2.3.1 Batuk Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk bagi tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan diagnosisnya (Chung, 2003). Berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi : a. Batuk Kering Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. b. Batuk Berdahak Batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009). 2.3.2 Asma Asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. 2.3.3 ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah. Menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi. 2.3.4 Rhinitis Alergi Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Percobaan Nama Penyakit Batuk Kering Batuk Berdahak Nama Obat Mekanisme Kerja Merupakan derivat asam fenil propionat dari kelompok antiinflamasi non steroid. Bekerja Ibuprofen melalui menghambat enzim siklooksigenase pada biosintesis prostagladin. Menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh dengam menghambat 2 Paracetamol enzim cyclooksygenase-1 (COX1) dan cyclooksygenase-2 (COX2). Triprolidine : Bekerja pada resepor histamin H-1 sebagai antagonisnya (antihistamin) untuk mengurangi reaksi radang dan Actived alergi akibat pelepasan histamin. (Triprolidine HCl, Pseudoefedrin : Bekerja pada Pseudoefedrin reseptor adrenergik di dalam HCl, mukosa saluran nafas dan Dextromethor merupakan dekongestan seluruh phan HBr) nafas bagian atas. Dextromethorpan HBr : Memiliki kerja antitusiv, mengontrol kejang batuk dengan menekan pusat medulasi batuk. Ambroxol mempunyai sifat sekretolitik, dapat mempermudah Ambroxol HCl pengeluaran sekret yang kental dan lengket didalam saluran pernafasan. Mengurangi jumlah sekresi Acetylcysteine mukosa, mempertahankan Bentuk Sediaan Cara Penggunaan Tablet 400 mg Oral Tablet 500 mg Oral Syrup Oral Tablet 30 mg Oral Kapsul 200 mg Oral Asma konsentrasi hati glutathione dalam tubuh. Meningkatkan volume dan menurunkan viskositas dahak di Glyceryl trakea dan bronki, kemudian Guaiacolate merangsang pengeluaran dahak menuju faring. Bromoheksin merupakan secretolytic agent, yang bekerja dengan cara memecah mukoprotein dan mukopolisakarida pada sputum WOOD's sehingga mukus yang kental pada (Bromhexine HCl saluran bronkial menjadi lebih 4 mg, Guaifenesin encer, kemudian memfasilitasi 100 mg, ethanol 6 ekspektoransia. Guaifenesin %) bekerja memiliki aktivitas sebagai ekspektoran dengan meningkatkan volume dan mengurangi kekentalan sputum yang terdapat di trakhea dan bronki. Bekerja mempunyai efek antara Theobron lain merangsang susunan syaraf (theophylline 130 pusat dan melemaskan otot polos mg) terutama bronkus. Merupakan obat adrenergik beta 2 yang bekerja merelaksasi semua Astharol otot polos dari trakhea sampai (Salbutamol bronkoli terminalis dan mencegah sulfate) terjadinya bronko kontriksi karena rangsangan. Ipratropium bromide : menghambat refleks vagus dengan Combivent UDV melawan kerja asetilkolin, suatu (Ipratropium zat yang dilepaskan oleh syaraf bromide dan vagus. Salbutamol sulfat : Obat βSalbutamol 2 adrenergik yang bekerja sulfate) merelaksasi semua otot polos dari trakhea sampai bronkioli Tablet 100 mg Oral Syrup 60 ml Oral Kapsul 130 mg Oral Syrup 60 ml Oral Larutan Inhalasi Dihirup Seretide (Salmeterol, xinafoate, fluticasenen propionate) Chloramphenicol ISPA (Otitis Media, Faringitis, Sinusitis) Amoxicillin Levofloxacin Rhinitis Alergi Cetirizine terminalis dan mencegah terjadinya bronkokontriksi karena rangsangan. Melalui aktivitas reseptor β-2 adrenergik menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP, sehingga merelaksasi otot polos saluran nafas. Antibiotik yang mempunyai aktifitas bakteriostatik dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas antibakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat ribosom subunit 50 s. Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih protein mengikat penisillin yang pada gilirannya menghambat langkah akhir transpeptidasi sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, menghambat biosintesis dinding sel. Bekerja menghambat topoismerase tipe II DNA gyrase, yang menghasilkan penghambat replikasi dan transkripsi DNA bakteri. Merupakan antihistamin selektif antagonis reseptor H-1 perifer yang mempunyai efek sedatif. Bekerja menghambat pelepasan histamin pada fase awal mengurangi migrasi sel inflamasi. Inhaler Dihirup Tetes telinga Diteteskan Kapsul 500 mg Oral Tablet 500 mg Oral Tablet 30 mg Oral 3.2 Pembahasan 3. 2. 1. Batuk A. Mekanisme Batuk Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat pada laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6 reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Serabut aferen terpenting terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh serabut afferen dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu : 1. Fase Iritasi Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang. 2. Fase Inspirasi Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial. 3. Fase Kompresi Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif. 4. Fase Ekspirasi Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara B. Klasifikasi Batuk Berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi : a) Batuk Kering Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai dengan adanya produksi lendir atau dahak. Batuk kering biasanya dipicu rangsangan atau iritasi yang diakibatkan debu (kendati batuk berdahak juga bisa karena iritasi, ini terjadi pada penderita alergi). Rangsangan/iritasi debu ini bisa menimbulkan efek batuk yang berlainan pada setiap orang. Obat-obat Batuk Kering : 1. Paracetamol Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin. Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung. Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Gambar 1. Struktur Kimia Parasetamol Farmakokinetik Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono 2002). Farmakodinamik Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri prostaglandin, ini yang ditimbulkan menunjukkan efek bahwa langsung parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. Indikasi Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang. Kontraindikasi Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini. Efek Samping Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan. Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati. Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak di wajah (mata, bibir), sesak napas, dan syok. 2. Ibuprofen Ibuprofen merupakan golongan obat anti-inflamasi non steroid, bersifat asam dan mempunyai sifat kohesif yang lebih besar daripada sifat adhesive, sehingga sulit kontak dengan zat lain, terutama air dan mengakibatkan ibuprofen tidak mudah dibuat dalam bentuk sediaan tertentu. Ibuprofen merupakan turunan asam fenilasetat dengan nama kimia 2-4-isobutilfenil propionate. Rumus kimia C19H18O2 dan berat molekul 206,3 (The Council of Pharm.Society of Great Britain, 2001). Gambar 2. Rumus bangun ibuprofen Farmakokinetik Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi. Farmakodinamik Mekanisme ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 mengganggu dan perubahan siklooksigenase-2 asam dengan arakidonat cara menjadi prostaglandin. Enzim siklooksigenase berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan asam arakidonat, sedangkan prostaglandin adalah molekul pembawa pesan pada proses inflamasi atau peradangan. Namun tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006). Indikasi dan dosis terapi Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anakanak 10 mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, et al., 2002). 