BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dan disebarkan dijazirah Arab yang diawali dengan sembunyi-sembunyi. Setelah pengikut agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy. Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan. Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafaur Rasyidin. Pada perkembangannya Islam mengalami banyak kemajuan maju. Islam telah disebarkan secara meluas keseluruh wilayah Arab. Pada masa Khulafaur Rasyidin Al-Quran telah dibukukan dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan mushaf utsmani. Meskipun Islam telah berkembang namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga peperangan. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan Muawiyah dengan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut dari Ali bin Abi Thalib ingin membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh. Setelah kematian Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan berganti dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofwan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan. Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, berdirinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang sudah kami uraikan sebelumnya, ada beberapa permasalahan yang kami dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain: 1. Bagaimana berdirinya dinasti abbasiyyah? 2. Seperti apa pola pemerintahan dinasti abbasiyyah? 3. Bagaimana ekspansi wilayah dinasti abbasiyyah? 4. Bagaimana peradaban Islam pada masa dinasti abbasiyyah? C. Tujuan 1. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana sejarah peradaban Islam pada masa dinasti abbasiyyah. 2. Sebagai pemenuhan tugas makalah yang telah diberikan kepada kami pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. D. Manfaat Dapat mengetahui serta menambah ilmu tentang sejarah peradaban Islam yang pada khususnya tentang Dinasti Abbasiyyah (750 - 1258 M). BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pendirian Dinasti Abbasiyyah Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah. Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Ketika dinasti Umayyah berkuasa Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa. Orang Abbasiyah, sebut Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Umayyah. Pergantian kekuasaan dinasti Umayyah oleh Dinasti Bani Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam. Dalam sejarah berdirinya daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Amawiyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan: 1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya. 2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan. 3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan. Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Amawiyah. Gerakan ini menghimpun: a) Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah. b) Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman. c) Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-khurasany. Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abu AlAbbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, Khalifah Abbasiyyah pertama itu menyebut dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuasaan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga, setelah Khulafa Ar-Rasyidun dan Dinasti Umayah yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M - 1258 M, penerus Abu Al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler Dinasti Umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada shalat Jum’at, khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahannya, begitu singkat. As-Saffah menginggal (754-775 M) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an. Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far (754-775 M), yang mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan AsSaffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang bejumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya. Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-Saffah. Mengutip dari Philip K.Hitty, bahwa masa keemasan (golden prime) Abbasiyyah terletak pada 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan Badri Yatim, yang memasukkan 7 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyyah, Jaih Mubarok, memasukkan 8 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyyah. Begitu pula Harun Nasution, hanya memasukkan 6 khalifah ke dalam kategori sebagai khalifah yang memajukan Abbasiyyah. Kesepuluh khalifah tersebut; As-Saffah (750), Al-Manshur (754), AlMahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin (809), Al-Ma’mun (813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842), dan Al-Mutawakkil (847). Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan AlManshur mencapai masa keemasannya antara khalifah ketiga, Al-Mahdi, dan khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun ArRasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Karena kehebatan dua khalifah itulah, Dinasti Abbasiyyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti yang paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats-Tsa’alabi (w. 1038) bahwa dari para khalifah Abbasiyyah, “sang pembuka” adalah Al-Manshur, “sang penengah” adalah Al-Ma’mun, dan “sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (892-902) adalah benar.1 Adapun periodisasi dalam Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut : a) Periode Pertama (750-847 M) Diawali dengan Tangan Besi. Sebagaimana diketahui Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abu Abas. Dikatakan demikian, karena dalam Daulah Abbasiyah berkuasa dua dinasti lain disamping Dinasti Abasiyah. Ternyata dia tidak lama berkuasa, hanya empat tahun. Pengembangan dalam arti sesungguhnya dilakukan oleh penggantinya, yaitu Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M). Dia memerintah dengan kejam, yang merupakan modal bagi tercapainya masa kejayaan Daulah Abasiyah. Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Safak dan Abu Jakfar al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa khalifah al-Mahdi (775-785 M) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah AlJakfar, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. 1 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, h 128-129 Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. b) Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945M) Kebijakan Khalifah Al-Mukasim (833-842 M untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abbasiyyah dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Khalifah Al-Mutawakkil (842-861 M) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abas pada periode ini adalah, pertama karena terlalu luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke baghdad. c) Periode Ketiga (334 H/945 - 447 H/1055 M) Posisi Daulah Abbasiyyah yang berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Baghdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi. d) Periode Keempat (447 H/1055M - 590 H/1199 M) Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Seljuk dalam Daulah Abbasiyyah. Kehadirannya atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan Khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah. e) Periode Kelima (590 H/ 1199M - 656 H / 1258 M) Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/ 1256 M.2 2.2 Pola Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah Pemerintahan Abbasiyyah adalah keturunan daripada Al-Abbas, paman Nabi SAW. Pendiri Kerajaan Al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak saudaranya.3 Daulah Dinasti Abbasiyyah memiliki corak pemerintahan Arab murni namun juga telah terpengaruh corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir, bahkan Yunani. Khalifah merupakan penguasa tertinggi dalam struktur Pemerintahaan Dinasti Abbasiyyah. Semua perintah berpusat kepada khalifah. Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Dinasti Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, Punya Lembak, “Sejarah Peradaban Islam Dinasti Abbasiyyah (750-1258)”, http://punyalembak.blogspot.com/2016/04/sejarah-peradaban-islam-dinasti.html (diakses pada 7 November 2019, pukul 14.08). 