LAPORAN AKHIR KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 Pengarah: Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Penanggung Jawab: Tarman Tim Penyusun: Hasni Naufa Muna Sahari Septika Tri Ardiyanti Ayu Sinta Saputri Nanang Andrian Fitria Faradila Narasumber Pendamping Kajian: Wayan R. Susila Rahdi Sumitro KATA PENGANTAR Di tengah pelambatan ekonomi global yang belum menunjukkan perbaikan signifikan, Indonesia perlu mempertimbangkan sektor usaha yang lebih tahan krisis sebagai pendorong kinerja ekspor non migas. Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan usaha yang dapat bertahan di tengah melambatnya perekonomian global. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia pada lima tahun terakhir yang mengalami peningkatan signifikan rata-rata sebesar 6,56% per tahun, sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun. Namun disisi lain, UKM masih memiliki beberapa keterbatasan dalam melakukan ekspor. Salah satu upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut adalah melalui pengembangan Trading House bekerjasama dengan UKM dengan tujuan peningkatan ekspor sekaligus peningkatan kesejahteraan pelaku UKM. Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi yang dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang dalam Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi bahwa “integrasi fasilitasi pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor yang didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house untuk produk-produk UMKM dan koperasi”. Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun kajian tentang Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya mempertahankan kesinambungan kinerja ekspor Indonesia khususnya peningkatan ekspor dari sektor produk yang dihasilkan oleh UKM melalui peran Trading House sebagai agregator ekspor nasional. Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini. Jakarta, September 2016 PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii ABSTRAK KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor non migas Indonesia; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor; (3) Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang akan dimasukkan dalam Trading House; (4) Membangun model kelembagaan operasional Trading House dalam rangka mendukung peningkatan ekspor sektor UKM. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa survey dan FGD serta dianalisis menggunakan metode benchmarking dan ANP. Hasil kajian menunjukkan bahwa Trading House di Indonesia belum berkembang karena banyak UKM belum memahami fungsi Trading House secara utuh sementara lembaga sejenis Trading House hanya melaksanakan sebagian kecil fungsi Trading House. Akibatnya, UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil fungsi Trading House. Faktor kritis kesuksesan Trading House di luar negeri antara lain perlu adanya: landasan hukum, status kelembagaan, peran pemerintah, tingkat keragaman produk, lembaga pendukung, dan kerangka dasar operasional Trading House yang komprehensif. Kriteria prioritas untuk menentukan produk Trading House adalah pangsa ekspor, impor dunia dan ketersediaan bahan baku lokal. Produk prioritas Trading House adalah perhiasan dan aksesoris, furnitur, makanan olahan, produk tekstil dan garmen, minyak atsiri (produk spa aromaterapi). Model operasional Trading House sudah berhasil dibangun dengan 5 fungsi utama yaitu fasilitasi pemberdayaan UKM, perancangan dan pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan distribusi informasi, serta pemasaran. Upaya mendesak yang perlu dilakukan adalah mengimplemetasikan model Trading House yang telah disusun untuk dijadikan semacam pilot proyek. Kata kunci: Trading House, ekspor, produk UKM, benchmarking, dan ANP Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii ABSTRACT STUDY ON DEVELOPMENT OF TRADING HOUSE TO INCREASE INDONESIA’S NON OIL EXPORTS This study aims to (1) re-identify problems causing the ineffectiveness of Trading House in Indonesia for boosting its non-oil exports; (2) Identify the critical success factors of Trading House management in some benchmarking countries for boosting their exports; (3) Develop criterias and priorities of potential export products that will be included in the Trading House; (4) Establish operational institutional model for Trading House in order to support the SME sector to encourage their exports. Data collection methods used are survey and FGD. The data are then analyzed using benchmarking methods and ANP. The results showed that the Trading House in Indonesia has not evolved as many SMEs do not understand the overall functions of the Trading House, while similar institutions that are existing nowadays only carry a small part of Trading House’s functions. As a result, SMEs only utilize a small part of Trading House’s functions. Critical success factors of Trading House in other countries include the need for: legal foundation, institutional status, the role of government, the level of product diversity, supporting institutions, and basic framework of a comprehensive operational Trading House. Moreover, criterias to determine which products should be included in the Trading House are the share of exports, world imports and the availability of local’s raw materials. Priority products to be included in Trading House are jewelry and accessories, furniture, processed foods, textile products and garment, essential oils (aromatherapy spa products). Operational Model for Trading House has been successfully constructed with 5 main roles, namely facilitation of SMEs empowerment, design and product development, production coordination, networking and distribution of information, and marketing. Urgent action needs to be done is to implement a model Trading House that have been compiled into a pilot project. Keywords: Trading House, export, SME’s product, benchmarking, and ANP Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... ii ABSTRAK .................................................................................................. iii ABSTRACT ................................................................................................ iv DAFTAR ISI ................................................................................................v DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4 1.3 Tujuan Pengkajian .................................................................... 5 1.4 Output Pengkajian..................................................................... 5 1.5 Dampak/Manfaat ....................................................................... 6 1.6 Ruang Lingkup .......................................................................... 6 1.7 Sistematika Laporan ................................................................. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9 2.1 Definisi dan Fungsi Trading House ........................................... 9 2.2 Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa Negara .................................................................................... 10 2.3 Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia . 15 2.4 Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP) ................................................................................................ 18 BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 27 3.1 Metode Analisis ....................................................................... 27 3.1.1 Kerangka Berfikir ...................................................... 27 3.1.2 Metode Benchmarking ............................................. 28 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v 3.1.3 3.2 Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal Network Process (ANP) ........................................... 30 Data ........................................................................................ 32 BAB IV KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA BENCHMARKING DAN INDONESIA ......................................... 33 4.1 Faktor-faktor Keberhasilan Trading House di Negara Benchmarking ......................................................................... 33 4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara Benchmark ................................................................... 33 4.1.2 Kelembagaan Operasional ............................................. 40 4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia ............................................. 44 4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting ......... 44 4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia .............. 45 BAB V PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA ............ 53 5.1 Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas .............................. 53 5.2 Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas ................................................................... 55 5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan Baku Lokal .................................................................... 57 5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai Output........................................................................... 58 5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Ekspor .......................................................................... 59 5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor ............................................................. 60 5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan Impor Dunia .................................................................. 61 5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap Perekonomian .............................................................. 62 5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas ................ 63 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi 5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia ........ 67 BAB VI MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA ......................... 68 6.1 Model Kelembagaan Operasional............................................ 69 6.1.1 Pemasaran Secara Integral ........................................... 69 6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi .............................. 85 6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk .................... 89 6.1.4 Koordinator Produksi.................................................... 100 6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM ..................................... 104 6.2 Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya .............................................................................................. 107 BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............... 111 7.1 Kesimpulan ............................................................................... 111 7.2 Rekomendasi Kebijakan ........................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 113 LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 116 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Manfaat Trading House Bagi Produsen dan Pembeli di Luar Negeri ………………………………………………... 12 Tabel 2.2 Penelitian Menggunakan Metode ANP…………………. 23 Tabel 3.1 Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja .... 29 Tabel 4.1 Benchmarking Trading House Korea Selatan dan Jepang ……………………………………………………... 39 Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di Negara Benchmarking …………………………………………….. 40 Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di Indonesia …………………………………………………... 49 Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria Produk yang akan ditangani melalui Trading House ……………………….. 54 Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan untuk ditangani melalui Trading House ………………… 57 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan Baku Lokal ……………………………………….. 58 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai Output ……………………………….. 59 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Ekspor …………………………………….. 60 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor …………………………… 61 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Impor Dunia ………………………………. 62 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap Perekonomian ………………………………… 63 Tabel 5.9 Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria ……… 66 Tabel 5.10 Total Bobot Produk Prioritas ……………………………. 67 Tabel 6.1 Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau Status Trading House …………………………………….. 109 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback .... 24 Gambar 3.1 Pola Pikir Kajian …………………………………………... 28 Gambar 4.1 Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo Shosha… 42 Gambar 4.2 Operasional Kelembagaan KGTC ………………………. 43 Gambar 4.3 Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM ……… 45 Gambar 4.4 Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan Manfaatnya Oleh UKM …………………………………… 47 Gambar 4.5 Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer……... 48 Gambar 6.1 Kerangka Operasional Trading House …………………. 68 Gambar 6.2 Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi Trading House ………………………………………………………. 87 Gambar 6.3 Bagan Alur Perancangan & Pengembangan Produk Trading House …………………………………………….. 91 Gambar 6.4 Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam Perencanaan dan Pengembangan Produk……………………………… 94 Gambar 6.5 Urutan Proses Kerja Perencanaan ……………………… 95 Gambar 6.6 Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading House ………. 101 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan ekspor dari sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan pendekatan yang strategis. UKM adalah sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi domestik dan global yang mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang mengalami peningkatan signifikanselama lima tahun terakhir (20102014) rata-rata sebesar 6,56% per tahun, sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun (BPS, 2015). Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya menyerap 4,38 juta tenaga kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap 9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015). UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis, kecepatan dalam inovasi dan fleksibel terhadap kondisi pasar (Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi UKM di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja ekspor sektor UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2% dari total ekspor non migas nasional pada tahun 2013. Pada periode tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp 28,04 triliun, hanya meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh informasi pasar, volume ekspor secara individual masih sangat kecil, kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan yang kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas, Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1 serta kemampuan teknis melakukan ekspor yang masih sangat terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang Dagri, 2009). Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan masalah tersebut adalah dengan mengembangan Trading House guna mendukung ekspor produk UKM. Secara teoritis, Trading House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional, peningkatakan skala ekspor dengan melakukan fungsi pengumpul sehingga mendapat manfaat dari economies of scale, Pengadaan bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan Peningkatan kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan taste setiap pasar (Puslitbang Dagri, 2009). Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan Trading House oleh Jepang dengan sogo shosha mulai tahun 1950an dan Korea Selatan dengan Korean Global Trading company (KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor manufaktur yang didukung oleh manajemen sogo shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun 1973 menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor Korea Selatan setelah melibatkan KGTC meningkat 277% selama periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi USD 15 miliar. Negara lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan Brazil. Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran intermediaries yang dilakukan oleh Trading House efektif untuk meningkatkan ekspor terutama ditujukan kepada para pelaku UMKM. Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu hambatan pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang antara lain mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan distribusi, identifikasi pelanggan, dan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 memahami peraturan di negara importir. Sementara Tsao (2004) menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading Companies (SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana bagi jaringan produksi (production network) domestik di Taiwan. Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan besarnya peranan intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT. Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan semakin meningkat dan berkembang di masa mendatang khususnya di negara-negara emerging market seperti negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi yang akan dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang dalam Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi bahwa “integrasi fasilitasi pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor yang didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house untuk produk-produk UMKM dan koperasi”. Dalam RPJMN juga disebutkan peningkatan fungsi Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah (LLP – KUKM) sebagai trading house bagi produk UMKM dan koperasi secara nasional, merupakan salah satu kerangka kelembagaan yang dibutuhkan dalam rangka mendukung peningkatan daya saing UMKM dan koperasi. Namun demikian, peran Trading House di Indonesia untuk mendorong ekspor Indonesia belum efektif. Sebagai contoh, potensi industri meubel dan furniture dalam negeri sangat besar, permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM adalah kesulitan dalam akses bahan baku seperti melakukan stok terhadap bahan baku seperti kayu dan rotan serta impor aksesoris dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku serta ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 terkait ekspor-impor. Namun demikian, hingga saat ini, belum ada Trading House yang berperan dalam pembiayaan serta kemudahan akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini disebabkan oleh jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di Indonesia adalah PT PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal dan hanya berfokus pada produk furnitur (Puspadewi, 2015). Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia yang masih minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep kelembagaan Trading House. Walau sudah memiliki landasan hukum seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah (UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House belum jelas. Dengan konsep yang belum jelas tersebut Trading House yang sudah ada, tidak memiliki model kelembagaan seperti yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam pengkajian ini adalah sebagai berikut: a. Apakah permasalahan utama yang menyebabkan Trading House di Indonesia belum efektif untuk mendorong ekspor non migas Indonesia, khususnya sektor UKM? b. Apakah yang menjadi faktor penentu keberhasilan Trading House di beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor? c. Apakah produk yang diprioritaskan dalam Trading House? d. Bagaimanakah model kelembagaan operasional Trading House yang sesuai di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan ekspor non migas? Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4 1.3 Tujuan Pengkajian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor non migas Indonesia; b. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor; c. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang akan dimasukkan dalam Trading House; d. Membangun model kelembagaan operasional Trading House dalam rangka mendukung peningkatan ekspor sektor UKM. 1.4 Output Pengkajian Kajian Pengembangan Trading House dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas diharapkan menghasilkan beberapa output sebagai berikut: a. Peta permasalahan yang menyebabkan Trading House belum berkembang di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan target ekspor non migas Indonesia; b. Faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di negara benchmarking; c. Rekomendasi prioritas produk-produk yang akan dimasukkan dalam Trading House; d. Rekomendasi kebijakan pengembangan Trading House di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan target ekspor non migas Indonesia; Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5 1.5 Dampak/Manfaat Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk peningkatan kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produkproduk yang dihasilkan oleh UKM dan sesuai untuk diperdagangkan melalui konsep pengembangan Trading House yang tepat. 1.6 Ruang Lingkup Adapun yang menjadi ruang lingkup dari kajian ini adalah: a. Konsep/Model Trading House b. Metode Benchmarking dilakukan dengan negara yang sukses dalam mengembangkan Trading House c. Produk potensial ekspor yang sesuai untuk dikembangkan melalui Trading House, dibatasi pada produk-produk yang dihasilkan oleh UKM. Sementara kegiatan survey dengan metode wawancara dan kunjungan lapangan akan dilaksanakan di daerah sentra-sentra pengembangan produk UKM yaitu di provinsi Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat. Sedangkan kegiatan Focuss Group Discussion (FGD) diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. 1.7 Sistematika Laporan Laporan penelitian terdiri dari tujuh Bab dengan isi masingmasing Bab sebagai berikut: a. BAB I Pendahuluan Pada bagian ini diuraikan masalah umum yang berkaitan dengan kinerja ekspor sektor UKM. Faktor umum yang menghambat peningkatan ekspor UKM. Masalah penelitian selanjutnya diuraikan secara fokus pada peran dan lemahnya peran Trading Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6 House di Indonesia serta beberapa contoh Trading House di beberapa negara yang berhasil mendorong ekspor. Dalam pendahuluan juga diuraikan rumusan masalah, tujuan, output, dampak/manfaat, ruang lingkup kajian, dan sistematika laporan. b. BAB II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini diuraikan studi literatur yang berkaitan dengan studi ini. Pada bagian pertama dari tinjauan pustaka dibahas berbagai aspek yang berkaitan dengan definisi dan fungsi Trading House di Indonesia. Tinjauan juga membahas berbagai hasil studi secara empiris dari model kelembagaan Trading House di berbagai negara termasuk kebijakan dan model Trading House di beberapa negara. Sub bab selanjutnya, pembahasan lebih difokuskan pada metode analisis data yang digunakan yaitu metode benchmarking dan metode ANP baik dari sisi teori maupun aplikasinya di berbagai bidang studi. c. BAB III Metode Pengkajian Bab ini diawali dengan kerangka berpikir yang terdiri dari uraian latar belakang secara singkat, metode pengkajian dan rekomendasi yang diharapkan sebagai output dari kajian ini. Selanjutnya dibahas dua hal yaitu metode analisis data dan teknik pengumpulan data. Pada metode analisis data diuraikan bentuk model benchmarking yang digunakan, dan metode ANP untuk penyusunan kriteria dan produk prioritas untuk ditingkatkan ekspornya melalui Trading House. Pada bagian ini juga diuraikan data yang dibutuhkan serta sumber data. d. BAB IV Trading House di Indonesia dan Negara Benchmark Pada sub bab awal dari bab ini dibahas tinjauan atau kondisi eksisting Trading House yang ada di Indonesia selama ini. Sub bab selanjutnya membahas faktor keberhasilan Trading House di negara benchmark, termasuk kebijakan pendukung Trading House dan kelembagaan operasional di negara-negara tersebut. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7 e. BAB V Produk Prioritas Trading House Indonesia Pada bab ini pembahasan ditekankan pada pengembangan kriteria untuk menentukan produk yang sesuai diperdagangkan melaluiTrading House. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, pembahasan dilanjutkan dengan penyusunan komoditas prioritas untuk Trading House dalam rangka meningkatkan ekspor non migas dengan menggunakan metode ANP. f. BAB VI Model Kelembagaan Operasional dan Kebijakan Pendukung Untuk Trading House Indonesia Bab ini akan menyajikan usulan model kelembagaan operasional untuk Trading House Indonesia. Selain itu, dipaparkan juga kebijakan pendukung dalam penerapan Trading House termasuk keberadaan pendanaan, asuransi, dan lembaga terkait Trading House lainnya. g. BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Bagian pertama dari bab ini membahas kesimpulan yang ditarik dari bab-bab sebelumnya terutama mengenai hasil benchmarking dan usulan model dasar operasionalisasi Trading House serta produk prioritas yang diusulkan untuk ditangani oleh Trading House Indonesia. Pada sub bab berikutnya dibahas mengenai rekomendasi dan implikasi kebijakan berkaitan dengan pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan ekspor non migas. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Fungsi Trading House Beberapa negara keberhasilan peningkatan ekspornya didukung oleh keberadaan suatu lembaga yang berperan dalam memfasilitasi eksportir untuk dapat meningkatkan kinerja ekspor. Fasilitas tersebut mulai dari proses produksi hingga pengiriman produk ke negara tujuan ekspor, lembaga ini disebut Trading House. Trading House merupakan commercial intermediaries yang lebih berfokus pada kegiatan ekspor dan impor yang menjadi aktivitas utamanya dan menjadikan pasar luar negeri sebagai pasar utama (Ontario Association for Trading House/OATH, 2015). Sementara itu, menurut The World Federation of Trading House Associations (WFTA) dalam Puslitbang Dagri, 2009 disebutkan bahwa Trading House are commercial intermediaries involved in Trading accros international borders in goods and services mainly supplied by others. Peran Trading companies kerap berkembang seiring berjalannya waktu. Pada akhir tahun 1990, karena keterkaitannya yang erat dengan dengan aktivitas lain seperti shipping, insurance, finance dan manufacturing, hanya sedikit trading companies yang diklasifikasikan sebagai pure trading companies. Definisi Trading companies yang lebih luas ini lalu disebut dengan hybrid Trading companies. Kendati demikian, fokus utama Trading companies adalah sebagai perantara antara penjual dan pembeli. Trading companies dapat berperan sebagai broker atau reseller. Baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar dapat memanfaatkan Trading companies. Bagi perusahaan kecil, trading companies dapat membantu menembus Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan pasar internasional. 9 Sedangkan bagi perusahaan besar, Trading companies dapat dimanfaatkan untuk mencari dan menembus pasar baru. Menurut Fedorowicz (2004) fungsi Trading House meliputi antara lain: (1) Pemilihan pasar dan riset pasar; (2) Identifikasi dan evaluasi konsumen; (3) Negosiasi komersial dan teknis; (4) Pengembangan vendor; (5) Adaptasi produk/kemasan dan peningkatan teknologi; (6) Impor, terutama barang yang dibutuhkan untuk produksi mengamankan terhadap risiko ekspor; kredit; ekspor (7) (8) Pengaturan keuangan Counter-Trading; termasuk asuransi; termasuk (9) Perlindungan (10) Memastikan pembayaran; (11) Dokumentasi ekspor dan pengiriman; (12) Mengelola krisis dan bencana; (13) Pengurusan klaim; (14) Ketersediaan layanan purna jual dan suku cadang; (15) Proyek ekspor, konsorsium dan bisnis tender; (16) Menciptakan jaringan distribusi luar negeri; (17) Hubungan khusus dengan pemerintah. 2.2 Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa Negara Beberapa kebijakan dan model kelembagaan Trading House di berbagai negara dapat dijadikan sebagai usulan model Trading House di Indonesia, antara lain Kanada, Taiwan dan Swedia. a. Kanada Trading House yang terdapat di beberapa negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda di setiap negara, termasuk salah satunya adalah Kanada. Asosiasi Trading House di Kanada dikenal dengan nama Ontario Association of Trading House (OATH) yang berpusat di Ontario, Kanada yang didirikan pada tahun 1996. OATH di Kanada adalah profit organization yang berkomitmen untuk pengembangan perdagangan internasional Kanada. OATH tersebut dikelola oleh para ahli di bidang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10 perdagangan internasional dan beranggotakan para produsen (manufacturer) yang terlibat dalam perdagangan internasional serta perusahaan yang menyediakan layanan perdagangan. OATH mulai didirikan karena pada saat itu belum terdapat asosiasi Trading House yang dinilai cukup kohesif di Kanada. Pembentukan Trading House di Kanada dimulai pada tahun 1984, pada saat pemerintah federal membentuk satuan tugas (task force) Trading House. Trading House di Kanada merupakan murni lembaga swasta atau Private entrepreneurial effort dan tidak terdapat spesialisasi produk. Trading House di Kanada berperan sebagai perantara bisnis antara produsen yang terdapat di Kanada dengan para konsumen atau pembeli yang terdapat di luar negeri. Salah satu Trading House Kanada adalah melakukan ekspor, impor dan terlibat dalam perdagangan dengan negara ketiga sehingga secara umum bertindak sebagai: a. Agen ekspor yang bertindak atas nama pihak lain dan dibayar berdasarkan komisi; b. Perusahaan manajemen ekspor yang menangani sebagian dari ekspor perusahaan induk; c. Dapat terlibat kegiatan imbal dagang (countertrade) jika diperlukan; d. Agen pembelian yang menjadi supplier bagi perusahaan asing. Dengan demikian, Trading House yang berperan sebagai trade intermediaries diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak produsen dan buyer (Tabel 2.1). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11 Tabel 2.1 Manfaat Trading House Bagi Produsen dan Pembeli di Luar Negeri PRODUSEN Barang dikumpulkan dan pembayaran dilakukan di depan pintu. PEMBELI DI LUAR NEGERI Kehandalan terbukti untuk kualitas, harga dan pengiriman Realisasi harga yang lebih baik karena organisasi pemasaran di luar negeri Biaya lebih rendah karena jaringan fasilitas pengadaan Semua risiko dan kesulitan untuk ekspor dihindari. Fasilitas one stop shopping Jaringan global untuk informasi techno-komersial Layanan purna jual terjamin Masuk pasar dengan biaya yang lebih rendah Transportasi dan penanganan dengan biaya lebih rendah. Perspektif bisnis jangka panjang Perspektif bisnis jangka panjang Sumber: OATH (2015) b. Taiwan Pemerintah Taiwan mendirikan Large Trading Companies (LTC) pada tahun 1978. Pendirian ini didorong oleh keberhasilan Sogo shosha di Jepang dan Global Trading Companies (GTC) di Korea Selatan. Sama seperti alasan pendirian Sogo shosha dan GTC, LTC didirikan oleh pemerintah Taiwan juga untuk mengurangi kontrol foreign companies dalam perdagangan internasional di wilayahnya, dimana untuk kasus Taiwan sebagian besar dikuasai oleh perusahaan Jepang. Pada akhir tahun 1970, foreign traders menguasai 70 persen export Taiwan dan pada tahun 1986 masih menguasai 65 persen export. Namun, latar belakang pendirian LTC Taiwan berbeda Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12 dengan latar belakang pendirian Sogo shosha di Jepang dan GTC Korea Selatan. Sogo shosha terbentuk secara natural dibawah support Keiretsu dan GTC di Korea Selatan dibentuk dengan dukungan penuh dari pemerintah dan support dari chaebols. Masing-masing Keiretsu dan Caebols kemudian menggunakan Sogo shosha dan GTC sebagai perpanjangan usaha perdagangan internasionalnya. LTC Taiwan tidak mendapat dukungan dari konglomerat dan tidak didukung dengan kebijakan pemerintah yang solid. LTC Taiwan didirikan untuk melaksanakan beberapa tujuan, antara lain: a. Untuk mengurangi kontrol pedagang asing dalam perdagangan internasionalnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan Taiwan untuk melakukan ekspor secara langsung ke pasar internasional dengan menggunakan merek (brand) Taiwan sendiri. Secara tidak langsung juga diharapkan dapat meningkatkan diversifikasi pasar karena Taiwan terlalu bergantung pada pasar Amerika Serikat, Jepang dan Hong Kong b. Membantu UKM untuk mempromosikan produk ekspornya; c. Membangun subsidiaries dan jaringan perdagangan di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan memperoleh informasi yang dapat membantu eksportir Taiwan agar dapat bersaing di pasar internasional d. Memperoleh material bahan baku secara lebih efektif. Selain tujuan utama tersebut di atas, LTC juga diharapkan dapat menjalankan beberapa fungsi berikut: a. Mengumpulkan informasi komersial; b. Pemasaran produk dan mengunjungi pelanggan di luar negeri; c. Mengembangkan pasar; Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13 d. Mendapatkan dukungan dari bank - pendanaan modal; e. Mendirikan pusat-pusat distribusi di luar negeri f. Berbagi risiko dengan UKM. Pada tahun 1978, LTC yang pertama di Taiwan berdiri dan pada tahun 1983 telah terdapat 7 LTC. Ketujuh perusahaan tersebut dan tahun pendiriannya adalah: 1) Pan Overseas International, 1978; 2) Collins, 1979; 3) Tainan Textuile Enterprises, 1979; 4) Great International, 1979; 5) E-Hsin International, 1980; 6) Peacock, 1984; dan 7) Taipoly, 1984. Namun demikian, tidak semua LTC ini dapat bertahan lama. Pada tahun 1989 hanya 3 perusahaan yang bertahan (E-Hsin, Collins dan Pan Overseas) dan pada tahun 2000 hanya satu perusahaan, yaitu Collins yang mampu bertahan. c. Swedia Sejarah munculnya Trading House di Swedia diawali oleh kebutuhan perusahaan-perusahaan Swedia akan perusahaan perantara dalam pengalaman dalam melakukan melakukan ekspor karena ekspor serta kurangnya pengetahuan mengenai regulasi di negara tujuan ekspor. Pada abad ke-19, Trading House di Swedia hanya berperan sebagai agen perdagangan beberapa komoditas, seperti gandum-ganduman, besi dan baja, serta pulp. Seiring dengan kemajuan industri dan telekomunikasi Swedia, dimana informasi pasar bisa didapatkan dengan mudah, sebagian besar Trading House Swedia tutup. Hanya beberapa Trading House masih dapat bertahan hingga saat ini karena memiliki pengembangan strategik dan mempertahankan peran penting. Salah satu Trading House Swedia, Ekman & Co., Ltd., merupakan salah satu Trading House tertua di dunia. Ekman & Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14 Co., Ltd. merupakan perusahaan penjualan dan pemasaran hasil industri kehutanan, seperti pulp, kertas dan packaging, recovered materials, dan bioenergi, yang didirikan pada tahun 1802. Selain berperan sebagai trader, Ekman & Co., Ltd. juga melayani analisis pasar, invoicing dan dokumen, administrasi logistik dan pergudangan, transportasi dan asuransi, pembiayaan perdagangan, serta lindung nilai suku bunga dan price risk. Selain Ekman & Co., Ltd., Business Sweden adalah Trading House Swedia yang dimiliki oleh pemerintah Swedia, dibawah Kementerian Luar Negeri, dan swasta dari Sveriges Allmanna Utrikeshandelsforening. Tujuan utama didirikannya Business Sweden adalah untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan Swedia, terutama UMKM, untuk melakukan ekspor serta untuk membantu perusahaan asing untuk melakukan bisnis dan investasi di Swedia. Business Sweden terdapat di 50 negara di dunia dan bekerjasama dengan kedutaan dan konsulat Swedia, serta kantor dagang di seluruh dunia. Fokus industri dari Business Sweden antara lain teknologi lingkungan dan energi, industri makanan, ilmu alam dan perawatan kesehatan, ritel, keamanan dan pertahanan, teknologi informasi, serta otomotif dan transportasi. Beberapa layanan yang disediakan oleh Business Sweden adalah konsultasi mengenai pasar, akuisisi, pembentukan perusahaan, penjualan dan pemasaran; pendidikan dan panduan mengenai peraturan perdagangan dan ekspor; pertemuan bisnis; international procurement; dan layanan untuk UMKM. 2.3 Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia Konsep mengenai Trading House di Indonesia telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan antara Usaha Besar dengan Usaha Kecil dan Menengah Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15 (UKM). Di dalam peraturan tersebut dijabarkan mengenai pola-pola kemitraan antara kedua skala usaha tersebut serta hak dan kewajiban baik untuk usaha besar maupun UKM dalam menjalankan kemitraan. Terdapat lima pola kemitraan antara kedua usaha tersebut yang memiliki kesamaan dengan konsep Trading House negara-negara lain. Pada pola kemitraan inti-plasma, usaha besar merupakan inti dan UKM merupakan plasma, dengan demikian usaha besar bertindak sebagai pembina bagi UKM dengan menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis, dan pemasaran hasil produksi kedua usaha. Kemitraan pola subkontrak merupakan kerjasama antara usaha besar dengan UKM, dimana UKM memproduksi komponen untuk produksi usaha besar. Pada kemitraan pola dagang umum, usaha besar melakukan pemasaran produk UKM dapat bertindak sebagai pemasok untuk kebutuhn usaha besar. Pola kemitraan yang lain adalah pola waralaba dimana usaha besar sebagai pemberi waralaba memberikan kepada UKM hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya dengan disertai bantuan manajemen. Pola yang terakhir adalah pola keagenan dimana UKM diberi hak oleh usaha besar untuk memasarkan produknya. Trading House di Indonesia selain dilaksanakan oleh sektor swasta juga dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti BUMN dan lembaga tinggi negara setingkat kementerian. Trading House yang berasal dari sektor swasta umumnya merupakan perusahaan asing yang kemudian mendirikan branch office di Indonesia. Selain itu, terdapat juga beberapa asosiasi pengusaha dan perusahaan dagang di Indonesia yang berupaya melaksanakan tugas dan fungsi Trading House seperti Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) yang telah membantu UKM yang menjadi anggota untuk melakukan kegiatan ekspor. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16 Sementara The Indonesia Trading company (Indotraders) merupakan Trading House yang membantu untuk memfasilitasi dan melakukan ekspor termasuk masalah packaging dan shipping untuk produk furnitur dan kerajinan yang berasal dari Bali. Selain sektor swasta, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) merupakan satu-satunya BUMN yang berperan sebagai Trading House yang bergerak di bidang distribusi, ekspor dan impor. Kementerian Koperasi dan UKM juga telah membentuk Lembaga Layanan Pemasaran (LLP-KUKM) yang berfungsi untuk memasukkan seluruh produk UKM ke pasar global dan memberikan pencitraan bagi produk UKM Indonesia termasuk salah satunya dengan labelling (Kementerian Koperasi dan UKM, 2015). Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan merencanakan untuk mendorong dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini telah bergerak di bidang perdagangan yaitu PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) dan PT. Sarinah untuk dapat berperan sebagai Trading House dalam rangka mendukung peningkatan ekspor non migas. Beberapa kendala dalam pelaksanaan Trading House di Indonesia antara lain (Puslitbang Dagri, 2009); a. PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan belum ditindaklanjuti dengan kebijakan operasional yang berkaitan dengan pengembangan Trading House; b. Kepmenperindag No. 402 Tahun 1997 tentang Ketentuan Perizinan Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, peraturan mengenai penetapan PPn dirasa menghambat Trading House; c. Belum ada Peraturan daerah (Perda) yang mengatur pembinaan dan dukungan bagi pengembangan Trading House di daerah. Trading House di Indonesia umumnya dilaksanakan oleh swasta dan merupakan kepanjangan tangan dari pembeli di luar Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17 negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa asosiasi pengusaha berupaya mengoperasikan Trading House di beberapa daerah di dalam dan luar negeri, seperti HIPMI Jateng yang telah membuka pusat promosi di Rotterdam untuk mempromosikan produk yang dihasilkan propinsi Jawa Tengah ke pasar Eropa. Kementerian Koperasi dan UKM melalui LLP-KUKM telah membuka Trading House di Plodiv Bulgaria, bekerja sama dengan mitra lokal (Log Consultant Ltd), yang bertanggung jawab memasarkan produk Indonesia di Eropa. Departemen Perdagangan juga pernah menginisiasi pendirian beberapa Trading House di beberapa daerah, seperti di Pekalongan (industri batik), Ciputat (industri konveksi) dan Jakarta Timur (industri meubel), namun Trading House tersebut dinilai belum maksimal dalam memberikan layanan bagi UKM mitra usahanya (Puslitbang Dagri, 2009). 2.4 Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP) Efektivitas organisasi (organizational effectiveness) adalah tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi dan sasaran-sasaran yang direncanakan, serta tingkat penyelesaian terhadap masalahmasalah yang dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan. Efektivitas juga berarti bahwa organisasi telah melaksanakan atau mengerjakan hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan yang benar sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tujuan keberadaan organisasi yang bersangkutan (Anonymous, 2007). Efektivitas organisasi ditentukan oleh beberapa faktor yang terkait langsung dengan proses operasional yang dilakukan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dengan melakukan proses transformasi terhadap beberapa faktor input untuk menghasilkan keluaran (output) yang sesuai dengan tujuan dan sasarannya. Berbagai riset telah banyak dilakukan untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas suatu organisasi. Ashraf dan Kadir (2012) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18 dan Love dan Skitmore (1996) menyatakan bahwa ada empat metode pendekatan yang paling sering digunakan di dalam menilai efektivitas suatu organisasi, yaitu melalui pendekatan pencapaian tujuan (goal approach) atau juga disebut dengan model tujuan rasional, pendekatan sumber daya sistem (resource system approach), pendekatan proses operasi (process approach) atau juga disebut model proses manajerial, dan pendekatan konstituen strategis (strategic constituent approach). Cunningham (1977) juga mengungkapkan bahwa selain keempat pendekatan tersebut, riset tentang efektivitas organisasi juga ada yang menggunakan pendekatan-pendekatan lainnya. Model tawar-menawar (bargaining model) digunakan jika pertukaran antar kemampuan individu, atau antara kelompok individu di dalam organisasi serta kemampuan pembuatan keputusan yang tepat dan seimbang dalam mengakomodasikan tujuan-tujuan individu dan kelompok menjadi faktor yang penting. Selanjutnya, Cunningham (1977) juga menguraikan bahwa model fungsional struktur pernah digunakan jika efektivitas organisasi sangat ditentukan oleh perbaikan dalam hal kemampuan pengembangan struktur, aliansi, tradisi, doktrin, kontrak, dan komitmen, serta mekanisme partisipasi. Jika efektivitas organisasi lebih dipengaruhi oleh aktivitas sosial dan konsekuensinya, maka model fungsional dapat digunakan. Dalam hal ini setiap sistem harus mampu mendefinisikan maksud keberadaannya, menentukan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai maksud tersebut, memantapkan arti untuk mengkoordinasikan dirinya dalam mengurangi tekanan dan ketegangan terhadap lingkungannya. Dalam kondisi suatu organisasi mengalami lingkungan yang kompetitif dan perlu dikembangkan nilai-nilai penting untuk dapat bersaing secara efektif Yu dan Wu (2009) serta Love dan Skitmore (1996) menguraikan suatu model penilaian efektivitas yang disebut kerangka nilai-nilai kompetisi (competing value frame work), yang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19 pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dalam hal ini ada dua dimensi internal yang penting bagi suatu organisasi untuk dapat bersaing dan bertahan secara efektif, yaitu dimensi nilai-nilai internal dan pengembangan sumberdaya manusia untuk mampu menanggapi lingkungan makro yang meliputi orientasi kepada tujuan individu dan orientasi kepada tujuan organisasi, serta dimensi terkait dengan struktur organisasi yang sesuai dalam aspek keseimbangan antara kemapanan dan keluwesan untuk merespon lingkungan tersebut. Kedua dimensi tersebut akan mangarah kepada nilai-nilai dan budaya organisasi yang dikembangkan untuk dapat bertahan pada lingkungan yang kompetitif. Hossein et al. (2011) mengungkapkan bahwa model ini juga banyak dipakai di dalam mengevaluasi efektivitas dalam olahraga dan organisasi yang bergerak dalam bidang keolahragaan. Untuk lembaga yang sedang berkembang dan pada fase untuk memperkuat kompetensinya, Cunningham (1977) menunjuk model pengembangan organisasi (organizational development model) merupakan pendekatan yang lebih sesuai dalam penilaian efektivitasnya. Pada dasarnya, model pengembangan organisasi yang menekankan pentingnya mengatasi permasalahan organisasi dan pembaruan tentang kemampuan dan kapasitas organisasi. Dalam model ini beberapa parameter penting yang digunakan ada empat, yaitu perilaku supervisi terhadap karyawan, semangat tim, keyakinan kepercayaan dan komunikasi antara karyawan dan manajemen, serta kebebasan untuk mencapai tujuan. Pendekatan dengan metode Balanced Scorecard (BSC) pernah dilakukan oleh Banwet et al. (2006) untuk mengevaluasi institusi penelitian dan pengembangan. Sesuai dengan konsep dasar BSC, keseimbangan antara proses innovasi, pembelajaran, dan pertumbuhan organisasi dengan aspek pasar dan konsumen, keuangan, dan internal proses merupakan faktor penting bagi organisasi untuk mencapai efektivitas Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan dan keberhasilannya. 20 Keterpaduan antara strategi inovasi dan arah pengembangan harus sejalan dengan kebutuhan dioperasionalisasikan dalam konsumen/pasar, proses serta manajemen internal dapat dan ketersediaan keuangan organisasi. Pemilihan komoditas prioritas harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang terus berupaya menggalakkan diversifikasi produk ekspor dan negara tujuan ekspor, namun tetap terus menjaga dan meningkatkan ekspor di negara-negara yang selama ini menjadi mitra dagang utama Indonesia. Oleh karena itu, dalam menentukan komoditas prioritas, pengambil keputusan dihadapkan dengan situasi yang cukup kompleks dan rumit. Keputusan pemilihan produk UKM yang tepat merupakan salah satu aspek yang krusial dalam mengembangkan Trading House untuk mencapai peningkatan ekspor non migas. Oleh karena itu dalam pengkajian ini juga dilakukan pemilihan prioritas kriteria produk UKM yang akan memanfaatkan Trading House dengan metode Analitycal Network Process (ANP). Metode ANP adalah salah satu metode yang mempertimbangkan tingkat kepentingan berbagai pihak dengan memperhatikan saling keterkaitan antar kriteria dan subkriteria yang ada. Model ini merupakan pengembangan dari AHP sehingga lebih memiliki kompleksitas dibanding metode AHP. Metode ANP mampu memperbaiki kelemahan AHP berupa kemampuan mengakomodasi keterkaitan antar kriteria atau alternatif. Keterkaitan pada metode ANP ada 2 jenis yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner dependence) dan keterkaitan antar elemen yang berbeda (outer dependence). Adanya keterkaitan tersebut menyebabkan metode ANP lebih kompleks dibanding metode AHP. Berbeda dengan AHP, ANP dapat menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hirarki yang digunakan dalam AHP. Konsep utama dalam ANP adalah pengaruh (influence), sementara konsep utama dalam AHP adalah preferensi (preference). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21 Prinsip-prinsip dasar ANP ada tiga, yaitu dekomposisi, penilaian komparasi (comparative judgements), dan komposisi hirarki atau sintesis dari prioritas. Prinsip dekomposisi diterapkan untuk menstrukturkan masalah yang kompleks menjadi kerangka hirarki atau jaringan cluster, sub cluster, sub-subcluster, dan seterusnya. Dengan kata lain dekomposisi adalah memodelkan masalah ke dalam kerangka ANP. Prinsip penilaian komparasi diterapkan untuk membangun pembandingan pasangan (pairwise comparison) dari semua kombinasi elemen-elemen dalam cluster dilihat dari cluster induknya. Pembandingan pasangan ini digunakan untuk mendapatkan prioritas lokal dari elemen-elemen dalam suatu cluster dilihat dari cluster induknya. Prinsip komposisi hirarkis atau sintesis diterapkan untuk mengalikan prioritas lokal dari elemen-elemen dalam cluster dengan prioritas global dari elemen induk, yang akan menghasilkan prioritas global seluruh hirarki dan menjumlahkannya untuk menghasilkan prioritas global untuk elemen level terendah (biasanya merupakan alternatif). Kelebihan ANP dibandingkan dengan metode AHP adalah: a. Kekuatan ANP terletak dalam penggunaan rasio skala untuk menangkap semua jenis interaksi dan membuat prediksi yang akurat, dan bahkan lebih, untuk membuat keputusan yang lebih baik. b. Kemampuannya untuk membantu kita dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hirarki atau jaringan. c. Kesederhanaan metode ANP menjadikannya metode yang lebih umum dan lebih mudah diaplikasikan untuk studi kualitatif yang beragam, seperti pengambilan keputusan, forecasting, evaluasi, mapping,strategizing, alokasi sumber daya, dan lain sebagainya. d. Apabila dibandingkan dengan metode AHP, metode ANP memiliki banyak kelebihan, seperti komparasi yang lebih obyektif, prediksi yang lebih akurat, dan hasil yang lebih stabil Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22 dan kuat. Software ANP yang digunakan dalam kajian ini adalah Super Decisions. e. ANP akan sangat membantu perusahaan dalam riset evaluasi dan pengambilan keputusan, yang berhubungan dengan pengembangan organisasi dan manajemen, produk, layanan dan marketing, karena akan lebih akurat dan sangat efisien. Adapun beberapa penelitian yang menggunakan metode ANP antara lain; Tabel 2.2 Penelitian Menggunakan Metode ANP Peneliti/tahun Ascarya, Yumanita/2005 Jaharnsyah, et.al/2013 Goal Penggunaan Metode ANP Mencari solusi rendahnya pembiayaan bagi hasil perbankan syariah Indonesia Merumuskan Strategi Pengembangan Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya Gorener/2012 Menentukan prioritas faktor dari SWOT untuk mengambil keputusan pada perusahaan Manufaktur. Endri/2009 Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi Di Indonesia Menggunakan Metode ANP Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif, dimana masing-masing level memiliki elemen. Sementara itu, pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, yang sekarang disebut simpul (Gambar 2.1). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23 Gambar 2.1. Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback Sumber: Azis (2003) Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat bergantung/terikat pada kriteria seperti pada hirarki tetapi dapat juga bergantung/terikat pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria itu sendiri dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria. Oleh karena itu, hasil dari ANP diperkirakan akan lebih stabil. Dari jaringan feedback pada gambar 2.1 dapat dilihat bahwa simpul atau elemen utama dan simpul-simpul yang akan dibandingkan dapat berada pada cluster-cluster yang berbeda. Sebagai contoh, ada hubungan langsung dari simpul utama C4 ke cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outerdependence. Sementara itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan dibandingkan berada pada cluster yang sama, sehingga cluster ini terhubung dengan dirinya sendiri dan membentuk hubungan loop, disebut innerdependence. Elemen dalam suatu komponen/cluster dapat mempengaruhi elemen lain dalam komponen/cluster yang sama (innerdependence), dan dapat pula mempengaruhi elemen pada cluster yang lain (outerdependence) dengan memperhatikan setiap kriteria. Akhirnya, Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24 hasil dari pengaruh ini dibobot dengan tingkat kepentingan dari kriteria, dan ditambahkan untuk memperoleh pengaruh keseluruhan dari masing-masing elemen. Pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise comparison (pembandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk mengetahui mana di antara keduanya yang lebih besar pengaruhnya (lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya dilihat dari satu sisi. Skala numerik 1-9 yang digunakan merupakan terjemahan dari penilaian verbal. Pengisian kuesioner oleh responden harus didampingi peneliti untuk menjaga konsistensi dari jawaban yang diberikan. Pada umumnya, pertanyaan pada kuesioner ANP sangat banyak jumlahnya. Sehingga faktor-faktor non teknis dapat menyebabkan tingginya tingkat inkonsistensi. Menurut Saaty et.al (2006) ANP digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol.ANP merupakan teori matematika yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan dependence dan feedback secara sistematis yang dapat menangkap dan mengombinasi faktor-faktor tangible dan intangible. Berkaitan dengan kajian ini, dalam melakukan pengembangan dalam kinerja ekspor, diperlukan prioritas dalam menerapkan strategi pengembangan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan metode Metode ANP. Metode ANP digunakan untuk mengetahui bobot dari masing-masing alternatif sehingga terpilih sebuah prioritas strategi pengembangan ekspor yang terbaik dan paling diprioritaskan. Sebelum dilakukan penentuan bobot kriteria, sub-kriteria, dan alternatif, dilakukan terlebih dahulu identifikasi hubungan antar kriteria, antar sub-kriteria, dan antara sub kriteria dan alternatif. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25 Metode ANP dilakukan dengan bantuan software Super Decision, dimana pada prosesnya diawali dengan pembuatan model cluster yang menunjukkan hubungan antara goal, kriteria, subkriteria, dan alternatif. Melalui model ini pula akan terlihat hubungan antar kriteria, antar sub-kriteria, serta antara sub-kriteria dengan alternatif produk. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26 BAB III METODE PENGKAJIAN Bab ini akan menjelaskan kerangka berfikir kajian secara keseluruhan yang dimulai dari latar belakang singkat dan usulan rekomendasi yang diharapkan muncul setelah kajian ini selesai dilaksanakan. Selanjutnya sesuai dengan tujuan pengkajian maka ada dua metode analisis yang akan digunakan dalam pengkajian ini. Metode yang digunakan adalah metode benchmarking dan ANP. Benchmarking untuk membangun model kelembagaan Trading House yang terdiri dari kriteria landasan hukum, fungsi Trading House, status kelembagaan, peran pemerintah, keragaman produk, lembaga pendukung dan kerangka dasar operasi. Sedangkan metode ANP untuk memilih kriteria produk prioritas yang akan diperdagangkan melalui Trading House. 3.1 Metode Analisis 3.1.1 Kerangka Berfikir Terlihat dari pertumbuhannya yang cukup signifkan dan daya resistensi yang kuat terhadap kondisi ekonomi global, potensi ekspor UKM sangat besar. Kendati demikian, hingga saat ini potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Pangsa ekspor UKM masih sangat rendah yakni 2% dari total ekspor non migas di tahun 2013. UKM menghadapi beberapa kendala dalam melakukan ekspor seperti skala uaha yang kecil dan sulitnya serta mahalnya UKM dalam mencari informasi pasar. Keberadaan Trading House dapat mengatasi kendalakendala yang dihadapi oleh UKM. Dengan fungsinya sebagai agen ekspor, promotor, integrator, manajemen ekspor impor sekaligus agen pembelian, Trading House dapat secara aktif membantu UKM dalam melakukan ekspor. Kesuksesan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27 Trading House dalam mendorong ekspor UKM sudah dibuktikan di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Kanada, Taiwan dan Swedia. Berbeda dengan kondisi di negara tersebut, peran Trading House di Indonesia belum efektif dalam mendukung ekspor, khususnya UKM. Untuk itu diperlukan suatu model pengembangan Trading House untuk mendukung ekspor UKM melalui identifikasi masalah Trading House di Indonesia dan benchmarking kelembangan dan kebijakan Trading House di negara lain serta pemilihan kriteria dan produk prioritas Trading House dengan ANP. Pada gambar 3.1 berikut disajikan kerangka berfikir kajian secara ringkas. Gambar 3.1. Pola Pikir Kajian 3.1.2 Metode Benchmarking Benchmarking merupakan salah satu teknik mengukur kinerja dalam suatu perusahaan atau organisasi dengan tujuan untuk melakukan perbaikan. Benchmarking adalah cara sederhana pengukuran kinerja suatu perusahaan dengan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28 membandingkannya kepada industri yang terkait. Pada dasarnya teknik benchmarking merupakan bagian dan tahapan dari suatu learning process bagi organisasi tersebut. Dengan teknik ini, maka suatu unit atau perusahaan dapat belajar dari unit atau perusahaan lain dalam mencapai kinerja yang optimal (Lankford, W.M, 2001)1. Pemilihan unit, perusahaan atau organisasi lain sebagai pembanding dilakukan dengan mempertimbangkan kemiripannya dengan unit, perusahaan atau organisasi yang bersangkutan dalam melaksanakan proses operasi/proses bisnis. Dalam melaksanakan benchmarking, proses perbandingan unsur-unsur kinerja perlu memperhatikan rantai nilai dan proses operasinya, di samping produk atau keluaran yang dihasilkan oleh unit, perusahaan, atau organisasi yang bersangkutan. Terkait hal itu perlu dipilih beberapa faktor keberhasilan kunci (Lankford, W.M, 2001). Berdasarkan proses operasi yang diterapkan oleh Trading House, maka kriteria benchmarking yang merupakan faktor pembanding kinerja Trading House Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja Indikator N Kriteria Benchmarking 1Lankford, 1 Landasan hukum UU, Peraturan Agen pembelian, packaging, promosi, pendanaan, dst. 2 Fungsi Trading House 3 Status Kelembagaan Pemerintah, Swasta, BUMN/BUMD 4 5 Peran Pemerintah Keragaman Produk 6 Lembaga Pendukung 7 Kerangka Dasar Operasi Kebijakan, Anggaran, Fasilitas Tinggi, Sedang, Rendah Warehouse, Bank, Transportasi/ekspedisi Koordinasi, Katalog, Promosi, Negosiasi, Transaksi, Asuransi, Ekspedisi. W.M. (2001). Benchmarking: Understanding the basics. The Coastal Business Journal. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29 3.1.3 Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal Network Process (ANP) Metode untuk memilih kriteria dalam penentuan kelompok produk atau komoditas UKM yang akan dimasukkan dalam konsep Trading House menggunakan metode Analitycal Network Process (ANP). Penyusunan prioritas akan dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah melakukan penyusunan prioritas awal kriteria produk berdasarkan beberapa kriteria antara lain; a) Sumber bahan baku (domestik atau impor) b) Tren nilai output c) Pertumbuhan ekspor Indonesia d) Pertumbuhan pangsa ekspor e) Pertumbuhan impor dunia f) Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia Tahap kedua adalah menentukan kriteria dan produk prioritas UKM yang akan dimasukkan dalam Trading House dengan menggunakan hasil dari penentuan kirteria prioritas tersebut. Kajian ini akan menggunakan metode ANP yang telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelumnya untuk membuat prioritas sehingga diperoleh keputusan yang tepat. Metode ANP terdiri dari dua bagian yaitu; a. Bagian pertama terdiri dari suatu hirarki kontrol atau jaringan kriteria dan sub kriteria yang mengontrol interaksi dalam sistem. b. Bagian kedua adalah suatu jaringan yang memperlihatkan pengaruh antar elemen dalam suatu kluster atau antar kluster. Suatu masalah pengambilan keputusan dengan ANP digambarkan melalui suatu jaringan atau control hirarchy. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30 Jaringan keputusan terdiri dari kluster-kluster, elemen-elemen dan jaringan (links). Suatu kluster terdiri dari elemen-elemen yang bersesuaian dalam suatu jaringan atau sub jaringan. Untuk masing-masing jaringan, kluster dari suatu sistem dengan elemen-elemennya dilakukan perhitungan. Semua interaksi dan umpan balik di dalam suatu kluster disebut innerdependence, sedangkan interaksi dan umpan balik antar kluster disebut outerdependence. Melalui innerdependence dan outerdependence, pengambil keputusan dapat menggambarkan konsep hubungan interaksi antar kluster dan antar elemen di dalam suatu kluster. Struktur jaringan ANP digambarkan dengan panah dua jalur (busur lingkaran) yang menghadirkan saling ketergantungan antar kluster atau jika di dalam tingkatan faktor yang sama menghadirkan saling ketergantungan antar elemen dalam kluster atau jika di dalam tingkatan faktor yang sama akan terbentuk loop. Arah busur lingkaran menandakan ketergantungan. Busur lingkaran berasal dari pengendalian atribut yang menghubungkan atribut dengan atribut lain yang saling mempengaruhi. Adapun langkah-langkah dalam menggunakan metode ANP: a. Menyusun suatu hirarki jaringan keputusan yang menunjukkan hubungan antar faktor keputusan b. Membuat perbandingan berpasangan di antara faktor yang mempengaruhi keputusan c. Menghitung relative importance weight vectors dari faktor-faktor tersebut. d. Membuat suatu supermatriks yang tersusun dari relative importance weight vectors. e. Menghitung bobot akhir dengan supermatriks. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31 Adapun pengolahan data dengan metode ANP pada kajian ini akan menggunakan software Super Decision. 3.2 Data Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian yaitu data primer dan sekunder. Data primer diambil dengan dua metode yaitu survey dengan melakukan teknik wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Survey dilakukan kepada pelaku UKM, dan lembaga yang telah menjalankan fungsi Trading House di provinsi Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat. Survey ke daerah dilakukan bekerja sama dengan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) dan Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Republik Indonesia (APIKRI) di lokasi survey tersebut. Adapun tujuan survey adalah untuk memperoleh informasi dan usulan model kelembagaan Trading House serta permasalahan UKM yang terkait dengan Trading House. Survey dilakukan dengan panduan kuisioner yang telah disusun, yaitu untuk pelaku UKM dan lembaga pelaksana Trading House. Selain itu, Focussed Group Discussion (FGD) juga dilakukan untuk memilih kriteria produk ekspor UKM yang dimasukkan dalam Trading House dan memberi masukan terhadap usulan model kelembagaan operasional Trading House. FGD diselenggarakan di Mataram, provinsi NTB dengan peserta FGD yang diundang antara lain para pelaku UKM, eksportir, dan lembaga yang terkait Trading House. Data sekunder yang digunakan dalam kajian ini antara lain, data kinerja ekspor Indonesia menurut produk dan negara tujuan, pangsa nilai ekspor Indonesia, jenis produk UKM Indonesia. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti BPS dan COMTRADE. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32 BAB IV KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA BENCHMARKING DAN INDONESIA 4.1 Faktor-faktor Keberhasilan Trading House di Negara Benchmarking Bab ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong keberhasilan pengembangan Trading House pada kedua negara benchmarking, termasuk sub bab di dalamnya membahas tentang kebijakan pendukung dan kelembagaan operasional dari masingmasing negara. 4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara Benchmark a. Sogo Shosha di Jepang Jepang merupakan salah satu negara yang berhasil menerapkan konsep Trading companies atau yang disebut sogo shosha. Sogo shosha muncul pada zaman restorasi Meiji di Jepang pada abad ke 18. Zaman restorasi Meiji merupakan zaman dimana Jepang melakukan proses industrialisasi dan komersialisasi secara masif melalui pembangunan infrastruktur dan industri. Pada periode ini, peranan pebisnis sangat besar bagi ekonomi Jepang. Pebisnis besar atau yang disebut Zaibatsu banyak melakukan perdagangan luar negeri. Kondisi ini diperkirakan sebagai lahirnya Trading company di Jepang. Trading company memiliki kontribusi yang sangat besar bagi ekonomi Jepang. Sekitar tahun 1980, total transaksi yang dilakukan Trading company berkontribusi sekitar 30% PDB Jepang. Impor Trading company tercatat 65% dari total impor Jepang dan ekspor tercatat 50% (Ryan, 2013). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33 Sogo shosha memiliki konsep yang unik. Pertama, satu Sogo shosha menangani sekitar 30.000 produk yang berbeda. Produk-produk ini memiliki variasi yang beragam dari barang mentah ke produk teknologi tinggi. Dalam hal ini, sogo shosha menerapkan prinsip economies of scale dan economies of scope. Prinsip economies of scale dilakukan ketika sogo shosha menangani perdagangan dengan produk yang sudah memiliki pangsa ekspor yang besar di Jepang. Sementara economies of scope dimana sogo shosha menangani perdagangan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Selanjutnya, perusahaan sogo shosha merupakan perusahaan Multinational Corporation (MNC) yang mempunyai anak perusahaan di industri yang beragam dengan ruang lingkup global. Bisnis sogo shosha sering kali dibedakan tergantung jenis industrinya, seperti energi, makanan, kimia, mineral dan logam dan manufaktur. Selain berdasarkan industry, sogo shosha juga merupakan perusahaan global yang tersebar di dunia melalui kantor perwakilan di negara lain. Selain itu, semua aktivitas yang dilakukan oleh sogo shosha terintegrasi menjadi satu organisasi. Selain menjadi intermediary/broker/reseller, sogo shosha juga menaungi aspek lain seperti informasi, logistik, keuangan, manajemen resiko, koordinasi dan organisasi. Hal ini menandakan bahwa sogo shosha memiliki aspek economies of function. Adapun kunci sukses sogo shosha antara lain: (i) Sogo shosha mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, mengevaluasi dan menerjemahkan informasi pasar menjadi peluang bisnis melalui sistem informasi yang baik; (ii) Jumlah transaksi yang ditangani banyak sehingga memberikan keuntungan berupa pengurangan biaya; (iii) Sogo shosha melayani pasar dengan pangsa yang besar di dunia sehingga Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34 memberikan keuntungan transaksi. Selain itu terdapat konsep unik dalam sogo shosha, seperti mekanisme barter trade; dan (iv) Sogo shosha memiliki akses volume modal yang besar baik di pasar modal Jepang maupun internasional. Dengan modal yang besar, sogo shosha dapat melayani transaksi yang besar dan beresiko (Tanaka, 2012). b. KGTC di Korea Selatan Sistem General Trading Companies (GTCs) di Korea Selatan dibentuk dengan mencontoh Sogo shosha di Jepang. Sistem GTCs di Korea dimulai dengan Presidential Decree for Enforcement for Trade dan dilanjutkan dengan sosialisasi Kementerian Perdagangan dan Industri (MCI) dalam MCI Notice Nomor 10607 tanggal 30 April 1975. Namun, diskusi panjang tentang perlunya sistem GTC telah mengemuka sejak pertengahan 1960-an karena ekonomi Korea telah berkembang pesat sejak awal tahun 1960-an dengan pelaksanaan serangkaian Rencana Ekonomi Lima Tahun. Dalam proses pertumbuhan ekonomi yang cepat, terjadi berbagai masalah karena ketergantungan pada dukungan pemerintah yang ditawarkan untuk banyak perusahaan ekspor (Jun, 2009). Pertama, pemerintah tidak mampu memberikan dukungan keuangan untuk semua perusahaan ekspor. Hal tersebut tidak mampu untuk terus mendukung peningkatan jumlah dan ukuran semua perusahaan ekspor dengan peningkatan jumlah subsidi. Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan insentif yang tepat untuk membuat perusahaan ekspor mandiri. Kurangnya insentif pemerintah perusahaan ekspor tidak pemasaran ekspor. cukup Ketiga, Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan tersebut kuat dukungan mengakibatkan untuk mengelola pemerintah untuk 35 perusahaan-perusahaan tersebut dengan partisipasi produsen skala kecil di menyebabkan pasar internasional persaingan yang berlebihan di sama antara malah mereka. Persaingan tersebut menyebabkan harga ekspor menurun sehingga berdampak pada keuntungan yang juga menurun (Jun, 2009). Dalam situasi tersebut, pembuat kebijakan pemerintah harus merenovasi sistem ekspor untuk mengikuti laju peningkatan ekspor. Kebutuhan perusahaan yang berdaya saing tinggi di pasar luar negeri sehingga memutuskan untuk mengadopsi sistem Sogo shosha Jepang (mesin penggerak pertumbuhan ekonomi melalui ekspor di Jepang). Pemerintah Korea Selatan mengarahkan Korean Global Trading Company (KGTC) sekurangnya harus memiliki dua fungsi dasar. Pertama, keterampilan pemasaran internasional yang kuat untuk mengatasi proteksionisme negara-negara industri dan harus dapat mendekati konsumen di negaranegara industri serta memanfaatkan potensi yang belum dimanfaatkan. Kedua, membantu ekspor produk dari produsen yang sudah menunjukkan inefisiensi karena persaingan berlebihan, dumping, atau hambatan yang timbul dari terlalu banyaknya eksportir. Selain itu diperlukan fungsi pendukung lainnya seperti networking dan distribusi informasi, perancangan dan pengembangan produk melalui market research, koordinasi produk dan Kementerian fasilitasi pemberdayaan Perdagangan dan UKM. Industri Selanjutnya Korea Selatan mengumumkan prosedur dan persyaratan formal untuk KGTC untuk dibentuk pada bulan April 1975. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36 Syarat minimum yang ditetapkan pemerintah untuk penunjukan KGTC antara lain: 1) memiliki modal minimal satu miliar Won Korea; 2) nilai ekspor per tahun mencapai USD 50 juta; 3) memiliki sepuluh kantor cabang di luar negeri; 4) memiliki minimal 10 negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor masing-masing sebesar USD 1 juta; 5) memiliki 7 kategori produk dengan nilai ekspor masing-masing lebih dari USD 500.000 per tahun; dan 6) penawaran publik dari saham KGTC. KGTC yang didirikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat menentukan target ekspor minimum, persyaratan kapitalisasi, jumlah barang-barang ekspor, jumlah kantor cabang luar negeri dan tingkat kepemilikan saham publik untuk setiap KGTC. Samsung ditunjuk sebagai KGTC pertama pada bulan Mei 1975, diikuti oleh Ssangyong, Daewoo, Kukjae dan Hanil pada tahun yang sama. Kemudian enam perusahaan yang ditunjuk sebagai KGTC bertambah pada tahun 1976 yaitu Koryo, Hyosung, Bando, Sunkyoung, Samwha dan Kumho. Pada tahun 1978, Yulsan dan Hyundai juga ditunjuk, sehingga jumlah total KGTC Korea untuk 13. Namun, Yulsan bangkrut pada tahun 1979, yang mengakibatkan likuidasi perusahaan perdagangan Yulsan. Sekali lagi Hanil, Samwha dan Kumho juga gagal mempertahankan status KGTC, karena tidak dapat mencapai pangsa 2% dari total ekspor Korea, yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan insentif KGTC. Selama periode 1975 - 1981, tata cara yang mengatur sistem GTCs Korea Selatan menjalani serangkaian perubahan karena perubahan dalam lingkungan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sebagian besar kelompok bisnis besar Korea Selatan (Chaebol) sangat ingin untuk mendapatkan status KGTC, karena banyaknya insentif yang diberikan pemerintah. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37 Pertama, status KGTC dapat meningkatkan kredibilitas kelompok bisnis baik di Korea Selatan dan di pasar dunia. Kedua, dengan status KGTC, kelompok usaha dapat meningkatkan kemungkinan memperoleh konsesi pemerintah pada berbagai proyek-proyek yang diprakarsai pemerintah, seperti pabrik kimia dan alat berat. Selain imbalan fisik tersebut, KGTC juga memiliki banyak insentif yang ditawarkan pemerintah, seperti dalam perdagangan dan administrasi, keuangan, valuta asing dan pajak. Dalam hal perdagangan dan administrasi insentif, KGTC diperlakukan istimewa dalam penawaran internasional seperti kemudahan untuk mengakses impor bahan baku untuk mereka gunakan sendiri. Dalam insentif keuangan, mereka memiliki prioritas dalam memperoleh pinjaman bank berdasarkan kinerja ekspor masa lalu. Insentif juga diberikan pada bidang valuta asing dan pajak. Pemerintah mengizinkan KGTC untuk meningkatkan batas kepemilikan mata uang asing oleh cabang luar negeri dan membebaskan mereka dari pajak penghasilan bisnis. Selain insentif langsung di atas, beberapa insentif tidak langsung juga diberikan. Setiap KGTC juga memiliki pertemuan rutin dengan KGTC lain dan konsultasi rutin dengan instansi pemerintah. Untuk mengetahui bentuk kelembagaan Trading House yang efektif di Indonesia dilakukan benchmarking dengan Trading House Korea Selatan dan Jepang. Alasannya karena Trading House Korea Selatan dan Jepang telah berhasil meningkatkan kinerja ekspor secara signifikan dan turut membantu pemasaran produk UKM. Berlandaskan pada Teori Benchmarking dari Lankford, faktor keberhasilan Trading House di negara Korea Selatan dan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38 Jepang berhasil diidentifikasi melalui kriteria pada Tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1 Benchmarking Trading House Korea Selatan dan Jepang No Kriteria Benchmarking Korea Selatan Accelerate Economic Development Keputusan Presiden 1 Landasan hukum 2 Fungsi Trading House - Pemasaran - Networking & Distribusi Informasi - Perancangan & Pengembangan Produk - Koordinasi Produk - Fasilitasi Pemberdayaan UKM 3 Status Kelembagaan Jepang √ √ √ √ √ Pemerintah Insentif pajak, Prioritas akses pinjaman, Kemudahan impor bahan baku √ √ √ √ Swasta Fasilitas keuangan, Penyediaan asuransi 5 Keragaman Produk Tinggi 6 Lembaga Pendukung Bank Tinggi JETRO, JIBC/Bank, NEXI/Asuransi 7 Kerangka Dasar Operasi Market Research, Information Network, Market Penetration 4 Peran Pemerintah Bisnis Model Sumber: Hasil Benchmarking Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di negara benchmarking dan hasil survey serta FGD maka dapat diambil usulan rekomendasi kebijakan pemerintah sebagai salah satu upaya pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39 ekspor non migas melaui sektor UKM sebagaimana yang disajikan pada Tabel 4.2 berikut Tabel 4.2 Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di Negara Benchmarking Negara Deskripsi Korsel Awal mula KGTC di Korsel: • Perusahaan ditunjuk sebagai GTC melalui Keputusan Presiden • Sekitar 70 persen produk ekspor dari sektor UKM • Insentif pemerintah bagi perusahaan TH yang mampu melakukan ekspor pada level tertentu • GTC di Korsel modal awal minimal 1 miliar Won dengan 7 jenis produk ekspor dan 10 negara tujuan. • Sogo Shosha dimulai dari perusahaan swasta mencari info pasar luar negeri • Memanfaatkan orang Jepang yang tinggal di luar negeri untuk mengetahui info kebutuhan produk di suatu negara • Perusahaan yang terlibat Sogo shosha mempunyai cabang di berbagai negara. • Pendanaan bekerja sama dengan bank internasional • Produksi dan pemasaran terpisah • Pasar domestik kuat dan ada diversifikasi pasar Jepang Faktor Keberhasilan Kritis Usulan Trading House Indonesia • Trading House dibangun dengan dukungan aktif dari Atdag, ITPC dan Trade Commisioner Officer (TCO) di berbagai negara tujuan ekspor • Modal 3 tahun pertama dari APBN • Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku dan mesinmesin • Tax holiday diberikan kepada perusahaan yang aktif dalam Trading House selama masa awal pengembangannya • Insentif pajak diberikan kepada pelaku Trading House Sumber: Hasil Benchmarking, survey dan FGD 4.1.2 Kelembagaan Operasional a. Sogo Shosha Jepang Besarnya peranan sogo shosha untuk meningkatkan ekspor Jepang dimulai dengan memanfaatkan keberadaan orang-orang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40 Jepang yang tinggal di luar negeri. Jaringan orang-orang Jepang tersebut kemudian dikenal sebagai shosha man’s dan bertugas memberikan informasi mengenai selera dan kebutuhan masyarakat yang ada di negara tersebut. Dari informasi tersebut kemudian Jepang menciptakan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen luar negeri tersebut. Sogo shosha mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, mengevaluasi dan menerjemahkan informasi pasar menjadi peluang bisnis melalui sistem informasi yang baik. Hal ini sejalan dengan Program Akselerasi Pengembangan Ekonomi Jepang melalui penyusunan rencana aksi pemerintah Jepang dengan penetapan target peningkatan ekspor dan investasi. Setidaknya terdapat tiga lembaga pemerintah yang mendukung program Sogo shosha yaitu; 1. The Japan External Trade Organization (JETRO) yang mengarahkan rencana pemerintah berkolaborasi dengan jaringan shosha man’s. 2. Japan International Bank for Corporation (JIBC) yang menyediakan fasilitas keuangan untuk Perdagangan dan Investasi. 3. Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) yang menyediakan asuransi untuk kegiatan Perdagangan dan Investasi. Sogo shosha juga didukung oleh perusahaan swasta yang membantu dalam hal penyediaan resiko finansial, ekspor dan bisnis investasi. Akses modal yang besar di Jepang maupun internasional mendukung Sogo shosha untuk dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar. Lebih jelasnya hubungan antara pemerintah Jepang dengan Sogo shosha dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41 Gambar 4.1 Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo shosha Sumber: JETRO, 2015 b. KGTC Korea Selatan Trading company di Korea Selatan dimulai dengan ditetapkannya Keputusan Presiden untuk dasar penunjukan perusahaan sebagai Korean Global Trading Company (KGTC). Syarat untuk diangkat sebagai KGTC di Korsel adalah perusahaan tersebut harus memiliki modal awal minimal 1 miliar Won dengan 7 jenis produk ekspor dan 10 negara tujuan. Pemerintah kemudian akan memberikan insentif bagi perusahaan KGTC yang mampu melakukan ekspor pada level tertentu. Cakupan wilayah KGTC cukup luas memiliki kantor cabang di 63 negara dan 397 kota dan didukung oleh 4932 karyawan (1184 karyawan kantor pusat dan 3748 karyawan lokal). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42 Sekitar 70 persen produk ekspor dari sektor UKM Operasional kelembagaan KGTC dimulai dari kegiatan penetrasi pasar. Penetrasi pasar KGTC didukung melalui dua aspek yaitu kecanggihan informasi teknologi dan penetrasi pasar regional dengan bantuan mediator Global Trading Company. Kerjasama dan dukungan pada sektor UKM (Usaha Kecil dan Menengah) terutama untuk melakukan kegiatan ekspor dengan menaikkan standar kualitas produk yang dihasilkan, sehingga dapat meningkatkan kinerja ekspor dari produk yang dihasilkan oleh sektor UKM. Secara lebih detail operasional kelembagaan KGTC disajikan pada Gambar 4.2 berikut. Gambar 4.2 Operasional Kelembagaan KGTC Sumber: PT. Bumi 1ndawa Niaga, 2015 Jaringan Bisnis Internasional yang luas dengan melibatkan berbagai pihak di banyak negara dengan banyak channel. Selain menjadi Mediator antara produsen dan konsumen di luar negeri juga sebagai hub pasar internasional, penyelenggara proyek dan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43 investor bisnis. Bentuk dan lingkup kegiatan kerjasama yang dilakukan dengan UKM dapat berbeda diantara KGTC. Kerjasama dan dukungan bagi UKM dilakukan melalui berbagai langkah antara lain; Penghubung antara produsen dengan konsumen di LN. Menyediakan Financial service, dimana KGTC memberikan pelayanan keuangan bagi pelaku UKM. Management support dan sales, dukungan manajemen dan penjualan bagi pelaku UKM, sehingga UKM dapat lebih fokus dalam produksi. 4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia Pada sub bab ini akan menguraikan kondisi eksisting Trading House yang ada di Indonesia. Selain itu juga dibahas berbagai masalah yang menghambat berkembangnya Trading House di Indonesia. 4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting Trading House di Indonesia ada beberapa yang sudah pernah ada, namun fungsinya belum komprehensif seperti Trading House di Jepang maupun di Korea Selatan. Jumlah Trading House yang pernah ada di Indonesia, setidaknya ada tujuh yaitu PT. PPI dan Sarinah (BUMN), LLP-KUKM (Kementerian Koperasi & UKM), JCC dan Imah Tasik (Pemda), PT Alun-alun dan Mitra Bali (Puslitbang Dagri, 2009). Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan ke lima daerah, menurut para pelaku UKM secara umum fungsi Trading House yang selalu dimanfaatkan adalah melakukan pemasaran. Sedangkan fungsi Trading House yang paling sering dirasakan manfaatnya oleh UKM adalah mengurus kegiatan packaging (Gambar 4.3). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44 Gambar 4.3 Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM Sumber: Hasil Olahan Survey 4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia Pengembangan Trading House di Indonesia dinilai belum efektif untuk menjadi lokomotif pemasaran produk UMKM dengan melakukan fungsi-fungsi, antara lain: (a) membantu memperoleh pasar (buyer dan order) dengan promosi melalui showroom, pameran, kontak dagang, dan pembuatan katalog; (b) pengembangan produk, baik sumber daya sendiri maupun dengan sumber daya mitra Trading House melalui pengembangan desain dan produk, pengembangan kemasan dan label, pengembangan dan pendaftaran merk, dan fasilitasi penyediaan bahan baku. Penyebabnya sangat bervariasi dengan spektrum permasalahan yang sangat luas, antara lain: 1. Peraturan perundang-undangan UKM dan kemitraan belum ditindaklanjuti dengan kebijakan operasional yang berkaitan dengan pengembangan Trading House. 2. Kurang harmoninya peraturan perundang-undangan lain untuk mendukung pengembangan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan Trading House, 45 misalnya: peraturan penetapan PPn, peraturan pengurusan Surat Keterangan Asal. 3. Koordinasi lintas instansi di pusat dan daerah, serta koordinasi antara instansi terkait kurang optimal yang berpengaruh terhadap efektifitas pengembangan Trading House. 4. Pola kemitraan antara KUMKM dan Trading House belum terbentuk secara efektif dan efisien; 5. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi mengenai potensi komoditi KUMKM menuju berfungsinya Trading House yang efektif; 6. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House; 7. Sumber daya manusia pengelola Trading House belum memadai secara jumlah dan kompetensinya; 8. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi masih memberatkan. Dari kegiatan survey yang dilakukan oleh tim kajian Trading House ke beberapa daerah yaitu provinsi Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat diperoleh identifikasi permasahan Trading House di Indonesia antara lain; 1. Belum ada regulasi yang jelas sebagai dasar untuk mendirikan Trading House di Indonesia. 2. Lembaga yang mirip Trading House memang sejak awal tidak dirancang melaksanakan fungsi Trading House secara utuh, sehingga hanya melaksanakan sebagian dari fungsi Trading House saja. 3. Kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti lembaga terkait riset pasar, koordinasi produksi, perbankan, asuransi, logistik. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46 4. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi terutama mengenai potensi komoditas UKM 5. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House dan ruang lingkup layanan yang masih terbatas. Selain itu, masih banyak UKM yang belum memahami fungsi Trading House secara utuh, lembaga sejenis Trading House yang ada saat ini juga hanya melakukan sebagian kecil saja dari fungsi Trading House. Sehingga tidak mengherankan UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil fungsi Trading House. Beberapa fungsi Trading House yang penting, namun masih jarang dirasakan manfaatnya oleh UKM seperti memastikan pembayaran dari buyer dan melakukan proteksi resiko ekspor termasuk asuransi (Gambar 4.4). Gambar 4.4 Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan Manfaatnya oleh UKM Sumber: Hasil Olahan Survey Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47 Sementara itu beberapa masalah yang dihadapi UKM ketika berhadapan dengan buyer antara lain a) standar produk yang diiinginkan oleh buyer terlalu tinggi, b) harga yang ditawarkan kurang menarik, c) spesifikasi produk yang diminta kurang jelas, d) volume permintaan terlalu besar melampaui kemampuan UKM, e) frekuensi permintaan tidak pasti. Masalah yang banyak dihadapi oleh UKM dalam memenuhi permintaan buyer (importir) diharapkan dapat teratasi dengan dijalankannya fungsi Trading House secara optimal (Gambar 4.5). Gambar 4.5 Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer Sumber: Hasil Olahan Survey Semua kriteria benchmarking sudah berhasil diimplementasikan oleh Trading House di Korea Selatan dan Jepang. Sementara dari hasil temuan lapangan di lima daerah survey, ternyata lembaga yang menjalankan peran sebagai Trading House di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan lembaga serupa di negara benchmarking. Lembaga sejenis Trading House di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai kriteria, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. 3. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 48 Tabel 4.3 Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di Indonesia No Kriteria Benchmarking Bali Jawa Tengah NTB D. I. Yogyakarta Sumatera Barat SMESCO PT. Sarinah - - - - - RPJMN 2015-2019 - - Fasilitasi Pemberdayaan UKM √ - - √ √ √ √ - Perancangan & Pengembangan Produk - - √ √ - - - - Koordinasi Produk √ √ √ - - - - - - 1 Landasan hukum 2 Fungsi Trading House 3 - Network ing & Distribusi Informasi - √ - - - - Pemasaran √ - √ √ √ √ √ Perusahaan Asosiasi Perusahaan Asosiasi Perusahaan BLU BUMN Izin ekspor - Bantuan operasional melalui Balai Besar Keramik - - - - Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah World Fair Trade Organization International (WFTO) - Kemenkop & UKM BUMN lain Status Kelembagaan 4 Peran Pemerintah 5 Keragaman Produk 6 7 - Ekspedisi, Bank Ekspedisi, Balai Besar Keramik Koordinasi produksi dengan pengrajin binaannya Koordinasi dengan para UKM dilakukan sebulan sekali, namun pembagian informasi dilakukan setiap hari melalui Whatsapp, Facebook , Twitter Identifikasi dan evaluasi buyer , teknologi dan pack aging , menerima pembayaran, membangun relasi dengan pemerintah Lembaga Pendukung Kerangka Dasar Operasi Membantu UKM berproduksi dan memasarkan produknya Menampilkan produk KUKM di UKM Membantu UKM GALLERY, memasarkan Mempromosikan dan produknya dan Memamerkan produk memasarkan produk menyediakan kreatif dari berbagai ke luar negeri melalui pinjaman khusus daerah di Sumbar kegiatan Trading untuk membiayai House, kegiatan usaha mitra Melaksanakan binaan pelatihan bagi KUKM Keterangan: Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat adalah hasil survey. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49 Berdasarkan sintesa dari benchmarking, temuan lapangan dan hasil FGD, maka hal-hal yang perlu diperhatikan terutama dalam membangun model kelembagaan Trading House yang operasional adalah melalui lima fungsi utama Trading House yaitu fasilitasi pemberdayaan UKM, perancangan dan pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan distribusi informasi, dan pemasaran. Lebih jauh lembaga sejenis Trading House harus di daerah harus memperbaiki: a. Fasilitasi pemberdayaan UKM Trading House di Jawa Tengah dan NTB belum melakukan fungsi fasilitasi pemberdayaan UKM. Pemberdayaan UKM dapat dilakukan dengan melibatkan pihak lain (pemerintah dan mitra pendukung) guna meningkatkan kemampuan UKM dalam beberapa aspek seperti (i) pelatihan dan pendampingan; (ii) akses modal kerja dan investasi; (iii) akses bantuan fasilitas produksi seperi bahan baku dan mesin-mesin; (iv) akses informasi pasar; dan (v) penanganan klaim. b. Perancangan dan pengembangan produk Trading House di Bali, Jawa Tengah dan Sumatera Barat belum melakukan fungsi perancangan dan pengembangan produk. Fungsi ini dibangun melalui riset pasar dan masukan dari lembaga lain, termasuk lembaga pemerintah terkait. Aspek rancangan dan pengembangan produk antara lain mencakup jenis dan fitur produk, teknologi produksi, mutu dan grade, volume dan harga, serta model kerjasama produksi. Trading House bekerja sama dengan instansi pemerintah dan mitra kerja lainnya perlu membantu UKM seperti dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan bantuan sumber daya berupa bahan baku dan pendanaan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50 c. Koordinasi produksi Trading House di D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat belum melakukan koordinasi produksi. Fungsi ini dilakukan dengan mengkoordinasikan UKM dan lembaga atau sektor pendukung (bahan baku dan penolong, kemasan, asuransi, pergudangan, logistik distribusi) guna menghasilkan produk secara tepat waktu, jumlah, mutu, memenuhi skala produksi dan berdaya saing. Produk diharapkan memiliki kontrol kualitas, sertifikat, hak paten, dan merek dagang, untuk selanjutnya disusun katalog sebagai salah satu sarana promosi. d. Networking dan distribusi informasi Trading House di Bali, NTB, D. I. Yogyakata dan Sumatera Barat belum melakukan fungsi networking dan distribusi informasi. Fungsi ini mencakup networking dengan (i) produsen khususnya UKM dalam hal jenis produk, rancangan produk, teknologi produksi, volume dan harga, serta persyaratan mutu/standard; (ii) pembeli atau calon pembeli dalam hal katalog produk, volume dan harga, fitur produk, dan jaminan/konsistensi mutu; (iii) mitra pendukung seperti penyedia bahan baku dan komponen, kemasan, pengiriman, promosi, logistik, pembiayaan dan avalis dan asuransi; (iv) pemerintah pusat dan daerah yang mencakup kebijakan insentif untuk UKM dan Trading House, seperti pemberian tax holiday pada tahap awal pengembangan Trading House, serta insentif pajak apabila memenuhi target ekspor tertentu, mampu menembus pasar baru dan diversifikasi produk. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51 e. Pemasaran Trading House di Jawa Tengah belum melakukan pemasaran secara integral yang antara lain mencakup (i) perumusan dan implementasi strategi pasar terpadu (bauran produk, harga, distribusi); (ii) monitoring dan riset pasar termasuk pemilihan dan pengembangan pasar dan produk; (iii) pelaksana promosi, komunikasi dan pengelola umpan balik dari pembeli atau calon pembeli; (iv) pengelola transaksi penjualan; (v) pengaturan logistik dan distribusi; dan (vi) melakukan kerjasama dengan Atase Perdagangan, ITPC, dan lembaga riset. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52 BAB V PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA 5.1 Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas kelompok produk yang akan ditangani melalui Trading House merupakan gabungan dari beberapa masukan dan pertimbangan melalui diskusi dan FGD dengan stakeholder terkait. Sehingga dengan demikian diperoleh kriteria untuk menyusun produk prioitas Trading House sebagai berikut; a) Ketersediaan bahan baku lokal menunjukkan bahwa produk prioritas memiliki sumber bahan baku yang tersedia di dalam negeri, sehingga tidak bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, peningkatan ekspor produk prioritas dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi akan mendorong pula sektor hulunya. b) Tren pertumbuhan nilai output yang diindikasikan oleh rata-rata pertumbuhan nilai produksi selama 2009-2013. Tren pertumbuhan nilai output digunakan untuk melihat kekonsistenan proses produksi dari produk prioritas. c) Tren pertumbuhan ekspor Indonesia, yakni rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia selama 2011-2015. Tren pertumbuhan ekspor merupakan indikator untuk melihat kemampuan Indonesia dalam memasok produk prioritas ke pasar internasional. d) Tren pertumbuhan pangsa ekspor untuk mengetahui ukuran kemampuan ekspor Indonesia. Instrumen yang digunakan dalam kriteria ini adalah rata-rata pertumbuhan pangsa produk terhadap ekspor non migas Indonesia selama 2011-2015. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53 e) Tren pertumbuhan impor dunia yang ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan impor dunia selama 2010-2014. Kriteria ini menunjukkan tren permintaan impor di pasar dunia. f) Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia untuk melihat dampak sektor produk prioritas terhadap aktivitas ekonomi, baik sektor hulu maupun hilirnya. Indikator yang digunakan adalah indeks kepekaan dan penyebaran dalam tabel Input-Output (IO). BOBOT 1,2 0,8 0,8 0,8 6,0 3 0,17 0,6 1,0 0,8 0,8 0,8 0,8 4,8 6 0,13 Nilai Ekspor 0,8 1,2 1,0 0,6 1,0 1,0 5,6 4 0,16 Pangsa Ekspor 1,2 1,2 1,4 1,0 1,2 1,2 7,2 1 0,20 Impor Dunia 1,2 1,2 1,0 0,8 1,0 1,4 6,6 2 0,18 Kontribusi terhadap Ekonomi 1,2 1,2 1,0 0,8 0,6 1,0 5,8 5 0,16 TOTAL 1,4 Impor Dunia 1,0 Nilai Output Nilai Ekspor Ketersediaan Bahan Baku Lokal Nilai Output PERINGKAT Kontribusi terhadap Ekonomi Pangsa Ekspor KRITERIA Ketersediaan Bahan Baku Lokal Tabel 5.1 Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria produk yang akan ditangani melalui Trading House Sumber: Hasil ANP Adapun kriteria prioritas untuk menetapkan produk yang akan ditangani melalui Trading House adalah; 1. Pangsa ekspor tinggi, 2. Impor dunia tinggi, 3. Bahan baku lokal tersedia, 4. Nilai ekspor tinggi, 5. Kontribusi ekonomi tinggi, 6. Nilai output tinggi. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54 5.2 Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas Penyusunan produk yang diprioritaskan untuk ditingkatkan ekspornya melalui Trading House diperoleh dari hasil sintesa masukan dan usulan beberapa pihak terkait, antara lain Smesco, Asephi dan Sarinah. Adapun kelompok produk yang dimaksud adalah sebagai berikut: A. Usulan SMESCO-Kemenko UKM (Produk UKM Berdaya saing) 1. Pakaian dan Batik 2. Perhiasan dan Aksesoris 3. SPA Product 4. Handycraft 5. Furniture 6. Tas dan Sepatu 7. Songket dan Tenun 8. Food dan Snack B. Usulan produk UKM yang diusulkan untuk memperoleh fasilitas Trading House dari ASEPHI adalah: 1. Produk Industri-Kerajinan; Produk yang bahan bakunya banyak tersedia di Indonesia, seperti produk kayu, rotan, keranjang dan barang anyaman lainnya; Produk yang didukung oleh keterampilan kerja (Skill), seperti furniture, ukiran, dan lukisan; Kelompok Perhiasan (Jewelry), termasuk mutiara (kultivasi); Produk Alas Kaki, yakni Sepatu dan Sandal; Alat bepergian (Tas, Dompet, dan produk lain dari kulit dan bahan baku lainnya serta kombinasinya); Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55 Produk Tekstil & pakaian jadi (garmen), baik motif batik, tenun ikat dan tenunan tradisional lainnya; Kerajinan logam dan keramik; Barang dekoratif. 2. Produk Perikanan; Ikan Hias dan tanaman Aquarium; Rumput Laut; Teripang, hoi som, ubur-ubur. 3. Produk Pertanian (Produk yang diperdagangkan bisa juga sebagai produk olahannya) Tanaman Hias; Buah-buahan (manggis, dll); Kayu manis; Minyak Atsiri; Gambir; Kopi; Coklat; Jambu Mete; Jahe; Ijuk dan sabut kelapa. C. Usulan Produk Trading House dari Sarinah 1. Produk Furniture 2. Produk Batik 3. Virgin Coconut Oil (VCO) dan produk kelapa lainnya. Dari ketiga usulan tersebut, maka dibentuk suatu kelompok produk prioritas yang mencakup semua usulan. Kelompok produk prioritas ini akan diolah lebih lanjut menggunakan metode ANP. Kelompok produk prioritas tersebut antara lain: Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56 Tabel 5.2 Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan untuk Ditangani Melalui Trading House Kelompok Produk Furniture Produk kayu* dan anyaman rotan Kerajinan gerabah, keramik logam dan produk dekoratif Produk Industri Kerajinan Perhiasan dan aksesoris Produk tekstil dan garmen Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi Rumput laut Produk Perikanan Ikan hias Teripang, hoi som, ubur-ubur Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) Tanaman hias Produk turunan kelapa seperti VCO dan isi jok Produk Berbasis Pertanian dari sabut kelapa Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe Makanan olahan (snack/camilan, juice buah, bumbu olahan) Sumber: SMESCO, ASEPHI, Sarinah Keterangan: *Produk kayu yang dimaksud adalah ukiran, lukisan. 5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan Baku Lokal Produk prioritas berbasis perikanan, yakni ikan hias, tanaman hias dan kelompok teripang memiliki bobot tertinggi dalam kriteria ketersediaan bahan baku lokal sebesar 0,0834. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketiga produk tersebut lebih banyak menggunakan bahan baku lokal sebagai input produksi. Selain itu, produk makanan olahan berupa camilan dan rumput laut juga memiliki bobot yang besar dalam kriteria Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57 ini yakni 0,08. Sementara, produk sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik memiliki bobot yang terendah dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya sebesar 0,0573. Tabel 5.3 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan Baku Lokal Ketersediaan bahan baku lokal Opsi Kelompok Prioritas Ikan hias 0,0834 Tanaman hias 0,0834 Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0834 Makanan olahan (Camilan, Juice Buah dll) 0,0800 Rumput laut 0,0800 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0797 Furniture 0,0767 Perhiasan dan aksesoris 0,0700 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0677 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0642 Produk tekstil dan garmen 0,0583 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0583 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0576 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi Sumber: Hasil ANP 0,0573 5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai Output Berdasarkan kriteria tren pertumbuhan nilai output, produk furniture memiliki bobot tertinggi yakni 0,2789. Kondisi ini menunjukkan bahwa produksi furniture di Indonesia cenderung konsisten dan lebih tinggi dibandingkan kelompok produk lainnya. Selain furniture, produk lainnya yang memiliki bobot yang tinggi dalam kriteria ini adalah produk perkebunan, makanan olahan (snack, juice buah) dan produk turunan kelapa. Di sisi lain, produk kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya memiliki bobot terkecil. Adapun produk ikan hias, perhiasan, tanaman hias dan teripang tidak dimasukkan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan dalam kriteria tren 58 pertumbuhan nilai output karena memiliki nilai tren pertumbuhan yang negatif. Tabel 5.4 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai Output Opsi Kelompok Prioritas Bobot Nilai Output Furniture 0,2789 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,1432 Makanan olahan 0,1394 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,1335 Rumput laut 0,1095 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0812 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0642 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0268 Produk tekstil dan garmen 0,0161 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0073 Ikan hias 0,0000 Perhiasan dan aksesoris 0,0000 Tanaman hias 0,0000 Teripang, hoi som, ubur-ubur Sumber: Hasil ANP 0,0000 5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Ekspor Produk perhiasan dan aksesoris memiliki nilai bobot tertinggi dalam kriteria tren pertumbuhan ekspor. Bobot produk perhiasaan dan aksesoris sebesar 0,6233, jauh lebih tinggi dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa produk tersebut mengalami kenaikan rata-rata lima tahunan yang lebih besar dibandingkan produk lainnya. Sebaliknya, produk kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya memiliki nilai tren pertumbuhan ekspor lima tahunan yang lebih rendah dibandingkan produk lainnya, sehingga nilai bobot pun cenderung rendah. Adapun produk ikan hias, produk kayu dan anyaman rotan, produk turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59 ini karena memiliki tren pertumbuhan ekspor yang negatif atau cenderung menurun selama 2011-2015. Tabel 5.5 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Ekspor Opsi Kelompok Prioritas Bobot Tren Pertumbuhan Ekspor Perhiasan dan aksesoris 0,6233 Produk tekstil dan garmen 0,1375 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0472 Rumput laut 0,0430 Tanaman hias 0,0430 Furniture 0,0376 Makanan olahan 0,0236 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0230 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0164 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0055 Ikan hias 0,0000 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0000 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000 Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0000 Sumber: Hasil ANP 5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor Produk perhiasan dan aksesoris memiliki bobot tren pertumbuhan pangsa ekspor tertinggi sebesar 0,5010. Produk tekstil dan garmen juga memiliki bobot yang cukup tinggi sebesar 0,1268. Adapun ikan hias memiliki bobot terendah sebesar 0,0196. Produk kayu dan anyaman rotan, produk turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria ini karena pangsa ekspor ketiga produk tersebut ratarata menurun selama 2011-2015. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60 Tabel 5.6 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor Opsi Kelompok Prioritas Bobot Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor Perhiasan dan aksesoris 0,5010 Produk tekstil dan garmen 0,1268 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0574 Rumput laut 0,0544 Tanaman hias 0,0542 Furniture 0,0499 Makanan olahan 0,0392 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0388 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0337 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0250 Ikan hias 0,0196 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0000 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000 Teripang, hoi som, ubur-ubur Sumber: Hasil ANP 0,0000 5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan Impor Dunia Minyak atsiri dan kerajinan gerabah, keramik logam serta dekoratif lainnya memiliki bobot tren pertumbuhan impor dunia tertinggi dibandingkan produk prioritas lainnya yakni masing-masing sebesar 0,31 dan 0,2786. Kondisi ini menunjukkan bahwa kedua kelompok produk tersebut memiliki tren permintaan impor dunia yang lebih tinggi dibandingkan produk lainnya. Sementara itu, produk kayu dan anyaman rotan justru memiliki nilai bobot terendah sebesar 0,0045. Beberapa produk seperti ikan hias, produk perkebunan, produk turunan kelapa, rumput laut, tanaman hias dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria tren pertumbuhan impor dunia karena permintaan impor produk- Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61 produk tersebut cenderung menurun atau memiliki nilai tren pertumbuhan yang negatif. Tabel 5.7 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Impor Dunia Bobot Tren Pertumbuhan Impor Opsi Kelompok Prioritas Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,3100 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,2786 Furniture 0,1312 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0914 Produk tekstil dan garmen 0,0908 Perhiasan dan aksesoris 0,0561 Makanan olahan 0,0376 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0045 Ikan hias 0,0000 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0000 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000 Rumput laut 0,0000 Tanaman hias 0,0000 Teripang, hoi som, ubur-ubur Sumber: Hasil ANP 0,0000 5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap Perekonomian Berdasarkan kriteria kontribusi terhadap perekonomian, produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabuk kelapa memiliki bobot tertinggi sebesar 0,095. Selain produk turunan kelapa, kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif juga memiliki nilai bobot yang tinggi sebesar 0.0835. Keduanya memiliki nilai indeks daya penyebaran dan indeks daya kepekaan di atas 1 yang menunjukkan bahwa upaya pengembangan kedua industri ini dapat berkontribusi pada pertumbuhan sektor hulu maupun hilirnya. Selain kedua produk tersebut, produk prioritas lainnya yang memiliki bobot yang cukup tinggi antara lain: (i) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62 makanan olahan (camilan, juice buah); (ii) ikan hias; (iii) furniture; (iv) produk kayu dan anyaman rotan; (v) perhiasan dan aksesoris; dan (vi) sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi. Tabel 5.8 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap Perekonomian Bobot Kontribusi Thp Perekonomian Opsi Kelompok Prioritas Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0951 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0835 Makanan olahan 0,0821 Ikan hias 0,0773 Furniture 0,0763 Produk kayu dan anyaman rotan 0,0763 Perhiasan dan aksesoris 0,0717 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0702 Produk tekstil dan garmen 0,0673 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0672 Rumput laut 0,0619 Tanaman hias 0,0588 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0575 Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0542 Sumber: Hasil ANP 5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas Pada metode ANP, dimungkinkan adanya hubungan timbal balik yang dapat dilihat dari alternatif yakni produk prioritas. Pada tahap timbal balik, masing-masing kriteria akan dibandingkan menurut produk prioritasnya. Adapun kriteria ketersediaan bahan baku lokal dan kontribusi terhadap perekonomian tidak dapat dibandingkan dengan kriteria lain karena jenis datanya yang berbeda. Kriteria tren pertumbuhan nilai output, tren pertumbuhan ekspor Indonesia, tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren pertumbuhan impor dunia memiliki sifat data yang sama yakni persentase pertumbuhan, sehingga keempat kriteria ini dapat dibandingkan untuk setiap produk prioritas. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 63 Berdasarkan produk prioritas furniture, kriteria yang unggul adalah tren pertumbuhan nilai output, sehingga kriteria ini diberikan nilai bobot tertinggi yakni 0,7275. Selanjutnya, bobot tertinggi kedua dalam produk furniture adalah tren pertumbuhan pangsa ekspor dengan nilai 0,1546. Sementara itu pada produk ikan hias, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor merupakan satu-satunya yang unggul, sehingga bobotnya 1. Adapun kriteria lain untuk produk tersebut memiliki nilai pertumbuhan yang negatif, sehingga diberikan bobot 0. Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor juga memiliki bobot yang tinggi pada produk kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya sebesar 0,4380. Selain itu, kriteria pertumbuhan impor dunia dalam produk tersebut juga memiliki bobot yang cukup tinggi sebesar 0,3874. Sementara berdasarkan produk makanan olahan, tren pertumbuhan nilai output merupakan kriteria yang unggul dibandingkan dengan kriteria yang lain dilihat dari bobotnya yang lebih tinggi sebesar 0,6633. Apabila dilihat dari sudut pandang produk makanan olahan, kriteria tren pertumbuhan nilai output lebih unggul dibandingkan dengan kriteria lain. Bobot kriteria ini sebesar 0,6633 angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kriteria yang lain. Selanjutnya kriteria tersebut diikuti oleh tren pertumbuhan pangsa ekspor dengan bobot 0,2217; tren pertumbuhan ekspor Indonesia dengan bobot 0,0981; dan tren pertumbuhan impor dunia sebesar 0,0169. Pada opsi produk minyak atsiri atau produk spa aromaterapi, keempat kriteria yang dibandingkan rata-rata memiliki bobot yang hampir sama. Bobot tertinggi diperoleh dari kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor sebesar 0,3769; diikuti oleh tren pertumbuhan impor dunia sebesar Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 64 0,2393; tren pertumbuhan nilai output sebesar 0,2190; dan tren pertumbuhan ekspor Indonesia sebesar 0,1649. Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor memiliki bobot yang hampir sama dilihat dari produk perhiasan dan aksesoris yakni masingmasing sebesar 0,5198 dan 0,4755. Adapun bobot tren pertumbuhan impor dunia sangat rendah sebesar 0,0046. Pada produk kayu dan anyaman rotan, kriteria tren pertumbuhan nilai output memiliki bobot jauh lebih besar dibandingkan bobot kriteria tren pertumbuhan impor dunia. Bobot tren pertumbuhan nilai output tercatat sebesar 0,9934, sementara tren pertumbuhan impor dunia hanya tercatat 0,0066. Kriteria tren pertumbuhan nilai output juga memiliki bobot yang tinggi pada produk perkebunan, seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat dan jahe yakni sebesar 0,7250. Tren pertumbuhan pangsa ekspor berada di urutan kedua dengan nilai bobot 0,2024. Adapun krieria pertumbuhan nilai ekspor memiliki bobot terendah sebesar 0,0726. Pada produk tekstil dan garmen, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot tertinggi dengan nilai 0,5101. Selain pertumbuhan pangsa ekspor, kriteria pertumbuhan nilai ekspor juga memiliki bobot yang cukup tinggi sebesar 0,4063. Sementara itu, bobot kriteria tren pertumbuhan nilai output dan tren pertumbuhan impor dunia cenderung memiliki bobot yang rendah yakni masing-masing sebesar 0,0545 dan 0,0290. Sementara itu, pada produk rumput laut hanya ada dua kriteria yang dapat dibandingkan, yakni tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor. Kendati demikian, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan tren pertumbuhan nilai Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65 ekspor yakni sebesar 0,6307. Adapun bobot kriteria tren pertumbuhan ekspor Indonesia tercatat 0,3693. Selanjutnya pada produk sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi, kriteria tren pertumbuhan nilai output memiliki bobot yang paling tinggi sebesar 0,4077 dan diikuti oleh kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor yang masing-masing memiliki bobot sebesar 0,3421 dan 0,2069. Adapun kriteria tren pertumbuhan impor dunia memiliki kriteria terendah sebesar 0,433. Sama halnya dengan produk rumput laut, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan tren pertumbuhan nilai ekspor pada produk tanaman hias. Bobot tren pertumbuhan pangsa ekspor tercatat 0,6314, sementara bobot tren pertumbuhan nilai ekspor hanya sebesar 0,3686. Tabel 5.9 Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria Ketersediaan bahan baku lokal 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 Produk Prioritas Produk perkebunan seperti Produk jambu Produk kayu dan mete, tekstil dan anyaman gambir, garmen rotan manggis, kopi, coklat, jahe 0,0000 0,0000 0,0000 Tren pertumbuhan nilai output 0,7275 0,0000 0,1076 0,6633 0,2190 0,0000 0,9934 0,7250 0,0545 1,0000 0,0000 0,4077 0,0000 0,0000 Tren pertumbuhan ekspor Indonesia 0,0855 0,0000 0,0670 0,0981 0,1649 0,4755 0,0000 0,0726 0,4063 0,0000 0,3693 0,2069 0,3686 0,0000 Tren pertumbuhan pangsa ekspor 0,1546 1,0000 0,4380 0,2217 0,3769 0,5198 0,0000 0,2024 0,5101 0,0000 0,6307 0,3421 0,6314 0,0000 Tren pertumbuhan impor dunia 0,0323 0,0000 0,3874 0,0169 0,2393 0,0046 0,0066 0,0000 0,0290 0,0000 0,0000 0,0433 0,0000 0,0000 Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 Kriteria Kerajinan gerabah, Ikan keramik Makanan Furniture hias logam dan olahan dekoratif lainnya Minyak atsiri Perhiasan (produk dan spa aksesoris aromatera pi) Sandal, Produk sepatu, turunan tas, kelapa Teripang, Rumput dompet Tanaman seperti hoi som, laut kerajinan hias VCO dan ubur-ubur dari batik, ijuk/sabut kulit dan kelapa kombinasi 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 Sumber: Hasil ANP Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66 5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia Berdasarkan kalkulasi bobot dalam metode ANP dengan menggunakan software Super Decision, maka diperoleh hasil bahwa produk perhiasan dan aksesoris merupakan produk prioritas utama yang perlu dikembangkan dalam Trading House di Indonesia. Perhiasan dan aksesoris unggul dalam kriteria pertumbuhan ekspor baik secara nilai maupun pangsa. Pertumbuhan ekspor perhiasan dan aksesoris lebih tinggi dibandingkan opsi produk prioritas lainnya. Namun demikian, produk ini lemah dalam kriteria pertumbuhan output yang berarti produksi cenderung mengalami penurunan. Selain perhiasan dan aksesoris, produk lainnya yang potensial antara lain: (i) furniture; (ii) makanan olahan berupa camilan dan juice buah; dan (iii) produk tekstil dan garmen. Sementara itu, produk ikan hias dan teripang, hoi sum, ubur-ubur dikategorikan sebagai produk yang kurang diprioritaskan dalam Trading House di Indonesia. Tabel 5.10 Total Bobot Produk Prioritas Urutan per masing-masing Kriteria PRODUK PRIORITAS Tren Kontribusi Tren Tren Ketersediaan Tren pertumbuhan terhadap Peringkat pertumbuhan pertumbuhan bahan baku pertumbuhan ekspor perekonomian pangsa ekspor impor dunia lokal nilai output Indonesia Indonesia Perhiasan dan aksesoris 1 6 8 1 12 7 1 Furniture 6 3 7 6 1 5 2 Makanan olahan 7 7 4 7 3 3 3 Produk tekstil dan garmen 2 5 11 2 9 9 4 Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 8 1 10 8 8 13 5 Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 3 4 14 3 6 8 6 Rumput laut 4 12 5 4 5 11 7 Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 9 10 6 9 2 10 8 Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 10 2 13 10 10 2 9 Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 13 11 12 13 4 1 10 Tanaman hias 5 13 2 5 13 12 11 Produk kayu dan anyaman rotan 12 8 9 12 7 6 12 Ikan hias 11 9 1 11 11 4 13 Teripang, hoi som, ubur-ubur 14 14 3 14 14 14 14 Sumber: Hasil ANP Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67 BAB VI MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA Dengan mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai dalam membantu peningkatan ekspor, budaya kerja masyarakat Indonesia, kondisi dan karakter para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), serta posisi Trading House yang akan dikembangkan, harus melibatkan peran aktif dari berbagai lembaga pendukung. Secara umum gambaran dari hubungan Trading House dan UKM dengan lembaga terkait disajikan pada gambar 6.1 berikut. Gambar 6.1 Kerangka Operasional Trading House Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68 6.1 Model Kelembagaan Operasional Setidaknya ada enam faktor keberhasilan yang perlu menjadi fokus perhatian dalam pengembangan Trading House di Indonesia. Adapun keenam faktor tersebut merupakan rancangan operasional utama dari suatu Trading House yang harus dikembangkan dalam menjabarkan perannya sebagai mediator antara produsen dengan konsumen. Ini merupakan Konsep Dasar Operasionalisasi Manajemen Trading House agar Optimalisasi peran Trading House untuk meningkatkan ekspor non migas dapat diwujudkan. Berikut adalah uraian keenam peran Trading House tersebut. 6.1.1 Pemasaran Secara Integral Pemasaran secara terintegrasi (Integrated Marketing) merupakan salah satu peran utama yang harus dimiliki oleh Trading House yang ada di Indonesia. Pemasaran secara terintegrasi (Integrated Marketing/IM) merupakan salah satu terminologi yang menjadi sangat populer pada awal abad ke20. Konsep tersebut muncul sebagai dampak adanya perubahan pola komunikasi (communication environment) masyarakat saat ini. Menurut Kotler dan Keller (2008), terdapat dua faktor penting yang memicu adanya perubahan dalam communication environment: 1) pemasaran secara massal (mass marketing) yang kemudian berubah menjadi pemasaran terfragmentasi sehingga para tenaga pemasar saat ini telah beralih dari pemasaran secara massal menjadi pemasaran yang terfokus pada pengembangan program tertentu dan menyasar pada segementasi pasar tertentu. 2) Perkembangan yang sangat cepat di bidang Informasi dan Teknologi (IT) yang kemudian semakin mendukung adanya pemasaran terfragmentasi. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69 Konsep pemasaran terintegrasi serta komunikasi pemasaran terintegrasi sendiri kemudian menjadi salah satu topik yang banyak dibahas dalam beberapa jurnal seperti Saeed, et al. (2013), Raman dan Naik (2005), Rehman dan Ibrahim (2011), dan sebagainya. Raman dan Naik (2005) menyatakan bahwa komunikasi dalam menggabungkan pemasaran berbagai kegiatan terintegrasi adalah pemasaran sehingga didapat dampak total yang lebih besar. Sementara itu, Saeed, et al. (2013) menyatakan bahwa pemasaran terintegrasi merupakan konsep pemasaran yang berorientasi pada konsumen. Pemasaran terintegrasi juga didefinisikan sebagai strategi pemasaran yang menekankan pada pentingnya konsistensi dan memberikan multi dimensional brand experince kepada para konsumen. Multi-dimensional brand experince yang dimaksud adalah dalam memberikan citra produk di berbagai media baik televisi, internet, media cetak, dll dapat disajikan dalam hal serupa sehingga dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan pada produk tersebut (Marketing-School, 2016). Dengan menggunakan beberapa definisi dan konsep pemasaran terintegrasi di atas, maka Trading House Indonesia diharapkan memiliki peran untuk menggabungkan dan memilih metode promosi yang paling efektif untuk memberikan citra produk Indonesia khususnya UKM yang kuat bagi para konsumen di luar negeri. Selain itu, Trading House juga harus berorientasi pada konsumen sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen di luarr negeri dengan produk UKM Indonesia yang sesuai. Di dalam implementasinya terkait dengan pemasaran produkproduk usaha kecil dan menengah yang pada dasarnya bertumpu kepada keterampilan dan kekhasan lokal, penerapan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70 konsep pemasaran terintegrasi bermakna bahwa Trading House tidak hanya memerankan peranan sebagai trader atau pedagang perantara, tetapi juga terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam perancangan produk dan perencanaan proses produksinya. Hal demikian dimaksudkan agar apa yang dihasilkan oleh pengusaha kecil dan menengah memang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pasar. Sesuai dengan prinsip dasar penetapan strategi pemasaran, maka peranan penting Trading House dalam pemasaran produk-poduk usaha kecil dan menengah mencakup aspek (Kotler dan Keller, 2008): Pemilihan produk yang sesuai untuk dapat dijual kepada konsumen dan memenangkan persaingan dengan produkproduk lain yang sejenis; Penetapan harga jual produk yang profitable dan mampu meningkatkan / mempertahankan daya saingnya; dan Memilih Bauran promosi yang efektif dan efisien sesuai dengan sasaran pasar dan sasaran konsumennya; serta Penyampaian produk kepada konsumen secara aman, tepat waktu, dan efisien. Atas dasar konsep di atas, maka meskipun secara formal Trading House secara organisasi terpisah dengan para pengusaha kecil dan menengah, secara operasional harus dapat bekerjasama secara erat sehingga seakan-akan satu sama lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, Trading House Indonesia dalam melaksanakan peran sebagai lembaga pemasaran produk yang terintegrasi setidaknya harus memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71 1. Perumus dan Implementasi strategi pemasaran terpadu Dengan mempertimbangkan kondisi para pengusaha kecil dan menengah Trading House harus dapat menjalankan peranannya secara proaktif, dalam proses penetapan strategi pemasaran yang tepat. Artinya secara cermat Trading House harus mencermati produk-produk dari usaha kecil dan menengah, dan juga mampu mengenali pasar potensial untuk produk-produk yang bersangkutan, dan selanjutnya secara aktif mampu merumuskan strategi yang tepat. Beberapa langkah operasional di dalam merumuskan strategi pemasaran terpadu ini secara ringkas adalah sebagai berikut : a) Menginvetarisasi menengah, dan produk-produk dari mengenali jenis, usaha kecil dan kagunaan, dan Keunggulan/kelemahannya. b) Mengkaji kebutuhan konsumen terkait dengan produkproduk yang bersangkutan, dan sebaran keberadaannya. c) Mencermati dinamika pasar untuk produk yang bersangkutan, meliputi produk-produk sejenis yang ada dan produk-produk substitusinya. d) Menganalisis biaya produksi atau harga pokok dan biaya pemasaran secara keseluruhan. e) Melakukan optimalisasi produk, termasuk modifikasi atau penyempurnaan produk serta biaya dan volume produksi dengan berkomunikasi secara intensif dengan para pelaku usaha kecil dan menengah. f) Merumuskan strategi pemasaran terpadu, antara lain mengenai jenis dan produk dan fiturnya, harga jual, serta promosi, dan distribusi yang sesuai. g) Melakukan sosialisasi dan menjadikan sebagai alat komunikasi dan kerja sama dengan para pelaku usaha kecil dan menengah. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72 2. Pemilihan dan Pengembangan Pasar Sesuai dengan peran utamanya, Trading House harus mampu untuk memilih dan mencari target pasar yang sesuai bagi produk UKM yang terpilih dalam skema Trading House. Pemilihan pasar dipertimbangkan pada potensi pasar (daya serap/volume kebutuhan konsumen) dan daya saing produk, dan kondisi persaingannya, di samping pertimbangan sinergitas dari poduk-produk hasil usaha kecil dan menengah yang dipasarkan. Selanjutnya, sebagai pendapatan penjualan, upaya peningkatan volume dan pengembangan pasar merupakan langkah yang harus ditempuh melalui beberapa cara oleh Trading House. Pemilihan dan pengembangan pasar tersebut termasuk melakukan riset pasar terkait selera dan preferensi konsumen, serta daya saing produk di pasar terpilih, terhadap produk-produk pesaing terkait dengan fitur produk (masalah warna, design, bentuk dan sebagainya), serta harga dan elemen-elemen pemasaran lainnya. Dalam menjalankan peran Trading House tersebut, maka beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan secara ringkas adalah sebagaimana di bawah ini. a) Dilakukan pencermatan terhadap beberapa pasar potensial, dengan mengenali berbagai segmen yang terkait dengan produk-produk yang akan dipasarkan. Selanjutnya dipilih pasar sasaran awal yang sebagai pijakan strategis dalam pengembangan pasar selanjutnya. b) Pada pasar sasaran yang terpilih, langkah pemasaran diawali dengan kegiatan promosi untuk wilayah pasar yang bersangkutan sesuai dengan bauran promosi yang sesuai. Kegiatan promosi secara konsisten dilakukan sampai produk/produk-produk dikenal dan memiliki posisi yang mapan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73 c) Secara konsisten dilakukan langkah-langkah penetrasi pada pasar yang bersangkutan sehingga mencapai tingkat pangsa pasar yang optimal dan profitable dengan menerapkan taktik-taktik pemasaran yang sesuai untuk menerapkan strategi pemasaran yang telah ditetapkan. d) Selanjutnya, dengan mempertimbangkan segmen-segmen yang ada pada wilayah yang bersangkutan, dilakukan pengembangan pasar, yakni menyesuaikan taktik-taktik pemasar melayani segmen-segmen pasar yang lainnya. e) Langkah pengembangan pasar diteruskan ke wilayah atau negara lain dengan melakukan langkah-langkah sebagaimana diuraikan dalam butir a) sampai dengan butir d). 3. Pemilihan dan Pengembangan Produk Selain melakukan pemilihan dan pengembangan pasar, Trading House juga harus mampu memilih produk yang akan dipasarkan di negara tertentu. Potensi, Kegunaan, dan keunggulan produk merupakan aspek penting yang dipertimbangkan dalam memilih produk yang akan dipasarkan pada pasar yang memerlukannya. Di samping itu, kesesuaian dengan masalah pertimbangan standar lanjutan dan untuk regulasi lain merupakan mencapai keberhasilan pemasaran. Dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh para pelaku usaha UKM sebagai produsen, pengembangan produk perlu secara konsisten direncanakan dan dilaksanakan. Tujuan pokok meningkatkan dari dan langkah ini ada mempertahankan dua, daya yaitu untuk saing, serta merespon kebutuhan konsumen sesuai dengan perilakunya dan gaya hidup yang berkembang. Dengan demikian, pengembangan produk dilaksanakan berdasarkan: Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74 Kondisi/dinamika persaingan, antara lain perkembangan produk-produk pesaing dan produk-produk substitusi, baik design, bahan, fitur, dan kelengkapannya; maupun perubahan harga jual. Umpan balik dan saran-saran atau permintaan dari konsumen. Perubahan kondisi ketersediaan bahan baku dan bahanbahan pembantu. Perubahan teknologi yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran produk. Sebagai contoh, Trading House melihat potensi bahwa negara Amerika Latin memiliki pasar yang cukup besar untuk furnitur rotan, dan dari hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa ada beberapa design produk yang laku di negara tersebut, maka kemudian bagian produksi memberikan informasi kepada produsen UKM untuk mengembangkan produk menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi di pasar Amerika Latin. 4. Pelaksana Promosi Promosi merupakan tahapan yang sangat penting di dalam komunikasi dan penyampaian pesan-pesan bisnis. Tahapan ini merupakan ujung tombak dalam pemasaran produk, karena akan mengalirkan informasi tentang produk, manfaat produk, dan keunggulannya dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumen. Secara tidak langsung pelaksanaan promosi juga akan menjadi pintu masuk aliran informasi mengenai preferensi mereka terhadap produk-produk yang diperlukan. Trading House harus dapat berperan aktif dalam melakukan promosi melalui berbagai media terpilih yang telah disesuaikan dengan pasar yang menjadi target. Oleh karena itu, setiap Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75 pasar dimungkinkan dapat memiliki media promosi yang berbeda bergantung pada produk dan preferensi konsumen. Menetapkan bauran promosi (promotion mix), merencanakan pelaksanakaan, dan melakukan promosi merupakan rangkaian kegiatan yang harus ditangani Trading House. Promosi dan riset pasar sangat penting bagi keberhasilan bisnis, karena hidup matinya perusahaan ditentukan oleh respon pasar terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Tetapi secara langsung kedua hal tersebut tidak dapat dilakukan secara efektif oleh para pelaku usaha kecil dan menengah selaku produsen. Oleh karena itu kegiatan ini harus diambil alih oleh Trading House bersama-sama pemerintah yang berkewajiban melindungi usaha kecil dan menengah. Oleh karena itu, Trading House juga harus mampu berperan sebagai pusat informasi pasar dan agen promosi bagi UKM. Menurut Biesebroeck et al. (2010), perusahaan menghadapi kendala yang cukup besar dalam memasarkan produknya, yaitu kendala berupa pengeluaran sunk cost untuk memperoleh informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan distribusi, identifikasi pelanggan, dan promosi. Kegiatan tersebut cukup berisiko, karena jika riset pasar dan promosi mengalami kegagalan, selain tidak mendapatkan pasar atau pelanggan baru, perusahaan juga akan kehilangan biaya tersebut. Baik perusahaan besar maupun UKM cenderung memilih untuk bekerjasama dengan perusahaan perantara, seperti Trading House sehingga memperoleh keuntungan mendapat pasar baru atau akses ke pasar peripheral (de Geer, 1998). Cakupan area kerja Trading House sebagai pusat informasi pasar dan agen promosi antara lain: Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76 Merumuskan Bauran Promosi Sebagai kegiatan yang sangat penting bagi Trading House, promosi dapat meningkatkan nilai dan citra produk dari UKM mitra dalam bersaing dengan produk sejenis yang diproduksi oleh perusahaan lain. Dengan demikian, promosi yang dilakukan secara efektif dan efisien diharapkan mampu meningkatkan penjualan produk-produk UKM serta mengoptimalkan keuntungan dengan biaya yang relatif rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah utama yang perlu dilakukan oleh Trading House adalah menetapkan strategi promosi melalui perumusan bauran promosi yang efektif. Menurut Kotler dan Keller (2008) unsur bauran promosi terdiri atas lima perangkat utama, yaitu: a) Advertising: merupakan semua penyajian pesan bisnis non personal, dengan menyampaikan ide-ide, tentang produk atau jasa yang dilakukan sponsor tertentu (yang dibayar) melalui media-media publik. b) Sales Promotion: kegiatan pengenalan produk kepada konsumen disertai berbagai insentif jangka pendek untuk mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu produk atau jasa. c) Direct marketing: penggunaan surat, telepon, faksimil, email dan alat penghubung nonpersonal lain untuk berkomunikasi secara langsung dengan atau mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan tertentu dan calon pelanggan. d) Personal Selling: Interaksi langsung dengan calon pembeli atau lebih untuk melakukan suatu presentasi tentang suatu produk, serta menjawab langsung dan menerima pesanan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77 e) Public relation and publicity: berbagai program untuk mempromosikan dan/atau melindungi citra perusahaan atau produk individualnya. Terkait dengan pemasaran produk-produk dari usaha kecil dan menengah, yang umumnya berupa hasil kerajinan dan busana/fashion bercirikan ke-Indonesia-an, maka promosi sebagaimana pada uraian b), c) dan d) perlu mendapat porsi yang lebih besar, tanpa menghilangkan kemungkinan untuk melaksanakan cara a) dan e). Di samping itu, karakteristik produk dan kondisi persaingan juga akan berpengaruh terhadap rumusan Bauran promosi tersebut. Dalam merumuskan bauran promosi, Trading House perlu mempertimbangkan produk apa yang akan dipromosikan serta siapa pasar yang akan dibidik. Hal ini karena setiap produk dan konsumen memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga, bauran promosi yang dipilih dapat berbeda. Melaksanakan Kegiatan Promosi dan Komunikasi dengan calon pembeli Setelah bauran promosi ditetapkan, selanjutnya Trading House diharapkan dapat melakukan kegitan promosi secara aktif. Selain itu, Trading House juga perlu membangun komunikasi yang baik dengan calon pembeli terkait produk-produk yang dipromosikan. Komunikasi tersebut juga dapat difungsikan sebagai pengukur dampak promosi yang telah dilakukan, menerima respon calon pembeli mengenai produk yang dipromosikan, jumlah calon pembeli yang berminat membeli produk yang dipromosikan, dan berapa banyak calon pembeli yang menyukai produk yang dipromosikan. Melalui komunikasi tersebut, dapat diketahui tingkat efektivitas promosi yang telah dilakukan serta memungkinkan Trading House untuk mendapat Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78 konsumen yang tepat dengan penyempurnaan promosi pada waktu, pasar, dan biaya promosi yang tepat. Kerjasama dengan ITPC/Atdag dan Instansi Terkait lain Untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan efisiensi pelaksanakan promosi, salah satu tugas penting dalam kegiatan pemasaran dalam suatu perusahaan adalah membangun hubungan dengan perusahaan lokal, pemerintah, serta stakeholder lainnya di negara pasar sasaran. Namun, tugas ini membutuhkan biaya yang cukup besar serta memakan waktu cukup lama, sehingga perusahaan menjadi ragu dalam menjalankannya. Oleh karena itu, di dalam kegiatan promosi, Trading House diharapkan dapat melakukan kerjasama dengan ITPC/Atdag dan mitra instansi terkait lainnya. ITPC/Atdag memiliki tugas, pokok, dan fungsi mengenai pengembangan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak serta analisis pasar. Dengan demikian, kerja Trading House akan menjadi lebih efektif dalam melayani UKM mitra. Menyusun rencana dan melaksanakan Riset Pasar Hasil riset pasar merupakan sumber informasi penting bagi perusahaan dalam beberapa aspek operasional bisnis antara lain perancangan produk, pelaksanaan promosi, pengelolaan transaksi penjualan, serta delivery produk kepada para konsumen. Di samping itu, riset pasar juga dapat mengungkap kondisi calon pasar, antara lain daya serap/volume kebutuhan, kondisi persaingan, dan dinamika respon pasar terhadap berbagai tatik pemasaran. Dalam hal riset pasar, beberapa peran Trading House mencakup penyusunan rencana dan pelaksanaan riset pasar. Pemilihan pasar yang dibidik harus berdasarkan kriteria yang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 79 tepat dan jelas sesuai hasil riset pasar, dan ini tentu akan berbeda untuk setiap produk. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mengelola riset pasar, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Pada tahapan awal, Trading House harus mampu mengidentifikasi produk ekspor, kegunaan, serta keunggulan komparatifnya. 2) Selanjutnya perlu diidentifikasi perilaku konsumen dan preferensinya terhadap jenis produk yang bersangkutan, sehingga diketahui karakteristik segmen-segmen pasar yang ada. 3) Diidentifikasi pula kondisi calon pasar sasaran, antara lain mencakup daya serap produk, kondisi persaingan, dan karakteristik respon pasar terhadap taktik pemasaran. 4) Selain itu, Trading House juga harus dapat mendefinisikan karakteristik-karakteristik pasar yang sesuai untuk produk tersebut. Oleh karena itu, Trading House harus memiliki akses terhadap informasi-informasi tersebut melalui pelaksanaan riset pasar. Riset pasar yang dilakukan Trading House harus komprehensif, meliputi kriteria kuantitatif dan kualitatif. Kriteria kuantitatif meliputi shipping cost, jumlah pesaing, harga produk pesaing, serta hambatan perdagangan. Sementara kriteria kualitatif meliputi selera konsumen, culture konsumen, dan kondisi politik pasar. Selain itu, riset pasar juga diharapkan mampu mencakup analisa risiko maritim dan fluktuasi mata uang, menentukan mode dan rute transportasi barang dengan biaya yang rendah namun tetap menjaga keamanan dan kualitas barang, serta spesifikasi barang yang memenuhi kebutuhan pasar, standar Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80 dan peraturan namun tetap sesuai dengan kemampuan UKM mitra. Monitoring dan Evaluasi Pasar Kondisi pasar akan terus berubah secara dinamis dengan berjalannya waktu, antara lain akibat dari berbagai perubahan yang terjadi pada produk, persaingan, aktivitas/perubahan tatik pemasaran, dan faktor-faktor makro pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, pasar yang sudah ada perlu terus dimonitor dan dievaluasi oleh Trading House. Kegiatan monitoring dan evaluasi pasar tersebut berguna untuk menjaga dan memperbarui informasi komersial masing-masing produk dan pelaksanaan berbagai aktivitas pemasaran untuk merespon perkembangan pasar, sehingga sasaran pemasaran dapat tercapai. Di samping itu monitoring dan evaluasi pasar juga dapat memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang timbul, baik untuk keberhasilan produk yang dipasarkan dengan cara penyempurnaan, maupun untuk meluncurkan produk-produk lain yang belum ada di pasar yang bersangkutan. Beberapa parameter yang dimonitor dan dievaluasi antara lain: a) Perkembangan harga produk; b) Volume penjualan produk termasuk produk Trading House dan pesaingnya; c) Jumlah merk dan ukuran kemasan d) Kemunculan produk sejenis dan produk Substitusi serta hilang/menyusutnya beberapa produk. e) Perkembangan model kemasan, ragam label, dan fitur produk, serta saluran distribusi/outlet penjualan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81 Kerjasama dengan lembaga riset Disadari sepenuhnya bahwa Trading House memiliki keterbatasan sumberdaya untuk dapat melakukan kegiatan riset pasar yang akurat dan mutakhir. Padahal, kegiatan ini merupakan faktor penting bagi keberhasilan pemasaran secara integral dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan demikian menjalin kerjasama dengan lembaga riset, terutama lembaga riset pemerintah merupakan suatu keharusan untuk dapat memperoleh hasil riset yang baik. Lembaga riset pada umumnya memiliki SDM yang kompeten dan peralatan yang memadai, sehingga efektivitas, efisiensi, dan akurasinya akan jauh lebih baik dibanding jika dilaksanakan oleh Trading House secara sendirian. Untuk meningkatkan pelayanan kepada UKM mitra, salah satu cara yang dapat dipilih oleh Trading House adalah kerjasama dengan lembaga riset, mengingat Riset pasar membutuhkan biaya dan waktu yag tidak sedikit. Dengan bekerja sama dengan lembaga riset, Trading House dapat melakukan efisiensi waktu dan biaya. Beberapa hal yang harus dikomunikasikan dengan baik, antara lain: a) Potensi produk yang akan dipasarkan b) Calon konsumen yang potensial c) Beberapa negara atau segmen pasar yang mungkin ada terkait dengan jenis produk, manfaat, dan Keunggulan komparatifnya. d) Beberapa informasi lain yang diperlukan dalam pemasaran produk, terkait dengan perilaku konsumen, kondisi sosial ekonomi dan budaya negara tujuan ekspor, dan sebagainya. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82 Mengelola umpan balik dari pembeli dan mitra Pembelajaran secara langsung melalui pengalaman dalam melayani konsumen memperkaya akan sangat dan meningkatkan baik dalam upaya kompetensi perusahaan. Dalam hal ini, Trading House juga harus mengelola umpan balik dari pembeli dan mitra. Tanggapan dan sikap konsumen terhadap produk dan pembelian produk merupakan informasi berharga dalam upaya pengembangan produk dan pelayanan kepada pembeli. Opini, permintaan/tuntutan, dan saran-saran yang diberikan oleh pembeli harus dicatat/didokumentasikan dan dievaluasi serta dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya hasil analisis dapat ditindaklanjuti dalam proses produksi dan pemasaran, baik dalam aspek perbaikan dan pembenahan produk dan sistem pemasaran, maupun dalam pengembangan produk dengan memperkaya fitur, menyempurnakan design, atau dalam aspek lain yang dapat meningkatkan kepuasan dan nilai gunanya bagi pelanggan. Di samping itu, kegiatan pengelolaan umpan balik tersebut bertujuan untuk menanggapi dan menyelesaikan klaim dari konsumen. Dengan cara ini, Trading House dapat memastikan bahwa hubungan dengan konsumen dan mitra berjalan mulus. Pengelolaan umpan balik juga dapat menjadi masukan bagi Trading House atau UKM mitra dalam hal memberikan aftersales service bagi para pelanggannya. 5. Pengelolaan Transaksi Penjualan Penjualan produk merupakan tujuan utama kegiatan pemasaran dan hal ini terjadi setelah ada pemahaman dan kesepakatan dari konsumen untuk menggunakan produkproduk yang ditawarkan oleh Trading House. Transaksi penjualan dapat terjadi pada saat promosi diselenggarakan, sehingga promosi juga dapat terintegrasi dan harus mencakup Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83 pengelolaan dalam melakukan transaksi penjualan. Namun, transaksi penjualan akan terpisah dengan kegiatan promosi, sehingga harus ditangani dengan sistem yang tepat dan dilaksanakan secara professional. Sistem harus dapat menangani transaksi secara face to face pada outlet atau di lokasi yang disepakati, secara jarak jauh melalui order yang jelas atau melalui transaksi online. Kejelasan produk yang dipesan/dibeli, termasuk model/tipe dan ukuran, volume pembelian, pengemasan, cara pembayaran, cara pengiriman, dan lokasi serta tujuan Pengiriman. Pengaturan penyiapan barang pesanan, pengecekan, dan pemeriksaan barang serta pembayarannya merupakan aspek penjualan yang harus ditangani dengan baik. Dalam kaitannya dengan penanganan transaksi penjualan, bagian promosi juga harus dapat menjembatani dan membantu buyer di luar negeri untuk memilih media pembayaran serta media pengiriman barang yang akan digunakan. Sebagai contoh, untuk media pembayaran yang akan digunakan tentu harus menguntungkan kedua belah pihak yaitu pihak Trading House dan buyer di luar negeri. Bagi Trading House, pengelolaan penjualan harus menjamin adanya kepastian waktu pembayaran serta kemudahan dan keamanan dalam melakukan transaksi sehingga dapat meminimalisir resiko gagal bayar bagi produsen dalam negeri. Sementara bagi buyer, pengelolaan penjualan harus menjamin waktu dan kepastian pengiriman barang serta barang yang dikirimkan telah memenuhi spesifikasi dan segala persyaratan kepabeanan. 6. Pengaturan Logistik dan Distribusi Untuk mendukung tata kelola transaksi penjualan, maka harus didukung dengan pengaturan logistik dan distribusi yang cukup baik. Trading House harus memilih dan mengatur media Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84 distribusi dan logistik yang akan digunakan dengan mempertimbangkan: 1) Keamanan dan ketepatan waktu pengiriman; 2) Media yang digunakan memiliki biaya yang cukup efisien; 3) Kualitas dari barang dapat tetap terjaga, serta 4) Administrasi kepabeanan yang diperlukan telah terpenuhi. Sesuai dengan karakter masing-masing produk dan perilaku para konsumen, pembelian pada tingkat konsumen dapat terjadi dalam dua sifat. Kategori yang pertama adalah membeli dan segera digunakan atau dikonsumsi, sehingga para konsumen akan membeli produk yang telah tersedia. Kategori yang kedua adalah dengan cara memesan terlebih dahulu untuk digunakan pada waktu kemudian. Untuk mengatasi kedua hal tersebut, maka Trading House harus memiliki sistem pengelolaan Persediaan (stok) minimal, agar dapat melayani konsumen dengan baik. Prinsip Just in time tetap diterapkan, namun tentu secara luwes harus dapat menjaga keseimbangan antara modal kerja dan kecukupan persediaan. Untuk dapat memenuhi kelompok permintaan konsumen kategori pertama, maka secara dinamis pengelolaan persediaan perlu dilakukan di tiga titik yang penting, yaitu (i) di negara-negara tujuan ekspor yang dapat dilakukan oleh importir (mitra bisnis) atau oleh agen; (ii) di gudang dalam negeri; dan/atau (iii) di tempat penyimpanan produsen, dalam hal ini adalah para pelaku usaha kecil dan menengah, jika mudah dalam operasi pengumpulan dan pengiriman, serta penyimpanan dapat dilakukan oleh produsen. 6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi Sesuai dengan sasaran pengembangan Trading House yang akan diawali dengan penanganan industri kecil dan menengah, maka Trading House akan berhubungan dengan banyak sekali Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85 produsen serta mitra bisnis yang berasal dari perusahaan swasta, BUMN, usaha perorangan, dan instansi pemerintah. Dalam konstelasi yang demikian, keberhasilan akan sangat ditentukan oleh dua hal utama, yaitu distribusi informasi yang cepat dan tepat, serta kontribusi yang efektif dan efisien oleh masing-masing pihak sesuai peranan dan kewenangannya. Pada faktanya, salah satu kendala UKM dalam melakukan ekspor adalah kurangnya akses informasi baik kepada pembeli, pemerintah maupun mitra pendukung lainnya. Pasalnya UKM, terutama UKM yang baru akan merambah pada tujuan ekspor kerap diharapi berbagai kendala seperti pemahaman preferensi, perilaku konsumen dan informasi produk, khusunya mengenai spesifikasi dan standar produk. Selain itu, UKM juga kerap tidak memiliki akses jaringan/network yang cukup terhadap pihak lainnya, seperti pemerintah selaku regulator dan mitra pendukung. Oleh karena itu, salah satu fungsi strategis Trading House dalam mendorong ekspor UKM adalah membangun jaringan serta mendistribusikan informasi antara UKM dan stakeholder lainnya. Dengan demikian, pengembangan Trading House harus sangat memperhatikan masalah networking dan komunikasi dengan berbagai pihak yang menentukan keberhasilan proses produksi dan pemasaran, di samping menangani promosi, penjualan, dan distribusi, serta transaksi penjualan. Pada posisinya sebagai trader/mediator aliran barang dan jasa dari produsen kepada pembeli, dan aliran finansial dari pembeli kepada produsen, ada empat kelompok yang harus dilayani melalui komunikasi yang baik dan jejaring kerja yang efektif. Keempat kelompok tersebut memiliki karakteristik komunikasi dan tata kerja yang berbeda, sesuai dengan peranan masing-masing (Gambar 6.2). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86 Gambar 6.2 Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi Trading House Kelompok yang pertama adalah kelompok pelaku usaha kecil dan menengah sebagai produsen barang dan jasa, yang antara lain jumlahnya sangat banyak, keinginan dan kemampuannya beragam, memiliki sumber daya yang sangat terbatas, serta kemampuan akses informasi dan pasar sangat kecil. Dengan demikian, beberapa informasi yang perlu disampaikan Trading House kepada UKM antara lain: (i) jenis produk yang memiliki permintaan yang tinggi di luar negeri; (ii) rancangan produk mencakup desain produk itu sendiri dan packaging; (iii) teknologi produksi yang efisien; (iv) volume dan harga produk; dan (v) persyaratan dan mutu. Kelompok yang kedua adalah buyer, terutama yang berada di manca negara. Sebagai pembeli tentu menginginkan memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terkait dengan produk yang ditawarkan kepada mereka. Hal demikian merupakan aspek penting dalam pembuatan keputusan untuk memilih dan membeli produk. Dengan demikian, dalam Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87 berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pembeli, Trading House perlu menyampaikan beberapa hal yakni katalog produk, volume dan harga, fitur produk dan jaminan atau konsistensi mutu. Disamping berkomunikasi kepada dua kelompok yang merupakan lini dari proses pertukaran manfaat antara produsen dan konsumen tersebut, Trading House juga harus berperan sebagai penghubung jaringan dan distribusi informasi bukan hanya antara UKM dan pembeli saja. Namun stakeholder terkait lainnya seperti pemerintah dan mitra pendukung yang tergabung dari pemasok bahan baku, Atase perdagangan dan ITPC, asuransi, dan lembaga keuangan. Kepada instansi pemerintah (kelompok ketiga), koordinasi antara Trading House dan pemerintah mencakup kebijakan dan regulasi serta bantuan untuk UKM. Hal demikian akan menjadi faktor penting dalam pengembangan kompetensi para pelaku usaha kecil dan menengah, mengingat tidak memungkinkan bagi Trading House untuk melakukan pembinaan sepenuhnya dan memberikan bantuan semua yang diperlukan oleh usaha kecil dan menengah. Trading House perlu memberikan informasi yang jelas tepat, dan mutakhir mengenai kondisi pasar ekspor dalam kaitannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah sedemikian rupa sehingga merupakan masukan yang tepat bagi instansi terkait untuk membuat regulasi yang melindungi terhadap produk dan kegiatan ekonomi para pelaku usaha kecil dan menengah. Disamping itu, juga merupakan informasi bagi pmerintah untuk menetapkan kebijakan yang membantu kompetensi dan prasarana lain yang diperlukan untuk pengembangan usaha kecil dan menengah. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88 Adapun terhadap kelompok ke-empat, yaitu para pemasok barang dan jasa kepada para pelaku usaha kecil dan menengah dan Trading House, komunikasi dan koordinasi yang sesuai dengan peran mitra pendukung antara lain dengan: (i) pemasok mencakup bahan baku dan komponen; (ii) Atdag dan ITPC terkait persyaratan kemasan di negara tujuan, mekanisme pengiriman dan kegiatan promosi; (iii) asuransi terkait keperluan asuransi atau perlindungan finansial; (iv) lembaga keuangan terkait fasilitas modal atau avalis. Melalui fungsi intermediasi informasi yang kuat, maka keempat elemen stakeholder akan menjadi satu jaringan yang solid dan terintegrasi. 6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk Dalam kaitannya memenuhi kebutuhan konsumen, perancangan produk merupakan induk dari rangkaian proses operasional suatu organisasi/perusahaan. Proses manufaktur, perencanaan produksi, proses dan pengujian kualitas yang didasarkan pada sifat suatu produk sesuai dengan rancangannya. Bahkan logistik dan pengiriman suatu produk didasarkan pada bagaimana dan produk apa yang telah dirancang. perencanaan Dengan demikian merupakan dapat cetak dinyatakan biru bahwa (blueprint) bagi keberhasilan suatu perusahaan. Dalam suatu perusahaan, perencanaan harus dimulai dengan konsep yang memiliki dasar pendukung yang jelas, mampu memberikan nilai kepada konsumen, dan menghasilkan laba atas investasi, serta meningkatkan daya saing perusahaan. Secara operasional, perencanaan produk akan memiliki dampak langsung pada bahan baku dan komponen yang akan digunakan, suplier yang ditugaskan, mesin dan proses seperti Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89 yang digunakan untuk membuatnya, di mana akan disimpan, dan bagaimana produk ekspor tersebut akan didistribusikan. Perancangan dan pengembangan produk pada umumnya dilaksanakan berdasarkan kebijakan kualitas dan harga. Hasilhasil survei pasar dapat memberikan informasi mengenai sasaran perancangan produk dalam aspek fungsional, operasional, kehandalan, dan persyaratan daya tahan dan kemungkinan. Pemilihan ruang lingkup fungsional dan penerapan standardisasi, penyederhanaan, dan prinsip-prinsip spesialisasi ternyata terkait erat dengan efisiensi pabrik dan untuk laba bersih sehingga harus menjadi bagian integrasi dari kebijakan manajemen. Nilai ekonomi dari suatu produk baru yang diusulkan atau model baru harus dianalisis untuk menentukan ukuran pasar yang akan disesuaikan dengan produksi. Pertimbangan estetika datang biasanya pada stadium lanjut, tapi kadangkadang dapat menjadi faktor dominan dalam desain, terutama dengan barang-barang konsumsi. Akhirnya, pengembangan produk dan desain harus dilakukan dengan hubungan dekat dengan departemen produksi, dalam rangka untuk memastikan bahwa bahan yang tepat dan proses yang digunakan dan yang implikasinya dianggap pada tahap cukup awal. Hal-hal tersebut di atas sudah menjadi suatu keharusan dan mudah dilaksanakan dalam suatu perusahaan, yang bahkan akan menjadi prosedur operasi baku yang dilaksanakan secara rutin. Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Trading House dengan prosedur baku yang persis sama, karena pelaksana produksi dan perancangan berada pada organisasi yang terpisah. Oleh karena itu dalam menjalankan perannya, Trading House mengelola Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan proses perancangan dan 90 pengembangan produk sesuai alur proses sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.3. di bawah ini. Gambar 6.3 Bagan Alur Perancangan dan Pengembangan Produk Trading House Gambar 6.3 tersebut menginformasikan hubungan dan keterkaitan antar berbagai pihak dalam proses perancangan produk yang diharapkan akan mampu memenuhi preferensi dan kebutuhan konsumen. Secara ringkas hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Sesuai dengan uraian di atas, perancangan produk harus dimulai dari hasil riset pasar dan pemahaman atas kebutuhan konsumen terkait dengan manfaat produk yang akan ditawarkan kepada mereka. b) Riset pasar dilakukan untuk mengumpulkan informasi dari beberapa informan kunci, antara lain dari: (i) konsumen yang akan menggunakan produk yang bersangkutan; (ii) mitra usaha yang memasok bahan, barang, dan jasa; dan (iii) instansi pemerintah yang terkait dengan UKM dan produk yang dihasilkan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91 c) Atas dasar hasil riset pasar, maka secara sendiri atau bersama-sama dengan para pelaku usaha kecil dan menengah, Trading House melakukan proses perancangan produk, dengan tahapan utama sebagaimana telah diuraikan di atas. d) Aspek utama yang akan dihasilkan antara lain meliputi: jenis produk dan rancang bangunnya, fitur, mutu/grade, dan teknologi untuk menghasilkannya. Teknologi produksi ini akan mencakup aspek bahan baku dan bahan pembantu, peralatan, dan tahapan proses produksinya. e) Dalam pelaksanaan produksi setelah rancangan jadi, juga perlu direncanakan secara lebih pasti mengenai volume produksi, jadwal produksi, harga/biaya produksi, serta kerjasama dengan pihak-pihak terkait. f) Rancangan ini juga harus diinformasikan secara tepat waktu kepada instansi pemerintah dan mitra kerja. Pemerintah diharapkan secara antisipatif memberikan bantuan pelatihan dan fasilitas kepada para pelaku usaha kecil dan menengah untuk keberhasilan produksinya. Para mitra pemasok dapat merencanakan barang dan jasa yang sesuai dengan rancangan produk tersebut. g) Selanjutnya Trading House dapat memberikan bantuan pula kepada para pelaku usaha kecil dan menengah yang akan menghasilkan produk yang telah dirancang tersebut. Bantuan dapat berupa pelatihan in situ, pendampingan proses produksi, dan problem solving atas masalah yang timbul, serta bantuan lainnya yang memungkinkan. Secara teknis, proses perancangan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 92 produk dapat dilakukan dengan cara sebagaimana dirinci dalam uraian di bawah ini. 1. Analisis Produk Berbagai faktor dapat dianalisis terkait perancangan dan pengembangan, faktor yang berbeda dalam karakter dan kompleksitas, faktor yang bergabung dengan bidang yang berbeda pada produksi dan teknik industri. Beberapa faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi: a. Aspek pemasaran b. Karakteristik produk Aspek fungsional Aspek operasional Aspek ketahanan dan kehandalan, dan Nilai estetik c. Analisis ekonomi Pertimbangan keuntungan Dampak standardisasi, penyederhanaan, dan spesialisasi, dan Analisis break-even d. Aspek produksi Semua faktor tersebut saling terkait dan masing-masing menyajikan banyak masalah yang harus dipertimbangkan dengan cermat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6.4. riset pasar dapat memandu pencipta produk dalam pekerjaan mereka untuk meningkatkan produk yang sudah ada atau untuk mengembangkan yang baru. Desain dan karakteristiknya harus menjalani analisis ekonomi dan harus dipelajari dalam terang fasilitas produksi yang tersedia dan teknik. Analisis penetapan biaya secara alami tergantung Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93 pada volume penjualan; maka desain disarankan harus dievaluasi kembali oleh riset pasar sehingga perkiraan penjualan dapat bekerja. Volume penjualan diharapkan dapat menjadi dasar untuk studi lebih lanjut dari aspek metode produksi, dan analisis ekonomi harus dicek dan mungkin diubah. Dengan demikian pengembangan produk dan desain adalah contoh yang sangat baik dari saling ketergantungan dari banyak faktor yang harus disesuaikan dan diintegrasikan dalam komposisi akhir. Gambar 6.4. Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam Perencanaan dan Pengembangan Produk 2. Kerangka Kerja Untuk Perencanaan Produk Perencanaan proses dapat dilihat sebagai latihan interaktif dimana berbagai hambatan diselesaikan satu per satu dan secara berurutan; kemudian setelah setiap tahap, atau mungkin setelah beberapa tahap, tahap sebelumnya kembali diperiksa untuk melihat Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan apakah langkah tersebut 94 mempengaruhi cara terbaik di mana langkah-langkah tersebut harus dirancang. Gambar 6.5. Urutan Proses Kerja Perencanaan a. Perencanaan Produk Perencanaan produk berfungsi sebagai masukan untuk proses desain produk. Namun, dalam banyak kasus tanggung jawab untuk fase tersebut terletak dalam kelompok-kelompok, seperti pemasaran dan teknik, yang pada umumnya ditemukan di luar domain proses desain. Pada tahap awal, kebutuhan yang dibutuhkan konsumen mulai diidentifikasi. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95 Jika proses berorientasi pada layanan, maka kebutuhan akan tercermin dengan kualitas, kecepatan, biaya, dan keandalan layanan. Jika di sisi lain, proses berorientasi manufaktur, dari kebutuhan tersebut akan tercermin dalam diusulkan kualitas, biaya, fungsi, keandalan dan penampilan produk. Pada saat layanan atau produk parameter tersebut diubah menjadi produk, desain, penting diketahui bahwa aliansi lintas-fungsional antara produk, perencanaan dan proses kelompok desain dibentuk untuk memastikan bahwa tujuan produk dapat menguntungkan. Jika tidak, maka hanya tujuan lokal yang dapat dikejar. Sebagai contoh, departemen pemasaran dan teknik bekerja sendirian maka mungkin rancangan produk yang sangat mahal untuk diproduksi dan sangat sulit untuk dilayani. Secara singkatnya, proses transformasi harus dipertimbangkan dengan baik sebelum desain selesai. Informasi dari tahap pengembangan produk dapat diarahkan untuk unit yang bertanggung jawab untuk proses penelitian dan pengembangan (R & D). Unit tersebut pada gilirannya dapat menentukan apakah kemampuan proses untuk produk tersebut sekarang ada di dalam perusahaan, apakah itu ada di luar perusahaan atau apakah penelitian dan upaya pengembangan akan diperlukan untuk memenuhi tujuan tertentu. Perkiraan biaya kasar juga dibuat untuk setiap alternatif diidentifikasi. Pada perusahaan besar, departemen khusus R & D dapat diselenggarakan hanya untuk tujuan tersebut. Namun pada perusahaan-perusahaan kecil, fungsi tersbeut kurang formal dan lebih ketergantungan akan ditempatkan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96 pada pemasok luar peralatan pengolahan dan teknik perusahaan. Sebagai proses fase R & D berlangsung, informasi umpan balik kepada kelompok pengembangan produk. Jika R & grup D akan dapat memenuhi spesifikasi produk, maka tahap desain produk akhir dapat dimulai. Jika ada masalah, namun, dalam memenuhi spesifikasi produk, maka modifikasi dalam tahap pengembangan produk harus terjadi. Informasi dari kedua produk akhir desain dan proses R & D merupakan masukan untuk tahap desain proses. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan cara-cara alternatif untuk memenuhi tujuan diformalkan dalam tahap desain akhir, menentukan kriteria yang mereka akan dievaluasi, dan membuat seleksi akhir. b. Desain Proses: Makro Proses desain dalam hal makro terdiri dari dua aspek antara lain workstation dan alur kerja. Pilihan workstation melibatkan pilihan mesin untuk dimasukkan dalam proses, sedangkan analisis alur kerja menyangkut aliran kerja antara workstation tersebut. Di dalam proses ini, keputusan dibuat apakah proses akan terus menerus, intermiten, atau beberapa kombinasi dari keduanya. Dalam pengolahan terus menerus, proses ini beroperasi konstan dan biasanya melibatkan rasio modal-untuk-kerja yang tinggi. Beberapa contoh orientasi terus-proses ini adalah industri otomotif, pengolahan kimia, plastik, beberapa volume tinggi produsen elektronik, dan beberapa utilitas seperti telepon, listrik dan transmisi gas. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97 Karakteristik industri dengan proses berkesinambungan adalah tata letak produk di mana semua workstation yang ditujukan khusus untuk satu produk dan dikelompokkan sesuai dengan persyaratan pengolahan produk tersebut. Dalam banyak kasus daripada tidak, mesin yang ditemukan di workstation tujuan khusus dan mahal dan memiliki sedikit fleksibilitas di luar lini produk sendiri. Alur kerja sebagian besar ditentukan oleh karakteristik fisik yang memiliki tata letak produk. Kriteria yang digunakan untuk membuat pilihan antara dua layout ini termasuk biaya investasi, biaya material handling, biaya tenaga kerja langsung, kebutuhan ruang, fleksibilitas peralatan perubahan pertemuan dalam kuantitas output, keandalan sistem dan biaya pemeliharaan. Faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi harus, pada gilirannya, ditimbang sebelum membuat keputusan akhir. c. Desain Proses: Mikro Dalam tahap berikutnya bergeser kepada rincian yang membuat pekerjaan benar di setiap workstation. Hal yang perlu diperhatian adalah dengan isi operasional dan metode operasional Tugas konten operasional berfokus pada kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang harus diberikan kepada stasiun kerja. Metode operasional, pada sisi lain, berkaitan dengan pelaksanaan yang efisien dari langkah-langkah tersebut. 3. Sistem Perencanaan Pabrik Jika pabrik baru akan dibangun, kemudian memproses hasil perencanaan dalam pengaturan yang relatif bebas kendala. Jika, Namun, proses tersebut harus dipasang di pabrik yang ada, maka satu set kendala khusus harus diamati. Oleh Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 98 karena itu, sistem perencanaan proses harus berinteraksi dengan sistem perencanaan pabrik untuk memastikan layout yang layak. 4. Proses Desain Sebagai Kegiatan Yang Terus Menerus Proses desain tidak terbatas hanya untuk desain baru. Setiap kali biaya input berubah dalam jumlah besar, atau setiap kali tingkat output atau sasaran mutu berubah, proses penyesuaian segera dilakukan. Jika alasan untuk pemeriksaan ulang adalah perubahan harga dalam faktor input, kemudian masukan baru mencerminkan rasio harga yang berbeda dari input pengganti yang mungkin diperlukan. Sebagai contoh, jika upah tarif meningkat secara substansial sebagai akibat dari kontrak kerja baru, ada kemungkinan bahwa urutan otomatis di lini produksi yang penggunaan modal secara tidak efisien dari sebelumnya yang mungkin menguntungkan. Desain proses, harus menjadi aktivitas berkelanjutan dimana tidak hanya mempercepat saat produk atau jasa baru diperkenalkan. Sebagai proses berkelanjutan, pertanyaan tentang berapa banyak uang untuk menghabiskan dalam mengejar adalah sangat penting. Jumlah yang harus menghabiskan tergantung, tentu saja, pada manfaat yang didapatkan. Pada batasnya, upaya harus terus selama manfaat marginal dari perbaikan lebih besar dari biaya marjinal. Jika desain ulang memerlukan investasi, tampaknya masuk akal untuk menggunakan investasi untuk peninjauan proses modal penganggaran. Oleh karena itu, investasi tersebut, bersama dengan semua lain yang perusahaan adalah mempertimbangkan, harus menghadapi proses seleksi akhir di mana hanya yang paling menguntungkan dapat bertahan hidup. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 99 6.1.4 Koordinator Produksi Sebagaimana disampaikan oleh ASEPHI dalam Diskusi Terbatas Kajian yang diselenggarakan pada tanggal 18 Februari 2016, salah satu kendala UKM dalam melakukan ekspor adalah kurangnya product specialist yang bisa membantu mengembangkan produk sehingga sesuai dengan persyaratan teknis barang dan lolos kontrol kualitas di negara tujuan ekspor. Untuk mengatasi kendala tersebut maka Trading House harus berperan sebagai Koordinator Produksi, atau bisa juga diistilahkan kurator produksi bagi UKM. Artinya, Trading House tidak boleh bersifat pasif dan menyerahkan proses produksi sepenuhnya kepada UKM sebagai produsen, tetapi harus bersifat proaktif untuk ikut merencanakan, mengawasi, dan mengendalikan hasil produksi. Telah disadari bahwa beberapa aspek penting terkait dengan pemasaran produk-produk usaha kecil dan menengah ke manca negara, adalah adanya berbagai ketentuan sebagai berikut: Produk harus jelas darimana asalnya dan dapat ditelusuri; Produk harus memiliki identitas yang jelas, sehingga merek produk merupakan aspek penting yang harus dipenuhi; Informasi produk berupa Spesifikasi atau label kandungan dan cara penggunaan harus disertakan; Mutu produk harus konsisten; Produk harus terdaftar dan tersertifikasi; Tidak boleh ada pelanggaran HKI dalam produksi dan pemasarannya. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 100 Berbagai ketentuan tersebut di atas sering menjadi kendala, dan tentu saja tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada UKM sebagai produsen, sehingga Trading House harus terlibat secara proaktif agar mampu memenuhi ketentuan tersebut di atas. Dengan demikian, bagan yang menggambarkan peran Trading House sebagai Koordinator Produksi dapat dilihat pada Gambar 6.6 di bawah ini. Gambar 6.6 Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading House Agar produk yang dihasilkan dapat memenui order buyer di luar negeri dengan baik, maka Trading House harus mampu menjamin produk dapat diterima oleh buyer tepat waktu, berkulitas baik dan memiliki harga yang bersaing. Beberapa prinsip yang perlu menjadi key competencies produk-produk Trading House adalah just in time, bermutu tinggi, efisien, pemenuhan skala pasar (Economic of Scale) dan berdaya Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 101 saing (competitive). Karena produsen merupakan organisasi yang terpisah dari Trading House, maka Trading House harus mampu mengkoordinasikan penerapan prinsip-prinsip tersebut oleh para mitra kerjanya. Untuk dapat mencapai prinsip-prinsip tersebut di atas, maka peran Trading House sebagai Koordinator atau Kurator Produksi menjadi sangat penting. Beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh Trading House dalam menjalankan perannya sebagai Koordinator Produksi bagi UKM adalah sebagaimana uraian berikut ini. 1) Dalam menjalankan peran ini, Trading House menyampaikan rancangan produk berdasarkan hasil riset dan analisis pasar kepada para UKM (telah diuraikan pada 6.1.1.) yang siap memproduksi barang sesuai permintaan. Trading House juga membantu UKM yang mendapat order tersebut dalam berhubungan dengan Mitra Produksi seperti Pemasok Bahan Baku, Pemasok Bahan Pembantu dan Kemasan, Bank dan Asuransi, Pergudangan dan Ekspedisi jika dibutuhkan dalam proses produksi. 2) Pada tahap perencanaan, Trading House harus berunding dengan para pengusaha kecil dan menengah mengenai rencana produksi yang meliputi jadwal produksi, jenis produk dan volume produksinya. 3) Setelah proses produksi, barang yang diproduksi juga harus dapat lolos sertifikasi dan kulitas sesuai permintaan di pasar ekspor. Oleh karena itu Trading House harus membantu UKM. a. Melakukan pengecekan/pemeriksaan/pengawasan terhadap mutu produk yang dihasilkan; Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 102 b. Dalam berhubungan dengan lembaga sertifikasi, antara lain Trading House membantu memastikan UKM telah menghasilkan produk yang memenuhi standar, baik sesuai yang diminta buyer, maupun memenuhi SNI atau standar lainnya yang menjadi ketentuan pemerintah Indonesia dan negara tujuan ekspor. c. Mengurus dan memperoleh Sertifikat/sertifikasi yang diperlukan. 4) Untuk dapat menjamin keberlangsungan produk, Trading House juga harus dapat membangun merek untuk produk-produk yang akan dipasarkan. Dua skema yang tersedia untuk tujuan tersebut, yakni (i) merek yang dimiliki langsung oleh produsen, dalam ini adalah masing-masing UKM; dan (ii) merek dimiliki oleh Trading House. Masing-masing memiliki Keunggulan dan kelemahan, sehingga perlu dipertimbangkan dengan cermat di dalam penetapannya. Namun, Trading House tetap harus membatu para pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan merek produk mereka, jika mereka menginginkannya. 5) Melakukan pemeriksaan, apakah produk yang dihasilkan telah ada perlindungan HKI-nya, baik di Indonesia maupun di negara tujuan ekspor. a. Jika sudah ada, apakah harus ada royalty yang harus dibayar. b. Jika belum, perlu dipertimbangkan apakah harus dilindungi dengan HKI c. Jika diperlukan Trading House mendaftarkan desain atau karya tersebut kepada Ditjen Hak Kekayaan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 103 Intelektual (HKI) dan/atau lembaga yang menangani Intellectual Properties di negara tujuan ekspor. Jika produk merupakan temuan/rancangan UKM, Trading House perlu membantu UKM dalam pendaftaran paten/hak cipta tersebut. 6) Dalam menjalin komunikasi yang efektif dengan calon pembeli sekaligus untuk dapat menjamin ketelusuran (traceability), maka perlu dibuat sistem basis data dan katalog yang baik untuk menampung seluruh informasi mengenai bahan baku yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Basis data dan Katalog ini akan menjadi alat yang bagus dalam pemasaran, terutama dalam hal pelaksanaan promosi serta mengembangkan komunikasi tertulis melalui situs web, e-mail, brochure, dan sarana komunikasi jarak jauh lainnya. 7) Selain sistem katalog produk, Trading House juga perlu mempunyai sistem dan menerapkan manajemen yang baik (Good Management Practices) sehingga informasi mengenai proses produksi, sertifikasi, kualitas, desain produk dan lain-lain dapat dikelola dengan baik. Dengan sistem manajemen ini, maka Trading House akan lebih mudah memasarkan produk-produk UKM. 6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM Pada peran keenam ini, Trading House berupaya untuk mendorong kemampuan UKM memaksimalkan kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan dalam rangka meningkatkan ekspor non migas dari sektor UKM. Dalam menjalankan peran fasilitasi pemberdayaan UKM, Trading House melakukan komunikasi dengan instansi dan mitra terkait Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104 tentang aspek-aspek tuntutan keterampilan dan fasilitas produksi UKM untuk memenuhi tuntutan konsumen dan kompetisi. Pemberdayaan UKM bukan semata-mata menjadi tanggung jawab Trading House, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, dalam melakukan pemberdayaan agar mampu memenuhi tuntutan pasar dan menghasilkan produk yang memiliki daya saing bagus, maka Trading House harus bekerjasama secara erat dengan berbagai instansi yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan UKM. Dengan mencermati berbagai kondisi, kendala, dan tuntutan pasar sebagaimana diuraikan di atas, maka kegiatan untuk memfasilitasi pemberdayaan UKM antara lain meliputi beberapa hal sebagaimana di bawah ini. 1. Pelatihan dan pendampingan Melalui kegiatan ini lembaga Trading House mampu memberikan pelatihan dan pendampingan bagi UKM untuk dapat memproduksi produk ekspor yang berkualitas dan mutu konsisten serta dapat memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh buyer di luar negeri, sehingga ekspor dapat dilakukan secara berkelanjutan. 2. Bimbingan dan pemecahan masalah Apabila UKM menghadapi berbagai hambatan terkait dengan ketrampilan dan kemampuan dalam kegiatan produksi ataupun pemasaran, Trading House akan membantu mencari alternatif solusi permasalahan tersebut. Misal untuk mendapatkan mutu produk handmade yang konsisten maka Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan UKM diberikan bimbingan 105 ketrampilan khusus agar terlatih membuat produk dengan kualitas seragam. 3. Akses bantuan fasilitas produksi. Trading House memberi bantuan fasilitas dan kemudahan untuk pengembangan teknologi produksi, termasuk dengan memanfaatkan fasilitas dari pemerintah seperti bantuan mesin bagi UKM. Trading House dapat menyediakan bantuan dalam tahapan labelling dan packaging, sehingga dapat menyesuaikan dengan permintaan buyer di luar negeri. 4. Akses informasi pasar Apabila UKM belum memiliki informasi yang lengkap mengenai pasar yang dituju khususnya negara tujuan ekspor, Trading House dapat memberikan bantuan informasi tersebut, dan juga dapat menjadi penghubung antara UKM dengan buyer. 5. Akses modal kerja & investasi Trading House dapat melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan baik pemerintah atau swasta yang memiliki dana sehingga UKM mempunyai akses untuk mendapatkan modal dan investasi untuk pengembangan usaha khususnya bidang produksi. 6. Bantuan pengurusan sertifikasi dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Trading House membantu pengurusan sertifikasi dan HKI di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhum dan HAM) dengan memanfaatkan skema kerjasama antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 106 dan Menengah (Kemenkop dan UKM) dengan Kemenhum dan HAM yang memberikan secara gratis untuk mengurus HKI produk UKM yang akan diekspor. 7. Penanganan Klaim dan Gagal kirim/bayar Jika dalam melakukan ekspor terjadi masalah dalam penanganan klaim atau gagal kirim dan bayar, maka Trading House dapat membantu penyelesaian masalah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu lembaga Trading House diharapkan sudah berbentuk badan hukum. 8. Manajemen umpan balik Trading House dapat memberikan saran bagi perbaikan produksi dan pemasaran produk UKM ke luar negeri. Demikian juga apabila terdapat kritik terhadap kualitas produk maupun proses ekspor dari pihak buyer dapat diatasi oleh UKM bekerja sama dengan Trading House. 6.2 Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya Demi mewujudkan Trading House yang mampu berperan secara signifkan dalam rangka meningkatkan ekspor non migas khususnya untuk produk UKM, maka Kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh organisasi dan SDM pengelola Trading House antara lain: 1. Kompetensi Dasar Organisasi dan SDM - Pemasaran dan perdagangan 2. Keterampilan Pendukung - Ekonomi dan bisnis - Komunikasi bisnis Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 107 - Teknologi komunikasi dan informasi - Disain produk - Visual design - Teknologi industri - Manajemen produksi dan operasi 3. Sarana Pendukung - Etalase/display room - Perlengkapan komunikasi dan informasi - Bangunan operasi dan business meeting - Peralatan disain dan pengembangan produk Trading House merupakan salah satu wadah untuk mendongkrak ekspor produk yang dihasilkan dari para pelaku UKM. Dari kegiatan Diskusi Terbatas dan wawancara dengan beberapa stakeholder terkait, setidanya ada tiga bentuk alternatif dari Trading House. Setiap alternatif bentuk tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Tabel 6.1 berikut menyajikan perbandingan keunggulan dan kelemahan dari setiap alternatif bentuk Trading House tersebut: Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 108 Tabel 6.1 Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau Status Trading House Dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan Trading House berupa: a) Akses modal kerja & investasi b) Promosi, Informasi Pasar & Riset Pasar c) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku dan mesin-mesin d) Tax holiday selama masa awal pengembangan e) Insentif pajak apabila: (i) memenuhi target ekspor tertentu; (ii) ekspansi ke pasar baru; (iii) diversifikasi produk ke pasar tradisional Sesuai dengan peran Trading House yang akan diupayakan secara maksimal maka minimal ada 6 bidang atau divisi yang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 109 terdapat dalam organisasi lembaga pengelola Trading House yaitu; 1. Promosi dan riset pasar 2. Penjualan dan pengembangan pasar 3. Perancangan dan pengembangan produk 4. Produksi dan perlindungan HKI 5. Persediaan dan ekspedisi 6. Keuangan dan SDM Sedangkan dukungan pemerintah bagi UKM dapat dilakukan dengan berkoordinasi antar kementerian antara lain melalui kegiatan: a) Bimbingan dan pelatihan b) Akses Bantuan fasilitas produksi c) Akses modal kerja dan investasi d) Bantuan kemudahan penanganan sertifikasi dan HKI. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 110 BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 7.1 Kesimpulan 1. Trading House belum berkembang di Indonesia karena belum ada regulasi yang jelas sebagai dasar untuk mendirikan Trading House di Indonesia, kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait, belum terciptanya manajemen Trading House yang terintegrasi, skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House dan ruang lingkup layanan Trading House yang masih terbatas. 2. Berdasarkan hasil benchmarking dengan Trading House di Korea Selatan dan Jepang, unsur-unsur penting dalam pengembangan Trading House adalah perlu adanya: landasan hukum, status kelembagaan, peran pemerintah, tingkat keragaman produk, lembaga pendukung, dan kerangka dasar operasi dan fungsi Trading House yang komprehensif. 3. Kriteria prioritas untuk menentukan produk yang dimasukkan dalam Trading House adalah 1. pangsa ekspor, 2. impor dunia dan 3. ketersediaan bahan baku lokal. Dengan menggunakan kriteria tersebut hasil studi berhasil mengidentifikasi 14 produk yang perlu ditangani melalui Trading House, lima produk prioritas adalah (i) perhiasan dan aksesoris; (ii) furnitur; (iii) makanan olahan; (iv) produk tekstil dan garmen; (v) minyak atsiri (produk spa aromaterapi). 4. Model operasional Trading House disarankan: a) Badan usaha berbentuk BUMN atau BUMD guna memudahkan dukungan pendanaan dari pemerintah dan melaksanakan misi pemerintah meningkatkan ekspor UKM. b) Trading House dengan lima fungsi utama yaitu (i) fasilitasi pemberdayaan UKM, (ii) perancangan dan pengembangan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 111 produk, (iii) koordinasi produksi, (iv) networking dan distribusi informasi, serta (v) pemasaran. 7.2 Rekomendasi Kebijakan 1. Pemerintah perlu mensosialisasikan Trading House dan fungsinya kepada para pelaku usaha khususnya UKM. 2. Dukungan kebijakan pemerintah yang diharapkan untuk pengembangan Trading House dalam rangka mendukung ekspor non migas, khususnya dari sector UKM adalah: a) Bantuan atau akses modal kerja dan investasi; b) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku dan mesin-mesin; c) Tax holiday pada tahap awal pengembangan Trading House; d) Insentif perpajakan apabila (i) memenuhi target ekspor tertentu; (ii) mampu menembus pasar baru; (iii) diversifikasi produk baik secara vertikal (berbagai jenis produk turunan) maupun horizontal (berbagai sektor). e) Penguatan payung hukum yang lebih jelas dan kuat guna mendukung terbentuknya Trading House yang efektif dalam bentuk peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan. 3. Rekomendasi berdasarkan hasil kajian, agar pemerintah memfasilitasi pengembangan Trading House dengan: a) Memperkuat lembaga yang sudah melakukan sebagian fungsi Trading House seperti SMESCO dan PT. Sarinah. b) Membangun dari awal sebuah Trading House yang baru dalam bentuk pilot project dengan model operasional yang komprehensif. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 112 DAFTAR PUSTAKA Ascarya. (2006). Analitycal Network Process (ANP): Pendekatan Baru Dalam Penelitian Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.Bank Indonesia. Ascarya, Yumanita. D. (2005). Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil Di Perbankan Syariah Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005, pp. 8-43. Ashraf, G., Kadir, S. A. (2012). A Review on The Models of Organizational Effectiveness: A look at Cameron’s Model in Higher Education. International Education Studies, 5 (2), pp.80-87. Azis, Iwan J. (2003). Analytic Network Process With Feedback Influence: A New Approach to Impact Study. Mimeo, paper presented in seminar organized by the Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois, Urbana Champaign. Banwet, D. K., Deshmukh, S. G., Joyti. (2006). Balanced Scorecard for Performance Evaluation of R&D Organization: A Conceptual Model. Journal of Scientific and Industrial Research, 65 (11), pp. 879-886. Biesebroeck, J. V., Yu, E., Chen, S. (2010). The impact of trade promotion services on Canadian exporter performance. pp. 145-190. Diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1612209. Cunningham, J. B. (1977). Approaches to The Evaluation of Organizational Effectiveness. Academy of Management Review, 2(3), pp. 463–474. Endri. (2009). Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi Di Indonesia Menggunakan Metode Analitycal Network Process (ANP). Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.13, No.3 September, pp. 359372. Fedorowicz, J. (2004). Promoting Trading Houses In Egypt. Arab Republic of Egypt. Ministry of Foreign Trade. Feenstra, R. dan G. Hanson (2004). Intermediaries in Entrepôt Trade: Hong Kong Re-Exports of Chinese Goods. Journal of Economics & Management Strategy, 13: pp. 3-35. Goenawan. (2014). Ekonomi & Bisnis. 10 Agustus 2014. Pengusaha Mebel Butuh Trading House. Diunduh kembali dari Infopublik: http://infopublik.id/read/86019/pengusaha-mebel-butuh-tradinghouse.html. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 113 Gorener, Ali. (2012). Comparing AHP and ANP: An Application of Strategic Decisions Making in a Manufacturing Company. International Journal of Bussiness and Social Science, Vol.3, No.11: pp. 194-268. Hossein, E., Ramezanineghad, R., Yosefi, B., Sajjadi, S. N., Malekakhlagh, E. (2011). Compressive review of organizational effectiveness in sport. Sport Management International Journal 2011 Vol. 7 No. 1, pp. 5-21. Jaharnsyah, M., Novianti, T., dan Ernaning W. (2013).Rumusan Strategi Pengembangan Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya Dengan Menggunakan Pendekatan ANP. Jurnal Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura: pp. 1-9. Japan External Trade Organization (JETRO). (2015). Role of Japanese Government and Sogo-Syosya to increase export and investment. Presentation. Jakarta. Jun, I. W. (2009).The Strategic Management of Korean And Japanese Big Business Groups: A Comparison Study between Korean General Trading Companies and Japanese Sogo Shoshas. Thesis. The University of Birmingham. United Kingdom. Kotler, P., Keller, K. L. (2008). Marketing Management (13th edition). New Jersey: Prentice Hall. Lankford, W.M. (2001). Benchmarking: Understanding The Basics. The Coastal Business Journal, 1 (1), pp. 57-72. Llamazares, O. (2015, July 9). What is Trading Company? Blogs and Articles: Global Negotiator. Diunduh dari http://www.globalnegotiator.com. Love, Peter E.D., Skitmore, Martin R. (1996). Approaches to Organisational Effectiveness and Their Application to Construction Organisations.A paper to be submitted to the ARCOM Conference, Sheffield Hallam University, UK, 11-13th Sept. 1996, pp. 1-10. OATH. (2015, July 9). About Trading House: Ontario Association for Trading House. Diambil kembali dari Ontario Association for Trading House Web site: http://www.oath.on.ca. Partomo, S. T., Soejoedono, A. R. (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menegah & Koperasi. Ghalia Indonesia. Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 114 Prabowo, D. W. (2014). Pengelompokan Komoditi Bahan Pangan Pokok Dengan Metode Analytical Hierarchy Process. Buletin Ilmiah Perdagangan Vol 8, No. 02 Desember 2014, pp. 163-182. PT. Bumi 1ndawa Niaga. (2015). Designation For General Trading Company As a National Export Booster: Case Study of South Korea’s Export Leap Jump. Presentation. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri (Puslitbang Dagri), Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan. (2009). Kajian Inventarisasi dan Evaluasi Trading House. Jakarta. Puspadewi, I. (2015). Trading House in Furniture Industry. Presentation. Jakarta. Raman, K., Naik, P. A. (2005). Integrated Marketing Communication in Retailing, pp. 339 – 353. Rehman, S. U., Ibrahim, M. (2011). Integrated Marketing Communication and Promotion. Journal of Arts, Science & Commerce Vol. II, pp. 187-191. Ryan, P. (2013). The Sogo Shosha - The Insider’s Perspective. Marubeni Research Institute. Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. (2006). Decision Making with the Analitic Network Process. Economic, Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities, Costs and Risks. Springer. RWS Publication. Pittsburgh. Saeed, R., Naeem, B., Bilal, M., & Naz, U. (2013). Integrated Marketing Communication: A Review Paper. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business Volume 5, No. 5, pp. 124 - 133. Tanaka, T. (2012). Research on Sogo Sosha: Origins, Establishment and Development. Japan Foreign Trade Council, Inc. Tambunan, T. (2002). Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Beberapa Isu Penting. Salemba Empat. Jakarta. Tsao, Juliana. (2004). The Role of Small and Medium Sized Export Tradinng Companies in Taiwan’s Economic Transition 1950-1990. Thesis. The Faculty of International Business and Asian Studies. Griffith University. Yu, T., Wu, N. (2009). A Review of Study on the Competing Values Framework. International Journal of Business and Management, 4 (7), pp. 37-42. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 115 LAMPIRAN Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 116 Lampiran 1. Kuesioner Untuk Pelaku UKM Petunjuk Umum Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai serta memberikan elaborasi penjelasan lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan. Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan perdagangan. KUESIONER 1: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Pelaku UKM) Hari/Tanggal: Lokasi: Nama Responden : Posisi : ……………………………………………….. …………………………………….. No Telp. / HP: Email : ……………………………………………….. …………………………..…………………… VERIFIKASI Tanda Tangan dan Cap UKM/Perusahaan/Instansi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 117 1. IDENTITAS Nama UKM : Alamat : Tahun Berdiri : Status Perusahaan Jenis Produk : : JumlahPekerja : Omzet : Rp BUMN Perusahaan Swasta Koperasi Perorangan /Bulan 2 PEMANFAATAN FUNGSI TRADING HOUSE A- Selain melalui Trading House, Apakah Anda menjual langsung produk Anda kepada konsumen/eksportir ? Ya Tidak B- Berapa % produk yang anda jual sendiri ? ……………………. C- Selain melalui Trading House, Apakah Anda juga menggunakan mitra lain untuk menjual produk Anda? Ya Tidak D- Berapa % produk yang anda jual melalui mitra-mitra selain Trading House? ……………………. E- Mengapa Anda menggunakan Trading House, apa saja fungsi Trading House yang Anda manfaatkan? (boleh lebih dari satu) 1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu FUNGSI TRADING HOUSE 1 2 3 4 1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar 2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi pembeli di Luar Negeri Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 118 5 3. Melakukan negosiasi komersial dan teknis 4. Melakukan pengembangan vendor 5. Mengurus kegiatan packaging pengembangan teknologi dan 6. Menangani kegiatan impor, khususnya barang input yang diperlukan untuk produksi ekspor 7. Mengatur keuangan termasuk kredit 8. Menerima pembayaran dari pembeli 9. Melakukan proteksi resiko ekspor termasuk asuransi 10. Memastikan pembayaran dari pembeli 11. Mempersiapkan pengiriman dokumen ekspor dan 12. Mengatur apabila terjadi permasalahan 13. Membantu pengurusan klaim 14. Melayani garansi dan menyediakan suku cadang 15. Mencari proyek ekspor, konsorsium dan tender bisnis 16. Mengembangkan jaringan distribusi di luar negeri 17. Membangun pemerintah relasi/hubungan dengan 3 PERMASALAHAN 3.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN TRADING HOUSE / PEMBELI / PEMESAN Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 119 Apa saja permasalahan apakah yang timbul selama ini dalam memanfaatkan Trading House untuk memasarkan produk UKM Anda? Berapa sering terjadi? (Bisa lebih dari satu masalah) 1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu MASALAH YANG TIMBUL 1 1. Negosiasi harga/Tingkat harga kurang menarik 2. Standar produk yang diminta oleh Buyer sulit dipenuhi 3. Spesifikasi teknis produk yang diminta kurang jelas/tidak bisa diproduksi 4. Mekanisme pembayaran lama cairnya 5. Bahan2 untuk memenuhi Spesifikasi sulit diperoleh/harganya mahal 6. Volume permintaan terlalu besar/terlalu kecil dan kurang ekonomis 7. Permintaan ulang terlalu jarang/tidak menentu. 8. Kemasan dan persyaratan lain terlalu berat 9. Biaya Pengiriman atau biaya lain mahal, dan tinggi risiko kegagalan/kerusakannya 2 3 4 5 terhambat/ 10. ..... 11. ..... 4 USULAN KEBIJAKAN 4.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN Bantuan apa saja yang Anda harapkan dari pemerintah/lembaga lain untuk kelancaran usaha Anda melalui Trading House (boleh lebih dari satu). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 120 3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera JENIS BANTUAN 1. Bantuan modal berupa pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan lain 2. Sarana dan Prasarana produksi & pengemasan, seperti mesin dan peralatan 3. Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan teknis UKM 4. Promosi dan komunikasi kepada calon pembeli, a.l. label produk, rancangan kemasan, dsb 5. Ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi antar komunitas dalam rangka kegiatan promosi dan komersialisasi 6. … 7. … 3 4 5 4.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH Apakah usulan Anda terhadap kebijakan pemerintah agar usaha Anda lebih maju? Apakah ada yang harus diubah/diganti atau perlu ada kebijakan baru (boleh lebih dari satu). 3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera JENIS KEBIJAKAN 1. Penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang mendukung pengembangan Trading House 2. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi yang perlu dipersingkat 3. Perpajakan , pungutan ekspor, dan retribusi. 4. Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar negeri yang perlu ditambah 5. … 6. … Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 4 5 121 Lampiran 2. Kuesioner Untuk Lembaga Trading House Petunjuk Umum Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai, serta memberikan elaborasi penjelasan lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan. Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan perdagangan. KUESIONER 2: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Lembaga Trading House) Hari/Tanggal: Lokasi: Nama Responden : …………………………………….. Jabatan : ……………………………………… No Telp. / HP: ……………………………………………… Email: ………………………………………………. VERIFIKASI Tanda Tangan dan Cap Perusahaan/Lembaga /Instansi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 122 1. IDENTITAS TRADING HOUSE Nama Trading House : Alamat : Tahun Berdiri : Status Perusahaan Jumlah UKM yang dilayani : BUMN Perusahaan Swasta Koperasi Perorangan PMDN/PMA : Jumlah Pembeli : Eksportir Dalam Negeri : Importir Luar Negeri : Omzet : Rp Juta/bulan 2 FUNGSI TRADING HOUSE Sebagai Trading House, fungsi apa saja yang pernah Anda lakukan dalam menjalin bisnis dengan pemasok dan pembeli produk ? Dan seberapa sering fungsi itu dilaksanakan (fungsi boleh lebih dari satu) 1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu BEBERAPA FUNGSI TRADING HOUSE 1 2 3 4 5 1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar 2. Mengidentifikasi dan pembeli di Luar Negeri mengevaluasi 3. Melakukan negosiasi komersial dan teknis 4. Melakukan pengembangan vendor 5. Mengurus kegiatan packaging dan pengembangan teknologi Menangani kegiatan impor, khususnya barang input yang diperlukan untuk Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 123 6. produksi ekspor 7. Mengatur keuangan termasuk kredit 8. Menerima pembayaran dari pembeli 9. Melakukan proteksi termasuk asuransi resiko ekspor 10. Memastikan pembayaran dari pembeli 11. Mempersiapkan dokumen ekspor dan pengiriman 12. Mengatur apabila terjadi permasalahan 13. Membantu pengurusan klaim 14. Melayani garansi dan menyediakan suku cadang 15. Mencari proyek ekspor, konsorsium dan tender bisnis 16. Mengembangkan jaringan distribusi di luar negeri 17. Membangun relasi/hubungan dengan pemerintah 3. PRODUK YANG DITANGANI TRADING HOUSE Produk-produk apa saja yang dikelola oleh Trading House Anda? Bagaimana porsi produk-produk tersebut terhadap keseluruhan bisnis Anda (boleh lebih dari satu). JENIS/KATEGORI PRODUK 1. Jumlah jenis Pangsa volume barang (%) Pangsa Pangsa Nilai untuk Ekspor (%) (%) Produk industri kerajinan - - Produk kayu dan anyaman rotan termasuk gerabah dan akar kayu Perhiasan dan aksesoris termasuk dari mutiara, Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 124 - emas dan perak Produk tekstil dan garmen termasuk batik Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi Kain tenun dan songket - Kerajinan perak dan besi - 2. Produk Perikanan - Ikan hias - Rumput laut 3. Teripang, hoi som, uburubur Produk berbasis pertanian - Produk spa - Tanaman hias - Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe Makanan olahan - - 4. LEMBAGA PENDUKUNG TRADING HOUSE Apakah Anda memanfaatkan lembaga-lembaga pendukung untuk membantu kelancaran operasional Trading House (boleh lebih dari satu) 1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu LEMBAGA PENDUKUNG 1. Bank 2. Asuransi 3. Pergudangan 1 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 3 4 5 125 4. Ekspedisi 5. Agen Periklanan 6. Atdag/ITPC 7. Agen Penjualan di luar negeri 8. … 9. … 10. … 5. MANAJEMEN TRADING HOUSE 5.1. SUMBER DAYA MANUSIA LEMBAGA TRADING HOUSE Berapakah jumlah SDM/staf yang terlibat dalam Trading House Anda Pendidikan - Lulusan S1 Orang - Lulusan S2 Orang - Lulusan S3 Orang - Karyawan Tetap Orang - Tenaga lepas / kontrak Orang Kompetensi - Memiliki pengalaman komunikasi bisnis dan promosi - Menguasai komoditas ekspor (ke negara yang bersangkutan) dengan baik 5.2. ORGANISASI TRADING HOUSE Orang Orang Apakah ada pembagian tugas yang jelas/pilah di antara staf Trading House - Khusus Menangani Promosi Orang - Khusus Menangani Analisis / Informasi Pasar Orang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 126 - Khusus Pengembangan Jejaring Ekspor & Perdagangan - Khusus Menangani Perkembangan peraturan dan mediasi perselisihan - Khusus Berkoordinasi dengan Pemerintah 5.3. KOORDINASI KEGIATAN TRADING HOUSE Orang Orang Orang Bagaimanakah Trading House mengkoordinasikan kegiatan/fungsinya Berapa sering dilakukan pertemuan dengan instansi, UKM, eksportir, dan importir. Kali/tahun Media Komunikasi yang digunakan 6. - Review pasar Kali/tahun - Newsletter Kali/tahun - Laporan berkala Kali/tahun - Katalog Produk Kali/tahun - Leaflet & Booklet Kali/tahun - Situs Web selalu dimutakhirkan Kali/tahun PERMASALAHAN TRADING HOUSE 6.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DENGAN UKM Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan UKM (boleh lebih dari satu) 1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu MASALAH DENGAN UKM baku 1 1. Keterbatasan bahan kegiatan produksi 2. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk kemampuan manajerial, teknik produksi, kontrol Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 3 4 5 untuk 127 kualitas, pengembangan produk dan teknik pemasaran 3. Etos atau lingkungan kerja yang kurang mendukung 4. Kemampuan pembiayaan melakukan pesanan yang jumlahnya konsisten 5. Keterbatasan teknologi produksi/masih menggunakan teknologi tradisional 6. Pengawasan Mutu melalui program sertifikasi mutu ISO 7. Ketidakmampuan memenuhi kapasitas pesanan yang telah disepakati 8. Kesulitan dalam hal pemasaran 9. Desain produk yang tidak bersifat marketable 10. … 6.2. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN PEMBELI Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan Pembeli (boleh lebih dari satu) 1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu MASALAH DENGAN PEMBELI 1. Negosiasi harga 2. Standar atau Spesifikasi produk yang diminta oleh Buyer atau yang diperbolehkan masuk ke pasar tujuan ekspor 3. Ketidaksesuaian Spesifikasi teknis produk komoditi yang disepakati 4. Mekanisme pembayaran terhambat 5. Informasi Produk & Harga kurang jelas 6. Klaim barang rusak/cacat/tidak sesuai Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1 2 3 4 5 128 7. Barang lambat diterima pembeli 6.3. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN USAHA TRADING HOUSE Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi Dalam pengembangan skala/omset usaha dan meningkatkan ekspor 1:Tidak Pernah ; 2: sekali-2kali; 3:kadang-kadang; 4:Sering; 5:Selalu MASALAH OMZET/USAHA PENGEMBANGAN 1. Kekurangan Modal investasi untuk sarana, prasarana, dan pemantapan jaringan 2. Kekurangan Modal kerja/likuiditas untuk peningkatan stok barang sesuai pesanan 3. Peralatan dan sarana usaha 4. Memperoleh Mitra Usaha yang tepat dan dapat dipercaya 1 2 3 4 5 5. 7. USULAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE 7.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN TRADING HOUSE Bantuan apakah yang Anda ingin peroleh dari pemerintah dan lembaga lainnya di dalam/luar negeri (boleh lebih dari satu) 3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera JENIS BANTUAN 1. Bantuan likuiditas berupa pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan lain 2. Sarana dan Prasarana, seperti tempat pameran dan kegiatan promosi lainnya 3. Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan teknis UKM 4. Ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi antar komunitas dalam rangka kegiatan promosi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 4 5 129 dan komersialisasi 5. … 7.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TRADING HOUSE Pilih usulan kebijakan pemerintah yang Andarekomendasikan, terkait pencabutan atau Penambahan kebijakan (boleh lebih dari satu) 3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera USULAN PERUBAHAN KEBIJAKAN TRADING HOUSE A. 3 4 5 Penyederhanaan peraturan atau perundang-undangan yang mendukung pengembangan Trading House, Sebutkan : 1. …………………………………………………………………….. 2. …………………………………………………………………….. 3. …………………………………………………………………….. 4. …………………………………………………………………….. B. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi yang perlu dipersingkat C. Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar negeri yang perlu ditambah D. Pengurangan Pajak, pungutan ekspor, retribusi, dsb, Sebutkan 1. …………………………………………………………….. 2. …………………………………………………………….. 3. …………………………………………………………….. E. … Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 130 Lampiran 3. Panduan FGD PANDUAN FGD BAGI PESERTA Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2016 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 131 I. PENDAHULUAN Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan ekspor dari sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan pendekatan yang strategis. UKM adalah sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi domestik dan global yang mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang mengalami peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir (2010-2014) rata-rata sebesar 6,56% per tahun, sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun (BPS, 2015). Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya menyerap 4,38 juta tenaga kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap 9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015). UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis, kecepatan dalam inovasi dan fleksibel terhadap kondisi pasar (Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi UKM di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja ekspor sektor UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2% dari total ekspor non migas nasional pada tahun 2013. Pada periode tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp 28,04 triliun, hanya meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh informasi pasar, volume ekspor secara individual masih sangat kecil, kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan yang kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas, serta kemampuan teknis melakukan ekspor yang masih sangat terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang Dagri, 2009). Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan masalah tersebut adalah dengan mengembangan Trading House guna mendukung ekspor produk UKM. Secara teoritis, Trading House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional, peningkatakan skala ekspor dengan melakukan fungsi pengumpul sehingga mendapat manfaat dari economies of scale, Pengadaan bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan Peningkatan kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan taste setiap pasar (Puslitbang Dagri, 2009). Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan Trading House oleh Jepang dengan Sogo Shosha mulai tahun 1950an dan Korea Selatan dengan Korean Global Trading Company (KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor manufaktur yang didukung oleh Sogo Shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun 1973 menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor Korea Selatan setelah melibatkan KGTC meningkat 277% selama periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi USD 15 miliar. Negara lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan Brazil. Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran intermediaries yang dilakukan oleh Trading House efektif untuk meningkatkan ekspor terutama ditujukan kepada para pelaku UMKM. Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu hambatan pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang antara lain mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan distribusi, identifikasi pelanggan, dan memahami peraturan di negara importir. Sementara Tsao (2004) menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading Companies (SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana bagi jaringan produksi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 132 (production network) domestik di Taiwan. Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan besarnya peranan intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT. Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan semakin meningkat dan berkembang di masa mendatang khususnya di negara-negara emerging market seperti negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Peran Trading House di Indonesia untuk mendrong ekspor Indonesia belum efektif. Sebagai contoh, potensi industri mebel dan furniture dalam negeri sangat besar, permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM adalah kesulitan dalam akses bahan baku seperti melakukan stok terhadap bahan baku seperti kayu dan rotan serta impor aksesoris dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku serta ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan terkait ekspor-impor. Namun demikian, hingga saat ini, belum ada Trading House yang berperan dalam pembiayaan serta kemudahan akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini disebabkan oleh jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di Indonesia adalah PT PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal dan hanya berfokus pada produk furniture (Puspadewi, 2015). Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia yang masih minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep kelembagaan Trading House. Walau sudah memiliki landasan hukum seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah (UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House belum jelas. Dengan konsep yang belum jelas tersebut, Trading House yang sudah ada tidak memiliki model kelembagaan seperti yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan. Beberapa keterbatasan lain dari Trading House yang terdapat di Indonesia adalah kurangnya dukungan dari lembaga terkait dalam pengembangan Trading House, belum terciptanya manajemen yang terintegrasi terutam mengenai potensi komoditas UKM, skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House serta ruang lingkup layanan yang masih terbatas (Puslitbang Dagri, 2009). II. TUJUAN DAN MANFAAT Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan Trading House Indonesia belum efektif mendorong ekspor non migas Indonesia; di 2. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor; di 3. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang akan ditangani melalui Trading House; 4. Membangun model kelembagaan operasional Trading House mendukung peningkatan ekspor sektor UKM. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan dalam rangka 133 Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk peningkatan kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produk-produk yang dihasilkan oleh UKM dan sesuai untuk diperdagangkan melalui konsep pengembangan Trading House yang tepat. III. PELAKSANAAN KEGIATAN 3.1. Sambutan dan Pembukaan (Waktu 20 menit) Sambutan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB. Pembukaan dilakukan oleh Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri. 3.2. Perkenalan dan Keakraban (Waktu 10 menit) Setiap peserta secara bergantian memperkenalkan dirinya. Perkenalan mencakup nama dan pekerjaan. Para peserta hendaknya juga menceritakan pengalaman menarik dalam pekerjaannya. Hal-hal yang bersifat pribadi seperti daerah asal atau tentang keluarga dapat juga dikemukakan secara santai. Pada waktu seorang peserta memperkenalkan dirinya, peserta lainnya diperbolehkan bertanya dan memberikan komentar. 3.3. Paparan Singkat Kajian dan Diskusi Model Kelembagaan Trading House (Waktu 180 menit) Paparan singkat mengenai Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas dan isu-isu yang terkait dengan kajian tersebut terutama terkait dengan kriteria-kriteria untuk memilih produk ekspor yang akan ditangani Trading House dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman para peserta atas pokok-pokok persoalan yang berkaitan hal tersebut. Dari paparan tersebut, diharapkan perserta memiliki pemahaman tentang kriteria pemilihan produk ekspor yang akan ditangani melalui Trading House. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi peserta untuk proses diskusi selanjutnya. 3.4. Penetapan dan Pembobotan Kriteria, Scoring, Valuation Kriteria dan Sintesa (Waktu 90 menit) Kriteria-Kriteria atau indikator yang digunakan dalam pemilihan produk ekspor yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House Tujuan: Untuk mengetahui kriteria-kriteria yang digunakan dalam pemilihan produk ekspor yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House Setiap peserta diminta untuk mendiskusikan dan memberikan jawaban mengenai kriteria-kriteria dalam pemilihan produk ekspor yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House. Calon kriteria untuk pemilihan produk tersebut antara lain: 1. Sumber bahan baku (domestik atau impor) 2. Tren nilai output 3. Pertumbuhan ekspor Indonesia 4. Pertumbuhan pangsa ekspor Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 134 5. Pertumbuhan impor dunia: 6. Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia Fasilitator akan memandu diskusi dengan melakukan konfirmasi dari enam (6) calon kriteria tersebut. Fasilitator juga akan mempertanyakan beberapa jawaban yang dianggap kurang jelas serta melakukan pengembangan dari kriteria-kriteria tersebut jika dianggap perlu berdasarkan hasil diskusi. Hal ini untuk memastikan bahwa kriteriakriteria pemilihan produk ekspor prioritas untuk Trading House dapat teridentifikasi secara komprehensif. Setelah kriteria pemilihan negara telah ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah pemberian penilaian prioritas atau pemberian skor/bobot untuk setiap elemen kriteria yang dipasang-pasangkan. Pemberian bobot tersebut diberikan berdasarkan penilaian subyektif peserta diskusi. Adapun sistem pembobotan yang digunakan adalah sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1. Skor Penilaian Hasil Penilaian Elemen A mutlak lebih penting penting dari elemen B Elemen A lebih penting dari elemen B Elemen A sedikit lebih penting dari elemen B Elemen A sama penting dengan elemen B Elemen A sedikit kurang penting dari elemen B Elemen A kurang penting dari elemen B Elemen A mutlak kurang penting dari elemen B Nilai A 1,6 Nilai B 0,4 1,4 1,2 0,6 0,8 1,0 1,0 0,8 1,2 0,6 1,4 0,4 1,6 Setelah didapatkan skor penilaian untuk kriteria pemilihan negara prioritas, maka kemudian dilakukan skor penilaian terhadap alternatif-alternatif produk prioritas yang telah lebih dahulu diseleksi. Pembobotan dilakukan dengan cara yang sama yaitu membuat matrik pairwase comparison untuk tiap pasangan alternatif berdasarkan tiaptiap kriteria. Sintesis prioritas dilakukan dengan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap alternatif produk untuk tiap-tiap kriteria setelah kriteria evaluasi telah diberikan bobot atau skor penilaian. Produk dengan peringkat tinggi akan menjadi produk prioritas ekspor yang ditangani melalui Trading House. IV. PENUTUP Panduan FGD ini disusun secara khusus untuk digunakan oleh para peserta dalam rangka menggali dan membahas persepsi-persepsi dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan penentuan kriteria pemilihan produk ekspor prioritas yang ditangani melalui Trading House. Panduan ini seyogyanya dipelajari dengan seksama oleh calon peserta sehingga diskusi dapat berjalan dengan lancar dan produktif. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 135