3. Actifed Komposisi Setiap sendok takar 5 mL mengandung : Triprolidine HCl Pseudoephedrine HCl 1,25 mg 30 mg Dextromethorphan HBr 10 mg Indikasi Meringankan pilek dan batuk gatal & kering. Cara Kerja : Triprolidine bekerja sebagai antagonis kompetitif untuk reseptor histamine H1 dan mampu menekan system saraf pusat, sehingga menyebabkan kantuk. Pseudoephedrine mempunyai aktivitas simpatomimetik langsung maupun tidak langsung dan merupakan dekongestan saluran nafas bagian atas. Dextromethorphan memiliki kerja antitusif, mengontrol kejang batuk dengan menekan pusat medulari batuk. Efek Samping b) Batuk Berdahak Batuk berdahak ditandai dengan adanya dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak dapat terjadi karena adanya infeksi pada saluran nafas, seperti influenza, bronchitis, radang paru, dan sebagainya. Selain itu batuk berdahak terjadi karena saluran nafas peka terhadap paparan debu, polusi udara, asap rokok, lembab yang berlebihan dan sebagainya. Obat-obat Batuk Berdahak : 1. Glyceryl Guaiacolate Tablet Gliseril Guaiakolat atau disebut juga Guaifenesin adalah derivatguaiakol yang banyak digunakan sebagai ekspektoran dalam berbagai jenis sediaan batuk populer. Pada dosis tinggi bekerja merelaksasi otot. Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas (ekspektoransi). Mekanisme Kerja Merangsang reseptor-reseptor di mukosa lambung yang kemudian meningkatkan kegiatan kelenjar-sekresi dari saluran lambung-usus & sebagai refleks memperbanyak sekresi dari kelenjar yang berada di saluran napas. Indikasi Penggunaan untuk batuk yang membutuhkan pengeluaran dahak. Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap produk guaifenesin. Efek Samping Berupa iritasi lambung (mual, muntah) yang dapat dikurangi bila diminum dengan segelas air. 2. Ambroxol HCl Ambroxol merupakan obat golongan mukolitik, yaitu obat yang berkhasiat untuk mengencerkan dahak. Ambroxol umumnya digunakan untuk mengatasi ganguan pernapasan akibat produksi dahak yang berlebihan, sehingga dahak yang diproduksi akan lebih encer dan mudah dikeluarkan dari tenggorokan. Mekanisme Kerja Ambroxol bekerja dengan cara memecah serat mukopolisakarida pada dahak sehingga membuatnya lebih longgar dan encer sehingga dahak akan lebih mudah dihilangkan dengan batuk. Ambroxol meningkatkan produksi surfaktan, zat yang mempromosikan mekanisme clearance untuk membersihkan kuman atau patogen lainnya, yang membantu untuk mencegah dan mengatasi infeksi pada bronkus. Obat ini juga memperkuat silia (rambut rambut halus pada bronchus), yang kemudian dapat mengusir dahak abnormal dengan lebih baik. Indikasi Sebagai obat batuk berdahak (terapi sekretolitik) pada penyakit bronkopulmonal akut dan kronis yang berhubungan dengan dahak atau lendir berlebihan dan gangguan transportasi lendir. Ambroxol digunakan untuk mengobati tracheobronchitis, emfisema bronkitis pneumokoniosis, radang paru kronis, bronkiektasis, bronkitis dengan bronkospasme asma. Dikombinasikan dengan antibiotik pada bronkitis eksaserbasi akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Kontraindikasi Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, penderita yang diketahui memiliki kondisi di bawah ini tidak boleh menggunakan: Tidak boleh digunakan pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap komponen kompenen obat. Hati hati penggunaan pada pasien dengan ulkus lambung atau penyakit maag. Efek Samping Ambroxol hidroklorida (HCl) umumnya ditoleransi dengan baik. Namun demikian, ada efek samping yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut : Reaksi ringan gastro-intestinal, seperti nyeri ulu hati, dispepsia, dan kadang-kadang mual, dan muntah. Reaksi alergi jarang terjadi, terutama ruam kulit. Ada laporan kasus yang sangat jarang, yaitu reaksi anafilaksis akut tipe berat, tapi hubungannya dengan ambroxol tidak pasti. 