Uploaded by Erik Anugra Windi

MONICA NUNIK1435

advertisement
PRINSIP KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG PENANAMAN MODAL TERHADAP PEMBERIAN INSENTIF
BAGI INVESTOR ASING
(Tinjauan terhadap Kepentingan yang Dilindungi
dalam Undang-Undang Penanaman Modal)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Bisnis
OLEH :
MONICA NUNIK GAYATRI
NIM : S 320908011
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial1.
Untuk mewujudkan salah satu tujuan tersebut, telah dijabarkan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
merupakan
prinsip
yang
mendasari
pembentukan
seluruh
peraturan
perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan
agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi
yang mampu mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan demikian,
pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman modal2.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian
dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan
ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu
sistem perekonomian yang berdaya saing3.
Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antar bangsa yang semakin
ketat
sehingga
kebijakan
penanaman
modal
harus
didorong
untuk
menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi
perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Perekonomian dunia
juga diwarnai oleh adanya blok perdagangan, pasar bersama, dan perjanjian
1
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Penjelasan Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3
Ibid.
perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan antarpihak atau
antarnegara yang mengadakan perjanjian. Hal itu juga terjadi dengan
keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional yang terkait
dengan penanaman modal, baik secara bilateral, regional maupun multilateral
(World Trade Organization/ WTO) dan menimbulkan berbagai konsekuensi
yang harus dihadapi dan ditaati.
Berbagai pertimbangan di atas dan mengingat hukum penanaman modal
yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun semakin
mendesak kebutuhan Undang-Undang tentang Penanaman Modal sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri yang selama ini merupakan dasar hukum bagi kegiatan
penanaman modal di Indonesia. Perubahan tersebut diperlukan karena tidak
sesuai
lagi
dengan
tantangan
dan
kebutuhan
untuk
mempercepat
perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan
hukum nasional di bidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak
kepada kepentingan nasional4.
Indonesia sebagai Negara yang sedang berupaya memajukan ekonomi
rakyatnya, sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, niscaya masih
menghadapi banyak persoalan karena lemahnya kemampuan permodalan baik
di tingkat masyarakat, pengusaha bahkan pemerintah. Untuk itu dibutuhkan
kebijaksanaan yang mampu mendorong bagi masuknya penanaman modal
asing
sehingga penanaman modal asing dapat berinvestasi di Indonesia.
Peranan investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari
dua sisi, pertama dari sisi permintaan agregat merupakan salah satu komponen
4
Penjelasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
pengeluaran yang menentukan besar atau kecilnya pendapatan nasional, kedua
dari sisi penawaran agregat, sebagai akibat investasi yang dilakukan, pada
gilirannya akan meningkatkan kapasitas produksi atau out put potensial dan
perekonomian akan meningkat5.
Dalam memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai tantangan.
Tantangan pertama berskala dari dalam negeri, yaitu berbagai keterbatasan
dari sisi permodalan, lebih-lebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi
sejak pertengahan tahun 1997 lalu yang sampai sekarang belum juga pulih.
Tantangan kedua berasal dari luar Indonesia sendiri, yaitu perekonomian
dunia semakin bersifat global, persaingan dalam mengisi pangsa pasar dunia
semakin tajam. Tantangan ketiga adalah perubahan-perubahan yang terjadi di
kawasan Asia dan Asia Pasifik sebagai akibat semakin cepatnya terlaksana
AFTA dan APEC di sektor perdagangan dan investasi yang akan
menimbulkan berbagai peluang usaha terutama di sektor investasi. Tantangan
keempat, kesiapan peraturan-peraturan atau kebijakan untuk mendukung
terciptanya iklim berusaha yang menarik investor6.
