Uploaded by User36708

Sejarah Peradaban Islam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dan disebarkan
dijazirah Arab yang diawali dengan sembunyi-sembunyi. Setelah pengikut
agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun
perintah Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam
mendapatkan tantangan dari suku Quraisy. Islam disebarkan dan dipertahankan
dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski
harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan.
Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafaur
Rasyidin. Pada perkembangannya Islam mengalami banyak kemajuan maju.
Islam telah disebarkan secara meluas keseluruh wilayah Arab. Pada masa
Khulafaur Rasyidin Al-Quran telah dibukukan dalam bentuk mushaf yang
dikenal dengan mushaf utsmani.
Meskipun Islam telah berkembang namun juga banyak mendapat
tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga peperangan. Salah
satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan Muawiyah dengan
khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, sehingga Muawiyah
menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari
abitrase ini adalah pengikut dari Ali bin Abi Thalib ingin membunuh Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh.
Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil
dibunuh.
Setelah kematian Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah masa Khulafaur
Rasyidin dan berganti dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah
pimpinan Muawiyah bin Abi Sofwan. Pada masa pemerintahan Dinasti
Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan
daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan
dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah
pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi
Muhammad SAW, berdirinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap
pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah
SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah kami uraikan sebelumnya, ada beberapa
permasalahan yang kami dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Bagaimana berdirinya dinasti abbasiyyah?
2. Seperti apa pola pemerintahan dinasti abbasiyyah?
3. Bagaimana ekspansi wilayah dinasti abbasiyyah?
4. Bagaimana peradaban Islam pada masa dinasti abbasiyyah?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana sejarah peradaban Islam pada
masa dinasti abbasiyyah.
2. Sebagai pemenuhan tugas makalah yang telah diberikan kepada kami pada
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
D. Manfaat
Dapat mengetahui serta menambah ilmu tentang sejarah peradaban Islam yang
pada khususnya tentang Dinasti Abbasiyyah (750 - 1258 M).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendirian Dinasti Abbasiyyah
Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan dinasti Bani Abbas atau
khilafah. Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
Ketika dinasti Umayyah berkuasa Bani Abbas telah melakukan usaha
perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan
kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.
Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan
keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani abbas,
seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang
semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang
bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena
tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan
makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah
melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah
Marwan II yang sedang berkuasa.
Orang Abbasiyah, sebut Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani
Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah cabang dari Bani
Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut
mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi
perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka
mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap
Umayyah.
Pergantian kekuasaan dinasti Umayyah oleh Dinasti Bani Abbasiyah
diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar
belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan
melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Dalam sejarah berdirinya daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah
Amawiyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain
disebabkan:
1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim
pada umumnya.
2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka
tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara
terang-terangan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan
mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Amawiyah.
Gerakan ini menghimpun:
a) Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah.
b) Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman.
c) Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-khurasany.
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abu AlAbbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak menjadi panggung
drama besar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun
sebelumnya di masjid Kufah, Khalifah Abbasiyyah pertama itu menyebut
dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya.
Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini
mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuasaan dalam
menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di
sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat
eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga, setelah
Khulafa Ar-Rasyidun dan Dinasti Umayah yang sangat besar dan berusia
lama. Dari 750 M - 1258 M, penerus Abu Al-Abbas memegang
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyyah
mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu
gagasan negara
teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler Dinasti
Umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam
berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah
dan pada shalat Jum’at, khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah
dikenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa
pemerintahannya, begitu singkat. As-Saffah menginggal (754-775 M) karena
penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far (754-775 M), yang
mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah.
Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan AsSaffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang
bejumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-Saffah.
Mengutip dari Philip K.Hitty, bahwa masa keemasan (golden prime)
Abbasiyyah terletak pada 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan Badri Yatim,
yang memasukkan 7 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyyah, Jaih
Mubarok, memasukkan 8 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyyah. Begitu
pula Harun Nasution, hanya memasukkan 6 khalifah ke dalam kategori
sebagai khalifah yang memajukan Abbasiyyah.
