Gereja Orthodox Katolik dan Ajaran-ajarannya Oleh Arkhimandrit Rm. Bambang Dwi Byantoro Gereja Kristus yang Satu dan untuk Selama-lamanya Di dunia masakini begitu banyak aliran keagamaan yang menamakan dirinya Kristen atau Gereja. Namun demikian sering kita jumpai bahwa dalam masalah ajaran, aliran-aliran yang satu amat berbeda dengan aliran yang lain. Belum lagi bagi banyak orang hanya mengenal Kekristenan dalam dua bentuk saja yaitu: Katolik Roma dan denominasidenominasi Protestan. Dua bentuk inipun sementara masing-masing menyatakan dirinya sebagai ajaran Injil yang benar dan sejati atau sebagai Gereja Kristus yang benar, dalam realitanya banyak praktek dan ajarannya itu saling bertentangan satu dengan yang lain. Demikian pula dalam apa yang kita sebut dengan denominasi-denominasi Protestan, begitu banyak aliran yang satu sungguh-sungguh berbeda akidah dan ajarannya dengan yang lain. Dan semuanya itu mengaku sebagai Gereja yang benar. Kita yang mencintai kebenaran dan mencari kebenaran dijadikan bingung karenanya. Mungkinkah dengan Kitab Suci yang satu, Allah yang Satu, Yesus yang satu, Roh Kudus yang Satu, terdapat Iman atau pengajaran dan Gereja yang bermacam-macam dan saling bertentangan dan kontradiksi satu dengan lainnya itu? Menurut Kitab Suci, jikalau yang dimaksudkan adalah Gereja Kristus dan ajaran Injil Kristus yang sejati jelas tidak mungkin, karena Kitab Suci mengatakan :”…….satu tubuh…..” ( Efesus 4:4), “satu Tuhan, satu Iman….” (Efesus 4:5). Surat Efesus yang sama ini menegaskan bahwa yang disebut Tubuh Kristus itu adalah Jemaat (Ekklesia, Iglesia, Igreja, Gereja):”Jemaat (Ekkelsia= Gereja) yang adalah TubuhNya….” ( Efesus 1:23). Jikalau hanya ada satu tubuh, dan yang dimaksud dengan Tubuh itu adalah Gereja, jadi menurut Alkitab Gereja itu hanya satu saja. Gereja yang satu itu yang bagaimana, yatu yang memiliki “satu Iman” karena memiliki “satu Tuhan”. Berarti jikalau imannya tidak satu, ajarannya tidak satu, pemahamannya tentang Tuhan yang satu itu tidak satu, pastilah itu bukan bagian dari “satu Tubuh” atau Gereja yag dimaksud itu. Demikianlah kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai adanya macam-macam aliran ajaran yang semuanya mengaku Kristn dan semuanya mengaku Gereja, tak mungkin semuanya itu benar dan tak mungkin semuanya itu Gereja Kristus. Sebab jikalau mereka itu adalah bagian dari Gereja Kristus yang hanya satu pastilah ajarannya itu satu dan sama dimana-mana. Lalu mengapa ada macam-macam aliran pengajaran seperti itu. Kitab Suci mengajarkan bahwa ada Yesus yang lain, Injil yang lain dan Roh yang lain ( II Korintus 11:4). Dan Kitab Suci juga mengatakan tentang adanya Injil yang lain dan yang berbeda dari Injil yang diberitakan oleh Rasul dan yang diterima oleh Gereja ( Galatia 1: 8-9), dan Kitab Suci juga mengajarkan tentang adanya ajaran-ajaran bidat ( Titus 3:10-11). Itulah sebabnya terjadi munculnya ajaran-ajaran-ajaran yang bermacam-macam itu. Dan menurut Kitab Suci ajaran yang bermacam-macam yang tak sesuai dengan ajaran Rasul dan Iman Gereja Kristus yang benar itu membawa kutuk ( Galatia 1:8-9), mendatangkan dosa dan hukuman ( Titus 3:10-11). Padahal mengenai ajaran Imanl yang benar itu Kitab Suci mengatakan demikian:”…….iman yang sudah sekali bagi sekalian (Yunani: “apax”)dikaruniakan kepada segala orang suci” ( Yudas 1:3, TL). Sayang terjemahan baru 1 Alkitab bahasa Indonesia tak menterjemahkan kata penting “apax” ini dalam Alkitab terjemahan sekarang. Padahal kata ini bermakna bahwa Iman Kristen yang benar itu adalah “sudah sekali” yaitu sekali pada jaman rasul itu saja diberikan kepada segala orang suci (Gereja), dan iman yang sekali diberikan kepada Gereja itulah, iman “bagi sekalian” orang dan bagi sekalian jaman. Berarti sampai kapanpun Gereja itu imannya hanya satu itu dan tak akan pernah berubah. Jadi jika ada ajaran yang selalu berubah-ubah dan berbeda dengan iman rasuliah sepanjang segala jaman pastilah itu bukan Injil yang satu itu yang diajarkan. Dan kelompok yang mengaku dirinya Gereja dan mengikuti ajaran yang beurbah-ubah dan saling kontradiksi itu pastilah bukan Gereja yang benar yaitu Tubuh Kristus yang hanya satu itu. Tidak ada Wahyu yang bermacam-macam diluar Wahyu di dalam Yesus Kristus yang satuu itu, dan tak ada ajaran yangbeubah-ubah diluar ajaran yang :sudah sekali bagi sekalian “ itu, serta tak Gereja yang bermacam-macam kecualiu Tubuh Kristus yang hanya satu sejak jaman Rasul itu. Padahal mengikuti ajaran yang berbeda dengan ajaran rasul yaitu ajaran yang diterima dan dipelihara oleh Gereja Kristus yang satu dari jaman purba tanpa perubahan itu menyebabkan orang tertimpa kutuk, dosa dan hukuman ( Galatia 1:8,9, Titus 3:10-11). Untuk mengetahui keberadaan Gereja Kristus yang berasal dari jaman para Rasul dan tetap memelihara Iman Rasuliah tak berubah itu, kita perlu melakukan pelacakan Sejarah Umat Awal dari jaman permulaan sampai kini, dan kita mengambil kesimpulan dari pelacakan ini. Banyak orang telah diberi informasi yang keliru mengenai keberadaan Gereja Kristus yang Rasuliah dan satu itu dengan pemahaman bahwa Gereja Purba selalu dianggap berada dibawah ketundukan dengan Sri Paus, dan hanya merupakan bagian dari Gereja Roma Katolik saja, sedangkan dari pihak denominasi-denominasi Protestan memiliki anggapan yang serupa pula mengenai segala sesuatu sebelum munculnya Protestantisme dan sesudah zamannya para rasul, karena latar-belakang sejarahnya yang memang merupakan protes terhadap Gereja Roma Katolik. Dan segala sesuatu sebelum munculnya Reformasi Protestan dianggap masih termasuk dalam Zaman Kegelapan. Dalam cara pandang yang demikian ini tentulah orang hanya melihat Kekristenan sebagai termasuk dalam Katolik Roma atau jika tidak pasti itu termasuk dalam salah satu denominasi-denominasi Protestan. Itulah sebabnya banyak orang tak dapat meletakkan keberadaan Gereja Rasuliah Purba yang hanya satu itu secara tepat dalam spektrum Roma Katolik atau Protestan ini. Gereja Kristus yang Rasuliah dan hanya satu itu bukan bagian dari sejarah Gerakan Reformasi, karena itu harus berasal dari jaman purba dari awal Kekristenan itu sendiri Itulah sebabnya Gereja Rasuliah Purba itu bukan termasuk denominasi Protestan. Juga Gereja Purba yang Rasuliah itu tak pernah merupakan bagian sejarah dan pemikiran yang mempengaruhi benua Eropa Barat yang sangat besar dipengaruhi oleh ajaran Santo Agustinus, filsafat Skolastikisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas dalam Gereja Roma Katolik, dan yang kemudian juga dikembangkan oleh Martin Luther dan Calvin dalam sejarah Protestantisme. Yang juga dipengaruhi oleh pemusatan lembaga kepausan, sejarah Rennaisance, Pencerahan, Reformasi Protestan dan Kontra-Reformasi Roma Katolik serta Revolusi Perancis. Dan oleh pengaruh-pengaruh itu munculnya pemahaman-pemahaman Iman Gereja Barat baik yang berpusat di Roma maupun dalam komunitas Protestan. Karena Kristus adealah orang Yahudi dan para RasulNya juga orang-orang Yahudi, mereka berasal dari Timur Tengah, bukan dari Eropa. Maka Gereja yang Rasuliah pastilah berasal dari Timur Tengah ini juga. Maka Gereja Rasuliah ini tak turut ambil bagian dari sejarah Gereja Barat itu, sehingga bukan merupakan bagian dari Gereja Roma Katolik ataupun komunitas Protestan modern. Jadi bukan termasuk kategori Gereja Barat. Apalagi secara geografis yang 2 dimaksud Gereja Barat adalah wilayah Gereja sekitar Eropa Barat, baik sekitar daerah Mediterania maupun daerah-daerah Skandinavia. Sedangkan secara etnis yang termasuk dalam lingkup Gereja Barat adalah bangsa-bangsa Latin (Itali, Spanyol, Perancis) dan bangsabangsa Anglo-Saxon (Jerman, Belanda, Inggris) serta bangsa-bangsa Skandinavia (Denmark, Swedia, Skandinavia). Dan jika kita masukkan aliran-aliran Protestan, maka termasuk pula bangsa Amerika dan Kanada. Padahal jika kita lihat dalam Perjanjian Baru umat dalam Gereja Purba itu adalah bangsa Syria, Yahudi, Etiopia, dan Yunani, sehingga Gerejanya bukan termasuk Gereja Barat baik secara geografis, etnis maupun historis dan aqidahnya. Gereja Rasuliah Purba inilah yang disebut Gereja Orthodox dan berasal dari zaman awal munculnya Kekristenan itu sendiri. Gereja Orthodox adalah Gereja Purba yaitu Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang masih hadir di dunia ini tanpa berubah baik dalam ajaran, ibadah, maupun ethos dan cara pemerintahan Gerejanya sejak zaman para Rasul itu sendiri. Sejarah Gereja Orthodox lebih berlatar-belakangkan zaman Patristik Purba, Zaman KonsiliKonsili Ekumenis dalam lingkup Kerajaan Byzantium, Munculnya Islam, Penyebaran ke Eropa Timur dan Rusia, Penjajahan Turki, Penyerangan Bangsa Tartar, Penjajahan Komunis, Kemerdekaan negara-negara Balkan, dan sampai kepada zaman modern ini. Yang ikut ambil bagian dalam latar-belakang sejarah Gereja Orthodox di Timur ini adalah Gereja-Gereja Timur lainnya yaitu Gereja-Gereja yang disebut Monofisit atau Oriental Orthodox atau NonKalsedon (Koptik, Syria-Yakobit: di Indonesia ini dipromosikan dengan Nama Kanisah Orthodox Syria oleh “YAYASAN Study Orthodox Syria” pimpinan sdr. Bambang Noorsena S.H. yang tadinya adalah mantan anggota Gereja Orthodox Indonesia; kemudian Armenia, Ethiopia, dan Thomas India) serta Gereja yang disebut Nestorian (“Gereja Timur Assyria”, “Pre-Efesus”). Istilah “Orthodox” bukanlah nama aliran Gereja, karena sebenarnya Gereja Orthodox tak mempunyai nama. Orthodox berasal dua kata Yunani “orthos = lurus, benar” dan “doxa = pengajaran, pendapat, kemuliaan.” Jadi “orthodoxa” artinya adalah “ajaran yang lurus.” Untuk mengetahui Gereja Orthodox ini secara baik kita harus melacak 2000 tahun sejarah Gereja itu sampai kini. Dengan demikian kita dapat melokasikannya secara benar dalam spektrum Roma Katolik-Protestan itu. Agar kita dapat mengetahui lebih jelas dan mendalam tentang Gereja Kristus yang sejati ini, marilah kita membahas mengenai sejarah Gereja Orthodox selama 2000 tahun itu dalam bagiannya yang pertama. Namun sebelumnya akan kita bicarakan latar-belakang sejarah keselamatan yang direncanakan Allah sejak zaman Adam sampai dengan datangNya Yesus Kristus di dunia itu. Kemudian pembahasan sejarah itu akan kita bagi dalam lima bagian. Bagian pertama adalah awal perkembangan Iman Kristen sebagai fondasi dari keberadaan Gereja Orthodox selanjutnya. Bagian kedua akan membahas masa perumusan theologi Kristen yang Orthodox mengenai dua-kodrat dari Kristus yang satu dalam Konsili-Konsili Ekumenis Gereja Purba. Bagian Ketiga akan membicarakan situasi Gereja Orthodox sesudah Konsili-Konsili Ekumenis, sampai jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki. Bagian Keempat adalah Masa penjajahan Turki atas ummat Orthodox sampai akhir masa penjajahan Turki itu. Dan Bagian kelima akan membahas situasi Gereja Orthodox di abad kedua puluh dan kedua puluh satu ini serta munculnya Gereja Orthodox di Indonesia. Disamping tentang sejarahnya, buku ini dalam bagiannya yang kedua juga akan membahas tentang aqidah dan keyakinan Iman Gereja Orthodox berdasarkan Syahadat (Pengakuan Iman ) Nikea, yang dirumuskan pada Konsili Ekumenis Pertama tahun 325 dan yang diratifikasikan pada Konsili Ekumenis Kedua tahun 381. Rumusan yang mana mrupakan garis besar dari ajaran Rasuliah sebagaimana yang tercatat dalam Alkitab dan yang 3 selalu dipercayai oleh Gereja Universal yang Orthodox. Dalam bagian tentang aqidah atau pengajaran dan keyakinan iman itu pembahasan akan dibagi dalam bagian-bagian mengenai :Allah, karya Allah, Ciptaan: Malaikat, Iblis dan roh-roh jahat, serta penciptaan manusia. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai Yesus Kristus dan karyaNya, makna keselamatan yang diakibatkan oleh karya Yesus Kristus, serta Roh Kudus dan karyaNya, termasuk makna Gereja, sakramen-sakramen, kehidupan sesudah mati dan hari kiamat yang ditandai dengan dengan kedatangan Yesus Kristus yang kedua untuk menegakkan Kerajaan yang kekal. Bagian yang ketiga dari pembahasan buku ini adakah mengenai kehidupan Ibadah dari Gereja Orthodox itu. Termasuk di dalamnya adalah mengenai simbolisme Gedung gereja Orthodox, simbolisme kedudukan para rohaniwan Orthodox. Makna Sakramen-Sakramen Gereja Orthodox, Sholat harian tujuh kali sehari, Puasa dalam Gereja Orthodox serta zakat persepuluhan. Dan tertib-tertib ibadah lainnya, termasuk yang menyangkut kelahiran, kematian, pengudusan rumah, serta doa-doa yang menyangkut seluruh kebutuhan kehidupan. Bagian yang keempat atau yang terakhir dari buku ini akan membahas tentang kehidupan akhlak dan moral Orthodox sebagai akibat suatu praktek kehidupan yang diakibatkan oleh iman kepada aqidah serta pelaksanaan ibadah dalam kehidupan. Dengan demikian buku ini akan menjadi timba yangmenolong orang dapat mengambil air kebenaran yang sulit dan dalam dari Sumur Kitab Suci, agar orang menemukan kebenaran sejati, dengan demikian diselamatan SEJARAH GEREJA ORTHODOX SEJAK ABAD PERTAMA:ZAMAN RASUL-RASUL, SAMPAI KINI .A. I. Zaman Purba Masa Pembentukan: Tiga Abad yang pertama : dari Yesus Kristus s/d Konstantinus Agung 4 Abad 1 s/d Awal Abad 4: Gereja mulai muncul diatas dunia ini sejak Yesus Kristus diturunkan Allah dari sorga, sebagai Kalimatullah ( Firman Allah ) yang menjelma menjadi manusia ( Yohanes 1:14, Galtia 4:4). Selama lebih kurang tiga setengah tahun Beliau mengajar dan berkarya, dan berpuncak pada peristiwa sengsara, penyaliban, kematian, penguburan, kebangkitanNya secara jasmani dari antara orang mati, serta kenaikanNya ke sorga. Peristiwa sengsara s/d kebangkitan ini akhirnya menjadi isi pokok berita (kerygma) dari para murid setiaNya yang disebut Para Rasul, yang menyebarkannya sesudah peritiwa turunNya Roh Kudus yang dijanjikan Almasih atas mereka, pada hari Pentakosta ( Kisah 2). Dan kesengsraan s/d kebangkitan Sang Kristus itulah inti Injil, yang semula diberitakan secara lisan.Karena Kristus tak pernah menulis Kitab ataupun menerima Kitab dari sorga, maka Dia tak meninggalkan Kitab apapun pada para rasulNya ini, karena Dia sendiri adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Kerygma Rasuliah secara lisan itu mula-mula disebarkan hanya disekitar daerah Palestina saja, dan akhirnya menjadi ajaran lisan komunitas yang baru, yang disebut sebagai :Ekklesia, yang dari sinilah timbul kata Gereja ( berasal dari bahasa Portugis Igreja, sepadan dengan kata Spanyol :Iglesia, yang jelas berasal dari kata Ekklesia itu). Para Rasul itu akhirnya menyebar kemanamana, mulai dari Yerusalem dan seluruh Palestina, kemudian ke seluruh Siria, dan Asia Kecil ( kini negara Turki) serta Yunani dan Afrika Utara terutama di Alexandria (Mesir) dan Karthago ( Libia).. Inilah batas sebelah barat dunia Timur pada saat itu. Sedangkan ke Timur lagi Injil tersebar ke Edesa, Mesopotamia ( Irak, Babilon), dan Persia, yaitu daerah Siria Timur, karena yang menerima Injil di daerah timur ini adalah suku-suku yang berbahasa Siria, sampai ke India Selatan. Sedangkan ke Barat lagi Injil diterima di benua Eropa Barat dari Roma di Itali, Spanyol, dan yang nantinya akan berkembang ke seluruh Eropa. Dengan demikian kita melihat Injil tersebar dari Timur ke Barat dan di seluruh benua: Asia, Afrika dan Eropa. Memang Iman Kristen itu pada dasarnya adalah Agama Timur ( Timur Tengah). Pada saat inilah dokumen-dokumen yang akhirnya menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru mulai dituliskan oleh para rasul sebagai pemimpin Gereja itu kepada Gereja-Gereja ( Roma. Korintus, Galatia, Efesus, dll.) dan para pemimpin Gereja sebagai murid mereka secara langsung ( Titus, Timotius, Filemon, dll) yang telah mereka dirikan dan mereka pilih itu. Gereja ( Ekklesia) telah ada lebih dulu sebelum Kitab Suci ( Perjanjian Baru) dipakemkan. Pada saat ini orang-orang non-Yahudi mulai diterima sebagai anggota ummat Allah, setelah penyelesaian masalah penerimaan mereka, dan penyelesaian masalah dogmatis mengenai kedudukan Taurat, dalam Rapat Agiung (Konsili) para Rasul yang pertama di Yerusalem (Kisah 15). Konsili segenap Gereja inilah yang menjadi landasan adanya Konsili-Konsili di sepanjang sejarah Gereja itu. Orang-orang yang berobat itu hanya perlu beriman kepada Yesus Kristus tanpa harus menjadi Yahudi dengan mengikuti ritus-ritus Taurat, lalu dibaptiskan serta menjadi anggota Ekklesia yang dipimpin/digembalakan oleh para “Presbyter” (“Penatua”) dan “Episkop (“Penilik Jemaat”) –Kisah 20:17,28 -, yang mereka ini menerima pentahbisan dari para Rasul sendiri ( Kisah 14:23), sebagai mata-rantai pelanjutganti pelayanan rasuliah. Para Rasul sendiri tidak menjadi “Gembala” ( “Episkop/Presbyter”) secara lokal dari Gereja lokal tertentu secara permanen dimanapun. Masing-masing kelompok ekklesia itu memiliki ciri khasnya dan masalah-masalahnya sendiri, sebagaimana yang dapat kita baca dalam Perjanjian Baru. Namun seluruh ekklesia diapnggil untuk memegang doktrin yang sama dan melaksanakan akhlak hidup dan ibadah yang sama pula. Pada zaman awal ini Gereja harus menghadapi ajaran sesat pen-Taurat-an Injil yang segera dapat diselesaikan, serta pe-mythologi-an Injil dalam wujud aliran “gnostikisme” yang 5 hendak mencampur-adukkan Injil dengan ajaran kafir Yunani-Romawi. Dengan keras para Rasul harus melawan ini sebagaimana yang kita lihat dari tulisan-tulisan Rasul Yohanes dan Rasul Paulus. Dengan kematian para rasul semuanya menjadi martyr (syuhada), kecuali Rasul Yohanes yang meninggal karena umur tua, Gereja berlanjut dipimpin oleh para murid rasul itu. Penganiayaan yang sudah dimulai oleh Nero pada zaman Rasul Paulus dan Petrus berlanjut sampai abad kedua. Saat ini Iman Kristen dianggap “Agama Tidak Sah “ (“Religio Illicita”) di seluruh Kekaisaran Roma. Mereka adalah penjahat dimata pemerintah Roma,karena menolak menyembah kaisar sebagai “tuhan” dan “ilah”. Sedangkan orang Kristen yang berada disebelah timur Mesopotamia yaitu dibawah Kerajaan Agung Persia, juga mengalami aniaya karena cemburu dari para pendeta agama Zoroaster, agama resmi negera Persia. Orang Kristen di Kekaisaran Roma dituduh” memberontak terhadap negera, pembunuh bayi-bayi dan memakan daging dan minum darah mereka (“ Makan dan Minum Daging dan Darah Anak Manusia”). Penganiayaan ini bersifat sporadis, mereka tak perlu dikejar-kejar namun jika ketahuan mereka harus dihukum. Diantara para pemimpin yang menderita dari aniaya abad ini adalah : Ignatius dari Antiokia, pengganti ketiga dari Rasul Petrus di Antiokia, Syria, sebagai Episkop ( 110 Masehi), Polykarpus, Episkop dari Smyrna, yang adalah murid Rasul Yohanes ( 156 Masehi) dan Yustinus Martyr (Syuhada). Yustinus Martyr ini memiliki seorang murid dari Syria bernama Tatianus. Dia pulang ke Syria setelah kematian Yustinus dan menterjemahkan Injil dari bahasa asli Yunani ke bahasa Syria, dalam bentuk yang diurutkan sesuai dengan urutan cerita, bukan empat bentuk terpisah seperti yang kita kita kenal, dan terjemahan ini terkenal sebagai “Diatessaron”, dan inilah Injil yang digunakan oleh Gereja Syria untuk waktu yang lama sampai akhirnya diganti dengan keempat Injil seperti seluruh Gereja lainnya, dalam bentuk terjemahan “Peshitta”, yang menjadi Kitab Suci Gereja Syria sampai sekarang.. Disamping itu Gereja Syria menggunakan Perjanjian Lama bukan dari terjemahan Ibrani atau Septuaginta, namun dari Targum Aramia dari Perjanjian Lama yang berlaku di Babilonia. Ajaran Tatianus ini dipengaruhi oleh aliran gnostik “enkraitisme” yang menekankan pelajangan, dan asketisisme. Para pemimpin Kristen awal ini meninggalkan tulisan-tulisan yang bersama dengan “Didakhee”, “Surat Kepada Diognetus”, “Surat-Surat Klemen dari Roma” , “ Surat Barnabas” (bukan Injil Palsu Barnabas yang dipromosikan Islam!!!), “ Gembala Hermas”, serta tulisan-tulisan pembelaan iman (apologetik) dari Athenagoras dari Athena, Melito dari Sardis, serta Theofilus dari Antiokia serta dari theoloog yang terbesar dari abad kedua Ireneus dari Lyons, semuanya tadi memberikan gambaran yang jelas sekali mengenai iman dan kehidupan dari Gereja Perjanjian Baru yang berlanjut sampai abad kedua itu. Perkembangan yang paling penting pada abad kedua ini adalah munculnya para pembela iman (“apologist”), yang membela Iman Kristen dari serangan Agama Yahudi, Agama Kafir Berhala, serta Bidat-bidat yang muncul di sekitar Gereja. Juga berkembangnya Aqidah (Doktrin) Gereja serta permulaan Theologia sesudah zaman Rasuliah, ditegakkannya pemerintahan Gereja bagi masing-masing jemaat lokal yang dipimpin oleh Episkop (”Penilik Jemaat” ), Presbyter (“Penatua”) dan Diakon. Zaman ini pula fondasi pertama dari Ibadah dan Liturgi Kristen serta kehidupan Sakramental Gereja yang berlandaskan dari Ibadah Israel namun yang sudah terpisah dari Synagoga (Rumah Ibadah Yahudi) dan mulainya pembentukan Kitab Suci dari Gereja Perjanjian Baru itu terjadi. Pada akhir abad pertama dan permulaan abad kedua banyak tulisan palsu mengenai Kristus bermunculan. Tulisan-tulisan ini disebut tulisan-tulisan ‘apokrifa” ( jangan dikacaukan dengan “Anaginoskomena’ dari Perjanjian Lama!!) serta tulisan-tulisan “pseudopigrafa”. Biasanya tulisan-tulisan memakai nama salah seorang rasul 6 dan memasukkan dongeng-dongeng aneh mengenai masa kecil Yesus Kristus, kehidupan Perawan Maryam dan kegiatan-kegiatan karya para rasul. Dan sebagaian daripadanya menjadi kisah dalam Al-Qur’an terutama tentang masa kecil Kristus. Bersama dengan itu, muncul pula aliran “gnostikisme”, yaitu suatu bidat Kristen yang mengubah iman Kristen menjadi semacam ajaran kebatinan. Dalam melawan ajaran bidat gnostik inilah Gereja yang Rasuliah itu menyebut ajaran asli yang rasuliah itu sebagai ajaran (“doxa”) yang “lurus” ( “orthos”) , Ortho+ doxa = Orthodox. Sedangkan ajaran “gnostik” itu sebagai ajaran (“doxa”) yang berbeda atau menyimpang (“heteros”), hetero+ doxa = Heterodox. Akibat dari melawan ajaran gnostik inilah munculnya theologia dari para “apologis” (“pembela-iman”). Jauh di sebelah timur di dearah Syria, Bardaisan adalah penulis yang terkenal mengenai masalah theologi. Namun dia mencampur-adukkan Injil dengan astrology dan mythologi, dan ajarannya tentang Allah kedengaran sangat aneh. Allah adalah satu yaitu Bapa, Roh Kudus adalah berjenis wanita sebagai “Bunda Kehidupan”, dan Anak Allah adalah keturunan dari Bapa dan Roh Kudus, Sang Bunda Kehidupan.Sehingga akhirnya Bardaisan dari Syria inipun dikucilkan dari Gereja. Akibat dari ajaran Gnostik ini pada para apologis adalah penekanan “ mata-rantai rasuliah” (“suksesi apostolik”, “silislah rasuliah”) sebagai penjamin ajaran yang benar dan tak terputus dari para rasul, yang diterus-sampaikan secara tak terputus dari gereja kepada gereja, dari generasi kepada generasi, dari tempat ke tempat, dan penerus-sampaian tanpa putus dari zaman rasuliah ini disebut sebagai “Paradosis” atau “Traditio”. Dan penyampaiannya itu dilakukan melalui pentahbisan dari para Episkop yang dapat dilacak dari mata rantai pentahbisan sejak zaman rasul-rasul. Dan para Episkop ini pengajaran dan prakteknya itu identik antara satu dengan yang lain, dan secara bersama ajaran mereka itu identik dengan ajaran para rasul Yesus Kristus sendiri. Sebagai akibat yang lain, Gereja mulai kokoh dalam keputusannya tulisan-tulisan mana yang menjadi bagian kanon Kitab Suci berdasarkan : 1.tulisan-tulisan itu harus berasal dari zaman rasul.2. harus ditulis oleh rasul sendiri atau teman/murid dekat mereka 3. harus sesuai dengan ajaran rasuliah tanpa putus yang disampaikan sebagai paradosis dalam Gereja 4.harus digunakan secara merata di seluruh gereja sejak awal 5. harus mengajarkan kesucian dan bukan dongeng-dongeng gnostik. Dari kriteria inilah akhirnya tersaring dari tulisan-tulisan rasuliah purba itu 27 kitab yang akhirnya kita kenal sebagai “Kitab Suci Perjanjian Baru” itu. Dan Kitan Suci Perjanjian Baru inilah yang berisi “Berita Gembira” (“Evanggelion”, “Evanggel”, “Injil”) tentang Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia itu. Karena memang Injil itu pada mulanya bukanlah suatu Kitab macam apapun namun peristiwa dan karya Almasih yang diberitakan secara lisan oleh para muridNya yang diberi gelar sebagai “apostolos” (“orang yang diutus” atau “rasul”) itu. Dalam tulisan-tulisan para apologis, para martyr (syuhada) dan para kudus dari abad kedua ini kita ketahui bahwa masing-masing jemaat Kristen lokal itu dipimpin oleh seorang Episkop/Uskup ( Penilik Jemaat) yang dilaksanakan oleh para Presbyter/ Imam ( “Penatua”) dan dilayani oleh Para Diakon. Terutama dalam tulisan-tulisan Ignatius ( Magnesia 6:1, Filadelfia 4, Smyrna 8:2). Ignatius juga mulai menggunakan istilah “Katholik” untuk menyebut sifat Gereja. Ini berasal dari kata “ Kath’ (menurut, sesuai dengan) dan “holon “ ( sepenuhnya, kepenuhan). Ini adalah kwalitas sifat yang menjelaskan bagaimana Gereja itu, jadi bukan nama suatu agama, misalnya:Roma Katolik, Anglo-Katolik, Katolik Bebas, Katolik Lama,dll. Dan kata ini (Katholik =Kath + Holon) bermakna kwalitas sifat gereja itu adalah penuh, sempurna, lengkap, utuh, tanpa kekurangan apapun di dalamnya dari 7 kepenuhan kasih-karunia, kebenaran dan kekudusan Allah. Demikianlah Gereja Rasuliah Perjanjian Baru pada abad yang kedua itu mulai menyebut dirinya sebagai Gereja yang “katholik” artinya bukan sekte-sekte yang main comot sana-sini dari kepenuhan dan keutuhan ajaran Rasuliah itu. Demikian juga Gereja purba itu disebut sebagai “Orthodox” artinya bukan yang menyimpang dari ajaran Rasul tadi. Dalam “Didakhee” dan “Pembelaan dari Yustinus Martyr” dan “Ireneus” ditemukan juga penjelasan mengenai bagaimana ibadah Kristen zaman abad kedua itu dilakukan, terutama ibadah hari Minggu yang berpusat pada kotbah dan Perjamuan Kudus, dan juga tentang baptisan. Menginjak pertengahan abad ketiga, yaitu tahun 249 Kaisar Desius naik tahta, dia mengadakan penganiayaan secara universal, dan penganiayaan itu dilanjutkan sampai zaman Kaisar Valerianus (253-260). Orang Kristen dipaksa mempersembahkan korban kepada patung kaisar sebagai “tuhan” dan “ilah”, para rohaniwan Kristen harus dikejar dan dibunuh, harta milik Gereja harus disita. Baru di zaman Gallenius, anak dari Valerianuslah penganiayaan dihentikan .Pada saat itu perkembangan yang luar biasa terjadi dalam Gereja. Namun penganiayaan yang berat itu mengakibatkan suatu krisis besar dalam Gereja. Timbul pertanyaan dalam Gereja mengenai bagaimana memperlakukan orang-orang yang selama masa aniaya itu karena diancam rela mempersembahkan korban pada patung kaisar, mereka ini disebut kaum “lapsi”. Ada yang melarang mereka masuk Gereja lagi, ada yang bersikap agak lunak. Akibatnya terdapat beberapa kelompok garis-keras yang menganggap Gereja terlalu lunak akan masalah para “lapsi” itu yang memisahkan diri dari Gereja Rasuliah Perjanjian Baru yang “Orthodox” dan “Katholik” itu. Diantara mereka yang memisahkan diri dari Gereja adalah Tertulianus (c. 220 ), penulis agung dan peletak dasar Theologia Latin di Gereja barat dari Afrika utara. Dia menggabung dengan gerakan bidat yang didirikan Montanus yang telah mulai pada akhir abad kedua, dan menyatakan diri sebagai Gereja “Nubuat Baru” dari Roh Kudus yang lebih sempurna dari Gereja ‘Perjanjian Kedua” ( Perjanjian Baru) dari Kristus. Ciri gerakan Montanisme ini adalah penekanan pada “karunia lidah” dan “nubuat-nubuat” serta penekanan bahwa Kerajaan Seribu Tahun akan segera datang di pulau Frigia, Asia Kecil. Pembela agung Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik ini pada saat itu adalah Kiprianus dari Karthago (meninggal tahun 258). Dia meninggal sebagai Martyr setelah membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu melawan aliran garis keras yang memisah dari Gereja karena masalah kaum “lapsi” tadi. Aliran yang dilawan dalam tulisan-tulisan Kiprianus ini adalah aliran “Novatianisme” yang didirikan oleh “Novatianus” yang berada di Roma. Novatianus menyebut alirannya sebagai “ Gereja Murni”. Kiprianus membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu dengan menekankan perlunya “mata-rantai rasuliah” dalam ajaran dan “mata-rantai rasuliah” dalam pentahbisan para episkop dalam melawan apa yang disebut sebagai gereja-gereja “murni” yang hanya bersifat rohani yang abstrak dan tak nampak mata dari orang yang merasa dirinya lebih baik dari Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu,serta yang mengangkatangkat diri sendiri ini. Dia menekankan bahwa Gereja Kristus itu ada bagi penyembuhan orang berdosa, dan Kiprianuslah yang mengatakan juga bahwa “extra ekklesia nulla salus est “ ( diluar Gereja,- yaitu diluar persekutuan kongkrit dari ummat yang percaya secara pribadi kepada Kristus dibawah pimpinan rohani Episkop dan berlandaskan suksesi rasuliah disekitar meja perjamuan kudus dan pemberitaan firman oleh presbyter – tidak ada keselamatan ). Abad ketiga ini menyaksikan juga perkembangan theologi secara formal dengan didirikannya sekolah theologia di Alexandria, Mesir oleh Pantaenus dan Klemen dari Alexandria ( meninggal kira-kira tahun 215 ). Yang akhirnya dikepalai oleh seorang penulis, sarjana, dan theoloog termasyhur: Origenes ( meninggal tahun 253). 8 Theologi Alexandria ini menekankan bahwa filsafat Yunani yang non-Kristen itu dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Injil. Dan ciri khas dari pendekatan Alexandria ini adalah tafsiran secara alegoris terhadap Kitab Suci, sedangkan dalam tradisi Syria-Antiokhia yang tak lama kemudian akan berkembang adalah tafsiran harafiah berdasarkan tata-bahasa dan sejarah penulisan Kitab Suci. Kedua pendekatan ini akhirnya akan bertemu dalam konflik, pada abad-abad berikutnya. Karya Origenes itu sangat luar biasa dan tak terhitung jumahnya. Dialah yang pertama kali mengadakan kajian sistimatis dan sastrawi dari bukubuku dalam Alkitab. Karya Origenes ini akan menjadi fondasi karya-karya theologia para bapa-bapa Gereja Yunani pada abad-abad berikutnya. Namun demikian secara ajaran banyak pendapat Origenes yang ditolak oleh Gereja, karena tak Alkitabiah dan tak rasuliah, sehingga pada Konsili Ekumenis V (tahun 553), beberapa ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh Gereja. Diantara pakar-pakar theologia abad ke 3 yang harus disebutkan bersama dengan Tertulianus, Kiprianus, Klemen dan Origenes adalah Dionysius dari Alexandria ( wafat 265), Hippolytus dari Roma (wafat 235) Gregorius Pelaku Mukjizat di Kappadokia ( wafat 270) dan Methodios dari Olympus ( wafat 311) Orang-orang ini semuanya memperkembangkan theologia Kristen Orthodox terutama meletakkan landasan bagi pembahasan tentang Allah yang Esa dalam hubunganNya dengan Kalimatullah dan Rohullah sendiri yang terkenal sebagai ajaran Tritunggal Kudus yang dalam abad berikutnya akan menjadi pembahasan hangat dalam Gereja. Paulus dari Samosata dan Lukianus (Lusian) dari Antiokia terkenal akan ajaran bidatnya mengenai sifat ke-Tritunggal-an Allah. Mereka ini hidup pada akhir abad ketiga. Dari abad ketiga ini kita juga mendapatkan tulisan-tulisan yang menolong kita untuk melihat kehidupan liturgis dan kanonik dari Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik ini pada abad ketiga itu, yaitu: Pengajaran-Pengajaran Para Rasul dari Siria serta Tradisi Rasuliah karya Hippolytus dari Roma ( wafat tahun 235). Tulisan yang pertama itu memberikan peraturan-peraturan mengenal jabatan hirarkis serta praktekpraktek sakramental dalam Gereja Syria, serta menjelaskan pertemuan liturgis jemaat. Dan tulisan kedua menjelaskan hal yang sama yang berlaku di Gereja Roma dengan lebih panjang dan detail. Abad keempat dimulai dengan penganiayaan yang paling besar yang diarahkan kepada Gereja oleh Kaisar Diokletianus. Daftar Syuhada atau Martyr yang paling panjang berasal dari abad ini. Setelah surutnya Diokletianus, terjadilah perebutan kekuasan dalam Kerajaan Romawi. Pada tahun 312, Konstantinus menghadapi peperangan melawan Maxentius. Sebelum peperangan di Jembatan Milvianus di Roma, Konstantinus berdoa, serta mendapat penglihatan Salib Bersinar di langit dengan tulisan: Dengan Tanda Ini, Kalahkan. Dia memerintahkan para prajuritnya untuk mengenakan tanda salib ini pada perisai dan jubah mereka, Konstantinus memenangkan peperangan itu. Konstantinus segera bergerak untuk memberikan kebebasan kepada orang-orang Kristen, serta menunjukkan kecenderungannya kepada Iman Kristen. Sebelum kematiannya Konstantinus membangun suatu kota di Byzantium bagi ibu-kota yang baru dari Kerajaannya itu, dan kota itu disebut “Konstantinopel “ (kini:” Istambul”, di Turki) untuk menghormatinya. Konstantinus sendiri baru dibaptiskan diatas ranjang menjelang kematiannya pada tahun 337. Bersama dengan ibunya Maharatu Heleni, dia menemukan Salib Asli Kristus di Yerusalem, serta keduanya diakui sebagai orang suci dalam Gereja Orthodox sampai kini. Iman Kristen diakui sebagai agama resmi Kerajaan Byzantium pada tahun 380, oleh ketetapan Kaisar Theodosius. Dengan demikian Kekaisaran Romawi terbagi dalam dua bagian: Romawi Barat berpusat di Roma dan Romawi Timur berpusat di Konstantinopel. Pembagian Kerajaan menjadi Barat dan Timur ini, akhirnya membentuk perkembangan wilayah Gereja menjadi 9 Gereja Barat berpusat di Roma dan Gereja Timur yang berpusat di Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem.Sementara itu ummat Kristen Syria yang tinggal di Kekaisaran Persia, makin mengalami aniaya karena dicurigai sebagai antek musuh Kerajaan Persia, karena sekarang Kerajaan Romawi musuh bebuyutan Persia, telah menjadi Kristen: Kerajaan Byzantium. B. Zaman Konsili II. Masa Konsili –Konsili Agung Ekumenis Gereja Rasuliah Yang Satu dan Orthodox : abad ke IV ( tahun 325) s/d abad ke VIII (tahun 787). Pada saat pemerintahan Konstantinus ini Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta terbebas dari aniaya dari luar. Namun ketenteraman Gereja ini segera diganggu oleh munculnya bidat-bidat yang berasal dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran perpecahan Donatisme di Afrika Utara, yang dipimpin oleh Donatus, yang menolak Episkop terpilih di Karthago yang dianggap termasuk golongan “lapsi” pada saat penganiayaan zaman Diokletianus. Bukannya Konstantinus membiarkan Gereja untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dia menggunakan kekuatan militer untuk memihak, pada pertama kalinya pihak Donatis, dalam memaksakan keputusannya. Perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyappunahnya Gereja Afrika Utara (Libia, Moroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya. 1. Konsili Agung Ekumenis Pertama ( 325 Masehi) di Nikea dan Kedua (381) di Konstantinopel Kemudian muncul masalah dari Alexandria, Mesir. Arius seorang presbiter mengajarkan bahwa Allah yang Esa itu hanya Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi manusia Yesus Kristus, adalah makhluk pertama dan yang terluhur yang diciptakan Allah dalam wujud roh. Dibantu oleh ciptaan pertama ini Allah menciptakan ciptaan yang lain. Dia bukan Firman Allah (Kalimatullah) yang kekal yang berada satu di dalam Allah sejak kekal. Ajaran ini jelas bertentangan dengan ke-Esa-an Allah, sebab Allah Yang Esa, tak pernah dan tak mungkin dibantu oleh makhluk siapapun dalam mencipta, karena Dia mencipta langsung melalui FirmanNya sendiri yang berada satu di dalam DiriNya. Ajaran ini jelas mempersekutukan Allah dengan makhluk, inilah ajaran musyrik. Ajaran Arius yang disebut Arianisme ini ( yang di zaman modern ini dimunculkan kembali oleh Saksi-Saksi Yehuwah) menimbulkan keresahan dalam Gereja. Akhirnya sebagaimana di zaman Para Rasul, Gereja Rasuliah Purba yang Orthodox pada abad keempat inipun menyelesaikan masalah ini dalam Konsili, yang diadakan di kota Nikea pada tahun 325, dipanggil oleh raja Konstantinus. Seluruh pemimpin Kristen (dihadiri 318 Episkop) dari segenap “Oikumene” ( “dunia yang beradab”) dari Gereja yang satu dan tidak terpecahpecah itu, berkumpul mengadakan Konsili Agung yang pertama ini. Itulah sebabnya Konsili ini disebut “Konsili Ekumenis.” Setelah melalui doa dan pembahasan theologis yang mendalam berdasarkan iman rasuliah, Konsili menemukan rumusan berdasarkan data Kitab 10 Suci bahwa “Kalimatullah” (Logos), Firman, atau Anak Allah itu kekal dan ilahi, Dia diperanakkan (dikeluarkan dari dalam dzaat-hakekat) dari Bapa sendiri sejak kekal, bukan dijadikan dan bukan diciptakan. Dia berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa yang satu itu. Dia adalah”homo-ousios” ( = satu dzat-hakekat, satu essensi) dengan Bapa. Dengan demikian Dia adalah “Allah Sejati”, karena Dia adalah Firman Allah/Kalimatullah yang sejati, yang keluar dari “Allah Sejati” (Sang Bapa), yang melaluiNya (sebagai Firman Allah) segala sesuatu dijadikan oleh Allah. Firman Allah yang kekal dan yang sama inilah, tanpa meninggalkan kesatuannya dalam Dzat-Hakekat Allah telah diutus turun ke bumi oleh Allah, mengambil daging kemanusiaan, dan lahir sebagai manusia dari Sang Perawan Maryam oleh Kuasa Roh Kudus, sebagai manusia Yesus Kristus (Yoshua HaMasiah, Isho de-Mesiha, Isa Almasih): Mesias Israel dan Juru Selamat dunia. Namun keputusan Konsili ini tidak segera diterima oleh seluruh Gereja sampai masa waktu yang lama. Pertikaian mengenai pribadi Kristus terus berlanjut, sehingga banyak konsili-konsili lokal diadakan untuk membahas masalah ini. Pihak Arianisme mendapat dukungan kuat dari kekuasaan pemerintah, sedangkan para pembela Iman Orthodox sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Konsili Nikea itu sangat dianiaya dan dibunuh oleh pemerintah dan pendukung-pendukung bidat Arianisme ini. Masalah ini berlanjut sampai tahun 381, ketika diadakan Konsili Ekumenis yang kedua di Konstantinopel, untuk menyelesaikan masalah bidat baru yang dimunculkan oleh Makedonius, yang disebut bidat Makedonianisme. Makedonius mengajarkan bahwa Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri itu bukan ilahi dan tidak kekal. Dia hanya daya-aktif Allah saja (seperti yang juga diajarkan Saksi-saksi Yehuwah). Berdasarkan data-data Kitab Suci dan Iman Rasuliah yang selalu dipelihara Gereja Orthodox ini, maka Konsili mendeklarasikan bahwa Roh Kudus itu adalah ilahi (“Tuhan”), yang “keluar dari Bapa” berarti berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa bersama Firman Allah sendiri, sehingga “ bersama Bapa dan Putra” artinya sebagaimana Putra sebagai Firman Allah sendiri itu berada satu dalam Hakekat Bapa, demikianlah Roh Kudus sebagai Roh Allah sendiripun satu bersama kesatuan Putra dalam Bapa, dalam satu Hakekat Ilahi yang sama “ disembah dan dimuliakan”. Demikianlah keilahian Firman Allah/Putra dan Roh Allah/Roh Kudus ditekankan namun ke-Esa-an Allah tak dilanggar. Karena baik Firman maupun Roh itu berada satu di dalam hakekat Allah (Bapa) yang hanya satu itu. Pada saat inilah rumusan Konsili Pertama dan Kedua ini baru diteguhkan kembali menjadi satu rumusan Pengakuan Iman (Syahadat), yang menjadi Pengakuan Iman Orthodox sampai sekarang dengan nama “Pengakuan Iman (Syahadat) Nikea”. Para tokoh spiritual (bapa-bapa Gereja) yang sangat berjasa membela Iman Rasuliah yang Orthodox, menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat ini adalah Bapa “Aghios Athanasius Agung” Episkop dari Alexandria,Mesir (meninggal tahun 373) yang banyak mengalami aniaya dari kelompok Arianisme dan pemerintah, serta tiga Episkop dari Kappadokia (Asia Kecil) Bapa“ Aghios Basilius Agung” (wafat: 379), saudara laki-lakinya Bapa“ Aghios Gregorius dari Nyssa” serta sahabat mereka berdua Bapa “Aghios Gregorius Nazianzus Pakar Theologia” (wafat:389). Mereka ini banyak menderita aniaya dari pemerintah dan pengikut Arianisme, namun tanpa takut mereka menjelaskan Iman Kristen yang sejati tentang Keilahian Kristus dan Roh Kudus di dalam kesatuan hakekat dari Allah yang Esa (Bapa), yang sampai sekarang tetap menjadi standard aqidah ajaran dan theologia Gereja Orthodox. Pada saat pertikaian Arianisme ini Gereja tidak berhenti dalam menyebarkan Injil, sehingga seorang rohaniwan yang bernama Ulfilas dikirim dari Gereja Timur di Konstantinopel untuk menginjili suku-suku bangsa Jerman dan menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa itu. Namun karena yang mendapat dukungan pemerintah saat ini adalah kelompok Arianisme, yang diajarkan kepada suku-suku Jerman ini adalah 11 theologia Arius mengenai Kristus. Baru kemudian ketika suku-suku yang sudah menjadi Kristen namun yang mengikuti bidat Arianisme ini mulai menyerang Roma, mereka secara pelan-pelan mengikuti ajaran Orthodox yang waktu itu dipelihara oleh Gereja Roma juga, sehingga pada abad-abad kemudian mereka menjadi Roma Katolik. Dalam Konsili Nikea itu ditetapkan sebagai “Hukum Kanon” bahwa Gereja Roma itu menjadi yang utama untuk seluruh Gereja Barat di Eropa barat, Gereja Alexandria untuk seluruh Afrika, dan Gereja Antiokhia untuk Syria dan seluruh daerah Timur, jadi termasuk Gereja di Persia dan India (Kanon 6), dan keluhuran Gereja Yerusalem sebagai asal-usul munculnya Iman Kristen diakui (Kanon 7). Sedangkan dalam Konsili kedua di Konstantinopel suatu Hukum Kanon ditegaskan bahwa:” Episkop Konstantinopel akan memiliki prerogatif kehormatan sesudah Episkop di Roma, karena Konstantinopel adalah Roma Baru” ( Kanon 3). Masing-masing pusat Kekristen yang berjumlah lima (Pentarkhi) ini dipimpin oleh Episkop yang bergelar Paus,dari kata Pappas = Bapak (terutama Roma dan Alexandria) atau Patriarkh, dari kata Pater =Bapak, Arkhi = Pemimpin. Kanon tentang Konstantinopel ini nantinya menjadi suatu persaingan kedudukan antara Gereja Alexandria yang tadinya berada di tingkat kedua sesudah Roma, dan sekarang Konstantinopel sebagai Ibukota Kerajaan yang baru harus menduduki tempat itu. Pada saat ini di Antiokhia juga telah berkembang tradisi theologia yang berbeda pendekatannya dari Alexandria. Jika Alexandria menekankan “alegori”, maka Antiokhia lebih menekankan pendekatan “literal, tata-bahasa, dan kesejarahan” atas Kitab Suci. Sehingga dalam Kristologi Alexandria lebih menekankan keilahian Kristus, Antiokhia lebih menekankan kemanusiaan Kristus. Sayang Siria dan Mesir harus konflik nantinya, padahal keduanya seharusnya saling mengisi, dan merupakan dua sisi yang utuh bagi pendekatan atas Kitab Suci. Pada saat ini Gereja Syria di Persia sedang mengalami penganiayaan yang hebat di bawah para shah (raja) Persia ( 340-363, 379-401). Pada abad keempat ini terjadi juga perkembangan liturgis, yaitu dari Liturgi Yakobus yang awal yang berasal dari Yerusalem danm Siria maka doa-doa telah ditambahkan ke dalamnya jadilah doa-doa Liturgi Aghios Basilius Agung dan Liturgi Yohanes Krisostomos (wafat: 407), yang sampai sekarang menjadi Liturgi-Liturgi utama Gereja Orthodox. Dari kotbah katekisasi dari Aghios Yohanes Krisostomos dan Aghios Kyrillos dari Yerusalem (wafat: 386) terlihat bahwa Sakramen Baptisan dan Krisma (Pengurapan) yang dirayakan pada abad keempat itu hampir tak berubah sedikitpun tetap dilaksanakan oleh Gereja Orthodox masakini. Pada saat ini Puasa Paskah 40 hari (Catur Dasa) dan Perayaan Paskah seperti yang tetap dirayakan oleh Gereja Orthodox masakini itu sudah betul-betul mapan. Disamping itu kita juga menyaksikan pada abad keempat ini perkembangan kehidupan kerahiban yang sedang memekar terjadi di Mesir - dipimpin oleh Aghios Antonius Agung – dan di Syria (rahib-rahib Syria inilah yang nantinya banyak dijumpai Nabi Muhammad di padang-padang gurun dalam perjalanan perdagangannya dari Mekah ke Syria, dan banyak mempengaruhi pendapatnya mengenai Kekristenan dan keagamaan pada umumnya) serta Eropa Barat. Diantara para rahib suci dari zaman ini yang berasal dari Timur adalah: Paulus dari Thebes (Mesir), Pakhomius ( Mesir), Hilarion, Sabbas (Palestina), Makarius dari Mesir, Epiphanius dari Siprus, dan Efraim dari Syria. Sedangkan rahib suci dari Barat pada saat ini adalah: Yerome, Yohanes Kassianus, serta Martinus dari Tour. Para Episkop Suci terkenal dari abad keempat ini adalah: dari Timur Aghios Nikholas dari Myra di Lysia ( yang budaya Barat mengubah dia menjadi tokoh mythologis “Santa Claus” /Sinter Klaas), Aghios Spyridon, dan dari Barat adalah Santo Ambrosius dari Milano, Itali. 12 2. Konsili Agung Ekumenis Ketiga (431) di Efesus dan Keempat (451) di Kalsedonia. Sejak keputusan Konsili kedua tentang kedudukan Konstantinopel. Alexandria selalu berusaha untuk menyaingi Konstantinopel. Secara kebetulan pada abad kelima ini yang menjadi Patriarkh di Konstantinopel adalah seorang Syria dari Antiokhia, bernama: :Nestorius. Sebagai seorang Syria maka tradisi theologia Antiokhialah yang digunakan untuk memahami Kristologis, yaitu tradisi yang menekankan kemanusiaan Kristus.Maka Nestorius lebih menekankan kemanusiaan Kristus, sehingga menolak gelar “Theotokos” ( “Sang Pemberi Lahir Secara Daging kepada Allah” yaitu Kalimatullah yang menjelma) yang telah beratus tahun digunakan di Gereja untuk menyebut Maryam. Menurut Nestorius yang dilahirkan Maryam hanyalah seorang “manusia” yang di dalamnya “Kalimatullah/Firman Allah” itu bersemayam, jadi bukan Kalimatullah/Firman Allah itu sendiri yang menjadi manusia, bertentangan dengan apa yang telah diakui dalam kedua konsili sebelumnya. Kesempatan ini digunakan oleh Gereja Alexandria sekaligus untuk menghantam tradisi theologia Antiokhia dan kedudukan Konstantinopel yang dianggap menggeser kedudukan Alexandria itu, melalui Aghios Kyrillos dari Alexandria. Dia ingin menjatuhkan Nestorius sebagai Patriarkh Konstantinopel, dengan demikian mempermalukan Konstantinopel, serta melawan pemahaman theologianya dengan demikian menentang pemahaman Syria, Antiokhia, yang kebetulan kali ini Kristologi Nestorius itu memang tidak Alkitabiah, dan tidak rasuliah. Dan inilah kesempatan yang baik. Jadi sebenarnya konflik ini adalah adalah konflik antara Mesir dan Syria (bukan dengan unsur Yunani dalam Gereja Timur itu). Aghios Kyrillos menegaskan, bahwa memang layak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”,karena Dia yang dilahirkan olehnya adalah “Firman” yang adalah “Allah”, yang “telah menjadi manusia” (Yohanes 1:1,14). Jadi Firman Allah itu sendirilah yang dilahirkan dalam penjelmaanNya sebagai manusia, maka Maryam memang melahirkan Firman Allah dalam penjelmaanNya sebagai manusia. Jadi Maryam memang “Theotokos”. Para pengikut Nestorius menolak tunduk dan bertobat pada peringatan Aghios Kyrillos ini. Sehingga dipimpin oleh Aghios Kyrillos sendiri pada tahun 431, di Efesus, sejumlah kecil Episkop mengadakan Konsili untuk meneguhkan ajaran Gereja Alexandria serta menolak ajaran theologia Syria, dari Nestorius ini. , dimana ditegaskan bahwa Maryam adalah Theotokos, karena yang dilahirkan Maryam tak lain adalah “Firman Allah” yang sama dan yang satu yang menjelma menjadi manusia. Baru pada tahun 433 sajalah keputusan Konsili ini diterima oleh segenap Episkop Timur, dan akhirnya diakui sebagai Konsili Ekumenis Ketiga. Sementara itu Gereja Syria di Persia akibat penganiayaan para shah yang begitu kejam akibat provokasi dari para Majus atau pemimpin Agama Zoroaster penyembah api itu, karena dicurigai menjadi antek Byzantium yang beragama Kristen, musuh bebuyutan Persia itu, memutuskan untuk memiliki Patriarkh sendiri, lepas dari Antiokhia, karena Antiokhia berada dalam wilayah Byzantium. Dan untuk meyakinkan Shah Persia bahwa mereka bukan antek Byzantium, maka secara alamiah mereka menerima theologia Syria dari Nestorius, karena selama ini Gereja Syria, di Persia, memang menghormati tulisan-tulisan Theodoros dari Mopsuestia, guru dari Nestorius. Demikianlah meskipun Nestorius akhirnya meninggal sebagai rahib di padang gurun Libia, ajarannya tetap dipertahankan oleh Gereja Syria di Persia. Maka Gereja Syriapun terpecah menjadi dua, yaitu di Syria Barat yang mengikuti definisi dari Kyrillos dari Alexandria dan di Syria Timur yang mengikuti definisi Nestorius, orang Syria itu. Sejak saat itu Gereja Syria Timur ini terkenal dengan nama Gereja Nestorian, meskipun sebenarnya mereka sendiri tak pernah menyebut diri mereka demikian. Ajaran 13 mereka sebenarnya tak sejauh Nestorianisme yang dituduhkan pada mereka, dan praktekpraktek mereka tak beda dengan praktek-praktek Gereja Orthodox.. Sehingga ada beberapa sarjana modern yang menyebut mereka sebagai Gereja Orthodox Pre-Kalsedonia. Dan Gereja Persia yang sebenranya merupakan bagian dari Gereja Orthodox Antiokhia ini menjadi Gereja yang amat misioner, sehingga sampai mengabarkan Injil di Cina, dan bahkan pada abad ketujuh di Indonesia : di Pancur dan Barus, Sumatra, bahkan ada berita bahwa mereka juga ada di Kerajaan Majapahit. Keputusan dari Konsili Ketiga ini memang tidak langsung diterima oleh semua pihak, karena masih timbul kontroversi mengenai ajaran Aghios Kyrilos ini. Kebanyakan Episkop di Timur mengkhawatirkan ajaran Aghios Kyrillos ini tidak secara memadai menyatakan kemanusiaan Kristus yang sejati. Namun setelah saling berdialog tercapailah pengertian dan persetujuan bersama mengenai apa yang dimaksud oleh Aghios Kyrillos. Namun sesudah wafatnya, seorang rahib bernama Eutyches, mengajarkan bahwa yang dimaksud oleh Kyrillos adalah bahwa Kristus hanya memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) saja, yaitu kodrat Ilahi, sebab kodrat manusiaNya ditelan oleh kodrat ilahiNya. Ajaran ini menimbulkan kegelisahan kembali di dalam Gereja. Para pembela ajaran ini mengadakan Konsilinya sendiri bersama Patriarkh Dioskoros dari Alexandria dan Eutykhes pada tahun 449 di Efesus, dan mereka menganggap bahwa mereka pengikut ajaran Kyrillos yang setia. Konsili ini diikuti oleh sejumlah besar Episkop, namun tidak diterima sebagai Konsili yang sah, malah disebut sebagai “Latrocinium” atau “Konsili Para Perampok”. Ajaran tentang Kristus hanya memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) ini akhirnya terkenal sebagai ajaran Monofisitisme, yang ditolak oleh Gereja dan dinyatakan bidat. Untuk memecahkan masalah ini maka suatu Konsili yang lain diadakan pada tahun 451, di kota Kalsedonia, dekat Konstantinopel. Konsili ini dikenal dalam Gereja sebagai Konsili Ekumenis Keempat, dan berhasil`membela ajaran Aghios Kyrillos dari Alexandria serta ajaran Konsili Ekumenis Ketiga di Efesus tahun 431. Ini juga memuaskan tuntutan para Episkop Timur mengenai kemanusiaan Kristus yang sejati yang secara jelas harus diakui. Definisi dogmatis dari Konsili Kalsedonia ini mengikuti secara dekat ajaran yang dirumuskan oleh Paus Santo Leo dari Roma, yang tidak turut hadir dalam Konsili itu, namun hanya mengirim wakil-wakilnya. Menurut definisi Konsili Kalsedonia ini Kristus itu memiliki “satu hypostasis” ( menegaskan tradisi theologia Alexandria) dalam “dua kodrat” ( menegaskan tradisi theologia Syria, Antiokhia) – ilahi dan manusiawi. Dia sepenuhnya Ilahi. Dia sepenuhnya manusia. Dia Allah sempurna dan manusia sempurna. Sebagai Allah (yaitu:Firman Allah) Dia “satu Dzat-Hakekat/Essensi” dengan Sang Bapa (Allah yang Esa) dan dengan Roh Allah sendiri. Dan sebagai manusia, Dia satu “hakekat/ esensi” dengan segenap manusia. Keilahian dan kemanusiaan Kristus itu menyatu/manunggal dalam satu hypostasis /pribadi namun tidak campur-baur dan tidak kacau-balau dan tidak terpisah-pisah serta tidak terbagi-bagi. Kristus itu satu pribadi yang sekaligus Allah dan Manusia. Para pengikut Kyrillos yang ekstrim menolak definisi Kalsedonia ini karena dianggap berbau Nestorianisme, suatu tuduhan yang tidak tepat dan tidak fair memang. Mereka menegaskan bahwa Kristus hanya memiliki “satu kodrat” saja, meskipun kodrat itu telah menjelma, padahal menurut mereka Konsili ini mengatakan Kristus memiliki “dua kodrat” yang dianggap sebagai kesesatan Nestorius, namun mereka tidak menggabungkan bahwa “dua kodrat” itu dalam satu pribadi, atau satu hypostasis, yang jelas tak bersangkutan dengan 14 ajaran Nestorius. Demikianlah mereka ini akhirnya memisahkan diri dari Gereja Orthodox alur utama. Para pendukung Konsili Kalsedonia akhirnya mengangkat Patriakh Kalsedonia di Mesir : Proterius (452-457), penentang Kalsedonia memilih Patriarkh tandingan mereka, yaitu Timotius Si Kucing. Sejak itulah Gereja Mesir terpecah dua, yang Orthodox Kalsedonia yang tetap bersatu dengan seluruh Gereja universal, dan yang menolak Kalsedonia, yang kemudian terkenal dengan Gereja Koptik Orthodox, serta mengikuti faham “satu-kodrat” (monophysis). Demikian juga di pihak Syria, ada yang mengikuti langkah Gereja Alexandria dalam memeluk faham “satu-kodrat” ini. namun ada yang tetap dengan Gereja Universal yang menerima Konsili Kalsedonia. Dengan demikian Gereja Syria sebelah Barat terpecah lagi antara yang “Orthodox” ( kaum Monophysit, menyebut Gereja Syria yang Orthodox ini sebagai: Malkaya/Melkit, atau para pengikut Raja/Malak) dan yang “Monophysit”. Pihak Monophysit ini oleh perjuangan Yakub Burdana ( Yakub Baradeus) berhasil mengorganisasi suatu lembaga kegerajaan Syria Monophysit, yang akhirnya terkenal dengan nama Gereja Syria Orthodox atau Gereja Yakobit. Gereja Yakobit Syria, inilah yang di Indonesia dipopulerkan dengan nama “Kanisah Orthodox Syria” oleh Yayasan Study Orthodox Syria, pimpinan saudara Bambang Noorsena, sesudah ia keluar dari keanggotaannya, yang pada saat itu bersama dengan Pdt. Yusuf Roni, dalam Gereja Orthodox Indonesia. Sedangkan yang Orthodox alur utama tetap melanjutkan Kepatriarkhan Syria Antiokhia yang memiliki hubungan dengan Gereja-Gereja Aleksandria Orthodox, Konstantinopel, Yerusalem, dan Roma. Gereja Armenia karena sedang menghadapi perang dengan Persia sehingga tak terwakili dalam Konsili Kalsedonia, menolak hasil Konsili itu serta mengikuti faham “satu-kodrat”, demikian pula Gereja Thomas India yang terkait dengan Gereja Persia dan Gereja Syria, dan Gereja Ethiopia yang terkait dengan Gereja Koptik. Lima Gereja ( Koptik, Syria-Yakobit, Armenia, Thomas-India, dan Ethiopia) inilah yang dalam buku-buku sejarah Gereja terkenal dengan nama :Gereja-Gereja Monofisit, atau pada masakini akibat hubungan-hubungan ekumenis, untuk menghormati mereka disebut sebagai Gereja-Gereja Oriental Orthodox, atau Gereja-Gereja Timur Alur Kecil, atau Gereja-Gereja Orthodox Non-Kalsedonia. Sedangkan Gereja Orthodox Alur Utama, disebut Gereja Orthodox Timur, atau Gereja Orthodox Kalsedonia atau Gereja Orthodox Yunani. ( - Kata “Yunani” itu tak berarti menunjuk etnik Yunani, sama seperti “Roma” Katolik tak menunjuk pengikutnya sebagai bangsa Roma, namun untuk menunjuk ekspresi karya sastra theologis utama dari para bapa Gereja Timur adalah menggunakan bahasa Yunani, meskipun jika mereka itu berkebangsaan Syria misalnya Efraim dari Syria, Yohanes Khrisostomos, atau berkebangsaan Koptik, misalnya Athanasius dari Alexandria, Kyrilos dari Alexandria, Klemen dari Alexandria dan lain-lainnya, sebagaimana Gereja Barat menggunakan bahasa Latin, maka Gereja Baratpun sering disebut “Gereja Latin”.-) Meskipun sudah berkali-kali ada usaha untuk mempersatukan mereka yang memisah ini baik di zaman purba maupun pada zaman modern ini, namun mereka masih tetap terpisah dari Gereja Orthodox. Konsili Ekumenis yang Ketiga dan yang Keempat ini menetapkan beberapa Kanon yang bersifat disipliner dan bersifat praktis. Dalam Konsili Ketiga di Efesus, ada larangan membuat Pengakuan Iman yang lain, atau mengarang “Pengakuan Iman Yang Berbeda” (Kanon 7) dari apa yang sudah dirumuskan dalam Konsili I dan Konsili II. Kanon ini digunakan sebagai dasar bagi menentang penambahan atas Pengakuan Iman Nikea oleh Gereja Barat dengan kata “filioque” (“dan Sang Putra”) ketika berbicara tentang Roh Kudus. Menurut aslinya Roh Kudus itu keluar dari “Sang Bapa”, tetapi menurut tambahan filioque dari Gereja Barat ini, Roh Kudus itu keluar dari “ Sang Bapa dan Sang Putra”. Konsili 15 Keempat di Kalsedonia, memberikan Konstantinopel Ibukota yang baru atau Roma Baru itu “ kehormatan-kehormatan yang sejajar dengan ibukota Roma yang lama” , karena ibukota yang baru itu dihormati dengan adanya “kaisar dan senat” ( Kanon 28). Pada saat ini kita menyaksikan kemunduran di Gereja Barat dengan jatuhnya Roma ke tangan bangsa Barbarian. Masuknya Gereja Barat pada zaman ini ke dalam apa yang disebut “Zaman Kegelapan” sangat cepat terjadi setelah meninggalnya Agustinus, Episkop dari Hippo ( 430). Agustinus menulis banyak buku yang sangat mengundang perdebatan terutama di Gereja Timur, yang isinya sangat mempengaruhi seluruh sejarah Gereja Barat, baik yang Roma (Katolik) maupun yang Reformasi (Protestan), namun yang tak diterima oleh Gereja Timur. Sementara itu Gereja Timur masih sedang dalam zaman keemasan dan kejayaannya. 3. Konsili Agung Ekumenis Kelima ( 553) di Konstantinopel dan Konsili Agung Ekumenis Keenam (680-681) di Konstantinopel Pada abad keenam ini Kaisar Yustinianus menginginkan kesatuan Gereja dan kesatuan negara sekaligus. Oleh karena itu dia berusaha agar pihak Monofisit dapat disatukan kembali kepada Gereja Orthodox. Usahanya ini dengan mengadakan suatu Konsili di Konstantinopel (553), yang akhirnya diakui sebagai Konsili Kelima, dimana di dalam Konsili ini suatu tulisan yang disebut sebagai “Tiga Pasal” yang disenangi pendukung Kalsedonia, namun yang direndahkan oleh mereka yang menolak Kalsedonia, dikutuk Yustinianus secara resmi. Tulisan ini adalah tulisan dari Theodoret dari Cyrus, Ibas dari Edessa, serta Theodorus Mopsuestia yang semuanya adalah orang-orang Syria. Tetapi kutukan itu tak bisa diterima para pendukung Konsili Kalsedonia, sebab meskipun mereka tidak setuju dengan ajaran-ajaran yang salah dan kabur dari tiga penulis ini, namun tidak ada alasan untuk mengutuk mereka. Usaha Yustinianus untuk menyatukan pihak Monofisit ini akhirnya tak berbuah, dan pihak Monofisit sendiri tidak yakin untuk bisa menyatu kembali dengan Gereja Orthodox. Disamping menolak ajaran yang salah dan kabur dari “Tiga Pasal”, Konsili ini juga menolak beberapa ajaran Origenes dari Alexandria yang sangat tidak Orthodox, misalnya bahwa jiwa manusia sudah ada sebelum masuk kedalam tubuh jasmani untuk lahir di dunia ini, dan lain-lain. Dan Konsili ini menegaskan kembali rumusan Konsili Kalsedonia bahwa Yesus Kristus adalah “satu dari Tritunggal Kudus” (artinya: Dia Ilahi yang satu hakekat dengan Allah sendiri dan RohNya yang ada di dalam hakekat Allah). Dan Hypostasis Kalimatullah yang satu dan yang sama inilah telah memanunggalkan secara "hypostatik" dalam DiriNya sendiri yang satu itu dua kodrat yang saling berlawanan: Allah dan Manusia., tanpa campur-baur (Yang Ilahi tidak menjadi Manusia, Yang Manusiawi tidan menjadi Ilahi) dan tanpa terpisah-pisah ( Yang Ilahi dan Yang Manusia manunggal secara tak terpisah dalam Satu Hypostasis).. Yustinianus sangat giat menyerang sisa agama kafir Yunani, serta menutup Universitas Athena dari pengaruh kafir Yunani, serta hanya mempromosikan ilmu-ilmu Kristen saja. Dia membangun banyak Gereja, terutama di Betlehem, Yerusalem, dan Gunung Sinai. Karyanya yang terbesar adalah Gereja Aghia Sophia, yang pernah dijadikan Masjid oleh bangsa Turki sejatuhnya Konstantinopel, dan sekarang menjadi Museum. Gereja Konstantinopel pada saat ini sudah menggunakan praktek-praktek liturgis yang telah dilakukan di Palestina dan Syria. Praktek Ibadah Gereja Konstantinopel saat ini, digabung dengan Ibadah Kristen Yahudi dari abad-abad awal 16 Kekristenan, serta sholat-sholat tujuh waktu yang telah berkembang di biara-biara, dan praktek-praktek Liturgis di Yerusalem. untuk membentuk suatu synthesis agung pertama kali dari ibadah Liturgis Gereja Orthodox. Sehingga biarpun Gereja Orthodox itu disebut sebagai Gereja Orthodox “Yunani”, namun ibadahnya dan aqidahnya adalah ibadah dan aqidah “Semitik” dari ujung kaki sampai ujung rambut. Di dalam pikiran orang-orang Kristen Timur pada abad keenam ini, Konstantinopel adalah Tahta Ke-Episkop-an yang pertama dalam “Sistim Pentarkhi” , yaitu : pertama Konstantinopel, sesudah itu baru Roma,Aleksandria, Antiokia dan Yerusalem. Sejak saat itu Patriarkh Konstantinopel memakai gelar “Patriarkh Ekumenis” yang tentu saja seperti yang dapat diduga Episkop Romalah yang menentang akan hal ini, terutama Paus Santo Gregorius Agung, yang mengkompilasi ‘Liturgi Pra-Sidikara”, yang tetap digunakan Gereja Orthodox sampai sekarang pada saat Puasa Catur Dasa, namun yang tak dikenal oleh Gereja Roma Katolik. Di Gereja Barat pada abad keenam ini, disamping Paus Gregorius Agung, Santo Benediktus dari Nursia (480-542) dan para muridnya sangat mempengaruhi sejarah selanjutnya Gereja Barat. Disamping itu Santo Columba dan Santo Agustinus dari Canterbury adalah misionaris-misionaris Gereja Barat yang bekerja di Inggris dan Irlandia. Pada tahun 589 di Toledo, Spanyol, Gereja Barat tanpa persetujuan Gereja Timur dan bertentangan dengan Kanon ketujuh dari Konsili Ekumenis Ketiga, menambah kata “filioque” pada Pengakuan Iman Nikea untuk menekankan keilahian Kristus dalam menghadapi Kaum Barbarian yang mengikuti faham Arianisme, karena penginjilan Ulfilas yang telah kita sebut sebelumnya. Namun tambahan ini mengakibatkan dampak yang sangat tidak kecil bagi Sejarah Gereja. Sementara itu di Semenanjung Arabia Sang Bayi Muhammad yang nantinya akan menjadi Nabi besar bagi agama Islam telah lahir pada abad keenam ini (tahun 570). Semenanjung yang mana dikelilingi oleh orang-orang Kristen Timur (Non-Kalsedonia/Monofisit di Mesir maupun Ethiopia yang mempunyai Koloni di Yemen, serta Monofisit di Syria Barat, dan Pre-Efesus/ Gereja Timur Assyria/ Nestorian di Persia, serta Orthodox/Kalsedonian yang banyak melakukan perdagangan di Semenanjung Arab) dan orang-orang Yahudi terutama di Madinah. Ketika lahirnya bayi Muhammad sudah dalam keadaan sebagai anak-yatim, pada masa kecil dia diasuh oleh kakeknya AbdulMuttalib, setelah kakeknya meninggal diasuh pamannya Abu Thalib yang sering berdangang ke Syria. Dan kanak-kanak Muhammadpun diajak dalam perjalanan dagang ini. Dalam pergaulannya berdagang ini Muhammad yang masih muda itu banyak bertemu dengan orang-orang Kristen Timur, yang biarpun dalam rumusan Kristologinya berbeda antara Orthodox, Monofisit, dan Nestorian ini, namun praktek ibadahnya dan ethos kehidupannya tak banyak beda satu sama lain. Mendengar dan memperhatikan dari mereka inilah akhirnya Muhammad melestarikan banyak hal dari apa yang dijumpai dari agama-agama terdahulu ini dalam agama Islam, sehingga hal ini menerangkan banyaknya kemiripan-kemiripan antara praktek-praktek Iman Kristen Orthodox dan agama Islam. Menginjak abad ketujuh, muncullah tulisan yang mengatas-namakan diri sebagai ditulis oleh Dionysius dari Areopagus, murid Rasul Paulus. Tulisan ini diterima dengan tangan terbuka baik oleh mereka yang menolak Konsili Kalsedonia (Monofisit), maupun pembela Konsili Kalsedonia (Orthodox). Namun dalam tulisan Dionysian ini ada mengandung ajaran yang bermasalah yaitu bahwa Yesus Kristus, Firman Allah/Anak Allah yang menjelma itu, hanya memiliki satu kehendak dan tindakan insani -ilahiah atau ilahi-insaniah saja, yang sama sekali membaurkan dua kegiatan dan tindakan yang berbeda dari kodrat ilahiNya dan kodrat manusiawiNya. Ajaran ini disebut sebagai monothelitisme ( artinya: Kristus hanya memiliki 17 satu kehendak insani-ilahiah/ilahi -insaniah) atau mononergisme ( artinya: Kristus hanya memiliki satu tindakan, kegiatan atau energi insani-ilahiah/ilahi-insaniah saja). Banyak yang berharap bahwa rumusan ini akan mempersatukan kembali perpecahan kaum Monofisit kepada Gereja Orthodox. Namun harapan itu tak pernah terjadi, karena ajaran ini ditentang mati-matian oleh Aghios Maximos Sang Pengaku Iman (wafat: 662) dari Konstantinopel, yang umurnya 10 tahun lebih muda dari Muhammad, serta Paus Santo Martin dari Roma (wafat: 665). Menurut keduanya ini Kristus memiliki kepenuhan kehendak, energi, tindakan, dan perbuatan ilahi, yang satu dan sama dengan kehendak Bapa dan RohNya. Namun Kristus juga memiliki kepenuhan kehendak, energi, tindakan, dan perbuatan manusiawi yang sama dengan semua manusia lainnya. Keselamatan itu terjadi dalam fakta bahwa Yesus Kristus sebagai manusia sejati, secara bebas dan secara sukarela menyerahkan kehendak manusiawinya ( yang persis sama dengan kehendak segenap manusia lainnya) kepada kehendak ilahiNya ( yang adalah kehendak Allah sendiri). Sehingga Anak Allah yang ilahi ini menjadi manusia yang nyata dan sejati dengan kehendak manusiawi yang nyata dan sejati, sehingga sebagai manusia yang nyata Dia dapat memenuhi “seluruh kebenaran Allah” dalam ketaatan yang sempurna dan sukarela kepada Sang Bapa. Melalui tindakan manusiawiNya yang nyata itulah Yesus Kristus membebaskan semua manusia dari dosa dan maut sebagai Adam yang Baru dan yang terakhir. Aghios Maximos dan Santo Martin sangat menderita sekali dalam penganiayaan pemerintah karena menentang bidat monothelitisme ini. Mereka dipenjara, disiksa, dan lidah Maximos dipotong agar tidak bisa berkotbah oleh kekuasaan pemerintah yang sangat ingin menggunakan monothelitisme sebagai jalan menyatukan kembali kaum Monofisit. Namun akhirnya ajaran kedua orang suci inilah yang menang. Konsili Ekumenis Keenam yang diadakan di Konstantinopel tahun 680-681 meneguhkan secara resmi ajaran mereka dan secara resmi pula menghukumkan Patriarkh Sergius dari Konstantinopel, serta Paus Honorius dari Roma yang mengajarkan monothelitisme, bersama semua pendukung mereka. Di kalangan ummat Syria ada yang memegang teguh ajaran ini, terutama yang dipimpin oleh Rahib Maron, dan memisahkan diri dari Gereja, sehingga mereka disebut ummat Maronit yang sampai sekarang masih banyak kita jumpai di Libanon, namun yang sudah menggabung dengan Gereja Roma Katolik sejak zaman Perang Salib. Sehingga, makin terpecah lagilah Gereja Syria ini. Aghios Maximos menulis buku-buku rohani yang mendalam pada saat ini, demikian pula Aghios Yohanes Klimakus dari Gunung Sinai menulis “Tangga Naik ke Yang Ilahi” serta Aghios Andreas dari Kreta mencipta Kidung Kanon Pertobatan, yang masih tetap dilagukan dalam Gereja Orthodox pada saat Masa Puasa Agung Catur Dasa. Nabi Muhammad sedang ditengah-tengah misinya untuk menyebarkan dan menegakkan agama Islam, ketika Byzantium dibawah Kaisar Heraklius berperang melawan Persia, serta merebut Salib asli yang dirampas mereka, lalu dibawa ke Konstantinopel. Kedatangan Salib itu disambut meriah, sehingga dilestarikan dalam pesta Gereja Orthodox sebagai “Pesta Pengangkatan Salib” setiap tanggal 14 September. Kekaisaran dalam keadaan terkuras habis tenaganya karena perang melawan Persia ini, sehingga sewafatnya Nabi Muhammad, ketika daerah-daerah Byzantium di Mesir, Palestina dan Syria direbut Islam tak banyak yang dapat dilakukan. Disamping itu ummat Monofisit yang sangat banyak di daerah itu memang membenci Byzantium karena Iman Kalsedonian mereka. Sehingga ketika Islam muncul tak ada perlawanan dari mereka, sebaliknya mereka yang mengundang tentrana Muslim untuk bersama-sama melawan Byzantium, karena dianggap dengan berada di bawah Islam mereka bebas dari tekanan Byzantium. Hal yang terbukti salah di kemudian hari, yang effeknya masih 18 dapat dirasakan sampai sekarang.. Demikian juga sikap ummat Nestorian di Persia. Islam diharapkan membebaskan mereka dari tekan Shah Persia, dan merekapun ternyata keliru. Dalam tingkat non-politik Byzantium dan Islam mempunyai hubungan yang baik, misalnya para pedagang Arab justru dibangunkan Mesjid untuk mereka beribadah di Konstantinopel dan mereka tak pernah dipaksa menjadi Kristen. Kalifah al-Ma’mun mengadakan hubungan yang baik dengan Kaisar Byzantium terutama dalam hal mendapatkan nashak-naskah Yunani dan klasik yang akan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Orang-orang Kristen Byzantium secara tingkat sosial saling mengadakan kontak dengan kaum Muslim. Karena sikap kaum Monofisit dan Nestorian inilah sebabnya mengapa dengan mudah daerah-daerah Kristen Orthodox itu ditaklukkan Islam karena memang tidak ada perlawanan dari penduduk setempat, malah mereka diundang oleh kaum Monofisit di Mesir, Syria, dan Libanon serta kaum Nestorian di Irak dan Persia. Karya Konsili Kelima dan Konsili Keenam ini dilanjutkan lagi di Konstantinopel, di ruangan berkubah (Trullo) dari istana Kerajaan untuk membahas peraturan 102 buah Hukum Kanon, yang disebut Kanon Konsili Quinisext (Kelima-Keenam). Dalam Hukum Kanon ini ditegaskan orang menikah boleh ditahbis jadi diaken dan kemudian presbyter, namun yang sudah ditahbis tak boleh menikah jika tadinya tidak menikah. Dan hanya orang yang tidak menikah saja yang harus jadi Episkop. Ditetapkan juga batas umur orang yang akan ditahbis, serta larangan rohaniwan berpartisipasi dalam politik atau dalam perekonomian. Juga larangan orang awam masuk ke Ruangan Mezbah tanpa perlu, serta melarang perkawinan campuran, dan masih banyak lagi. 4.Konsili Ekumenis Konstantinopel Ketujuh dan Terakhir (787 ) di Pada saat abad kedelapan ini kekalifahan Islam sudah tersebar di seluruh Timur Tengah, dan Byzantium telah sering mengalami serangan tentara kaum Muslimin Arab dari arah selatan. Syria yang berbatasan dengan Byzantiumpun sudah berada dibawah kedaulatan Islam. Kaum Muslimin tak henti-hentinya menyerang ajaran Tritunggal Kudus, Keilahian Kristus, Penyaliban, Kebangkitan, dan penggunaan Ikon (gambar-gambar agamawi) dalam Gereja. Gambar-gambar itu dianggap sebagai berhala, karena Islam memang anti-gambar. Serangan Islam ini sedikit-banyak mempengaruhi sebagian orang Kristen. Apalagi saat itu di Byzantium, sedang bangkit diantara kaum intelektual aliran filsafat Neo-Platonisme yang meremehkan benda jasmani dan menekankan hal yang bersifat “idea”. Ikon adalah benda jasmani, maka berdasarkan pandangan filsafat kafir ini, maka ikonpun direndahkan dan diremehkan. Kedua faham ini mempengaruhi Kaisar Leo III dari Isauria ( 717-741) dan Kaisar Konstantinus V ( 741-775), yang sudah lama ingin menaklukkan Gereja pada kehendak raja. Masalah ini digunakan sebagai alasan untuk menekan Gereja dan melarang penggunaan Ikon dalam Gereja. Setelah mengadakan sidang tahun 753 dan disitu dinyatakan bahwa Allah itu tak kelihatan jadi tak dapat digambar, sebagaimana pula argumentasi kaum Muslimin (dan beberapa ayat Alkitab yang melarang penggunaan patung, yang juga dilarang Gereja Orthodox) yang mempengaruhi argumentasi sidang tadi, maka perintah dikeluarkan bahwa semua gambar harus dihapus dan semua ikon dibakar. Perlawanan terhadap Ikon ini dikenal sebagai Gerakan Bidat Ikonoklasme. Memang Gereja Timur melarang penggunaan patung dari zaman purba sampai sekarang, namun sejak zaman katakombe ( 19 terowongan bawah tanah tempat persembunyian mereka dan digunakan untuk penguburan dan ibadah, pada saat zaman aniaya) telah menyatakan iman mereka dalam wujud simbolsimbol dan gambar-gambar, dan itulah permulaan ikon, yang asalnya berasal dari perintah Allah kepada Musa untuk membuat patung kerubim dan gambar-gambar kerubim di Kemah Suci, dan juga dilukisnya gambar-gambar semacam itu di Bait Allah yang dibangun Salomo (Sulaiman). Orang Kristen Orthodox yang mempertahankan penggunaan ikon dibunuh dan dianiaya oleh Kaisar ini, sehingga terjadi pertumpahan darah yang hebat diantara ummat Kristen Orthodox oleh aniaya tentara raja. Para Episkop banyak yang ditekan untuk secara resmi menentang penggunaan Ikon. Sehingga tahun 762 dan 775, terkenal sebagai “ dekade berdarah” dalam sejarah Gereja Timur ini, karena banyaknya orang Kristen Orthodox, terutama diantara para rahib yang dipenjara, disiksa, dan dibunuh karena mempertahankan Ikon itu. Gereja tidak hendak tunduk pada kehendak manusia, karena hanya Kristus, dan bukan Kaisar, itulah Kepala Gereja. Tuhan tidak berlama-lama membiarkan ummatNya menderita. Pada tahun 780 Maharatu Theodora naik tahta ( 780-802). Penganiayaan dihentikan dan Konsili diadakan di kota Nikea pada tahun 787 untuk membahas mengenai masalah Ikon ini. Inilah Konsili Ekumenis yang Ketujuh dan Terakhir dari Gereja Rasuliah Perjanjian Baru yang satu, yang secara tanpa putus berjalan dalam sejarah sampai abad kedelapan itu. Konsili ini menjelaskan makna Theologia Ikon, mengikuti penjelasan yang dilakukan oleh Aghios Yohanes Damaskinos (Yuhana Al-Mansyur) dari Damaskus Syria. Yuhana AlMansyur adalah anak seorang pegawai tinggi dari kalifah Islam di Damaskus, Syria. Diapun akhirnya diangkat menjadi pegawai tinggi dari kalifah Yazid di Syria ini. Entah karena apa dia tinggalkan karir duniawinya, dan masuk ke biara, serta akhirnya menjadi presbyter. Pada saat penganiayaan orang-orang Kristen Orthodox di Byzantium, Aghios Yohanes bebas dari aniaya itu karena dia hidup dalam wilayah Islam. Sehingga dia bebas menulis dan mengkritik para penentang Ikon tanpa ditangkap tentara raja. Argumentasi yang berdasarkan Alkitab dan Iman Rasuliah dalam tulisan Aghios Damaskinos inilah yang diikuti dalam Konsili Ketujuh ini. Inti terpokok Iman Kristen adalah Yesus Kristus. Dan Dia adalah “Firman yang Menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Dengan demikian Yesus Kristus adalah Firman Allah yang ber “Inkarnasi” ( “Mendaging”). Maka “Inkarnasi Kristus” sebagai Firman Allah itulah inti iman Kristen. Allah memang tak dapat dilihat, jadi tak dapat digambar apalagi dipatungkan. Itulah sebabnya Perjanjian Lama,- dan dalam hal ini sikap Al Qur’an juga - serta Iman Orthodox sendiri melarang Allah ( Bapa) digambar. Namun dalam Yesus Kristus, Allah melalui “FirmanNya” telah menjadi nampak, yaitu menjadi daging. Maka kedagingan dari kemanusiaan Firman itu sekarang dapat digambar untuk membuktikan bahwa Firman betulbetul jadi manusia. Disitulah tempatnya Ikon itu. Menolak Ikon berarti menolak bahwa betul-betul Yesus Kristus itu manusia, yaitu menolak Inkarnasi Firman Allah. Islam hanya percaya Firman Allah yang diturunkan menjadi Kitab: “Al-Qur’an” . Oleh karena itu penegasan makna Wahyu dalam Islam adalah dalam wujud “Kaligrafi” (“Tulis Indah Huruf Arab”), membuat ikon atau gambar dalam Islam memang akan bertentangan dengan inti kewahyuan Firman sebagai tulisan. Namun menolak “ikon” dalam Iman Kristen justru sebaliknya, karena itu berarti menolak kemanusiaan, kewujud-dagingan, dan Inkarnasi dari Firman Allah yang menjadi manusia itu. “Kaligrafi” (Tulis Indah Huruf Arab) dalam Islam itulah “Ikonografi” dalam Iman Kristen Orthodox. Karena yang ditekankan pada “ikonografi” itu justru adalah fakta “inkarnasi” serta fakta “kemanusiaan kongkrit” dari 20 Penjelmaan Firman Allah/Kalimatullah yang menjadi daging, maka Konsili dengan tegas mengatakan bahwa Allah (Bapa) dilarang diwujudkan dalam gambar apalagi dalam patung. Demikian juga berlaku bagi Roh Kudus, serta keberadaan Kristus sebelum jadi manusia. Dengan kata lain larangan hukum Musa untuk tidak menggambarkan Allah dalam bentuk apapun tetap dijaga dengan keras, namun fakta Inkarnasi dari Firman Allah menjadi manusiapun dijaga keras dengan ekspresi yang kongkrit dalam wujud “ikonografi”. Jelas ikon berbeda dari dan bukan merupakan berhala. Sebab berhala adalah penggambaran Allah secara bentuk makhluk dan diberi bakti dan sembah sebagai ilah, ikon bukan gambarNya Allah, dan tak diberi bakti seperti Allah sendiri. Dengan Ikon ditegaskan bahwa oleh Inkarnasi Firman Allah maka segala sesuatu yang jasmani sekarang dikuduskan oleh Kristus, yang jasmani ini terutama adalah ummat manusia yang telah ditebus dalam Kristus. Itulah sebabnya isi dari Ikonografi, bukan hanya Kristus saja, namun semua mereka yang menjadi dampak langsung dari Inkarnasi itu, yaitu para orang-orang yang telah dikuduskan oleh Kristus dalam Roh Kudus: Theotokos, para Nabi, para Rasul, dan segenap orang suci. Demikianlah ikonografi menjelaskan bahwa melalui Kristus yang adalah “ikon” (Gambar) dari Allah yang tak kelihatan (Kolose 1:15), segenap manusia yang ditebus olehNya dikembalikan kepada kodrat asli (“fitrah”) yang atasnya manusia diciptakan menurut “gambar (eikon, demuth) dan rupa (omoiousin, tselem) Allah “ ( Kejadian 1:26). Jadi pertentangan masalah Ikon bukanlah sekedar pertentangan masalah lukisan, dan bukan pula masalah berhala, namun masalah betulkah Firman Allah telah menjadi manusia, dan betulbetul berwujud jasmani, yang dengan begitu dapat dilukis, tanpa melanggar larangan penggambaran Allah dan keilahian yang tidak nampak itu. Pada abad ini Aghios Yohanes Damaskinos mencipta Kidung-Kidung Kanon Sembahyang Fajar Paskah dan Kidung-Kidung Dukacita untuk upacara penguburan dalam Gereja Orthodox serta Kidung Hasta-Nada yaitu kumpulan kidung-kidung yang menggunakan delapan Irama yang berbeda yang dilagukan secara berputar dalam tiap minggu, Semuanya ini tetap menjadi bagian ibadah Gereja Orthodox sampai sekarang. Juga dia menulis buku yang disebut “Exposisi Lengkap Iman Orthodox” yang merupakan pembahasan sistimatis seluruh doktrin Kekristenan Orthodox sejak zaman purba yang dapat ditemukan dalam bukunya “Sumber Ilmu-Pengetahuan”. Dia juga menulis buku polemik menyanggah tuduhan Islam. Pada saat abad kedelapan ini Gereja Barat mengalami banyak pertobatan dari suku-suku Barbarian. Pemberita Injil terbesar Gereja Barat pada abad ini adalah Santo Bonafasius ( wafat tahun 754). Untuk pertama kalinya pada abad Paus Roma menjadi pemimpinpemimpin duniawi yang menguasai tanah-tanah di Itali, serta mengadakan hubungan dengan raja-raja yang baru muncul dari keluarga Carolingian yang berasal dari suku-suku Barbar ini. Dari keluarga inilah Karel Agung muncul, yang pada tanggal 25 Desember 800 dimahkotai untuk mendirikan Kerajaan di Eropa Barat yang telah hilang, dengan nama Kerajaan Romawi Suci, jadi mengadakan perpecahan politik dengan Kerajaan Byzantium. Agar dapat mendirikan Kerajaan Baru dengan dukungan Paus Roma ini, maka Karel Agung menyerang keabsahan Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur. Dia menuduh Gereja Timur sebagai “penyembah berhala” karena sikapnya terhadap ikon, serta menuduh Gereja Timurlah yang menghilangkan “filioque” dari Pengakuan Iman yang ditambahkan oleh Konsili Toledo (tahun 589) dari Gereja Barat ini. Tuduhan-tuduhan ini termaktub dalam buku “Liber Carolini” yang telah diserahkan lebih dahulu kepada Paus Hadrianus I di Roma oleh Karel Agung, pada tahun 792. Namun pada tahun 808 Paus Leo III 21 mengadakan reaksi atas tuduhan Karel Agung terhadap Gereja Timur ini, sehingga dia membuat Pengakuan Iman Nikea tanpa “filioque” diukirkan pada suatu lempeng perak dan di letakkan di pintu Gereja Santo Petrus. Sesudah Konsili tahun 787 itu, perlawanan terhadap ikon berlanjut terus di Kerajaan Byzantium. Ketika Ratu Irini meninggal pada tahun 802, Kaisar Leo dari Armenia menjadi Kaisar. Pada tahun 812 dia memerintahkan ikon-ikon supaya dijauhkan tempatnya dari jemaat. Pada saat Mingu Palem tahun 815 Aghios Theodoros, mengadakan arak-arakan membawa ikon-ikon di Konstantinopel, namun dicegat oleh tentara kerajaan , semua orang itu dianiaya dan disiksa serta banyak yang mati dibunuh.. Hanya pada sat pemerintahan Ratu Theodora pada tahun 843, ikon-ikon betul-betul dikembalikan ke Gereja secara resmi, pada Minggu Pertama Masa Puasa Catur Dasa, dan disebut sebagai “Kemenangan Orthodoxia” yang sampai sekarang pada Minggu Pertama Puasa Catur Dasa ini masih diperingati dan dirayakan dalam Gereja Orthodox.. Pengembalian Ikon ini disebut “Kemenangan Orthodoxia”, karena ini menutup lingkaran pembahasan Kristologi sejak Nikea (325) sampai pada batasnya yang tertuntas. Pada saat Nikea dituntaskan keyakinan bahwa Yesus itu betul-betul “Allah sejati yang keluar dari Allah sejati” dan “Satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa”. Konsili kedua (381) menegaskan kesatuan Keilahian Yesus Kristus ini dengan Bapa dan Roh Kudus, serta Konsili ketiga ( 431) menegaskan bahwa keilahian tadi tidak hilang ketika Dia berada dalam rahim Maryam, sehingga Maryam disebut Theotokos. Sedangkan Konsili Keempat (451) menegaskan sifat hubungan dan kesatuan antara keilahian dan kemanusiaanNya, dan Konsili Kelima (553) meneguhkan apa yang dirumuskan oleh Konsili Keempat.. Sedangkan Konsili Keenam menegaskan dan meneguhkan akan sifat kemanusiaan Kristus yang memiliki kehendak manusia yang sempurna, sehingga “monothelitisme” ditolak. Integritas kemanusiaan Kristus itu secara lebih kongkrit dan tak diragukan lagi ditegaskan dalam Konsili Ketujuh dengan bukti bahwa Dia dapat dilukis dalam Ikon karena Dia betul-betul menjadi manusia yang nampak dan dapat dilihat. Demikianlah dalam seluruh Konsili yang tujuh buah ditegaskan keilahian penuh dan kemanusiaan penuh dari Kristus yang satu itu secara tuntas. Dan itulah “inti Iman Kristen Orthodox:”. Oleh karena itu penegasan secara kongkrit dan tuntas dari kemanusiaan Kristus dalam Ikon itu menutup dan memeteraikan kebenaran Orhodoxia, sehingga itu disebut “Kemenangan Orthodoxia” yang telah dibuka dan diawali dengan penegasan secara kongkrit dan penuh akan keilahian Kristus dalam Konsili Petama. C.Zaman Penyebaran ke Utara III. Masa Pasca-Konsili Ekumenis: Dari Penginjilan Bangsa Slavia (863) sampai jatuhnya Konstantinopel (1453) ke Tangan Turki 1.Penginjilan Negara-Negara Eropa Timur (863) 22 Meskipun usaha Karel Agung untuk memasukkan Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur dalam Kerajaan Romawi Suci yang didirikannya itu tak berhasil, Paus di Roma makin memaksakan kuasanya kepada seluruh Gereja di Barat. Paus-paus yang kuat seperti Nikholas I ( 858-867 ) menekan keras semua pengaruh awam dan memusatkan semua kekuasaan pada hierarkhi Paus. Usaha sentralisasi pada Paus ini dtunjang oleh dokumen-dokumen palsu “Dekrit Isidorus Dari Seville” dan “ Donasi Konstantinus” yang ternyata karangan kaum Frankish dan Jermanik itu sendiri, yang menyatakan bahwa Paus di Roma mempunyai kekuasaan politis atas seluruh wilayah sekitar Roma, sehingga wilayah itu disebut “negara kepausan” Sementara itu yang menjadi Patriarkh di Gereja Timur adalah Photius. Dia mengutus dua orang kakak-beradik ( Konstantinus dan Methodius ) berbangsa Yunani: untuk menyebarkan Injil ke Moravia diantara bangsa Slavia. Mereka tiba disana pada tahun 863, dan mereka telah menciptakan alfabet Slavia yang berdasarkan alfabet Yunani (sekarang disebut alfabet Slavonik Lama atau Bulgaria Lama) untuk menterjemahkan kitab-kitab Gerejawi ke dalam bahasa Slavia ini. Karena Gereja Orthodox selalu percaya pasa inkarnasi Injil pada budaya setempat. Misi dari kedua kakak-beradik itu konflik dengan misi Gereja Barat yang juga ada di Moravia ini. Gereja Barat memaksakan bahwa hanya bahasa Ibrani, Yunani dan Latin saja yang boleh digunakan sebagai bahasa keagamaan Gereja. Karena para misionaris ini dari Gereja Barat kedua kakak-beradik ini melaporkan situasi tadi ke Paus Hadrianus II (tahun 869), serta mereka mendapatkan restu atas usaha mereka dari Paus Roma juga. Konstantinus meninggal pada tahun 869, serta menjadi rahib sebelum meninggal dengan nama Kyrilos, serta diakui sebagai orang suci Gereja. Karena itulah alfabet yang mereka ciptakan itu terkenal dengan nama huruf “Kyrilik” ( “Cyrillic”) yang digunakan di banyak negara-negara Eropa Timur dan Rusia sampai sekarang. Methodius diangkat menjadi Episkop, dan ketika dia kembali kepada karya misinya, dia ditangkap dan dipenjarakan oleh para misionaris Gereeja Barat tadi dengan pertolongan Raja Louis Orang Jerman. Ketika Paus Yohanes mengetahui hal itu pada tahun 873, dia menuntut agar Methodius dibebaskan. Namun ketika Methodius meninggal, semua karyanya musnah, karena para muridnya banyak yang ditangkap,dibuang atau dijual sebagai budak oleh kekuasaan negara Romawi Suci Jermanik, yang benci Byzantium, melalui para rohaniwan Gereja Barat itu. Sebagian lagi ada yang melarikan diri ke Bulgaria dan terjadi banyak pertobatan disana. Dan ummat Bulgaria ini akhirnya terkait dengan Gereja Konstantinopel. Dari Serbia ini usaha misi Gereja Orthodox di Timur berkembang ke daerah-derah Serbia, serta pada akhirnya ke Kiev serta Rusia Utara. Inilah sungguh-sungguh masa gerakan misi yang sangat luar biasa bagi Gereja Timur. 2. Konflik Terbuka Gereja Timur dan Gereja Barat (861-886) Ketegangan-ketegangan yang sudah kita lihat antara Gereja Timur dan Gereja Barat ini menjadi konflik terbuka untuk pertama kalinya antara tahun 861-886. Pada saat itu ada dua partai yang saling berebut pengaruh di Konstantinopel baik secara politis maupun gerejawi, yang satu Partai Konservatif dan lainnya Partai Moderat. Untuk mencapai perdamian dalam Gereja maka Patriarkh Phtoius yang tadinya orang awam itulah yang dijadikan pemimpin Gereja. Partai Konservatif yang ekstrim tidak puas akan hal ini, lalu meminta bantuan Paus di Roma, menggunakan nama baik Ignatius, Patriarkh yang sekarang sudah pensiun untuk 23 melawan Photius dan pemerintah yang memilih dia. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Paus Nikholas untuk ikut campur-tangan pada masalah Gereja Timur ini, karena perkembangan sentralisai kepausan di Barat itu. Paus Nikholas lalu mengadakan Konsili di kota Konstantinopel pada tahun 861 untuk menyelesaikan pertikaian kedua partai itu. Namun ketika para utusan Paus tiba di Konstantinopel Photius memang Patriarkh yang sah, dan semuanya diselesaikan dengan damai. Namun ketika para utusan itu kembali ke Roma, Paus Nikholas tidak mau menerima hasil keputusan tadi, lalu mengadakan Konsilinya sendiri di kota Roma pada tahun 863, dia memecat Photius serta menyatakan bahwa Ignatius yang sudah pensiun itu harus jadi Patriarkh yang sah. Namun pernyataannya ini tak diperdulikan oleh siapapun di Gereja Timur. Pada tahun 866 dan 867 Gereja Bulgaria sesuai dengan situasi politiknya kadang-kadang memihak Roma , namun kadang-kadang memihak Konstantinopel. Pada tahun 867 Photius mengadakan Konsili yang dihadiri oleh 500 Episkop yang mengutuk Paus Nikholas karena ikut campur-tangan masalah internal dari Gereja Bulgaria. Namun pada tahun yang sama itu terjadi suatu perubahan politik di Konstantinopel, Basilius I menjadi Kaisar dengan membunuh Kaisar sebelumnya, dan untuk alasan politiknya dia memecat Photius sebagai Patriarkh dan Ignatius yang pensiun diangkat lagi menggantikannya. Pada tahun 869 Paus Hadrianius II pengganti Paus Nikholas di Roma, mengutuk Photius lagi atas masalah Bulgaria. Namun pada tahun 877, situasi menjadi berubah ketika Photius harus menjadi Patriarkh lagi karena Ignatius yang saleh itu meninggal dunia. Pada tahun 879 suatu Konsili yang sangat besar diadakan oleh pimpinan Photius dan utusan Paus dari Roma juga diundang datang. Dalam Konsili yang dipimpin oleh Photius ini sendiri, maka dipilah-jelaskan oleh Patriarkh Photius mengenai kedudukan Paus di Roma dalam hubungannya dengan Patriarkh dan Gereja Konstantinopel. Serta hal itu diterima oleh Paus Yohanes VIII yang menjadi Paus yang baru di Roma. Konsili tahun 863 dan 869 yang mengutuk Photius dinyatakan batal dan tak berlaku, serta dengan tegas diakui bahwa Konsili tahun 787 tentang “ikon” diakui sebagai Konsili Ketujuh, serta Pengakuan Iman Nikea “tanpa filioque” diteguhkan kembali. Photius secara resmi diakui sebagai orang kudus Gereja. Dia adalah seorang theoloog yang banyak menulis buku, terutama mengenai masalah “filioque” yang mengajarkan Ke-Esa-an Allah dengan mengatakan bahwa Roh Kudus itu hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana Firmanpun diperanakkan dari Sang Bapa yang satu dan yang sama itu. Dia membela Tradisi Gereja yang otentik dalam menentang pernytaan diri Paus Nikhloas yang berlebih-lebihan itu, dan akhirnya menjaga kesatuan dengan Gereja Roma serta Paus Yohanes VIII. Dia yang mensponsori misi besar-besaran kepada bangsa Salvia. Abad kesembilan ini secara umum dapat dikatakan sebagai abad yang sangat penting bagi Gereja Timur. Ini adalah abad kebangkitan di Gereja Timur, sedang di Gereja Barat ini adalah abad sentralisasi yang makin bertambah di sekitar diri Paus. Satu-satunya theoloog yang dapat disebut dari Gereja Barat pada saat ini adalah John Scotus Erigena (wafat 877) 3. Penginjilan Rusia ( 988) 24 Menginjak abad kesepuluh kita masih berjumpa dengan kebangkitan ilmu di Gereja timur, dimana ilmu-ilmu dari para penulis non-Kristus Yunani itu mulai dipelajari kembali, tiulisan para Bapa Gereja mulai dikumpulkan, serta “Kisah Hidup Para Orang Kudus” mulai dikompilasi untuk menjelaskan sisi kharismatis dari pengalaman Gereja dimana dibuktikan bahwa sepanjang segala zaman Roh Kudus masih berkarya dengan segala macam mukjizatnya dan pengudusannya seperti yang nampak dalam kehidupan mereka ini, serta “Lavra Agung” ( Biara Terbesar di Gunung Athos Yunani) didirikan oleh Aghios Athanasios dari Gunung Athos (960), Aghios Simeon Neos Theologos menulis sangat luas dan mendalam mengenai makna pengalaman “Dibaptis dalam Roh Kudus” serta pengalaman melihat Terang Tak Tercipa serta menyatu tenggelam dalam Terang tadi yang adalah tenggelam dalam Roh Kudus. Gereja dan negara Byzantium makin saling merembesi, terutama Gereja makin mengendalikan masalah-masalah perkawinan dan keluarga Pada tahun 869 Tsar Boris dari Bulgaria dibaptiskan dengan Kaisar Mikhael III dari Konstantinopel sebagai “ Bapak Baptis” (‘Bapa Selam”, “Papa Serani”). Sehingga dengan demikian Gereja Bulgaria secara kokoh berada dalam persekutuan dengan Gereja Konstantinopel, terutama pada saat anaknya Tsar Sumeon Gereja Bulgaria makin berkembang. Pada akhir abad kesembilan suatu sekte Bidat Bogomil, suatu sekte dualisme yang menolak keilahian Kristus dan Sakramen-Sakramen Gereja sedang berkembang, namun ditolak Gereja, mereka berkembang sampai ke Serbia, terutama di Bosnia. Kebanyakan dari anggota sekte ini menjadi Muslim ketika Turki menguasai daerah Bosnia. Pada tahun 988 para bawahan dari penguasa wilayah Kiev dibaptis di sungai Dnieper dibawah pimpinan Pangeran Vladimir yang Agung, dengan demikian memulai sejarah Gereja Orthodox di Ukraina dan Rusia. Valdimir menerima Iman Kristen Orthodox dari Konstantinopel, setelah mengadakan penyelidikan dari semua agama yang ada, dia menemukan tidak ada agama yang keindahannya melebihi Kekristenan Orthodox. Dia dibaptis di Konstantinopel dengan Kaisar Basilius sebagai Bapak Baptisnya. Akhirnya dia menikah dengan Puteri Anna dari Konstantinopel, untukmengokohkan pertalian keluarga Kerajaan. Sesudah baptisannya itu Vladimir mengalami suatu pengalaman pertobatan yang sungguh-sungguh, sehingga banyak menanamkan prinsip-prisip Kristen dalam kerajaan yang dipimpinnya, serta dia mengabarkan Iman Kristen Orthodox kepada seluruh bawahannya. Karena apa yang dilakukan dan kekudusan hidupnya ini ia telah diakui sebagai orang kudus Gereja bersama dengan neneknya Putri Olga yang telah menjadi Kristen sebelumnya, dan banyak mempengaruhi dia dalam keputusannya untuk menjadi Kristen. Pada akhir abad kesembilan sampai masuk abad kesepuluh Gereja Barat mengalami salah satu periode yang paling gelap dalam sejarah. Gelombang-gelombang baru penyerbuan menghancurkan keamanan kekaisaran yang diciptkan Karel Agung. Ggereja Barat menderita dominasi para penguasa-penguasa dari antara kaum awam. Komunikasi dengan Gereja Timur sama sekali terputus. Namun demikian terjadilah permulaan gerakan pembaruan di Gereja Barat yang dimulai dari Biara Cluny di Perancis. D. Zaman Perpecahan 25 4.Perpecahan ( Skisma ) Besar (1054):Gereja Barat (Roma Katolik) Pecah Dengan Gereja Timur ( Orthodox) Masuk ke dalam abad kesebelas kita temui peristiwa menyedihkan, yaitu perpecahan besarbesaran antara Gereja Barat (Roma) dan Gereja Timur (Konstantinopel). Peristiwa ini dimulai dengan larangan penggunaan Liturgi Gereja Timur Yunani di Italia Selatan oleh Paus Roma, serta sebagai balasannya dilaranglah penggunaan Liturgi Gereja Barat Latin di Konstantinopel oleh Patriarkh. Pada tahun 1053 Paus di Roma mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk bertemu dengan Patriarkh yang sedang menjabat:Mikhael Kerularios. Tetapi Patriarkh tidak mau menerima mereka, karena dia melihat bahwa tujuan kedatangan mereka mempunyai motivasi politik. Karena lelah menunggu dan karena jengkel merasa tidak dihormati,, maka kepala rombongan utusan ini, yaitu: Kardinal Humbert, pada tanggal 16 Juli 1054, menempatkan dokumen “pengkutukan” (“anathema”) dan pengkucilan terhadap Patriarkh Mikhael Kerularius dan semua yang bersimpati kepadanya, diatas mezbah (altar) Gereja Aghia Sophia, namun dia tetap memuji Konstantinopel sebagai “Kota yang Amat Orthodox”. Kutukan ini landasannya karena Gereja Timur tidak menggunakan “filioque”, mengijinkan para Presbyter (“Rohaniwan Tertahbis”) menikah, kesalahan-kesalahan liturgis karena tidak sama dengan yang dipraktekkan dalam Gereja Latin. Tindakan Kardinal Humbert ini ditanggapi Patriarkh Mikhael Kerularios dengan mengadakan Konsili Para Patriarkh dan Episkop-Episkop Gereja Timur dengan menyatakan “anathema” dan “pengkucilan” terhadap semua yang bertanggung jawab atas peristiwa “16 Juli 1054”. Dia mendaftar semua yang dianggap penyalah-gunaan Gereja Latin. Sejak saat itu usaha untuk menyatukan kembali antara Gereja Barat yang kemudian dikenal sebagai Gereja Roma Katolik dengan Gereja Timur yang tetap disebut sebagai Gereja Orthodox atau Orthodox Yunani menjadi tak mungkin lagi. Maka terjadilah skisma (perpecahan) yang permanen sampai sekarang. Semua usaha untuk persatuan tak satupun membuahkan hasil, bahkan pengangkatan secara simbolik “anathema tahun 1054” ini yang dilakukan di zaman modern pada tahun 1966 oleh Paus Paulus VI dari Gereja Roma Katolik dan Patriarkh Athenagoras dari Gereja Orthodox itupun tak berdampak apa-apa dalam usaha kesatuan Gereja ini. Gereja Barat (Roma Katolik) tetap terpisah dari Gereja Timur ( Orthodox) dan tetap berjalan menurut jalannya sendiri sampai kini. 5.Masa Perang Salib Dengan hampir kebanyakan daerah Kristen Orthodox di sebelah timur di kuasai Islam terutama Palestina, maka sulit bagi orang-orang Kristen di Barat untuk mengadakan ziarah ke Tanah Suci. Maka di Gereja Barat timbul suatu gerakan untuk merebut Tanah Suci dari tangan musuh. Maka oleh kotbah-kotbah beberapa pemimpin Gereja di Barat Perang Salib merebut Tanah Suci itu dimulai pada tahun 1096. Mereka bergerak maju menuju ke Timur dari Eropa Barat dengan dipimpin Uskup dan para pastor serta tentara-tentara Katolik Barat. Gerakan ini tak terpisah dari apa yang terjadi di Gereja Barat. Pada pertengahan abad kesebelas ini terjadi pembaharuan di Gereja Barat yang berpusat pada diri Paus. Gerekan ini sering disebut sebagai “Pembaharuan Gregorian” menggunakan nama dari penggerak utamanya yaitu Paus Gregorius VII atau Hildebrand. Tujuan Gerakan ini adalah untuk menegakkan Gereja Katolik Roma kokoh terpisah dari ketergantungan kepada kekuasaan pemerintah manapun. Akibatnya, ini makin amat sangat memperluas pernyataan diri Paus di 26 Roma akan kedudukannya. Sehingga usaha untuk berdamai dengan Gereja Timur makin sulit. Misalnya pada tahun 1089 untuk mengadakan hubungan yang baik, Gereja Timur meminta pengakuan iman dari Paus Urbanus II, dia menolak melakukannya, sebab dia merasa jika memberikan pengakuan iman itu berarti Uskup Roma dapat dihakimi oleh orang lain di dalam Gereja. Dan pada saat Perang Salib yang pertama tahun 1096 itulah kedudukan Paus di Roma sebagai penguasa sudah mapan sekali. Pada akhirnya para tentara perang salib inilah yang memeteraikan skisma (perpecahan ) diantara dua Gereja ini.Para pasukan Salib itu merebut Yerusalem pada tahun 1099, serta mengusir ummat Islam dari situ, namun juga mendirikan suatu Hierarkhi Kegerajaan Latin, dan mengusir Patriarkh Timur yang sah baik di Yerusalem maupun di Antiokhia. Sejak saat itu baik di Palestina maupun di Syria terbentuk suatu Kepatriarkhan Latin Ritus Timur, sebagai tandingan dari Kepatriarkhan Timur Orthodox yang sah. Kaum Roma Katolik (Latin) yang menggunakan Ritus Timur, yaitu Tata Ibadah dan Spiritualitas Gereja Orthodox, baik di Palestina maupun di Syria itu akhirnya dikenal dengan nama kaum “Melkit”, yaitu nama yang tadinya digunakan oleh kaum “Monofisit” ( Yakobit) di Syria untuk menyebut Ummat Kristen Syria Orthodox yang membela rumusan Kalsedonia. Sehingga sekarang Gereja dari Tradisi Syria ini terbagi jadi lima bagian, yaitu: Syria-Antiokhia Orthodox (Kalsedonia) yang tetap bersatu dengan segenap Gereja Orthodox alur utama lainnya dan meskipun mereka adalah orang Syria asli dan Patriarkhnya yang sekarang (1997) Ignatius IV adalah orang Syria mereka disebut “Orthodox Yunani”, hasil pemaksaan Hirarkhi Latin pada saat Perang Salib: Syria-Roma Katolik Ritus Timur : “ Maronit” dan “Melkit”, serta kelompok yang memisahkan diri pada Konsili Kalsedon Syria-Antiokhia Yakobit ( Monofisit, Oriental Orthodox), dan Ummat Syria di Persia yang memisah dari Gereja Antiokhia dan menerima Nestorius sebagai simbol theologi mereka: Syria-Kaldea ( Pre-Kalsedonian) yang disebut Gereja “Nestorian” atau Gereja Persia Sementara itu di Gereja Barat terjadi pembaharuan-pembaharuan Cistercian dari Ordo Benediktin ( sekarang terkenal sebagai “trappist” ). Wakil terbesar dari Gerakan ini adalah Bernard dari Clairvaux. Dia berkotbah kepada para pasukan Salib dan ikut berperang bersama Abelard. Gerakan Carthusian dari kebiaraan para petapa juga terjadi pada zaman ini. Di daerah-daerah yang diduduki Islam terutama di Syria dan Irak, orang-orang Kristen setempat ( Monofisit, Nestorian, Orthodox) yang menjadi kelompok minoritas yang dilindungi (ahlul dzimma) diminta untuk menterjemahkan karya sastra, dan ilmu-ilmu pengetahuan Kristen Timur, maupun Yunani klasik dari bahasa Yunani atau terjemahan Syria ke dalam bahasa Arab, oleh para kalifah Islam. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan Kalifah Al-Ma’mun yang mendirikan Balai Terjemahan yang disebut sebagai Baitul Hikmat. Terjemahan keilmuan dari Gereja Timur ke dalam bahasa Arab itu sangat membantu perkembangan keilmuan dalam Islam. Terjemahan bahasa Arab ini akhirnya juga tersebar sampai ke kalifahan Islam di Eropa, Cordova, Spanyol. Disana karya terjemahan bahasa Arab itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin. Dari situlah orang-orang Kristen Barat yang selama ini terkurung dalam zaman kegelapan menemukan kembali keilmuan Kristen dari Gereja Timur melalui Islam, dan dengan demikian membantu bangkitnya filsafat Skolastikisme di Barat yang berpuncak pada tulisan-tulisan Thomas Aquinas. E. Zaman Kesesakan 27 4. Ancaman Turki, Perkembangan Orthodoxia di luar Konstantinopel, dan Usaha-usaha Penyatuan Gereja (abad 12 s/d abad 14) a. Ancaman Turki Menginjak abad kedua belas kekaisaran Byzantium dibawah wangsa Comnenus, harus menghadapi tiga musuh sekaligus. Dari Barat harus menghadapi Pasukan Salib, dari selatan harus menghadapi ancaman kekalifahan Arab, serta musuh baru yang muncul adalah bangsa Turki yang berasal dari Timur. Mereka adalah suku Tartar, yang telah memeluk agama Islam ketika mereka menghancurkan Bagdad. Kaisar Alexios Comnenus menetapkan bahwa Gunung Athos di semenanjung Khalkidiki, Yunani, harus menjadi pusat kerahiban Gereja Orthodox, dan sampai sekarang menjadi pusat spiritualitas Gereja Orthodox internasional. Theologia Iman Kristen Orthodox pada saat ini sudah begitu mapan, yang pada pokoknya merupakan Theologia dari Ketujuh Konsili bersama dengan praktek-praktek awal Gereja Purba, serta penjelasan-penjelasannya dalm tulisan para Bapa Gereja. Sehingga theologia Iman Kristen Orthodox bukanlah pendapat perorangan namun Iman segenap Gereja itu sendiri, sikap yang mana tetap menjadi ciri khas dari Gereja Orthodox masakini juga. Perorangan boleh menggunakan gaya dan caranya sendiri dalam menyampaikan iman yang satu dan yang sama irtu, namun isinya adalah iman yang tak berbeda dari Iman yang sejak zaman purba diimani Gereja sejak awal, dibela dan dijelaskan dalam Ketujuh Konsili, serta dijabarkan oleh para Bapa Gereja dan dihidupi dalam perayaan-perayaan Ibadah dan Liturgi Gereja. Sementara itu di Kiev, Rusia, Kekristenan Orthodox terus berkembang. Pada tahun 1124 dilaporkan terjadi kebakaran 600 buah gedung Gereja, menunjukkan banyaknya gedung Gereja saat itu, dan sekaligus perkembangan Kekristenan disitu. Rusia mewarisi theologia dan liturgi yang sudah mapan dari sejarah Kekristenan me;lalui Byzantium dan seluruh iman Gereja Purba tanpa dikurangi, diubah ataupun ditambah. Sehingga Iman Gereja Orthodox Rusia ataupun Gereja Orthodox dimanapun adalah satu dan sama. Pada awal abad ini Pangeran Vladimir Monomakhos menulis buku “Amanat Untuk Anak-Anakku” suatu nasihat kepada anak-anaknya bagaimana seharusnya menjadi pemimpin Kristen. Sementara itu Gereja Serbia pada tahun 1217 mendapat restu dari Konstantinopel untuk menjadi Gereja mandiri melalui usaha Sava, dan pada tahun 1219 Sava sendiri diangkat menjadi Episkop Agung yang pertama oleh Patriarkh Manuel dari Konstantinopel. Hal ini terjadi setelah Kaisar Byzantium memberikan ummat Serbia kerajaan bagi mereka di tanah asli mereka. Ini terjadi atas usaha pemimpin mereka Nemanya ( 1113-1199). Pada saat abad dimana Gereja Serbia diakui sebagai Gereja mandiri, demikian pula Gereja Bulgaria, dengan Episkop Agung dari Tvorno sebagai pemimpin Gereja Bulgaria. Gereja Barat bersama dengan sentralisasi kepausan juga menyaksikan bangkitnya aliran Victoria dari Theologia Agustinian yang dipimpin oleh Hugo (meninggal 1141) dan Richard dari Santo Victor. Juga pada saat ini Petrus Lombardus menulis karyanya yang terkenal “Kalimat-Kalimat” 28 b. Perang Salib Keempat dan Konsili Lyons Abad ketiga belas diawali dengan apa yang dianggap sebagai peneguhan terakhir dari Skisma Gereja Barat dengan Gereja Timur, yaitu peristiwa Perang Salib Keempat. Pada tahun 1204 Pasukan Salib Roma Katolik itu gagal menyerang Islam, mereka berbalik menyerbu Konstantinopel. Kota Kristen itu dirampok habis-habisan. Mereka menghancurkan dan mencuri benda-benda suci dari gereja-gereja. Mereka memporak-porandakan dan menajiskan altar-altar (mezbah-mezbah). Banjir darah memenuhi Konstantinopel. Diperkirakan orang Kristen Orthodox yang mati dalam Perang Salib Keempat di tangan ummat Latin ini jauh lebih banyak dari ummat Islam yang mati di tangan mereka selama Perang Salib itu. Seorang Kardinal Latin Thomas Morosini diangkat sebagai Patriarkh Konstantinople, sementara Patriarkh yang sah diusir dalam pembuangan. Demikian juga seseorang bernama Frank diangkat jadi kaisar, sementara bersama Patriarkh yang sah, Kaisar Konstantinopel melarikan diri dari serbuan tadi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang-orang Latin Roma Katolik dari Gereja Barat, menjadi musuh yang terang-terangan di dalam pikiran orang-orang Kristen Orthodox di Timur. Tulisan-tulisan dari Gereja Orthodox saat ini mulai diarahkan untuk menyerang Kepausan dan Gereja Latin Roma Katolik itu sendiri. Pemerintahan orang Latin Roma Katolik di Konstantinopel berakhir sampai tahun 1261, ketika Kaisar Mikhael Paleologos, berhasil merebut Konstantinopel kembali dari tangan ummat Roma Katolik Latin itu, serta menempatkan kembali Patriarkh yang sah pada tempatnya. Kaisar Mikhael III dalam situasi yang tak dapat ditahan karena dari Timur diserang Turki, dan dia sendiri tak dapat menjamin bahwa Pasukan Salib dari Gereja Barat tidak akan kembali menyerang lagi. Oleh karenanya, demi alasan politik, dia mengrim utusan para Episkop menghadiri Konsili dari Gereja Barat di Lyons pada tahun 1274 dengan harapan mendapatkan sympathy serta bantuan ekonomi dan militer bagi kerajaan yang hampir roboh itu. Gereja Barat mengusulkan pada utusan-utusan Kaisar asal mau mengakui Paus di Roma sebagai penguasa tertinggi, mereka boleh menjalankan tata-ibadah Timur milik mereka sendiri, dan boleh tanpa menggunakan “filioque”, asal doktrin keluarnya Roh Kudus dari “Bapa dan Putra” diakui, dan tidak disangkal sebagai bidat. Karena dalam keadaan terdesak maka usulan Konsili itu diterima oleh para utusan Mikhael, yaitu: Paus di Roma adalah Penguasa Tertingggi, “filioque” harus diterima – untuk yang pertama kalinya hal ini dituntut dalam sejarah. Namun ternyata janji orang-orang barat itu kosong belaka. Mikhael tak pernah mendapat bantuan apapun sampai matinya pada tahun 1282. Melihat fakta ini, maka akta penyatuan Gereja di Lyons ini langsung ditolak oleh semua Episkop dari Timur, segera setelah Mikhael meninggal. Karena dianggap menyalahi Iman Gereja dengan tindakannya itu, maka Kaisar Mikhael meninggal tanpa diberikan upacara pemakaman secara Gerejani. c. Gereja Rusia dan Gereja Barat Sementara itu pada abad ketiga belas ini Rusia berada dibawah penyerbuan bangsa Mongol pada tahun 1237 dan dijajah oleh kaum Tartar ini. Negara Kiev runtuh pada tahun 1240. Pada tahun 1231 Alexander Nevsky menjadi Pangeran di Novgorod dan pada tahun 1240 berhasil memimpin bangsa Rusia memukul mundur orang-orang Roma katolik Swedia yang menyerang Rusia. Dia juga berhasil mengadakan perundingan dengan Khan Batu, untuk meringankan beban jajahan mereka atas rakyat Rusia, dia rela membayar upeti kepada orang 29 Mongol asalkan negaranya mendapatkan damai. Dia pulang dari Mongol dengan mendapat gelar Pangeran Agung Kiev. Dia meninggal pada tahun 1263, dan diakui sebagai orang suci Gereja karena kekudusan pribadinya, hikmat praktis, dan diplomasinya – yang semuanya itu didedikasikan demu rakyatnya atas nama Kristus. Abad ketiga belas ini di Gereja Barat disebut sebagai “abad paling agung.”. Karena Gereja Barat mulai menemukan lagi keilmuan melalui terjemahan bahasa Latin dari bahasa Arab karya-karya Kristen Timur yang telah diterjemahkan dari bahasa Yunani dan terjemahan Syria oleh orang-orang Kristen Timur dalam daulat Islam seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya. Muncullah kegiatan “skolastikisme” yang menetukan arah theologi Gereja Barat selanjutnya. Diantara tokoh-tokoh skolastis ini adalah Duns Scotus serta Albertus Magnus dan muridnya Thomas Aquinas yang menulis “Summa Theologia” yang menggunakan prinsip-prinsip logika dan filsafat daripada prinsip-prinsip Alkitab, yang mendominasi theologi resmi Gereja Katolik Roma sampai Konsili Vatikan Kedua pada paruhan terakhir abad keduapuluh. Disinilah yang membedakan cara berteologi Gereja Orthodox dan Roma Katolik. Karena Gereja Orthodox tetap setia pada prinsip theologia konsili, serta penjabaran para bapa gereja, yang dialami dalam liturgi, theologia yang mana adalah iman am Gereja dan berlandaskan Alkitab, bukan filsafat. d. Gregorios Palamas: Essensi (Dzat Hakekat) Allah dan Energi Allah Pada abad keempat belas kita jumpai perdebatan theologia yang menarik di Gereja Timur, sekitar theologia Aghios Gregorios Palamas. Dia adalah seorang rahib di Gunung Athos, dimana praktek Doa Yesus : ‘Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah hamba orang berdosa ini” dengan menyatukan pikiran dan hati melalui disiplin tubuh yang ketat. dan berfokuskan pada “Nama Yesus” itu dilaksanakan. Sehingga mereka mengalami keteduhan batin (“hesykhia”) tenggelam dalam hadirat Roh Kudus dalam penyatuan dengan Yesus Kristus. Itulah sebabnya metode doa yang sampai sekarang tetap digunakan oleh ummat Orthodox ini, disebut sebagai “hesykhasme” Banyak dari para rahib ini maupun ummat awam Orthodox dalam pengalaman doa mereka secara demikian mengalami persekutuan dan panunggalan yang nyata dengan Allah, termasuk mendapatkan penglihatan rohani akan Terang Ilahi yang Tak Tercipta., seperti yang dilihat para murid ketika Yesus dimuliakan diatas gunung. Pada tahun 1326 pengalaman melihat Terang Ilahi Tak Tercipta dalam praktek Doa Yesus itu dikecam oleh Barlaam dari Kalabria, Itali. Dia adalah orang Yunani namun yang mengikuti faham humanisme dari “renaissance” Gereja Barat yang menggunakan filsafat dan ide theologia Barat dimana kemungkinan bagi manusia untuk mengalami persekutuan dan pengalaman panunggalan dengan Allah itu disangkal. Kecaman dari Barlaam ini dihadapi oleh Gregorios Palamas yang membela posisi Iman Kristen Orthodox bahwa manusia dapat mengalami persekutuan dan panunggalan dengan Allah secara sungguh-sungguh melalui Kristus dan oleh Roh Kudus di dalam Gereja. Suatu Konsili padsa tahun 1346 mendukung pengajaran Gregorios Palamas ini. Dalam pengajaran itu ditegaskan bahwa panunggalan yang dimaksud bukanlah panunggalan secara “pantheistis” seperti yang diajarkan filsafat kafir, namun panunggalan secara Kristologis, Pnevmatologis dan Ekklesiologis. Artinya oleh iman melalui baptisan kita manunggal dengan kematian dan kebangkitan Kristus artinya manunggal dalam kehidupan Kristus sendiri. Hidup Kristus itu disampaikan kepada manusia oleh Roh Kudus, dan pengalaman hidup Kristus, yang adalah Hidup Allah sendiri, oleh Roh Kudus itu dialami dalam pengalaman sakramental, ibadah dan 30 doa dalam persekutuan Gereja. Dengan demikian kita mengalami hidup Allah tadi secara nyata. Menyatu pada hidup Allah bukanlah menyatu pada “Essensi” ( Dzat-Hakekat) Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh filsafat “pantheisme” mistik, karena itu tidak mungkin. Namun menyatu dengan tindakan, hadirat dan energi Allah yang memang tak tercipta dan bersifat ilahi.( misalnya yang nampak dalam wujud terang ilahi tadi). Energienergi Ilahi ini disalurkan atau dikaruniakan kepada manusia melalui Rahmat Ilahi atau Kasih Karunia Allah,dan terbuka bagi partisipasi, ma’rifat dan pengalaman manusia. Pada Konsili yang diadakan pada tahun 1347 dan 1351 sekali posisi Gregorios Palamas ini diteguhkan persis seperti yang diajarkan Alkitab dan Tradisi Theologis Gereja Orthodox sepanjang segala abad. Sejak saat itu perbedaan theologis mengenai “Essensi, Supra-Essensi” (“Adi Dzat-Hakekat”) dan “Energi-energi” Ilahi menjadi bagian resmi dari Doktrin Gereja Orthodox.. Banyak orang karena tak mengerti posisi Iman Kristen Orthodox akan perbedaan essensi dan energi ilahi ini menuduh Gereja Orthodox adalah Gereja Mistik, dalam arti pantheisme, yang juga amat ditolak oleh Gereja Orthodox. Gereja Orthodox adalah Gereja yang sangat kharismatis, dengan penekanannnya pada pengalaman Roh Kudus oleh Energi Ilahi secara nyata, namun dengan corak yang amat berbeda sekali dari penghayatan Gerakan Kharismatik modern. Sementara itu Kaisar Yohanes V Paleologos masih mengharapkan bahwa Gereja Barat akan memberikan bantuan dari serangan Turki yang makin mendesak itu. Dia mengadakan persekutuan dengan Gereja Roma tanpa ada usaha untuk penyatuan secara resmi. Pada abad keempat belas ini Gereja Barat sendiri sedang mengalami masalah internal. Pausnya ditawan di Avignon, dan ada tiga orang yang menyatakan diri sebagai Paus. Inilah yang disebut “Skisma Besar” dalam Gereja Barat. e. Situasi di Rusia, Serbia dan Bulgaria Rusia bagian selatan masih dibawah penjajahan Tartar pada abad keempat belas ini, namun bagian utara merdeka dari penjajahan dan dibawah pimpinan Pangeran Yohanes Kalita sebagai bupati dan Metropolitan ( Episkop Agung yang Berkedudukan di Ibu Kota ) Alexis sebagai pimpinan Gereja. Orang yang sangat berjasa bagi pembangunan Rusia utara ini adalah Aghios Sergios Radonesh, yang lahir tahun 1314 dan menjadi rahib tahun 1334. Dia hidup dalam segala kesederhanaan, melaksanakan puasa, tinggal dalam hutan, hidup dalam doa yang mendalam. Akibatnya banyak orang yang menjadi muridnya, Sehingga hutan itu menjadi perkampungan dan akhirnya berubah menjadi kota. Dia menjadi Bapa Rohani dari Metropolitan Alexis. Dia dipenuhi karunia-karunia Roh Kudus: kesembuhan ilahi, penglihatan-penglihatan yang luar biasa, serta mengetahui hati orang. Para pemimpin nasional selalu mohon nasihatnya. Dan ketika pangeran Dimitri Donskoi akan mengusir penjajah Tartar, dia diberkati oleh Aghios Sergios ini, sehingga dia mendapat kemenangan dan membebaskan Rusia sekali dan untuk selamanya dari penjajahan Tartar. Pada saat yang sama Aghios Stephanos dari Perm mengadakan penginjilan diantara suku-suku Zyria, menterjemahkan kitab-kitab Gereja ke dalam bahasa mereka dengan menggunakan alfabet yang diciptakannya untuk mereka. Usaha penginjilan ini akan menjadi fondasi bagi usaha penginjilan selanjutnya dalam Gereja Orthodox Rusia baik di antara suku-suku Siberia, Jepang, Alaska, maupun Korea. Serbia mengalami perkembangan yang pesat dibawah pimpinan rajanya Stefanus Dushan dan Gereja Serbia menjadi keptriarkhan mandiri pada tahun 1346. Sedangkan Gereja 31 Bulgaria dibawah pimpinan Aghios Klemen dari Ochrid dan pertapaan kerahiban Zoografou bagi ummat Bulgaria dibangun di gunung Athos, Yunani. f. Usaha Penyatuan Yang Terakhir: Konsili Ferrara-Florence Menginjak abad kelima belas Gereja Barat sedang mengalami gejolak mengenai hubungan antara Paus dan Konsili-Konsili Gereja. Ada yang mengatakan kuasa Paus berada diatas Konsili-Konsili, ada yang mengatakan Konsili-Konsili diatas Paus. Salah satu Konsili Gereja Barat pada saat ini, Ferrara –Florence (1438-1439) didukung para paus. Wakil-wakil Gereja Timur ikut datang demi untuk meminta bantuan lagi dalam perjuangannya melawan Turki. Yang ikut hadir dari Timur saat itu adalah Kaisar Yohanes VIII, dan Patriarkh Yosef dari Konstantinopel dan Metropolitan dari Kiev, seorang Yunani bernama Isidoros yang diterima dalam “derajat yang sama” dengan kaum Latin. Meskipun dalam Konsili ini diputuskan suatu doktrin yang sangat keras mengenai kekuasan Paus, “filioque” dan “api penyucian”, Kaisar Byzantium amat tak perduli dengan ajaran dan theologia, asalkan dia dibantu Gereja Barat melawan Turki melalui penyatuan dengan Gereja Barat. Semua Episkop Orthodox mau menandatangani keputusan ini, kecuali Markus Evgenikus, Episkop dari Efesus. Tiga keputusan doktrinal Konsili ini sangat berlawanan dengan ajaran Orthodox mengenai kedudukan Paus, mengenai “filioque” dan sekaligus mengenai “api penyucian” yang memang tak dipercayai adanya oleh Gereja Orthodox. Hasil usaha penyatuan di Florence ini tidak diumumkan sampai tahun 1452 di Konstantinopel di Gereja Aghia Sofia. F. Zaman Penjajahan IV.Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Turki (1453) dan Masa Turkokratia (abad 15 s/d abad 19) 1.Orthodoxia di bawah Islam Serangan pasukan Turki yang terus menerus, serta bantuan Gereja Barat yang selalu diharapkan namun tak pernah terbukti itu, akhirnya dampaknya tak dapat dibendung lagi. Dibawah pimpinan Sultan Muhammad II, pada tanggal 29 Mei 1453, pasukan Turki Muslim berhasil menyerbu Konstantinopel dan menjebolnya. Konstantinopelpun jatuh ke tangan Turki, dan ini menandai runtuhnya Kekaisaran Byzantium.. Dan Muhammad II merebut kota itu serta menamakannya “Istanbul” sampai saat ini. Gereja Aghia Sophia dijadikan Mesjid. Berturut-turut Serbia pada tahun 1459, Yunani pada tahun 1459-60, Bosnia pada tahun 1463 (dimana banyak kaum “Bogomil” yang keluar dari Gereja itu akhirnya menjadi Muslim), dan akhirnya Mesir pada tahun 1517, jatuh ke tangan Turki. Selama 400 tahun sesudah itu bangsa Turki Muslim menjajah ummat Kristen Orthodox di seluruh bekas wilayah Kerajaan Byzantium. Inilah masa yang terkenal dalam sejarah Gereja Orthodox sebagai masa "Turkokratia" atau masa “Kekuasan Penjajahan Turki”. Pada saat ini Patriarkh Konstantinopel dalam keadaan yang sangat sulit, karena sekarang harus berada dibawah kekuasaan Penguasa yang bukan Kristen. Dari waktu ke waktu Sultan yang berbeda-beda 32 memperlakukan para Patriarkh dengan cara yang berbeda-beda juga. Sering mereka dipecat dan diganti sekendak Sultan, banyak diantaranya yang mati digantung tanpa sebab-sebab yang jelas.. Tak jarang pula Sultan memperjual-belikan kedudukan Patriarkh ini bagi siapa yang mau membayar paling mahal kepada Sultan. Patriarkh dijadikan sebagai “Ethnarkh” yaitu pemimpin masyarakat Kristen Orthodox, yang harus menarik pajak pada ummat Kristen yang ada di seluruh wilayah Turki. Ummat Kristen Orthodox dilarang menjadi tentara, namun mereka ditarik pajak untuk hal itu. Mereka tidak diijinkan menjadi saksi dalam pengadilan, serta tidak diperkenankan untuk mengajukan orang Muslim ke pengadilan. Mereka dilarang membangun Gereja yang baru, hanya kadang-kadang dijinkan membangun Gereja lama yang telah rusak. Mereka dilarang membangun rumah lebih tinggi dari rumahrumah kaum Muslimin, dilarang naik kuda yang hanya diperuntukkan bagi kaum Musliminm saja, mereka hanya boleh naik keledai saja. Mereka harus mengenakan pakaian dan topi yang berbeda dari Kaum muslimin. Dengan berlalunya waktu, anak-anak mereka banyak yang diambil secara paksa oleh pemerintah untuk di-Islamkan dan dijadikan pasukan pemerintah yang disebut “Jannisari”. Sering mereka menjadi korban amukan massa tanpa ada perlindungan hukum, gereja-gereja mereka dirusak, atau rumah-rumah mereka diserbu. Meskipun tidak selalu terjadi demikian. Ummat Kristen diijinkan murtad ke Islam dan akan diberi prioritas-prioritas tertentu jika mereka melakukan, namun ummat Islam diancam hukum mati jika sampai menjadi Kristen. Dan dalam keadaan semacam ini penginjjilan sangat mustahil dilakukan. Memang ada disana-sini pertobatan dari Islam ke Iman Kristen Orthodox, namun segera hal itu ketahuan orang tadi pasti akan dibunuh. Demikianlah situasi Ummat Kristen Orthodox pada zaman Turkokratia Muslim ini. Sesudah kejatuhan Konstantinopel itu hal yang pertama dilakukan oleh Patriarkh Gennadios Skholarios adalah menolak akta penyatuan Florence. Dia dibawah tekanan yang kuat dari Agios Markos dari Efesus dalam tindakannya ini. Aghios Markos adalah pembela yang amat kokoh dari Iman Orthodox., dan menyebut usaha persatuan di Florence itu sebagai “penyatuan fasik”. Demikianlah kejatuhan Byzantium tidak berarti kejatuhan Orthodoxia. Biarpun secara manifestasi kesejarahan Gereja Orthodox mengalami kegoncangan-kegoncangan, namun iman dan kehidupan Gerejawinya sama sekali tak tersentuh oleh perubahan-perubahan luar ini. Imannya tetap utuh terlindungi asli dan murni tanpa ada pengurangan ataupun penambahan, sejak zaman rasul sampai masa abad keruntuhan Byzantium ini, dan bahkan sampai abad modern inipun. 2.Kerajaan Rusia Orthodox Dengan jatuhnya Byzantium ke tangan kaum Muslimin, benih terbentuknya kekaisaran Rusia mulai berakar di Moskow. Ivan III Yang Agung (1462-1505), Pangeran dari Moskow, dapat mengalahkan Rusia utara dan menyatukan dengan daerah Rusia lainnya. Dia menikah dengan puteri Sophia Paleologos dari Byzantium pada tahun 1472, serta menerima gelar Tsar ( bentuk bahasa Slavia untuk kata “Kaisar”) dan mengambil alih lambang Garuda Berkepala Dua dari Byzantium, serta menyebut Moskow sebagai Roma Ketiga , sebagaimana Konstantinopel disebut sebagai Roma Kedua (Roma Baru). Di Rusia pada abad kelima belas ini terjadi permasalahan mengenai peranan Gereja dalam kehidupan politik dan sosial dari bangsa itu. Kelompok “bukan pemilik” yang dipimpin oleh Aghios Nilus dari Sora ( Nil Sorsky) mengajarkan bahwa Gereja terutama biara tak 33 boleh memiliki dan menguasai tanah yang luas, serta harus bebas dari pengaruh dan kendali langsung dari pemerintah, demi semangat kemiskinan dan kerendahan hati. Sedangkan kelompok “pemilik” yang dipimpin oleh Aghios Yosef dari Volotsk, sehingga kelompok ini sering disebut “Yosefit”, mengajarkan bahwa Gereja dan negara harus memiliki hubungan yang erat, dan bahwa Gereja harus melayani kebutuhan sosial dan politik dari bangsa Rusia yang sedang muncul ini. Kedua pemimpin ini adalah sama-sama murid dari Aghios Sergius dari Radonesh. Akhirnya meskipun semangat kaum “bukan pemilik “ itu yang selalu tinggal dalam Orthodoxia di Rusia, namun cara kaum “pemilik” itulah yang mendominasi kehidupan kegerejaan serta perkembangan kebangsaan pada abad-abad berikutnya di Rusia. Sementara itu di Gereja Barat pada abad kelima belas, penolakan pada kekuasaan Paus makin keras, dalam wujud: 1. Gerakan Konsiliar dimana ada 3 Paus sekaligus pada saat yang sama. 2.munculnya kesadaran nasional bangsa-bangsa Eropa Barat 3. Munculnya gerakan-gerakan agamawi yang menjadi awal Gerakan Reformasi Protestan. 4. Munculnya Gerakan Renaissance, yaitu bangkitnya ketertarikan pada budaya klasik Romawi-Yunani.Tokoh-tokoh gerakan ini adalah : Erasmus, Lenardo da Vinci, Raphael. Juga harus disebut Yohanes Huss yang dibakar hidup-hidup karena perlawanannya terhadap Paus dan praktek-praktek Gereja Roma pada tahun 1415. Demikian juga Savonarolapun dibakar hidup-hidup oleh perintah paus pada tahun 1498 karena mengecam dan mengutuk kejahatan dan dosa-dosa dalam Gereja. 3.Gerakan Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi Roma Katolik di Gereja Barat Masuk ke dalam abad keenam belas di Gereja Barat kita menemukan Gerakan Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi Roma Katolik. Martin Luther, Yohanes Calvin dan Ulrich Zwingli menyerang penyimpangan-penyimpangan praktek Gerreja Roma serta pengajaran-pengajaran resminya. Pengaruh reformasi di daratan Eropa ini dibawa ke Inggris sehingga Raja Henry VIII mendirikan Gereja Anglikan pada tahun 1534, dan John Knox membawa ajaran Calvinisme ke Skotlandia. Sebagai reaksinya Gereja Roma Katolik mengadakan Konsili di Trente ( 1561-1563) yang secara resmi merumuskan doktrin khas Roma Katolik: Api Penyucian, Indulgensia, Transubstansiasi, dan posisi-posisi lain yang diserang Protestantisme. Ajaran Protestan berkisar sekitar: Pembenaran oleh Iman saja, Keselamatan oleh rahmat saja, serta dasar iman dan kehidupan hanya Kitab Suci saja. Sakramen hanya dua saja: Baptisan dan Perjamuan Kudus, yang utamanya dimegerti hanya sebagai simbol atau kenangan saja. Gereja Katolik Roma lebih menegaskan lagi Keunggulan Kekuasan Paus serta kekuasaan hierarkhi yang juga sangat ditentang kelompok Protestan. Gerakan Kontra-Reformasi Roma Katolik terutama dipimpin oleh Ignatius dari Loyola yang mendirikan Ordo Yesuit, untuk membela Sri Paus dan doktrin-doktrin yang telah dirumuskan dalam Konsili Trente, dengan membantah ajaran Protestantisme sekaligus menarik Ummat Orthodox untuk menyatu dengan Roma.. Demikian juga Fransiscus Xaverius menyebarkan ajaran Katolik Roma itu sampai ke Asia (Timur Jauh). Pada saat ini juga terjadi reformasi spiritual di dalam Gereja Roma Katolik yang dipimpim oleh Teresa dari Avilla 34 Sementara itu Luther ingin mengadakan hubungan dengan Patriarkh Konstantinopel: Yeremia II. Karena permusuhan yang ada antara pemerintah Turki dan pemerintah Jerman, surat Luther dan terjemahan Pengakuan Augsburg ke dalam bahasa Yunani, baru sampai kepada Patriarkh Yeremia di Konstantinopel dua tahun kemudian, ketika Luther sudah meninggal. Namun korespondensi dilanjutkan antara Patriarkh Yeremia II dengan pakar theologia Lutheran: Melanchton, Osiander dan beberapa orang yang lain Korespondensi itu cukup lama dan panjang, namun akhirnya Patriarkh Yeremia meminta agar para pakar theologia Lutheran itu menghentikan saja korespondensi itu, karena ketika diingatkan oleh Patriarkh Yeremia bahwa beberapa ide dari Lutheranisme itu bersifat bidaah dan tak sesuai dengan Iman Rasuliah Orthodox yang Katolik yang tetap dipertahankan oleh Gereja Orthodox itu, mereka tetap mempertahankan diri. Maka korespondensipun berhenti sampai disitu. .. 4. Masa Pemerintahan “Ivan Yang Mengerikan” di Rusia Ivan Yang Mengerikan memerintah Rusia dengan tangan besi. Dia dengan kejam menyiksa siapa saja yang berani mengecam atau mengkritik tindakannya, termasuk diantaranya banyak rohaniwan Gereja yang menjadi korban kekejamannya. Dia ingin membuktikan bahwa Rusia adalah sungguh Roma Ketiga dan berada diatas negera-negara Orthodox yang lain. Bapak rohaninya sendiri Presbyter Sylvester dibuang dalam tawanan olehnya. Ketika Ivan yang mengerikan ini turun takhta maka dia digantikan oleh anaknya: Theodoros. Pada saat inilah Patriarkh dari Konstantinopel Yeremia II mengunjungi Rusia untuk meminta bantuan karena kondisi tekanan yang dialami Gereja Konstantinopel dibawah Turki. Pada saat kedatangannya inilah Episkop Ayub dari Moskow Patriarkh segenap Rusia pada tahun 1589. Kedudukan Rusia sebagai Gereja Patriarkhat diakui oleh Patriarkh Alexandria, Patriakh Antiokia dan Patriarkh Yerusalem pada tahun 1593. Sementara itu di perbatasan sebelah barat Rusia Kerajaan Polandia-Lithuania mulai berdiri dan mengambil banyak wilayah Rusia. Sehingga penduduk di daerah itu kebanyakan beragama Kristen Orthodox. Sedangkan pemerintahannya sendiri beragama Katolik Roma. Kaum Yesuit datang ketempat itu dengan membawa ilmu-ilmu dari Barat sehingga akibatnya terjadilah apa yang disebut sebagai Persatuan Brest-Litovsk dengan menggunakan persyaratan-persyaratan Konsili Florence sebagai landasannya. Ummat Orthodox yang masuk dalam persatuan dengan Roma ini boleh menggunakan cara ibadah dan tradisi Orthodox namun hierarkhinya dan ajarannya sama sekali harus tunduk pada Gereja Latin di Roma. Mereka inilah yang akhirnya dikenal sebagai Gereja “Katolik Timur”, yaitu Gereja Roma Katolik yang menggunakan Ritus dari Gereja Orthodox Timur, disamping itu mereka juga disebut sebagai kaum “Uniat”. Gerakan uniatisme ini tentu saja mendapat perlawanan sengit dari banyak orang. Perlawanan ini datangnya dari kaum awam yang membentuk lembaga persaudaraan yang mendapat restu dari Patriarkh Yeremia dari Konstantinopel untuk membela Iman Katolik yang Orthodox melawan usaha Gereja Roma Katolik ini. Disamping kesulitan yang dihadapi oleh Gereja Orthodox dari pihak Roma Katolik, ummat Orthodox juga menghadapi kesulitan dari Islam, dimana banyak ummat Orthodox yang menjadi martyr bagi mereka yang hidup di wilayah Islam. 5. Masa-Masa Sulit di Rusia 35 a. Skisma Kaum Percaya Lama Memasuki abad ketujuh belas Tsar Polandia yang baru saja dinobatkan menyerbu Rusia ketika Rusia baru saja kehilangan pemimpinnya karena meninggal. Banyak pemimpin Rusia ditawan dan dibunuh oleh pemerintah Polandia, termasuk Patriarkh Germogen Kesulitan ini diikuti dengan Skisma Kaum Percaya Lama di Rusia sebelah Utara. Patriarkh Nikon dari Moskow ingin mengadakan keseragaman dalam praktek-praktek Liturgis Gereja Rusia agar seirama dengan seluruh Gereja Orthodox yang lain, Dia ingin mengkoreksi ulang terjemahan-terjemahan buku-buku Liturgis yang ada. Dia juga ingin mengkoreksi cara orang Orthodox Rusia selama ini membuat tanda salib dengan dua jari: ibu jari dan telunjuk saja, harus dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dan hal-hal serupa itu yang lain. Menurut ukuran kita saat ini, perubahan semacam itu hanya kecil saja artinya, namun dalam mentalitas bangsa Rusia waktu itu, menyeragamkan praktek Rusia dengan praktek dari wilayah-wilayah Patriarkh yang lain, berarti menyangkal kedudukan Rusia sebagai “Roma Ketiga” karena harus tunduk pada patriarkh-patriarkh lain yang hidup dalam jajahan Islam, sehingga pembaruan yang sifatnya kecil itu menjadi ledakan besar. Usaha untuk mencari jalan tengah tidak berhasil, sehingga mereka yang menentang pembaharuan Nikon ini memisahkan diri dari Gereja Resmi, dan tetap mempertahankan praktek-praktek ritual lama Gereja Rusia, sehingga mereka disebut “Kaum Percaya Lama” atau “Kaum Ritualis Lama”. Nikon sendiri dipecat dan dipenjara Kaisar karena berani mengingatkan kesalahan Kaisar di depan umum, sedangkan pemimpin “Kaum Percaya Lama” dihukum mati oleh Kaisar. Teori Moskow sebagai Roma Ketiga, serta teori keunggulan Rusia atas Patriarkh-patriakh yang lainpun digugurkan. Pada tahun 1682 Kaisar Petrus yang Agung sangat ingin menyeragamkan praktek-praktek Gereja Rusia dengan Gereja Barat, namun untung ada Kaum Percaya Lama yang mempertahankan praktek-praktek Gereja Orthodox Rusia secara murni, kalau tidak ada mereka, telah musnahlah ciri khas Gereja Rusia. b. Gereja Orthodox (“Pseudomorphosis”) Dalam Tawanan Pemikiran Barat Pada saat ini Seminari theologia di Kiev didirikan. Banyak pengaruh metode dan sistimatik skolastikisme pemikiran Barat mempengaruhi Rusia pada saat ini akibat karya orang-orang Yesuit.. Sementara itu di wilayah Islam, para pemimpin Orthodox tidak mempunyai kesempatan memperkembangkan pemikiran theologisnya, karena mereka tak diijinkan keluar dari daerah mereka ataupun membuat sekolah theologia mereka sendiri. Sehingga masa ini Gereja Orhodox mengalami apa yang disebut “ Tawanan Pikiran Barat” atau “Pseudomorphosis “ selama dua ratus tahun. Artinya Gereja Orthodox tidak dapat berpijak pada theologia Orthodox yang otentik. Untuk melawan Katolik mereka menggunakan argumentasi Protestan, misalnya : Patriarkh Kyrillos Lukaris dari Konstantinopel yang sangat Calvinist, sehingga ajarannya ditolak Gereja sebelum dia meninggal ditenggelamkan pemerintah Turki ke dalam laut, serta Petrus dari Moghila yang untuk melawan Protestantisme menggunakan argumentasi Roma Katolik. Pada saat ini pemerintah Turki menghapuskan kemandirian Gereja-Gereja Orthodox yang lain dan dipaksa tunduk kepada kepatriarkhan Konstantinopel di Turki agar mudah pengawasannya. 36 Eropa baru saja pulih dari kekacauan agama akibat reformasi-kontra reformasi. Amerika sudah ditemukan dan banyak pengikut aliran baru akibat Reformasi Protestan mulai bertempat tinggal disana: Baptis, Quaker, Puritan, Konggregasionalis, dan lain-lain. Perpecahan dalam denominasi-denominasi terus terjadi dalam tubuh Protestantisme. 6. Masa pemerintahan Petrus Yang Agung di Rusia a. Di wilayah Turki Ummat Orthodox yang ada di wilayah Islam pada abad kedelapan belas mengalami banyak sekali kesulitan. Sehingga dalam waktu 73 tahun di abad ini tahta kepatriarkhan Konstantinopel digantikan oleh patriarkh-patriarkh sebanyak 48 kali. Ini menunjukkan kondisi yang mengenaskan dari ummat Kristen yang hidup dibawah pemerintahan Turki. Ini adalah saat yang paling pekat bagi ummat Kristen Orthodox. Namun ditengah situasi seperti ini tak berarti Gereja tak memiliki viatalitas dan kebenaranian untukl bersaksi. Muncullah Aghios Kosmas Aitolos seorang misionari yang sangat berani ditengah situasi yang hampir mustahil itu. Dia meninggalkan biaranya di Gunung Athos untuk mengajar Injil kepada ummat yang sedang teraniaya itu. Dia adalah pengkhotbah dan guru serta pelaku mukjizat. Akhirnya apa yang dilakukan itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri dengan dibunuh sebagai martyr di tangan orang-orang Turki. Aghios Makarios dari Korintus adalah pengkotbah dan missionari sekaligus, yang diangkat menjadi Episkop di Korintus. Dia mentobatkan banyak orang yang sedang dalam tekanan pemerintah yang memusuhi agama mereka itu. Aghios Nikodemas dari Gunung Athos, adalah orang yang bertanggungjawab bagi kebangunan rohani diantara ummat Orthodox ditengah-tengah jajahan Turki itu. b. Situasi di Rusia: Sinode Suci yang Memerintah Masa dalam “Tawanan Pikiran Barat” yang sangat skolastis itu masih mendominasi Rusia, terutama dalam diri Tsar Petrus yang Agung. Dia ingin membuat Gereja Orthodox Rusia itu menjadi seperti Gereja Lutheran di Jerman, sehingga dia memecat Patriarkh serta membubarkan sistim kepatriarkhan dan menggantikannya dengan sistim synode, yang disebutnya :Synode Suci yang memerintah., yang dirancang oleh Theophan Prokopovich yang sangat Pro-Protestan. Synode Suci ini terdiri dari dari para Episkop,. Para Presbyter, serta orang-orang awam yang ditunjuk oleh Kaisar dan harus tunduk kepada Kaisar sebagai pimpinan duniawinya. Ini adalah masa yang paling sulit bagi Gereja Rusia. Sistim “Synode Suci” yang sangat tidak Orthodox ini baru dibubarkan pada tahun 1918 (terlalu terlambat karena Revolusi Bolshevik sudah terjadi dan pemerintah Komunis sudah berkuasa) ketika seorang Patriarkh dipilih lagi untuk Gereja Rusia. Orang yang ditunjuk oleh Petrus Yang Agung menjadi pemimpin pertama dari Synode Suci ini adalah Stefan Iavorskii, yang sangat Pro-Roma Katolik. Itulah sebabnya ummat Orthodox baik yang dibawah Islam atau di Rusia terbagi menjadi Pro-Roma atau Pro-Protestan, dan harus membela salah satu dari kedua posisi yang asing dari Tradisi Theologia Orthodox sendiri itu. Tradisi Gereja Orthodox yang hidup hampir tak dikenal oleh situasi sejarah yang demikian ini. Orthodoxia betul-betul sedang dalam “Tawanan Pikiran Barat” dan theologinya betulbetul sedang mengalami “Pseudomorphosis” (“Perubahan Bentuk yang Palsu”). Namun suatu gerakan pembaharuan rohani yang otentik Orthodox sudah mulai juga pada abad yang dekaden bagi Gereja Orthodox ini. Ini mulai dengan ditemukannya lagi untuk pertama kali 37 sumber tradisional Iman dan spiritualitas Orthodox diantara lingkungan kaum rahib. Paisii Velikovskii (wafat 1794), seorang rahib dari Moldavia, pergi ke Gunung Athos, dan pulang membawa kitab “Philokalia”, yaitu kumpulan tulisan-tulisan spiritual dan theologis dari para Bapa Gereja Timur, yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Rusia. Dari sinilah secara pelan-pelan pemikiran yang otentik Orthodox mulai ditemukan kembali oleh Gereja. Pimpinan Gereja Rusia yang terkenal pada abad kedelapan belas ini Platon dari Moskow , pengarang banyak buku theologia, pendukung studi kesejarahan, serta perancang rencana yang membuat kembalinya Kaum Percaya Lama bersekutu dengan Gereja Orthodox.. Pada abad keselapan belas ini missionari Rusia mulai menyebarang Siberia ke Alaska, terutama Aghios Herman yang mentobatkan suku-suku Eskimo di Kutub Utara kepada Iman Kristen Orthodox, yang tetap menjadi iman mereka sampai kini. c. Gereja Barat Abad kedelapan belas adalah abad kebangunan rohani dan perluasan misi bagi Gereja Barat. Yohanes Wesley memulai Gerakan Methodisme di Inggris, dan dibawanya ke Amerika sampai mempengaruhi “Kebangunan Besar” di Amerika, yang merobohkan tembok-tembok pemisah diantara kaum Protestan, dan menjadi sumber theologia Evangelikal (Injili) nantinya. Jonathan Edwards (wafat.1758) dan George Whitefield (wafat 1770) pemimpin dai Gerakan Kebangunan Rohani Protestan ini. Namun pada saat ini juga semangat pencerahan dan romantisisme juga telah masuk ke dalam masyarakat Barat yang akan menjadi sumber bagi theologia liberal dalam kalangan ummat Protestan dan juga Katolik Roma. David Hume, Immanuel Kant, dan Frederich Schleimacher muncul pada saat ini pula Gereja Roma Katolik pada abad kedelapan belas mengalami gerakan misioner yang amat besar namun juga konflik dengan semangat pencerahan. 7. Kebangunan Rohani dan Gerakan Misi Gereja Orthodox Rusia a.Kebangunan Rohani Masuk kedalam abad kesembilan belas, kita masih menjumpai Gereja Rusia tetap dibawah tekanan pemerintah dengan Synode Suci yang dipaksakan ke dalam Gereja Orthodox itu. Inilah penyebab kelumpuhan Gereja sehingga tak mampu menghadapi Komunisme ketika itu muncul di Rusia, serta salah satu penyebab kejatuhan Rusia ke tangan Komunis nantinya. . Gereja sangat dikendalikan dan disensor dengan ketat oleh pemerintah, dimana Patriarkh tak dimilikinya, konsili-konsili Gereja tak pernah dilakukannya. Namun benih kebangunan rohani yang sudah mulai ditanamkan pada abad ke delapan belas itu mulai menghasilkan buah pada abad kesembilan belas ini. Pada saat ini muncullah seorang tokoh luar biasa Aghios Serafim dari Sarov ( wafat 1833). Dia adalah seorang rahib yang selama 20 tahun tinggal tersembunyi dalam hutan tenggelam dalam doa yang mendalam (terutama Doa Yesus), puasa, dan disiplin-disiplin rohani. Pada tahun 1825 dia keluar dari pertapaannya, dan disitulah kebangunan rohani di mulai. Ribuan orang datang untuk dijamah olehnya, dan ribuan orang disembuhkan. Dia mengetahui masalah orang sebelum diberi tahu. Disaksikan oleh muridnya:Motovilov, badannya mengeluarkan sinar terang yang menyilaukan seperti 38 yang terjadi ketika Yesus dimuliakan diatas gunung. Ini meneguhkan kembali apa yang telah dibela oleh Aghios Gregorius Palamas mengenai “Pengalaman Energi Ilahi” yang telah dinyatakan sebagai bagian dari ajaran resmi Gereja Orthodox. Aghios Serafim mengajarkan bahwa tujuan hidup Kristen adalah untuk mendapatkan Roh Kudus dan tenggelam di dalamnya, dan kalau Tuhan karuniakan sampai mengalami “Terang Tak Tercipta” seperti yang dialaminya itu. Disamping Aghios Serafim dari Sarov, tokoh pembaharuan dan kebangunan rohani Orthodox di Rusia adalah para tetua rohani dari Pertapaan Kerahiban Optina. Kebangunan rohani dalam Gereja Orthodox selalu terkait dengan kehidupan penyangkalan diri dan praketk Doa Batin: Doa Yesus. Yang terkait dengan hal ini adalah pengalaman-pengalaman energi ilahi dalam mukjizat-mukjizat, kesembuhan-kesembuhan, karunia pembeda-bedaan roh, karunia pemberitahuan hal sebelum terjadi dan terutama munculnya para “tetua rohani” yang memiliki karunia mengetahui isi hati seseorang ( “staretz” “yeronda”) , serta pengudusan kehidupan. Tokoh lain dalam gerakan kebangunan rohani Orthodox pada saat ini adalah: Episkop-Rahib Ignatii Brianchaninoff (wafat 1867) serta Theophan Sang Penyendiri (wafat 1867) yang menulis masalah-masalah rohani yang berjilid-jilid banyaknya. Juga munculnya suatu buku populaer mengenai “Doa Yesus” oleh seorang penulis Rusia yang tak dikenal namanya : “ Jalan Si Pengembara” (Di Indonesia telah diterjemahkan oleh Gereja Roma Katolik dari Yayasan Kanisius, dengan judul “Doa Tak Kunjung Putus”). Tokoh lain dari masa kebangunan rohani abad kesembilan belas di Rusia ini adalah seorang presbyter yang menikah : Romo Yohanes Sergieff dari Kronstadt ( wafat.1908). Dengan isterinya sendiri dia membuat rumahnya sebagai pertapaan, mereka berdua telah berjanji untuk hidup sebagai rahib dan rahibah dan mengubah kehidupan rumah tangga mereka menjadi kehidupan untuk Kristus. Romo Yohanes ini sangat terkenal sebagai seorang gembala Gereja. Dia berkhotbah.mengajar, dan menyembuhkan banyak orang melalui doa-doanya. Dia menekankan perlunya ambil bagian dalam Perjamuan Kudus sesering mungkin, serta mengikuti Sakramen Pengakuan Dosa sesering mungkin.Buku bimbingan rohaninya yang amat terkenal adalah :” Hidupku di dalam Kristus” . Disamping di bidang rohani, di bidang theologipun Gereja Orthodox pada abad kesembilan belas ini mengalami kebangunan. Tokoh-tokoh kebangunan theologia pada saat ini adalah Metropolitan Filaret dari Moskow ( wafat 1867), serta pakar theologia awam : Alexei Khomiakov (wafat 1860) yang karya-karya tulisnya - misalnya buku yang terkenal “Gereja Adalah Satu” - aslinya tidak diterbitkan di Rusia karena sensor pemerintah. Dia adalah salah satu dari tokoh-tokoh pemikir original yang menemukan kembali sumber otentik theologia Orthodox dari Iman Konsiliar dan Para Bapa Gereja Purba, serta Kehidupan Sakramental Gereja, dan melepaskan Theologia Orthodox dari “Tawanan Pemikiran Barat” yang berlandaskan pada kategori theologia Agustinian dan metode Skolastikisme, baik yang Roma Katolik ( sebagaimana yang dijabarkan oleh Thomas Aquinas) maupun yang Protestan ( sebagaimana yang dijabarkan oleh Luther dan Calvin, yang metode dan kategori pemikirannya menjadi pijakan semua bentuk aliran dan theologia Protestan selanjutnya ). Sejak saat itu sampai kini Gereja Orthodox telah menemukan kembali jati dirinya dan berpijak kembali kepada Ajaran Rasuliah yang Orthodox dan Katolik dari Gereja Purba, dan lepas dari “Tawanan Pemikiran Barat” dan dari penampakan palsu “Pseudomorphosis” itu. c. Gerakan Misi 39 Banyak orang Kristen Non-Orthodox menuduh Gereja Orthodox tidak pernah mengadakan misi keluar, dan hanya terkungkung dalam faham “mistik” dalam lingkup dirinya sendiri saja. Entah apa pula yang dimaksud mereka dengan “mistik” Gereja Orthodox ini. Namun mengenai tuduhan Gereja Orthodox tak pernah melakukan misi itu hanyalah karena ketidaktahuan sejarah Gereja Orthodox sejak zaman Purba, zaman Konsili pertama oleh Ulfilas, pertobatan Eropa Timur dan Rusia, bahkan ditengah-tengah tekanan Islam, serta karya Gereja Rusia yang sedang kita bahas ini. Sebagaimana di Gereja Barat, abad kesembilan belas di Rusia adalah juga abad kegiatan misioner. Presbyter Makarii Glukharev (wafat 1847) mendedikasikan dirinya bagi penginjilan suku-suku di Siberia. Dosen awam, Nikolai Ilminskii ( wafat 1891) menterjemahkan Alkitab dan buku-buku Gereja ke dalam bahasa suku-suku ini. Akademi Theologia yang didirikan di Kazan menjadi pusat kegiatan misioner dari Gereja Rusia. Pada saat ini, Episkop Nikolas Kasatkin dari Tokyo (wafat 1912) mentobatkan beribu-ribu orang Jepang kepada Iman Orthodox, dan pada saat meninggalnya, dia telah meninggalkan suatu gereja lokal yang mandiri ( sekarang Katedralnya “Nikolai-Do” ada di Tokyo), dengan Kitab Suci dan buku-buku Gereja dalam bahasa setempat dengan presbyter-presbyter orang-orang setempat. Aghios Herman yang telah kita sebutkan besama Romo Yohanes Veniaminoff juga mengabarkan Injil kepada suku Eskimo: Aleut dan meinggalkan orang-orang Eskimo mayoritasnya adalah pemeluk Iman Orthodox sampai kini. Pada saat ini pula banyak ummat Orthodox yang pindah dari tanah asli mereka untuk tinggal di negara-negara yang lebih bebas, terutama Amerika Serikat, Australia, Eropa Barat, Amerika Latin dan New Zealand. Mereka inilah yang akan menjadi penggerak misi Gereja Orthodox pada abad kedua puluh nanti. d. Masa Turkokratia Berakhir Secara theologia selama dua ratus tahun Gereja Orthodox dalam “Tawanan Pikiran Barat” dan akhirnya dapat melepaskan diri pada abad kesembilan belas. Demikian pula masa Turkokratia selama empat ratus tahun itu berakhir pula pada abad kesembilan belas ini. Pada abad ini sejumlah besar ummat Orthodox dapat merebut kemerdekaan mereka dari jajahan Turki Muslim. Perjuangan kemerdekaan Yunani pada tahun 1821 menyebabkan Patriarkh Gregorius dari Konstantinopel mati digantung pemerintah Turki. Sesudah Yunani merdeka menjadi negara mandiri, maka status mandiri dari Gereja Yunani diproklamasikan pada tahun 1833, dan diteguhkan oleh Konstantinopel pada tahun 1850. Sekolah theologia Halki di Konstantinopel didirikan, yang darinya, Theologia Otentik Orthodox disebarkan dan diajarkan kembali, seta banyak para pemimpin Orthodox dihasilkan oleh sekolah ini. Namun pada tahun 1970an ditutup lagi oleh pemerintah Turki sampai sekarang belum boleh dibuka. Gereja umania dan Srrbia serta Bulgariapun memperoleh status mendiri pada saat ini. e. Gereja Barat Pada abad kesembilan belas kita menemukan Protestantisme sedang mengalami konflik antara aliran theologia liberal dan Neo-Orthodoxy dengan kaum Konservatif, Evangelikal dan Fundamentalis. Sedangkan dalam Gereja Roma Katolik, pada awal abad ini dicanangkan Dogma Roma Katolik “Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal” oleh Paus Pius IX, tahun 1854. Sedangkan pada tahun 1870, Konsili Vatikan I, menegaskan doktrin “Paus Tak dapat Salah”, suatu doktrin yang makin menjauhkan Gereja Roma Katolik dari Gereja Orthodox. Pada tahun 1848 menanggapi sindiran-sindiran Paus Pius IX yang ditujukan kepada Gereja 40 Orthodox termasuk kedua doktrin baru yang dicanangkan oleh Gereja Roma Katolik, namun yang tak dapat diterima oleh Gereja Orthodox itu, maka para Patriarkh dari Timur mengeluarkan Surat Edaran yang menegaskan Sifat Konsiliar dari Gereja Orthodox. G. Zaman Modern ( Abad 20-21) V. Gereja Orthodox Masakini a.Situasi Gereja Orthodox dalam Diaspora Ada banyak hal terjadi selama abad kedua puluh dalam Gereja Orthodox. Terutama perpindahan ummat Orthodox dari negera asli masing-masing ke daerah-daerah yang telah kita sebutkan diatas. Sehingga terbentuk kelompok-kelompok ummat Orthodox yang berkumpul atas dasar kebangsaan. Dan mereka ini loyal kepada patriarkhat asal mereka masing-masing, sehingga terbnentuklah yurisdiksi-yurisdiksi yang bermacam-macam sesuai dengan asal negara mereka. Situasi ini sangat tidak sesuai dengan hukum Kanon. Namun di Amerika untuk mengatasi kekacauan yuridiksi ini diadakan persekutuan para Episkop Orthodox yang disebut “SCOBA” untuk pada akhirnya nanti membentuk satu Gereja Othodox Amerika. Keepiskopan Orthodox Yunani, membentuk suatu “ Pusat Misi Orthodox” yang sekarang telah menjadi milik bersama dari semua Gereja Orthodox yang ada di Amerika. Gereja di Yunani juga telah memiliki beberapa badan misi, dan yang terutama adalah “Apotosliki Diakonia” ( Pelayanan Apostolik) yang juga merupakan badan misi Gereja Orthodox. Pada tahun 1917 Rusia jatuh ke tangan Komunis, dan beribu-ribu pemimpin Orthodox yang dibunuh, dipenjarakan atau dibuang. Berjuta-juta ummat Orthodox mati dianiaya oleh propaganda atheisme di Rusia dan Eropa Timur. Namun pada tahun 1988 ketika Presiden Mikhael Gorbachev mencanangkan glasnots dan peretroiska, komunisme runtuh dan Gereja mengalami kebangkitan dan vitalitas kembali di Rusia. Pada tahun 1920 Patriarkh Ekumenis mengeluarkan Surat Edaran untuk segenap ummat Kristen mengadakan kerjasama. Dari situlah Gereja Orthodox akhirnya bersama GerejaGereja Protestan membentuk Dewan Gereja –Gereja seDunia. b.Misi Gereja Orthodox 1. Di Benua Afrika Pada tahun 1960 ada sekelompok orang Kristen kulit hitam Afrika yang membentuk suatu denominasi baru yang disebut “Gereja Orthodox Afrika.” Dengan berlalunya waktu mereka mengetahui bahwa Gereja Orthodox yang sebenarnya itu masih ada di Alexandria. Lalu mereka menemui Patriarkh Alexandria Kalsedon ( bukan Koptik ) dan menginginkan untuk menggabung dengan Gereja Orthodox. Dari permulaan awal inilah, sampai sekarang misi Gereja Orthodox mengalami kemajuan pesat di Uganda, Kenya, Tanzania, Kameroon, dan 41 banyak daerah Afrika lainnya termasuk Afrika Selatan. Dua orang Episkop Orthodox Kulit Hitam telah ditahbiskan sejak saat itu, dan presbyter-presbyter adalah orang lokal dengan liturgi dalam bahasa lokal. 2. Amerika, Eropa dan Inggris Perkembangan Gereja Orthodox di wilayah barat ini, tak lepas dari kehadiran ummat Orthodox Diaspora yang ada di negara-negara itu. Namun baru mulai mengalami kemajuan pesat ketika 2000 orang mantan pendeta Injili beserta ummatnya menemukan kembali Iman Orthodox itu, sehingga banyak orang-orang Barat non-etnik Orthodox dari segala macam latar-belakang yang sekarang mencari Gereja Orthodox dan dengan giat menyebarkan Iman Orthodox disitu. Tokoh-tokoh terkenal Gerakan ini adalah :Peter Gilquist, Gordon Walker dan lain-lain di Amerika, Sedangkan di Eropa dan Inggris tokoh terkenal terutama adalah :Michael Harper, seorang mantan Imam Gereja Anglikan dan tokoh Kharismatik Internasional. 3. Asia Gereja Orthodox Jepang sudah kita singgung sejarahnya. Gereja Orthodox Korea, pada mulanya adalah misi Gereja Rusia juga, namun ketika Rusia berperang dengan Jeang dan Jepang dikuasai Korea, semua milik Gereja Orthodox disita pemerintah Jepang. Ketika Korea merdeka milik Jepang jadi milik pemerintah Korea. Banyak ummat Orthodox yang meninggalkan Gereja, namun masih ada sedikit yang bertahan. Ketika Perang Korea Utara dan Selatan tahun 1950an, tentara perdamaian PBB dikirim ke Korea. Diantara mereka adalah tentara Yunani. Ummat Orthodox Korea yang masih sisa itu mendekati pasukan Yunani inimenceritakan keadaan mereka. Hal itu dilaporkan ke Yunani, dan sejak saat itu Gereja Orthodox Korea berada dalam wilayah Patriarkh Konstantinopel sampai sekarang. India disamping memiliki Gereja Syria Monofisit (Oriental Orthodox) di sebelah Barat pantai India, juga memiliki Misi yang dilakukan oleh Gereja Orthodox Kalsedonia di daerah Kalkuta. Ini juga berada di bawah Konstantinopel Demikian juga Gereja Orthodox Filipina. Untuk tujuan perkembangan misi di Asia, Patriarkh Konstantinopel`membagi Keepiskopan Agung Australia menjadi dua: Keepiskopan Agung New Zealand untuk Asia Pasifik dan Keepiskopan Agung Australia sendiri untuk benua Australia. 5. Indonesia a. Masa Sebelum GOI Sudah kita sebutkan bahwa Gereja Timur dari Persia telah hadir di Indonesia pada abad ketujuh di Pancur dan Barus, bahkan di Majapahit. Kisah mereka itu tidak ada kelanjutannya. Sejak zaman Belanda dan terutama pada tahun 1950an terdapat pula Gereja Timur, meskipun itu adalah Gereja Orthodox Oriental Armenia di Jakarta, namun dari anggotaanggotanya di dalamnya terdapat juga orang-orang Yunani. Mereka memiliki Gereja di Jalan Thamrin sekarang dan telah dibongkar menjadi Bank Indonesia pada tahun 1960an ketika zaman penerintahan Orde Lama., dan di Surabaya di Jalan Pacar 6, yang telah dibeli oleh komunitas Kristen Protestan, etnis Tionghoa.. Namun ketika terjadi pemberontakan G-30-S 42 banyak mereka ini yang meninggalkan Indonesia pindah ke negara lain, dan sejak saat itu komunitas Armenia ini tak ada lagi di Indonesia. b.Munculnya GOI (Gereja Orthodox Indonesia) Gereja Orthodox Indonesia bermula dengan perjumpaan seorang pemuda yang masih duduk di bangku SMA dengan Kristus pada hampir pertengahan tahun 1970an. Pada saat pertobatannya dia belum begitu banyak tahu tentang perbedaan macam-macam aliran Gereja. Pada pertengahan tahun 1970an dia berkecimpung aktif dalam gerakan kharismatik. Namun dia mulai menyadari perbedaan-perbedaan yang ada antara mereka yang nonkharismatis dan yang kharismatis. Demikian juga perbedaan yang ada antara beberapa macam aliran Gereja, terutama perbedaan menyolok antara Katolik dan Protestan. Dia mulai meragukan pilihannya sendiri, disamping mulai rindu akan cara-cara ibadah yang teratur. Dia ketemukan dalam Alkitab ada puasa, sembahyang dengan sujud dan lain-lain. Dia ingin mencari Gereja seperti diceritakan dalam Alkitab itu. Dia ingin tahu asal mula Gereja, dan keberadaan Gereja Purba. Pada tahun 1978 dia pergi ke Korea untuk belajar theologia. Disana selama kuliah pergumulannya belum selesai, namun pada awal tahun 1982 dia membaca buku tentang “Gereja Orthodox” dan menemukan jawaban pergumulannya. Dia mengunjungi Gereja Orthodox Korea. Singkat cerita pada tanggal 6 September 1983 dia telah diterima menjadi anggota Gereja Orthodox satu-satunya dan yang pertama dari Indonesia, dengan restu langsung dari Patriarkh Konstantinopel. Dari Korea pergi ke Yunani terutama banyak di Gunung Athos. Disitu mulai mengadakan korespondensi dengan saudara-sudara di Indonesia.Sehingga beberapa orang tertarik akan Iman Orthodox. Dari Yunani pergi ke Amerika melanjutkan kuliah di Holy Cross Greek Orthodox School of Theology. Dari situ ia melanjutkan kuliah di Ohio State University mengambil bidang study Anthropology Budaya namun juga pada saat yang bersamaan mengambil doktorat untuk bidang Religious Study di “Bethany Theological Seminary”, Dothan, Alabama. Setelah ditahbiskan di Amerika oleh Episkop Maximos dari Pittsburgh, PA, dia kembali ke Indonesia sebagai Presbyter Daniel Bambang Dwi Byantoro (penulis buku ini)pada tanggal 8 Juni 1988. Ia mulai pelayanannya di Mojokerto, namun kemudian pindah ke Solo. Di Solo ia mendirikan Yayasan “Suara Dharma Tuhu” sebagai wadhah pelayannanya, kemudian diubah menjadi “Yayasan Orthodox Injili.’ Sedangkan ketika di Amerika melalui korespendensi tadi, orang-orang yang tertarik kepada Iman Kristen Orthodox itu diundang ke Amerika dan diterima sebagai anggota Gereja Orthodox disana melalui Sakramen Krisma, serta melanjutkan kuliah theologia dan akhirnya mereka semua ditahbis sebagai presbyter dan sekarang sudah melayani di Indonesia: Presbyter Yohanes melayani di Surabaya dan Krian, Presbyter Lazarus melayani daerah Jogya dan Cilacap, Presbyter Matius membantu Romo Daniel di Jakarta. Disamping itu ada presbyter yang dididik di Korea: prebyter Methodios melayani daerah Boyolali, Presbyter Alexios melayani daerah Solo, Diaken Panteleimon melayani daerah Mojokerto. Yayasan Dharma Tuhu, yang kemudian diubah menjadi Yayasan Orthodox Injili Indonesia di Solo sebagai awal Presbyter Daniel memulai karya misinya itu,.tugas utamanya adalah menterjemahkan semua buku-buku liturgis Gereja ke dalam bahasa Indonesia disamping tugas penginjilan. Di Solo Presbyter Daniel dibantu oleh beberapa orang termasuk yang sekarang menjadi Presbyter Chrysostomos (Manalu), yang sesudah selesai kuliah di Yunani, dan melayani selama dua tahun di New Zealand, kini melayani untuk daerah Medan dan Tarutung. Sedangkan di Singaraja dan Denpasar , Bali, dilayani oleh Romo Stefanus yang juga telah menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Tahun 1989 adalah pembaptisan pertama kepada Iman Orthodox dari orang-orang yang 43 tertarik kepada iman Orthodox ini. Mulai dari saat itulah Gereja berkembang secara pelanpelan di Solo, sampai kini telah memiliki Gedung Gereja yang permanen. Sejak semula usaha untuk mendaftarkan ke Departemen Agama dilakukan. Pada tahun 1991 secara resmi Gereja Orthodox Indonesia yang berpusat di Solo telah di daftar di Departemen Agama Pusat,.dengan Keputusan No: 189/th.1991, dan diperbarui lagi dengan nomor : F/Dep.Kep./ Hk 005/ 19/637/ 1996 Tanggal 12 Maret 1996. Dari tahun 1989 s/d 1996 Gereja Orthodox Indonesia berada dalam wilayah Keepiskopan Agung New Zealand. Namun pada bulan Agustus 1996 Patriarkh Bartholomeus I pengganti ke 269 dari Rasul Andreas, berkunjung ke Hong Kong, dan Keepiskopan New Zealand dibagi dua. New Zealand hanya untuk Korea, Jepang dan Pasifik, sedangkan Hong Kong untuk Cina Raya dan Asia Tenggara dan bertanggung jawab untuk Indonesia atas nama Konstantinopel.. Episkop Agung Hong Kong yang sekarang adalah Metropolitan Nikitas Lulias. Gereja Orthodox Indonesia sekarang (tahun 2000) memiliki 7 presbyter Indonesia asli, dua orang diaken, seperti yang telah kita sebut diatas. Sedangkan Diaken Gabriel Raul masih sedang belajar di Amerika. Masih ada empat orang lagi pemuda Orthodox yang sedang belajar di luar negeri: Timotheos dan Margaretha di Athena, Yunani, Gregorios Eko di Tesalonika serta Yosua Waluyo Utamo di Amerika Serikat. Gereja Orthodox di Jakarta tadinya mengadakan pertemuannya sekali sebulan di Kedutaan Yunani. Kemudian ada perkembangan baru dimana pada tanggal 18 April 1997 diadakan baptisan yang menandai terbentuknya jemaat Gereja Orthodox di Jakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1997 secara resmi Jemaat lokal (paroikia) Gereja Orthodox ini diberi nama “Aghia Epiphania” suatu nama yang diberikan oleh Episkop sendiri. Sambil menunggu dibangunnya “Orthodox Christian Center” di tanah milik Gereja di Cinere, saat ini Gereja Orthodox beribadah tiap minggunya di rumah Bapak Roy Martin. . Pada tahun 1994 Presbyter Daniel diangkat sebagai “Arkhimandrit” ( gelar jenjang tertinggi untuk presbyter yang tidak menikah) oleh Metropolitan Dionysios dari New Zealand, serta ditetapkan sebagai Vikaris (Wakil) Episkop Agung untuk Indonesia, dan bertanggung jawab kepadanya. Karena perkembangan yang ada di Asia dan karya yang makin meluas dari Gereja Orthodox di Asia, maka Patriarkh Konstantinopel, Bartholomeus I, memutuskan untuk mendirikan suatu Ke-Episkopan Agung yang baru untuk Asia. Itulah sebabnya pada bulan Agustus tahun 1997, maka telah diciptakan suatu wilayah KeMetropolitan-an Hong Kong dan Asia Tenggara yang berkantor pusat di Hong Kong. Wilayah Gerejawi yang baru ini bertanggung-jawab atas semua Gereja-Gereja Orthodox di Asia: India, Singapura, Thailand, Filipina, Cina, Taiwan dan Hong Kong. Jepang dan Korea termasuk dalam wilayah New Zealand. Episkop Agung yang menjabat pada saat ini adalah Metropolitan Nikitas Lulias berkedudukan di Hong Kong. Dengan demikian Gereja Orthodox Indonesia ini dibawah penggembalaan rohani dari Metropolitan Nikitas Lulias tersebut.Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada tahun 2000 ini adalah, untuk pertama kalinya wakil-wakil rohaniwan dan wakil-wakil pengurus dari Gereja Orthodox Indonesia secara resmi bersilaturahmi dengan Presiden Republik Indonesia: Bapak K.H. Abdurrahman Wahid di gedung Bina Graha, Jakarta pada tanggal 13 Maret 2000. Serta diikut-sertakannya Gereja Orthodox Indonesia secara resmi dalam dialog interaktif dengan Presiden bersamasama dengan tokoh-tokoh agama lain serta tokoh-tokoh masyarakat di Gedung Pola, pada tanggal 20 Maret 2000. Dan yang tak kalah pentingnya adalah keikut-sertaan Gereja Orthodox Indonesia dalam Sidang Raya XIII PGI di Palangka Raya, Kalimantan Tengah pada tanggal 20-31 Maret 2000, yang dengan demikian makin mengokohkan tempat Gereja Orthodox dalam hubungan kemasyrakatan maupun ke-Gereja-an di bumi Indonesia ini. Ini penting bagi Gereja Orthodox Indonesia karena PGI itu terkait dengan WCC atau DGD (Dewan Gereja-Gereja seDunia) yang berpusat di Geneva Swiss. Sedangkan berdirinya WCC 44 itu awal-mulanya berasal dari inisiaytif dari Patriarkh Athenagoras dari Konstantinopel, yiatu Patriarkh dari Gereja Orthodox melalui Surat Edarannya yang dikeluarkan pada tahun 1920an. Padahal Gereja Orthodox Indonesia adalah bagian dari wilayah Patriarkh Ekumenis Konstantinopel ini. Dan di WCC Geneva, Gereja Orthodox adalah merupakan bagian yang integral dari lembaga persekutuan Gereja-Gereja secara internasional itu. Demikianlah sejarah Gereja Orthodox Indonesia, yang merupakan bagian resmi dari seluruh Gereja Orthodox di dunia ini. Kesimpulan Dari bukti-bukti sejarah yang kita bahas diatas terbuktilah bahwa Gereja Orthodox mempunyai sejarah yang tak terputus dengan Gereja Purba dan bahkan Gereja Perjanjian Baru itu sendiri. Gereja Orthodox tetap memelihara ajaran Rasuliah Gereja Purba itu tanpa tambahan ataupun pengurangan, serta mempraktekkan ibadah yang sama dengan Gereja Purba, dan tetap memiliki pusat-pusat dimana asal mula Kekristenan itu berada. Bahkan para patriarkh dan episkop serta presbyternya memiliki mata-rantai pentahbisan yang dapat dilacak ke belakang langsung kepada para rasul itu sendiri. Gereja Orthodox tak pernah mengalami dan tak memerlukan Reformasi ataupun Kontra-Reformasi, karena ajarannya tak ada satupun yang asing dari Injil itu sendiri. Pandangan theologinya bukanlah pandangan perorangan, misalnya:Agustinus atau yang lain, para sarjana Skolastik dalam Gereja Roma Katolik, ataupun pandangan perorangan seperti Luther atau Calvin dalam pihak Protestan, namun pandangannya bersifat konsiliar dari segenap Gereja. Iman Orthodox tidak tunduk pada negosiasi atau perubahan-perubahan keinginan filsafat manusia. Singkat kata Gereja Orthodox bukanlah hanya ingin meniru-niru Gereja Perjanjian Baru namun adalah Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang tetap hadir sepanjang dua puluh abad ini. Biarpun sejarahnya mengalami jatuh bangun dan derita, namun imannya, ajarannya, ibadahnya, dan ethosnya tak mengalami perubahan serambutpun. Ini tak berarti Gereja Orthodox tak pernah berkembang, namun perkembangan Gereja Orthodox selalu berlandaskan dan mengacu kepada Iman Rasuliah yang satu dan yang sama yang memangtak pernah berubah dalam hakekat isinya itu. Dengan kata lain dapat dikatakan Gereja Orthodox tetap setia memelihara kepenuhan dan keutuhan kehidupan dan Iman Perjanjian Baru itu tak terkoyakkan ataupun tergeserkan. Seutuh-utuhnya dan sepenuh-penuhnya Injil itu dipelihara tak berubah tanpa pengurangan ataupun penambahan selama 2000 tahun ini oleh Gereja Orthodox. 45 Daftar Pustaka . 2. Daniel, David ,” The Orthodox Church in India”, Miss Rachel David, New Delhi, 1986 5.Hopko, Thomas Father, “ The Orthodox Faith, Volume III, Bible and Church History, An Elementary Handbook on the Orthodox Church”, The Departement of Religious Education, he Orthodox Church in America, 1979 1.Hill, Henry, The Right Reverend, “Light From The East, A symposium On The Oriental Othodox and Assyrian Churches”, Anglican Book Centre, Toronto, Canada, 1988 3.Moffet , Samuel Hugh, “ History of Christianity in Asia” Harper, San Fransisco, 1992 4..Ruck, Anne Dr., “ Sejarah Gereja Asia”, P.T. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997 46 Kristen Orthodox Timur dan Kristen Orthodox Oriental: Kasus “Kenisah Orthodox Syria” di Indonesia. Dengan dimuatnya banyak publikasi mengenai apa yang disebut Gereja Orthodox Syria, yang sebenarnya bukan Gereja namun hanya “Yayasan Study” saja yang ada di Indonesia ini, dan sebaliknya kurangnya publikasi mengenai Gereja Orthodox Indonesia, terutama seperti yang termuat dalam artikel mengenai “Kristen Orthodox Syria” yang termuat dalam majalah Gatra No. 17 Tahun IV, 14 Maret 1998, halaman 84-85, maka banyaklah timbul informasi yang simpang siur mengenai apa sebenarnya Gereja Orthodox itu. Apalagi secara sengaja dan secara tendensius Bambang Noorsena menuduh dan mengkaburkan Sejarah dengan mengatakan bahwa Gereja Orthodox Yunani itu adalah bagian Gereja Barat, suatu hal yang akan dipertanyakan secara Sejarah maupun secara wacana Internasional. Karena semua orangpun tahu bahwa Gereja Orthodox, Yunani, Rusia, Serbia, Rumania, Antiokhia, Alexandria termasuk Gereja Orthodox Indonesia apapun bentuk budayanya adalah “Gereja Timur” dengan latar-belakang etnis dan budaya, serta aqidah yang berbeda dari Gereja Barat yaitu Roma Katolik dan denominasi-denominasi Protestan. Untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya, maka perlu kita bahas masalah itu: 1. Mengenai Asal-Usul Gereja Orthodox Dalam artikel utama laporan Gatra mengutip pendapat Cak Nur bahwa aliran Kristen Orthodox Syria ini “lebih murni ketimbang Kristen yang berkembang di Barat” dan disebut sebagai “Kristen yang paling asli”. Namun di dalam artikel dalam box dikatakan bahwa “paham Orthodox lahir dari perselisihan antara Gereja Alexandria dan Gereja Roma serta Kaisar Konstantin” pada tahun 451 Masehi. Yang “murni” dan “asli” bagaimana bisa baru muncul 5 abad kemudian? Lagipula disini terdapat kekacauan sejarah, Konstantin sudah mati sebelum Konsili ( Majma ) Ekumenis (Sejagad ) yang kedua, tahun 381 diadakan, yaitu pada tahun 337. Sedangkan pada tahun 431, saat diadakan Konsili ketiga di Efesus, Gereja Timur di Syria yang tadinya adalah bagian dari Gereja Orthodox universal terpecah menjadi dua yaitu yang berada di Persia terkenal dalam sejarah sebagai Gereja Nasthuriyah (Nestorian) karena dianggap mengikuti ajaran Patriarkh berkebangsaan Syria yang menjabat di Konstantinopel ( Istambul) di Byzantium ( Kerajaan Romawi Timur yang kemudian menjadi negara Turki) yaitu Patriarkh Nestorius, dan Gereja Orthodox Syria yang berada di sebelah Barat dari Persia yang saat itu masih menyatu dengan Gereja-Gereja Orthodox yang lain. Jadi tak mungkin Konstantin masih hidup pada saat Majma Khalkaduniyah (Konsili Kalsedonia) pada tahun 451 itu diadakan. Gereja Orthodox bukan lahir pada saat Konsili Kalsedonia tahun 451 itu. Istilah Orthodox sudah digunakan sejak abad kedua ketika Gereja Kristen yang satu pada saat itu harus melawan ajaran-ajaran bidaah (“heterodox”) terutama “Gnostikisme” dengan menekankan kemurnian ajaran asli dan murni dari para Hawariyyin (para rasul Kristus) yang hanya satu dan tak bermacam-macam sebagai ajaran yang lurus (“Orthodox” dari kata Yunani “Orthos = Lurus, Benar , dan”Doxa” = Pemikiran, Pengajaran, Kemuliaan). Gereja Othodox yang satu ini juga disebut sebagai “Katolik “ (dari kata Yunani “Kath’” = menurut, sesuai dengan, dan “Olon” = keseluruhan, keutuhan ). Dan yang pertama kali menyebut Gereja Orthodox yang satu di zaman purba itu sebagai “Katolik” adalah Patriarkh ( Episkop, Uskup) Gereja Antiokhia Santo Ignatius pengganti 47 ketiga dari Rasul Petrus, dalam surat-suratnya sebanyak tujuh buah yang sekarang masih ada dan dihormati oleh Gereja-Gereja Orthodox. Jadi istilah “Katolik” yang digunakan oleh Gereja Purba yang satu itu tak boleh dikacaukan dengan fenomena keagamaan modern yang akhirnya disebut agama “Katolik Roma”. Gereja Kristen Purba yang satu yang disebut “Orthodox” dan “Katolik” itu pada Konsili Ekumenis tahun 325 Masehi menetapkan empat pusat yang dipimpin masing-masing oleh seorang Patriarkh ( Al-Batrik) yang juga disebut Paus ( Al-Baba), yaitu :Roma, Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem. Pada Konsili kedua di Efesus tahun 381 ditetapkan lagi pusatnya menjadi lima, dengan urutan: Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem. Pada saat Konsili ketiga tahun 431 muncul mazhab Nasthuriyah atau Nestorian yang memisahkan diri dari wilayah administrasi Gereja Syria Antiokhia. Nestorius menekankan bahwa Almasih memiliki dua pribadi dan dua kodrat yang saling terpisah-pisah yaitu kodrat aslinya sebagai Kalimatullah, serta kodrat kemanusiaan yang diambil dari Maryam pada saat turun ke bumi. Mazhab Nasthuriyah (Nestorian) inilah merupakan Gereja Syria Timur yang bermukim di Persia, dan mazhab inilah yang banyak bersinggungan dengan sejarah munculnya Islam. Pada abad kelima muncul ajaran “Eutychianisme” yang menekankan bahwa Isa Almasih hanya memiliki “kodrat tunggal” yaitu kodrat ilahi saja. Artinya Isa itu adalah berkodrat Allah saja, sehingga ajaran ini disebut “Faham Kodrat Tunggal” atau “Monophysitisme” ( Mono= satu-satunya, Physis = kodrat). Untuk menyelesaikan masalah ini maka Konsili Kalsedonia (Majma Khalkadunya) diadakan pada tahun 451. Dalam Konsili itu ditegaskan bahwa Isa berpribadi tunggal yaitu pribadi Kalimatullah, namun dalam pribadiNya yang tunggal itu terdapat dua kodrat yaitu kodrat asliNya sebagai Kalimatullah yang kekal dan kodrat baru yang makhluk yang diambil dari Maryam akibat turunNya ke bumi sebagai manusia. Dua kodrat itu manunggal dalam satu pribadi Kalimatullah yang hanya tunggal itu secara tak terpisah - pisah, tak terbagi-bagi, tidak kacau dan tidak berbaur. Atas perumusan ajaran Kitab Suci dalam Konsili Kalsedonia yang seimbang ini Patriarkh Dioskoros dari Alexandria bersama “sebagian” ( bukan seluruhnya) ummat dari Gereja Syria yang bukan mazhab Nasthuriyah (Nestorian) menolak dengan lebih menekankan “kodrat tunggal” Almasih diatas. Dan dalam Konsili yang disebut sebagai “Konsili Para Perampok” yang dipimpin oleh Dioskoros itu Eutychus dinyatakan tak bersalah. Sehingga Dioskoros dianggap mengikuti faham “Monofisit” dari Eutyches ini, demikian pula semua orang yang mengikuti jejak Dioskoros ini akhirnya entah benar atau salah dikenal sebagai Kaum Monofisit dalam sejarah, termasuk di dalamnya Gereja Syria yang memisah itu. Karena adanya istilah “dua kodrat” itu ummat yang oleh sejarah dikenal sebagai kaum Monofisit (entah benar atau salah) ini menganggap bahwa Konsili Kalsedon itu berbau bida’ah Nestorianisme yang telah dikutuk dalam Konsili sebelumnya. Namun mereka ini tak dapat melihat bahwa yang ditekankan oleh Kalsedonia justru adalah “ketunggalan Pribadi Almasih” seperti yang telah dijelaskan diatas. Akhirnya mereka ini menyempal dari Gereja Orthodox alur besar tadi ( yang termasuk di dalam Gereja Orthodox alur utama ini adalah Gereja Orthodox Syria Antiokhia yang bukan mazhab “kodrat tunggal”-). Dan oleh sejarah mereka yang menolak ini dikenal sebagai kaum “Monophysit”.Jadi Gereja Timur Syria ini memiliki tiga kelompok : Nasthuriyah (Nestorian, Gereja Timur Assyria, Pre-Efesus), Monophysit ( yang di zaman kemudian disebut sebagai Gereja Orthodox Syria, atau Gereja Orthodox Oriental,), dan Gereja Orthodox Syria Antiokhia yang termasuk dalam keluarga besar Gereja Orthodox alur utama yang memiliki persekutuan dengan Gereja-Gereja Orthodox alur utama lainnya termasuk dengan Gereja Orthodox Yunani, dengan demikian termasuk bagian dari Gereja Orthodox Indonesia. Dengan melihat apa yang diajarkan Kitab Suci seperti yang dirumuskan oleh Konsili Kalsedonia itu, pernyataan dalam artikel Gatra yang mengutip bahwa “ Allah telah mati 48 disalibkan sebagai ganti ummat manusia”, sebagai dinyatakan sebagai ucapan darui sdr. Bambang Noorsena S.H, jika ini benar maka kelihatan sekali itu sebagai ungkapan yang merupakan ajaran “Monophysitisme” murni. Padahal menurut Iman Kristen Orthodox yang benar diajarkan bahwa Allah itu roh yaitu ghaib tak berjisim dan tak bertubuh, bagaimana bisa disalibkan? Oleh karena istilah Orthodox yang benar dan tepat adalah bahwa “Kalimatullah yang menjelma disalibkan dalam kemanusiaanNya”. Inilah ajaran Iman Orthodox yang murni yang bukan diwarnai faham Monophysit itu. Juga diputuskan dalam keputusan nomor 28 dari Konsili Kalsedon ini bahwa Patriarkh (Paus) di Konstantinopel mempunyai hak dan kedudukan sejajar dengan Patriarkh (Paus) di Roma, karena kedua-duanya menjabat di Ibu kota Kerajaan, yang lama (Roma) dan yang baru (Konstantinopel). Yang menjadi Paus (Patriarkh) di Gereja Roma pada saat Konsili keempat ini adalah Paus Leo (Al-Baba Laon) sedangkan yang menjadi Patriarkh di Konstantinopel pada saat ini adalah Patriarkh Flavianus. Gereja Syria yang tetap menyatu dengan Gereja Orthodox yang lain dalam alur besar yang menjunjung isi rumusan Konsili Kalsedonia itu masih ada sampai sekarang dan dipimpin oleh Patriarkh Ignatius IV orang Arab-Syria asli, dan tetap beribadah dalam bahasa Arab sampai kini. Dan Gereja Syria yang memisah yang oleh sejarah dicap sebagai ummat :”Monophysit” itu akhirnya oleh perjuangan Uskup Yakub Baradeus, atau Yakub Burdana berhasil membentuk komunitas Gereja Syria Non-Kalsedon, yang terkenal sebagai Gereja Ya’kubiyyah atau Gereja Yakobit dan sekarang dipimpin oleh Patriarkh Mar Moran Ignatius Zaka I Iwas. Kelompok Gerejawi yang terkenal sebagai kelompok “Syria-Yakobit” inilah yang di Indonesia ini - seperti yang telah kita sebut diatas - membentuk Yayasan Study yang tak berbentuk Gereja bernama :Kanisah Orthodox Syria.Inilah yang dimuat oleh majalah Gatra itu. Bersama dengan Gereja Koptik, Armenia, Ethiopia, dan India mereka sekarang disebut sebagai kelompok Orthodox alur kecil atau Orthodox Non-Kalsedonia atau Orthodox Oriental.Nama Monophysit tak digunakan lagi bagi mereka karena itu dianggap menghina. Sedangkan Gereja Orthodox alur besar, atau Gereja Orthodox Kalsedonia, atau Gereja Orthodox Timur itu termasuk didalamnya :Orthodox Yunani, Orthodox Rusia, Orthodox, Rumania, Orthodox Finlandia, Orthodox Yugoslavia, Orthodox Syria-Antiokhia, Orthodox Palestina, Orthodox Amerika, Orthodox Jepang, Orthodox Indonesia, dan lain-lain. Gereja Orthodox yang sebenarnya itu tak bersifat kesukuan ataupun etnisitas namun merangkul seluruh suku dan bangsa. Jadi tidak tepat jika mengatakan Gereja Orthodox alur utama itu sebagai “Greek Orthodox” (“Orthodox Yunani”) jika yang dimaksud adalah menunjuk etnis Yunani, sebab Yunani hanya salah satu unsur saja yang ada didalamnya. Dan Gereja Orthodox di Indonesia secara resmi tidak bernama “Orthodox Yunani” (“Greek Orthodox”) namun “Gereja Orthodox Indonesia”.Yang didalamnya itu Roy Marten, dan isterinya :Anna Maria, serta adiknya Chris Salam dan isterinya menjadi anggotanya. Ini disebut Gereja Orthodox Indonesia karena unsur ke-Indonesiaannya yang ditonjolkan, juga unsur ke-Semitik-annya melalui penggunaan Ibadah Orthodox sebagaimana yang dilakukan oleh Gereja Orthodox Syria Antiokhia, yaitu dalam bahasa Arab. Jadi memang tidak tepat mengatakan bahwa Gereja Yakobit- yang di Indonesia ini disebut Kanisah Orthodox Syria dan dipimpin oleh sdr. Bambang Noorsena S.H.- itu satu-satunya yang Semitik, sebab Gereja Syria Antiokhia yang Orthodoxpun – yang didalamnya Gereja Orthodox Yunani dan Gereja Orthodox Indonesia termasuk - adalah Semitik tulen dan termasuk dalam keluarga Gereja-Gereja Orthodox alur utama.Pada abad ketujuh di Pancur dan Barus, Sumatra Utara, Gereja Timur ini telah datang ke Indonesia. Demikian juga pada jaman Belanda Gereja Armenia berada di Indonesia memiliki Gereja di Jakarta yang sekarang menjadi gedung BI di Jalan Thamrin, dan di Surabaya di Jalan Pacar sekarang menjadi Gereja Tionghoa. Pada tahun 1054 Gereja Alur Besar yang dari zaman 49 purba disebut sebagai Orthodox dan Katolik sekaligus itu, mengalami perpecahan. Gereja Barat mandiri sendiri disekitar pemimpinnya Patriarkh atau Pausnya sendiri yang berpusat di Roma itu dan lebih dikenal sebagai Katolik sehingga disebut sebagai Roma Katolik. Sedangkan Gereja Timur tetap menyatu antara keempat Patriarkhnya yang ada di Konstantinopel, Aleksandia, Antiokhia dan Yerusalem, dan lebih dikenal sebagai Orthodox, meskipun sebagai Gereja rasuliah yang asli dan tak berubah-ubah itu dalam syahadatnya tetap mengakui dirinya sebagai Gereja yang " satu, kudus, Katolik dan Apostolik”. Jadi jelas Gereja Orthodox bukan aliran baru. Sedangkan Gereja-Gereja Timur yang memisah itu dan yang kemudian disebut sebagai Gereja-Gereja Monophysit itu di zaman modern ini sesudah dialog-dilaog ekumenis lebih sering disebut sebagai Gereja-Gereja Orthodox NonKalsedonia, Gereja-Gereja Orthodox Oriental. Sebutan “Monophysit” adalah nama yang dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah. Karena “mono” artinya “satu-satunya” yang adalah ajaran dari Eutyches yang jelas ditolak oleh Gereja Orthodox alur utama dan ternyata dalam perkembangannya kemudian Gereja Non-Kalsedoniapun menolaknya. Yang sebenarnya sekarang dipercayai oleh Gereja-Gereja Non-Kalseonia ini haruslah disebut “Miaphysit”.Karena “mia” artinya “tunggal”, yaitu Almasih memiliki kodrat tunggal yang berasal dari dua kodrat: ilahi dan manusia. Jadi ajaran Gereja Non-Kalsedonia masakini termasuk didalamnya Gereja Orthodox Syria lebih mendekati ajaran Orthodox alur utama. Oleh alasan-alasan politik, budaya, ekonomi dan ras, yang akhirnya hal-hal theologis itu dijadikan panji-panji, Gereja Alexandria dengan cabangnya yaitu Gereja Ethiopia beserta Gereja Syria dengan cabangnya Gereja Thomas-India, serta Gereja Armenia ini menolak hasil keputusan Konsili Kalsedonia tahun 451 Masehi, karena mereka menganggap hasil keputusan ini bersifat Nestorianistis, yang tentu saja merupakan anggapan yang tidak benar, seperti yang telah kita jelaskan.. Dan sejak saat itulah secara pelan-pelan melalui proses yang panjang Gereja Alexandria dan Gereja Syria yang memisah ini akhirnya dituduh sebagai “Monofisit” karena meyakini Kristus hanya memiliki “satu kodrat”. Dan tuduhan ini bukan sama sekali tanpa dasar, karena sampai sekarangpun Gereja Ethiopia yang merupakan cabang kegerajaan Koptik sangat kokoh dalam menyebut diri mereka sebagai “Monofisit” sehingga mereka menyebut Gereja mereka Gereja “Tewahido” (“The Ethiopian Tewahido Orthodox Church”) yang sebanding dengan bahasa Arab “Tawhid” (ke-Esa-an). Jika dalam Islam dan dalam Iman Kristen Orthodox istilah Tauhid ini digunakan untuk menyebut ke-Esa-aan Allah yang Maha Tunggal, namun dalam Gereja Ethiopia menggunakannya untuk “kodrat tunggal’ Kristus. Jadi Gereja Ethiopia sangat bangga jika disebut sebagai “Monofisit”, atau “faham kodrat tunggal” itu. Gereja Mesir Non-Kalsedonia inilah yang disebut sebagai Gereja Koptik, artinya Gereja Qypti yaitu orang Mesir, serta Patriarkhnya berkedudukan di Kairo, sedangkan Gereja Aleksandria yang menerima Rumusan Kalsedonia memiliki Patriarkhnya sendiri yang tetap berkedudukan di Alexandria, dan merupakan bagian dari Gereja Orthodox alur utama yang bersekutu dengan Gereja Orthodox internasional alurutama termasuk dengan Gereja Orthodox Yunani, dan bertanggung jawab bagi misi Orthodox bagi bangsa-bangsa Afrika kulit hitam, dengan bahasa Yunani dan bahasa Arab dan bahasa-bahasa Negro Afrika,sebagai bahasa ibadah dan bahasa liturgi Gereja. Gereja Koptik, meskipun sampai sekarang menggunakan bahasa asli Koptik -bahasa pada zaman Firaun- tetapi menggunakan abjad huruf Yunani dengan pengaruh bahasa Yunani yang sangat kental di dalamnya, dan ini tetap dipelihara di dalam liturgi dan ibadah Gereja ini, disamping bahasa Arab. Dalam Gereja Syria, mereka menggunakan bahasa Syria ekspresiekspresi bahasa Yunani yang dipinjam tanpa diterjemahkan dan Arab. Semua Gereja-Gereja ini juga menggunakan bahasa-bahasa Eropa di tempat ummat mereka tinggal di negaranegara itu, sedangkan yang di India mereka menggunakan bahasa Malayalam. Secara wilayah 50 hukum, Gereja Koptik dan Gereja Syria ini tidak berhubungan dengan Gereja Kalsedonia ( Yunani Orthodox, Rusia Orthodox, Romania Orthodox, Palestina Orthodox, Antiokia Orthodox. dan lain-lain), namun berhubungan dengan wilayah hukum Gereja-gereja lain yang Non-Kalsedon (Ethiopia , Syria -Yakobit, Armenia , Gereja Thomas di India) yaitu mereka yang tidak menerima keputusan Kalsedonia tahun 451. Melalui dialog-dialog dengan pihak Orthodox alur utama umat Non-Kalsedon ini telah berusaha mengklarifikasikan ajaran mereka dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan.Mereka mengaku – kecuali Gereja Ethiopia yang tetap mempertahankan rumusan “Monofisit”- tetap memegang ajaran Orthodox yang satu dan yang sama, kecuali dalam hal rumusan mengenai “tabiat Kristus.” yang dimengertinya sebagai “satu kodrat” (“monofisit”) tadi. Dalam forum-forum internasional mereka selalu dalam satu kelompok, terutama dalam Dewan Gereja Dunia WCC, kedua tradisi Gereja Timur (Orthodox dan Oriental) itu hanya memiliki satu wadah Orthodox saja. Bahkan persatuan pemuda Orthodox Internasional :Syndesmos, itu juga merupakan wadah bersama antara Non-Kalsedonia dan Kalsedonia.Inilah bukti tak terbantahkan akan pengakuan internasional bahwa Gereja Orthodox Yunani itupun adalah Gereja Timur bertentangan dengan teori sdr. Bambang Noorsena bahwa Gereja Yunani itu termasuk Gereja Barat. Gereja-Gereja Orthodox Kalsedonia yaitu Gereja Orthodox alurbesar, sesuai dengan rumusan Kalsedonia menegaskan bahwa Kristus itu memiliki “duakodrat (manusia-ilahi) dalam satu hypostasis” sedangkan Gereja-Gereja Orthodox NonKalsedonia mengatakan Kristus itu memiliki “satu kodrat yang berasal dari dua kodrat, yaitu :Kodrat menjelma”. “Satu Kodrat” dari rumusan Non-Kalsedonia inilah yang sebenarnya ditegaskan oleh Konsili Kalsedonia sebagai “satu hypostasis” (“satu Pribadi”), dan “ Yang Berasal dari Dua Kodrat atau Kodrat Menjelma” itulah apa yang disebut oleh Rumusan Kalsedon sebagai “Dua Kodrat” karena menjelma berarti “Yang Ilahi telah Menjadi Manusiawi” berarti ada Kodrat Ilahi dan Kodrat Manusiawi.Baik Kalsedonia maupun NonKalsedonia mengatakan bahwa persatuan dua kodrat itu adalah persatuan “ tanpa kacau, tanpa campur-baur, tanpa terbagi-bagi, tanpa terpisah-pisah”. Dengan demikian yang ilahi tetap ilahi tidak menjadi manusia, dan yang manusiawi tetap manusia tidak menjadi ilahi, namun keduanya telah manunggal dalam kesatuan yang dalam rumusan Kalsedonia adalah kesatuan dalam “SATU HYPOSTASIS” sedangkan menurut Non-Kalsedonia kesatuan dalam “SATU KODRAT MENJELMA”. Jadi menurut Rumusan Kalsedonia obyek kesatuan dari “Dua Kodrat” yang tak terpisah dan tak terbagi itu adalah “hypostasis” atau ‘Pribadi” dari Firman Allah, sedangkan menurut penghayatan Non-Kalsedonia obyek kesatuan dari “Dua Kodrat” yang telah manunggal secara tak terpisah dan tak terbagi itu adalah “kesatuannya itu sendiri”. Itulah sebabnya Rumusan Kalsedonia itu sebenarnya menegaskan dan lebih menjelaskan apa yang dimaksud oleh Non-Kalsedonia secara lebih tegas dan lebih matang, dan merupakan suatu kesimpulan logis daripadanya.Inilah satusatunya perbedaan yang ada antara Gereja-Gereja Non Kalsedonia (- yang disebut sebagai “Monofisit”-) dengan Gereja-Gereja Kalsedonia, selebihnya ajaran kedua tradisi Gereja Timur (Orthodox Non-Kalsedonia dan Oriental Non-Kalsedonia ) sangat mirip sekali. Iman Orthodox itu bukan aliran namun Iman Rasuliah atau Iman Perjanjian Baru itu sendiri. Seluruh awal sejarah Kekristenan dimulai di daerah Timur Tengah dan Timur Dekat. Dan rumusan-rumusan theologis yang menjadi landasan Iman Kristen sejak Nikea tahun 325 Masehi, Konstantinopel tahun 381 Masehi, Efesus tahun 431 Masehi, Kalsedonia tahun 451 Masehi sampai dengan Konstantinopel tahun 787, dilakukan di daerah Timur Tengah/Timur Jauh ini, yaitu di pusat Kerajaan Kekristenan Orthodox Purba: Byzantium. 51 Pada zaman Purba ini Kekristenan memiliki ajaran yang satu dan tunggal, serta lima kota menjadi pusat Kekristenan waktu itu: Yerusalem di Palestina, Antiokia di Syria, Alexandria di Mesir yang pada mulanya didirikan dan diinjili oleh Markus penulis Injil, Konstantinopel (Istambul) di Byzantium (Turki), dan Roma di Italia. Kelima pusat ini masing-masing dipimpin oleh seorang Patriarkh (Paus). Patriarkh artinya Bapa (Patri = pater) Pemimpin (Arkhi), sedangkan Paus berasal dari kata ‘Papa” artinya :Bapa. Roma dan Konstantinopel ditetapkan (-terutama oleh Konsili Kalsedonia tahun 451 Masehi-) sebagai yang berkedudukan sama, meskipun Paus di Roma dianggap yang dihormati karena letaknya di Ibukota Kerajaan yang lama, dan Konstantinopel berkedudukan sesudah Roma dalam penghormatan, karena Konstantinopel adalah Ibukota Kerajaan yang baru dan disebut sebagai : Nea Romee ( Roma baru ). Namun masing-masing dari antara kelima Paus (Patriarkh) itu mempunyai kedudukan yang sejajar. Alexandria adalah pusat intelektualitas yang tinggi saat itu bersama dengan Antiokia di Syria. Banyak dari tokoh-tokoh Alexandria yang sangat berjasa dalam membela Iman Kristen misalnya, Athanasios dan Kyrilos masingmasing dalam Konsili Nikea (325) melawan Arianisme dan Efesus (431) melawan ajaran Nestorius. Gereja Orthodox Kalsedonia disebelah Barat yang berpusat di Roma pada tahun 1054 memisah dari kesatuan dengan Gereja-Gereja Timur, dan sesudah perpisahan mereka ini lalu disebut sebagai Gereja Roma Katolik, dan pada tahun 1517 Gereja Barat ini terpecah menjadi dua antara Katolik Roma dan Protestan, serta dari Protestan inilah munculnya bermacam-macam aliran yang berbeda-beda. Berbeda dengan terpisahnya Roma Katolik dari Orthodoxia, yang bukan dikarenakan adanya ajaran Orthodox yang diprotes oleh Roma Katolik, namun karena perkembangan di Barat sendiri yang berkembang secara berbeda dari ajaran Rasuliah dan Gereja Orthodox justru memperingatkan dan memberikan sanggahansanggahan terhadapnya, keluarnya Protestan dari Roma Katolik itu memang merupakan Gerakan Protes terhadap apa yang dianggap penyimpangan Roma Katolik, yang menyebabkan mereka lebih tak berhubungan lagi dari Orthodoxia itu. Setelah 1500 tahun terpisah antara Gereja-Gereja Non-Kalsedonia ini dengan Gereja Kalsedonia ternyata dari segi ibadah keduanya masih setia mertahankan tradisi ibadah dari zaman purba. Semua Gereja Timur baik yang Orthodox atau yang bukan (Oriental Orthodox/Monofisit dan Assyria/Nestorian), memiliki sholat tujuh waktu, dengan berbahasa Arab dan tilawat Kitab Sucinya sekaligus, dan juga dilakukan di Indonesia. Karena di Gereja Orthodox Indonesia juga dikunjungi umat Orthodox dari Timur Tengah yang ikut berbakti disitu, baik dari Mesir (Koptik) maupun dari Libanon. Jadi biarpun orang bukan Kalsedon tak dilarang berbakti dalam Gereja Kalsedon dan ambil Perjamuan Kudus di dalamnya, terutama untuk ummatnya.. Selain sholat tujuh waktu ada juga sholat tiga kali sehari sebagai sholat harian sedangkan Hari Minggu itu semacam sholat Jum’atan dalam Islam jadi bukan pengganti sholat harian tadi. Semua Gereja Timur mengenal puasa selama empat puluh hari menjelang Paskah.. Diluar puasa pada bulan puasa ini dalam seminggu ada dua kali puasa yaitu Hari Rabu dan Jum’at sebanding puasa sunnah Senin dan Kamis dalam Islam. Semua wanita Orthodox di Indonesia ini tetap menggunakan kerudung pada saat sholat harian di rumah maupun pada saat ke Gereja. Ummat Orthodox beribadah di Gereja tanpa menggunakan kursi seperti di Mesjid dan melepas sepatu, dan anak-anak laki-lakipun dikhitan jika dikehendaki. Imam-Imam atau Presbiter-Prebiter (Gereja Orthodox tak menggunakan istilah Pendeta) semua mengenakan jenggot meskipun semua adalah orang asli Indonesia. Jadi ciriciri yang demikian yang oleh Gatra disebut sebagai ciri Gereja Orthodox Syria, jelas bukan monopoli Kristen Orthodox Syria, namun ciri semua Gereja Orthodox. Kelihatannya Gatra lebih menonjolkan pada sisi ke-Syria-annya daripada ke –Orthodox-annya, karena selalu menyebut ini ciri Kristen Orthodox Syria. Saya khawatir ini menghilangkan makna 52 “katolisitas” (ke-universalan Gereja) dan menjadi suatu sikap parokialisme dan sektarianisme. Dari segi aqidah baik Kalsedon maupun non-Kalsedon memegang aqidah rasuliah yang tak jauh perbedaannya, hanya masalah pemahaman tentang Almasih saja yang berbeda termonologinya. Gereja Orthodox Indonesia sebagai bagian Gereja Orthodox yang menerima rumusan Konsili Kalsedon tahhun 451 sangat menekankan Tauhid, sehingga bahkan kemanusiaan Almasih itu ditegaskan bedanya dari keilahianNya sebagai kalimatullah. Rumusan Kalsedon mengatakan Almasih itu memiliki “satu pribadi dalam dua kodrat, yang manunggal secara tak terbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak berbaur dan tak kacau-balau”. Disinilah perbedaan terminologi itu muncul dengan Gereja Non-Kalsedon, termasuk Kanisah Orthodox Syria pimpinan Bambang Noorsena S.H., dimana mereka mengatakan Almasih itu memiliki “ satu kodrat yang berasal dari dua kodrat , yang manunggal secara tak ternbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak berbaur dan tak kacau balau”. Kesatuan dalam Almasih itu oleh pihak Non-Kalsedon disebut “satu kodrat” (“Miaphysis”).. Sedangkan pihak Orthodox menyebut “satu pribadi” (“ Mia hypostasis “) seperti yang dirumuskan dalam Konsili Kalsedon. Pihak Orthodox menyebut dua realita yang manusiawi dan yang ilahi dalam Almasih dengan istilah “dalam dua kodrat”. Sedangkan oleh pihak Non- Kalsedon dimengerti sebagai “dari dua kodrat” Dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh kedua belah pihak keluarga Gereja Timur: Orthodox dan Gereja Oriental: Non-Kalsedonia pada tahun 1964 di Aarhus, Den Mark, pada bulan Juli 1967 di Bristol, Inggris, pada bulan Agustus 1970 di Geneva, Switzerland, serta pada bulan Januari 1971, di Addis Ababa, Ethiopia, dicapai saling pengertian bahwa ajaran pihak Non-Kalsedon itu ternyata tak mengikuti ajaran “Monopysitisme” model Eutyches, dan bahwa pihak Orthodox jelas tak pernah mengajarkan dua kodrat yang terpisah-pisah seperti ajaran Nestorius, seperti yang dituduhkan oleh pihak Non-Kalsedon selama ini sebagai panji-panji pemisahan meeka dari Gereja Orthodox.. Baik Kalsedon maupun Non-Kalsedon kedua-duanya menolak faham Eutyches maupun Nestorius. Berarti pihak Non-Kalsedon, dan tentu saja tak dapat diragukan bagi pihak pihak Orthodox, berusaha mempertahankan iman rasuliah yang sama terminologi yang berbeda: “satu hypostasis” (Orthodox: Kalsedon) dan “satu physis” (Oriental: Non-Kalsedon), serta “ dalam dua kodrat” (Orthodox:Kalsedon) dan “dari dua kodrat” (Oriental: Non-Kalsedon). Jadi Gereja Non-Kalsedonia itu tak seharusnya disebut Monophysit kalau yang dimaksud adalah ajaran “Eutychianisme”, namun “Monophysit” dalam pengertian” Miaphysit ex dyo physeoos”. Kemiripan Iman dan ethos serta peribadahan jelas menonjol sekali dalam kedua keluarga Gereja Timur: Otrthodox dan NonKalsedonia ini. Hanya masalahnya adalah mengenai sikap masing-masing terhadap Konsili Gereja. Pihak Non-Kalsedon hanya mengakui 3 Konsili yaitu Nikea tahun 325, Konstantinopel tahun 381, dan Efesus tahun 431. Sedangkan pihak Orthodox disamping menerima tanpa reserve ketiga Konsili purba yang semuanya notabene dilaksanakan dalam wilayah administrasi pihak Kalsedonia di Byzantium juga menjabarkan lebih detil ajaran ketiga Konsili dalam Konsili Kalsedon tahun 451, dan Konsili kelima tahun 553, Konsili ke VI tahun 680-681, dan Konsili ke VII tahun 787, tanpa mengubah maupun mengurangi ataupun menambah dari Iman Rasuliah Othodox purba yang asli dan murni itu. Juga mengenai tokoh-tokoh yang dianggap suci puhak lain ternyata dianggap bidaah oleh pihak lainnya. Dioskoros, Severus, Yohanes dari Antiokhia adalah tokoh suci untuk pihak NonKalsedon (Oriental), namun dianggap tokoh bidaah bagi pihak Kalsedonia (Orthodox Timur). Paus Leo dari Roma adalah tokoh suci bagi pihak ORTHODOX namun dianggap bidaah bagi pihak Non-Kalsedon. 2. Mengenai Helenisasi dan Westernisasi 53 Mengutip Bambang Noorsena ( yang pada tahun 1996 bersama Pdt. Yusuf Roni mulai berkenalan dengan Iman Kristen Orthodox melalui Romo Presbyter Daniel Bambang Dwi Byantoro, dan pada tahun 1997 bersama-sama dibaptiskan oleh Episkop Agung Dionysios dari New Zealand di Gereja Orthodox Seoul, Korea Selatan serta adalah anggota Gereja Orthodox Indonesia, namun yang memisahkan diri serta mencetuskan Gereja Syria Yakobit ini, setelah bersama Romo Daniel Bambang D.B diperkenalkan kepada Patriarkh Syria Yakobit ini serta diperkenalkan dengan Gereja Syria cabang India di Singapura, sedangkan Pdt. Yusuf Roni kembali ke Gereja asalnya) Gatra menulis bahwa setelah Petrus bertugas ke Roma sejak saat itu ajaran Kristen mengalami Helenisasi. Jika yang dimaksud Helenisasi adalah penggunaan bahasa Yunani, memang bahasa Yunani adalah bahasa internasional di kala itu, bahkan bahasa asli Perjanjian Barupun adalah bahasa Yunani ini. Maka Gereja Syriapun tak lepas dari pengaruh Yunani ini. Misalnya penggunaan kata “Kurielayson” yang berasal dari bahasa Yunani “Kyrie Eleison” ( Tuhan kasinilah), “Stomen kalos” (“mari berdiri dengan tegak ) dan kata-kata Yunani yang lain telah masuk dalam naskah sastra Kristiani dan liturgis dari Gereja Syria ini juga. Bahkan Gereja Koptikpun menggunakan huruf Yunani dan kata-kata dan frasa-frasa Yunani yang jauh lebih kental dan lebih banyak ke dalam text Liturgis mereka yang notabene berbahasa Koptik. Inikah yang dimaksud Helenisasi? Kalau betul, Gereja Syriapun sudah tak murni Semitik lagi. Namun jika Helenisasi yang dimaksud adalah penggunaan analisa dan konsep-konsep filsafat Yunani sebagai landasan ajaran Kristen, maka yang disebut Gereja "Orthodox Yunanipun” tak tersentuh oleh Helenissasi ini. Sebab kategori pemikiran theologis dari Gereja Orthodox Yunani adalah ajaran Konsili Gereja dan penjabaran para bapa gereja Timur, istilah-istilah konsep filsafat Yunani yang dipaki dalam ekspresi theologispun telah direvisi dan ditundukkan pada keberanan Wahyu Injiliah Kristiani. Itulah sebabnya Gereja Orthodox Yunanipun termasuk dalam lingkup Timur yaitu Semitik dalam landasan aqidahnya dan itulah pula sebabnya mengapa ajaran Gereja Orthodox Kalsedonia dan Non-Kalsedonia itu memiliki banyak persamaan.. Jadi jangan sampai untuk tujuan tertentu yang tendensius orang sampai mengkaburkan fakta sejarah yang tak bisa dibantah, bahwa Gereja yang dinyatakan sebagai yang murni Semitik (“Koptik atau Syria”) itupun landasan aqidahnya adalah berdasarkan apa yang berasal dari Yunani ini. Yaitu landasan aqidah dari rumusan-rumusan Konsili. Karena meskipun Gereja Syria-Yakobit dan Koptik ini menolak Konsili keempat (451) sampai ketujuh (787), dan hanya menerima tiga Konsili pertama (Nikea 325, Konstantinopel 381, dan Efesus 431), namun harus diingat betul-betul bahwa ketiga Konsili itu dilakukan didaerah Byzantium dan dilakukan dalam bahasa Yunani (bukan bahasa Syria atau Koptik) bersama-sama orang-orang Yunani dan etnis lain, yang menghasilkan rumusan Pengakuan Iman Nikea dalam bahasa Yunani (baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Syria dan Koptik), serta menggunakan istilah-istilah Yunani , misalnya “prosopon” (menjadi kosa-kata Syria”prasopa”). Dan para pembela aqidah yang dirumuskan disini adalah dua orang Koptik terkenal “Athanasius dari Alexandria” serta “Kyrillos dari Alexandria”, yang menulis dan berteologi dalam bahasa Yunani (bukan bahasa Koptik atau bahasa Syria). Dari segi aqidah tak dapat orang membuat mengadakan tuduhan dan dakwaan atau garusbatas murahan bahwa yang ini Yunani dan yang itu Semitik, dengan Yunani dikonotasikan Barat. Sebab yang Yunanipun tunduk pada Wahyu Injiliah yang bersifat Semitik, sedang yang Semitikpun tunduk pada perumusan aqidah yang menggunakan bahasa Yunani serta meminjam istilah-istilah Yunani. Semua debat theologi di zaman itu baik yang Syria, Koptik, maupun Yunani sendiri berlangsung dalam bahasa Yunani. Dan dalam perdebatan itu tak pernah terbersit bahwa mereka ini telah termasuk dalam dunia Barat. Sebab pada waktu itu yang disebut Barat adalah theologia Agustinian dengan ekspresi bahasa Latin. Hanya sesudah 54 memisah dari kesatuan dari Gereja alur besar sajalah, terutama sesudah Konsili Ekumenis Keempat Kalsedonia (451), baik orang-orang Syria Yakobit maupun umat Koptik ini menuduh yang Yunani ini termasuk bagian Gereja Barat Barat bersama dengan Gereja Latin. Ini disebabkan rumusan Kalsedonia yang memang dirumuskan oleh Paus Leo dari Roma, yang diterima oleh orang-orang Yunani juga. Tuduhan yang sama dilakukan oleh saudara Bambang Noorsena juga. Yang tak pernah disadari oleh Gereja-Gereja Oriental ini adalah bahwa antara umat Yunani dan umat Latin ini terdapat perbedaan pemahaman mengenai makna rumusan Kalsedon ini. Sementara Latin sering mendekati Nestorianisme dalam pemahamannya akan rumusan Konsili Kalsedon ini, yang Orthodox Yunani bersama dengan Orthodox Timur yang lain melihat rumusan Konsili Kalsedonia ini dalam kacamata ajaran Kyrillos dari Alexandria, sebagaimana yang ditegaskan dalam Konsili Ekumenis ke V (553). Oleh karena itu Konsili ke IV harus dilihat dalam kacamata Konsili ke V, dan bahkan ke VI dan ke VII juga. Karena semuanya itu merupakan satu kesatuan, dan dalam semua Konsili ini -termasuk mereka yang ikut hadir dari Gereja Barat Latin - pembahasannya menggunakan bahasa Yunani. Bahkan ilmu kalam dalam Islampun muncul setelah daulat Islam menterjemahkan sastra Yunani ke dalam bahasa Arab, jadi dipengaruhi oleh Helenisme.Sedangkan yang meletakkan landasan Westernasi dalam Gereja Purba justru di Barat yaitu Tertulianus, dimatangkan oleh Agustinus, serta dijabarkan oleh Thomas Aquinas dan semua pemikir-pemikir “Skolastik” dari Gereja Barat yang betul-betul mendasarkan pemikirannya dari kategori pemikiran para ahli filsafat Yunani terutama Aristoteles. Itulah yang memunculkan Rennaissance, Pencerahan, Revolusi Perancis dan semua fenomena negara Barat lainnya, yang bangsa Yunani dan seluruh bangsa Orthodox tidak ikut berpartisipasi di dalamnya. Dan latar-belakang sejarah yang demikian di dunia Barat inilah yang akhirnya melahirkan konsep-konsep khas Barat Gereja Roma Katolik, serta dari sini keluarnya Gereja-Gereja Protestan. Jadi tak pernah terjadi Helenisasi ataupun Westernisasi dalam Gereja Orthodox, termasuk orang Helen atau Yunaninya sendiri. 3. Bahasa Asli Kitab Suci Gatra juga menulis bahwa Orthodox Syria mengklaim punya bukti sejarah bahwa Injil yang pertama berbahasa Syria dan Al-Masih berbicara dengan bahasa Syria. Semua sarjana Kitab Suci tahu bahwa Kristus memang berbicara bahasa Syria (Aramia), namun bahwa Kitab Suci yang asli berbahasa Yunani. Dan Kristus sendiripun tahu bahasa Yunani, karena Dia harus juga berbicara dengan orang Yunani dalam pelayananNya, yaitu dengan perempuan Yunani dari Siro-Fenisia ( Markus 7:26), dengan beberapa orang Yunani yang ingin bertemu denganNya ( Yohanes 12:20). Gereja Purba di Yerusalempun penuh dengan orang-orang Yunani atau orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani ( Kisah 6: 1) disamping mereka yang berbahasa Ibrani yaitu Aramia (Syria) . Dan di Antiokhia pusat Gereja Syria itupun mula-mula penginjilan dilakukan kepada orang-orang Yunani ( Kisah 11: 20). Berarti sejak jaman Kristus sendiri dan jaman Gereja Perdana bahasa Yunani juga menjadi bahasa asli Gereja disamping bahasa Aramia. Maka sungguh terlalu sempit kalau menjadikan bahasa Syria sebagai bahasa asli Kekristenan. Apalagi bahasa Yunani adalah bahasa kaum terdidik dan bahasa Internasional di kala itu, maka jelas bahwa Perjanjian Baru memang menggunakan bahasa Yunani dari awalnya, kecuali mungkin Injil Matius yang kemungkinan awalnya ditulis dalam bahasa Aramia baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Ini terbukti bahwa setiap kali ada kata-kata Aramia langsung diterjemahkan maknanya, membuktikan pembacanya tak mengerti bahasa Aramia atau Syria itu ( misal, Yohanes 1:41, 42 20:16, Markus 7:34, dll.), dan membuktikan bahwa Perjanjian Baru tak ditulis dalam 55 bahasa Aramia aslinya, namun sesuai dengan peninggalan manuskrip tertua yang ada, memang aslinya bahasa Yunani. 4. Mengenai Tidak Ada Izin dari Depag Gereja Orthodox Alur Utama yang hadir di Indonesia yang dikenal sebagai “Gereja Orthodox Indonesia” sudah ada sejak tahun 1988 ketika Romo Arkhimandrit Daneil Bambang kembali ke Indonesia dan sudah mendapat izinnya secara resmi dari pemerintah sejak tahun 1991 dan diperbaharui lagi pada tahun 1996 oleh Bimas Kristen (Protestan) karena memang tidak ada Bimas Orthodox sendiri di Indonesia. Jikalau Pak Yan kawatu menyatakan bahwa “Tidak ada Izin bagi Aliran Baru” kami dapat mengerti karena memang Gereja Orthodox sudah ada, mengapa ada Gereja Orthodox lagi, jika akidahnya sudah sama. Kecuali kalau masih mau disebut “Monophysit’ barulah itu namanya Gereja yang berbeda yang mungkin memang memerlukan izin tersendiri. Sekarang Gereja Orhodox yang ada ini telah memiliki 7 imam, 2 diaken, dan umatnya tersebar di beberapa tempat di Jawa, Bali, Sulawesi dan Sumatera. Imam-imam tersebut adalah Romo Yohanes Bambang C.W. yang melayani untuk daerah Surabaya dan Krian, serta memiliki cabang Pos P.I di Malang dan Jember, Romo Chrysostomos Parluhutan Manalu yang melayani untuk daerah Medan, Tarutung dan Kabanjahe, Romo Lazarus Bambang Sucanto yang melayani untuk daerah Yogyakarta dan Cilacap dan sekitarnya, Romo Alexios S.Cahyadi melayani di Solo dan sekitarnya, Romo Methodios S. Gunarjo melayani di daerah Boyolali dan sekitarnya. Romo Stephanus Boik Nino melayani daerah Bali dan sekitarnya, Romo Diaken Panteleimon melayani di daerah Mojokerto. Romo Daniel Bambang D.B, dibantu oleh Romo Matius Bambang W. Budiharjo melayani di daerah Jakarta dan sekitarnya, meskipun Romo Daniel harus bertanggung-jawab bagi perkembangan wilayah-wilayah yang lain. 56 AQIDAH DAN AJARAN KEIMANAN GEREJA ORTHODOX 57 B.Ajaran Iman Gereja Orthodox. I Sumber Ajaran Keimanan Iman Kristen Orthodox adalah suatu kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Pewahyuan itu pertama kali diberikan kepada Adam sendiri dengan janji akan datangnya “Keturunan Perempuan/Maryam”, yaitu Almasih, yang akan “meremukkan kepala Ular/Iblis” (Kejadian 3:15). Dilanjutkan dengan janji Allah kepada Nuh tentang akan dipujinya nama “Allah” dari keturunan Nabi Nuh ini melalui jalur keturunan Sem ( Kejadian 9:25-27) Dan dari keturunan Sem ini ternyata Allah dipuji melalui pemilihan Abraham/Ibrahim, melalui jalur Ishak dan Yakub yang kepada mereka dijanjikan akan adanya “keturunan” ( Kejadian 12:3, 22:18, 17:19, 26:4, 35:11), dan keturunan yang dimaksud untuk menjadi berkat bagi seluruh manusia dimuka bumi melalui jalur Ibrahim/Abraham, Ishak dan Yakub ini adalah “Almasih” (“Kristus”) – (Galatia 3:16). Dari jalur Yakub ini munculnya Bani Israel, dari situ Nabi Musa menubuatkan bahwa dari “tengah-tengahmu” yaitu dari tengah-tengah Israel akan muncul Nabi Besar seperti Musa, dan Nabi ini tak lain adalah Almasih (Ulangan 18:15. Kisah 3: 21-24). Sehingga dengan datangnya Kristus maka segenap nubuat dan wahyu tentang kedatangan Almasih itui sudah tergenapi. Maka Almasih adalah puncak segala wahyu dan akjhir dari segala risalah kenabian sebagaimana yang telah dijanjikan Allah melalui nabi-nabiNya terdahulu. Keberadaan Almasih sebagai “Firman Allah yang menjadi daging “ ini ( Yohanes 1:14) disaksikan oleh para rasul yaitu murid-murid dan utusan-utusan Almasih. Dan kepada mereka inilah diserahkan wibawa untuk mengajar dan menyebarkan ajaran kebenaran Wahyu yang sudah genap dan paripurna itu di dalam Almasih: Yesus Kristus. Sehingga pada jaman purba itu sumber Ajaran Keimanan itu adalah ajaran para Rasul sendiri (Kisah 2:42, Lukas 1:2, Ibrani 2:3), baik yang bersifat lisan maupun yang kemudian bersifat tulisan dalam surat-surat (II Tesalonika 2:15, II Tesalonika 2:2). Surat-Surat Rasuliah ini akhirnya terkumpul dalam kanon Perjanjian Baru, sedangkan yang ajaran lisan tetap dihidupi Gereja dalam wujud Paradosis Kudus. Paradosis Kudus ini akhirnya berkembang dalam bentuk kongkrit dalam: Tertib Ibadah, Sakramen-Sakramen, Teks-teks Liturgis, Pengakuan Iman Gereja, Tulisan Para Bapa Gereja, Hukum Kanon Gereja, bentuk seni Gereja, Hirarki Gereja, Kehidupan Para Orang Kudus Gereja, Tradisi Dogmatis Gereja, Rumusan-Rumusan Konsili-Konsili Gereja. Paradosis Kudus adalah lingkup yang didalamnya Perjanjian baru itu dapat dimengeri dan ditafsirkan secara benar dan tidak menyimpang. Ajaran Rasuliah ini dengan berlalunya waktu dirumuskan dengan rumusan pendek-pendek, misalnya: I Korintus 8:6, Kolose 1:15-16, Roma 10:9-10, I Korintus 15:3-5, dll. Rumusan pendek-pendek ini biasanya diucapkan pada saat seorang dibaptiskan, dan mulai dikumpulkan dalam bentuk Pengakuan Iman (Shahadat atau Kredo). Shahadat yang pertama kali mempunyai bentuk baku adalah Shahadat dari Gereja Orthodox Lokal di Roma, yang sekarang kita sebut 58 sebagai: Pengakuan Iman Rasuli. Jadi Pengakuan Rasuli adalah rumusan dari Pengakuan Iman Gereja Barat, yang tak bersifat Universal, namun lokal saja. Gereja-gereja Protestan yang pada dasarnya produk Gereja Barat mewarisi Iman Rasuli yang didapatkannya dari Gereja Roma itu. Di Gereja Timur pun muncul rumusan-rumusan pendek seperti itu namun tak segera menjadi baku. Pada saat Konsili Universal dari Gereja Orthodox Purba yang mengikut sertakan Timur dan Barat yang dilakukan di pusat Gereja Timur; Nikea - Konstantinopel (325, 381 Masehi) Rumusan Universal dari Iman Rasuli itupun dihasilkan. Dan inilah yang disebut sebagai Pengakuan Iman Nikea atau Syahadat Nikea. Karena Syahadat ini isinya lebih rinci dari pada Syahadat Rasuli, serta menyangkut keseluruhan yang ada dalam Syahadat Rasuli, maka Syahadat inilah yang menjadi standart pengakuan Gereja. Lagi pula ini dirumuskan oleh Gereja Universal yang esa, yang belum terpecah-pecah, dan bukan produk Gereja Lokal, maka Iman ini adalah Iman yang Universal dari Gereja yang esa itu. Inilah Iman Rasuliah Gereja Purba, bukan ide sektarian dari suatu aliran keagamaan tertentu. Inilah simbol Iman Kristen sejati. Dan atas dasar Pengakuan Iman Nikea inilah kita akan membicarakan segenap kebenaran wahyu Ilahi itu dalam pembicaraan kita tentang Aqidah ini, karena Pengakuan Iman ini adalah ringkasan dari seluruh ajaran Rasuliah yang termaktub dalam Kitab Suci. 1. Perlunya Ajaran Rasuliah. a.Sesudah kebangkitanNya Kristus memerintahkan kepada kesebelas Rasul (karena Yudas Iskariot telah mati bunuh diri).”...... pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu “( Matius 28:19-20). Perintah ini mengandung beberapa hal: Para Rasul itu adalah pelanjut misi Kristus, para Rasul itu adalah pelaksana Sakramen, para Rasul itu adalah pengajar. Serta isi ajaran rasul itu adalah “Segala sesuatu” yang diperintahkan Kristus kepada para rasul tadi. Dengan demikian isi ajaran rasul adalah ajaran Kristus sendiri. Karena Kristuslah yang memerintah dan menetapkan rasul-rasul ini untuk mengajar berarti ajaran rasul itu haruslah menjadi standart bagi siapapun yang ingin mengenal ajaran Kristus yang benar, karena isi ajaran rasuliah itu tak lain adalah “segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu.” b.Hal ini menjadi sangat penting lagi karena adanya nabi-nabi palsu dan pengajar-pengajar palsu yang memutar balikkan ajaran Kristus (Matius 7:15-20), bahkan mengatas-namakan dirinya sebagai Kristus sendiri dan mengatasnamakan ajaran mereka sebagai ajaran Kristus sendiri (Matius 24:24, I Yohanes 2:18-19). Dan Alkitab menyatakan bahwa banyak dari antara pengajar palsu itu datangnya berasal dari antara komunitas Kristen sendiri.”........... sekarang telah bangkit banyak antikristus.... Memang mereka berasal dari antara kita; tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita............ “(I Yohanes 2:18-19), juga :”Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah menyelusup ditengah-tengah kamu......... Mereka adalah orang-orang kafir, yang menyalah gunakan kasih karunia Allah .......... (Yudas 1:4), serta “ sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah ummat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan ... “ (II Petrus 2:1). Jika peringatan diberikan oleh para rasul ketika mereka masih hidup, apalagi sekarang dengan membanjirnya ajaran-ajaran dan dengan banyaknya “rupa-rupa angin pengajaran “ (Efesus 4:14), adalah lebih diperlukan lagi kita harus kembali kepada ajaran rasuliah ini, karena merekalah yang telah ditetapkan oleh Kristus untuk menjadi pengajar-pengajar, jadi bukan guru-guru atau pengajarpengajar yang mengangkat diri mereka sendiri itu, biarpun seandainya mereka mengaku dirinya 59 Kristen. Karena justru dari antara kalangan Kristen sendirilah pengajar-pengajar palsu itu muncul. Ada orang yang mengatakan:”Yang pentingkan Yesus! Saya tak perlu Gereja, saya tak perlu sejarah, saya tak perlu ajaran rasuliah?“ jawaban kita:”Memang yang penting itu Yesus, dan itu harus menjadi pusatnya, namun Alkitab juga mengatakan adanya “Yesus yang lain”, “Injil yang lain”, “roh yang lain” (II Korintus 11:4, Galatia 1:8-9), bagaimana jika Yesus yang kita mengerti dari para pengajar tadi ternyata Yesus yang lain? Bukankah ini membahayakan keselamatan kita ? c. Lagi pula kita tak akan tahu Yesus tanpa Alkitab, dan Alkitab tak akan ada jika tak ada rasul yang menuliskannya, dan Alkitab (terutama Perjanjian Baru) tak akan terbentuk sebagai kanon jika tak ada Gereja sebagai alat Allah untuk mengkanonkannya. Bukankah jelas bahwa kita tetap tergantung pada rasul juga. Sebab baik tulisan-tulisan dalam Alkitab maupun Gereja (yaitu Gereja rasuliah) itu semua berasal dari karya rasul oleh bimbingan Roh Allah. Adalah hanya suatu kebodohan dan ketidak-terdidikan atau bahkan kecongkakkan dan kepongahan saja mengatakan bahwa kita tidak perlu rasul. Yang lebih penting lagi Alkitab dengan tegas mengatakan yang dibawah ini mengenai ajaran palsu dan para penganutnya.” “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasehati, hendaklah engkau jauhi. Engkau tahu bahwa orang semacam itu benar-benar sesat dan dengan dosanya menghukum dirinya sendiri” (Titus 3:10-11), juga: “tetapi sekalipun kami (rasul-rasul sendiri, pen.) atau seorang malaikat dari sorga yangmemberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda ...terkutuklah dia” (Garatia 1:8-9). Mengenai guru palsu diantara ummat Kristen itu Rasul Petrus mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang terkutuk. Oleh karena mereka telah meninggakan jalan yang benar, maka tersesatlah mereka...” (II Petrus 2:14-15). Tak kurang keras dan tegasnya Rasul Yohanes dalam hal ini:”Jika seorang datang kepadamu dan Ia tidak membawa ajaran ini (yaitu: ajaran rasul), janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barang siapa memberi salam keadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat “ (II Yohanes 10:11). Ayat-ayat datas dengan tegas memberikan kita perigatan mengenai beberapa hal, yaitu bahwa bidat, yaitu pengikut ajaran non rasuliah yang sesat adalah sesat dan kesesatannya itu menyebabkan dia akan terhukum. Demikian juga Injil yang berbeda, dengan demikian “Yesus yang lain” dan “Roh yang lain” yang diikuti dan diajarkan orang menyebabkan orang yang mengajar dan yang mengikutinya menjadi TERKUTUK. Guru-guru palsu yang yang mengajarkan kesesatan yang tak sesuai dengan ajaran Petrus (ajaran rasuli) itu juga disebut TERKUTUK, menurut Surat kiriman Petrus. Orang yang tak mengajarkan Ajaran Ini yaitu ajaran seperti yang diajarkan rasul Yohanes yaitu ajaran Rasuliah dilarang diterima rumah orang beriman oleh Yohanes dan bahkan dilarang memberi salam kepada orang semacam itu. Dan Yohanes mengatakan apa yang dilakukan oleh para pengajar sesat ini adalah “perbuatan jahat” yaitu karena hal itu menyebabkan kebinasaan kekal. Disinilah perlunya kita merenungkan sejenak akan sikap kita yang terlalu tak peduli akan kebenaran ajaran rasuliah ini. Karena kutuk, hukuman, kesesatan, kejahatanlah yang akan kita terima jika kita salah dalam meyakini ajaran Kristus itu. Jadi tidak cukup hanya mengatakan:”Pokoknya Yesus.” Harus ditegaskan: Yesus yang bagaimana? Yang rasuliah atau bukan ?!! Jadi ajaran rasuliah itu bukan hanya ajaran Petrus semata, namun segenap ajaran rasul secara serempak dan bersama yang satu isinya dan satu kebenarannya. Dan kepada ajaran yang satu dan yang sama dari para rasul inilah kita harus kembali dan berpegang, sebab hanya itulah satu-satunya ajaran Kristus yang menjamin kita tak terkutuk, tak terhukum dan tak dianggap berbuat kejahatan. 60 d.Jadi standard dan ukuran ajaran itu benar atau tidak, bukanlah “pendapatku dan tafsiranku” lawan “pendapatmu dan tafsiranmu”, bukan pula karena dikutip dari ayat-ayat Alkitab yang dipenggal-penggal dari beberapa bagian pasal dan ayat tertentu dari kitab-kitab dalam Alkitab, namun seluruh kepenuhan dari kebenaran ajaran rasuliah yang tetap dipelihara oleh Gereja Purba yang sampai sekarang berlanjut di dalam Gereja Orthodox. Oleh sebab itu Alkitab menegaskan tentang standard atau ukuran menyimpang atu tidaknya suatu ajaran itu demikian:”Tetapi aku takut , kalau pikiranmu disesatkan dari kesetiaanmu yang sejatikepada Kristus.... Sebab kamu sabar saja, jika ada orang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberitakan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain daripada yang kamu terima “ (II Korintus 11:3-4), juga:”Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah ami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang memberitakan kepadamu suatu Injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia” (Galatia 1:8-9), lagi:”....Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi sagala sesuatu yang tersembunyi dalam hari manusia, oleh Kristus Yesus” (Roma 2:16) dan masih ada beberapa ayat lagi yang lain. Dari ayat-ayat ini jelas bahwa menilai suatu ajaran sebagai “Yesus yang lain”, sebagai “roh yang lain” dan sebagai “Injil yang lain” atau “Injil yang berbeda” atau ringkasannya sebagai ajaran yang salah, bukanlah dengan apa yang diilhamkan oleh roh secara pribadi kepada perorangan, atau tafsiran pribadi perorangan biarpun kalau itu dikutip dari ayat-ayat Alkitab sekalipun, namun “lain” dan “berbeda”nya tadi harus diukur “dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu,” “dengan apa yang telah kamu terima” “dari pada yang telahkami beritakan”, “dari pada yang telah kamu terima,” yaitu “Injil yang kuberitakan”. Jadi standardnya adalah pemberitaan rasuliah yang dterima oleh dan diberitakan kepada Gereja. Artinya ajaran itu harus sesuai dengan iman dan ajaran Gereja Purba (Gereja Orthodox) sebagaimana yang tanpa dikurangi atau ditambahi – tanpa diubah-ubah atau diselewengkan - tetap merupakan ajaran Rasuliah yang utuh. e.Jadi kebenaran itu bukan bersifat individualistik namun bersifat mata-rantai dari rasul dan bersifat komunal dari pihak yang menerima yaitu Gereja. Ajaran rasuliah yang sekali dan untuk selamanya diserahkan kepada Gereja rasuliah sepanjang segala abad itu yang harus menjadi kaca mata kita dalam mengerti Alkitab, sebab dari situlah konteks dan lingkup Alkitab itu mula-mula ditulis berasal. Membaca Alkitab lepas dari konteks dan lingkupnya akan menuju kepada kesalah-fahaman dan kesesatan saja. Karena tanpa kacamata ajaran rasuliah maka Alkitab yang notabene Kitab Rasuliah tak akan berbicara menurut yang dikehendaki rasul. Contohnya: Jika kaca mata Islam yang dgunakan membaca Alkitab, pasti Alkitab akan dibaca sebagai sasmita/isyarat atau petunjuk datangnya Muhammad sebagai Nabi Islam diserta penolakan atas keilahian Kristus yang terdapat didalamnya, ini yang banyak digunakan oleh para polemikus Islam. Jika kacamata Protestan Injili yang digunakan, maka hal-hal mengenai Sakramen, Maria, Gereja dan Hierarkhi itu pasti akan dilewatkan begitu saja. Jika kacamata Calvinistik yang digunakan, maka ajaran tenmtang Predstinasi ala Calvinlah yang dtemukan dalam Alkitab. Jika kacamata Kharismatik dan aliran Pantekosta yang digunakan , maka yang ditonjolkan dari Alkitab hanyalah hal-hal mengenai karunia-karunia Roh Kudus serta dalam kacamata ini Alkitab akan dimengerti, sedangkan hal-hal yang lain akan diabaikan. Demikianlah seterusnya. Namun jika kacamata ajaran rasuliah yang kita gunakan, maka segenap kepenuhan ajaran rasuliah dengan segala kepenuhannya yang akan kita temukan dalam Kitab yang rasuliah ini. Untuk itulah dalam pelajaran kita ini, kita akan menggunakan rumusan Iman Rasuliah dalam pengakuan Iman Nikea itu sebagai landasan berangkat dalam pembahasan kita , serta keseluruhan ajaran rasuliah yang 61 dipelihara dalam Gereja itulah yang akan menjadi kacamatanya di dalam kita membaca Alkitab sebagai sumber utama Iman kita ini. Untuk ini marilah kita perhatikan bunyi Pengakuan Iman Nikea itu sebagai yang tertera dibawah ini: 2. Bunyi “Pengakuan Iman Nikea” 1. Aku percaya pada satu Allah, Sang Bapa, Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi, dan Segala Sesuatu yang Kelihatan maupun Tak Kelihatan. 2 Dan kepada Satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan dari Sang Bapa sebelum segala zaman. Terang yang keluar dari Terang; Allah Sejati yang keluar dari Allah sejati; Yang Diperanakkan dan bukan diciptakan, satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa; yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan. 3 Yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dari Sorga, dan menjelma oleh Sang Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maryam serta menjadi Manusia. 4 Telah disalibkan bagi keselamatan kita dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Dia menderita sengsara dan dikuburkan. 5 Dan telah bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci. 6 Dan telah naik ke Sorga, serta duduk disebelah kanan Sang Bapa. 7 Serta Dia akan datang lagi dalam kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup maupun orang mati, yang KerajaaNya tidak ada akhirnya. 8 Dan aku percaya pada Sang Roh Kudus, Tuhan Sang Pemberi Hidup, yang keluar dari Sang Bapa, yang bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan, yang berbicara melalui para Nabi. 9 Aku percaya pada Gereja Yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik. 10 Aku mengakui Satu Baptisan bagi Pengampunan dosa-dosa 11. Aku menunggu akan kebangkitan Orang-Orang mati . 12 Serta Kehidupan Zaman yang akan datang. Amin. Dari Pengakuan Iman diatas kita lihat unsur-unsur Aqidah Iman itu secara garis besar. Atas landasan isi yang sudah secara garis besar dikandung dalam Pengakuan Iman ini pula kita akan memperdalam makna Aqidah Iman Rasuliah atau Dogma Orthodoxia Kristen itu secara rinci. Untuk itulah mari kita bahas rincian kandungan dan tema-tema aqidah yang ada dalam Pengakuan Iman (Syahadat) Kristiani itu. II.Bentuk Tema Pengakuan Iman Rumusan ini disebut Pengakuan karena berbentuk suatu pernyataan “Aku” dan disebut Pengakuan Iman karena si “Aku” ini menyatakan “Percaya” (Beriman). Dalam Bahas Arab disebut “Syahadat” dari kata “Asyhadu” artinya “Aku mengaku” atau “Aku Bersaksi”. Dan orang yang bersaksi atau mengaku ini disebut “Syahid”. 62 Bentuk dari Pengakuan Iman ini dapat kita katakan sebagai bentuk pengakuan yang ber-pola-kan Tritunggal, yaitu: butir 1, mengenai Allah, Bapa dan KaryaNya; butir 2-7 mengenai Yesus Kristus (Firman Allah) dan KaryaNya, butir 8-12 mengenai Roh Kudus (Roh Allah) dan KaryaNya. Dengan demikian Pengakuan Iman ini adalah Pengakuan kepada: Allah Yang Esa (Bapa), FirmanNya yang kekal (Putra), dan RohNya sendiri yang berada di dalam Diri Allah ( Roh Kudus). Keyakinan akan Tritunggal Maha Kudus (Allah Yang Esa yang memiliki Firman dan Roh Yang Kekal) itu menjadi kesimpulan dari semua aqidah Iman Kristen, salah mengerti makna Tritunggal Maha Kudus itu akan mengacaukan pengertian kita akan Aqidah kebenaran itu sendiri. Dari kedua belas butir Pengakuan Iman ini, butir-butir mengenai Yesus Kristus jauh lebih banyak dibanding dengan butir-butir yang lain, yaitu ada 6 butir (dari butir 2 s/d butir 7), disusul oleh butir-butir mengenai Roh Kudus: 5 butir (dari butir 8 s/d 12). Ini menunjukkan sentralitas Yesus Kristus dalam Iman Kristen, dan pentingnya Roh Kudus dalam pengalaman kehidupan Kristen. Dikatakan pengalaman, karena karya Roh Kudus bertalian langsung dengan eksistensi Kristen yaitu: Sakramen (Baptisan), Gereja dan Kebangkitan serta kehidupan kekal. Dalam Yesus Kristuslah secara obyektif manusia diselamatkan: Turun dari Sorga, Menjelma, Disalibkan, Dikuburkan, Bangkit, Naik ke Sorga dan Datang untuk kali yang ke dua. Namun dalam Roh Kuduslah keselamatan yang bersifat historis (dibawah pemerintahan Pontius Pilatus) dan realistis (telah turun, telah disalibkan, telah bangkit, telah naik ke sorga) itu menjadi pengalaman subyektif manusia melalui menyatu dengan kematian dan kebangkitan Kristus dalam Baptisan dan menghayati makna kehidupan baru itu di dalam Gereja. Sehingga oleh Roh Kudus yang sama itu, manusia manunggal dengan kehidupan kebangkitan Kristus (“kebangkitan orangorang mati”) untuk akhirnya masuk dalam kehidupan Ilahi yang dinyatakan dalam langit baru dan bumi baru (“Kehidupan zaman yang akan datang”) Rangkuman waktu yang dibahas oleh Pengakuan Iman ini adalah sejak diciptakannya langit dan bumi sampai dengan zaman yang akan datang. Artinya Pengakuan Iman ini merangkum segenap aqidah bagi kehidupan Kristen yang menembus dari asal mula (Sangkan) sampai dengan tujuan akhir (Paran) Ciptaan (Dumadi). Dan semuanya terjadi karena Allah melalui Yesus Kristus Di dalam Roh Kudus. 63 III.Rincian Isi Pengakuan Iman I. Aqidah tentang Allah 1. Ke-Esa-an Allah (Tauhid) Pengakuan Iman ini dilandasi dan dimulai dengan Pengakuan yang amat penting yaitu percaya “kepada...Allah”, yang berarti Iman Kristen Orthodox memulai segala sesuatunya dengan Allah. Dialah yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Allah yang bagaimana yang dipercayai oleh Iman Kristen Orthodox ini? Yang dipercayai tak lain adalah “ SATU Allah”. Itulah landasan iman Kristen yang lurus dan benar. Allah itu hanya satu saja dan bukan dua atau lebih. Dan Allah yang Satu ini adalah Allah yang hidup, dan menyapa manusia sebagai anak-anakNya secara rohani, sehingga Dia disebut Bapa, meskipun Allah itu tak berjenis kelamin: bukan lakilaki, bukan perempuan, bukan banci. Dengan demikian Iman Kristen Orthodox tidak mempercayai suatu ide tentang Yang Ilahi yang bersifat abstrak dan jauh dari manusia, namun Allah yang hidup yang berkenan untuk berhubungan dalam kasih dengan manusia sebagai Bapa. Menurut Iman Kristen Orthodox pangkal awal dari keyakinan yang benar tentang Allah harus dimulai dengan dasar tentang Ke-Esa-an Allah. Junjungan Agung kita Yesus Kristus mengajarkan:” …Hukum yang terutama ialah:’….Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa” ( Markus 12:29). Jadi pengakuan akan Tauhid menurut Sang Kristus adalah merupakan hukum yang terutama, yaitu awal dari segala-galanya. Dan itulah fondasi dari segala dogma dan aqidah Iman Kristen Orthodox lainnya. Itulah sebabnya Syahadat atau Pengakuan Iman Gereja dimulia dengan kata-kata :” Aku percaya pada SATU ALLAH” Dengan demikian iman akan Tauhid atau Ke-Esa-an Allah adalah suatu keharusan yang tak dapat ditawar lagi dalam Iman Kristen Orthodox di dalam menghayati kebenaran tentang keberadaan Ilahi. Ini adalah kebenaran mutlak yang harus diyakini sepenuhnya. Keharusan akan Ke-Esa-an Allah ini memiliki dua landasan, yaitu landasan Kitabi sebagaimana yang dijelaskan dalam Alkitab sebagaimana yang akan kita bahas dibawah ini. Juga landasan pertimbangan akal. Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja menegaskan bahwa Allah itu memang satu, dan pertimbangan akal menyungguhkan bahwa Ia memang harus satu. Pertimbangan akal yang mengharuskan ke-Esa-an Allah itu adalah demikian: Alam semesta yang ada ini bergerak sesuai dengan hukum alam yang ada. Satu sama lainnya tak ada yang saling berbenturan. Ini berarti bahwa memang ada suatu “Akal-Budi Agung” yang mengatur jalan dan gerak yang ada dalam alam semesta. Adnaya gerak yang harmonis itu menunjukkan adanya hanya “Satu Kehendak” dan demikian adanya hanya satu “Akal-BudiAgung” yang demikian yang mengatur segala yang ada dalam alam ini. Sebab jika ada lebih dari satu kehendak tak mungkin ada harmoni dalam alam ini. Masing-masing kehendak itu pasti mempunyai caranya sendiri-sendiri dalam ,mengatur alam ini. Adanya banyak kehendak pasti ada banyak akal-budi, dan adanya banyak akal-budi pasti adanya banyak ilah. Namun faktanya kehendak yang banyak yang sedemikian itu tak kita jumpai dalam fenomena keharmonisan alam ini. Dengan demikian itu mengharuskan hanya ada Satu Kehendak, Satu Akal-Budi-Agung, berarti Satu Allah. Meskipun agama yang menyembah banyak Dewapun pada analisa terakhir harus mengakui bahwa yang sebenarnya hanya ada satu Allah saja. Karena banyaknya Dewa tak akan memuaskan manusia akan rasa manunggal pada Yang Esa, dan yang Mutlak. Sebab jika ada 64 banyak Dewa berarti tidak ada yang Mutlak. Itulah sebabnya pengalaman batin manusia menghendaki adanya yang mutlak dan absolut, yang hal itu menuntut adanya Allah yang hanya satu. Sifat-sifat Allah dalam bahasa keagamaan yang lazim di Indonesia selalu menggunakan istilah “Maha” yang artinya “paling dan “tak ada duanya”. Maka jika seorang Pencipta itu serba”Maha”: Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Agung , Maha Kasih dan lain-lain, haruslah Dia itu Esa tidak ada duanya. Sebab apa yang ada tandingannya itu sudah bukan serba”Maha” lagi, namun sudah menjadi relatif dan nisbi. Dewa yang ini “lebih kuasa” dari Dewa yang itu. Ilah yang ini “Kurang Kasih” dibanding dengan Ilah yang itu, dan sebagainya. Pula keteraturan dunia ini mengharuskan adanya Allah yang hanya satu saja. Sebab jika ada Allah lebih dari satu, dunia ini akan hancur berantakan, sebab Ilah yang satu akan menghendaki dunia diatur menurut caranya, sedangkan ilah yang lain menghendaki cara yang lain, sehingga hancurlah tatanan alam ini. Maka haruslah Allah itu hanya satu, tak boleh lebih. Allah adalah Maha Tak Terbatas, jika ada lebih dari satu Allah maka ilah yang satu akan dibatasi keberadaannya oleh ilah yang lain itu, dan itu mustahil bagi sifatnya yang Maha Tak Terbatas iitu. Demikianlah maka segala alasan mengharuskan kita menegaskan dan menyakini bahwa yang sebenar-benarnya itu hanya ada satu Allah saja yang tak ada sekutu bagiNya, sebagaimana yang diterangkan oleh ayat-ayat dibawah ini. a.Bukti-Bukti Tauhid Bersama dengan agama sebelumnya: Yahudi, dan agama sesudahnya : Islam, Iman Kristen Orthodox adalah keyakinan yang berlandaskan Tauhid ( Keesaan Allah ). Berdasarkan kebenaran yang paling mendasar dari pengakuan Kristiani tentang Tauhid inilah segenap ajaran Kristen berpangkal. Mengenai keyakinan akan Tauhid ini Alkitab tanpa ragu ragu lagi menyuarakan suara serentak dengan lantang. Sebagaimana dikatakan dalam ayat-ayat berikut ini : Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. ( Markus 12:29-32 ) Pernyataan Yesus yang tegas tentang keesaan Allah ini, diambil dari Syahadat Yahudi yang disebut “ shema “, untuk menunjukkan bahwa Yesus datang bukan untuk menggantikan atau menyingkirkan pengajaran Taurat ( Torah ) dan para Nabi sebelumnya, namun untuk meneguhkan dan menegaskannya. Dengan demikian pengakuan akan Tauhid ini adalah merupakan ajaran pokok atau “ Hukum yang terutama” menurut Yesus kristus, baik dalam Taurat dan kitab para Nabi ataupun dalam ajaran Isa Almasih ( Yesus Kristus ) sendiri. Seiring dengan ajaran Almasih mengenai Tauhid ini, Alkitab secara keseluruhan memang memberitakan fakta keesaan Allah ini. “ Dengarlah, hai orang Israel TUHAN Allah kita, TUHAN itu Esa” ( Ulangan 6:4) Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari 65 terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. ( Yesaya 45:5-6 ) Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius 4:10 ) “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” ( Yohanes 17:3 ) “Artinya, kalau ada Satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman.” ( Roma 3:10 ) “………. kita tahu; tidak ada berhala dalam dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.” ( I Korintus 8:4 ). “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup kita hidup,…. “ ( I Korintus 8:6 ) “Seorang pengantara bukan hanya mewakili satu orang saja , sedangkan Allah adalah satu “( Galatia 3:20 ). “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam semua” ( Efesus 4:6 ). “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Yesus Kristus,” ( I Timotius 2:5 ). “Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19 ). “Allah yang esa , juru selamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita .bagi Dia kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selamalamanya. Amin.” ( Yudas 25 ) Ayat-ayat Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru yang kita kutip diatas menjelaskan secara lugas tanpa keraguan bahwa Iman Kristen itu adalah iman yang bersendikan Tauhid ( Keesaan Allah ) sebagai landasan imannya. Adalah suatu kekeliruan yang besar jika ada orang yang menganggap bahwa Tauhid itu dalam Agama Kristen telah berubah menjadi musyrik ( menyekutukan Allah atau berilah lebih dari satu ).Pengakuan akan keesaan Allah adalah landasan yang pokok dan haruslah merupakan hakekat yang terdalam dari setiap agama dan pengakuan manusia akan Sang Pencipta. b. Tuntutan Tauhid. Pengakuan akan keesaan Allah meskipun merupakan landasan fundamental bagi agama dan iman yang benar, belumlah cukup pada dirinya sendiri, sebelum kita mengerti secara benar tuntutan apa yang diminta dari pengakuan semacam ini. Sebab Iblispun mengakui akan Tauhid, namun 66 dia tak bersikap me-Tauhid-kan Allah, sehingga Tauhidnya Iblis itu tak membawa dia ke dalam pengampunan Ilahi, sebagaimana yang dikatakan : “Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19 ). Yang hendak ditegaskan oleh ayat ini adalah bahwa,memang pengakuan akan Tauhid itu baik pada dirinya sendiri, namun setan-setanpun percaya akan kebenaran fundamental ini dan mereka takut, tetapi kepercayaan mereka akan tauhid ini tidak membawa setan-setan itu kepada pengampunan ilahi dan keselamatan kekal. Berarti ada pengakuan yang salah dan tidak tepat akan Tauhid ini. Jadi ada tuntutan kongkrit agar Tauhid itu bersifat murni dan tak terkotori oleh yang musyrik ( menyekutukan Allah, Polytheisme ). Mengakui, percaya bahwa Allah itu Esa belumlah cukup sebelum kita berniat untuk meng-Esa-kan atau me-Tauhid-kan Allah dalam sikap hidup kita. Bagaimana tuntutan me-Tauhid-kan atau meng-Esa-kan Allah harus kita mengerti, dijelaskan oleh Alkitab secara sangat tuntas dan gamblang. - Tauhid Keilahian (Tauhid Ilahiyah) . Tauhid Keilahian ini adalah pengakuan tentang keesaan Allah yang menyangkut Dzat dan Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Nama Allah dan Keberadaan Allah. Ini menyangkut cara pikir dan cara pandang kita tentang Allah. Alkitab menegaskan dalam Injil Markus demikian: “Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.” ( Markus 12:29-32 ) Karena Allah itu Esa maka kasih kita kepada Allah itu haruslah utuh dan bulat serta satu (“segenap”). Dalam kaitannya dengan cara pikir dan cara pandang kita tentang keesaan Ilahiah ini maka “segenap akal-budi” kita, bukan hanya sebagian saja dari akal-budi itu, haruslah sematamata diarahkan kepada Allah yang satu itu. Berarti akal-budi itu harus mengerti makna dari pada dan bertumpu pada tauhid, sehingga tak ada tempat bagi yang bukan Allah dan bagi kemusyrikan. Agar akal budi itu bertumpu pada tauhid maka akal-budi harus menganalisa bagaimana kemurnian tauhid itu harus dimengerti. Dan Alkitab memberikan kepada kita ajaran yang jelas mengenai Tauhid Keilahian ini : “Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. “ ( Yesaya 45:5-6 ). “Bukankah Aku, Tuhan?, tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari padaKu. Allah yang adil dan Juruselamat tidak ada yang lain kecuali Aku!” ( Yesaya 45:21 ). 67 Ayat-ayat ini dengan tegas mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu Tunggal tanpa ada sekutu dalam keberadaanNya. Dialah satu-satunya Allah yang tiada tandingan bagiNya. Dzat HakekatNya tak tertandingi, serta hanya Dia saja yang memiliki Dzat-Hakekat keilahian yang semacam itu. Tiada sekutu dalam Dzat Hakekat maupun WujudNya. Dialah satu-satuNya yang memiliki keberadaan Dzat-Hakekat semacam itu. Karena Allah itu satu maka satu pula DzatHakekat Allah itu.Tidak ada yang disebut Ilah atau Allah sekalipun selain Dia yang satu dan Esa itu. Karena Dia itu Esa dalam keberadaanNya maka Esa pula dalam segala sifat-sifatNya sehingga tak ada satupun yang dapat dibandingkan denganNya. “Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku,sehingga kami sama?” ( Yesaya 46:5 ) Allah tak ada persamaan dalam sifat-sifatNya. Allah itu unik dan terpisah dari makhlukNya. Jika Dia mempunyai sifat sama dengan lainnya berarti Dia bukan unik dan bukan Esa lagi. Itulah sebabnya bagi Allah semua ilah yang disembah manusia itu tak mempunyai sifat ilahi sedikitpun namun malah hanya sekedar gambaran yang rusak tentang keilahian yang dibuat makhluk sendiri. Dibandingkan dengan semuanya itu Allah itu tidak dapat diserupakan oleh apapun dalam segala sifat-sifatNya. “Supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain, yang menjadikan terang dan yang menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini.Hai langit, teteskanlah keadilan dari atas, dan baiklah awan-awan mencurahkannya ! Baiklah bumi membuka diri dan bertunaskan keselamatan, dan baiklah ditumbuhkannya keadilan! Akulah Tuhan yang menciptakan semuanya ini.” ( Yesaya 45:6-8 ) Itulah sebabnya semua Nama Allah yang menunjukkan karya dan sifat-sifatNya selalu diberi tambahan kata ”Maha” atau “All” dan “Most” atau “Omni” dalam ekspresi Liturgis dan Teologi Gereja yang berbahasa Inggris misalnya : Maha Kuasa ( Almighty ), Maha Melihat ( Omniscience, Allseeing ), Maha Besar ( Most Great ), Maha Hadir ( Omnipresence ), Maha Suci ( All-Holy, Most Holy ) dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hanya Allah saja dan tidak ada yang lain yang memiliki sifat yang menunjukkan karyaNya sebagai Nama yang dimilikiNya sendiri, serta tak ada yang lain yang berhak di beri gelar semacam itu. Nama-nama dan sifat-sifat yang paling unggul dan paling indah ini hanya dimiliki oleh Allah saja, karena hanya Dia yang memiliki kuasa dan kemampuan serta sifat-sifat yang disebut dalam Namanama tadi. Memberi sifat yang bukan Allah dengan sifat-sifat Allah adalah suatu hujatan terhadap kesucian dan keesaan Allah ini. Dan pensifatan semacam itu adalah dusta sebab apa yang bukan Allah tak mungkin memiliki sifat dan kuasa yang dimiliki oleh Allah, yang sifat dan kuasa tadi dinyatakan dalam gelar Nama Allah tadi. Itulah sebabnya Nama Allah itu haruslah hanya milik Allah sendiri. Namun itu haruslah Esa sebagai hak dari Allah yang Esa tadi, itulah nama yang unik bagi Allah. Makhluk tak berhak ikut mengambil bagian dalam Nama Allah yang Esa ini secara hakiki. - Tauhid Kepenguasaan ( Tauhid Rububiyah). 