11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Logam Berat Terhadap Lingkungan Perairan Logam berat adalah unsur-unsur kimia yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari 5 .g1cm3 serta mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S. Dalam daftar periodik, logam berat bernomor atom 22 sampai dengan 92 terletak pada periode 4 sampai 7 dan merupakan kation. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini rnenyerang jembatan disulfida dalam enzim, sehingga enzim menjadi inaktif. Logam berat yang nonesensial dapat bersenyawa dengan protein jaringan dan tertimbun lalu pada akhimya berikatan dengan protein sebagai metalotionein yang bersifat toksik ( Darmono, 1995). Secara alamiah berbagai unsur logam berat terdapat dalam air laut . Unsur logam ini berasal dari sedimen yang dibawa oleh air sungai, erosi atau jatuhan debu di atmosfer. Peningkatan kadar logam berat dapat juga disebabkan oleh meningkatnya kegiatan manusia dalam sektor pertambangan, pertanian dan industri (Hariono, 1998). Beberapa logam berat seperti Cu, Zn, Fe, Ni, Mn dan Co merupakan logarn yang diperlukan dalam konsentrasi rendah untuk proses metabolisme. Pada konsentrasi yang tinggi logam berat bersifat toksik karena sukar terurai. Apabila logam berat masuk ke perairan akan terakumulasi terutama dalarn sedimen kernudian terikat sebagai senyawa organik dan anorganik melalui pembentukan reaksi kompleks. Secara ringkas proses yang menjelaskan toksisitas Iogam bagi organisme dapat diterangkan sebagai berikut : pada awalnya ion logam di dalam air membentuk senyawa dan diserap oleh tanaman air, sehingga terakumulasi dalam tanaman dan hewan air. Setelah itu logam bersenyawa dengan bahan kimia dalam jaringan dan membentuk senyawa organik (Gaad, 1990). Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah mengelompokkan sifat toksisitas logam berat ke dalam 3 kelompok, yaitu (1) bersifat toksik tinggi yang terdiri unsur-unsur Hg, Pb, Cd, Cu dan Zn, (2) bersifat toksik menengah yang terdiri atas unsur-unsur Cr, Ni clan Co, dan (3) bersifat toksik sangat rendah yang terdiri atas unsur-unsur Mn dan Fe. (Mulyaningsih,l998). Secara alamiah, unsur logam berat terdapat di alam namun dengan kadar yang sangat rendah. Kadar logam berat akan meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke lingkungan laut. Logam berat memasuki lingkungan perairan alami melalui saluran pembuangan dan hanya sebagian kecil yang dipindahkan melalui cara-cara khusus. Logam berat yang sangat toksik ini sangat sukar terurai dan banyak terdapat di lingkungan. Logam berat tersebut adalah merkuri (Hg), timah hitam atau timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), krom (Cr) dan nikel (Ni). Toksisitas logam-logam tersebut terhadap beberapa biota laut dapat dilihat pada Tabel 1 (Connel & Miller,1995). 8 Tabel 1. Nilai LCso 96 Jam (mg L-') beberapa logam terhadap biota laut Kelompok Cd mahluk hidup 22-25 Ikan 0.015-47 Crustaseae 2.2-35 Moluska 2.5-12.1 Polychaeta Echindodermis Logam (mg L-') Cr 91 10 14-105 2.0-5 - Cu 2.5-3.2 0.17-100 0.14-2.3 0.16-0.5 0.23-0.8 0.05 0.058-32 0.02-0.09 Ni 350 6.47 72-320 24-72 - - 0.06 150 Co - 4.5 0.82 Hg Pb Zn 188 60 0.4-50 10-50 1.8-55 - 7.720 - 39 Sumber : Connel dan Miller (1995) 2.2. Logam Merkuri (Hg) Merkuri adalah unsur stabil yang terdapat secara alami dalam bentuk berbagai