Kesepuluh khalifah tersebut; As-Saffah (750), Al-Manshur (754), AlMahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin (809), Al-Ma’mun
(813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842), dan Al-Mutawakkil (847).
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam,
mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah
didirikan. Kekhalifahan baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan AlManshur mencapai masa keemasannya antara khalifah ketiga, Al-Mahdi, dan
khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun ArRasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Karena kehebatan dua khalifah itulah,
Dinasti Abbasiyyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti yang paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum yang dikutip oleh
seorang penulis antologi, Ats-Tsa’alabi (w. 1038) bahwa dari para khalifah
Abbasiyyah, “sang pembuka” adalah Al-Manshur, “sang penengah” adalah
Al-Ma’mun, dan “sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (892-902) adalah
benar.1
Adapun periodisasi dalam Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a) Periode Pertama (750-847 M)
Diawali dengan Tangan Besi. Sebagaimana diketahui Daulah
Abbasiyah didirikan oleh Abu Abas. Dikatakan demikian, karena dalam
Daulah Abbasiyah berkuasa dua dinasti lain disamping Dinasti Abasiyah.
Ternyata dia tidak lama berkuasa, hanya empat tahun. Pengembangan dalam
arti sesungguhnya dilakukan oleh penggantinya, yaitu Abu Jakfar al-Mansur
(754-775 M). Dia memerintah dengan kejam, yang merupakan modal bagi
tercapainya
masa
kejayaan
Daulah
Abasiyah.
Pada
periode
awal
pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan
daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abasiyah ini telah diletakkan
dan dibangun oleh Abu Abbas as-Safak dan Abu Jakfar al-Mansur, maka
puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak
masa khalifah al-Mahdi (775-785 M) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M).
Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah AlJakfar, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid.
1
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, h 128-129
Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian,
terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b) Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945M)
Kebijakan Khalifah Al-Mukasim (833-842 M untuk memilih anasir
Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abbasiyyah dilatarbelakangi oleh
adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun
dan sebelumnya. Khalifah Al-Mutawakkil (842-861 M) merupakan awal dari
periode ini adalah khalifah yang lemah. Pemberontakan masih bermunculan
dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan
dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Bani Abas pada periode ini adalah, pertama
karena terlalu luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan
ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan
militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke
baghdad.
c) Periode Ketiga (334 H/945 - 447 H/1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyyah yang berada dibawah kekuasaan Bani
Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih
buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi
menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai
pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu bani Buwaihi telah
membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian
selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai
wilayah al-ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Baghdad dalam periode ini tidak
sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana
berkuasa Ali bin Buwaihi.
d) Periode Keempat (447 H/1055M - 590 H/1199 M)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Seljuk dalam Daulah
Abbasiyyah. Kehadirannya atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan Khalifah memang sudah
membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah
kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
e) Periode Kelima (590 H/ 1199M - 656 H / 1258 M)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode
ini, Khalifah Abbasiyyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti
tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan
sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan
Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/ 1256 M.2
2.2 Pola Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah
Pemerintahan Abbasiyyah adalah keturunan daripada Al-Abbas, paman
Nabi SAW. Pendiri Kerajaan Al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu
kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah
kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada
keluarga Rasul dan sanak saudaranya.3
Daulah Dinasti Abbasiyyah memiliki corak pemerintahan Arab murni
namun juga telah terpengaruh corak pemikiran dan peradaban Persia,
Romawi Timur, Mesir, bahkan Yunani. Khalifah merupakan penguasa
tertinggi dalam struktur Pemerintahaan Dinasti Abbasiyyah. Semua perintah
berpusat kepada khalifah.
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai
sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Dinasti Abbasiyah,
kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah,
Punya Lembak, “Sejarah Peradaban Islam Dinasti Abbasiyyah (750-1258)”,
http://punyalembak.blogspot.com/2016/04/sejarah-peradaban-islam-dinasti.html (diakses pada 7
November 2019, pukul 14.08).