Dewasa ini hak untuk meregulasi investasi asing tidak lagi seluruhnya
tunduk pada kedaulatan Negara Tuan Rumah (Host Country). Sejumlah
peraturan WTO (World Trade Organization) membatasi ruang gerak bagi
pemerintah Negara Tuan Rumah untuk menetapkan sejumlah persyaratan dan
pembatasan bagi investasi asing. Agreements on TRIMs melarang sejumlah
persayratan-persyaratan kandungan lokal (local containing requirement),
kebijakan kesimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan
akses valuta asing (foreign exchange limitation) dan pembatasan ekspor
(export limitation) dalam peraturan investasi asing. Selanjutnya dalam
General Agreement on Trade in Service (GATS) menetapkan sejumlah
larangan-larangan atas persyaratan tertentu terhadap investasi asing yang
5
Lili Herawati, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta
Peraturan Teknis, Kapusdilkat badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 2007
6
Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hal. 174
dilakukan melalui kehadiran komersial di sektor jasa. Larangan ini, meskipun
dilakukan dengan sistem liberalisasi bertahap, dan didasarkan pada komitmen
khusus dengan pendekatan daftar positif investasi, namun sudah mengarah
pada larangan pembatasan pemilikan saham, pembatasan bidang usaha,
pembatasan jumlah tenaga kerja asing dan perlakuan lain yang berbeda antara
investor asing dan investor domestik. Belakangan ini WTO (World Trade
Organization) bermaksud melengkapi rezim investasi melalui perundingan
trade and investment yang diharapakan mampu menghasilkan sebuah
perjanjian investasi multilateral. Dengan demikian, jika tiba saatnya maka
seluruh aspek kebijakan investasi asing akan diatur sesuai dengan ketentuan
WTO (World Trade Organization)7.
Bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, peraturan ini
sangat membatasi ruang gerak pemerintah dalam membuat kebijakan yang
menyangkut di bidang ekonomi nasional. Liberalisasi ini tidak dapat dihambat
sehingga merugikan kepentingan nasional Negara berkembang karena
memberikan ruang gerak yang luas bagi penanam modal asing.
Adanya pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal merupakan produk hukum yang merespon perkembangan
tersebut. Undang-Undang ini didasarkan pada semangat untuk menciptakan
iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang-Undang Penanaman
Modal mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain terkait dengan
cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan
usaha, perlakuan terhadap penanam modal, bidang usaha, serta keterkaitan
pembangunan ekonomi dengan para pelaku ekonomi kerakyatan yang
diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal
bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, hak, kewajiban dan tanggung
jawab penanam modal serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan
7
Mahmul Siregar, Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap Kesiapan
Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait Dengan
Peraturan Penanaman Modal, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, 2005
perizinan, koordinasi kelembagaan, penyelenggaran urusan penanaman modal
dan ketentuan tentang penyelesaian sengketa.
Undang-Undang ini memuat bidang yang sebenarnya telah memiliki
peraturan perundangannya sendiri, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok Agraria, yaitu dalam hal pemberian Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian dalam
pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan. Undang-Undang
Penanaman Modal ini tidak dapat berjalan dengan baik karena antara UndangUndang Penanaman Modal dengan Undang-Undang yang lainnya saling
bertentangan (lex posterori derograt legi priori atau konflik Undang-Undang
dengan Undang-Undang yang mengatur materi yang sama)8.
Tumpang tindih peraturan perundangan dirasakan pula di tingkat daerah.
Banyaknya Peraturan Daerah tentang retribusi yang dikenakan kepada
pengusaha yang menanamkan modalnya di daerah-daerah. Padahal dalam
kontrak yang ditanda tangani antara penanaman modal dengan pemerintah
pusat, pungutan-pungutan tersebut telah termasuk dalam kontrak yang
dimaksud sehingga mengakibatkan pemilik modal sering mengalami pungutan
berganda. Keadaan ini menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang
melindungi kepentingan investor domestik maupun investor asing. Tanpa
adanya kepastian hukum, maka akan sulit mengundang para investor baik
investor domestik maupun asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
8
Sudikno Mertokusmo, Diktat Teori Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Jurusan Kenotariatan, UGM, Jogaja, 2002, hal. 30
Undang-Undang Penanaman Modal memberikan perlakuan yang sama
antara investor domestik dengan investor asing. Hal ini menimbulkan
kesulitan bagi industri dalam negeri terutama di saat negara kita sedang
mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dimana 99,97%
usaha di Indonesia adalah unit usaha mikro9. Selain itu, mengenai penggunaan
tenaga kerja asing yang memperoleh kemudahan untuk bekerja di Indonesia,
pemberian fasilitas-fasilitas kemudahan perpajakan, keimigrasian dan
pemberian hak atas tanah dalam jangka waktu yang panjang dinilai sangat
liberal.