68 Iman akan Tauhid keilahian itu belum cukup jika tidak pula disertai dengan iman akan keesaan Karya dan Penguasaan Allah serta pengaturan dan pemilikanNya atas alam ini. Mengenai keesaan karya Allah dalam menciptakan dunia ini dikatakan demikian.: “Beginilah Firman Tuhan, penebusmu, yang membentuk eangkau sejak dari kandungan; “Akulah Tuhan, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi-siapakah yang mendampingi Aku ?” ( Yesaya 44:24 ) Karena “seorang diri” Allah menciptakan alam semesta ini, maka mensifatkan penolong atau pembantu bagi Allah, yang mendampingiNya dalam proses penciptaan ini adalah merupakan pelanggaran dan hujatan atas Tauhid akan Penguasaan Allah ini. Di dalam sekte aliran Saksi Yehuwah dipercayai bahwa Allah menciptakan seorang makhluk awal yang disebut ”Firman” atau “Anak Allah” yaitu “Malaikat Mikael” sebagai makhluk roh pertama yang dijadikan sebelum adanya alam-semesta ini dan melalui bantuan makhluk pertama yang berwujud roh “ Malaikat Mikael” inilah Allah menjadikan alam-semesta ini. Ajaran ini secara terang-terangan bertentangan dengan konsep Tauhid kepenguasaan atau Tauhid Rububiyah ini. Sebab Allah menciptakan tanpa ada seorangpun yang mendampinginya, seorang diri saja Dia menciptakan, serta tak ada makhluk yang dapat menciptakan makhluk lain apalagi mendampingi Allah demi membantu karyaNya. Ini jelas ajaran yang mempersekutukan Allah dengan makhlukNya, yang ditentang oleh Alkitab. Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun dalam menjadikan alam ini. Dia ada dengan sendiriNya dan Dia unik dalam kuasaNya. Tak seorang makhlukpun yang memiliki sifat sebagai Pencipta, Allah sendirilah Pencipta itu. Karena Allah itu seorang diri saja dalam menciptakan maka Dia saja pemilik segala sesuatu yang sebenarnya dalam alam-semesta ini. Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. (Mazmur 24:1 ). Sebagai pemilik atau yang empunya alam semesta satu-satunya, Dialah pemelihara satu-satunya atas alam-semesta dan semua yang hidup di dalamnya : “Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir diantara gunung-gunung memberi minum segala binatang di pandang, memuaskan haus keledai keledai hutan, di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul diantara daun-daunan, Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar lotengmu, bumi kenyang dari buah pekerjaanMu Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tmbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah yang ... dan makanan yang menyegarkan hati manusia.... Engkau yang telah membuat bulan menjadi penentu waktu, matahari yang tahu akan saat terbenamnya...singa-singa muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut makanannya dari Allah.... lihatlah laut itu.... disitu tidak terbilang banyaknya binatangbinatang kecil dan besar... Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya” ( Mazmur 104:10-27 ). Pemeliharaan dan kepenguasaan Allah itu demikian luasnya mencakup segala sesuatu yang ada di dalam alam ini. Baik bagi alam-semesta itu sendiri, bagi berjalannya planet di Antariksa: bulan, matahari, maupun bagi tumbuhnya tanam-tanaman dan kehidupan hewan dan manusia, baik 69 yang berada di darat, laut maupun udara. Tidak ada ilah-ilah yang terpisah-pisah yang menguasai dan memelihara itu semuanya, namun semuanya di bawah penguasaan Allah yang hanya satu itu. Allahlah pemilik semuanya itu, dan tak ada yang lain. Kita tak mengenal ilah atau Dewa yang menguasau air, Dewa penguasa laut, dewa penguasa matahari, atau bulan, dewa pemberi rejeki. Tidak!!!. Semuanya itu tidak ada. Hanya ada Allah yang Esa yang menguasai semuanya itu. Dan hanya kepadaNya saja semua makhluk berhajat dan berharap. : “SEMUANYA MENANTIKAN ENGKAU “ ( Mazmur 104: 27 ) Menyadari bahwa segenap hidup dan segala prosesnya itu berada dan tunduk dibawah kepenguasaan Allah yang satu itu, maka sudah seharusnya manusia harus mengarahkan baktisyukur dan ibadahnya kepada Allah semata, untuk itulah kita membahas bentuk Tauhid yang selanjutnya. - Tauhid Ibadah ( Tauhid Ubudiyah). Tauhid Ibadah ini juga yang disebut sebagai “Tauhid Ubudiyah”. Makna dari Tauhid ubudiyah ini adalah bahwa hanya Allah yang Esa itu saja yang patut di ibadahi manusia, serta tak ada yang lain yang patut disembah oleh manusia kecuali Allah yang Esa itu. Almasi mengatakan : Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius 4:10 ) “Hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !! “ demikian penegasan Almasih yang tak dapat diragukan lagi. Dan ajaran Almasih ini adalah merupakan penegasan dari apa yang diajarkan oleh Nabi Musa di dalam Taurat. Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dialah engkau haruslah beribadah dan demi namaNya haruslah engkau bersumpah. Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa sekelilingmu, ( Ulangan 6: 13-14 ). “Kepada Dia haruslah engkau beribadah” dan “ Janganlah engkau mengikuti ilah lain” adalah suatu penyataan yang tegas mengenai Tauhid atau keesaan dalam penyembahan atau ibadah kepada Allah ini. Bukan hanya kita harus beribadah kepada Allah semata ( Tauhid Ubudiyah ) namun juga kita harus menolak secara aktif eksistensi dari penyembahan atau ibadah kepada ilah yang bukan Allah itu. Jadi tak bisa secara praktek kita memang hanya menyembah kepada Allah saja, namum dalam hati atau secara tersembunyi mengakui keberadaan ilah yang lain. Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa “ tidak ada ilah lain selain dari Allah yang esa”. ( I Korintus 8:4 ). Tak mungkin pula dimulut kita mengaku bahwa Allah itu esa dan tidak ada ilah lain dari pada Allah yang esa namun di pihak lain, kita mengakui kuasa dari sesama makhluk sebagai yang mempunyai kuasa sama dengan Allah serta kita melakukan penyembahan kepadanya. Ibadah kita haruslah sama sekali utuh dan satu khusus kepada Allah semata sebagaimana yang diajarkan Almasih : Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan 70 segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. ( Markus 12:29-30 ). Wujud manusia mengasihi Tuhan Allah adalah dalam Ibadah. Dan Ibadah itu menyangkut keutuhan keberadaan Si manusia secara lengkap: hati, jiwa, akal-budi dan kekuatan. Jadi berarti tidak ada satupun dalam unsur keberadaan manusia itu tidak ikut terlibat secara langsung dengan sikap mengasihi Allah dalam ibadah. Manusia itu harus utuh dan satu dalam penyembahan kepada Allah. Itulah sebabnya unsur kemanusiaan yang terlibat dalam penyembahan yang utuh haruslah satu juga, yaitu harus “segenap” artinya tiada ruang dan tempat yang kosong atau terluang untuk tidak mengasihi Allah, yang bukan Allah tidak boleh menempati tempat Allah, haruslah segenap kemanusiaan itu secara utuh dan satu menyembah dan beribadah kepada Allah, karena Allah itu hanya satu saja. “...Takutlah akan Tuhan dan beribadahlah kepadaNya dengan tulus iklas dan setia. Jauhkanlah ilah yang kepadanya nenek-moyangmu telah beribadah...Kamipun akan beribadah kepada Tuhan, Allah kita... Apabila kamu meninggalkan Tuhan dan beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu dan melakukan yang tidak baik kepada kamu serta membinasakan kamu... jauhkanlah ilah asing ... dan condongkanlah hatimu kepada Tuhan..kepada Tuhan, Allah kita, kami akan beribadah, dan firmanNya akan kami dengarkan “ ( Yosua 24:14-24 ). c. “Tauhid” Lawan “Musyrik”. Musyrik adalah keyakinan serta sikap hati dan ibadah yang membuat sekutu dan tandingan bagi Allah, sehingga dengan demikian keesaan Allah dalam keilahianNya ( Tauhid Ilahiah ), dalam kepenguasaanNya (Tauhid Rububiyah ), dan dalam Ibadah kepadaNya ( Tauhid Ubudiyah ) mengalami pengrusakan dan perongrongan. Sikap musyrik ini sangat membahayakan bagi keselamatan manusia sehingga diancam: Apabila kamu... beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu......serta membinasakan kamu...” ( Yosua 24:20 ). Juga tertulis : “ Perbuatan daging telah nyata, yaitu....penyembahan berhala...barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” ( Galatia 5:19-20 ). Karena demikian beratnya ancaman yang diberikan bagi para Musyrikin ( orang-orang yang melakukan tindakan musyrik ), adalah sangat penting bagi kita mengerti apa-apa yang dapat dikatakan sebagai musyrik itu, dan dengan mengetahuinya kita dapat menjauhkan diri daripadanya serta memurnikan diri kita dari kemusyrikan untuk menegakkan serta memurnikan tauhid itu dalam hidup kita. Bentuk kemusyrikan yang paling cepat diketahui dan paling kasar adalah penyembahan kepada benda wadhag, terutama yang berbentuk ukir-ukiran. Inilah bentuk berhala yang paling umum dan paling kuno dalam ibadah agama kafir : 71 “Akulah Tuhan, Allahmu,.... Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit... di bumi... atau ...di dalam air. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu...” ( Keluaran 20:2-5 ). Perjanjian Baru mengajarkan hal yang sama : “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka yang mengantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang, yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” ( Roma 1:21-23 ). Penyembahan kepada berhala jenis patung ukir-ukiran seperti ini dianggap sebagai kebodohan ( jahil), karena dalam Zabur / Mazmur diterangkan : “Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas buatan tangan manusia, mempunyai mulut tetapi tidak dapat berkata-kata, menyerupai mata tetapi tidak dapat melihat, menyerupai telinga tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung tetapi tidak dapat mencium, mempunyai tangan tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya. Seperti itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya kepadanya.” ( Mazmur 115:4-8 ) Karena berhala itu tak lain hanyalah benda mati yang tak mempunyai kemampuan apa-apa maka Zabur melanjutkanlagi : “Semua orang yang beribadah kepada patung akan mendapat malu, orang yang memegahkan diri karena berhala-berhala; segala ilah ( jika ada kenyataanya !!!) sujud menyembah kepada-Nya ( Allah Yang Esa ) “ ( Mazmur 97:7 ). Atas dasar kehampaan dan ketiadaan kuasa serta dusta yang nyata dari patung-patung berhala inilah para nabi dengan penuh sarkasme menghardik dan mencela berhala-berhala dan para penyembahnya itu sebagai berikut : “Orang-orang yang membentuk patung, semuanya adalah sia-sia, dan barang-barang kesayangan mereka itu tidak memberi faedah. Penyembah-penyembah patung itu tidak melihat dan tidaklah mengetahui apa-apa, oleh karena itu mereka akan mendapat malu. Siapakah yang membentuk ilah dan menuang patung yang tidak memberi faedah ? Sesungguhnya semua pengikutnya akan mendapat malu, dan tukang-tukangnya adalah manusia belaka. Biarlah mereka semua berkumpul dan bangkit berdiri ? Mereka akan gentar dan mendapat malu bersama-sama. Tukang besi membuatnya dalam bara api dan menempanya dengan palu, ia mengerjakan dengan segala tenaga yang ada ditangannya. Bahkan ia menahan lapar sehingga habislah tenaganya, dan ia tidak minum air sehingga ia letih lesu. Tukang kayu merentangkan tali pengukur dan 72 membuat bagan sebuah patung dengan kapur merah; ia mengerjakannya dengan pahat dan menggarisinya dengan jangka, lalu ia membentuk seorang laki-laki kepadanya, seperti seorang manusia yang tampan, dan selanjutnya ditempatkannya dalam kuil. Mungkin ia menebang pohon-pohon aras atau ia memilih pohon saru atau pohon tarbantin, lalu membiarkannya tumbuh menjadi pohon besar diantara pohon-pohon di hutan, atau ia menanam pohon salam, lalu hujan membuatnya besar, dan kayunya menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagi pula ia menyalakannya untuk membakar roti. Tetapi ia juga membuatnya menjadi “allah” ( ilah ), lalu menyembah kepadanya; ia mengerjakan menjadi patung lalu sujud kepadanya. Setengahnya dibakarnya dalam api dan diatasnya dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri sambil berkata: “ Ha, aku sudah menjadi panas, aku telah merasakan kepanasan api.” Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi “allah”(ilah), menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya, katanya :” Tolonglah aku,sebab engkaulah allahku.” Orang seperti itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat, dan hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang mempertimbangkannya, tidak ada cukup pengetahuan dan pengertian untuk mengatakan:”Setengahnya sudah kubakar dalam api dan di atas baranya juga sudah kubakar roti, sudah kupanggang daging, lalu kumakan. Masakan sisanya kubuat menjadi dewa kekejian ? Masakan aku menyembah kayu kering ? Orang yang sibuk dengan abu belaka, disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan jiwanya atau mengatakan: “bukankah dusta yang menjadi pengakuanku ?” ( Yesaya 44;9-20 ). Dan masih banyak lagi kecaman yang tajam dan hardikan yang pedas dalam Kitab Suci atas penyembahan patung-berhala semacam itu. Namun kutipan-kutipan ayat-ayat di atas sudah cukup menjelaskan kepada kita betapa jijik para Nabi terhadap penyembahan berhala patungukiran yang dianggap sebagai ilah itu. Dan betapa berat ancaman yang dijatuhkan bagi orang yang menyembah ilah dalam bentuk patung-ukiran berhala dewa-dewa itu. Berkaitan dalam penyembahan berhala yang berwujud patung dan arca dipergunakannya segala macam ilmu tenung, ilmu sihir, ilmu gaib dan ilmu ramal yang dianggap sebagai sarana berkomunikasi dengan dan mengetahui kehendak dari dunia gaib dimana para Dewa atau para makhluk roh dianggap lebih tinggi di dalam praktek ibadah dan keyakinan agama semacam itu. Di atas telah kita bahas bahwa patung berhala dan arca pada dirinya sendiri memang hampa dan tidak ada realitanya, namun karena itu penyembahan kepada yang dusta, maka ”bapa segala dusta” ( Yohanes 8:44 ) yaitu: Iblis dan segala roh jahatnya. ( I Korintus 10:19-20 ) menggunakan kesempatan itu untuk makin menipu dan menyesatkan manusia. Sehingga melalui kerja-samanya segala macam ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu gaib, ilmu mistik dam klenik serta ilmu ramal mereka berusaha untuk menyakinkan manusia bahwa para ilah dan para dewa yang adalah roh-roh jahat itu sendiri memang ada realitanya. Sehingga memalingkan manusia dari penyembahan dan ketergantungan yang utuh kepada Allah yang Esa, serta menjadikan manusia sebagai orang orang yang musyrik. Alkitab mengajarkan : “Apabila engkau sudah masuk ke negeri yang telah diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, maka Janganlah engkau belajar berlaku sesuai dengan kekejian yang dilakukan oleh bangsa-bangsa itu. Diantaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki dan anaknya perempuan sebagai korban dalam 73 api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seoreng pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi Tuhan, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah Tuhan mengahalau mereka dari hadapanmu.” ( Ulangan 18:9-12 ). “Jangan kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; jangan kamu mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena mereka, Akulah Tuhan Allahmu” ( Imamat 19:31 ). “Orang yang berpaling kepada arwah atau roh-roh peramal...Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.” ( Imamat 20:6 ). Bentuk berhala lainnya yang ditentang Kitab Suci adalah: Memuja Malaikat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, sama dengan manusia. Hanya Malaikat berwujud roh yang tidak memiliki jasad yang kasar seperti tubuh manusia, sebagaimana yang dikatakan : “... kepada siapakah diantara para Malaikat itu pernah berkata:’ Duduklah disebelah kananKu...’ bukankan mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani..?” ( Ibrani 1:13-14 ). Meskipun Malaikat itu berwujud roh, mereka tetaplah hamba Allah yang melayani kehendak Allah. Dan sebagai makhluk roh mereka kadang-kadang dikacaukan oleh manusia sebagai yang Ilahi sendiri, apalagi para Malaikat itu disebutkan oleh Kitab Suci demikian: “...malaikat-malaikat...lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka( manusia )...” ( II Petrus 2:11 ). Melihat makhluk roh yang lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri, manusia menjadi terperangah dan terpesona, sehingga oleh dorongan kodrat manusia yang memang ingin menyembah itu terjadi suatu kekeliruan di pihak manusia, sehingga menyampaikan penyembahan itu langsung kepada para Malaikat itu sendiri. Penyembahan pada Malaikat itu bukanlah sesuatu yang tak pernah ada, karena Kitab Suci mensinyalir adanya suatu praktek yang demikian, pada zaman awal munculnya Iman Kristen, yang oleh ajaran Tauhid dari Injil praktek yang demikian itu telah punah dan musnah, sebagaimana yang dikatakan : “Jangan kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat...” ( Kolose 2 :18 ) Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang adanya orang yang beribadah kepada Malaikat dan dengan demikian malakuakan puja-bakti kepada para Malaikat seolah-olah mereka itu adalah yang Ilahi sendiri. Memang gangguan untuk menyembah makhluk Allah yang bercahaya atau 74 malaikat terang, yang sering Iblis menyamar seperti mereka itu sangat mudah terjadi. Contohnya dalam agama tertentu yang dulunya menyembah para Dewa yang memang dalam perlakuan ibadahnya dianggap sebagai ilah-ilah, namun oleh pengaruh agama Tauhid Kristen dan Islam, para Dewa tak lagi dianggap sebagai ilah, namun diakui sebagai malaikat-malaikat. Dan agamaagama itu mulai pula menekankan keesaan Allah, namun toh sisa kemusyrikan itu tak begitu mudah disingkirkan, karena biarpun para Dewa itu dianggap sebagai Malaikat, tetapi tetap juga disembah sebagai ilah. Jadi memang mudah sekali penyembahan kepada malaikat itu dilakukan manusia. Apalagi jika masyarakat yang melakukan itu belum dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil. Namun tentu saja Malaikat yang mau menerima penyembahan seperti itu bukanlah malaikat yang benar, namun mereka adalah makhluk roh yang lain, yaitu : Iblis, yang dulunya adalah juga seorang malaikat, yang menyamar sebagai malaikat terang itu, sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci : “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat terang.” ( II Korintus 11:13-14 ) Dan adalah memang keinginan Iblis itu untuk disembah manusia, bahkan diapun mencoba-coba kalau Almasih dalam keadaanNya sebagai manusia itupun dapat ditundukkan untuk menyembah kepadanya : “dan ia ( Iblis ) berkata kepadaNya ( Almasih ) :”Semua itu akan kuberikan kepadaMu, jika engkau sujud menyembah aku.” Maka berkatalah Yesus kepadanya :”Enyahlah Iblis ! Sebab ada tertulis : Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !” ( Matius 4:9-10 ). Berlawanan dengan keinginan malaikat yang telah jatuh : Iblis ini, Malaikat yang sesungguhnya tak mungkin mempunyai keinginan jahat seperti itu. Pernah terjadi bahwa karena begitu luar biasanya pengalaman perjumpaannya dengan Malaikat yang memberikan wahyu kepadanya, hampir-hampir Yohanes lupa diri, sehingga hampir saja menyembah malaikat, namun justru ditolak oleh malaikat tersebut, dan malaikat itu mengingatkan Yohanes bahwa dia adalah samasama hamba Allah seperti manusia. “Dan aku Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur didepan kaki Malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu, untuk menyembahnya. Tetapi ia berkata kepadaku ;”Jangan berbuat demikian ! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudarasaudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan Kitab ini. Sembahlah Allah ! ( Wahyu 22;8-9 ) Sungguh berbeda sikap Iblis dan Malaikat Allah yang benar ini. Iblis menyesatkan dam menjerumuskan manusia kepada musyrik, Malaikat yang benar menuntun dan mengajar manusia kepada Tauhid. Malaikat yang benar tak rela untuk disembah, dan mengakui bahwa ia hanyalah sekedar hamba Allah sama dengan para Nabi dan kaum saleh. Dia tak berhak menerima sembah. Hanya Allah yang wajib disembah. Iblis perlu diingatkan Almasih akan kebenaran mendasar ini, namun malaikat yang benar justru mengingatkan manusia akan arah penyembahan yang benar itu :” Jangan berbuat demikian ! Sembahlah Allah!”. Iman Kristen Orthodox melarang pengikutnya menyembah Malaikat, biar bagaimanapun mulianya Malaikat itu, hanya 75 Allah dan Allah saja yang wajib disembah. Untuk itulah jika dalam Gereja Orthodox ada penghormatan kepada Malaikat, janganlah penghormatan itu dikacaukan dengan penyembahan kepada mereka, sama seperti penghormatan kepada orang kuduspun bukan dan tidak boleh dikacaukan dengan penyembahan kepada mereka. Malaikat-malaikat dan orang-orang kudus ( roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna ) telah berada dalam realita rohani yang sama, dimana bersama-sama mereka menyembah Allah. Oleh Iman kepada Yesus, orang kristen telah menjadikan sahabat dengan mereka, sehingga penghormatan kepada mereka ini adalah bukti kebenaran kesatuan antara yang sorga dan yang bumi di dalam Kristus ( Efesus 1:10 ), sehingga dengan penghormatan itu orang kristen selalu diingatkan bahwa dalam mereka menyembah Allah, mereka itu dikelilingi oleh para Malaikat dan para orang kudus, yang bersama dengan mereka semua itu orang kristen serempak menyembah Allah yang satu dan Esa, sebagaimana yang dikatakan : “Tetapi kamu sudah datang ( perhatikan;bukannya ‘akan datang’dimasa depan !! ) ke...Yerusalem Sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah...dan kepada roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna” ( Ibrani 12:2223 ). Bersama dengan kumpulan para Malaikat serta para roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna ( para orang kudus ) dalam penyembahan yang meriah kepada Allah yang Esa itulah orang kristen telah datang. Itulah sebabnya menghormati yaitu memperingati mereka, itu bukan tindakan kemusyrikan, karena justru dengan itu kita diingatkan bahwa mereka juga menyembah Allah yang Esa sama seperti kita, bahwa kebenaran Tauhit itu bukan hanya ditegaskan di bumi ini saja, namun di sorga juga. Dengan demikian kita tolak segala bentuk penyembahan kepada Malaikat, karena justru para Malaikatlah yang bersama ibadah kita, menegaskan dan mengingatkan kita untuk hanya beribadah kepada Allah yang Esa. Bentuk kemusyrikan selanjutnya yang ditentang oleh Kitab Suci adalah: Memuja Pemimpin Agama. Keterpesonaan akan hal-hal yang luar biasa memang mudah membuat mereka untuk jatuh kepada penyembahan terhadap apa yang membuat dia menjadi terpesona itu, jika iman Tauhidnya di dalam dada tidak kuat. Termasuk juga keterpesonaan kepada Pemimpin Agama yang mengajarkan sesuatu yang hebat disertai oleh perbuatan yang ajaib dan yang mengherankan. Hal ini terjadi di kota Samaria, sebelum dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil : “ Seorang yang bernama Simon telah sejak dulu melakukan sihir di kota itu dan mentakjubkan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang penting. Semua orang, besar-kecil mengikuti dia, dan berkata : “ Orang ini adalah kuasa Allah yang terkenal sebagai Kuasa Besar” ( Kisah Rasul 8:9-10 ). Dalam Sejarah Gereja Simon ini terkenal sebagai “Simon Magus” atau Simon Si Tukang Sihir, dan secara tradisional dianggap sebagai musuh bebuyutan Rasul Petrus. Dialah yang dianggap oleh para Bapa Gereja sebagai penyebab munculnya Ajaran Gnostikisme, yang hendak mencampur-adukkan ajaran Tauhid Injil dengan kemusyrikan kafir Yunani. Dalam ayatayat diatas terlihat bahwa Simon telah membuat orang-orang Samaria takjub karena sihir yang dilakukannya itu. Sebagai akibatnya dia yang manusia biasa itu rela disebut sebagai “Kuasa Allah“ manifestasi dari sifat Allah sendiri. Namun bukan hanya manifestasi dari sifat Allah saja, 76 malah dia sendiri dianggap sebagai Allah. Gelar yang dipakainya untuk mengelabuhi rakyat Samaria itu adalah gelar Ilahi sendiri : “Kuasa Besar”. Dalam bahasa aslinya kata ini berbunyi ”Meghalee” yang artinya:”Yang Maha Besar” yang gelar ini tak lain adalah Nama dari Sang Pencipta: Allah sendiri. Demikianlah kita jumpai kasus dimana ketakjuban manusia rela mengangkat seorang manusia biasa, yang malahan seorang pengikut Iblis ( tukang sihir ) sebagai “Yang Maha Besar” sebagai “Allah”. Bagi kita yang telah diterangi oleh Tauhid Injil mungkin hal itu tidak masuk akal, namun hal yang demikian ini banyak terjadi di sekeliling kita. Di India ada seorang yang juga melakukan perbuatan ajaib, bernama:”Sai Baba” yang juga memiliki pengikut di Indonesia, oleh pengikutnya, diapun dianggap sebagai Allah sendiri. Kasus Simon Magus ini akan terulang terus dalam sejarah, selama manusia tidak berakar dalam Tauhid, sebagaimana yang ditegaskan oleh Alkitab. Demikianlah dari zaman ke zaman ada manusiamanusia tertentu oleh kharisma luar biasa yang ada padanya, menyalah-gunakan pengaruhnya itu untuk menyelewengkan manusia dari penyembahan kepada Allah yang benar kepada penyembahan dirinya sendiri. Pemimpin-pemimpin agama yang disembah secara demikian, tidak selalu dalam wujud pengangkatan sebagai Allah saja. Namun juga jika ada seorang Pemimpin Agama yang dianggap “mutlak” dan “tanpa salah”, siapapun orangnya, sudah mengarah kepada pengilahian, dan dengan demikian menjadi kemusyrikan. Sebab tak seorangpun yang mutlak dan tak seorangpun yang tanpa salah. Hanya Allah saja yang Mutlak dan Allah saja yang tanpa salah. Puncak dari pengilahian diri ini akan terjadi jika “Si Dajjal” ( Anti Kristus ) datang dan mengaku sebagai Allah dan menghendaki disembah sebagai Allah, sebagaimana dikatakan : “Sebab sebelum hari itu ( Hari Kiamat ) haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka ( Dajjal, Antikristus )...yaitu lawan yang meninggikan diri diatas yang disebut dan disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah” ( II Tesalonika 2:3-4 ). Dalam kaitannya dengan masalah ini, perlu kita bahas juga tuduhan Agama Islam terhadap Iman Kristen sebagai pelaku musyrik, karena adanya ulama-ulama yang dihormati dan orang kudus yang diperingati, terutama dengan penyembahan kepada Almasih yang dalam kaca mata Islam dianggap bertentangan dengan Tauhid. Mengenai masalah penghormatan kepada orang kudus sudah kita jelaskan masalahnya. Mengenai ulama-ulama yang dihormati, hal ini harus dilihat dalam proporsinya. Sebab semua agama menghormati ulamanya, termasuk Islam sendiri. Ketika umat tawaddu’ kepada syekh atau guru rohaninya, terutama dalam tradisi tassawuf, dan ajaran guru rohani serta fatwanya didengar tanpa syarat dan secara mutlak oleh para pengikutnya, tak akan terbersit sedikitpun dalam benak pengikutnya bahwa mereka mengilahikan sang guru rohani tadi. Demikian pula penghormatan orang Kristen terhadap ulamanya, adalah sejalan dan sejajar dengan penghormatan Islam kepada ulamanya. Jadi tak bisa menuduh penghormatan ini sebagai kemusyrikan, sebab hal inipun akan mengenai agama Islam juga. Sekarang mengenai penyembahan terhadap Almasih. Kaca mata ajaran Islam tak bisa untuk menilai agama Kristen. Agama Kristen harus dimengerti menurut kaca mata ajaran Kristen itu sendiri. Dalam ajaran Iman Kristen, Almasih bukanlah sekedar Nabi yang menerima Kitab bernama Injil. Sebab Kitab semacam itu tak pernah ada dalam sejarah Kristen, dan sejarah manapun juga, selain dalam ajaran Dogma Islam saja. Injil itu bukan Kitab, namun “Berita Gembira” tentang Iso Mesiha, Yoshua Ha-Masiah, Isa Almasih, Yesus Kristus. Yang berita itu akhirnya dituliskan dan dikumpulkan dalam Kitab Yang bernama Perjanijian Baru. Jadi memang tak pernah ada suatu Kitab yang bernama Injil yang diturunkan Allah sebagai sabda 77 Allah yang diwahyukan. Bagi Iman Kristen Almasih adalah “Firman Allah “ atau “Sabda Allah” yang diturunkan dalam bentuk jasmani”Manusia yang terdiri dari daging dan tulang”, sama seperti pengertian Islam mengenai Al-qur’an sebagai”Firman Allah” yang diturunkan dalam bentuk wadhag”Buku yang terbuat dari kertas”. Pada mulanya adalah Firman... Firman itu telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:1,14 ). Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumudin” yang diterjemahkan sebagai “Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu’min” menjelaskan : “ Bahwasanya Al-Qur’an itu adalah Firman Allah yang bukan makhluk, sebab kalau makhluk tentu akan rusak dan sirna, bukan pula sifat dari makhluk, sebab kalau demikian tentu punah” ( Penerbit C.V Diponegoro, Bandung, 1975, hal27-28 ). Jika Al-Qur’an bukan makhluk dan berwujud buku, bukankah ada dua yang bukan makhluk ? Bukankah ini musyrik tersembunyi ? Pertanyaan ini tak usah dipertentangkan. Maka hal yang sama berlaku bagi Almasih dalam penghayatan Iman Kristen. Almasih adalah Firman Allah, jadi bukan makhluk, itulah sebabnya Alkitab menjelaskan” Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1 ) sebab yang bukan makhluk itu hanya Allah saja. Karena bukan makhluk itulah Almasih tak takluk pada maut, bangkit dari kematian, maka Dia itu “tak rusak dan tidak sirna”, dan karena Almasih adalah Firman Allah yang telah diturunkan maka Dia “bukan pula sifat dari makhluk” itulah sebabnya Dia”tak punah” karena Dia hidup kekal tak berubah di sisi Allah, yaitu disebelah kanan Allah. Jika hal-hal yang demikian dapat dikenakan kepada Al-Qur’an tanpa umat Islam merasa kompromi dengan Tauhid, serta tak merasa hal itu sebagai musyrik, mengapa pemikiran yang tepat dan persis sama dengan Iman Kristen mengenai Almasih sebagai “Firman Allah” yang turun menjadi jasad itu dianggap sebagai musyrik ? Jika Anggapan tentang Al-Qur’an yang demikian itu tidak ada dalam Islam, barulah berhak mengecam Kekristenan sebagai musyrik. Sama dengan pengakuan “kebukan makhlukan Al-Qur’an” sebagai “Firman Allah” yang diturunkan tidak merusak Tauhid dalam Islam, maka “kebukan-makhlukan Almasih” sebagai “Firman Allah” yang diturunkan itupun tak merusak Tauhid dalam Iman Kristen. Iman Kristen adalah Iman Tauhid, dulu, sekarang, dan selamanya. Kemusyrikan yang tak kalah pentingnya yang ditentang Kitab selanjutnya adalah:. Memuja Harta Benda. Dalam bentuk kemusyrikan yang telah kita bahas sebelumnya, penekanan diletakkan pada bentuk keyakinan yang salah arah akan hal-hal yang bersifat Adi-Kodrati. Sedangkan apa yang kita bahas sekarang ini adalah tumpuan harap yang salah arah dalam sifat akhlak manusia. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan, selalu mengharapkan untuk memuja sesuatu. Jika bukan Allah yang benar yang disembah, maka makhluk akan menjadi gantinya disembah manusia, sebagaimana dikatakan : “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya, yang harus dipuji selamalamanya, amin “ ( Roma 1:25 ). Diantara benda ciptaan ( makhluk ) yang mudah menjadi tumpuan harap atau pemujaan manusia adalah harta benda. Almasih mengajarkan : 78 “Jangan kamu mengumpulkan harta di bumi... Karena hartamu berada, disitu juga hatimu berada... Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. ( harta benda, kekayaan, uang )” ( Matius 6:19,21,24 ). “Dan jikalau kamu tidak setia pada harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri ? Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Semuanya itu didengar oleh orangorang Farisi, hamba-hamba uang itu...” ( Lukas 16:12-14 ). Dari pengajaran Almasih ini, jelas dinyatakan bahwa mengumpulkan harta sebagai tumpuan harap dan sebagai pujaan adalah merupakan perbuatan musyrik, karena merupakan penyembahan kepada makhluk, sehingga harta benda itu menjadi tuan atau sesembahan disamping Allah, dan manusia menjadi hamba dari harta, atau hamba dari uang. Mamon atau harta benda menjadi tandingan Allah dalam hidup manusia yang seperti itu. Manusia yang seharusnya hanya bertuankan Allah dan menjadi abdi dan hambaNya, sekarang bertuankan Mamon ( harta ) dan menjadi hamba dari harta dan uang itu. Itulah sebabnya Kitab Suci memberi peringatan sebagai berikut : “Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari Iman...” ( I Timotius 6:10 ), itulah sebabnya, “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah...” ( I Timotius 6:17 ). Harta dapat membuat orang menyimpang dari iman, dan harta serta kekayaan dapat menjadi tumpuan harap sebagai tandingan Allah, atau bahkan pengganti Allah. Itulah sebabnya tamak akan harta atau keserakahan itu dikatagorikan sama dengan penyembahan berhala : “Karena itu matikanlah dalam dirimu... keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah...” ( Kolose 3:5-6 ). Dan karena terlekat-cinta pada harta itu disamakan dengan penyembahan berhala, maka kepada seorang muda yang kaya yang merasa dirinya cukup beragama, namun hatinya terlekat pada hartanya Yesus Kristus mengatakan : “...Jikalau kamu hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin. maka engkau akan beroleh harta di sorga... mendengar perkataan itu pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya...sukar sekali bagi orang kaya untuk masuk dalam Kerajaan Sorga...” ( Matius 19:21-23 ). Hidup beragama menjadi bubar hanya karena sayangnya pada harta, lebih dari pada sayang kepada orang miskin maupun harta di Sorga. Dia merasa sedih kehilangan harta, sebab harta itu menjadi ilah baginya. Itulah sebabnya orang kaya seperti ini memang dikatakan sukar masuk ke dalam Kerajaan Sorga, karena sesembahannya bukanlah Allah, namun berhala harta yaitu keserakahannya sendiri. Maka murka Allahlah yang akan diterimanya, bukan KerajaanNya. 79 Untuk itulah dengan tegas Almasih memberi peringatan yang sangat tajam akan ketamakan itu : “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun orang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari pada kekayaannya itu.” ( Lukas 12:15 ). Demikianlah sebenarnya, masih banyak lagi bukti-bukti dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa harta-benda dan kekayaan itu dapat menyimpangkan iman manusia kepada kemusyrikan, dengan menjadikannya sebagai tumpuan harap dan sebagai tandingan atau pengganti Allah sendiri. Namun Kitab Suci juga memberi pemecahan dan pengajaran bagaimana kita dapat menyukikan harta milik kekayaan kita itu agar bukan menjadi tandingan dan pengganti Allah serta tak menuntun kita kepada kemusyrikan yang mendatangkan murka Allah itu. “Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu” ( Amsal 3:9 ). Karena harta itu juga benda ciptaan milik Allah, maka itupun harus tunduk kepada Allah, maka satu-satunya jalan agar manusia tidak jatuh dalam kemusyrikan melalui harta miliknya, adalah mengabdi dan menghambakan harta tadi kepada Allah dengan menggunakannya untuk kemuliaan Allah. Dengan cara itu sajalah harta iitu menjadi suci dari beban kemusyrikan dan noda pemberhalaan. Sedangkan bagaimana kita memuliakan Allah dengan harta dan menghambakan harta kepada Allah itu dijelaskan demikian : “Ikatlah persahabatan ( lakukan perbuatan-perbuatan baik, saleh dan bajik semacam persahabatan itu )dengan mempergunakan Mamon ( melalui harta kekayaan yang engakau miliki )yang tidak jujur ( yang tidak tetap dan selalu berubah keadaannya ), supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong ( supaya jika harta kekayaan itu sudah tidak berfungsi dan tak kau butuhkan lagi, terutama pada saat kau mati ) kamu diterima dalam kemah abadi ( Sorgalah sebagai ganti kekayaan itu )” ( Lukas 16:9 ). Beberapa cara “mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon” ( berbuat kesalehan, kebajikan, dan kebaikan dengan menggunakan harta kekayaan ) itu dijelaskan oleh Almasih demikian : “Juallah segala milikmu ( terutama bagi mereka yang terpanggil untuk hidup seratus-persen bagi mengabdi kepada Allah di dalam Kristus, yang dalam praktek Iman Kristen Orthodox sekarang menjadi rahib ) dan berikanlah sedekah ! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di Sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena dimana hartamu, disitu juga hatimu berada” ( Lukas 12:33-34 ). Juga dijelaskan lagi oleh Kitab Suci : “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya ... agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” ( I Timotius 6:17-18 ). 80 Sedangkan kesukaan memberi dan membagi yaitu bersedekah itu dapat dinyatakan dalam banyak hal, yang oleh Almasih dinyatakan demikian : “Sebab ketika Aku ( Sang Raja dan Hakim Kekal: Almasih ) lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku...Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” ( Matius 25:-40 ). Maka dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi minum pada orang yang kehausan, memberi tumpangan orang yang terasing, memberi pakaian orang yang telanjang, melawat orang yang sakit, mengunjungi orang yang terpenjara, singkat kata segala perbuatan yang bajik untuk kemanusiaan demi mengangkat dan menolong kehinaan si papa dengan menggunakan harta milik kita yang dilandasi iman kepada Kristus. Itu adalah cara kita mengabdikan dan menghambakan harta kita atau milik kita kepada Allah dan memuliakanNya. Karena segala sesuatu yang kita lakukan itu dikatakan oleh Almasih sebagai melakukan untuk Dia sendiri. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa disamping bersedekah dan berbuat baik secara umum kepada “saudara yang paling hina” ( segenap manusia papa dan sengsara di dunia ini ) terutama juga kita harus memperhatikan saudara-saudara kita sesama kita orang Kristen (“Orthodox”) yang seiman dengan kita, sebagaimana dikatakan : “...selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” ( Galatia 6:10 ). Memang ada skala prioritas ( jenjang yang lebih diutamakan ) dalam kita membagikan apa yang kita miliki sebagai bakti kita kepada Allah. Dan sesama kaum beriman itulah prioritas utama, dan kepada kaum berimanpun ada beberapa cara di mana kita dapat mengabdikan harta milik itu kepada Allah. Almasih merujuk kepada praktek-praktek keagamaan yang tak pernah dikecamnya pada dirinya sendiri, namun penyalah-gunaan akan praktek tadi oleh para pelakunya itu mendapat kecaman pedas, yaitu praktek zakat ( perpuluhan), sebagaimana dikatakan : “Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, hai kamu orang orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan yaitu : keadilah dan belas-kasihan dan kesetiaan. Yang satu ( persepuluhan )harus dilakukan dan yang lain ( keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan ) jangan diabaikan.” ( Matius 23:23 ). Orang Farisi dan ahli Taurat dikecam karena kemunafikan sikap dalam ibadah mereka dalam hal menegakkan zakat ( persepuluhan ). Namun Sistem Ibadah itu sendiri dijunjung tinggi oleh Almasih. Dia mengatakan bahwa yang satu yaitu :persepuluhan itu harus dilakukan, namun itu harus disertai dengan semangat yang lain: keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan. Disinilah letak keharusan persepuluhan menurut ajaran Almasih yang berbeda dengan praktek-praktek para ahli Taurat dan orang Farisi itu. 81 Kecaman terhadap sikap munafik orang Farisi ini dilanjutkan oleh Almasih dengan memberikan perumpamaan tentang dua orang yang berdoa kepada Allah, yang satu orang Farisi yang membanggakan ketaatan ibadahnya : ”...aku berpuasa dua kali seminggu ( yaitu: menurut kebiasaan Yahudi, hari Senin dan hari Kamis ), aku memberikan persepuluhan dari segala pengahasilanku” ( Lukas 18:12 ). Dan yang lain pemungut Cukai yang berdosa dan tak dapat berdoa karena malu dan rasa tak berartinya dihadapan Allah, kecuali mengatakan:”Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.” ( Lukas 18:13 ) Dari kedua orang ini Almasih mengatakan ibadah si pemungut Cukai ini yang diterima Allah, sedangkan si orang Farisi tidak diterima. Yang tak diterima itu bukan Sistem Ibadahnya : Puasa dan Zakat sepersepuluhan itu, namun sikap pamer, mendabik dada, dan tinggi hatinya, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Almasih: “Sebab barang siapa meninggikan diri ( seperti si orang Farisi itu ) ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri ( seperti si pemungut Cukai itu ), ia akan ditinggikan.” ( Lukas 18:14 ). Jelas kepada kita bahwa Almasih tidak mengecam puasa maupun zakat sepersepuluhan, namun memberikan penjelasan bagaimana puasa maupun zakat sepersepuluhan itu harus dilakukan, yaitu dengan kerendahan hati. Demikianlah kita mendapat pelajaran bahwa, menurut Almasih zakat dari sepersepuluhan dari penghasilan kita itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, namun harus dilakukan dengan segala kerendahan hati, keadilan, belas-kasihan, dan kesetiaan. Demikianlah dengan kita memberi zakat sepersepuluhan dari penghasilan kita, kita telah menyucikan harta milik kita itu dari noda kemusrikan, ketamakan, dan keserakahan. Jadilah harta milik itu suatu berkat yang memuliakan Allah. Dan tak kalah pentingnya dari bentuk kemusyrikan yang ditentang Kitab Suci ini adalah :Memuja Hawa Nafsu. Hal ini dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:”…banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus …Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” ( Filipi 3:18:19). Yang dimaksud sebagai “seteru Salib Kristus” adalah seteru terhadap segala praktek kehidupan yang rela mengendalikan, melawan, dan memerangi hawa nafsu sampai matinya hawa nafsu tadi,sebagai penerapan makna salib itu bagi kehidupan, sebagaimana dikatakan:” Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” – Galatia 5:24-. Karena menolak memerangi hawa nafsu maka orang yang demikian menjadikan keinginan perut, aib dan segala perkara duniawi itu sebagai “Tuhan” mereka. Inilah bentuk pemberhalaan hawa-nafsu dan egoisme pribadi manusia. Dan inipun termasuk kemusryikan yang harus dilawan. Dengan memahami semuanya itu maka umat Kristen Orthodox diajar untuk betulbetul`memiliki jiwa Tauhid yang murni dan dalam, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab :”…..TIDAK ADA ALLAH YANG LAIN DARIPADA ALLAH YANG ESA” (I Kor. 8:4). 2.Mengenai Wujud Allah 82 Setelah kita meneguhkan tentang Ke-Esa-an Allah, maka mengenai keberadaan Allah itu sendiri, kita bahas sebagai berikut. Dalam Iman Kristen Orthodox kata “Allah” itu dilihat sebagai berasal dari bahasa Arab “Al-Ilah” artinya “Sang Ilah” yaitu Ilah satu-satunya dan tiada duanya. Kata ini serumpun dengan kata Ibrani “Eloah” atau “Elohim” dan serumpun pula dengan kata Syria / Aramia “Alaha”. Kata Allah ini sudah dikenal oleh orang Arab yang penyembah berhala maupun yang Yahudi dan Kristen sebelum kedatangan agama Islam.Sampai sekarangpun umat Yahudi maupun Kristen yang berbahasa Arab, dalam Alkitab mereka yang berbahasa Arab, nama Allah itu adalah yang digunakan sebagai padanan kata dari bahasa Ibrani Eloah atau bahasa Aramia Alaha itu. Sedangkan kata Eloah atau Alaha ini dalam bahasa Yunaninya yaitu bahasa asli Perjanjian Baru digunakan kata Yunani “Ho Theos”. Berarti menurut pandangan Iman Kristen Orthodox ini bukan merupakan nama diri dari Sang Pencipta, namun lebih merupakan penyebutan keberadaan dari Sang Pencipta itu sendiri. Untuk mengerti keberadaan Allah ini secara lebih rinci sebagaimana yang dinyatakan oleh Iman Gereja yang berlandaskan Kitab Suci, maka kita perlu mengerti tentang Dzat-Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Daya Kuasa (Energi) Allah, dan lain-lainnya. Untuk itu marilah kita bahas hal itu secara berurutan dibawah ini. A. Essensi Ilahi (Hakekat Allah, Dzatullah) Dari awalnya saat kita mulai membicarakan esensi atau hakekat Allah, hal yang pertama disadari sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci dan Iman Gereja adalah bahwa pada dzat-hakekatNya Allah itu tak dapat difahami akal dan diluar pemahaman manusia. Manusia tidak mungkin akan tahu akan dzat-hakekat Allah itu dalam keadaan yang sebenarnya. DzatHakekat ( “Kejaten”, Jw., “Ousia”, bah. Yunani, “essensi”) Allah ini tak akan pernah dapat diketahui oleh siapapun. Sehingga dalam berbicara mengenai “dzatullah” atau “esensi Allah” adalah perlu kita mengerti kata “Dzat” yang digunakan dalam pembahasan theologia. “Dzat” adalah suatu kata yang digunakan dalam pembahasan ilmu ketuhanan yang artinya hakekat /kodrat atau essensi. Ini harus dibedakan dengan “zat” dari ilmu fisika. Sebab zat dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah : padat; cair dan gas. Sedangkan yang kita maksud dengan “dzat” bagi Allah ( dzatullah ) adalah realita dan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang terdalam yang menunjukkan DiriNya itu adalah Allah, dan yang berbeda dari yang bukan Allah. Ini adalah berbicara tentang hakekat atau essensi di dalam Diri Allah itu sendiri. Kata ini dijumpai dalam Yohanes 5:26 dalam terjemahan bahasa Arab sebagai berikut :” Liannahu kama ‘anna ul-aaba lahu khayaatu fiy dzaatihi kadzaalika ‘athay ul-ibna ‘aydhon ‘an takuwna lahu khayaatu fi dzaatihi” (“Karena sebagaimana Sang Bapa memiliki hidup di dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri, demikianlah juga diberikan Sang Putera mempunyai hidup dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri). Dengan demikian yang dimaksud “dzaat” disini adalah “hakekat diri” atau “essensi” keberadaan dari yang memiliki Pribadi itu, dalam hal ini adalah Allah. Allah memang bukan hanya sekedar “dzaat” namun terlebih lagi Ia adalah Pribadi, dan dalam Pribadi Allah inilah terdapat “dzaat” atau “essensi Allah” itu, dan dalam “dzaat” inilah bersemayamNya Pribadi Allah. Jadi memang “dzaat” Allah dan “Pribadi” Allah sama sekali tak dapat dipisahkan. Agar kita dapat mengerti lebih baik mengenai masalah ini, maka baiklah kita bahas masalah itu demikian. Membicarakan tentang Essensi atau Dzatullah itu adalah mempertanyakan mengenai “Apakah Allah itu ?” Padahal mempertanyakan mengenai “Apa” dalam keberadaan Allah 83 itu berarti kita mempertanyakan hakekat atau “Dzat Allah,” dan bukan mempertanyakan tentang PribadiNya. Jika kita mempertanyakan tentang “Pribadi Allah” maka kata “Siapa”, itulah yang kita gunakan. Dan mengenai pertanyaan tentang Pribadi Allah ini akan kita bahas pada saatnya. Disamping mempertanyakan “apa” (“dzaatullah”) dan “siapa” (“Pribadi” Allah), dalam pembahasan kita tentang Sang Pencipta itu, kita juga akan mempertanyakan tentang “Bagaimana” tentang Allah itu, artinya kita membahas tentang cara kerja Allah, kehadiran Allah di dalam dunia, dan hubungannya dengan alam ciptaan. Mengenai pertanyaan “bagaimana” tentang Allah ini, kita akan membahas tentang yang Allah hadir di dalam sinar kemuliaanNya dimana tersembunyi kekuatan atau daya kuasaNya. Disitulah kita akan berbicara tentang daya kuasa (energi ilahi) yang dapat menampakkan diri sebagai sinar kemuliaan yang keluar dari esensi Allah sendiri. Membahas masalah-masalah Dzatullah adalah membahas masalah keghaiban Allah yang paling dalam dan tak terjangkau oleh akal. Karena akal ini diciptakan oleh Allah, sehingga akal tak dapat menembus misteri terdahsyat dari Diri Allah tersebut. Ini bukan karena Dzatullah itu “tak masuk akal”, namun karena Dzatullah itu sendiri memang Adi-Akali, melampaui akal dan indra manusia. Sebab Essensi Ilahi atau Dzatullah itu adalah keberadaan terdalam dari Allah yang hanya dapat dimengerti oleh Allah sendiri saja, melalui RohNya sendiri sebagaimana yang dikatakan :”….tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah, selain Roh Allah” ( I Kor. 2:11). Perbedaan antara “Dzaat” (“Hakekat”, “Kejaten”, “Essensi”, “Ousia”) Allah dan “Pribadi” Allah ini mungkin bagi sebagian orang masih sulit untuk membedakan, untuk itu marilah kita jelaskan sebagai berikut. Demi memudahkan penjelasan ini sebaiknya kita ambil contoh sebagai berikut: Penulis buku ini, sebagai seorang manusia, mempunyai essensi kemanusiaan yang sama dengan para pembaca buku ini.. Sifat kemanusiaan yang dimiliki pembaca, itu juga dimiliki oleh si penulis ini. Jadi segenap manusia hanya mempunyai essensi yang satu saja. Hakekat kemanusiaan yang satu dan dimiliki oleh setiap orang itu jelas berbeda dari hakekat atau dzat atau esensi dari pada lembu. Karena lembu memiliki hakekat “kelembuan” yang dimiliki secara bersama oleh segenap lembu di seluruh alam ini. Dan hakekat kelembuan itu jelas berbeda dari hakekat kemanusiaan. Demikianlah hakekat kemanusiaan yang hanya satu itu hanya dimiliki oleh manusia siapapun diatas bumi ini. Tak perduli warna kulitnya baik ia itu berkulit hitam, berkulit kuning, berkulit coklat maupun berkulit merah; sebagai manusia dia mempunyai ciri-ciri kemanusiaan yang sama, yang menunjukkan bahwa dia itu manusia dan ciri tersebut yang menyebabkan dia disebut manusia. Jadi manusia yang satu dan manusia yang lain tidak berbeda di dalam essensi kemanusiaannya, yang membedakan satu orang dengan lainnya adalah Pribadi. Pribadi Si Tono bukanlah pribadi Si Toni, masing-masing orang mempunyai “pribadi unik dan khas” yang membedakannya dengan pribadi yang lain. Pemahaman yang sama berlaku ketika berbicara mengenai dzat / hakekat / essensi / kejaten di dalam Allah yang hanya satu dan tidak dapat dimengerti makhlukNya itu.. Hakekat Allah itu ialah essensi yang ada di dalam Allah, yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, bukan manusia dan bukan termasuk ciptaan apapun. Hakekat Allah itu tidak dapat dimengerti, tidak dapat dilihat oleh mata manusia., tak dapat direka-reka akal. Keadaan hakekat Allah yang demikian inilah yang dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai ”Tan Keno Kinoyo Ngopo” ( “Tak Dapat Dikatakan Bagaimana”, “Bi la kayf”.) Bahwa hakekat ( “kejaten”, “dzat/jawhar”, “essensi” atau ”ousia”) Allah itu tidak dapat diumpamakan dengan segala sesuatu apapun, jelas dinyatakan oleh II Samuel 7:22 demikian: 84 “Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami.” Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang sama seperti Engkau ini bermakna tak ada satupun yang dapat kita samakan dengan Allah. Segala rekaan atau khayalan ataupun gambaran kita tentang Allah itu jelas tidak dapat menangkap atau menggambarkan Allah itu dengan sebenarnya, dengan demikian manusia memang tidak dapat mengetahui apa-apa tentang Allah itu. Hal ini juga diterangkan di dalam ayat lain yang berbunyi demikian: “Tidak ada yang mengetahui Anak kecuali Bapa demikian juga tidak ada yang mengetahui Bapa kecuali Anak.” ( Matius 11:27 ). “...dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” ( Yohanes 14:17 ). Jelas bahwa Allah yang Esa itu sama sekali tidak dimengerti oleh manusia di dalam hakekatNya. Oleh karena itu dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan demikian: “Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia “ (I Timotius 6:16). Maksud dari kata-kata memang manusia tidak dapat melihat Dia disini bukan hanya Allah itu tak dapat dilihat oleh mata jasmani saja, namun juga bahwa Allah itu tak dapat dilihat oleh mata akal-kepandaian manusia juga. Selanjutnya Allah yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Ini menunjukkan bahwa jika tempat bersemayamNya Allah itu saja tidak dapat dihampiri, maka terlebih lagilah “Dia” yang bersemayam di dalam Terang itu pastilah sama sekali tidak dapat dihampiri. Demikianlah memang Allah itu Maha Ghaib, dan Mysteri Maha Agung. Jarak “hakekat” antara manusia dan Allah itu tak akan pernah terseberangi karena tanpa ada batas, sehingga pengertian kita tak dapat mencapai Dia. Karena Allah itu bukan hanya Maha Tinggi, namun Dia berda diluar ketinggian. Dan jika kita katakan Allah memiliki “dzaat”, namun sebenarnya Iapun mengatasi segala “dzaat”. Pendek kata Ia secara mutlak tak dapat dibandingkan dengan apapun.Dengan demikian kita tidak mampu, meskipun sedikit saja, menurut akal-kepandaian kita, untuk mengerti hakekat atau essensi Allah itu. Oleh karena itu Allah bersabda kepada Nabi Musa demikian: ““Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku dapat hidup” ( Keluaran 33:20 ). Karena mustahilnya manusia dapat mengerti hakekat Allah ini maka Kitab Suci mengatakan tidak ada seorangpun yang pernah (atau dapat) mengerti / melihat Allah : “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; ……..”( Yohanes 1:18 ). 85 Ini disebabkan meskipun Allah itu bersemayam dalam Terang, namun terang itu tak terhampiri, dan meskipun Allah itu bersifat terang dan di dalamNya tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ), namun karena karena begitu jauhnya dan dalamnya rahasia Hakekat/Esensi Allah itu, sehingga yang dapat dilihat oleh manusia itu hanyalah merupakan jurang dalam yang gelap gulita. Seperti yang dialami oleh Nabi Musa ketika bertemu dengan Allah diatas gunung Sinai, sebagaimana yang tertulis: “Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam dimana Allah ada.” ( Keluaran 20:21 ). Embun kelam yang menjadi tempat Allah berada ini adalah simbol bagaimana Allah itu begitu gelap dan tertutup oleh misteri keagungan dan kemuliaanNya sendiri, bagi manusia berdosa yang ingin mendekati Allah itu. Demikianlah kitapun tidak usah heran, jika pemazmur juga memazmurkan Allah itu demikian: “Ia menekukkan langit, lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya……. Ia membuat kegelapan disekelilingNya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondokNya: air hujan yang gelap, awan yang tebal…..” ( Mazmur 18:10-12 ). “Tuhan adalah Raja….. Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia….” ( Mazmur 97:1-2 ). Dengan gelap-gulitanya dzat –hakekat Allah itu bagi akal-budi manusia, maka hanya satu saja yang dapat kita mengerti tentang Allah itu, yakni bahwa sebenarnya manusia tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa mengenai keadaan dzat, hakekat, kejaten dari Allah itu. Hakekat Allah yang menjadi kerajaan Allah itu sendiri, hanya bisa dimengerti oleh Allah yang Esa itu sendiri beserta FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal yang berada melekat dalam DiriNya Yang Esa itu.. Di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, serta yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia itulah Allah yang Esa berada dalam keheningan total, kasih absolut, kesucian mutlak, terang penuh gemilang, kebahagiaan sepenuh, kemurnian tanpa cacat, keutuhan sempurna, dari kekal azali sampai kekal abadi. Karena Allah itu adalah Dia yang tidak dapat dimengerti, sudah selayaknya jika manusia menerima kenyataan bahwa Allah itu tidak dapat direka atau digambarkan dengan cara apapun karena Ia tidak dapat dicapai oleh pikiran, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab dibawah ini: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” ( Roma 11:33 ). “Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku dapat hidup” (Keluaran 33:20). Ia membuat kegelapan di sekellingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: Air hujan yang gelap, awan yang tebal.”(Mazmur 18:10-12). Sesuai dengan data-data Alkitab yang sudah kita bahas ini Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa Hakekat (Essensi, Dzat) Allah itu - sebagaimana yang sudah berulang-kali kita katakan tidak dapat dimengerti ataupun dilihat oleh manusia. Artinya bukan hanya tak dapat dilihat secara 86 mata jasmani saja, namun juga mata akal, mata batin atau mata hati. Kenyataan Adi-Kodrati yang demikian ini ditandaskan lebih jauh oleh Alkitab sebagai berikut: ”Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang Esa.( 1 Timotius 1:17 ). Allah yang Esa sebagai Raja kekal atas segala zaman Yang Maha Ghaib itu, juga tak dapat dimengerti oleh para Malaikat di sorga dalam essensi/ hakekat/ dzatNya yang sebenarnya. Allah memang tidak mempunyai kegelapan di dalam Diri-Nya, sebab Ia adalah Nur (Terang, I Yoh.1:5), namun karena mustahil dapat dihampiri oleh makhluk, baik manusia maupun malaikat, maka Allah yang Terang itu menjadi gelap gulita bagi makhlukNya.. Bagi makhluk, manusia maupun malaikat, Nur Ilahi itu menjadi terang yang membutakan serta menjadi Terang yang Gulita. Suatu paduan kata yang aneh memang, tetapi demikianlah keadaan Allah. Hal itu nyata dari peristiwa yang terjadi di Gunung Sinai. Pada waktu Musa mendekati Allah, Allah menampakkan Diri di dalam terang serta dalam cahaya yang berkiau-kilauan ( Keluaran 19: 18, 24: 10), namun pada waktu Musa naik untuk menghadap hadirat Allah justru kegelapanlah yang dimasukinya; sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat berikut ini: “Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka pada kaki gunung.Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dengan api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar dengan sangat.Bunyi sangkakala kian lama kian keras. Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah Tuhan ke atas puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atasnya.(Keluaran 19:17-20 ). “Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya.”( Keluaran 24:18 ). “Ia menekukkan langit lalu turun, kekelaman ada di bawah kakiNya. Ia mengendarai kerub, lalu terbang dan melayang di atas sayap angin. Ia membuat kegelapan di sekelilingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: air hujan yang gelap, awan yang tebal.”( Mazmur 18:10-12 ). Menurut ayat-ayat diatas Allah yang terang itu bersembunyi dalam kegelapan yaitu misteri diriNya sendiri yang tak dapat ditembus oleh makhluk, yang digambarkan sebagai awan gelap, kekelaman, kegelapan. Hal inilah yang dimaksud dengan ayat dibawah ini: “....tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam Diri Allah...” ( I Kor. 2:11) Karena dzat-hakekat Allah itu memang begitu ghaib dan dahsyatnya. Sehingga “wajah” yaitu essensi/hakekat/dzat Allah ini dapat membuat makhluk hancur lebur jika mungkin melihatnya, yang memang pasti tidak mungkin - sebagaimana yang dikatakan: “Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( hakekatKu, essensiKu, dzatKu), sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup...” ( Keluaran 33: 20) 87 Allah itu merupakan suatu “misteri”, satu rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh akal manusia. Sehingga dengan demikian dalam keputusan-keputusan kehendakNya dan jalan kodratNya ini memang Allah tak terselidiki dan tak terselami : “O ,alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” ( Roma 11:33 ). Allah sendiri sajalah yang mengerti dengan sebenarnya mengenai DzatNya (EssensiNya, HakikatNya)) yang Maha Ghaib, Maha tak terselidiki dan Maha tak terselami itu. DzatNya (EssensiNya/HakikatNya) adalah Rahasia diatas segala rahasia ,dan Misteri diatas misteri. Itulah sebabnya hanya dengan rasa takut dan gentar disertai hormat dan kasih yang amat mendalam kita harus mendekati Allah yang demikian ini. Allah yang tanpa kegelapan itu, menjadi suatu rahasia dan misteri yang gelap-pekat dalam dzat-hakekatNya karena tidak dapat dihampiri manusia, serta tak dapat dicapai oleh manusia dalam keadaan alamiah dan keberdosaannya itu. B. Pendekatan Pem”bukan”an. . Karena dzat-hakekat Allah adalah misteri maka kategori yang kita kenakan pada makhluk tak akan berlaku bagi Allah. Itulah sebabnya di dalam Iman Kristen Orthodox terdapat suatu pendekatan theologis yang disebut pendekatan “pembukanan“ atau pendekatan “apopathika” di dalam membicarakan keberadaan Allah itu. Artinya kita tidak bisa mengatakan mengenai dzat-hakekat Allah itu secara pasti begini atau begitu, sebab kategori dan bahasa yang kita gunakan untuk mengatakan dzat-hakekat Allah yang sebenarnya itu, berasal dari apa yang kita dapatkan dan kita alami di dalam dunia ini, padahal Allah bukan dari dunia, bukan makhluk (ciptaan), serta mengatasi segala ciptaanNya.. Dengan demikian apa-apa yang kita sifatkan kepada Allah terutama mengenai dzat-hakekatNya itu tidak akan persis sama keadaannya dengan apa yang sebenarnya ada pada Allah. Karena Allah itu lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dengan sebutan atau segala istilah yang kita tahu di dalam dunia ini. Sehingga jika dalam alam makhluk itu ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maka Allah itu bukan laki-laki dan bukan perempuan dan bukan juga banci dan Ia bukan keadaan yang dibatasi oleh jenis kelamin itu. Pada pokoknya apa yang ada di dalam sifat alam itu kita tidak dapat mempergunakan kepada sifat Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan ini kala ia hendak kita kenakan kepada Allah itu haruslah kita tambahi dengan kata ”bukan”. Inilah yang disebut Teologi “Pem’bukan’an”. Jadi Allah itu bukan kuning, bukan putih, bukan besar, bukan kecil, bukan tua, bukan muda, dan lain-lain. Sifat-sifat dari hakekat Allah itu tidak mungkin kita katakan secara bahasa positif karena dari kekal azali sampai kekal abadi dzat-hakekat Allah itu akan tetap demikian dan tetap akan menjadi rahasia bagi manusia. Karena Allah itu dalam hakekatNya bersifat misteri, maka aqidah Iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam membahas kodrat serta dzat-hakekat Allah yang tak terselami dan tak terselidiki haruslah dengan pendekatan “via negativa” atau “apopathic approach” yaitu “pendekatan pem-bukan-an” yang kita sebut diatas tadi. Artinya kita hanya dapat berbicara menganai “yang bukan” dari dzat-hakekat Allah itu, sebab apa yang sebenarnya dari dzatullah itu sungguh kita sama sekali tak mengertinya. Misalnya : Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan dan bukan banci - jadi Allah itu adalah Allah; Allah itu bukan seperti malaikat, bukan seperti manusia, bukan seperti binatang, bukan seperti tumbuhtumbuhan dan bukan seperti fenomena tercipta apapun- jadi Allah itu adalah seperti DiriNya sendiri; Allah itu bukan tempat ( bukan maqam ), bukan waktu ( bukan zaman ), jadi Allah itu adalah 88 DiriNya sendiri dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak akan bersalah dan berdosa mensifatkan secara jasad atau yang mirip dengan makhluk mengenai Allah, yang pasti hal itu tidak akan tepat dengan realita dzatullah ( essensi ilahi) itu sendiri. Sebab jika kita salah mensifatkan bisa jadi malahan kita menghujat dan bukan meluhurkan Allah Yang Maha Kudus itu. Begitu pula dengan pendekatan pem-bukan-an ( via negativa, apopathic approach ) ini kita tidak akan terjebak dalam usaha menurunkan Allah dalam derajat makhluk melalui pensifatan dengan katagori-katagori manusia dengan sifat-sifat manusia yang tidak layak bagi essensi dan hakekat Allah yang Maha Agung itu. Selanjutnya melalui membiarkan Allah sebagaimana adanya akan mengangkat kita masuk dan tenggelam dalam misteri Ilahi itu sendiri serta mengangkat kita dari keterbatasan kemakhlukan kita untuk menyelam dalam ketidak terbatasan Ilahi, sehingga kita dilepaskan dari ikatan-ikatan yang mempersempit pandangan kita akan realita, untuk memperluas diri dalam keluasan dzatullah ( essesi ilahi) yang tak terbatas itu. Maka Pendekatan Pem”bukan”an atau Theologia Apopathika adalah suatu pendekatan yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dari sisi “bukan”nya daripada “ya”nya. Dengan mendekati Allah secara Pem”bukan”an ini kita dihindarkan dari kesalahan untuk mereka-reka Allah menurut apa yang kita mengerti dengan akal kita. Karena Allah yang dapat kita mengerti dengan akal kita, berarti bukan Allah. Mengkhayalkan Allah menurut sifat-sifat yang kita ada-adakan bagi Dia itu adalah suatu “Dewa” ciptaan dari pikiran kita. Karena Allah itu yang menciptakan pikiran kita, menciptakan angan-angan kita, menciptakan pengertian kita, oleh karena itu Dia harus lebih tinggi dari pada apa yang dapat kita mengerti. Gereja Barat terbiasa mendekati Allah itu dengan pendekatan “via positiva” atau”pendekatan affirmatif” yaitu “cataphatic approach”. Artinya secara akademis-filosofis mereka memberikan katagori kepada Allah berdasarkan analisa-analisa akali dari kumpulan data-data yang dibahas secara filsafati. Sehingga pendekatan lebih bersifat analisis rasionalistis dari pada bersifat mistik ( rohani ). Tempat misteri banyak dikorbankan demi menekankan yang rasionalistis. Sedangkan Gereja Orthodox meskipun menekankan pengertian yang masuk akal dan logis namun masih membuka lebar bagi misteri ilahi, sehingga pendekatan apophatic itulah yang dilaluinya. Meskipun digunakan juga bahasa-bahasa positif meneganai Allahj dalam Gereja Orthodox, namun harus tetap disadari itu hanya simbol sajka dari realita sebenarnya, yang pada hakekatnya tak kita ketahui itu. Jadi dalam pembicaraan kita tentang dzat/hakekat/essensi Allah yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai “ousia” hanya misteri yang tak terpecahkan yang kita jumpai.. . C.Keberadaan ( Wujud) Allah Memang kita tak dapat membayangkan atau mereka-reka bagaimana keberadaan wujud atau keberadaan Allah itu yang sebenarnya, karena keberadaanNya yang ghaib itu. Dan juga memang dalam essensi yang sebenarnya kita tak dapat mengerti tentang Allah itu. Ini tak berarti kita tak dapat mengerti sama sekali tentang keberadaan Allah, seolah-olah tak ada keterangan sedikitpun. Syukur kepada Allah, bahwa melaui wayuNya sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab, kita mendapatkan keterangan serba sedikit mengenai Allah itu, sejauh apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Dengan demikian kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang bagaimana keberadaan ( Wujud ) Allah itu dapat kita fahami. Beberapa ayat Kitab Suci dibawah ini akan memberikan keterangan kepada kita mengenai hal itu: 89 “...... Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia....” ( Hosea 11:9 ). “..... Allah adalah Terang ( Cahaya, Nur ) dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ) “Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri...” ( I Timotius 6:16 ). “Allah itu Roh...” ( Yohanes 4:24 ) , dan sifat Roh itu adalah :” ...hantu ( spirit = roh ) tidak ada daging dan tidak ada tulangnya....” ( Lukas 24:39 ). Dari beberapa ayat diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa Allah itu bukan manusia. Dia adalah Roh artinya ghaib, dengan keberadaan ghaib itu maka Dia itu tidak memiliki tubuh jasmani yang terdiri dari tulang dan daging. Allah itu bukan jisim bukan pula benda, biarpun benda yang paling halus sekalipun. Dia bukan Zat (cair, padat, gas). Dia bersifat Nur atau Cahaya sehingga tempat bersemayamNya atau kemuliaan yang mengelilingi DiriNya itu adalah berupa “Terang yang tak dapat dihampiri” yaitu Nur tak tercipta. Dia pula disebut “ tak takluk pada maut” artinya essensi DiriNya itu adalah hidup murni yang tidak pernah mengalami pertumbuhan atau penyusutan, yang tidak pernah mengalami kelahiran ataupun kematian. Sebab yang ghaib dan yang roh bagaimana mengalami penyusutan dan kematian, serta bagaimana memiliki permulaan secara dilahirkan. Allah adalah hidup murni yang berdiri sendiri. Itulah sebabnya Dia itu kekal tak berawal akhir, hadir dimana-mana ( Mazmur 139:7-12 ) tak dibatasi tempat, pengetahuannya menembus segala sesuatu tak dibatasi oleh kebodohan atau ketidak-tahuan ( Mazmur 139 ;1-6 ), Dia merembesi segala sesuatu tanpa jadi identik dengan yang dirembesi ( Kisah Rasul 17:27-28 ). Dia kekal tanpa dibatasi waktu ( Mazmur 90:1-2 ), serta Dia itu pribadi yang mandiri dan berdiri pada DiriNya sendiri dengan menyatakan DiriNya sebagai “ Akulah Aku “ ( Keluaran 3:14 ). Demikianlah beberapa indikasi Alkitab mengenai bagaimana Wujud ( Keberadaan ) Allah yang dapat kita mengerti, meskipun pada akhirnya kita masih tetap tidak mengerti realita yang sebenarnya. Kita bersyukur bahwa kita memiliki Allah yang mengatasi pemahaman kita ini. Karena itu menunjukkan bahwa Dia itu bukan buah karangan otak manusia namun sebagai realita yang mandiri dan tak tercipta namun yang menciptakan segala sesuatu, Dia ada tanpa diadakan meskipun Dia mengadakan segala sesuatu. Itulah keberadaan Allah itu. D.Sifat-Sifat Allah Dalam pembicaraan kita mengenai dzat-hakekat/ essensi/ousia Allah yang kita jumpai hanya kegelapan misteri dari keghaiban ilahi, serta dalam pembicaraan kita mengenai wujud (keberadaan) Allah, kita diperhadapkan kepada keluhuran dan kemuliaan keberadaan Allah yang sebenarbenarnya yang diluar jangkauan makhluk (ciptaan). Disitu kita menjumpai betapa terbatasnya pemahaman kita untuk dapat menjangkau kedahsyat-luhuran Allah itu. Dan jika dzat-hakekat dan wujudNya saja yang kita renungkan pastilah kita tak akan dapat mengerti apapun tenatang Allah. Namun syukurlah bahwa Allah bukan hanya Allah yang menyembunyikan Diri dalam keghaibanNya namun juga Allah yang menyatakan Diri dalam pewahyuan DiriNya. Melalui penyataan Diri Allah ini meskipun hakekat-wujud Allah yang sebenarnya masih merupakan misteri bagi kita, namun dari pernyataan sabdaNya, tindakan-tindakan mukjizatNya, penyataan pemeliharaan dan penghukumanNya atas umatNya kita dapat mengerti Allah itu melalui sifat-sifatNya . Melalui sifatsifat Allah yang dinyatakan melalui penyataan DiriNya itulah kita dapat mengerti keberadaan Allah 90 itu terutama dalam hubunganNya dengan makhlukNya, terlebih-lebih kepada manusia dan lebih khusus lagi kepada ummat yang beriman kepadaNya. E.Energi Allah Jika dalam dzat/hakekatNya Allah itu tak dapat dimengerti manusia, dan melalui sifat-sifatNya saja manusia dapat mengerti tentang keberadaan Allah itu, maka dalam energiNya manusia dapat mengalami hadirat Allah itu. Mengenai Energi Ilahi itu diajarkan demikian oleh Alkitab :Alkitab sbagaimana telah kita bahas diatas, mengatakan :” Tak seorangpun pernah melihat Allah…” ( Yohanes 1:18)., “…tidak seorangpun mengenal Bapa…” ( Matius 11:27), “ O , alangkah dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusankeputusanNya dan tak terselami jalan-jalanNya”( Roma 11:33), “….tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah…” ( I Korintus 2:11) “…..bersemayam dalam terang yang terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia, dan memang manusia tak dapat melihat Dia” ( I Timotius 6:16 ).Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tak pernah dikenal, tak pernah dilihat, tak terselidiki, tak terselami, tak diketahui apa yang ada didalam diriNya, tak terhampiri, serta tak dapat dilihat manusia. Pendek kata ayat-ayat diatas menunjukkan Allah itu tak dimengerti sama sekali keadaanNya oleh manusia. Allah itu begitu ghaib dan misteriusNya sehingga dijelaskan dengan kata-kata seperti itu. Namun demikian ada ayat-ayat lain dalam Alkitab yang mengatakan demikian :“…..Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak,kita ada….” ( Kisah Rasul 17: 27-28) “…apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka…..apa yang tidak nampak daripadanya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak….dari karyaNya….” ( Roma 1:19-20), “ Kudus, kudus kuduslah TUHAN semesta alam, SELURUH BUMI PENUH KEMULIAANNYA” (Yesaya 6:3). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang serupa.Bertentangan dengan ayat-ayat diatas dimana dijelaskan bahwa Allah tak dikenal, tak dimengerti, tak terselami, tak nampak dan tak dapat dihampiri, ayat-ayat yang kita kutip ini menunjukkan justru sebaliknya. Disini Allah disebutkan sebagai yang tak jauh dari manusia masing-masing, manusia seolah-olah berenang di dalam hadirat Allah sendiri, Allah nampak dari karyaNya, dan kemuliaan Allah itu memenuhi seluruh bumi, yang berarti bumi itu dipenuhi dengan hadirat Allah. Mengapa ada keberadaan yang seolah-olah kontradiksi ini mengenai Allah? Ini bukan kontradiksi, namun dua cara hadirat Allah yang berbeda. Yang diatas menjelaskan Allah dalam kehadiranNya pada DiriNya sendiri, yaitu pada Esensi, Hakikat, atau Dzat Ke-Allah-anNya sendiri, yaitu keilahian dan kekuatanNya yang kekal. Ini memang tak dimengerti oleh manusia. Sedangkan kelompok kutipan yang kedua menjelaskan cara kehadiran Allah diantara makhlukNya (hidup, gerak dan adanya manusia, karyaNya pada alam, serta seluruh bumi), dan kehadiran itu berwujud “KEMULIAAN” yang memenuhi bumi, sehingga manusia dapat hidup, bergerak dan ada, dan kemuliaan itu nampak pada karya-karya Allah itu, artinya pada hasil aktivitas perbuatan Allah. Karena hasil aktivitas perbuatan Allah itu pada penciptaan alam semesta, dan di alam semesta itu pula hadir :”kemuliaan” itu,maka “kemuliaan” dan “aktivitas perbuatan Allah” itu identik adanya. Demikianlah ayat-ayat yang menyatakan tentang keghaiban Allah diatas itu menunjukkan keberadaan Allah pada DiriNya sendiri yang memang tak dapat dimengerti manusia yaitu “Esensi, Hakekat” (Dzat!!!, bukan “Zat” yang terdiri dari : padat, cair dan gas) Allah sendiri, dan ayat-ayat yang menyatakan tentang kehadiran Allah di dunia yang dapat dialami manusia itu menunjuk kepada “aktivitas perbuatan Allah” atau “kemuliaan Allah” yaitu “Energi Allah” atau “Energi Ilahi” sendiri. Demikianlah Iman Kristen Orthodox memang membedakan antara “Esensi Ilahi” dan “Energi Ilahi”. “Esensi Ilahi” adalah kehadiran Allah pada diriNya sendiri, atau hakekat Allah itu sendiri, dan “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah ditengahtengah ciptaanNya, yaitu aktivitas perbuatanNya diluar “Esensi”Nya. Namun kedua-duanya adalah 91 kehadiran yang nyata dari Allah itu sendiri. “Energi Ilahi” bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah, namun “energi tak tercipta” yang mengalir keluar dari dalam esensi itu sendiri. Manusia tak dapat mengalami Allah dalam EsensiNya sebab itu mustahil, namun dapat mengalamiNya melalui “Energi” atau ‘kemuliaan”Nya ini, seperti yang telah kita lihat dari ayat-ayat Alkitab diatas. Bahwa “kemuliaan Allah” itu adalah “Energi Allah” yang dilaksanakan oleh Firman/Anak dan RohNya/Roh Kudus itu diajarkan Alkitab demikian, terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan Yesus Kristus, karena pengalaman kita akan Energi Ilahi ini terkait dengan pengalaman penebusan dalam Kristus, sedangkan yang kita kutip diatas adalah Energi Ilahi dalam kaitannya dengan pemeliharaan ciptaan secara umum: “…..Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh KEMULIAAN BAPA…” (Roma 6:4) Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa “Kemuliaan Bapa” itu bukan sekedar konsep yang abstrak, namun betul-betul kekuatan atau daya-kuasa, yaitu “Energi” yang dapat mengalahkan kematian dan menyatakan hidup kekal, yaitu hidup yang tak berkematian. Padahal “kekekalan” itu sesuatu yang tak tercipta, berarti “kemuliaan” yang mempunyai kuasa untuk mengalahkan kematian dan memberikan hidup yang kekal ini pasti kekal pula. Berarti “kemuliaan Bapa” ini adalah sesuatu yang Tak Tercipta, namun kekal berasal keluar dari dalam Diri Bapa sendiri. “….Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati….akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu “ (Roma 8:11). Ayat ini menjelaskan bahwa kebangkitan yang tadinya dikatakan dilakukan oleh “Kemuliaan Bapa” itu ternyata sekarang dilakukan oleh “Roh Allah”. Namun Roh Allah itu jelas tidak identik dengan “Daya-Kuasa” atau “Daya-Aktif” yaitu “Kemuliaan Bapa” itu. Ajaran Saksi Yehuwan yang menolak Tritunggal Kudus, mengatakan bahwa Roh Kudus itu adalah “Daya Aktif” Allah atau menurut bahasa Alkitab, yang dibawah nanti akan kita buktikan disebut sebagai “Energi Ilahi” atau “Energi AIlah”. Mereka kacau antara “Energi Ilahi” yang menjadi milik dari Bapa, oleh FirmanNya di dalam RohNya, itu dengan Roh Allah sendiri ini. Roh Allah memang “keluar” dari Allah (Yohanes 15:26) namun bukan Daya Aktif Allah, sebab Firman Allah/Anak Allahpun “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42), namun Dia juga bukan disebut sebagai “Daya Aktif” Allah bahkan oleh Bidat Saksi Yehuwahpun. Sebab “Daya Aktif” itu menunjukkan pada “aktivitas perbuatan” sedangkan Roh Allah karena Ia itu ber-hypostasis maka Ia adalah pribadi yang dapat “berdoa” ( Roma 8:26), “menyelidiki Diri Allah “ ( I Kor. 2:10), “mencegah” dan “tidak mengizinkan” ( Kisah Rasul 16: 67), “dibohongi “ ( Kisah Rasul 5:3), “didukakan” ( Efesus 4:30). Sifat-sifat pribadi yang mana tak dimiliki oleh “kemuliaan” atau “energi” atau “daya aktif” Allah itu. Jadi Roh Allah itu berbeda dengan daya aktif Allah atau “kemuliaan Bapa” ini. Namun Roh Allah inilah yang melaksanakan gerak dari energi Ilahi itu, sebagaimana yang dikatakan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam I Korintus 12. Karunia-karunia Roh Kudus itu dinyatakan sebagai “kharismatoon” ( I Kor. 12:4) sebagai pemberian dari Roh Kudus, namun dinyatakan sebagai “diakonioon” ( I Kor. 12:5) dalam dampak yang dilakukannya di dalam Gereja, sedangkan dalam dirinya sendiri yang berasal dari Allah disebut sebagai “energheematoon” serta Allah sendiri disebut sebagai “Ho Energhoon” atau ‘Yang Meng-Energi-kan /mengerjakan” ( I Kor. 12: 6). Berarti ‘Kharisma Roh Kudus” itu adalah “Energhima” atau “Hasil dari Energi” yang berasal dari Allah, dilayankan (diakonia) untuk dan atas Nama Tuhan Yesus Kristus, serta dikaruniakan (kharisma) oleh Roh Kudus. Sebab mengenai fungsi 92 Roh Kudus itu dinyatakan;” Tetapi semuanya ini ( yaitu:kharisma-kharisma Roh Kudus, sebagai “energhima” Allah) dikerjakan ( energhei ) kai to auto pneuma (oleh Roh yang satu dan yang sama itu juga)….. “ ( I Kor.12:11). Ayat-ayat ini jelas mengatakan bahwa “energhima Allah” atau “kharisma Roh Kudus”, itu di “energikan” oleh Roh Kudus. Berarti Roh Kudus berbeda dengan “Energi Ilahi”. Roh Kudus adalah yang menjalankan atau melaksanakan atau mengerjakan Energi Ilahi itu di dalam kehidupan makhluk. Oleh karena itu “Kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus itupun, “dienergikan” oleh Roh Kudus, sehingga Roh Kudus dikatakan sebagai yang membangkitkan Yesus Kristus. Kristus mengatakan ;” Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun yang mengambilnya daripadaKu (artinya, Yesus tidak mati karena terpaksa atau karena keharusan mati seperti layaknya manusia lainnya), melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri ( artinya, Dia bebas dan berkuasa untuk menghendaki kapan Dia mati, atau juga kapan untuk tidak mati sama sekali) . Aku berkuasa memberikannya ( artinya, Dia mempunyai kedaulatan untuk dapat mati atau untuk tidak dapat mati), dan berkuasa mengambilnya kembali ( artinya, jika Dia matipun Dia punya kuasa dan kedaulatan untuk membangkitkan DiriNya sendiri lagi)” ( Yohanes 10:17-18). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus itu yang memiliki kuasa untuk membangkitkan DiriNya sendiri. “Kuasa” apa ini? Inilah kuasa yang sama, seperti “kemuliaan Bapa” dan kuasa kebangkitan yang dilakukan oleh Roh Kudus juga. Berarti Allah (Bapa), Firman ( Anak, Yesus Kristus), dan Roh Kudus ( Roh Allah) itulah yang membangkitkan kemanusiaan Yesus Kristus ( Firman Menjelma) dari kematian oleh “Kemuliaan Bapa” yaitu “Energi Allah” yang satu dan yang sama, yang dilakukan oleh Tritunggal Maha Kudus. Jadi Energi Ilahi adalah milik Allah dan FirmanNya serta RohNya sekaligus. “Energi Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman /Anak di dalam Roh Kudus datang kepada makhluk terutama manusia. Bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Energi Allah” dikatakan demikian oleh Alkitab: “…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20). Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja dalam membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan” Kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita. Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :” …Yesus berubah rupa…wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang…” ( Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan pengalaman perubah-rupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan 93 dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau ‘Energi Ilahi’. Dan “Terang tak Tercipta” inilah yang nanti akan menampakkan Diri pada kerajaan Bapa atas orang-orang beriman, yang akan bercahaya seperti matahari. ( Matius 13:43). Inilah yang disebut pemuliaan atau dalam ImanKristen Orthodox disebut sebagai “Theosis” atau pengilahian yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petris 1:4). Namun juga yang dapat dialami sekarang oleh para orang kudus, sebagai “Pengalaman Terang Tak Tercipta” namun yang bukan “Theosis” itu sendiri baik sebagai sinar yang dilihat sebagai kemuliaan ilahi ( Kisah 7: 55-56, 9:3-6, Wahyu 1:12-16, dan beberapa pengalaman Theofani Perjanjian Lama maupun cahaya yang bersinar dari dalam tubuh mereka sendiri seperti halnya pemuliaan Yesus diatas gunung itu ( Kisah Rasul 7: 15, Keluaran 33: 33). Inilah yang dialami oleh para kudus dalam Gereja itu. Jadi energi ilahi ini adalah “kasih-karunia” (kharis) dari Allah sendiri, yang mengalir keluar dari Essensi Ilahi, yang disalurkan kepada kita oleh Karya Kalimatullah di dalam Roh Kudus sendiri Jadi “kasih karunia” dalam Gereja Orthodox adalah “energi ilahi” yangg bekerja di dalam diri orang beriman akibat manunggal dalam iman kepada kemanusiaan Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga itu. Jadi dalam Iman Kristen Orthodox “kasih karunia” itu dimengerti secara dinamis. Dari luar “kasih karunia” adalah hadiah cuma-cuma dari Allah yang menerima manusia berdosa menjadi orang-orang kudus akibat karya korban dan kebangkitan Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka di masa lalu. Namun “kasih karunia” itu juga “energi ilahi” yang bekerja di dalam manusia percaya akibat karya Roh Kudus untuk secara fakta menjadikan manusia berdosa itu betul mengalami pengudusan sehingga ia menjadi orang kudus bukan hanya dalam status dan posisi saja, namun juga dalam realita, sehingga ia mencapai “theosis” tadi. Jadi manunggal kepada Allah itu bukan berarti melebur ke dalam ”essensi” ilahi secara “pantheistis” sebagaimana yang dimengerti agama Hindhu atau Kebatinan Jawa, namun manunggal dalam kemuliaan atau energi Allah. Dalam “energi Allah” inilah manusia betul-betul mengalami panunggalan dengan Allah itu melalui iman kepada Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. F. Anthropomorfisme/Mutajasimah ( Pengumpamaan Allah Seperti Insan) Di dalam pemikiran theologis yang monotheistis, misalnya: dalam pemikiran Yahudi, Islam dan Kristen (khususnya Kristen Orthodox), kadang-kadang timbul sikap ekstrim dalam mengesakan Allah ini. Di dalam Kekristenan misalnya pernah muncul keyakinan bahwa “Firman Allah” itu bukan merupakan keberadaan dalam wujud Allah yang kekal, karena jika ada Firman Allah yang kekal ditakutkan adanya dua Ilah, yaitu :Allah sendiri dan FirmanNya, oleh karena itu Firman Allah yang dalam bahasa theologia Kristen disebut “Anak Allah” adalah tercipta. Inilah pendapat dari ajaran Arianisme, yang dijaman modern ini dilanjutkan oleh kelompok Saksi-Saksi Yehuwah. Fenomena yang sejajar muncul pula dalam agama Islam, dalam bentuk aliran pemikiran theologis dari aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat-sifat. Oleh karena itu aliran ini meyakini bahwa Allah mendengar dengan DzatNya (hakekatNya), Allah mengetahui dengan DzatNya ( hakekatNya), Allah berbicara dengan DzatNya ( hakekatNya), Allah mendengar dengan DzatNya ( hakekatNya) dan seterusnya. Dengan mengatakan bahwa semua sifat Allah itu dikembalikan kepada Dzatullah, maka kaum Mu’tazillah yakin bahwa mereka telah memurnikan Ke-Esa-aan Allah secara konsekwen. Karena jika Allah itu memiliki sifat-sifat berarti ada dua Ilah yaitu Dzat dan Sifat. Ini sudah merupakan penyangkalan terhadap Ke-Esa-an Allah. Demikian faham Mu’tazilah. Faham yang tidak jauh beda dengan Arianisme dalam sejarah 94 Kristen Orthodox, yang juga meyakini bahwa “Firman Allah” itu bukan satu dalam hakekat ( “homoousios”) Diri Allah. Dengan demikian Allah tak memiliki “Firman” berarti tak memiliki sifat “Kalam” di dalam DiriNya sendiri. Sebagaimana dalam Agama Islam Kaum Asy’ariyah yang merupakan mayoritas di Indonesia ini - menolak ajaran Mu’tazila ini, demikianlah Iman Kristen Orthodox menolak ajaran Arianisme dan Saksi-saksi Yehuwah. Sanggahan Kaum Asy’ariyah dalam Agama Islam terhadap ajaran kaum Mu’tazilah itu, berwujud penegasan bahwa Allah itu memiliki banyak sifat, bukan hanya satu atau dua sifat saja. Bagi kaum Asy’ariyah Allah itu mendengar dengan PendengaranNya, Allah mengetahui dengan PengetahuanNya, Allah melihat dengan PenglihatanNya, Allah berfirman dengan Firman/KalimatNya, Allah hidup dengan KehidupanNya, dan seterusnya. Dalam hal ini Iman Kristen Orthodox segaris dengan pemikiran Asy’ariyah ini. Karena iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa Allah itu memang memiliki Firman, Hidup, Pengetahuan, Hikmat, Pendengaran, Penglihatan, dan sebagainya. Meskipun Firman Allah, HidupNya Allah, Pengetahuan Allah, Hikmat Allah, Pendengaran Allah, serta Penglihatan Allah ini berbeda hakekatNya dari sebutan yang sama yang dikenakan pada makhluk (ciptaan) Nya terutama manusia. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan Alkitabiah yang seolah-olah menggambarkan Allah mempunyai sifat-sifat dan keberadaan jasmani itu harus dimengerti sebagai ungkapan "anthropomorfisme” yaitu ungkapan-ungkapan pengandaian yang menggunakan bahasa manusia dengan mengumpamakan jasmani manusia untuk menggambarkan keberadaan Allah, namun bukan makna secara literal. Ini dibuktikan bahwa dalam beberapa ayat yang mengandaikan Allah seperti manusia diberi penjelasan kata “seperti” dan “menyerupai” (Keluaran 24:10, Yehezkiel 1:26-28). Itu membuktikan bahwa penggambaran itu tak boleh dimengerti secara literal. Sebab jika itu dimengerti secara literal akan bertentangan dengan pernyataan Alkitab yang mengatakan tentang Allah:” Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami ( Allah dan yang dibandingkan denganNya tadi) sama ? “ ( Yesaya 46: 5). Artinya Allah itu tidak sama bila dibandingkan ataupun diumpamakan dengan apapun. Termasuk pengumpamaan secara bentuk jasmani (“anthropomorfisme”) tadi. Dalam makna inilah kita dapat berbicara mengenai Allah, bahwa Allah punya “wajah” ( “….dan mereka (ahli syurga) akan melihat wajahNya….”,Wahyu 22:4) artinya punya “essensi, dzat-hakekat”, Allah punya “tangan” ( “ Sesungguhnya tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan……” , Yesaya 59: 1), artinya punya kuasa untuk menolong, Allah punya “kaki” (“ Lalu mereka melihat Allah Israel, kakiNya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam,……”, Keluaran 24: 10) artinya punya cara untuk menghadirkan DiriNya pada makhlukNya, Allah punya “tubuh” (“…..kelihatan seperti rupa manusia. Dari yang menyerupai pinggangnya sampai keatas…..dari yang menyerupai pinggangnya sampai kebawah….Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN…,” Yehezkiel 1: 26-28), artinya punya keberadaan nyata dalam kekekalan ilahi, Allah “duduk di atas takhta” (“…..aku melihat TUHAN duduk diatas takhta yang tinggi dan menjulang….” Yesaya 6:1) artinya memerintah sebagai raja dan menguasai seluruh alam, Allah “berjalan-jalan” ( “ Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN, yang berjalan-jalan di taman itu….” Kejadian 3:8) artinya Allah selalu hadir dimana-mana memperhatikan makhlukNya, punya “sayap” (“ Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung….” , Mazmur 91: 4) artinya penjagaan dan perlindungan Allah, bahkan Allah “menyesal” (“ maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi…..” Kejadian 6:9) artinya Allah tidak membiarkan dosa manusia tanpa hukuman. Sehingga dari kasih atas ummat beriman berubah kepada penghukuman atas kekafiran mereka itu digambarkan sebagai penyesalan Allah. Dan masih banyak lagi. 95 3. Allah Yang Esa, FirmanNya dan RohNya. (Allah Yang Esa Sebagai Tritunggal Maha Kudus) Landasan Pemahaman Berdasarkan Pengakuan Iman Nikea Mengenai keberadaan Allah Yang Esa itu Pengakuan Iman Nikea selanjutnya mengatakan bahwa .Allah yang hanya satu dan diberi gelar “Sang Bapa, Yang Mahakuasa” ini memiliki keberadaan yang sangat unik, karena di dalam kesatuan diriNya itu Dia memiliki “Anak Tunggal” yang bukan berasal dari luar kodrat Allah namun “ yang diperanakkan dari Sang Bapa” bukan dengan suatu permulaan waktu tetapi “sebelum segala zaman” yaitu dari dalam kekekalan. Berarti dalam kekekalan itulah Allah ini dalam kodratnya sendiri “memperanakkan Anak Tunggal” sebagai pancaran atau pantulan diriNya sendiri yang adalah Terang (Nur) itu. Sehingga Anak Tunggal Allah yang berada kekal dalam kodrat Allah ini disebut “Terang yang keluar dari Terang”. Sebagai pancaran dari Nur yang adalah Allah, maka jelas yang terpancar atau terpantul berwujud Nur pula. Karena hanya ada satu Allah yang bersifat Nur, maka Allah yang Satu ini pastilah Allah yang Sejati. Pancaran Diri Allah yang sejati yang berasal dari kodrat diriNya yang berwujud “Nur yang keluar dari Nur (Allah)” ini, jelaslah memiliki sifat yang sama dengan Allah yaitu “Allah Sejati yang keluar dari Allah sejati”. Dengan demikian pancaran Nur Ilahi yang berkodrat Allah sejati itu bukan mahluk, yaitu Dia “bukan diciptakan” namun “diperanakkan” yaitu dikeluarkan secara kodrati dari kodrat Ilahi sendiri di dalam kekekalan, sehingga kodratNya sama dengan asal-usulNya: Allah yang Esa. Berarti Nur yang keluar dari Nur ini berada dalam “Satu dzat hakekat dengan Sang Bapa” karena Allah itu memang hanya satu yang “Dzat hakekatNya” satu pula. Mengikuti rincian makna Pengakuan Iman ini kita melihat sekarang bahwa yang disebut “Anak Allah” ini bukan makna kata jasmaniah. Sebab meskipun ada kata-kata “diperanakkan” dan “Anak Tunggal”, tetapi kita tak menjumpai kata “Ibu” atau yang “wanita pengandung Anak Allah”. Tak pula kita jumpai kata kapan saat Anak Allah itu dilahirkan. Dia diperanakkan di luar waktu, “sebelum segala zaman”, berarti Dia diperanakkan terus menerus di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena arti “memperanakkan” disini adalah mengeluarkan, atau juga memantulkan, berarti Allah selalu memantulkan Cahaya DiriNya dalam DiriNya sejak kekal, dan itulah makna diperanakkan itu. Siapakah yang disebut Anak Allah yang berasal dari dalam Diri Allah Yang Esa ini? Dijelaskan oleh Pengakuan Iman itu “Yang MelaluiNya segala sesuatu diciptakan” Dan kita tahu menurut Alkitab bahwa Allah menciptakan segala sesuatu melalui “FirmanNya” atau “SabdaNya”. Jika demikian jelas yang dimaksud Anak Tunggal disini bukanlah makhluk atau ciptaan yang diadakan oleh Allah, namun Ia adalah Firman Allah yang kekal, yang melaluiNya Allah mengadakan sekalian makhluk atau segenap ciptaan. Itulah sebabnya Ia satu dzat-hakekat dengan Allah, dan memiliki sifat Ilahi, dan keluarNya dari Allah sendiri, karena Ia berada satu di dalam Allah Yang Esa itu sendiri. Karena Allah yang Esa itu disapa dengan gelar kias sebagai “Bapa”, maka “Firman Allah” yang berasal dari kandungan dzat Allah dan yang keluar dari Allah Yang Esa itu disebut dengan gelar kias “Anak”. Karena Allah itu Esa,, maka FirmanNya juga hanya ada satu saja. Padahal Firman Allah ini diberi gelar kias sebagai “Anak”, maka jelas Firman yang hanya satu itu, disebut dengan gelar kias “Anak Tunggal Allah”, karena Allah memang tak 96 beranak maupun diperanakkan dalam pengertian jasmani yang kita kenal. Firman Allah yang kekal itu disebut “Anak Yang Tunggal” (“Firman itu….sebagai Anak Tunggal Bapa…”, Yohanes 1:14), serta “Anak Tunggal Allah/Bapa” yaitu Firman Yang Kekal itu dinyatakan sebagai yang “ ada di pangkuan Sang Bapa” (Yohanes 1:18), dan ”pangkuan Bapa” adalah “Dzat-Hakekat Bapa/Allah”. Dengan demikian Firman Allah yang dikiaskan sebagai “Anak Tunggal Allah” itu memang berada dalam “Dzat Hakekat Allah” yang Esa itu. Sedangkan mengenai Roh Allah yang kekal dikatakan:: “…Roh …menyelidiki…hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah…..yang tahu, apa yang terdapat dalam diri manusia, …roh manusia sendiri yang ada di dalam dia……..yang tahu, apa yang terdapat dalam diri Allah…Roh Allah” ( I Korintus 2:10-11). Roh Allah berada dalam Diri Allah, sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia. Firman Allah ada di “pangkuan Bapa” yaitu dalam hakekat Bapa yang satu. Dengan demikian dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu berdiamlah FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal. Sehingga hanya Allah Yang Esa (Bapa) itu sendiri, beserta Firman serta RohNya yang ada di dalam Diri dan Dzat-HakekatNya Yang Esa itu saja yang mengerti dzat-hakekat dari pada Allah tersebut. Jadi disamping FirmanNya sendiri itu, Allah yang Esa ini juga memiliki Roh Kudus, yaitu Roh yang “Keluar dari Sang Bapa”, yang berarti Roh ini asalnya juga dari Sang Bapa (Allah Yang Esa) itu dan berdiam di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Dengan demikian Allah yang Esa itu merupakan pokok dan sumber yang dariNya Anak Tunggal Allah (”Firman Allah yang hanya satu-satunya”) diperanakkan sejak kekal (“Diperanakkan dari Sang Bapa”) dan dariNya pula Roh Kudus itu dikeluarkan dari kekal (“Keluar dari Sang Bapa”). Melalui Anak Tunggal (“FirmanNya yang hanya Satu”) ini Allah menciptakan (Allah..Pencipta...) segala sesuatu (“yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan”). Padahal dalam Kitab Suci yang menjadi sarana penciptaan dalam diri Allah adalah “Firman Allah” berarti yang dimaksud dengan Anak Allah itu, sebagaimana yang telah kita katakan diatas, tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. Itulah sebabnya Ia satu dalam dzat-hakekat Allah. Tetapi dalam memberikan hidup dan kehidupan kepada segala sesuatu yang telah diciptakan melalui “Firman”Nya yaitu “Anak Tunggal” Nya itu Allah menggunakan RohNya yang disebut Roh Kudus (“Roh Kudus...Sang Pemberi Hidup....”). Demikianlah maka Roh Kudus sebagaimana Anak Allah yang melaluiNya Allah menciptakan segala sesuatu itu, menjadi “Tuhan” (Penguasa) bagi segenap mahluk. Maka jelaslah Allah itu memang satu, sehingga Roh Kudus itu “bersama dengan Sang Bapa” artinya dari dalam hakekat Allahlah Roh Allah berasal, “dan Sang Putra” karena Anak Allah yang adalah “Firman Allah” beradanya dalam dzat hakekat Allah yang Esa bersama dengan Roh Allah sendiri, “disembah dan dimuliakan”. Demikianlah penyembahan ummat Kristen kepada Allah Yang Esa itu penyembahan yang bersifat hidup dan intim, karena Dia menyembah Allah melalui Firman Allah yang mengantar manusia kepada Allah, dan melalui Roh Allah yang memberikan terang dan hidup untuk menyatu dengan Allah yang Esa itu. Dan fakta keberadaan Allah yang Esa yang demikian inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai “Tritunggal Mahakudus”. Hal-hal yang keliru dalam Pemahaman Tritunggal Maha Kudus Istilah “Tritunggal Maha Kudus” untuk menyebut Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki Firman dan Roh dalam diri dan dzatNya yang serba esa ini sering dimengerti secara salah oleh orang diluar Iman Orthodox. Kata ini memang tak terdapat dalam Kitab Suci dan pertama kali digunakan oleh Theophilus dari Antiokhia di Gereja Timur dalam bahasa Yunani “Triados” dan Tertulianus dari Gereja Barat dengan istilah bahasa Latin “Trinitas” dalam usaha untuk menjelaskan tentang fakta yang terdapat dalam Kitab Suci mengenai Allah Yang Esa yang 97 disebut Bapa, yang memiliki Firman yang disebut Putra/Anak dan Roh yang disebut Roh Kudus yang bersifat Kekal, dan hubungan Firman Allah dan Roh Allah itu dengan Allah Yang Esa itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan Tritunggal bukanlah mengenai ajaran bahwa ada Tiga Ilah yang terpisah-pisah yang disebut Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus seperti yang kita jumpai dalam ajaran Mormon. Bukan pula terdiri dari Isa, Maryam dan Allah, sebagai tiga tuhan bersatu. Malah bukan pula sebagai Isa dan Jibril ( karena istilah Kristen “Roh Kudus” itu disamakan dengan ajaran dalam Islam dimana nama lain dari malaikat Jibril adalah “Rohul Qudus”) yang dipersekutukan dengan Allah, seperti yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan polemik beberapa penulis Muslim dalam serangannya terhadap faham Tritunggal ini. Bukan pula Tritunggal ini tiga Nama yang berbeda dari satu Tuhan Yesus Kristus. dimana “Bapa” disamakan dengan gelar :”Tuhan”, dan “Anak” disamakan dengan gelar “Yesus” serta “Roh Kudus” disamakan dengan gelar “Kristus”, namun wujudnya adalah satu yaitu “Tuhan Yesus Krisus” yang dilahirkan Maryam itu. Jadi menurut faham ini Allah yang Esa itulah Tuhan Yesus Kristus. Faham ini banyak kita jumpai dalam beberapa kelompok denominasi Protestan non-klasik di Inondonesia ini. Memang faham ini sangat bertentangan dengan data Kitab Suci yang telah kita bahas diatas. Tak pula Tritunggal itu berarti hanya tiga fungsi dari Allah yang Esa, semisal orang satu yang dapat berfungsi sebagai bapak, anak dan suami tergantung pada situasinya. Sebagaimana yang difahami oleh beberapa kelompok tertentu dalam denominasi Protestan klasik. Dan bukan pula Tritunggal itu sebagai suatu “keluarga ilahi” yang terdiri dari Bapa, Ibu (“Roh Allah” sering dianggap bersifat feminin oleh kelompok tertentu) dan AnakNya. Tidak pula ini suatu keluarga ilahi yang terdiri dari Bapak dan Anak yang diikat oleh kasih yang disebut Roh Kudus. Sebagaimana yang difahami oleh kelompok Protestan sempalan tertentu. Dan Tritunggal itu bukan juga semacam gambaran psykhologis dalam Allah Bapa itu kehendak, Anak itu kata-kata atau akal-budinya serta Roh Kudus itu adalah semacam emosi ilahi yang bernama kasih, seperti yang diajarkan oleh Santo Agustinus dari Gereja Barat. Dan bukan pula Tritunggal itu adalah proses dan tahap yang dilalui Allah dalam sejarah: dalam Perjanjian Lama Allah yang Esa itu disebut Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang tadinya disebut Bapa itu sekarang disebut Anak, dan dalam Gereja Allah Yang Esa yang tadinya disebut Bapa dan Anak itu sekarang disebut Roh Kudus, seperti yang diajarkan oleh aliran dispensasionalis tertentu dari kelompok Protestan sayap kiri. Dan ajaran Tritunggal Mahakudus ini berbeda sama sekali dengan faham “Trimurti” dalam Agama Hindhu. Karena Brahma, Wisnu dan Shiwa dalam agama Hindhu adalah dewa yang terpisah-tepisah yang memiliki keluarga masing-masing lengkap dengan anakanak dan isteri-isteri mereka masing-masing. Meskipun jika masing-masing dianggap sebagai manifestasi-manifestasi dari “Brahman” (Sang Hyang Widhi) yang satu. Karena masing-masing manifestasi itu berdiri sendiri-sendiri dengan karya-karya yang saling tak terkait satu sama lain. Tidak pula Tritunggal Mahakudus itu dapat disamakan dengan ajaran Kebatinan “Pangestu” tentang “Tri Purusa”, dimana dimengerti bahwa Tuhan yang satu itu berada dalam tiga “faset” : Sang Suksma Kawekas yang diparalelkan dengan Sang Bapa, Suksma Sejati yang disamakan sebagai Sang Putra dan Roh Suci yang adalah inti terdalam dari roh manusia sendiri (kelihatan faham “pantheisme” disini, suatu faham yang ditolak Gereja Orthodox: Roh Suci dalam Gereja Orthodox adalah Roh yang ada di dalam Diri Allah, dan bukan inti terdalam dari roh manusia ). Dimana Suksma Kawekas digambarkan sebagai Omnipotensi (jadi bukan pribadi atau hypostasis seperti yang diajarkan oleh Iman kristen Orthodox) atau Samudera keilahian yang diam tak bergerak, sedangkan Suksma Sejati digambarkan sebagai samudera keilahian yangt mulai bergerak, dan Roh Suci adalah uap samudera yang keluar akibat gerak samudera keilahian tadi (inilah faham “emanasi” yang juga ditolak Gereja Orthodox). Berarti terdapat dua kali 98 pemunculan baru di dalam Allah, yaitu munculnya gerakan samudera keilahian : Sang Suksma Sejati, serta munculnya uap air samudera keilahian: “Roh Suci” dari “gerak samudera keilahian”: Suksma Sejati (sesuatu yang baru muncul bukanlah sesuatu yang kekal, dalam Allah tak ada yang baru semuanya “qodim” dan “azali” menurut Iman Kristen Orthodox).. Semuanya itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Tritunggal Maha Kudus dalam Iman Kristen Orthodox. Namun yang disebut Tritunggal dalam ajaran Iman Kristen Orthodox sebagaimana yang jelas diajarkan Kitab Suci adalah penjelasan akan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki “Firman” dan “Roh” yang berada satu di dalam Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu. Tritunggal Maha Kudus adalah Allah Yang Esa itu Dengan panjang lebar diatas telah kita bahas bahwa Iman Kristen Orthodox adalah suatu Iman yang menekankan Tauhid (Ke-Esa-an Allah) sebagaimana yang nyata dalam ayat-ayat Alkitab berikut ini, yang juga telah kita kutip diatas:”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! ( Ulangan 6:4), Akulah yang terdahulu ( berarti: tak ada Ilah lebih tua dari Allah Yang Esa ini, berarti Allah tak berorang-tua, atau tak diperanakkan) dan Akulah yang terkemudian ( berarti: tak ada Ilah baru yang lebih muda atau lebih kemudian dari Allah yang Esa ini, atau Allah itu tak beranak melalui kelahiran dari seorang isteri); tidak ada Allah selain daripadaKu ( berarti: Allah tak memiliki tandingan atau sekutu” ( Yesaya 44:6), “ Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah” ( Yesaya 45:6).” Jawab Yesus: Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa” ( Markus 12:28). Dan Allah Yang Esa itu diidentikkan dengan “Bapa” :”Demikianlah kata Yesus……:Bapa….Engkau, satu-satunya Allah yang benar…” ( Yohanes 17:1-3), “ Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu:Bapa…” ( I Kor.8:6). Dan kebenaran ayat-ayat Kitab Suci ini diringkas dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox ( Pengakuan Iman Nikea):” Aku percaya pada Satu Allah, Sang Bapa, Yang Mahakuasa…” Allah yang Esa yang disebut Bapa ini – bukan karena jenis kelamin, tetapi sebagai kata kias karena Dia adalah asal-usul dari segala sesuatu, pemelihara segala sesuatu, pemberi segala sesuatu, dan pembimbing segala sesuatu – adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan segala sesuatu itu melalui “FirmanNya” ( Kejadian 1, Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3), dan memberi hidup kepada segala sesuatu melalui “RohNya” ( Ayub 33:4), FirmanNya Allah itu selalu “bersama-sama” dengan Allah, artinya berada di dalam kodrat dan Hakikat Allah sendiri ( Yohanes 1:1-3), sedangkan Roh Allah itu “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26), berarti asalnya ada di dalam Bapa yaitu Allah yang Esa itu ( I Kor.2:10-11). “Firman Allah” yang melaluiNya Allah menjadikan alam semesta ini juga disebut “Anak” ( Yohanes 1:3, Ibrani 1:2) karena FirmanNya Allah, yaitu IlmuNya Allah atau Akal-Budi Allah itu pasti “dikandung “ dalam Dzat Hakekat Allah sendiri sehingga jika Firman itu dinyatakan atau diucapkan keluar dari Allah maka “seolah-olah” dilahirkan atau diperanakkan, dan dalam pengalaman manusia apa yang dilahirkan itu pastilah disebut sebagai “Anak”, jadi “Firman Allah” adalah “Anak” yang diperanakkan dari dalam Pikiran Allah tadi, itulah sebabnya Firman Allah disebut Anak Allah, meskipun Allah itu secara biologis tak beranak maupun diperanakkan..Ini disebabkan, karena Allah sebagai asal-usul dan tempat beradanya Firman itu disebut Bapa. Karena Allah itu Esa maka FirmanNya juga cuma satu, dan Firman Allah itu disebut “Anak”, maka “Firman Allah” yang cuma satu, atau “Anak yang satu-satuNya” ini jelas disebut “Anak Tunggal”, itulah sebabnya “Firman Allah” disebut “Anak Tuggal Allah” dalam Kitab Suci (Yohanes 1:18, 3:16). Sedangkan Roh Allah (yaitu prinsip kehidupan dan kuasa Allah) yang ada di dalam hakekat Allah yang satu bersama “Firman” itu disebut Roh Kudus .Dengan demikian dalam Iman Kristen Orthodox Roh Kudus bukanlah nama Malaikat Jibril, namun Roh Allah sendiri. Malaikat Jibril adalah ciptaan dari Roh Kudus ini juga, sebab Malaikat Jibril itu diberi hidup oleh Allah 99 melalui RohNya ini juga sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Karena Allah itu Esa, yaitu Bapa tadi, maka haruslah memang FirmanNya (Anak) itu berasal dari dan berdiam di dalam Allah yang Esa yaitu Bapa ini, demikian pula RohNyapun harus keluar dari dan berdiam dalam Bapa yang Esa ini, dengan demikian Keesaan Allah terjaga. Karena memang Allah itu Satu, Esa, tiada tandingan atau sekutu bagiNya. Jadi Tritunggal Maha Kudus adalah Allah yang Esa (Sang Bapa) yang memiliki dalam dzat-hakekatNya yang Esa Firman yang kekal ( Anak) dan Roh yang kekal ( Roh Kudus) yang berada dan melekat satu di dalam DiriNya yang Esa itu. Jadi istilah “Tritunggal Mahakudus” itu bukan berbicara mengenai jumlah Allah, namun mengenai keberadaan di dalam diri Allah yang Esa tiada berbilang dan satu tiada bandingan itu. Iman Kristen Orthodox tidak percaya adanya Allah yang lebih dari satu karena Allah itu Esa menurut Alkitab. Jadi Tritunggal bukanlah “Tiga” Ilah seperti yang dikatakan dalam An-Nissa 171:’ Hai ahlil Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu….dan janganlah kamu katakan:Tuhan itu tiga!….” . Tritunggal bukanlah “Tiga Tuhan yang terpisah-pisah” atau “Tiga Tuhan yang digabungkan” atau “Tiga Tuhan yang dipersatukan” , namun itu adalah sebutan bagi Allah Yang Esa itu sendiri yang dalam dzatNya memiliki Kalimat dan Ruh yang kekal tanpa awal maupun akhir. Bukan pula Allah dalam pemahaman Tritunggal itu sebagai “yang ketiga daripada yang tiga” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 72 karena Allah itu hanya satu-satunya dan yang pertama dalam DiriNya yang Esa yang memiliki Kalimat dan Ruh kekal itu. Serta lebih bukan lagi jika Allah itu adalah “Isa dan ibunya” sebagai tuhan-tuhan/ilah-ilah “disamping Allah” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 116, sebab Tritunggal itu bukan terdiri dari unsur-unsur makhluk, karena Allah itu tak terdiri dari unsur-unsur, namun Dzat azali dari Allah sendiri yang memiliki Kalimat dan Roh yang kekal itu. Maryam tak pernah disebut sebagai IsteriNya Allah, sebagai tandingan atau pasangan dari Allah Bapa. Jika sampai ada pemikiran yang demikian jelaslah itu pemikiran yang amat sesat, dusta dan terkutuk. Maryam adalah “hamba Allah” (Lukas 1:38), sama seperti “Isa”pun adalah “Hamba Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia ( Filipi 2: 5-7). Makna Hypostasis Bagi Iman Kristen Orthodox Allah itu Esa karena Bapa itu Esa, sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Suci :” …bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu :Bapa…” ( I Kor. 8:6), dan yang juga diteguhkan oleh Pengakuan Iman Gereja :”..Satu Allah, Sang Bapa…”. Sehingga Sang Bapa itu pokok dan sumber di dalam diri Allah yang Esa.. Karena Bapa itu adalah Allah yang hidup maka Bapa itu bukan sekedar suatu keberadaan ilahi tak berpribadi, namun Ia adalah Allah yang berpribadi, atau berhypostasis. Sedangkan “Firman” atau “Kalimatullah” di dalam Alkitab ditegaskan bahwa Firman Allah itu bukan hanya sekedar serangkaian bunyi dan suara yang memiliki makna dalam wujud kata dan kalimat, sebagaimana “firman/kata-kata” yang dimiliki manusia. Allah tidak sama dengan manusia,oleh karena itu FirmanNyapun tak sama dengan kata-kata manusia. Sementara kata-kata manusia adalah sesuatu yang tercipta dan benda mati namun Firman Allah itu disebut sebagai “Firman yang Hidup”(I Yohanes 1:1), karena memang “Dalam Dia/Firman itu ada hidup” ( Yohanes 1:4), sebab “…Anak/Firman mempunyai hidup dalam diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Itulah sebabnya Ia dapat menjadi sarana Theophania (“tajjali, penampakan Ilahi”) dan akhirnya dapat menjelma manusia yang hidup.Karena Firman itu hidup maka Ia mempunyai kesadaran, dan karena mempunyai kesadaran Ia dapat dikasihi Allah ( Yohanes 17:24). Keberadaan Firman Allah yang semacam inilah yang dikatakan bahwa Firman itu memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”). Demikian juga Roh Allah meskipun itu adalah prinsip hidup dan kuasa di dalam diri Allah sendiri, namun karena Roh Allah ini mempunyai ciri sebagai “Roh yang memberi hidup” (Roma 8:1), sebagaimana juga yang ditegaskan oleh Pengakuan Iman Gereja Orthodox, bahwa “Roh Kudus” itu adalah “Sang 100 Pemberi Hidup”, maka ini berarti bahwa “Roh Allah”pun memiliki hidup itu sama seperti yang dimiliki Firman. Karena Roh itu sama seperti Firman Allah berada di dalam Diri Allah Yang Esa, dan Roh itu sama-sama memiliki Hidup seperti Firman, maka pastilah Hidup yang ada dalam Roh itu adalah Hidup yang sama, yaitu HidupNya Bapa seperti yang ada di dalam Firman juga. Jadi jelas dalam Allah itu hanya ada “Satu Hidup” saja yang Bapa itulah sumberNya hidup tadi. Ini makin menegaskan EsaNya Allah itu. Demikianlah sebagaimana Firman yang hidup itu memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”) karena memiliki hidup, maka Rohpun untuk alasan yang sama juga memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”). Sehingga di dalam diri Allah Yang Esa itu terdapat tiga hypostasis. Tiga hypostasis ini sama sekali tidak bisa dipisahkan karena melekat satu dalam diri Bapa, dan dalam dzat-hakekat Allah yang Esa, namun ciri-ciriNya dapat dibedakan. Ciri-Ciri Khas Hypostasis Ciri-ciri khas yang membedakan dari ketiga hypostasis (realitas kongkrit) di dalam diri Allah yang Satu itu adalah demikian: Hypostasis Bapa sebagai wujud dari Allah Yang Esa mempunyai ciri khas dari kekal-azali sampai kekal-abadi tak berpermulaaan serta tak berpenghabisan. Ciri khas yang lain dari Wujud Allah atau hypostasis “Bapa” adalah tidak diperanakkan oleh siapapun, namun ada dengan sendirinya. Namun karena dalam diri Bapa ini terdapat “FirmanNya”, maka dari kekal-azali sampai kekal-abadi “hypostasis Bapa” atau “Wujud Allah” itu selalu mewahyukan “FirmanNya” di dalam DiriNya Yang Esa itu, dan proses “pewahyuan Firman Allah” (“tajjali Allah dalam sifat “Firman”Nya) di dalam hakekat Allah yang Esa inilah yang disebut bahwa “Bapa memperanakkan hypostasis Putra” Ini bermakna bahwa tidak ada waktunya dimana Bapa ini tidak mengenal diriNya melalui “pewahyuan FirmanNya” dalam diriNya yang Esa, atau dengan kata lain tak ada waktunya “Bapa tidak memperanakkan Sang Putra”. Tanpa awal dan tanpa akhir Allah Yang Esa selalu mengenal diriNya di dalam FirmanNya (Matius 11:27) atau “Sang Bapa ini selalu memperanakkan hypostasis Putra” didalam dzaat-hakekatNya yang Esa.Selanjutnya ciri khas dari “hypostasis Bapa” atau “Wujud Allah” itu adalah memiliki RohNya sendiri atau “Roh Kudus” yang sejak kekal-azali sampai kekal-abadi berada satu dan melekat dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu ( I Kor. 2:11), serta keluar dari Allah ini (Yohanes 15:26).KeluarNya Roh Kudus dari Allah di dalam dzat-hakekatNya Yang Esa berlangsung dari kekal-azali sampai kekal-abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. Dengan demikian ciri khas hypostasis Bapa adalah Ia adalah prinsip ke-Esa-an di dalam Diri Allah, Ia adalah Pokok dan Sumber dari FirmanNya dan RohNya, karena Firman Allah dan Roh Allah itu berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, dan dariNya Firman Allah “diperanakkan” serta dariNya Roh Allah “keluar”. Sedangkan ciri khas dari hypostasis Anak atau Firman Allah/Kalimatullah adalah Ia bersemayam dalam Allah Yang Esa sebagai Kalimatullah yang kekal. Namun melalui Firman ini juga keberadaan Allah yang tersembunyi itu dinyatakan., karena Allah mengenal diriNya atau ber”tajjali” di dalam FirmanNya ini. Sehingga Firman Allah ini dinyatakan sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar Wujud Allah” ( Ibrani 1:3), karena sebagai yang dinyatakan atau diperanakkan Bapa Ia jelas memiliki keberadaan sebagai “Gambar Allah” itu sendiri (Kolose 1:15). “Diwahyukan”atau sebagai “tajjali” Allah itulah ciri khas dari hypostasis Firman Allah itu. Inilah yang disebut dengan bahasa theologis sebagai yang “diperanakkan dari Sang Bapa” sebelum segala zaman itu. Jadi Ciri khas dari Firman Allah atau hypostasis Sang Putra itu adalah “diperanakkan dari Sang Bapa” ini. Karena Ia bukan Wujud Allah namun Firman Allah maka Ia tidak menjadi sumber keluarNya Roh Kudus, hanya Bapa atau hypostasis Wujud Allah saja yang menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Firman Allah ada sejak kekal karena Sang Bapa ada sejak kekal. 