3
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, 1997, h 1
2
bukan dari rakyat sebagaimana di aplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada
zaman Khaulafahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah
Al-Mansur “Saya adalah sultan, Tuhan diatas buminya”. Pada zaman Dinasti
Abbasiyyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Dinasti Abbasiyah antara lain :
1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para pejabat bisa berasal
dari keturunan mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah
mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini
dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di
daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau
membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulah-daulah
kecil, contoh; daulah Dinasti Umayyah di Andalusia atau Spanyol dan Daulah
Fatimiyah.
Untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama “diwanul kitaabah” (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh seorang “raisul kuttab” (sekretaris negara). Dan
dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa “raisul
diwan” (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat
sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul Idary Al-Markazy. Selain itu,
dalam zaman Dinasti Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul
umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.4
2.3 Ekspansi Wilayah Dinasti Abbasiyyah
Pada masa Daulah Abbasiyyah luas wilayah kekuasaan islam semakin
bertambah dan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya. Perluasan kekuasaan
dan pengaruh wilayah kekuasaan islam amat luas yaitu meliputi wilayah yang
telah dikuasai oleh Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair,
Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang
belum sepenuhnya berada di wilayah Dinasti Umayah,
namun dimasa
kekuasaan dinasti Abbasiyah perluasan daerah dan penyiaran islam semakin
berkembang, sehingga meliputi daerah Turki, Armenia, dan sekitar Laut
Kaspia.
2.4 Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
2.4.1 Asal Usul Bani Abbasiyyah
Bani Abbasiyyah atau Kekhalifahan Abbasiyyah adalah kekhalifahan
kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibukota Irak). Kekhalifahan
ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan
dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari bani Umayyah dan
menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyyah
dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu
Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga
termasuk ke dalam bani Hasyim, yang Peberkuasa mulai tahun 750 M dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Daulah ini berkembang
selama dua abad tapi pelan pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang
sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mereka
mengambil
kekuasaan
meminta
Iran,
kekhalifahan
dipaksa
untuk
Khasfi Naspi, “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Abbasiyah”,
http://khasfinaspi.blogspot.com/2016/10/dinasti-abbasiyah.html (diakses pada 8 November 2019,
pukul 16:01)
4
menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut
Amir atau Sultan, menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah
yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol
yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan
Baghdad. Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini
banyak bertempat tinggal di Timur laut Tikrit, Iraq sekarang.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan
kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga
Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan
ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah
berhasil meruntuhkan Daulah Bani Umayyah dan kemudian dilantik sebagai
khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama
tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan
menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang
non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di
Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang
menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah
mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said
bin Husain, seorang Muslim Syiah dari Dinasti Fatimiyyah mengaku dari
keturunan anak perempuan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai
Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika
Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan
Libya, namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai
ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut
kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan
Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan
dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka
mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
2.4.2 Menuju Puncak Keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya
dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah alSaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah.
Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda- beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H/ 750 M 656 H/1258 M.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbasiyah menjadi lima
periode:
 Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
 Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh
Turki pertama.
 Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti
Bani Buwaihi dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut
juga masa pengaruh Persia kedua.
 Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan
Daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali)
Kesultanan Seljuk Raya (Salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung).
 Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani
Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat,
yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far alManshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari
Bani
Umayyah,
Khawarij,
dan
juga
Syi’ah.
Untuk
memperkuat
kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya
satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya,
al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan
kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M,
karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah, dia berkata:
“Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan
Tuhan di bumi-Nya)”.
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut
ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia,
bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa’ al-
Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari Daulat Bani Umayyah, khalifahkhalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti al-Manshur, dan
belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Pada
masa
al-Mahdi
perekonomian
mulai
meningkat
dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan dengan
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah
Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,
dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi.
Al-Ma’mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama
lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar
kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah
Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian,
kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbasiyah sendiri maupun
dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan
kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan
Zindiq di Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran
pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, akan tetapi,
tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri.
Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam
bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai
berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.
Maktab/Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan
tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits,
fiqh dan bahasa.