3. WOOD’S Komposisi Tiap kemasan Woods’ Peppermint Expectorant mengandung zat aktif sebagai berikut : Bromhexine HCl setara bromhexine 4 mg. Guaiphenesin 100 mg / 5 ml syrup. Mekanisme Kerja 1) Bromhexin HCl Bromhexin adalah obat yang digolongkan sebagai agen mukolitik, yaitu obat yang berfungsi mengencerkan dahak. Obat ini digunakan dalam pengobatan gangguan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh dahak/mukus yang berlebihan. Sebagai agen mukolitik, obat ini meningkatkan produksi lendir surosa di saluran pernafasan dan membuat dahak menjadi lebih tipis/lebih cair dengan cara menghilangkan serat asam mukopolisakarida dan mengurangi adhesi lendir pada dinding tenggorokan sehingga mempermudah pengeluaran lendir pada saat batuk. 2) Guaiphenesin Guaiphenesin/glyceryl guaiacolate adalah obat yang termasuk ekspektoran, yaitu obat yang berfungsi mengeluarkan dahak dari saluran pernafasan terutama pada infeksi saluran pernafasan akut. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan volume dan mengurangi viskositas mukus dari trakea dan bronkus, sehingga mempermudah pengeluaran dahak dari jalan nafas lewat mekanisme batuk. Indikasi Kegunaan Woods’ Peppermint Expectorant (bromhexine) adalah sebagai agen mukolitik, yaitu membantu mengeluarkan dahak pada penderita batuk berdahak. Obat ini juga digunakan untuk mengobati radang pada bronkus akut maupun kronis, seperti emfisema, bronkitis, dan bronkitis asmatik. Kontraindikasi Jangan menggunakan obat ini untuk pasien yang memiliki riwayat alergi / hipersensitivitas terhadap bromhexine atau guaiphenesin. Pasien yang menderita ulkus pada lambung penggunaan obat ini harus dilakukan secara hati-hati. Efek Samping Efek samping yang relatif ringan yaitu gangguan pada saluran pencernaan misalnya mual, muntah, diare, rasa penuh di perut, dan nyeri pada ulu hati. Efek samping lain bisa berupa sakit kepala, vertigo, keringat berlebihan, dan kenaikan enzim transaminase. Efek samping yang lebih serius tetapi kejadiannya jarang misalnya reaksi alergi seperti kulit kemerahan, bengkak pada wajah, sesak nafas dan kadang-kadang demam. 4. Asetylcystein Komposisi Tiap kapsul mengandung N -acetylcysteine 200 mg. Mekanisme Kerja N-acetylcysteine adalah derivat asam amino alamiah cystein. N-acetylcysteine mempunyai aktivitas fluidifikasi melalui gugus sulfhidril bebas pada sekret mukoid atau mukopurulen dengan cara memutus jembatan disulfida intra molekul dan intermolekul dalam agregat glikoprotein. Nacetylcysteine mempunyai toleransi intestinal yang baik, cepat diabsorpsi sesudah pemberian oral dan didistribusikan keseluruh tubuh termasuk paru. Indikasi Mukolitik terapi pada akut dan kronik penyakit bronkial dan paru dengan mukus yang tebal, seperti : akut bronkhitis, bronkhitis kronik dan akut berulang, pulmonari emfisema, mukovisidosis, bronkiektasis. Kontaindikasi Hipersensitif terhadap N-acetylcysteine atau bahan - bahan lainnya. Efek Samping Efek samping yang mungkin timbul dengan penggunaan Fluimucil kapsul hanya terjadi dengan jarang adanya pyrosis, nausea, vomiting dan diarrhea. Pada beberapa kasus yang terbatas dilaporkan adanya stomatitis, pusing dan telinga berdengung (tinnitus). Kadang-kadang setelah pemberian Nacetylcysteine, dilaporkan adanya reaksi alergi, seperti itching, urticaria, cutaneous eruption (exanthema,rash), kesulitan bernapas (bronkospasme), denyut jantung yang cepat dan turunnya tekanan darah. Terjadinya kasus bronkospasme pada sebagian besar pasien dengan hiper-reaktif sistem bronchial mengikuti bronchial asma, disebut “ Hiper Responder ” (yaitu pada pasien dengan peningkatan sensitivitas akibat berbagai stimuli). Kemudian, terjadinya hemorrage dilaporkan setelah diberikan N-acetylcysteine, berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas secara individual. Tindakan apa yang harus diambil jika terjadi efek samping. Mulai tanda awal terjadinya reaksi hipersensitivitas, dihentikan. Informasikan penggunaan Fluimucil ke anda, dokter yang kapsul akan memungkinkan memutuskan tindakan lebih jauh berdasar kepada keparahannya. 3. 2. 