senyawa. Merkuri banyak digunakan dalam berbagai terapan industri karena sifat caimya pada suhu kamar, mampu mengantarkan arus listrik, dan mampu membentuk amalgam dengan hampir semua logam biasa. Penggunaan merkuri secara besar-besaran adalah dalam industri klor alkali yang memproduksi gas klor (Clz) dan kaustik soda (NaOH) melalui elektrolisis larutan garam NaCI. Kegunaan merkuri dalam proses ini didasarkan pada sifatnya yang berupa cairan, konduktivitas listriknya, dan kemampuannya membentuk amalgam dengan logam natrium. Fungsi merkuri dalam proses ini adalah sebagai katode dari sel elektrolisis (Sunu, 2001). Selama berabad-abad, merkuri digunakan sebagai diuretik, antibakteri, antiseptik, dan salep kulit. Sekarang ini cara pengobatan yang lebih efektif dan spesifik telah menggantikan Hg. Tanda keracunan Hg dari obat jarang terjadi, namun demikian keracunan Hg dari pencemaran lingkungan semakin terlihat. Kadar Hg di udara, tanah dan air telah meningkat karena (1) penggunaan bahan bakar fosil yang mengandung Hg dalam jumlah besar; dan (2) meningkatnya penggunaan Hg di bidang industri dan pertanian. Selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun epidemi keracunan Hg pada hewan dan manusia telah mengalami salah diagnosis. Sebab keterlambatan diagnosis yang tragis ini antara lain karena onset yang lambat, tanda klinis dini yang tidak jelas, dan profesi kedokteran tidak mengenal penyakit tersebut (Klaassen, 1980). Tingkat bahaya Hg yang tinggi dapat diketahui dari banyaknya korban yang tewas akibat keracunan Hg. Menurut Lacerda et al. (1995), sampai tahun 1995 diperkirakan lebih dari 800 orang tewas dan lebih dari 17.000 orang di dunia menderita sakit karena keracunan Hg. Semakin beragamnya pemakaian Hg telah menimbulkan dampak pencemaran ikan di banyak mengakibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat yang wilayah sehingga menggantungkan hidupnya pada perikanan dan sumberdaya perairan lainnya Klaassen (1980) menambahkan, keracunan Hg pada manusia akibat mengkonsumsi biji gandum mengandung Hg telah terjadi di Irak, Pakistan, Ghana dan Guatemala selama musim gugur tahun 1971. Hal ini juga terjadi pada penduduk Minamata yang mengkonsumsi ikan yang tercemar metil merkuri. Minarnata adalah sebuah kota kecil di Jepang, tempat sebuah pabrik kimia besar yang menuang limbahnya langsung ke Teluk Minamata. Pabrik kimia tersebut menggunakan Hg anorganik sebagai katalis dan sebagian telah dimetilasi sebelum disalurkan ke teluk tadi. Di samping itu, mikroorganisme mengubah Hg anorganik menjadi metil merkuri yang kemudian dikonsumsi oleh plankton dan algae, sehingga pada akhirnya terakurnulasi dalam ikan lewat rantai makanan. Penduduk Minamata yang mengkonsumsi ikan dalam jumlah besar menjadi korban pertama. Di Amerika Serikat, keracunan serupa tejadi akibat dikonsurnsinya daging babi yang diberi makan biji-bijian yang telah diawetkan dengan fungisida organomerkuri. Hg merupakan racun sistemik dan dapat terakumulasi pada hati, ginjal, limpa dan tulang. Oleh tubuh sebagian Hg dapat dieksresikan lewat urine, feses, keringat, saliva dan air susu. Secara umum, keracunan Hg menimbulkan gejala gangguan susunan saraf pusat seperti kelainan kepribadian dan tremor, konvulsi, pikun, insomnia, kehilangan kepercayaan diri, iritasi, depresi dan rasa ketakutan (WHO, 1990). Keberadaan Hg di alarn