2.
Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam
ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau
beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya,
ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung
di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak
penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa
tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan
pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping
terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan
oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang
sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh
dua hal, yaitu:
Terjadinya assimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang
lebih
dahulu
mengalami
perkembangan
dalam
bidang
ilmu
pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, bangsa- bangsa nonArab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan
bernilai
guna.
Bangsa-bangsa
itu
memberi
saham
tertentu
dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana
sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa
Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.
Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan
astronomi, sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahanterjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia
dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai
astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al- Farghani, yang
dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu
astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona
dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi
dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan
Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem
peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi alThibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa
dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim
cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan, yang
berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang
matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga
mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Kata
aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu geografi. Di
antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi Ibnu
Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika,
jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina
juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah
asy-Syifa’. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat
aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia
Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan.
Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya
di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan
Hindustan.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai
oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada
tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai
puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah periode pertama,
namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa
kemunduran.
2.4.3 Masa Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah
pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah, sementara komunikasi
pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah
kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
2.4.4 Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsipropinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani
Abbasiyah, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan
oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas
dengan
pengakuan
nominal
dari
propinsi-propinsi
tertentu,
dengan
pembayaran upeti itu. Alasannya adalah :
1. Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk
kepadanya.
2. Penguasa Bani Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban
dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Hal tersebut menjadikan propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai
lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, ini bisa terjadi dalam salah
satu dari dua cara:
1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di
Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya
semakin bertambah kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan
Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko,
propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama
mereka
menyaksikan
Baghdad
stabil
dan
khalifah
mampu
mengatasipergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa
khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di
antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani
Abbasiyah mulai terlihat sejak awal abad ke-sembilan. Fenomena ini
mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benarbenar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami
kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan
orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki
dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan
anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi
ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa
gerakan syu’u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan
politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para
khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran
keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi
kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara
mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan
itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan
dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu
sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan
kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor- faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih- benihnya
sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini
sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan
khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi
mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan ini dilatar belakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya samasama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, terdapat dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa
itu mereka merupakan warga kelas satu.
2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh
mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa
non-Arab (‘ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria,
Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali
Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang
bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme keAraban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan
Syu’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka
diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap
sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa
Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka
merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan
atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing
bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah
Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat
yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga.
Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya
sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana
diuraikan terdahulu.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi
bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta.
Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam
pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara
menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah, serta jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
3. Munculnya Aliran Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan.
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan
mendorong
sebagian
mereka
mempropagandakan
ajaran
Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan
gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur
berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan
jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua
itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman
dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana
seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung
di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat
(ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran
Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan
dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang
kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al- Mutawakkil, misalnya,
memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan, namun
anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi’ah
“menziarahi” makam Husein tersebut. Syi’ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaihi lebih dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua Dinasti
Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
4. Ancaman Dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping
itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
lemah dan akhirnya hancur. Perang Salib yang berlangsung beberapa
gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Serangan tentara
Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-
orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II
(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar
semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan
Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia
dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri
dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol,
sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan
orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong
ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam,
ikut memperbaiki Yerusalem.
5. Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II
berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai
oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara
Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumnya tentara Sulthan Alp
Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi
yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj,
al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa
Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari
tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena
peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan
kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka
bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.5
5
Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, 2016, h 89-109
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan uraiaan masalah mengenai Dinasti Abbasiyah maka dapatlah
diambil suatu kesimpulan yaitu:
1.
Dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani
Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M)
s.d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya.
2.
Pada masa kuasa Dinasti Abbasiyah banyak kemajuan yang telah dicapai
yaitu dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan
pemerintah.
3.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari banyak faktor yaitu
faktor internal dan eksternal.
B. Saran
Bila mana dalam makalah ini terdapat kekeliruan maka saran dari pembaca
sangat kami harapkan agar makalah ini dapat dijadikan suatu bahan informasi
sesuai dengan tujuannya.
Download