2. Asma A. Mekanisme Asma Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus. Bila seseorang terpapar alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-sekali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini dapat menyebabkan barrel chest. Skema 1. Mekanisme Terjadinya Asma (Lewis et al., 2000) ( Infeksi, Allergen, Irritant Respon mediasi IgE - sel mast P elepasan mediator dari sel mast , eosinophil, macrophage, lymphocyte. Respon Fase Awal Setelah 30 -6 0 menit Respon Fase Akhir Setelah 5 - 6 jam Infiltrasi eosinophil dan neutrophil Inflamasi Hiperreaktivitas bronkial Konstriksi otot polos bronkial Sekresi mucus Vasodilatasi Edema mukosa Obstruksi jalan napas Udara terperangkap Asidosis respiratori Hypoxemia I nfiltrasi monocyte dan lymphocyte Setelah 1 - 2 hari B. Obat-obat Penyakit Asma 1. Combivent UDV Komposisi 1 unit dose vial (2,5 ml) larutan untuk inhalasi mengandung: Ipratropium bromide 0,52 mg Ipratropium bromide anhydrous 0,5 mg Salbutamol sulphate 3,01 mg 2,5 mg yang setara dengan yang setara dengan Salbutamol base Mekanisme Kerja Ipratropium bromide adalah persenyawaan ammonium kuaterner yang mempunyai sifat antikolinergik (parasimpatolitik). Ipratropium bromide menghambat reflek vagus dengan melawan kerja asetilkolin, suatu zat transmiter yang dilepas oleh saraf vagus. Antikolinergik mencegah peningkatan konsentrasi siklik GMP intrasel yang disebabkan oleh interaksi antara asetilkolin dengan reseptor muskarinik di otot polos bronkus. Bronkodilatasi yang terjadi setelah inhalasi ipratropium bromide adalah karena efek lokal yang spesifik di paru, bukan dari efek sistemik. Salbutamol sulfat adalah obat adrenergik-beta2 yang bekerja merelaksasi otot polos saluran napas. Salbutamol merelaksasi semua otot polos dari trakea sampai bronkioli terminalis dan mencegah terjadinya bronkokonstriksi karena rangsangan. Combivent UDV memberikan pelepasan ipratropium bromide dan salbutamol sulphate secara bersamaan dimana efek aditif pada reseptor muskarinik dan adrenergik-beta2 pada paru menghasilkan bronkodilatasi yang lebih baik dari masingmasing obat. Indikasi Combivent UDV diindikasikan untuk pengobatan bronkospasme yang disebabkan karena penyakit paru obstruktif kronik pada pasien yang menjalani pengobatan dengan Ipratropium dan Salbutamol. Kontraindikasi Hipertrofi obstruksi kardiomiopati, takiaritmia. Hipersensitif terhadap salah satu komponen obat baik atropin ataupun derivatnya. Efek Samping Seperti pada agonis β-2 yang lain, efek samping yang sering terjadi dari COMBIVENT adalah nyeri kepala, pusing, gelisah, takikardia, gemetar pada otot kerangka dan palpitasi, dan ini terjadi terutama pada pasien yang rentan. 2. Theobron Komposisi Tiap kapsul mengandung: Theophylline 130 mg Mekanisme Kerja Teofilin adalah bronchodilator yang Theophylline bekerja kelompok berbentuk dengan tablet obat xanthine maupun merelaksasi otot kapsul. saluran pernapasan sehingga meningkatkan kecepatan aliran udara menuju paru-paru dan membuat paru-paru lebih tidak sensitif terhadap alergen dan penyebab bronkospasme lain. Indikasi Untuk meringankan dan mengatasi serangan asma bronkial. Kontraindikasi Penderita hipersensitif terhadap komponen obat. Penderita tukak lambung. Efek Samping Gastrointestinal, misal: mual, muntah, diare. Susunan saraf pusat, misal: sakit kepala, insomnia. Kardiovaskuler, misal: palpitasi, takikardi, aritmia ventrikuler. Pernafasan, misal: tachypnea. Rash, hiperglikemi. 3. Astharol Komposisi Tiap 5 mL syrup mengandung salbutamol sulfate yang setara dengan salbutamol 2 mg. Mekanisme Kerja Salbutamol sulfate merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor ß-2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Golongan agonis β-2 ini merangsang produksi AMP sidik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil efek bronkodilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi otot bronkus. Dibandingkan dengan isoprenalin. Salbutamol bekerja lebih lama dan lebih kecil maka bisa digunakan untuk pengobatan kejang bronkus pada pasien dengan penyakit jantung atau tekanan darah tinggi. Indikasi Astharol (salbutamol sulfate) di indikasikan untuk pengobatan bronkospasme pada semua jenis asma bronkial, bronkitis kronik dan enfisema. Efek Samping Pada dosis yang dianjurkan tidak ditemukan adanya efek samping yang serius. Pada pemakaian dosis besar dapat menyebabkan tremor halus pada otot skeletal (biasanya pada tangan), palpitasi, kejang otot, takikardia, sakit kepala dan ketegangan. Efek ini terjadi pada semua perangsang adrenoreseptor beta. Vasodilatasi perifer, gugup, hiperaktif, epistaksis (mimisan), susah tidur. 