Adanya asas non diskriminasi merupakan ketentuan dari Trade Related
Investment Measures (TRIMs) yang menyatakan bahwa setiap negara penanda
tangan persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs) tidak boleh
membeda-bedakan antara penanam modal dalam negeri dengan penanam
modal asing10. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan negara-negara
peserta GATT-WTO tidak boleh lagi membedakan antara pemodal dalam
negeri dan pemodal asing. Hal ini adalah tuntutan arus globalisasi dan
kecenderungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan yang
sama bagi semua peserta dalam perdagangan bebas.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak
menggariskan secara tegas tentang penanaman modal dalam negeri karena
9
Ahmad Zabadi (Asisten Deputi Sarana), Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil
Menengah. Materi disampaikan pada saat Kuliah Kerja Lapangan Program Pasca Sarjana Program
Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10
Nindyo Pramono, op.cit., hal. 376
terlindung dibalik bungkusan asas non diskriminasi dalam penanaman modal
di Indonesia. Hal ini akan mempersempit ruang gerak bagi penanam modal
dalam negeri terutama usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang akan
kalah bersaing dengan penanam modal asing di kancah perdagangan bebas.
Memang, diakui bahwa pengaturan mengenai penanaman modal dalam negeri
yang disatukan secara bersama-sama dengan pengaturan penanaman modal
asing dalam satu Undang-Undang telah menimbulkan kekhawatiran bagi
beberapa kalangan, bahwa nasib penanam modal dalam negeri akan terabaikan
oleh hukum pasar di masa-masa yang akan datang. Sehingga tidak melindungi
kepentingan masyarakat Indonesia terutama kepentingan nasional dan
menimbulkan ketidakadilan.
Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa pembuat Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah mengabaikan falsafah
demokrasi ekonomi Indonesia yang termaktub dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa11 :
1.
Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan;
2.
Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3.
Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat;
11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Al-Hikmah, Surakarta
4.
Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional;
5.
Ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dengan Undang-Undang.
Meskipun kegiatan penanaman modal memberikan sumbangan positif
bagi pembangunan nasional, kegiatan tersebut perlu diatur dan diawasi secara
sekasama karena motif utama para pemilik dana untuk menanamkan modalnya
adalah mencari keuntungan12. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan
yang tegas di bidang penanaman modal. Perlu diciptakan dan dipelihara
keseimbangan antara motif untuk menyertakan penanaman modal dalam
menyukseskan pembangunan nasional sebagaimana yang dikehendaki
pemerintah, dengan motif untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
sebagaimana yang dikehendaki oleh para pemilik modal. Hal ini dilakukan
untuk menjadikan Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia dewasa ini
jangan sampai menjadi tidak efektif karena terlalu banyak dipengaruhi oleh
konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk
mengakomodasi penanaman modal asing di Indonesia. Berdasarkan dari
pemikiran ini, maka penulis melalui tesis ini bermaksud melakukan analisis
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengenai
12
hal. 34
Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2009,
prinsip yang dianut sehubungan dengan pemberian insentif kepada investor
asing.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian
tersebut
di
atas,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan yang akan membawa pada pembahasan yang lebih terarah dari
penelitian yang dilakukan, yaitu :
1. Prinsip apakah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dalam konteks pemberian insentif?
2. Kepentingan apa yang hendak dilindungi sehubungan dengan adanya
insentif bagi investasi asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal?
3. Mengapa kepentingan tersebut yang dilindungi?
4. Bagaimana idealitas undang-undang penanaman modal dalam konteks
pemberian insentif bagi investor domestik dan investor asing?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prinsip yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam konteks pemberian
insentif.
b. Mengidentifikasikan kepentingan yang hendak dilindungi dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang memberikan insentif bagi investasi asing.
c. Menganalisis kepentingan yang dilindungi dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
d. Mengkaji idealitas peraturan perundang-undangan penanaman
modal dalam konteks pemberian insentif bagi investor domestik
dan investor asing.
