahwa bahan yang tepat dan proses yang digunakan dan yang
implikasinya dianggap pada tahap cukup awal.
Hal-hal tersebut di atas sudah menjadi suatu keharusan dan
mudah dilaksanakan dalam suatu perusahaan, yang bahkan
akan menjadi prosedur operasi baku yang dilaksanakan secara
rutin. Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Trading
House dengan prosedur baku yang
persis sama, karena
pelaksana produksi dan perancangan berada pada organisasi
yang terpisah. Oleh karena itu dalam menjalankan perannya,
Trading
House
mengelola
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
proses
perancangan
dan
90
pengembangan produk sesuai alur proses sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 6.3. di bawah ini.
Gambar 6.3 Bagan Alur Perancangan dan Pengembangan
Produk Trading House
Gambar
6.3
tersebut
menginformasikan
hubungan
dan
keterkaitan antar berbagai pihak dalam proses perancangan
produk yang diharapkan akan mampu memenuhi preferensi
dan kebutuhan konsumen. Secara ringkas hubungan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Sesuai dengan uraian di atas, perancangan produk
harus dimulai dari hasil riset pasar dan pemahaman atas
kebutuhan konsumen terkait dengan manfaat produk
yang akan ditawarkan kepada mereka.
b) Riset pasar dilakukan untuk mengumpulkan informasi
dari beberapa informan kunci, antara lain dari: (i)
konsumen yang akan menggunakan produk yang
bersangkutan; (ii) mitra usaha yang memasok bahan,
barang, dan jasa; dan (iii) instansi pemerintah yang
terkait dengan UKM dan produk yang dihasilkan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
91
c) Atas dasar hasil riset pasar, maka secara sendiri atau
bersama-sama dengan para pelaku usaha kecil dan
menengah,
Trading
House
melakukan
proses
perancangan produk, dengan tahapan utama sebagaimana telah diuraikan di atas.
d) Aspek utama yang akan dihasilkan antara lain meliputi:
jenis produk dan rancang bangunnya, fitur, mutu/grade,
dan
teknologi
untuk
menghasilkannya.
Teknologi
produksi ini akan mencakup aspek bahan baku dan
bahan
pembantu,
peralatan,
dan
tahapan
proses
produksinya.
e) Dalam pelaksanaan produksi setelah rancangan jadi,
juga perlu direncanakan secara lebih pasti mengenai
volume produksi, jadwal produksi, harga/biaya produksi,
serta kerjasama dengan pihak-pihak terkait.
f) Rancangan ini juga harus diinformasikan secara tepat
waktu kepada instansi pemerintah dan mitra kerja.
Pemerintah diharapkan secara antisipatif memberikan
bantuan pelatihan dan fasilitas kepada para pelaku
usaha
kecil
dan
menengah
untuk
keberhasilan
produksinya. Para mitra pemasok dapat merencanakan
barang dan jasa yang sesuai dengan rancangan produk
tersebut.
g) Selanjutnya Trading House dapat memberikan bantuan
pula kepada para pelaku usaha kecil dan menengah
yang akan menghasilkan produk yang telah dirancang
tersebut. Bantuan dapat berupa pelatihan in situ,
pendampingan proses produksi, dan problem solving
atas masalah yang timbul, serta bantuan lainnya yang
memungkinkan. Secara teknis, proses perancangan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
92
produk dapat dilakukan dengan cara sebagaimana dirinci
dalam uraian di bawah ini.
1. Analisis Produk
Berbagai faktor dapat dianalisis terkait perancangan dan pengembangan, faktor yang berbeda dalam karakter dan
kompleksitas, faktor yang bergabung dengan bidang yang
berbeda pada produksi dan teknik industri. Beberapa faktor
tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
a. Aspek pemasaran
b. Karakteristik produk
 Aspek fungsional
 Aspek operasional
 Aspek ketahanan dan kehandalan, dan
 Nilai estetik
c. Analisis ekonomi
 Pertimbangan keuntungan
 Dampak
standardisasi,
penyederhanaan,
dan
spesialisasi, dan
 Analisis break-even
d. Aspek produksi
Semua faktor tersebut saling terkait dan masing-masing
menyajikan banyak masalah yang harus dipertimbangkan
dengan cermat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6.4.
riset
pasar
dapat
memandu
pencipta
produk
dalam
pekerjaan mereka untuk meningkatkan produk yang sudah
ada atau untuk mengembangkan yang baru. Desain dan
karakteristiknya harus menjalani analisis ekonomi dan harus
dipelajari dalam terang fasilitas produksi yang tersedia dan
teknik. Analisis penetapan biaya secara alami tergantung
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
93
pada volume penjualan; maka desain disarankan harus
dievaluasi kembali oleh riset pasar sehingga perkiraan
penjualan dapat bekerja. Volume penjualan diharapkan
dapat menjadi dasar untuk studi lebih lanjut dari aspek
metode produksi, dan analisis ekonomi harus dicek dan
mungkin diubah. Dengan demikian pengembangan produk
dan desain adalah contoh yang sangat baik dari saling
ketergantungan dari banyak faktor yang harus disesuaikan
dan diintegrasikan dalam komposisi akhir.
Gambar 6.4. Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam
Perencanaan dan Pengembangan Produk
2. Kerangka Kerja Untuk Perencanaan Produk
Perencanaan proses dapat dilihat sebagai latihan interaktif
dimana berbagai hambatan diselesaikan satu per satu dan
secara berurutan; kemudian setelah setiap tahap, atau
mungkin setelah beberapa tahap, tahap sebelumnya kembali
diperiksa
untuk
melihat
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
apakah
langkah
tersebut
94
mempengaruhi cara terbaik di mana langkah-langkah
tersebut harus dirancang.
Gambar 6.5. Urutan Proses Kerja Perencanaan
a. Perencanaan Produk
Perencanaan produk berfungsi sebagai masukan untuk
proses desain produk. Namun, dalam banyak kasus
tanggung
jawab
untuk
fase
tersebut
terletak
dalam
kelompok-kelompok, seperti pemasaran dan teknik, yang
pada umumnya ditemukan di luar domain proses desain.
Pada tahap awal, kebutuhan yang dibutuhkan konsumen
mulai diidentifikasi.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
95
Jika proses berorientasi pada layanan, maka kebutuhan
akan tercermin dengan kualitas, kecepatan, biaya, dan
keandalan layanan. Jika di sisi lain, proses berorientasi
manufaktur, dari kebutuhan tersebut akan tercermin dalam
diusulkan kualitas, biaya, fungsi, keandalan dan penampilan
produk.
Pada saat layanan atau produk parameter tersebut diubah
menjadi produk, desain, penting diketahui bahwa aliansi
lintas-fungsional antara produk, perencanaan dan proses
kelompok desain dibentuk untuk memastikan bahwa tujuan
produk dapat menguntungkan. Jika tidak, maka hanya tujuan
lokal yang dapat dikejar. Sebagai contoh, departemen
pemasaran dan teknik bekerja sendirian maka mungkin
rancangan produk yang sangat mahal untuk diproduksi dan
sangat sulit untuk dilayani.
Secara
singkatnya,
proses
transformasi
harus
dipertimbangkan dengan baik sebelum desain selesai.
Informasi dari tahap pengembangan produk dapat diarahkan
untuk unit yang bertanggung jawab untuk proses penelitian
dan pengembangan (R & D). Unit tersebut pada gilirannya
dapat menentukan apakah kemampuan proses untuk produk
tersebut sekarang ada di dalam perusahaan, apakah itu ada
di luar perusahaan atau apakah penelitian dan upaya
pengembangan akan diperlukan untuk memenuhi tujuan
tertentu.