berasal dari pelepasan secara alamiah maupun dari kegiatan manusia. Selain pabrik klor alkali dan fungisida, salah satu kegiatan manusia yang menghasilkan limbah Hg secara besar-besaran adalah penambangan emas. Masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan pemanfaatan Hg dalam pertambangan emas dan perak telah banyak dilaporkan (Hariono, 1998). Siklus Hg di pertarnbangan emas dapat dilihat pada Gambar 2. Deposisi Gambar 2. Siklus merkuri di pertambangan emas (Lacerda et al. 1995 ). Lacerda et al. 1995, mengklasifikasikan Hg di alam ke dalam tiga kelompok yaitu : 1) Unsur Hg. 2) Garam Hg misalnya Hg klorida serta oksida Hg 3) Senyawa-senyawa alkil, yaitu senyawa Hg yang mengandung gugus metil (-CH3)maupun gugus etil (-C2H5) Unsur Hg adalah Hg bebas yang paling mudah menguap. Pemaparan manusia terhadap uap Hg sudah lama dikenal dan sebagian besar disebabkan oleh jenis pekerjaan seseorang. Pemaparan kronis Hg dalam udara adalah akibat kontaminasi yang tidak disengaja dalam ruangan berventilasi b u d , misalnya dalarn laboratorium penelitian. Garam Hg terdapat dalam bentuk garam monovalen dan divalen. HgCI2 atau kalomel merupakan senyawa Hg yang paling dikenal, masih terdapat dalam sejurnlah krim kulit sebagai antiseptik dan dulu dipakai sebagai diuretik atau katartik. Hg anorganik merupakan salah sat11 racun yang sangat kuat dan masih digunakan dalam industri klor alkali. Senyawa alkil maupun organomerkuri yang digunakan dewasa ini mengandung Hg dengan satu ikatan kovalen dengan atom karbon. Hal ini merupakan suatu kelompok senyawa heterogen, dan masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan efek toksik. Dibandingkan senyawa Hg lainnya, alkilmerkuri merupakan senyawa Hg yang paling berbahaya. Mikroba tertentu dapat membentuk metil merkuri dan dimetil merkuri yang bersifat toksik dari senyawa merkuri anorganik (proses metilasi). Hg dalam bentuk metil ini lebih mudah diserap oleh mahluk hidup daripada Hg bebas maupun anorganik. Beberapa organisme mempunyai kemampuan yang besar dalam menyerap metil merkuri, sehingga berpotensi untuk mengakumulasi Hg. Hal inilah yang menyebabkan Hg dapat diketemukan secara luas pada hewan maupun tumbuhan di air dan di darat. Mikroba-mikroba yang berperan dalam metilasi Hg terlarut antara lain yaitu streptococcus, staphylococcus, lactobacillus, ragi dan cendawan. Metil merkuri dapat diserap oleh biota perairan sehingga terjadi biomagnifikasi pada rantai pangan. Tabel 2 memperlihatkan konsentrasi metil merkuri yang mencapai 10% dari kandungan merkuri total dalam air, namun hanya 2% dari kandungan Hg total sedimen di Sungai Tapajos, Amazone (Lacerda et al., 1995) Tabel 2. Konsentrasi total merkuri dan metil merkuri dari air dan sedimen di sungai Tapajos, Amazon. Air (ngll) Itaituba Itaituba selatan Sedimen (p k g ) Itaituba Itaituba selatan Total merkuri Metil merkuri Persen total metil merkuri 3.2-5.3 1.8-8.7 0.2-0.6 0.2-0.5 8.8 8.4 144 2.9-93 0.8 0.07-1.9 0.6 2.2 (Lacerda et al., 1995) Farmakokinetik Merkuri Hg mudah membentuk ikatan kovalen dengan sulfir, dan sifat inilah yang mendasari sebagian besar efek biologisnya. Apabila s u l h terdapat dalam bentuk sulfhidril, maka Hg divalen menggantikan atom hidrogen membentuk merkaptida, X-Hg-SR dan Hg (SR)2. X menunjukkan suatu radikal elektronegatif dan R adalah protein. Hg organik membentuk