2. Tujuan Umum
a. Memperluas dan menambah pengetahuan penulis mengenai prinsip
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal terhadap pemberian insentif bagi investasi asing.
b. Memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan tesis sebagai
syarat guna memperoleh derajat magister dalam bidang Ilmu
Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu
Hukum terutama Hukum Perdata, khususnya di bidang Hukum
Bisnis, yaitu menyangkut masalah penanaman modal serta
diharapkan dapat menambah literatur atau bahan-bahan informasi
ilmiah.
b. Memberikan gambaran yang jelas mengenai Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dewasa ini
banyak memberikan insentif bagi investasi asing dan cenderung
mengarah pada liberalisasi ekonomi.
c. Memberikan saran mengenai peraturan perundang-undangan bagi
penanam modal asing agar dapat mencerminkan asas kepastian
keadilan serta melindungi kepentingan nasional.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan
untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.
b. Mencocokkan bidang Ilmu Hukum yang telah diperoleh dalam
teori dengan kenyataan yang ada dalam praktek.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, yaitu
pemerintah, investor dalam negeri, investor asing, para penegak
hukum, masyarakat pada umumnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Penanaman Modal
Pengertian Penanaman Modal Asing terdapat dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
disebutkan bahwa:
Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan
modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
penanam modal dalam negeri.
Sedangkan pengertian Penanam Modal Asing terdapat dalam Pasal
1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
yang menyebutkan: “Penanam modal asing adalah perseorangan warga
negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia”.
Menurut
Salim
H.S,
investasi
diartikan
sebagai
berikut
:“penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing
maupun domestik dalam berbagai bidang usaha terbuka untuk investasi,
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan”.13
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa penanaman modal
asing dilakukan oleh perseorangan warga negara asing, badan usaha asing,
dan/atau pemerintah asing namun di dalam pengaturan yang lebih lanjut,
penanaman modal asing diwajibkan dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 5
Ayat (2) Undang-Undang Pananaman Modal).
2. Jenis Penanaman Modal
a. Investasi Berdasarkan Asetnya14
1) real asset, merupakan investasi yang berwujud, seperti gedunggedung, kendaraan dan sebagainya.
2) financial asset, merupakan dokumen (suarat-surat) klaim tidak
langsung pemegangnya terhadap aktivitas riil pihak yang
menerbitkan sekuritas tersebut.
b. Investasi Berdasarkan Pengaruhnya15
1) Investasi autonomus (berdiri sendiri), merupakan investasi yang
tidak dipengaruhi tingkat pendapatan, bersifat spekulatif. Misalnya,
pembelian surat-surat berharga.
13
Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2008, hal. 10
14
Kamaruddin Ahmad, Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996,
15
Ensiklopedia Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects,
hal. 2
Jakarta, hal.1470.
2) Investasi
induced
(mempengaruhi-menyebabkan),
merupakan
investasi yang dipengaruhi kenaikan permintaan akan barang dan
jasa serta tingkat pendapatannya.
c. Investasi Berdasarkan Sumber Pembiayaannya16
1) Investasi yang bersumber dari modal asing, merupakan investasi
yang bersumber dari pembiayaan asing.
2) Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri, merupakan
investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri.
d. Investasi Berdasarkan Bentuknya17
1) Investasi portfolio, adalah investasi yang dilakukan melalui pasar
modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan
obligasi.
2) Investasi langsung, merupakan bentuk investasi dengan jalan
membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan.
3. Manfaat Investasi
Dampak positif penanaman modal asing dikemukakan secara
sistematis oleh William A. Fennel dan Joseph W. Tyler, serta Eris M Burt.
Dampak Positif itu meliputi 18:
a. Memberi modal kerja.
b. Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan
koneksi pasar.
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
17
Pandji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya,
Semarang, 1994, hal. 46
18
Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional
(WTO), Rajawali, Jakarta, 2004, hal. 6
c. Meningkatkan pendapatan uang asing melalui aktivitas ekspor oleh
perusahaan multinasional (multinasional enterprise atau MNE).
d. Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru.
e. Negara penerima tidak merisaukan atau menghadapi resiko ketika
suatu Penanaman Modal Asing yang masuk ke negerinya, ternyata
tidak mendapatkan untung dari modal yang diterimannya.
f. Membantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negaranegara penerima.