Perkiraan biaya kasar juga dibuat untuk setiap alternatif
diidentifikasi. Pada perusahaan besar, departemen khusus R
& D dapat diselenggarakan hanya untuk tujuan tersebut.
Namun pada perusahaan-perusahaan kecil, fungsi tersbeut
kurang formal dan lebih ketergantungan akan ditempatkan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
96
pada pemasok luar peralatan pengolahan dan teknik
perusahaan.
Sebagai proses fase R & D berlangsung, informasi umpan
balik kepada kelompok pengembangan produk. Jika R &
grup D akan dapat memenuhi spesifikasi produk, maka
tahap desain produk akhir dapat dimulai. Jika ada masalah,
namun,
dalam
memenuhi
spesifikasi
produk,
maka
modifikasi dalam tahap pengembangan produk harus terjadi.
Informasi dari kedua produk akhir desain dan proses R & D
merupakan masukan untuk tahap desain proses.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan cara-cara
alternatif untuk memenuhi tujuan diformalkan dalam tahap
desain akhir, menentukan kriteria yang mereka akan
dievaluasi, dan membuat seleksi akhir.
b. Desain Proses: Makro
Proses desain dalam hal makro terdiri dari dua aspek antara
lain
workstation
dan
alur
kerja.
Pilihan
workstation
melibatkan pilihan mesin untuk dimasukkan dalam proses,
sedangkan analisis alur kerja menyangkut aliran kerja antara
workstation tersebut. Di dalam proses ini, keputusan dibuat
apakah proses akan terus menerus, intermiten, atau
beberapa kombinasi dari keduanya.
Dalam pengolahan terus menerus, proses ini beroperasi
konstan dan biasanya melibatkan rasio modal-untuk-kerja
yang tinggi. Beberapa contoh orientasi terus-proses ini
adalah industri otomotif, pengolahan kimia, plastik, beberapa
volume tinggi produsen elektronik, dan beberapa utilitas
seperti telepon, listrik dan transmisi gas.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
97
Karakteristik industri dengan proses berkesinambungan
adalah tata letak produk di mana semua workstation yang
ditujukan khusus untuk satu produk dan dikelompokkan
sesuai dengan persyaratan pengolahan produk tersebut.
Dalam banyak kasus daripada tidak, mesin yang ditemukan
di workstation tujuan khusus dan mahal dan memiliki sedikit
fleksibilitas di luar lini produk sendiri. Alur kerja sebagian
besar ditentukan oleh karakteristik fisik yang memiliki tata
letak produk.
Kriteria yang digunakan untuk membuat pilihan antara dua
layout ini termasuk biaya investasi, biaya material handling,
biaya tenaga kerja langsung, kebutuhan ruang, fleksibilitas
peralatan perubahan pertemuan dalam kuantitas output,
keandalan sistem dan biaya pemeliharaan. Faktor-faktor
ekonomi dan non-ekonomi harus, pada gilirannya, ditimbang
sebelum membuat keputusan akhir.
c. Desain Proses: Mikro
Dalam tahap berikutnya bergeser kepada rincian yang
membuat pekerjaan benar di setiap workstation. Hal yang
perlu diperhatian adalah dengan isi operasional dan metode
operasional Tugas konten operasional berfokus pada
kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang harus
diberikan kepada stasiun kerja. Metode operasional, pada
sisi lain, berkaitan dengan pelaksanaan yang efisien dari
langkah-langkah tersebut.
3. Sistem Perencanaan Pabrik
Jika pabrik baru akan dibangun, kemudian memproses hasil
perencanaan dalam pengaturan yang relatif bebas kendala.
Jika, Namun, proses tersebut harus dipasang di pabrik yang
ada, maka satu set kendala khusus harus diamati. Oleh
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
98
karena itu, sistem perencanaan proses harus berinteraksi
dengan sistem perencanaan pabrik untuk memastikan layout
yang layak.
4. Proses Desain Sebagai Kegiatan Yang Terus Menerus
Proses desain tidak terbatas hanya untuk desain baru.
Setiap kali biaya input berubah dalam jumlah besar, atau
setiap kali tingkat output atau sasaran mutu berubah, proses
penyesuaian
segera
dilakukan.
Jika
alasan
untuk
pemeriksaan ulang adalah perubahan harga dalam faktor
input, kemudian masukan baru mencerminkan rasio harga
yang berbeda dari input pengganti yang mungkin diperlukan.
Sebagai contoh, jika upah tarif meningkat secara substansial
sebagai akibat dari kontrak kerja baru, ada kemungkinan
bahwa urutan otomatis di lini produksi yang penggunaan
modal secara tidak efisien dari sebelumnya yang mungkin
menguntungkan. Desain proses, harus menjadi aktivitas
berkelanjutan dimana tidak hanya mempercepat saat produk
atau jasa baru diperkenalkan. Sebagai proses berkelanjutan,
pertanyaan
tentang
berapa
banyak
uang
untuk
menghabiskan dalam mengejar adalah sangat penting.
Jumlah yang harus menghabiskan tergantung, tentu saja,
pada manfaat yang didapatkan. Pada batasnya, upaya harus
terus selama manfaat marginal dari perbaikan lebih besar
dari biaya marjinal. Jika desain ulang memerlukan investasi,
tampaknya masuk akal untuk menggunakan investasi untuk
peninjauan proses modal penganggaran. Oleh karena itu,
investasi tersebut, bersama dengan semua lain yang
perusahaan adalah mempertimbangkan, harus menghadapi
proses
seleksi
akhir
di
mana
hanya
yang
paling
menguntungkan dapat bertahan hidup.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
99
6.1.4 Koordinator Produksi
Sebagaimana disampaikan oleh ASEPHI dalam Diskusi
Terbatas Kajian yang diselenggarakan pada tanggal 18
Februari 2016, salah satu kendala UKM dalam melakukan
ekspor adalah kurangnya product specialist yang bisa
membantu
mengembangkan
produk
sehingga
sesuai
dengan persyaratan teknis barang dan lolos kontrol kualitas
di negara tujuan ekspor. Untuk mengatasi kendala tersebut
maka Trading House harus berperan sebagai Koordinator
Produksi, atau bisa juga diistilahkan kurator produksi bagi
UKM.
Artinya, Trading House tidak boleh bersifat pasif dan
menyerahkan proses produksi sepenuhnya kepada UKM
sebagai produsen, tetapi harus bersifat proaktif untuk ikut
merencanakan,
mengawasi,
dan
mengendalikan
hasil
produksi. Telah disadari bahwa beberapa aspek penting
terkait dengan pemasaran produk-produk usaha kecil dan
menengah
ke manca negara, adalah adanya berbagai
ketentuan sebagai berikut:

Produk harus jelas darimana asalnya dan dapat
ditelusuri;

Produk harus memiliki identitas yang jelas, sehingga
merek produk merupakan aspek penting yang harus
dipenuhi;

Informasi
produk
berupa
Spesifikasi
atau
label
kandungan dan cara penggunaan harus disertakan;

Mutu produk harus konsisten;

Produk harus terdaftar dan tersertifikasi;

Tidak boleh ada pelanggaran HKI dalam produksi dan
pemasarannya.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
100
Berbagai ketentuan tersebut di atas sering menjadi kendala,
dan tentu saja tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
UKM sebagai produsen, sehingga Trading House harus
terlibat secara proaktif agar mampu memenuhi ketentuan
tersebut
di
atas.
Dengan
demikian,
bagan
yang
menggambarkan peran Trading House sebagai Koordinator
Produksi dapat dilihat pada Gambar 6.6 di bawah ini.