101 Sedangkan ciri khas daripada Roh Kudus sebagai hypostasis dari prinsip hidup dan kuasa di dalam Allah Yang Esa itu, adalah bahwa Ia bersemayam di dalam Diri Allah ( I Kor. 2:10-11). Karena Roh Allah juga disebut “nafas Allah” ( Mazmur 33: 6), maka sebagai nafas Allah jelas Ia keluar dari Allah. Itulah sebabnya ciri khas Roh Kudus adalah bahwa Ia “keluar dari Bapa”, sesuai dengan pernyataan Alkitab“…Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa…” ( Yohanes 15:26), sebagaimana yang juga ditegaskan dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox :”…Roh Kudus….yang keluar dari Sang Bapa….” “KeluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini tidak disebut “diperanakkan” sebagaimana keluarNya Firman Allah dari Bapa. Karena “Firman Allah” keluar dari Allah sebagai sarana “tajjali” Allah sehingga Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya ini, karena itulah Firman Allah disebut “Gambar Allah”, dan sekaligus Anak Allah, karena seorang anak adalah gambaran dari bapanya, dengan demikian keluarNya ini disebut sebagai “diperanakkan”. Sedangkan Roh Kudus keluar dari Allah bukan menjadi sarana “tajjali” atau sarana penyataan diri Allah, namun sebagai lingkup yang didalamNya “tajjali” Allah dalam FirmanNya itu dapat difahami, dimengerti, serta terlaksana. Jadi seolah-olah Roh Kudus adalah sebagai “tempat” yang memungkinkan terjadinya tajjali atau penyataan diri Allah di dalam FirmanNya kepada DiriNya sendiri itu. Demikianlah ciri-ciri khusus dari masing-masing hypostasis dalam diri Allah Yang Esa, dan masing-masing ciri khas itu tidak dipunyai oleh hypostasis yang lain, dan tak boleh dikacaukan. Hypostasis Bapa itu tak diperanakkan juga tak memperanakkan secara biologis. Namun hypostasis Bapa itu “mewahyukan FirmanNya” dalam dan kepada diriNya dalam arti ini Bapa dikatakan “memperanakkan Sang Putra, dan karena Bapa itu memiliki nafasNya atau prinsip hidupNya, maka sebagai nafas atau prinsip hidup itulah Bapa dikatakan sebagai sumber “keluarNya Roh Kudus”. Sedangkan hypostasis Putra atau Firman Allah itu berciri diperanakkan yaitu diwahyukan atau sebagai sarana “tajjali” oleh Bapa. Dan hypostasis Roh Allah, atau Sang Roh Kudus itu bercirikan “keluar dari Sang Bapa”. Keadaan Allah yang demikian ini kekal adanya. Dinamika di dalam diri Allah Yang Esa Allah yang dipercayai oleh Iman Kristen Orthodox berdasarkan Wahyu Alkitabiah adalah Allah yang hidup. Sebagai Allah yang hidup Ia bukan keberadaan statis yang mandheg, Ia bukanlah “Unmoved Mover “ (“Penggerak yang Tak Bergerak”) dari filsafat Aristoteles. Namun Ia adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Itulah sebabnya di dalam dzat dan hakekatNya Yang Esa itu Allah memiliki gerak hidup terutama dalam hubungan antara hypostasis-hypostasis “Wujud Allah” (“Bapa”), “Firman Allah” (“Putra”), dan “Roh Allah” (“Roh Kudus”) di dalam diri Allah itu sendiri. Karena adanya data-data Alkitabiah tentang “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Kor. 4:6, Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah” ( Filipi 2: 6) dalam menyebut Yesus Kristus sebagai “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka dimengerti bahwa ada hubungan kekal timbal-balik antara Allah dan FirmanNya ini. Hubungan timbal-balik itu adalah antara “Gambar Allah” dengan “Wujud Keberadaan” Allah. Beberapa Bapa Gereja Orthodox memahami hal itu sebagai sudah terkandung dalam makna kata bahasa asli Perjanjian Baru (bahasa Yunani): “Allah“ yang bahasa Yunaninya adalah “HoTheos”, itu sendiri. Kata Ho Theos ini dimengerti oleh mereka sebagai berasal dari kata “thea” atau “thein “ yang berarti “memandang” dalam arti “bertafakur” . -Allah dan Firman Allah Karena Allah itu Kekal, berarti sifat memandang itupun kekal. Apa yang dipandang atau lebih tepatnya: Siapakah yang dipandang dan siapakah yang ditafakuri Allah ini ? Karena tak ada 102 yang lain diluar Allah, karena Allah itu hanya sendiri pada DiriNya saja, maka Allah memandang diriNya Sendiri. Mengikuti pemikiran ini maka dimengerti bahwa dari kekal-azali sampai kekalabadi “ Ho Theos”, Yang Maha Memandang, tak henti-hentinya memandang diriNya karena itulah sifat-kekalNya sebagaimana yang terkandung dalam makna sebutanNya “Ho Theos” itu. Akibat memandang diri secara kekal inilah terjadinya “penampakan diri” atau “tajjali”, sehingga Allah melihat “Citra DiriNya,” itulah sebabnya di dalam diri Allah terdapat “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Kor. 4:6), “Gambar Wujud Allah “ ( Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6) sendiri. Keberadaan kekal Allah yang tanpa awal dan akhir yang demikian ini adalah “pewahyuan diri Allah” secara kekal di dalam diriNya yang serba Esa itu. Dalam alam-ciptaan, manusia mengenal dan mengerti Allah karena Allah yang menyatakan DiriNya kepada manusia. Padahal sifat-sifat Allah itu semuanya berada kekal dalam Diri Allah, termasuk sifat menyatakan diri ini. Ini berarti Allah tidak hanya mewahyukan diri sesudah ada manusia. Allah selalu mewahyukan diri, sebelum ada dunia ciptaan, sebelum ada malaikat, dan sebelum ada segala sesuatu. Karena itu Allah mewahyukan diri kepada DiriNya sendiri sejak kekekalan. Dalam pewahyuan diriNya kepada DiriNya dalam dzat-hakekatNya yang Esa dan kekal inilah Allah memandang “Citra” atau “GambarNya” sendiri (Kolose 1:15, Ibrani 1:3, II Kor. 4:6). Maka terkandung dalam makna kata “Ho Theos” atau “Dia yang Memandang ” itulah dimengerti bahwa Allah itu selalu ada dalam dzat-hakekatNya Yang Esa bersama dengan obyek pandangan kekalNya yaitu “GambarNya” yang tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. “Gambar Allah” sebagai obyek yang dipandang Allah sejak kekal dalam dzatNya yang Esa itu keluar dari dalam Diri Allah, berarti itu memiliki hakekat yang identik dengan Allah sebab kalau tidak identik berarti itu bukan “Gambar Allah” dengan demikian tidak bisa menjadi obyek Allah untuk “memandang diriNya” sendiri. Itulah sebabnya “Gambar Allah” atau “Firman Allah” (“Logos”) haruslah identik dzatNya dengan Allah yaitu Iapun berhakekat Allah, “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Karena Firman Allah (“Anak Tunggal Allah”) yang “ada dipangkuan Bapa” (“ yang ada di dalam dzaat-hakekat Allah”) itulah “…yang menyatakan…” Allah (Yohanes 1:18), baik kepada manusia setelah adanya waktu, maupun kepada DiriNya sendiri secara kekal. “Pewahyuan Diri Allah” kepada DiriNya sendiri secara kekal inilah yang disebut sebagai “Allah memperanakkan” FirmanNya itu. Itulah sebabnya Wahyu Diri Allah dalam Dzat-hakekatNya yang Esa yang tak lain adalah “Firman Allah” itu sendiri disebut “ Anak Allah”, karena lahir secara kekal tanpa awal dan tanpa akhir di dalam diri dan dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Oleh karena itu Ia tidak berbeda dalam hakekat ilahiNya dengan Allah sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari Allah, karena itu merupakan proyeksi dari pada Allah sendiri dan beradanyapun didalam Diri dan Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu. Hal ini dikatakan Injil Yohanes demikian: “ En arkhee (Pada mulanya) heen Ho Logos ( adalah Firman), kai Ho Logos (dan Friman itu) heen pros ton Theon (menuju kepada Allah, bersama-sama dengan Allah) kai Theos heen Ho Logos. (dan Allah-lah Firman itu)” (Yohanes 1:1). Menurut ayat ini Firman itu “bersama-sama” dengan Allah (“pros ton Theon”), yaitu melekat satu di dalam dzat-hakekatNya yang Esa. Namun “pros ton Theon” itu juga berarti “menuju kepada Allah” yaitu Firman ini berhadap-hadapan dengan Allah atau berorientasi kepada Allah, meskipun Firman itu berada satu di dalam Allah, atau “bersama-sama dengan Allah”. Ini berarti Allah memandang FirmanNya yaitu memandang Wahyu DiriNya sendiri, memandang CitraNya, memandang AnakNya yang berada di dalam diriNya sendiri. Demikian pula sebaliknya Firman itu memandang kembali kepada Allah (Bapa) yang merupakan asalusulNya. Allah itu dari kekal disebut “Allah” (“ Ho Theos”) berarti dari kekal Dia selalu memandang Diri dalam “tajjali”Nya melalui Firman, padahal Firman itu “pros ton Theon” 103 (“menuju kepada Allah”), maka dalam kedalaman dzaat-hakekat Allah yang satu dan kekal itu terdapat keberadaan saling pandang-memandang. Allah memandang wahyuNya sendiri dan Wahyu itu juga memandang Allah kembali, dan itu terjadinya di dalam dzat-hakekat Allah yang hanya satu itu sendiri, bukan diluarnya. Inilah kebenaran yang terkandung dalam kata “pros ton Theon” itu. Sebab Alkitab mencatat doa dari “Firman Allah” ketika telah menjadi manusia Yesus Kristus, demikian: ”Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakan Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadiratMu (“para soi”) sebelum dunia ada.”(Yohanes 17:5). Ayat ini menjelaskan bahwa “sebelum dunia ada”, jadi sebelum Yesus Kristus menjelma menjadi manusia, Ia telah berada “di hadirat” Allah, atau berada dalam lingkup sekitar Allah (“para soi”). Di lingkup sekitar Allah sebelum adanya dunia ini “Firman Allah” sebelum menjelma manusia itu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan itu pastilah identik dengan kemuliaan Bapa sendiri. Disinilah kita melihat hubungan timbal balik yang kekal antara “Allah” dan “FirmanNya” secara kekal, dimana dengan berada di hadirat Allah menunjuk Sang Putra (“Firman Allah”) ini selalu berhadapan dengan Sang Bapa (“Allah yang Esa”), dan pastilah sebaliknya Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) itu berhadapan dengan Sang Putra (“Firman Allah”) sendiri. Sebagaimana dikatakan :”…tidak seorangpun mengenal Anak (Firman) kecuali Bapa (Allah Yang Esa), dan tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain Anak (Firman), dan orang yang kepadanya Anak (Firman) itu berkenan menyatakannya ( dalam pewahyuan kepada manusia setelah adanya dunia ini)” (Matius 11:27). Ayat ini menjelaskan bahwa terdapat saling-kenal yang eksklusif dalam relasi Bapa dan Anak itu, yang tidak dimiliki sesuatu yang berada diluar relasi dari Bapa (Allah Yang Esa) dan Anak (FirmanNya) itu. Inilah saling pandang-memandang yang kekal itu, karena disitu terdapat saling kenal kekal yang eksklusif. Karena Firman Allah itu mengatakan diriNya “…keluar…dari Bapa..” ( Yohanes 8:42), berarti Ia berada di dalam diri Bapa itu di kekekalan azali sebelum dunia ada ini. Ini bermakna bahwa “Firman Allah” (Sang Putra) berada dalam diri Allah yang Esa (Sang Bapa) itu sendiri. Jadi pandang memandang kekal antara Allah dan FirmanNya itu berlangsungnya didalam dzat-hakekat Allah yang satu. Karena Firman Allah adalah “pantulan”, “refleksi” dan “gambar” dari Diri Allah sendiri, maka keberadaan Allah ini jelas tergambar dan terkandung dalam FirmanNya, padahal Firman itu berada di dalam Allah sendiri. Dengan demikian jelas bahwa “Firman berada di dalam Allah, namun Allah juga berada di dalam “Firman” itu. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Firman Allah itu setelah penjelmaanNya sebagai manusia :”…Aku didalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” ( Yohanes 14:10). Allah memang tak dapat dipisahkan dari FirmanNya atau Bapa memang tak dapat dipisahkan dari Putra, karena sebagai “Ho Theos” yang berarti “Dia yang memandang” sejak kekal azali; maka haruslah secara kekal dalam Allah terdapat obyek pandangNya mengenai DiriNya sendiri, yaitu selalu ada GambarNya (CitraNya) yaitu AnakNya yang adalah FirmanNya. Ini berarti bahwa jika ada Allah maka Ia selalu ada dengan FirmanNya yang merupakan sifat dzaat-Nya yang kekal. Tidak ada Allah tanpa Firman itu, atau tidak ada Bapa tanpa Putra. Dan tidak ada Firman Allah (Anak) tanpa adanya Allah (Bapa) sebagai sumberNya. Berlangsungnya pewahyuan Diri Allah terhadap DiriNya sendiri yang berwujud Citra Allah yang tak lain adalah Firman Allah ini dikatakan Alkitab demikian: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan Gambar Wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan FirmanNya yang penuh kekuasaan.”( Ibrani 1:3 ). 104 Dalam bahasa asli Yunani kata ”Gambar Wujud Allah” adalah “Kharakteer tees Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” adalah “kharaktir” yang arti sebenarnya adalah: stempel / cap dari Allah. Gambar dari stempel yang dicapkan pada kertas , itu wujud dan sifatnya adalah tepat dan tidak ada bedanya sama sekali dengan gambar yang ada pada stempelnya itu sendiri. Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” yang menjadi “Gambar Allah” adalah “GAMBAR TINDASAN” tepat, persis tidak ada bedanya sedikitpun dari Wujud Allah ( Bapa ) sendiri. Itulah sebabnya apa saja yang yang menjadi milik Allah (Bapa), itu juga tanpa beda sedikitpun adalah milik Firman Allah ( Putra ) juga, karena “Firman Allah” adalah “cahaya kemuliaan” atau “pancaran kemuliaan” Allah. Firman Allah yang menjadi “gambar wujud Allah” ini disebut “cahaya kemuliaan” karena Allah itu bersifat “Terang” atau “Nur” kemuliaan (I Yoh.1:5), maka demikian juga FirmanNya yang keluar dari Allah itupun disebut “cahaya kemuliaan” atau “terang” (Yohanes 8:12), sebagaimana yang diteguhkan dalam pengakuan Iman juga , dimana Firman Allah atau Anak Tunggal Allah ini disebut sebagai “…Terang yang keluar dari Terang…”, yaitu yang keluar dari Allah sendiri dan yang tetap melekat di dalam diri Allah, serta yang memiliki realita dan jati-diri yang kongkrit yang ciriNya dapat dibedakan dari Bapa. Sehingga memandang terang dari Firman ini maka manusia mengenal Allah yang digambarkan melalui FirmanNya, sebagaimana Allah mengenal diriNya dalam FirmanNya itu. Bahwa milik Allah adalah juga milik FirmanNya ini dikatakan demikian: Hypostaseoos Autou,.” “Dan segala milikKu adalah milikMu dan milikKu adalah milikMu, dan aku telah dipermuliakan di dalam mereka.” ( Yohanes 17:10 ). Dalam ayat ini dikatakan oleh Firman Allah yang menjelma itu bahwa “milik Bapa adalah milikNya, milikNya adalah milik Bapa”. Memang konteks pembicaraan dalam ayatayat disini adalah mengenai murid-murid Kristus sebagai milik Allah, namun karena Allah adalah “Pemilik Segala yang Ada” termasuk pemilik dzaat-hakekat dan sifat-sifatNya sendiri, maka berarti segala sesuatu yang ada pada Bapa (Allah Yang Esa) baik dzaat-hakekat ilahiah maupun sifat-sifatNya itu ada secara tak berbeda pada Firman Allah. Dalam makna inilah Pengakuan Iman Nikea mengatakan “Anak Tunggal Allah” (“Firman Allah yang satu-satuNya”) itu “satu DzatHakekat dengan Bapa (Allah Yang Esa).” Hakekat Allah yang Esa (Bapa) itu sepenuhnya tinggal di dalam Firman Allah (Putra). Kemuliaan Allah yang Esa (Bapa) sepenuhnya berdiam di dalam Firman Allah (Putra), berarti dalam Allah yang Esa bersama FirmanNya itu hanya ada satu kemuliaan Ilahi saja, ini membuktikan bahwa memang Allah itu Esa. Dzat-Hakekat Allah (Bapa) yang satu itu, berdiam secara sempurna dan sepenuhnya didalam Firman (Putra) juga, sehingga dalam Allah Yang Esa bersama FirmanNya itu hanya terdapat satu dzat-hakekat ilahiah saja, ini makin menegaskan lagi bahwa Allah itu hanya satu sebab yang dalam Allah hanya satu dzathakekat saja. Bukan hanya dzat-hakekat Allah berada di dalam Firman , namun Firman itu juga berada didalam diri dan dzat-hakekat Allah Yang Esa itu. Kebenaran akan hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian: “Karena seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Hakekat/Dzat Allah) berkenan diam di dalam Dia (Firman Allah, Anak Allah yang Tunggal) .” (Kolose 1:19). Jadi tak ada yang lebih Allah atau yang kurang Allah, serta tak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil dari segi ke-Allah-an antara Allah dan FirmanNya, karena ke-Allah-an itu hanya satu yang berada dalam dzat-hakekat Bapa, sedangkan Firman Allah berada di dalam dzaathakekat Bapa yang satu ini, maka Firmanpun memiliki dzaat-hakekat “Allah” yang sama dan satu 105 ini dengan Bapa. Seluruh kepenuhan Ke-Allah-an atau seluruh kepenuhan Sang Bapa, Hakekat Sang Bapa secara sempurna diam di dalam Sang Putra. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bapa berada “di dalam Putra”,namun karena sebagai Firman Allah, Putra itu melekat satu dalam DzatHakekat Allah yang sama dan satu itu, maka dapat dikatakan bahwa Putra berada “di dalam Bapa”, sebagaimana yang dikatakan :”…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yohanes 14:10) . Ke-Allah-an yang ada pada Bapa itulah yang ada dalam Sang Putra. Bahkan ketika Firman Allah (Putra) itu telah nuzul (“turun menjelma”) menjadi manusiapun, hakekat Sang Bapa (“kepenuhan ke-Allah-an”) itupun tetap diam di dalam Sang Putra, yang dengan demikian kesatuan hakekat antara Allah dan FirmanNya yang telah nuzul tak pernah dapat dihapuskan, seperti yang dinyatakan demikian: “Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” ( Kolose 2:9 ). Jadi ke-Allah-an dari Bapa yang satu itu berdiam secara penuh di dalam Putra. Maka jelas tidak ada dua “Ilah”, karena ada satu ke-Allah-an yang berdiam baik dalam Bapa (Allah yang Esa) maupun dalam Putra (FirmanNya yang berada di dalam Diri Allah”). Karena hanya ada satu “kepenuhan ke-Allah-an” baik dalam Allah yang Esa maupun dalam FirmanNya, berarti hanya ada satu kemuliaan ilahiah, yang berdiam juga di dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun Putra (Firman Allah yang berada di dalam diri Allah). Secara otomatis hanya ada satu kekekalan, karena Firman Allah (Sang Putra) itu sejak kekal-azali sampai kekal-abadi berada di dalam serta diwahyukan kepada atau diperanakkan oleh Bapa di dalam dzaat-hakekatNya yang Esa itu. Karena Bapa (Allah yang Esa) berada di dalam “FirmanNya” (“Putra”), maka hanya satu kehendak ilahi saja yang terdapat, karena kehendak Sang Bapa itulah yang menjadi kehendak Sang Putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia:”… Aku tidak menuruti kehendakKu sendiri (yaitu kehendak kemanusiaan setelah menjelma di bumi ini), melainkan kehendak Dia (Allah yang Esa) yang mengutus Aku (untuk menjelma menjadi manusia di bumi ini) ” (Yohanes 5:30). Pernyataan Firman yang menjelma ini diteguhkan oleh pernyataan Allah sendiri:”….firmanKu yang keluar dari mulutKu….akan melaksanakan apa yang Kukehendaki….” ( Yesaya 55:11). Jadi kehendak Allah yang satu dan tunggal itu berada dalam, serta dituruti dan dilaksanakan oleh “Firman Allah” sendiri, baik sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya. Karena kehendak Allah itu adalah kehendak yang berkuasa yang dilaksanakan melalui dan oleh FirmanNya, berarti ada satu kuasa ilahiah, yang berasal dari Allah, namun berdiam dalam dan dilaksanakan oleh FirmanNya (Sang Putra). Hal ini dikatakan Kitab Suci demikian:”…Anak (Firman) tidak dapat mengerjakan sesuatu dari DiriNya sendiri (karena Firman Allah bukan ilah lain yang mandiri dan yang terpisah dari Allah yang Esa sehingga memiliki kuasa yang mandiri dan berbeda dari kuasa Allah Yang Esa itu)….apa yang dikerjakan Bapa , itu juga dikerjakan Anak (karya kuasa Anak itu adalah karya kuasa Bapa, karena memang ada satu kuasa ilahi yang dikerjakan oleh Allah di dalam dan melalui FirmanNya)” (Yohanes 5:19). Jika yang ada hanya satu kepenuhan ke-Allah-an, satu kehendak ilahiah, satu kemuliaan ilahiah, satu kuasa ilahiah, berarti memang tidak ada dua ilah, yang ada hanya Allah yang Esa. Dimana kepenuhan ke-Allah-an, kehendak ilahi, kemuliaan ilahi, serta kuasa ilahi yang hanya satu dari Allah yang Esa itu, berdiam juga dalam FirmanNya serta dilaksanakan oleh Firman itu, karena Firman itu berada di dalam dzaat-hakekat Allah yang satu itu. Memanglah Putra (Firman Allah) ini tidak dapat dipisahkan sedikitpun dari Bapa (Allah Yang Esa), karena Allah tak pernah ada tanpa FirmanNya yang berada serta melekat satu di dalam dzaat-hakekatNya Yang Serba Esa itu. Semua sifat-sifat yang ada pada Allah itu juga berada dalam FirmanNya, karena hanya ada sifat-sfat yang bersifat tunggal di dalam Allah. Karena yang 106 dimaksud dengan Anak atau Putra di dalam Allah itu adalah Firman Allah sendiri, berarti sebenarnya di dalam Diri Allah itu tidak ada Bapa, tidak ada Putra, dalam arti jasmaniah dan biologis. Gelar-gelar ini adalah kata-kata kias yang diberikan kepada Allah supaya manusia mengerti hubungan antara Allah dengan WahyuNya ( Gambar atau CitraNya ) sendiri,yaitu Firman Allah/Kalimatullah yang berada satu di dalam diri Allah itu. Makin jelas bagi kita bahwa “pewahyuan Diri Allah” inilah yang disebut kelahiran atau diperanakkanNya: Anak Tunggal Allah (“Firman Allah yang hanya satu-satuNya”) dari Allah itu. Karena Allah mengeluarkan GambarNya dari dalam DiriNya sendiri, jadi dari situlah Ia disebut memperanakkan “Anak TunggalNya” atau “FirmanNya yang Satu” itu. Karena Allah itu tidak bertubuh jasmani, Anak Tunggal Allah itupun juga bukan berwujud jasmani, karena Ia adalah Firman dari Allah yang adalah roh (ghoib), maka Ia bersifat ghoib atau roh pula di dalam Diri Allah Yang Esa itu.. Oleh karena itu, Wahyu Allah / Citra Allah itu kekal. Karena Gambar Wujud Allah atau Firman Allah itu bukan hanya sekedar suara yang keluar dari mulut Allah saja, namun betul-betul`memiliki “hypostasis” (“realita jati diri yang kongkrit”) dengan sifat-sifat Nya yang bertindih tepat dan satu serta sama dengan sifat-sifat Bapa (Allah Yang Esa) sendiri, itulah sebabnya Ia disebut Anak untuk menegaskan kekongkritan “hypostasis”Nya ini. Karena bertindih tepatnya dan satunya antara dzaat-hakekat Firman Allah dengan dzaat-hakekat dan sifat-sifat Allah sendiri, maka dapatlah kita mengerti pernyataan Firman Allah ketika menjelma menjadi manusia yang demikian ini:”…..Barang siapa telah melihat Aku, Ia telah melihat Bapa…” (Yohanes 14:9), karena Ia itu memang Gambar Allah yang azali, sehakekat dengan Allah dan kekal, dan pernyataan yang lain: “…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku….“ (Yohanes 14:10), karena Ia itu adalah Firman Allah yang melekat satu dan berada di dalam Diri Allah, dan seluruh kepenuhan ke-Allah-anpun diam di dalam Dia. Dengan demikian jelas bahwa Bapa dan Putra itu sama sekali tidak bisa dipisahkan, karena Allah memang tak terpisah dari FirmanNya, dan Firman Allah itu bukan berada di luar Allah. Makin jelaslah bahwa Allah itu Esa dan tidak ada dua “Ilah” yang saling berbeda dan terpisah serta mandiri dalam penyebutan akan “Bapa” dan “Putra” mengenai Allah itu. - Allah dan Roh Allah Setelah kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan FirmanNya sendiri, maka selanjutnya haruslah kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan RohNya sendiri. Roh Allah itu disebut oleh Kitab Suci sebagai Roh Kudus. Dan Roh Kudus ini juga dikatakan sebagai “Roh Kebenaran”, serta dinyatakan sebagai “yang keluar dari Bapa” (Yohanes 15:26). Berarti Ia berasal tinggal di dalam Bapa sendiri. Mengenai hal ini Alkitab mengatakan: “Karena kepada kita Allah menyatakanNya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan yang diantara manusia yang tahu, apa yang tersembunyi dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu,apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (I Korintus 2 :10-11). Dalam ayat ini hubungan antara Roh Allah dengan Allah dianalogikan seperti hubungan antara manusia dengan rohnya sendiri. Sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia, dan mengetahui apa yang ada di dalam diri manusia, demikianlah Roh Allah itu berada di dalam diri Allah dan mengetahui kedalaman batiniah Allah, yaitu menyelidiki hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah (“bathi tou Theou”). “Bathi tou Theou” artinya “kedalaman Allah”, itulah dzathakekat Allah Sebagaimana roh manusia berada dalam diri manusia, dan satu dengan manusia itu secara tak terpisahkan, demikianlah Roh Allah yang ada di dalam “bathi tou Theou” atau 107 kedalaman dzaat-hakekat Allah adalah satu secara tak terpisahkan di dalam diri Allah sendiri. Karena Ia memang RohNya Allah, sebab Allah itu hidup sehingga RohNya sebagai prinsip hidup dan kuasa di dalam Allah itu berada di dalam Allah. Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis Roh Allah itu disamping bersama Firman Allah berada di dalam dzaat-hakekat Allah, Ia juga “keluar dari Bapa”, sebagaimana yang nyata dari pernyataan Sang Kristus yang demikian ini: “……. Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, …..” (Yohanes 15:26). Sang Kristus mengatakan mengenai Roh Allah itu bahwa“Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa” (“to Pneuma tees aleetheias o para tou Patros ekporeuetai”), ini. artinya bahwa Roh Allah itu asalnya dari dalam Bapa (I Kor. 2:10-11), namun pada saat yang bersamaan juga “keluar pergi dari” (“ekpreuetai”) Bapa. Dengan demikian jelaslah bahwa Roh itu mempunyai asal-usul dari esensi /dzat-hakekat Allah Allah sendiri, karena Dia itu memang berada dalam kedalaman Diri Allah sebagai RohNya Allah. Roh Suci ini dikatakan “keluar” dari Bapa, namun terjadinya bukan diluar diri Allah, karena pada saat Ia keluar ini Ia juga dikatakan berada dalam Diri Allah. Berarti Ia keluar dari Allah untuk mencapai suatu tujuan yang juga ada di dalam Diri Allah itu.. TujuanNya adalah Firman Allah, karena Firman Allah inilah obyek-pandang dan obyek kasih Allah secara kekal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Firman Allah itu sendiri setelah penjelmaanNya sebagai manusia:” ….Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24). Dengan demikian ini lebih merupakan gerak-hidup di dalam diri Allah sendiri. Gerak hidup ini adalah kasih yang tercurah dari Allah kepada “FirmanNya” sendiri, dan terjadinya secara kekal serta diluar waktu (“…sebelum dunia dijadikan…”). Padahal yang berfungsi untuk mencurahkan kasih Allah, baik sesudah ada manusia, maupun dalam kekekalan adalah Roh Allah sendiri, karena Roh Allah itu adalah “Roh yang kekal” ( Ibrani 9:14), sebagaimana dikatakan:” kasih Allah telah dicurahkan ….. oleh Roh Kudus “ ( Roma 5:5). Maka keluarNya Roh Allah dari Bapa, yang berlangsungnya di dalam Diri Allah Yang Esa itu sendiri, adalah untuk berdiam di dalam Putra (Firman) sebagai “pencurah kasih Allah” yang ditujukan kepada “Firman” itu, secara kekal. Pencurahan kasih oleh Roh Allah dalam “keluarNya Roh Kudus dari Bapa” secara kekal dan diluar waktu ini bertindih tepat dengan “diperanakkanNya Firman Allah dari Bapa “ sebagaimana yang telah kita bahas diatas. KeluarNya Roh Kudus dari Bapa dari kekal azali sampai kekal abadi itu ada sangkut-pautnya dengan diperanakkanNya Firman, karena bersamaan dengan diperanakkanNya Firman secara kekal itu pula maka “kasih Allah” itu dicurahkan secara kekal atau “sebelum dunia dijadikan” kepada Firman oleh Roh Kudus. Karena “Allah memandang DiriNya” di dalam FirmanNya itu dalam kasih. Sehingga keluarNya Roh Kudus dari Bapa itu ada hubungannya dengan pernyataan kasih Allah kepada Firman Allah. Jadi ada suatu lingkaran kasih dari Allah kepada FirmanNya, dan dari Firman kepada Allah melalui Roh yang sama itu karena Firman itu “pros ton Theon” (“menuju kepada Allah”) -Yohanes 1:1. Hal ini berlangsung secara kekal. Maka dapatlah kita mengerti bahwa keberadaan Allah itu adalah hidup yang dinamis, dan hidup dinamis Allah dalam “FirmanNya” melalui “RohNya” itu adalah kasih yang timbal balik antara Allah dan FirmanNya di dalam RohNya sendiri. Sehingga keberadaan Allah yang hidup itu adalah keberadaan "kasih"” Itulah sebabnya Kitab Suci mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” ( I Yohanes 4:8), bukan hanya yang “mengasihi” tetapi “kasih “ itu sendiri. Maka tidak bisa tidak, Allah pasti mengasihi, karena “kasih” itulah keberadaan Allah. - Interaksi Antara Allah, Firman Allah, dan Roh Allah 108 Dari sinilah kita dapat mengerti bahwa hubungan antara Bapa (Allah Yang Esa), Putra (Firman Allah yang berada secara kekal melekat satu dalam Diri Allah itu), dan Roh Kudus (Roh Allah yang juga berada secara kekal melekat satu bersama Firman Allah dalam Diri Allah itu) itu adalah hubungan yang kekal. Dan hubungan kekal dimana Roh Kudus keluar dari Bapa (Allah Yang Esa) dan tinggal di dalam Putra (Firman Allah) itu bahkan dinyatakan dengan jelas pada manusia ketika Putra (Firman Allah) itu menjelma menjadi manusia: yaitu saat Sang Kristus dibaptiskan. Dinyatakan Kitab Suci demikian: “ Sesudah dibaptis Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun keatas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan:Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadaNya-lah Aku berkenan.” (Matius :16-17, Markus 1:9-10). Data Alkitab diatas mengatakan bahwa “langit terbuka”, sebagai simbol dari terbukanya misteri sorgawi, inilah pewahyuan atau penyataan Ilahi. Dan dari langit itu terdengar suara Bapa (Allah) yang dinyatakan sebagai suara dari sorga. Dan dari langit atau dari sorga yang terbuka itulah “Roh Allah seperti burung merpati turun”. Ini jelas menunjukkan pewahyuan bahwa Roh Allah itu memang berasal dari Bapa, atau keluar dari Bapa, karena langit atau sorga itu simbol dimana Bapa berada. Dan berasal dari situ Roh Kudus keluar dan turun.. Serta tujuan sasaran keluarNya atau turunNya Roh Allah dari Bapa adalah “keatas-Nya” yaitu kepada “Firman Allah “ yang menjelma :Yesus Kristus ini. Bersamaan dengan turunNya Roh Kudus inilah maka dinyatakan suara Bapa “ Inilah Anakku yang Kukasihi”. Itulah sebabnya peristiwa baptisan Kristus ini dirayakan dalam Gereja Orthodox sebagai salah pesta besar Gereja setiap tanggal 6 Januari, sebagai perayaan “Epiphani” atau “Penampakan Ilahi”, karena misteri hubungan dalam diri Allah itu untuk pertama kalinya dinyatakan pada manusia dalam bentuk yang begitu amat jelas dan kongkritnya. Dengan demikian data Alkitab ini makin menegaskan apa yang sejauh ini kita bahas bahwa memang Roh Allah itu keluarNya dari Allah (Bapa) saja, namun juga Ia tetap tinggal di dalam Allah, dan bahwa Anak Allah (“Firman Allah”) itulah sasaran “kasih Allah” (“Yang Kukasihi”). Dan bahwa penyataan kasih Allah kepada FirmanNya itu bertindih tepat dengan keluarNya Roh Allah dari Allah untuk tinggal pada FirmanNya, sebagai pencurah kasih Allah tadi. Jadi Roh Allah itu bukan keluar dari Firman Allah, namun tinggal dalam Firman Allah, sedangkan keluarNya hanya dari Bapa saja. Meskipun kelihatannya Firman Allah yang menjelma itu terpisah dari Allah, karena Ia berada di dalam air sungai Yordan sedangkan Allah berada di sorga, namun sebenarnya Ia tak terpisah, karena Ia mengatakan ketika Ia berada diatas bumi ini:” Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30) “…Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau….Kita adalah satu” ( Yohanes 17:21b, 22c), serta pernyataan Alkitab yang lain “Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” ( Kolose 2:9 ). Kelihatannya memang Firman Allah terpisah dari Allah, dan Roh Allah. Ini disebabkan Ia menampakkan diri dalam wujud penjelmaanNya, sedangkan keilahianNya tak dapat dilihat mata. Namun dapat kita bayangkan jika Roh Allah berwujud “seperti” (jadi bukan sungguhsungguh demikian wujudNya) burung merpati, lalu hinggap pada Yesus Kristus: Firman Menjelma itu, maka dapat kita lihat bahwa tanpa terpisah dari Allah (buktinya Allahmasih hidup dan menyatakan FirmanNya kepada manusia, dan tetap berkuasa buktinya dunia tidak lebur) yang di sorga, Ia juga tinggal pada Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma) ( karena Ia nampak hinggap diatasNya untuk tinggal padaNya), dengan demikian Roh Allah itu tinggal pada Bapa namun juga pada Firman yang menjelma. Dengan demikian Firman Allah tetap satu dalam Allah, melalui RohNya ini. Sedangkan secara jasmaniah yaitu dalam wujud kemanusiaan yang nampak 109 sedang dibaptis itu, sebenarnya seluruh kepenuhan ke-Allah-an yang jelas tak dapat dilihat oleh mata itu, berdiam atau bersemayam dan berada di dalam Dia yaitu didalam diri yang terdalam dari wujud penjelmaan Firman Allah:Yesus Kristus, sebagai manusia yang nampak mata itu. Dengan demikian seluruh kepenuhan ke-Allah-an yang ada di sorga itu ternyata berada di dalam FirmanNya juga bahkan secara jasmaniah dalam wujud penjelmaanNya itu. Dengan demikian Firman Allah tetap satu dalam diri Allah bahkan ketika menjelma menjadi manusia. Jadi Allah tetap tak terpisahkan dari FirmanNya dan Firmanpun tetap satu dengan Allah, atau tinggal dalam Bapa.Padahal tinggalNya pada Bapa itu pada dzaat-hakekatNya yang Esa, berarti Yesus Kristus baik secara kepenuhan ke-Allah-an, maupun melalui tinggalNya Roh Allah dalam Bapa dan dalam DiriNya tetap satu didalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Hanya hal itu tak terlihat mata, karena peristiwa disini adalah peristiwa "penampakan" oleh karena itu memang yang nampak mata yang harus diketahui manusia, sedangkan yang ghoib atau yang tak nampak mata tetap tak diketahui manusia. Keberadaan kekal itulah yang dinyatakan dalam “epiphani” ini agar manusia dapat belajar dan mengerti rahasia mengenai kebenaran hubungan antara hypostasishypostasis yang ada dalam Allah Yang Satu itu. Yaitu “Firman” itu adalah Anak Allah yang menjadi sasaran “kasih” dan “perkenan Allah” dan bahwa Roh Kudus itu keluar hanya dari Allah (Bapa) untuk tinggal di dalam “Firman“ bagi mencurahkan kasih Allah kepadaNya. Oleh karena itu mengenai hal ini dikatakan oleh Yohanes Pembaptis sebagai saksi mata peristiwa itu,demikian: “Dan Yohanes memberi kesaksian katanya:“Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal diatasNya.” ( Yohanes 1: 32 ). Kesaksian Yohanes ini menegaskan bahwa “Roh Allah” turun dari langit, yaitu keluar dari Bapa”, serta “Ia tinggal” diatas Putra, dan tentunya langsung juga kedalamNya. Karena Allah “..mengaruniakan RohNya dengan tidak terbatas (kepada FirmanNya ini)” ( Yohanes 3:34) Berarti Roh Allah itu tinggal dalam Allah namun juga sekaligus tinggal dalam Firman Allah, padahal Firman itu juga tinggal di dalam Allah, sebagaimana Allah juga tinggal di dalam FimanNya, otomatis Firman juga tinggal dalam Roh Allah dan Allahpun tinggal dalam RohNya sendiri. Demikianlah ketika dibicarakan tiga hypostsis ternyata ketiganya itu adalah satu, karena saling mendiami secara tak terpisahkan. Ketika dibicarakan yang satu, ternyata terdapat di dalam yang satu ini hypostasis Firman Allah dan hypostasis Roh Allah, karena memang Allah itu Esa. Oleh karena itu di dalam Gereja Orthodox penyatan perayaan pembaptisan Kristus ini dinyatakan sebagai penyataan Ilahi mengenai Tritunggal Maha Kudus, yaitu penyataan ilahi dari hubungan yang ada diantara Allah, FirmanNya sendiri, dan RohNya yang kekal di dalam DiriNya Yang Esa itu. Karena “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa sejak kekal itu berfungsi sebagai pencurah kasih Allah kepada Firman Allah, dan bertindih tepat dengan berlangsungnya Bapa menyatakan diriNya di dalam FirmanNya, maka disinilah Roh Kudus mencurahkan kasih Bapa sepenuhnya kepada Putra (Firman) dan sekaligus Roh Kudus memantulkan balik kasih Anak kepada Bapa. Demikianlah Roh Kudus berfungsi ganda dalam gerak hidup ilahi Yang Esa itu, sebagai pencurah kasih Allah kepada Putra (Firman) dan sebagai pemantulkan kasih itu dari Putra (Firman) kepada Bapa (Allah Yang Esa), sebagaimana yang terkandung dalam makna kata“ O Logos pros ton Theon” (Yohanes 1:1) “ O Logos = Fiman itu, pros ton Theon = menuju kepada Allah” yang bermakna berhadap-hadapan dengan Allah”, inilah keberadaan saling memandang secara kekal itu. Bapa melihat CitraNya sendiri dan mengasihi CitraNya itu, yang mana kasih itu dicurahkan 110 oleh Roh Kudus kepadaNya. Dan Putra (Firman Allah) itu memantulkan kembali kasih Bapa, sehingga di dalam Allah Yang Esa terdapat satu gerakan kasih yang kekal. Maka fungsi Roh Kudus itu bukanlah untuk menyatakan diriNya sendiri namun untuk menyatakan Putra (Firman Allah), yaitu menjadi lingkup Allah sendiri untuk mengenal diriNya di dalam FirmanNya itu, atau sebagai lingkup penyataan diri Allah melalui FirmanNya. Itulah yang dimaksud oleh Sang Kristus mengenai Roh Kudus, yang berikut ini: “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan menuntun kamu dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dalam diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang di dengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamua hal-hal yang akan datang.Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu.Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata:Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu.”( Yohanes 16:13-15 ). Memang ayat ini berbicara mengenai pekerjaan Roh Kudus di dalam dunia ini kepada manusia. Namun karena aktivitas hubungan dari setiap hypostasis di dalam Allah itu adalah kekal, maka demikian pula apa yang dikatakan dalam ayat ini mengenai karya Roh Kudus itu itupun bersifat kekal. Aktivitas Roh Kudus menurut ayat ini ialah “ memuliakan Aku” serta “akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu”. Roh Kudus memuliakan Kristus karena Ia menerima isi berita dari Kristus. Berarti isi berita yang disampaikan oleh Roh Kudus adalah Kristus, karena Ia memuliakan Kristus, namun sumbernya juga dari Kristus. Maka jelas Kristuslah yang dinyatakan Roh Kudus dan bukan diriNya sendiri, Roh Kudus tidak mengambil dari diriNya sendiri tetapi dari Kristus, karena bukan diriNya yang dinyatakan tetapi Kristus.. Maka Roh Kudus adalah sarana dan lingkup dimana Kristus dimengerti dan difahami yaitu diwahyukan. Lebih jauh dikatakan “diterimaNya dari padaKu, sebab segala sesuatu yang Bapa punya adalah Aku punya.” Ini bermakna bahwa Roh Kudus menyampaikan kebenaran tentang Kristus, namun Kristus menerimanya dari Bapa. Karena “ segala yang Bapa punya adalah Aku punya” atau dengan kata lain ”Apa yang menjadi milikMu adalah milikKu, milikKu adalah milikMu.” (Yohanes 17:10), sehingga ketika Roh Kudus berkarya maka “Friman Allah” yang dinampakkan, namun karena milik dan punya Bapa adalah juga milik atau punyaNya Firman, jelas dengan Firman dinampakkan atau diwahyukan Roh Kudus, maka sekaligus Bapa yang diwahyukan. Itulah sebabnya melalui FirmanNya di dalam RohNya ini Bapa dapat memandang DiriNya. Demikian juga dengan mengenal Kristus manusia mengenal Allah. Serta dengan melihat Kristus orang telah melihat Allah. Karena melalui Roh Kudus itu punya Kristus dinyatakan pada manusia, dan punya Kristus adalah punya Bapa. Demikianlah berarti punya dan milik Roh Kudus, adalah punya dan milik Firman, dan punya dan milik Firman adalah punya dan milik Bapa. Sehingga dalam hypostasis Roh Allah, Firman Allah dan Allah sendiri dimana kedua hypostasis itu bersemayam terdapat satu milik dan satu kepunyaan. Yaitu hanya terdapat satu esensi / dzat- hakekat, satu sifat-sifat ilahi, satu kemuliaan, satu kekekalan, satu kuasa. Yang semuanya itu bersumber dari Allah yang Esa dan dimiliki oleh Firman dan RohNya sekaligus, karena kedua hypostasis ini berdiam dalam hakekat diri Allah yang satu itu. Dengan demikian makin menegaskan bahwa Allah itu esa, dengan memiliki hypostasis Firman dan Roh Allah di dalam hakekat diriNya yang Esa itu. Dilihat secara bersama ketiga hypostasis itu adalah satu Allah,karena berada dalam satu hakekat dengan sifat-sifat yang tuggal. Dilihat pada masingmasingnya Bapa itu Allah, karena Ialah sumber ke-Allah-an dimana hakekat ke-Allah-an yang satu itu berada, Firman (Anak) itu Allah karena Ia berada dalam hakekat ke-Allah-an yang satu dan 111 yang sama di dalam Bapa serta seluruh kepenuhan ke-Allah-an berdiam di dalamNya, Roh Allah (Roh Kudus) itu Allah karena alasan yang sama seperti halnya keilahian Firman Allah. Namun bukan berarti ada tiga Allah, sebab keAllahan yang dimiliki masing-masing hypostasis itu adalah ke-Allah-an yang satu dan yang sama yang berada dalam diri Allah yang Esa, karena baik Firman maupun Roh itu tinggalnya di dalam hakekat Allah yang satu itu, dan didalam Firman dan Roh Allah ini hakekat ke-Allah-an yang satu yang dimilik Bapa (Allah Yang Esa) itu juga tinggal. Karena yang dinyatakan oleh Roh Kudus itu diambil dari Firman (Putra), dan pada hakekatNya itu milik Bapa (Allah) karena Roh Kudus itu mencurahkan kasih dan segala kepenuhan Bapa kepada Firman, serta milik Bapa yang telah dicurahkan pada Firman itu oleh Putra (Firman) ini di dalam Roh yang sama dipantulkan kembali kepada Bapa, maka jelaslah bahwa ketiga hypostasis dalam Allah yang Esa itu meskipun bisa dibedakan ciri-ciri khas masing-masing tetapi tidak bisa dipisahkan. Dari interaksi yang ada antara ketiga hypostasis di dalam diri Allah yang Esa ini terlihat lingkaran gerakan kasih dan kemuliaan yang kekal di dalam Allah. Bersamaan dicurahkanNya kasih Allah dicurahkan pula kemuliaan dan kepenuhan Allah itu kepada Firman Allah (Putra) melalui Roh Kudus. Sehingga oleh interaksi yang demikian ini disamping Roh Kudus itu sepenuhnya didalam Bapa (I Korintus 2:10-11) Ia juga berdiam sepenuhnya didalam Putra. Karena memang “Allah mengaruniakan RohNya dengan tidak terbatas” (Yohanes 3:34), kepada FirmanNya ini. Secara sempurna Roh itu berada dalam dzat-hakekat Bapa yang Esa itu, namun sepenuhnya Ia berdiam juga pada Firman Allah yang juga berada dalam dzat-hakekat Allah Yang Esa yang sama itu. Sehingga Firman yang secara sempurna diam di dalam Bapa karena Dia adalah FirmanNya Bapa, itu juga sepenuhnya diam di dalam Roh Kudus karena Roh Kudus itu tidak menyatakan diriNya sendiri tetapi menyatakan, memuliakan, dan membuat relita kongkrit dari jatidiri Firman (Putra) dinyatakan pada Bapa, dalam saling-pandang yang kekal itu. Selanjutnya Bapa (Allah Yang Esa)-pun diam didalam Roh Kudus karena Roh Kudus itu memantulkan atau mencurahkan kepenuhan keAllahan Bapa kepada Firman (Putra), sekaligus juga diam dalam FirmanNya karena FirmanNya merupakan “tajjali” dan “GambarNya” sendiri. Ketiga hypostasis ilahi ini jelas bukan Tiga Allah karena masing-masingnya saling diammendiami satu di dalam yang lain dan berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu dengan sifatsifat ilahi yang tunggal dan sama bertindih tepat itu. Ciri khas masing-masing memang dapat dibedakan namun jelas tak dapat dipisahkan. Karena hypostasis-hypostasis ini bukan ilah-ilah yang saling terpisah dan saling mandiri, namun realita-realita kongkrit dari keberadaan kekal didalam diri Allah Yang Esa itu, dengan satu hypostasis berada di dalam hypostasis yang lain secara tak terpisahkan. Bahwa ketiga hypostasis ilahi ini tak dipisahkan itu adalah jelas karena Bapa tinggal di dalam Firman sepenuhnya dan FirmanNya tinggal di dalam Bapa. Bapa tinggal di dalam RohNya, RohNya sepenuhnya tinggal di dalam Bapa. Roh tinggal dalam Firman, dan Firmanpun tinggal dalam Roh seperti yang telah kita bahas diatas. Karena sifat mewahyukan Diri melalui Firman atau SabdaNya secara kekal di dalam Roh Kudus inilah, maka Allah itu menyatakan diriNya kepada manusia melalui FirmanNya dalam Roh Kudus yang sama ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:: “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”( Yohanes 15:26 ). “Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari padaKu.” ( Yohanes 16:14 ). 112 Roh Kudus “keluar dari Bapa” untuk “bersaksi tentang Firman”, yaitu untuk menyatakan Firman itu, dalam proses penyataan itu kepada Bapa, maka Roh Kudus oleh Firman dikembalikan kepada Bapa, yaitu “diutus oleh Firman” sehingga kepada Bapa Firman itu disaksikan atau dinyatakan. Sehingga Bapa melihat DiriNya melalaui Firman di dalam Roh Kudus. Namun “pengutusan Roh Kudus” oleh Firman bagi bersaksi tentang Firman itu berlanjut setelah adanya ciptaan. Karena sumber pewahyuan Firman kepada manusia itu berlandaskan kodrat kekal yang ada di dalam Allah, dimana memang Firman itu sarana penyataan diri Allah di dalam Roh Kudus, sebagaimana dikatakan :"”..tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain Anak (Firman Allah; karena Ia berada satu dan kekal di dalam Bapa, serta Ia yang secara kekal memandang Bapa)) dan orang yang kepadanya Anak itu (Firman Allah itu) berkenan menyatakanNya” ( Matius 11:27). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia mengenal Allah hanya karena perkenan Firman itu untuk menyatakanNya, berarti Firman memang sarana penyataan Diri Allah. Namun penyataan Diri Allah kepada manusia oleh Firman ini disebabkan karena Firman itu telah mengenal Bapa, yaitu mengenal sejak kekal dalam hakekat Allah yang Esa itu sendiri. Berarti apapun karya Firman Allah dalam hubungannya dengan Allah di dunia ini, pada hakekatnya disebabkan oleh hubungan kekal yang sudah ada dalam kekekalan azali, dan karyaNya di dunia ini hanya penyataan dan manifestasi dari keberadaan kodrat hubungan kekal yang sudah ada itu. Dan cara Firman itu menyatakan Bapa (Allah yang Esa) adalah melalui Roh Kudus yang diutusNya, atau yang dipantulkan kembali setelah Ia menerimaNya dari Bapa. Melalui pemantulan Diri Firman itulah dikatakan Roh itu “memberitakan… ..apa yang diterima daripadaKu/Firman”. Roh Kudus menyatakan Firman (“memberitakan”, “memuliakan”, “bersaksi” tentang Firman), karena Ia menerima dari Firman, artinya didalam Roh itu Firman tinggal sebagai yang dipantulkan olehNya, meskipun Roh itu keluarNya hanya dari Bapa saja. Jadi Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya di dalam RohNya yang keluar dari diri Allah sendiri sebagai satu-satunya sumber keberadaan kekal dari Roh itu. Karena Roh itu yang memantulkan Firman Allah (- Firman yang diperanakkan dari dalam Allah sejak kekal itu-) kepada Allah sendiri. Dengan tercurahNya Roh itu kepada Firman., dan menerima apa yang ada dalam Firman itu. Dan keberadaan ini yang dinyatakan kepada manusia, sehingga dikatakan: “Jikalau Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah Sebab Allah telah berfirman: Dari dalam gelap akan terbit terang ! Ia juga membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus”. ( II Korintus 4:3-4,dan 6 ) Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Kristus (Firman Allah yang menjadi Manusia), adalah gambaran Allah, karena itulah kemuliaan Allah ….. nampak pada wajah Kristus”. Bagi orang yang akan binasa, yaitu orang kafir, yang pikirannya dibutakan oleh Iblis yaitu ilah zaman ini, mereka tak dapat melihat kemuliaan Kristus ini, sehingga mereka dapat mengenal kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus, sebagai Firman Allah yang menjelma itu. Ini disebabkan hanya Roh Kudus saja yang dapat menyatakan kemuliaan Kristus atau ke-Tuhan-an Kristus itu sebagaimana dikatakan: “……tidak ada seorangpun , yang dapat mengaku: “ Yesus adalah Tuhan” selain oleh Roh Kudus.” ( I Korintus 12:3 ). Roh Kudus adalah lingkup dimana kemuliaan Kristus dapat dimengerti, dan kebaradaan ini memang keberadaan kekal di dalam Diri Allah yang Esa itu. Jika Roh Kudus menyatakan diri 113 yang dinyatakan adalah kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. Manifestasi Roh Kudus adalah untuk “memberitakan” dan “memuliakan” serta “bersaksi” tentang Sabda Allah / Firman Allah / Anak Allah. Jadi bukan untuk diriNya sendiri Roh Kudus itu menyatakan diri itu. Maka jika ada yang mengatakan bahwa dengan Gereja Orthodox menolak sisipan “Filioque” pada Pengakuan Iman Nikea yang asli – yang akan kita bahas dibawah -, lalu menyebabkan adanya Teologi Mistik yang tidak Kristosentrik (berpusat pada Kristus), itu adalah suatu kekeliruan dan kesalah-fahaman bahkan ketidak-tahuan yang serius terhadap Iman Kristen Orthodox ini. Karena dalam pengajaran Iman Orthodox, Roh Kudus keluar dari Bapa saja, namun langsung tinggal dalam Putra, dan oleh Putra langsung diutus kepada Bapa yaitu dipantulkan sehingga Putera itu diberitakan, disaksikan dan dimuliakan atau dinyatakan kepada Bapa, dan selanjutnya juga kepada umat manusia. Dengan demikian pengakuan bahwa keluarNya Roh Kudus dari Bapa saja itu tak menyebabkan mistik yang tidak Kristosentris, karena Roh Kudus yang keluar dari Bapa dan diam di dalam Firman /Putra ini untuk memuliakan dan menyaksikan tentang Putra/ Firman ini. Sehingga tanpa Roh Kudus, tidak ada penyataan Diri Allah di dalam FirmanNya kepada Allah sendiri, dan dengan demikian juga dalam tingkat ciptaan, manusia tidak bisa mengaku atau mengerti tentang keIlahian Yesus Kristus tanpa Roh Kudus ini, akibatnya manusia tak dapat mengenal Allah secara benar. Firman Allah “Diperanakkan dari Bapa” serta Roh Allah “Keluar dari Bapa” Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis dari Firman Allah adalah”diperanakkan dari Bapa”. Maksud “diperanakkan dari Bapa” adalah Firman Allah itu “diwahyukan oleh Bapa” dengan maksud supaya Bapa melihat diriNya sendiri. Dengan demikian Bapa melihat gambarNya sendiri, karena Firman Allah adalah “Gambar Allah yang tak kelihatan “ ( Kolose 1:15), serta “ Gambar Wujud/ kharakteer” yaitu “Tindasan Tepat” dari keberadaan Allah sendiri (Ibrani 1:3) Melalui “pewahyuan diri Allah” inilah “Gambar Allah” itu terlahir secara kekal, itulah sebabnya keberadaan pewahyuan kekal di dalam diri Allah ini disebut sebagai “diperanakkan” Nya Firman Allah dari Bapa, dan dengan demikian Firman itu sendiri mendapat julukan sebagai “Anak Allah”, meskipun Allah itu secara bilogis tak beranak dan tak diperanakkan, karena Allah itu memang tak memiliki sifat biologis. . Sedangkan ciri khas dari hypostasis Roh Allah adalah bahwa Roh Kudus itu ”keluar” dari Bapa. Dan sudah kita bahas bahwa “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini bukan dimaksudkan sebagai penyataan diri Allah, namun untuk memantulkan Firman Allah/Putra ini kembali kepada Bapa. Jadi Roh Kudus bukanlah sebagai yang menyatakan Diri Allah untuk menjadi Gambar Allah, sehingga karenanya Ia bukan disebut Anak, tetapi Ia adalah Roh sebagai lingkup untuk memantulkan Firman Allah/Putra kepada Bapa. Itulah sebabnya “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa itu tidak disebut sebagai “diperanakkan” namun hanya “keluar” saja. Oleh sebab itu meskipun Firman Allah dan Roh Allah sama-sama keluar dari Allah, namun karena perbedaan ciri khas dan “hubungan yang ada” dengan dan di dalam Allah ini maka kata “diperanakkan” bagi ciri khas Firman Allah ini dengan kata “keluar” bagi ciri khas Roh Allah harus dibedakan dan harus dimengerti perbedaannya. Roh Kudus sebagai Roh Allah, Roh Bapa, Roh Anak Allah, Roh Kristus, serta Roh Yesus. Roh Kudus adalah Roh yang “bersemayam didalam diri Allah” ( I Kor. 2:10-11) dan yang :”keluar dari Bapa“ ( Yohanes 15: 26), sebagai hypostasis dari prinsip kuasa dan hidup Allah. Karena asal dan tempat bersemayamNya secara kekal di dalam Allah inilah maka Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Allah” atau “Roh Bapa”, sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci demikian:” ….Roh Allah turun seperti burung merpati….” ( Matius 3: 16). Sebutan 114 “Roh Allah” bagi Roh Kudus ini dapat kita jumpai dalam banyak sekali ayat-ayat Perjanjian Baru ( Matius 12:28 , Roma 8:9, 14, I Kor:11,12,14, 3:16, 6:11, 7:40, 12:3, dll.). Sedangkan sebutan Roh Kudus sebagai Roh Bapa dapat kita jumpai misalnya dalam pernyataan Kitab Suci yang demikian:” Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu;….di dalam kamu” ( Matius 10:20). Disamping itu, dalam kekekalan azali Roh Kudus selalu “memuliakan, bersaksi, dan memberitakan” yaitu menyatakan dan memantulkan kemuliaan Firman Allah/Putra, kembali kepada Bapa. Ini bermakna Roh Kudus itu secara penuh bersemayam dan tinggal dalam Firman Allah, atau Anak Allah. Karena hubunganNya dengan Anak Allah atau Firman Allah yang demikian inilah maka Roh Kudus disebut sebagai Roh Anak Allah, karena Dialah yang memuliakan dan yang menyaksikan Sang Putra ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”….Allah telah menyuruh Roh AnakNya….” (Galatia 4:6).Dan karena itu pula Ia disebut sebagai “Roh Kristus” ( Roma 8:11) “Roh Yesus “ ( Kisah 16:7). Dengan demikian yang dimaksud sebagai Roh Anak, Roh Yesus, Roh Allah dan Roh Bapa itu tak lain adalah Roh Kudus. Dengan terdapatnya data Kitab Suci yang menyatakan Roh Allah sebagai Roh Anak, Roh Yesus, dan Roh Kristus, Gereja Barat (Roma Katolik, yang kemudian juga diikuti Protestan) mentafsirkan bahwa Roh Kudus juga “keluar” dari Anak, disamping Ia keluar dari “Bapa”. Sehingga Roh Kudus dinyatakan “keluar dari Bapa dan Anak”, dan muncullah “sisipan Filioque” pada Pengakuan Iman Nikea yang asli. Pembahasannya akan kita lihat secara khusus dibawah nanti. Karena Roh Kudus yang bersemayam dalam Allah yang Esa (Bapa) itu juga keluar dari Bapa untuk tinggal dan bersemayam pada Firman (Putra), serta memantulkan Firman itu kepada Bapa dan menyatakan Firman tadi, maka jelaslah bahwa Roh Kudus itu memang hanya “keluar” dari Bapa, namun bersemayam dalam Firman, sehingga Ia disebut juga sebagai Roh Anak, atau Roh Kristus. Namun Ia tidak keluar dari “Bapa dan Anak”. Disamping itu sebutan tersebut disebabkan oleh hubungannya dengan manusia dimana Roh Kudus yang “keluar dari Allah” itu dicurahkan kepada manusia melalui Kristus yang sudah bangkit itu, sehingga menyebabkan Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus“, atau “Roh Kristus” itu, namun sejak kekal Roh Kudus hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana yang dikatakan:” Yesus inilah yang dibangkitkan Allah,….dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah ( yaitu: diangkat ke sorga serta duduk di sebelah kanan Allah) dan menerima Roh Kudus (yaitu:dari Allah yang telah membangkitkan dan meninggikanNya itu; berarti Roh Kudus itu sejak kekal memenag hanya keluar dari Allah saja) yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya (yaitu: Roh Kudus yang hanya keluar dari Allah yang telah dikaruniakan kepada Yesus sesudah peninggianNya itu, oleh Yesus dicurahkan kepada manusia. Sehingga manusia menerima Roh Kudus yang sejak kekal hanya keluar dari Allah/Bapa itu melalui Yesus Kristus. Karena turunNya dan dicurahkanNya kepada manusia terkait dengan Yesus itulah maka Roh Allah yang sejak kekal hanya keluar dari Allah/Bapa saja itu, juga disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus”, dan “Roh Kristus”) apa yang kamu lihat dan dengar disini” ( Kisah Rasul 2:32-33). Dalam makna inilah maka Kitab Suci menyebut Roh Allah itu secara silih berganti dengan sebutan sebagai Roh Kristus, bahkan sebagai Kristus sendiri. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan Kitab Suci dibawah ini: “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu.Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus ia bukan milik Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia yang telah 115 membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu.” ( Roma 8:9-11 ). Kutipan ayat-ayat ditas ini menunjukkan kesilih-bergantian nama yang digunakan untuk Roh Allah itu. Ia disebut “ Roh” saja untuk menunjukkan hypotasisNya pada diriNya sendiri tanpa hubunganNya dengan Bapa dan FirmanNya.. Namun Ia disebut sebagai “Roh Allah diam di dalam kamu” untuk hubunganNya dengan Allah, sebagai yang keluar dan bersemayam dalam Diri Allah karena Dia adalah RohNya Allah. Selanjutnya Roh itu juga disebut sebagai “Roh Kristus”: “…tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus,…” untuk menunjukkan “keluarNya” Roh itu dari Allah adalah untuk bersemayam kepada Firman baik secara kekal maupun setelah penjelmaanNya sebagai manusia yang bergelar sebagai “Kristus”. Sehingga Roh itu juga adalah Roh Kristus, karena bersemayam di dalam Kristus. Selanjutnya Roh Kristus juga disamakan dengan Kristus sendiri, sebagaimana yang dikatakan :”…. jika orang tidak memiliki Roh Kristus ia bukan milik Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu…..” . Menurut ayat ini “memiliki Roh Kristus” berarti “Kristus di dalam kamu”, yang berarti Roh Kristus itu identik dengan Kristus sendiri. Makna ayat ini adalah bersemayamNya Roh Kudus di dalam manusia maupun dipantulkanNya kepada Bapa dari Firman, itu bukanlah untuk menyatakan diriNya sendiri tetapi menyatakan Kristus. Baik itu dalam kekekalan azali dalam hubungan interaksi yang ada antara Allah, FirmanNya dan RohNya dalam DiriNya yang Esa, maupun pada saat menyatakan Kristus kepada manusia. Sehingga jika Roh Allah yang hadir, otomatis Roh itu menghadirkan Kristus, sehingga Kristus sendiri yang hadir melalui Roh tadi. Selanjutnya dikatakan “Dan jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati” Dalam kalimat ini Roh Kristus itu disebut sebagai “Roh Dia yang membangkitkan Yesus”, padahal yang membangkitkan Yesus adalah Bapa, berarti Roh Kristus disini disebut sebagai Roh Bapa sendiri. Selanjutnya Bapa atau Allah yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati itu dinyatakan sebagai yang “… akan membangkitkan tubuhmu yang fana itu oleh RohNya yang diam di dalam kamu…” Berarti yang diam di dalam manusia beriman itu adalah RohNya Allah, tetapi juga RohNya Kristus, dan Kristus sendiri. Dengan demikian dalam kutipan kita diatas ada sebutan yang saling bertindih antara “Roh”, “Roh Allah/Bapa”, “Roh Kristus, dan “Kristus”sendiri. “Roh Kudus“ itu disebut “Roh” demikian saja, jika yang dimaksud adalah keberadaan hypostasisNya sendiri tanpa melihat hubungannya di dalam Allah dengan Firman Allah itu yang sedang dibahas. Namun dalam ayat-ayat lain dalam Kitab Suci Roh ini pada diriNya sendiri juga diberi sebutan sebagai “Roh Kudus” untuk menunjukkan sifatNya yang kudus dan karyaNya yang menguduskan (Roma 5:5, I Kor. 6:11). Disamping itu sebagai yang menyampaikan Kristus “Sang kebenaran” itu ( Yohanes 14:6), maka Roh Allah itu pada diriNya sendiri juga disebut sebagai “Roh Kebenaran” ( Yohanes 14:17,15:26). Namun jika dilihat dalam hubungannya dengan Allah sebagai yang “diam di dalam diri” Allah (I Kor. 2:1011), dan yang “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26) maka Roh itu disebut sebagai “Roh Allah” atau “Roh Bapa”. Sedangkan dalam hubungannya dengan Kristus (Anak Allah, Firman Allah yang menjadi manusia) sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa serta sebagai yang dimuliakan, disaksikan, dinyatakan serta dihadirkan oleh Roh itu maka Ia disebut sebagai “Roh Anak”, serta“Roh Kristus” atau disebut “Kristus” sendiri. Demikian juga dalam hubunganNya dengan Allah, Roh Kudus pada saat yang bersamaan disebut sebagai “Roh Allah” dan “Allah” sekaligus. Hal ini dinyatakan demikian: “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu ?” ( I Korintus 3:16 ). 116 Ayat ini menjelaskan bahwa umat Korintus (“kamu”) adalah “Bait Allah” atau “Rumah Allah”. Ini bermakna bahwa Allah berada dalam komunitas umat Korintus, seolah-olah sebagai rumahNya, yang berarti Allah itu diam di dalam umat itu. Namun selanjutnya dinyatakan bahwa “Roh Allah” itu yang diam di dalam “kamu”. Dengan demikian komunitas umat Korintus itu dikatakan sebagai “Bait Allah” atau “ Rumah Allah”, karena Roh Allah diam di dalam mereka. Berarti Allah diam pada umat itu di dalam “Roh Allah”. Dengan demikian “Roh Allah” itu juga disebut “Allah” sendiri. Sebab Allah menghadirkan diri melalui Roh itu, di dalam Kristus. Jika Kristus hadir maka Allah yang dinyatakan, dan cara Kristus hadir adalah melalui Roh Allah. Itulah sebabnya dikatakan: “Di dalam Dia (Kristus) kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh” ( Efesus 2:22 ). Allah hadir dalam umatNya sebagai “tempat kediaman Allah” oleh Kristus, di dalam Roh. HadirNya Roh Allah berarti sekaligus hadirNya Allah sendiri. Dari beberapa bagian Kitab Suci yang telah kita kutip diatas dapatlah kita ambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. Jika Roh Allah hadir, maka Roh Kristus itulah yang hadir, dan sekaligus Kristus itulah yang hadir. Jika Roh Kristus itu hadir maka Roh “Dia yang membangkitkan Kristus” atau “Roh Bapa/Allah” itulah yang hadir. Jika Roh Allah hadir maka Allah itu sendiri yang hadir. Jika Kristus hadir maka Allah itulah yang hadir, karena “kemuliaan Allah…nampak pada wajah Kristus”, dan “..Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku..”. Sehingga jika Roh Allah hadir maka “Bapa dan Anak” itu sekaligus hadir. Sebagaimana yang dikatakan demikian:” “Aku akan meminta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku akan datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam BapaKu dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Barangsiapa memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh BapaKu dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diriKu kepadanya. Yudas yang bukan Iskariot, berkata kepadaNya: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diriMu kepada kami, dan bukan kepada dunia ?” Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan KAMI (“Bapa dan Anak” = “Allah dan FirmanNya”) akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14: 16-23). Menurut ayat-ayat ini Roh Kebenaranlah yang akan diam di dalam manusia, namun juga jika manusia mengasihi Kristus, maka Bapa dan Putra itu yang akan diam bersama-sama dengan orang itu. Ini berarti yang hadir dalam manusia adalah Roh Allah, namun sekaligus melalui kehadiran Roh Allah ini, Allah dan FirmanNya sendiri yang hadir di dalam manusia. Demikianlah memang Tritunggal Maha Kudus itu Esa adanya, karena kehadiran hypostasis yang satu itu juga adalah kehadiran hypostasis yang lain secara tak terpisahkan. Melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam manusia, maka seluruh keberadaan Allah “Bapa dan Anak” ( “Allah dan Firman”), dan sekaligus “Roh Allah” itu sendiri yang tinggal; pada manusia. Maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan keberadaan Tritunggal Mahakudus itu yang diam di dalam manusia. Karena Tritunggal Mahakudus itu bukan tiga ilah atau tiga tuhan yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, namun 117 keberadaan realita kongkrit (hypostasis) di dalam Diri Allah yang Esa itu sendiri. Sebab hadirNya Roh Kudus itu untuk menyatakan Anak Allah/Firman Allah, dengan demikian Firman Allah berada di dalam Roh Kudus. Padahal Firman Allah/ Anak Allah itu menyatakan Bapa, berarti Bapa ada di dalam Firman Allah/Anak Allah. Sebaliknya baik Roh Allah maupun Anak Allah itu berada di dalam Allah, berarti memang ketiga hypostasis itu memang Esa tak terpisahkan. Sehingga kehadiran hypostasis yang satu adalah kehadiran keseluruhan hypostasis dalam Allah yang Esa itu. Karena dalam ketiga hypostasis itu hanya terdapat satu dzat-hakekat Allah, dan di dalam masing-masing hypostasispun dzat-hakekat Allah yang satu dan yang sama itu yang hadir, sedangkan ketiga hypostasis itu juga berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Maka sebagai Roh Allah yang bersemayam di dalam dzat-hakekat Allah yang satu bersama Firman Allah, maka Roh Kudus mempunyai sifat yang satu dengan “Bapa dan Putra” itu, yaitu sifat “dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia”, yang artinya manusia tak dapat mengerti Dia tanpa pewahyuan DiriNya. Hal yang sama berlaku bagi sifat “Bapa dan Anak”, sebagaimana yang dikatakan: “….tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dam tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” ( Matius 11:27 ). Kebenaran ini menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah itu adalah tunggal. Sifat Allah, yang dalam hal pembahasan kita ini adalah sifat “tak dapat diketahui” itu, karena Allah mempunyai sifat dzathakekat atau (essensi) yang hanya satu, karena Allah itu Esa. Sehingga jika Bapa (Allah yang Esa) tidak dimengerti manusia, maka Anak (Firman Allah) dan Roh Kudus (Roh Allah) pun tidak dapat dimengerti oleh manusia. Roh Allah dan Firman Allah itu memang satu dengan Bapa dan di dalam Bapa. Hanya melalui penyataan Anak (Firman Allah) oleh Roh Kudus itu saja, sifat ketak-dapat dimengertian Allah ini dapat tersingkap. Karena Roh Kudus itulah yang menyatakan Kristus. Anak berkenan menyatakan Diri kepada manusia melalui Roh Kudus, dan melalui penyataan diri Anak di dalam Roh Kudus ini Bapa dinyatakan kepada manusia.. Karena sifatnya yang saling bersemayam diantara hypostasis-hypostasis di dalam Diri Allah Yang Esa itu, maka hadirNya Roh Kudus adalah hadirNya Kristus, dan hadirNya Kristus dalam Roh Kudus ini adalah hadirNya Allah sendiri. Dengan demikian Roh Kudus tidak menyatakan apapun, selain wahyu Allah yang satu-satunya itu yaitu: Yesus Kristus . Roh Kudus bukanlah roh liar yang lepas dari Firman Allah, namun Ia adalah Roh Allah yang terkait dengan Firman Allah baik Firman itu sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya, sehingga Ia disebut Roh Yesus dan sekaligus Roh Allah. Bersama dengan Firman Allah, Roh Allah ini berada satu di dalam diri Allah yang Esa. Karena Allah itu memang Esa dan tidak ada Allah lain selain Yang Esa ini (I Kor. 8:4), yang sejak kekal berada dalam diriNya FirmanNya sendiri dan RohNya. 4.Kasus Sisipan “Filioque” Telah kita singgung diatas mengenai masalah “filioque” dalam hal “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa. Marilah kita bahas masalah ini. Masalah Roh Kudus yang “keluar dari Sang Bapa” ini telah terjadi permasalahan yang berkepanjangan antara Gereja Orthodox dengan Gereja Barat (baik Roma Katolik maupun Protestan), dimana Gereja Barat dalam Konsili Toledo tahun 589 memberi tambahan kata “filioque” (dan “Sang Anak”) pada kata anak kalimat itu, sehingga 118 Pengakuan Iman yang sudah ditambah itu menjadi berbunyi “yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak/Putra”. Tambahan ini ditolak Gereja Orthodox dengan alasan sebagai berikut: Landasan dari Pengakuan Iman Nikea akan hubungan Roh Kudus dengan Allah (Sang Bapa) itu adalah:“Jikalau Penghibur yang akan kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, ia akan bersaksi tentang Aku.” ( Yohanes 15:26 ).Penambahan “ FILIOQUE ” dilihat berbahaya oleh Gereja Timur. Bahaya-bahaya yang dilihat oleh Gereja Timur adalah bahwa penambahan ini akan mengkaburkan makna ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang seimbang antara Allah, Firman dan RohNya dalam dzat-hakekatNya yang serba Esa itu. Dalam Iman Kristen Orthodox dijelaskan bahwa Allah Yang Esa itu identik dengan Sang Bapa (Wujud Allah) sendiri, sebagaimana yang tertulis:“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup,…...”( I Korintus 8:6 ).Karena “satu Allah” itulah Bapa, ini berarti bahwa ke-Esa-an Allah itu terletak pada Esanya Pribadi Bapa. Karena Bapa itulah “satu Allah” tersebut, serta “dari padaNya berasal segala sesuatu”, maka Bapa itu menjadi sumber, pokok, pusat, serta asal dari ke-Allah-anNya sendiri. Dengan demikian Ia juga menjadi sumber, pokok, pusat, dan asal dari Firman dan RohNya sendiri yang kekal itu. Berarti baik “Firman Allah” (“Anak Allah”), maupun “Roh Allah” ( Roh Kudus”) sendiri, dari zaman azali yang silam sampai zaman abadi yang akan datang tetap berada pada dan melekat satu di dalam dzat-hakekat Allah yang serba Esa itu. Dengan demikian berarti baik Firman Allah maupun Roh Allah itu memang haruslah keluar dari sumber yang satu ini, Sang Bapa. Untuk keluarnya “Firman Allah” dari Bapa ini disebut sebagai “diperanakkan” yang makna kata ini adalah bahwa Firman Allah yang terkandung dalam diri Allah yang Esa itu dinyatakan dalam diri Allah sendiri sehingga Allahmengenal diriNya itu melalui FirmanNya itu sejak kekal, dan untuk “Roh Allah” diistilahkan dengan “keluar dari Bapa”. Meskipun “Firman Allah” itu bukan Allah (Bapa) sendiri, serta “Roh Allah”pun, bukan pula Allah (Bapa) itu, juga “Firman Allah” itu jelas bukan “Roh Allah”, dan sebaliknya, sehingga ciri-ciri masing-masing hypostasis tetap terjaga, namun baik Firman Allah maupun Roh Allah itu berada dalam dzat-hakekat Allah yang serba satu ini. Maka dzat-hakekat Bapa itulah juga dzathakekat Firman dan RohNya tadi. Sehingga baik Firman Allah maupun Roh Allah berada dalam satu kemuliaan, satu kehendak, satu kekekalan, satu kuasa dan satu dalam segala keberadaan ilahi yang lain yang dimiliki oleh Bapa (Wujud Allah Yang Esa itu). Namun “Firman” tetap berciri sebagai Firman tak menjadi prinsip “Wujud Allah”, dan tak pula berubah menjadi ciri “Roh Allah”, juga “Roh Allah” tetap berciri sebagai “Roh Allah” tak berubah mengambil ciri “Firman Allah” (“Anak”), maupun ciri dari prinsip “Wujud Allah yang Esa” (“Bapa”). Sehingga ciri hypostasis yang satu tak boleh dikacaukan dengan ciri hypostasis yang lain dalam diri Allah Yang Esa itu. Ciri-ciri khas dari masing-masing hypostasis dalam Diri Allah Yang Esa itu adalah: 1.Sang Bapa (“Wujud Allah yang Esa”), sebagai asal-usul dan sumber serta beradanya secara kekal dari “Firman Allah” dan “Roh Allah” yang dariNya baik “Firman Allah” itu “diperanakkan” maupun “Roh Allah” itu “keluar”. Juga Sang Bapa ini bersifat berasal dari DiriNya sendiri serta berdiri pada diriNya sendiri, tanpa diperanakkan dan tanpa awal, dari kekal sampai kekal. Sang Bapa pula yang menjadi prinsip dari Ke-Esa-an Allah itu. 2. Sang Putra ( “Firman Allah”), adalah Akal-Budi Allah, Ilmu Allah yang kekal yang selalu berada melekat dalam Dzat-Hakekat Allah yang kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai selamanya, yang melaluiNya Allah menciptakan dunia, dan juga menyatakan diriNya, sebagai Wahyu Ilahi. Dengan demikian “Sang Putra” ini ciri khasnya adalah sebagai yang keluar dari Bapa untuk menyatakan diri Bapa, dengan kata lain “diperanakkan” dari Sang Bapa.3. Roh Kudus ( “Roh Allah”), adalah prinsip Hidup dan Kuasa Allah yang kekal yang selalu berada melekat dalam Dzat-Hakekat Allah kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai selamanya, bersama dengan “Firman Allah”. Melalui Roh Allah ini, Sang Bapa, 119 menyempurnakan dan membentuk segala ciptaan serta memberikan kehidupan terhadap segala ciptaan yang telah Ia jadikan melalui “Firman Allah” (“Sang Putra”) yang kekal. Berarti bersamaan “Firman Allah” yang menjadikan itu “Roh Allah” membentuk dan menghidupi apa yang telah dijadikan itu. Jadi Roh Allah berkarya sekaligus –tanpa ada tenggang waktu - ketika Firman Allah berkarya, oleh kehendak tunggal dari Allah Yang Esa (Bapa) itu. “Roh Allah” itu mengiringi, melengkapi, dan menyempurnakan serta menyatu- tanpa urutan waktu, serempak dan serentak- dengan karya yang dilakukan Allah melalui “Firman”Nya itu. Memang hanya ada “satu karya” oleh “satu ke-Mahakuasa-an” yang berasal dari kehendak tunggal Allah Yang Esa itu melalui Firman dan didalam RohNya tadi. Jadi Roh Allah itu bukan untuk mewahyukan Diri Allah, sebagaimana karya dari “Firman Allah” ( Yohanes 1:18) sehingga “Firman Allah” itu disebut “Gambar Allah” (Kolose 1:15) namun sebagai “Terang” untuk dapat mengerti “Wahyu Allah” itu, dengan demikian Roh Allah bukan merupakan “Gambar Allah”namun “Terang” untuk dapat memahami “Gambar Allah”, yaitu “ Anak Allah yang Tunggal….yang menyatakan” Bapa yang Esa itu (Yohanes 1:18, I Kor.12:3, II Kor. 4:6), oleh sebab itu Roh Allah tak disebut “Anak Allah”, dan itulah sebabnya Ia tak dikatakan “diperanakkan dari Sang Bapa”, namun “keluar dari Sang Bapa”. “Keluar dari Sang Bapa” inilah ciri khas Roh Allah (“Roh Kudus”) itu. Untuk menjaga utuh ke-Esa-an Allah serta keseimbangan yang ada antara hypostasis-hypostasis dalam Allah Yang Esa inilah, maka ciri-khas hypostasis-hypostasis itu harus dijaga tak boleh dilanggar. Disamping itu, perlu pula ditegaskan bahwa Allah itu memiliki dua bentuk hubungan: 1. Hubungan kekal di dalam dirinya sendiri, dengan “FirmanNya” dan “RohNya”. 2. Hubungan dengan makhlukNya yang telah diciptakan melalui “FirmanNya” dan disempurnakan serta dihidupi oleh “RohNya” itu, dengan sarana “FirmanNya” yang sama itu: yang kemudian menjelma menjadi manusia, dan melalui “RohNya” yang sama itu juga, yang dicurahkan kepada manusia melalui “Firman” setelah karyaNya selesai diatas bumi itu. Jadi mengenai Roh Allah (“Roh Kudus”) ini ada dua bentuk hubungan dengan Allah, yaitu yang pertama adalah hubungan kekal di dalam diri Allah Yang Esa itu, serta masalah filioque itu adalah berkaitan dengan hubungan yang pertama ini, dan yang kedua adalah hubunganNya dengan makhluk, sesudah penjelmaan “Firman” itu menjadi manusia, dan pihak non-Orthodox salah-faham bahwa filioque yang ditolak Gereja Orthodox itu berkaitan dengan hubungan kedua ini. Mengenai dua bentuk hubungan Allah ini marilah kita lihat data-data Alkitab. Yaitu mengenai hubungan Allah dalam diriNya sendiri sejak zaman azali dan hubungannya dengan dunia setelah ada waktu dan setelah selesai karya penjelmaan FirmanNya, dan terutama mengenai dari mana asal RohNya di zaman kekal-azali dan sesudah karya Sang Firman tadi:”……Roh yang kekal….” (Ibrani 9:14),”….Roh menyelidiki…..hal-hal yang tersembunyi DALAM DIRI ALLAH…roh manusia sendiri yang ada didalam dia….Demikian pulalah…..yang terdapat di dalam DIRI ALLAH….Roh Allah” ( I Kor. 2:10-11). “….Allah (Bapa) mengaruniakan RohNya…..” ( Yohanes 3:34, berarti Roh Allah berasal dari Allah/Bapa,pent.).” Aku (“Anak Allah”, “Firman Allah Menjelma”) akan minta kepada Bapa ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent)…seorang Penolong yang lain….yaitu Roh Kebenaran …( ini berarti Roh itu sejak kekal-azali berasal dari Bapa, karena untuk datangNya pada para murid setelah karya Sang Putra itu selesai, harus diminta kepada Bapa oleh Sang Putra ini,pent.) “ …..Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa (berarti Roh Kudus itu keluar dari Bapa dari kekal-azali karena dari Bapalah Roh itu diutus,pent) dalam namaKu (Yoh.14:25-26, “…akan diutus …dalam NamaKu”, yaitu Nama Sang Putra, itu terjadi setelah karya Putra di dunia itu selesai, pent.) “ “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent.), yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa (Yoh.15:26,“keluar dari Bapa” sejak kekal-azali, karena Ia memang berada dalam Diri Allah/Bapa sejak kekal, pent), “Yesus inilah…..sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus (artinya, sesudah kebangkitanNya Yesus menerima Roh Kudus, karena Ia “menerima” Roh tadi, berarti Roh itu berasal dari “yang memberi” yaitu 120 Allah/Bapa, dengan demikian jelas Roh itu keluar dari Allah/Bapa,pent) yang dijanjikan itu, maka dicurahkanNya…. ( Roh yang diterima dari Bapa, yaitu yang keluar dari Bapa sejak kekal-azali itu, oleh Yesus dicurahkan pada manusia sesudah kebangkitan dan naikNya ke sorga itu, pen, Kisah Para Rasul 2:32-33). Dari ayat-ayat ini jelas bahwa Roh Allah itu sejak kekal berada di dalam Diri Allah, dan berasal “keluar” dari Allah ini sejak kekal itu, -meskipun Ia bersemayam pada Putra sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa itu-, namun Roh yang sama ini sesudah selesainya karya Sang Putra yang menjelma itu dikirim kepada manusia “atas permintaan dari” “dalam Nama” ,” diutus oleh”, serta “dicurahkan oleh” Sang Putra. Dengan demikian dari kekal dalam Diri Allah sendiri Roh Kudus itu diam dan keluar dari Allah saja, serta dicurahkan pada Firman untuk memantulkan Firman itu pada Bapa, namun dalam hubungannya dengan manusia setelah selesai karya Sang Putra ini maka Roh Kudus yang sejak kekal keluar dari Bapa, ini diutus dari Bapa “melalui dan oleh” Sang Putra. Jadi Roh Kudus itu hanya “keluar dari Bapa” saja serta bersemayam pada Putra jika keberadaan Allah yang kekal itu yang kita maksud, namun Roh Kudus yang sama itu “keluar dari Bapa melalui/dan Putra” jika pengutusanNya ke bumi ini yang kita maksud. Dalam kaitanNya dengan bersemayamNya pada Putra untuk memantulkan Putra itu pada Bapa dalam kekekalan hakekat Allah yang satu, serta pengutusanNya ke bumi setelah selesai karya Sang Putra, dari “Bapa melalui./ dan Putra” inilah maka Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Allah” dan sekaligus“Roh Kristus” (Roma 8:9), “Roh AnakNya” (Galatia 4:6), “Roh Yesus” (Kisah Rasul 16: 7), dan lain-lain, yang menunjukkan keterkaitan yang tak terpisah antara Roh Kudus dan Kristus dalam karyaNya di bumi ini. Jadi Roh Kudus datang ke bumi bukan langsung dari Allah begitu saja, namun Ia datang dari Allah melalui Kristus, bagi menterapkan Karya Kristus yang sudah selesai itu kepada manusia. Roh Kudus datang bukan untuk menyatakan DiriNya sendiri, dan Ia datang bukan untuk menyatakan “segala macam kebenaran” namun untuk menyatakan “Kebenaran” yang Tunggal, yaitu “Firman Yang Menjelma Manusia” : Yesus Kristus itu. Inilah posisi Iman Orthodox yang lugas, jelas, dan tegas serta tanpa keraguan sedikitpun itu. Sedangkan terkaitNya “Roh Allah” dengan “Firman Allah” yang nampak dalam karyaNya sesudah Penjelmaan Firman Allah itu memang berasal dari kekal. Hal ini dapat dijelaskan demikian: Menurut Ibrani 9:14, Roh Kudus itu disebut “Roh yang kekal”, berarti Ia bukan makhluk, dan azali bukan tercipta. “Roh yang kekal” itu menurut I Kor. 2:10-11 berada di dalam Diri Allah, yaitu melekat satu dalam Dzat-Hakekat Allah. Pada saat dicurahkan ke bumi oleh Allah melalui Yesus Kritus, salah satu diantara fungsi-fungsi dan karyakarya Roh Kudus di bumi ini adalah , sebagaimana yang dikatakan:”…..kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus….” ( Roma 5:5). Jadi fungsi Roh Kudus adalah mencurahkan kasih Allah kepada “sasaran” dan “obyek” dari yang dikasihi Allah. Karena Roh Kudus itu kekal, berarti fungsi yang demikian ini adalah kekal juga. Jadi sejak zaman azali sampai dengan keabadian Roh Kudus memang berfungsi untuk “mencurahkan kasih Allah kepada sasaran dan obyek yang dikasihi Allah” itu. Pada saat manusia sudah diciptakan dan karya Kristus sudah selesai, kasih tadi sasarannya adalah “kita” yaitu manusia. Namun dalam alam azali nan abadi itu, dimana tidak ada makhluk dan ciptaan yang ada hanya Allah sendiri, maka sasaran dan obyek kasih Allah adalah Ia yang mengatakan :”…..Engkau (Bapa/Allah) telah mengasihi Aku (Putra/Firman) sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24). Jadi sasaran kasih Allah secara azali yang kekal-abadi itu adalah FirmanNya sendiri yang ada di dalam DiriNya yang Esa itu. Karena dimana kasih Allah tercurah, ini selalu terlaksana melalui Roh Kudus, berarti ketika di zaman azali yang kekal-abadi itu kasih Allah tersebut tercurah pada FirmanNya maka “kasih Allah itu telah dicurahkan ke dalam Sang Firman itu oleh Roh Kudus”. Berarti dalam proses kasih ini, Roh Kudus “yang keluar dari Bapa” itu, karena dari Bapa Ia mencurahkan kasih itu, juga bersemayam dalam Firman untuk menyampaikan “kasih Bapa” tadi ke dalam hakekat Firman itu. Demikianlah Roh Kudus yang bersemayam dan “keluar” dari Bapa untuk mencurahkan kasih 121 Bapa, itu juga akhirnya bersemayam dalam Firman. Sehingga Roh Kudus itu bersemayam dalam Bapa dan Firman. Namun di zaman azali yang kekal tersebut"keluarNya” itu tetap dari Bapa sebagai “sumberNya”. Padahal baik Firman maupun Roh itu sama-sama berada di dalam Diri Allah /Bapa Yang Esa itu. Dengan demikian Roh yang “keluar dari Bapa” itu bersemayam dalam Bapa sekaligus dalam Firman /Putra yang ada pada Bapa, serta baik Firman dimana Roh bersemayam maupun Roh yang “keluar dari Bapa” itu, bersemayam, yaitu melekat satu di dalam dzat-hakekat Bapa. Sebagai “pencurah Kasih” Allah, berarti hakekat Bapa juga berada dalam Roh “pembawa Kasih”itu, sebagai yang dituju dan didiami oleh Kasih tadi, berarti hakekat Bapa itu juga berada dalam Firman itu. Dengan demikian jelas meskipun dalam zaman azali yang abadi itu “Roh Kudus” hanya keluar dari Bapa sebagai “sumberNya”, namun dalam kasih abadi tadi, Bapa bersemayam dalam RohNya dan FirmanNya, dan Firman bersemayam dalam Bapa dan RohNya, dan Roh bersemayam dalam Bapa dan Firman, karena memang Allah itu hanya satu secara tak terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah, meskipun ciri khas masing-masing hypostasisnya dapat dilihat perbedaannya. Itulah sebabnya dalam arti ini juga Roh Kudus, dapat disebut Roh Allah, Roh Bapa, Roh Yehuwah, sekaligus Roh AnakNya, Roh Anak Allah, Roh Yesus, Roh Kristus, Roh Yesus Kristus, karena keberadaan Allah itu tak terbagi-bagi, dan tak tersusun-susun. Ia itu Esa secara sederhana, tanpa terdiri dan tersusun dari bagian-bagian. Namun bagaimanapun juga jelas bahwa “Roh Kudus” itu “keluar dari Bapa” sebagai sumberNya, di alam azali itu, meskipun terkait erat dengan Firman Allah/Anak Allah di dalam dzat-hakekat Allah yang Esa dan satu tersebut. Setelah mengerti posisi Iman Kristen Orthodox dengan lebih rinci ini, marilah kita melihat keberatan theologis Iman Kristen Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan “filioque” itu. Sisipan “filioque” mengimplikasikan bahwa Roh Kudus itu keluar bukan hanya dari Bapa tapi juga dari Putra. Jika demikian maka Roh Kudus memiliki dua sumber asal-usul: Bapa dan Putra. Padahal sudah kita lihat bahwa Allah itu Esa yaitu Bapa ( I Kor. 8:6). Bapa itu hanya satu dan menjadi “asal segala sesuatu”, berarti hanya ada satu sumber dan hanya ada satu pokok di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Jika pengertian sisipan filioque ini kita ikuti, maka sumber dalam Allah itu bukan hanya satu saja, namun dua, karena Bapa/Allah dan Putra/Firman menjadi sumber dari Roh Kudus, disebabkan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan juga Sang Putra. Faham ini dilihat oleh Iman Orthodox sebagai merusak akidah Tauhid (KeEsa-an Allah) menjadikan adanya Dua Ilah yang menjadi asal-usul keilahian. Juga faham ini melanggar ciri khas masing-masing hypostasis dalam Diri Allah yang Esa itu. Karena hanya Bapa saja yang ciri khasNya “memperanakkan” FirmanNya dan sekaligus “mengeluarkan” RohNya, meskipun Bapa itu tak diperanakkan dan berdiri pada DiriNya sendiri tanpa ada yang mengadakan. Putra/Firman Allah tidak ikut dalam ciri khas Bapa/Allah untuk “mengeluarkan” Roh ini, sebab Putra/Firman bukan sumber Ke-Esa-an dalam Diri Allah. Ia adalah “Firman” dari Allah ini. Dengan demikian keseimbangan pemahaman tentang hubungan yang ada antara Allah, Firman dan RohNya itu menjadi goyah. Gereja Orthodox melihat “kemusyrikan” dalam faham semacam ini. Ketika Gereja Barat melihat keberatan Gereja Timur tentang impplikasi adanya “dua Allah”, dengan adanya “dua sumber” dari Roh Allah ini, sangkalan Gereja Barat adalah bahwa” Roh Kudus itu keluar dari Bapa/ Allah yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah berasal dari satu sumber.” Pemahaman Gereja Barat yang demikian itu belum dapat meyakinkan Gereja Timur, sebab dalam pandangan Gereja Orthodox, jika Roh Kudus keluar baik dari Bapa/Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah dari satu sumber, realita yang berbeda antara Bapa/ Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah itu jadi kacau. Jadi realita ciri khas Bapa/Allah Yang Esa itu tak berbeda dengan realitas dan ciri khas dari Putra/Firman Allah karena kedua-duanya dianggap sebagai satu sumber. Jika betul demikian yang dimaksud, Gereja Orthodox khawatir bahwa itu memunculkan kembali ajaran Sabelianisme, yang baik Gereja Barat maupun Gereja Timur sama-sama mengutuknya dizaman purba yang telah lalu. 122 Sabelius mengatakan bahwa sebenarnya Allah/Bapa, Firman/Putra dan RohNya di dalam DiriNya Yang Esa itu tak memiliki realita dan ciri khas yang berbeda-beda yang memang dapat dibedakan ciri-ciri dan realitanya tadi, meskipun tak dapat dipisahkan dalam Ke-Esa-an DzatHakekat Allah yang Tunggal itu. Namun Bapa/Allah, Anak/Firman Allah, Roh Kudus/Roh Allah itu adalah sekedar “topeng-topeng” dalam cara Allah menyatakan diriNya saja.Menurut Sabelius, di dalam Perjanjian Lama Allah yang satu itu menyatakan diriNya sebagai Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang sama itu menyatakan diri sebagai Putra. Sesudah Putra naik ke Sorga, Allah yang sama yang sebelumnya menyatakan diri sebagai Bapa dan akhirnya menyatakan diri sebagai Putra itu, juga menyatakan diri sebagai Roh Kudus. Jadi Bapa, Putra dan Roh Kudus itu sebenarnya hanyalah Allah yang satu itu, namun yang memakai topeng secara berganti-ganti. Itu hanyalah fungsi-fungsi saja dari Allah yang Esa. Dengan mengatakan bahwa Roh Kudus itu “keluar dari Bapa dan Putra” seolah-olah dari satu sumber, berarti Gereja Orthodox melihat bahwa hypostasis dan ciri-ciri khas Bapa serta hypostasis dan ciri-ciri khas Putra itu tidak dapat dibedakan dan sekaligus dikacaukan. Dari situlah mengapa Gereja Orthodox melihat argumentasi itu sebagai bersifat Sabelianisme, meskipun jika bukan sepenuhnya, namun setidaktidaknya bersifat semi Sabelianisme. Selanjutnya jika betul bahwa Putra/Firman Allah yang diperanakkan oleh Bapa itu juga menjadi sumber Roh Kudus sebagaimana halnya Bapa itu, dengan demikian juga memiliki ciri khas hypostasis Bapa, maka Ia juga haruslah memiliki fungsi dari ciri khas sumber keilahian yaitu “memperanakkan” Firman dan “mengeluarkan” Roh Allah.Dengan demikian tidakkah ini akan membuat Putra/Firman Allah itu bukan hanya “mengeluarkan Roh Kudus” tetapi juga “memperanakkan Firman”? Bukankah ini akan berarti akan muncul Firman yang lain dari Firman ini? Dan Firman yang lain ini juga akhirnya memiliki sifat yang sama dengan sifat “Firman” yang telah memperanakkanNya, yaitu menjadi sumber Roh Kudus dan sekaligus memperanakkan Firman yang lain juga, demikian seterusnya ad infinitum. Jika demikian hal itu akan mengakibatkan terjadinya bukan hanya satu sumber, atau dua sumber, tetapi dapat terjadi beribu-ribu sumber atau pokok di dalam diri Allah , karena Firman yang diperanakkan Allah itu ikut serta sebagai sumber atau pokok. Maka jika faham sisipan filioque ini secara konsisten difahami dan dipertahankan, Gereja Orthodox melihat bahawa ajaran satu Allah (Tauhid) itu akan rusak menjadi ajaran polytheisme (banyak Ilah), musyrik, karena terjadi banyak sumber keilahian yang dapat memperanakkan, yaitu dari Firman yang satu, ke Firman yang lain secara terus-menerus. Itulah sebabnya sumber keilahian itu harus hanya satu saja yaitu “Sang Bapa” bukan dua :”Sang Bapa dan Sang Putra” Karena memang menurut Alkitab Roh Kudus di zaman azali yang abadi itu hanya “keluar dari Bapa” saja, bukan dari “Bapa dan Putra” Keberatan theologis selanjutnya dari Gereja Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan filioque ini adalah sifat dari ke-Esa-an Allah itu sendiri. Jika dalam Allah itu ada dua sumber sebagaimana yang diimplikasikan dalam faham Roh Kudus “keluar dari Bapa dan Putra” itu, pertanyaannya adalah dimana dasar ke-Esa-an Allah, yang menurut Alkitab adalah dalam Diri Bapa, “satu Allah, yaitu Bapa” ( I Kor. 8:6). Karena sumber ke-ilahi-an dari Allah itu difahami ada dua “Bapa dan Putra”, maka Gereja Barat tidak dapat melihat bahwa Allah yang Esa itu identik dengan Hypostasis Bapa. Sebab Bapa itu bukan menjadi sumber satu-satunya dalam keilahian, karena Bapa menjadi sumber bersama dengan Putra :” Bapa dan Putra”, maka tak mungkin Bapa itu dianggap sebagai prinsip dan sumber ke-Esa-an sebagaimana yang diajarkan Alkitab. Ini nampak dalam pemahaman Gereja Barat dimana ke-Esa-aan Allah lebih dilihat pada “Essensi” atau “Dzat-Hakekat” Allah., seperti di depan telah kita bahas. Secara tradisionil dalam beberapa tulisan Katolik Roma, ini digambarkan sebagai satu payung (“satuessensi”) yang menaungi tiga orang (“ Bapa, Anak,Roh Kudus”), atau satu rumah (“ satu – esensi”) yang dihuni tiga orang (“ Bapa, Anak, Roh Kudus”), sedangkan di pihak Protestan sering digambarkan sebagai satu bidang segitiga (“satu esensi”) yang memiliki tiga sudut A,B,C 123 (“Bapa, Anak, Roh Kudus”), atau satu Zat Cair :H2O ( “satu-essensi”) yang memiliki tiga bentuk: cair, padat/es, gas/uap (“Bapa, Anak, Roh Kudus), dan lain-lain. Dari semua penggambaran ini jelas ke-Esa-an Allah sebagai akibat faham yang dimunculkan oleh sisipan filioque itu tidak identik dengan Hypostasis Sang Bapa, namun pada Essensi atau Substansi atau Dzat-Hakekat Allah yang satu. Jadi Ke-Esa-an Allah bukan lagi ke-Esa-an Pribadi, namun keEsa-an Esensi yang tak berpribadi. Disinilah letak masalahnya. Sedangkan Gereja Orthodox sesuai dengan yang dikatakan Alkitab menegaskan Allah itu satu, karena Bapa itu satu. Maka KeEsa-aan Allah dalam ajaran Orthodox adalah ke-Esa-an yang bersifat pribadi. Allah yang Esa itu adalah Pribadi Allah yang Satu, itulah ajaran Alkitab dan itulah ajaran Iman Orthodox. Sedangkan dalam Gereja Barat ke-Esa-an Allah itu adalah Essensi Allah yang satu. Itulah ajaran Filsafat Yunani, dan itulah bukti Helenisasi yang terjadi dalam Gereja Barat. Essensi itu bukan Pribadi, namun hakekat dari keberadaan. Dengan penekanan bahwa dasar ke-Esa-an Allah itu pada essensi ilahi dan bukan pada pribadi Bapa akan terjadi suatu kontradiksi antara pemahaman theologis tentang ke-Esa-an Allah dan data Alkitab mengenai hal yang sama tadi. Allah yang diajarkkan Alkitab adalah Pribadi dan bukan keberadaan mutlak (essensi) yang tanpa pribadi. Sebab ajaran yang demikian akan mengubah Berita Alkitab menjadi ajaran Filsafat Yunani, dan akan lebih mirip dengan ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa Brahman adalah “Keberadaan Mutlak yang Tak Bersifat dan Tak Berpribadi” (“ Impersonal Absolute, Nirguna.”), bukannya Allah Abraham, Ishak, Yakub yang bertindak dan menyatakan diri serta mengatakan kepada Musa ”Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14). Selanjutnya pemahaman tentang ke-Esa-an Allah pada EssensiNya ini terkait dengan tujuan keselamatan manusia. Iman Orthodox mengajarkan bahwa keselamatan itu telah terjadi akibat manunggalnya yang Manusiawi dengan Yang Ilahi di dalam Pribadi Kristus yang satu itu, oleh Inkarnasi. Jadi manusia dipanggil untuk “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” ( II Pet. 1:4). Ambil bagian dalam kodrat ilahi atau “theosis” ini terjadi karena persekutuan antara pribadi manusia dengan Pribadi Allah melalui karya Yesus Kristus itu. Jika ke-Esa-an Allah adalah Essensi, persekutuan manusia dan panunggalannya dengan Allah itu bukan lagi bersekutu antara pribadi dengan pribadi, namun bersekutu atau manunggal dengan Essensi Allah, bersekutu dengan Dzat-Hakekat Allah. Disini letak permasalahannya: karena jika manusia bersekutu dengan Essensi atau Dzat-Hakekat Allah, maka dia akan berhenti sebagai manusia, serta akan melebur dalam Dzat-Hakekat Ilahi dan dengan demikian menjadi Allah. Karena hanya Allah sendiri yang memiliki Dzat-Hakekat Allah atau Essensi Allah, maka dengan manusia bersekutu atau manunggal dengan Allah yang satu yang adalah Essensi, maka manusia bersekutu dengan Essensi Allah. Itu berakibat manusia memiliki Essensi Allah dan itu berarti manusia menjadi Allah sendiri. Inilah ajaran “pentheisme” murni, mistikisme dalam bentuk yang sama sekali tak dapat diterima oleh Iman Orthodox. Ini lebih sesuai dengan faham Hindu daripada ajaran Alkitab maupun Iman Kristen Orthodox., dimana dalam agama Hindhu diyakini bahwa roh manusia (Atman) itu sebenarnya tak berbeda secara hakiki dengan Essensi Allah ( Brahman).Maka tujuan akhir manusia menurut agama Hindhu memang agar, jika manusia mati, rohnya kembali kepada Brahman, kembali kepada Essensi Allah, mencapai Moksha. Memang posisi Orthodox ini sering disalah-fahami oleh Gereja Barat (baik Roma Katolik maupun Protestan) seperti yang nyata dalam buku penulis Protestan dari Belanda:Dr.Boland dan Dr. Niftrik dalam buku “Dogmatika Masa Kini”. Dr. Boland dan Dr.Niftrik menuduh Gereja Orthodox sebagai mengajarkan mistikisme panteheistis, akibat dari penolakan sisipan filioque dalam Pengakuan Nikea, dimana Essensi Allah dan essensi manusia lebur menjadi satu.. Kita tidak tahu darimana Dr. Boland dan Dr. Niftrik mengambil kesimpulan semacam ini, barangkali ini hanya salah faham, atau memang betul-betul tidak mengerti ajaran Iman Kristen Orthodox. Karena dalam Gereja Orthodox justru mistik semacam itu sama sekali tidak memilki tempat,bahkan ditolak, dan dinyatakan sesat, seperti nyata dalam pengucilannya terhadap sekte 124 Bogomil di Serbia-Bulgaria. Namun anehnya justru mistik yang semacam ini, yaitu mengacaukan Essensi Allah dengan essensi manusia itu, bukannya terjadi di Gereja Orthodox tetapi di Gereja Barat. Misalnya dalam kasus Meister Eckhard, kelompok Anabaptis, kelompok Quaker, dan lainlain. Dan dari kacamata Orthodox memang itu akibat logis dari faham yang konsisten terhadap akibat sisipan filioque. Jadi penolakan kata filioque dalam Pengakuan Iman Nikea oleh Gereja Orthodox justru untuk menghalangi masuknya spiritualisme mistik yang palsu seperti yang kita bahas diatas.. Salah faham theologia Protestan itu dilanjutkan oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik demikian: “Bahkan pun diskusi-diskusi dogmatika seperti persoalan, apakah Roh Kudus hanya keluar dari Allah Bapa atau juga dari Anak ( filioque ) mempunyai arti serta akibat yang praktis bagi kehidupan Gereja” Gereja Orthodox sangat membenarkan hal ini. Itulah sebabnya Gereja Orhodox menganggap sisipan filioque itu bukanlah masalah remeh yang dapat dilupakan begitu saja. Karena salah mengenai ajaran Roh Kudus dalam hubunganNya dengan Allah/Bapa dan FirmanNya/Putra (Tritunggal Maha Kudus) akan menimbulkan kesalahan dalam mengerti keselamatan, sakramen, karunia-karunia Roh Kudus, Gereja, Kristologi, dan lain-lain ajaran. Sebab semuanya itu sumbernya dari pengertian yang benar mengenai Tritunggal Maha Kudus ini. Dikatakan selanjutnya:”Dengan ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa hanya satu saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus. Roh Kudus tidak menghasilkan kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada kebenaran yang bernama Yesus Kristus. Kotbah Petrus pada hari Pantakosta pertama adalah merupakan contoh dan patokan. Isi pemberitaan itu kongkrit sekali yaitu Yesus Kristus yang telah disalibkan dan yang bangkit pula:”Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan telah kamu bunuh oleh tangan bangsa bangsa durhaka.Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” ( Kisah Para Rasul 2:22-24,36 ).Justru filioque itu menjadi pernyataan bagi kita, bahwa juga pembicaraan kita tentang Roh Kudus harus bercorak Kristosentris. Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh Kristus.” Boland dan Niftrik melanjutkan:”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah. Apakah hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari Allah Bapa yang Khalik, maka nisbah manusia Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk Khalik. Lagi pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di dalam kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox ( Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu. Maka kehidupan Gereja ini ditentukan oleh pemujaan ( Worship ) tetapi kegiatan Gereja keluar tidak dapat berkembang.”. Demikian pemahaman Protestan, yang juga mendukung filioque itu, tentang Gereja Orthodox mengenai penolakan sisipan filioque itu.. Untuk meluruskan masalah ini kita hanya perlu membandingkan dengan posisi Orthodox diatas tadi akan hal ini. Dr. Boland dan Dr, Niftrik sama seperti seluruh pemahaman Gereja Barat semuanya, mengacaukan filioque yang ditolak Gereja Orthodox dalam kaitannya dengan hubungan yang ada di dalam Diri Allah sendiri sejak zaman azali nan abadi, dengan karya Roh Kudus yang diturunkan kepada manusia dari Allah melalui Yesus Kristus itu. Kedua penulis ini menuduh bahwa seolah-olah Roh Kudus itu tak terkait sama sekali dengan Kristus. Dan “keluarNya” Roh Allah dari Sang Bapa ini, dianggapnya keluar secara liar tanpa tujuan atau berdiam di dalam alam semesta ini secara mengambang ( berarti keluar ke alam dan 125 berakitan dengan makhluk, padahal yang dimaksud Iman Orthodox adalah hubungan dalam diri Allah sendiri), dan bukan pula tak terkait dengan Sang Putra ( Kalimatullah).Padahal Iman Orthodox yang benar mengajarkan bahwa meskipun Roh Kudus itu keluar dari Bapa saja dalam ke-Esa-an Diri Allah itu, namun Ia juga bersemayam dalam Putra sejak zaman azali sampai kekal abadi. Dan ini jelas dari bunyi Pengakuan Iman Nikea itu sendiri:”…..Roh Kudus yang keluar dari Sang Bapa……yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan…..” Jadi meskipun Roh Kudus itu keluarNya dari Bapa namun bukan tak terkait dengan Sang Putra, karena Pengakuan Iman jelas mengatakan “yang bersama…..Sang Putra “ . Jadi tak pernah penolakan akan “filioque” oleh Gereja Orthodox itu, membuat Iman Orthodox menganggap Roh Kudus terpisah dari Sang Putra/Firman Allah, seperti yang dengan seriusnya disalah-fahami oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik. Dan jika hubungannya dengan makhluk itu yang dimaksud maka Roh Kudus itu diutus dari Bapa melalui Putra. Jadi tak ada ajaran Orthodox yang berbicara tentang Roh Kudus tanpa terkait dengan Kristus itu. Kritik Iman Orthodox terhadap pemahaman Dr. Boland dan Dr. Niftrik yang keliru itu adalah demikian: Memang perlu kita memberikan kehormatan yang tinggi atas keinginan kedua penulis membela kebenaran Kristus itu, dimana mereka ingin menegaskan bahwa tujuan penambahan filioque yang dibela oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik itu adalah untuk memberi corak Kristologis dalam pengertian akan Roh Kudus. Hal ini jelas dari apa yang dikatakannya:”…..ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa hanya satu saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus Roh Kudus tidak menghasilkan kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada kebenaran yang bernama Yesus Kristus…”. Namun karena Iman Orthodox itu sangat Kristosentris sebagaimana yang sudah kita lihat sejauh ini, penambahan “filioque” itu justru menjadikan penyimpangan terhadap Kristosentrisisme, yang dimaksud. Dengan ditambahkannya “filioque” maka Anak itu bersama Bapa menjadi sejajar sebagai sumber, dengan Roh Kudus yang keluar dari keduanya menjadi berada dibawah Bapa dan Anak. Dengan demikian Roh Kudus berada dibawah Sang Putra. Karena Roh Kudus keluar dan berada dibawah Sang Putra, maka Sang Putra tidak bersemayam dalam Roh Kudus, sehingga pneumatologi terpisah dari Kristologi. Jadi tak bersifat Kristologis lagi. Inilah akibatnya membuat yang sudah bersifat Kristologis ingin dijadikan lebih Kristologis melalui tambahan yang tak diperlukan itu. Akibatnya pembicaraan theologis tentang Putra hanya akan bersifat spekulatif intelektual – sampai memunculkan theologia liberal, yang menolak kebenaran kelahiran Kristus dari Perawan, menolak Kebangkitan dan mukjizat-mukjizat Kristus, dan bahkan mempertanyakan existensi Kristus itu sendiri dalam wacana theologia Jerman dan Eropa Barat -, bukan pemahaman sekaligus pengalaman akan Kristus dalam panunggalan oleh akibat karya Roh Kudus, sebagaimana yang dihayati dalam Gereja Orthodox. Itulah sebabnya sering dikatakan oleh para theologiawan Gereja Barat bahwa Gerakan Kharismatik dan Gerakan Pantekosta adalah hutang Gereja yang belum terbayar. Kata-kata yang mana tak akan mungkin keluar dari mulut seorang theologiawan Gereja Timur. Ini diakibatkan karena selama ini theologia, atau pemahaman tentang Kristus hanya bersifat logika, tak dibarengi dengan kuasa-kuasa dan pengalaman energi Roh Kudus yang memanunggalkan manusia kepada Kristus. Pengalaman mistika dalam Gereja Orthodox adalah pengalaman dalam Roh Kudus, yang menuntun manusia hanya kepada satu kebanaran yaitu Kristus, karena untuk manunggal dengan Kristus itulah tujuan hidup dalam Roh Kudus itu. Disinilah terjadinya kekeringan agamawi dalam Gereja Barat. Reaksi terhadap hal ini adalah munculnya “Gerakan Kharismatik” dan “Pantekosta” yang merupakan reaksi keras yang berbalikan arah, dimana Gerakan ini sering dicirikan sebagai Gerakan anti-intelektual, anti-theologia, anti-keilmuan. Kata yang sering muncul dalam Gerakan ini adalah :” Tidak perlu theologia yang penting adalah Roh Kudus”. Akibat dari sikap ini justru apa yang dituduhkan oleh kedua penulis itu tentang Gereja Timur, yang malah tidak terjadi 126 disitu:” Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh Kristus.” Bukankah justru Gereja Orthodox yang menolak “filioque” itu yang menegaskan dalam mengalami Roh Kudus sebagai “Roh Kristus” dan bukan “Roh yang membuat kita bersemangat” yang justru itu ciri dari Gereja Barat dalam bentuk Gerakan Kharismatiknya? Dalam bentuknya yang paling ekstrim Gerakan ini juga mempunyai ciri-ciri pantheisme dan bahkan animisme,sehingga ketakutan lain dari kedua penulis itu justru menjadi kenyataan disitu bukan dalam Gereja Orthodox: Lagi pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan”..Disinilah bedanya dengan pendekatan Orthodox, karena Kristus dan Roh Kudus itu terkait karena saling bersemayam, dan sama-sama memiliki hakekat keilahian yang satu dan yang sama di dalam Allah yang Esa, maka menghayati Kristus itu selalu dalam pengalaman Roh Kudus, dan menghayati Roh Kudus itu selalu dalam landasan Kristologis.Sehingga kritik berikutnya ini sungguh jauh dari kenyataan ajaran maupun praktek Gereja Orthodox:” bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di dalam kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox ( Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu” Ini makin menunjukkan bahwa kedua penulis ini memang tidak tahu Iman Orthodox. Tak pernah dalam Iman Kristen Orthodox “Roh Kudus” itu dianggap sebagai “ sesuatu atau sesuatu kekuatan yang terdapat di dalam Kosmos”. Apalagi setiap hari umat Orthodox tak pernah lupa mengucapkan Iman Nikea yang mengatakan bahwa “Aku percaya pada Roh Kudus, Tuhan, Sang Pemberi Hidup”. Bagaimana yang “Tuhan” dan “Sang Pemberi Hidup” itu dapat dianggap umat Orthodox sebagai sesuatu atau suatu kekuatan di dalam kosmos? Bukankah justru ide ini yang ditentang dalam Konsili Ekumenis pada tahun 381 dalam Gereja Orthodox.Selanjutnya “Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik dalam Gereja Orthodox”, suatu salah faham yang amat serius memang. Mistika yang dimaksud dalam Gereja Orthodox bukanlah karena Roh Kudus dianggap sesuatu atau suatu kekuatan dalam kosmos atau alam khalikah, sebab tidak ada ajaran Iman Kristen Orthodox yang benar yang mengajarkan itu. Dan tak pula theologia mistika Orthodox itu berasal dari ajaran tentang “Roh sebagai kekuatan dalam Kosmos” yang betul-betul bersifat pantehistis dan pagan serta bertentangan dengan Iman Kristen Orthodox ini. Theologia Mistika dalam Gereja Orthodox adalah Theologia persekutuan atau panunggalan dengan Allah melalui Kristus di dalam Roh Kudus, yang dialami melalui GerejaNya dalam Sakramen-Sakramen serta pemberitaan Sabda Allah. Jadi tidak ada theologia pantheisme ataupun animisme dalam Gereja Orthodox. Jadi theologia mistika itu tak bersangkut paut dengan penolakan “filioque” namun bersangkut erat dengan perumusan Kristologis tentang manunggalnya dua kodrat dalam satu hypostasis Kristus. Jadi ini theologia yang bersifat Kristosentris. Selanjutnya dikatakan:” :”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah” Dr. Boland dan Dr.Niftrik tidak membedakan akan hubungan Roh Kudus di zaman azali yang abadi di dalam diri Allah, dan hubungan Roh Kudus sesudah ada dunia dengan manusia. “Filioque” disisipkan oleh Gereja Barat bukan untuk menegaskan hubungan atau nisbah “antara manusia dengan Allah” ini namun nisbah antara Roh Kudus dengan Allah dan FirmanNya, sebab itu disisipkan dalam usaha untuk membendung pengaruh Arianisme yang menolak keilahian Kristus, dalam Gereja Barat. Supaya Kristus itu sama ilahiNya dengan Sang Bapa, demikian kira-kira pemikiran orang-orang yang menyisipkanitu itu, maka Ia harus pula menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Itulah asal mulanya “filioque” itu disisipkan secara sepihak oleh Gereja Barat. Seandainya saja para penyisip dari Gereja Barat di zaman purba dan kedua penulis Protestan modern itu memperhatikan anakkalimat berikutnya dalam Pengakuan Iman Nikea “…Roh Kudus…yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah” itu, pastilah tak akan khilaf menuduh bahwa penolakan “filioque” menjadikan seolah-olah Kristus tidak ilahi seperti yang diyakini Arianisme dan seolah-olah menjadi pemahaman Roh Kudus yang tidak Kristosentris. Jadi pembicaraan tentang Roh Kudus 127 itu bukan hanya “menentukan dan mencirikan” hubungan manusia Allah tadi, namun juga menentukan sifat ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang ada antara Allah, FirmanNya dan RohNya. Masalah “filioque” adalah masalah hubungan yang ada di dalam Diri Allah itu, bukan nisbah antara Allah dan manusia, karena untuk menjelaskan hubungan antara Roh Kudus dengan Allah dan FirmanNya/Sang Putra itulah sisipan itu dilakukan. .Salah faham selanjutnya dinyatakan dengan jelas oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik diatas dalam kata-kata:“Pembicaraan tentang Roh Suci menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah manusia dan Allah. Apabila hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari Allah Bapa yang Khalik maka nisbah manusia - Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk-Khalik.” Pernyataan ini menunjukkan anggapan bahwa penolakan sisipan filioque menyebabkan Gereja Orthodox mempercayai bahwa Roh Kudus itu keluar dari Allah (Sang Bapa) liar tanpa ada sangkut pautnya dengan Sang Putra, karena tidak juga keluar dari Sang Putra. Akibatnya Roh Kudus itu tidak menyatakan Sang Putra (Firman Allah) kepada manusia tetapi menyatakan diriNya sendiri.Jika demikian hubungan manusia dengan Allah itu bukan lagi seorang anak ketebusan Allah, namun sebagai makhluk biasa, karena Roh Suci tidak menyatakan Sang Putra yang menjadi penebus yang menyebabkan manusia diangkat menjadi anak Allah, demikian kritik itu berlanjut. Kesalahan kritik dan kekeliruan pendapat ini kiranya tak perlu dibahas lagi, karena sudah jelas posisi Orthodox akan masalah ini. Dikatakan pula oleh Niftrik dan Boland “Lagi pula bahwa bahayanya ialah bahwa Roh Kudus dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang terdapat di alam Kosmos atau Alam Khalik.” Memang jika keluarnya Roh Kudus dari Sang Bapa itu secara liar, dan tanpa ada sangkut-pautnya dengan Sang Putra (Kalimatullah), padahal tak ada ajaran Orthodox yang demikian, maka itu akan menjadi seolah-olah Roh Allah terlepas bebas dari Sang Putra (Kalimatullah), Roh yang berdiri sendiri. Ini akan memunculkan anggapan Roh Allah itu hanya sekedar kekuatan tanpa pribadi, seperti yang diajarkan sekte Saksi Yehuwah, atau beberapa segmen tertentu dalam Gerakan Kharismatik yang mengidentikkan Roh Kudus dengan salah satu “karuniaNya”, bahasa lidah misalnya, yang justru keduanya itu termasuk dalam lingkup Gereja Barat, yang bukan ajaran Iman Orthodox. Karena Roh Kudus itu hanya dikirim keluar dari Bapa untuk menyatakan Yesus Kristus kepada manusia Maka Roh Suci tidak menyatakan diri pribadiNya, sehingga menekankan Roh Suci yang tak bersifat Kristologis akan mengidentikkan Roh Suci dengan semangat-semangat atau ilham-ilham, serta tanda-tanda heran tertentu. Akhirnya bermacam-macam ajaran dan macam kebenaran muncul, yang ditandai dengan munculnya begitu banyak aliran pengajaran yang berbeda satu dengan lainnya. Bukankah justru yang ditakutkan Dr. Boland dan Niftrik itu tak terjadi dalam Gereja Orthodox yang menolak “filioque” karena dimana-manapun ajaran Orthodox yang Kristosentris itu satu dan sama meskipun memiliki macam-macam Yuridiksi atau wilayah Hukum Gerejawi, malah terjadinya dalam Gereja Barat yang memaksakan “filioque” itu?. Selanjutnya Dr. Boland dan Dr. Niftrik menyatakan lagi:”Kehidupan Gereja Orthodox ditentukan oleh pemujaan atau worship tapi kegiatan keluar tidak dapat berkembang”. Memang Gereja Orthodox terkenal dengan penyembahannya karena memang untuk itulah kita dipanggil oleh Allah, untuk menyembah Dia. Penyembahan dalam Gereja Orthodox adalah sarana panunggalan dengan Kristus dalam Roh Kudus, bukan karena akibat percaya pada “Roh sebagai sesuatu atau suatu kekuatan dalam kosmos, atau alam Khalikah” seperti yang dipahami kedua penulis secara amat keliru itu. Sedangkan tuduhan bahwa Gereja Orthodox itu “kegiatan keluar tidak dapat berkembang,” ini hanya pendapat orang yang mengetahui sejarah Gereja Orthodox lebih mendalam saja.. Jadi dalam pandangan Iman Kristen Orthodox penambahan “filioque” itu sangat serius sekali karena mengubah makna ke-Esa-an Allah, sifat ke-Esa-an Allah, hubungan Allah dengan Firman dan RohNya secara azali, juga makna keselamatan serta panunggalan manusia dengan Allah itu. Filioque telah mengubah ajaran Injil menjadi ajaran filsafat Yunani, dan menjadikan ajaran Injil menjadi sesuatu yang lain daripada apa yang diajarkan Kitab Suci 128 5.Kasus Ayat-Ayat Yang Menyatakan Yesus Lebih Rendah dari Allah Dari pembahasan kita diatas telah kita buktikan bahwa sebagai Firman Allah yang berada satu di dalam diri Allah yang Esa dan memiliki dzat-hakekat ke-ilahi-an yang satu dan yang sama di dalam diri Allah yang satu itu, maka dalam hakekat keilahianNya yang kekal Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah” sebagaimana yang dikatakan :”…Yesus Kristus, yang walaupun DALAM RUPA ALLAH,tidak menganggap ke-SETARA-an DENGAN ALLAH itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan MENGAMBIL RUPA SEORANG HAMBA…” ( Filipi 2:5-7). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah”, yaitu dalam keberadaanNya sebagai “rupa Allah” atau “Gambar Allah”, yaitu Firman Allah yang kekal. Namun dalam keberadaan “mengosongkan diriNya” Ia telah “mengambil rupa seorang Hamba” berarti Ia adalah Hamba Allah. Sebagai “Hamba Allah” tentunya Ia tidak setara dengan Allah, lebih rendah dari Allah, dan adalah makhluk ciptaan Allah.Karena itulah dalam Kitab Suci disamping terdapat ayat-ayat yang menunjukkan ke-setara-an Yesus Kristus dengan Allah, dan berada satu di dalam diri Allah itu, terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Ia sama sekali berbeda dari Allah, lebih rendah dari Allah dan adalah makhluk Allah. Para penulis Muslim biasanya menggunakan ayat-ayat jenis kedua ini untuk membuktikan bahwa Yesus Kristus hanya sekedar Rasul dan manusia biasa saja, dalam polemiknya menentang keyakinan Kristen akan ke-ilahi-an Yesus Kristus itu.. Sedangkan kaum “Saksi Yehuwah” juga menggunakan ayat-ayat yang sama untuk membuktikan bahwa Yersus Kristus meskipun telah ada sebelum dunia dijadikan namun Ia hanya sekedar makhluk pertama yang diciptakan Allah untuk membantu Allah Yehuwah dalam menciptakan makhluk-makhluk yang lain. Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut: “…Engkau (Bapa) satu-satunya Allah yang benar, dan…Yesus Kristus yang telah Engkau utus….Oleh sebab itu ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Ku-miliki di hadiratMu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:3,5) Baik pengikut Saksi Yehuwah maupun polemikus Islam, sering mengutip Yohanes 17:3 untuk membuktikan bahwa Yesus itu tak lebih dari seorang utsuan (Rasul) dari Allah yang Esa. Bagi pengikut Saksi Yehuwah Ia hanyalah penjelmaan Ciptaan Pertama yang sudah ada sebelum dunia dijadikan, bagi kaum Muslimin, ini bukti bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diutus Allah, tak lebih dari itu. Tanpa menyangkal bahwa Yesuws memang Utusan Allah dan bahkan “Rasul ..yang kita akui” ( Ibrani 3:1), kita harus melihat ayat ini dengan kaitannya dengan Yohanes 17:5 sebagai konteksnya. Dalam Yohanes 17:5, Yesus mengatakan bahwa Ia telah memiliki kemuliaan di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan. Pengakuan Yesus dalam doanya itu telah menggugurkan tafsiran bahwa Yesus hanya sekedar manusia biasa tak lebih dari itu. Sebab manusia biasa tak mungkin sudah ada sebelum dunia dijadikan. Namun itu belum menjawab sanggahan Saksi Yehuwah, sebab mereka juga percaya bahwa Yesus memang sudah ada sebelum dunia dijadikan, sebagai makhluk pertama yang membantu Allah dalam menciptakan. Faham ini tersanggah oleh Yesaya 44:24 yang mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tanpa pendamping ketika menciptakan dunia. Juga faham ini tersanggah oleh ajaran “Tauhid Rububiyah” yaitu bahwa Allah sendirian saja dalam memiliki kuasa dan menciptakan dunia. Kalau dewmikian dimana Yesus sebelum dunia dijadikan itu dalam “hadirat” Allah itu? Yohanes 129 8:42, menegaskan “….Aku KELUAR….dari Allah…” Yesus menyatakan diri “keluar dari Allah”, berarti sebelumnya Ia berada dalam diri Allah. Tentu saja keberadaanNya di dalam Diri Allah (“hadirat”) Allah, itu bukan wujud jasadNya yang keluar dari rahim Maryam itu, namun dalam keberadaan “ruh/ghoib” sebelum menjadi manusia. Jika Ia nberada di dalam diri Allah, berarti Ia itu satu dalam dzat-hakekat Allah. Sebagai apa Yesus dalam keberadaan non-manusiawi itu berada dalam diri Allah? Sebagai hypostasis yang melaluiNya Allah menciptakan dunia ini ( Ibrani 1:2-3). Padahal Allah menciptakan dunia ini melalui “Firman” ( Yohanes 1:1-3, Kejadian 1, Mazmur 33:6), berarti Ia berada dalam diri Allah sebagai “Firman Allah” yang melekat dan berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Dalam arti ini Firman memang menjadi “asal-usul dari segenap ciptaan Allah” atau sebagai “awal-mula dari ciptaan Allah” atau sebagai “permulaan (mula-asalnya) dari ciptaan Allah” m( Wahyu 3:12). Jadi Yesus bukan “permualan dari ciptaan Allah” sebagai “ciptaan Allah yang pertama sekali” seperti yang ditafsirkan kaum Saksi Yehuwah,, namun sebagai “permulaan asal dari segenap ciptaan Allah”, sumber asalnya darimana ciptaan Allah itu dijadikan oleh Allah. Dengan demikian ke-Esa-an Allah tak terlanggar, seperti yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwah, dan ke-ilahi-an Yesus dan kesatuanNya dalam dzat-hakekat Allah sebagai “Kalimatullah” tidak disangkal, seperti yang dilakukan baik oleh Islam maupun oleh Saksi-Saksi Yehuwah. Dan karena “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:124), maka Ia telah hadir ke dunia, dan turun dari sorga (Yohanes 6:38), Dan turunNya dari sorga serta menjelma menjadi manusia ini adalah kehendak Allah, berarti Yesus memang diutus Allah untuk turun dari sorga ke bumi sebagai “Firman yang menjadi manusia”. Jadi memang Yesus adalah “Utusan Allah” atau “Firman yang diutus ke bumi oleh Allah”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara ke-ilahi-an Yesus sebagai Firman yang menjelma, dengan keberadaanNya sebagai “utusan” itu. Makna utusan disini bukan hanya sekedar Rasul yang diangkat Allah untuk menyebarkan firman Allah saja, namun Ia adalah memang Firman itu yuang diutus turun ke bumi, tanpa meninggalkan kesatuanNya dengan Allah. “Bapa-Ku , yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari siapapun (berarti termasuk Yesus Kristus sendiri)….Aku dan Bapa adalah satu…..Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu dengan Allah” ( Yohanes 10:30-31) “…Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28) Kedua ayat diatas menegaskan bahwa “Bapa” (“Allah”), lebih besar dari Yesus. Dengan demikian Yesus tidak sama dengan Allah, maka Yesus adalah sekedar makhluk saja: entahkah itu makhluk pertama yang membantu Allah mencipta dunia seperti ajaran Saksi Yehuwah, ataukah hanya sekedar manusia biasa yang diangkat menjadi rasul seperti yang ditekankan oleh Islam. Pernyataan Yesus ini tidak boleh dikutip secara terpisah dari konteksnya. Dalam Yohanes 10:29 ketika Yesus menyatakan bahwa “Bapa lebih besar dari siapapun” termasuk diriNya itu,: ditegaskan lagi bahwa “Aku dan Bapa adalah satu”, yang reaksi orang Yahudi langsung jelas mengerti bahwa Yesus “menyamakan diri dengan Allah”. Jikalau dalam konteksnya Yesus jelas dimengerti sebagai menyamakan diri dengan Allah, karena pernytaaNya akan satuNya dengan Allah itu, mengapa Ia mengatakan bahwa Bapa lebih besar dari diriNya? Jawabanya ada dua :1) dari titik pandang kekal, dimana hypostasis Bapa memang menjadi sumber dari asal FirmanNya sendiri. Artinya “Firman Allah” itu dikeluarkan/diperanakkan dari Allah, dan Firman itu ada karena Allah itu ada. Dalam arti inilah Allah dapat dikatakan sebagai Kepala Kristus, karena Allah adalah sumber dan asal-usul dari 130 keberadaan FirmanNya sendiri: “…Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” ( I Korintus 11:3). Sebagai hypostasis yang daripadaNya Firman itu berasal sejak kekal abadi, dengan demikian Allah adalah Kepala dari Firman ini, maka dalam makna ini saja dapat dikatakan Bapa lebih besar dari Anak. Namun dalam dzat-hakekat keilahian, tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil antara Allah dan FirmanNya, antara Bapa dan Anak..Sebab Firman Allah berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu dan yang sama, - serta tak ada duanya -, yang berada di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka Bapa tidak lebih Allah dari-pada Firman. “Kepenuhan Allah” yang ada pada Bapa itu sepenuhnya bersemayam dalam Anak (Kolose 1:19- 2:9), karena Anak berada satu dalam diri Bapa. Jadi tidak ada “Allah kedua”, tidak pula ada “Allah Yehuwah” dan “allah” Ciptaan Pertama, atau “seorang allah” sebagai Ciptaan yang dijadikan lebih dahulu, seperti ajaran saksi Yehuwah. Ajaran Saksi Yehuwah ini adalah ajaran berhala, dan politheisme (musyrik) pada dasarnya. 2) dari titik pandang Inkarnasi (“Firman itu telah menjadi manusia”’). Sebagai yang telah mengambil “Rupa Hamba”, Yesus jelas lebih rendah dari Allah, jadi Allah memang lebih besar dari Yesus, dari titik pandang karya Inkarnasi ini. Dengan demikian dalam arti ini Allah memang AllahNya Yesus:“Kata Yesus kepadanya:’…..Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu “ ( Yohanes 20:17, Wahyu 3:12). Dan dalam arti sebagai Hamba Allah ini Ia dapat mengatakan :”“Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja” ( Markus `13: 32). Meskipun ini tak berarti bahwa dalam ke-ilahi-anNya sebagai Firman Allah yang kekal Ia tak tahu kapan datangnya kiamat. Sebab jikalau Ia mengetahui tanda-tanda akan datangtNya kiamat, dan tanda-tanda akan kedatanganNya yang kedua kali, sertra apa yang akan terjadi menjelang kliamat dan kedatanganNya yang begitu rinci dan mendalam itu, apakah sulitnya Ia untuk mengetahui kapan datangnya Hari itu ( Matius 24). Perkataan diatas hanya diucapkan untuk memuliakan Sang Bapa, karena untuk tujuan itu Ia datang ke dalam dunia. Dan karena Inkarnasi Kristus akan bersifat kekal, maka dari siri kodrat kemanusianNya ini maka di Hari Kiamat nanti:”…..Anak akan menaklukkan diri-Nya dibawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu dibawahNya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” ( I Kor. 15:29). Dan semua ayat manapun dalam seluruh Alkitab yang menunjukkan seolah-olah Yesus itu berbeda dan lebih rendah dari Allah, harus dilihat dari dua titik pandang ini. Entahkah dalam titik pandang kekal, sebagai “hypostasis Firman yang diperanakkan oleh Bapa” dimana Allah itu menjadi sumber dan asal-usulNya. Ataukah dari tiik pandang Inkarnasi, dimana sebagai yang teklah mengambil “Rupa Hamba” Ia memang makhluk Allah dan tidak sama serta lebih rendah dari Allah. Namun dalam keberadaanNya sebagai “Firman Allah”: ( Yohanes 1:1), “Gambar Allah” ( Kolose 1:15, Ibrani 1:3). “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6), “Anak Allah yang tunggal” ( Yohanes 1:18), Ia itu “setara dengan Allah”, artimnya melekat satu di dalam diri Allah, yang memiliki dzat0hakekat keilahian yang identik satui dan sama di dalam diri Allah itu. Jadi semua mukjizat-mukjizat Yesus itu bukan enyebab” Ia dianggap dan diper-ilah sebagai Allah oleh orang Kristen, namun justru sebaliknya, mukjizat-mukjizat itu bukti ke-ilahianNya. Para polemikus Mulsim sering mempermaslahkan bahwa jika Adam lahir tanpa BapakIbu padahal Yesus hanya lahir tanpa Ibu saja mengapa Adam tidak dianggap Tuhan? Jika Musa bebuat mukjizat dan Yesus juga berbuat mukjizat mengapa Musa tidak dianggap Tuhan? Jika Elia naik ke siorga dan Yesus juga naik ke siorga mengapa Elia tidak dianggap Tuhan? Dan pertanyaan lain yang senada dengan itu,. Jawabannya: 1) Jika masalah mukijzat yang dijadikan acuan: tak satupun dari Nabi-Nabi yang disebutkan tadi dapat melakukan mukjizat seperti Yesus: Adam lahir tanpa bapak-ibu, namun Ia tak berbuat mukjizat,. Musa dan Elia berbuat mukjizat, namun mereka tidak bangkit dari anatara orang mati, dan tidak dilahirkan tanpa bapak-ibu, masing-masing ini hanya melakukan mukjizat-mukjizat sebagain saja, sedangkan tak satupun 131 yang dapat mengalahkan mukjizat Yesus. Lahirnya secara mukjizat, pelayanannya seluruhnya bersifat mukjizat, dalam kematianNya Ia bangkit secara mukjizat, dan naik ke sorgaNya diberi segala kuasa di sorga dan diatas bumi . Tak seorang Nabipun yang memiliki syarat-syata mukjizat seperti ini. Ini disebabkan karena para Nabi itu memang bukan Tuhan Karena umat Kristen mengakui Yesus sebagai Tuhan bukan disebabkan oleh “mukjizat-mukjizat “ itu. Mukjizatmukjizat Yesus adalah bukti keberadaan kekalNya sebagai “Firman Allah” jadi bukan – “penyebab” Ia diangkat menjadi Tuhan..2). Dari pengakuan-pengakuan Yesus sendiri. Ia megakui sudah ada sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5,24, 8: 56-58), Ia menyatakan sudah berada di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5), Ia menyatakan “keluar dari Allah” ( Yohanes 8:42), Ia menyatakan diri telah turun dari sorga ( Yohanes 6:38), Ia menyatakan diri bukan berasal dari dunia ini ( Yohanes 17: 15) dan masih banyak lagi. Tak seorang Nabipun yang mengaku demikian ini. Dan pengakuan-pengakuan tadi dibuktikan oleh mukjizat-mukjizat tadi, yang berpuncak pada mukjizat kebangkitanNya dari antara orang mati. Tak ada seorangpun bangkit dari maut dan hidup terus, apalagi bangkit dari kekuatan kuasaNya sendiri seperti yang dilakukan Yesus (Yohanes 10:17-18).. Peristiwa-peristiwa orang yang dihidupkan dari kematian baik oleh Nabi Elia, Elisa, maupun oleh Yesus Kristus itu hanya bersifat sementara, dan akhirnya orang itu mati lagi, jadi sama sekali tak dapat disamakan dengan kebangkitan Yesus Kristus. Juga kasus Elia (II Raja 1:9-12) dan Henokh (Kejadian 5: 24, Ibrani 11: 5) yang diangkat ke sorga tak dapat disamakan dengan kasus kenaikan Kristus ke sorga. Karena mereka tidak bangkit dari kematian, namun hanya sekedar diangkat ke sorga, untuk nantinya turun lagi ke bumi agar mengalami kematian di tangan Anti-Kristus ( Maleakhi 4:5-6, Wahyu 11: 3-12), lalu dibangkitkan oleh kuasa Allah, naik ke sorga. Jadi prosesnya sama dengan manusia lain yang akan dibangkitkan diakhir jaman nanti, namun berbeda dengan kenaikan Yesus ke sorga yang diangkat dalam kemuliaan, diberikan segala kuasa baik di sorga maupun di bumi, serta yang duduk di sebelah kanan Allah. Semua “kelemahan-kelemahan” Yesus: sebagai bayi kecil yang lemah, merasa lapar, merasa haus, bersedih, takut, berteriak “Eli,Eli Lama Sabakhtani” ketuika disalibkan, mengalami kematian, dan segenap ciri-ciri kemanusiaan yang lain, adalah bukti bahwa Yesus benar-benar manusia sejati. Jika Ia tidak memiliki itu semua Ia justrui bukan manusia, dan ini bertentangan dengan ajaran Alkitab bahwa Firman itu “TELAH MENJADI MANUSIA” (Yohanes), dan bahwa :”…DALAM SEGALA HAL IA HARUS DISAMAKAN DENGAN SAUDARASAUDARANYA (:Manusia)…” ( Ibrani 2:17). Data-data “kelemahan-kelemahan” Yesus secara manusia itu adalah bukti kebenaran Alkitab yang menytakan bahwa dalam segala hal Yesus sama dengan manusia. Dan sering data-data kemanusiaan ini yang digunakan oleh para polemikus Islam untuk menyangkal ke-ilahi-an Yesus. Kita juga akan menyangkal ke-ilahi-an Yesus dari data kemanusiaan itu, karena iman kita mengatakan yang manusia dalam Yesus itu tak berbaur dengan yang ilahi. Yang Ilahi adalah inti pribadi terdalam dari manusia Yesus yang adalah “Firman Allah” ( yang meskipun sedang nuzul sebagai manusia, pada saat yang bersamaan tetap hadir satu di dalam dzat-hakekat Allah), dan itulah yang kita sembah, bukan makhluk manusiaNya. Kita tak menyembah makhluk namun menyembah Allah dalam FirmanNya.. Dalam jubah “daging kemanusiaanNya” itu pandangan iman orang Kristen tidak berhenti hanya disitu saja, namun dapat menembus jauh ke dalam, yaitu melihat Firman yang menjadi inti pribadi Yesus sebagai Firman Allah. KemanusiaanNya adalah jubah ke-ilahi-anNya dalam nuzulNya atau turunNya serta penampakanNya kepada manusia. Kita tidak menyembah jubahNya, namun inti pribadi yang ada di dalam jubah itu, yaitu “Firman Allah”, namun karena jubah itu tak dapat dilepaskan dari Sang Pemakai Jubah, maka penyembahan kita harus melalui dan melewati jubah itu untuk sampai kepada Sang Pemakai Jubah itu, yaitu Firman Allah sendiri, karena Ia berada dalam jubah itu, dan tak dipisah dari Jubah itu, karena Jubah itu berwujud suatu kemanusiaan yang hidup dan berakal-pikiran secara sempurna... Itulah sebabnya mukjizat132 mukjizat Yesus memang tak dapat disamakan dengan mukjizat siapapun dari antara para Nabi, maka jelas tak mungkin seorang Kristen dapat mengakui siapapun diantara para Nabi sebagai Tuhan dikarenakan mukjizat-mukjizat mereka, karena mereka memang bukan Allah. Sedangkan Yesus menyatakan diri sebagai Tuhan ( Yohanes 13:13), karena Ia memang adalah Firman Allah yang adalah “Allah” (Yohanes 1:1) II. Aqidah Tentang Malaikat, Iblis dan Manusia. 1. Allah Sebagai Pencipta Segala Sesuatu. Sumber Ciptaan Sifat Kasih dan Kehendak Allah . Setelah kita bahas diatas mengenai keberadaan Allah yang Esa itu, selanjutnya Pengakuan Iman Nikea menjelaskan bahwa Allah yang Esa itu adalah “Pencipta Langit dan Bumi”, dan dari jenis ciptaan yang diciptakan baik di “Langit” maupun di “Bumi” terdapat dua macam jenis 133 makhluk yaitu “Yang Kelihatan”, dan “Yang Tak Kelihatan”. Untuk itu marilah kita bahas beberapa masalah sekitar terjadinya ciptaan dan alam-semesta ini. Telah kita bahas bahwa di dalam kekekalan azali dalam diri Allah, terdapat suatu gerakan kasih dan kebahagiaan abadi di dalam kedalaman essensi / dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena Allah mengasihi diriNya dalam FirmanNya oleh RohNya, dalam DiriNya sendiri yang tunggal itu. Dengan demikian Allah itu berdiri sendiri, mampu mengasihi, dapat dikasihi, mampu menyatakan kemuliaanNya, dan melihat penyatan kemuliaanNya itu melalui FirmanNya di dalam RohNya dalam dzat-hakekat diriNya yang Esa itu. Sehingga terdapat hubungan kekal dalam Allah itu, karena itu di dalam Allah itu terdapat FirmanNya yang saling-pandang secara kekal dengan Bapa di dalam RohNya. Di dalam kasih yang kekal-azali inilah Allah merencanakan untuk menciptakan makhlukNya dengan manusia sebagai puncaknya. Hal ini terjadi akibat gerak kasih Bapa kepada Putra secara kekal itu. Sifat kasih adalah ingin membagikan kasih tadi kepada seseorang diluar dirinya. Padahal kasih kekal Allah terhadap FirmanNya itu terjadiNya bukan diluar diri Allah, namun dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu sendiri. Itulah sebabnya sejak kekal agar ada sesuatu diluar Allah yang kepadanya kasih itu dapat dicurahkan, ciptaan itu sudah ada dalam rencana Allah dalam bentuk kemungkinan yang belum direalisasikan. Karena dimana ada kasih disitu ada gerak untuk memberikan sesuatu diluar dari diri yang mengasihi itu. Karena dalam kekekalan azali itu tidak ada lain diluar diri Allah, maka Allah merancangkan adanya sesuatu diluar diriNya. Dan sesuatu diluar diriNya yang dirancang secara kekal itulah nantinya akan menjadi ciptaan. Dengan demikian penciptaan manusia itu juga akibat dari “kehendak Allah” yang timbul dari kasihNya itu. Sebagaimana yang dikatakan:” Dalam KASIH Ia telah menentukan kita dari semula…” ( Efesus 1:5) Sehingga tujuan Allah menciptakan manusia, adalah agar manusia ikut serta ambil bagian di dalam kebahagiaan dan kasih yang kekal yang ada dalam Allah ini,supaya manusia dapat juga mengambil bagian di dalam sifat-sifat Allah, yaitu “ …supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapanNya” (Efesus 1:4) sehingga kita menjadi seperti Allah yaitu:”…menjadi anak-anakNya…” ( Efesus 1:5). Karena manusialah yang menjadi sasaran puncak dari diciptakannya alam –semesta ini, maka tujuan diadakannya alamsemesta adalah untuk keperluan manusia tadi Rencana kekal untuk menciptakan itu akhirnya direalisasikan semata-mata oleh kehendak Allah yang bebas meredeka tanpa didorong oleh kebutuhan ataupun keharusan baik dari luar maupun dari dalam diri Allah sendiri. Allah melakukan segala sesuatu dalam mencipta ini hanya berdasarkan “kerelaan kehendakNya” berlandaskan pola rancangan yang sudah ditetapkan. Kitab Suci mengatakan mengenai hal ini demikian:” …Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena KEHENDAKMU semuanya itu ada dan diciptakan"”( Wahyu 4:11). Kehendak Allah dalam mencipta yang kekal yang semata-mata sesuai dengan rencana Allah itulah, yang oleh Kitab Suci disebut sebagai “rencana kerelaanNya” yaitu “rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkanNya” ( Efesus 1:9). Dengan demikian Allah menciptakan dan kemudian menebus ciptaan itu, bukanlah dipaksa oleh suatu keharusan atau kebutuhan, karena Allah tidak memiliki keharusan atau kebutuhan yang memaksaNya, semuanya adalah karena Ia memiliki kerelaan dalam merencanakan. Sehingga berdasarkan dan sesuai dengan apa yang jadi rencana yang dari semua telah ditetapkan itulah Ia mencipta, sebagaimanna yang dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”….Allah, yang dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya” (Efesus 1:11). Dan “keputusan kehendak” ini dilakukan “sesuai dengan rencana kerelaanNya” ( Efesus 1:9). Demikianlah maka rencana kerelaan Allah untuk menciptakan makhluk (-dan kemudian menebusnya-) itu terjadi karena “gerak kasih” kekal yang ada di dalam diri Allah. Dan “gerak kasih” kekal ini mengakibatkan “rencana kerelaan” Allah, dan “rencana kerelaan” itu dilaksanakan segala karya dan kerja Allah menurut “keputusan kehendakNya”. Dengan demikian kehendak Allah itulah yang menyebabkan terjadinya dan 134 adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Karena semuanya terjadi oleh kehendak Allah akibat dari kasihNya tadi, maka jelas alam semesta itu berbeda dari Allah sendiri. Ia tak memiliki kodrat yang se-esensi dengan Allah. Ia tidak kekal dalam realitanya dengan Allah, alam-semesta ada secara kekal dalam “rancangan “ Allah hanya dalam wujud angan-angan, potensi dan kemungkinan dan bukan realita yang memiliki substansi atau kenyataan. Oleh karena itu alamsemesta itu tidak sama kekalnya dengan Allah. Ia baru ada setelah kehendak Allah diputuskan untuk merealisasikan apa yang telah dirancang sebagai kemungkinan dan potensi itu. Jadi alam semesta tidak dijadikan dari bahan kekal yang sudah ada. Namun tanpa bahan serta tiba-tiba dimunculkan Allah setelah “keputusan kehendak “ Allah itu mulai bekerja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci, demikian:”…alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat dilihat” ( Ibrani 11: 3). Terjadinya “apa yang kita lihat” ini yaitu alam-semesta dengan aneka-ragam bentuk dan namanya ini, bukanlah dari bahan kekal yang sudah ada, namun “dari apa yang tidak dapat dilihat.” “Apa yang tidak dapat dilihat” itu adalah rencana kekal dan kehendak Allah yang menjadikan, yang secara kekal berada di dalam diri Allah itu. Berarti alam-semesta itu bukan bagian dari diri Allah, tidak sehakekat dengan Allah, serta tidak memiliki sifat ilahi. Alam-semesta itu tak bersifat kekal, namun baru, dan ini terjadi semata-mata karena kehendak dan kerelaan Allah, bukan karena adanya paksaan kebutuhan maupun keharusan di dalam diri Allah. Inilah yang disebut sebagai “creatio ex-nihilo” (“penciptaan dari ketiadaan”). Dengan demikian alam-semesta itu bukan menjadi sasaran pemujaan, namun sebagai sarana untuk merenungkan kebesaran karya Allah, serta manifestasi dari keluhuran, keagungan dan kemuliaanNya. “Logoi” dari Ciptaan Dengan demikian alam-ciptaan ini bukan hanya sekedar suatu realita materi yang tak memiliki makna rohani sama sekali. Karena Alkitab mengajarkan demikian:’ Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya “ ( Mazmur 19 :1). Dan juga :” Sebab apa yang tidak nampak daripadaNya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan…” ( Roma 1:20), serta :” Kudus, kudus, kuduslah, TUHAN semesta alam,, seluruh bumi bumi penuh kemuliaanNya.” ( Yesaya 6:3) . Menurut ayat-ayat ini alam-semesta hasil ciptaan Allah itu ternyata tidak ditimnggalkan dalam keadaan “alami-murni”, tanpa kaitanNya dengan Penciptanya, setelah awal diciptakannya. Dalam alam-semesta “kemuliaan Allah”, “pekerjaan tanganNya”, “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” diceritakan , diberitakan oleh alam-semesta, karena itu hadir dalam ciptaan itu serta memenuhi alam-semesta tersebut. Kehadiran “kemuliaan Allah”, “pekerjaan tanganNya,” serta “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” yang memenuhi cakrawala, langit dan bumi ini, disebabkan bumi ini tidak ditinggalkan tanpa campur tangan Allah dalam perjalanan sejarahnya. Karena Kristus. sebagai Firman Allah yang menjelma itu mengatakan:” Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” ( Yohanes 5:17). Ini berarti bahwa setelah Allah selesai menciptakan pada awalnya, Ia terus memelihara ciptaanNya itu sampai kini. Sehingga dalam alam-semesta ini terdapat pemeliharan dan penyelenggaraan Ilahi.Sehingga alam-semesta ini dapat maujud terus karena ditopang oleh kuasa Firman Allah, melalui hypostasis dari SabdaNya sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Almasih diatas. Hal ini diteguhkan oleh ayat yang lain, demikian :”…Oleh Dia (Anak Allah, Firman Allah) Allah telah menjadikan alam-semesta. Ia (Anak Allah, SabdaFirman Allah) adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan MENOPANG 135 SEGALA YANG ADA DENGAN FIRMANNYA YANG PENUH KEKUASAAN…” (Ibrani 1:2-3). Dengan demikian tetap lestarinya alam-semesta sesudah ciptaan awalnya, adalah karena ditopang oleh Allah, melalui firman yang penuh kekuasaan dari hypostasis SabdaNya sendiri Oleh karena itulah alam-semesta itu itu tetap tegak berdiri dan ada karena :”…di dalam Dialah (Anak Allah, Firman Allah) telah diciptakan segala sesuatu….Ia (Firman Allah) ada terlebih dahulu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (“ en autoo synesthiken” = tegak bersama dalam Dia)” ( Kolose 1:17). Ayat ini menjelaskan bahwa Firman Allah (Yesus Kristus) itu menjadi penopang dan poros dari berdiri tegaknya alam-semesta ini. Sehingga jika tanpa topangan dari kuasa Allah melalui FirmanNya ini alam-semesta sudah pasti hancur lebur. Padahal kita tahu bahwa cara Allah berkarya melalui FirmanNya di dalam dunia ini adalah melalui “EnergiNya”. Dan sudah kita bahas bahwa Energi Ilahi itulah yang disebut sebagai “kemuliaan Allah”. Untuk lebih jelasnya, baiklah kita ulang kembali hubungan anatara “kemuliaan Allah” dan “Energi Allah ini”. Kita telah berbicara bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan oleh “kemuliaan Bapa” (Roma 6:4). Dan bahwa “kemuliaan Bapa” itu adalah “Energi Allah” sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, dikatakan demikian oleh Alkitab: “…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20). Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja dalam membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan” Kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita. Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :” …Yesus berubah rupa…wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang…” ( Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan pengalaman perubah-rupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau ‘Energi Ilahi. Dari sini jelaslah bahwa “kemuliaan Allah”. “pekerjaan tanganNya”. “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” yang nampak pada ciptaanNya, serta yang memenuhi langit, cakrawala dan bumi itu, tak lain adalah “Energi Ilahi” ini. Dengan demikian dalam alam-semesta ini dihadiri dan dibanjiri oleh “energi ilahi” itu. Energi Ilahi yang hadir dalam alam-semesta inilah yang nanti akan mengubah alam semesta itu menjadi langit baru dan bumi baru ( II Pet. 3:13), setelah alam-semesta itu “ …dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan 136 KEMULIAAN ANAK-ANAK ALLAH” ( Roma 8:21) Karena “energi ilahi” itu hadir dalam alam-semesta, maka alam-semesta it jelas memiliki makna rohani yang hanya manusia yang telah mengalami pembaharuan budi dapat melihat hadirat energi ilahi dalam benda-benda tercipta ini. Masing-,masing benda ciptaan itu dihadiri oleh “energi ilahi” sesuai dengan tujuan masing-masing diciptakan Allah. Kehadiran energi ilahi sesuai dengan tujuan masing-masing dalam alam-ciptaan inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai “logos” (reason: alasan, tujuan) atau “logoi” dari masing-masing ciptaan itu.Itulah sebabnya Iman Orthodox memiliki sikap hormat mendalam terhadap alam-ciptaan, dan menentang segala exploitasi terhadap alam-semesta secara tak bertanggung-jawab. Sebab alam-semesta ini mempunyai tujuan penciptaan yang mulia, yaitu kemuliaan eskhatologis, sebagai akibat karya Sang Kristus di bumi ini. Mereka akan mendapat bagian dalam kemuliaan manusia di akhir zaman nanti. Namun pada saat yang bersamaan Iman Orthodox menolak penyembahan terhadap alam, serta menolak pantehisme, karena yang hadir dalam alam it bukanlah essensi ilahi, namun hanyalah energi ilahi. Berarti hadirat ilahi dalam alamsemesta itu bukan secara esensi, yang berarti hakekat alam-semesta itu tetap berbeda dari hakekat Allah, karena meskipn Allah berada dimana-mana dalam alam-semesta ini, beradanya adalah berada dalam energi. Mengidentikkan alam-semesta sebagai bersifat ilahi secara hakiki, adalah mengkacaukan Pencipta dengan CiptaanNya. Inilah kemusyrikan dan esensi dari penyembahan berhala. Demikianlah orang-orang yang hatinya sudah diterangi akan dapat melihat hadirat Allah dimana-mana dalam alam- semesta ini tanpa jatuh pada menganggap alam-semesta itu sendiri sebagai Allah atau benda yang diper-ilah. . Pola Rencana Ciptaan Allah sebagai Hikmat Allah Karena ciptaan ini terjadi akibat “gerak kasih” kekal dalam diri Allah, yang dimungkinkan terjadi karena adanya interaksi dari hypostasis-hypostasis di dalam diri Allah Yang Esa ini. Dan itu hanya mungkin karena Allah Yang Esa itu adalah memiliki sifat Tritunggal dalam diriNya Yang Esa itu. “Gerak kasih” di dalam Allah inilah yang mengakibatkan “rencana kerelaan” Allah, dan sesuai dengan “rencana kerelaan” Allah itulah dilaksanakan segala karya dan kerja Allah menurut “keputusan kehendakNya”. Dengan demikian kehendak Allah itulah yang menyebabkan terjadinya dan adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Oleh karena itu rancangan kekal Allah itu bersifat kekal, dan terkait erat dengan “Firman Allah”, karena akibat kasihNya kepada “FirmanNya” sendiri itulah menyebabkan adanya “rancangan” atau “pola rencana” bagi segenap ciptaan itu. Dan “sesuai dengan” rencana itulah segenap alam semesta diciptakan. Menurut Ayub 28:25-27, “Ketika Ia (Allah) menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air…membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh” yaitu ketika Allah memutuskan untuk merealisasikan terwujudnya ciptaan dengan unsur-unsurnya yang telah ditetapkan: “kekuatan angin”, “banyaknya air”, “ketetapan bagi hujan” serta “jalan bagi kilat guruh”, “ketika itulah Ia (Allah) MELIHAT HIKMAT “. Maka “Hikmat” yang dilihat Allah itu tak lain adalah “pola rencana” atau “cetak biru” yang sesuai dengannya alam-semesta ini diciptakan. Dan hal ini pula yang dikatakan dalam Amsal 8: 27-30 :” Ketika Ia (Allah) mempersiapkan langit, aku (“hikmat”) di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan awan-awan di atas, dan mata air samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada laut, supaya air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku (“hikmat”) ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenanganNya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya…” Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa ketika Allah merealisasikan terjadinya alam semesta, “hikmat” Allah ada beserta Allah sebagai “anak kesayangan”, sebagai “kesenangan” Allah, serta “senantiasa bermain137 main di hadapan “Allah. Makna ayat-ayat ini harus dimengerti dalam terang Ayub 28: 25-27 diatas, karena keduanya membicarakan hal yang sama, yaitu hubungan Allah dengan hikmatNya dalam penciptaan. Menurut Ayub 28: 27 Allah “melihat Hikmat” waktu menciptakan, artinya “hikmat” itu cetak biru yang sesuai dengannya dunia diciptakan. Itulah sebabnya apapun yang diciptakan Allah itu pasti sesuai dengan apa yang telah terkandung dalam hikmat itu. Sehingga hikmat itu digambarkan sebagai “anak kesayangan” atau “kesenangan “Allah, karena dalam menciptakan Allah terus-menerus “melihat” yaitu merealisasikan secara konsisten ciptaan yang sedang dikerjakanNya itu sesuai dengan pola rancangan atau “hikmat” tadi, seolah-olah “berkonsultasi” dengan hikmatNya sendiri. Dan sebagaimana seorang arsitek selalu melihat pada cetak-biru dari rancangan bangunan yang telah dibuatnya, sehingga cetak-biru itu selalu ada bersama si arsitek itu serta ada di hadapannya, demikianlah hikmat Allah atau “pola rancangan” Allah itu selalu ada serta Allah, dan dihadapanNya “untuk bermain-main” artinya “hikmat” Allah itu tidak ikut berkarya bersama Allah. Ia hanya “bermain-main” saja di hadapan Allah, artinya Ia hadir dalam sukacita Allah, yaitu sukacita dalam mencipta tadi, sebagai “pola” dimana Allah sedang berkarya untuk menciptakan itu. Dengan demikian ayat ini tidak berbicara tentang “Firman” sebagai “ciptaan Allah pertama” (sebab “Firman Allah” dan “Hikmat Allah” itu berbeda) yang membantu Allah dalam menciptakan makhluk yang lain. “Hikmat” itu tidak ikut mencipta, dan tidak ikut berkarya pada saat Allah menciptakan alam-semesta itu. Jadi jelas keliru sekali ajaran “Arius” di zaman purba, dan ajaran “Saksi Yehuwah” dizaman modern yang mengatakan bahwa Firman Allah adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah sebelum ada alam-semesta, dan dengan dibantu makhluk pertama ini Allah menjadikan ciptaan-ciptaan lainnya, berdasarkan Amsal 28 ini. Sebab hikmat Allah itu berbeda dari Firman Allah, dan hikmat Allah dalam Amsal 28:30 ini tidak ikut berkarya dalam penciptaan itu, hikmat hanya hadir dan bermainmain saja. Lagipula Alkitab mengatakan bahwa Allah itu mencipta dunia seorang diri saja, tanpa dibantu oleh makhluk siapapun, sebagaimana yang dikatakan:”…Akulah. TUHAN, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit , yang menghamparkan bumi – SIAPAKAH YANG MENDAMPINGI AKU?…” ( Yesaya 44:24). Jadi yang dimaksud Amsal 8:22-23, itu bukanlah bahwa Firman Allah (Yesus Kristus) itu ciptaan pertama dan dibantu ciptaan pertama ini Allah menciptakan alam-semesta, ajaran demiikian ini bertentangan dengan ke-Esa-an Allah, karena ini tidak sesuai dengan Tauhid Rububiyah. Lagipula untuk alasan apa Allah dalam menciptakan makhluk yang lain perlu bantuan Makhluk pertama ini. Bukankah Ia berkuasa untuk menjadikan semuanya itu hanya dengan sekedar mengucapkan FirmanNya saja.Jika betul “Firman Allah” yang disebut “Anak Allah” itu diciptakan, dengan Firman yang mana lagi Allah menciptakan FirmanNya ini, karena Alkitab mengajar bahwa Allah menciptalan segala sesuatu selalu melalui Firman Nya yang hanya satu. Jika demikian adakah Allah memiliki dua Firman, yang satu yak diciptakan dan yang satunya lagi diciptakan oleh Firman yang tak diciptakan ini? Alangkah kacaunya ajaran semacam ini. .Ajaran Arius dan Saksi Yehuwah adalah ajaran musyrik, yang bertentangan dengan Tauhid. Karena pertama mensifatkan Allah berbagi kuasa dengan makhlukNya untuk menciptakan semesta, yang Yesaya 44:24 diatas mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tak didampingi siapapun ketika mencipta alamsemesta. Kedua sementara mengajarkan bahwa Anak Allah itu hanya makhluk namun mereka tak dapat menghindar sebutan “Allah” ( Yohaneas 1:1) bagi Yesus, meskipun dimengerti sebagai “allah” atau “seorang allah”. Dengan demikian mereka mempercayai adanya dua “allah” (“ilah”): yang satu “Allah” yaitu :Yehuwah, dan yang satu “allah” yaitu Firman Allah, yang dimengerti sebagai “Juru Bicara Allah”, bukan dalam arti Akal-Budi Ilahi, yang sejak kekal berada di dalam diri Allah.Untuk mengerti makna dari Amsal 8:22-23 itu secara benar, sebaiknya kita kutip saja, demikian: 138 ” TUHAN telah menciptakan aku, sebagai permulaan pekerjaanNya, sebagai perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada” Dalam ayat-ayat diatas terdapat kata-kata “permulaan pekerjaanNya” dan “sebagai perbuatanNya yang pertama-tama”. Tanpa melihat konteks pasal dalam mana ayat-ayat ini terletak, kaum Saksi Yesuwah langsung menggabungkan ayat ini dengan Wahyu 3:14, dimana disana Yesus Kristus disebut sebagai :”permulaan dari ciptaan Allah” yang secara tepat maknanya diterjemahkan oleh Alkitab Dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari sebagai “sumber segala sesuatu yang diciptakan Allah”, karena Yesus Kristus adalah Firman Allah yang “olehNya Allah menjadikan alam-semesta” (Yohanes 1:1-3, Ibrani 1:2-3). Dari hasil penggabungan dari kedua ayat yang saling tidak terkait inilah maka kaum Saksi Yehuwah menyimpulkan bahwa Yesus Kristus adalah “permulaan pekerjaanNya” dalam arti ”perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala”, “dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada”, yaitu makhluk pertama sebelum adanya alam-semesta. Untuk menentukan benar atau kelirunya tafsiran kaum Saksi Yehuwan mengenai ayat-ayat diatas itu marilah kita melihat seluruh konteks dari Amsal 8, agar dapat memastikan apakah memang itu Yesus Kristus yang dimaksud oleh pasal dimaksud:. Amsal 8:1 mengatakan :”Bukankah hikmat berseru-seru, dan kepandaian memperdengarkan suaranya” Pembukaan Amsal 8 ini menjelaskan bahwa “hikmat” itu yang berseru-seru, dan “kepandaian” itu yang memperdengarkan suaranya. Berarti “hikmat “ disamakan dengan “kepandaian”. Jadi pokok pembahasan dari Amsal 8 ini bukan mengenai Yesus Kristus, namun mengenai “personikasi” hikmat atau kepandaian. Di dalam Amsal 8:12, hikmat yang disebut juga kepandaian itu dipersonifikasikan sebagai berkata demikian:” Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan” Jika hikmat yang dimaksud disini adalah Yesus Kristus, lalu siapakah “KECERDASAN” yang bersama-sama dengannya itu Hikmat tersebut tinggal?. Dan siapa pula “Pengetahuan” dan “Kecerdasan” yang di dapat oleh hikmat yang tinggal bersama-sama dengan “Kebijaksanaan” itu? Selanjutnya Amsal 9:1 mengatakan “ Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya”. Apakah rumah dari hikmat yang ditegakkan itu? Dimana pula tempatnya? Kapan pula itu dilakukan? Lalu apa maknanya ketujuh tiang dari rumah hikmat itu? Semua pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum menentukan bahwa yang dimaksud dengan hikmat dalam Amsal 8 ini adalah Yesus Kristus. Dan jika Hikat disini yang dimaksud lamngsung Yesus Kristus, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas memang tidak ada. Karena memang ini tidak berbicara tentang Yesus Kristus. Lalu apa yang dibicarakan disini? Marilah kita lihat lebih dekat lagi. Jika kita lihat apa adanya mengenai dikaitkannya hikmat itu dengan kepandaian, kecerdasan, pengetahuan dan kebijaksanaan, jelaslah ini tak menunjuk kepada pribadi makhluk siapapun, apalagi menunjuk Yesus Kristus. Sebab dalam seluruh pasal dari Amsal 8 ini sama sekali tidak yang mengindikasikan ataupun yang merujuk ke arah Yesus Kristus. Ini hanya hanya menunjuk oerangkat-perangkat akal-budi batiniah seseorang, sebaba hikmat itu disebut kepandaian, yang keduanya itu adalah fungsi dari akal. Dan hikmat yang disebut kepandaian itu tinggal bersamasama dengan kkecerdasan inipun merupakan fungsi dari akal juga. Yang didapat oleh hikmat atau kepandaian yang tinggal bersama dengan kecerdasan itu adalah pengetahuan dan kebijaksanaan, inipun adalah fungsi dan kemampuan dan pikiran manusia. Jadi jelaslah yang dibicarakan oleh Amsal 8 ini bukanlah mengenai makhluk siaipapun namun mengenai fungsi dan kemampuan akal-budi dan pikiran dengan segala fungsi dan perangkatnya: hikmat, kepandaian, kecerdasan, pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam gambaranb puitis yang dipersonifikasikan hikmat fungsi 139 dari hikmat itu dijelaskan. Namun hikmat sipakah yang dimaksud dalam personifikasi ini? Dari pernyataan Amsal 8:23 kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud disini adalah “Hikmat Allah” sendiri, karena Ia dibentuk Allah “ sebelum bumi ada”, berarti sebelum ada manusia dan makhluk lain. Yang memiliki hikmat, kepandaian, kecerdasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan sebelum adanya makhluk itu jelas hanya Allah saja. Berarti hikmat yang dipersonifikasikan disini adalah hikmat ilahi sebagai fungsi perangkat pikir yang terpantul dari akal-budi Allah sendiri. Karena “Hikmat Allah” adalah “Pola Rencana” Allah, atau “Cetak-Biru” bagi terjadinya alamsemesta, maka jelas sebelum alam semesta ini ada “Cetak Biru” atau “Pola Rancangan” yaitu “Hikmat” itu harus diadakan atau menggunakan bahasa Amasal 8 ini “diciptakan” terlebih dahulu, sebagaimana yang dikatakan :”TUHAN telah menciptakan aku (“Hikmat”) sebagai permulaan pekerjaanNya” (Amsal 8:22), dan yang dimaksud pekerjaanNya disini adalah pekerjaan penciptaan sebagaimana yang diterangkan dalam Amsal 8: 24-31. Hikmat adalah “permulaan pekerjaan “Allah, sebab sebelum pekerjaan penciptaan dilakukan maka Pola Rancangan itu yang menjadi permulaan yang harus dikerjakan Allah terlebih dahulu, yaitu “sebagai perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala”. Karena kita tidak tahu kapan waktunya dunia ini diciptakan, maka jelaslah pembentukan Pola Rancangan Ciptaan atau “Hikmat “ itupun jauh lebih tak diketahui, sebagaimana yang dikatakan :” Sudah pada zaman purbakala aku (“Hikmat”) dibentuk” ( Amasal 8:23) . Karena “Pola Rancang” suatu hal yang akan dibentuk itu harus mendahului dibentuknya hal yang dibentuk itu, dalam hal ini adalah ciptaan , maka dikatakan:”….pada mula pertama, sebelum bumi ada.Sebelum air samudera raya ada, aku (“Hikmat”) telah lahir ( yaitu:”lahir” dalam akal-budi dan angan-angan ilahi yang berwujud rencana dan pola rancangan itu)….” ( Amsal 8:23b- 24a).Demikianlah jelas bahwa Hikmat itu bukan Logos atau Yesus Kristus itu sendiri, namun pola rancangan Allah yang nanti akan direalisasikan melalui “ Logos” atau Firman Allah sendiri. Karena semua ciptaan itu terjadi berlandaskan Pola Rancangan yang sudah terlebih dahulu ada, maka itulah sebabnya Mazmur 104 24 “ Betapa banyak perbuatanMu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan (“wisdom,hokmah =hikmat”: sekaliannya Kaujadikan sesuai dengan Hikmat/Pola Rancangan), bumi penuh dengan ciptaanMu.” Cara Allah Menciptakan Alam-Semesta Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang Esa menciptakan segala sesuatu melalui Firman dan di dalam RohNya. Dengan demikian alam-semesta ini tak akan ada jika Allah tidak menjadikan. Segala sesuatu ini ada karena diadakan atau diciptakan oleh Allah. Dan ciptaan ini dibagi dalam dua bagian yaitu; “Segala sesuatu yang kelihatan” yaitu ciptaan yang bersifat jasmani serta alam-wadhag: bumi dan segala planet, serta dunia non organik maupun organik termasuk pohon-pohonan, binatang dan manusia; dan “yang tak kelihatan” yaitu dunia roh termasuk para malaikat dan roh-roh jahat. Pengakuan Iman ini tidak memberikan rincian bagaimana keberadaan dunia roh itu, karena ini hanya berupa ringkasan saja yang tujuannya untuk memfokuskan pada Kristus. 2. Alam Malaikat Karena makhluk roh (Malaikat dan Iblis) diciptakan sama di dalam sifat. Jadi dalam membicarakan Iblis atau malaikat, kita melihat bahwa sifat mereka sama kecuali bahwa malaikat masih hidup dalam terang, Iblis telah hidup dalam kegelapan. Oleh karena itu, kalau 140 membicarakan sifat-sifat malaikat, kadang-kadangayatnya diambil bersamaan dengan ayat-ayat yang membicarakan Iblis. Malaikat adalah makhluk yang tak kelihatan. Karena mereka itu makhluk, berarti mereka bukan dewa, bukan pula anak Allah, artinya keturunan Allah. Mereka adalah hamba-hamba Allah, seperti makhluk yang lain (Wahyu 19:10). Oleh karena itu mereka tidak boleh disembah. (Wahyu 19:20; Kolose 2:18). Mereka ada di sorga. (Kolose 1:20-21). Tentang penciptaannya, Alkitab tak begitu jelas memberikan catatan, namun dalam Ayub menyebutkan tentang anak-anak Allah yang disebut juga bintang-bintang bersorak-sorak pada waktu Allah menciptakan dunia. (Ayub 38:7). Anak-anak Allah yangdisebut bintang-bintang ini adalah para malaikat. Jadi menurut Ayub 38:7, malaikat sudah ada pada waktu Allah menciptakan dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa malaikat diciptakan sebelum adanya dunia ini. Malaikat itu diciptakan dari cahaya kemuliaan Allah sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa malaikat itu adalah makhluk roh yang bercahaya (Ibrani 1:4; II Korintus 11:14). Jadi wujud sebenarnya malaikat itu tidak bisa dimengerti sebagai makhluk roh atau makhluk cahaya. Di dalam Alkitab ada penampakan-penampakan malaikat saja tetapi bukan wujud yang sebenarnya. Umpamanya menampakkan diri bersayap enam (Yesaya 6:2), Bersayap empat ( Yehezkiel 1:6), menampakan diri sebagai orangmuda (Markus 16:5), menampakkan diri dengan baju putih (Kisah Rasul 1:10) dan bentuk yangmenakutkan (Wahyu 10:1-2) dan lain-lain. Itu semua bukan bentuk yang asli, itu hanya penampakannya. Kita harus tahu wujud malaikat itu nanti, kalau sudah akhir zaman. Karena malaikat itu roh, maka malaikat tidak berbadan jasmani. Mereka bukan laki-laki bukan pula perempuan. Kita tidak tahu bagaimana keadaan roh itu(Lukas 20:34-36). Karena mereka itu bukan laki-laki dan bukan perempuan berarti mereka itu tidak beranak-pinak, tidak kawin-mengawin. Oleh karena itu pada waktu Allah menciptakan malaikat, jumlahnya sudah tetap, tidak dapat dihitung jumlahnya ( Daniel 7:10). Jadi malaikat itu tidak kurang dan tidak tambah. Sejak diciptakan sudah itu keadaan mereka. Dalam keadaan yang terjatuh, manusia memang lebih rendah dari malaikat, tetapi sebenarnya manusia itu keberadaannya lebih tinggi dari malaikat (Ibrani 2:6-7). Tujuan malaikat diciptakan adalah untuk melayani Allah dan untuk melayani manusia yang diselamatkan (Wahyu 19:10; Ibrani 1:4). Karena malaikat itu tidak mempunyai tubuh jasmani dan kerjanya hanya untuk memandang Allah (Matius 18:10, artinya merdoa kepada Allah dan bersekutu denganNya), malaikat itu mempunyai kecerdasan (hikmat) yang melebihi manusia (Yehezkiel 28:3). Meskipun malaikat itu mempunyai pengetahuan yang melebihi manusia, namun mereka bukan Mahatahu. Buktinya mereka tidah tahu mengenai akhir zaman (Matius 24:36). Malaikat itu sangat kuat melebihi manusia (II Petrus 2:11) tetapi bukan Mahakuasa. Malaikat tak dapat mejalankan kuasanya tanpa izin Allah (Ayub 1:12; 2:6). Malaikat dapat hadir dimana-mana dalam waktu yang sangat cepat, tetapi bukan Mahahadir seperti Allah. (Ayub 2:1-2). Malaikat itu digolong-golongkan dalam beberapa jenis golongan, seperti dalam Kejadian 3:24 (Kerubim), Serafim (Yehezkiel 10:1), Yesaya 6:2; Efesus 1:21;Kolose 1:16; Roma 8:38; Efesus 3:10; I Tesalonika 4:16; Yudas 9; I Petrus 3:22. Ternyata kalau dibaca ayat ayat diatas ada 9 Jenis malaikat. Nama nama malaikat yang diketahui dalam Alkitab ialah : Gabriel (Daniel 8:16; 9:21; Lukas 1:19), Mikael (Daniel 10:13; Yudas 9; Wahyu 12:7-8). Pekerjaan Gabriel adalah menyampaikan kehendak Allah. Pekerjaan Mikael adalah membela umat Allah untuk melawan Iblis (Daniel 10:13). Meskipun dalam Alkitab tidak disebut nama-nama lain tentang malaikat kecuali nama dua ini, namun di dalam Tradisi Suci (KitabAnasginoskomena 10 Kitab dari Septuaginta yang tak ada dalam kanon Ibrani), kita mengenal malaikat yang bernama Uriel (Tobid 3:17; 12:15), Apokripa II Ezra 4:36. Kita melihat malaikat Yermiel, Solatiel, Malaikat Palatiel, ada 141 yang disebut Yahudiel, Barakhel, itu nama-nama yang diajarkan oleh tradisi mengenai malaikat tersebut, tetapi itu tidak terlalu penting hanya untuk pengetahuan saja. Karena malaikat ini diciptakan untuk melayani Allah, yang melayani bagi pemeliharaan dunia ini diberi tugas masing-masingmasing. Umpamanya (Wahyu 16:5), malaikat yang menguasai api (Wahyu 14:18). Daniel 10:12 ada malaikat yang menjaga sejarah bangsa-bangsa. Maat 18:10 ada malaikat pelindung anak-anak. Kisah Rasul 12:15 ada maaikat Petrus(Malaikat pelindung manusia biasa). Lukas 16:12 ada malaikat yang mengantar jiwa waktu kematiannya. Lukas 15:10, malaikat itu bersukaria atas orangyang bertobat. Inilah beberapa hal yang diterangkan dalam Alkitab mengenai pekerjaan malaikat itu. Jadi karena malaikat itu ditugaskan untuk melayani orang percaya, jadi kalau ada orang yang bertobat tentu saja malaikat akan bersuka ria. Walaupun Malaikat itu tidak termasuk bangsa manusia , namun mereka sama-sama menyembah Yesus (Efesus 1:20-21; I Petrus 3:22). Dengan demikian malaikat itu menjadi sahabat orang percaya, yaitu menjadi anggota Gereja (Efesus 1:10). Hal ini menunjukkan bahwa dunia yang diatas yaitu dunia para malaikat dan dunia yang ada di bawah yaitu dunia manusia dalam Gereja itu sudah dipersatukan menjadi satu. Oleh karena itu dalam Ibrani 12:22-23, kita melihat bahwa Gereja yaitu orang percaya yang datang dalam Gereja itu, datang kedalam kumpulan beribu-ribu para malaikat yang menunjukkan bahwa malaikatpun adalah anggota Gereja yang mendoakan orangpercaya dan juga melindunginya. Dengan demikian malaikat dapat menolong manusia, terutama orang percaya. Umpamanya Kisah Rasul 5:17-21 malaikat menolong para rasul yang lain. I Raja-raja 19:1-7, malaikat memberi Elia makan. Matius 2:13-15, malaikat menampakkan diri kepada Yusuf untuk mengingatkan Yusuf untuk pergi ke Mesir. Tetapi meskipun dikatakan bahwa malaikat itu adalah anggota Gereja, karena malaikat itu tidak ernah jatuh dalam dosa, dan menjadi anggota Gereja bukan melalui karya penebusantetapi melalui ketaatan dan pengakuan mereka akan Ketuhanan atau Kepenguasaan Yesus yang duduk disebelah kanan Allah (Efesus 1:20-21; I Petrus 3:22), maka malaikat itu tidakmengerti arti penebusan. Mereka ingin tahu tetapi mereka tidak bisa mengerti karena mereka tidak mengalami dosa. Jadi mereka tidakmengalami penebusan itu. (I Petrus 1:10-12). Dengan demikian Gereja lah yang memberitahu kepada mereka tentang hikmah Allah di dalam penebuan itu (Efesus 3:10). Pada akhir zaman nanti, kalau manusia telah mengalami realita penebusan yang sempurna, maka manusia itu ternyata lebih tinggi daripada malaikat. Nanti manusia itu sendirilah yang akan mengadili malaikat (I Korintus 6:3). Tugas malaikat pada akhir zaman nanti, kalau Tuhan Yesus mau datang yaitu sebelum kedatangan Yesus , malaikat itu akan meniiup Nafiri (sangkakala) dan mnegumpulkan orang-orangorang milik Kristus dari segala penjuru dunia (Matius 24:31; I Tesalonika 4:16). Karena kalau Kristus datang, malaikat itu akan datangmengiring Yesus turun ke dunia. Kristus melaksanakan pengadilanNya (II Tesalonika 1:7; Yudas 14). Itulah hal yang mengenai malaikat, yang ditekankan ialah bahwa kita yang hidup di dunia ini tidak sendirian , Allah selalu memberikan malaikat untuk menjaga dan melindungi orang-orang yang percaya. 3. Alam Iblis dan Roh-Roh Jahat Allah adalah sumber kebaikan ( Yakobus 1:17). Ia bukan pencipta kejahatan, Dengan demiian Allah tidak menciptakan Iblis. Kejahatan timbul karena makhluk Allah menyahgunakan kehendak bebasnya untuk tidak taat kepada Allah . inilah yang terjadi dengan Iblis dan pengikutpengikutnya. Terselubung dalam nubut mengenai Babel (Yesaya 14; Yehezkiel 27 dan 28), adalah mengisahkan tentang pemberontakan malaikat yang jatuh. 142 Kalau kita lihat dalam Kejadian 3 ternyata kejadian kejatuhan malaikat ini jauh sebelum diciptakannya dunia dan manusia. Jadi setelah ada manusia, Iblis sudah menyamar sebagai Ular kepada untuk membujuk Adam dan Hawa. Kalau tadi dikatakan dalam Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 adalah merupakan kisah terselubungmengenai kejatuhan malaikat, dikarenakan di dalam Daniel 10:13; Iblis disebut sebagai penghulu kerajaan Persia, maka Babel dan Tirus adalah menunjuk kepada sang penghlu yang tidak nampak itu. Sifat-sifat malaikat yang jatuh ini, pertama dalan Yesaya 14:12, Malaikat yang jatuh itu disebut Bintang Timur atau Putra Fajar yang dalam bahasa Latin disebut “Luciferus” atau “Lucifer”. Lucifer artinya “Pengemban Terang”, jadi sama dengan Putra Fajar; yang menunjukkan keindahan dan kemuliaan tentang gemerlapnya malaikat ini dengan terangnya yang luar biasa. Keindahannya yang luar biasa ini dicatat oleh Alkitab ( Yehezkiel 27:3-4), Ia disebut juga “Gambar dari kesempurnaan”, maha indah dan penuh hikmat (Yehezkiel 28:3,11). Keindahannya dilambangkan dengan gemerlapnya dengan batu-batu permata yang dipakainya (Yehezkiel 28:13-14) pada waktu masih di sorga atau taman Eden. Taman eden ini bukanlah tempat dimana Adam dan Hawa tinggal , karena dalam Yehezkiel 28:14, Lucifer dikatakan bertempat bersama dengan kerup yang berada di gunung udus Allah artinya ditempat ketinggian kesucian Allah, dan yang berjalan-jalan ditengah batu yang bercahaya. Keadaan yang demikian itu tidak ada dimana Adam dan Hawa tinggal. Oleh gemerlapan cahaya kemuliaannya itulah dia disebut Lucifer. Malaikat ini diciptakan bukan hanya sangat baik tetapi sudah sempurna. Karena Luciferdan para pengikutnya itu dulunya adalah malaikat yang diciptakan sempurna, maka karena dia telah jatuh dari kesempurnaannya yang telah dicapainya itu, maka sudah tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bertobat, tak ada penebusan bagi mereka. Meskipun mereka tetap percaya akan adanya satu Allah, dan mereka takut akan hal ini , namun mereka sudah tidak dapat berbalik kepada Allah ( Yakobus 2:19). Lucifer adalah penghulu para kerup ( Yehezkiel 28:14) Ketika diciptakan Lucifer itu tanpa cela, murni dankudus seperti malaikat-malaikat lainnya (Yehezkiel 28:15). Karena keindahannya yang luar biasa, serta duduknya sebagai penghulu kerup itu, Lucifer lupa diri dan ingin menjadi Allah. ( Yesaya 14:13; Yehezkiel 28:1,6-9). Karena itu dihukum dan dibuang oleh Allah dalam kegelapan (Yehezkiel 28:16-17; Yesaya 14:15), sehingga sifat terangnya pun lenyapdan terantai oleh sifat kekelaman kekal (Yudas 6; I Petrus 2:4). Dalam pemberontakannya itu, sepertiga bintang dilangit (sepertiga jumlah Malaikat) disorga terseret oleh hasutannya (Wahyu 12:14). Kita tidak tahu jumlah sebenarnya dari sepertiga jumlah malaikat yag asli itu. Inilah para malaikat itu yang jatuh yang disebut dalam II Petrus 2:4. Oleh Perlawanan Mikael, Lucifer dan pengikut-pengikutnya dibuang dari Sorga ke bumi (Wahyu 12:7-10), yang dimaksud dengan bumi disini yaitu tempat yang bersifat tak Sorgawi yang ada diatas (Efesus 6:12; 2:2), yang disebut juga Tartarus (II Petrus 2:4) atau dunia orang mati (Yesaya 14:15) karena dialah yang menjadi penguasa maut dan sumber maut (Ibrani 2:14-15; Yohanes 8:44). Di angkasa itulah dia mendirikan kerajaan kegelapan, dan dia sendiri sebagai Rajaraja kegelapan (Efesus 6:12; 2:2) atau disebut juga penghulu dunia yang gelap ini (Yohanes 16:11), dan bahkan mengangkat diri sebagai Allah zaman ini (II Korintus 4:4).Jatuhnya Lucifer seperti inilah yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Lukas 10:11. Dalam kerajaan angkasa itu Licifer mengatur tata pemerintakannya seperti di sorga dengan tata pangkat dan derajat masingmasingmasing roh kegelapan tadi (Efesus 6:12; Yudas 8; II Petrus 2:10-11), menunjukkan kuasa malaikat gelap ini tak pernah hilang daripada mereka meskipun mereka sudah menjadi gelap sifatnya. Itulah sebabnya dia dapat memberikan kekayaan bagi orang yang menyembahnya (Lukas 4:6-7), kesaktian, kuasa dan pengaruh (Wahyu 13:2; II Tesalonika 2:9) melalui segala jenis upacara, sesajian yang ditujukan kepadanya (I Korintus 10:20). Iblis juga menjadi sumber aliran-aliran pengajaran sesat (I Timotius 4:1) dan berpura-pura menjadi malaikat terang yang membawa 143 kebenaran (II Korintus 11:14). Ia selalu berjalan kesana kemari (Ayub 2:2), seperti singa yang mengaum untuk menerkam siapa saja yang dapat diterkam oleh tipun sesatnya ( I Petrus 5:8). Hati-hati dengan klenik , dengan mistik yang palsu dan penglihatan-penglihatan (Kolose 2:18). Oleh karena itu jangan kita mudah percaya kepada orang yang mengatakan bahwa rohnya sudahkeluar, sudah mengalami pergi ke sorga dan lain-lain, karena di angkasa (awang-awang) itu ada satu kerajaan yang diatur mirip seperti sorga dengan rajanya yaitu Lucifer yang mengaku Allah sendiri. Oleh karena itu jangan sampai tersesat dalam halyang demikian, karena Lucifer ini mampu menampakkan dirinya dalam wujud apapun yang kelihatannya adalah benar dalam wujud. Dewa atau dalam wujud apa yang disembah oleh orang itu sehingga makin menyesatkan orang yang menyembah ilah-ilah yang palsu itu, karena dibelakang Allah yan palsu itu berdiri Lucifer yang mengaku sebagai Allah(II Korintus 4:4). Memang itulah tujuannya, tujuan Lucifer itu ialah untuk merintangi manusia supaya tidak percaya kepada Injil, untuk membutakan mata mereka. Demikian juga pekerjaan Lucifer ialah untk membuat orang mengikuti perbuatan-perbuatan dosa. Jadi manusia oleh bujukan Lucifer dengan segala pengikutnya diarahkan untuk mengikuti perbuatan dosa , diberikan roh-roh kenajisan tentu untuk membawa manusia kepada erbuatanperbuatan yang tidak senonoh. Juga diberikan penyakit yang bermacam-macam oleh Lucifer kepada manusia untuk merusak manusia. Bahkan hamba-hamba Allah juga sering diganggu oleh Lucifer ini seperti II Korintus 12, dimana Paulus mengatakan ada utusan setan yang sudah memukuli dia sehingga dia sakit. Karena tindakannya yang kotor ini, maka Lucifer disebut dalam Matius 12:24 sebagai “Bealsebul”. Beal artinya “Tuhan” atau penguasa Zebul artinya kotoran atau tinja. Jadi bealzebul adalah penguasa segala yang kotor , yang membuat orang berbuat tidak senonoh. Jadi manusia yang sudah dikuasai olehLucifer ini menurit II Timotius 2:26 dikatakan terjerat oleh Iblis, supaya ia melakukan kehendaknya si Iblis itu. Oleh karena itu orang demikian harus dilepaskan. Karena Lucifer itu menurut Paulus melalui manusia melalui pikirannya sehingga menimbulkan keangkuhan dan kubu-kubu pemikiran yang membentengi mereka dari pengenalan akan Injil, yang oleh Paulus dikatakan harus dilawan dengan kuasa Allah (II Korintus 10:4-6). Jadi jelaslah bahwa yang menjadi kancah atau medan pengaruh dari Lucifer itu aalah di dalam pikiran manusia. Oleh karena itu Lucifer dapat menguasai manusia sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu ide-ide yang gila sama sekali, yang membahayakan bagi manusiadan membahayakan bagi orang yang mempunyai ide itu sendiri. Karena memang itulah tujuan Lucifer supaya manusia pada akhirnya hancur. Jadi di dalam jiwa (pikiran) kita harus berperang, kita harus menggunakan kekuatan seperti yang dikatakan oleh Paulus itu untuk melawan kuasa kegelapan. Oleh karena itu dikatakan:”Kita berperang bukan berperang melawan daging dan darah tetapi berperang melawan roh-roh jahat di udara” (Efesus 6:10-12). Yang menjadi sasaran utama yang menjadi perlawanan setan ini adalah : Gereja (Matius 16:16-18), dikatakan oleh penulis disana, bahwa Yesus akan mendirikanGerejaNya dan alam maut (kuasa Lucifer) tidak akan dapat mengalahkannya, yang berarti Lucifer akan terus berusaha mengadakan peperangan melawan, menghancurkan Gereja , menghalangi Injil, menghalangi orang percaya yag makin mendekat kepada Allah. Perlawana lucifer terhadap Gereja dapat dilihat di dalam Wahyu 12:4-6, 13-17 dikatakan bagaimana naga yaitu Lucifer itu sendiri sebagai Ular Besar, melawan wanita yang melahirkan Sang Mesias . Wanita yang disebut disini dapat juga dikatakan Maryam, tapi bisa juga Gereja, karena gerejalah yang selalu memberitakan Mesias kepada manusia . Dan bisa juga Israel , karena melalui Israellah Mesias itu datang. Namun yang jelas ialah, segala sesuatu yang berhubungan dengan Kristus yaitu umat Kristus akan menjadi sasaran daripada serangan Lucifer ini. Jadi dalam dunia yang tetap berpegang pada Kristus (Gereja ) inilah yang menjadi sasarannya. Inilah yang dikatakan oleh Yesus bahwa kekuasaan kerajaan maut /alam maut tidak dapat mengalahkan 144 Gereja. Ini berarti selalu terjadi peperangan antara Gereja dan Lucifer. Lucifer akan menghalangi Gereja dengan segala usahanya, dengan segala macam bidat, kekacauan dan perpecahan yang diakibatkan oleh tindakan Lucifer tersebut. Perlawanan Lucifer terhadap Gereja itu akan menjadi-jadi dengan makin dekatnya kedatangan Kristus . Dengan makin banyak munculnya pengajaran-pengajaran baru yang palsu yang lain seperti yang dikatakan I Timotius 4:1-2. Karena yang dimusuhi adalah Gereja, maka Lucifer (Iblis atau Diabolos) akan selalu menjadi pendakwa/penggugat manusia dihadapan Allah (Wahyu 12:10). Namun sebenarnya Lucifer itu kekuasaannya sudah dihancurkan oleh Kristus ketika Ia mati dan bangkit dari kematian ( Kolose 2:15; Brani 2:14-15). Tetapisecara prinsip, meskipun dia sudah dikalahkan, dia tidak akan rela untuk mengakuainya oleh karena itu ia tetap berperang melawan manusia, melawan orang Kristen (Efesus 6:11-12). Tetapi kalau kita sungguh melawan kuasa kegelapan dengan kehidupan yang layak dihadapan Tuhan, dengan berdoa, orang Kristen akan mendapatkan keunggulan (Yakobus 4:7-8), menginjak kuasa kegelapan ini.(Roma 16:20). Oleh karena itu kita bersyukur karena Lucifer telah dikalahkan, dan pada akhirnya Lucifer akan menumpahkan seluruk kekuasaannya sehingga usaha yang terakhir karena dia merasa kesiasian kekuasaannya itu pada diri seorang yang bernama : Antikristus , dan sampai Kristus sendiri datang untuk menghancurkan antikristus dan sekaligus menghancurkan Lucifer untuk dimasukkan ke dalam neraka. Orang-orangorang yangmengikuti Lucifer ini juga akan dimasukkan dalam neraka bersama-sama. Oleh karena itu orang Kristen patut berjaga-jaga melawan tipu . muslihat dari Lucifer ini Patut pula dicatat bahwa keadaan Lucifer dimana membentuk tata kekuasaannya seperti didalam Sorga, sehingga dia mempunyai utusan untuk dapat menganggu kehidupan manusia ditempat-tempat tertentu untuk menguasai. Umpamanya di Persia , Dia menjadi penguasa kerajaan Persia atau Penghulu kerajaaan Persia dan lain-lain. Misalnya di Indonesia ia mengirimkanutusannya dalam wujud Nyi Roro Kidul, dayang-danyang dan lain-lain. Hal-hal ini perlu diterangkan terutama dalam lingkup kita di Indonesia dimana orang masih banyak yang mempercayai roh-roh itu, supaya mereka jelas bahwa apa yang mereka anggap sebagai dayang dan sebagainya, nenek moyang sebagai apa ? adalah tipuan dari Lucifer. 4.Kodrat Manusia Kejadian 1:26-27 mengatakan:” Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…..Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakannya dia……..”. Ayat ini sangat penting bagi Gereja Purba, terutama yang di Timur, dalam usaha untuk mengerti makna kodrat dan hakekat manusia. Karena penyataan Alkitab mengenai keputusan Allah untuk menciptakan manusia “MENURUT” Gambar dan RupaNya itu akan menjadi landasan untuk mengerti mengenai kodat dan tujuan diciptakannya manusia dan dengan demikian akan berkaitan dengan makna keselamatan manusia. Alkitab tak pernah mengatakan bahwa manusia itulah “Gambar dan Rupa”Allah. Namun yang dikatakan Alkitab adalah bahwa manusia itu diciptakan “MENURUT” (yaitu: “sesuai dengan”, “mengikuti pola”) “Gambar dan Rupa” Allah itu. Alkitab menyebutkan bahwa “Gambar Allah” (Kol.1:16) itu tak lain adalah “Anak Allah” yaitu “Firman Allah”sendiri (Yohanes 1:14), juga “Rupa Allah” adalah “Anak Allah” atau “Firman Allah” yang sama tadi (Fil.2:5-6), yang dalam penjelmaanNya sebagai manusia bernama:Yesus Kristus. Dengan demikian “pola asli” yang “menurutNya” manusia diciptakan Allah adalah “Gambar Allah” dan “Rupa Allah” yang tak lain adalah “Firman Allah” 145 sendiri yang disebut juga “Anak Allah”. Itulah sebabnya Tertulianus, seorang penulis Kristen purba dari Gereja Barat pernah mengatakan bahwa pada dasarnya kodrat jiwa manusia itu bersifat “Kristen”. Karena manusia diciptakan dengan pola asli (“menurut” ) Anak Allah atau Firman Allah tadi, yaitu “Kristus” sendiri. Dosa dan kuasa kegelapan serta pengaruh-pengaruh jahat disekitarnyalah yang membuat manusia itu tersesat dari kebenaran, sehingga tak percaya kepada Kristus, yaitu tak mau kembali kepada “kodrat asal” atau “pola asli”nya tadi. Karena manusia itu diciptakan dengan “Firman Allah” itu sebagai pola aslinya, maka tujuan panggilan manusia diciptakan adalah untuk merealisasikan potensi kodratnya tadi, yaitu secara nyata kodat tadi “menyatu” atau “manunggal” dalam kemuliaan Allah melalui “Sabda” atau “Firman Allah” tadi. Ini berarti bahwa manusia itu diberi anugerah (rahmat, kasih-karunia) oleh Allah pada saat penciptaannya, memiliki kemampuan moral pada dirinya, yang merupakan refleksi atau “gambar” dari sifat-sifat Allah sendiri. Sehingga dengan anugerah kekuatan moral dalam ketaatan pada kehendak ilahi dan iman kepada Allah, manusia dapat mencapai “penyatuan” (“panunggalan”) dengan “Firman Allah”. Dengan demikian manusia boleh “ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petrus 1:4), yaitu menjadi mulia seperti kemuliaan ilahi itu sendiri. . Manusia dipanggil untuk mengambil bagian dalam kasih Allah yang kekal, di dalam hubungan-kasih yang kekal seperti yang terdapat di dalam diri Allah. Alkitab mencatat doa Kristus kepada Bapa demikian: “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia dan Aku datang kepadaMu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” ( Yohanes 17:11 ). Dalam doa ini Almasih memohon supaya manusia boleh menjadi satu, sama seperti satunya “Kita” (“Bapa dan Anak”, kesatuan antara Allah dan FirmanNya dalam kasih yang kekal), sehingga mengalami kehidupan kesatuan seperti yang ada di dalam Allajh sendiri, yaitu kesatuan dalam hidup ilahi, dan dengan demikian mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi. Alkitab menjelaskan lebih lanjut dalam mencatat doa Almasih ini: “Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu.” ( Yohanes 17: 22 ). Kepada manusia milikNya Almasih telah “memberikan kemuliaan”, yaitu kemuliaan “ yang Engkau berikan kepadaKu”. Kemuliaan yang diberikan Allah kepada Almasih itu tak lain adalah “energi” dan “hidup Allah” sendiri, sebagaimana yang dikatakan :”…Bapa mempunyai hidup dalam diriNya sendiri, demikian juga diberikanNya Anak mempunyai hidup dalam diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Bapa memberikan hidupNya sendiri pada Anak. Itulah artinya Bapa memberikan kemuliaan pada Anak. Sehingga segala sifat Bapa ada pada Anak. Kristus memberikan kemuliaan ilahi tu kepada manusia, sehingga manusia menjadi satu dalam sifat-sifat keilahian, meskipun bukan dalam dzat-hakekat keilahian. Jadi memanglah kehendak Allah ketika merencanakan untuk menciptakan alam-semesta dengan manusia sebagai sasaran puncaknya, agar manusia boleh ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi, dan menjadi satu dengan Allah. . Ini bermakna bahwa tujuan manusia diciptakan adalah dipanggil untuk ambil bagian dalam kodrat Ilahi, sebagaimana dikatakan demikian: 146 “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia ini.” ( II Petrus 1:4 ) Dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan Allah itulah tujuan manusia diciptakan. Dengan demikian inilah pula takdir Allah bagi kodrat manusia. Inilah ketetapan kekal dalam rencana Allah dalam menciptakan manusia agar dengan demikian manusia menjadi “anak-anak Allah” dan dalam keberadaan “tanpa cacat cela serta kudus”. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapanNya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya,sesuai dengan kerelaan kehendakNya.” (Efesus 1:4-5 ). Ayat-ayat dalam Efesus 1:4,5 diatas dan ayat-ayat Perjanjian Baru yang lain yang senada dengan itu tak pernah dimengerti dalam Gereja Orthodox sejak jaman Purba, sebagai dasar ajaran tentang “Takdir” bagi diselamatkan atau tidaknya seseorang atau “Takdir” dipilih atau tidaknya seseorang dalam keselamatan, seperti yang dihayati oleh ajaran Calvinisme, yang dikenal dengan nama ajaran “Predestinasi”. Efesus 1:4 mengatakan:” Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercela di hadapannya”. Ini tidak dimengerti sebagai pemilihan individu perorangan, namun sebagai pemilihan kemanusiaan secara kolektif (yaitu: memilih “KITA”), dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, misalnya para malaikat, alam ciptaan dan binatang, karena mereka itu tidak dipilih untuk menjadi “seperti Allah”. Dan tujuan pemilihan manusia itu adalah agar manusia itu “kudus” dan “tak bercela” melalui anugerah Allah, yaitu menjadi “seperti Allah” yang memang “Maha Kudus” dan “Tak Bercela “ menurut kodratNya itu. Jadi ini adalah “pemilihan kodrat kemanusiaan”. Demikian juga Efesus 1:5:” Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anakanakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya”. Kata “menentukan kita dari semula” inipun tak dimengerti sebagai ketentuan dari semula (“predestinasi” atau “takdir”) bagi perorangan oleh Gereja Purba di Timur ini. Pengertian demikian ini menimbulkan ajaran bahwa ada orang yang memang sudah ditakdir masuk neraka dan ada yang ditakdir masuk sorga. Ajaran ini terkenal dengan nama ajaran “Double-Predestination ” (“Takdir-Ganda”), yang juga pernah diajarkan Calvin. Gereja Purba di Timur mengerti “penentuan dari semula” ini adalah secara kolektif (menentukan “kita” dari semula), dan inipun bukan penentuan dari semula bagi masuk sorga atau tidaknya seseorang. Namun penentuan dari semula dari kemanusiaan (“kita”) yaitu kodrat kemanusiaan untuk menjadi “anak-anakNya” yaitu untuk menjadi seperti Allah, - sebagaimana anak-anak itu pasti memiliki kodrat dan mengambil bagian kodrat dari bapanya -, yang berlandaskan anugerah Allah atau “kerelaan kehendakNya”, dalam kasihNya oleh Yesus Kristus atau Firman Allah yang hidup. Demikianlah “takdir “ atau “predestinasi” yang dimaksud dalam Alkitab itu tidak pernah dimengerti oleh Gereja Orthodox Purba sebagai predestinasi perorangan bagi keselamatannya, namun “predestinasi” (“penentuan dari semula”) dari kodrat kemanusiaannya agar mengambil bagian dalam kodrat ilahi sebagai “anak-anak Allah” dan mengambil bagian dalam sifat-sifat ilahi sebagai yang “kudus” dan “tak bercela” itu .Ini terjadi oleh kuasa anugerah (“rahmat”, “kasih-karunia”) yang bekerja dalam dirinya.. Itulah sebabnya manusia oleh anugerah Allah masih memiliki kehendak bebas sebagai kasih- 147 karunia (anugerah, rahmat) Allah kepadanya akibat diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Sehingga dengan demikian “kehendak bebas” manusia itu tak dimengerti sebagai sesuatu yang bertentangan dengan dan terpisah dari anugerah (“rahmat” “kasih-karunia”) sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran “Pelagianisme” yang dianggap menjadi ciri aliran “Arminianisme” musuh-bebuyutan Calvinisme itu. Demikianlah penghayatan Calvinisme klasik tentang “Unconditional Election “ (“Pemilihan Tanpa Syarat”) yang terkait dengan ajaran “Takdir” itu tak dapat muncul dalam ajaran Gereja Purba di Timur itu. Ajaran Gereja Purba di Timur menegaskan sebagaimana keselamatan cuma-cuma itu dari Allah datangnya, demikianlah kehendak bebas itupun berasal dari karunia Allah yang sama itu. Sehingga dengan demikian makna kodrat manusia sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah untuk mencapai kemuliaan ilahi itu akhirnya tidak terkaburkan maknanya. Tujuan penciptaan manusia untuk mencapai keselamatan oleh anugerah yang bekerja dalam kehendak-bebas manusia maupun di dalam karya keselamatan Kristus bagi ambil bagian dalam kodrat ilahi sendiri ini adalah merupakan ajaran seluruh Bapa Gereja Timur di zaman purba, sebagaimana yang secara jelas diungkapkan oleh Episkop Maximos Aghiorgoussis dari Pittsburgh, Pa, Amerika Serikat, demikian: “Menurut para Bapa Gereja Yunani (misal: Ignatius dari Antiokhia, Ireneus dari Lyons, Athanasius dari Alexandria,Gregorius dari Nazianzus, Gregorius dari Nyssa, Yohanes Khrisostomos, Basilius Agung, Yohanes dari Damaskus, dan lain-lain, pen.) sejak zaman purba: Manusia diciptakan menurut gambar Allah dengan panggilan khusus untuk menjadi seperti Allah. Para Bapa Gereja menjelaskan dengan rinci ajaran dari Kitab Kejadian ini.Keberadaan manusia “menurut gambar Allah” ini berarti bahwa manusia memiliki jiwa rohani yang memantulkan Allah (Bapa) sebagai seorang pribadi. Manusia mampu untuk mengenal Allah dan dalam persekutuan (“panunggalan”) denganNya. Manusia itu milik Allah, karena dalam keadaan sebagai anak Allah dan menurut gambar Allah itu, maka manusia mempunyai kaitan-hubungan dengan Allah……Para Bapa Gereja itu juga membuat perbedaan antara “gambar Allah” dalam manusia, dan “rupa Allah” dalam manusia tadi:”gambar” adalah kemampuan (“potensi”) yang dikaruniakan (“rahmat” “anugerah”) pada manusia, yang melaluinya manusia dapat mencapai kehidupan “theosis” (panunggalan dengan Allah, ambil bagian dalam kodrat ilahi).Sedangkan “rupa” adalah realisasi (aktualisasi) dari “potensi” ini; yakni makin seperti “gambar Allah” dan makin seperti “rupa Allah”. Dengan kata lain perbedaan antara “gambar” dan “rupa” itu adalah perbedaan antara “apa adanya” dan “apa yang akan jadi”…juga berarti ketak-dapat-matian Allah itu terpantul pada manusia, sejauh manusia tetap bersekutu (“manunggal”) dengan Allah melalui gambar Allah yang ada pada dirinya…Karena manusia gagal untuk mencapai panunggalan (theosis) ini, “Adam yang Baru”: Kristus (“sebagai pola asli manusia yang menurutNya kodrat manusia diciptakan”), mengambil bagi DiriNya sendiri tanggung-jawab untuk menggenapi panggilan asli dari manusia dari manusia pertama (Adam) ini” (Aghiorgousssis, Maximos Bishop, dalam “Salvation in Christ”,, Augsburg, Minneapolis, 1992, hal. 37-38). 5.Kejatuhan Manusia Kedalam Dosa Beberapa hal mengenai manusia dinyatakan oleh Pengakuan Iman ini, yaitu kedatangan Kristus itu “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita” serta bahwa Kristus itu “disalibkan bagi keselamatan kita” dan bahwa Kristus akan datang lagi untuk “menghakimi orang hidup dan orang mati” serta kita dibaptiskan “bagi pengampunan dosa-dosa”. Dengan demikian manusia itu dalam keberadaan tidak selamat, yaitu dalam keberadaan berdosa yang memerlukan pengampunan, yang dosa itu sendiri jika tidak mendapat pengampunan akan mengalami penghakiman di masa mendatang. Karena orang 148 Kristen menunggu kebangkitan orang-orang mati, berarti dosa itu ada hubungannya dengan Kematian. Itulah sebabnya Yesus datang mengalahkan kematian, dengan mati disalibkan, dikuburkan, bangkit dan naik ke sorga. b.Kejatuhan Manusia dan Akibat-Akibatnya. Panggilan manusia untuk mencapai “theosis” pada saat diciptakan itu harus dilalui manusia melalui ujian iman yang dinyatakan dalam ketaatan terhadap perintah-perintahNya. Dengan demikian manifestasi moral manusia yang bersumber dari anugerah (rahmat, kasih karunia) akan nampak kelihatan dan berkembang, serta bergerak menuju kepada tujuan akhirnya. Dan ujian itu dinyatakan dalam larangan Allah agar manusia tak memakan “buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat “ ( Kejadian 2:16-17). Ujian ini menentukan nasib manusia, jika gagal untuk taat pada larangan itu manusia akan untuh dalam maut dan kebinasaan. Dia akan mengalami disintegrasi dari tujuan akhir kodrat penciptaannya. Namun jika berhasil, hidup kekal (“theosis” = “pengilahian”, yaitu ambil bagian dalam hidup dan kemuliaan ilahi, namun bukan melebur dalam hakekat Allah sebagaimana yang diajarkan Agama Hindhu dan Kebatinan Jawa) itulah yang didapatkannya. Allah mengetahui dilema dan resiko yang dihadapi oleh kehendak bebas manusia sebagai wujud diciptakan menurut gambar dan rupaNya itu. Oleh karena itu Allah memperingatkan manusia sebelumnya, mengenai akibat pelanggaran dan ketidak-taatan terhadap perintah itu jika dilakukan manusia, dan akibat ketaatan jika dijalankan. :” …..pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu jangan kau makan buahnya, sebab PADA HARI engkau memakannya pastilah engkau mati” ( Kejadian 2:17). PADA HARI manusia melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang itu sajalah “mati” itu diancamkan pada manusia. Sehingga jika manusia taat dan tak pernah memakan buah itu, berarti manusia tidak akan pernah mati. Jadi manusia pertama itu masih dalam keadaan “potensial” yaitu potensial untuk hidup kekal atau potensial untuk binasa. Dai harus memilih persimpangan jalan yang harus dihadapi oleh kodratnya. Manusia masih dapat bertumbuh ke dalam “theosis” atau jatuh ke dalam “lapuk, binasa, dosa, dan kematian”. Kodrat manusia itu memang diciptakan “sangat baik” ( Kejadian 1:31) namun belum sempurna. Allah telah memperingatkan akibat-akibat pelanggaran atau ketaatan manusia. Jadi ketika manusia melanggar perintah Allah, manusialah yang salah, dan Allah bebas dari kesalahan. Kejatuhan manusia itu bukan direncanakan Allah, meskipun sudah diketahui Allah sebelumnya, karena Allah Maha Tahu, sebagai resiko diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang memiliki kehendak bebas. Jadi tujuan “theosis” sebagai hasil akhir keselamatan bukan baru didakan karena adanya dosa, namun memang dari semula “theosis” itulah tujuan manusia diciptakan. Demikianlah kaena pelanggarannya, kodrat manusia berjalan menukik ke bawah ke dalam dosa dan kematian. Sehingga manusia sekarang dalam keadaan dosa =“hamartia” (“meleset dari sasaran”), baik sasaran kodrat keterciptaannya maupun sasaran moral. Ke “ melesetan dari sasaran” kodrat itu berwujud kematian fisik yang bersumber dari kematian roh (Efesus 2:1). Karena “tubuh tanpa roh itu mati “ (Yak.2:26), berarti roh itu sumber kehidupan tubuh. Padahal tubuh itu sebelumnya dimaksudkan untuk hidup kekal jika manusia tidak jatuh, yang berarti roh itu seharusnya mempunyai kuasa hidup yang dapat menghidupkan tubuh itu secara terus-menerus. Namun fakta bahwa tubuh jasmani itu sekarang dapat mati, berarti roh tak sanggup lagi memberikan hidup yang sedemikian itu. Ini menunjukkan bahwa itu sendiri sekarang sedang sekarat, yaitu tak mempunyai daya hidup meskipun roh itu sendiri tak dapat punah atau binasa seperti halnya tubuh (Mat.10:28). Karena daya hidup roh yang memberikan kekekalan itu sumbernya dari Hidup Ilahi, maka sesudah jatuh itu berarti roh manusia itu terputus dari Hidup Ilahi itu sendiri. Manusia sekarang enjadi lapuk dan fana, serta takluk kepada kebinasaan, dan maut serta membusuk jadi tanah. Derita, duka, dan kematian itulah yang menjadi nasib manusia sejak saat itu, karena “upah dosa/hamartia itu adalah maut” (Roma 6:23). Keadaan ini kita warisi dari nenek-moyang kita, oleh karena itu keadaan ini dikenal 149 dalam Gereja Purba di Timur sebagai “ Dosa (hamartia=kemelesetan) nenek-moyang” dan Gereja di Barat menyebutnya sebagai “ Dosa Waris/Dosa Asal”. Jadi dosa asal itu tak berarti kita menanggung “salahnya Adam” seperti yang pernah difahami di Gereja Barat terutama pada abad pertengahan. “Salahnya Adam” itu ditanggung oleh Adam sendiri, karena:”Anak tak akan menanggung dosa bapaknya” (Yehezkiel 18:20), meskipun dikatakan :”….dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7). Yang dimaksud dengan ayat dalam Mazmur ini adalah, pada saat Daud dikandung ibunya, kodrat manusia itu sudah dalam keadaan dikuasai oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukannya terhadap Allah, dan dosa, yaitu kemelesetan kodrat itu sudah menjadi milik manusia, sehingga dalam keadaan kodrat manusia yang seperti itulah keberadaan manusia ketika Daud dikandung dan diperanakkan. Berarti ini tak bermakna bahwa Daud telah menanggung “kesalahan” dan “dosa” Adam ketika berada dalam kandungan. Yang diwarisi manusia dari Adam adalah “akibat” dari dosa dan kesalahan Adam itu, yaitu: kelapukan, kefanaan,kebinasaan, kehilangan hidup kekal yaitu terpisah dari Allah, derita, duka, kesakitan, dan kematian. Hal ini diwarisi oleh segenap manusia, tak perduli apapun bangsa atau agamanya.Sedangkan “kemelesetan sasaran” moral itu berwujud kecenderungan manusia untuk lebih mudah berbuat yang jahat dan tidak kudus, serta sukarnya melakukan yang baik. Sehingga manusia berada dibawah permainan kehendak Iblis. Demikianlah akibat kejatuhan manusia ini, segenap manusia sekarang berada dibawah kuasa:”Iblis, Dosa, dan Maut” itu. Dan darinya tak seorangpun yang dapat melepaskan diri, sehingga tujuan mencapai “theosis” itu tergelapkaburkan dan terhalang realisasinnya. Maka “Iblis, Dosa, Maut” inilah yang harus disirnakan dulu sehingga manusia kembali kepada tujuan panggilan semua mencapai “theosis” itu. Bagaimana proses dan cara penyirnaan “Iblis, Dosa dan Maut” itu, inilah yang menjadi pembahasan mengenai keselamatan dalam Kristus. III. Aqidah Tentang Wahyu Terpuncak: Pribadi Yesus Kristus Sebagaimana yang kita lihat dari butir 3 Yesus Kristus disebut “telah turun dari sorga”, yang berarti Dia berasal dari luar ciptaan ini. Dan di atas telah kita pelajari bahwa ternyata Yesus Kristus adalah kekal di dalam Allah sebagai FirmanNya. Berarti datangNya ke dalam dunia ini memang “turun dari sorga”. Karena Allah bersifat ghaib (“terang”), oleh karenanya turunNya itu harus melalui “menjelma” dari “Sang Perawan Maryam” ini adalah “oleh Roh Kudus” artinya kemanusiaan Yesus Kristus yang diperoleh dari Perawan Maryam itu diciptakan oleh Roh Kudus dalam rahim Maryam sehingga Firman itu “menjadi manusia”. Demikianlah Yesus Kristus itu sungguh Firman Allah yang adalah “Allah Sejati” yang keluar dari Allah Sejati, namun juga sungguh manusia karena “telah menjelma...dari Sang Perawan Maryam, serta menjadi manusia.” Pemahaman Gereja Orthodox mengenai Pribadi Kristus itu sangat kokoh berpegang erat pada rumusan Konsili Kalsedon tahun 451. Kaum Monofisit di zaman purba sampai kini menolak rumusan Kalsedon ini serta menganggapnya itu bersifat Nestorianisme, terutama sebagaimana yang ditafsirkan oleh Gereja barat Roma Katolik dan kemudian Protestantisme. Namun Gereja Orthodox mengertinya secara berbeda. Ini penting ditegaskan karena umat Roma Katolik merasa bahwa Kalsedonia adalah kemenangan theologia Latin Roma Katolik, terutama kemenangan dari Paus Leo Agung dari Roma. Dan Umat Monofisit dalam penolakannya terhadap Rumusan Kalsedonia justru pandangan Gereja Barat ini yang digunakan sebagai acuannya. Karena menurut Paus Leo memang kelihatannya ada pemisah-misahan dua kodrat itu, 150 sehingga bahaya mendekati kembali Nestorianisme itu tak terelakkan. Sehingga sebenarnya yang dimusuhi umat Monofisit ( Koptik-Ethiopia, Syria Orthodox- Thomas India, Armenia) adalah pemimpin Gereja Barat Latin: Paus Leo itu, namun bukan pemimpin dari Konstantinopel atau Patriarkh Timur lainnya. Umat Monofisit menyangka bahwa Gereja Orthodox mengerti Rumusan Kalsedonia sama dengan pemahaman Gereja Barat: Roma Katolik. Rumusan Kalsedonia dalam Gereja Orthodox itu bukan dilihat dari titik pandang Paus Leo dari Roma, namun dari titik-pandang Kyrilos dari Alexandria, sebagaimana yang dijelaskan dalam Konsili Ekumenis yang kelima tahun 553 sesudah Konsili IV di Kalsedon tahun 451 itu. Sering dalam pemahaman Gereja Barat, jika Kristus lahir, tumbuh dewasa, menderita, disalibkan, mati, kesakitan, lapar, merasa tidak tahu dan lain-lain sifat kemanusiaan yang terlihat, itu dianggap hanya kodrat kemanusiaanNya saja yang melakukan dan mengalami hal itu semua. Sedangkan jikalau Ia berbuat mukjizat, bangkit dari antara orang mati menunjukkan otoritas dan lain-lain, itulah kodrat ilahiNya yang bekerja. Pemisahpilahan seperti ini memang sangat bersifat Nestorianistis, itulah sebabnya ditolak umat Monofisit. Disangka Umat Orthodoxpun menerima pemahaman seperti itu. Itu adalah salah paham dari pihak Monofisit. Iman Orthodox dalam Konsili kelima ini menegaskan bahwa yang menjadi “subyek” dalam diri Yesus Kristus adalah Firman Allah yang kekal itu. Jadi waktu Ia lahir dari Maryam, sakit, lapar, merasa tidak tahu, disalibkan dan mati, itu adalah Firman Allah sendiri sebagai “subyek” yang mengalami melalui tubuh kemanusiaanNya, namun pada saat yang bersamaan Firman Allah itu tetap tak terlahirkan, tak dapat sakit, tak dapat lapar, selalu maha-tahu, tak bisa kesakitan ketika disalib, tak bisa mati meskipun Ia sedang mati. Dan yang berbuat mukjizat itupun bukan hanya kodrat ilahiNya saja, namun Firman Allah yang sama dalam tubuh manusiaNya itu yang melakukan. Jadi Gereja Orthodox berani mengatakan bahwa dalam Yesus Kristus, Allah (yaitu, Firman) itu telah disalibkan, namun juga tak disalibkan, telah dilahirkan namun toh juga tanpa awal, telah menderita sakit namun juga tak merasa kesakitan, telah mati namun toh tetap hidup kekal. Karena baik kodrat ilahiNya maupun kodrat manusiaNya itu tak dapat dipisah-pisahkan ataupun dibagi-bagi dan hanya memiliki subyek tunggal yaitu pribadi atau hypostasis dari Firman Allah yang kekal itu. Jadi tuduhan Monofisit terhadap Gereja Orthodox Timur dan penolakannya atas Kalsedonia sebagaimana yang dimengerti oleh Gereja Orthodox Timur – sebagai bercorak Nestorianisme - itu jelas salah arah. Karena Kristus itu Firman Allah dan bersifat Allah, maka peristiwa turunNya Kristus menjadi manusia itu sering disebut “Allah menjadi manusia”. Penyataan “Allah jadi manusia” lalu “disalibkan, mati, dikuburkan,bangkit dari antara orang mati, ” dan seterusnya itu dapat menjadi salah pengertian yang besar juga jika jargon Kristen ini tak diterjemahkan dengan bahasa umum. Untuk sekedar perbandingan agar kita mengerti permasalahannya baiklah kita gunakan cara pemikiran theologia Islam. Dalam Ilmu Theologia (Ilmu Kalam) Agama Islam Allah tak dapat difahami dalam dzatNya, namun dapat dimengerti melalui sifat-sifatNya. Sifat-sifat Allah itu “ bukan Allah namun tak berbeda dari Allah”. “Firman Allah” atau “Kalimatullah” adalah salah satu dari sifat Allah dalam Islam, dan “Kuasa” serta “Hidup “ Allah adalah juga sifat Allah yang melekat (“qaimah”) atau berdiri atas Dzatullah.Demikianlah Sifatullah itu “bukan Allah namun bukan ciptaan”. Bedanya, dalam Islam “Firman Allah” ( dalam Kristen Orthodox “Logos”) dan “Kuasa” serta “Hidup” Allah ( dalam iman Kristen dimengerti sebagai Roh Allah atau Roh Kudus) itu tak difahami sebagai mempunyai realita entitas jatidiri, sedangkan dalam iman Kristen kedua-duanya yaitu baik Firman Allah maupun Roh Allah yang melekat satu (“qaimah”) di dalam diri Allah itu dimengerti sebagai memiliki “hypostasis” (realita yang menggaris-bawahi jatidiri). Jadi dalam mengerti satunya Firman Allah dan Roh Allah (sebagai sifat-sifat dzat dalam diri Allah) dengan Allah yang esa dalam pemahaman Iman Kristen 151 Orthodox itu, haruslah kita bandingkan pemahamannya dengan pengertian mengenai satunya Dzatullah dan Sifat-Sifat Allah dalam Islam. Dimana jika ada kertas putih, putih sebagai sifat berdiri atau melekat pada kertas yang menyandang warna tadi. Kertas adalah gembaran dzat (esensi, hakekat) sedangkan putih adalah gambaran sifat. Meskipun putih bukan kertas, namun tak dapat dipisah dari kertas, dan tak beda dari kertas putih itu. Demikianlah “Firman Allah “ itu memang bukan Bapa (Allah) , namun Ia adalah Allah (karena Ia bersifat abadi dan tak berbeda dari Allah), “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Bahwa “Firman Allah” itu berbeda dengan Allah (Sang Bapa), ini dijelaskan sendiri oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia :Yesus Kristus, dalam ayat-ayat, berikut ini :”….Engkau (Yesus Kristus= Firman yang menjelma) …guru yang diutus Allah….” ( Yohanes 3:2), “….Allah….mengaruniakan AnakNya yang tunggal (“FirmanNya yang Satu-satunya = Yesus Kristus), “….Allah mengutus AnakNya ( FirmanNya) ke dalam dunia…” ( Yohanes 3:17),”Bapa (Allah) mengasihi Anak (Firman)….” ( Yohanes 3:35),”…..percaya kepada Dia ( Allah =Sang Bapa) yang mengutus Aku ( Yesus Kristus = Firman yang menjadi manusia)…( Yohanes 5:24), “…mengenal Engkau (Bapa =Allah) satusatunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma) yang telah Engkau (Allah = Bapa) utus “ ( Yohanes 17:3), …Aku (Yesus = Firman Menjelma) akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada ALLAHKU dan Allahmu” ( Yohanes 20:17), “… Bapa (Allah) lebih besar dari pada Aku (Yesus Kristus = Firman Allah yang Menjelma) “ ( Yohanes 14:28), dan masih banyak lagi ayat-ayat seperti itu. Memang ada sebagian sekte yang mengaku Kristen yang mengatakan bahwa Anak itu adalah Bapa, yang bagi ajaran Orthodox ini tak lain adalah faham Sabelianisme yang telah lama dinyatakan sesat oleh Gereja di jaman purba. Landasan mereka adalah beberapa ayat berikut ini:” Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30). Ayat ini jelas tidak mengatakan bahwa Anak dan Bapa itu sama saja, namun Anak dan Bapa itu adalah satu, yaitu dalam hal dzat/hakekat keilahian, namun tetap Anak itu bukan Bapa, sebab disitu masih dibedakan “Aku DAN Bapa” yang menunjukkan adanya dua ciri khas yang berbeda antara keduanya, namun keduanya itu satu, bukan dalam arti identik atau sama saja, namun satu dalam hakekat-keilahiannya, yang dibawah nanti akan kita bahas hal itu. Ayat lain yang digunakan oleh sekte ini adalah :”….Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa….Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku….” ( Yohanes 14:9-10). Melihat Anak berarti melihat Bapa, itu tak berarti bahwa Anak itu adalah Bapa. Karena jelas dinyatakan dalam ayat berikutnya bahwa hal itu mungkin terjadi karena Anak (Firman) berada di dalam Bapa, berarti Anak dan Bapa itu dapat dibedakan realitanya, dan Bapa di dalam Anak, yang berarti Bapa itu berbeda dari Anak, namun keduanya saling bersemayam (saling mendiami) satu sama lain. Karena memang Firman Allah itu bersemayam dan beradaNya di dalam Allah sendiri, dan Allah menyatakan DiriNya adalah di dalam atau melalui FirmanNya itu sendiri. Jadi jelas ayat ini tidak mengajarkan bahwa Anak itu adalah Bapa, atau Firman Allah adalah Sang Bapa itu sendiri, namun ini hanya menyatakan ketak-terpisahan antara Allah dan FirmanNya, dan “qoimah” (melekat satunya) Firman itu dalam Bapa, dan pemanifestasian atau pewahyuan Diri Allah melalui Firman itu. Dan yang terakhir adalah Yesaya 9:5 :” ….seorang anak telah lahir…seorang putra telah diberikan…namanya disebutkan orang:…..Allah yang perkasa, Bapa yang kekal….” Dari ayat ini mereka mengambil kesimpulan bahwa Anak atau Putra itu tak lain bernama Allah yang Perkasa dan Bapa yang Kekal, maka jelas Anak itu tak lain adalah Bapa. Argumentasi ini secara theologis tak dapat dibenarkan, sebab yang disebut “Anak” dalam pemahaman tentang Tritunggal Maha Kudus adalah “Firman Allah” yang kekal, yang sejak azali berada di dalam diri Allah. Padahal ayat diatas berbicara tentang seorang “Anak yang telah lahir” dan “seorang Putra yang telah diberikan untuk kita”. Jadi ini 152 tak berbicara mengenai keberadaan kekal dari Sang Anak tadi. Ini berbicara mengenai anak yang lahir di dunia, berarti ini berbicara tentang “Inkarnasi”, ketika “Firman itu telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:14). Dengan demikian ayat ini hanya menjelaskan bahwa Anak yang lahir sebagai manusia itu ternyata tak lain adalah Ia yang bersifat Ilahi : Allah yang Perkasa. Namun wujud kelahiranNya sebagai manusia itu menjadi “Adam yang akhir” ( I Kor. 15: 45) yang menjadi “roh yang menghidupkan” yaitu yang menjadi sumber dan prinsip dari kehidupan yang kekal, akibat kebangkitanNya. Sebagai Adam yang akhir maka Ia adalah Bapa segenap umat yang baru, dan Bapa ini adalah Bapa yang menjadi sumber kekekalan. Maka jelas Anak yang lahir itu disebut “Bapa yang kekal”, bukan menunjuk bahwa Bapa dan Anak itu adalah identik dalam arti rumusan Tritunggal, namun dalam makna SoteriologisKristologis, bahwa sebagai yang telah lahir menjadi daging Ia itu adalah Bapa yang baru bagi manusia dan yang memberi kekekalan kepada manusia. Sama seperti Adam adalah Bapa yang lama, yang mewariskan kebinasaan dan kematian kepada manusia ( Roma 5:12), dengan kata lain Adam adalah “Bapa Kematian” demikianlah Kristus adalah “Bapa Kekekalan”. Jelaslah bahwa Anak dan Bapa itu tidak identik dan tidak disamakan begitu saja, karena memang Firman Allah itu bukan Sang Bapa itu. Namun bahwa Firman Allah itu tak beda sifatnya hakikiNya dari Allah, dikatakan demikian oleh ayat-ayat berikut: “….Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1), “Aku ( Firman Allah yang menjelma) dan Bapa ( Allah) adalah satu…..Jawab orang Yahudi:…..Engkau ( Yesus Kristus =Firman Allah menjelma) ….menyamakan diriMu dengan Allah ( bukan :” mengidentikkan pribadi dengan Bapa”, menyamakan disini dalam arti sama hakekatNya dengan Allah sebagai Firman Allah)” ( Yohanes 10:30,33), Tomas menjawab Dia (Yesus Kristus = Firman Allah Menjelma) “ Ya Tuhanku dan Allahku” ( Yohanes 20:28), “….Mesias dalam keadaanNya sebagai manusia….Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.Amin “ ( Roma 9:5), “….Yesus, dalam rupa Allah…kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik….” ( Filipi 2:5-6), “…AnakNya Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar…..” (I Yohanes 5:20). Fakta bahwa Anak (Firnan Allah) itu bukan Bapa (Allah), namun tak beda dari Bapa (Allah, sebab Ia disebut juga Allah) ini sebanding dan sejajar dengan pemahaman dalam Islam bahwa Sifat Allah itu bukan Allah namun tak beda dari Allah, atau Sifat-sifat Allah itu bukan Allah namun bukan makhluk, atau bukan diciptakan. Demikianlah meskipun Firman Allah itu bukan Allah artinya bukan Sang Bapa (Ho Theos) dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox, namun Ia bukan makhuk juga dan tak berbeda dari Allah (dalam bahasa Orthodox:satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) Karena Firman Allah bukan makhluk dan tak beda dari Allah ( yaitu: satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) inilah maka dalam bahasa Iman Kristen “Firman” itu disebut Allah. Perhatikanlah Injil Yohanes 1:1 ini, untuk Allah yang Esa (Sang Bapa) Ia disebut Ho Theos (pelengkap penderita “ton Theon” berasal dari subyek “Ho Theos”), dengan kata sandang tertentu “Ho” namun untuk Firman hanya disebut “Theos” tanpa kata sandang “Ho”, untuk menunjuk bahwa “Ia bukan, namun tak berbeda” dengan Allah ( Sang Bapa ) itu. Sedangkan mengenai realita “Firman Allah” yang memiliki hypostasis itu, kita harus membandingkan dengan faham Tassawuf mengenai “Nur Muhammad.” Menurut faham Tassawuf Allah yang ghoib itu ingin diriNya dikenal., lalu mengadakan “tajjali” (theophany) yaitu penampakan Diri. Penampakan Diri ini dilakukan melalui Nama dan Sifat-sifatNya. Nama dan sifat Allah ini menampakkan diri dalam realita ”Nur Muhammad” . Dan melalui Nur Muhammad ini semua makhluk yang lain berasal. Sehingga Nur Muhammad adalah cermin Allah, dan Allah adalah cermin Nur-Muhammad. Jadi Nur Muhammad adalah semacam “Logos” dalam ajaran Kristen Orthodox. Nur Muhammad ini meskipun ia bukan Allah, namun bukan makhluk juga, karena ia bersifat azali atau abadi. Demikianlah “Firman Allah” dalam ajaran Iman Kristen Orthodox itu disebut 153 Logos, dan melalui Logos ini Allah menciptakan segala sesuatu, seperti halnya melalui Nur Muhammad segala sesuatu berasal, menurut Tassawuf Islam.. Allah yang ghoib itu mengenal DiriNya dalam “Logos” ini ( Mat.11:27)., sehingga Logos adalah “Gambar Allah yang tak kelihatan” ( Kolose 1:15) dengan menggunakan bahasa Tassawuf “Logos” adalah “Cermin Allah”, sehingga barangsiapa melihat “Logos” (“Anak”) Ia telah melihat Allah (“Bapa”) ( Yohanes 14: 9).Sebagaimana dalam Tassawuf “Cermin Allah” ini disebut NUR (Cahaya) Muhammad, demikianlah “Gambar Allah “ atau Logos itu disebut sebagai “ Cahaya Kemuliaan Allah” dan “Gambar Wujud Allah” ( Ibrani 1:3). Dengan demikian dapat dimengerti jika Nur Muhammad itu memiliki hakekat jati-diri yang secara sempurna nantinya akan menampakkan diri dalam diri Nabi Muhammad, menurut Tassawuf, maka Logos itupun dalam Iman Kristen Orthodox dimengerti memiliki hypostasis ( realita yang menggaris-bawahi jati diri) yang secara sempurna menampakkan diri atau menjadi daging di dalam diri manusia Yesus Kristus (Isa Almasih). Bedanya, dalam Islam Sifat “Kalimat” dan realita “Nur Muhammad” itu dua hal yang terpisah sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox, “Firman “ sebagai sifat Allah itu juga adalah “Cahaya (Nur) kemuliaan” Allah sendiri, yaitu Logos tadi. Jadi “Kalimat” (Firman) itu bukan hanya sekedar aspek sifatullah saja, namun realita Logos yang ada di dalam diri Allah. Dalam Islam Allah memberikan komunikasi kehendakNya melalui Kitab yang diturunkan: Al-Qur’an, yang adalah “Firman Allah” yang “Nuzul” ( diturunkan). Karena Al-Qur’an itu diyakini sebagai “Firman Allah” maka Qur’an itu memiliki dua sifat “tercipta” dalam bentuk tulisan dan kertas, dan “tak tercipta” atau azali sebagai realita “Firman Allah”. Hal yang sama difahami oleh Iman Kristen Orthodox. Allah memberikan komunikasi kehendak dan rencanaNya juga melalui “Firman”. Hanya bedanya karena dalam Iman Kristen Orthodox Firman itu bukan hanya sekedar aspek dari sifat-sifat Allah, namun memiliki hypostasis, ketika diturunkan Ia tak hanya berwujud suara dan tulisan yaitu wujud Kitab, namun “Firman itu telah menjadi manusia “ ( Yohanes 1:14). Sebagaimana “Nur Muhammad” menampakkan diri secara sempurna di dalam diri Kanjeng Nabi, demikianlah dalam Iman Kristen Orthodox “Logos” yang adalah sekaligus “Kalimat” dan “Nur” itu telah secara sempurna “menjadi manusia” di dalam Diri Manusia Yesus Kristus (Isa Almasih). Jadi Yesus Kristus adalah “Firman Allah” yang “Nuzul” dalam bentuk manusia. Oleh karena ini sebanding dengan faham Islam dimana Al-Qur’an sebagai Firman Allah memiliki sifat tercipta dan tak tercipta, demikianlah dalam Iman Kristen Orthodox Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang menjadi daging memiliki sifat “tercipta” yaitu “Manusia Sejati”, dan “tak tercipta” yaitu sifat kekal, dan azali. Padahal hanya Allah saja yang kekal dan tak tercipta, dan telah kita bahas bahwa Firman Allah itu bukan Allah (yaitu bukan Sang Bapa) namun tak berbeda dari Allah (yaitu satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa), maka keadaan Yesus sebagai Firman yang azali ini disebut “Allah”, yang artinya , Dia sudah ada sejak kekal dan melekat (“qoimah”) satu di dalam hakekat Allah yang Esa (Sang Bapa) itu. Jadi yang dimaksud “Allah jadi manusia” dalam Iman Kristen Orthodox adalah, “Firman Allah” yang ber-hypostasis, yang memiliki sifat ilahi yaitu kekekalan, telah “nuzul” (“turun”) sebagai manusia, yaitu Yesus Kristus. Jadi bukan Allah yang Maha Esa (Sang Bapa) itu yang menjadi manusia, namun “FirmanNya” (yang disapa dalam bahasa theologis: “Anak”) itu yang dinuzulkan keatas bumi. Jadi jika dalam Islam faham tentang sifat dzatullah: “Kalimat”, serta “Nur-Muhammad” dan “Al-Qur’an” adalah tiga realita yang berbeda-beda, namun dalam Iman Kristen Orthodox fungsi dari ketiganya tadi telah terangkum dalam satu wujud yaitu "Logos"” yang akhirnya menjadi manusia Yesus Kristus. Demikianlah pemahaman Iman Kristen Orthodox yang sebenarnya. Karena Alkitab mengatakan “….Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1), dan “…Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14), maka untuk mempersingkat orang Kristen sering mengucapkan 154 “Allah telah menjadi manusia”, padahal yang dimaksud adalah “Firman Allah” itu telah nuzul (“turun”) sebagai “daging” atau manusia: Yesus Kristus. Dan karena daging itu dalam bahasa Latin adalah “carnus”, maka menjadi daging adalah “incarnatio” atau “INKARNASI”. Namun jangan dikacaukan dengan “re-inkarnasi” yang merupakan ajaran Hindhu-Budha tentang tumimbal-lahir, yaitu orang yang lahir menjadi manusia kembali setelah kematian, ajaran re-inkarnasi ini tidak diterima oleh Iman Kristen Orthodox.. Sebagai dampak dari penghayatan dari ajaran tentang Inkarnasi yang sangat khas Orthodox adalah terdapatnya “ikon-ikon” sebagai bagian integral dari theologia Orthodox. Gereja Orthodox tidak menggunakan patung, dan dilarang menggunakan patung. Namun memiliki ikon-ikon atau gambar-gambar simbol theologis yang mengekspresikan iman dan dogmanya. Sehingga ikon-ikon ini disebut sebagai “theologia dalam warna”. Ikon ini berasal dari Alkitab itu sendiri. Memang pada saat Allah menyatakan Diri kepada Musa dan memberikan Dasa Titah, dikatakan: “ Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun…Jangan sujud menyembahnya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu…” ( Keluaran 20: 3-5). Disini larangannya adalah jangan ada “ilah lain” dihadapan Allah yang Esa itu, sehingga ilah lain itu diekpresikan sebagai “patung yang menyerupai apapun” untuk “disujud-sembahi” dan untuk “diibadahi” sebagai tandingan Allah. Larangan ini disebabkan TUHAN itulah Allah bukan patung-patung tadi. Jadi yang dilarang disini adalah “patung ilah” atau “patung dewa” yang diibadahi sebagai tandingan Allah, bukan asal patung saja. Allah yang Esa tak dapat dipatungkan karena pada waktu Dia menyatakan Diri itu tanpa wujud dan bentuk yang kelihatan, sebagaimana yang dikatakan:” Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; SUARA KATAKATA KAMU DENGAR, TETAPI SUATU RUPA TIDAK KAMU LIHAT, hanya ada suara….Hati-hatilah sekali – sebab KAMU TIDAK MELIHAT SESUATU RUPA pada hari TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api – supaya JANGAN KAMU BERLAKU BUSUK DENGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI BERHALA APAPUN…..” ( Ulangan 4:12,15-16 ). Menurut ayat-ayat ini pembuatan patung berhala atau patung ilah yang menggambarkan Allah dilarang, karena Allah menyatakan Diri hanya berwujud suara saja, tanpa rupa yang kelihatan. Karena tanpa rupa yang kelihatan, berarti membuat gambaran tentang Allah dalam patung adalah dusta sebab patung yang sedemikian hanyalah reka-rekaan manusia yang bukan menggambarkan realita yang sebenarnya, oleh karena itu dilarang. Namun jika patung itu bukan patungnya Allah, ilah atau Dewa, bukan saja tak dilarang malah diperintahkan, contohnya: patung Kerubim dalam Ruangan Maha Kudus ( Keluaran 25: 18-20), dan patung-patung serta gambar-gambar (ikon-ikon) yang ada di dalam Bait Allah yang dibangun oleh Salomo (Sulaiman) ( I Raja-raja 6:23-35). Demikianlah larangan membuat patung itu mutlak sifatnya jika yang dipatungkan adalah Allah sendiri, ilah, atau Dewa. Namun jika itu patung atau gambar makhluk Allah dan tidak dianggap ilah serta tidak diibadahi sebagai ilah, bahkan sebagai alat ibadah dan ditempatkan rumah ibadahpun tidak dilarang, seperti yang kita lihat dalam bukti-bukti diatas. Jika larangan membuat patung dalam Perjanjian Lama itu hanya dibatasi pada patungNya Allah, ilah, atau Dewa saja karena terkait dengan cara Allah menyatakan Diri, bagaimanakah dengan Perjanjian Baru? Dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri dengan cara yang lain. Dia menyatakan diri dalam “Wujud yang Nampak” bukan tanpa rupa yang tak kelihatan yaitu dengan jalan :” Firman itu telah menjadi MANUSIA…. Dan kita TELAH MELIHAT kemuliaanNya….” ( Yohanes 1:14 ). Jadi penampakan diri Allah dalam Perjanjian Baru melalui FirmanNya itu dengan Wujud Yang Nampak :Manusia yang Dapat Dilihat. Wujud Penampakan Allah dalam FirmanNya yang 155 Menjelma yang dapat dilihat itu begitu nyatanya, sehingga dikatakan:” Apa yang telah ada sejak semula, yang telah KAMI DENGAR, yang telah KAMI LIHAT DENGAN MATA KAMI, yang telah KAMI SAKSIKAN dan yang telah KAMI RABA DENGAN TANGAN KAMI tentang FIRMAN HIDUP- itulah yang kami tuliskan kepada kamu ( I Yohanes 1:1 ). Firman itu disebut “Firman Hidup”: karena Dia menyatakan Diri sebagai makhluk hidup: Manusia, bukan buku mati yang berwujud tulisan. Begitu hidupnya penampakan ini sehingga, Ia telah: di dengar, dilihat dengan mata, disaksikan, diraba dengan tangan. Jika larangan Perjanjian Lama tentang pembuatan patung Allah itu terkait dengan penampakannya yang tanpa rupa, sekarang Dia nampak “Dengan Rupa”, masihkah larangan itu berlaku? Jelas tidak. Keberadaan Allah yang azali dan ghaib itu tetap tak dapat digambarkan, namun keberadaan penampakanNya sebagai manusia yang telah di dengar, dilihat, disaksikan dan diraba dengan tangan itu jelas dapat dan harus digambarkan untuk menegaskan bahwa Allah sekarang sudah menampakkan Diri bukan tanpa rupa lagi, namun “DENGAN RUPA”. Karena pada saat membuat patung Allah dalam Perjanjian Lama masih dilarang saja, patung yang bukan Allah malah diperintahkan untuk membuat untuk tujuan ibadah, apalagi sekarang. Itulah sebabnya ada Ikon. Ikon menegaskan makna Inkarnasi Kristus. Yang digambarkan bukan keilahianNya yang tak nampak, namun pribadiNya yang menyatakan Diri dalam penampakan Manusia itu. Jadi Ikon punya fungsi Dogmatis dan Theologis, bukan hanya sekedar hiasan. Oleh karena itu bentuknya bersifat simbolis bukan menggambarkan bentuk manusia natural, namun bentuk simbol dogmatis. Mengapa tidak membuat patung saja kalau begitu? Karena yang digambarkan adalah fungsi theologis dan dogmatisNya, bukan hanya sekedar keindahan estetika naturalnya, maka penmggambaran itu harus sesuai dengan julukan theologia bagi penampakan Kristus itu. Ketika Kristus menampakkan Diri, Dia tak disebut sebagai “PatungNya Allah”, namun sebagai “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Korintus 4:4, Ibrani 1:3), itulah sebabnya rekaman inkarnasiNya bukan berwujud patung namun “Gambar,” yang bahasa Yunaninya berbunyi “Ikon”. Konsisten dengan makna theologis bagi Inkarnasi Kristus inilah Gereja Orthodox tak pernah menggunakan patung, meskipun Perjanjian Lama mengijinkan pembuatan patung, sebab tolok-ukurnya adalah Inkarnasi (Penjelmaan) Firman Allah sebagai manusia. Mengapa ada juga Ikon orang kudus, bukan Kristus saja? Karena orang-orang kudus itu adalah yang “ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan Gambaran AnakNya” ( Roma 8:29). Jadi mereka adalah “keserupaan Gambar Kristus”, sebagai dampak langsung dari Inkarnasi, itulah sebabnya mereka juga digambarkan. Jika dibandingkan apa yang terdapat di dalam Agama Islam, Ikonografi dalam pemahaman Gereja Orthodox itu sejajar dengan Kaligrafi dalam pemahaman Islam. Dalam Islam, terlebih-lebih kaum Wahabi, segala bentuk gambaran manusia suci, terutama Nabi, apalagi Allah itu haram hukumnya. Ini konsisten dengan ajaran Islam bahwa Allah itu ghaib dan berbeda sama sekali dengan makhluknya, serta larangan yang keras dalam Islam akan syirik( menyekutukan Allah). Allah yang ghaib itu, menurut Islam, sebagaimana juga menurut Iman Orthodox, telah memberikan Wahyu kepada manusia melalui “FirmanNya” yang diturunkan. Dalam Islam turunNya Firman Allah itu berwujud Kitab Al-Qur’an kepada Baginda Nabi, sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox turunnya Firman itu berwujud manusia Sang Junjungan Agung Yesus Kristus melalui kelahiranNya oleh Maryam. Jadi paralelnya antara Islam dan Kristen Orthodox adalah: AlQur’an sebagai Firman Allah yang Nuzul, dengan Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang Menjadi Manusia, Nabi Muhammad sebagai Sang Penerima dan Pelahir Firman Allah melalui ucapan-ucapan Kalam Suci itu dari mulutnya, dengan Siti Maryam yang menerima Firman Allah dalam kandungannya dan melahirkannya. Kebuta-hurufan Nabi Muhammad agar kalimat-kalimat Al-Qur’an yang diucapkan itu bukan berasal dari kepandaiannya sendiri 156 namun murni dari Allah, dengan Keperawanan Siti Maryam agar Bayi yang dilahirkan itu bukan karena perbuatan manusia namun semata-mata mukjizat dari Allah. Karena Firman dalam Islam itu menjadi Al-Qur’an yang berbahasa Arab, maka seni agamawi atau seni Tauhid Islam itu yang terutama sekali adalah berwujud kandungan Kitab Suci Al-Qur’an yaitu ayat-ayatNya yang berbahasa Arab: Kaligrafi. Sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox karena Firman itu diturunkan dalam wujud manusia Yesus Kristus, maka seni keimanan atau seni theologia dari iman Kristen Orthodox adalah wujud kemanusiaan Kristus, yaitu gambar (ikon): Ikonografi. Hormat orang Kristen Orthodox terhadap Ikon adalah sebanding dengan hormat umat Muslimin terhadap huruf dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebagaimana umat Muslimin mencium Al-Qur’an sebagai tanda hormat atas isinya, demikianlah orang Orthodox mencium ikon sebagai tanda hormat akan isi ajaran yang digambarkan disitu. Mengenai mencium Ikon-ikon bagi orang luar mungkin akan dianggap sebagai menyembah berhala, namun posisi Orthodox adalah demikian. Mencium ikon itu juga salah satu bentuk hormat dan persekutuan kasih. Karena umat Kristen Orthodox percaya bahwa orang yang percaya kepada Kristus, apalagi yang sudah mencapai kekudusan, biarpun sudah mati mereka masih hidup (Yohanes 11:28) karena mereka sudah pindah dari maut kepada hidup ( Yohanes 5:24). Dan yang digambar dalam ikon adalah orang-orang semacam itu. Berarti mereka adalah sesama saudara seiman. Padahal antar saudara seiman harus ada hubungan persekutuan dan kasih. Dan salah satu bentuk persekutuan dan kasih itu adalah dengan saling bersalaman dengan “Cium Kudus” ( Roma 16:16, II Kor. 13:12, I Pet. 5:14). Salam “Cium Kudus” dengan saling menempelkan kiri dari kanan-kiri-kanan ini dilakukan pada saat berjumpa dan terutama pada saat tertentu dalam Liturgi Suci antara mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama. Karena orangorang kudus yang digambar dalam ikon itu masih hidup, dan merupakan anggota dalam satu Gereja yang sudah mendapatkan kemenangan atas dosa, maka ummat Orthodox mengasihi mereka dan sekaligus menghormati mereka, agar meneladani iman mereka dan selalu mengingat mereka ( Ibrani 13:7). Karena secara fisik jasmani mereka tak dapat lagi diberi salam, maka simbol kehadiran mereka, yaitu ikon-ikon itulah yang diberi salam dengan “Cium Kudus” itu. Sekali lagi tak ada penyembahan berhala sedikitpun dalam hal ini. Semuanya adalah aplikasi rinci dari data Kitab Suci, bukan sesuatu yang diambil dari paganisme Akan lebih mengejutkan lagi jika orang luar kadang-kadang melihat orang-orang Orthodox kadang-kadang bersujud, dimana didepannya terdapat suatu ikon. Dan orang yang tidak melihat Alkitab dengan teliti akan langsung menuduh tingkah laku umat Kristen Orthodox ini sebagai penyembahan berhala yang tidak mempunyai landasan dalam Alkitab. Dan pasti ini dianggap sebagai pengaruh agama kafir Yunani atau agama-agama pagan lain yang ada di sekitar Timur Tengah di zaman itu. Namun orang Kristen Orthodox justru melakukan sujud seperti itu karena taat pada data Alkitab secara apa adanya dan secara harafiah. Dan melihat orang yang mengaku Kristen tetapi menolak sujud, sebagai orang yang tak sungguh-sungguh taat pada teladan yang diberikan Kitab Suci yang dibacanya. Di dalam Kitab Suci tidak semua gambar atau patung itu adalah berhala, bahkan ada patung yang diperintahkan oleh Allah untuk dibuat, misalnya patung malaikat Kerubim dari emas atau dari kayu berukuran besar dalam Kemah Ibadah bangsa Israel baik di zaman Musa maupun Sulaiman (Salomo) ( Keluaran 25, 18-20, 37:7-9, I Raja-Raja 6: 23-28), juga gambar-gambar disekitar dinding ruangan tempat ibadah itu ( I Raja-Raja 6:29-35). Jika bukan setiap gambar atau patung itu dianggap berhala, lalu apakah berhala itu? Definisi tentang berhala itu diberikan oleh Kitab Suci demikian: 1) …..Memuja dan Menyembah makhluk dengan melupakan (sebagai ganti dari , Yun.) Penciptanya ( Roma 1:25), 2)……Ada padamu Ilah lain….yang menyerupai apapun 157 yang ada di langit….di bumi….di bawah bumi….sujud beribadah kepadanya atau beribadah kepadanya…..( Keluaran 20: 3-5). Yang termasuk jenis berhala pertama adalah memprioritaskan yang benda sebagai hal yang utama dan menempatkan ditempat yang seharusnya milik Allah dalam hidup manusia, misalnya cinta akan Mamon (Harta-benda, kekayaan, materi) ( Matius 6:24), membiarkan diri dikuasai hawa-nafsu dan keingin perut ( Fil. 3:19), keserakahan (Kolose 3:5), dan lain-lain. Yang termasuk jenis berhala kedua adalah mempercayai ada ‘ ilah lain” selain Allah yang Esa, yaitu percaya adanya kuasa-kuasa yang lain yang dapat menolong manusia selain Allah yang Esa itu, misalnya ilmu sihir, mantra, ilmu klenik, tenaga dalam, atau keyakinan kepada dewa-dewi ( Ulangan 18: 9-12, I Kor. 8:4), entah itu dipatungkan, digambar atau tidak. Jadi tidak semua patung atau gambar itu pasti berhala, dan tidak semua berhala itu berwujud patung atau gambar. Ikon adalah gambar, namun itu bukan berhala, karena tidak dianggap ilah atau dewa-dewi, tidak menggantikan tempatnya Allah, juga tidak dianggap sebagai tandingan atau saingan Allah, dan tak pula diibadahi sebagai Allah. Ikon adalah simbol theologia mengenai karya Allah pada makhlukNya melalui penebusan Yesus Kristus. Pertanyaan yang kedua, kalau bukan berhala mengapa orang Orthodox kadang-kadang sujud di depannya? Dalam Kitab Suci sujud itu juga mempunyai beberapa makna: 1) Sujud mutlak dan wajib, hanya boleh kepada Allah sebagai suatu ibadah dan penyembahan (Kejadian 24:26, 52, 17:3, Matius 26: 39, Wahyu 4:10). 2) Sujud haram yang dilarang, yaitu sujud kepada berhala-berhala dan ilah-ilah ( Keluaran 20:3-5), sujud kepada malaikat-malaikat atau kepada manusia sebagai makhluk yang disembah dan diper-ilah atau dengan sikap menyembah seperti kepada Allah (Kolose 2: 18, Wahyu 19:10, 22:8-9) 3) Sujud kepada sesama manusia sebagai tanda hormat yang tak diwajibkan namun juga tak dilarang , misalnya sujudnya Abraham kepada penduduk negeri Hebron (Kejadian 23:12), sujudnya Yakub kepada Esau abangnya ( Kejadian 33: 3), sujudnya ayah-ibu Yusuf kepadanya, dalam mimpi (Kejadian 37: 10), dan lain-lain. Sujud orang Orthodox adalah sujud jenis ketiga ini. Karena orang Orthodox tidak menyembah gambar waktu melakukan itu, namun menghormati makna theologia yang terlukis padanya, dan menghormati orang yang digambarkan padanya, tanpa sedikitpun terpikir bahwa mereka itu dewa., ilah, atau makhluk yang berkuasa. Orang Orthodox melihat para orang kudus yang digambar disitu adalah teladan yang harus dihormati, dan menurut Alkitab sujud jenis ketiga itu adalah bentuk penghormatan mendalam itu. Jadi tak ada penyembahan berhala dalam Iman Krsten Orthodox, yang ada adalah taat pada ajaran Kitab Suci sampai detailnya b. Gelar-gelar Yesus Kristus Dalam Pengakuan Iman ini beberapa gelar Yesus Kristus disebutkan, diantaranya adalah nama manusiaNya: Yesus, dan gelar pengangkatanNya sebagai Mesias: Kristus (Almasih). Gelar yang lain adalah: Tuhan, Anak Allah, Terang dan Allah Sejati. Karena Pengakuan Iman ini tidak menjelaskan secara rinci, karena sifatnya yang berupa ringkasan saja, dari arti gelar-gelar itu, marilah kita bahas makna gelar-gelar ini terutama gelar “Tuhan” karena justru itulah yang sering menjadi masalah. Sebagai Firman yang tekah menjadi manusia, dan sebagai yang telah dibangkitkan Allah, Kristus disapa dengan gelar “Tuhan” baik oleh Perjanjian Baru itu sendiri, maupun oleh Pengakuan Iman Gereja ini. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari kata “Tuhan” langsung dimengerti sebagai “Allah”. Sehingga menyebut Yesus sebagai “Tuhan” langsung membuat kesan bahwa Allah yang Esa itu adalah Yesus itu. Apalagi jika itu 158 dikaitkan dengan pengakuan Islam”Tiada Tuhan, selain Allah”, menyebut Yesus sebagai Tuhan berarti akan difahami umat Kristen berbuat syirik (mempersekutukan Allah), karena ada Tuhan lain disamping Allah, yaitu Tuhan Yesus. Padahal bukan demikian ajaran Perjanjian Baru maupun Iman Kristen Orthodox. Kata “Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang: 1. Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai Nama Allah sendiri dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci sekali sehingga takut untuk mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay” (“Tuhanku”). Pada waktu Akitab Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri. Dan dengan mengikuti tradisi ini maka terjemahan Perjanjian Lama bahasa Indonesia selalu menulis “TUHAN” ( dengan huruf besar semua untuk terjemahan bahasa Ibrani YHWH tadi). 2. Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan, kepenguasaan atau kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini kata “Kyrios” yang digunakan orang-orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:” Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan memanglah demikian maknanya. Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini mempunyai makna sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios) disini tak langsung menunjuk kepada makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan penggunaanya dengan sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya bukan “Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-ayat berikut ini :”…Yesus adalah Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Roma 10:9-10), “ Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu Allah saja, yaitu Bapa,…..satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih banyak yang lain lagi. Ayat-ayat diatas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari antara orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan (berarti: ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak: Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” ( Matius 28: 18). Dengan demikian karena Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang telah bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau “Tuhan” atas sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios” (“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Adam yang terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena kejatuhan. b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Kalimatullah yang menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam melalui kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau keTuhanan Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah Kalimatullah yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah itu Allah melaksanakan kuasa KetuhananNya sendiri. Dengan demikian baik Allah maupun 159 KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia, karena dengan kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan nanti (Filipi 3:20-21). Jadi gelar “Tuhan” bagi Yesus bukanlah dalam makna “Ilah” yang diangkat sebagai sekutu Allah, sebagaimana yang sering kita dengar ketika saudara-saudara Muslim mengucapkan “La Ilaha illallah “ , “Tiada Ilah/Tuhan selain Allah”. Sebab Ilah artinya makhluk yang didewakan dan disejajarkan dengan Allah, padahal, Tuhan bagi Yesus adalah gelar yang dikaruniakan Allah sendiri, terhadap “FirmanNya” sendiri yang dimuliakan setelah menjelma menjadi manusia. 3.c. Karya Kristus Penjelmaan (inkarnasi, dari Bahasa Latin: “in + carnus/daging + tio” [incarnatio] = menjadi daging) adalah permulaan Karya Kristus sesudah turun dari sorga. Dan tujuan semua karya itu adalah “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”. Dengan demikian Dia turunkan Kristus karena ingin kita menjadi selamat. tetapi keselamatan tak terjadi begitu saja, namun melalui “disalibkan bagi keselamatan”kita, dan penyaliban ini bukanlah suatu peristiwa khayal dan dongeng namun peristiwa menyejarah yang terjadi “dibawah pemerintahan Pontius Pilatus” dan dalam peristiwa itu Yesus Kristus benar-benar “menderita sengsara” dan akhirnya “dikuburkan”. Karena turunNya dari dari sorga, penjelmaanNya dan penyaliban serta penguburanNya itu “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”, dan di atas telah kita lihat bahwa manusia itu dalam keadaan tidak selamat dan berdosa yang ditandai dengan kematian, maka agar manusia dilepaskan dari keberadaan kematian itu maka “pada hari ketiga Dia telah bangkit”. Dengan bangkitNya itu Dia mengalahkan kuasa maut. Dan setelah bangkit “Dia telah naik ke Sorga “agar manusiapun boleh lepas dari kuasa maut dan akhirnya juga boleh naik ke sorga seperti Kristus, karena semua karya Kristus itu untuk “kita manusia”. Namun bukan hanya naik ke sorga saja, setelah naik ke sorga, Kristus “duduk di sebelah kanan Sang Bapa” artinya masuk dalam kemuliaan dan kuasa Allah sendiri, sehingga manusiapun pada akhirnya ikut manunggal dalam Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sama. Di zaman purba ada kelompok-kelompok sekte gnostik yang tidak percaya penyaliban Kristus. Alasannya bukan berdasarkan fakta sejarah, namun berdasarkan ide sektarian mereka. Menurut mereka yang jasmani ini buruk, hanya yang roh itu yang baik. Maka jika Kristus adalah Logos tak mungkin Ia betul-betul jadi manusia, karena tak mungkin Logos bersentuhan dengan benda jasmani. Jadi kalau memang Ia kelihatannya disalib itu hanya kelihatannya saja begitu, yang sebenarnya Kristus mentertawakan orang-orang yang menyalibkannya itu. Oleh karena itu aliran sektarian ini disebut sebagai “doketisme” (dari kata “dokein” = kelihatan). Namun agama-agama Semitik: Yahudi, Kristen dan Islam menolak faham tentang buruknya yang jasmani. Khususnya dalam Iman Kristen Ortodox bukti dari baiknya yang jasmani adalah Firman itu telah mengambil daging jasmani dan telah mensucikan yang jasmani yang dimengerti dalam wujud ikon-ikon. Jadi penolakan penyaliban dari ide penolakan yang jasmani itu, secara doktrinal tak bisa diterima dan secara sejarah tak punya dasar. Saudara-saudara Muslimin biasanya menolak Penyaliban Isa Almasih berlandaskan Surah An-Nissa 157:” Dan perkataan mereka (umat Yahudi): Sesungguhnya kami telah membunuh Isa Anak Maryam, Utusan Allah. Dan sebenarnya mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibkannya, tetapi diserupakan kepada mereka ( “syubiha lahum”)……” Kebanyakan umat Muslimin mentafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa 160 Isa tidak disalib, namun orang lain yang diserupakan seperti Isa oleh Allah –biasanya Yudas Iskariot yang ditunjuk—sebagai ganti Isa. Sedangkan Isa sendiri diangkat oleh Allah ke sorga. Namun tidak semua pemikir Muslim mengajarkan demikian: Yusuf Syueib mengatakan bahwa Isa memang disalib, tetapi hanya pingsan saja, lalu setelah siuman melarikan diri ke Qumran hidup dengan ibunya bersama sekte Esseni dan wafat disana, Drs. Hasbullah Bakry mengatakan yang sama seperti Yusuf Syuaib, namun tidak tahu kemana akhir hidup Isa. Umat Ahmadiyyah juga mengatakan yang sama, bahwa Isa memang disalib dan pingsan, namun setelah sadar ia melarikan diri ke Kashmir India, dimana kuburannya masih ada sampai sekarang. Kelihatannya sarjana-sarjana Muslim dan umat Ahmadiyyah yang mengakui penyaliban Isa itu disebabkan adanya ayat-ayat yang mengatakan :” Dan keselamatan untuk aku, di hari aku dilahirkan, di hari aku wafat….” ( Surah Maryam 33),”Ketika Allah mengatakan: Hai Isa! Sesungguhnya Aku akan mematikanmu…..” ( Surah Ali Imran 55) “…..Dan setelah Engkau (Allah) mewafatkan aku (Isa), Engkaulah Pengawas mereka…..” (Al-Maidah 117). Dan ayat-ayat ini diambil secara literal, bahwa Isa memang akan mati, oleh karena itu yakin bahwa yang disalib memang Isa. Sedangkan yang tak percaya pada penyalibannya biasanya mengambil ayat dari An-Nisa 157 diatas :”….mereka tidak membunuhnya dan menyalibkannya…”. Dan kelompok ini yang mengakui Isa diangkat ke sorga, karena memang ada ayat :”Tetapi, Allah telah mengangkat Isa kepadaNya….” ( An-Nisa 158), “…..Hai Isa sesungguhnya Aku akan mematikanmu dan mengangkatmu kepadaKU….” ( Al Imran 55). Bagaimana sesudah mati ini lalu diangkat, ada ayat lain :”…..di hari aku dibangkitkan hidup kembali” (Maryam 33). Sebagai orang Kristen, kalau diizinkan untuk memahami An-Nisa 157 itu, pertama penulis perlu menegaskan bahwa tidak ada bukti dari AlQur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa orang bernama Yudas Iskariot (Yahudza) yang disalib setelah diubah rupa. Bahkan kalau menurut Injil Yudas itu mati bunuh diri dengan mati gantung (Matius 27 :5), dan kemudian ketika terjadinya gempa bumi hebat akibat kematian Yesus (Matius 27:51),Yudas tubuhnya jatuh tertelungkup -- dari gantungannya -- sehingga isi perutnya tumpah keluar ( Kisah Para Rasul 1: 18). Yang kedua, yang dikritik oleh An-Nisa 157 itu adalah pengakuan orang Yahudi bahwa “kami telah membunuh Isa Anak Maryam”. Padahal menurut faktanya yang membunuh Isa adalah Pontius Pilatus (Gubernur Romawi) :” Kata Pilatus kepada mereka:” Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut Tauratmu.” Kata orang Yahudi itu:” Kami tidak diperkenankan membunuh seseorang” ( Yohanes 18: 31) Kata Pilatus kepada mereka :” Ambil Dia dan salibkan Dia……” ( Yohanes 19:6). Jadi berdasarkan fakta ini jika orang Yahudi memaksakan diri mengatakan “ kami telah membunuh Isa Anak Maryam” jelas tidak demikian faktanya, dengan singkat ditolak oleh data Injil dan secara tepat dikatakan Al-Qur’an “mereka tidak membunuhnya” sebab yang membunuh adalah Pontius Pilatus. Juga pada waktu penyaliban dikatakan oleh Injil :” Kemudian serdadu-serdadu wali negeri membawa Yesus…..berjalan keluar kota…di suatu tempat bernama Golgota…..Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaianNya….” ( Matius 27:27-35). Data Injil ini menunjukkan bahwa orang Yahudi, tepat seperti yang dikatakan Al-Qur’an: “tidak menyalibkannya”, sebab memang yang menyalib adalah serdadu-serdadu Romawi. Jika orang-orang Yahudi memaksakan diri mengatakan merekalah yang membunuh dan menyalibkan Isa, yang faktanya tidak demikian, jelas itu adalah “syubiha lahum”, “diserupakan bagi mereka”, artinya itu hanya khayalan mereka saja, sebab mereka tak pernah melakukan hal itu secara langsung dengan tangan mereka. Bahwa memang Isa tak pernah dibunuh maupun disalib orang Yahudi sebab ia dibunuh oleh perintah Gubernur Romawi serta disalib oleh serdadu-serdadunya, dan tak bisa dibunuh oleh mereka secara tuntas karena ia “dibangkitkan hidup kembali” dan Allah telah mengangkat Ia ke sorga, kepada Allah sendiri. Inilah suatu usaha pemahaman Kristen akan masalah ini, berdasarkan data yang ia lihat dari Al-Qur’an, dengan keterangan data sejarah dari Injil. 161 Penegasan tentang fakta kesejarahan dari peristiwa Penyaliban, Kematian, Penguburan dan Kebangkitan Yesus Kristus itu sangat sentral sekali dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox karena melalui peristiwa inilah keslamatan datang ke dalam dunia. Kristus Sebagai Landasan Keselamatan: Dalam Alkitab dan Dalam Gereja Pusat keyakinan Iman Kristen adalah Yesus Kristus sendiri sebagai pribadi, dan bukan sekedar suatu ide tentang moralitas atau ide keagamaan yang bersifat abstrak. Yesus Kristus dimengerti oleh Iman Kristen sesuai dengan yang diajarkan Alkitab sebagai “Firman Allah” (Yohanes 1:1), yang “olehNya /melaluiNya segala sesuatu diciptakan” Allah (Yohanes 1:3 ), dan yang “telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:14 ). Berarti Yesus Kristus adalah “Firman Allah” yang diutus Allah turun ke bumi (Galatia 4:4 ) dengan menjelma serta mengenakan sifat-sifat kemanusiaan yang jasmani secara kongkrit. Tujuan kedatangan Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah agar “ barangsiapa yang percaya akan Dai tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” ( Yohanes 3:16 ). Dengan demikian menurut Alkitab, keselamatan bukanlah “sesuatu” yang diberikan oleh Allah melalui Yesus Kristus, namun Yesus Kristus itu sendirilah “wujud” keselamatan itu. Serta “diluar Yesus Kristus” ini tidak ada keselamatan (Kisah 4:12 ). Berarti berbicara tentang keselamatan itulah berbicara tentang Kristus, dan berbicara tentang Kristus itulah berbicara tentang keselamatan. Kristologi ( Ajaran Tentang Kristus ) itulah Soteriologi ( Ajaran Tentang Keselamatan), dan Soteriologi itulah Kristologi. Itulah sebabnya mengapa dalam Gereja Purba di sebelah Timur : Gereja Orthodox perumusan dogmatis itu hanya berkisar sekitar Pribadi Yesus Kristus dalam hubunganNya dengan Allah dan manusia, karena disitulah terkandung secara langsung makna keselamatan itu.Sebagaimana yang telah kita bahas dalam bagian mengenai Sejarah dalam buku ini. Dan perumusan-perumusan Konsili-Konsili Purba ini akhirnya diterima sebagai standard bagi ajaran dan Iman Gereja Am yang benar dan tidak bersifat sektarian, terutama sekali dari Konsili I di Nikea (325) sampai dengan Konsili IV di Kalsedonia (451). Sehingga rumusan-rumusan kebenaran Alkitab dalam Konsili-Konsili itu tak lagi hanya menjadi milik dan standard bagi Iman Gereja Orthodox saja, namun juga milik semua ummat Kristen yang benar baik dari kalangan Roma Katolik maupun dalam kalangan denominasi-denominasi Protestan klasik.. Dalam Konsili I di Nikea pada tahun 325, Gereja Orthodox Purba ini di dalam melawan bidat Arianisme, menegaskan bahwa Kristus itu satu essensi dengan Allah (Bapa), sehingga Dia adalah “Allah Sejati” yang “keluar dari Allah Sejati”, karena Dia adalah Firman Allah sendiri, yang sifat hakekatNya adalah “Allah” adanya (Yohanes 1:1). Hanya jika Kristus adalah Allah sejati saja, maka penjelmaanNya sebagai manusia itu bermakna mendamaikan manusia berdosa kepada Allah yang Maha Kudus. Dan hanya penyaliban dari kemanusiaan Penjelmaan Allah (Sang Firman) saja, maka kematian dan derita Kristus itu merupakan pelenyapan kuasa maut oleh KebangkitanNya, dengan demikian sekaligus merupakan pelenyapan kuasa dosa, karena upah dosa adalah maut. (Roma 6:23). Dalam Konsili III di Efesus tahun 431, Gereja Orthodox Purba yang sama ini dalam melawan bidat Nestorianisme, menegaskan bahwa Kristus tak memiliki “Dua Pribadi dan Dua Kodrat yang terpisah-pisah”, namun memiliki “Satu Kodrat (Satu Pribadi) Firman Allah yang telah Menjelma”, sehingga Maria harus disebut “Theotokos” (Yang Memberi Kelahiran - secara daging - kepada Allah, - yaitu: Sang Firman -) karena hanya jika Kristus memiliki Kodrat yang manunggal secara tak terpisah-pisahkan saja, maka kemanusianNya itu dapat menjadi saluran bagi rahmat keilahianNya, sehingga rahmat ilahi itu dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada manusia bagi keselamatannya, karena kemanusiaan yang telah dikenakan oleh Firman Allah dalam penjelmaanNya ini adalah satu dan sama secara kodrat dan hakekat dengan kemanusiaan segenap ummat manusia (Ibrani 2:14,17). Dan apa yang ditegaskan dalam Konsili III di Efesus 162 ini, ditegaskan lagi oleh Gereja Orthodox Purba itu dalam Konsili IV tahun 451 di Kalsedonia, dalam melawan bidat Monophysitisme, bahwa “ Kristus itu bukan hanya memiliki satu kodrat ilahi saja “ namun memiliki “Dua Kodrat (ilahi sejati dan manusia sejati) yang menyatu dalam Satu Pribadi (hypostasis)” dari Firman Allah yang kekal, namun yang telah menjadi manusia itu, secara tak terpisah - pisahkan dan tak terbagi-bagi, namun tak terkacau-balaukan dan tak campur-baur. Sebab jika Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, seperti yang diyakini oleh ajaran Monophysitisme ini, berarti penjelmanNya sebagai manusia jadi tak bermakna, dan dampak dari penjelmaannya terutama penyaliban, kematian dan kebangkitanNya bagi keselamatan manusia yang terjadi dalam kemanusianNya itupun lenyap. Karena kodrat manusiaNya itu, menurut ajaran Monophystisme ini, sudah tak ada lagi, lenyap ditelan keilahianNya. Dengan demikian keselamatan manusiapun lenyap pula, karena keselamatan itu dilaksanakan dalam wujud kemanusiaanNya yaitu penyaliban, kematian dan kebangkitanNya dari kematian.. Sehingga jika Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, maka manunggal dengan Kristus itu berarti langsung melebur dalam keilahianNya, sebab menurut ajaran Monophysitisme ini Kodrat Kristus hanya satu saja yaitu : Kodrat Ilahi dan kodrat kemanusianNya sudah lenyap, sehingga jika betul demikian, kitapun akan menjadi satu dengan kodrat Allah itu sendiri, serta menjadi sama dengan Allah secara kodrat. Jelas ini akan menuntun pada ajaran pantheisme, yang diajarkan agama-agama Timur non-Kristen (Hindhu, Buddha, Kebatinan Jawa), namun yang ditolak Alkitab dan bertentangan dengan Iman Kristen yang benar. Demikianlah selanjutnya dalam Konsili V tahun 553, Konsili VI tahun 680-681 dalam melawan bidat Monothelitisme, serta Konsili VII tahun 787 dalam melawan bidat Ikonoklasme, yang ditegaskan adalah integritas Kristus sebagai “Allah Sejati” dan “Manusia Sejati” dalam “Satu Pribadi” dalam hal “kehendakNya” (“Monothelitisme”) dan dalam hal “kejasmanianNya” (“Ikonoklasme’), sebagai penjamin mungkinNya karya keselamatanNya itu dikaruniakan kepada manusia. Rumusanrumusan Konsili tentang Kristus (Kristologi) itu bukan semata- mata demi spekulasi filsafat, namun langsung terkait dengan makna keselamatan manusia (Soteriologi), dan demi menjaga kebenaran akan keselamatan di dalam Kristus itu. Beberapa Makna Keselamatan dalam Alkitab Dalam Matius 1:21, keselamatan dimengerti sebagai “bebas dari dosa” atau sebagai “Immanuel, Allah beserta kita” ( Matius 1:23). Rasul Paulus mengajarkan “ Yesus Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa” ( I Tim. 1:15). Juga dijelaskan bahwa “ Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang” (Lukas 19:10); untuk menyembuhkan orang sakit (Lukas 5:31) dan untuk memamnggil bukannya orang benar tetapi “orang berdosa supaya bertobat” ( Lukas 5:32). Kristus tidak datang untuk menghukum dunia, “ namun agar supaya dunia boleh diselamatkan melalui Dia” (Yohanes 1:17). Demikian juga dikatakan dalam Kolose 1:13-14, bahwa melalui Kristus Allah telah “ melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan AnakNya yang kekasih”, sehingga dengan kedatangan Kristus kita “telah pindah dari maut ke dalam hidup” (I Yohanes 3:14), serta “jika kita mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kita akan diselamatkan “ ( Roma 10:9-10), dan “jika Kristus tidak dibangkitkan,…maka sia-sialah iman kamu “ ( I Kor.15:14). Dari data-data Alkitab yang demikian itulah maka Pengakuan Gereja Purba yang dirumuskan di Nikea dalam Konsili I tahun 325 dan Konstantinopel dalam Konsili II tahun 381 mendeklarasikan bahwa Kristus “….untuk keselamatan kita, telah turun dari sorga, dan menjelma oleh Roh Kudus, dan dari Perawan Maryam “ yang menunjuk pada 163 fakta “Inkarnasi” (Penjelmaan sebagai Manusia), serta yang untuk keselamatan kita “ telah disalibkan….dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Dia menderita sengsara dan dikuburkan.Dan telah bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci. Dan telah naik ke sorga, serta duduk disebelah kanan Sang Bapa” yang menunjuk pada karya penderitaan, penyaliban, kematian/penguburan, kebangkitan serta kenaikanNya ke sorga. Dengan demikian berdasarkan data-data Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja Orthodox Purba, yang adalah “Pengakuan Gereja Yang Am dan Rasuliah” yang disebut “Pengakuan Iman Nikea” ini, dapat kita simpulkan bahwa keselamatan di dalam Kristus itu diberikan kepada manusia melalui “Inkarnasi” ( Penjelmaan Firman Allah sebagai manusia melalui Perawan Maryam oleh kuasa Roh Kudus), serta seluruh karya dan kehidupan Kristus, teristimewa penderitaan, penyaliban, kematian, kebangkitanNya dari antara orang mati, serta kenaikanNya ke sorga. Keselamatan dalam Kristus adalah kebebasan dari dosa, kebebasan dari kematian, dan kebebasan dari kuasa kegelapan (Iblis) serta penyembuh-pulihan dari kodrat kemanusiaan kita kepada kemuliaan Allah serta kehidupan kekal, yang adalah hidup milik Allah sendiri itu. Jadi puncak keselamatan di dalam Kristus adalah pemulihan hidup ilahi ke dalam manusia serta penyatuan kembali manusia berdosa dalam pengampunan dosa-dosanya kepada kemuliaan hidup Allah itu sendiri. Unsur-Unsur Ajaran Keselamatan (Soteriologi) Dalam terang makna keselamatan yang telah kita bahas diatas, maka ajaran tentang keselamatan yang terdapat dalam Alkitab sebagaimana yang dipercayai oleh Gereja Am sejak zaman purba itu, memiliki unsur-unsur berikut ini yang harus dibahas: 1. Manusia sebagai Obyek Karya Keselamatan: Kodrat Manusia, Kejatuhan dan Akibat-Akibatnya. 2.Karya Keselamatan Kristus: Pribadi dan Karya Kristus. 3. Keselamatan Sebagai Pengalaman Subyektif: Pribadi dan Karya Roh Kudus. 4. Gereja Sebagai Bahtera Keselamatan dan Persekutuan Orang Kudus 5. Penggenapan Keselamatan di Akhir Zaman.. 2.Karya Keselamatan Kristus: Pribadi dan Karya Kristus. a.Pribadi Kristus Sebagaimana yang telah kita bahas diatas, pribadi Yesus Kristus sebagai “Firman Allah” yang menjelma menjadi manusia adalah pusat dari Iman Kristen, dan menjadi landasan keselamatan manusia.Karena Dia adalah “pola asli “ kodrat manusia itu sendiri. Dan karena “pola asli” kodrat manusia adalah “Firman Allah” yang melalui Firman yang sama ini segala sesuatu diciptakan Allah (Kej.1, Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3, I Kor. 8:6, Ibrani 1:2-3, Kolose 1:15-16), maka untuk mengembalikan manusia kepada hidup kekal itu maka Firman Allah:” Pola Asli” kodrat manusia itu telah menjadi daging (Yohanes 1:14). Artinya Ia telah mengambil “ rupa….manusia” ( Filipi 2:7, Yohanes 1:14) “menjadi sama dengan mereka dan 164 mendapat bagian dalam keadaan mereka” ( Ibrani 2:14). Serta “…dalam segala hal Ia harus disamakan…” dengan manusia ( Ibrani 2:17), termasuk tubuh, jiwa, roh, pikiran, hati, emosi dan segala sesuatunya kecuali dosa, tanpa mengalami perubahan dari kodrat asliNya Yang Ilahi yang satu dalam KeAllahan dengan Sang Bapa itu. Demikianlah “Firman Allah” yang menjadi daging itu dalam kodrat asli ilahiNya berada satu hakekat dengan Allah serta tak terpisah dariNya sebagai Logos (Kalimatullah) sehingga Ia tetaplah “Allah Sejati”, namun sebagai yang telah “mengambil rupa manusia, sama, dan mendapat bagian dalam segala hal dengan keadaan manusia" tadi, Ia berada dalam satu hakekat dengan manusia, sehingga Ia benar-benar “Manusia Sejati”. Maka jadilah Ia satu-satunya “Pengantara” antara “Kodrat Ilahi” (Allah =Bapa), dan “Kodrat Manusiawi” (Manusia) – I Tim.2:5. Di dalam “Firman Menjelma” : Yesus Kristus ini, panunggalan antara Allah dan manusia, sorga dan bumi, rohani dan jasmani, ilahi dan manusiawi, yang tak tercipta dan yang tercipta, baka dan fana, Tuhan dan hamba, “kawulo lan Gusti” telah terjadi. Disinilah terlihat jelas apa kaitan Pribadi Kristus yang satu namun memiliki “Dua Kodrat” : Allah Sejati dan Manusia Sejati, itu terkait erat dengan keselamatan manusia. Dan dalam keadaan “Satu Pribadi” dalam “Dua Kodrat” atau “Dua Kodrat” dalam “Satu Pribadi” ini Ia menjalankan karya keselamatan itu. Dan karya keselamatan itu dijalankan sebagaimana yang kita bahas dibawah ini. b.Karya Kristus Karena “ tubuh jasmani” dimana maut, kelapukan dan kefanaan itu tinggal telah diambil dan dikenakan oleh “ Firman” (Logos/Kalimatullah) sebagai sumber dan asal-usul ciptaan, kehidupan, dan kekekalan ( karena Yang Ilahi itu adalah Hidup dan Kekal), maka terhisaplah kefanaan, kelapukan, dan kematian yang tinggal dalam Tubuh Kemanusiaan yang telah dikenakan Sang Firman dalam PenjelmaanNya itu, ke dalam kehidupan dan kekekalan Ilahi milik Allah itu sendiri, yang dibuktikan oleh Kebangkitan dari Tubuh kemanusiaanNya yang sama tadi dari antara orang mati. Salib adalah pintu gerbang bagi Sang Firman Menjelma untuk masuk ke dalam kerajaan maut, agar Kerajaan Maut itu dikalahkan. Sang Firman Menjelma:Yesus Kristus ini disalibkan karena ketaatanNya kepada kehendak Bapa, sebagaimana yang dikatakan Alkitab:” Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8) . Dan kehendak Bapa yang kepadanya Kristus taat sampai mati di kayu itu adalah kehendakNya untuk melepaskan manusia dari kuasa Iblis, Dosa, dan Maut agar manusia memperoleh hidup kekal (“mencapai theosis”) yang telah kita bicarakan. Berarti kehendak Allah ini adalah perwujudan dan manifestasi Kasih Allah atas dunia ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab:” Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa (yaitu: tidak berada dibawah kuasa :Dosa, Iblis dan Maut) melainkan beroleh hidup yang kekal (yaitu: manunggal dengan kehidupan dan kemuliaan Allah sendiri, atau dengan kata lain “mencapai theosis”) ( Yohanes 3:16). Karena kasih Allah mengaruniakan AnakNya dengan turun ke dalam dunia, dan karena taat kepada kasih tadi, Anak Allah sampai mati di kayu salib. Berdasarkan data Alkitab ini maka kematian Kristus itu tak dimengerti dalam bahasa hukum sebagaimana yang sudah sejak lama mendominasi pemikiran theologia Barat. Menurut bahasa hukum yang digunakan Gereja Barat dalam bertheologia, dosa manusia itu dimengerti sebagai melanggar keadilan Allah, sehingga Allah itu murka. Murka Allah dan keadilan Allah itu “harus dipuaskan” dengan suatu kurban. Maka Kristus telah mati sebagai korban diatas kayu salib untuk “memuaskan 165 keadilan” Allah, sehingga dengan demikian korban Kristus tadi menjadi sarana “memuaskan murka Allah” atas dosa manusia, yang berakibat manusia dilepaskan dari murka Allah dan mendapatkan keselamatan. Darah Kristus itu telah memuaskan hati Allah. Bahasa hukum yang demikian ini tak pernah dikenal oleh mayoritas para Bapa Gereja terutama di Gereja Timur. Berdasarkan data Alkitab diatas kematian Kristus diatas salib adalah manifestasi “philanthropia” (“kepengasihan Allah atas manusia”) melalui ketaatan (kepasrahan) Kristus yang mutlak terhadap kehendak kasih Allah tadi. Berarti diatas salib ini oleh ketaatanNya yang mutlak Kristus telah mengimpas ketidak-taatan Adam dalam kemanusiaan yang dikenakan. Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu sekarang sudah “dibenarkan” dihadapan Allah, karena tak ada lagi noda ketidak-taatan Adam sebagai intihakekat dari dosanya, dalam kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu.. Dengan demikian kemanusiaan itu telah mengalami “pembenaran” ( Roma 4:25) Demikianlah dosa dikalahkan diatas Salib. Dan sesudah masuk ke dalam alam maut melalui pintu Gerbang Salib itu, Kerajaan maut diporak-porandakan karena maut tak dapat menahan Tubuh Kristus yang mati dalam kuasa kelapukannya, maut dikalahkan melalui bangkitNya dari mati dan Iblis dilucuti karena Iblis yang berkuasa atas maut (Ibrani 2:14) tak dapat mencegah Kristus untuk lepas dari cengkeraman maut melalui kebangkitanNya.. Akhirnya tubuh kemanusiaan Kristus itu mencapai kemenangan dari kematian dan mengalami kebangkitan serta menyatu dengan kekekalan kodrat asli Firman yaitu kodrat ilahiNya yang sejak penjelmaanNya hadir pula dalam tubuh. Dengan demikian tubuh kemanusiaan Kristus itu telah dilepaskan yaitu “ditebus” dari kuasa “dosa, iblis, dan maut” (Markus 10:45 ). Demikianlah kemanusiaan itu sekarang telah mengalami “penebusan”. Maka tubuh kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan dimuliakan dalam kehidupan dan kekekalan itu sekarang menjadi sumber hidup kekal manusia. Akibat kematian dan kebangkitan Kristus itu kemanusiaan sudah menyatu dengan hidup ilahi, berarti manusia telah menerima“pendamaian” dengan Allah (Roma 5:10). Itulah sebabnya agar manusia yang bertubuh itu dapat ambil bagian dalam hidup kekal yang menampakkan diri dalam tubuh kebangkitan Kristus tadi, sampai kini di sorgapun Kristus masih memiliki “Tubuh Jasmani” yang telah dibangkitkan dan dimuliakan itu. Dan Tubuh Jasmani Kristus yang Mulia itu menyatu dengan kemuliaan Ilahi yang Maha Kudus, sehingga kemanusiaan itu sekarang dalam Tubuh Kemanusiaan Kristus yang mulia telah menerima “pengudusan” Dan Tubuh Mulia yang sama ini pula yang menjadi landasan manusia yang menyatu denganNya itu ikut pula dimuliakan. Hal ini dijelaskan dalam ayat Alkitab yang demikian :” …di dalam sorga…dari situ kita menantikan Tuhan Yesus …yang akan mengubah tubuh kita….sehingga serupa dengan TUBUH-Nya yang Mulia….” ( Filipi 3:20-21).Sampai kapanpun Yesus tetap “Logos” atau “Kalimatullah” yang memiliki hakekat Allah Sejati di dalam kesatuan hakekat dengan Bapa, dan juga memiliki hakekat Manusia Sejati karena Tubuh yang dikenakan dan dibangkitkanNya itu dibawa naik ke sorga dan Tubuh itu sekarang berada disana dalam keadaan mulia, serta menjadi landasan pemuliaan tubuh kita melalui kebangkitan tubuh kita diakhir jaman. Jadi Diri Yesus itulah Keselamatan. Kristologi itulah Soteriologi. Soteriologi itulah Kristologi. Jika Yesus itu hanya ilahi saja, manunggal dengan Kristus berarti melebur dalam keilahian, faham demikian ini adalah faham kafir “pantheisme” yang tak dapat diterima oleh iman Kristen yang benar dan Alkitabiah. Jika Yesus itu hanya manusia saja, manunggal denganNya tak akan membawa panunggalan kepada hidup yang kekal, sebab manusia biasa pada dirinya sendiri tak memiliki hidup kekal. Jika Yesus itu setengah Allah dan setengah manusia, kita tak mungkin dapat manunggal dengan yang setengah manusia karena kita adalah manusia yang utuh dan sejati, dan tak akan mendapatkan kemuliaan hidup ilahi sebab yang memiliki hidup ilahi adalah Allah yang Sejati dan sempurna. Jika Yesus sekarang tak memiliki Tubuh Manusia lagi, meskipun telkah 166 mulia, namun hanya berwujud roh saja, maka keselamatan itu akan hilang karena wujud keselamatan itu adalah dilenyapkan maut oleh Tubuh yang telah dibangkitkan tadi, maka binasalah kita jika kita percaya Yesus tak memiliki Tubuh lagi dan hanya berwujud roh seperti itu. Jika memang demikian, kemana hilangnya Tubuh yang telah dibangkitkan itu? Apakah menguap menjadi gas ketika Ia harus melewati atmosfeer pada saat kenaikanNya sebagaimana yang diajarkan orang-orang Saksi Yehuwah? Maka jelas bahwa Yesus Kristus itu sampai kapanpun tetap “Firman Yang Menjelma” artinya “Allah Sempurna sebagai Firman”, namun “Insan Sempurna sebagai Yang Telah Menjelma”. Hanya dengan menjaga makna kebenaran dari Kristus yang “Satu Pribadi dengan Dua Kodrat” yang tak pernah berubah, tak berbaur, tak kacau-balau, maupun tak terpisah-pisah yang demikian itu sajalah keselamatan itu mungkin bagi manusia. Inilah ajaran Gereja Am yang Rasuliah dan Alkitabiah, yang telah dibela dan dirumuskan oleh Gereja Purba dan tetap tetap dipertahankan sampai sekarang oleh Gereja Orthodox, pada Konsili Kalsedonia pada tahun 451. Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan oleh Firman Allah dalam penjelmaanNya: Yesus Kristus, itu adalah merupakan kemanusiaan yang baru. Suatu kemanusiaan yang seharysnya dicapai oleh Adam seandainya Adam tidak jatuh di dalam dosa. Itulahy kemanusiaan yang sekarang harus menjadi tujuan akhir kita dalam mencapai “theosis”. Sekarang karena “theosis”`manusia itu sudah terjadi dalam Adam yang akhir dan baru: Yesus Kristus, maka hanya dengan menyatu dan manunggal dengan Yesus Kristus sajalah “theosis” itu mungkin bagi kita. Perbuatan baik dan amal manusia pada dirinya sendiri tanpa menyatu dengan Kristus ini tak akan membawa keselamatan. Tak ada perbuatan baik satupun yang dapat memuliakan manusia, sebab sumber pemuliaan itu adalah Tubuh Kebangkitan Kristus yang telah dimuliakan itu. Keselamatan tak akan di dapat melalui perbuatan baik dan amal-jasa manusia saja. Dengan demikian mulai dari Ireneus dan seluruh abad sejarah Kekristenan para Bapa Gereja di Timur yang menggunakan bahasa Yunani, selalu menegaskan “ Anak Allah menjadi manusia, agar manusia boleh menjadi anak-anak Allah”, “ Allah menjadi manusia, agar manusia boleh menjadi seperti Allah”, “Yang Roh menjadi Yang Daging, agar yang daging ini boleh ambil bagian di dalam sifat dan kodrat Yang Roh”, “Apa yang dimiliki Allah secara kodratNya, itu diberikan kepada manusia melalui anugerah (rahmat, kasih-karunia) Nya.” Keselamatan itu bukan hanya sekedar status yang diberikan saja, (misalnya: “Orang berdosa yang dibenarkan” sebagaimana pernah dihayati Luther) namun kodrat kemanusiaan yang benar-benar dipulihkan secara realita, dan bukan hanya sekedar secara posisi dan status. Keselamatan itu bukan “sesuatu yang dituangkan” dari luar, namun penyembuhan yang dimulai dari dalam. Keselamatan itu bukan hanya sekedar masuk sorga lepas dari neraka, namun manunggal dalam hidup ilahi itu sendiri, dan menyatu dalam kemuliaan kodratNya di dalam Kristus (“ambil bagian dalam kodrat ilahi” II Pet.1:4). Keselamatan adalah pelepasan dari kuasa Iblis, Dosa, Kelapukan Tubuh, Kefanaan Hidup, dan Kematian serta dimanunggalkan dengan Tubuh Kebangkitan Kristus dan dengan demikian manunggal dengan hidup ilahi, menyatu dalam kemuliaan serta mencapai “theosis”. d. Sang Perawan Maryam Dalam penjelmaanNya sebagai manusia Firman Allah yang turun dari sorga, menjelma “dari Sang Perawan Maryam”. Dan dengan menjelma “dari Sang Perawan Maryam” ini, Ia “menjadi manusia”. Dengan demikian maka “kemanusiaan” yang diambil dan dikenakan oleh Firman 167 Allah “dalam penjelmaanNya” itu pastilah berasal dari “Sang Perawan Maryam” ini. Karena sebagai “Firman Allah” yang adalah “Anak Allah yang Tunggal” sejak “sebelum segala zaman” dan bersifat “Allah sejati” karena Ia itu “keluar dari Allah sejati” serta dalam wujud “Terang” - jadi bukan berwujud jasmani - karena Ia “ keluar dari Terang” karena Allah memang bersifat terang, maka jelas Ia tak memiliki wujud kemanusiaan dan bukan manusia. Sebagai yang bukan manusia itu Ia “turun dari sorga”, dan setelah “menjelma…dari Sang Perawan Maryam” itu Ia “menjadi manusia”. Berarti Maryam telah ikut berpartisipasi dalam memberikan kemanusiaan kepada Firman Allah, agar Ia dapat “disalibkan, mati, dikuburkan serta bangkit dari antara orang mati”, dan tubuh yang telah diambil dari Maryam dan dibangkitkan itu akhirnya dibawa “naik ke sorga” serta “didudukkan di sebelah kanan Allah” dan dengan “tubuh yang telah dimuliakan” yang asalnya “dari Sang Perawan Maryam” itulah nantinya Kristus “akan datang lagi dalam kemuliaan”. Itulah sebabnya andil Maryam bagi keselamatan manusia itu besar sekali, meskipun yang menjalankan keselamatan dengan mengalahkan kematian itu bukan pribadi Maryam, namun pribadi Anak Allah yang telah mengambil kemanusiaan dari Maryam itu sendiri.Jadi Maryam itu bukan juruselamat, dan tak pula ikut ambil bagian sebagai penebus disamping Kristus, bukan pula ia itu pengantara keselamatan kepada Allah. Ia adalah yang mengandung “Anak Allah yang Tunggal…Terang…Allah Sejati….Satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa” ketika Ia menjelma “dari Sang Perawan Maryam”. Jadi yang tinggal dalam rahim Maryam saat Ia mengandung itu bukan manusia biasa namun “Allah sejati” yaitu “Anak Allah Yang Tunggal” yaitu “Firman Allah” sendiri yang sedang “menjelma”. Oleh karena itu “Pribadi” anak yang sedang dikandung oleh Maryam ini bukanlah hanya sekedar pribadi manusia biasa namun pribadi “Allah Sejati” yang sedang menjelma. Dengan demikian Maryam tidak sekedar menjadi Ibu seorang manusia biasa, namun Ibu dan Bunda dari “Allah Sejati” yang sedang menjelma dan menjadi manusia ini. Demikianlah maka Gereja menyebut Maryam sebagai “Theotokos” yaitu ia yang “Memberi Kelahiran - dalam penjelmaanNya secara jasmani- kepada Allah –Firman Allah – “. Dan kejadian bayi dari kemanusiaan Maryam ini adalah semata-mata mukjizat “dari Sang Roh Kudus” yang menjadikan “indung telur” dari rahim Maryam tanpa dibuahi pria “menjadi manusia”. Fungsi Roh Kudus kepada Maryam adalah untuk “menyucikan Maryam” agar layak menjadi sarana menjelmaNya Firman Allah di dalam dirinya. Itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak mengajarkan bahwa : “Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal”. Maryam adalah orang berdosa sama seperti kita semua namun yang disucikan oleh Roh Kudus saat ia menerima panggilan menjadi Ibu Sang Penebus. Atas dasar semua alasan inilah Maryam memiliki tempat dalam Pengakuan Iman, dalam theologia Gereja, dalam ekspresi ibadah Gereja, dan dalam ikonografi Gereja. Jadi Maryamologi (Mariologi) dalam Iman Orthodox hanya perpanjangan dari Kristologi saja, bukan sesuatu pembahasan yang berdiri sendiri terlepas darri Kristus. Sebagian orang yang tak mengerti Iman Orthodox secara benar, atau karena mungkin sebagai reaksi terhadap Mariologi dari Gereja Roma Katolik, bahkan dikalangan umat Kristen sendiri, serta tanpa merenungkan implikasi theologis dan landasan Alkitabiah mengenai gelar “Theotokos” bagi Maryam Sang Perawan ini sering mengejek gelar ini dengan mengatakan;” Allah tidak punya Ibu. Allah tidak dilahirkan oleh siapapun. Maria hanya melahirkan manusia biasa saja. Jadi dia itu bukan Bunda Allah, hanya Bunda Yesus saja”. Persis seperti yang dikatakan Nestorius itu. Atas pernyataan semacam itu, kita bertanya:” Betulkah orang-orang yang mengaku Kristen ini percaya pada ke-Allah-an Yesus sebagai “Firman Allah” atau tidak? Kalau memang percaya, apakah ke-Allah-an Yesus sebagai “Firman Allah” itu kekal atau tidak? Jika memang kekal, ketika berada di dalam rahim Maryam, Dia masih memiliki ke-Allah-an, yaitu tetap sebagai “Firman Allah” atau tidak? Jika masih memiliki, maka Maryam itu hanya sekedar melahirkan manusia biasa saja, 168 ataukah melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia? Jika dia melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka kemanusiaan dari Anak yang dilahirkannya itu miliknya Allah yaitu “Firman Allah” ini atau bukan? Jika kemanusiaan bayi yang dilahirkan Maria memang milikNya Allah yang menjelma ini, berarti Maryam menjadi “IbuNya Allah” yang menjelma ini dalam kemanusiaanNya atau bukan? Jika demikian, bukankah Maria adalah “Bunda Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia? “. Jadi memang Maryam bukan “Bunda Allah” Bapa (Allah yang Esa) yang tak pernah menjelma menjadi manusia, sebab Sang Bapa itu kekal tanpa awal maupun akhir, dan tak diperanakkan ataupun beranak. Bukan pula gelar “Bunda Allah” berarti Maryam itu “isterinya” Allah (‘naudzubillah min dzalik!!!) sebagai pasangan dari Allah Sang Bapa. Sebab Allah yang bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan banci serta tak berjenis kelamin itu bagaimana memiliki isteri? Lagipula Allah yang ghoib, tak bertubuh jasmani, bersifat Roh murni, bagaimana dapat memiliki pasangan yang kasat-mata, bertubuh jasmani, hanya sekedar makhluk saja? Itulah sebabnya Maria bukan disebut sebagai “Allah Sang Ibu” karena dia bukan pasangan ataupun isteri “Allah Sang Bapa”. Namun Maria adalah “Bunda Allah”, yaitu Bunda “Firman Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia, karena “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1).Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia lahir tanpa Bapa manusia, seolah-olah Allah itu menjadi suami Maryam dan melahirkan Anak Allah, dengan Maryam sebagai Bunda Allah Anak ini. Yesus disebut “Anak Allah” bukanlah dalam wujud kemanusiaanNya, namun dalam keberadaanNya sebagai Firman (Yohanes 1;14,18). Anak Allah yaitu Firman Allah sudah ada sebelum bayi Yesus lahir dari Perawan Maryam ( Yohanes 17:5, 8:56-58). Firman Allah disebut “Anak Allah” karena sejak kekal Dia dikandung di dalam Diri Allah sendiri, sebagai Akal-Budi atau Ilmu Ilahi dan selalu bersama Allah ( Yohanes 1:1) yaitu melekat satu dalam Hakekat (Dzat, Essensi) Allah itu. Jadi Allah “mengandung” FirmanNya sendiri. Dan dari kandungan Hakekat Allah inilah Firman itu “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42) ketika diwahyukan dalam diri Allah sendiri dalam kekekalan sebagai “Gambar Allah” (“Cermin Allah” menurut bahasa Tassawuf), ketika diucapkan sebagai Sabda “Kun Faya kun” (“Jadilah maka jadi”, “yehi wa yehi”) saat penciptaan dunia, ketika diturunkan ke dunia menjadi manusia Yesus Kristus saat Inkarnasi. Jadi seolah-olah Firman yang dikandung Allah itu dikeluarkan atau “dilahirkan” oleh Allah di dalam DiriNya sendiri. Itulah sebabnya Firman Allah itu secara kata kias disebut sebagai “Anak Allah”. Demikianlah jelas bahwa Allah itu tak diperanakkan maupun beranak apalagi beristeri, sebab yang dimaksud “Anak Allah” adalah “Kalimatullah” sendiri yang sejak kekal dikandung dan dikeluarkan oleh Allah sendiri, dan akhirnya diturunkan (“nuzul”) dalam wujud manusia Yesus Kristus. Dengan demikian bukan karena lahirnya tanpa bapa manusia itu, yang menyebabkan Yesus Kristus disebut “Anak Allah”. Kelahiran Yesus oleh Maryam itu bukan permulaan keberadaanNya, itu hanya permulaan nuzulNya diatas bumi ini saja. Itulah sebabnya jika Maryam hanya disebut Bunda Yesus saja, berarti Yesus itu hanya manusia biasa, dan tak memiliki ke-Allah-an sebagai Kalimatullah yang kekal dan sekarang telah nuzul. Jika begitu sejak kapan Yesus menjadi Allah, sebab ketika lahir dari Maria Dia bukan Allah, buktinya Maria tak boleh disebut “Bunda Allah” untuk menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah Allah dalam hakekat pribadi kekalNya? Jika hanya baru kemudian saja manusia Yesus anak Maryam ini menjadi Allah, apa bedanya dengan agama kafir yang membuat manusia biasa menjadi ilah? Bukankah kalau begitu orang sedemikian ini percaya pada kemungkinan manusia biasa Anak Maryam bisa berkembang menjadi Allah? Apakah bukan berhala dan kemusyrikan ajaran yang sedemikian ini? Dengan demikian Yesus bukan betul-betul Allah namun manusia yang baru kemudian jadi Dewa, karena waktu dalam kandungan Maria dan waktu dilahirkan Dia bukan Allah, dan tak boleh disebut Allah, sebab Ibunya tak boleh disebut Bunda dari “Allah” 169 yang sedang menjelma menjadi manusia Yesus ini? Atau jika bukan demikian, apakah keAllah-an Yesus itu terpisah-pisah dari kemanusiaanNya, dimana waktu Dia dikandung serta dilahirkan Maryam, ke-Allah-an itu dalam keadaan terpisah? Jika betul demikian justru inilah bidat “Nestorianisme” yang ditentang Gereja Orhodox di jaman purba, melalui Konsilinya yang ketiga di Efesus tahun 431 Masehi, dan justru gelar “Theotokos” ini yang setidaktidaknya pada abad kedua dan ketiga sudah digunakan di dalam Gereja Purba, dan dalam Konsili itu disahkan secara resmi penggunaannya karena memang konsisten dengan Ajaran Alkitab, untuk dijadikan pagar bagi menjaga ketak-terpisahan Dua-Kodrat Yesus di dalam satu Pribadi itu. Inilah implikasi yang sangat menyesatkan dari penolakan gelar Bunda Allah bagi Maria itu. Jadi Gereja Orthodox tetap konsisten pada Tauhid, gelar ‘Theotokos’ bagi Maria justru untuk menjaga Tauhid tadi, yaitu menjaga agar tak ada anggapan bahwa manusia dapat berkembang menjadi Allah, dan untuk menjaga agar tak ada anggapan bahwa Kalimatullah dapat berubah dari keilahian dan kesatuanNya dengan Allah ketika Nuzul sebagai manusia.. Gelar ini bukan untuk meninggikan Maria sebagaimana kemudian yang disalah-artikan atau dibesar-besarkan dalam tradisi Roma Katolik, namun gelar ini untuk menjaga integritas ke-Dua-Kodrat-an dalam Kesatuan Pribadi dari Firman Allah yang menjelma: Yesus Kristus. “Theotokos’ lebih bersifat Kristologis daripada Mariologis dalam ajaran Gereja Orthodox. Jika begitu marilah kita selidiki ajaran Alkitab, terutama Perjanjian Baru mengenai gelar ‘Theotokos” ( Bunda Allah) bagi Maryam Sang Perawan ini. Perjanjian Baru tidak banyak memuat kisah Maria, karena Maria memang bukan fokus pemberitaan Perjanjian Baru. Berita Perjanjian Baru adalah tentang Kristus, dan pembahasan kita tentang Maria adalah sebagai “dampak” langsung dari Inkarnasi ( Penjelmaan sebagai Manusia), dan bukan inti dari Inkarnasi itu sendiri. Maria harus ada agar Inkarnasi Firman Allah ke dalam dunia ini terjadi. Jika tak ada Maria Inkarnasi itu tak terjadi, sebab wanita yang harus menjadi sarana kelahiran Firman dalam penjelmaanNya sebagai manusia itu itu sosoknya sudah dinubuatkan (Kejadian 3:15), pribadinya sudah ditentukan (dari keturunan Abraham, dari jalur Daud, berasal dari Betlehem), dan semuanya itu hanya tergenapi dalam Maria saja, bukan wanita yang lain. Itulah sebabnya sosok Maria itu bukan suatu kebetulan, namun pribadi yang sudah direncanakan oleh kerelaan kehendak Allah dan ditetapkan oleh Allah di dalam ke-Maha-Berdaulatan dan ke-Maha-TahuanNya. Meskipun pembahasan tentang Maria itu sebagai “dampak” dan bukan inti dari peristiwa Inkarnasi, namun ini merupakan suatu dampak yang sangat penting, karena ini akan merupakan pagar yang sangat penting dalam kita menjaga iman kita kepada Kristus agar tak terbelokkan kepada pengajaran yang salah. Dalam Matius 1:23, bayi yang dilahirkan oleh Maryam itu disebut sebagai “Immanuel” yang artinya “Allah menyertai kita”. Ini berarti bahwa yang berwujud manusia itu ternyata bersifat dan berhakekat Allah, sebab jika tidak demikian pastilah Dia tak disebut sebagai “Allah menyertai”. Serta ini bermakna pula bahwa dalam keadaan sebagai bayi manusia itupun Pribadi bayi ini adalah Pribadi Allah. Jadi ini menegaskan apa yang dikatakan oleh Yohanes bahwa “Firman” yang adalah “Allah” ( Yohanes 1:1) telah “menjadi manusia” ( Yohanes 1: 14) tanpa berubah dari sifat ke-Allah-anNya, sebab Allah itu tak mungkin berubah, sehingga setelah lahir dalam wujud manusiapun Dia tetap disebut “Allah” menyertai kita. Jadi “Subyek” yang menjadi Pribadi dari bayi manusia Anak Maryam ini adalah Firman Allah (“Anak Allah”) yang kekal dan pra-ada sebelum lahir jadi bayi. Hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian:’…Allah mengutus AnakNya ( yaitu: FirmanNya yang praada itu) yang lahir ( dalam nuzulNya ke bumi dalam pengutusan itu) dari seorang perempuan (Maryam)” ( Galatia 4:4). Jadi ke-ilahi-an yang pra-ada dari Firman Allah (Yohanes 1:1) atau Anak Allah (Galatia 4:4) itu tak hilang dan tak berubah ketika Dia nuzul sebagai bayi, karena Allah ataupun KalimatNya memang tak pernah berubah. Demikianlah Firman Allah itu tetap 170 Allah sebelum turun, ketika dikandung, dan setelah dilahirkan oleh Maryam Sang Perawan dalam wujud baru yang dikenakanNya itu karena Dia “telah mengambil rupa…menjadi sama dengan manusia “ (Filipi 2:7).Karena manusia itu dikenal melalui hakekat pribadinya dan bukan hanya melalui bentuk-raganya,demikianlah Maria itu tidak hanya mengandung raga seorang bayi manusia saja, namun mengandung bayi yang memiliki hakekat Pribadi Firman Allah yang bersifat Allah yang mengenakan dan mengambil raga bayi dari ovum Maria. Ovum ini tanpa sperma laki-laki telah diciptakan oleh Kuasa Allah sendiri menjadi bayi dan disatukan serta dimanunggalkan dengan kodrat ilahi Kalimatullah sendiri serta diberi kehidupan manusiawi oleh Roh Kudus atau Roh Allah yang berada melekat satu di dalam Hakekat (Essensi, Dzar) Allah sendiri. Dengan demikian Firman Allah yang kekal dan yang sama itulah yang menjadi subyek Pribadi si bayi Anak Maryam itu. Sehingga Maryam memang betul-betul melahirkan seorang bayi manusia yang subyek PribadiNya adalah Allah yaitu Kalimatullah sendiri. Demikianlah Maria itu benar-benar “Theotokos” (Tokos = Sang Pemberi lahir secara jasmani karena nuzulNya Theos = kepada Allah yaitu Kalimatullah/Firman Allah yang secara kekal tak berjasmani itu”). Jadi sebutan “Theotokos” bagi Maryam itu justru keilahian Kristus yang tak pernah berubah sebagai Kalimatullah itulah yang ditekankan, bukan diri Maria sendiri. Itulah sebabnya ketika Maryam mengunjungi Elisabet, oleh ilham Roh Kudus dalam suatu nubuat wanita tua yang saleh ini menyapa Maryam dengan sebutan “Ibu Tuhan” ku (Lukas 1:43). Kata “Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang, sebagaimana yang telah kita bahas diatas, dan sebaiknya kita ulang lagi: 1. 1.Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai Nama Allah sendiri dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci sekali sehingga takut untuk mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay” (“Tuhanku”). Pada waktu Akitab Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri. 2. 2.Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan, kepenguasaan atau kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini kata “Kyrios” yang digunakan orang-orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:” Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan memanglah demikian maknanya. 3. 3.Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini mempunyai makna sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios) disini tak langsung menunjuk kepada makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan penggunaanya dengan sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya bukan “Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”, “Sang Junjujngan Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-ayat berikut ini :”…Yesus adalah Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Roma 10:9-10), “ Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu Allah saja, yaitu Bapa,…..satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih banyak yang lain lagi. Ayat-ayat diatas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari antara orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan (berarti: 171 ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak: Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” ( Matius 28: 18). Dengan demikian karena Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang telah bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau “Tuhan” atas sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios” (“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Adam yang terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena kejatuhan. b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Kalimatullah yang menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam melalui kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau keTuhanan Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah Kalimatullah yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah itu Allah melaksanakan kuasa KetuhananNya sendiri. Dengan demikian baik Allah maupun KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia, karena dengan kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan nati (Filipi 3:20-21). Setelah mengerti makna kata “Tuhan” yang dikenakan kepada Yesus Kristus, maka jelas jika kita sekarang menyebut “Tuhan Yesus Kristus” maka makna ketiga itulah yang kita maksud. Sedangkan ketika para Malaikat (Lukas 2: 11) menyebut Kristus sebagai Tuhan, dan terutama sekali ketika Elisabet menyebut Maria sebagai “Ibu Tuhan” ( Lukas 1:43), jelas yang dimaksud bukan makna ketiga ini, karena Yesus baru atau belum lahir, belum bangkit, dan belum dimuliakan. Bukan pula makna kedua, karena seorang bayi tak akan disebut “Pak” atau “Tuan”, namun itu menunjuk makna pertama “Kyrios” (“YHWH”), yaitu sebagai Nama Allah sendiri, untuk menunjuk bahwa bayi yang sedang lahir itu adalah “YHWH” yaitu “Firman YHWH” sendiri yang sedang menjelma sebagai manusia. Dengan demikian “Ibu Tuhan” bagi Maria ini identik dengan “Bunda Allah” atau “Theotokos”. Jadi Maria memang “Ibu dari Yang Ilahi” sendiri, yaitu “Bunda Allah” Sang Sabda dalam keberadaan nuzulNya, bukan dalam keadaan azali atau kekalNya. Karena keberadaan Sabda Allah yang azali dan kekal itu tak berbadan jasmani, tak beribu serta tak dilahirkan wanita, dan tanpa awal maupun akhir. Melalui gelar “Theotokos”` bagi Maria inilah justru keilahian Yesus Kristus sebagai Kalimatullah dijaga dan dipagari. Maka kita tak akan lupa bahwa bayi yang dilahirkan Maria itu ternyata tetap Allah yang sama, dan tak pernah berubah meskipun telah turun sebagai manusia, sehingga Ibu manusiaNya berhak disebut “Bunda Allah” (“Theotokos”). Sisi lain dari gelar “Theotokos” ini adalah untuk menegaskan kemanusiaan Yesus Kristus. Karena tanpa menegaskan kemanusiaanNya, kita akan jatuh pada ajaran bidat Monofisitisme yang hanya menekankan keilahian Yesus Kristus dan menghilangkan kemanusiaanNya serta dengan demikian mensifatkan wujud kemanusiaaNya itu sebagai Yang Ilahi sendiri. Jika yang demikian ini yang terjadi akhirnya kita bukan menyembah Allah yang benar dan ghaib, namun menyenmbah makhluk manusia Anak Maryam : “ Dewa Yesus”. 172 Alkitab mengajarkan bahwa ketika Firman Allah “mengambil rupa ….menjadi sama dengan manusia” ( Filipi 2:7) atau “lahir dari seorang perempuan” ( Galayia 4:4) yaitu “ menjadi manusia” ( Yohanes 1:14), dia mengambil ini dengan “menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka” (Ibrani 2:14) artinya “ dalam segala hal (yaitu: termasuk tubuh, jiwa, roh, akal-budi, emosi, kehendak, dan segenap sifat-sifat kemanusiaan) Ia harus disamakan dengan” manusia ( Ibarni 2:17). Ini berarti bahwa Yesus Kristus adalah manusia sempurna. Dalam segala hal Dia memiliki kodrat yang sama persis dengan segenap manusia lainnya. Karena kodrat kemanusiaan yang diambilNya itu tak berbeda dalam segala hal dari segenap manusia di alam ini, maka Dia betul-betul Anak Maryam ( Markus 6:3). Karena Yesus dalam kemanusiaanNya itu disebut “Anak Abraham” dan “Anak Daud “ ( Matius 1:1), maka haruslah dalam jasad daging kemanusiaanNya itu mengalir “gen” dari Abraham dan Daud bapabapa leluhurNya secara manusia itu. Padahal “gen” tadi harus didapat dari manusia yang merupakan keturunan Abraham dan Daud, dan kita tahu satu-satunya manusia yang mempersembahkan kemanusiaan dengan cara melahirkan Firman Allah yang menjelma ini sebagai bayi adalah Maryam, berarti Yesus memang harus mengambil “gen” Abraham dan Daud itu melalui Maryam. Artinya Maryam harus sungguh-sungguh dalam arti literal adalah Ibu kemanusiaan dari Penjelmaan Kalimatullah ini. Maryam tidak hanya sekedar dilalui atau dilewati oleh kelahiran Yesus saja, namun kemanusiaan Yesus itu berasal dari ovum kemanusiaan Maryam. Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai “buah rahim” Maryam ( Lukas 1: 42). Ini berarti Maryam adalah pohon dari kemanusiaan Yesus, dan rahim atau ovum Maryam itu menjadi asalusul dimana “BUAH” yaitu tubuh kemanusiaan bayi Yesus itu diproses. Jadi Maryam bukan hanya sebagai saluran saja, dalam arti tak menyumbangkan apapun kepada kodrat kemanusiaan dari Kalimatullah yang menjelma, seperti layaknya pipa kraan yang dialiri air. Analogi ini tak masuk akal, karena air dari pipa kraan itu bukan “buah” dari pipa tadi, padahal Yesus adalah “buah rahim” Maryam. Jadi memanglah kemanusiaan Yesus itu semata-mata berasal dari ovum Maryam yang tanpa sperma laki-laki oleh Kuasa Firman Allah itu sendiri dijadikan bentuk Bayi dan oleh Roh Allah sendiri diberikan kehidupan. Dengan demikian Yesus itulah ‘Keturunan Perempuan’ ( Kejadian 3:15) karena terjadi tanpa sperma pria sama sekali namun langsung oleh Kuasa Yang Maha Tinggi sebagai mukjizat luar biasa, dan sekaligus “keturunan Abraham dan Daud”, karena Maryam adalah keturunan mereka dan melalui ovumnya “gen” Abraham dan Daud menjadi kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma. Itulah sebabnya Galatia 4:4 mengatakan bahwa Anak Allah yang pra-ada itu ketika lahir menjadi manusia dikatakan “genomenon ek gunaikos” = “lahir keluar dari” atau “berasal dari” perempuan “. Jadi “berasal dari” atau “keluar dari” Maryam inilah kemanusiaan Yesus itu dilahirkan ke dunia. Maryam bukan hanya dilalui saja, namun betul-betul menjadi Ibu Yesus Kalimatullah itu, yang darinya kalimatullah yang tak berjasad jasmani itu mendapatkan jasad-jasmani kemanusiaanNya. Itulah sebabnya Maryam disebut “Theo-“ yang menekankan ke “Allah” an si Bayi sebagai kalimatullah, dan “-tokos” yang menekankan sungguh-sungguh si Bayi itu terlahir dari Maryam, berarti Ia manusia sejati yang memiliki permulaan dari kelahiran Jadi memang Maryam yang harus memiliki gelar ini, untuk menandaskan secara tegas bahwa kemanusiaan dari Bayi yang terlahir itu memang berasal dari Ibu yang melahirkan itu yang adalah betul-betul manusia. Sehingga si Bayi itu adalah manusia sejati dan sempurna, karena Ibu yang melahirkan adalah manusia sejati. Demikianlah gelar “Theotokos” bagi Maryam itu merupakan ringkasan theologis tentang makna Inkarnasi Kristus, serta menjadi pagar dan penjaga kokoh bagi “keilahian” dan “kemanusiaan” Kristus, yang tidak saling berbaur, tidak saling kacau, namun tak-terpisah-pisahkan dan tak terbagi-bagi dalam kesatuan Pribadi Firman Allah yang hanya satu itu. Gereja Orthodox pada tahun 431 di Efesus mengutuk “Nestorius” yang menolak gelar ini, karena penolakan itu berarti pemisah-misahan Pribadi Kristus yang satu itu menjadi dua. Jika Maryam hanya melahirkan 173 kemanusiaanNya saja, berarti si Bayi yang lahir itu tak memiliki Pribadi Ilahi, dengan demikian sudahlah terpisah antara Pribadi Ilahi dan Pribadi Manusianya, sehingga ada dua Pribadi yang berbeda. Dengan demikian Yesus Kristus itu bukan Firman Allah yang menjelma, namun hanya manusia biasa Anak Maryam, yang baru kemudian kesurupan Firman Allah, seperti layaknya kalau orang kesurupan setan. Dalam pengertian semacam ini maka Pribadi Firman Allah dan Pribadi Anak Maryam memang beda, berarti ada dua pribadi dalam Yesus, dan bukan Satu Pribadi yang berkodrat dua secara tak terpisah. Jikalau begitu yang disalib itu hanya sekedar manusia biasa, bukan kematian dari kodrat kemanusiaan Firman Allah yang menjelma, sebab kodrat ilahiNya memang tak dapat disalib dan tak dapat mati. Jika yang mati itu hanya manusia biasa Anak Maryam saja, maka keselamatan tak akan terjadi oleh kematian semacam itu. Sampai sekarangpun Gereja Orthodox akan tetap menyangkal “Nestorius-Nestorius “ modern yang menolak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”. Jelaslah gelar Theotokos bukanlah untuk memberhalakan atau mendewakan Maryam seperti yang sering disalah-mengerti serta seperti yang telah dialih-maknakan dalam Gereja Roma Katolik. Namun gelar itu untuk menjaga keutuhan dan kesatuan “dua-kodrat” Kristus dalam “satu Pribadi”. Sedangkan Maryam sendiri sebagai pribadi sampai kapanpun dia adalah “hamba Tuhan” yang suci, saleh, serta taat. (Lukas 1:38). 3 a. Pribadi Roh Kudus 3.Keselamatan Sebagai Pengalaman Subyektif : Pribadi dan Karya Roh Kudus. a.Pribadi Roh Kudus. Keselamatan itu secara obyektif-historis telah terjadi dalam pribadi dan karya penjelmaan Yesus di masa lalu, terutama dalam penderitaan, penyaliban, kemtian dan kebangkitanNya. Dalam makna ini kemanusiaan kita secara prinsip sudah diselamatkan. Tetapi karena peristiwa itu sudah terjadi di masa lampau, kira-kira 2000 tahun yang lalu, keselamatan itu masih dapat tetap berlaku bagi kita, dan dialami manusia secara subyektif pada masa kini - di abad kedua puluh yang hampir menginjak abad dua puluh satu ini -, melalui karya Roh Kudus. Sebelum penderitaanNya Kristus menjanjikan:” Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran…” (Yohanes 14:16-17), “ …Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus Bapa dalam NamaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu, dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu “ (Yohanes 14:26) “ Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku “ (Yohanes 15:26). Janji-janji Kristus tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Roh Kudus yaitu RohNya Allah sendiri, yang pada saat Perjanjian Lama selalu bekerja pada orang-orang tertentu, dan selalu hadir untuk menopang kehidupan alam semesta ini, akan secara khusus dikirimkan oleh Allah “ atas Nama Yesus” untuk menjadi “Penolong yang lain” dan “Penghibur” yang tugasnya adalah “menyertai kamu (orang-orang milik Kristus) selamalamanya” “mengajarkan segala sesuatu” dan “mengingatkan akan semua apa yang telah Yesus katakan” serta “ bersaksi tentang Yesus”. Ini berarti tugas Roh Kudus adalah untuk menghadirkan Kristus sendiri kepada orang beriman. Sebagaimana Yesus itulah “Parakleetos” (“Penolong” - I Yoh.2:1), maka Roh Kudus akan menjadi “Penolong yang lain”. Karena itu Roh Kudus tak akan berbicara mengenai ajaranNya sendiri, namun 174 mengungkapkan segala sesuatu yang Yesus historis itu pernah ajarkan. Roh Kudus tak akan menyaksikan DiriNya sendiri, namun Yesus yang telah dimuliakan itu yang akan disaksikan. Demikianlah dalam Roh Kudus itu Yesus yang telah melaksanakan karyaNya secara historis hadir secara rohani dan ghaib melintas waktu dan tempat, sehingga tetap dapat secara relevan dialami manusia sampai kapanpun. Tugas Roh Kudus yang demikian inilah yang mengharuskan bahwa Roh Kudus itu harus ilahi. Sebab Kristus yang dihadirkan dan diwakili kehadiranNya oleh Roh Kudus itu adalah ilahi. Maka hanya yang ilahi dapat menghadirkan yang ilahi secara nyata dan kongkrit Apalagi kehadiran Kristus adalah untuk memberikan hidup ilahi kepada manusia, maka hanya Roh yang Ilahi saja yang dapat memberikan hidup ilahi yang telah dinyatakan melalui kebangkitan Yesus itu. Itulah sebabnya dalam Konsili II di Konstantinopel, Gereja Purba yang Orthodox itu dalam penolakannya terhadap ajaran “Makedonianisme” yang menyangkal bahwa Roh Kudus itu Ilahi dan Pribadi, menegaskan dalam Pengakuan Iman Nikea bahwa Roh Kudus itu adalah “Tuhan” , yang “Keluar dari Bapa”, “ Yang Memberi Hidup” “Yang Bersama Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan” serta “Yang Berbicara melalui Para Nabi”. Roh Kudus adalah Tuhan (II Kor. 3:18), karena Dia yang menghadirkan Kristus yang adalah “Tuhan” dalam hidup manusia, dengan demikian Roh Kudus itu bersifat Allah, sama seperti Firman Allah itu adalah Allah, karena berada satu di dalam Diri dan Hakekat Allah yang Esa (Bapa) itu sendiri. Roh Kudus itu Allah karena “keluar dari Bapa” yang berarti Ia berasal dari dalam diri Bapa (Allah Yang Esa) sebagai RohNya Allah sendiri, sama seperti roh manusia itu berada di dalam diri manusia ( I Kor. 2:10-11). Dan Roh Kudus inilah prinsip hidup di dalam Diri Allah yang Esa, serta melaluiNya Allah memberikan kehidupan kepada segenap makhluk, terutama menyalurkan hidup kekal Allah yang telah dinyatakan melalui kebangkitan Kristus, sehingga Roh Kudus ini disebut sebagai “Sang Pemberi Hidup” ( Roma 8:2 ). Demikianlah maka Roh Allah dan Firman Allah itu berada satu di dalam Diri Allah yang Esa:Bapa itu. Sehingga memuliakan “Allah” berarti memuliakan Allah ( Bapa) sekaligus bersama Firman ( Anak, Putra) dan RohNya ( Roh Kudus). Karena Allah yang Esa itu sejak kekal memiliki FirmanNya sendiri (Anak) dan RohNya sendiri (Roh Kudus) di dalam hakekat diriNya yang hanya satu itu. Atau dengan kata lain menurut bunyi Pengakuan Iman Nikea “Roh Kudus” itu “ bersama Bapa (Allah Yang Esa) dan Putra (Firman Allah yang berada dalam diri Allah) disembah dan dimuliakan” Dan melalui RohNya yang berada dalam Diri dan HakekatNya itulah Allah menyatakan kebenaran tentang diri dan kehendakNya melalui para Nabi. Oleh karena demikianlah sifat Roh Allah itu, maka sudah jelas hanya Roh Allah ini yang dapat menghadirkan Kristus, Firman Allah, yang menjelma ke dalam dunia kepada manusia. Roh Kudus dikirim atas nama Kristus, karena hanya Kristuslah yang akan dinyatakan oleh Roh Kudus yaitu Roh Allah ini. b.Karya Roh Kudus. Pada saat Yesus menjanjikan akan kedatangan Roh Kudus itu atas namaNya sebagai suatu kehadiran khusus, dikatakan Alkitab bahwa “kehadiran khusus” Roh Allah “atas Nama Yesus” ini terkait dengan pemuliaan Yesus sesudah bangkit dari antara orang mati. Sebagaimana yang tertulis: “….sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan” ( Yohanes 7:39). Sesudah Yesus dimuliakan barulah Roh Allah yang berasal dari dalam Diri Allah dan yang dijanjikan itu, dikirim secara khusus oleh Allah pada manusia pada Hari Pantekosta. Berarti Pantekosta adalah penggenapan Paskah. Karya Roh Kudus adalah kelanjutan dan penggenapan Karya keselamatan Yesus. Hal ini dinyatakan demikian:” Yesus 175 inilah yang dibangkitkan Allah……dan sesudah Ia ditinggikan ( yaitu : sesudah bangkit dan dimuliakan Allah,pen.) oleh tangan kanan Allah, dan menerima Roh Kudus (“ yang keluar dari Allah (Bapa), Yoh.15:26. pen.) maka dicurahkanNya ( Roh Kudus yang sama itu tadi oleh Yesus kepada manusia, pen.) apa yang kamu lihat dan dengar disini ( pada saat Hari Pantekosta di Yerusalem, pen,)“ ( Kisah 2:32-33 ). Roh Allah yang keluar dari Allah (Bapa) itu sampainya kepada manusia harus melalui pribadi Yesus Kristus, sebagai Yang Mengutus dan Mencurahkan, karena untuk menghadirkan Karya Keselamatan yang ada pada Tubuh Kemanusiaan Yesus yang telah dimuliakan itu tujuannya Roh tersebut dikirim. Demikianlah di dalam Roh Kudus, kita menerima karya pemulihan kodrat kita yang ada dalam Tubuh Kemanusiaan Yesus itu. Untuk mengalami keselamatan di dalam Diri Manusia Yesus yang telah dimuliakan itu berarti harus mengalaminya di dalam Roh Kudus, dan mengalami Roh Kudus berarti, mengalami kodrat kemuliaan manusia Yesus Kristus yang telah mengalami pemuliaan (“theosis”) itu. Roh Kudus tidak mewahyukan yang lain kepada kita, namun hanya menghadirkan Wahyu yang tuntas dan paripurna: Firman yang telah menjadi manusia, Yesus Kristus. Dengan menyalurkan kemanusiaan mulia dari Yesus yang telah bangkit itu, maka kehidupan kebangkitan, yaitu kehidupan yang telah menang atas maut dan tak dikuasai olehnya, yang tak lain adalah hidup kekal, yang hadir dalam Tubuh Kemanusiaan Yesus, maka Roh Kudus menyalurkan hidup kekal kepada kita. Dan itulah hidup kebangkitan dan pemuliaan serta pengudusan kodrat kemanusiaan (“theosis’) yang kita terima karena iman kepada Kristus. Penyaluran “hidup kekal” itulah “Energi Ilahi” yang bekerja di dalam kita. Dan Energi Ilahi yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam kita itulah “rahmat” ( “anugerah, kasih karunia”). Jadi kita diselamatkan oleh “kasih-karunia” (“rahmat, anugerah”) Allah yang bekerja di dalam kita. Para Bapa Gereja Yunani Purba mengajarkan bahwa yang disebut sebagai kasih-karunia yang menyelamatkan itu bukanlah hanya sekedar konsep abstrak mengenai “sikap Allah yang membenarkan” orang berdosa saja (seperti yang ditekankan dalam ajaran “pembenaran oleh iman” yang dihayati oleh Martin Luther), namun kasihkarunia juga berarti “kuasa Allah” (Roma 1:16: “ Injil itu kuasa Allah”), yaitu “energi ilahi” yang bekerja untuk memampukan manusia berdosa yang telah dibenarkan secara posisi itu untuk berubah dari hidup yang dikuasai oleh dosa menuju kepada kekudusan yang akan berakhir pada “theosis”. Jadi pembenaran dan pengudusan dalam visi Para Bapa Gereja Yunani Purba bukan hanya sekedar perubahan status dari keadaan dosa “dianggap benar”, dalam pengertian bahasa hukum (yuridis) saja, namun lebih merupakan suatu proses pemulihan kodrat akibat menyatunya manusia dengan kodrat riil dari kemanusiaan Kristus yang telah dimuliakan itu karena kuasa “energi ilahi” yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Itulah sebabnya keselamatan itu sepenuh-penuhnya merupakan “kasih-karunia”Allah (Efesus 2:8-9), yaitu energi ilahi yang bekerja untuk mengubah manusia mencapai “theosis”. Kasih-karunia Allah itu tidak memaksa kehendak bebas manusia. Karena Alkitab sering mengatakan “barangsiapa mendengar perkataanKu dan percaya” ( Yohanes 5:24 ) “ jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu” ( Wahyu 3:20) “ barangsiapa haus hendaklah ia datang….dan barangsiapa yang mau…” ( Wahyu 22: 17), dan banyak ayat-ayat yang lain, maka jelas bahwa panggilan ke dalam keselamatan itu juga “ditawarkan” kepada segenap manusia, yang menunjuk bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menolak atau menerima, berarti memiliki kehendak bebas. Dengan demikian pendamaian Kristus itu tidak hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ditakdirkan untuk selamat, sebagaimana yang dihayati dalam ajaran “Limited Atonement” (“pendamaian yang terbatas”) dari faham Calvinisme klasik, karena takdir yang demikian itu bukanlah yang dimaksud oleh Alkitab menurut pengajaran Gereja Purba di Timur sebagaimana yang telah kita bahas diatas. Manusia harus dengan rela membuka diri untuk mau menerima keselamatan itu dalam iman. Dalam visi 176 Alkitabiah dari Gereja Purba yang demikian ini maka ajaran “Irresistable Grace” ( “Rahmat yang tak dapat ditolak”) seperti yang dihayati oleh faham Calvinisme klasik ataupun ajaran Lutheranisme klasik tentang “the bondage of the will” (“ keterbelenggguan kehendak”) memang terlihat bertitik-pijak dari cara pemahaman yang amat berbeda.dan sedikit sekali terdapat titik temu dengan ajaran para Bapa Gereja Purba di Timur ini. Karena faham kasihkarunia/rahmat yang tak dapat ditolak atau keterbelengguan kehendak manusia itu mengesampingkan karya “kasih-karunia” yang memampukan manusia untuk memiliki kehendak bebas yang diberikan Allah sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian :”…kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar….karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya” ( Filipi 2:12-13). Lagi pula telah kita buktikan bahwa waktu manusia diciptakan dia belum mencapai keadaan “sempurna” meskipun “amat baik”, sehingga kejatuhan manusia dari dosa itu bukan menyebabkan “kebejatan total “ (“Total Depravity”) seperti yang juga difahami oleh Calvinisme klasik diatas tadi. Dengan demikian kejatuhan itu dimengerti sebagai kemelesetan kodrat (“hamartia nenek-moyang”, hamartia yang diterjemahkan sebagai “dosa” aslinya bermakna meleset dari sasaran), serta kekaburan gambar Allah pada manusia, tanpa hilangnya gambar Allah itu dari manusia. Dengan demikian manusia mengalami rusak namun bukan “bejat total”. Itulah sebabnya manusia oleh kasih karunia Allah yang diberikan dalam penciptaan mampu untuk membuka dirinya bagi iman kepada panggilan Allah ini. Jadi kehendak bebas manusia itu bukan “kemampuan alamiah”`manusia seperti yang diajarkan oleh Pelagius yang ditentang oleh Agustinus dan dikhawatirkan oleh Luther dan Calvin dan ditolak oleh Gereja Purba di Timur. Ajaran ini bukan pula merupakan “usaha patungan” dari kemampuan manusia sendiri yang dibantu oleh kasih-karunia yang merupakan ajaran setengah-Pelagius (“Semi-Pelagianisme”) yang juga ditolak secara serentak dalam pemahaman Gereja Purba di Timur sebagaimana itu ditolak oleh pemahaman Calvinisme dan Lutheranisme klasik . Calvin dan terutama Luther menolak keras ajaran “usaha patungan” seperti itu, akibat reaksinya terhadap ajaran Gereja Barat Roma Katolik pada saat itu yang mempercayai bahwa amal dan jasa manusia dapat menyumbangkan bagi keselamatan manusia, terutama perbuatan-perbuatan baik yang berpuncak pada penjualan surat indulgensia atau surat pengampunan dosa. Inilah pemicu munculnya Gerakan Reformasi Protestan di Gereja Barat itu. Namun ajaran Gereja Timur tentang “kehendak bebas” ini menegaskan bahwa “kehendak bebas” itu sepenuh-penuhnya merupakan kasih-karunia Allah, sebagai akibat penghembusan “nafas Allah” pada manusia (Kejadian 2:7) dan “Allah yang mengerjakan kemauan dan pekerjaan oleh kerelaanNya” di dalam manusia (Filipi 2:13), yaitu sebagai akibat karya “energi ilahi” / “kuasa hidup” yang diberikan.Demikianlah “kehendak bebas“ itu juga akibat anugerah Allah sebagai sarana untuk menerima anugerah keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma. Pada saat penciptaan tidak ada apa yang disebut sebagai “kodrat alami murni” (“pure nature”) yang tanpa disertai kasih-karunia seperti yang dihayati dalam theologia di Gereja Barat abad pertengahan. Karena “nafas hidup” yaitu “energi ilahi” atau “kasih-karunia” itu sudah hadir sejak awal, dan manusia ada karena kasih-karunia ini, meskipun sepenuh-penuhnya kasih-karunia itu dipulihkan kembali sesudah kebangkitan Yesus oleh Roh Kudus. Keterbukaan manusia dalam iman untuk menerima “kasih-karunia” Allah itulah yang dalam theologia para bapa Gereja Purba di Timur disebut sebagai “synergia”, bukan dalam pengertian “usaha patungan” atau “kerjasama” yang sama derajatnya, namun sebagai suatu “pemberian Allah cuma-cuma” dan “respons manusia yang diterangi Roh Kudus” atas pemberian cuma-cuma tadi. Karena iman itu merupakan “synergia”, maka jelaslah bahwa iman yang hidup itu harus dinyatakan dalam “perbuatan baik” sebagai bukti iman tadi :”…iman tanpa perbuatan adalah 177 mati” (Yakobus 2:26), “…kamu telah dipanggil untuk merdeka….jangan mempergunakan kemerdekaan itu untuk kehidupan dalam dosa…melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Galatia 5:13) “ sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu…..karena kita ….diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan yang baik….” ( Efesus 2:8-10) “…karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar…..karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu kemauan maupun pekerjaan.….” (Filipi 2:12-13), dan masih banyak lagi. Oleh karena itu dalam pemahaman theologia Gereja Purba di Timur tidak ada dikhotomi antara “Iman dan Perbuatan”, seperti yang pernah membingungkan Luther sehingga ia menyebut Surat Yakobus sebagai “Surat Jerami” atau “Surat Sampah” yang hampir-hampir saja dibuangnya dari Kitab Suci, karena penekanan akan perbuatan baik dalam surat itu. Iman itu akibat “kasih-karunia”Allah, perbuatanpun karena “Allah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan”. Jadi iman itu menyatakan dii dalam perbuatan baik, dan perbuatan baik itu bersumber dari iman, serta kedua-duanya berasal dari “energi ilahi” yang bekerja dalam manusia, yaitu “kasih- karunia” yang bekerja oleh Roh Allah. Dalam melatih iman untuk selalu menampakkan buah perbuatan baik itulah pengudusan dalam realita, bukan hanya dalam posisi atau status yang abstrak, yaitu pemulihan kodrat dalam pembersihan dari hawa-nafsu dan dari watak serta sikap lama. Dan ini nampak nyata dalam kehidupan suci, yang semuanya ini merupakan proses pembaharuan yang terus-menerus yang tak akan pernah berhenti (Kolose 3:10, II Kor. 3:18, 7:1). Inilah proses pengudusan itu. Disinilah peranan “disiplin spiritual” dan “kerelaan menyangkal diri” ( misalnya dalam bentuk : puasa, kekhusyukan dalam hidup doa, bahkan hidup sebagai rahib bagi yang terpanggil, pengendalian hawa-nafsu melalui usaha-usaha pengekangan gejolak tubuh, dan lain-lain) itu memiliki tempat dalam kehidupan Iman Kristen Gereja Purba yang Am dan Alkitabiah. “Disiplin spiritual” dan “kerelaan menyangkal diri “ itulah buah iman, dan merupakan pendalaman dari “kasih-karunia” untuk mencapai kasih akan Allah yang lebih dalam, sebagai bentuk sikap hidup pertobatan yang terus-menerus. Jadi tindakan-tindakan ini tak boleh dimengerti sebagai suatu usaha mencari pembenaran melalui perbuatan yang berasal dari kekuatan sendiri. Sebab tidak ada noda Pelagianisme ataupun Semi-Pelagianisme dalam visi Iman Kristen dari Para Bapa Gereja Yunani Purba ini. Segala sesuatu adalah kasihkarunia yang bekerja. Maka dengan demikian jelaslah bahwa tak ada perbuatan baik atau amal-jasa macam apapun pada dirinya sendiri yang dapat menyelamatkan manusia, sebab keselamatan itu bukan hanya sekedar masuk sorga serta lepas dari neraka, sebagai akibat banyak sedikitnya “pahala” dari perbuatan baik. Namun keselamatan itu adalah dilepaskan dari kuasa Iblis, Dosa, Kelapukan, Kefanaan, dan Maut. Inilah yang disebut “pembenaran” . Dari pelepasan tadi manusia dipulihkan ke dalam kekekalan, hidup, kemuliaan, dan terutama “ambil bagian dalam kodrat ilahi”, dan inilah yang disebut “pengudusan”. Dan semua karya pelepasan Kristus bagi manusia dari kuasa Iblis, Dosa, dan Maut itulah yang disebut sebagai “penebusan”. Dari “kemelesetan kodrat” oleh Adam lalu menyatu dalam kemanusiaanm yang telah dipulihkan di dalam Kristus itulah yang disebut "kelahiran kembali"”( Yohanes 3:3-5). Ini semua hanya mungkin terjadi melalui penyatuan atau panunggalan kita dengan Tubuh Kemuliaan Kristus yang oleh Kebangkitan tekah menghancurkan Maut, Kelapukan, Kefanaan, Dosa dan Iblis, serta sekaligus menyatkan Kehidupan Kekal, Kemuliaan, dan Kodrat Ilahi itu sendiri. Mencapai titik pemuliaan, manunggal dalam kodrat ilahi (“theosis”) itulah yang disebut sebagai “pemuliaan” (Roma 8:29). Jelaslah tidak ada keselamatan diluar Kristus. Adalah suatu salah-faham besar menyangka praktek-praktek kerahiban, kebiaraan, puasa, dan penyangkalan diri dalam Gereja Purba terutama yang di Timur, dan yang tetap menjadi salah satu ciri Gereja Orthodox masakini, sebagai menukar “kasih-karunia”Allah 178 dengan usaha kebaikan sendiri di hadapan Allah untuk mendapatkan kebenaran. “Disiplin spiritual” suatu bukti tindakan pendalaman iman yang dikuatkan oleh kasih-karunia Allah di dalam Kristus. Inilah pendalaman dan penyelaman ke dalam kasih-karunia tadi secara serius dan konsekwen. Jadi yang disebut sebagai pemilihan, pembenaran, pengudusan, penebusan, pendamaian, kelahiran baru, pemuliaan (“theosis”), dan lain-lain dari segi “ordo salutis” (“urut-urutan ide keselamatan”) dalam perspektif Alkitabiah menurut penghayatan Gereja Purba di Timur, tidak dimengerti sebagai karya Allah yang terpisah-pisah dan berbeda-beda, namun hanya sebagai aspek-aspek yang kaya dari karya keselamatan Allah yang tunggal dan berkesinambungan di dalam kematian dan kebangkitan Kristus, yang disalurkan oleh Roh Kudus. Pengakuan Iman ini dengan tegas menjelaskan bahwa Roh Kudus itu memiliki hakikat ilahi sebagai yang berada satu di dalam diri Allah yang Esa , karena Ia adalah Roh Allah sendiri, sehingga Ia disebut “Tuhan” (Sang Penguasa”). Jadi Dia bukan hanya sekedar Kuasa atau Daya Pengaruh yang keluar dari Allah namun juga memiliki hakikat ilahi sehingga dalam penyembahan kita kepada Allah yang Esa itu otomatis dan sekaligus Roh Allah yang bersifat dan berhakikat ilahi yang berada satu di dalam Dzat-hakekat Allah yang Esa itu disembah dan dimuliakan. Dengan demikian jelas bahwa dalam Iman Kristen Orthodox Roh Kudus bukanlah Malaikat Jibril seperti diajarkan Agama Islam, namun Dia adalah “Yang Keluar dari Sang Bapa” sendiri, dan yang berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu bersama dengan dengan Firman Allah, karena Roh Allah itu adalah Prinsip Hidup di dalam Allah sendiri, maka Roh Kudus itu mempunyai fungsi utama sebagai “Sang Pemberi Hidup” baik itu hidup sementara dalam alam wadhag ini maupun “kehidupan zaman yang akan datang”. Yaitu hidup kekal” yang sudah dinyatakan oleh Allah melalui kemenangan SabdaNya yang telah nuzul sebagai manusia atas maut dan kematian melalui Kebangkitan, sesudah kematianNya sebagai syuhada bagi kebenaran ilahi diatas Salib. Dengan demikian fungsi dan karya Roh Allah yang terutama adalah menyalurkan karya Allah yang telah dilakukan FirmanNya yang menjelma itu kepada manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh “Sang Firman” itu sendiri ketika berada dalam keadaan nuzulNya sebagai manusia itu: :”…Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku…” ( Yohanes 16:13-14) ),serta Ia yang “mengajar kan segala sesuatu” dan “mengingatkan semua yang telah Kristus katakan” (Yohanes 14:26) kepada Gereja-Nya. Karena memang Kristus mengutus Roh Kudus adalah untuk bersaksi tentang DiriNya, bersama dengan kesaksian Gereja (murid-murid Kristus), sebagaimana yang dikatakan:’…Roh Kebenaran…Ia akan bersaksi tentang Aku…kamu juga harus bersaksi…” (Yohanes 15:26-27). Oleh karena itu karya Almasih itu dilanjutkan dan disalurkan oleh karya Roh Allah itu diantara umatNya yaitu Gereja. Untuk itu marilah kita bahas mengenai karya Roh Allah atau Roh Kudus ini. b. Karya Roh Kudus Sesudah pengakuan akan Roh Kudus, Pengakuan Iman ini menunjuk kepada : Gereja, Baptisan, kebangkitan orang mati dan kehidupan zaman yang akan datang. Dengan demikian Roh Kuduslah yang menciptakan Gereja pada saat Hari Pantekosta. Roh Kudus pula yang menghidupi Gereja sebagai Baitnya sendiri. Dan di dalam menghidupi Gereja ini Roh Kudus menyampaikan rahmat hidupNya melalui Sakramen yang dimulai dengan 179 Baptisan. Melalui Baptisan inilah Gereja mengalami Kristus di dalam Roh Kudus melalui sakramen dan kehidupan rahmat selanjutnya di dalam Gereja. Sebagai “Mesias” Kristus telah diurapi oleh Allah dengan Roh Kudus, sebagaimana dikatakan :”…Yesus dari Nasaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus….” ( Kisah Rasul 10:38), “…Yesus segera keluar dari air…..Roh Allah seperti burung merpati turun keatasNya” ( Matius 3:16), “….Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya” ( Yohanes 1:35), serta :”…siapa yang diutus Allah (yaitu:Yesus), Dialah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya (yaitu: kepada Yesus) dengan tidak terbatas” (Yohanes 3:34). Tujuan dari pengurapan atau pencurahan kepada Yesus “dengan tidak terbatas” ini adalah agar Ia boleh mengaruniakan Roh yang sama itu kepada manusia, sebagaimana yang dikatakan:”…Jikalau engkau melihat Roh itu turun keatas seseorang dan tinggal diatasNya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus” ( Yohanes 1:33), serta:” Dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus….maka dicurahkanNya….” ( Kisah 2:33). Demikianlah melalui Mesias atau Kristus yang disemayami Roh Kudus dan tinggal diatas-Nya secara tak terbatas, maka manusia ditenggelamkan seolah-olah ke dalam air, yaitu dibaptiskan, oleh Kristus ke dalam Roh Kudus itu serta dicurahi dengan Roh yang sama tadi. Sehingga setiap orang beriman dalam panunggalannya dengan Kristus akan menerima Roh Kudus. Karena panunggalan dengan Kristus itu adalah melalui sakramen-sakramen oleh iman di dalam Gereja, dan karena Gereja itu adalah Tubuh Kristus serta perpanjangan Inkarnasi Kristus, maka berarti di dalam Gereja itulah Roh Kudus tinggal, dikaruniakan, dicurahkan serta dialami oleh manusia. Roh Kudus menjadi hidup dan jiwa Gereja itu sendiri. Hal ini dikatakan demikian:”Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan (Gereja), rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh” (Efesus 2:21-22). Menurut ayat-ayat ini, seluruh bangunan yaitu Gereja Rasuliah Universal (Katolik) itu selalu bertumbuh dalam susunan yang rapih, menjadi “Bait Allah yang Kudus”. Dengan demikian Gereja Rasuliah secara Keseluruhan (Katolik) itu adalah “Bait Allah yang Kudus”. Sedangkan masing-masing anggotanya secara pribadi maupun secara komunitas lokal (“kamu”) ikut ambil-bagian (“turut”) dibangunkan sebagai “Tempat Kediaman Allah” atau “Bait Allah” tadi. Sedangkan Allah diam dalam Gereja sebagai BaitNya itu adalah melalui Roh Kudus, berarti Gereja adalah Bait Allah yang adalah Bait Roh Kudus. Allah melalui RohNya bersemayam dalam Gereja tadi. Dan masing-masing komunitas lokal (paroikia) sebagai ekspresi lokal dari Gereja Keseluruhan yang Rasuliah (Katolik) itu juga menjadi Bait Roh Kudus yang sama tadi. Sehingga masing-masing anggotanya sejauh ia adalah bagian dari Gereja tadi, juga menjadi Bait Allah atau Bait Roh Kudus itu. Hal itu dikatakan demikian :”…kamu (Gereja di Korintus) adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu (Gereja)” ( I Korintus 3:16), serta :” …tubuhmu (masingmasing pribadi dalam Gereja) adalah Bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu (pribadi-pribadi dalam Gereja), Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah…” ( I Kor. 6:19). Demikianlah jelas bahwa Roh Kudus itu memang diam dalam Gereja, dan masingmasing anggotanya karena berada dalam Bait Roh Kudus atau Bait Allah yaitu Gereja ini, juga sekaligus menjadi Bait Roh Kudus atau Bait Allah, karena Roh Kudus diam dan bersemayam di dalam hati roh dan jiwa mereka. Dengan demikian Gereja sebagai Bait Roh Kudus itu menegaskan kebhinekaan serta keberbagai-bagaian dari pribadi-pribadi secara orang per orang dalam Gereja, karena kepada pribadi satu per satulah Roh Kudus itu juga bersemayam. Dengan demikian dalam pengertian Gereja sebagai Tubuh Kristus, kesatuan secara tak terpisah dan panunggalan yang tak terbagi-bagi dari banyaknya anggota dalam Gereja itulah yang ditekankan, sedangkan di dalam pemahaman Gereja sebagai Bait Allah 180 atau Bait Roh Kudus, justru keunikan ke-diri-an dari masing-masing anggota itu yang ditekankan dalam Gereja yang satu itu.Artinya masing-masing anggota di dalam Gereja itu tidak cukup mereka hanya merasa menjadi anggota suatu paguyuban saja tanpa komitmen iman secara pribadi, namun masing-masing anggota haruslah “secara pribadI’ memiliki hubungan dengan Kristus dengan penuh kesadaran, dan memiliki komitmen “ secara pribadi” yang tinggi kepada Kristus dalam konteks kehidupan bersama dengan pribadipribadi yang lain dalam persekutuan Gereja. Demikianlah melalui pemahaman Gereja sebagai Tubuh Kristus dan sekaligus Bait Roh Kudus/Bait Allah ini kita melihat suatu panunggalan tanpa peleburan, dan suatu kesatuan tanpa kehilangan identitas pribadi masing-masing. Sebagaimana menurut Rumusan Konsili Kalsedonia, masing-masing kodrat dalam Kristus itu dijaga keunikan dan ke-khas-an ciri-cirinya, meskipun keduanya manunggal secara tak terpisahkan dalam satu hypostasis, demikianlah dalam Gereja yang satu itu, ke-unik-an dan ke-khas-an identitas dari masing-masing pribadi itu tetap dijaga keutuhannya (oleh Roh Kudus dalam Gereja:bait Roh Kudus) meskipun mereka menyatu dalam panunggalan yang tak terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah di dalam Gereja yang satu:Tubuh Kristus itu. Karena Gereja itu adalah Bait Roh Kudus dan Roh Kudus itu diam dalam Gereja, maka seluruh gerak pertumbuhan dan kehidupan dalam Gereja ini dibimbing serta diilhami dan dituntun oleh Roh Kudus, pendek kata semua karya Gereja yang adalah Tubuh Kristus adalah karya Roh Kudus, - sebagaimana semua karya Kristus ketika berada di bumi adalah di dalam dan oleh Roh Kudus -, sebagaimana dikatakan:”. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan…. di dalam Roh” (Efesus 2:21-22). Karya-karya Roh Kudus di dalam Gereja itu dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu karya Roh Kudus dalam perjalanan sejarah Gereja itu, karya Roh Kudus dalam kehidupan di dalam Gereja itu, serta karya Roh Kudus pada anggota-anggota yang ada di dalam Gereja itu. Untuk itu marilah kita bahas satu persatu: a.Karya Roh Kudus dalam perjalanan sejarah Gereja: Dalam sejarahnya Roh Kuduslah yang menyatakan kelahiran Gereja ke dalam dunia ini, yaitu pada saat Hari Raya Pentakosta, sebagaimana yang dikatakan dalam Kitab Suci demikian:”Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah…dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus….” (Kisah Rasul 2:1-4). Akibat dari peristiwa ini adalah bahwa setelah orang-orang yang menyaksikan hal itu dan mendengarkan kotbah Petrus oleh dorongan Roh Kudus ini, menerima perkataannya itu:” Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa “ ( Kisah 2:41-42). Dan disitulah Gereja mulai lahir dan terbentuk. Gereja sebagai paguyuban umat yang memberitakan Mesias terutama melalui karya para rasul, terus menerus memberitakan berita tentang Penyaliban, Kematian dan Kebangkitan Kristus dan keselamatan yang diakibatkan olehnya, dan pemberitaan Rasuliah inilah merupakan firman Allah yang menjadi sumber kekuatan dan iman Gereja.Pemberitaan ini bukanlah hanya sekedar ide dan pendapat manusia saja, namun merupakan kebenaran Allah yang disaksikan oleh para rasul itu di dalam kuasa Roh Kudus, sebagaimana yang dikatakan:”Allah nenek-moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh 181 Allah sendiri dengan tangan kananNya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang menataati Dia” (Kisah Rasul 5:30-32). Dengan demikian melalui pemberitaan akan kebenaran rasuliah di dalam Gereja ini Roh Kudus berkarya di dalam Gereja, serta Ia yang “mengajar kan segala sesuatu” dan “mengingatkan semua yang telah Kristus katakan” (Yohanes 14:26) kepada Gereja-Nya, terutama sebagaimana itu telah dinyatakan kepada para Rasul itu. Karena Kristus mengutus Roh Kudus adalah untuk bersaksi tentang DiriNya, bersama dengan kesaksian Gereja (murid-murid Kristus), sebagaimana yang dikatakan:’…Roh Kebenaran…Ia akan bersaksi tentang Aku…kamu juga harus bersaksi…” (Yohanes 15:26-27). Dari pemberitaan Rasuliah inilah terbentuknya “paradosis” Gereja. Ini berarti bahwa paradosis itu bersumber dari Roh Kudus, dan paradosis itu tak lain adalah hidup Roh Kudus dalam Gereja. Karena paradosis itu berbentuk “lisan” dan “surat-surat kiriman “ (“tertulis”) –II Tes. 2:15, dan yang bentuk “tertulis” itu akhirnya terkumpul dalam Kitab Perjanjian Baru, maka jelas Kitab Perjanjian Baru itu memang terjadi akibat karya Roh Kudus dalam gereja. Itulah sebabnya tulisan-tulisan dari salah satu rasul yang masuk dalam Perjanjian Baru, yaitu Rasul Paulus, diberi kesaksian oleh Rasul lainnya : Petrus, demikian:” …..Paulus…telah menulis kepadamu menurut hikmat (“hikmat” adalah salah satu kharisma Roh Kudus, I Kor. 12: 8) yang dikaruniakan kepadanya….dalam semua suratnya…..Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami………sama …dengan tulisan-tulisan yang lain.” ( II Petrus 3:15b-16). Menurut ayat-ayat ini tulisan-tulisan Paulus itu terjadi akibat karunia hikmat dari Roh Kudus yang dikaruniakan kepada paulus. Jadi surat-surat Paulus yang menjadi bagian dalam Kitab Suci Perjanjian Baru itu adalah merupakan ilham dari karunia himat dari Roh Kudus. Dan tulisan-tulisan Paulus itu disamakan dengan “tulisan-tulisan” lain, yaitu Kitab Suci sebelum ada Perjanjian Baru, yang adalah Perjanjian Lama. Padahal kita tahu bahwa Perjanjian Lama itu dinyatakan sebagai “Kitab Suci” ( II Tim. 3:15) yang telah dikenal Timotius sejak kecil, serta sebagai “Segala Tulisan yang DIILHAMKAN Allah…” ( II Tim/ 3:16), berarti tulisan-tulisan Perjanjian lama itu bukan hanya sekedar kehendak manusia yang menghasilkan, namun “oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” ( II Petrus 1:21). Demikianlah Roh Kudus yang sama yang mengilhami dan mendorong para nabi dalam Perjanjian Lama bagi terbentuknya Kitab Suci Perjanjian Lama itu, telah juga mengilhami atau memberikan karunia hikmat kepada para Rasul di dalam Gereja, bagi terbentuknya tulisan-tulisan Rasuliah, yang akhirnya oleh Roh Kudus yang sama dalam Konsili Gereja diakui dan ditetapkan sebagai Kanon (Patokan) Kebenaran. Berarti dalam Gereja sebagai BaitNya itulah Roh Kudus menuntun bagi terbentuknya Kanon Perjanjian Baru itu. Itulah karya yang amat sangat penting dari Roh Kudus dalam sejarah Gereja yang adalah baitNya itu. Bukan saja Roh Kudus itu mengajar serta mengingatkan Gereja akan apa yang pernah Kristus katakan, dan membantu dalam kesaksiannya tentang Kristus, namun Roh Kudus juga akan memimpin kepada seluruh kebenaran serta memberitakan hal-hal-hal yang akan datang sebagaimana yang dikatakan:”…Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku…” ( Yohanes 16:13-14) Bagaimanakah Roh Kudus akan memimpin Gereja ( memimpin kamu) sampai masuk ke dalam seluruh kebenaran? Meskipun kebenaran Wahyu Injil itu secara 182 penuh telah dinyatakan kepada Gereja melalui Para rasul, namun pemahamannya, atau tafsir makna ajaran Rasuliah itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh umat dalam Gereja itu. Sebagaimana yang dikatakan Petrus mengenai surat-surat Paulus bahwa “Dalam suratsuratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami” (II Petrus 3:16). Akibatnya “orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutar-balikkannya” ( II Pet. 3:16) maka timbullah bidat-bidat dan kesesatan. Untuk mencegah terjadinya kesesatan dan ajaran bidat-bidat yang diakibatkan oleh“orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutar-balikkan” data Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun tulisan-tulisan Rasuliah dalam Perjanjian Baru, inilah Roh Kudus menuntun atau memimpin Gereja dalam perjalanan sejarahnya “ke dalam seluruh kebenaran”. Dari data Alkitab kita tahu jika suatu ajaran bidat muncul ( Kisah 15:1), cara mengatasinya tidak cukup hanya dengan perlawanan pribadi dengan menggunakan pendapat atau tafsiran pribadi saja ( Kisah 15:12). Karena kesesatan itu membengkokkan iman Gereja secara keseluruhan, maka Gereja itulah secara keseluruhan yang harus menangkalnya, melalui khasanah iman yang sekali dan untuk selamanya telah diberikan kepada orang-orang kudus, yaitu, Gereja itu ( Yudas 1:3). Itulah sebabnya untuk mencari kehendak dan pimpinan Roh Kudus mengenai masalah kebenaran yang sedang diserang oleh ajaran sesat atau ajaran bidat ini maka ”bersidanglah rasul-rasul dan penatua-penatua untuk membicarakan masalah itu” ( Kisah 15:6), dengan “beberapa waktu lamanya berlangsung pertukaran mengenai soal itu” ( Kisah 15:7). Dan sesudah itu “seluruh jemaat (Gereja) itu mengambil keputusan “ ( Kisah 15:22). Proses sidang untuk mencari kebenaran Roh Kudus dalam suatu “pertukaran pikiran bersama” serta “diputuskan oleh Gereja secara bersama” semacam inilah, yang disebut “Konsili”. Dan hasil Konsili semacam ini dinyatakan sebagai “keputusan Roh Kudus dan keputusan kami” ( Kisah 15:28). Dari fakta ini jelas bahwa kebenaran Injil secara keseluruhan itu dinyatakan oleh Roh Kudus melalui Gereja, yang dinyatakan oleh pimpinanNya dalam Konsili. Dan sudah kita tahu bahwa Gereja Orthodox telah dipimpin oleh Roh Kudus kepada seluruh kebenaran tentang Kristus yang makin jelas dan mendalam melalui ke Tujuh Konsili Ekumenis yang terjadi sejak tahun 325- tahun 787. Dan disamping Ke Tujuh Konsili Ekumenis itu terdapat juga Konsili-Konsili lokal yang telah dilakukan Gereja sesudah tahun 787 itu sampai dengan Konsili lokal yang terakhir pada tahun 1950 yang dilakukan dibawah kepemimpinan Patriarkh Athenagoras almarhum, yang menghimbau dibentuknya wadah pergaulan ekumenis: Dewan Gereja-Gereja se-Dunia. Dengan demikian semua keputusan Konsili baik yang bersifat dogmatis maupun yang bersifat administratif praktis itu adalah keputusan Roh Kudus yag harus ditaati oleh segenap umat dan para pemimpinnya yang ada di dalam Gereja itu. Keputusan yang bersifat administratif praktis serta yang bersifat ketetapan-ketetapan Hukum itu akhirnya dikumpulkan dalam Kitab Hukum Kanon yang disebut “Kitab Kemudi” (“Pedalion”). Sedangkan ketetapan yang bersifat dogmatis itu diabadikan dalam wujud Pengakuan Iman, terutama “Pengakuan Iman Nikea” (Konsili I dan Konsili ke II) , serta rumusan-rumusan theologis terutama yang mengenai Kristus dalam Konsili-Konsili selanjutnya. Namun bukan hanya Konsili-Konsili itu saja yang dituntun oleh Roh Kudus, dalam perjalanan sejarah Gereja terdapat juga “pemimpin-pemimpin….yang telah menyampaikan firman Allah” yang “akhir hidup mereka” (berarti mereka sudah mati) Gereja diperintahkan “Ingatlah…” agar Gereja dapat “contoh iman mereka” ( Ibrani 13:7). Mereka inilah para Bapa Suci yang hidupnya patut dicontoh, yang menyampaikan firman Allah kepada Gereja, sehingga Gereja makin mengenal kebenaran Kristus dan dituntun serta dipimpin menuju seluruh kebenaran Kristus, dalam ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan mereka. Ajaran dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang menjelaskan Kebenaran Iman Wahyu Ilahi yang 183 diterima Gereja, dan menyanggah serta menangkal ajaran-ajaran sesat dan bidat-bidat yang hendak memutar-balikkan ajaran Rasuliah, itulah juga cara Roh Kudus memimpin Gereja kedalam seluruh kebenaran itu. Selanjutnya Roh Kudus juga dikatakan bahwa :”Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang”. Serta bahwa “ Ia akan memuliakan Aku…” . Bagaimana pula ini terlaksana dalam perjalanan sejarah Gereja? Yang dimaksud dengan “hal-hal yang akan datang” adalah tujuan akhir dari keselamatan yang dilakukan Kristus bagi manusia pada saat akhir zaman nanti. Dan tujuan akhir dari keselamatan itu adalah untuk mencapai “theosis”, yaitu: “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” ( II Pet.1:4), serta menjadi “sama seperti Kristus” ( I Yoh. 3:2), dan “menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan” ( Kolose 3:4), yaitu keberadaan akhir dimana Kristus akan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia “ ( Filipi 3:21) yang bentuk kongkritnya adalah bahwa orang-orang benar itu “ akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka” ( Matius 13:43) sesudah kebangkitan manusia dari kuburan, ketika Kristus datang yang kedua kali pada akhir zaman nanti, seperti ketika Kristus dimuliakan diatas Gunung Tabor (Matius 17:1-3). Pengalaman akan “hal-hal yang akan datang”, yaitu, ikut mengalami kuasa Kerajaan yang akan datang, dalam wujud menjadi “bercahaya seperti matahari” ini telah diberitakan oleh Roh Kudus dalam sejarah Gereja melalui pengalaman para orang kudus, dimana mereka mengalami kemuliaan Kerajaan Allah itu bahkan pada saat mereka masih hidup di dalam dunia ini. Orang-orang yang telah mengalami seperti itu adalah diantaranya: Symeoan Sang Theologiawan Baru, Seraphim dari Sarov, Papa Nikholas Planas, dan lain-lain lagi. Dan pengalaman-pengalaman mereka di dalam Roh Kudus akan “hal-hal yang akan datang itu” akhir dituliskan dalam buku-buku yang ditinggalkan bagi Gereja.Sehingga melalui pengalaman-pengalaman para orang kudus di dalam Roh Kudus, itu kita diberitahu mengenai apa yang sebenar-benarnya akan terjadi kepada manusia pada saat yang akan datang itu. Dengan demikian melalui pengalaman Roh Kudus yang terjadi dalam kehidupan para orang kudus Gereja ini, Roh Kudus memberitakan kepada Gereja mengenai hal-hal yang akan datang itu. Selanjutnya Roh Kudus dikatakan bahwa “ Ia akan memuliakan Aku…”. Di dalam sejarah Gereja Roh Kudus akan memuliakan Kristus. Hal ini terjadi melalui Ibadah dan karya pekabaran Gereja. Karena Kristus mengatakan bahwa bertentangan dengan ibadah umat Yahudi, yang melakukan ibadah hanya demi untuk menggenapi aturan Hukum Taurat saja, maka Kristus menjanjikan bahwa:”Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan kebenaran, sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan Kebenaran” (Yohanes 4:23-24). Yang dimaksud dengan penyembah-penyembah benar disini adalah Israel Baru: Gereja, yang menyembah Allah bukan karena hanya mengikuti hukum tertulis, namun menurut bimbingan dan tuntunan Roh Kudus yang bersemayam di dalam Gereja itu. Dengan demikian melalui ibadahnya, Gereja dituntun Roh Kudus, baik itu ibadah Sakramen-Sakramen, ibadah-ibadah non-Sakramen, Ibadah Liturgi Suci, Ibadah Sembahyang Harian, Ibadah Perayaan-perayaan Gereja, dan sebagainya. Semuanya itu adalah penyembahan di dalam Roh Kudus. Dan melalui Ibadah-ibadah itu Kristus dimuliakan, karena isi ibadah-ibadah Gereja itu tak lain adalah pengahayatan akan dogma tentang Kristus dalam wujud puja-bakti. Demikianlah semua ritus dan kidung dalam ibadah itu adalah bimbingan dari Roh Kudus, dan untuk memuliakan Kristus. Selanjutnya Roh Kudus juga yang menuntun dan memutuskan dhasil Konsili, termasuk, Konsili Ekumenis yang ketujuh. Dalam Konsili yang ketujuh ini yang diputuskan oleh Gereja dan Roh Kudus adalah mengenai penggunaan ikon-ikon dalam Gereja. Karena Konsili Ketujuh itu juga berasal dari 184 Roh Kudus, maka pembuatan ikon-ikon dan semua seni ibadah yang ada di dalam Gereja itupun dituntun, diilhami serta diurapi oleh Roh Kudus. Hal ini bahkan sudah terjadi pada zaman Perjanjian Lama, sebagaimana yang tertulis:” Berkatalah Musa kepada orang Israel:’ Lihatlah, TUHAN telah menunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku Yehuda, dan telah memenuhinya dengan Roh Allah, dengan keahlian, pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan, yakni untuk membuat berbagai macam rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja dalam segala macam pekerjaan yang dirancang itu” ( Keluaran 35:30-33). Jadi dalam seni ikonografi dan semua seni gerejawi itu terjadioleh pimpinan Roh Kudus. Itulah sebabnya sering terjadi bahwa ikon-ikon itu mengeluarkan mukijizat, misalnya: mengalirkan minyak mur yang tak diketahui zat kimianya, namun ketika dioleskan pada orang sakit, orangnya sembuh. Atau ikon-ikon yang berumur ratusan tahun dan kusam tiba-tiba memperbaharui dirinya sehingga menjjadi cemerlang kembali seperti baru dibuat. Atau pribadi yang digambar dalam ikon :Kristus, atau Bunda Maria misalnya, menampakkan diri seolah-olah keluar dari gambar ikon itu, serta melakukan mukjizat bagi orang yang dikaruniai Allah, dan lain-lain. Karena seni ikonografi Gereja itu adalah berada dalam urapan dan kuasa Roh Kudus. Demikianlah melalui sejarahnya yang sedemikian itu kehidupan dan keberadaan Gereja itu telah dituntun oleh Roh Kudus. Dan tuntunan atau bimbingan Roh Kudus dalam Gereja sepanjang sejarahnya itu ternyata identik dengan Paradosis Kudus (Tradisi Suci). Dengan demikian kehidupan dan karya Roh Kudus dalam Gereja itulah Paradosis Kudus tersebut. b.Karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja Setelah kita bahas karya Roh Kudus dalam sejarah Gereja, yaitu karya Roh Kudus dalam Gereja sebagai lembaga yang nampak di bumi ini, maka haruslah kita bahas mengenai karya Roh Kudus di dalam kehidupan dan aktivitas yang ada di dalam Gereja itu. Karya-karya Roh Kudus itu terdiri dari karya dalam Marilah kita bahas satu per satu karya-karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja ini: -Sakramen-Sakramen, Karena yang kita bicarakan disini bukanlah masalah Sakramen itu sendiri, namun masalah Roh Kudus yang bekerja di dalam Sakramen-Sakramen itu, maka kita tak membicarakan makna dan jenis, serta sifat Sakramen-Sakramen itu. Hal ini dibicarakan secara tersendiri dalam pelajaran mengenai Sakramen-Sakramen. Bahwa Roh Kudus itu bekerja di dalam Gereja melalui Sakramen-Sakramen dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai berikut: -Baptisan : “ Sebab dalam satu Roh kita semua…telah dibaptis menjadi satu tubuh…”(I Kor. 12:13). Dalam baptisan seseorang dimanunggalkan dengan Tubuh Kristus yang mulia itu. Padahal dalam kemanusiaanNya yang mulia itu Roh Kudus secara tanpa baptis telah dicurahkan ( Yohanes 3:34), dan pada “Dia” Roh Kudus itu turun dan tinggal itulah “Orang” yang akan membaptis dengan Roh Kudus, maka jelas Baptisan untuk menyatu dengan Tubuh Kemuliaan Kristus, yaitu, Baptisan menjadi Satu Tubuh itu terjadi di dalam Roh Kudus. Jadi Baptisan itu bukan hanya sekedar upacara , namun itulah peristiwa Sakramental “kelahiran baru” oleh “air” dan “Roh” ( Yohanes 3:5-6) -Krisma :” Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Stibanya disitu kedua rasul itu berdoa, supaya 185 orang-orang Samaria beroleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus belum turun diatas seorangpun diantara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus ( Kisah 8:14-17). Baptisan memang harus dilengkapi dengan Krisma, sebagai “meterai karunia Roh Kudus “ ( Efesus 1:13). Karena baptisan tanpa Krisma, yaitu “penumpangan tangan” dan “pengurapan”( I Yoh.2:27), dikatakan oleh ayat diatas sebagai “ Roh Kudus belum turun diatas seorangpun …… karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus”. Dan pengurapan itu sendiri dalam prakteknya, mengikuti tradisi perjanjian Lama dilakukan seperti yang dilakukan oleh Samuel kepada Daud;” Samuel mengambil tabung tanduk berisi minyak itu dan mengurapi Daud….Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud.” ( I Samuel 16:13). Hal yang sama juga terjadi dalam “pengurapan” dalam Perjanjian Baru, yaitu bahwa “..di dalam diri kamu tetap ada PENGURAPAN yang telah kamu terima dari padaNya” Oleh karena karena itu dalam Gereja Orthodox langsung sesudah baptisan, orang harus menerima Sakramen Krisma yaitu “penumpangan tangan” dan “pengurapan”, sebagai penggenap dan pemeterai Sakramen Baptisan itu, yaitu lahir dari “air” (Baptisan) dan “Roh” ( Krisma). Dengan demikian :”..Dia yang telah meneguhkan … adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda miliknya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita… “ ( II Kor.1:21-22 ). Melalui Sakramen Krisma kita telah “diteguhkan”, “diurapi” serta “dimeteraikan” dan dengan dengan begitu “diberi Roh Kudus di dalam hati kita”. Melalui Sakramen Baptisan dan Krisma inilah orang diperbolehkan dan dilayakkan untuk ambil bagian dalam Sakramen Perjamuan Kudus, agar menerima pertumbuhan dalam Roh Kudus lebih jauh, dan mengalami kedewasaan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Perjamuan Kudus : “…Cawan ini adalah Perjanjian Baru….”( Lukas 22: 20 ), padahal “….Perjanjian Baru,…tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh…” ( II Korintus 3:6), sehingga :”…dalam satu Roh kita semua….diberi minum (yaitu: dari Cawan Perjamuan) dari satu Roh” ( I Korintus 12:13). Dengan demikian dalam ikut-ambil-bagian dalam Perjamuan Kudus kita tetap menerima energi Roh Kudus terus menerus. Itulah sebabnya “Perjamuan Kudus” itu mustahil ditafsir hanya sebagai lambang belaka. Dalam prakteknya di dalam Gereja Orthodox, hal ini jelas dengan adanya “doa epiklesis” yaitu “doa mohon turunNya Roh Kudus atas Roti dan Anggur yang telah disiapkan diatas altar (mezbah) :”….Turunkanlah RohMu yang Kudus itu kepada kami semua dan keatas benda-benda anugerah yang kami persembahkan ini. Serta jadikanlah roti ini menjadi Tubuh KristusMu yang mulia. Amin. Serta apa yang ada dalam Cawan ini Darah KristusMu yang amat mulia. Amin. Ubahkanlah mereka dengan RohMu yang Kudus.Amin.Amin.Amin.” Dengan demikian dalam perjamuan Kudus kita bukan hanya menerima Tubuh Dan Darah Kristus secara sakramental saja, namun juga kita menerima energi Roh Kudus secara baru, sehingga setiap kali Liturgi Suci Perjamuan Kudus hampir usai kita menyanyikan “ Kita t’lah melihat terang benar, t’lah TERIMA SANG ROH YANG DARI SORGA…”. Karena memang sungguhlah dalam Perjamuan Kudus itu kita menerima energi Roh Kudus terus menerus dan secara baru. Itulah sebabnya setiap Ibadah Minggu itu dirayakan Perjamuan Kudus, serta adalah harus merupakan kerinduan setiap umat Orthodox untuk datang ke Gereja bukan hanya untuk mendengar kotbah namun terutama sekali untuk berkeinginan yang mendalam manunggal dengan Kristus, dan memperbaharui energi Roh Kudus melalui Perjamuan Kudus. Itulah tujuan utama kita datang ke Gereja. Pengakuan dosa : Dosa-dosa yang dilakukan sesudah orang dibaptiskan perlu disucikan dalam sakramen Pengakuan Dosa. Dan Kristus sendirilah yang menetapkan Sakramen ini, agar orang setelah jatuh ke dalam dosa dibukakan kembali pintu Kerajaan sorga, melalui kunci 186 pengakuan dosa dan pertobatan ini: “Kepadamu (Petrus, sebagai wakil para rasul, yang dilanjutkan dalam pelayanan para episkop dan para presbiter) akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan terlepas di sorga” (Matius 16:19). Dan janji yang sama kepada Petrus ini dulang kembali oleh Kristus kepada para rasul lainnya:”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan terlepas di sorga” (Matius 18:18). Janji ini direalisasikan san diteguhkan ulang setelah Kristus bangkit dari antara orang mati demikian :” Dan sesudah berkata demikian Ia mengembusi mereka dan berkata:’ Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yohanes 20:22-23). Dengan sabda ini Kristus menunjukkan kepada kita bahwa Roh Kuduslah yang bekerkja dalam Sakramen Pengakuan Dosa, sehingga pengampunan itu datang dari Roh Kudus, bukan dari manusia yang melayaninya, yaitu rasul atau para episkop dan prebiter pengganti mereka. Dengan demikian dalam Sakamen pengakuan Dosa, Roh Kudus yang bekerja untuk memulihkan kita kembali dari sakitnya roh dan jiwa kita melalui dosa yang telah kita lakukan. Kita disembuhkan dari penyakit roh itu oleh Roh Kudus dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Jadi Roh Kudus berkarya dalam Sakramen Pengakuan Dosa itu. Baru sesudah inilah kita diperkenankan untuk mengambil Perjamuan Kudus kembali, untuk memperbaharui lebih lanjut energi Roh Kudus di dalam Roh kita, untuk menuju kesembuhan dari roh kita yang lebih dalam lagi. Perminyakan bagi kesembuhan : Jika roh dan jiwanya dapat sakit melalui jatuh ke dalam dosa, dan sakramen Pengakuan Dosa itu sarana kesembuhannya. Demikianlah tubuh manusiapun sering sakit, dan menjadi lemah dan sakit itulah tandanya. Untuk itu agar tubuh itu dipulihkan kembali serta dapat pergi ke Gereja untuk mengambil Perjamuan Kudus, Kristus menetapkan “Sakramen Perminyakan” atau “Sakramen Kesembuhan” bagi pemulihan tubuh yang sakit itu, sebagai perpanjangan karya kesembuhan dan mukjizat yang Ia telah lakukan pada saat Ia berada diatas bumi ini, baik yang dilakukanNya sendiri secara langsung, maupun yang dilakukan oleh para rasul-rasulNya:”Lalu pergilah mereka (para rasul) memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Markus 6: 12-13) Praktek yang dilakukan oleh para rasul atas perintah Yesus ini dilanjutkan terus dalam kehidupan gereja purba dan oleh Gereja Orthodox sampai kini, sebagaimana yang diperintahkan :” Kalau ada seorang diantaramu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat (para presbiter Gereja/romo paroikia), supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.” ( Yakobus 5:14-15). Dan kita tahu bahwa mukjizat kesembuhan ini adalah salah satu karya Roh Kudus di dalam gereja sebagaimana yang dikatakan;”Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama….Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan” ( I Kor. 12:7,9). Dengan demikian yang berkarya dalam Sakramen penyembuhan atau Sakramen Perminyakan ini adalah Roh Kudus sendiri. Demikianlah Roh Kudus berkarya melalui Sakramen Kesembuhan untuk membawa pemulihan kepada orang yang sakit, agar dengan demikian ia manunggal dalam kuasa mukjizat Kristus, yang menyembuhkan bukan hanya tubuhnya namun juga roh/jiwanya , melalui “jika ia berbuat dosa, maka dosanya akan diampuni”, sehingga sesudah mengalami kesembuhan ini ia dimampukan untuk ambil bagian dalam Perjamuan Kudus kembali. 187 Pentahbisan: Semua Sakramen diatas hanya mungkin berjalan jika ada orang yang melaksanakan dan memiliki jabatan sah untuk melaksanakan itu. Alkitab mengajarkan demikian mengenai hal ini. . Sesudah kebangkitanNya Kristus telah menetapkan para rasul itu sebagai pengajar-pemberita Injil serta sekaligus pelaksana sakramen baptisan ( Matius 28:16-19), mereka juga ditubjuk untuk melaksanakan perjamuan kudus ( Lukas 22: 14,19, ) , serta diberi kuasa untuk menjalankan sakramen pengakuan dosa ( Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23), disamping melaksanakan krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II Kor.1:21-22 ), serta perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan semua sakramen lainnya. Sejak zaman purba itu para rasul yang diwakili oleh Petrus menyebut dirinya sebagai “teman-penatua” (“sympresbyteros” = sesama presbyter) (I Petrus 5:1 ), dengan demikian sebagai gembala Gereja para Rasuul itu juga para presbiter bersama dengan presbiter-presbiter non-rasul lainnya. Dan juga eejak jaman awal para rasul sudah mulai mentahbiskan para prebiter, sebagaimana yang tertulis:” Ditiap-tiap jemaat (“ekklesia”: Gereja) rasul-rasul itu menetapkan (“kheirotoneesantes” : mentahbiskan) penatua-penatua (“presbyterous” : para presbyter) bagi jemaat itu…” (Kisah Rasul 14:23 ), yang berarti para presbiter ini nanti akan menggantikan kedudukan rasul-rasul sebagai gembala jemaat (Kisah 20:17, 28), dan sekaligus “penilik” (“episkopous” para episkop), jabatan yang mana juga disebut sebagai jabatan rasul juga (Kisah 1:20). Para “penatua” (“presbyter”) inilah yang berada di sekitar rasul pada saat Konsili Rasuliah yang pertama di Yerusalem (Kisah 15:4,6 22), dan berada dibawah kepemimpinan Yakobus di Yerusalem ketika Paulus “sowan” kepada Yakobus sebagai pimpinan Gereja Yerusalem (Kisah 21:17-18, Galatia 2:9). Presbyter dan Episkop pada saat itu masih merupakan jabatan yang sama, sebagaimana para presbyter (penatua) di Kisah 20:17 itu disebut juga episkop (penilik) yang menggembalakan Gereja di Kisah 20:28. (Titus 1:8-9) Dan Episkop (Penilik Jemaat) inilah yang menjadi Gembala Gereja di dampingi oleh Diaken ( Filipi 1:1). Sehingga menjelang masa tua Rasul Paulus, kedudukan Episkop (Penilik Jemaat ) ( I Tim. 1-7), kedudukan Presbyter (Penatua) ( I Tim. 5:17-22) dan kedudukan Diaken (I Tim 3: 8-13), adalah merupakan jenjang Hirarkhi dalam Gereja yang telah mapan dan ditetapkan para rasul sendiri ( Kisah 20:28). Sebagai pengganti para rasul berarti para prebyter/episkop ini juga memiliki tugas para rasul, melalui pentahbisan secara mata-rantai pentahbisan tadi. Dengan demikian tugas presbiter/episkop itu juga adalah untuk menjadi gembala dan pengajar-pemberita Injil serta sekaligus pelaksana sakramen baptisan ( Matius 28:16-19), mereka juga ditubjuk untuk melaksanakan perjamuan kudus ( Lukas 22: 14,19, ) , serta diberi kuasa untuk menjalankan sakramen pengakuan dosa ( Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23), disamping melaksanakan krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II Kor.1:21-22 ), serta perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan semua sakramen lainnya. Dan mereka mempunyai hak atas semua tugas pelayanan rasuliah ini karena mata-rantai pentahbisan yang dilakukan sejak zaman para rasul itu sendiri. Mengenai jabatan menjadi episkop atau presbiter melalui pentahbisan ini dikatakan oleh Alkitab demikian “ ..ia ( Paulus) menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua jemaat (presbiter Gereja) datang ke Miletus. Sesudah mereka datang, berkatalah ia kepada mereka:”……kamulah yang DITETAPKAN ROH KUDUS menjadi penilik (episkopous = episkop-episkop) untuk menggembalakan jemaat Allah…”( Kisah 20: 17,18a, 28). Menurut ayatayat diatas presbiter atau episkop itu menjadi gembala bagi jemaat Allah karena “ditetapkan oleh Roh Kudus”, padahal penetapan mereka menjadi “presbiter” (“penatua”) atau “episkop” (“penilik”) itu adalah melalui “penumpangan tangan” dalam pentahbisan ( Kisah Rasul 14:23). Dengan demikian Roh Kudus berkarya juga dalam “Sakramen pentahbisan” ini. Ini makin diteguhkan lagi dalam tahbisan Timotius yang dikatakan oleh Rasul Paulus demikian:”Karena itulah kuperungatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu 188 oleh penumpangan tanganku atasmu” (II Tim. 1:6), dan “ Janganlah lalai mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua (sidang presbiter)” ( I Tim.4: 14). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Timotius telah memiliki “karunia Allah” atau “karunia” yang didapatnya melalui “penumpangan tanganku (Paulus)” dan “penumpangan tangan sidang penatua”. Penumpangan tangan yang dilakukan oleh rasul dan sidangf para presbiter ini jelas menunjuk kepada :”Sakramen Pentahbisan”, sebab sampai kinipun dalam Gereja Orthodox jika seseorang ditahbiskan menjadi episkop, itu selalu dilakukan oleh lebih dari seorang episkop melalui penumpangan tangan, dan melalui sejarah kita tahu bahwa Timotius memang seorang episkop muda (25 tahun) di Efesus. Jadi melalui “Sakramen pentahbisan” sebagai episkop, Timotius menerima “karunia Allah”. Dan Paulus juga menerangkan demikian:”Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakanNya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” ( II Tim. 1:14). “Harta yang Indah” itu adalah Misteri kebenaran Injil. Paulus sebagai Rasul berbicara kepada Timotius sebagai Episkop, bahwa “Misteri Kebenaran Injil” ( “Harta yang Indah”) itu telah dipercayakan oleh Allah kepada Rasul dan Episkop itu. Tentu cara Allah mempercayakan hal itu kepada Paulus adalah melalui panggilannya sebagai Rasul, sedangkan kepada Timotius melalui “pentabisannya” sebagai Episkop. Dan cara mempercayakan Injil itu dilakukan oleh “Roh Kudus”, berarti baik panggilan Paulus atau pentahbisan Timotius itu terlaksana melalui Roh Kudus, dengan demikian jelas bahwa apa yang dikatakan sebagai “karunia Allah” ketika Timotius ditahbis, itu tak lain adalah “Roh Kudus” yang menetapkan para episkop/presbiter di dalam Sakramen Pentahbisan itu. Demikianlah jelas bahwa dalam Sakramen Pentahbisan Roh Kudus itu berkarya dalam Gereja. Pernikahan Kudus Sakramen Pernikahan Kudus disebut sebagai “Sakramen Cinta-Kasih”. Karena Pernikahan di dalam Gereja Orthodox dilihat sebagai “Citra Kehidupan Dalam Tritunggal Maha Kudus”. Sebagaimana di dalam Allah yang Esa, Bapa adalah sumber ke-Allah-an dan ke- Esa-an, serta dari Bapa yang Esa ini “Firman” itu “keluar” ( Yohanes 8:42). Demikianlah laki-laki itu adalah kepala dari perempuan, dan dari laki-laki (“Adam”) itulah perempuan (“Hawa”) itu keluar dan diciptakan ( Kejadian 2: 21-13, I Kor. 11: 3, 8-9). Dan secara kekal “Firman” yang “keluar” dari Bapa itu juga “bersama-sama” (“berada satu di dalam”) Allah ( Yohanes 1:1), dan antara Allah dan FirmanNya yang satu di dalam diriNya itu terdapat hubungan “kasih” yang timbal-balik dari kekekalan azali sampai kepada kekekalan abadi ( Yohanes 17:24). Padahal Allah mencurahkan “kasihNya” itu selalu melalui karya RohNya yang kudus ( Roma 5:5). Berarti kasih timbal-balik yang ada antara “Allah” dan “FirmanNya” di dalam diriNya Yang Esa itu terjadi secara kekal tanpa henti melalui Roh Kudus. Demikianlah Allah terikat oleh “FirmanNya” melalui “RohNya” di dalam kasih. Demikian pula “laki-laki” sebagai gambaran “Bapa” (“Allah”) dan “perempuan” sebagai gambaran dari “Firman yang keluar dari Bapa” itupun terikat dalam kasih “menjadi satu daging” ( Kejadian 2:24), sebagaimana Allah dan FirmanNya itu adalah Esa adanya. Keberadaan “satu daging” antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan itu terjadi oleh “ikatan kasih”, sebagaimana Allah dan FirmanNya itu diikatkan oleh kasih dalam Roh Kudus. Demikianlah karena kasih yang sejati itu adalah juga sebagai buah dari Roh Kudus :”Tetapi buah Roh ialah: kasih….” ( Galatia 5:22), maka hubungan kasih dalam pernikahan itu juga dilihat sebagai karya Roh Kudus oleh Gereja Orthodox.. Itulah sebabnya pernikahan itu dimasukkan dalam lingkup Sakramen dalam Gereja Orthodox, karena perkawinan Orthodox itu berbeda dari perkawinan non-Orthodox, dimana dalam perkawinan non-Orthodox itu dilihat hanya sebagai aktivitas sosial kemasyarakatan, sedangkan Gereja Orthodox melihat itu sebagai 189 tanda hadirnya kerajaan Allah, karena itu dilakukan dalam hadirat kerajaan Allah di dalam Gereja. karena perkawinan dilihat sebagai Citra Tritunggal Mahakudus, dan kasih yang ada antara suami dan isteri dilihat sebagai buah Roh Kudus, dan juga dicurahkan oleh Roh Kudus ( Roma 5:5). Demikianlah jelas dalam Sakramen Penikahan Kudus itu Roh Kudus berkarya dengan nyata dan jelas. Sehingga Pernikahan Orthodox mempunyai ciri rohani yang amat dalam. -Ibadah-Ibadah Bukan hanya dalam Sakramen-Sakramen saja Roh Kudus bekerja, dalam ibadah-ibadah nonSakramental lainnyapun Roh Kudus itu juga bekerja dalam Gereja Rasuliah yang Orthodox itu. Di dalam Kisah Rasul kita baca demikian:”Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan…berkatalah Roh Kudus….” ( Kisah 13:2). Dalam ayat dibuktikan bahwa ketika Gereja “beribadah” maka “Roh Kudus” pun hadir sehingga Ia “berkata” ditengah-tengah ibadah itu. Ini jelas menunjukkan bahwa Roh Kudus itu hadir di dalam Ibadah-ibadah Gereja. Dalam Gereja ada beberapa kegiatan dalam kehidupan paguyuban Gereja yaitu :”Mereka bertekun dalam ajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” ( Kisah Rasul 2:42) Jadi kegiatan utama dari paguyuban Gereja adalah: mempelajari ajaran rasuliah dengan tekun, mengadakan persekutuan, memacahkan roti atau melakukan Sakramen Perjamuan Kudus, dan “berdoa”, kata yang diterjemahkan dengan “berdoa” disini adalah “tais prosevkhais” (“doa-doa”), berarti umat Kristen melakukan beberapa bentuk macam doa yaitu beberapa macam bentuk “Sembahyang” yaitu “Ibadah-Ibadah Non-Sakramental”.Sebagai umat Yahudi yang telah diajar dari “Synagoga” maka orang-orang Kristen purba itu melakukan sembahyang tak jauh beda dari orang-orang Yahudi yang lain, sehingga perkumpulan merekapun disebut “Synagoga” sebagaimana dikatakan dalam Yakobus 2:2 :” Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu ( eis synaghogheen heemoon = ke dalam synagogamu)….”. Jika kumpulan Kristen purba ini disebut Synagoge maka kegiatan ibadah yang ada di dalamnya itu tak beda dengan yang dilakukan dalam synagoga Yahudi, kecuali bahwa Synagoga Kristen ini percaya bahwa Mesias telah datang di dalam diri Yesus Kristus, sedangkan Synagoga Yahudi itu tidak percaya bahwa Mesias itu telah datang. Cara-cara ibadah synagoga itu berasal dari ibadah di luar Bait Allah yang berasal dari zaman Ezra. Sebagaimana dikatakan:”….berkumpullah seluruh rakyat di halaman di depan pintu Gerbang Air……imam Ezra membawa kitab Taurat itu ke hadapan jemaah…Ia membacakan beberapa bagian daripada kitab itu…dari pagi sampai tengah hari….Ezra, ahli kitab itu, berdiri diatas mimbar kayu…Ezra membuka kitab itu di depan mata seluruh umat…Pada waktu ia membuka kitab itu semua orang bangkit berdiri. Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang mahabesar, dan semua orang menyambut dengan :”Amin,Amin!”, sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah…Bagian-bagian dari pada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti” ( Nehemia 8:2-9). Dari keterangan ini kita dapat mengerti cara sembahyang di luar Bait Allah (di depan Pintu Gerbang Air) dimana terdapat jemaah yang hadir. Inilah asal-mula sembahyang jemaah di Synagoge Yahudi itu. Di depan jemaah ada yang memimpin, yaitu Imam Ezra, yang adalah seorang Ahli Kitab. Pusat ibadah itu adalah pembacaan Kitab. Kitabnya dibaca menurut bagian-bagian yang telah dipilih, lalu diberi keterangan, inilah kotbah. Pembacaan dilakukan dari atas mimbar, dan saat kitab dibaca umat berdiri. Kemudian Ezra memimpin puji dan doa kepada Allah, umat menyambut “Amin,Amin”, mereka mengangkat tangan, berlutut dan 190 bersujud, menyembah TUHAN. Dengan berlalunya waktu, tata-tertib Sembahyang Synagoge itu makin baku, dimana pembacaan bagian-bagian Kitab Suci, terutama Taurat dan kitabkitab Nabi itu yang menjadi pusat, lalu disertai dengan kotbah. Hal ini dapat kita lihat dalam kisah kunjungan Paulus ke Synagoge di Antiokhia:Pisidia:" ”..Pada hari Sabat mereka pergi ke rumah ibadat (synagoga), lalu duduk disitu. Setelah selesai pembacaan dari hukum Taurat dan kitab nabi-nabi, pejabat-pejabat rumah ibadat menyuruh bertanya kepada mereka:" Saudara-saudara, jikalau saudara-saudara ada pesan untuk membangun dan menghibur umat ini, silakan!” Maka bangkitlah Paulus. Ia memberi isyarat dengan tangannya, lalu berkata:…..” ( Kisah Rasul 13: 14-15) Ayat ini menjelaskan bahwa dalam Synagoga ada pejabatnya, yaitu pelanjut dari Imam Ezra. Ibadah dilakukan dengan teratur, karena dikatakan “Setelah selesai pembacaan…” Ini menunjukkan adanya urutan tata-tertib ibadah sesudah pembacaan ini, dan ternyata itu adalah kotbah. Dengan demikian sebelum pembacaan kitab-kitab ini pasti ada urutan tatatertib yang mendahului, demikian juga sesudah kotbah, meskipun tak diceritakan disini. Karena ayat ini hanya menceritakan bagaimana dampak kunjungan para Rasul ini ke Synagoga bagi penyebaran Injil.Dan sebagaimana dalam zaman Ezra, pembacaan dari Taurat dan para Nabi itu telah ditentukan bagian-bagiannya, sebagaimana dikatakan;”….menurut kebiasaanNya (Yesus) pada hari Sabbat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepadanya diberikan kitab Nabi Yesaya dan setelah dibukanya, Ia menemukan nas, dimana ada tertulis:…….Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepadaNya. Lalu Ia mulai mengajar mereka:…..” ( Lukas 4:16-17,20). Diatas tata-tertib ibadah synagoga inilah, ibadah jemaah Kristen purba itu diperkembangkan, dengan keyakinan bahwa Mesias yang diharapharapkan orang Yahudi itu sudah datang dalam diri Yesus Orang Nazaret itu.. Jadi mengangkat tangan, berlutut, bersujud, mengucapkan Amin sebagai jawaban doa dan pujian dari imam yang memipin ibadah, dan tentunya dengan doa-doa lain, misalnya bacan-bacaan dari Mazmur, itu jelaslah menjadi bagian dari tata-tertib ibadah itu. Dan jikalau kita melihat ibadah Synagoga Yahudi masakini, memang demikianlah halnya. Kemiripan Ibadah Synagoga masakini, dengan Ibadah Gereja Orthodox itu amatlah mengesankan, dan ini bercerita banyak tentang asal-usul Ibadah Kristen Orthodox dalam kaitannya dengan Ibadah Synagoga di zaman purba itu. Bahwa Ibadah Gereja Purba itu adalah kelanjutan dari Ibadah Synagoga, ini terbukti bagaimana Rasul Paulus mengingatkan Timotius, sang episkop muda itu, demikian:”Sementara itu , sampai aku datang bertekunlah dalam membaca KitabKitab Suci (yaitu: membacakan pada umat dalam koteks Ibadah, seperti halnya yang dilakukan dalam Synagoga), dalam membangun dan dalam mengajar ( yaitu: berdasarkan bacaan yang diambil dari Kitab-Kitab Suci yang telah dibaca tadi)” ( I Tim. 4:13). Pada saat perintah ini diberikan pada Timotius bacaan itu diambil dari Kitab Suci Perjanjian Lama, namun dengan sudah dituliskannya dokumen-dokumen Perjanjian Baru, sejarah mencatat, bahwa Gereja Purba itupun segera memperlakukan Injil-Injol dan Surat-Surat Rasul (Epistel) sebagaimana Taurat dan Para Nabi digunakan dalam Synagoga. Demikianlah yang membedakan Ibadah Yahudi dari Ibadah Gereja Purba, yang tetap dipelihara Gereja Orthodox, adalah sifat Kristologis dari Ibadah Orthodox ini. Semua tertib-ibadah yang diwarisi dari agama Yahudi: baik sembahyang tujuh waktu ( Mazmur 119:164), sembahyang tiga waktu (Daniel 6:11), sembahyang pembakaran ukupan pagi dan sembahyang pembakaran ukupan senja (Keluaran 29:38-39, 30:7-8, Lukas 1:9-11), dan perayaan-perayaan :Paskah, Pentakosta, maupun perayaan-perayaan lainnya, tetap dipelihara dalam Gereja Purba, yaitu Gereja Orthodox, dengan mengalami transformasi radikal, yaitu isinya yang 191 sama sekali bersifat Kristologis, dan sebagai wahana pemberitaan tentang Kristus. Ini disebabkan karena ibadah-ibadah Yahudi yang telah ditransformasi itu sekarang dikaitkan dengan ibadah utama yang ditetapkan Sang Kristus sendiri, yaitu Perjamuan Kudus. Ibadahibadah itu tak berdiri sendiri. Padahal mengenai Ibadah perjamuan Kudus (Liturgi Suci) itu dikatakan :”Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, KAMU MEMBERITAKAN KEMATIAN TUHAN SAMPAI IA DATANG” ( I Kor. 11:26). Jadi Liturgi Suci adalah berita yang didramakan secara liturgis dari “sejarah keselamatan” (“ Kematian Tuhan sampai Ia datang”). Demikianlah Ibadah terutama Liturgi Suci, bukanlah sekedar cara saja, namun itulah juga berita Injil. Karena semua ibadah lainnya itu adalah sarana untuk mempersiapkan diri bagi, dan sarana memelihara rahmat yang telah diterima dari Perjamuan Kudus, maka jelas Ibadah-ibadah lainnya tadi harus bersifat Kristologis. Padahal Kitab Suci mengatakan bahwa :”….tidak seorangpun , yang dapat mengaku :” Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus “ ( I Kor. 12:3). Karena sifat Kristologisnya yang amat kental dari ibadah-ibadah Orthodox lainnya itu, maka tak mungkin itu bukan dari yang lain kecuali dari Roh Kudus. Dan dalam pendalaman yang sungguhsungguh atas ibadah-ibadah tadi, maka orang akan menyelam kepada kesaksian Roh Kudus akan “ke-Tuhan-an” Kristus itu, dengan demikian menyelam dalam Roh Kudus itu sendiri. Bahwa ibadah-ibadah non-sakramental itu juga di dalam Roh Kudus, dinyatakan oleh Alkitab demikian:’…Bilamana kamu berkumpul (yaitu:untuk beribadah), hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur (dalam Gereja Purba ini, mazmur itu bukan lagu ucapan-ucapan tanpa aturan yang dilagukan secara beramai-ramai dengan diiringi gitar yang tanpa irama tertentu, namun mazmur itu dibaca oleh "seorang", yaitu secara bergantian membaca dari doa-doa yang diilhami Roh Suci dari Mazmur Daud, sebab Mazmur itu sebagai bagian Kitab Suci adalah “Ilham Roh Kudus”, sebagaimana yang dilakukan dalam Gereja Orthodox sampai kini), yang lain pengajaran (yaitu: yang dilakukan oleh imam sesudah pembacaan dari Kitab Suci), atau penyataan Allah ( yang bisa disampaikan oleh imam pada saat berkotbah, atau diberitahukan sesudah pengajaran itu selesai atau sesudah doa-doa selesai, atau seperti yang terjadi dalam Kisah 13:2:”Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan…berkatalah Roh Kudus….” ), atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh (mengenai penggunaan bahasa roh dan keharusan atau ketidak-harusannya kita bahas dibawah )……” ( I Kor. 14:26). Jadi beribadah secara Kristen terutama dalam ibadah-ibadah Orthodox itulah orang menyembah dalam “Roh”, karena pendalamannya akan Kristus itu. Jadi menyembah dalam roh itu tak terkait dengan bahasa lidah, apalagi penggunaan manipulasi atas emosi yang begitu kuat. Menyembah dalam Roh itu berbeda dari peledakan emosi yang luar biasa. Untuk itu marilah kita bahas apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai bahasa lidah dalam kaitannya dengan “menyembah dalam Roh”, yang sekarang banyak disalah-tafsirkan orang itu. Karunia Bahasa Roh dan menyembah dalam Roh Di dalam Yohanes 4: 23-24 Yesus mengajarkan demikian:”Tetapi saatnya akan datang DAN SUDAH TIBA SEKARANG, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan Kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan Kebenaran”. Di sekitar kita ada banyak sekali orang yang mentafsirkan hal ini dengan bahasa roh, yaitu berdoa menggunakan bahasa roh dengan emosi yang meledak-ledak. Bahwa bahasa roh itu tak ada kaitannya dengan “menyembah dalam Roh dan Kebenaran” itu dapat dijelaskan demikian. Pertama, bahasa roh itu baru muncul sesudah Yesus naik ke sorga, dan Roh Kudus pertama kali dicurahkan pada Hari Pentakosta ( Kisah 2:1-4). Padahal menurut Yesus “menyembah Allah 192 dalam Roh dan Kebenaran” itu bukan hanya “akan datang” saatnya namun juga “sudah tiba sekarang” ( Yohanes 4:23). Berarti menyembah dalam “Roh dan Kebenaran” itu sudah tiba saatnya “sekarang”, yaitu ketika Yesus sedang berbicara dengan wanita Samaria itu. Padahal saat itu belum ada bahasa roh. Dan konteksnya Yohanes 4 itu tidak sedang membicarakan karunia-karunia Roh apalagi bahasa-roh. Kedua, jika menyembah dalam “Roh dan Kebenaran” itu dikaitkan dengan I Kor. 14:14:”…jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa…..Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku juga akan berdoa dengan akalbudiku” , itupun tidak tepat. Sebab pada waktu Yesus mengatakan menyembah dalam Roh itu kontrasnya menyembah menurut tulisan hukum Taurat di Gunung Gerizim atau di Yerusalem ( Yohanes 4:21). Dan jikalau Alkitab mengkontraskan Taurat dengan Roh, itu pasti yang dimaksud adalah “Roh Kudus “ ( II Kor. 3: 6). Padahal menurut I Kor. 14:14-15 itu berdoa dengan bahasa roh maka ‘rohKU’ yang berdoa, yaitu roh manusia. Yesus memerintah menyembah Allah bukan dalam roh manusia, namun dalam Roh Kudus. Padahal menurut I Kor. 14:14 bahasa roh itu doanya roh manusia. Roh manusia itu beda dengan Roh Kudus ( I Kor. 2:11, Roma 8:16). Jadi I Kor. 14:14-15 itu tak terkait dengan Yohanes 4:23-24 dalam muatan isinya. Dengan demikian menyembah dalam Roh itu artinya bukan berdoa dengan bahasa-roh, apalagi kalau dilakukan beramai-ramai, yang oleh Kitab Suci dikatakan jangan sampai nanti dikatakan orang luar atau orang yang tak percaya sebagai “gila” itu ( I Kor. 14:23). Menyembah dalam Roh dan Kebenaran adalah menyembah dalam tuntunan Roh, dalam kekudusan, dalam kerendahan hati, dalam keteduhan, dalam kekhusyukan dan dalam takut dan gentar akan Allah, serta dalam panunggalan dengan Kristus: Sang Kebenaran itu sendiri ( Yohanes 14:6), melalui tertib-terib ibadah yang telah diilhami Roh Kudus itu, selama dua ribu tahun ini dalam GerejaNya yang Rasuliah itu. Untuk itu marilah kita selidiki apa sebenarnya menurut Alkitab glosolalia (bahasa lidah, bahasa roh) itu. Menurut keyakinan para penghayat pentafsiran akan kharismata, bahasa roh terjadi apabila Roh Kudus mengambil alih lidah orang yang menerima “bahasa roh.” Meskipun orang itu tak mengerti apa yang dikatakan. Hal itu didefinisikan bahwa bahasa roh adalah bentuk doa yang lebih sempurna dimana melalui bahasa itu Roh Kudus berbicara kepada Sang Bapa (I Kor 14:2) melalui bahasa glosolali yang tidak dimengerti (Roma 8:26). Ada yang mengajarkan bahwa ada dua bentuk bahasa lidah. Dalam bentuk yang paling umum, seseorang berdoa dalam bahasa doanya secara pribadi melalui dorongan dari Roh Kudus. Bahkan sampai ada yang mengatakan, meskipun tanpa bukti Alkitab, bahwa doa dalam bahasa-roh ini adalah doa yang begitu rahasia sampai setan-setanpun takut dan tak mengerti artinya. Sebagian orang membuat bahasa lidah menjadi hal yang sangat diagungkan, dan hampir mendekati pendewaan. Dan bentuk yang sangat ekstrim mengatakan bahwa tanpa bahasa lidah orang tak memiliki Roh Kudus, dan akibatnya orang tak bisa diselamatkan. Tentu saja ini ajaran yang tak berdasar, sebab Alkitab tak pernah mengatakan demikian. Bahasa lidah itu hanya salah satu saja dari karunia-karunia Roh Kudus, jadi bukan Roh Kudus itu sendiri. Dan keselamatan terjadi bukan karena salah satu karunia Roh Kudus, apalagi bahasa lidah, karena keselamatan itu terjadi oleh karya penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus. Bentuk yang kedua dari bahasa lidah ini menurut mereka yang percaya pentafsiran yang demikian tadi adalah Roh Kudus menggunakan seseorang untuk menyampaikan suatu berita pada umat percaya melalui orang kedua yang memiliki karunia untuk mentafsirkan bahasa roh tadi. Ada lagi orang yang memperkembangkan teori lain, entah atas dasar apa, bahwa bahasa roh itu mempunyai dua bentuk. Bentuk yang satu bahasa roh sebagai “karunia” dan satunya lagi bahasa roh sebagai “tanda”. Suatu perbedaan yang dasar Alkitabnya tak jelas. Karena dengan namanya sebagai karunia bahasa roh yang dipercayai dari Roh Suci itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa itu adalah karunia, 193 meskipun seandainya bahasa roh itu betul berfungsi sebagai tanda, seperti yang dikatakan itu, namun itu tanda yang diberikan oleh Roh Kudus, berarti itu masih karunia juga. Jadi pembedaan seperti itu memang tak dapat dipertahankan secara Alkitab. I Kor 14:22 hanya menyebut bahasa-bahasa roh tanda untuk orang-orang tak beriman bukan untuk orang beriman. Para pengajar mereka mendasarkan penekanan pada glosolalia atas beberapa nats Perjanjian Baru yang menunjukkan disebutnya “bahasa roh”. Di dalam Kisah Rasul dinyatakan ada 4 peristiwa bahasa roh ini, jika Kisah Rasul 8:14-18 dimasukkan didalamnya meskipun kata dan peristiwa bahasa roh itu tak disebut disana. Sedangkan nats-nats yang lain adalah Kis. 2:1-4, 10:44-46, 19:1-6. Dalam nats pertama yang paling terkenal (Kis.2:1-4), Roh Kudus turun keatas para rasul pada hari Pentekosta dan mereka “mulai berkata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” (Kis.2:4). Sebagai akibatnya banyak orang dari berbagai bangsa, yang telah berkumpul di Yerusalem “mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri.” (Kis.2:6). Mujizat yang ada disini bukanlah bahasa roh yang “tidak seorangpun yang mengerti bahasanya” I Kor 14:2), karena jelas diterangkan bahwa “mereka berkata-kata dalam bahasa (Yun. dialektoo = dialek, logat) kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita.” (Kis 2:8). Bahasa ini bukanlah bahasa yang tidak dimengerti seperti yang diajarkan oleh para pentafsir yang demikian itu, dan ini berbeda dengan apa yang disebutkan Paulus dalam I Kor 14:2. Mujizat disini adalah mujizat dialek atau logat, bukan mujizat bahasa yang tidak diketahui. Jadi mendasarkan penekanan bahasa roh atas pasal ini justru bukan ditunjang malah ditolak oleh data nats itu sendiri. Menurut tradisi rasuliah yang diberitakan Gereja sebagaimana yang terpancar dari kidung-kidung pesta perayaan hari Pentakosta, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta (yang jelas bukan bahasa roh, namun logat atau dialek) adalah pernyataan dari universalitas Injil dan kesatuan manusia melalui Roh Kudus. Dosa di Menara Babel telah membuat perpecahan melalui kekacauan bahasa-bahasa, tetapi Roh Kudus membawa semua manusia bersama kedalam kesatuan melalui Injil Kristus pada hari Pentakosta. Jadi, jelaslah apapun yang hendak dipertahankan oleh sebagian orang mengenai Kis. 2:1-4 ini, menurut Alkitab itu sendiri, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta itu adalah bahasa manusia yang nyata diberikan kepada para rasul dengan maksud untuk menyampaikan Injil, bukan “bahasa yang tak diketahui” dari glosolali. Di dalam nats-nats yang lain dalam Kisah Rasul kita melihat bukannya suatu pengajaran mengenai pentingnya bahasa roh yang diketengahkan, namun masing-masing itu adalah suatu penyataanpenyebaran Gereja oleh kuasa Roh Kudus,kepada bermacam-macam kelompok manusia (Samaria: setengah Yahudi dan setengah kafir dalam Kisah 8:14-18, Kafir Romawi; keluarga Kornelius orang Itali dalam Kisah 10, dan murid-murid Yohanes : setengah Yahudi dan hampir Kristen dalam Kisah 19:1-5) serta merupakan refleksi dari Pentakosta yang asli di Yerusalem untuk menunjukkan bahwa keselamatan itu untuk semua bangsa. Itulah sebabnya Petrus mengatakan bahwa pengalaman di rumah Kornelius itu adalah “sama seperti dahulu ke atas kita” dan bahwa “Allah memberikan karuniaNya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus “ ( Kisah 11:15, 17), yaitu peristiwa Pentakosta di Yerusalem. Tujuan dari semua ini adalah merupakan campur tangan Allah untuk mendobrak kesempitan cara pandang bangsa Yahudi biarpun yang sudah Kristen yang menganggap bahwa keselamatan itu hanya bagi mereka saja, karena orang -orang Kristen Yahudi itu sendiri mengakui “betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka” ( Kis 10:28) sehingga ketika Petrus memaksakan diri oleh perintah Roh Kudus “orang-orang dari golongan bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka : “Engkau masuk ke rumah orangorang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama mereka” (Kisah 11:2). Hanya oleh 194 campur tangan Allah secara langsung dengan mengirimkan karunianya yang sama seperti pada orang Yahudi sajalah maka mereka dapat sadar bahwa “Allah tidak membedakan orang, setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya” ( Kisah 10:34-35), sehingga dengan itu mereka dapat menerima orangorang yang bukan Yahudi ke dalam Gereja dengan “menyuruh mereka dibaptis dalan Nama Yesus Kristus “ ( Kisah 10:48). Maka oleh kuasa Roh Kudus tersebarlah dan berdirilah Gereja non-Yahudi yang pertama, sebagaimana oleh kuasa Roh Kudus yang sama Gereja Yahudi telah didirikan di Yerusalem. Demikian juga untuk murid-murid Yohanes yang belum Kristen dalam Kisah 19:1-5. Karena mereka belum dibaptis secara Kristen yaitu dibaptis dalam Nama Tuhan Yesus, maka mereka belum menerima Roh Kudus. Maka mereka dibaptiskan dalam Nama Tuhan Yesus yaitu dibaptiskan secara Kristen, bukan baptisan Yahudi yang mereka terima dari Yohanes, sehingga mereka dimasukkan dalam pelukan Gereja dan menerima Roh Kudus. Jadi jelaslah kalau begitu peristiwa yang terjadi dalan Kisah Rasul itu sama sekali bukan perintah agar orang mendapatkan bahasa roh dan bukan pula suatu contoh berkat-berkat pribadi bahasa roh, namun lebih benar lagi sebagai penegakkan Gereja di luar dunia Yahudi. Dan patut dicatat bahwa dalam banyak contoh Alkitab, orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus tidak selalu berbicara dalam bahasa roh ( Kisah 8:14-18, 4:8, 31; 7:55-56).Di balik penekanan yang begitu dipentingkan pada glosolali yang dilakukan oleh para pentafsir yang menekankan kharismata itu, fenomena ini tidak dapat dijumpai dimanapun dalam seluruh Alkitab, kecuali apa yang dikatakan oleh rasul Paulus mengenai bahasa roh yang ada dalam I Korintus 12:10, 28-30, dan terutama dalam I Korintus 14. Itupun harus diingat dan ditegaskan bahwa berbeda dengan Kisah Rasul dimana bahasanya dapat dimengerti serta dikaitkan dengan berdirinya Gereja, dalam I Korintus ini bahasa-bahasa itu tidak dapat dimengerti serta bukan dikaitkan dengan berdirinya Gereja namun sebagai karunia dalam Gereja dan hanya diberikan kepada “beberapa orang” saja dalam Gereja atau jemaat ( I Kor 12:28). Jadi menggabungkan dan mengacaukan data Kisah rasul dan I Korintus 12 dan 14 seolah-olah keduanya itu hal yang sama adalah suatu kesalahan yang besar yang bertentangan dengan berita Alkitab itu sendiri.Beberapa orang mengutip janji Kristus dalam Markus 16:17, bahwa mereka yang percaya akan “berbicara dalam bahasa yang baru,” sebagai suatu dukungan dari pandangan mereka akan bahasa roh. Namun demikian, nats ini sebenarnya tidak berbicara mengenai glosolali sebagaimana yang dipraktekkan masakini. Didalam konteks Alkitabiah yang semestinya, ayat ini menunjukkan kepada tugas para rasul untuk mengabarkan Injil kepada semua manusia dari segala bangsa, budaya dan bahasa. Orang-orang Kristen mula-mula itu berbicara dalam bahasa Aramia atau Yunani. Dalam ayat 15 dan 16 v Kristus memerintahkan agar para muridNya mengabarkan Injil kepada segala makhluk dan menjadikan orang yang percaya dan dibaptis itulah yang akan diselamatkan. Untuk mencapai tujuan dari perintah tadi Kristus menjanjikan penyertaanNya (Matius 28:20), yang ditandai dengan kuasa dan sarana untuk mencapai para bangsa tadi. Kuasa-kuasa tadi diberikan dalam bentuk : kuasa mengusir setan, memegang ular tanpa bahaya, minum racun maut tanpa mengalami kecelakaan, menyembuhkan orang dengan jalan meletakkan tangan pada orang sakit. Inilah tanda yang menyertai orang percaya dalam konteks pengutusanNya tadi sebagai bukti Tuhan menyertai pengutusanNya. Sedangkan sarana untuk mencapai segala bangsa ( segala makhluk) yang berbudaya dan berbahasa macam-macam itu adalah kemampuan yang akan diberikan mengunakan bahasa-bahasa baru bagi mereka, yaitu bahasa yang bukan bahasa Arami atau pun bahasa Yunani. Sejak saat itulah seperti yang telah dimulai oleh para rasul pada hari Pentakosta dimana mereka berbicara dalam dialek dan logat yang bermacam-macam yang merupakan bahasa baru bagi orang-orang Galilea ini, Gereja 195 telah menyebarkan Injil dalam sarana bahasa yang baru yang bukan termasuk bahasa asli mereka : Aramia dan Yunani. Kini orang Kristen (orang percaya) berbicara, berkotbah, berdoa dan menyembah dengan menggunakan banyak bahasa yang tak diketahui oleh orangorang Kristen mula-mula, dan inilah bahasa-bahasa yang baru tadi. Sungguhlah orang-orang percaya ( orang-orang Kristen) telah berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru yang bukan bahasa Aramia dan Yunani seperti orang Kristen mula-mula. Itulah tanda bagi orang percaya sebagai pemenuhan dari janji universalitas Injil untuk segala makhluk, yang diperintahkan Kristus untuk disebarkan tadi. Disamping itu praktek penggunaan bahasa roh tadi, sudah melanggar dari apa yang dijelaskan oleh Kitab Suci. Menurut Kitab Suci bahasa roh itu tak boleh digunakan secara beramai-ramai karena nanti akan dikatakan sebagai orang “gila” ( I Kor. 14: 23) oleh orang luar. Demikian juga Paulus di dalam ibadah Gereja tidak mau menggunakan bahasa-roh itu, meskipun ia berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari semua orang Kristen lain. Namun dalam pertemuan jemaat lebih baik ia menggunakan hanya lima kata yang dimengerti bagi orang lain. ( I Kor. 14:18-19). Penggunaan bahasa roh itu juga dibatasi “ dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang” bukan satu Gereja ribuan orang beramairamai, itupun harus “seorang demi seorang” bukan berbarengan seperti suara lebah seribu, dan “harus ada orang lain yang mentafsirkan” bukan asal dibunyikan”. Jika tak ada yang mentafsir harus “berdiam diri” dalam Gereja (I Kor. 14:27-28). Jadi ibadah menurut I Korintus 14 itu adalah ibadah yang teduh, khusyuk, bukan ribut dan penuh teriakan ataupun sorakan. Sorak-sorai yang dikatakan dalam Mazmur-Mazmur itu dilakukan di luar Bait Allah bukan pada saat ibadah dalam Bait Allah itu sendiri. Dan kata “bersoraklah bagi Tuhan” dalam Efesus 5:19, itu bahasa aslinya adalah “bersenandunglah”. Jadi umat Orthodox memang diizinkan bersorak, bertepuk tangan, menari untuk memuji Tuhan namun itu bukan dalam konteks tertib ibadah itu sendiri. Itu dilakukan disekitar Gereja pada saat perayaanperayaan tertentu. Dengan demikian tak ada perintah untuk menyembah dalam roh dengan berteriak ataupun berbahasa roh dalam Kitab Suci, yang ada malah larangannya. -Karunia-karunia Roh Kudus, Sebagai Bait Roh Kudus, Iman Orthodox menegaskan, bahwa Gereja adalah peristiwa Pentakosta yang berkesinambungan terus-menerus. Oleh karena itu ajaran mengenai karuniakarunia Roh Kudus, menempati tempat yang sangat penting dalam Gereja Orthodox sejak zaman purba sampai kini.Serta mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda heran dari Roh Kudus tak pernah berhenti berkarya dalam Gereja Orthodox selama dua ribu tahun ini. Namun dikarenakan fenomena yang disebut kebangunan/pencurahan baru Roh Kudus yang pertama muncul pada tahun 1960 di Universitas Duquesne, Pittsburgh, dan juga Universitas Katolik Notre Dame, New York, U.S.A. , yang didahului oleh kejadian yang serupa di Topeka, Kansas, USA tahun 1901 di zaman modern ini, yang sering amat berbeda dengan ajaran dan praktek spiritualitas Orthodox ada baiknya kita jelaskan masalah itu sebagai berikut. Di balik macam-macam doktrin yang berbeda-beda dari satu aliran ke aliran yang lain dalam fenomena pencurahan baru Roh Kudus ini, semua penghayat “karunia-karunia Roh Kudus” mempunyai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek yang sama. Gerakan ini sangat menekankan pentingnya “Kharismata” atau “karunia-karunia” Roh Kudus, serta pusat perhatiannya adalah pada ajaran tentang karunia-karunia Roh Kudus yang dijelaskan Rasul Paulus kepada Gereja Korintus. Dari situ ditafsirkan bahwa qari semua “karunia-karunia Roh Kudus” itu telah terbukti adanya 9 macam karunia-karunia Roh Kudus : hikmat, makrifat (pengetahuan), iman, mukjizat, penyembuhan, nubuat, menbeda-bedakan roh, glosolali, dan mentafsirkan glosolali ( I Korintus 12:8-10). Untuk mengerti pemahaman akan karunia-karunia Roh Kudus ini, bagi umat Orthodox, semua fenomena tentang karya 196 Roh Kudus sangat perlu hal itu diuji dengan pengajaran Rasuliah sebagaimana yang dipelihara dan dihidupi dalam Gereja Orthodox . Pakar-pakar theologia Orthodox terkenal seperti Florovsky dan Vladimir Lossky menekankan bahwa satu-satunya pembimbing kepada spiritualitas yang benar dan pengertian akan Alkitab yang benar adalah kesaksian para bapa Gereja dan Pengajaran Rasuliah yang diajarkan Gereja. Perbedaan yang ada antara doktrin dari para pentafsir yang memfokuskan pada “karunia-karunia Roh Kudus” mengenai karunia-karunia Roh Kudus itu dengan ajaran Gereja Purba sebagaimana yang ditekankan sepanjang segala abad oleh Gereja Orthodox adalah dalam hal apa yang disebut karunia Roh Kudus itu, Iman Orthodox banyak menekankan apa yang dikatakan oleh nabi Yesaya., yang mendaftar 7 karunia Roh Kudus atau Roh Allah: hikmat, pengertian, nasehat, keperkasaan, pengenalan, kesalehan (lihat terjemahan Inggris), dan takut akan Allah (Yesaya 11:2) yang akan ada pada Mesias, dan melalui Mesias kepada para orang milikNya juga. Jadi Iman Orthodox lebih menekankan pada karunia moral dan sikap spiritualitas, bukan pada sisi emosional atau hal-hal yang dianggap spektakular. Dan karunia-karunia Roh Kudus dari I Korintus 12 dan 14 itu harus dikaji ulang berdasarkan kacamata karunia moral ini. Rasul Paulus sendiri tidak pernah membuat: glosolali (bahasa roh, karuna lidah) sebagai karunia paling penting, ia memberikan beberapa daftar yang lain mengenai karunia-karunia Roh Kudus ini, disamping apa yang dapat ditemukan dalam I Korintus 12:8-10 itu. Dalam I Korintus 12:28-30 kita jumpai daftar: rasul, nabi, pengajar, melayani, dan memimpin. Di dalam Roma 12:6-8, Rasul kepada orang-orang non-Yahudi ini mendaftar karunia-karunia Roh Kudus itu sebagai : nubuat, melayani, mengajar, menasehati, membagi-bagikan sesuatu, membari pimpinan dan kemurahan. Demikian juga dalam Efesus 4:11-12 otoritas yang sama itu mengatakan bahwa karunia Roh itu adalah “rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pembarita Injil, gembala-gembala, pengajar-pengajar.” Dia melanjutkan bahwa tujuan dari karuniakarunia Roh Kudus ini adalah “untuk melengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.” Di dalam I Korintus 12:7 sebelum mendaftar karunia-karunia Roh Kudus --nats yang menjadi dasar otoritas Para pentafsir yang menekankan kharismata itu -- Rasul Paulus menuliskan :”Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” Demikian juga Paulus mengajarkan bahwa nubuat itu lebih berharga dari bahasa lidah karena nubuat itu “membangun jemaat (Gereja)” I Korintus 14:5, dan kalau toh ada bahasa lidah itupun harus diterjemahkan “sehingga jemaat (Gereja) dapat dibangun” (I Korintus 14:5). Lagi dikatakan oleh rasul Paulus: “Kamu memang berusaha untuk memperoleh karunia-karunia Roh, tetapi lebih dari pada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun tubuh jemaat (Gereja)” I Korintus 14:12 . Dan bahasa roh atau bahasa lidah tanpa tafsir itu membuat orang lain tidak dibangun olehnya. (I Korintus 14:17), karena bahasa lidah itu fungsinya hanyalah “membangun diri sendiri.” ( I Korintus 14:4). Jadi fungsi ini bertentangan dengan fungsi dan maksud dari karunia-karunia itu diberikan, yaitu membangun orang lain, atau membangun Gereja, jika hanya digunakan untuk kesenangan dan kebanggaan sendiri saja. Membangun diri bukan berarti orang akan kuat imannya karena bahasa lidah, namun membangun diri bahwa emosinya terasa terpuaskan dan dia merasa mengalami sesuatu yang mistik. Jika ini yang dicari dan ditekankan ini menjadi sesuatu yang egois. Jadi penekanan bahasa lidah sebagai sarana untuk menguatkan diri sendiri itu bukanlah maksud yang dikehendaki dalam kaitan dan konteks ayat-ayat dalam I Korintus 14 ini. Karena dengan serempak seluruh pasal ini menekankan kebersamaan jemaat, -- bukan pada individu--, tujuan dari karunia-karunia itu diberikan.Dalam ayat-ayat diatas Rasul Paulus, mengajarkan bahwa fungsi yang sebenarnya dari karunia-karunia Roh Kudus itu bukanlah pembangunan orang secara individu tetapi pembangunan seluruh tubuh 197 Kristus, jemaat (Gereja). Adanya kedudukan administratif dalam Gereja: Rasul-Rasul, Nabinabi, atau pengkotbah-pengkotbah, gembala-gembala dan pengajar-pengajar sebagai karuniakarunia Roh Kudus meneguhkan pengajaran Gereja Orthodox bahwa Roh Kudus berkarya melalui Gereja dan pelayan-pelayannya yang ditahbis, bukan asal orang –secara terisolasi dari persekutuan segenap Gereja – yang menyatakan diri digerakkan Roh begitu saja. . Tentu saja, Roh Kudus memang memberikan karunia-karunia atau rahmat-rahmat pada orang percaya. Dan tak pernah karunia-karunia itu berhenti diberikan. Serta tak pernah ada masanya di dalam Gereja Orthodox dimana karunia-karunia itu tidak berkarya. Jadi zaman Roh Kudus itu bukan baru terjadi pada abad kedua puluh ini saja, sejak hari Pentakosta sampai datangNya Kristus yang kedua nanti itulah zaman Roh Kudus. Namun demikian, tidak setiap orang Kristen harus menerima karunia yang sama, karena seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus, “ada macam-macam karunia” ( I Korintus 12:28). Karuniakarunia apa saja yang diberikan misalnya; menyembuhkan, mengusir setan, mengajar, menyanyi, memimpin Gereja, menasehati, dan berkotbah itu selalu diberikan bagi kegunaan Gereja, bukan untuk kemuliaan atau kepuasan individu dari pribadi. Karena sebagaimana yang diberitakan oleh rasul Paulus : “kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” (I Korintus 12:7). Namun demikian, seperti yang diperingatkan oleh Theophanes sang Penyendiri, bahkan karunia-karunia Roh Kudus yang benar pun atau juga ”kebajikan-kebajikan, boleh jadi lebih membahayakan dari pada penolakan secara terang-terangan atas mereka yang membuat hal-hal tadi sebagai satu-satunya dasar harapan dan hidup mereka….” Oleh karena itu penekanan pada karunia-karunia Roh Kudus sebagai pusat dari hidup Kristen akan merupakan suatu bahaya yang sangat besar bagi kehidupan rohani. Sering orang-orang yang mengajar supaya orang mendapatkan dan mempraktekkan apa yang mereka anggap sebagai karunia-karunia Roh Kudus itu, gagal memberikan bimbingan penggunaannya secara tepat serta secara terintegrasi dalam segi-segi hakiki yang lain bagi suatu spiritualitas yang sehat. Pengalaman-pengalaman emosi tertentu yang mereka anggap karunia-karunia Roh Kudus, khususnya bahasa lidah, dibuat sebagai pusat kesalehan, dengan mengabaikan segi-segi hakiki iman yang lain yang bertindak untuk membimbing penggunaan dari karunia-karunia Roh Kudus, baik yang sungguh atau yang hanya khayalan saja, di sepanjang saluran yang seharusnya..Orang-orang Kristen yang hendak tumbuh secara rohani harus selalu berhati-hati untuk tidak mengijinkan berkat-berkat atau karunia-karunia dari Allah, baik yang nyata atau yang dikhayalkan saja, itu menjadi akibat timbulnya kesombongan rohani. Sebagaimana Patriarkh Kallistos dan Ignatius Xanthopoulos menulis dalam “Philokalia” yang barangkali merupakan bimbingan yang teragung bagi kerohanian (spiritualitas) Orthodox “ apabila pikiran kita mulai merasakan penghiburan berkat dari Roh Kudus, kemudian Iblis pun menyusupkan penghiburannya sendiri kedalam jiwa….” Penghiburan (rasa damai sejahtera) yang palsu ini akan menuntun seorang untuk mempercayai bahwa mereka memiliki karunia-karunia khusus dan mulai memperkembangkan suatu kesombongan rohani sebagai akibatnya. Sungguhlah, kesombongan rohani adalah musuh dari semua pertumbuhan rahani, karena sebagaimana yang ditulis oleh Abba Evagrios, “setan kesombongan adalah penyebab dari semua kejatuhan yang ngeri dari jiwa.” Tentu saja, setiap guru spiritualitas Orthodox, misalnya Aghios Yohanes Klimakus, memperingatkan bahwa kesombongan adalah “kejahatan tertinggi yang secara penuh mengambil alih tempat semua kejahatan yang lain.” Kesombongan rohani dapat dengan mudahnya menuntun seseorang kepada penyakit rohani yang bahkan lebih serius, tipuan rohani atau prelest (planee). Prelest, suatu keberadaan yang dianggap secara potensi sangat fatal bagi kehidupan rohani oleh semua yang berwibawa dalam bidang spiritualitas Iman Kristen Orthodox, diakibatkan jika seseorang ingin berusaha untuk 198 mengejar dan menjadi berlebih dalam pertumbuhan rohani tanpa kerendahan hati yang seharusnya. Jika seseorang mencari pengalaman-pengalaman mistika yang luar biasa, misalnya penglihatan-penglihatan atau pesan-pesan dari Allah, atau karunia-karunia khusus dari Roh Kudus, dia dapat membuka dirinya sendiri kepada prelest dengan memusatkan diri pada keinginan akan manifestasi-manifestasi Allah yang luar biasa bukannya pada keberadaannya sendiri yang berdosa dan kebutuhan untuk makin bertumbuh. Kesombongan yang dalam dan bersandar pada diri sendiri dalam hal-hal rohani ini dapat menyebabkan seseorang merasa bahwa dorongan dan keinginan pribadinya sebagai ilham dari Roh Kudus, orang seperti itu melihat tak ada gunanya bimbingan dari Gereja atau bapa rohani (staretz)nya sendiri, dan bahkan merasa tak perlu diajar oleh orang lain siapapun, yang dengan salahnya mengutip I Yohanes 2:27 sebagai dasarnya. Singkatnya saja, seseorang yang menderita prelest dapat menjadi sangat sombong sekali, sehingga dia sesungguhnya memberontak melawan Gereja dan menanggapi dengan rasa marah, apabila dihimbau untuk bertobat dan untuk tunduk pada bimbingan dan tuntunan Gereja melalui bapa rohani (staretz)nya. Sebagaimana I Yohanes 4:1 mengatakan: “Saudara-saudaraku yang kekasih janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah.” Pengujian ini terjadi menurut kesaksian secara serentak dari para bapa Gereja dan guru-guru spiritualitas dari Gereja Kristen Timur, melalui konsultasi yang sering dan jujur dengan bapa rohani (staretz) orang tersebut. Jadi bimbingan ini sangat menentukan dan penting sekali, jangan-jangan orang akhirnya berakhir hanya pada dirinya sendiri, jatuh pada penyembahan berhala yang sangat nyata.” Bimbingan ini perlu karena seperti yang dikatakan oleh Theophanes Sang Penyendiri, si jahat berusaha untuk mengacaukan seseorang yang sudah berniat untuk berjalan di jalan yang benar untuk menuju kepada pertumbuhan rohani dengan meyakinkan dia bahwa dia dapat mencapai kesempurnaan dengan caranya sendiri tanpa bimbingan seorang bara rohani. Malahan, orang yang berwibawa besar dalam spiritualitas Orthodox ini mengingatkan seseorang untuk menyelidiki “semua tindakan-tindakannya, baik jasmani maupun batiniah, melalui bimbingan dan pertimbangan-pertimbangan yang baik dari guru-gurunya – para Presbiter Gerejanya/ para staretznya – dalam hal kalau orang itu adalah seorang awam….” Sebagaimana yang diajarkan oleh para bapa Gereja, seseorang tak dapat menentukan bagi dirinya sendiri apa yang berguna bagi kerohaniannya. Seharusnya setiap seorang Kristen mencari bimbingan dari tradisi-tradisi rasuliah yang diberitakan Gereja dan bapa rohaninya sendiri. Melalui pembahasan-pembahasan yang sering dengan bapa rohani orang itu, orang dapat mengenal dosa-dosa dan kekurangannya dan menyatukan dirinya dengan tradisi spiritualitas yang agung dari Gereja, dengan menyangkal dan menolak keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek kerohanian yang palsu dan salah. Dengan cara ini orang dapat menguji setiap roh dan bertumbuh secara rohani dengan cara yang demikian sehingga dapat menghindar dari kejatuhan kedalam kesombongan rohani atau prelest. Memang orang yang merasa mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus itu sering memiliki semangat yang menggebu-gebu, namun sayang, mereka gagal untuk mempertimbangkan segi pertumbuhan rohani yang hakiki ini. Malahan, pengalaman mereka itu justru menunjukkan sifatnya yang pada hakekatnya bersifat individualistik dengan menekankan pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dan suatu pendekatan kepada spiritualitas yang luar biasa individualistiknya. Kebanyakan mereka ini menolak konsep bimbingan oleh bapa rohani ini serta sering mengabaikan dan menolak untuk mengakui sumber yang penting bagi bimbingan rohani. Malah ada yang menasehatkan para rohaniwan Orthodox untuk menerima kepemimpinan dari orang-orang awam yang telah dianggap menerima karunia-karunia ini dan percaya bahwa orang-orang seperti itulah yang memiliki pengalaman rohani yang lebih tinggi dibanding para Presbiter yang belum “dibaptis oleh Roh 199 Kudus .” Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan kaum rohaniwan Orthodox “mengetahui Roh Kudus hanya dengan otaknya saja, bukan dengan hatinya.” Tuduhan yang sama yang masih sering dilemparkan oleh orang-orang yang demikian itu sampai sekarang, meskipun kalau bukan dengan kata-kata tetapi dengan sikap. Mereka menyatakan diri bahwa pengalaman pencurahan Roh yang baru ini membuat orang memiliki Roh Kudus dalam ukuran yang lebih besar daripada mereka yang berada diluar pengalaman itu, dan menuduh bahwa gereja-gereja yang ada sebagai Gereja “yang tak memiliki Roh Kudus.” Di telinga umat Orthodox kedengarannya congkak dan gegabah memang. Namun demikian, sebagaimana para bapa Gereja mengajarkan, Roh Kudus berkarya melalui Gereja dan membimbing para rohaniwannya untuk memberitakan kepenuhan kebenaran. Oleh karena itu, tak seorang Kristen Orthodox yang benar satupun dapat percaya bahwa Gereja itu “tak memiliki Roh Kudus.” Bagi umat Orthodox peryataan ini adalah suatu hujatan pada tubuh Kristus yang adalah Bait Roh Kudus itu. Staretz Silouan bahkan mengajarkan bahwa orang harus tunduk kepada bimbingan seorang Bapa Pengaku Dosa yang tak berpengalaman dan berdosa sekalipun karena “ anugerah yang menyelamatkan dari Roh Kudus itu bekerja dalam Sakramen Pengakuan Dosa.” Pengajaran yang ingin membatasi karya Roh Kudus dengan menghubungkan keabsahan Sakramen dan bimbingan rohani, dengan status kerohanian atau kekudusan dari Presbiter adalah bentuk modern dari Donatisme, suatu bidat yang dikutuk oleh Gereja pada abad ke IV. Sayangnya, merebaknya pengalaman yang disebut pencurahan Roh secara baru yang awalnya di tahun 1960an itu, telah sering menuntun kepada gejalagejala yang menunjukkan adanya kesombongan rohani dan bahkan prelest, barangkali sebagai akibat langsung dari kegagalannya untuk mempertimbangkan pentingnya mengikuti bimbingan Gereja atau bapa rohani seseorang. Cerita-cerita perpecahan dalam jemaat-jemaat setempat sebagai akibat hal ini berlimpah disetiap denominasi (aliran Gereja) yang telah mengalami pengaruhnya. Pengkajian-pengkajian para sarjana mengenai fenomena ini telah hampir tanpa perkecualian menemukan suatu kecenderungan pada orang-orang yang demikian itu, dimana mereka menganggap diri mereka sendiri lebih tinggi secara rohani dibanding orang-orang lain yang tidak ikut serta dalam pengalaman mereka atau yang tidak berbicara dalam bahasa lidah. Salah satu karya penyelidikan sarjana Protestan mengenai gerakan ini telah telah mengobservasi bahwa beberapa orang yang telah mempraktekkan glosolali “merasa bahwa mereka yang tidak memiliki karunia ini adalah orang-orang Kristen kelas dua.” Fenomena gerakan ini memiliki ciri sebagai dorongan yang “menciptakan elitisme (kelompok khusus yang berkelas tinggi) rohani yang mengangkat diri sendiri dan merasa diri sendiri benar.” Patut dicatat, sebagaimana setiap siswa Perjanjian Baru mengetahui, Gereja Korintus, yang menunjukkan begitu banyak penyataan-penyataan karunia-karunia Roh Kudus, menunjukkan semua tanda kesombongan rohani yang ditemukan di banyak orang yang menekankan pengalaman dan fenomena ini. Adalah sangat berkesan sekali bahwa rasul Paulus menyisipkan permohonannya yang terkenal akan kasih (I Korintus 13) sebagai karunia yang tertinggi dari Roh Kudus didalam pembahasannya mengenai keadaan rohani dari orang-orang Kristen di Korintus. Dari konteks pembahasannya, sangat jelas sekali bahwa elitisme rohani adalah merupakan persoalan yang sangat serius di Gereja Korintus. Dan ini telah menjadi begitu serius pada akhir abad pertama sehingga Santo Klemen dari Roma telah menulis surat peringatannya yang sangat terkenal kepada mereka agar mereka mengormati para rohaniwan (Episkop dan Presbiter) yang ditahbis. Jadi, baik Kitab Suci maupun pengalaman Gereja rasuliah meneguhkan pengajaran para bapa Gereja bahwa pengumpulan dan usaha untuk mendapatkan karunia-karunia Roh itu, baik karunia yang nyata atau yang khayalan, bukanlah hakekat Iman Kristen. Benarlah, bahwa tanpa bimbingan yang semestinya serta tanpa kerendahan hati yang seharusnya orang dapat dengan mudah 200 menyalah-gunakan karunia-karunia Roh Kudus dan menjadi merasa benar sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kristus, “Dari buahnyalah engkau mengetahui mereka” (Matius 7:16). Orang Kristen Orthodox mendekati fenomena dan pengalaman ini dengan sangat hati-hati, jikalau dia ingin mendekatinya, disebabkan oleh penekanan yang tidak seimbang pada pengalaman-pengalaman rohani pribadi sebagai akhir pada dirinya sendiri. (Misalnya; bahasa lidah sebagai alat untuk memperkuat iman, sehingga harus terus digunakan, sehingga karunia ini menjadi pusat keagamaan dan akhir pada dirinya sendiri, dan berfungsi sebagai pengganti Sakramen yang adalah sarana sumber kekuatan rohani, karena melaluinya Roh Kudus bekerja), tetapi juga sebagai akibat penekanan yang individualistik tanpa memperdulikan keterlibatan Gereja dari gerakan itu. Secara sejarah , ini dapat dilacak sejak Gerakan Reformasi Protestan yang mengajarkan bahwa masing-masing orang dapat mentafsirkan Alkitab bagi dirinya sendiri serta mengalami pengalaman rohani dengan caranya sendiri, suatu akibat dari protes dari para Reformer melawan kediktatoran dan sikap otoriter dari Gereja Katolik Roma pada zaman pertengahan. Dan itu berpengaruh dalam cara penghayatan rohani seseorang.. Demikianlah pengajaran yang tak berubah dari Iman Rasuliah Orthodox, mengenai karunia-karunia Roh Kudus. -Pemberitaan Firman baik dalam wujud Pengajaran, Kotbah maupun Penginjilan, Sebelum kenaikanNya ke sorga Kristus mengatakan demikian kepada para RasulNya:”Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samara dan sampai ke ujung bumi” ( Kisah 1:8). Ayat ini menjelaskan bahwa tugas kesaksian para Rasul ini terjadi karena kuasa Roh Kudus yang mendorong dan memberikan kemampuan kuasa untuk melakukannya. Dan bentuk dari kesaksian tentang Kristus itu dinyatakan demikian :”…Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam namaNya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem. Kamu adalah sakasi dari semuanya ini” ( Lukas 24:46-48). Jadi bentuk kesaksian yang diilhami Roh Kudus tadi adalah pemberitaan tentang kematian dan kebangkitan Kristus serta dampak pertobatan dan pengampunan dosa yang diakibatkan olehnya, yang dimulai dari Yerusalem. Berarti kesaksian adalah pemberitaan tentang Kristus dan karyanya. Inilah yang disebut pemberitaan Firman itu. Dalam pemberitaan firman semacam inilah Roh Kudus itu menjadi pendorong dan pemberi kemampuan serta pemberi effektifitas untuk bertobat dan beriman kepada Kristus kepada yang mendengar pemberitaan orang yang di ilhami Roh Kudus tadi, sebagaimana dikatakan :”Dialah yang telah ditinggikan Allah sendiri dengan tangan kananNya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia” (Kisah 5:31-32) . Apa yang dikatakan oleh para rasul ini sebenarnya adalah penggenapan dari janji Sang Kristus sendiri, ketika Ia mengatakan:’Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Tetapi kamu (para rasul) juga harus bersaksi….” ( Yohanes 15:26-27). Dengan demikian segenap karya pemberitaan Gereja, termasuk berkotbah, mengajar, ,mengadakan penginjilan, pembacaan Kitab-Kitab Suci ( I Tim. 4:11-13:” Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu……Sementara itu, sampai aku datang bertekunlah dalam membaca Kitab-Kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar”) Karena karya pemberitaan ini berasal dari tuntunan dan ilham Roh Kudus, maka sering rahasia hati manusia dinyatakan melalui kotbah yang penuh kuasa, dan 201 “penyataan-penyataan Allah:” di beritakan melalui kotbah semacam ini. Sehingga yang mendengar merasa mendapat tegoran, peringatan, himabauan, hiburan, atau pernyataan akan kesalahan yang ia sedang lakukan, ataupun bimbingan serta petunjuk akan apa yang harus ia lakukan, dan koreksi akan hal-hal yang selama ini dianggapnya benar. Itulah salah satu dari yang dimaksud dengan dalam pertemuan ibadah atau perkumpulan itu harus ada seorang yang meyampaikan “penyataan Allah” ( I Kor.14:26). Dan bahwa penyebaran Injil itu disertai oleh Roh Kudus itu jelas menurut janji Kristus dari Kisah Rasul 1:8 itu, dimana kesaksian atau pemberitaan tentang Kristus dari Yerusalem sampai ke ujung bumi itu hanya terjadi setelah Roh Kudus itu turun keatas para rasul itu. Demikian pula jelas dari janji Kristus yang demikian:” Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu…..dan ajarlah mereka….segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuliah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman” ( Matius 28:19-20). Dalam ayat ini para rasul mendapat perintah untuk menjadikan sekalian bangsa murid Kristus. Dan untuk meaksud ini mereka harus menginjil dan menyebarkan berita kesukaan. Dan ketika mereka sudah menjadi percaya dan dibaptiskan, maka mereka harus diajar tentang perintah-perintah Kristus. Dan pengajaran ini dapat dilakukan melalui kotbah, melalui katekisasi, melaui Pendalaman Alkitab, atau pendalaman iman dengan berbagai macam media. Dan untuk karya dan kegiatan rasuliah, yang kemudian juga menjadi kegiatan Gereja, yang demikian ini Kristus berjanji:”…. Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman”. Dan cara Kristus menyertai para rasul, dan GerejaNya, samapai akhir jaman dalam tugas pemberitaan dan pengajaran ini adalah di dalam Roh Kudus. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian:"….Roh Kebenaran….menyertai kamu dan diam di dalam kamu…..mengasihi Aku ……dan BapaKu akan mengasihi dia……dan KAMI AKAN DATANG KEPADANYA DAN DIAM BERSAMA-SAMA DENGAN DIA” (Yohanes 14:17,23). Menurut ayat-ayat diatas Roh Kuduslah yang akan diam dan menyertai manusia. Namun Kristus mengatakan bahwa bahwa bagi orang yang mengasihi Kristus maka “Kami” ( yaitu : Bapa dan Kristus) akan diam dan menyertai orang yang sedemikian. Berarti Kristus dan Bapa diam di dalam manusia melalui Roh Kudus. Dengan demikian jika Kristus menyertai manusia maka Ia menyertainya melalui Roh Kudus. Jadi Roh Kudus akan tetap menyertai Gereja sampai pada akhir jaman, dalam karya pemberitaan dan pengajaran Firman itu. Itulah sebabnya para Bapa Gereja yang memberitakan dan mengajarkan Firman ( Ibrani 13:7) itu juga diilhami Roh Kudus, dan tulisan-tulisan serta ajaran-ajaran mereka patut kita pelajari dan kita perhatikan karena mereka adalah merupakan instrumen dan alat dari Roh Kudus. Dengan demikian Roh Kudus memang tak pernah meninggalkan Gereja. Karena juistru Gereja itulah Bait Roh Kudus tadi, yang pemberitaan Firman secara setia dan benar oleh Gereja itu merupakan bukti dari kehadiran dan karyaNya. -Karya administratif dan sosial-kasih Gereja, Sementara orang tertarik pada karya-karya Roh Kudus yang bersifat luar biasa dan spektakular, kita tak boleh melupakan akan karya-karya Roh Kudus yang bersifat sosial kasih di dalam Gereja. Sebagaimana dikatakan:”…kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus….Demikianlah kita mempunyai KARUNIA yang barlain-lainan menurut kasih karunia (“KHARIS”) yang dianugerahkan kepada kita: ”Jika karunia itu adalah untuk bernubuat…Jika karunia itu untuk melayani….jika karunia itu untuk mengajar…….jika karunia itu untuk menasihati…..yang membagi-bagikan sesuatu….yang memberi pimpinan….yang menunjukkan kemurahan….” ( Roma 12:5-8). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa dalam Tubuh Kristus itu disamping terdapat karunia nubuat, terdapat juga karunia yang bersifat pendidikan 202 (“mengajar”), administratif (“melayani, memberi pimpinan”) dan sosial-kasih (“membagi-bagikan sesuatu, menasihati, menunjukkan kemurahan”). Karya Gereja yang kelihatannya tidak spektakular ini ternyata juga merupakan karunia sebagai akibat kasih-karunia (“grace,rahmat,kharis”), yaitu karya dari energi Roh Kudus. Dengan demikian karya pendidikan, administratif dan sosial-kasih di dalam Gereja itupun tidak kalah pentingnya dengan karya-karya yang dianggap spektakular dan supernatural itu. Oleh karena itu adalah penting bagi Gereja untuk meperkembangkan karya pendidikannya, baik itu untuk orang dewa, pemuda, remaja maupun anak-anak sekolah minggu, karena dalam karya mengajar ini kahrisma dari Roh Kudus itu bekerja di dalam Gereja, dan sebagai bukti dari karya Roh Kudus di dalam Gereja itu. Demikian pula di dalam “melayani”, entah itu melayani dalam pengertian ikut aktifitas penginjilan, menjadi anggota dewan pengurus paroikia (“memberi pimpinan”), hal-hal yang bersifat peribadahan, ataupun itu melayani dalam hal yang bersifat kerja-bakti,: membersihkan gedung gereja, mengatur ruangan gereja, renovasi gedung, menghiasi gedung, ikut masak-memasak dalam pesta-pesta gereja, semuanya itu termasuk dalam kategori melayani. Dan ternyata inipun merupakan karya dari karunia Roh Kudus juga. Pelayanan lain yang bersifat sosial-kasih juga merupakan karya Roh Kudus di dalam Gereja. Karya-karya itu adalah membagi-bagikan: misalnya membagi sembako, memberi pertolongan pada orangorang miskin, membantu bea-siswa untuk anak-anak yang tak mampu, dan lain-lain. Demikian juga, karya pelayanan menasihati: termasuk di dalamnya adalah konseling, memberikan hiburan bagi yang susah, menguatkan yang sedang lemah, menunjukkan jalan pada yang sedang kebingungan, memberikan nasihat kepada para remaja, dan lain-lain. Semuanya ini adalah manifestasi dari karya Roh Kudus di dalam Gereja. Begitu juga karya “menunjukkan kemurahan”, misalnya menolong orang-orang jompo, menolong orang-orang yatim piatu, mengunjungi orang-orang sakit, membantu mereka yang sedang mengalami musibah, mengunjungi janda-janda dalam kesuasahan mereka, mengunjungi orang yang dipenjara, memberi tumpangan orang yang sedang terlantar, memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang yang telanjang dan lain-lain. Semuanya ini adalah bentukbentuk dari manifestasi karya Roh Kudus di dalam Gereja. Demikianlah Gereja sebagai bait Roh Kudus, tak mungkin berhenti melakukan semua karya-karya ini, sebab itulah bentuk dari manifestasi karunia belas-kasih Allah dalam Roh Kudus, yang dilakukan melalui GerejaNya. Dengan demikian karya Roh Kudus itu tidak identik dengan ledakan emosi ataupun emosionalisme yang menggebu-gebu. Karena ternyata kegiatan pendidikan, administratif dan sosial-kasih itu tak lain juga merupakan karunia Roh Kudus di dalam Gereja. Sehingga dalam Gereja tidak ada semacam “elitisme” dimana hanya orang-orang yang merasa mendapat karunia-karunia yang dianggap spektakular (“misalnya: kesembuhan, bahasa lidah, nubuat, atau mengusir setan”) saja itu yang dianggap termasuk orang yang mempunyai kelas rohani tertinggi. Inilah “prelest” (“tipu-daya rohani”) yang telah kita sebut diatas. Semua karya-karya yang baik apapun, yang dipersembahkan kepada Kristus di dalam Gereja adalah dituntun dan diilhami oleh Roh Kudus, jika dilakukan secara benar dan dengan motivasi yang sungguhsungguh untuk Allah. - Karunia-karunia Roh Kudus yang lain: monakhisme dan ka-martir-an. Disamping karunia-karunia yang dianggap bersifat “mukjizat” atau supernatural, Roh Kudus juga memberikan karunia pelayanan yang mungkin dianggap orang kurang menarik. Hal itu dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”….Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri…..Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku (yaitu: tidak memiliki isteri); tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang 203 seorang karunia ini (yaitu:karunia menikah), yang lain karunia itu (yaitu:karunia tak menikah)…” ( I Kor. 7:1-2,7). Konteks ayat-ayat ini adalah pembahasan tentang pertanyaan jamaah di Korintus mengenai status pernikahan. Dikatakan bahwa memang baik jikalau orang tak menikah, jikalau mampu, namun jika tidak masing-masing orang harus menikah. Inilah peraturan umum untuk setiap`manusia. Namun demikian jikalau memang harus memilih “alangkah baiknya” jika memang ia mampu “kalau semua orang seperti aku”. Bagaimana status pernikahan Paulus ketika ia mengatakan agar semua orang seperti dirinya itu? Hal itu dijelaskan dalam I Korintus 9: 5-6 :” Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan (Yesus ) dan Kefas? Atau hanya aku dan Barnabas sajakah…..?” Ayat ini menjelaskan bahwa semua rasul lainnya, termasuk saudara-saudara Sang Kristus dan Kefas itu memiliki isteri Kristen, dan membawa isteri-isteri mereka itu dalam perjalanan penginjilan itu. Hanya Paulus dan Barnabas saja yang dinyatakan sebagai tak memiliki isteri. Kita tak membicarakan apakah memang ia seorang duda, atau seorang yang selibat ( wadat = hidup tanpa nikah) sejak awal. Namun yang jelas ia tak memiliki isteri waktu menulis surat Korintus ini. Dan Paulus meminta agar semua orang seperti dirinya, yaitu hidup tanpa isteri, atau tanpa suami. Namun demikian Paulus juga menjelaskan bahwa pernikahan atau selibat itu tergantung bagaimana ” setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas”. Berarti baik hidup menikah ataupun selibat itu adalah merupakan karunia dari Allah. Padahal Allah memberikan karuniaNya itu selalu melalui Roh Kudus. Dan karunia Roh Kudus ini dimiliki orang dengan berbagai macam bentuk “yang seorang karunia ini” yaitu:karunia menikah, dan “yang lain karunia itu”yaitu:karunia tak menikah. Demikianlah jelas bahwa dalam Gereja, meskipun pernikahan itu sebagai perintah dan karunia umum untuk setiap manusia, dan sangat dihormati dan dimuliakan sampai dinyatakan sebagai suatu Sakramen, namun ada orang-orang tertentu dalam Gereja yang menerima karunia khas untuk tidak menikah, yang juga dalam bentuknya yang layak dan seharusnya juga dihormati oleh Gereja. Apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus disini sebenarnya menegaskan apa yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 19: 12 :” Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga…” Dalam ayat ini Sang Kristus menjelaskan tentang berbagai macam status manusia yang tidak kawin. Yang pertama adalah “ orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya”. Ini adalah jenis manusia yang tidak dapat kawin karena bakat bawaan sejak ia lahir. Bakat bawaan itu mungkin saja berbentuk kelainan kejiwaan sejak lahir, ataupun cacat jasmani sejak lahir yang mengakibatkan ia tidak mampu menjalankan fungsinyqa dalam perkawinan. Atau macammacam penyebab lain baik psikis maupun biologis bawaan sejak lahir, apapun bentuknya, yang menghalangi seseorang menjalankan fungsi dalam perkawinan. Jenis kedua dari manusia yang tak menikah adalah “ orang yang dijadikan demikian oleh orang lain “ Ini adalah jenis orang yang karena akibat-akibat luar, misalnya dikebiri, kecelakaan, atau hal-hal luar lain yang menimpa atau ditimpakan atas dirinya, yang menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk menjalankan fungsi dalam kehidupan pernikahan. Ini bisa saja perlakuan pihak luar secara jasmani ataupun secara kejiwaan.Pendek kata segala sesuatu yang datang dari pihak luar yang didapat seseorang sesudah ia lahir ke dunia ini, yang menyebabkan ia tak dapat menikah, tidak mau menikah, atau memang sekedar tak menikah begitu saja, itu termasuk dalam kategori yang kedua ini. Sedangkan yang ketiga “ ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” Dalam jenis yang pertama dan kedua itu dapat kita katakan bahwa orang-orang diatas itu “tidak menikah” karena terpaksa oleh keadaan yang diluar kemampuannya sendiri. Itu adalah suatu musibah dan suatu kecelakaan. Namun 204 dalam jenis yang ketiga ini adalah merupakan suatu karunia khas dari Allah oleh Roh Kudus. Karena Roh Kudus memampukan orang untuk memiliki keputusan “ karena kemauannya sendiri “ - jadi bukan karena dipaksa, ditipu, diharuskan oleh lembaga keagamaan atau diluar kemauan dirinya -, sehingga menjadikan “ada orang yang membuat dirinya demikian”, yaitu membuat dirinya untuk hidup “tanpa nikah”. Namun “hidup tanpa nikah” ini baru dikatakan sebagai karunia Roh Kudus jika motivasinya adalah “oleh karena Kerajaan Sorga”. Dengan demikian orang yang hidup tanpa nikah karena Kerajaan Allah itu memang harus memiliki gaya hidup yang berbeda dari mereka yang hanya hidup secara duniawi biasa saja. Karena Gereja Purba memiliki suatu lembaga untuk membentuk suatu paguyuban para janda, sebagaimana yang dikatakan:” Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami….Tolaklah pendaftaran janda-janda yang lebih muda…” ( I Tim. 5:9,11). Dan para janda ini adalah :” …seorang yang benar-benar janda, yang ditinggalkan seorang diri, menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam” ( I Tim. 5:5). Jadi ciri paguyuban para janda dalam Gereja Purba itu adalah ditinggalkan seorang diri. Maka hal yang demikian ini pula yang mencirikan kehidupan dari mereka yang tak menikah demi kerajaan Allah itu. Dan kata seorang diri itu dalam bahasa Yunaninya adalah “memonoomenee” yang berasal dari kata “monos” : sendirian, atau satusatunya. Sehingga orang yang hidup menyendiri seperti itu, bukan hanya para janda saja, disebut sebagai “monakhos” artinya “ia yang hidup seorang diri”. Karena para orang yang “memonoomenee”itu, sejak zaman purba telah didaftar di dalam Gereja, dan mendapatkan tempat yang sah di dalam Gereja, maka demikianlah para “monakhos” itu juga merupakan bagain yang sah, resmi dan khas dalam Gereja, sebagai manifestasi karunia Roh Kudus dalam Gereja itu. Ciri dari para monakhos sebagaimana juga ciri dari para“memonoomenee” itu adalah “menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam”, yaitu memusatkan pada kehidupan batin dan rohani yang mendalam yang disertai hidup doa yang tanpa henti. Doa tanpa henti yang telah membuktikan manifestasi Roh Kudus yang luar biasa itu adalah “Doa Puja Yesus”. Ini pula yang dilakukan nabiah Hana, yang juga menantikan datangnya Kerajaan Allah, sebagaimana yang dikatakan:” Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh puluh lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” (Lukas 2: 36-37). Disini Hana juga seorang janda berarti juga seorang “memonoomenee”, dan “ Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah” serta “siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” . Berdasarkan teladan para “memonoomenee” inilah para monakhos juga karena motivasi hidupnya oleh karena Kerajaan Allah, “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” artinya hidup disekitar dimana “Bait Allah” atau ‘Rumah Ibadah” itu ada. Dan Gereja telah mengakui kebutuhan akan “Rumah Ibadah” secara khusus bagi para ‘monakhos” ini, dan itulah “monasteri” (“rumah pertapaan, rumah kerahiban”). Kitab Suci menjelaskan selanjutnya mengenai karunia Roh Kudus yang berwujud kehidupan “wadat” atau “selibat” atau “melajang sepanjang hidup” ini, demikian:”…..Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa. Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu” (I Kor. 7:28b), serta :”Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” ( I Kor. 32-34). Menurut ayat-ayat diatas menikah 205 memang tidak berdosa, namun kesusahan badaninya banyak, perhatiannya lebih kepada perkara duniawi, agar dapat menyenangkan isterinya atau suaminya. Sehingga kehidupan pernikahan itu meskipun mulia dan tak berdosa pada dirinya sendiri, namun itu membuat perhatian orang terbagi-bagi, jikalau ia betul-betul hendak mencari Kerajaan Allah. Itulah sebabnya para monakhos, yaitu mereka yang tidak menikah demi kerajaan Allah, sebagai “Orang yang tidak beristeri” seluruh hidupnya adalah untuk “memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya”. Menjadi monakhos ini ternyata bukan hanya monopoli kaum pria karena ternyata ada juga “ Perempuan yang tidak bersuami dan anakanak gadis” yang seluruh hidupnya dibaktikan dan dipersembahkan untuk “memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan”. Tujuan utama dari hidup mereka untuk memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan agar berkenan kepadaNya, melalui hidup sembahyan, doa, puasa dan berharap pada Tuhan melalui sikap tobat dan penyangkalan diri yang terusmenerus itu adalah “supaya tubuh dan jiwa mereka kudus”. Jadi para monakhos dan para monakhee ini karena hidupnya dipersembahkan untuk Kerajaan Allah, maka pengudusan diri secara total :”tubuh dan jiwa” itulah yang dicari. Oleh karena itu kita tak usah heran bahwa dari antara para monakhos dan para monakhee inilah munculnya banyak orang-orang kudus dalam Gereja Orthodox. Dan para orang diluar monasteri yang menghidupi gaya hidup monakhisme itu tak sedikit yang juga ternyata menjadi orang-orang kudus. Dan kekudusan itu bukan hanya pada jiwa mereka, bahkan nampak pada tubuh mereka. Karena Roh Kudus menguduskan keseluruhan keberadaan mereka.. Sehingga di banyak monasteri terutama di Gunung Athos dan Meteora, dua pusat monakhisme utama dalam Gereja Orthodox, terdapat banyak leipsana-leipsana suci (peninggalan-peninggalan suci) dari para suci ini. Bentuknya macam-macam; biasanya tulang-belulang mereka yang berbau harum, dan mengeluarkan minyak mur yang sangat wangi, tubuh mereka yang utuh sesudah mati dan berbau wangi, dan lain-lainnya. Ini untuk menunjukkan bahwa keselamatan itu juga menyangkut tubuh manusia, dan oleh kuasa Roh Kudus tubuh yang sama itu juga nanti akan ikut dibangkitkan dan dimuliakan pada saat Kristus datang yang kedua kalinya. Itulah sebabnya kebenaran mengenai mulianya tubuh, dan pengudusan tubuh manusia oleh Roh Kudus itu sudah dinyatakan melalui orang-orang suci tertentu. Dan semua kita oleh Roh Kudus dipanggil untuk mencapai hal yang sama. Memang untuk mencapai yang demikian itu harus melalui proses, dimana di dalam monasteri itu para monakhos yang hidup untuk Kerajaan Allah itu disamping menaruh harapannya pada Allah,- itulah sikap batinnya yang terdalam, dan dalam harap akan Allah inilah para monakhos melawan segala hawa-nafsu yang ada di dalam dirinya dengan penuh ketegaran bagi pemurnian “nous” (“akal-budi roh”) dan batinnya -, juga bertekun dalam permohonan dan doa siang malam dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa, bagi memberikan tempat yang luas kepada Roh Kudus sepenuhpenuhnya. Doa dan permohonan yang mereka lakukan itu disamping SembahyangSembahyang yang sudah tetap tata-tertibnya seperti yang telah kita bahas diatas, juga doabatin yang disebut “Puja Yesus”, dimana melalui doa ini orang mencapai kemurnian dan keheningan batin. Suatu praktek yang dalam tradisi Orthodox disebut sebagai “hesykhia” ( = keheningan, keteduhan). Amalan ibadah sembahyang dan doa ini disertai dengan penyangkalan kehendak hawa-nafsu melalui puasa. Sedangkan puasa Orthodox itu sendiri, sudah memiliki ketentuannya sendiri, yang secara rinci dibahas dalam bab mengenai ibadahibadah Orthodox. Sehingga spiritualitas untuk mencapai “hesykhia” dalam Iman Orthodox yang demikian ini disebut sebagai “hesykhasme” dan para pelakunya disebut sebagai “hesykhastis”. Melalui amalan-amalan ibadah seperti itulah mereka mengalami kesadaran dan pemurnian batin yang mendalam, dan visi akan “Terang Tak Tercipta” yaitu Terang dari Gunung Tabor yang dilihat para Rasul ketika Yesus dimuliakan diatas Gunung (Matius 17:1206 4), sehingga “nous”nya mengalami penerangan atau iluminasi oleh rahmat Roh Kudus. Praktek kerohanian seperti inilah yang disebut spiritualitas “nepsis”, dan pada pada dasarnya theologia Orthodox itu adalah “theologia nepsis” seperti ini. Yaitu suatu theologia yang berdasarkan terang Roh Kudus yang berasal dari kehidupan “nepsis” (“watchfulness, keberjaga-jagaan rohani”) seperti ini. Jadi theologia itu bukan theori dari buku atau dari kategori filsafat, namun iluminasi (“penerangan”) dari Roh Kudus, akibat kehidupan yang “nepsis”. Dari para “hesykhastis” inilah munculnya para “geronda” atau para “staretz” yang telah kita bicarakan diatas. Dari pengalaman kehidupan “nepsis” dari para “hesykhastis” inilah munculnya penulisan buku kehidupan “hesykhasme” yang amat dalam isinya, yang dikumpulkan dengan nama “Philokalia”. Dan buku “Philokalia” itu merupakan suatu tuntunan yang utuh dan komprehensif tentang theologia nepsis Orthodox, serta kehidupan hesykhia dan pemurnian nous dari kotoran dosa dan kecemaran. Dan dalam Philokalia inilah kita melihat banyak sekali dicatat perjuangan para monakhos terhadap dosa dan roh-roh jahat serta kebinalan angan-angan manusia yang perlu dikendalikan, dan manifestasi Roh Kudus yang luar biasa, dengan segala mukjizatNya. Sehingga bagi umat Orthodox dengan tuntunan dari pengalaman para hesykhastis melalui pengalaman mereka yang telah dicatat dalam Philokalia itu ia dapat menguji fenomena karunia-karunia Roh Kudus itu, agar tidak jatuh kepada “planee” atau “prelest” (“tipu daya rohani”) yang telah kita bicarakan didepan itu. Inilah corak kehidupan para monakhos yang tidak menikah demi Kerajaan Allah itu. Karena kehidupan tak menikah untuk Kaerajaan Allah itu adalah karunia Roh Kudus, dan atas kehendak sendiri, bukan atas paksaan siapapun, maka sesuai dengan ajaran Kitab Suci ini Gereja Orthodox tidak mengharuskan siapapun untuk hidup selibat, termasuk para rohaniwannya. Sebab Petrus dan rasul-rasul lainnya itu membawa isteri-isteri mereka dalam pelayanan mereka, tetapi Paulus dan Barnabas itu tak memiliki isteri. Sesuai dengan data Kitab Suci ini, maka rohaniwan Orthodoxpun diijinkan menikah sebelum ditahbis, dan akan tetap tinggal tak menikah selamanya, jikalau memang waktu ditahbis tak menikah. Namun itupun harus atas kemauan sendiri, dan oleh karena Kerajaan Allah. Jadi memang berbeda dengan praktek Gereja Roma Katolik dimana semua rohaniwan harus tidak menikah. Dan berbeda pula dengan praktek kalangan Protestan dimana kehidupan monakhisme tidak memiliki kelembagaan yang sah, dan tak ada tempat yang resmi dalam pemahaman theologia Protestan, bagi rohaniwan yang selibat. Demikian juga dalam Gereja Orthodox tidak semua monakhos itu adalah seorang rohaniwan tertahbis, sebagaimana juga tidak semua rohaniwan tertahbis itu monakhos. Semua itu karunia khas Roh Kudus, yang dikaruniakan menurut kehendakNya. Dalam tradisi Orthodox para rohaniwan yang tidak menikah disebut para rohaniwan “hitam”, karena hitam itu warna kematian, dan orang yang tidak menikah ini dipanggil untuk mati bagi dosa dan hawa nafsu mereka. Sedang para rohaniwan tertahbis yang menikah disebut sebagai para rohaniwan “putih”, kaqrena mereka tetap hidup seperti orang yang lain. Corak hidup tidak menikah dalam ketekunan doa, puasa, dan penyangkalan diri yang mendalam seperti inilah yang disebut “monakhisme” atau “cara hidup para monakhos”. Para monakhos serta hidup monakhisme itu tak lain adalah suatu usaha untuk hidup secara konsisten dengan tuntutan Injil yang lebih serius, tak lain dan tak bukan. Corak hidup semacam ini adalah semacam mati-sahid, kemartiran, mati bagi dosa agar dapat hidup di dalam Allah. Itulah sebabnya terkait erat dengan karunia monakhisme ini adalah karunia ke-martir-an. Kitab Suci mengatakan demikian:” Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, ……Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan;….. dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung….Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada 207 padaku,……. BAHKAN MENYERAHKAN TUBUHKU UNTUK DIBAKAR, tetapi jika kau tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” ( I Kor. 13:1-3). Pasal 13 dari Surat Korintus ini membahas mengenai keunggulan kasih dibanding segala “kharismata” yang diberikan Roh Kudus. Dan jika ada kharismata yang terjadi itu harus dilakukan dalam kasih, sebab tanpa kasih segala “kharismata” itu tak ada faedahnya. Diantara kharismata Roh Kudus itu adalah: berkata-kata dengan bahasa manusia dan malaikat, bernubuat, mengetahui segala rahasia dan pengetahuan, iman untuk memindahkan gunung, membagi-bagikan segala sesuatu, serta MENYERAHKAN TUBUH UNTUK DIBAKAR, yaitu ke-martir-an. Dengan demikian ke-martir-an adalah salah satu dari karunia-karunia Roh Kudus, sebagaimana halnya hikmat, pengetahuan, bahasa asing, nubuat, iman, dan kedermawanan atau kemurahan itu. Karunia-karunia yang lain itu telah kita bahas diatas. Marilah kita bahas mengenai karunia “kemartiran” ini. Sebelum penyalibanNya Kristus mengingatkan kepada para pengikutNya:”Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” ( Matius 5: 11), “Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah” ( Matius 10:18), “Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka. Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena NamaKu….” ( Matius 10:21-22a).” Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa…” ( Matius 10:28). “ Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena namaKu, dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci” ( Matius 24:9-10) “Semuanya ini Kukatakan kepadamu supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu.” ( Yohanes 16:1-4a). Cukuplah bagi kita untuk melihat bahwa Yesus sendiri mengajarkan bahwa kemungkinan terjadinya ke-martir-an itu bukan sesuatu yang mustahil. Dan ajaran Yesus ini memang sudah terbukti kebenarannya. Pertama ajaran itu menghantam Yesus sendiri, yang dibunuh dan mati disalibkan sebagai martir bagi kebenaran dan rencana keselamatan Allah untuk manusia. Kemudian itu menimpa para pengikutnya, yang pertama sekali menerima karunia ke-martir-an ini adalah Diaken Stefanus, yang dalam Gereja Orthodox dikenal sebagai “Protomartyr” (Syuhada Pertama), yang mati dibunuh dengan dirajam oleh orang-orang Yahudi dibawah persetujuan Paulus ( Kisah Rasul 7: 54-8:1). Kemudian aniaya menerima para anggota Gereja secara umum ( Kisah 8:1b-3), yang oleh Paulus sendiri dikatakan sebagai “tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya” ( Galatia 1:13). Yang selanjutnya pembunuhan terjadi atas rasul Yakobus oleh Herodes ( Kisah 12:1-3). Bahkan Kristus menubuatkan tentang Petrus bahwa “jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu (untuk dirantai) dan orang lain akan mengikat engkau (sebagai tawanan) dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki (yaitu mati digantung terbalik diatas salib di Roma) . Dan hal ini dikatkannyNya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah ….” (Yohanes 21:18-19). Pauluspun menjelang masa tuanya ketika dipenjara mengatakan demikian:”Mengenai diriku, darahku sudah mulai sebagi persembahan dan saat kematianku sudah dekat dicurahkan (nantinya Paulus mati dipancung di Roma)… “ ( I Tim. 4:6). Dan dalam sejarah ternyata semua rasul itu mati syahide kecuali Yohanes saja, yang mati karena tua. Demikianlah selanjutnya selama 300 tahun yang pertama Gereja selalu dianiaya oleh para penguasa Roma, demikian juga setelah Islam muncul Gereja Orthodox juga mengalami karunia mati syahid ini, tak luput pula pada 208 waktu kekuasaan tentara Perang Salib dari Gereja Barat di Yerusalem, dan penyerbuan mereka ke Konstantinopel pada saat Perang Salib Keempat, dan yang paling modern adalah aniaya dibawah rezim Komunis di Rusia dan Eropa Timur, sampai tumbangnya pada tahun 1988 yang lalu. Demikianlah ka-martir-an itu bukan suatu kisah romantis masa lalu namun merupakan karunia Roh Kudus pada Gereja pada saat-saat Gereja harus menghadapi serangan yang hebat dan dahsyat dari “pintu gerbang maut” yang ingin “menguasainya” ( Matius 16:18). Dan bahwa para martir itu mendapat karunia untuk apa yang mereka alami itu dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:’…janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaanNya. Berbahagialah kamu, jika dinista karena nama Kristus, sebab Roh Kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” (I Petrus 4:12-14). Ayatayat ini menjelaskan bahwa siksaan adalah suatu ujian. Dan penderitaan serta siksaan itu adalah merupakan “bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus”, artinya kita ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus, yaitu manunggal dengan deritaNya, agar juga manunggal dalam kemuliaanNya. Berarti kemartiran dan penderitaan Kristen adalah sarana panunggalan dengan Kristus. Oleh karena itu orang yang mendapat karunia ini adalah orang yang “Roh Kemuliaan, yaitu Roh Allah ada pada” nya. Berarti karunai derita dan kemartiran itu memang berasal dari Roh Kudus asalnya, untuk menguji dan memanu7nggalkan manusia dengan Kristus. Itulah sebabnya setalh Gereja diterima sebagai agama negera dan kemartiran secara riil tidak terjadi, para orang Kristen yang serius pada meninggalkan Gereja-Gereja kota ke padang belantara untuk menjadi martir bagi Kristus dalam melawan Iblis dan dosa, sebagai para monakhos. Itulah sebabnya dalam Gereja Orthodox ada dikenal tiga macam kemartiran, yaitu "martir merah"” orang yang betul-betul tercurah darahnya oleh aniaya demi Kristus, “martir hijau” yaitu orang yang melalui puasa berusaha mematikan kehendak dosa dan dagingnya. Dan “martir putih” yaitu orang yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk hidup sebagai monakhos di monasteri ataupun di padang belantara. Dan semuanya ini oleh Gereja diterima dan diakui secara resmi dan sah sebagai bagian dari manifestasi karunia Roh Kudus. c.Karya Roh Kudus pada anggota-anggota yang ada di dalam Gereja Apa yang sudah kita bahas diatas adalah mengenai karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja sebagai organisme persekutuan yang saling terkait, dalam arti kehidupan umat secar kolektif. Namun Roh Kudus bukan hanya berkarya dalam Gereja sebagai organisme persekutuan secara kolektif saja, Ia juga bekerja di dalam hati dan kehidupan orang beriman secara pribadi satu per satu.. Karena oleh iman di dalam panunggalan mereka dengan Kristus melalui sakramen baptisan masing-masing pribadi di dalam Gereja itu telah menanggalkan manusia lama, dan mengenakan manusia baru (Kolse 3:9-10), dan manusia baru ini terus menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terjadi di dalam Roh Kudus. Itulah sebabnya maka Roh Kudus juga berkarya di dalam pribadi masing-masing orang beriman juga, agar mereka mencapai tujuan pembaharuan yang terus-menerus tadi, yaitu mencapai “theosis”. Itulah sebanya dalam spiritualitas Iman Kristen Orthodox tradisional, yang menjadi penekanan bukanlah karunia-karunia Roh Kudus, namun kepada Roh Kudus itu sendiri sebagai karunia dari Allah buat kita, serta pada buah-buah yang dihasilkan olehNya, sebagai bukti pembaharuan yang makin meningkat itu, sebelum pada akhirnya mencapai puncaknya yaitu “theosis” tadi.. Iman Orthodox menegaskan bahwa “apa yang kita cari bukanlah pengalaman, tetapi Allah sendiri.” Pada saat Sakramen Krisma (Pengurapan) orang Kristen 209 Orthodox menerima Roh Kudus sebagai karunia (karunia Roh Kudus), “yang memenuhi dia dan mulai mengubahnya kedalam makhluk baru di dalam Kristus.” Sungguhlah, perubahan ini, atau “kasih karunia Ilahi yang selalu menyembuhkan apa saja yang lemah dan melengkapi apa saja yang kurang” ini, adalah karya Roh Kudus yang paling penting. Oleh alasan inilah spiritualitas Iman Kristen Orthodox sebagaimana yang dinyatakan oleh otoritasotoritas seperti Nikholas Kabasilas melihat tak ada perbedaan yang nyata antara karuniakarunia Roh Kudus dan buah-buah Roh Kudus, akibat-akibat dari proses pengubahan itu. Diilhami oleh kesaksian II Petrus 1:3-4 bahwa Roh Allah itu mengerjakan suatu perubahan yang demikian besarnya sehingga orang dapat “ikut ambil bagian dalam kodrat Ilahi,” Gereja memberitahukan bahwa tujuan akhir yang benar dari semua spiritualitas adalah pengubahan secara total dari orang percaya kedalam rupa dan gambar Allah. Dan ilnilah “theosis” itu. Gereja mengajarkan bahwa Roh Kudus itu sesungguhnya membuat seseorang itu menjadi Ilahi, dengan mengatakan , “ sesungguhnya melalui Roh Kudus setiap orang dijadikan Ilahi.” Bapa Gereja Yohanes dari Damaskus menyatakan bahwa Roh Kudus mengilahikan, memenuhi dan menguduskan orang-orang Kristen yang benar. Jadi, perubahan manusia oleh Roh Kudus adalah kesimpulan puncak dari kehidupan Kristen yang sehat. Tujuan akhir dari setiap orang Kristen itu bukanlah pada pengumpulan karuniakarunia dari Roh Kudus, namun bertumbuh menjadi makhluk baru yang diilahikan dalam gambar dan rupa Allah. Kebenaran ini, akhir dari kehidupan Kristen yang sukses dan berhasil ini, digambarkan oleh Vladimir Lossky sebagai suatu “kodrat yang baru, suatu makhluk yang dipulihkan yang menampakkan diri di dunia. Ini adalah suatu tubuh baru yang murni dari semua noda….” Jika yang ditekankan adalah karunia-karunia Roh Kudus, baik yang sungguh maupun yang hanya bayangan saja, sebagai akhir dari dirinya sendiri, bukannya sebagai akibat-akibat pertumbuhan rohani, akan muncullah bahaya memusatkan diri pada pengalaman-pengalaman emosi bukanya pada karya Roh Kudus yang paling penting, yaitu “pengilahian” (“pemuliaan”) dari orang-orang Kristen yang setia. Untuk itulah maka perlu dalam mendapatkan Roh Kudus agar mencapai theosis ini harus disertai dengan ketaatan kepada Hukum Kristus, perjuangan melawan dosa-dosa, dan tingkah-laku manusia lama, serta keikut-sertaan dalam segenap sakramen-sakramen dan ibadah-ibadah Gereja, dengan memegang teguh ajaran Iman yang Orthodox, serta diterapkan dan diamalkan secara pribadi dengan penuh ketaatan, kesadaran, iman, kasih dan kerendahan hati sehingga akan membuahkan kekudusan. . Melalui semuanya inilah Roh Kudus akan berkarya untuk mengubah manusia kepada kemuliaan yang semakin basar dalam perjalanan menuju “theosis” ini (II Kor. 3:18). Inilah hal yang akan berlanjut sampai kepada kekekalan, sedangkan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam organisme persekutuan kolektif Gereja dikatakan Alkitab:”….nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti, pengetahuan akan lenyap….” (I Kor. 13: 8). Dengan demikian sebagai pribadi, demi mencapai keselamatan kekal itu, bukan karunia-karunia Roh Kudus itu yang harus dikejar, namun bagaimana mencapai “theosis” oleh Roh Kudus itulah yang menjadi tujuan utama. Sedangkan sebagai anggota Tubuh Kristus yang memang harus ikut ambil bagian dalam pembangunan Tubuh Kristus, dan bagi tugas pelayanan di dalamnya, maka karunia-karunia Roh Kudus itu yang diperlukan. Karena karunia-karunia Roh kudus itu diberikan kepada Gereja, bagi mem-fasilitasi anggota-anggota yang ada di dalamnya untuk mencapai tujuan akhir “theosis”. Jadi karunia-karunia Roh Kudus, bukanlah tujuan akhir hidup Kristen. Itu disediakan bagi pembangunan dan tugas pelayanan Gereja. c. Kitab Suci 210 Roh Kudus dinyatakan oleh Pengakuan Iman ini sebagai yang “berbicara melalui para Nabi”. Sedangkan Kebangkitan Kristus pada hari ke tiga itu dinyatakan sebagai “sesuai dengan Kitab Suci”. Berarti Kitab Suci yang kepadanya karya Kristus yang Ilahi itu harus dirujukkan mempunyai sifat yang berasal dari yang Ilahi. Kitab Suci itu sabda para Nabi, dan Roh Kuduslah yang berbicara melalui Para Nabi, dengan demikian Pengakuan Iman ini mengakui keterilhaman Kitab Suci sebagai yang dinyatakan oleh Roh Kudus, dengan perantaraan Para Nabi. Yang isinya adalah sesuai dan bertindih tepat dengan “peristiwa Yesus” (disalibkan, dikuburkan, bangkit dan naik ke sorga). Kitab Suci adalah “kesaksian terilham” mengenai Kristus yang adalah “Firman yang Menjadi manusia”. Oleh sebab itu Kitab Suci disebut sebagai “firman Allah”, karena kandungan isinya adalah mengenai “Sang Firman yang hidup” itu, juga karena proses terjadinya melalui pengilhamannya, baik melalui para Nabi atau melalui surat-surat dan tulisan-tulisan para Rasul, maupun pengumpulannya sebagai kanon adalah oleh karena kuasa Roh Allah yang kudus 4. a. Gereja Meskipun Gereja itu sebagai hasil karya Kristus dan karya Roh Kudus, sebagai tubuh Kristus dan Bait Roh Kudus, dan di dalam Gereja itu Roh Kudus berkarya, namun Gereja juga merupakan suatu obyek iman yang keberadaan aqidah tersendiri seperti pengakuan-pengakuan yang lain. Sifat Gereja dinyatakan sebagai Satu, karena Allah itu satu dan Kristus SabdaNya juga satu berarti TubuhNya (Gereja) itu harus satu. Dan Gereja juga bersifat Kudus, karena Kristus itu Kudus dan Roh Kudus yang bersemayam dalam Gereja itu Kudus, sehingga Gereja itu menguduskan anggota-anggotanya melalui pemberitaan sabda dan sakramen disertai kehidupan ketaatan dan pertobatan. Gereja disebut Katolik, karena keselamatan di dalam Kristus yang diberitakan dalam Gereja itu “untuk kita manusia” artinya untuk segenap ummat, dan karena Karya Kristus itu “sesuai dengan Kitab Suci” artinya seluruh kebenaran Ilahi yang dilakukan Kristus itu berada secara penuh dalam Gereja. berarti mengaku Yesus tanpa mengaku Gereja adalah pengakuan yang tidak lengkap., tidak penuh dan mengapung.Gereja juga bersifat Apostolik artinya imannya haruslah iman Rasuliah dan sejarah karya dan kuasanya haruslah berasal dan sehakikat dengan apa yang ada pada saat para Rasul. 4. Gereja Sebagai Bahtera Keselamatan dan Persekutuan Orang Kudus Keselamatan yang secara obyektif historis telah dinyatakan dalanm Pribadi dan karya historis Yesus Kristus ( InkarnasiNya, terutama dalam Penderitaan, Penyaliban, Kematian dan KebangkitanNya) serta yang secara subyektif empiris dikomunikasikan oleh Roh Kudus yang diterima manusia oleh iman dan menyatakan diri dalam perbuatan itu, secara kongkrit dialami dalam Sakramen-Sakramen Gereja. Mengenai Sakramen Baptisan dikatakan demikian:” Sebab dalam satu Roh kita semua….telah dibaptis telah menjadi satu Tubuh…” ( I Kor. 12:13). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Sakramen Baptisan bukanlah hanya sekedar ritus dan upacara, namun suatu karunia dimana Roh Kudus bekerja untuk menjadikan kita manunggal dalam Satu Tubuh, yaitu menjadi bagian dan anggota dari Tubuh Kristus yang Satu: Gereja. Inilah titik mula dimana kita dilahirkan dari atas oleh “Air” (Sakramen Baptisan : Roma 6:3-11, Kolose 2:11-12) dan “Roh” (Roh Kudus, melalui Sakramen Krisma atau Pengurapan: Kisah 8: 14-17, 2;1-4, Ef. 1: 13, II Kor, 1: 21-22, I Yoh. 2:27) yang diberikan pada saat Baptisan itu juga, sebagai Sakramen Kelahiran Kembali (Yohanes 3: 5-6), dan sekaligus sebagai titik mula seseorang menerima karunia Roh Kudus (Kisah 2:38) dimana karunia Roh Kudus itu akan berkembang menjadi karunia-karunia yang lebih besar dalam pengalaman orang beriman itu.. Gereja Barat (Roma Katolik), memisahkan Sakramen Baptis dan Sakramen Krisma ini pada abad pertengahan, dan disebut juga sebagai Sakramen Konfirmasi (Peneguhan), yang dilakukan beberapa tahun kemudian sesudah baptisan bayi.. 211 Dan Theologia Reformasi menghilangkan makna Sakramental dari Sakramen Krisma yang telah dipisah dari Sakramen Baptisan ini, menjadi suatu upacara yang disebut “Sidhi”. Sedangkan denominasi-denominasi Pantekosta menjadikan Sakramen ini menjadi praktek “Baptisan Roh Kudus dengan tanda berkata-kata dalam bahasa-roh”. Dan aliran-aliran Injili serta aliran-aliran Baptis menjadikan Sakramen ini sebagai praktek “Menerima Kristus Sebagai Juru Selamat Pribadi” yang dimengerti sebagai saat orang “Lahir Kembali”. Melalui Baptisan itulah kita dijadikan “Satu Tubuh” yaitu “Tubuh Kristus” yang adalah Gereja (Ekklesia) ( Efesus 1:23 ). Logika dari baptisan yang menjadikan kita “Tubuh Kristus” (“Gereja”) itu adalah demikian: “….kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis (ditenggelamkan) dalam (“eis” = masuk kedalam) kematianNya…dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama (“syn-etapheemen” = kita telah sepenguburan) dengan Dia oleh baptisan dalam (“eis” = masuk ke dalam) kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru (yaitu: hidup ilahi yang berasal dari kebangkitan Kristus yang sama tadi,pen.) ( Roma 6:3-4). Ayat diatas itu menjelaskan bahwa dalam baptisan terjadi suatu “mistery mukjizat” dimana orang yang dibaptis tadi disatukan, baik dengan kematian, penguburan, maupun kebangkitan Kristus.Orang itu dimanunggalkan oleh peristiwa baptisan itu ke dalam karya keselamatan Kristus sendiri, yaitu “masuk kedalam” “Tubuh Kristus” yang dulu pernah mengalami kematian, penguburan, maupun kebangkitan, yang sekarang dimuliakan di sorga. Demikianlah melalui peristiwa baptisan “misteri panunggalan” dengan Tubuh Kristus yang mulia dan menyelamatkan itu telah terjadi. Ini terjadi karena kuasa Roh Kudus yang selalu melakukan mukjizat dalam hidup orang yang beriman kepada Kristus. Itulah sebabnya semua Sakramen itu di Gereja Purba di Timur disebut sebagai “mysteerion”, karena terjadinya “misteri panunggalan” dengan Tubuh Kristus yang mulia di sorga melalui kuasa Roh Kudus, dan yang hanya bisa dimengerti oleh iman itu saja. Demikianlah melalui “misteri” baptisan, semua manusia yang percaya dimanunggalkan dengan Tubuh Kristus yang sama di sorga itu. Sehingga mereka menjadi anggota Tubuh Kristus yang satu dan yang sama tadi. Dengan demikian mereka membentuk komunitas (pasamuan, paguyuban) dari orang-orang yang sudah menyatu dengan Tubuh Kristus tadi. Jadilah mereka ini secara mysteri “Satu Tubuh”, yaitu “Tubuh Mistika Kristus” diatas bumi ini: Gereja (Ekklesia). Demikianlah setiap baptisan selalu menjadikan orang manunggal dengan Tubuh Kristus yang mulia tadi, maka terbentuklah Tubuh Mistika Kristus diatas bumi, yang adalah Gereja itu. Maka “Gereja” kini menjadi lokasi atau “lokus” (“lahan”) dimana peristiwa keselamatan itu dialami. Gereja telah menjadi bahtera bagi keselamatan itu sendiri melalui pelayanan Sakramen-Sakramennya, dan pemberitaan serta Perayaan karya keselamatan Kristus di dalamnya, sekaligus diakonia kepada dunia melalui bermacam-macam segi “perbuatan cinta-kasih” sebagai manifestasi cinta-kasih Kristus atas dunia. Itulah sebabnya dalam Kekristenan Purba. Iman itu bukan hanya suatu pengalaman emosi yang individualistis, namun iman itu adalah keyakinan dan ketaatan dalam kebersamaan hidup “pasamuan, paguyuban” dalam persekutuan kasih disekitar pemberitaan firman, dan perayaan Sakramen, serta diakonia kepada masyarakat luas. Sebagai Tubuh Kristus, akibat dari misteri panunggalan dengan Kristus dalam Sakramen, maka Gereja itupun menjadi persekutuan para kudus, dimana pengudusan berlangsung terusmenerus melalui tindakan-tindakan ibadah (sakramen-sakramen, sembahyang dan doa, persembahan persepuluhan, puasa, pelayanan kasih, menjalankan perintah-perintah Allah, pewartaan Injil dan lain-lain) serta pemberitaan firman, dimana Roh Kudus menyatakan kuasaNya. Dari tindakan-tindakan ibadah dan perayaan-perayaan Sakramen Gereja ini, “Perjamuan Kudus” adalah yang terutama. I Kor. 12:13 mengatakan:” Sebab dalam satu Roh kita semua….telah dibaptis dalam satu tubuh, dan kita semua diberi minum (yaitu: minum dari 212 Cawan Perjamuan, pen.) dari satu Roh” Ayat ini menjelaskan bahwa bukan hanya dalam baptisan saja Roh Kudus berkarya, namun dalam Perjamuan Kuduspun Roh yang sama itu memberikan kuasaNya kepada kita. Sebagaimana oleh Roh Kudus baptisan itu memanunggalkan kita dengan Tubuh Kristus yang sama sehingga terbentuklah Tubuh Mistika Kristus: Gereja, demikian pula oleh Roh Kudus yang sama ini juga, maka Perjamuan Kudus menjadikan panunngalan kita dengan Tubuh Kristus yang mulia di sorga itu menjadi pengalaman yang terus-menerus, sehingga dalam mengambil anggur dalam cawan kita manunggal (bersekutu) dengan Darah Kristus yang mulia itu, dan dengan mengambil roti yang dipecah-pecahkan kita manunggal (bersekutu) dengan Tubuh Kristus yang mulia di sorga itu pula. Dengan demikian dalam Sakramen Perjamuan Kudus ini, kesatuan Gereja dan eksistensinya menemukan makna. Ini dijelaskan dalam I Kor. 10: 16-17:” Bukankah Cawan Pengucapan Syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan Darah Kristus? Bukankah Roti yang kita pecah- pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus ? Karena Roti adalah satu maka kita sekalipun banyak adalah Satu Tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam Roti yang satu itu “. Oleh Perjamuan Kuduslah Gereja itu ada. Tanpa Perjamuan Kudus kumpulan orang yang mengaku Kristen tak dapat disebut Gereja, namun hanya sekedar kumpulan keagamaan saja yang bukan “Tubuh Kristus”. Karena Roti yang Satu itulah maka orang banyak yang telah dibaptiskan itu tetap membentuk Tubuh yang satu, karena orang yang banyak itu mendapatkan bagian dari Roti yang satu dan yang sama. Jadi kesatuan Gereja terikat erat dengan kesatuan Perjamuan Kudus yaitu kesatuan Sakramen. Sakramen Perjamuan Kudus itu yang menjadi sumber eksistensi dan kesatuan Gereja. Jadi Perjamuan Kudus adalah Sakramen sentral menurut Alkitab dan dalam praktek segenap Gereja Purba, baik yang di Timur maupun yang di Barat. Dan sampai sekarang dipertahankan tak berubah dalam Gereja Orthodox. Semua Sakramen lain bermuaranya pada Sakramen Perjamuan Kudus ini. Misalnya: Baptisan dan Krisma memungkinkan orang untuk mengambil Perjamuan Kudus, Pentahbisan memungkinkan orang merayakan dan melaksanakan Perjamuan Kudus ( dalam pemahaman Protestan Pentahbisan tak dianggap Sakramen), Pengakuan Dosa memungkinkan orang mengambil Perjamuan Kudus kembali sesudah dosa yang dilakukan sesudah baptisan (dalam pemahaman Protestan ini juga bukan Sakramen dan cukup dilakukan secara pribadi saja, kecuali jika terkena siasat Gereja harus mengakui di depan umum), Penyembuhan memungkinkan orang pergi ke Gereja lagi untuk mengambil Perjamuan Kudus setelah sembuh dari sakit, (dalam Gereja Katolik menjadi sakramen perminyakan untuk mempercepat kematian orang yang sakit keras, dalam faham Protestan klasik tak mendapat tempat yang memadai dan dianggap bukan Sakramen, dalam aliran-aliran Pantekosta menjadi praktek Doa Kesembuhan atau Kesembuhan Ilahi), Nikah Kudus memungkinkan keluarga baru dibentuk di sekitar partisipasi kehidupan Gereja dalam Perjamuan Kudus (dalam faham Protestan ini tak dianggap sebagai Sakramen meskipun disebut sebagai “Daup Suci” /Nikah Kudus). Karena menyatu dalam Darah dan Tubuh Sakramental Kristus inilah maka kita tetap dijaga sebagai Tubuh Kristus. Tubuh Kristus yang mana telah kita masuki pada saat kita dibaptiskan. Karena terjadinya Tubuh Mistika Kristus : Gereja disebabkan oleh terjadinya panunggalan manusia pada kematian, penguburan dan kebangkitan Kristus dalam baptisan, serta panunggalan dengan Tubuh dan Darah Kristus yang sekarang ada di sorga dalam Perjamuan Kudus, itulah sebabnya maka Sakramen Petahbisan bagi terlaksananya Dua Sakramen utama ini penting sekali. Sebab tanpa ada orang yang ditahbiskan (presbyter/ episkop = penatua/penilik jemaat) kedua sakramen itu tak dapat dilaksanakan. Tanpa pelaksanaan kedua sakramen itu, Gereja dalam makna Tubuh Mistika Kristus tak akan mempunyai eksistensi. Mengenai Sakramen Pentahbisan dari “para penatua “ (presbyter/episkop) itu dikatakan demikian:” Karena itu ia menyuruh seorang dari 213 Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua (tous presbyterous = para Presbyter ) jemaat ( tees ekklesias = …nya Gereja ) datang ke Miletus. Setelah mereka ( para Presbyter) datang, berkatalah ia pada mereka:……Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan (yaitu: Gereja,.pen.), karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi Penilik (episkopous = para Episkop) untuk menggembalakan jemaat Allah ( teen ekklesian tou Theou = GerejaNya Allah)……” (Kisah 20:17,28). Ayat-ayat ini menjelaskan kepada kita beberapa hal, bahwa para Presbyter/Episkop itu adalah Gembala Gereja Allah, bahwa mereka berkewajiban menjaga seluruh kawanan yaitu Gereja, dan bahwa kedudukan mereka sebagai Presbyter/Episkop itu ditetapkan oleh Roh Kudus, yaitu melalui Pentahbisan (Kisah 14:23). Demikianlah Gereja Allah itu bukanlah merupakan kumpulan yang longgar tanpa jenjang kepemimpinan, karena Gereja Allah itu punya penjaga dan punya gembala. Dengan demikian Gereja itu mempunyai hirarkhi dari para Presbyter dan para Episkop :” ….semua orang kudus dalam Kristus Yesus (yaitu: Gereja) di Filipi, dengan para penilik jemaat (episkopois = para episkop) dan diaken (diakonois = para diaken) “ (Filipi 1:1 ). Dalam Gereja Purba, seperti halnya dalam Gereja Orthodox masakini, diaken adalah pembantu presbyter/episkop, dan itu adalah jenjang rohaniwan tertahbis yang berhak melayani liturgis sebagai asisten presbyter/episkop. Karena Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan Kudus itu adalah Sakramen dari eksistensi Gereja, yang diperintahkan oleh Kristus kepada para rasul dua belas minus Yudas Iskariot untuk dilaksanakan (Mat. 28:16, 19, Lukas 22: 14,19), maka para presbyter/episkop sebagai pelaksana Sakramen ini adalah pengganti- lanjut para rasul, karena ditahbiskan para rasul (Kisah 14:23 ). Itulah sebabnya dalam Sakramen Pentahbisan ini, sejak zaman Ireneus (abad kedua) Gereja Purba, yang juga tetap dipelihara dalam Gereja Orthodox masakini, melihat pentingnya ajaran “Pengganti-Lanjut Rasuliah” (“Suksesi Apostolik”) sebagai jaminan keabsahan ajaran dan sakramen Gereja. Sebab yang mendapat perintah untuk membaptis, mengajar, dan melaksanakan Perjamuan Kudus adalah kedua belas rasul`minus Yudas, yang diganti-lanjut oleh para Presbyter yang memiliki mata-rantai dan rahmat rasuliah melalui pentahbisan itu. Dengan demikian hirarkhi para Presbyter/Episkop dalam Gereja itu adalah bagian yang penting dari kharisma Roh Kudus, untuk menjaga dan memelihara kesatuan Gereja disekitar Sakramen (terutama Perjamuan Kudus) dan pemberitaan firman. Demikian juga kita perhatikan bahwa Roh Kuduslah yang bekerja dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Karena setelah Kristus mengatakan “Terimalah Roh Kudus” dan menghembus pada para muridNya, langsung Dia memberi kuasa pengampunan dan penetapan dosa atas manusia kepada para rasul itu ( Yohanes 20: 22-23 ). Dengan demikian Roh Kuduslah yang memampukan para rasul, dan pengganti-lanjut mereka: para episkop dan para presbyter, untuk menyampaikan kuasa pelepasan dan pengampunan Kristus atas dosa-dosa yang dilakukan sesudah orang dibaptiskan, melalui doa dan permohonan serta penumpangan tangan yang dilakukan presbyter/episkop atas nama Kristus dan dalam kuasa Roh Kudus (Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23). Sama halnya dengan Sakramen Kesembuhan oleh pengusapan minyak dan penumpangan tangan demi Nama Kristus itu juga dilakukan dalam kuasa Roh Kudus ( Mat. 12:28, Markus 6:13, Yakobus 5:14). Ini semua adalah karya Roh Kudus bagi penyembuhan manusia secara jasmani maupun rohani sebagai tanda hadirnya Kerajaan Allah di dalam Gereja. Dan dari Sakramen Kesembuhan oleh Roh Kudus ini kita melihat karunia-karunia atau kharisma Roh Kudus yang lain yang bekerja dalam Gereja, baik karunia-karunia mukjizat maupun karunia-karunia pelayanan (diakonia) yang bermacammacam bentuknya itu yang dikaruniakan baik pada hirarkhi Gereja maupun segenap ummat dalam Gereja ( I Kor. 12:7-11, Roma 12: 3-8,dll.). Jadi Gereja itu memang bersifat “kharismatis” dan sekaligus “hirarkhis”. Jadi seluruh Sakramen itu adalah karunia Roh Kudus. Sebab di dalam semuanya itu Roh Kudus berkarya. Melalui Sakramen-Sakramen 214 dimana Roh Kudus berkarya inilah maka kuasa pengudusan yang dilakukan Roh Kudus itu bekerja. Dalam Sakramen-Sakramen ini kita mengalami kuasa Roh Kudus dan dimanunggalkan secara misteri dengan karya keselamatan Kristus. Itulah sebabnya Gereja disebut sebagai Bait Roh Kudus ( I Kor.3:16, Efesus 2: 18-22 ), disamping sebagai Tubuh Kristus. Dengan demikian Gereja dan Sakramen itu saling terkait secara tak terpisahkan, yang melaluinya orang beriman mengalami pertumbuhan imannya dalam keselamatan oleh Kristus di dalam Roh Kudus tadi. Dengan demikian jelas bahwa Gereja itu adalah Bahtera Keselamatan yang membawa manusia menuju kepada titik akhir dari rahmat keselamatan yang telah diterimanya dalam Kristus. Keselamatan itu harus dialami dalam komunitas (pasamuan, paguyuban) dibawah penggembalaan hirarkhi, bukan dalam emosi pribadi yang terisolasi. Jadi iman terkait dengan sakramen, sakramen terkait dengan persekutuan, dan persekutuan itu dalam Gereja. Maka Gereja itulah persekutuan para kudus, yaitu orang-orang yang telah dikuduskan dalam Kristus oleh Roh Kudus, sebagai yang menerima karunia sulung Roh (Roma 8:23), melalui sakramen-sakramen, sebagai karunia Allah yang diterima melalui iman. Dan dari Gereja yaitu persekutuan “anak-anak Allah” atau “orang-orang kudus” inilah segenap ciptaan atau segenap makhluk di segenap alam semesta ini akan menemukan makna keterciptaannya. Mereka akan juga mengalami penebusan ikut “masuk dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Roma 8: 21), sehingga merekapun akan dibebaskan dari effek dan dampak “kesia-siaan” dan “perbudakan kebinasaan” (Roma 8: 2021) I akhir zaman nanti. Demikianlah manusia yang telah menyatu dalam penebusan Kristus itu menjadi harapan bagi segenap “kosmos” ( Roma 8:19). Dengan demikian keselamatan itu bersifat kosmis dan universal, bukan hanya masalah egoistis dan individual. Ini bukan perkara privaat, antara perorangan dan Kristus saja, namun perkara seluruh alam semesta. Karena melalui penebusan dan dimuliakannya manusialah alam semesta akan ikut ditebus dalam kemuliaan, menjadi langit yang baru dan bumi yang baru pada akhir zaman ( II Pet. 3:12). Persekutuan dan kasih dalam Gereja itu dinyatakan dalam Ummat beriman itu mengalami interaksi dalam saling mengasihi dan saling melayani, serta dalam saling berusaha untuk saling melebarkan Kerajaan Allah dibawah bimbingan “penjaga” dan “gembala” Gereja (hirarkhi): para episkop dan presbyter. Dengan secara bersama dan serempak oleh bimbingan “penjaga” dan “gembala” Gerekja (hirarkhi) Gereja mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan hidupnya baik manusia maupun non-manusia, karena Gereja itu menjadi harapan segenap “makhluk”.Disinilah keutuhan dari kesatuan Gereja dijaga, dan disini pula pengalaman keselamatan itu menemukan tempat bagi pertumbuhannya yang semakin mendalam dan nyata yang tak tak hanya tergantung pada emosi sesaat ataupun kharisma pribadi seseorang. Namun pengalaman yang menyatu dengan segenap pengalaman Gereja Rasuliah sepanjang segala abad. Dalam konteks hidup dalam persekutuan Gereja melalui pengalaman Roh Kudus di dalam sakramen-sakramen inilah pengudusan itu berlangsung terus-menerus. Dan pengudusan manusia tertebus itu harus merembes keluar ke dalam kosmos melalui pelayanan nyata Gereja terhadap alam lingkungan diluar batasan dirinya sendiri, terhadap segala sesuatu yang menyangkut kemanusiaan dan keterciptaan dalam alam ini, karena mereka juga akan menjadi obyek keselamatan di akhir zaman karena partisipasi mereka dalam kemuliaan Gereja, yaitu kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah itu. Sehingga dalam kaitan ini keselamatan itu merupakan suatu proses yang “sedang” berjalan, meskipun secara fakta panunggalan dengan kematian Kristus itu manusia “telah” menerima keselamatan itu ketika Kristus disalibkan dan manusia disatukan dengannya oleh baptisan.. Dan keselamatan yang “sedang” dalam proses pertumbuhan ini “akan” menemui penggenapannya pada saat akhir zaman, dan akhir kematian seseorang. Sehingga Gereja itu selalu mengarah pada harapan eskhatologis (akhir zaman) sementara masih berada dalam 215 masakini. Dalam proses “sedang” inilah kita semua hidup sebagai orang Kristen pada masakini ini. Sehingga kita tak henti-hentinya berjuang untuk menghidupi pengudusan yang dilakukan Roh Kudus dalam konteks kehidupan Gereja. Dan pengudusan ini bukan hanya pengudusan secara pribadi saja, namun juga dengan melalui pengudusan pribadi masingmasing anggota di dalam Gereja ini, maka Gereja melalui anggota-anggotanya itu ikut menyalurkan pengudusan itu ke dalam alam semesta dan segenap lingkungan hidup dimana angggota Gereja itu berada. Dengan demikian masing-masing anggota Gereja menjadi “ garam dunia” dan “terang dunia” ( Matius 5:13,14) untuk mengubah sekitarnya oleh kuasa pengudusan Injil. Demikianlah maka masing-masing anggota Gereja itu mempunyai tanggung-jawab untuk memerangi dengan kasih setiap penampakan kuasa “Iblis” (kejahatan, exploitasi, ketidak-adilan, kekerasan, keserakahan, dan lain-lain) , “dosa” ( kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidak-merataan sosial, diskriminasi, dan lain-lain) serta “maut” (sakit penyakit, kekurangan sarana kesehatan, kekurangan pangan, paceklik, peperangan, penebangan hutan-hutan lingkungan hidup secara tanpa tanggung-jawab, pembuatan senjata-senjata berat penghancur manusia, dan lain-lain) melalui suatu usaha yang nyata, sebagai manifestasi dampak hidup keselamatan dalam lingkungan hidup yang nyata. Dengan demikian keselamatan itu bukan hanya masalah individual secara egois dan sebagai sesuatu sesuatu “sudah” terjadi saja, sehingga orang menjadi pongah dengan mengatakan:” Aku sudah selamat, tak perduli apapun yang kulakukan, aku akan tetap masuk sorga.” . Sikap demikian ini dapat muncul jika dari ajaran Calvinisme klasik tentang “The Perseverance of the Saints” (“kebertahanan orang-orang kudus”), yang dimengerti sebagai jaminan bahwa orang-orang kudus yang telah ditakdir untuk selamat itu pasti tetap bertahan untuk tetap selamat apapun jadinya ini, ditarik kesimpulan yang ekstrim melupakan datadata Alkitab yang mengharuskan manusia untuk melakukan perbuatan baik (Efesus 2:10), tetap mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Fil.2:12), dan sebagainya.Tak pula keselamatan itu hanya yang “akan” terjadi saja, sehingga orang tak pernah yakin akan keselamatannya di dalam Kristus, dengan mengatakan :” Entahlah aku tak tahu. Masuk sorga atau tidak, semua tergantung pada jumlah kebaikanku nanti dihadapan Allah”. Namun keselamatan itu juga memiliki sisi yang “sedang” dalam proses, tanpa melupakan bahwa Kristus :telah “menyelamatkan” kita. Dengan demikian orang tetap berjuang untuk makin memperdalam makna keselamatannya dalam ketaatan dan kesalehan yang nyata untuk membuat tujuannya mencapai “theosis” itu makin menjadi realita. Untuk itu marilah kita bicarakan bagaimana peristiwa keselamatan itu tergenapi sebagai karunia yang “akan” kita terima di akhir jaman, pada saat kita mengalami kebangkitan dan mencapai pemuliaan menjadi “sama seperti Kristus” ( I Yohanes 3:2 ). b. Sakramen Karena sakramen itu membutuhkan validitas Gereja sebagai tubuh Kristus, dan sebagai tugas utama Gereja, maka sakramen itu membutuhkan pengakuan Gereja atas keabsahannya “ Aku Mengakui”. Dan sakramen yang diakui Gereja hanyalah satu saja, yaitu sakramen yang sah sesuai dengan Paradosis Rasuliah. Sakramen Baptisan adalah permulaan dari seluruh kehidupan sakrammental dan ibadah serta kerohanian Gereja, oleh karena itu tidak senua sakramen disebutkan dalam pengakuan iman ini. Pengakuan iman ini juga menyatakan bahwa sakramen itu bukan sekedar ritual atau upacara saja namun memberikan efek yang menyalurkan rahmat keselamatan Kristus di dalam Roh Kudus yaitu “Baptisan Bagi Pengampunan Dosa.” Dan Pengakuan Iman ini mengatakan bahwa Baptisan itu “Satu”, dalam pengertian bahwa baptisan Orthodox itu tidak dapat diulang serta tak dapat dilakukan selain daripada apa yang telah ditetapkan oleh Para Rasul dan tetap dijalankan oleh Gereja Orthodox selama dua ribu tahun ini, 216 yaitu : harus diselamkan, harus tiga kali penyelaman berturut-turut, harus dalam Nama Tritunggal Maha Kudus, harus dilakukan oleh Imam yang memiliki mata-rantai Rasuliah oleh pentahbisan dari seoran Episkop yang sah, harus mengikuti syarat dan aturan yang sudah ditetapkan. c. Hidup Baru di Dalam Kristus Sesudah seseorang dibaptiskan dia mengalami “pengampunan dosa”. Ini berarti bahwa sebelum itu manusia hidup dalam kuasa dosa. Sekarang dengan mengalami “pengampunan dosa” manusia hidup dalam keberadaan baru, yaitu ciptaan baru di dalam Kristus. Maka dengan demikian manusia terbaptis (manusia Kristen) haruslah hidup secara baru, dan ketaatannnya kepada iman Gereja, kepada ajaran Kitab Suci rajin dalam partisipasi hidup bergereja dan dalam kehidupan ibadah serta sakramen-sakramen, serta hidup menjauhi yang dosa serta mengusahakan yang benar dan kudus. Demikianlah iman itu akhirnya menuntun kepada perbuatan. Iman bukan hanya pengakuan secara intelektual tetapi juga kesiap-siagaan hati dan kerelaan kehendak. 4. Akhir zaman. Kesimpulan akhir dari segenap pengalaman dan proses keselamatan dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus dalam Gereja ini akan dialami manusia sepenuhnya pada akhir jaman dimana manusia akan dibangkitkan dan menjadi “sama seperti Kristus” (I Yoh.3:2), dan menjadi “serupa dengan TubuhNya yang mulia “ ( Fil.3:21) serta “mengambil bagian dalam kodrat ilahi “ ( II Petrus 1:4). Oleh kaena itu ajaran tentang Akhir Zaman (Eskhatologi) itu merupakan tujun dari serta terkait erat dengan ajaran keselamatan ( Soteriologi). Dalam Eskhatologia Gereja Purba di Timur, yang tetap dipelihara dan dijaga oleh Gereja Orthodox masakini, dikenali adanya dua tahap peristiwa yang berbeda : 1.Penghakiman Sebagian, yaitu Eskhatologi Kecil yang dialami semua manusia sesudah kematiannya. Inilah kiamat atas masing-masing pribadi kita, dimana kita “menunggu kebangkitan orang-orang mati” tadi. Karena kita sendiri akan mati dan akan menunggu saat kebangkitan tadi, untuk akhirnya akan mengalami. “kehidupan zaman yang akan datang”. Itulah yang menjadi dorongan kita untuk tetap hidup di dalam Iman dan harap serta kasih akan Allah. Mengenai Eskhatologia Kecil (Kiamat As-Sughro) ini dapat kita mengerti demikian: Eskhatologi kecil artinya bahwa langsung sesudah mati orang akan mengalami penghakiman sebagian yaitu telah mencicipi sengsara bagi mereka yang nantinya akan masuk dalam siksa kekal, serta telah mengalami sukacita firdaus bagi mereka yang nantinya akan mengalami pemuliaan di dalam Kristus. Ajaran Gereja Timur tak dapat menerima Ajaran Gereja Barat (Roma Katolik ) tentang adanya “Api Penyucian”. Menurut keyakinan ini diajarkan bahwa dosa-dosa yang belum sempat ditobati oleh manusia yang tak pernah menyangkal Kristus harus ditebus dengan siksa dalam “Api Penyucian”. Namun Gereja Purba di Timur, yang juga menjadi keyakinan Gereja Orthodox masakini, bersandarkan pada janji Kristus bahwa :”….jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak” ( Matius 12:32). Ayat ini mengajarkan bahwa hanya dosa menentang/menghujat Roh Kudus saja yang tak dapat diampuni. Dengan demikian dosa selain itu masih dapat diampuni. Dan pengampunan itu memiliki dua bentuk “ di dunia ini” dan “di dunia yang akan datang”, berarti kesempatan pengampunan di dunia yang akan datang bagi mereka yang tak menghujat Roh Kudus masih memiliki kemungkinan, sejauh itu belum penghakiman akhir. Berarti oleh belaskasihan Allah yang kita tidak tahu bagaimana, namun jelas tidak melalui “Api Penyucian” sebab ajaran yang demikian tak pernah dijumpai dalam Alkitab, dalam rumusan Konsili-Konsili Gereja Purba ataupun dalam Konsensus para bapa Gereja di Timur- perubahan status seseorang di dunia sana masih mungkin menurut ayat ini. Oleh karena harapan akan belas-kasihan Allah di dalam Kristus inilah, Gereja Purba di Timur, dan Gereja Orthodox masakini, selalu 217 memperingati dalam Liturgi atas mereka yang meninggal di dalam Kristus tetapi belum sempat hidup secara Kristen dalam arti yang sebenarnya – namun bukan yang diluar Kristus -, dengan bersandar sepenuhnya pada belas-kasihan Allah yang tak mengenal batas itu. Jiwa mereka ini berada di tempat penantian sebagai “roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna” ( Ibrani 12: 22-23) “hidup” di hadirat Allah (Yohanes 5:24, 11:25 ) menunggu sampai saatnya mereka dipersatukan kembali dengan tubuh mereka yang akan bangkit dari kuburan ( Yohanes 5:29) untuk hidup dalam zaman yang akan datang, pada saat munculnya langit baru dan bumi baru.. Hal ini dinyatakan dalam Pengakuan Gereja Am (Iman Nikea) :” Aku menunggu akan kebangkitan orang-orang mati. Serta Kehidupan Zaman yang akan datang”. Mengenai Eskatologi Besar ( Kiamat Al-Kubro) sebagai tujuan dari semua karya yang dilakukan oleh Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus itu bagi keselamatan atau pemulihan manusia dan dunia tempat ia tinggal itu, akan mencapai puncaknya yaitu dalam dua peristiwa Kiamat atas segala alam ini. Hal itu sebagaimana yang dikatkan oleh Pengakuan Iman bahwa Kristus “akan datang lagi dalam kemuliaan”. Kedatangan Kristus ini akan ditandai dengan: 1) Penyebaran Injil ke seluruh dunia ( Matius 24:14 ) 2) Orang Yahudi secara nasional akan bertobat kepada Kristus ( Roma 11:25-26) 3) Elia dan Henokh akan kembali ke bumi ( Markus 9:11, Wahyu 11: 1-12 ) 4) Munculnya Anti Kristus ( Matius 24 : 15, I Yohanes 2;18, II Tes. 2: 3-9, Wahyu 13 ). 5) Kekacauan dalam alam, dalam politik, dalam moral, penderitaan manusia yang luar biasa ( Matius 24, Markus 13, Lukas 21). 6) Dunia akan dihancurkan oleh api (II Pet. 3:5). Hal ini akan disusul dengan : 7) Kedatangan Kristus yang Kedua dan Kebangkitan orang mati ( I Tes. 1417, I Kor. 15: 51 dst) 8) Penghakiman segenap manusia oleh Kristus berdasarkan perbuatan masing-masing dalam kasih sebagai buah iman di dalam Kristus, atau kejahatan sebagai akibat ketiadaan iman ( Matius 25: 31-46, II Kor. 5:10, dll.) sebagaimana yang dikatakan oleh Pengakuan Iman bahwa Kristus “akan menghakimi orang hidup dan orang mati”. Sehingga terjadilah: 9) Perpisahan kekal antara mereka yang terhilang dalam siksa neraka, dan mereka mereka yang mengalami pemuliaan dalam panunggalan dengan kemuliaan Allah (“theosis”). Serta akhir dari semuanya itu adalah Kristus akan mendirikan “KerajaanNya” yang “tak akan ada akhirnya” yaitu Kerajaan mulia dan kekal, 10) Munculnya langit baru dan bumi baru yang penuh kemuliaan sebanding dengan kemuliaan mereka yang telah mencapai “theosis”, karena bumi baru dan langit baru itu akan menjadi tempat tinggal mereka ( II Pet. 3:12, Wahyu 21: 1-22 ) dimana Kristus akan memerintah sebagai raja kekal selama-lamanya serta Allah menjadi semua di dalam semua ( I Kor. 15:28). Kasus Ajaran Kerajaan Seribu Tahun.. Ajaran tentang Kerajaan Seribu Tahun atau “Khiliasme” ini adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa setelah dihancurkannya Anti-Kristus dan berbaliknya seluruh bangsa Yahudi kepada Kristus, maka Kristus akan datang lagi mendirikan Kerajaan duniawi dengan pusatnya di Yerusalem selama seribu tahun lamanya, di atas bumi ini. Sesudah pemberontakan Iblis yang terakhir maka dunia akan mengalami kiamat, dan barulah terjadinya langit baru dan bumi baru serta terbabarnya Kerajaan kekal. Ajaran Saksi Yehuwah dapat kita golongkan dalam kelompok “khiliasme” ini. Gereja Orthodox di zaman purba dalam Konsili Ke II (381) dan Konsili Ke V (553) telah menetapkan dan menghakimi bahwa Ajaran Kaerajaan Seribu Tahun (“Khiliasme”) ini sebagai ajaran yang menyimpang yang tak sesuai dengan Iman Rasuliah. Memang di zaman purba ada beberapa penulis Kristen yang mempercayai ajaran ini, misalnya: Papias dari Hierapolis dan Ireneus dari Lyons, namun Gereja melihat bahwa pendapat mereka itu adalah 218 sekedar “theologoumena” (“opini pribadi’) yang bukan iman universal Gereja. Ajaran ini sekarang banyak dipromosikan oleh kalangan Protestan Injili. Sikap Gereja Orthodox mengenai Ajaran ini adalah demikian: 1. Dari kalangan Protestan sendiri ternyata tidak semuanya mempercayai ajaran tentang Kerajaan Seribu Tahun ini. Sudah diketahui oleh para pakar bahwa Luther dan Calvin dengan tegas menolak ajaran ini. Demikian juga aliran-aliran yang melandaskan diri pada ajaran mereka. Kaum Anabaptislah yang mempercayai adanya Kerajaan Seribu tahun ini. Dan di Indonesia ini kebanyakan kelompok Protestan yang mengikuti ajaran ini adalah kaum Injili terutama yang dipelopori oleh STTI Yogyakarta yang merupakan cabang Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, USA., yang memang mengkhususkan diri pada theologia semacam ini, juga Kaum Pentakosta dan Kharismatik. Kaum Injili yang mendasarkan ajarannya pada Calvin menolak ajaran ini, demikian juga kebanyakan Gereja-Gereja Protestan Klasik menolak ajaran ini pula. Jadi apapun yang dikatakan oleh kalangan pendukungnya mengenai ajaran ini, namun itu tetap bukan iman universal bahkan di kalangan umat Protestan sendiri. 2. Diantara kaum Protestan terdapat tiga sikap mengenai ajaran ini yaitu “A-Millenialist” yaitu mereka yang menolak adanya Kerajaan Seribu Tahun secara hurufiah, “Post-Millenialist” yaitu mereka yang mengatakan bahwa Kerajaan Seribu tahun adalah masa sekarang ini dimana melalui Injil masyarakat pelan-pelan akan diubah menjadi baik baru Kristus akan datang, dan “PreMillenialist” yaitu mereka yang percaya adanya Kerajaan Seribu Tahun itu. 3. Selanjutnya, diantara para pengikut pandangan “Pre-Millenium” inipun dibagi lagi antara aliran “PreTribulation” yaitu mereka yang mengajarkan bahwa Kristus akan datang sebelum masa aniaya besar oleh Anti-Kristus, “Mid-Tribulation” yaitu mereka yang percaya Kristus akan datang ditengah-tengah masa aniaya besar oleh Anti-Kristus, serta ‘post-Tribulation” yaitu mereka yang percaya bahwa Kristus akan datang sesudah masa aniaya besar oleh Anti-Kristus. 4. Juga diantara mereka ini masih dibagi lagi antara aliran yang “Dispensationalist” yaitu yang percaya masa sejarah keselamatan itu dibagi-bagi dalam masa-masa dan tahap-tahap, yang masing-masing tahapan masa itu diperlakukan oleh Allah secara berbeda-beda dalam hubungannya denganNya, dan yang “non-Dispensstionalist” yaitu yang tak percaya adanya pentahapan semacam itu.. Pendek kata tidak ada satu pandangan yang bersifat “universal” tentang Kerajaan Seribu Tahun. Yang universal adalah bahwa “Kristus akan datang lagi untuk menghakimi orang hidup dan orang mati”, dan inilah Iman Gereja purba, yang tak seorang Kristen yang benar satupun yang meragukannya. Namun Kerajaan Seribu Tahun itu terlalu banyak masalah dan kontroversi, berarti itu bukan ajaran inti dari Injil. Sebagiaimana yang telah kita katakan diatas, bahwa memang ada beberapa penulis Kristen purba yang mengikuti faham ini misalnya;Ireneus dan Papias. Namun tidak semua pendapat penulis Kristen purba itu merupakan ajaran resmi Gereja atau ajaran Rasuliah yang bersifat Universal. Gereja Orthodox membedakan dalam isi tulisan para penulis Kristen Purba antara apa yang hanya bersifat “theologoumena” yaitu pendapat pribadi, seperti yang telah kita sebut diatas, dan apa yang bersifat “Paradosis Rasuliah”. Yang bersifat “Paradosis Rasuliah” itulah yang dipegang sebagai ajaran Universal Gereja, sedangkan yang bersifat “theologoumena” itu tak dapat dipegang sebagai kebenaran. Dan pendapat Ireneus dan Papias mengenai Kerajaan Seribu tahun itu adalah sekedar “theologoumena” dalam Gereja Orthodox, dan hal ini memang diijinkan oleh Gereja Orthodox, asal tidak dipaksakan kepada seluruh Gereja untuk mengakui sebagai ajaran rasuliah. Kalau pendapat pribadi sudah dipaksakan kepada seluruh Gereja, jadilah itu bidat. Itulah sebabnya ketika hal ini dipaksakan dalam Gereja, pada Konsili kelima dari Gereja Purba, pandangan tentang Kerajaan Seribu Tahun ini dikutuk sebagai sesat oleh Gereja Purba itu. 219 5. Selanjutnya dasar Alkitabiah dari tafsiran mengenai ajaran Kerajaan Seribu Tahun itu hanya terdapat dalam enam ayat saja dari Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin enam ayat dari Wahyu 20 ini dijadikan lansdasan untuk melihat seluruh Alkitab, sehingga seluruh Alkitab diusahakan untuk setuju mengenai kerajaan Seribu Tahun secara literal semacam itu. Apalagi kita tahu bahwa Kitab Wahyu itu sangat bersifat apokaliptik-simbolik, dimana isinya tidak selalu bersifat literal. Jadi pendekatan literal bukan cara yang mutlak terhadap Kitab Wahyu. 