Di samping dampak positif penanaman modal asing, namun
keberadaan modal asing juga memberikan dampak negatif kepada negara
penerima modal. Dampak negatif itu, antara lain :
a. Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian suatu
negara.
b. Perusahaan
multinasional
melahirkan
sengketa
dengan
negara
penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat khusunya
negara-negara berkembang.
c. Penanaman Modal Asing oleh perusahaan multinasional dapat
mengotrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sebagai
akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi
atau bahkan kebijakan politis adari negara penerima.
d. Perusahaan multinasional dikecam telah mengembalikan keuntungankeuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara tempat perusahaan
induknya berada. Praktik seperti ini sedikitnya telah mengurangi
cadangan persediaan mata uang asing dari negara penerima.
e. Adanya tuduhan terhadap perusahaan multinasional yang kegiatannya
telah merusak lingkungan sekitar lokasi usahanya, terutama negaranegara sedang berkembang.
f. Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif
dari penanaman modal di negara-negara berkembang.
4. Pengertian Hukum Investasi
Istilah hukum investasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris,
yaitu investment of law. Dalam peraturan perundang-undangan tidak
ditemukan pengertian hukum investasi. Untuk mengetahui pengertian
hukum investasi, diambil beberapa pandangan ahli hukum. Menurut Ida
Bagus Wyasa Putra, dkk, pengertian hukum investasi adalah19
norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dapat
dilakukannya investasi, syarat-syarat investasi, perlindungan dan
yang terpenting mengarahkan agar investasi dapat mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyat.
Definisi lain dikemukakan oleh Salim. H.S. Beliau mengemukakan
bahwa hukum investasi adalah20
keseluruhan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara
investor dengan penerima modal, bidang-bidang usaha yang
terbuka untuk investasi, serta megatur tentang prosedur dan syaratsyarat dalam melakukan investasi dalam suatu Negara.
Kaidah hukum investasi digolongkan menjadi dua macam, yaitu
kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum
investasi tertulis merupakan kaidah hukum yang mengatur tentang
investasi, di mana kaidah hukum itu terdapat dalam undang-undang,
yurisprudensi, traktat dan doktrin. Sementara itu, hukum investasi tidak
tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Pada umumnya masayarakat yang melakukan investasi
didasarkan kaidah-kaidah yang tidak tertulis21.
5. Objek dan Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Invetasi
Objek merupakan sasaran di dalam penyelidikan atau pengkajian
hukum investasi. Objek itu dibagi menjadi dua macam, yaitu objek
materiil dan objek forma. Objek materiil, yaitu bahan (materiil) yang
19
Ida Bagus Wyasa, dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal.
20
Salim dan Budi Sutrisno,Op.Cit., hal. 10
21
Ibid; hal. 11
54
dijadikan sasaran dalam dalam penyelidikannya. Objek hukum materiil
hukum investasi adalah manusia dan investasi. Objek forma, yaitu sudut
pandang tertentu terhadap objek materiilnya. Jadi, objek forma hukum
investasi adalah mengatur 22:
a. Hubungan antara investor dengan negara penerima modal. Hubungan
antara investor dengan negara penerima modal sangat erat karena
investor
sebagai
pemilik
modal
akan
bersedia
menanamkan
investasinya di negara penerima modal dan negara penerima modal
harus dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum dan
rasa aman. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007, dimana pemerintah memberikan
kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha bagi
penanam modal.
b. Bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi. Bidang-bidang
usaha yang terbuka untuk investasi merupakan bidang usaha yang
diperkenankan untuk dilakukan investasi. Diatur dalam Pasal 12
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun
2007 tentang daftar Bidang Usaha yang Terbuka.
c. Prosedur dan syarat-syarat dalam melakukan investasi dalam suatu
negara. Prosedur dan syarat-syarat merupakan tata cara yang
ditentukan oleh negara penerima modal dalam melaksanakan investasi
dalam suatu negara. Hal ini menjadi penting karena mempengaruhi
tingkat kepercayaan para investor. The professional trustee is now
required to conduct an ongoing investment process that is, in
substance and procedure, more complex and sophisticated than was
previously required by law. It is arguable that asset allocation is the
single most important task in this process. Furthermore, this emerging
22
Ibid; hal 12
investment process may well establish the foundation for a standard by
which not only professional trustees will be measured, but all financial
intermediaries who provide professional investment advice, including
financial planners23.
Di Indonesia setiap penanam modal harus
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dan berkedudukan di
Indonesia yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007. Penanam modal wajib bebentuk Perseroan Terbatas terutama
yang mengajukan permohonan insentif. Pemberian insentif ini diatur
dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007.
6. Asas Hukum
Asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum. Disebut
demikian karena pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi
lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan
hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan
suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan
melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya24.
Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu
bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan
oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum
merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita
sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan,
23
Eugene F. Maloney, The Investment Process Required by the Uniform Prudent Investor
Act, FPA Journal, November 1999
24
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 45
bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah
sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis25.
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja,
melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas
hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum serta tata hukum26.
Mengenai batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa
pendapat para ahli, di antaranya adalah sebagai berikut 27:
a. Pendapat Bellefroid. Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan
hukum positif dalam suatu masyarakat.
b. Pendapat van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itu
tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjukpetunjuk bagi hukum yang berlaku. Pmebentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas
hukum ialah dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif.
c. Pendapat van der Velden. Asas hukum adalah tipe putusan yang dapat
digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan
sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas nilai atau
lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi.
hal.5
25
Ibid, hal. 46
26
Ibid, hal. 47
27
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,
d. Menurut Scholten, bahwa asas hukum adalah kecenderungan yang
diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan
sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan
yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
Dengan demikian, asas hukum ditemukan dan disimpulkan,
langsung ataupun tidak langsung, dalam peraturan-peraturan hukum yang
pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang
bersangkutan. Oleh karena asas hukum terkandung dalam peraturanperaturan
hukum,
sedangkan
peraturan-peraturan
hukum
dalam
masyarakat sifatnya tidak tetap, karena senantiasa mengikuti perubahan
dan perkembangan perasaan yang hidup dalam masyarakat, maka dengan
sendirinya asas hukum yang terkandung di dalamnya pun sifatnya tidak
abadi. Asas hukum berubah sesuai dengan tempat dan waktu28.
Selanjutnya asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo, dibagi
menjadi dua, yaitu 29:
a. Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan
seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, asas lex
posteriori derograt legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak
benar untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain)
oleh hakim.
b. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit dalam
bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya, yang sering
merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt
servanda, asas konsensualisme, asas praduga tak bersalah.
28
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hal. 154
29
hal. 36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1999,
7. Teori Keadilan
a. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita
dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu
sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”30.
Di samping keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan
kepada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga keadilan sebagai
keutamaan moral khusus, yang menetukan sikap manusia pada bidang
tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh sifatsifat yang berikut31 :
1) Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara
orang yang satu dengan yang lain.
2) Keadilan berada di tengan dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya
dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua
pihak : jangan mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga
mengutamakan pihak lain.
3) Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yan tepat
antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan ini
dihitung secara aritmetis atau geometris.
30
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusamedia, Bandung, 2004,
hal. 24
31
Theo Huijebers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke 5, Kanisius,
Yogyakarta, 2005, hal.29
Keadilan yang mengatur hubungan dengan sesama manusia,
meliputi beberapa bidang 32:
1) Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta
benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan
kedudukan orang dalam negara.
2) Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual beli.
3) Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga.
4) Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum
kontrak dan dalam delik privat. Kesamaan yang dituju dalam
bidang-bidang ini ialah kesamaan aritmetis.
5) Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum,
di mana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang konkret.
Aristoteles menghendaki, agar seorang hakim yang mengambil
tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan
ia menyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam
menerapkan hukum pada perkara-perkara konkret itu kesamaan
geometris atau aritmetris tidak berperanan lagi. Apa yang
diperlukan adalah epikea : suatu rasa tentang apa yang pantas.
Sebagai demikian epikea termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang
memberi pedoman bagi praktek hidup negara menurut hukum.
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum
publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan
distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan
atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam
wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan
yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang
32
Ibid, hal. 31
disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan
dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
didapatkan
dalam
masyarakat.
Dengan
mengesampingkan
“pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil
boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya,
yakni nilainya bagi masyarakat33.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu
yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan,
maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang
memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah
dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si
pelaku.
Bagaimanapun,
ketidakadilan
akan
mengakibatkan
terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.
Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah
peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya
pemerintah34.
Dalam
membangun
argumennya,
Aristoteles
menekankan
perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan
keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia
yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan
tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan
dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
dan
hukum
adat.
Karena,
berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu
33
Ibid; hal. 25
34
Carl Joachim Friedrich, loc.cit
dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan
hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia35.
b. Teori Keadilan Thomas Aquinas
Keutamaan yang disebut keadilan menurut Thomas menentukan
bagaimana hubungan orang dengan orang lain dalam hal iustum, yakni
mengenai ’apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu
kesamaan proporsional’ (aliquod opus adaequatum alteri secundum
aliquem aequalitatis modum)36.