Gambar 6.6 Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading
House
Agar produk yang dihasilkan dapat memenui order buyer di
luar negeri dengan baik, maka Trading House harus mampu
menjamin produk dapat diterima oleh buyer tepat waktu,
berkulitas baik dan memiliki harga yang bersaing. Beberapa
prinsip yang perlu menjadi key competencies produk-produk
Trading House adalah just in time, bermutu tinggi, efisien,
pemenuhan skala pasar (Economic of Scale) dan berdaya
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
101
saing (competitive). Karena produsen merupakan organisasi
yang terpisah dari Trading House, maka Trading House
harus mampu mengkoordinasikan penerapan prinsip-prinsip
tersebut oleh para mitra kerjanya.
Untuk dapat mencapai prinsip-prinsip tersebut di atas, maka
peran Trading House sebagai Koordinator atau Kurator
Produksi menjadi sangat penting. Beberapa hal yang harus
dilaksanakan oleh Trading House dalam menjalankan
perannya sebagai Koordinator Produksi bagi UKM adalah
sebagaimana uraian berikut ini.
1) Dalam
menjalankan
peran
ini,
Trading
House
menyampaikan rancangan produk berdasarkan hasil
riset dan analisis pasar kepada para UKM (telah
diuraikan pada 6.1.1.) yang siap memproduksi barang
sesuai permintaan. Trading House juga membantu UKM
yang mendapat order tersebut dalam berhubungan
dengan Mitra Produksi seperti Pemasok Bahan Baku,
Pemasok Bahan Pembantu dan Kemasan, Bank dan
Asuransi, Pergudangan dan Ekspedisi jika dibutuhkan
dalam proses produksi.
2) Pada
tahap
perencanaan,
Trading
House
harus
berunding dengan para pengusaha kecil dan menengah
mengenai
rencana
produksi
yang
meliputi
jadwal
produksi, jenis produk dan volume produksinya.
3) Setelah proses produksi, barang yang diproduksi juga
harus
dapat
lolos
sertifikasi
dan
kulitas
sesuai
permintaan di pasar ekspor. Oleh karena itu Trading
House harus membantu UKM.
a. Melakukan pengecekan/pemeriksaan/pengawasan
terhadap mutu produk yang dihasilkan;
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
102
b. Dalam berhubungan dengan lembaga sertifikasi,
antara lain Trading House membantu memastikan
UKM telah menghasilkan produk yang memenuhi
standar, baik sesuai yang diminta buyer, maupun
memenuhi SNI atau standar lainnya yang menjadi
ketentuan pemerintah Indonesia dan negara tujuan
ekspor.
c. Mengurus
dan
memperoleh
Sertifikat/sertifikasi
yang diperlukan.
4) Untuk dapat menjamin keberlangsungan produk, Trading
House juga harus dapat membangun merek untuk
produk-produk yang akan dipasarkan. Dua skema yang
tersedia untuk tujuan tersebut, yakni (i) merek yang
dimiliki langsung oleh produsen, dalam ini adalah
masing-masing UKM; dan (ii) merek dimiliki oleh Trading
House.
Masing-masing
memiliki
Keunggulan
dan
kelemahan, sehingga perlu dipertimbangkan dengan
cermat di dalam penetapannya. Namun, Trading House
tetap harus membatu para pengusaha kecil dan
menengah untuk mendapatkan merek produk mereka,
jika mereka menginginkannya.
5) Melakukan pemeriksaan, apakah produk yang dihasilkan
telah ada perlindungan HKI-nya, baik di Indonesia
maupun di negara tujuan ekspor.
a. Jika sudah ada, apakah harus ada royalty yang harus
dibayar.
b. Jika belum, perlu dipertimbangkan apakah harus
dilindungi dengan HKI
c. Jika diperlukan Trading House mendaftarkan desain
atau karya tersebut kepada Ditjen Hak Kekayaan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
103
Intelektual (HKI) dan/atau lembaga yang menangani
Intellectual Properties di negara tujuan ekspor. Jika
produk merupakan temuan/rancangan UKM, Trading
House perlu membantu UKM dalam pendaftaran
paten/hak cipta tersebut.
6) Dalam menjalin komunikasi yang efektif dengan calon
pembeli sekaligus untuk dapat menjamin ketelusuran
(traceability), maka perlu dibuat sistem basis data dan
katalog yang baik untuk menampung seluruh informasi
mengenai bahan baku yang digunakan dan produk yang
dihasilkan. Basis data dan Katalog ini akan menjadi alat
yang bagus dalam pemasaran, terutama dalam hal
pelaksanaan promosi serta mengembangkan komunikasi
tertulis melalui situs web, e-mail, brochure, dan sarana
komunikasi jarak jauh lainnya.
7) Selain sistem katalog produk, Trading House juga perlu
mempunyai sistem dan menerapkan manajemen yang
baik (Good Management Practices) sehingga informasi
mengenai proses produksi, sertifikasi, kualitas, desain
produk dan lain-lain dapat dikelola dengan baik. Dengan
sistem manajemen ini, maka Trading House akan lebih
mudah memasarkan produk-produk UKM.
6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM
Pada peran keenam ini, Trading House berupaya untuk
mendorong kemampuan UKM memaksimalkan kuantitas dan
kualitas produk yang dihasilkan dalam rangka meningkatkan
ekspor non migas dari sektor UKM. Dalam menjalankan
peran
fasilitasi
pemberdayaan
UKM,
Trading
House
melakukan komunikasi dengan instansi dan mitra terkait
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
104
tentang aspek-aspek tuntutan keterampilan dan fasilitas
produksi UKM untuk memenuhi tuntutan konsumen dan
kompetisi.
Pemberdayaan UKM bukan semata-mata menjadi tanggung
jawab Trading House, tetapi juga menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Oleh
karena
itu,
dalam
melakukan
pemberdayaan agar mampu memenuhi tuntutan pasar dan
menghasilkan produk yang memiliki daya saing bagus, maka
Trading House harus bekerjasama secara erat dengan
berbagai instansi yang terkait dengan pembinaan dan
pengembangan UKM.
Dengan mencermati berbagai kondisi, kendala, dan tuntutan
pasar sebagaimana diuraikan di atas, maka kegiatan untuk
memfasilitasi pemberdayaan UKM antara lain meliputi
beberapa hal sebagaimana di bawah ini.
1. Pelatihan dan pendampingan
Melalui kegiatan ini lembaga Trading House mampu
memberikan pelatihan dan pendampingan bagi UKM
untuk dapat memproduksi produk ekspor yang berkualitas
dan mutu konsisten serta dapat memenuhi persyaratan
yang diinginkan oleh buyer di luar negeri, sehingga ekspor
dapat dilakukan secara berkelanjutan.
2. Bimbingan dan pemecahan masalah
Apabila UKM menghadapi berbagai hambatan terkait
dengan ketrampilan dan kemampuan dalam kegiatan
produksi ataupun pemasaran, Trading House akan
membantu mencari alternatif solusi permasalahan tersebut. Misal untuk mendapatkan mutu produk handmade
yang
konsisten
maka
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
UKM
diberikan
bimbingan
105
ketrampilan khusus agar terlatih membuat produk dengan
kualitas seragam.
3. Akses bantuan fasilitas produksi.
Trading House memberi bantuan fasilitas dan kemudahan
untuk
pengembangan
teknologi
produksi,
termasuk
dengan memanfaatkan fasilitas dari pemerintah seperti
bantuan
mesin
bagi
UKM.