merkaptida tipe RHg-SR'. Akibatnya aktivitas gugus sulfhidril terhambat, sehingga metabolisme dan fimgsi gel terganggu (Klaassen, 1980). Unsur Hg. Unsur Hg tidak toksik bila termakan karena absorpsi dari saluran cerna sangat rendah dan Hg dalam bentuk ini tidak bereaksi dengan molekul penting secara biologis. Uap Hg yang terhirup diserap seluruhnya oleh paru dan dioksidasi menjadi kation merkuri divalen oleh katalase dalam eritrosit. Garam Hg Anorgauik. Garam Hg yang larut ( H ~ ~ memasuki +) sirkulasi bila diberikan secara oral dan sejumlah besar H ~ tetap ~ + terikat pada mukosa usus. Sedangkan senyawa Hg anorganik yang tidak dapat larut seperti kalomel (HgCI2), bisa mengalami oksidasi menjadi senyawa yang larut yang lebih mudah diabsorpsi. Kadar tertinggi H~~~diternukan dalam ginjal dan bertahan lebih lama daripada di jaringan lain. Kadar Hg anorganik d;lam darah sama tinggi dengan dalam plasma. Hg anorganik sukar melewati sawar darah otak (blood brain barrier) maupun plasenta dan logam ini diekskresi melalui urin dan tinja. Hg Organik. Metil merkuri adalah salah satu bentuk Hg organik yang tekenal dan diabsorpsi lebih lengkap rnelalui usus dari pada garam anorganik. Metil merkuri lebih mudah larut dalam lemak dan kurang korosif terhadap mukosa usus. Lebih dari 90 % metil merkuri diabsorpsi melalui saluran cerna manusia dan melintasi otak maupun plasenta. Penyerapan metil merkuri mengakibatkan efek neurologis dan teratogenik lebih nyata daripada garam anorganik. Metil merkuri terdistribusi ke seluruh jaringan lebih merata daripada garam anorganik sehingga sebagian besar Hg organik terdapat dalam sel darah merah. Ikatan karbon-merkuri dari beberapa Hg organik terurai setelah diabsorpsi. Penguraian ini sangat lambat pada metil merkuri dan Hg anorganik yang terbentuk tidak berperan dalam toksisitasnya. Salah satu bentuk aril merkuri, misalnya merkurofen, mempunyai ikatan merkuri karbon yang labil dan toksisitas senyawa ini serupa dengan toksisitas Hg anorganik. Hubungan antara kadar Hg anorganik dalam darah dan toksisitasnya tergantung dari bentuk paparan. Misalnya paparan uap Hg mengakibatkan kadar dalam otak kira-kira sepuluh kali lebih tinggi daripada kadar akibat paparan garam Hg anorganik dengan dosis sama. Kadar Hg dalam urin juga digunakan sebagai ukuran kandungan Hg dalam tubuh. Batas tertinggi untuk ekskresi Hg dalam urin pada orang normal adalah 25 pgll. Terdapat suatu hubungan linear antara kadar dalam plasma dan ekskresi Hg dalam urin setelah paparan uap Hg. Hal ini terbukti pada pekerja sebuah pabrik klor alkali yang mengalami tremor bila kadar dalam urin mencapai 500 pg/l. Tetapi, ekskresi Hg dalam urin bukan merupakan indikator bagi jumlah metil merkuri dalam darah, karena metil merkuri sebagian besar dieliminasi dalam tinja. 2.3. Logam Timbal (Pb) Timhal (Pb) adalah logam lunak berwarna kelabu keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan suifit yang tercampur mineral-mineral lain, terutama seng dan tembaga. Penggunaan timbal terbesar adalah dalam industri baterei kendaraan bermotor seperti timbal dalam bentuk logam itu sendiri dan komponen-komponennya. Timbal banyak digunakan untuk cat, pestisida dan bahan anti letup kendaraan bermotor. Disamping itu, timbal juga banyak digunakan dalarn peralatan pelengkap berbahan kuningan untuk pipa air minum, produk mainan, lapisan