Filsuf Hukum Alam, Thomas Aquinas, membedakan keadilan
atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan
keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak
Undang-Undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi :
1) Keadilan distributif (justitia distribution)
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional
diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
2) Keadilan komutatif (justitia commutative)
Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan
antara prestasi dan kontraprestasi. Keadilan ini juga sering disebut
sebagai keadilan tukar menukar. Ukurannya bersifat aritmetis.
Keadilan vindikatif (justitia
vindication)37. Keadilan vindikatif
adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti
35
Ibid; hal. 26-27
36
Theo Huijebers, op.cit., hal. 42
37
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2002,
hal. 156-157
31
Ibid; hal. 157
kerugian dalam tindak pidana38. keadilan ini termasuk dalam
keadilan tukar menukar.
3) Keadilan legal (justitia legalis)
Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan
legal ini. Keadilan legal menuntut supaya orang tunduk pada
semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan
kepentingan umum. Dengan mentaati hukum adalah sama dengan
bersikap baik dalam segala hal, maka keadilan legal disebut
keadilan umum (justitis generalis).
c. Teori Keadilan John Rawls
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori,
betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia
tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun
efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.
Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan
sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya.
atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi
sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal yang lebih besar yang
didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar
keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam
masyarakat yang adil kebebasan warga Negara dianggap mapan; hakhak yang dijamin oleh keadlian tidak tunduk pada tawar menawar
politik atau atau kalkulasi kepentingan sosial. Sebagai kebajikan utama
umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat39.
39
hal. 3-4
John Rawls, A Theory oj Justice (Teori Keadlian), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran keseimbangan itu
diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Agar tidak terjadi
benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada
aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada
masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia
mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan40.
Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh
dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati
dengan orang lain. Hukum justru harus menjadi penuntun agar orang
dapat
mengambil
posisi
tetap
memperhatikan
kepentingan
individunya.
Jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat,
problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah merumuskan dan
memberikan alasan pada sederet prinsip-pisnsip yang harus dipenuhi
oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Dengan diterapkan
pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus
mengerjakan dua hal 41:
1) Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil
tidaknya institusi-institusi dan praktik institusional.
2) Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita ke dalam
memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk
mengoreksi ketidakadilan alam struktur dasar masyarakat.
Rawls tidak menginginkan masyarakat baru (ideal) seperti
disinggung di atas diwujudkan secara mendadak. Menurutnya, banyak
orang memerlukan pendidikan sebelum mereka dapat menikmati
kekayaan kebudayaan yang tersedia bagi manusia sekarang. Di lain
pihak, keyakinannya teguh bahwa hidup bermasyarakat harus
diberikan suatu aturan baru, agar kekayaan dunia dibagi secara adil.
40
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 161-162
41
Ibid; hal. 162-163
Rawls mengakui bahwa kecendurungan manusia untuk mementingkan
diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip
keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli, manusia
akan sampai pada dua prinsip keadilan yang palig mendasar, yaitu42 :
1) Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of
greatest equal liberty)
Menurut pinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas
seluruh keuntungan masyarakat.
2) Prinsip ketidaksamaan atau perbedaan, yang menyatakan
bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan
aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan
golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak
mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan,
pendapatan
dan
otoritas). Rumusan
prinsip
kedua ini
sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu
prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan
yang adil atas kesempatan (theprinciple of fair equality of
opportunity).
Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat
diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu
berbenturan dengan prinsip
yang lainnya. Untuk itu Rawls
memberikan prioritas. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip
kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih
dahulu daripada prinsip kedua dan ketiganya. Selanjutnya, prioritas
kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadlian yang berlaku
(yaitu prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan).
8. Teori Kepastian Hukum
a. Teori Legalitas Lon Fuller
42
Ibid; hal. 165
Peringkat analisis yang fundamental untuk menentukan baik
buruknya aturan hukum atau sistem hukum adalah peringkat analisis
moral. Lon Fuller membedakan muatan moral pada dua aspek, yakni
aspek internal dan aspek eksternal43.