Trading
House
dapat
menyediakan bantuan dalam tahapan labelling dan
packaging,
sehingga
dapat
menyesuaikan
dengan
permintaan buyer di luar negeri.
4. Akses informasi pasar
Apabila UKM belum memiliki informasi yang lengkap
mengenai pasar yang dituju khususnya negara tujuan
ekspor, Trading House dapat memberikan bantuan
informasi tersebut, dan juga dapat menjadi penghubung
antara UKM dengan buyer.
5. Akses modal kerja & investasi
Trading House dapat melakukan kerjasama dengan
lembaga keuangan baik pemerintah atau swasta yang
memiliki dana sehingga UKM mempunyai akses untuk
mendapatkan modal dan investasi untuk pengembangan
usaha khususnya bidang produksi.
6. Bantuan pengurusan sertifikasi dan
Hak Kekayaan
Intelektual (HKI)
Trading House membantu pengurusan sertifikasi dan HKI
di
Kementerian
Hukum
dan
Hak
Asasi
Manusia
(Kemenhum dan HAM) dengan memanfaatkan skema
kerjasama antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
106
dan Menengah (Kemenkop dan UKM) dengan Kemenhum
dan HAM yang memberikan secara gratis untuk mengurus
HKI produk UKM yang akan diekspor.
7. Penanganan Klaim dan Gagal kirim/bayar
Jika dalam melakukan ekspor terjadi masalah dalam
penanganan klaim atau gagal kirim dan bayar, maka
Trading House dapat membantu penyelesaian masalah
tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena
itu lembaga Trading House diharapkan sudah berbentuk
badan hukum.
8. Manajemen umpan balik
Trading House dapat memberikan saran bagi perbaikan
produksi dan pemasaran produk UKM ke luar negeri.
Demikian juga apabila terdapat kritik terhadap kualitas
produk maupun proses ekspor dari pihak buyer dapat
diatasi oleh UKM bekerja sama dengan Trading House.
6.2 Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya
Demi mewujudkan Trading House yang mampu berperan secara
signifkan dalam rangka meningkatkan ekspor non migas khususnya
untuk produk UKM, maka Kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh
organisasi dan SDM pengelola Trading House antara lain:
1. Kompetensi Dasar Organisasi dan SDM
-
Pemasaran dan perdagangan
2. Keterampilan Pendukung
-
Ekonomi dan bisnis
-
Komunikasi bisnis
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
107
-
Teknologi komunikasi dan informasi
-
Disain produk
-
Visual design
-
Teknologi industri
-
Manajemen produksi dan operasi
3. Sarana Pendukung
-
Etalase/display room
-
Perlengkapan komunikasi dan informasi
-
Bangunan operasi dan business meeting
-
Peralatan disain dan pengembangan produk
Trading
House
merupakan
salah
satu
wadah
untuk
mendongkrak ekspor produk yang dihasilkan dari para pelaku UKM.
Dari kegiatan Diskusi Terbatas dan wawancara dengan beberapa
stakeholder terkait, setidanya ada tiga bentuk alternatif dari Trading
House. Setiap alternatif bentuk tersebut memiliki keunggulan dan
kelemahan
masing-masing.
Tabel
6.1
berikut
menyajikan
perbandingan keunggulan dan kelemahan dari setiap alternatif bentuk
Trading House tersebut:
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
108
Tabel 6.1 Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau
Status Trading House
Dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan Trading
House berupa:
a) Akses modal kerja & investasi
b) Promosi, Informasi Pasar & Riset Pasar
c) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku
dan mesin-mesin
d) Tax holiday selama masa awal pengembangan
e) Insentif pajak apabila: (i) memenuhi target ekspor tertentu;
(ii) ekspansi ke pasar baru; (iii) diversifikasi produk ke pasar
tradisional
Sesuai dengan peran Trading House yang akan diupayakan
secara maksimal maka minimal ada 6 bidang atau divisi yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
109
terdapat dalam organisasi lembaga pengelola Trading House
yaitu;
1. Promosi dan riset pasar
2. Penjualan dan pengembangan pasar
3. Perancangan dan pengembangan produk
4. Produksi dan perlindungan HKI
5. Persediaan dan ekspedisi
6. Keuangan dan SDM
Sedangkan dukungan pemerintah bagi UKM dapat dilakukan
dengan berkoordinasi antar kementerian antara lain melalui
kegiatan:
a) Bimbingan dan pelatihan
b) Akses Bantuan fasilitas produksi
c) Akses modal kerja dan investasi
d) Bantuan kemudahan penanganan sertifikasi dan HKI.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
110
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
7.1 Kesimpulan
1. Trading House belum berkembang di Indonesia karena belum ada
regulasi yang jelas sebagai dasar untuk mendirikan Trading House
di Indonesia, kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait,
belum terciptanya manajemen Trading House yang terintegrasi,
skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House dan
ruang lingkup layanan Trading House yang masih terbatas.
2. Berdasarkan hasil benchmarking dengan Trading House di Korea
Selatan dan Jepang, unsur-unsur penting dalam pengembangan
Trading House adalah perlu adanya: landasan hukum, status
kelembagaan, peran pemerintah, tingkat keragaman produk,
lembaga pendukung, dan kerangka dasar operasi dan fungsi
Trading House yang komprehensif.
3. Kriteria prioritas untuk menentukan produk yang dimasukkan dalam
Trading House adalah 1. pangsa ekspor, 2. impor dunia dan 3.
ketersediaan bahan baku lokal. Dengan menggunakan kriteria
tersebut hasil studi berhasil mengidentifikasi 14 produk yang perlu
ditangani melalui Trading House, lima produk prioritas adalah (i)
perhiasan dan aksesoris; (ii) furnitur; (iii) makanan olahan; (iv)
produk tekstil dan garmen; (v) minyak atsiri (produk spa
aromaterapi).
4. Model operasional Trading House disarankan:
a) Badan usaha berbentuk BUMN atau BUMD guna memudahkan
dukungan pendanaan dari pemerintah dan melaksanakan misi
pemerintah meningkatkan ekspor UKM.
b) Trading House dengan lima fungsi utama yaitu (i) fasilitasi
pemberdayaan UKM, (ii) perancangan dan pengembangan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
111
produk, (iii) koordinasi produksi, (iv) networking dan distribusi
informasi, serta (v) pemasaran.
7.2 Rekomendasi Kebijakan
1. Pemerintah perlu mensosialisasikan Trading House dan fungsinya
kepada para pelaku usaha khususnya UKM.
2. Dukungan
kebijakan
pemerintah
yang
diharapkan
untuk
pengembangan Trading House dalam rangka mendukung ekspor
non migas, khususnya dari sector UKM adalah:
a) Bantuan atau akses modal kerja dan investasi;
b) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku
dan mesin-mesin;
c) Tax holiday pada tahap awal pengembangan Trading House;
d) Insentif perpajakan apabila (i) memenuhi target ekspor
tertentu; (ii) mampu menembus pasar baru; (iii) diversifikasi
produk baik secara vertikal (berbagai jenis produk turunan)
maupun horizontal (berbagai sektor).
e) Penguatan payung hukum yang lebih jelas dan kuat guna
mendukung terbentuknya Trading House yang efektif dalam
bentuk peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden,
seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan.
3. Rekomendasi
berdasarkan
hasil
kajian,
agar
pemerintah
memfasilitasi pengembangan Trading House dengan:
a) Memperkuat lembaga yang sudah melakukan sebagian fungsi
Trading House seperti SMESCO dan PT. Sarinah.
b) Membangun dari awal sebuah Trading House yang baru
dalam bentuk pilot project dengan model operasional yang
komprehensif.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
112
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. (2006). Analitycal Network Process (ANP): Pendekatan Baru
Dalam Penelitian Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan Bank Indonesia.Bank Indonesia.