kaca keramik yang melapisi banyak jenis porselen dan peralatan makan. Makanan dan minuman yang bersifat asam, seperti air tomat, air buah, minuman kola, air ape1 dan asinan dapat melarutkan Pb yang terdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Makanan dan minuman yang terkena kontarninasi tersebut menyebabkan keracunan fatal pada manusia. Pb juga merupakan kontaminan pada wiski yang disuling secara gelap di Amerika Latin karena digunakannya radiator mobil sebagai kondensor, dan komponen lain yang disolder dengan Pb. Kasus sporadis keracunan Pb bersumber dari Pb dalam mainan, pipa ledeng, abu dan asap dari pembakaran kayu yang dicat, limbah tukang emas atau ~erhi~lsan, industri peralatan rumah rumah, baterei dan percetakan. Keracunan pada anak cukup sering karena termakannya serpihan cat yang berasal dari bangunan tua atau karena kebiasaan menggerogoti kerangka jendela yang dicat dengan cat mengandung Pb. Salah satu contoh cat mengandung Pb antara lain Pb karbonat yang berwarna putih dan Pb oksida yang benvama merah dengan kandungan Pb sebanyak 5-40 %. Asosiasi Standar Amerika dalam tahun 1955 menentukan bahwa cat mainan, perabot rurnah tangga, dan interior ternpat tinggal tidak boleh mengandung lebih dari 1% Pb. Farmakokinetik Timbal Absorpsi Pb terutama melalui saluran cema dan saluran nafas. Absorpsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10 % sedangkan pada anak kira-kira 40 % .Tidak banyak yang diketahui tentang absorpsi Pb dari saluran cema. Ada dugaan bahwa timbal (Pb) dan kalsium (Ca) berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena ada suatu hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorpsi Pb. Selain itu, kekurangan zat besi dilaporkan dapat meningkatkan absorpsi Pb melalui saluran cema. Absorpsi Pb yang dihirup berbeda-beda tergantung dari bentuk (uap atau partikel) dan kadar Pb. Kira-kira 90 % partikel Pb di udara diabsorpsi melalui saluran napas (Klaassen, 1980). Pb anorganik mula-mula terdistribusi di jaringan lemak, terutama dalam ginjal dan hati. Kemudian Pb mengalami redistribusi ke dalam tulang (95 %), gigi dan rambut. Sejumlah kecil Pb anorganik ditimbun dalam otak, sebagian besar dari jumlah tersebut berada di substansia grisea dan ganglia basal. Harnpir semua Pb anorganik terikat dengan eritrosit dalam sirkulasi. Bila kadar Pb relatif tinggi dalam sirkulasi, barulah ditemukan Pb dalam plasma. Akumulasi Pb dalam tulang mirip dengan akumulasi Ca, tetapi sebagai Pb fosfat tersier, garam Pb di tulang (fosfat, karbonat) tidak menyebabkan efek toksik. Pada paparan yang baru tejadi, kadar Pb lebih tinggi dalam tulang pipih daripada dalam tulang panjang, meskipun secara keseluruhan tulang panjang mengandung lebih banyak Pb. Dalam masa awal deposisi kadar Pb paling tinggi dalam epifisis tulang panjang. Hal ini terutama jelas pad^ tulang yang sedang turnbuh dan dapat dideteksi dengan perneriksaan radiologis. Gambaran radiologi berupa cincin dengan densitas tinggi pada pusat osifikasi tulang rawan epifisili, juga sebagai garis transversal pada diafisis. Gambaran tersebut khas untuk diagnosis keracunan Pb pada anak. Menurut Klaassen (1980), faktor yang mempengaruhi distribusi Ca juga mernpengaruhi distribusi Pb. Selain itu, asupan fosfat yang tinggi akan rnempermudah penirnbunan Pb dalam tulang dan mengurangi kadar Pb dalam jaringan