4. Seretide Komposisi Salmeterol xinafoat 50 mg, fluticasone propionate 250 mg. Mekanisme Kerja a) Salmeterol Xinafoat Salmeterol – selektif agonis β2-adrenoseptor long-acting (untuk 12 tidak), memiliki rantai sisi panjang, yang mengikat ke domain luar reseptor. Sifat farmakologi salmeterol melindungi terhadap histamin-induced bronkokonstriksi dan lagi bronkodilatasi (tidak kurang dari 12 tidak). Timbulnya efek bronkodilator terjadi dalam 10-20 m. Salmeterol adalah inhibitor kuat dan long-acting dari rilis dari jaringan paru-paru mediator sel mast manusia, seperti itu, kak histamin, leykotrienы dan prostaglandin D2. Salmeterol menghambat respon fase awal dan akhir untuk alergen hirup, yang terakhir mengambil alih 30 jam setelah pemberian dosis tunggal, t. Ini adalah. sementara, ketika efek bronkodilator tidak lagi hadir. Sebuah administrasi tunggal salmeterol melemahkan bronkial hiper-responsif pohon. Hal ini menunjukkan bahwa, bronkodilator salmeterol selain efek yang memiliki efek tambahan, signifikansi klinis yang tidak sepenuhnya didirikan. Ini mekanisme aksi berbeda dari efek anti-inflamasi dari GCS. Pada dosis terapi, salmeterol tidak berpengaruh pada sistem kardiovaskular. b) Flutikason propionat Ketika dihirup pada dosis yang dianjurkan memiliki diucapkan efek anti-inflamasi dan anti-alergi di paru-paru, yang mengurangi gejala klinis dan mengurangi frekuensi eksaserbasi, disertai dengan obstruksi jalan napas. Ini mengembalikan respon pasien terhadap bronkodilator, yang memungkinkan untuk mengurangi frekuensi penggunaannya. Aksi flutikason propionat, ditugaskan pada dosis yang direkomendasikan, Hal ini tidak disertai dengan efek samping, khas kortikosteroid sistemik. Dengan penggunaan jangka panjang dari inhalasi flutikason propionat pada dosis yang dianjurkan, sekresi harian maksimum hormon adrenal tetap dalam kisaran normal pada orang dewasa, dan anak-anak. Setelah transfer pasien, menerima kortikosteroid inhalasi lainnya, Penunjukan Valium sekresi harian hormon adrenalin secara penggunaan bertahap periodik kembali sebelumnya normal, dan Meskipun berkelanjutan kortikosteroid oral. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan fungsi adrenal pada latar belakang penggunaan inhalasi flutikason propionat. Dengan penggunaan jangka panjang dari fungsi flutikason propionat cadangan dari korteks adrenal juga tetap dalam batas normal, yang dibuktikan dengan peningkatan normal kortisol dalam menanggapi rangsangan yang tepat (harus diperhatikan, pengurangan cadangan adrenal residual, disebabkan oleh terapi sebelumnya, Hal ini dapat dipertahankan untuk waktu yang lama). Indikasi Pengobatan teratur penyakit penyumbatan jalan nafas yang bersifat reversibel termasuk asma, bronkitis, emfisema & PPOK. Efek Samping Serak atau disfonia, sakit kepala, kandidiasis mulut & tenggorokan, iritasi tenggorokan, palpitasi, tremor, bronkospasme paradoksikal, artalgia, kram otot. 3.2.3 ISPA A. Mekanisme terjadinya ISPA Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke arah superior menuju faring. Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernapasan. Mikroorganisme penyebab ISPA ditularkan melalui udara. mikroorganisme yang ada diudara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernapasan dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA. Selain itu mikroorganisme penyebab ISPA berasal dari penderita yang kebetulan terinfeksi, baik yang sedang jatuh sakit maupun yang membawa mikroorganisme di dalam tubuhnya. Mikroorganisme di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa dari sekresi saluran pernapasan yang mengering dan melayang di udara. Pembentukannya melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau dibersinkan ke udara, karena ukuran sangat kecil, dapat bertahan diudara untuk waktu yang cukup lama dan dapat dihirup pada waktu bernapas dan masuk ke saluran pernapasan. Dust adalah partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta dapat tertiup angin bersama debu lantai/tanah. B. Obat-obat penyakit ISPA 1. Chloramphenicol Komposisi Chloramphenicol 250 mg : Tiap kapsul mengandung Kloramfenikol 250 mg. Chloramphenicol Sirup 125 mg/5 ml : Tiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Kloramfenikol 125 mg. Mekanisme Kerja Chloramphenicol (kloramfenikol) adalah antibiotik yang mempunyai aktifitas bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas anti bakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat ribosom subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol efektif terhadap bakteri aerob gram-positif, termasuk S. pneumoniae, dan beberapa bakteri aerob gram-negatif, termasuk H. influenzae, N. meningitidis, Salmonella, P. mirabilis, Pseudomonas mallei, Ps. cepacia, Vibrio cholerae, Francisella tularensis, Yersinia pestis, Brucella dan Shigella. Indikasi Kloramfenikol merupakan obat pilihan untuk penyakit tifus, paratifus dan salmonelosis lainnya. Untuk infeksi berat yang disebabkan oleh H. influenzae (terutama infeksi meningual), rickettsia, lymphogranuloma-psittacosis dan beberapa bakteri gramnegatif yang menyebabkan bakteremia meningitis, dan infeksi berat yang lainnya. Meningitis bakterialis. Abses otak. Granuloma inguinale. Gas gangrene. Whipple’s disease. Gastroenteritis berat Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif atau mengalami reaksi toksik dengan kloramfenikol. Jangan digunakan untuk mengobati influenza, batuk-pilek, infeksi tenggorokan, atau untuk mencegah infeksi ringan. Wanita hamil dan menyusui. Penderita depresi sumsum tulang atau diskrasia darah. Efek Samping Gangguan saluran pencernaan, perdarahan saluran pencernaan, diskrasia darah, neurotoksik : neuritis optic dan perifer, hemolisis pada penderita defisiensi G6PD, sakit kepala, ensefalopati, kejang, delirium, depresi mental, reaksi hipersensitivitas / alergi seperti kemerahan kulit, demam, angioedema. Efek samping yang berpotensi fatal : supresi sumsum tulang dan anemia aplastik ireversibel, neutropenia, trombositopenia, grey baby syndrome, dan anafilaksis (jarang). 2. Amoxicillin Mekanisme Kerja Amoksisilin merupakan obat semisintetis yang termasuk dalam antibiotik kelas penisilin (antibiotik beta-laktam). Obat ini diketahui memiliki spektrum antibiotik yang luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif pada manusia maupun hewan. Amoxicillin bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikata n penisilin-protein (PBPs binding penisilin’s), sehingga – Protein menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri menjadi peca h (lisis). Aksi farmakologi amoksisilin menghambat sinteris dinding sel bakteri dengan mengikatsatu atau lebih protein mengikat pe nisilin (PBP (Penicillin-binding-protein) yang pada gilirannya menghambat langkah akhir transpeptidasi, sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akhirnya lisis akibat aktivitas enzim autolitik dinding sel yang sedang berlangsung (autolysins dan murein hidrolase) sementara perakitan dinding sel dihambat. Amoksisilin mengikat ikatan protein penisilin 1A 1A) terletak di dalam dinding sel bakteri. Penisilin (PBPacylate domain transpeptidase sensitive penisilin C-terminal dengan membuka cincin laktam. Inaktivasi enzim mencegah pembentu kan cross-link dari dua helai peptidoglikan linear, menghambat tahap ketiga dan terakhir dari sintesis dinding sel bakteri. Sel lisis ketika dimediasi oleh enzim autolitik