Ascarya, Yumanita. D. (2005). Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan
Bagi Hasil Di Perbankan Syariah Indonesia. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Juni 2005, pp. 8-43.
Ashraf, G., Kadir, S. A. (2012). A Review on The Models of Organizational
Effectiveness: A look at Cameron’s Model in Higher Education.
International Education Studies, 5 (2), pp.80-87.
Azis, Iwan J. (2003). Analytic Network Process With Feedback Influence:
A New Approach to Impact Study. Mimeo, paper presented in
seminar organized by the Department of Urban and Regional
Planning, University of Illinois, Urbana Champaign.
Banwet, D. K., Deshmukh, S. G., Joyti. (2006). Balanced Scorecard for
Performance Evaluation of R&D Organization: A Conceptual Model.
Journal of Scientific and Industrial Research, 65 (11), pp. 879-886.
Biesebroeck, J. V., Yu, E., Chen, S. (2010). The impact of trade promotion
services on Canadian exporter performance. pp. 145-190. Diunduh
dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1612209.
Cunningham, J. B. (1977). Approaches to The Evaluation of
Organizational Effectiveness. Academy of Management Review,
2(3), pp. 463–474.
Endri. (2009). Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi Di
Indonesia Menggunakan Metode Analitycal Network Process (ANP).
Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.13, No.3 September, pp. 359372.
Fedorowicz, J. (2004). Promoting Trading Houses In Egypt. Arab Republic
of Egypt. Ministry of Foreign Trade.
Feenstra, R. dan G. Hanson (2004). Intermediaries in Entrepôt Trade:
Hong Kong Re-Exports of Chinese Goods. Journal of Economics &
Management Strategy, 13: pp. 3-35.
Goenawan. (2014). Ekonomi & Bisnis. 10 Agustus 2014. Pengusaha
Mebel Butuh Trading House. Diunduh kembali dari Infopublik:
http://infopublik.id/read/86019/pengusaha-mebel-butuh-tradinghouse.html.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
113
Gorener, Ali. (2012). Comparing AHP and ANP: An Application of
Strategic Decisions Making in a Manufacturing Company.
International Journal of Bussiness and Social Science, Vol.3, No.11:
pp. 194-268.
Hossein, E., Ramezanineghad, R., Yosefi, B., Sajjadi, S. N.,
Malekakhlagh, E. (2011). Compressive review of organizational
effectiveness in sport. Sport Management International Journal
2011 Vol. 7 No. 1, pp. 5-21.
Jaharnsyah, M., Novianti, T., dan Ernaning W. (2013).Rumusan Strategi
Pengembangan Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya Dengan
Menggunakan Pendekatan ANP. Jurnal Program Studi Teknik
Industri Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura: pp. 1-9.
Japan External Trade Organization (JETRO). (2015). Role of Japanese
Government and Sogo-Syosya to increase export and investment.
Presentation. Jakarta.
Jun, I. W. (2009).The Strategic Management of Korean And Japanese Big
Business Groups: A Comparison Study between Korean General
Trading Companies and Japanese Sogo Shoshas. Thesis. The
University of Birmingham. United Kingdom.
Kotler, P., Keller, K. L. (2008). Marketing Management (13th edition). New
Jersey: Prentice Hall.
Lankford, W.M. (2001). Benchmarking: Understanding The Basics. The
Coastal Business Journal, 1 (1), pp. 57-72.
Llamazares, O. (2015, July 9). What is Trading Company? Blogs and
Articles:
Global
Negotiator.
Diunduh
dari
http://www.globalnegotiator.com.
Love, Peter E.D., Skitmore, Martin R. (1996). Approaches to
Organisational Effectiveness and Their Application to Construction
Organisations.A paper to be submitted to the ARCOM Conference,
Sheffield Hallam University, UK, 11-13th Sept. 1996, pp. 1-10.
OATH. (2015, July 9). About Trading House: Ontario Association for
Trading House. Diambil kembali dari Ontario Association for Trading
House Web site: http://www.oath.on.ca.
Partomo, S. T., Soejoedono, A. R. (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menegah
& Koperasi. Ghalia Indonesia. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
114
Prabowo, D. W. (2014). Pengelompokan Komoditi Bahan Pangan Pokok
Dengan Metode Analytical Hierarchy Process. Buletin Ilmiah
Perdagangan Vol 8, No. 02 Desember 2014, pp. 163-182.
PT. Bumi 1ndawa Niaga. (2015). Designation For General Trading
Company As a National Export Booster: Case Study of South
Korea’s Export Leap Jump. Presentation. Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri
(Puslitbang Dagri), Badan Penelitian dan Pengembangan
Perdagangan,
Departemen
Perdagangan.
(2009).
Kajian
Inventarisasi dan Evaluasi Trading House. Jakarta.
Puspadewi, I. (2015). Trading House in Furniture Industry. Presentation.
Jakarta.
Raman, K., Naik, P. A. (2005). Integrated Marketing Communication in
Retailing, pp. 339 – 353.
Rehman, S. U., Ibrahim, M. (2011). Integrated Marketing Communication
and Promotion. Journal of Arts, Science & Commerce Vol. II, pp.
187-191.
Ryan, P. (2013). The Sogo Shosha - The Insider’s Perspective. Marubeni
Research Institute.
Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. (2006). Decision Making with the
Analitic Network Process. Economic, Political, Social and
Technological Applications with Benefits, Opportunities, Costs and
Risks. Springer. RWS Publication. Pittsburgh.
Saeed, R., Naeem, B., Bilal, M., & Naz, U. (2013). Integrated Marketing
Communication: A Review Paper. Interdisciplinary Journal of
Contemporary Research in Business Volume 5, No. 5, pp. 124 - 133.
Tanaka, T. (2012). Research on Sogo Sosha: Origins, Establishment and
Development. Japan Foreign Trade Council, Inc.
Tambunan, T. (2002). Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Beberapa
Isu Penting. Salemba Empat. Jakarta.
Tsao, Juliana. (2004). The Role of Small and Medium Sized Export
Tradinng Companies in Taiwan’s Economic Transition 1950-1990.
Thesis. The Faculty of International Business and Asian Studies.
Griffith University.
Yu, T., Wu, N. (2009). A Review of Study on the Competing Values
Framework. International Journal of Business and Management, 4
(7), pp. 37-42.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
115
LAMPIRAN
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
116
Lampiran 1. Kuesioner Untuk Pelaku UKM
Petunjuk Umum
 Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM
RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar
Negeri, Kementerian Perdagangan RI.
 Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai serta memberikan elaborasi penjelasan
lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan.
 Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar
Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah
penyusunan kebijakan perdagangan.
KUESIONER 1: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Pelaku UKM)
Hari/Tanggal:
Lokasi:
Nama Responden :
Posisi : ………………………………………………..
……………………………………..
No Telp. / HP:
Email : ………………………………………………..
…………………………..……………………
VERIFIKASI
Tanda Tangan dan Cap
UKM/Perusahaan/Instansi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
117
1. IDENTITAS
Nama UKM
:
Alamat
:
Tahun Berdiri
:
Status Perusahaan
Jenis Produk
: 



:
JumlahPekerja
:
Omzet
: Rp
BUMN
Perusahaan Swasta
Koperasi
Perorangan
/Bulan
2 PEMANFAATAN FUNGSI TRADING HOUSE
A- Selain melalui Trading House, Apakah Anda menjual langsung produk Anda
kepada konsumen/eksportir ?