lunak. Asupan Ca dosis tinggi tanpa peninggian asupan fosfat menyebabkan efek serupa, disebabkan persaingan dalam pengikatan fosfat antara Pb dan Ca. Jika fosfat cukup, vitamin D mempermudah penimbunan Pb dalam tulang; bila fosfat kurang, deposisi Ca melebihi Pb. Pada hewan uji, ekskresi Pb melalui empedu dan tinja jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang dikeluarkan melalui win. Pada manusia ekskresi Pb melalui urin lebih penting, dan kadar Pb dalam urin berbanding langsung dengan kadarnya dalam plasma. Tetapi kebanyakan Pb berada dalam eritrosit sehingga sangat :edikit Pb ditemukan dalam urin. Pb juga diekskresi melalui AS1 dan keringat, ditimbun dalam rambut dan kuku. Selain itu Pb juga dapat mencapai plasenta. Waktu paruh Pb dalam darah adalah 1 -2 bulan, kadar mantap (steady state concentration) dicapai dalam waktu kira-kira 6 bulan. Namun demikian kadar Pb dalam tulang meningkat, dan waktu paruh dalam tulang diperkirakan 20-30 tahun. Karena ekskresi Pb terbatas, maka sedikit saja peningkatan asupan setiap hari bisa menimbulkan keseimbangan Pb yang positif. Asupan Pb normal perhari kira-kira 0,3 mg sementara keseimbangan positif dimulai pada asupan 0,6 mg per hari. Orang normal dengan asupan Pb 0,6 mg per hari dalam jangka sangat lama dapat menderita keracunan. Asupan Pb yang lebih besar dari 0,6 mg per hari mempercepat akumulasi dan timbulnya keracunan. Misalnya dengan asupan Pb 2,s mg/hari keracunan terjadi setelah 4 tahun, sedangkan asupan 3,5 mglhari hanya memerlukan waktu beberapa bulan. Paparan Pb kadang-kadang menimbulkan kemunduran mental yang jelas dan progresif pada anak. Kadar Pb dalam darah anak antara 0,30-0,50 ppm, meningkatkan frekuensi kejadian hiperkinetik dan rnenyebabkan penurunan IQ yang berarti (Klaassen, 1980). 2.4. Logam Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) merupakan logam toksik yang penting saat ini. Di alam Cd bercampur dengan Zn dan Pb, dan ekstraksi serta pengolahan kedua logam terakhir ini sering menyebabkan pencemaran lingkungan oleh Cd. Unsur Cd ditemukan dalam tahun 1817, tetapi baru digunakan kira-kira 50 tahun yang lalu. Resistensi yang tinggi terhadap korosi, sifat elektrokimiawi yang berharga, dan sifat kimiawi yang bermanfaat lainnya menyebabkan Cd digunakan secara luas dalam elektroplating dan galvanisasi, dalam pembuatan plastik, cat warna kuning, dan batere nikel-kadrnium. Pencemaran lingkungan oleh Cd dipericirakan akan bertambah karena hanya kurang dari 5% limbah Cd yang mengalami daur ulang. Batu bara dan bahan bakar fosil lainnya mengandung Cd, sehingga pembakaran bahan bakar ini melepaskan unsur Cd ke dalam lingkungan. Pekes;'. pada tempat peleburan dan pabrik pengolahan logam lainnya dapat terpxpar Cd kadar tinggi di udara namun bagi kebanyakan penduduk yang paling utama ialah pada kontarninasi makanan. Bahan makanan yang tidak tercemar mengandung kadmium kurang dari 0,051 pg/g berat basah, dan jumlah asupan rata-rata per hari kira-kira 50 pg. Air minum biasanya tidak memberikan tambahan yang berarti bagi tingkat cemaran Cd, tetapi rokok sebaliknya. Setiap batang rokok mengandung 1 sampai 2 pg Cd. Walaupun absorpsi Cd melalui paru 10 % dari jumlah Cd yang terkandung dalam rokok, mengisap satu bungkus rokok per hari berarti mengkonsumsi kira-kira 1 mg Cd per tahun. Kerang serta hati dan ginjal hewan merupakan