dinding sel bakteri seperti autolysins, mungkin bahwa amoxicillin mengganggu inhibitor autolycin. Indikasi Infeksi saluran pernapasan akut dan kronik: pneumonia, faringitis (tidak untuk faringitis gonore), bronkitis, laringitis. Infeksi saluran pencernaan: disentri basiler. Infeksi saluran kemih : gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis, pielonefritis. Infeksi lain : sepsis, endokarditis. Kontraindikasi Pasien dengan reaksi alergi atau hipersensitif terhadap penisilin. Efek Samping Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam kulit, pruritus, angioedema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah, glositis dan stomatitis. 3. Levofloxacin Levofoxacin adalah suatu antibakterial golongan kuinolon generasi 3 yang merupakan isomer S dari ofoxacin. Farmakokinetik Ada 2 rute pemberian levofoxacin yaitu oral dan intravena (IV). Setelah pem-berian oral, levofoxacin dapat diabsorpsidengan cepat dan mempunyai bioavaibili-tas (99 %). Formulasi sediaan oral dan in-travena adalah bioequivalen. Levofoxacinoral dengan IV dapat saling menggantikan (interchangeable). Levofoxacin terdistribusi secara luastermasuk ke paru, kulit, dan kelenjar pros-tat dengan kadar yang melebihi minimuminhibitory concentration (MIC) bakteriyang ada pada tempat tersebut. Mekanisme Kerja Levofoxacin dapat menghambat en-zim topoisomerase IV dan DNA gyrase yaitu enzim yang diperlukan untuk rep-likasi, transkripsi, perbaikan (repair), dan rekombinasi DNA bakteri. Indikasi Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka terhadap Levofloxacin, seperti : Sinusitis maxilaris akut Eksaserbasi akut bronkitis kronik Community acquired pneumonia Infeksi saluran kemih terkomplikasi Prostatitis kronik Infeksi kulit dan jaringan kulit yang tidak terkomplikasi. Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap levofloxacin, antimikroba golongan kuinolon dan komponen dari obat ini. Efek Samping Efek samping yang dapat terjadi : diare, mual, kembung, konstipasi, nyeri perut, sakit kepala, insomnia, agitasi, anorexia, ansietas, arthralgia, mulut kering, dyspnea, edema, lelah, demam, genital pruritus, keringat berlebih, gelisah, rhinitis, gangguan kulit, somnolence dan hilang rasa. 3.2.4 Rhinitis Alergi A. Mekanisme Rhinitis Alergi Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Gambar 3. Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000). Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1) Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2) Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3) Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. B. Obat Rhinitis Alergi 1. Cetirizine Komposisi Tiap kapsul Cetirizine mengandung cetirizine dihidroklorida 10 mg. Mekanisme Kerja Cetirizine merupakan golongan antihistamin generasi kedua, merupakan antihistamin selektif, antagonis reseptor H1 periferal dengan efek sedative (kantuk) yang rendah pada dosis aktif farmakologi dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti-alergi. Cetirizine menghambat pelepasan histamine pada fase awal dan mengurangi perpindahan sel radang/inflamasi. Indikasi Cetirizine diindikasikan untuk pengobatan perennial rhinitis, rhinitis alergi dan urtikaria idiopatik kronis. Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap cetirizine. Karena kurangnya data klinis, cetirizine jangan digunakan selama semester pertama kehamilan atau saat menyusui. Cetirizine jangan digunakn untuk bayi dan anak-anak berumur < 2 tahun. Efek Samping Cetirizine mempunyai efek samping yang bersifat sementara antara lain : sakit kepala, pusing, rasa kantuk, agitasi, mulut kering dan rasa tidak enak pada lambung. BAB 4 KESIMPULAN 1. Obat Batuk Kering : Ibuprofen, Actifed, WOOD’s. Obat Batuk berdahak : Ambroxol HCl, Acetylcysteine, Glycerylguaiacolate. Obat Asma : Theobron, Seretide, Combivent UDV, Astharol. Obat ISPA : Chloramphenicol, Amoxicillin, Levokloxacin. Obat Rhinitis Alergi : Cetirizin.