Ya
Tidak
B- Berapa % produk yang anda jual sendiri ? …………………….
C- Selain melalui Trading House, Apakah Anda juga menggunakan mitra lain untuk
menjual produk Anda?
Ya
Tidak
D- Berapa % produk yang anda jual melalui mitra-mitra selain Trading House?
…………………….
E- Mengapa Anda menggunakan Trading House, apa saja fungsi Trading House yang
Anda manfaatkan? (boleh lebih dari satu)
1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
FUNGSI TRADING HOUSE
1
2
3
4
1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar
2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi pembeli
di Luar Negeri
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
118
5
3. Melakukan negosiasi komersial dan teknis
4. Melakukan pengembangan vendor
5. Mengurus
kegiatan
packaging
pengembangan teknologi
dan
6. Menangani
kegiatan impor, khususnya
barang input yang diperlukan untuk produksi
ekspor
7. Mengatur keuangan termasuk kredit
8. Menerima pembayaran dari pembeli
9. Melakukan proteksi resiko ekspor termasuk
asuransi
10. Memastikan pembayaran dari pembeli
11. Mempersiapkan
pengiriman
dokumen
ekspor
dan
12. Mengatur apabila terjadi permasalahan
13. Membantu pengurusan klaim
14. Melayani garansi dan menyediakan suku
cadang
15. Mencari proyek ekspor, konsorsium dan
tender bisnis
16. Mengembangkan jaringan distribusi di luar
negeri
17. Membangun
pemerintah
relasi/hubungan
dengan
3 PERMASALAHAN
3.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN TRADING
HOUSE / PEMBELI / PEMESAN
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
119
Apa saja permasalahan apakah yang timbul selama ini dalam memanfaatkan
Trading House untuk memasarkan produk UKM Anda? Berapa sering terjadi?
(Bisa lebih dari satu masalah)
1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
MASALAH YANG TIMBUL
1
1.
Negosiasi harga/Tingkat harga kurang
menarik
2.
Standar produk yang diminta oleh Buyer
sulit dipenuhi
3.
Spesifikasi teknis produk yang diminta
kurang jelas/tidak bisa diproduksi
4.
Mekanisme pembayaran
lama cairnya
5.
Bahan2 untuk memenuhi Spesifikasi sulit
diperoleh/harganya mahal
6.
Volume permintaan terlalu besar/terlalu
kecil dan kurang ekonomis
7.
Permintaan ulang terlalu jarang/tidak
menentu.
8.
Kemasan dan persyaratan lain terlalu
berat
9.
Biaya Pengiriman atau biaya lain mahal,
dan tinggi risiko kegagalan/kerusakannya
2
3
4
5
terhambat/
10. .....
11. .....
4 USULAN KEBIJAKAN
4.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN
Bantuan apa saja yang Anda harapkan dari pemerintah/lembaga lain untuk
kelancaran usaha Anda melalui Trading House (boleh lebih dari satu).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
120
3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera
JENIS BANTUAN
1.
Bantuan modal berupa pinjaman dari Bank atau
lembaga keuangan lain
2.
Sarana dan Prasarana produksi & pengemasan,
seperti mesin dan peralatan
3.
Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan
teknis UKM
4.
Promosi dan komunikasi kepada calon pembeli,
a.l. label produk, rancangan kemasan, dsb
5.
Ruang terbuka publik, untuk wahana
berinteraksi antar komunitas dalam rangka
kegiatan promosi dan komersialisasi
6.
…
7.
…
3
4
5
4.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH
Apakah usulan Anda terhadap kebijakan pemerintah agar usaha Anda lebih
maju? Apakah ada yang harus diubah/diganti atau perlu ada kebijakan baru
(boleh lebih dari satu).
3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera
JENIS KEBIJAKAN
1.
Penyederhanaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung pengembangan Trading House
2.
Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi
yang perlu dipersingkat
3.
Perpajakan , pungutan ekspor, dan retribusi.
4.
Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar
negeri yang perlu ditambah
5.
…
6.
…
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
3
4
5
121
Lampiran 2. Kuesioner Untuk Lembaga Trading House
Petunjuk Umum
 Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM
RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar
Negeri, Kementerian Perdagangan RI.
 Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai, serta memberikan elaborasi penjelasan
lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan.
 Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar
Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah
penyusunan kebijakan perdagangan.
KUESIONER 2: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Lembaga Trading House)
Hari/Tanggal:
Lokasi:
Nama Responden : ……………………………………..
Jabatan : ………………………………………
No Telp. / HP: ………………………………………………
Email: ……………………………………………….
VERIFIKASI
Tanda Tangan dan Cap
Perusahaan/Lembaga /Instansi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
122
1.
IDENTITAS TRADING HOUSE
Nama Trading House
:
Alamat
:
Tahun Berdiri
:
Status Perusahaan
Jumlah UKM yang dilayani
:  BUMN
 Perusahaan Swasta
 Koperasi
 Perorangan
 PMDN/PMA
:
Jumlah Pembeli
:
Eksportir Dalam Negeri
:
Importir Luar Negeri
:
Omzet
: Rp
Juta/bulan
2 FUNGSI TRADING HOUSE
Sebagai Trading House, fungsi apa saja yang pernah Anda lakukan
dalam menjalin bisnis dengan pemasok dan pembeli produk ? Dan
seberapa sering fungsi itu dilaksanakan (fungsi boleh lebih dari satu)
1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
BEBERAPA FUNGSI TRADING HOUSE
1
2
3
4
5
1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar
2. Mengidentifikasi dan
pembeli di Luar Negeri
mengevaluasi
3. Melakukan negosiasi komersial dan
teknis
4. Melakukan pengembangan vendor
5. Mengurus kegiatan packaging dan
pengembangan teknologi
Menangani kegiatan impor, khususnya
barang input yang diperlukan untuk
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
123
6. produksi ekspor
7. Mengatur keuangan termasuk kredit
8. Menerima pembayaran dari pembeli
9. Melakukan proteksi
termasuk asuransi
resiko
ekspor
10. Memastikan pembayaran dari pembeli
11. Mempersiapkan dokumen ekspor dan
pengiriman
12. Mengatur apabila terjadi permasalahan
13. Membantu pengurusan klaim
14. Melayani garansi dan menyediakan
suku cadang
15. Mencari proyek ekspor, konsorsium
dan tender bisnis
16. Mengembangkan jaringan distribusi di
luar negeri
17. Membangun relasi/hubungan dengan
pemerintah
3. PRODUK YANG DITANGANI TRADING HOUSE
Produk-produk apa saja yang dikelola oleh Trading House Anda? Bagaimana porsi
produk-produk tersebut terhadap keseluruhan bisnis Anda (boleh lebih dari
satu).
JENIS/KATEGORI PRODUK
1.
Jumlah
jenis
Pangsa
volume
barang
(%)
Pangsa
Pangsa
Nilai
untuk Ekspor
(%)
(%)
Produk industri kerajinan
-
-
Produk kayu dan anyaman
rotan termasuk gerabah
dan akar kayu
Perhiasan dan aksesoris
termasuk dari mutiara,
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
124
-
emas dan perak
Produk tekstil dan garmen
termasuk batik
Sandal, sepatu, tas,
dompet kerajinan dari
batik, kulit dan kombinasi
Kain tenun dan songket
-
Kerajinan perak dan besi
-
2.
Produk Perikanan
-
Ikan hias
-
Rumput laut
3.
Teripang, hoi som, uburubur
Produk berbasis pertanian
-
Produk spa
-
Tanaman hias
-
Produk turunan kelapa
seperti VCO dan ijuk/sabut
kelapa
Produk perkebunan seperti
jambu mete, gambir,
manggis, kopi, coklat, jahe
Makanan olahan
-
-
4.