bahan makanan yang mengandung Cd melebihi 0,05 pglg. Bila beras dan gandum terkontaminasi Cd dari tanah dan air, maka kadar Cd bisa meningkat secara mencolok menjadi 11 pg/g. Setelah Perang Dunia I1 sejumlah besar masyarakat Fuchu Jepang, menderita nyeri reumatik serta otot dan gejala tersebut diberi nama itai-itai. Kemudian diketahui bahwa Cd yang berasal dari limbah sebuah pabrik pengolahan Pb-seng telah mencemari sawah setempat (Klaassen, 1980). Farmakokinetik Kadmium Cd sukar diabsorpsi darl saluran cerna. Absorpsinya pada hewan uji kirakira 1,s %, dan pada manusia kira-kira 5 %. Absorpsi Cd melalui saluran napas para perokok antara 10-40%. Selanjutnya Cd diangkut dalam darah, sebagian besar terikat pada sel darah merah dan albumin. Setelah distribusi, kira-kira 50 % dari jumlah Cd dalam tubuh ditemukan pada hati dan ginjal. W a ~ t uparuh Cd dalam tubuh berkisar antara 10-30 tahun. Eliminasi Cd melalui feses secara kuantitatif lebih penting daripada melalui urin. Keracunan akut biasanya terjadi karena menghirup debu dan asap yang mengandung kadmium oksida maupun garam Cd yang termakan. Efek toksik ini disebabkan oleh peradangan setempat. Cd yang termakan akan menimbulkan mual, muntah, salivasi, diare dan kejang perut. Tanda dan gejala yang timbul dalam waktu beberapa jam meliputi peradangan saluran napas atas, sakit dada, mual, pusing dan diare. Efek toksik paparan kronis Cd agak berbeda, tergantung dari caranya masuk ke dalarn tubuh. Ginjal terkena akibat paparan melalui paru atau saluran cerna. Efek yang berarti pada paru hanya terlihat setelah adanya paparan lewat jalan napas. Kadar Cd 200 pglg dalam ginjal, akan menyebabkan cedera ginjal dan ada kemungkinan bahwa metalotionein sebagai pengikat kadmium, melindungi ginjal pada kadar kadmium yang lebih rendah. Proteinuria disebabkan oleh ccdera tubuli proksimal. Pengukuran betaz-mikroglobulin dalam urin merupakan petunjuk paling peka terhadap nefrotoksisitas Cd. Pada paparan Cd berat, terjadi luka glomeruli, berkurangnya filtrasi serta timbulnya aminoasiduria, glikosuria dan proteinuria. Sifat cedera glomeruli tidak diketahui tetapi diduga kuat melibatkan suatu komponen autoimun (Klaassen, 1980). 2.5. Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB) Sulfur (S) merupakan salah satu unsur penting dalam proses biogeokimia. S u l h menyusun sekitar 1% bobot kering organisme dan berperan dalam banyak fimgsi enzimatik maupun struktural. Selain itu, S dapat berfungsi sebagai donor elektron maupun akseptor elektron pada metabolisme bakteri (Hines et al., 1997) Menurut Trudinger (1997), sulfur memiliki valensi +6 sampai -2. Sulfur yang paling melimpah di alam memiliki valensi +6 (dalam bentuk sulfat dan ester sulfat). Sulfur valensi 0 berupa unsur s u l h dan sulfur valensi -2 berupa sulfida. Beberapa bakteri mampu menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron terminal dalam respirasi anaerobik dan proses yang dilakukan oleh bakteri yang menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron disebut reduksi disimilatori. Kelompok bakteri ini dikenal sebagai pereduksi anaerob obligat dan termasuk di dalamnya adalah Desulfovibrio dan Desulfotomaculum (Krouse dan M c Cready, 1979). SRB banyak digunakan dalarn pengendalian sulfat dan logam berat pada air asam tambang maupun aliran yang terkontaminasi logam berat. Spesiesspesies SRB dari Desulfovibrio dan DesulfotomacuIum mampu mengoksidasi senyawa organik maupun Hz menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron untuk menghasilkan H2S dan bikarbonat. Proses pembentukan H2S dan pengendapan logam sulfida dapat dilihat pada reaksi kimia berikut ini (Brierley dan Brierley, 1997). 