3 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, 1997, h 1 2 bukan dari rakyat sebagaimana di aplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khaulafahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan, Tuhan diatas buminya”. Pada zaman Dinasti Abbasiyyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Dinasti Abbasiyah antara lain : 1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para pejabat bisa berasal dari keturunan mawali. 2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan. 3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia. 4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya. 5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah. Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulah-daulah kecil, contoh; daulah Dinasti Umayyah di Andalusia atau Spanyol dan Daulah Fatimiyah. Untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama “diwanul kitaabah” (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang “raisul kuttab” (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa “raisul diwan” (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul Idary Al-Markazy. Selain itu, dalam zaman Dinasti Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.4 2.3 Ekspansi Wilayah Dinasti Abbasiyyah Pada masa Daulah Abbasiyyah luas wilayah kekuasaan islam semakin bertambah dan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya. Perluasan kekuasaan dan pengaruh wilayah kekuasaan islam amat luas yaitu meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang belum sepenuhnya berada di wilayah Dinasti Umayah, namun dimasa kekuasaan dinasti Abbasiyah perluasan daerah dan penyiaran islam semakin berkembang, sehingga meliputi daerah Turki, Armenia, dan sekitar Laut Kaspia. 2.4 Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah 2.4.1 Asal Usul Bani Abbasiyyah Bani Abbasiyyah atau Kekhalifahan Abbasiyyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibukota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam bani Hasyim, yang Peberkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Daulah ini berkembang selama dua abad tapi pelan pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mereka mengambil kekuasaan meminta Iran, kekhalifahan dipaksa untuk Khasfi Naspi, “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Abbasiyah”, http://khasfinaspi.blogspot.com/2016/10/dinasti-abbasiyah.html (diakses pada 8 November 2019, pukul 16:01) 4 menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut Amir atau Sultan, menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di Timur laut Tikrit, Iraq sekarang. Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Bani Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah. Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang Muslim Syiah dari Dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031. 2.4.2 Menuju Puncak Keemasan Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah alSaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda- beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H/ 750 M 656 H/1258 M. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbasiyah menjadi lima periode: Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Buwaihi dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan Daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (Salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung). Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far alManshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya. Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah, dia berkata: “Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa’ al- Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari Daulat Bani Umayyah, khalifahkhalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan dengan Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbasiyah sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan. Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat: 1. Maktab/Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa. 2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu: Terjadinya assimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, bangsa- bangsa nonArab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi, sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahanterjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al- Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi alThibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah. Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan, yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir. Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa’. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan. Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. 2.4.3 Masa Kemunduran Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah: 1. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. 2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi. 3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad. 2.4.4 Masa Disintegrasi (1000-1250 M) Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsipropinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah : 1. Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. 2. Penguasa Bani Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Hal tersebut menjadikan propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: 1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko. 2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan. Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasipergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri. Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah mulai terlihat sejak awal abad ke-sembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benarbenar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’u arabiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu. Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor- faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih- benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Persaingan Antar Bangsa Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan ini dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya samasama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, terdapat dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. 1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. 2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional. Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab (‘ajam). Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme keAraban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan Syu’ubiyah. Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu. 2. Kemerosotan Ekonomi Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, serta jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan. 3. Munculnya Aliran Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu. Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al- Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan, namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut. Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaihi lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua Dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. 4. Ancaman Dari Luar Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang- orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem. 5. Perang Salib Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.5 5 Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, 2016, h 89-109 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan uraiaan masalah mengenai Dinasti Abbasiyah maka dapatlah diambil suatu kesimpulan yaitu: 1. Dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. 2. Pada masa kuasa Dinasti Abbasiyah banyak kemajuan yang telah dicapai yaitu dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah. 3. Kemunduran Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari banyak faktor yaitu faktor internal dan eksternal. B. Saran Bila mana dalam makalah ini terdapat kekeliruan maka saran dari pembaca sangat kami harapkan agar makalah ini dapat dijadikan suatu bahan informasi sesuai dengan tujuannya.