LEMBAGA PENDUKUNG TRADING HOUSE
Apakah Anda memanfaatkan lembaga-lembaga pendukung untuk
membantu kelancaran operasional Trading House (boleh lebih dari
satu)
1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
LEMBAGA PENDUKUNG
1.
Bank
2.
Asuransi
3.
Pergudangan
1
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
2
3
4
5
125
4.
Ekspedisi
5.
Agen Periklanan
6.
Atdag/ITPC
7.
Agen Penjualan di luar negeri
8.
…
9.
…
10.
…
5. MANAJEMEN TRADING HOUSE
5.1. SUMBER DAYA MANUSIA LEMBAGA TRADING HOUSE
Berapakah jumlah SDM/staf yang terlibat dalam Trading House Anda
Pendidikan
- Lulusan S1
Orang
- Lulusan S2
Orang
- Lulusan S3
Orang
- Karyawan Tetap
Orang
- Tenaga lepas / kontrak
Orang
Kompetensi
- Memiliki pengalaman
komunikasi bisnis dan
promosi
- Menguasai komoditas ekspor
(ke negara yang
bersangkutan) dengan baik
5.2. ORGANISASI TRADING HOUSE
Orang
Orang
Apakah ada pembagian tugas yang
jelas/pilah di antara staf Trading House
- Khusus Menangani Promosi
Orang
- Khusus Menangani Analisis /
Informasi Pasar
Orang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
126
- Khusus Pengembangan
Jejaring Ekspor &
Perdagangan
- Khusus Menangani
Perkembangan peraturan dan
mediasi perselisihan
- Khusus Berkoordinasi dengan
Pemerintah
5.3. KOORDINASI KEGIATAN TRADING HOUSE
Orang
Orang
Orang
Bagaimanakah Trading House mengkoordinasikan kegiatan/fungsinya
Berapa sering dilakukan
pertemuan dengan instansi,
UKM, eksportir, dan importir.
Kali/tahun
Media Komunikasi yang
digunakan
6.
- Review pasar
Kali/tahun
- Newsletter
Kali/tahun
- Laporan berkala
Kali/tahun
- Katalog Produk
Kali/tahun
- Leaflet & Booklet
Kali/tahun
- Situs Web selalu
dimutakhirkan
Kali/tahun
PERMASALAHAN TRADING HOUSE
6.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DENGAN UKM
Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan
UKM (boleh lebih dari satu)
1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
MASALAH DENGAN UKM
baku
1
1.
Keterbatasan bahan
kegiatan produksi
2.
Keterbatasan Sumber Daya Manusia
(SDM),
termasuk
kemampuan
manajerial, teknik produksi, kontrol
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
2
3
4
5
untuk
127
kualitas, pengembangan produk dan
teknik pemasaran
3.
Etos atau lingkungan kerja yang kurang
mendukung
4.
Kemampuan pembiayaan melakukan
pesanan yang jumlahnya konsisten
5.
Keterbatasan teknologi produksi/masih
menggunakan teknologi tradisional
6.
Pengawasan Mutu melalui program
sertifikasi mutu ISO
7.
Ketidakmampuan memenuhi kapasitas
pesanan yang telah disepakati
8.
Kesulitan dalam hal pemasaran
9.
Desain produk yang tidak bersifat
marketable
10.
…
6.2. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN
PEMBELI
Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan
Pembeli (boleh lebih dari satu)
1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu
MASALAH DENGAN PEMBELI
1.
Negosiasi harga
2.
Standar atau Spesifikasi produk yang
diminta oleh Buyer atau yang
diperbolehkan masuk ke pasar tujuan
ekspor
3.
Ketidaksesuaian
Spesifikasi
teknis
produk komoditi yang disepakati
4.
Mekanisme pembayaran terhambat
5.
Informasi Produk & Harga kurang jelas
6.
Klaim barang rusak/cacat/tidak sesuai
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
1
2
3
4
5
128
7.
Barang lambat diterima pembeli
6.3. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN USAHA TRADING HOUSE
Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi Dalam pengembangan
skala/omset usaha dan meningkatkan ekspor
1:Tidak Pernah ; 2: sekali-2kali; 3:kadang-kadang; 4:Sering; 5:Selalu
MASALAH
OMZET/USAHA
PENGEMBANGAN
1.
Kekurangan Modal investasi untuk
sarana, prasarana, dan pemantapan
jaringan
2.
Kekurangan
Modal
kerja/likuiditas
untuk peningkatan stok barang sesuai
pesanan
3.
Peralatan dan sarana usaha
4.
Memperoleh Mitra Usaha yang tepat
dan dapat dipercaya
1
2
3
4
5
5.
7. USULAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE
7.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN TRADING HOUSE
Bantuan apakah yang Anda ingin peroleh dari pemerintah dan
lembaga lainnya di dalam/luar negeri (boleh lebih dari satu)
3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera
JENIS BANTUAN
1.
Bantuan likuiditas berupa pinjaman dari Bank atau
lembaga keuangan lain
2.
Sarana dan Prasarana, seperti tempat pameran dan
kegiatan promosi lainnya
3.
Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan
teknis UKM
4.
Ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi
antar komunitas dalam rangka kegiatan promosi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
3
4
5
129
dan komersialisasi
5.
…
7.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TRADING HOUSE
Pilih usulan kebijakan pemerintah yang Andarekomendasikan, terkait pencabutan atau Penambahan
kebijakan (boleh lebih dari satu)
3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera
USULAN PERUBAHAN KEBIJAKAN TRADING HOUSE
A.
3
4
5
Penyederhanaan peraturan atau perundang-undangan
yang mendukung pengembangan Trading House,
Sebutkan :
1. ……………………………………………………………………..
2. ……………………………………………………………………..
3. ……………………………………………………………………..
4. ……………………………………………………………………..
B.
Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi
yang perlu dipersingkat
C.
Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar negeri
yang perlu ditambah
D.
Pengurangan Pajak, pungutan ekspor, retribusi,
dsb, Sebutkan
1. ……………………………………………………………..
2. ……………………………………………………………..
3. ……………………………………………………………..
E.
…
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
130
Lampiran 3. Panduan FGD
PANDUAN FGD
BAGI PESERTA
Kajian Pengembangan Trading House
Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2016
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
131
I. PENDAHULUAN
Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan ekspor dari
sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan pendekatan yang strategis. UKM
adalah sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi domestik dan global yang
mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang mengalami
peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir (2010-2014) rata-rata sebesar 6,56%
per tahun, sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun
(BPS, 2015). Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan usaha
besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya menyerap 4,38 juta tenaga
kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap 9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015).
UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis, kecepatan dalam inovasi dan fleksibel
terhadap kondisi pasar (Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi
UKM di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja ekspor sektor
UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2% dari total ekspor non migas
nasional pada tahun 2013. Pada periode tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp
28,04 triliun, hanya meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja
ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya
kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh informasi pasar, volume ekspor secara
individual masih sangat kecil, kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan
yang kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas, serta kemampuan
teknis melakukan ekspor yang masih sangat terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang
Dagri, 2009).
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan masalah tersebut
adalah dengan mengembangan Trading House guna mendukung ekspor produk UKM.