6. Pemahaman Iman Orthodox mengenai ayat-ayat dari Wahyu 20:1-6, satu-satunya nats dalam Alkitab yang berbicara mengenai Kerajaan Seribu Tahun itu adalah demikian: 1. Jenis Sastra Kitab Wahyu adalah bersifat Apokaliptik, dengan mengenai bahasa-bahasa simbolis yang tidak selalu boleh dimengerti secara literal. Termasuk pula Wahyu 20:1-6 itu. 2. Sehingga pemahaman Iman Kristen Orthodox atas Wahyu 20:1-6 adalah demikian: a. Wahyu 20:1`mengatakan tentang malaikat yang memegang “anak kunci jurang maut” dan “rantai besar”. Tentu saja ini tak boleh diartikan bahwa ank-kunci maupun rantai itu terbuat besi atau tembaga, yang mengimplikasikan bahwa di sorga ada pandai besi yang membuat rantai tembaga itu. b. Wahyu 20:2 mengatakan bahwa “Iblis atau Satan” itu diikat selama 1000 tahun. Implikasinya adalah tetntu diikat dengan rantai tadi. Jika betul demikian, apa mungkin Iblis yang bukan “darah dan daging” ( Efesus 6:12) itu dapat diikat dengan rantai, karena ia tak memiliki tubuh jasmani. Berarti ikatannya inipun bukan dalam makna literal karena rantainyapun tak bermaknsa literal sedangkan iblisnyapun tak memiliki tubuh jasmani yang dapat diikat dengan rantai besi. Ini maknanya bahwa daya pengaruh dan kuasa Iblis itu amat sangat dibatasi sehingga Iblis terikat oleh batasan-batasan tadi, yaitu batasan-batasan dari ajaran Injil dan kuasa Roh Kudus yang menjadi rantai bagi Iblis untuk secara bebas bergerak menyesatkan manusia, karena Injil meng-expose dusta dan tipuan Iblis itu. Inilah yang dikatakan oleh Yesus bahwa “orang kuat “itu diikat dahulu ( Matius 12:29), agar hartanya, yaitu “jiwa-jiwa yang ditawannya” itu dapat dirampas oleh kuasa Roh Kudus dan berita Injil. Jika demikian halnya maka angka “seribu tahun” itu tak bermakna literal, sehingga dengan demikian konsisten dalam metode pentafsirannya. Maka anga “seribu tahun” dimengerti sebagai berikut: tahun dimengerti sebagai “periode” atau “masa”. Sedangkan seribu dimengerti sebagai 10 x 10 x10. Sepuluh adalah angka “genap” dalam pengertian semua hitungan selalu berakhir dengan angka sepuluh dan kelipatannya. Dengan demikian 10 berarti “kegenapan”. Dan “3 x “ menunjuk angka ilahi dari “Tritunggal Maha Kudus” . Sehingga 10 x 3 artinya “kegenapan rencana ilahi”.. Maka “Seribu Tahun” artinya “ Periode/Masa dari Kegenapan Rencana Ilahi”. Jadi Iblis diikat selama seribu tahun artinya: Sejak Periode atau Masa dari Kegenapan Rencana Ilahi yang sudah terjadi ketika Yesus datang sebagai saat “Genapnya Waktu” ( Galatia 4:4). Iblis kuasanya sudah dibatasi dan tak lagi bersifat mutlak. c. Wahyu 20:3 mengatakan Iblis dilemparkan ke jurang maut “ supaya jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun”. Ini bermakna selama “Periode /Masa kegenapan Rencana Ilahi” yaitu sejak kedatangan Yesus yang 220 pertama sampai dengan kedatangan Yesus yang kedua, Iblis tak dapat bergerak secara mutlak untuk menyesatkan manusia akibat Berita Injil yang sudah dikumandangkan di seluruh dunia. Kuasanya terbatas kepada bangsa-bangsa yang diluar “seribu tahun” yaitu diluar “masa kegenapan rencana ilahi” atau yang berada diluar jangkauan dan pengaruh Berita Injil saja. “Kemudian Iblis akan dilepaskan untuk sedikit waktu lamanya” yaitu menjelang pada saat muncunya Anti_kristus dan dengan menggunakan Anti-Kristus itu Iblis menyebabkan banyak orang murtad ( II Tes. 2: 3), dan Anti-Kristus memiliki kuasa atas segenap bangsa-bangsa yang tak mau menerima Kristus. d. Wahyu 20:4 mengatakan adanya takhta-takhta dimana orang-orang yang duduk diatasnya diberi kuasa untuk menghakimi. Inilah adalah takhta para Episkop Gereja yang dalam Konsili-Konsili berkuasa oleh rahmat Roh Kudus untuk menyatakan penghakiman atas ajaran-ajaran sesat yang menerpa Gereja, dan akhirnya penghakiman atas ajaran sesat itu dirumuskan dalam Pengakuan Iman Gereja. Juga “jiwa-jiwa” para martirpun dilihat. Perhatikan yang dilihat bukanlah “tubuh yang sudah bangkit” yang merupakan tujuan kedatangan Yesus, yaitu memberikan Kebangkitan Tubuh”, namun hanya “jiwa-jiwa”. Ini berarti sesuatu yang belum bersifat letral namun bersifat rohani. Semua orang yang percaya kepada Kristus adalah yang menolak segenap bentuk penyembahan berhala dan telah mati bagi manusia lama sebagai martir, dan “jiwa-jiwa” ini yang hidup kembali ( Efesus 2:4-5). Jiwa-jiwa yang sudah dibangkitkan itu “memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus selama seribu tahun. ” Mereka yang sudah hidup kembali yaitu dihidupkan kembali melalui Kristus dalam jiwa mereka, menerima kuasa baru, sehingga bersama Kristus mereka memerintah sebagai raja atas dosa, Iblis dan maut. Artinya jiwa tadi tak berada lagi di dalam kekuasaan dosa,Iblis, dan maut itu namun memiliki otoritas, wibawa, dan kuasa atasnya, sehingga oleh kuasa Kristus selama masa dan periode kegenapan rencana Allah di dalam GerejaNya ini ia menjadi raja atas ketiga kekuatan jahat itu. Ia bukan bawahan dosa, iblis dan maut lagi. Ia meraja bersama Kristus. e. Wahyu 20:5 mengatakan “Orang-orang mati yang lain” yaitu orang-orang tak beriman yang masih mati secara roh ( Efesus 2:1-2), tidak bangkit, yaitu mereka belum menerima kebankitan dalam rohnya karena belum menyatu dengan Kebangkitan Kristus. Mereka baru kebangkitan tubuh nanti saja pada akhir zaman (Yohanes 5:28-29) untuk mengalami penghakiman, sesudah seselai masa seribu tahun, yaitu sesudah selesai periode kegenapan rencana Allah, zaman Gereja ini. Orang yang mengalami kebangkitan “dalam roh/jiwa” inilah kebangkitan yang pertama yaitu kebangkitan :di dalam roh/jiwa” oleh kuasa Roh Kudus. Sehingga ia tidak mengalami kematian kedua yaitu kematian dalam neraka. Dan orang-orang yang sudah bangkit dalam jiwanya inilah yang SUDAH , bukan AKAN menjadi imamimam Allah danKristus serta menjadi raja. Perhatikan bahwa ini sudah terjadi sebagaimana yang dikatakan dalam Wahyu 1:6, dan I Petrus 2:9. Jadi Kerajaan Seribu tahun bukanlah kerajaan politik di masa depan, namun Kerajaan rohani dalam Roh Kudus, yang sudah terjadi di dalam Gereja. Demikianlah jelas Iman Kristen Orthodox meyakini betul bahwa memang Kristus harus datang yang persiapannya sudah dilakukan dalam GerejaNya. Kiranya Tuhan menolong kita untuk memiliki harapan yang sungguh akan kedatangan Kristus ini. Amin 221 Demikianlah unsur-unsur keyakinan dan aqidah Iman Kristen atau Theologia Dogmatika Orthodox yang secara garis besar dinyatakan dalam Pengakuan Iman Gereja. Inilah yang merupakan pagar dan kaca mata yang melaluinya kita menyelidiki ajaran Kitab Suci lebih dalam lagi. Untuk mengetahui lebih rinci ajaran Iman Kristen Orthodox ini perlu kita belajar lebih dalam lagi tentang pembahasan yang lebih luas mengenai Iman Rasuliah yang utuh dan murni ini. C. Kehidupan Gereja Orthodox Gedung Gereja Orthodox Gereja Orthodox melihat bahwa semua yang ada dalam struktur Bait Allah/ Kemah Suci sudah digenapi dalam Kristus, dan bahwa pada mulanya umat Kristen memang beribadah di rumahrumah pribadi, maka pada zaman yang amat dini sekali umat Kristen tidak membangun bangunan rumah ibadah. Namun karena para Rasul perdana itu masih beribadah di Bait Allah (Kisah 3:1), maka jelas Gereja Purba tidak sama sekali membuang makna penting dari Bait Allah itu. Karena Gereja Orthodox melihat bahwa Kristus datang bukan untuk “merombak” Taurat, namun “mengenapinya” ( Matius 5:17-19), maka bentuk-bentuk yang berasal dari praktekpraktek dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu tidak sama sekali dibuang, namun diartikan secara baru dan secara ajaran Injil. “Menggenapi” berarti memberi isi dari wadah yang lama, bukan membuang atau menghilangkan. Artinya sejauh data Alkitab (dan bagi Gereja Perdana Alkitab adalah :Perjanjian Lama) itu yang menjad bukti, ibadah-ibadah di Bait Allah itulah satu-satunya cara ibadah yang diperintahkan Allah dan yang dilakukan oleh umatNya sejak zaman Musa sampai pada zaman rasul-rasul Kristus. Kerangka ibadah yang diperintahkan Allah inilah yang dipertahankan oleh Gereja awal meskipun isinya memang berbeda, karena sifatnya yang Kristologis.. Ini terbukti bahwa di wilayah Dura-Europos di Syria, ditemukan suatu bangunan Gereja yang berasal dari abad kedua hampir 200 tahun sebelum pertobatan Konstantinus Agung pada abad keempat . Bentuknya secara garis besar mirip dengan struktur Bait Allah, lengkap dengan gambar-gambar, sama seperti Bait Allah/Kemah Suci itu dipenuhi dengan gambar Kerubim. Bentuk bangunan Gereja yang demikian itu selalu menjadi ciri Gereja Orthodox sampai kini. Dengan meneladani struktur bangunan Bait Allah ini, maka bentuk bangunan Gerekja Orthodox masakini adalah sebagai berikut: Penggenapan yang diajarkan oleh Kristus itu menunjukkan adanya suatu kesinambungan sekaligus ketaksinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Khususnya dalam kasus bangunan Gedung Gereja Orthodox itu unsur kesinambungan dan unsur ketaksinambungan itu tampak jelas. Hal itu akan dirasakan ketika orang masuk pertama kali kedalam bangunan Gedung Gereja Orthodox. Ia akan merasakan dunia Alkitab yang digambarkan dalam Perjanjian Lama itu hidup kembali dengan cara yang baru. yaitu dengan cara yang diilhami berita Injil Gereja Orthodox menerapkan secara konsisten 222 fakta kesinambungan dan ketaksinambungan yang ada didalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu. Itulah sebabnya bagi orang-orang yang baru mengenal bangunan Gereja Orthodox, merasakan adanya sesuatu yang kudus dan khusyuk ketika ia masuk kedalamnya. Ini dikarenakan Gereja Orthodox menerapkan semua struktur bangunan ibadah yang ada dalam Kemah Suci atau Bait Allah didalam Perjanjian Lama, dengan disemangati dan dengan tafsir yang sama sekali berbeda dari apa yang dimengerti oleh orang-orang Yahudi non-Kristen, yaitu dengan cara pandang Inkarnasi. Jadi yang mengilhaminya adalah berita Injil. Secara apa yang nampak mata orang masih mengenali unsur-unsur simbolisme Perjanjian Lama tetapi dalam isinya, berita Injil itulah yang diberitakan dalam simbolisme itu. Dengan ibadah dan praktek-praktek liturgisnya berakar dan berkesinambungan dengan praktek-praktek liturgis dan ibadah dalam Perjanjian Lama meskipun secara mendalam dan secara konsisten diilhami dan disemangati oleh berita Injil, maka didalam bangunan Gereja Orthodoxpun, secara konsistenan dibangun dan dibentuk berpolakan struktur bangunan Gedung Bait Allah/Kemah Suci dalam Parjanjian Lama. Sudah kita pelajari bahwa struktur Bait Allah/Kemah Suci Perjanjian Lama itu, memiliki tiga bagian yaitu: Pelataran, Ruangan Kudus (Bahtera) dan Ruangan Mahakudus. Sesuai dengan pola struktur bangunan Bait Allah/Kemah Suci ini, maka Gereja Orthodox pun membagi bangunannya menurut tiga bagian juga, yaitu bagian yang pertama disebut RUANG PRATAMA, bagian kedua disebut: RUANG BAHTERA, dan bagian ketiga disebut: RUANG MEZBAH. Arti simbolis dari ketiga bagian bangunan Gereja Orthodox ini sebagai berikut: RUANG PRATAMA: Bagian ini adalah lambang zaman Perjanjian Lama. Artinya seseorang dari dunia luar yang tidak mengenal Wahyu Allah secara khusus dan benar, mulai dapat mengenal Allah secara benar melalui Wahyu Allah yang ada didalam Perjanjian Lama. Jadi sebelum Kristus datang, Perjanjian Lama ini yang datang lebih dahulu sebagai persiapan. Di Ruang Pratama ini terdapat terdapat banyak lilin yang menyala, yang meneladani penggunaan kandil-kandil dari Kemah Suci. Umat Orthodox menyalakan lilin-lilin disana. Disamping lilin digunakan untuk lampu-lampu tugur, yang biasanya terbuat dari gelas berwarna-warni, juga ada lampu-lampu kandil yang dinyalakan oleh minyak zaitun. Ini adalah kesinambungan dengan lampu-lampu kandil dari Bait Allah/Kemah Suci. Dan biasanya lampu ini digantung di depan ikon-ikon di kiri-kanan Gereja.Pembakaran lilin dan lampu-lampu minyak (kandil) di depan Ikon adalah kelanjutan dari praktek pembakaran kandil-kandil dari “Menorah” (Kaki Dian Dari Emas) dalam Ibadah Perjanjian Lama (Keluaran 25: 31-40). Dan Kristus yang menampakkan diri itupun berada ditengah-tengah Kaki Dian Emas ini ( Wahyu 1:12-13), dan dihadapan Takhta Allah di sorgapun ada Obor-Obor sebagai manifestasi dari kehadiran Tujuh Roh Allah ( Tujuh Manifestasi Energi Ilahi) ( Wahyu 4:5). Karena dalam Ibadah Perjanjian Lama Kandil itu dipasang di depan Gambar/Patung Kerub, dan Kandil itu ditengah-tengahnya ada Kristus yang dimuliakan, an obor-obor itu tepat di depan Takhta Allah, maka taat pada perlambangan Kitab Suci ini Gereja Orthodox menaruh lilin dan menyalakannya, sebagai lambang kandil dan obor sorgawi, ditempatkan di depan Ikon, sebagaimana yang terjadi dalam Kemah Suci, dan Penampakan Kristus, serta Takhta Sorgawi itu. Ini adalah lambang bahwa Kristus adalah “Terang Dunia” (Yohanes 8:12, 1:9), bahwa kita rela dilepaslkan dari gelap ke dalam terang ( Kolose 1:13), serta kita memohon hati kita untuk diterangi oleh Terang dari Roh Kudus agar mengerti kebenaran Sabda Ilahi ( II Kor. 4:6). Jadi lilin dan kandil itu berfungsi sebagai lambang doa. Jadi memang berbeda dengan unsur api yang digunakan juga dalam Agama Hindu atau agama-agama nonKristen lainnya, dimana api memang merupakan persembahan kepada Dewa. Bagi Iman Kristen 223 Orthodox api itu bukan untuk Allah, namun perlambangan untuk kita manusia ini. Allah itu tak butuh persembahan api, namun kita butuh lambang tentang makna terang kebenaran yang kita percayai. Sekali lagi bukan penyembahan berhala yang kita jumpai disini, namun perlambangan Kitab Suci yang ditaati secara detail tanpa mempertanyakan lagi.Ini melambangkan kebenaran Allah, terang Allah yang tak terpadamkan sepanjang segala abad.Makna simbolis pemasangan lilin menyala ini adalah ketika orang mulai masuk kedalam Perjanjian Lama, ia mulai mendapat terang tentang Kristus yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Ia mulai siap untuk masuk kedalam terang yang sesungguhnya, yaitu: Kristus yang diberitakan didalam Perjanjian Baru. Dengan memasang lilin yang menandakan ia siap untuk diterangi dengan terang yang lebih jelas lagi didalam Perjanjian Baru, maka ia membuat tanda salib, lambang bahwa Terang Kebenaran Allah hanya ditemukan didalam Kristus. Terang Kebenaran Allah dalam Kristus dan segala karyaNya itu akan dialami seseorang secara pribadi, jika diterima secara pribadi. Sesudah itu, ia masuk kedalam RUANG BAHTERA. Karena RUANG PRATAMA ini adalah merupakan simbol zaman Perjanjian Lama, maka di kirikanan temboknya, terlukislah Ikon-Ikon dari tokoh-tokoh atau kisah-kisah kudus yang ada didalam Perjanjian Lama. Dimulai dari kisah penciptaan dunia sampai kepada kisah-kisah yang lain sejauh tembok itu cukup untuk dilukisi. Kita telah tahu bahwa di dalam Bait Allah/Kemah Suci terdapat lukisan-lukisan Kerubim dan bahkan patung Kerubim dari emas. Ini adalah simbol dan ekspresi theologis dari cara penyampaian firman atau wahyu dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan wahyuNya melalui para Malaikat, itulah sebabnya Kerubim yang digambarkan. Sebab merekalah makhluk-makhluk sorgawi yang pernah menampakkan diri dan dilihat manusia di bumi dalam saat Perjanjian Lama. Gambar-Gambar Kerubim dalam Bait Allah/Kemah Suci dilihat Gereja Orthodox sebagai persiapan akan adanya ikon-ikon – meskipun patung-patung tetap dilarang penggunaannya dalam Gereja Orthodox - didalam Gereja Perjanjian Baru : Gereja Rasuliah Orthodox. Ikon-ikon (gambar-gambar theologis simbolis, lihat gambar sampul buku ini sebagai contoh) adalah menggambarkan Sang Kristus Yesus: Sabda Allah Menjelma, karena menjelma maka sekarang dapat digambar. Dan juga tokohtokoh yang terkait dengan peristiwa penjelmaan itu Maria, Yohanes Pembaptis. Serta tokohtokoh yang menubuatkan dan memberitakan penjelmaan itu Para Nabi dan Para Rasul Mereka semua ini adalah saksi-saksi iman mengenai berita keselamatan yang mula-mula diberitakan Tuhan itu. Dengan demikian mengekspresikan secara simbolis-theologis bagaimana Injil itu disampaikan. Injil disampaikan bukan melalui Malaikat lagi, tetapi secara kongkrit melalui penjelmaan Firman Allah menjadi manusia (Yohans 1:1,14, I Yoh.1:1). Firman Allah yang menjelma menjadi manusia itu sendiri yang mula-mula memberitakan Keselamatan itu, kemudian keselamatan itu disampaikan kepada kita melalui Para rasulNya , para NabiNya, Para orang kudusNya. Dengan demikian Ikon-ikon ini , secara simbolis theologis telah memberikan kepada kita suatu pengertian yang mendalam tentang kekongkritan dari pada berita Injil itu, yang secara kongkrit pula diberitakan melalui manusia-manusia yang nyata. Oleh karena itu ikon-ikon tersebut bukan hanya sekedar hiasan agamawi. Dengan bentuknya yang tidak naturalistik dan tidak realistik, melainkan simbolik, ikon-ikon itu merupakan simbol Iman, lambang ekspresi theologis iman Gereja. Dalam meletakkannya di dalam bangunan gerejapun, diatur sedemikian rupa sehingga merupakan suatu ekspresi pemberitaan dari pada Injil tersebut. Untuk itu kita perlu mengerti susunan daripada peraga visual yang mempunyai makna religius dalam bangunan Gereja Orthodox ini, agar dapat mengerti artinya secara mendalam. RUANG BAHTERA 224 Bagian kedua ini adalah tempat umat melakukan ibadah-ibadahnya. Dalam Ruangan Bahtera, lambang zaman Perjanjian Baru itu sendiri, ini terdapat langit-langit yang selalu memiliki satu kubah besar seperti dalam masjid. Ini adalah simbol theologis. yang menggambarkan sesuatu yang merangkul dan merangkum, dengan puncaknya yang bulat dan membesar, akhirnya kebawah membulat lagi. Ini melambangkan bahwa keselamatan itu bukan dari manusia, tetapi semata-mata dari Allah yang rela datang untuk merangkul, memeluk dan merangkum manusia berdosa. Keselamatan itu bukan usaha manusia pribadi, namun kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus Oleh karena itu gambar yang ada di bagian dalam kubah yang menaungi umat yang ada dibawahnya adalah Kristus sebagai Yang Maha Kuasa (Pantokrator), lambang dari kerelaan yang Mahatinggi melalui Penjelmaan FirmanNya itu untuk datang melingkari manusia, merangkul manusia. Karena didalam penjelmaan Yesus Kritus itu Allah yang mencari manusia, maka puncak atap bangunan Gereja bukanlah suatu struktur yang mencuat keatas, seperti suatu tugu atau seperti bangunan yang memanjang keatas, karena itu melambangkan usaha manusia untuk mencari Allah, namun kubah yang bulat merangkul ini. Jadi kubah ini adalah lambang yang paling tepat dari keberadaan Allah Yang Mahatinggi yang melalui FirmanNya yang menjelma itu yang telah turun untuk menaungi, melindungi, merangkul dan mengambil manusia didalam diriNya sendiri. Dengan di langit-langit dari kubah bagian dalam ini terdapat Ikon Kristus yang sangat besar, yaitu Ikon Pantokrator tadi, yang dilihat dari bawah oleh yang sedang beribadah, menunjukkan bahwa persekutuan orang percaya itu adalah : Persekutuan dengan Kristus yang merangkul mereka dan manunggal dengan mereka, sebagai Kepala Gereja. Karena Ruang Bahtera melambangkan zaman Perjanjian Baru, maka Ikon-ikon yang ada disekitar temboknya adalah gambar-gambar dari peristiwa-peristiwa Perjanjian Baru, mulai dari Kelahiran Kristus, bahkan kelahiran Maria yang meskipun tidak dituliskan didalam Perjanjian Baru, itu digambarkan disana. Namun itu itu tak hanya terbatas pada kisah dalam kitab Perjanjian Baru saja, tetapi juga peristiwa yang terjadi didalam Gereja Perjanjian Baru, yaitu Gereja Rasuliah Orthodox sejak zaman semula, mulai dari sejarah awal sampai dengan konsili-konsili, kisah orang-orang kudus , dan semua saksi-saksi Kristus juga digambarkan disana. Ini untuk mengingatkan bahwa umat Kristen itu tidak sendirian, namun merupakan kesatuan yang utuh dengan Gereja sepanjang segala abad. Disitulah orang-orang Kristen dipersatukan didalam penyembahan dengan orang Kristen yang sudah mendahului mereka di zaman yang lalu, yang semuanya itu akhirnya dipersatukan dengan Kristus yang ada di Sorga, yang ada diketinggian. Dalam gedung Gereja itu digambarkan didalam kubah itu sendiri. Inilah ekspresi-theologis kesatuan Gereja sebagai: Tubuh Kristus itu secara lengkap. Dengan demikian didalam batasan tembok-tembok gedung Gereja Orthodox, ada satu simbol kosmos (dunia) yang baru. Dunia yang dipenuhi dengan kekudusan dari orang-orang kudus Kristus,dunia yang dipenuhi dengan kehadiran Kristus, yaitu dunia yang baru dimana tidak ada lagi kesengsaraan dan kematian, yang ada hanya kekekalan dan sukacita serta kebahagiaan. Sesuatu yang kita harapkan secara eskatologis, secara simbolis-simbolis dinyatakan didalam batasan gedung Gereja Orthodox, karena disitu simbol-sibol tentang masa eskatologis, masa panunggalan antara seluruh umat manusia , Gereja sepanjang segala abad dengan Kristus diwartakan secara simbolis. Kerajaan Allah yang sedang dinanti-nanti itu sudah hadir didalam pengalaman orang percaya pada waktu ia ikut ambil bagian didalam persekutuan umat percaya yang menyembah Kristus didalam persekutuan darah dan tubuhnya dalam Perjamuan Kudus, di dalam bangunan Gedung Gereja tadi. RUANG MEZBAH Sebagaimana dalam Kemah Suci/Bait Allah terdapat Tabir, maka antara Ruang Bahtera dan Ruang Mezbah (bagian ketiga) ini juga terdapat satu tabir kayu atau benda keras yang disebut 225 dengan Ikonostasion, yang melambangkan tabir dari pada Bait Allah di dalam Perjanjian Lama. Bedanya adalah di dalam Ikonostasion ini kita melihat tabir yang menutupi pandangan antara umat yang ada di Ruang Bahtera dengan apa yang ada di dalam Ruang Mezbah ini ada pintu besar yang disebut : Pintu Indah (Gerbang Indah ) - disitulah terdapat tirai yang berwarna kirmizi seperti warna tabir Kemah Suci, ditutup pada saat tidak ada ibadah dan dibuka pada saat ada ibadah-, tepat di tengah-tengah Ikonostasion, sering disebut sebagai Pintu Gerbang Raja. Karena di situ Sang Raja : Yesus Kristus keluar dan masuk, yang diekspresikan dengan masuk dan keluarnya Kitab Injil sebagai lambang kehadiran Kristus: Firman Allah yang mengajar dan Perjamuan Kudus (Roti dan Anggur) sebagai ekspresi Kristus Sang Imam Besar yang mempersembahkan Tubuh dan Darah Kristus sendiri yang diarak melalui Pintu Gerbang tengah ini, pada saat arak-arakan Liturgi Suci. .Ini menunjukkan bahwa tabir yang menghalangi manusia masuk kehadirat Allah itu telah dikoyakkan dan tak menghalangi manusia lagi, karena Kristus telah mengoyakkannya pada waktu ia disalib.Disamping itu dikiri-kanan Gerbang Indah ini yaitu di sebelah Utara dan Selatan, ada dua pintu, karena Gereja Orthodox selalu membujur dari timur ke barat dan pintu depan menghadap ke barat serta gedung Gereja itu mengarah ke timur. Ini sesuatu yang simbolik diambil dari Alkitab dimana Timur melambangkan: Taman Eden berada (Kejadian 2:8). Dengan gedung Gereja diarahkan ke timur menunjukkan bahwa umat percaya ialah menghadap kepada Eden, karena kewarga-negaraan kita adalah di dalam sorga (Filipi 3:20-21). Ini juga simbol bahwa Sang Yesus Kristus akan datang seperti kilat yang memancar “dari Timur ke Barat” ( Matius 24:27). Ini untuk mengingatkan akan kehadiran masa eskatologis itu tetap merupakan suatu harapan bagi Gereja di dalam penyembahannya. Timur secara realita jasmani adalah tempat terbitnya terang, ini berarti adalah bahwa Gereja mengarahkan dirinya kepada Sang terang Sejati (Yohanes 8:12), yaitu Tuhan Yesus Kristus , Sang Surya pagi dari tempat tinggi ( Lukas 1:78). Dengan demikian Gereja selalu menyadari bahwa masa eskatologis itu sudah hadir di tengah-tengah mereka karena Kristus sudah datang. Namun masa eskatologis itu masih merupakan suatu yang harus diharapkan pemenuhannya segera Yesus datang lagi yang kedua kali. Jadi di dalam penyembahan itu , Gereja selalu disadarkan akan kesegeraan kedatangan Kristus . Adanya ikonostasion ini merupakan kesinambungan dengan tabir yang ada Kemah Suci di dalam Perjanjian Lama, namun terdapatnya pintu-pintu pada Ikonostasion`menunjukkan ketidaksinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.Di pusat Ruang Mezbah tepat di arah Pintu Gerbang Raja itu dipasang Mezbah yang dari luar melalui Pintu Gerbang Raja umat dapat melihat, ini adalah: Meja Perjamuan Kudus. Dengan demikian arah atau kiblat dari penyembahan Gereja adalah kepada Mezbah, yaitu arah Persekutuan dan Panunggalan dengan Kristus melalui Darah dan TubuhNya di dalam Perjamuan Kudus ini (I Kor. 10:16,17, Yohanes 6:53-58). Di Ikonostasion terdapat Ikon-Ikon yang dipasang secara beraturan sesuai dengan makna simbolis-theologisnya, karena memang didalam Gereja Orthodox , ikon-ikon ini disebut sebagai theologia dalam warna atau theologia dalam lukisan. Di sebelah kiri tepat di sisi Pintu Gerbang Raja itu dipasang Ikon Sang Kristus sendirian, sedangkan di sebelah kanannya tepat di sisi yang lain dari Pintu Gerbang Raja dipasang Ikon Sang Perawan Maryam menggendong Bayi Yesus Di sebelah kiri Ikon Kristus, ditempatkan Ikon Nabi Yohanes Pembaptis, sedang disebelah kanan Ikon Sang Perawan Maryam diletakkan Ikon Tokoh Suci tertentu yang atasnya Gereja itu dinamakan. Misalnya: Jika Komunitas Gereja itu bernama Paroikia Rasul Petrus, maka Ikon Petruslah yang dipasang disitu adalah, jika namanya Paroikia Roh Kudus, maka Ikon Peristiwa Patekosta. yang dipasang disitu; jika namanya Paroikia Kristus Juruselamat, maka Ikon Kristus yang dipasang, dan seterusnya. Demikianlah bentuk baku pemasangan Ikon-Ikon pada Ikonostasion. Jika Ikonostasion itu berukuran panjang, ikon-ikon lain yang dapat merefleksikan simbol-simbol theologis dari ajaran Gereja bisa dipasang. Dan 226 hal ini terserah kepada kehendak jemaat setempat. Selanjutnya di Pintu Utara dan Pintu Selatan, selalu dipasang Ikon Malaikat Mikael dan Malaikat Gabriel. Disamping adanya Mezbah di dalam Ruang Mezbah pada sudut sebelah kiri arah utara terdapat Meja Proskomidi bagi mempersiapkan Roti dan Anggur bagi Perjamuan Kudus, ini berkesinambungan dengan Mezbah Korban Bakaran pada Kemah Suci, namun tak berkesinambungan karena tempatnya justru dalam Ruang Mezbah dan bukan untuk menyembelih Kambing namun untuk memotong-motong Anak Domba Allah dan mencurahkan DarahNya: Roti dan Anggur untuk Perjamuan Kudus. Alat-alat yang terdapat diatas Meja Proskomidi adalah Cawan tempat Anggur dan Piring Suci tempat Roti. Tombak Suci lambang tombak yang digunakan menusuk lambung Kristus, berfungsi sebagai Pisau pemotong Roti. Lalu Penutup Cawan dan Penutup Piring Suci. Supaya Piring Suci datar ini dapat ditutup dengan Penutup yang terbuat dari kain itu, maka ada penyengkang dari logam yang berbentuk Salib melengkung dibawahnya, membentuk empat kaki, yang disebut Bintang Suci, lambang dari Bintang yang ada diatas Bayi Yesus di Betlehem. Kemudian Cawan dan Piring Suci yang masing-masing dengan penutupnya sendiri-sendiri itu, diturup secara bersama oleh kain empat persegi yang lebar disebut :Aera (Tudung Suci). Demikianlah setelah ditutup dengan Tudung Suci ini, maka Roti dalam Piring Suci, dan Anggur dalam Cawan itu secara bersama melambangkan kelahiran Kristus di Betlehem. Dari Meja Proskomidi inilah Roti dan Anggur diarak keluar melalui Pintu Gerbang Utara oleh Presbiter melewati Jemaat di Ruang Bahtera sampai masuk ke Pintu Gerbang Raja, untuk diletakkan diatas Mezbah yang ada di tengah. Mezbah itu sendiri adalah lambang Takhta Kristus namun sekaligus KuburanNya. Karena disitulah Injil selalu ditahtakan, dan disitu pula Roti dan Anggur itu dikonsekrasi sebagai Tubuh dan Darah Kristus. Di dalam Ruang ezbah juga terdapat Ukupan yang merupakan kesinambungan dengan Korban Ukupan Perjanjian Lama, yang dari waktu ke waktu Presbiter akan mendupai ruangan dan benda-benda serta orang yang hadir di Gereja. Dupa adalah lambang doa-doa orang-orang kudus yang dipersembahkan kepada Allah ( Wahyu 5:8,8:3-4), dan yang membubung secara berkenan kepada Allah. Karena Iman Orthodox meyakini akan kesatuan Gereja yang di Firdaus dan yang dibumi, yang ikonikon itulah lambang kehadiran umat beriman yang di Firdaus, maka setiap kali Gereja beribadah mereka yang di Firdaus itupun ikut beribadah. Demikianlah yang didupai pada saat ibadah itu bukan hanya ikon-ikon saja namun juga masing-masing anggota jemaat yang hadir. Dan jika mereka didupai lalu mereka membuat gerakan tanda salib. Ini berarti ketika mereka berdoa, doa mereka itu disatukan dengan doa-doa orang kudus dan dengan dupa lambang doa yang membubung ke hadirat Allah yang berkenan dan berbau harum. Dupa ini digunakan dalam seluruh ibadah Perjanjian Lama ( Keluaran 30:7-8), ketika sudah masuk zaman Perjanjian Baru (Lukas 1:9-10), pada saat kelahiran Kristus ( Matius 2:11), serta merupakan praktek ibadah yang konstan di sorga ( Wahyu 5:8, 8:3-4). Karena orang kuduspun ikut berdoa, dan doa mereka disatukan dengan doa umat yang sedang beribadah, maka pada saat umat didupai maka orangorang kudus sebagai saudara-saudara seiman yang tetap masih hidup yang dilambangkan dalam kehadiran ikon-ikon mereka itupun didupai. Ini menunjukkan keyakinan akan “Gereja yang Satu” baik yang di Firdaus maupun yang dibumi.Sedangkan prosesi (arak-arakan) adalah meniru Israel jika mereka mengarak Peti/Tabut Perjanjian (Tabernakel) seperti halnya yang dilakukan Raja Daud ( II Samuel 6: 15), dan mendramakan secara Liturgis arak-arakan atau prosesi yang dilakukan oleh Yesus ketika memasuki Yerusalem pada masa sengsaraNya ( Matius 21:1-11, Markus 11:1-10, Lukas 19:28-38, Yohanes 12:12-19) dengan lambang ikon-ikon Kristus, dan diperluas dengan ikon-ikon lainnya. Jadi ini bukan penyembahan ataupun ibadah kepada orang kudus maupun kepada gambar, sebab kalau itu dianggap ibadah dan penyembahan, jemaat yang didupai itupun berarti disembah dan diibadahi, berarti masing-masing anggota jemaat saling menyembah dan mengibadahi satu sama lain, sebab mereka juga didupai. Ini sungguh 227 pengertian yang absurd. Jadi dalam pendupaan inipun implikasi ajaran Kitab Suci secara rinci itu dipraktekkan secara apa adanya, tak diubah, tak dikurangi, tak ditambah ataupun dibuang. Disisi belakang Mezbah terdapat Tabernakel (Artoforion =Penyimpanan Roti Perjamuan Kudus yang sudah dikonsekrasi) sebagai kesinambungan dari Peti Perjanjian dari Kemah Suci yang berisi Manna. Tepat di belakangnya terdapat Salib Besar dengan Ikon Kristus tersalib dilekatkan padanya, dan diantara Tabernakel dan Salib ini sering juga dipasang Menorah, Kaki Dian yang bercabang Tujuh, untuk menggambarkan Kristus yang berjalan-jalan diantara Kaki Dian (Wahyu 2:1) dan juga simbol Gereja harus selalu memiliki Tujuh Kaki Dian yaitu Tujuh manifestasi energi ilahi. Di kiri dan kanan Salib terdapat relief Kerubim terbuat dari logam bulat yang disebut “Exapteriga = Si Enam Sayap” yang melambangkan bahwa Kristus itu selalu diiringi Malaikat, namun juga merupakan kesinambungan dengan Patung Kerubim diatas Peti Perjanjian. Dan ditembok belakang diatas dekat dengan langit-langit terdapat Ikon “Platitera Toon Ouranoon” (“Lebih Luas dari Sorga”), yaitu Ikon Sang Perawan Maryam yang sedang berdoa dengan Ikon Kanak-Kanak Yesus yang menempel tepat ditengah dadanya. Ini adalah simbol bahwa kehidupan Umat Kristen Orthodox itu harus selalu berpusatkan pada ajaran Kitab Suci sebagai bimbingan dan aturan kehidupannya, karena Injil ditakhtakan di Mezbah. Namun untuk mendapatkan kekuatan menjalankan perintah-perintah Kitab Suci itu, ia harus diberi kekuatan melalui kuasa Roh Kudus di dalam Sakramen, itulah sebabnya Artoforion terletak tepat sesudah Injil. Cara menjalankan perintah-perintah Allah ini adalah dengan rela memikul Salib Kristus dalam Energi Roh Kudus, itulah sebabnya Menorah dan Salib Kristus terletak tepat dibelakang Artoforion. Tujuan akhir dari semua itu adalah menjadi seperti Ikon Platitera yang ada diatas itu. Yaitu keterbukaan kepada Allah, karena dalam Ikon ini tangan Perawan Maryam terbuka dalam sikap doa, dan kerelaan menempatkan Kristus sebagai pusat hidupnya, karena Ikon Kana-kanak Kristus berada tepat di dada Maryam. Serta mencapai panunggalan dengan Kristus, sebagaimana Ikon Kanak-Kanak Yesus itu menempel dan melekat pada Maryam. Jadi Ikon Maryam itu adalah simbol panggilan Gereja untuk manunggal dengan Kristus sendiri. Ini dapat juga kita lihat keluar ke Pintu Gerbang Raja. Itu merupakan pintu keluar-masuk arak-arakan Injil dan arak-arakan Perjamuan Kudus. Artinya Umat secara bersama diarakkan kepada panunggalan dengan Kristus sendiri. Itulah merupakan arah akhir dari pada orang Kristen: Manunggal dengan Kristus. Ke arah Mesbah yang di tembok timur yang paling ujung sendiri menghadap kepada jemaat, telah kita Ikon Platitera, yang juga disebut: Ikon Maryam Sang Tanda. Ini adalah ekspresi nubuat Nabi Yesaya : “Sebab itu Tuhan sendiri yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya , seorang perempuan muda (seorang dara) akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14). Karena Anak Dara yang akan melahirkan seorang Anak Laki-Laki yang disebut Imanuel itu sebagai pertanda , maka ikon Maryam dengan Kanak-Kanak Yesus yang ada diatas mezbah itu disebut Maryam Sang Tanda. Adalah menarik bahwa dalam Al-Qur’an Maryam dan Isa itu disebut sebagai “Tanda” atau “Ayat”:” Dan perempuan yang menjaga kesuciannya (Maryam), lalu Kami hembuskan kepadanya Ruh Kami. Dia (Maryam) dan anaknya (Isa,Yesus), Kami jadikan tanda (wa aj’lnaaha wa aabnahaa aayatan = dan kami jadikan ia dan anaknya tanda) untuk semesta alam” ( Al Anbia 91).Ini semua bermakna bahwa tujuan akhir dari panunggalan orang percaya melalui panunggalan Sakramental di dalam Tubuh dan Darah Kristus adalah untuk manunggal dengan Kristus secara nyata. Panunggalan ini sudah terlebih dulu terjadi melalui masuknya Sang Sabda Allah ke dalam rahim Maryam, mengambil dari Maryam sel telurnya. Sang Sabda telah menjadi “Buah Rahim” Maryam (Lukas 1:41-43). Melalui pengambilan kemanusiaan oleh Firman Allah melalui Maryam, kemanusiaan kita sudah manunggal dengan Sang Sabda, berarti manunggal dengan Allah.. Maka di dalam diri Maryam, panunggalan antara Khalik-Makhluk itu 228 telah terjadi. Sebagaimana Maryam telah manunggal dengan Penciptanya – karena Allah mencipta segala sesuatu melalui Firman itu - yang telah menjadi Anaknya, maka setiap orang melalui persekutuannya dengan Kristus yang diekspresikan dengan persekutuan (ikut ambil bagian) di dalam Tubuh dan DarahNya melalui Perjamuan Kudus mempunyai tujuan akhir bagi manunggal dengan Kristus sebagaimana Maryam sudah manunggal denganNya. Selanjutnya, Ikon Kristus di sebelah kiri pintu Gerbang Raja, adalah lambang kehadiranNya. Kristus selalu hadir ditengah-tengah Gereja, namun kehadiranNya ini akan menjadi permanen pada waktu “Parousia” (Masa Esktologis:Yesus datang kedua kali), sehingga mata iman kita selalu diarahkan pada Masa Eskatologis, saat Sang Kristus akan datang untuk kali yang kedua di akhir zaman. Masa Eskatologis itu sudah mulai masuk ke dalam dunia melalui Penjelmaan Sang Sabda, ketika Ia menjelma menjadi manusia melalui kelahiranNya oleh Sang Perawan Maryam. Ini disimbolkan dengan Ikon Maria yang menggendong bayi Yesus disebelah kanan pintu Gerbang Raja tersebut. Dalam Gereja Orthodox Ikon Maria jarang dilukiskan berdiri sendiri. Ia selalu bersama Kristus, karena Maryam mempunyai nilai dan dihormati dalam theologi Gereja Orthodox hanya karena hubungannya dengan Inkarnsi Sang Kristus. Tanpa itu ia sama dengan wanita yang lain yang tidak mempunyai arti secara khusus. Jadi semua Ikon Maryam dalam Geereja Orthodox selalu dimengerti sebagai simbol Inkarnasi Sabda Allah.Ikon Maryam yang ada di sebelah kanan Pintu Gerbang Raja ini menggambarkan sudah datangnya keselamatan itu di dalam penjelmaan Sang Sabda. Masa Eskatologis itu sudah mulai menampakkan diri dengan masuknya Sang Sabda (mengenakan daging kemanusiaan kita) melalui rahim Maryam. Dengan demikian, terdapat suatu ke-tegang-an rohani di dalam umat Allah menuju kepada panunggalan - yang dilambangkan menghadap kepada mezbah - , yaitu panunggalan dengan Kristus yang dilambangkan dengan ikon Maria Sang Tanda. Ke-tegang-an rohani ini adalah ke-tegang-an antara “Masa Sudah”, karena Sang Sabda telah datang - dilambangkan dengan ikon Maria menggendong Bayi Yesus- berarti keselamatan itu “Sudah terjadi” , dengan “Masa Belum”, karena kehadiran Sang Sabda secara permanen dalam panunggalan dengan UmatNya pada Masa Eskatologis itu –dilambangkan dengan ikon Kristus di sebelah kiri pintu Gerbang Rajamasih belum terjadi, masih menunggu saat yang akan datang. Dengan demikian Gereja selalu diingatkan , bahwa keselamatan itu adalah suatu proses. Keselamatan itu sudah terjadi , karena Sag Sabda sudah datang di dalam kelahiranNya melalui Maryam, namun keselamatan itu merupakan suatu yang akan dinyatakan pada akhir zaman yaitu pada masa eskatologis dikala Sang Sabda datang. Diantara ke-tegang-an yang sudah dan yang belum - yang disimbolkan oleh Ikon Maryam menggendong Bayi Yesus dan Ikon Kristus tersebut -, Gereja selalu dipanggil untuk menghadapkan dirinya kepada panunggalan yang terus-menerus dengan iman (menuju Sang Sabda), digambarkan Umat menghadap kepada Mezbah dimana Presbiter membacakan Kitab Suci dan menyampaikan Kotbah serta membagikan Tubuh dan Darah Kristus. Dengan disimbolkan Presbiter keluar membawa Roti dan Anggur Perjamuan dari dalam Mezbah, inilah simbol bahwa dengan menghadap Mezbah umat selalu dipanggil untuk mencapai Panunggalan dengan Kristus. Sehingga kaum beriman selalu diingatkan bahwa diantara masa yang sudah (“Saya sudah diselamatkan”), dengan masa yang belum (“Saya masih akan diselamatkan”) dalam penggenapan keselamatan itu akan terjadi pada akhir zaman -, mereka selalu dipanggil untuk memperbaharui dirinya di dalam ketaatannya akan Firman Allah dan di dalam panunggalan dengan Kristus melalui iman dalam partisipasi dengan Sakramen.Dengan demikian Ikon Maryam bersama Bayi Yesus dan Ikon Kristus yang ada di kiri dan kanan Pintu Gerbang Raja adalah ekspresi theologis dari proses keselamatan yang bersifat tiga ganda: “sudah diselamatkan” (Kristus sudah datang dalam Inkarnasi: Ikon Maryam bersama Bayi Yesus), “sedang diselamatkan” (Umat masih harus selalu mengarahkan diri pada panunggalan: Pintu 229 Gerbang Raja, Mezbah) dan “akan diselamatkan” (Kristus akan menyempurnakan keselamatan itu diakhir zaman: Ikon Kristus). Ikon Yohanes Pembaptis di sebelah kiri Ikon Kristus, adalah lambang sebagaimana yang pertama kali mengenal dan menyodorkan Firman menjadi Daging sesudah Maryam itu, adalah Yohanes Pembaptis, demikianlah Gereja selalu dipanggil untuk memberitakan Firman itu selama masih ada dunia ini. Dunia harus selalu memiliki semangat Yohanes Pembaptis ditengah-tengah sejarahnya dalam dunia ini. Ikon Nama Gereja setempat, mengingatkan Gereja itu didedikasikan bagi melayani manusia, sesuai dengan teladan kehidupan Orang Kudus yang atasnya Gereja itu dinamakan, atau sesuai dengan hikmat dan makna dari peristiwa yang atasnya Gereja itu dinamakan. Ikon Para Malaikat: Mikhael dan Gabriel di pintu Utara dan Selatan melambangkan masuk dan keluarNya Kristus itu selalu diiringi oleh para Malaikat, tanpa terlihat oleh mata manusia, dengan demikian para Malaikat selalu hadir dalam setiap Ibadah Gereja. . Makna simbolis theologis dari struktur bangunan Gereja Orthodox ini sudah bersifat baku. Sehingga dengan simbol-simbol itu – serta beberpa praktek simbolis theologis lainnya theologia Orthodox dapat bertahan untuk mempertahankan Iman Rasuliah tersebut didalam keutuhan dan kemurniannya tanpa berubah sedikitpun secara hakiki, walaupun ditengah-tengah penyiksaan-penyiksaan yang terjadi. Gereja Orthodox mentafsirkan Alkitab selalu diilhami oleh segala sesuatu apa yang dilihat dan apa yang dialami didalam kehidupan Gereja. Peraga-peraga Visual yang mempunyai arti simbolis-theologis tersebut menjadi penjaga dan pegangan bagi Umat Orthodox untuk tidak lari dalam pentafsirannya terhadap Alkitab dan Ajaran Rasuliah, dari kebenaran yang dimaksud oleh Alkitab dan Ajaran Rasuliah itu sendiri. Kemurnian makna Alkitab dijaga agar tidak jatuh ajara-ajaran yang menyimpang.. Melalui semuanya itu, berita Alkitab dijaga keutuhannya, serta semangat kehidupan Gereja mula-mula , tetap dijaga kelangsungannya. Imamat Dalam Gereja Orthodox Theologia Protestan mengajarkan bahwa semua orang percaya adalah imam-imam – tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Theologia Roma Katolik mengajarkan bahwa hanya para pastor, Uskup atau Paus itulah Imam,, malahan Paus disebut “Pontifex Maximus” ( Imam Agung), sedangkan umat hanyalah kaum awam saja. Dalam theologia Potestan jabatan “pendeta” bukanlah dimengerti sebagai jabatan imam namun hanyalah jabatan seorang pelayan, seorang gembala atau seorang Guru. Dia bukanlah imam yang memiliki kuasa menjalankan Sakramen Gereja, apalagi Sakramennya hanya dianggap simbol atau lambang saja, dan tidak memiliki kuasa pada dirinya sendiri. Karena theologia Protestan tidak percaya pada imamat, itu juga tidak percaya pada hirarki kepemimpinan imam. Theologia Protestan percaya bahwa Gereja adalah satu tubuh yang memiliki satu Kepala, yaitu Yesus Kristus saja. Tidak ada kepala manusiawi, Ke-Kepala-an Kristus atas Gereja tidak mengijinkan adanya kekepalaan manusiawi. Oleh karena itu tak percaya adanya wibawa hirarkhi Gereja apapun. Orang-orang Anglikan adalah perkecualian dalam hal ini, karena meskipun mereka Protestan, mereka memiliki Imamat Kudus dalam Gereja mereka yang berbentuk jabatan: Episkop (Bishop, Uskup), Imam (Pastor), dan Diaken. Mereka juga memiliki Uskup Agung (Archbishop), misalnya Uskup Agung (Archbishop) dari Canterbury dan Uskup Agung dari York dan lain-lainnya. 230 Namun demikian, mereka mengijinkan Uskup mereka menikah, dan bahkan mereka mentahbiskan pastor wanita dan uskup-uskup wanita. Sedangkan mengenai Imamat ini sikap Gereja Orthodox adalah demikian, memang Kristus adalah satu-satunya Imam Agung sebagaimana yang telah kita bahas diatas, namun setelah pengakuannya akan Ke-Mesias-anNya, Kristus mengatakan kepada Petrus: ‘ Engkau adalah Petrus (“Batu-Karang”), dan diatas Batu Karang ini (“Pengakuan Petrus dan Diri Petrus sebagai wakil RasulRasul”) Aku akan mendirikan jemaat (Gereja)Ku…” ( Matius 16:18). Bahwa Gereja itu didirikan atas dasar para Rasul dijelaskan dalam Efesus 2:20, dengan Kristus sebagai batu-penjurunya. Dengan demikian para rasul adalah cikal-bakal Gereja. Itulah sebabnya ketika Yesus masih hidup di dunia, Dia telah mempersiapkan adanya organisasi dari hirarki Gereja ini: Petrus sebagai yang pertama (Matius 10: 2), namun dia pertama dalam kesatuan dan kesejajaran dengan segenap rasul lainnya (Matius 10: 2-4). Dan diantara kedua belas rasul itu disamping Petrus sebagai yang pertama ada, satu kelompok yang terdiri dari tiga orang yang lebih dekat kepada Yesus: Petrus, Yakobus, Yohanes (Markus 5: 37, Matius 17:1, Matius 26:37), serta satu diantara mereka yang diangkat jadi bendahara: Yudas Iskariot ( Yohanes 12:6). Baru kelompok para wanita yang membiayai kebutuhan dari rombongan ini (Lukas 8:3), dan kelompok Tujuh Puluh Utusan ( Lukas 10:1). Sesudah Kristus bangkit dan naik ke sorga, organisasi yang telah dimulai Yesus ini mulai dimantapkan dengan diadakannya rapat pertama yang dipimpin Petrus ( Kisah 1:15-26) untuk menggantikan kedudukan Yudas Iskariot yang telah mati bunuh diri. Jabatan Yudas ini disebut dalam bahasa asli Yunani sebagai “ teen episkoopeen autou” (Kisah 1:20), yaitu “episkopnya”. Berarti sejak masa awal ini jabatan rasul sudah dimengerti sebagai jabatan “Episkop” yang dalam bahasa Arab menjadi “Al-Uskuf” dan bahasa Indonesia Katolik Roma “Uskup”. Sejak jaman awal para rasul sudah mulai mentahbiskan, sebagaimana yang tertulis:” Ditiap-tiap jemaat (“ekklesia”: Gereja) rasul-rasul itu menetapkan (“kheirotoneesantes” : mentahbiskan) penatuapenatua (“presbyterous” : para presbyter) bagi jemaat itu…” (Kisah Rasul 14:23 ).Dan Petrus menyebut dirinya sebagai “teman-penatua” (“sympresbyteros” = sesama presbyter) (I Petrus 5:1 ), yang berarti para presbyter ini nanti akan menggantikan kedudukan rasul-rasul sebagai gembala jemaat (Kisah 20:17, 28), dan sekaligus “penilik” (“episkopous” para episkop), jabatan yang mana juga disebut sebagai jabatan rasul juga (Kisah 1:20). Para “penatua” (“presbyter”) inilah yang berada di sekitar rasul pada saat Konsili Rasuliah yang pertama di Yerusalem (Kisah 15:4,6 22), dan berada dibawah kepemimpinan Yakobus di Yerusalem ketika Paulus “sowan” kepada Yakobus sebagai pimpinan Gereja Yerusalem (Kisah 21:17-18, Galatia 2:9). Presbyter dan Episkop pada saat itu masih merupakan jabatan yang sama, sebagaimana para presbyter (penatua) di Kisah 20:17 itu disebut juga episkop (penilik) yang menggembalakan Gereja di Kisah 20:28. (Titus 1:8-9) Dan Episkop (Penilik Jemaat) inilah yang menjadi Gembala Gereja di dampingi oleh Diaken ( Filipi 1:1). Sehingga menjelang masa tua Rasul Paulus, kedudukan Episkop (Penilik Jemaat ) ( I Tim. 1-7), kedudukan Presbyter (Penatua) ( I Tim. 5:17-22) dan kedudukan Diaken (I Tim 3: 8-13), adalah merupakan jenjang Hirarkhi dalam Gereja yang telah mapan dan ditetapkan para rasul sendiri. Dan jenjang jabatan dalam Perjanjian Baru dari zaman rasuliah diteruskan tanpa putus secara mata-rantai dalam Gereja Orthodox, bahkan Gereja Roma Katolik juga, serta segenap Gereja yang berasal dari zaman rasuliah Purba, yaitu zaman Perjanjian Baru sendiri: Non-Kalsedonia (Monofisit), dan Pre-Kalsedonia Assyria (Nestorian). Berarti bentuk Gereja yang ada dalam Perjanjian Baru, itu tak pernah tanpa organisasi, dan tak pernah tanpa hirarkhi, serta tak pernah tanpa ada pimpinan manusia, meskipun Yesus adalah Kepala Gereja. Bahkan sejak Yesus masih hidup di dunia, jenjang itu sudah ada, organisasi itu sudah terbentuk, disekitar Yesus sendiri sebagai Kepala Tunggal mereka ini.Dan ketika Yesus akan mendirikan GerejaNyapun, landasannya adalah mereka ini sebagai batu-karangnya. Dan patut dicatat dari semua jenjang 231 hirarkhi yang ada dalam Alkitab itu sebutan “pendeta”, “pendeta muda” itu memang tidak ada, karena itu adalah istilah pinjaman dari Agama Hindhu-Buddha, bukan istilah Alkitab. Jenjang hirarkhi episkop, presbyter dan diaken ini adalah jenjang hirarkhi keimaman sebab mereka adalah penerus dan pengganti lanjut para rasul. Padahal para rasul ini yang ditetapkan sebagai pengajar ( Matius 28:16-19) sekaligus pelaksana sakramen baptisan, perjamuan kudus ( Lukas 22: 14,19, ) , pengakuan dosa ( Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23), krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II Kor.1:21-22 ), perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan semua sakramen lainnya. Bahwa I Petrus 2: 9 mengatakan bahwa kita semua adalah “bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus” tak berarti bahwa semua individu itu adalah imam (Wahyu 1:6), namun Gereja secara kolektif itu adalah imam bagi dunia ini, karena Gerejalah yang mengantarai berkat Allah bagi dunia melalui berita Injilnya serta rahmat sakramen yang dilakukan di dalamnya. Ide ini diambil dari Perjanjian Lama dimana Israel sebagai bangsa secara kolektif disebut “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” ( Keluaran 19:5) yang secara tepat dikutip dalam I Petrus 2:9 sebagai imamat yang rajani atau kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Dan dalam konteks aslinya bagi Israel itu sama sekali tak menunjuk bahwa semua orang Israel itu adalah imam. Namun menunjuk bahwa Israel sebagai bangsa itu adalah pengantara berkat Allah kepada dunia, dan fungsi ini sekarang diambil alih Gereja. Dan karena fungsinya inilah Israel memiliki sakramen-sakramen yaitu korban-korban dan upacara-upacara dan imam-imam yang menjalankannya. Jika I Petrus 2:9 itu dikutip secara harafiah dari Keluaran 19:5, mengapa maknanya harus dimengerti secara berbeda dalam Iman Kristen? Jika demikian halnya, jelaslah bahwa bukan orang per orang dalam Gereja itu imam-imam secara mandiri sama seperti halnya dalam Israel juga, namun Gereja sebagai Tubuh Kristus secara kolektif itulah imam dan kerajaan bagi Allah ( Wahyu 1:6). Sama dengan keimaman Israel itu ditunjukkan adanya fungsi keimaman dari mereka yang telah ditunjuk dari antara keturunan Harun dan orang-orang Lewi, demikianlah dalam Gereja fungsi keimaman ini dijalankan oleh para episkop, presbyter dan diaken. Mereka inilah yang menjalankan fungsi keimaman kolektif dari Gereja. Dan Rasul Paulus menyejajarkan fungsi para pemberita Injil yaitu para rasul dan penerusnya itu dengan imam-imam Perjanjian Lama dalam kata-kata seperti ini:”Tidak tahukah kamu bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus ( Imam Agung, imam- imam dan orang-orang Lewi) mendapat penghidupannya dalam tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah (Imam Agung dan imam-imam) mendapat bagian mereka dari mezbah itu?. Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil ( para rasul dan penerusnya: episkop, presbyter dan diaken) harus hidup dari pemberitaan Injil itu. ( pengajaran Injil dan praktek-praktek sakramennya)” – I Kor.9:13-14 – Ayat ini jelas menyejajarkan fungsi imam-imam Perjanjian Lama dengan para pelayan Perjanjian Baru. Gereja secara kolektif adalah Tubuh Kristus, dan Kristus adalah Imam Besar ( Ibrani 3:1), maka Gereja sebagai “kepenuhan Kristus” ( Efesus 1:23) pastilah memiliki sifat keimaman ini. Itulah sebabnya Gereja disebut “imamat yang rajani”. Dan para episkop, presbyter dan diaken adalah ikon-ikon yang hidup dari kehadiran keimaman Kristus dalam Gereja itu. Mereka bukan menggantikan keimaman Kristus, namun mereka menyatakan dan memanifestasikan keimaman Kristus yang tunggal itu sebagai ikon-ikon atau gambar-gambar Kristus yang hidup. Bahwa keimaman mereka terkait dengan keimaman kolektif Jemaat atas Gereja, terbukti dalam praktek Perjamuan Kudus, imam tak dapat melaksanakan Perjamuan Kudus jika tak dihadiri setidak-tidaknya dua atau tiga anggauta awam, sebab keimaman seorang presbyter terkait dengan imamat rajani dari seluruh Gereja. Dan kesejajaran keimaman Perjanjian Lama dengan keimaman Perjanjian Baru sebagai manifestasi Keimaman Kristus yang tunggal itu terlihat pada jenjang hirarkhisnnya. Dalam Perjanjian Lama terdapat Imam Agung dalam Perjanjian Baru ada Episkop. Dalam Perjanjian Lama ada imamimam dalam Perjanjian Baru ada Presbyter. Serta dalam Perjanjian Lama ada orang-orang Lewi yang membantu para Imam dalam Perjanjian Baru ada para Diaken yang membantu para 232 presbyter atau Episkop:”….semua orang kudus ….di Filipi, dengan Para Penilik Jemaat (Episkop) dan Diaken (sebagai pembantu mereka)” ( Filipi 1:1). Dan ajaran Perjanjian Baru inilah yang tetap dipelihara tanpa berubah dalam Gereja Orthodox, karena Gereja Orthodox adalah Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang masih tetap tegar hadir di dunia selama 2000 tahun ini. Diantara para Episkop ini ada yang diangkat sebagai yang mengepalai beberapa Episkop lainnya dengan jabatan Episkop Agung, ada yang ditempatkan di Ibukota dengan jabatan Metropolitan. Ada yang mengepalai suatu wilayah negera tertentu yang disebut Katholikos. Ada yang mengepalai Lima Pusat Gereja Purba : Yerusalem. Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel dan Roma, dengan gelar “Patriarkh” atau “Paus”. Patriarkh pertama di Yerusalem adalah Petrus sebagai Ketua Kolega para Rasul, dan ketika Petrus masih hidup di Yerusalem telah bergeser kepemimpinan Yerusalem kepada Yakobus saudara Sang Kristus sehingga dia yang akhirnya disebut Patriarkh Yerusalem yang pertam. Patriarkh pertama di Antiokia adalah Petrus yang menjabat selama tujuh tahun setalah pindah dari Yerusalem dan sebelum pindah ke Roma. Kemudian digantikan oleh Evodius dan dilanjutkan oleh Ignatius Sang Martir. Yang mendirikan kePatriarkhan Aleksandria adalah Markus Sang Penulis Injil murid kesayangan Rasul Petrus. Yang mendirikan Kepatriarkhan Konstantinopel adalah Andreas saudara Rasul Petrus. Dan dari Antiokhia Rasul Petrus pergi ke Roma dan di Roma ini akhirnya Rasul Petrus meninggal. Namun sebelumnya dia telah mentahbiskan Linus sebagai Patriarkh Pertama Gereja Roma, kemudian digantikan oleh Aneklitus, serta dilanjutkan oleh Klemen yang ditahbiskan bukan oleh Rasul Petrus namun oleh Rasul Paulus. Para Episkop, Presbyter, Diaken ini adalah merupakan pengganti lanjut atau pewaris mata-rantai rasuliah yang mereka semua adalah pria meskipun diantara para murid Yesus itu yang wanita namun tak pernah satupun diangkat jadi rasul. Para Rasul itu juga merupakan lambang simbolis dari para bapa bangsa, sebagai bapa dari Israel yang baru ( 12 RASUL) sebagaimna Israel yang lama itu memiliki 12 bapa leluhur. Mereka juga merupakan ikon yang hidup dari keimaman Kristus sebagai Pengantin Pria dan Jemaat sebagai Pengantin wanita. Atas landasan data-data Alkitab itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak mentahbiskan wanita dalam derajat kepresbyteran apalagi keepiskopan. Mereka boleh menjadi Diaken wanita (Diakonisa), namun bukan Diaken Sakramental, hanya membantu tugas Presbiter.Ini bukan merupakan diskriminasi terhadap wanita, namun merupakan kesetiaan terhadap ajaran Alkitab dan praktek Rasuliah dari sejak semula sampai kini dengan simbolisme yang ada . Secara kodrat kemanusiaan perempuan dan lelaki adalah sama derajatnya (Galatia 3:26-28) . Namun secara pembagian tugas dan fungsinya berbeda. Keimaman adalah fungsi lakilaki, sebagai ikon Pengantin Pria :Kristus, dan pengganti Rasul yang adalah bapa bangsa bagi ummat yang baru.Perempuan mempunyai tugas lain yang amat banyak di Gereja: Dosen Theologia, Pengajar, Pengkhotbah, Guru Sekolah Minggu, dan lain-lain. b.Busana Liturgis Imamat Dalam Gereja Orthodox Sebagai kesinambungan dan penggenapan dari sistim Imamat Perjanjian Lama yang telah digenapi oleh Kristus, para Imam dalam Gereja Orthodox, sama seperti para Imam Perjanjian Lama, juga memiliki busana-busana Liturgis. Dengan busana-busana Liturgis itu di dalam diri Presbiter yang melayani kita temukan ada simbolisme yang melambangkan kehadiran Kristus ditengah-tengah GerejaNya.. Presbiter menjadi Ikon yang hidup dari kehadiran Kristus, tetapi bukan menjadi wakil Kristus –seperti yang disalah-fahami oleh Gereja Roma Katolik -, sebagai seorang imam yang memiliki wibawa mandiri, karena ke-Imam-an Kristus itu tak terwakili oleh siapapun. Maka jubah atau busana Liturgis Presbiter yang berwarna-warni juga mempunyai arti simbolis theologis. Pakaian Liturgis Episkop, Presbiter dan Diaken dan makna simbolis theologisnya adalah sebagai berikut: 233 Jubah Gamis (Stikharion). Jubah ini adalah jubah yang pertama dan merupakan kesinambungan dengan “Gamis” dari para Imam Perjanjian Lama. Jubah ini dikenakan baik oleh Diaken, Presbiter maupun Episkop. Pada saat mengenakan Jubah Gamis atau Stikharion ini, rohaniwan mengucapkan doa :”Jiwaku akan bersukacita di dalam Tuhan. Karena Ia telah mengenakan kepadaku pakaian keselamatan dan telah menjubahiku dengan jubah sukacita.Ia telah meletakkan mahkota diatas kepalaku seperti mempelai pria, seperti mempelai wanita. ia menghiasiku dengan keindahan.” Doa ini menjelaskan makna simbolis theologis dari Jubah Gamis ini. Jubah ini disebut sebagai jubah keselamatan dan jubah sukacita. Episkop, Presbiter, Diaken yang mengenakan dinyatakan sebagai mempelai pria dan mempelai wanita sekaligus. Ini bermakna bahwa seorang dapat melayani Kristus hanya jika pertama kali dirinya sendiri adalah orang yang sudah diselamatkan, menerima keselamatan Kristus melalui iman dan ketaatan kepadaNya. Orang itu harus sudah berjubahkan keselamatan, dan mengerti keselamatannya di dalam Kristus. Dengan demikian ia memiliki sukacita keselamatan dan sukacita melayani. Karena ketika Ia melayani ia adalah “seperti mempelai pria” yaitu menjadi “ikon Kristus” sendiri: Sang Pengantin Pria itu. Namun sebenarnya ia adalah “Mempelai Wanita” yaitu bagian dari Gereja, dan tak beda dari anggota Gereja lainnya dalam perlunya akan keselamatan dari Allah: Sang Mempelai Wanita itu. Ia bukanlah wakil Kristus yang mandiri, namun ia adalah Ikon Kristus dan masih tetap bagian dari Umat, yang keimaman mereka itulah yang ia jalankan. Itulah sebabnya ia adalah “Mempelai Pria” dan sekaligus”Mempelai Wanita” . Selendang Tutup Dada (Epitrakhelion, Sampur Jangga) Selendang ini merupakan kesinambungan “Tutup Dada” dari Imam Perjanjian Lama. Selendang ini berukuran lebar 15 sentimeter melilit sekitar leher dan turun ke bawah, lalu dibawah leher dikaitkan tenganya antara lembaran kiri dan lembaran kanan yang terjuntai dari leher tadi dengan kancing-kancing. Dalam bahasa Yunani ini disebut EPITRAKHELION Sehingga luas seluruhnya menjadi ½ meter luarnya. Panjangnya terjuntai sampai dibawah lutut pemakainya. Di ujung bawah terdapat dua rumbai-rumbai yang dipasang melintang lebar masing-masing luas sisi kanan dan kiri dari selendang itu. Rumbai-rumbai itu di susun dua jenjang atas dan bawah. Ketika mengenakan Selendang Tutup Dada ini, Episkop atau Presbiter yang mengenakan –Diaken belum berhak mengenakan ini, ia mempunyai selendangnya sendiri yang disebut Selendang Doa ( ORARION ) – mengucapkan doa ini:”Terberkatilah Allah yang telah mencurahkan rahmatNya kepada para imamNya, seperti minyak urap yang turun keatas kepala, yang meleleh turun keatas jangut, bahkan janggut Harun, yang turun sampai ke leher jubahnya” Ini melambangkan anugerah Roh Kudus yang turun mengurapi seluruh keberadaan rohaniwan melayani Kristus . Ini berarti pula bahwa orang yang dipanggil melayani Kristus pertama harus mengalami keselamatan dan dalam pelayanannya harus menerima pengurapan Roh Kudus dan panggilan dari pada Roh Kudus untuk layak bagi pelayanan tersebut. Namun itu juga menunjukkan bahwa kedatangan Kristus yang menyelamatkan itu untuk memberikan Roh Kudus kepada kita agar kita mendapat kehidupan yang dari Roh yaitu kehidupan kekal. Rumbai-rumbai yang dua jajar –atas dan bawah – itu adalah kesinambungan dari dua belas batu permata yang dua jajar yang terletad di dada imam. Jika dua belas batu permata itu lambang umat Israel yang diperadapkan kepada Allah, rumbai-rumbai adalah lambang umat yang digembalakan oleh Presbiter itu. Karena Ibrani 13: 14 mengatakan :”…pemimpin-pemimpin kamu….berjaga- jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung-jawab atasnya….”. Tanggung jawab atas jiwa umat itu ada pada pundak pemimpin Gereja. Itulah sebabnya rumbairumbai itu menjuntai dari pundak rohaniwan melalui Selendang Tutup Dada (Epitrakhelion, 234 Sampur Jangga). Jajaran rumbai yang atas adalah jiwa-jiwa mereka yang sudah bersama Kristus di Firdaus, yang tanggung jawab Presbiter adalah mengingat mereka dalam Liturgi dan Doa Peringatan, dan jajaran dibawahnya adalah jiwa mereka yang sedang dilayani di dunia ini. Presbiter atau Episkop selalu melayani, mendoakan, menasihati, dan mengajar mereka. Bagi Episkop ada tambahan Selendang Lebar yang bernama “OMOFORION” lambang dari wewenang dan wibawa kegembalaannya. Disamping itu ia memiliki Tongkat Kegembalaan yang terbuat dari logam, untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Ikon Kristus yang menggembalakan GerejaNya. Gelang Penutup Tangan (Penutup pergelangan tangan) Pada kedua pergelangan tangan Episkop, Presbiter dan Diaken terdapat semacam gelang penutup tangan pendek (seperti yang ada ditangan polisi lalu lintas), yang dalam bahasa Yunani disebut EPIMANIKON. Pada waktu mengenakan Gelang Penutup Tangan sebelah kanan, doanya adalah :”Tangan kananMu ya TUHAN, dimuliakan dalam kekuatan. Tangan kananMu ya TUHAN telah memporak-porandakan sekalian musuh, dan melalui kelimpahan kemuliaanMu Engkau telah meremuk segenap lawan” . Dari doa ini kita melihat Epimanikon sebelah kanan melambangkan Kekuatan dan Kemuliaan Allah yang menghancurkan sekalian musuh dan lawan, yaitu segenap kekuatan roh-roh jahat dan kejahatan Iblis. Karena seseorang yang menjadi pelayan Injili akan selalu menghadapi kuasa kegelapan; dan untuk melawan kuasa kegelapan itu ia memerlukan kuasa Allah. Hal ini mengingatkan para rohaniwan untuk selalu waspada, namun juga untuk menunjukkan bahwa Kristus Sang Imam Besar itu memiliki kuasa atas segala kuasa kejahatan yang dapat menjadi perlindungan bagi segenap umat beriman. Ketika mengenakan Gelang Penutup Tangan sebelah kiri doanya adalah :”TanganMu telah menciptakanku dan membentukku. Terangilah pikiranku, dan aku akan belajar perintah-perintahMu”. Dengan doa ini maka kita diajar bahwa epimanikion sebelah kiri melambangkan kuasa Allah yang menjadikan dan membentuk manusia baru agar oleh terang ilahi, manusia itu boleh hidup dan belajar perintah-perintah Allah. Jadi keimaman Kristus yang dilayankan oleh para Rohaniwan itu disamping untuk melepaskan manusia dari kuasa jahat, dan kegelapan oleh nashat, pengajaran dan doa-doa namun juga itu merupakan pelayanan penciptaan baru, agar manusia boleh belajar kebenaran dan perintah-perintah Allah dan hidup dalam ketaatan kepadaNya, melalui sakaramen-sakramen dan pemberitaan serta pengajaran Firman.Ini juga bermakna bahw Rohaniwan itu sendiri juga adalah orang yang harus rela dibentuk oleh Allah dan berani melewati peperangan rohani agar ia dapat mengalahkan yang jahat mencapai terang ilahi, serta belajar akan perintah-perintah Allah melalui semuanya itu. Ini semua terjadi karena ia terlebih dahulu telah menerima pengurapan Roh Kudus yang dilambangkan oleh Selendang Tutup Dada (Sampur Jangga). Ikat Pinggang Ikat pinggang yang terbuat dari kain yang dijahit ini memiliki kesinambungan dengan ikat pinggang imam dari Perjanjian Lama. Dalam bahasa Yunani ikat pinggang ini disebut: “ZONI” Pada waktu mengenakan Ikat Pinggang ini Presbiter atau Episkop berdoa: “Terberkatilah Allah kita, yang telah mengikat pinggangku dengan kekuatan, dan telah membuat jalanku tak bercacat, serta telah memberikan kakiku seperti kaki kijang, dan telah menempatkanku ditempat tinggi” Ini adalah lambang dari kuasa Allah yang mengendalikan hidup Rohaniwan, dan akan memberikan keberhasilan dalam hidup ketatan kepada Allah, sehingga jalan hidupnya tanpa cacat. Sehingga gerak pelayanannya akan sukses berlari seperti “kijang”, sehingga pada akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan-kesulitan dalam pelayanannya, karena Allah akan menempatkannya “ditempat tinggi”. 235 .Jubah Badhongan (Jubah Efod) Jubah Badhongan ini memiliki kesinambungan dengan “Baju Efod” dari para imam Perjanjian Lama, oleh karena itu jubah ini mempunyai warna-warni yang beraneka ragam.. Untuk Presbiter bentuknya adalah panjang di belakang, namun dibagian depan hanya sepanjang perut, sedangkan untuk Episkop panjang seluruhnya sampai ke kaki, dengan terbuka dari ujung tangan bagian bawah sepanjang lengan sampai ketiak langung ke sisi kiri dan kanan pinggang sampai ke bawah, namun diberi kancing-kancing yang berwujud giring-giring kecil, yang berbunyi gemerincing waktu dikenakan.Inipun kesinambungan dari giring-giring Imam Besar Perjanjian Lama. Untuk Presbiter jubahnya disebut “FELONION” dan untuk Episkop disebut “SAKKOS”. Untuk Episkop ditambah dengan Mahkota (“MITRA”) yang berwarna emas, dan merupakan kesinambungan dari Serban dan Patam Emas yang dikenakan Harun. Pakaian Episkop yang demikian itu melambangkan Episkop sebagai Ikon Kristus: Sang Imam Besar yang sekaligus Raja ditengah-tengah GerejaNya. Kristus adalah Imam menurut peraturan Melkisedek, padahal Melkisedek itu adalah Imam dan sekaligus Raja. Demikianlah Episkop sebagai Ikon Kristus melambangkan jabatan Kristus sebagai Imam Besar dan sekaligus Raja, itulah sebabnya Episkop mengenakan mahkota, dan pada waktu melayani di Gereja duduk diatas takhta yang khusus disediakan didepan Ikonsostasion bagian Selatan. Jubah Efod ini melambangkan jubah kebenaran. Dimaksudkan untuk mengajar bahwa untuk dapat melaksanakan pelayanan kepada Allah, Presbiter atau Episkop harus hidup di dalam kebenaran. Hal ini juga membuktikan bahwa kedatangan Kristus hendak menutup kita dengan kebenaranNya sendiri.Dengan melihat jubahjubah yang ada di dalam Episkop atau Presbiter ini, maka kita diperingatkan akan arti keselamatan yang ada di dalam Kristus , akan arti karya Kristus di tengah-tengah kita melalui peragaan visual yang terdapat pada pakaian Presbiter tersebut. Demikianlah jelas bahwa semua simbolisme yang ada dalam praktek liturgis Gereja Orthodox ini , dimaksudkan untuk mewartakan ajaran Alkitab, dogma Gereja, dan penyataan wahyu Allah yang ada di dalam Kristus, dengan demikian dogma itu dapat dialami di dalam pengalaman penyembahan kita kepada Allah. Dan kebenaran Iman Rasuliah itu tidak akan mudah diubah-ubah sekehendak hati manusia, sebab ini tak pernah diubah dalam Gereja Orthodox.. Perayaan-Perayaan Gereja Orthodox Sebagaimana dalam Perjanjian Lama perayaan-perayaan itu dilakukan untuk memperingati halhal disekitar peristiwa penting di sekitar karya Allah dalam melaksanakan pelepasan Israel dari Mesir, dan selama perjalanan mereka di padang gurun. Dan semuanya itu telah secara sempurna digenapi dalam Kristus Yesus. Demikianlah dalam Gereja Orthodox perayaan-perayaannya dilakukan disekitar penting peristiwa dari penggenapan perayaan-perayaan Israel: Peristiwa dan Karya Yesus Kristus bagi pelepasan manusia dari dosa, Iblis dan maut.. Karena semua perayaanperayaan Israel itu sudah digenapi di dalam Yesus Kristus. Sebagaimana Israel belajar tentang imannya melalui perayaan-perayaan yang menceritakan peristiwa-peristiwa karya Allah di dalam Israel, demikianlah Gereja Orthodoxpun bertheologi dengan bersumber dari perayaan-perayaan, ibadah, dan sakramen-sakramennya yang menceritakan peristiwa-peristiwa karya Allah yang sudah dilakukan dalam Kristus Yesus oleh kuasa Roh Kudus. Dengan demikian terdapat kesinambungan semangat dan metode cara penyampaian iman antara umat Israel Purba dan Gereja Orthodox. Oleh kedatangan Yesus inilah yang kekal itu sudah menerobos ke bumi, sehingga “ sang waktu” dirembesi oleh kekekalan dalam kaitannya dengan peristiwa Yesus Kristus. Perembesan waktu oleh kekekalan dalam Kristus Yesus itu ditunjukkan didalam dibaginya waktu dalam lingkaran-lingkaran waktu dalam bentuk Penanggalan Gereja, yang 236 memperingati peristiwa Sejarah Keselamatan itu sendiri. Pembagian waktu-waktu Penanggalan Gereja dalam lingkaran itu adalah dalam bentuk perayaan-perayaan yang dilakukan bagi memperingati Sejarah Keselamatan dalam bentuk Ibadah dan Liturgi. Pembagian lingkaran waktu dalam perayaan-perayaan tadi adalah sebagai berikut: Lingkaran Peringatan dalam Jam Sebagaimana pada zaman Alkitab dari Israel purba setiap hari memiliki waktu-waktu Sembahyang itu sebanyak dua kali sehari, demikian juga Gereja Orrthodox juga meiliki waktu hariannya ntk Ibadah. . Nabi Musa diperintahkan. Allah untuk memberitahu Imam Harun agar mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada ( Keluaran 29:38-39, 30:7-8) setiap hari, sehingga dalam sehario ada dua kali peringatan dalam ibadah itu. Dalam Gereja Orthodox juga ada lingkaran peringatan dalam jam pada setiap harinya. Untuk peringatan dalam Gedung Gereja “Waktu Pagi” dan “Waktu Senja” itu tetap dipertahankan setiap harinya dalam wujud Ibadah “Sembahyang Singsing Fajar” dan Ibadah “Sembahyang Senja”, yang juga inti utamanya adalah persembahan dupa. Sedangkan lingkaran peringatan dalam jam itu adalah lingkaran paling kecil yang dilakukan dalam sehari dalam bentuk sembahyang harian. Sembahyang Harian itu dilakukan sebagai berikut:. Sembahyang Tujuh dan Tiga Waktu serta Doa spontan Bagi Ummat Kristen di Indonesia Sembahyang (Sholat) Tujuh Waktu atau Tiga Waktu itu memang dianggap aneh, meskipun ini merupakan praktek Gereja sejak Zaman Purba. Dalam Gereja Orthodox memang dibedakan antara Sembahyang, sebagai suatu ibadah dan penyembahan kepada Allah yang disertai waktu tertentu, gerak tubuh tertentu, serta isi doa-doa tertentu, dengan urutan yang telah tertentu pula, dan Doa dengan kata-kata spontan langsung yang diucapkan dalam permohonan kepada Allah, seperti satu-satunya cara yang dilakukan oleh Gereja-Gereja Protestan. Dalam Gereja Orthodox ada dua bentuk Sembahyang Harian yang mengikuti aturan tertentu ini, yaitu yang mengikuti cara Nabi Daniel :Tiga Kali sehari ( Daniel 6:11-12, Mazmur 55:18), atau juga mengikuti pola yang dikatakan oleh Nabi Daud:”Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji ENGKAU…” ( Mazmur 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari: Pagi, TengahHari, dan Sore Hari ( Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu sendiri sudah dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam Harun mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan “Waktu Senja” ( Keluaran 29:38-39, 30:7-8) Pada zaman Perjanjian Baru, rumah-ibadah rumahibadah Yahudi (synagoga-synagoga) melakukan ibadah pagi dan ibadah senjanya bersamaan waktu-waktu korban dan pembakaran ukupan di Bait Allah ini. Dan para rasul Kristus mengikuti pola “waktu sembahyang” ini, seperti yang tertulis :” Pada suatu hari menjelang WAKTU SEMBAHYANG, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah” ( Kisah 3:1). Beberapa waktu sembahyang lagi yang dicatat dalam Perjanjian Baru adalah :”Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul pada suatu tempat” ( Kisah 2:1), tentunya untuk berdoa. Dan dalam doa atau sembahyang itulah peristiwa Pantekosta itu terjadi, dan Petrus menerangkan jam saat mereka sembahyang itu dengan mengatakan:”Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka (karena mereka berbahasa asing itu,pent.), karena hari baru PUKUL SEMBILAN “ ( Kisah 2:15), yaitu pukul sembilan pagi. Dari sini kita sudah melihat empat waktu sembahyang: Pagi, Jam Sembilan, Jam Tiga Petang, dan Senja. Waktu 237 Sembahyang yang dicatat lagi oleh Perjanjian Baru adalah:” Jawab Kornelius:’ Empat hari yang lalu, kira-kira pada waktu yang sama seperti sekarang, yaitu jam tiga petang, aku sedang berdoa di rumah…” ( Kisah 10:30), yaitu waktu yang sama yang disebut dalam Kisah 3:1 diatas. Disamping itu ada lagi catatan:” …kira-kira pukul dua belas tengah hari, naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa” ( Kisah 10:9), inilah waktu sembahyang Siang. Dan yang terakhir :”Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah…” Kisah 16:25). Dari sini kita melihat ada dua waktu sembahyang lagi: Waktu Tengah Hari dan Waktu Tengah Malam. Jadi kalau digabungkan dengan data diatas sudah ada 6 waktu Sembahyang menurut Kitab Suci, yaitu: Waktu Pagi sebanding Sholat Subuh dalam Islam yang dalam Gereja Orthodox merupakan peringatan kelahiran dan kebangkitan Kristus Sang Terang Dunia itu yang merupakan Natal dan Paskah Harian, Waktu Jam Sembilan Sebanding Sholat Dhuha dalam Islam tetapi bukan sholat wajib dalam Islam dan ini dalam Gereja Orthodox sebagai peringatan TurunNya Roh Kudus atau Pentakosta Harian, Waktu Tengah Hari Sebanding Sholat Dzuhur dalam Islam dan ini dalam Gereja Orthodox merupakan peringatan saat Yesus disalibkan : Jum’at Agung Harian, Waktu Jam Tiga Siang sebanding Sholat Asyar dalam Islam, ini adalah merupakan peristiwa saat Yesus menghembuskan nafasnya: Masih Peringatan Jum’at Agung Harian, Waktu Senja sebanding Sholat Maghrib dalam Islam yang dalam Gereja Orthodox ini adalah Peringatan Penguburan Yesus Harian: Sabtu Kudus Pagi Harian, dan waktu Tengah Malam sebanding sholat Tahajjud dalam Islam namun yang juga bukan sholat wajib bagi Islam, dalam Gereja Orthodox ini adalah Peringatan akan Kedatangan Kristus seperti Pencuri di waktu Malam. Yang terakhir adalah sholat sesudah senja yaitu sholat akan tidur :”….Kasihanilah aku dan dengarkanlah doaku….Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur…” ( Mazmur 4:1-9), ini sebanding dengan sholat Isya’ dalam Islam. Dengan mengetahui sembahyang-sembahyang Gereja Purba yang tetap dipelihara Gereja Timur Orthodox ini, kita melihat korelasi Ibadah Orthodox dengan sholat-sholat Islam itu, sebab Gereja Orthodox telah lebih dahulu ada sebelum Islam lahir. Sedangkan sikapsikap dalam sholat itu dikatakan oleh Perjanjian Baru sebagai “berdiri” (Markus 11:25), “berlutut dan bersujud” atau “membungkuk dan tersungkur” (Matius 26:39, 14:35, Lukas 22:41,Kisah Rasul 20:36, Wahyu 4:10),” mata terbuka menengadah kelangit” ( Yohanes 17:!), serta “menadahkan tangan” (I Timotius 2:8), dan membuat tanda salib dalam saat urutan-urutan tertentu dalam doa itu. Sembahyang ini dimulai dengan doa yang bernama Trisagion, diikuti dengan beberapa Mazmur yang sudah tertentu pada masing-masing waktu, lalu doa-doa tertentu yang sesuai dengan tema dari saatnya, dan diakhiri dengan salam terakhir. Sedangkan Doa spontan dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan cara apa saja asal hormat dan sopan, menggunakan bahasa spontan, dan menghadap kemana saja, sedangkan untuk Sembahyang yang beraturan itu menghadapnya adalah kearah Timur. . Lingkaran Peringatan Harian Dalam seminggu ada tujuh hari. Inipun dibagi dalam peringatan-peringatan masingmasing, dan pembagiannya adalah sebagai berikut: 1.Hari Senin adalah hari memperingati para Malaikat dan semua makhluk-makhluk roh yang diciptakan Allah yang sekarang ada di Sorga. 2.Hari Selasa memperingati para Nabi dalam Perjanjian lama dan juga untuk memperingati Yohanes Pembaptis. 238 3.Hari Rabu adalah hari untuk memperingati Sang Perawan Maryami dan kesengsaraan Kristus, hari dimana Yudas mengkianatiNya, untuk memperingati penghianatan inilah maka setiap hari Rabu adalah puasa wajib bagi umat Orthodox. 4. Hari Kamis adalah hari untuk memperingati Para Rasul dan semua bapa-bapa Gereja . 5. Hari Jumat hari untuk memperingati Penyaliban Kristus dan ini juga hari puasa wajib. 6.Hari Sabtu adalah untuk memperingati para syhada dan para orang Kristen yang sudah meninggalkan dunia ini, yang masuk didalam masa istirahatnya. Inilah hari Sabbat, hari dimana Yesus berhenti dari semua pekerjaanNya untuk keselamatan manusia yang Ia sudah lakukan selama 6 Hari masa sengsara itu,yaitu pada waktu Ia didalam KuburanNya. Dengan demikian terkait dengan hari Sabat dimana Allah berhenti dari pekerjaanNya pada penciptaan yang lama. Sabbat ini diperingati dengan Sembahyang Senja Sabbat untuk mempersiapkan diri bagi Liturgi Suci pada Hari Tuhan (Hari Minggu).. Lingkaran Peringatan Mingguan Lingkaran mingguan ini berpusat pada Hari Tuhan (Hari Minggu) itu sendiri, dimana pada saat ini Liturgi Suci (Perjamuan Kudus) dirayakan.Hari Minggu adalah Perayaan Paskah kecil yang mengingatkan kita pada Kebangkitan Kristus. Sedangkan dari Senin sampai Sabtu, itu adalah merupakan perpanjangan dari hari Minggu. Inilah perpanjangan dari Paskah, sehingga bersumber dari peristiwa Paskah Kecil ini kita mendapatkan Ilham untuk hidup selama seminggu. Lingkaran Peringatan Bulanan Gereja Lingkaran Peringatan Bulanan ini berkisar sekitar “Duabelas Perayaan-Perayaan” (“Dodeka Eortees”) besar Gereja, yang berhubungan dengan Peristiwa Inkarnasi dan Kehidupan Sang Kristus di bumi ini, dan didalam Kehidupan IbuNya, sarana lingkup Inkarnasi itu terjadi.Ini disebut sebagai Perayaan Tak Bergerak sebab tanggalnya sudah tetap. Perayaan yang berhubungan dengan Kehidupan Sang Kristus adalah: : 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. Pengangkatan Salib 14 September Natal 25 Desember Pembaptisan Yesus (Epiphani) 6 Januari Minggu Palem. Merayakan masuknya Yesus ke Yerusalem sebelum Ia disalibkan (Satu minggu sebelum Paskah). Perayaan Kenaikan Kristus (40 hari setelah Paskah). Pantekosta ( 50 hari setelah Paskah). Pengubah-muliaan Sang Kristu diatas Gunung 6 Agustus. Perayaan yang berhubungan dengan Sang Perawan Maryam 2. 3. 4. 5. 1. Kelahiran Theotokos (Perawan Maryam) 8 September. Masuknya Theotokos ke Bait Allah 21 November. Pemberitaan Malaikat Gabriel kepada Maryam pada waktu ia akan mengandung Maret Pertemuan Kristus dengan Simeon 2 Pebruari Wafat Sang Thetokos 21 November. 25 Perayaan-perayaan di dalam Gereja merupakan suatu lingkaran kehidupan Gereja yang mengingatkan kita akan peristiwa keselamatan yang terjadi. Dengan demikian kita berhadap-hadapan secara langsung dengan peristiwa keselamatan itu, bukan 239 sebagai sejarah masa lampau, tetapi sebagai suatu pertemuan dengan Kristus dan karyaNya secara kekal didalam kekinian yang dialami dalam liturgi Gereja. .Lingkaran Peringatan Tahunan Gereja Lingkaran Tahunan yang terbesar adalah : Perayaan Paskah. Paskah adalah engsel yang disekitarnya segenap perayaan Gereja itu berputar. Tahun Gereja dihitung dari Paskah ke Paskah. Perayaan-perayaan yang bergantung kepada jatuhnya tanggal Paskah itu disebut sebagai Perayaan yangt bergerak. Misalnya Pentakosta itu tergantung pada jatuhnya tanggal Paskah, karena itu harus dirayakan lima puluh hari sesudah Paskah. Demikian juga Perayaan Minggu Palem atau Sabtu Lazarus, itu tergantung pada Paskah karena itu mendahului Perayaan Pekan Kudus, yang bergantung pada tanggal Paskah, sebab Pekan Kudus itu rentetan dari Perayaan Paskah. Penentuan tanggal Paskah dalam Gereja Orthodox adalah demikian: 1. Harus jatuh seminggu sesudah Paskah Yahudi, tidak boleh bersamaan. 2. Cuaca di Palestina, tempat peristiwa kebangkitan Yesus itu terjadi, harus musim semi, dimana jumlah jam di siang hari dan malam hari sama. Deengan perhitungan ini jatuhnya hari Paskah tidak selalu sama, dan dengan demikian sering tidak sama dengan tanggal Paskah Roma Katolik dan Protestan. . b.Puasa Dalam Gereja Orthodox Sebagaimana pada Hari Raya Pendamaian dan Hari Raya Tiupan Sangkakala Allah memerintahkan puasa kepada umat Israel, dalam kesinambungannya dengan Perjanjian Lama ini Gereja Orthodox juga mengenal puasa. Puasa dalam Gereja Orthodox bukanlah sebagai sarana menumpuk amal atau jasa untuk mendapatkan keselamatan. Puasa adalah disiplin rohani agar rahmat keselamatan di dalam Roh Kudus yang telah diterima secara cuma-cuma dalam iman kepada Kristus itu menjadi realita yang menuntun kepada pengudusan dan perendahan diri di hadirat Allah. Puasa adalah saat menguji iman dan kasih seseorang akan Allah di dalam Kristus. Puasa bukan untuk mencari pahala, karena keselamatan itu kasih karunia dan bukan karena amal-baik manusia. Keselamatan dalam ajaran Iman Kristen Orthodox itu tak berarti sekedar naik sorga demikian saja, namun lebih dari itu adalah untuk manunggal dalam kehidupan Allah sendiri, yang panunggalan itu tak dapat dicapai oleh perbuatan manusia sendiri, namun melalui NuzulNya Kalimatullah yang menghancurkan kuasa maut dan menyatakan hidup kekal. Berarti keselamatan itu bukan hasil usaha manusia namun semata-mata karena kasih-karunia Allah di dalam KalimatNya yang Nuzul sebagai daging ( Efesus 2:8-10). Dan karya kematian Kalimatullah yang menghancurkan maut serta kebangkitanNya yang menyatakan hidup kekal itu di Rayakan terutama dalam Ibadah Perjamuan Kudus sebagai ibadah inti Iman Kristen Orthodox. Dalam Perjamuan Kudus inilah ummat menerima kasih-karunia penyatuan dengan hidup kekal yang telah dinyatakan oleh kebangkitan Kristus itu. Untuk memperdalam dan memelihara makna penyatuan dengan Kristus serta kasih-karunia yang diterima dalam Perjamuan Kudus ini, maka ibadah-ibadah yang lain dilaksanakan: Sembahyang Tujuh Kali Sehari yang masing-masingnya mempunyai makna Perayaan dari segenap Kehidupan Kristus, Puasa ( sebagai disiplin dalam praktek panunggalan dengan kematian Kristus untuk mematikan hawa-nafsu, serta manunggal dengan kebangkitan Kristus guna memunculkan sifat-sifat manusia baru), Taffakur-Dzikir ‘’Doa Yesus’’ sebagai penyatuan Batin dengan Pribadi Yesus Kristus, Membaca Kitab Suci untuk mendapatkan Bimbingan Ilahi mengenal Kristus lebih dalam lagi, dan lain-lain. Maka teranglah bahwa iman Kristen Orthodox tak pernah berbicara mengenai ‘’pahala’’ 240 sebagai upah dari ibadah semacam itu. Karenanya ibadah-ibadah itu tak dimengerti sebagai amal yang mendatangkan ‘pahala’, namun sebagai disiplin rohani dalam memperdalam panunggalan manusia dengan Kristus oleh iman. Dan iman yang demikian inilah iman yang hidup karena ‘’iman tanpa perbuatan itu pada dasarnya mati’’ ( Yakobus 2:26). Iman Kristen Orthodox tak mempercayai bahwa perbuatan kesalehan itu yang menyelamatkan manusia. Karena keselamatan itu berarti menyatu dengan Kristus, bukan sebagai upah atau pahala berbuat baik ataupun melaksanakan ibadah. Kristus yang menjadi landasannya dan Kristus pula yang menjadi tujuan akhir dari semua ibadah ini, bukan pada tata-aturan ibadahnya sendiri meskipun sebagai disiplin rohani tata-aturan itu penting, jadi memang jauh berbeda dengan perbuatan kesalehan Taurat yang dimengerti oleh ummat Yahudi, atau ketaatan pada hukum syariat dalam pemaham Islam. Demikianlah maka dalam kaitan dengan makna hubungan akidah dan ibadah ini puasa harus dimengerti dalam memahami makna puasa dalam penghayatan Iman Kristen Orthodox. Puasa tak boleh dimengerti dalam dirinya sendiri, namun dalam kaitannya dengan tujuan akhir hidup Kristen: Manunggal dengan Kristus.. Puasa Dalam Perjanjian Lama Dalam Perjanjian Lama kita menjumpai banyak sekali ajaran tentang puasa ini. Puasa dalam bahasa Ibrani disebut sebagai ‘’sum’’ (sebanding dengan kata ‘’shoum’’ dalam bahasa Arab). Kata ‘’sum’’ (puasa) ini sering digabungkan dengan kata ‘’innah nefesy’’ (‘’merendahkan diri’’) - Imamat 16:29, 31. 23:27, 32, Bilangan 29:7; Yesaya 58:3, Mazmur 35:13- Namun sering juga hanya disebut sebagai ‘’ tidak makan roti dan tidak minum air’’ saja ( Keluaran 34:28). Bentuk dan tujuan puasa itu banyak macamnya. Puasa itu dijalankan oleh ummat Israel dalam persiapan mereka untuk perjumpaan dengan Allah ( Keluaran 34:28; Ulangan 9:9. Daniel 9:3). Puasa dijalankan oleh perorangan kalau mendapatkan masalah yang berat ( II Samuel 12: 16-23; I Raja-raja 21:27; Mazmur 35:13; 69:10). Namun itu juga dilaksanakan oleh seluruh bangsa secara bersama jika menghadapi bahaya peperangan dan penghancuran ( Hakim-hakim 20:26; II Tawarikh 20:3; Ester 4:16; Yunus 3:4-10); pada saat ancaman bencana belalang (Yoel 1 dan 2); untuk mendapatkan keamanan perjalanan para tawanan kembali ke Yerusalem ( Ezra 8:21-23) dan sebagai upacara pendamaian dengan Allah ( Nehemia 9:1); dan akhirnya berkaitan dengan upacara dukacita kematian ( II Samuel 1:12 ). Puasa selalu dilakukan bersamasama dengan doa ( Yeremia 14:11-12, Nehemia 1:4; Ezra 8:21,23). Puasa biasanya dimulai dari pagi dan berakhir pada sore hari ( Hakim-hakim 20:26; I Samuel 14:24; II Samuel 1:12), meskipun ada kalanya dilakukan puasa total 3 hari 3 malam ( Ester 4:16). Dalam Mazmur 109:24 kesulitan jasmani karena puasa merupakan refleksi kesulitan batin yang dialami oleh yang menjalankan puasa itu. Ada satu puasa yang diwajibkan bagi segenap bangsa Israel yaitu pada saat Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) - Imamat 16:29-31; 23:27-32; Bilangan 29:7) . Dan sesudah penghancuran Yerusalem (587 ses.Mas.) puasa empat-buah hari-hari puasa ditetapkan sebagai peringatan ( Zakharia 7:35; 8:19). Sering makna puasa yang terdalam sebagai perendahan diri di hadapan Allah ini menjadi tak dimengerti serta diperdangkal oleh manusia , sehingga dianggap hanya sebagai usaha mencari pahala dari amal kesalehan saja. Para nabi berusaha keras menentang pendangkalan makna puasa ini ( Yesaya 58:3-7; Yeremia 14:12), namun sering tak digubris. Pada zaman Yesus Kristus orang-orang yang ingin lebih mendalam dalam keagamaannya, terutama kaum Farisi, menjalankan puasa dua kali seminggi (Senin-Kamis) ( Lukas 18: 12), demikian juga murid-murid Yohanes menjalankan peraturan yang sama. 241 Puasa Dalam Perjanjian Baru Kata ‘’sum’’ dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama ini berbunyi ‘’neestia/ nistia’’ dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru. Karena praktek yang sudah umum dinatara bangsa Yahudi mengenai puasa ini, Yesus tidak memberikan rincian mengenai bagaimana harus berpuasa. Dia hanya mengandaikan bahwa orang beriman itu pasti berpuasa, yang disertai dengan sembahyang serta shodaqoh (tsedeqa, Ibrani) (Matius 6: 1-18). Yesus mengatakan :’’ Dan apabila kamu berpuasa...’’ ( Matius 6: 16). Menunjukkan ada saatnya orang beriman berpuasa (‘’apabila’’), sebagai suatu kemestian ibadah. Dia tak mengatakan :’’ Jikalau kamu berpuasa ...’’, seolah-olah orang beriman punya pilihan untuk melaksanakan kalau mau, atau tidak melakukan kalau tidak mau. Konteks kepada siapa Dia mengatakan ajaran ini tidak memungkinkan tafsiran yang demikian ini. Memang untuk murid-mridNya Yesus menunjukkan kapan saatnya mereka menjalankan puasa itu, pada saat Dia ditanya oleh orang-orang saat murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa:’’Mengapa murid-murid murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-muridMu tidak?’’ ( Markus 2:18). Yesus menjelaskan bahwa saat berpuasa bagi murid-muridNya adalah nanti bila ‘’mempelai (Kristus) itu diambil dari mereka (naik ke Sorga)’’ ( Markus 2: 20): ‘’PADA SAAT ITULAH MEREKA AKAN BERPUASA’’ Berarti puasa bagi murid Yesus barulah akan dijalankan sesudah Yesus naik ke sorga, oleh karena itu para murid tak diberi rincian aturan bagaimana berpuasa karena aturan puasa itu terkait dengan paripurnanya Karya Keselamatan Yesus yaitu naikNya ke Sorga. Dengan demikian puasa yang akan dilakukan ummat beriman itu berbeda dengan puasa ummat Yahudi, puasa ini akan bersifat Kristus-sentris, sehingga oleh Yesus dikatakan bahwa puasa Kristen itu sebagai ‘’ kain yang belum susut’’ serta ‘’ anggur yang baru’’. Oleh sebab itu tak boleh ditambalkan pada ‘’baju yang tua’’ atau dmasukkan ke dalam ‘’kantong kulit yang tua ‘’ ( Markus 2:21-22). Baju tua dan kantong kulit tua ini sistim keagamaan orang Yahudi. Sedangkan ‘’ kantong kulit yang baru’’ itu adalah kehidupan yang berpusatkan pada Kristus. Maka dalam konteks hidup dalam Kristus dan berlandaskan Kristus inilah puasa Kristen itu harus dilakukan. Namun Yesus sendiri juga memberi teladan bagaimana Dia sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam ( Matius 4:2). Yesus juga mengajarkan bahwa pada saat mengusir roh-jahat orang perlu berpuasa dan berdoa ( Matius 17:21). Dan akhirnya kita melihat bahwa sesuai dengan ajaran Yesus Kristus, Sesudah KenaikanNya ke sorga para murid Yesus Kristus zaman perdana yaitu Gereja Kristus melaksnakan puasa ini ( Kisah 13:3, 14:23). Demikianlah data-data Alkitab mengenai bagaimana puasa itu dilaksanakan. Dan apa yang sudah dimulai dalam masa Perjanjian Baru ini dilanjutkan secara berkesinambungan dalam kehidupan Gereja sepanjang abad sebagaimana yang masih tetap dipelihara dalam Gereja Orthodox selama hampir 2000 tahun ini. Puasa Dalam Gereja Perdana dan Gereja Orthodox Masakini Praktek ibadah puasa dalam Gereja Perdana dapat kita jumpai dalam suatu dokumen purba yang bernama ‘’Didakhee Toon Apostoloon’’ (‘’Pengajaran Rasul-Rasul’’) dalam kaitannya dengan persiapan baptisan dan puasa harian. Mengenai persiapan baptisan dikatakan demikian:’’ Dan sebelum baptisan, baik yang membaptis maupun yang akan dibaptis haruslah berpuasa, bersama dengan orang-orang lain yang dapat ikut serta. Dan harus dipastikan bahwa 242 orang yang kan dibaptis berpuasa selama satu atau dua hari sebelumnya ‘’ ( 7:4), praktek yang mana tetap dijalankan dalam Gereja Orthodox masakini. Dan mengenai puasa harian dikatakan:’’ Tetapi janganlah sampai puasamu itu jatuh pada hari-hari yang sama dengan kaum munafik (‘’kaum Farisi, lih.Mat.6:16,pen.), yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Namun hendaknya engkau berpuasa pada hari Rabu dan Jum’at’’ ( 8: 1), praktek puasa harian :Rabu (sebagai peringatan hari Yesus Kristus dikhianati Yudas) dan Jum’at (sebagai peringatan hari Penyaliban Yesus Kristus) inipun tetap dipraktekkan oleh Gereja Orthodox masakini.. Puasa Agung Catur Dasa Jika Allah mewajibkan bangsa Israel untuk berpuasa pada hari Raya Pendamaian dimana korban penghapus dosa disembelih, ummat Kristen perdana mengerti bahwa :’’ Anak Domba Paskah kita juga telah disembelih ‘’ ( I Kor.5:7), karena Kristus itulah ‘’ Anak Domba Allah yang mengangkut/menghapus dosa-dosa dunia’’ ( Yohanes 1:29) sebagaimana domba sembelihan pada Hari Raya Pendamaian itu juga menghapus/ mengangkut dosa-dosa ummat Israel. Demikianlah sejak zaman Perdana Hari Pengorbanan Anak Domba Allah yaitu Hari Paskah itu telah menjadi Hari Raya terbesar bagi Ummat Kristen Perdana. Terutama pada saat Masa Sengsara Yesus selama satu minggu penuh sampai Hari Paskah itu sendiri, ummat Kristen Perdana melakukan Puasa. Karena pada saat Paskah itu ummat Kristen mengalami perjumpaan dengan Yang Ilahi oleh Kebangkitan Kristus, maka sebagaimana Musa ketika akan berjumpa dengan Yang Ilahi itu menjalankan puasa 40 hari 40 malam ( Keluaran 34:28), dan Yesus Kristus sendiri sebelum menjelankan tugas ke-MesiasanNya untuk menyatakan Yang Ilahi pada UmmatNya juga telah berpuasa 40 hari 40 malam ( Matius 4:2), maka puasa 40 hari itupun telah menjadi praktek Gereja sejak zaman purba untuk menyongsong Paskah, perjumpaan dengan Yang Ilahi melalui Kebangkitan Kristus. Dalam prakteknya masa Puasa 40 hari sebelum Paskah ini dalam Gereja Orthodox ini disebut sebagai : ‘’Tessarakosti’’ (Empat puluh) dan dalam bahasa Inggris ‘’Lent’’ yang di dalam Gereja Orthodox di Indonesia disebut sebagai ‘’Puasa Agung Catur Dasa’’. Gereja Roma Katolik di Indonesia menyebutnya sebagai Puasa Pra-Paskah, meskipun tanggal pelaksanaannya berbeda, karena perbedaan kalender yang digunakan. Gereja Orthodox menggunakan Kalender yang lebih tua yaitu Kalender Yulian, sedangkan Gereja Roma Katolik dan Protestan menggunakan Kalender Gregorian atau Kalender umum yang sekarang kita pakai di Indonesia ini Praktek Puasa Agung Catur Dasa Puasa Agung Catur Dasa itu sendiri dibagi dalam tiga bagian: A. Minggu Persiapan yang terdiri dari :1. Minggu Orang Farisi dan Pemungut Cukai untuk mengingatkan bahwa Puasa yang akan dijalankan itu bukanlah usaha mencari pembenaran tetapi sebagai perendahan diri di hadapan Allah. 2.Minggu Anak Hilang untuk mengingatkan bahwa puasa yang akan dijalankan itu adalah untuk menyadari dosa-dosa dan kembali kepada Allah. 3. Minggu Penghakiman Akhir untuk mengingatkan bahwa puasa ini adalah sebagai usaha untuk sadar bahwa setiap perbuatan manusia itu akan dipertanggung-jawabkan serta untuk mempertajam rasa tanggung jawab sosial kepada sesama. 4. Minggu Pengampunan dosa untuk mengingat bahwa oleh dosa-dosa kita telah terbuang dari hadirat Allah dan puasa kali ini adalah untuk menyadarkan diri untuk kembali kepada Ilahi. Pada hari inilah diadakan saling maaf-memaafkan yang sering disertai dengan isakan tangisan mengharukan. Karena hatinya ingin suci dari benci sebelum menjalankan puasa esok pagi hari Seninnya. 243 B. Puasa Catur Dasa yang terdiri dari :1. Minggu Orthodoxia memperingati kemenangan atas Gerakan Ikonoklasme untuk mengingatkan bahwa puasa yang sudah berjalan selama satu minggu ini adalah untuk mengembalikan fitrah manusia yaitu ikon (gambar) Allah yang kabur karena dosa dengan menyatu dengan kebangkitan Kristus di Hari Paskah. 2.Minggu Gregorius Palamas mengingat kemenangan Hesykhasme yang menegaskan bahwa kembali kepada Fitrah Gambar Allah itu tak mungkin terjadi tanpa rahmat ilahi, yaitu Energi Ilahi yang memuliakan manusia. 3.Minggu Salib untuk mengingatkan bahwa dalam puasa ini rahmat atau kasihkarunia pemulihan Kodrat itu tak mungkin terjadi tanpa kerelaan menyalibkan kehendak hawa nafsu dosa. 4. Minggu Yohanes Klimakus untuk mengingatkan bahwa melalui penyaliban dirinuntuk mencapi pemulihan gambar di dalam Kristus itu tak dapat dilakukan sekaligus namun melalui tahapan-tahapan seperti tangga (klimaks).5. Minggu Maryam dari Mesir untuk memngingatkan bahwa dosa yang bagaimanapun yang telah dilakukan melalui kasih-karunia Allah dalam Kristus akan mendapatkan pengudusan.Selama masa puasa ini didakan Sembahyang sore setiap hari sebanding dengan Sholat Tarawih dalam Agama Islam. Dselama puasa ini ummat tidak makan apapun, kecuali pada hari berbuka sekali saja sore hari, Dan makanannya adalah vegetarian artinya tanpa makanan dari binatang, kecuali hari Sabtu dan Minggu diijinkan makan ikan, untuk mengingatkan bahwa tujuan puasa ini adalah menuju kepada fitrah seperti Adam sebelum jatuh dalam dosa, dimana pada saat itu dia hanya diberi makanan dari sayur-sayuran dan buah-0buahan saja ( Kejadian 1:29), dan hubungan suamiisteri tidak dilakukan selama masa puasa ini.( I Kor. 7:5). C. Pekan Kudus yang terdiri dari Sabtu Lazarus. peringatan kebangkitan Lazarus, Minggu Palem, Senin Kudus . Selasa Kudus, Rabu Kudus dimana diadakan Pengurapan bagi Kesembuhan Orang Sakit, Kamis Kudus peringatan pembasuhan Kaki murid-murid, ulangtahun penetapan Perjamuan Kudus. Sorenya diadakan Arak-arakan Salib sebagai peruingatan penyaliban Kristus, Jum’at Agungdibacakan 12 bacaan Injil mengenai sengsara Kristus, arakarakan replika Kernda penguburan Kristus, dan Sabtu Kudus Ibadah Kidung dukacita di depan Keranda Krisytus, malam harinya peringatan Kebangkitan Kristus dimana seluruh Gereja dipergelap dan akhirnya lilin dipasang pada segenap jemaat. Lalu dilanjutkan Liturgi Paskah sampai pagi hari. Demikianlah Hari raya Paskah pagi itu merupakan hari Kemenagan Kristus atas Dosa, Maut dan Iblis, dan pada saat itulah sering didakan Baptisan untuk menyatu dengan kemenangan Kristus, serta dipulihkan kembali kepada Fitrah melalui kebangkitan. Disamping puasa agung, ini masih ada beberapa puasa lain dalam Gereja Orthodox disamping puasa harian Rabu dan Jum’at:: sore hari sebelum tanggal 6 Januari peringatan pembaptisan Kristus, menjelang Natal dari 15 November sampai dengan 24 Desember yang bersifat tarak artinya tak berpuasa penuh hanya pantang makanan yang berasal dari binatang hidup, dan lainlain. Disamping itu ada hari-hari dilarang puasa karena sifat pesta dan gembira pada hari itu, misalnya dari masa Natal sampai Theofani, Seminggu sesudah Paskah. dan lain-lain. Demikianlah melalui puasa ini makna Karya Kristus dihayati lebih mendalam lagi, sebagai disiplin untuk makin manunggal dengan kasih-karunia Kematian dan Kebangkitan Kristus. Demikianlah makna Ibadah Puasa itu dimengerti dan dilaksanakan dalam Gereja Orthodox. Sakramen Perjamuan Kudus Gereja Orthodox 244 Sudah kita bahas diatas bahwa seluruh sistim korban dalam Taurat itu sudah secara sempurna digenapi oleh Korban Kristus diatas Kayu Salib, Kebangkitan, dan KenaikanNya ke sorga. Sehingga kita tak memrlukan lagi korban kambing, domba ataupun lembu. Korban kita sudah sekali dan untuk selamanya terjadi tanpa terulangulang kembali, yaitu Kristus itu sendiri. Namun Korban Kristus yang sekali dan untuk selamanya, yaitu Tubuh/Daging dan Darah Kristus, itu kita alami secara Sakramental terus-menerus di dalam Perjamuan Kudus. Dalam pasal keenam dari Injil Yohanes Sang Kristus bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga , melainkan BapaKu yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga. Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberikan hidup kepada dunia……..Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yohanes 6: 32-33, 4851). Kemudian para murid berbalik kepada Yesus dan berkata, ; ” Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.” ( Yohanes 6:34). Dan Yesus mengabulkan permohonan mereka itu. Dia memberikan kepada kita Roti Kehidupan, DiriNya Sendiri, yang kita alami melalui Peristiwa Sakramen Perjamuan Kudus: “Sebab dagingKu adalah benar-benar makanan dan darahKu adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” ( Yohanes 6:55-56). Dalam Perjamuan Kudus itu kita manunggal dengan Kristus, karena tubuh dan darahNya secara sakramental masuk kedalam diri kita, dengan demikian secara sakramental kita telah manunggal denganNya, sebab itu dikatakan oleh Alkitab:” Bukankah Cawan Pengucapan Syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah Roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus?” ( I Korintus 10:16). Kita tidak tahu bagaimana roti dan anggur itu menjadi sarana panunggalan kita dengan darah dan tubuh Kristus, itulah sebabnya peristiwa ini disebut sebagai “Mystirion”. Prinsip yang terjadi dalam peristiwa ini adalah sama dengan peristiwa “TurunNya Kalimat Allah Menjadi Daging” (Yohanes 1:14), dimana dalam wujudNya yang jasmani manusia itu “berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan” ( Kolose 2:9), demikian pula dalam wujudnya yang roti dan anggur itu berdiam secara sakramental seluruh kepenuhan Daya Inkarnasi Kristus, yaitu seluruh keberadaan tubuh dan darahNya yang sekarang mulia di sorga itu. Jadi yang ada dalam Sakramen itu bukanlah tubuh Kristus yang masih tunduk pada maut, namun Tubuh yang sekarang mulia di sorga itu ( Filipi 3:20-21). Sehingga dalam Perjamuan Kudus kita bukan “makan daging busuk” ataupun “minum darah anyir” dari suatu mayat, namun manunggal dalam Tubuh kemanusiaan Kristus yang sekarang telah dimuliakan, agar kita juga menyatu dalam kemuliaan Kristus. Jadi tuduhan kaum rasionalis maupun orang kafir kuno terhadap orang Kristen yang mengatakan bahwa keyakinan Alkitabiah ini sebagai suatu bentuk “kanibalisme” adalah sangat tidak relevan. Dengan panunggalan kita dengan tubuh dan darah kemuliaan Kristus secara Sakramental ini kita diangkat ke dalam realita sorgawi dimana Kristus ada, bukannya kita menurunkan Kristus untuk masuk ke dalam Roti dan Anggur. Jadi kita yang diangkat keatas manunggal dengan Kristus, bukan Kristus yang kita turunkan ke atas altar dalam peristiwa Perjamuan Kudus ini, sebagaimana yang dihayati dalam Gereja Roma Katolik. Demikianlah maka Perjamuan Kudus itu adalah 245 merupakan perjumpaan kita secara pribadi dengan Allah melalui KalimatNya yang menjadi manusia:Yesus Kristus. Disinilah tempat dimana kita bertemu denganNya serta mengundang Dia untuk memasuki jiwa kita. Inilah pengajaran seluruh Gereja Purba, sebagaimana yang dinyatakan oleh para bapa Gereja. Oleh mereka ini Perjamuan Kudus sering disebut sebagai perjumpaan perkawinan antara jiwa dan Tuhannya, suatu persatuan pernikahan antara Allah melalui KalimatNya yang menjelma:Kristus dengan jiwa manusia. Suatu Sakramen “Manunggalnya Hamba dan Tuhannya, serta Tuhan dan HambaNya.” Bapa Suci Kyrillos dari Yerusalem mengatakan demikian:” Kristus telah memberikan kepada anak-anak kamar pengantin, asyik menikmati tubuh dan darahNya”. Penulis Kristen purba lainnya, Theodoret, menulis:" Di dalam makan benda unsur-unsur Sang Pengantin Pria dan minum darahNya, kita telah menjalankan persatuan pernikahan.” Maka, Perjamuan Kudus itu, menjadi suatu hubungan pernikahan yang melaluinya, Sang Pengantin Pria, Kristus Sang Kalimatullah, mempertunang Gereja sebagai Pengantin WanitaNya, dengan demikian mengubahkan suatu masyarakat manusia menjadi Gereja milik Allah. Jadi Perjamuan Kudus adalah merupakan sumber eksistensi Gereja dan landasan kesatuan Gereja sekaligus, sebagaimana yang dikatakan:” Karena roti (dalam Perjamuan Kudus) adalah satu, maka kita sekalipun banyak (sebagai masyarakat manusia), adalah satu tubuh ( Gereja), karena kita mendapat bagian dalam roti yang satu” ( I Kor.10:17). Perjamuan Kudus adalah semacam tranfusi darah kemanusiaan yang telah diilahikan atau dimuliakan ke dalam kemanusiaan kita yang fana. Allah melalui Darah kemanusiaan dari Penjelmaan KalimatNya telah mentranfusikan kepada kita “DarahNya” sendiri yaitu kehidupan ilahi yang mulia, suci, dan memberi-kekekalan ke dalam aliran darah kita serta memberikan kita hidup yang baru. Kekuatan yang baru dan derajat anak-kerajaan. Perjanjian Lama mengatakan darah sebagai kehidupan ( Imamat 17:11-14). Dalam Perjanjian Baru, Perjamuan Kudus menjadi cara yang olehnya kita menerima kehidupan Allah sendiri melalui Darah yang Mulia dari Penjelmaan KalimatNya itu. Suatu saat ada orang berkata demikian:” Saya telah diajar di Sekolah Minggu bahwa Allah itu berada dimana-mana. Namun ajaran ini justru yang membuat saya jengkel. Karena berada dimana-mana itu terlalu kabur buat saya.Saya ingin Allah itu berada di suatu tempat tertentu.” Allah yang hadir dimana-mana itu dapat dialami di suatu tempat tertentu secara khas, yaitu di dalam Perjamuan Kudus. Karena dalam Perjamuan Kudus itu hadirat Allah melalui penjelmaan KalimatNya menjadi daging itu menjadi nyata. Karena dalam Perjamuan Kudus ini Kristus mengatakan :” Inilah TubuhKu….Inilah darahKu.” Dia tak mengatakan “Roti ini adalah lambang TubuhKu” ataupun “Anggur ini adalah lambang DarahKu’, namun yang dikatakan itu adalah “ inilah (yaitu: roti inilah) tubuhKu” dan “ inilah (yaitu: anggur inilah) darahKu”.Ada orang yang menyangkal keyakinan Gereja sepanjang segala abad sejak zaman rasuliah purba dan ajaran Alkitab yang jelas ini dengan mengatakan bahwa tak mungkin yang dimaksud dan darah disini bermakna secara hurufiah, karena Kristus juga sering mengatakan “ Akulah jalan” ( Yohanes 14: 6), “Akulah pintu” ( Yohanes 10:9), “Akulah Gembala yang baik” ( Yohanes 10:11), “Akulah Pokok Anggur yang benar “ ( Yohanes 15: 1), dan lain-lain. Jelas kata-kata ini menunjukkan lambang saja bukan arti sebenarnya. Karena Kristus bukan pintu terbuat dari kayu, bukan gembala yang menggembalakan binatang kambing, bukan tanaman pokok anggur. Semuanya tadi hanyalah kata-kata kiasan saja. Berarti “roti” dan “anggur” dalam Perjamuan Kudus itu adalah juga lambang saja. Sepintas lalu argumentasi ini meyakinkan, namun jika kita perhatikan akan terlihat perbedaan antara kias-kias Yesus mengenai diriNya itu, dengan apa yang dikatakan mengenai Perjamuan Kudus. Meskipun Kristus mengatakan “Akulah Pintu”, namun Dia tak pernah 246 mengatakan “Pintu inilah Aku”, juga “Akulah Gembala yang Baik” namun tak pernah “Gembala yang Baik inilah Aku”, serta “Akulah Pokok Anggur yang Benar”, namun bukan “`Pokok Anggur yang benar adalah Aku”. Demikianlah dalam penetapan Perjamuan Kudus, Kristus tidak mengatakan “TubuhKu adalah Roti” atau “DarahKu” adalah Anggur”sebab jika itu yang dikatakan kita dapat mengerti bahwa maknanya adalah seperti kias-kias yang lain itu. Yang dikatakan Kristus adalah “inilah (yaitu :roti inilah) TubuhKu” dan “inilah (yaitu: Anggur inilah) DarahKu”, jelas jika begitu Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus adalah betul-betul Tubuh dan Darah Sakramental Kristus, bukan Tubuh dan Darah mayat yang telah mati itu, namun Tubuh dan Darah yang sekarang mulia di sorga itu, sebagai dampak langsung makna “Firman itu telah menjadi daging “ tadi ( Yohanes 1:14). Bahwa Roti dan Anggur itu bukan lambang dijelaskan oleh Alkitab mengenai effeknya yang dahsyat bagi orang yang meremehkannya. Ketika ummat Kristen di Korintus melakukan Perjamuan Kudus dengan cara yang tanpa aturan dan tanpa hormat terhadapnya, Rasul Paulus memperingatkan mereka dengan sangat keras :” Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan” (I Korintus 11: 27). Ayat ini menjelaskan bahwa ketidak layakan makan roti dan minum cawan itu menimbulkan dosa, dan dosa itu bukan hanya sekedar pada roti atau anggur namun kepada Tubuh dan Darah Tuhan sendiri. Dengan demikian Roti dan Anggur itu memang sungguh-sungguh Tubuh dan darah Kristus, yang ketidak-layakan atas pengambilannya menyebabkan dosa. Pertanyaannya:” Mungkinkan orang dapat berdosa terhadap sekedar roti dan anggur saja?” Jelas tidak mungkin. “ Mungkinkah orang dapat berdosa terhadap hanya sekedar lambang saja?” Juga tidak mungkin. “Mungkinkah tidak layak mengambil roti dan anggur, langsung disebut sebagai berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan, jika roti dan anggur itu bukan Tubuh dan Darah Tuhan?” Juga tidak. Berarti memang Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus itu bukan hanya sekedar lambang, karena jika tidak layak mengambilnya orang dapat berdosa terhadapnya. Selanjutnya dikatakan:” Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri” ( I Korintus 11: 29). Hukuman dijatuhkan atas orang yang memakan dan meminum Roti dan Anggur “tanpa mengakui Tubuh Tuhan”. Pertanyaannya:” Jika hanya sekedar lambang bagaimana dapat mendatangkan hukuman? Dan jika hanya sekedar lambang mengapa perlu orang harus mengakui “tubuh Tuhan” agar tak mendapatkan hukuman? Mengapa “tanpa mengakui Tubuh Tuhan” atas makan dan minum dari Perjamuan Kudus itu mendatangkan hukuman, jika roti dan anggur itu bukan sungguh-sungguh Tubuh dan darah Kristus?” Dan akibat dari hukuman atas orang yang “tidak layak” serta “tanpa mengakui Tubuh Tuhan” tadi adalah sebagaimana yang ditulis:”Sebab itu banyak diantara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal” ( I Korintus 11:30). Mungkinkah suatu lambang dapat menyebabkan kelemahan, sakit dan kematian? Lambang macam apakah yang sedahsyat ini effeknya? Mungkinkah hanya sekedar roti dan anggur saja menyebabkan lemah, sakit dan mati? Jelas tidak. Dari semuanya ini jelaslah bahwa logika tak mengijinkan, pengalaman batin orang yang sudah mengalaminya menolak, serta bukti Alkitab tak membenarkan bahwa Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus itu hanya sekedar lambang saja. Sungguhlah itu Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun Iman Kristen Orthodox tidak berusaha menjelaskannnya secara filsafat. Misalnya: faham “Transsubtansiasi” artinya: Bentuk dan Wujud tetap Roti dan Anggur, namun hakikat- inti kerotian dan hakikat-inti keangguran telah “berubah” menjadi Tubuh dan Darah Kristus ( Roma Katolik). Lagi, faham “Consubstansiasi” yang berarti: Tubuh Kristus yang Mulia di sorga hadir bersama (con) dan dibawah wujud inti247 kerotian dan inti-keangguran (Luther). Faham “Peristiwa dalam Iman dan Meterai atas Iman “ yang dimengerti bahwa: Roti dan Anggur tak berubah apa-apa pada dirinya sendiri, namun bagi yang punya iman itu memberi dampak persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus sehingga Perjamuan Kudus itu menjadi meterai dari iman yang sudah ada terhadap berita Injil ( Calvin). Dan juga faham “Hanya Sekedar lambang” yang diteorikan bahwa: Tidak terjadi perubahan apa-apa baik pada roti dan anggur maupun pada orang yang menerimanya., karena itu hanya lambang untuk mengenang peristiwa pengorbanan Kristus dimasa lalu saja ( Zwingli). Gereja Orthodox mengakui bahwa itu adalah “Mystirion” sama seperti Penjelmaan Firman Allah menjadi manusia itupun suatu “Mystirion” yang hanya bisa dimengerti oleh iman. Paul Evdokimov menulis;”Gereja Timur memiliki rasa mysteri yang begitu kuat, sehingga tak hendak berusaha menerangkan Perjamuan Kudus itu.”Dan bahwa Roh Kuduslah yang membuat mukjizat terjadinya peristiwa Sakramental dalam Roti dan Anggur ini. Hal ini dinyatakan dengan “Doa Epiklesis” (“Doa Mohon TurunNya Roh Kudus”) dalam setiap Liturgi Suci, dimana presbiter berdoa:”….Turunkanlah RohMu yang Kudus itu kepada kami semua dan keatas benda-benda anugerah yang kami persembahkan ini. Serta jadikanlah roti ini menjadi Tubuh KristusMu yang mulia. Amin. Serta apa yang ada dalam Cawan ini Darah KristusMu yang amat mulia. Amin. Ubahkanlah mereka dengan RohMu yang Kudus.Amin.Amin.Amin.” Sama sebagaimana Roh Kudus turun ke dalam rahim Maryam serta membuat tubuh kemanusiaan Yesus darinya, demikianlah juga Roh Kudus turun ke atas roti dan anggur diatas mezbah, dan menjadikannya berubah dari roti dan anggur biasa, menjadi sarana penghadiran Tubuh dan Darah Kristus secara nyata, serta menjadi sarana kita dimanunggalkan Tubuh Kemuliaan Kristus yang sekarang ada di sorga itu. Aghios Yohanes Damaskinos menulis:” Dan sekarang engkau bertanya, ‘Bagaimanakah roti bisa menjadi tubuh Kristus, serta anggur dan air bisa menjadi Darah?’ Baiklah kuberitahu, Roh Kuduslah yang datang dan membuat Mysteri-mysteri suci ini ….menjadi Tubuh dan Darah Kristus.” Karena Perjamuan Kudus itu suatu Mystirion, jadi bukan hanya Roti dan Anggurnya saja yang sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus, bahkan kitapun berada di Kamar Loteng yang sama dengan para Rasul ketika Kristus pertama kali menetapkan Perjamuan Kudus itu, ketika kita di dalam Liturgi Suci merayakan Perjamuan Kudus tadi. Tuhan yang sama hadir disitu. Roti yang sama hadir di situ. Anggur yang sama hadir disitu. Korban Kristus yang sama dihadirkan disitu. Perjamuan Malam yang sama hadir disitu. Menurut kata-kata dari Nikolai Gogol, Perjamuan Kudus adalah “ penghadiran yang terus menerus secara kekal dari karya agung yang telah terjadi diatas Golgota.” Perjamuan Kudus adalah “menghadirkan lagi” Korban Kristus secara misteri. Korban Kristus dijelaskan oleh Perjanjian Baru sebagai suatu peristiwa yang terjadi sekali dan untuk selamanya, serta yang tak dapat diulang kembali dan yang tak pernah dapat ditambahkan apapun keatasnya. Namun apa yang tak bisa diulang dan tak bisa ditambah ini, di “hadirkan kembali” oleh Roh Kudus secara misteri. Inilah makna dari kata “anamnesis” (“peringatan”) dalam kata-kata Kristus:”….perbuatlah ini menjadi peringatan (“anamnesis”) akan Aku” ( I Kor.11:24, Lukas 22:19). Jadi “anamnesis” bukan hanya sekedar mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu, sehingga Perjamuan Kudus hanya dianggap sebagai “memorial” atau “upacara peringatan” saja sedangkan peristiwanya sendiri sekarang telah tidak ada. Namun anamnesis berarti mengingat dengan cara menghadirkan lagi apa yang diingat itu dihadapan yang mengingatnya. Karena Kristus itu kekal tak berubah maka korbanNyapun kekal juga dan tak berubah. Kristus yang kekal itu hadir dalam Gereja oleh Roh Kudus, maka dalam Roh Kudus itu Ia menghadirkan korbanNya yang tak terulang-ulang itu menjadi suatu pengalaman yang terus menerus 248 bagi GerejaNya. Jadi memang korban Kristus tak pernah terulang, dan presbiterpun tak mengulang-ulang korban Kristus tak pula mengorbankan Kristus lagi diatas altar sebagaimana yang dihayati oleh Gereja Roma Katolik, namun korban yang satu dan yang sama serta yang sekali untuk selamanya itu dihadirkan kembali oleh Kristus dalam Roh Kudus secara Sakramental (bukan secara peristiwa sejarah) di dalam Perayaan Perjamuan Kudus. Korban Kristus dihadirkan oleh Roh Kudus agar kita menerima manfaat korban itu, namun tetap korban yang sekali dan untuk selamanya itu yang dialami. Ini bukan suatu korban baru. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus itu disebut “korban tanpa tercurahnya darah”. Dalam Ibadah Gereja Orthodox, Perjamuan Kudus, bukan hanya peringatan akan kematian Kristus saja, namun juga penguburanNya, KebangkitanNya, KenaikanNya, maupun KenaikanNya ke sorga. Oleh karena itu tak pernah ada pertanyaan dalam Gereja Orthodox, pada waktu kapan Roti dan Anggur itu “berubah” menjadi Tubuh dan Darah Kristus? Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat Imam mengucapkan kata-kata Kristus bagi Penetapan Perjamuan Kudus atau pada saat “Konsekrasi” itulah saatnya perubahan tadi, ajaran ini mendapat reaksi dari Gerakan Reformasi Protestan,sehingga munculnya teori “consubstansiasi”, “peristiwa dan meterai iman” serta “hanya sekedar lambang saja” itu. Dalam Gereja Orthodox, di dalam seluruh Liturgi Suci sejak persiapan sampai pembagian Roti dan Anggur itulah Kristus telah hadir, dan Roti dan Anggur itu dinyatakan sebagai Tubuh dan DarahNya, artinya seluruh Karya Kristus dihadirkan oleh Roh Kudus dalam seluruh peristiwa Liturgi Suci itu. Karena Liturgi Suci merupakan pendramaan dari seluruh kehidupan Kristus, yang keterangan akan hal ini dapat dibaca dalam buku-buku pengenalan tentang iman Kristen Orthodox yang lain. Jadi fokusnya bukan pada roti dan anggur atau pada saat “konsekrasi”, namun pada seluruh peristiwa Liturgi Suci. Itulah sebabnya teori semacam “Transsubtansiasi”, “Consubtansiasi”, “Peristiwa dan meterai Iman” serta “Hanya Sekedar Lambang” itu tak dapat muncul dalam penghayatan Iman Kristen Orthodox. Sebab semua teori ini titikberangkatnya adalah dari ajaran Transsubtansiasi dan reaksi terhadapnya, yang semuanya hanya berfokus pada “Roti dan Anggur” serta pada “peristiwa Konsekrasi” saja. Titik berangkat Gereja Orthodox memang lain. Bahwa Perjamuan Kudus itu suatu “korban” dalam pengertian yang telah kita bahas itu dijelaskan oleh Alkitab demikian:” Perhatikanlah bangsa Israel menurut daging: bukankah mereka yang makan apa yang dipersembahkan mendapat bagian dalam pelayanan mezbah Apakah yang kumaksudkan dengan perkataan ini? Bahwa persembahan mereka (yaitu: para penyembah berhala) adalah sesuatu? Atau bahwa berhala adalah sesuatu? Bukan! Apa yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan rohroh jahat. Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat” ( I Kor.10:18-21). Dalam ayat-ayat ini untuk mengingatkan ummat Korintus agar tidak jatuh pada penyembahan berhala dan ikut-ikutan dalam upacara mereka Rasul Paulus membandingkan tiga bentuk ibadah dari tiga agama yang berbeda, Israel, berhala, dan Kristen. Penyembahan Israel dikaitkan dengan mezbah, berarti itu menunjukkan kepada korban, mereka yang makan apa yang dipersembahkan, yaitu korban, mendapat bagian dalam pelayanan mezbah, yaitu tempat korban di lakukan. Demikian pula korban orang kafir itu mempersatukan orang kafir dengan roh-roh jahat yang kepadanya mereka mempersembahkan korban. Jadi menyatunya atau manunggalnya orang yang makan korban dengan mezbah, dan manunggalnya orang yang makan korban berhala dengan roh-roh jahat itu adalah suatu fakta rohani. Menyatu dengan korban berhala dan ikut memakan darinya berarti “bersekutu dengan roh-roh jahat”. Akhirnya korban berhala ini 249 diparalelkan dengan “Cawan Tuhan” dan “Perjamuan Tuhan”. Berarti Cawan Tuhan atau Perjamuan Tuhan itu dimengerti mempunyai kedudukan sejajar dengan “korban” baik korban Israel yang mempersatukan dengan mezbah maupun korban berhala yang mempersatukan dengan roh-roh jahat. Melalui Perjamuan Tuhan atau Cawan Tuhan itu berarti orang menyatu dengan Tuhan, menyatu dengan korban berhala berarti menyatu dengan roh-roh jahat. Orang Kristen harus memilih satu diantara dua korban ini. Bahwa korban itu disejajarkan dengan perjamuan Tuhan, terlihat pada fakta bahwa korban berhala itu disebut juga sebagai “cawan roh-roh jahat” dan “perjamuan roh-roh jahat”. Maka jika korban kafir bisa disebut “cawan” dan “perjamuan“, maka sebaliknya jelas “Perjamuan Kudus” pun bisa disebut “korban”. Hanya memang korban disini maknanya bukan Imam mengorbankan Kristus diatas mezbah, namun korban Kristus yang sekali dan untuk selamanya itu oleh Roh Kudus dihadirkan kembali melalui peristiwa sakramental di dalam Perjamuan Kudus seperti yang sudah kita bahas diatas. Itulah sebabnya dalam Gereja-Gereja Purba Perjamuan Kudus ini sering disebut “Qorbana deQeddhisa” atau “Haghia Thysia” (Korban Kudus). Karena penghayatan Gereja Roma Katolik tentang Perjamuan Kudus sebagai “ Korban Misa” dalam pengertian “Kristus berulang-ulang dipersembahkan oleh Imam di atas altar” itulah yang menyebabkan Luther, Calvin dan Zwingli bereaksi keras, dan berakibat membuang semua bahasa “korban” dari penghayatan Perjamuan Kudus dalam Gerakan Reformasi Protestan sampai sekarang.Jadi memang Perjamuan Kudus itu sangat penting sekali bagi kehidupan Kristen itu, karena di situlah kita mengadakan persekutuan secara langsung dengan dayaguna danmanfaat dari apa yang dikerjakan Kristus bagi keselamatan kita. Menulis tentang pentingnya Perjamuan Kudus ini, Nikolas Kabasilas mengatakan:”Perjamuan Kudus ini adalah merupakan penggenapan dari seluruh sakramen dan bukan hanya sekedar salah satu dari sakramen-sakramen tadi…Semua usaha manusia mencapai tujuan akhirnya pada Perjamuan Kudus ini.Karena di dalam Sakramen ini kita manunggal dengan Allah itu sendiri, dan Allah sendiri dijadikan manunggal dengan kita dalam suatu panunggalan yang paling sempurna….Inilah mysteri yang terakhir: lebih jauh dari ini tidak mungkin kita pergi lagi, dan tak ada satupun yang dapat ditambahkan padanya.” Aghios Nilus menulis: “ Tak mungkinlah bagi orang beriman untuk diselamatkan, untuk menerima pengampunan dosa-dosa dan untuk diijinkan masuk ke sorga, jika tidak dengan rasa gentar, dengan iman, dan dengan kasih ia menerima Perjamuan dari Mysteri murni dari Tubuh dan Darah Yesus.” 250