2 CH20 + sod2- -+ HzS + 2 HCO3- (Reaksi 1) Bahan organik 5 Hz + sod2- M ~ ++ s2- -+ H2S + 4 H 2 0+ 2e + MS& (Reaksi 2) (Reaksi 3) Bakteri pereduksi sulfat mengoksidasi senyawa organik maupun Hz menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron menghasilkan H2S dan bikarbonat (Reaksi 1 dan 2). Sulfida yang dihasilkan pada reaksi 1 dan 2, kernudian bereaksi dengan ion logam berat (M~+) untuk selanjutnya membentuk logam sulfida yang mengendap dan sukar larut (Reaksi 3). Menurut Vogel (1979), nilai tetapan kelarutan untuk HgS, PbS dan CdS berturut-turut adalah 3 x 3.6 x 3.4 x dm molll. Berdasarkan nilai tetapan kelarutan tersebut maka dapat diketahui bahwa ketiga senyawa sulfida logam tersebut relatif stabil dan sukar Secara mum, keberadaan kelompok bakteri pereduksi sulfat pada lingkungan anoksik dapat diketahui dari pembentukan sedimen yang benvarna hitarn dan bau khas dari gas hidrogen sulfida. Untuk mengetahui laju reduksi sulfat dapat dilakukan dengan cara mengukur penyusutan konsentrasi sulfat maupun akumulasi sulfida yang terbentuk (Suflita et a[., 1997). Bakteri pereduksi sulfat banyak ditemukan pada lingkungan alamiah yang memiliki potensial redoks rendah. SRB banyak terdapat di tanah, danau, air payau, sumber air panas, surnur minyak maupun gas, lumpur estuarin dan saluran pembuangan. Kelompok bakteri ini mernpunyai sifat yang khas yaitu hidup pada sedimen anoksik dan pada umumnya merupakan bagian dasar lari lingkungan akuatik (Ellwood et al., 1992). Selanjutnya Brierley dan Brierley (1997) melaporkan salah satu aplikasi pernanfaatan kelompok SiU3 dalam pengendalian cemaran logam berat terhadap air tanah di Belanda. Sedikitnya 5000 m3 air tanahlhari yang terkontaminasi logam berat dan sulfat dapat dikurangi kandungan sulfat dan logam beratnya menggunakan SRB. H2S dapat diproduksi rnelalui reaktor terpisah maupun reaktor yang sama dengan air tanah yang diolah. Kelebihan H2S dialirkan ke dalam bioreaktor aerobik dan selanjutnya mengalami oksidasi menjadi sulfir elementer oleh aktivitas bakteri Thiobacillus. Sulfida logam yang telah mengendap maupun unsur sulfur dapat diperoleh kembali (Reaksi 4). 2 H2S + O2 ------b 2s' + 2 H20 (reaksi 4) Menurut Schlegel dan Schmidt (1994), bakteri pereduksi sulfat merupakan kelompok fisiologik yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mereduksi sulfat dengan menggunakan ion sulfat sebagai akseptor elektron dan menghasilkan gas hidrogen sulfida. Sebagai donor elektron pada reaksi tersebut adalah senyawa-senyawa organik sederilana berbobot molekul rendah seperti laktat, asetat, propionat, butirat, format, etanol, asam-asam lemak berbobot molekul tinggi serta hidrogen. Secara umum, keberadaan kelompok bakteri pereduksi sulfat pada lingkungan anoksik dapat diketahui dari pembentukan sedimen yang berwarna hitam dan bau khas dari gas hidrogen sulfida. Untuk mengetahui laju reduksi sulfat dapat dilakukan dengan cara mengukur penyusutan konsentrasi sulfat llaupun akumulasi sulfida yang terbentuk (Suflita et al, 1997).