Secara teoritis, Trading House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti
untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional, peningkatakan skala ekspor
dengan melakukan fungsi pengumpul sehingga mendapat manfaat dari economies of
scale, Pengadaan bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi
produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan Peningkatan
kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan taste setiap pasar (Puslitbang
Dagri, 2009). Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan Trading
House oleh Jepang dengan Sogo Shosha mulai tahun 1950an dan Korea Selatan
dengan Korean Global Trading Company (KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor
manufaktur yang didukung oleh Sogo Shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun 1973
menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor Korea Selatan setelah
melibatkan KGTC meningkat 277% selama periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi
USD 15 miliar. Negara lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk
meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan Brazil.
Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran intermediaries yang
dilakukan oleh Trading House efektif untuk meningkatkan ekspor terutama ditujukan
kepada para pelaku UMKM. Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu
hambatan pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang antara lain
mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan
distribusi, identifikasi pelanggan, dan memahami peraturan di negara importir. Sementara
Tsao (2004) menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading Companies
(SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana bagi jaringan produksi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
132
(production network) domestik di Taiwan. Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan
besarnya peranan intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT.
Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan semakin meningkat dan
berkembang di masa mendatang khususnya di negara-negara emerging market seperti
negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Peran Trading House di Indonesia untuk mendrong ekspor Indonesia belum
efektif. Sebagai contoh, potensi industri mebel dan furniture dalam negeri sangat besar,
permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM adalah kesulitan
dalam akses bahan baku seperti melakukan stok terhadap bahan baku seperti kayu dan
rotan serta impor aksesoris dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena
besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku serta
ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan terkait ekspor-impor.
Namun demikian, hingga saat ini, belum ada Trading House yang berperan dalam
pembiayaan serta kemudahan akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini
disebabkan oleh jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya
berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di Indonesia adalah PT
PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal dan hanya berfokus pada produk
furniture (Puspadewi, 2015).
Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia yang masih
minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep kelembagaan Trading House. Walau
sudah memiliki landasan hukum seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1997 tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah
(UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House belum jelas. Dengan konsep yang
belum jelas tersebut, Trading House yang sudah ada tidak memiliki model kelembagaan
seperti yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan. Beberapa
keterbatasan lain dari Trading House yang terdapat di Indonesia adalah kurangnya
dukungan dari lembaga terkait dalam pengembangan Trading House, belum terciptanya
manajemen yang terintegrasi terutam mengenai potensi komoditas UKM, skema
pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House serta ruang lingkup layanan
yang masih terbatas (Puslitbang Dagri, 2009).
II. TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan kajian
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan Trading House
Indonesia belum efektif mendorong ekspor non migas Indonesia;
di
2. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House
beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor;
di
3. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang akan ditangani melalui
Trading House;
4. Membangun model kelembagaan operasional Trading House
mendukung peningkatan ekspor sektor UKM.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
dalam rangka
133
Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk peningkatan
kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produk-produk yang dihasilkan oleh UKM
dan sesuai untuk diperdagangkan melalui konsep pengembangan Trading House yang
tepat.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Sambutan dan Pembukaan (Waktu 20 menit)
Sambutan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB.
Pembukaan dilakukan oleh Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri.
3.2. Perkenalan dan Keakraban (Waktu 10 menit)
Setiap peserta secara bergantian memperkenalkan dirinya. Perkenalan
mencakup nama dan pekerjaan. Para peserta hendaknya juga menceritakan
pengalaman menarik dalam pekerjaannya. Hal-hal yang bersifat pribadi seperti daerah
asal atau tentang keluarga dapat juga dikemukakan secara santai. Pada waktu seorang
peserta memperkenalkan dirinya, peserta lainnya diperbolehkan bertanya dan
memberikan komentar.
3.3. Paparan Singkat Kajian dan Diskusi Model Kelembagaan Trading House
(Waktu 180 menit)
Paparan singkat mengenai Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka
Peningkatan Ekspor Non Migas dan isu-isu yang terkait dengan kajian tersebut terutama
terkait dengan kriteria-kriteria untuk memilih produk ekspor yang akan ditangani Trading
House dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman para peserta atas pokok-pokok
persoalan yang berkaitan hal tersebut. Dari paparan tersebut, diharapkan perserta
memiliki pemahaman tentang kriteria pemilihan produk ekspor yang akan ditangani
melalui Trading House. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi
peserta untuk proses diskusi selanjutnya.
3.4. Penetapan dan Pembobotan Kriteria, Scoring, Valuation Kriteria dan Sintesa
(Waktu 90 menit)
Kriteria-Kriteria atau indikator yang digunakan dalam pemilihan produk ekspor
yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House
Tujuan: Untuk mengetahui kriteria-kriteria yang digunakan dalam pemilihan produk
ekspor yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House
Setiap peserta diminta untuk mendiskusikan dan memberikan jawaban mengenai
kriteria-kriteria dalam pemilihan produk ekspor yang akan ditangani dalam implementasi
konsep Trading House. Calon kriteria untuk pemilihan produk tersebut antara lain:
1. Sumber bahan baku (domestik atau impor)
2. Tren nilai output
3. Pertumbuhan ekspor Indonesia
4. Pertumbuhan pangsa ekspor
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
134
5. Pertumbuhan impor dunia:
6. Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia
Fasilitator akan memandu diskusi dengan melakukan konfirmasi dari enam (6)
calon kriteria tersebut. Fasilitator juga akan mempertanyakan beberapa jawaban yang
dianggap kurang jelas serta melakukan pengembangan dari kriteria-kriteria tersebut jika
dianggap perlu berdasarkan hasil diskusi. Hal ini untuk memastikan bahwa kriteriakriteria pemilihan produk ekspor prioritas untuk Trading House dapat teridentifikasi
secara komprehensif.
Setelah kriteria pemilihan negara telah ditentukan, maka langkah selanjutnya
adalah pemberian penilaian prioritas atau pemberian skor/bobot untuk setiap elemen
kriteria yang dipasang-pasangkan. Pemberian bobot tersebut diberikan berdasarkan
penilaian subyektif peserta diskusi. Adapun sistem pembobotan yang digunakan adalah
sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1. Skor Penilaian
Hasil Penilaian
Elemen A mutlak lebih penting penting
dari elemen B
Elemen A lebih penting dari elemen B
Elemen A sedikit lebih penting dari
elemen B
Elemen A sama penting dengan
elemen B
Elemen A sedikit kurang penting dari
elemen B
Elemen A kurang penting dari elemen
B
Elemen A mutlak kurang penting dari
elemen B
Nilai A
1,6
Nilai B
0,4
1,4
1,2
0,6
0,8
1,0
1,0
0,8
1,2
0,6
1,4
0,4
1,6
Setelah didapatkan skor penilaian untuk kriteria pemilihan negara prioritas, maka
kemudian dilakukan skor penilaian terhadap alternatif-alternatif produk prioritas yang
telah lebih dahulu diseleksi. Pembobotan dilakukan dengan cara yang sama yaitu
membuat matrik pairwase comparison untuk tiap pasangan alternatif berdasarkan tiaptiap kriteria.
Sintesis prioritas dilakukan dengan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap
alternatif produk untuk tiap-tiap kriteria setelah kriteria evaluasi telah diberikan bobot atau
skor penilaian. Produk dengan peringkat tinggi akan menjadi produk prioritas ekspor
yang ditangani melalui Trading House.
IV. PENUTUP
Panduan FGD ini disusun secara khusus untuk digunakan oleh para peserta
dalam rangka menggali dan membahas persepsi-persepsi dan pemikiran-pemikiran yang
berkaitan dengan penentuan kriteria pemilihan produk ekspor prioritas yang ditangani
melalui Trading House. Panduan ini seyogyanya dipelajari dengan seksama oleh calon
peserta sehingga diskusi dapat berjalan dengan lancar dan produktif.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan
135
Download