Aspek internal moralitas hukum, menunjuk pada aturan-aturan
tekhnikal dari perwujudan hukum dalam aturan-aturan atau kaidahkaidah hukum sebagai sarana yang memungkinkan aspek eksternal
moralitas hukum dapat diwujudkan. Sedangkan aspek eksternal
moralitas hukum, menunjuk pada tuntutan moral terhadap hukum yang
harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan baik dan adil. Titik
tolaknya adalah asas tunggal pengakuan dan penghormatan atas
martabat manusia (human dignity), yang merupakan induk dari asasasas hukum lainnya. Asas ini mengimplikasikan hak tiap manusia
individual untuk menjadi dirinya secara utuh. Hak ini adalah hak yang
sangat fundamental.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa aspek internal
moralitas hukum adalah aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum
sebagai sarana yang memungkinkan aspek eksternal moralitas hukum
dapat diwujudkan. Asas-asas ini dapat juga dipandang sebagai
landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas
(kepastian Hukum).
Lon Fuller mengemukakan delapan asas sebagai landasan dan
syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas (kepastian
hukum), yakni44 :
1) Hukum Dipresentasikan Dalam Aturan-Aturan Umum
2) Hukum Harus Dipublikasi
3) Hukum Harus Non Retroaktif (Tidak Berlaku Surut)
4) Hukum Harus Dirumuskan Secara Jelas
43
Arief Sidharta, Ethika Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, hal. 8
44
Ibid
5) Hukum Harus Tidak Mengandung Pertentangan Antara Hukum
yang Satu Dengan yang Lain
6) Hukum Harus Tidak Menuntut atau Mewajibkan Sesuatu yang
Mustahil
7) Hukum Harus Relatif Konstan
8) Pemerintah Sejauh Mungkin Berpegang Teguh Pada AturanAturan Hukum (yang Diciptakan Sendiri atau yang Diakuinya).
b. Teori Struktur Hierarki Tatanan Hukum (Stufentheorie) Hans
Kelsen
Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni,
juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang (Stufenthheorie).
Teori melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan
norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu
norma semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut45.
Norma tertinggi yang diandaikan itu disebut norma dasar. Semua
norma yang keabsahannya bisa ditelusuri kembali kepada norma dasar
yang satu itu merupakan sebuah sistem norma, sebuah tatanan norma.
Norma dasar merupakan sumber keabsahan dari semua norma yang
berasal dari tatanan yang sama- ini merupakan alasan umum bagi
keabsahan semua norma itu46.
Fakta bahwa norma tertentu berasal dari tatanan tertentu
didasarkan pada keadaan di mana alasan terakhir bagi keabsahannya
adalah norma dasar dari tatanan ini. Norma dasarlah yang membentuk
45
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 116
46
Hans Kelsen., Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 218
kesatuan dalam berbagai norma dengan memberikan alasan bagi
keabsahan semua norma yang berasal dari tatanan ini.
Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah
hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang hukum.
Kaidah itu berbunyi sebagai berikut : orang harus menyesuaikan diri
dengan apa yang ditentukan (Man soll-sich so varhalten wie die
Verfassung vorschreibt)47. Kelsen tidak menentukan norma dasar itu
sebagai suatu norma dari hukum alam, yakni suatu norma yang
melekat pada hal-hal. Bagi Kelsen, norma dasar itu berfungsi secara
melulu sebagai syarat transendental-logis (transcendental-logische
Voraussetzung) berlakunya suluruh tata hukum. Itu berarti bahwa
keharusan dan kewajiban yang berkaitan dengan hukum tidak berasal
dari isi kaidah hukum tertentu, melainkan dari kaidah hukum sebagai
demikian. Kaidah hukum tidak mewajibkan karena isinya, yakni
karena segi materialnya, melainkan karena segi formalnya.
Kekhasan hukum yang menjadikannya bisa mengatur
penciptaannya sendiri, bisa dilakukan dengan norma yang hanya
mengatur prosedur pembuatan norma lain. Namun ini juga bisa
dilakukan dengan norma yang menetapkan, dalam batas tertentu, isi
norma akan dibuat. Dengan adanya karakter dinamis hukum, suatu
norma absah karena, dan bila, ia diciptakan dengan cara tertentu, yakni
dengan cara yang ditentukan oleh norma lain, yang dengan demikian
47
Theo Huijbers, op.cit., hal. 158
norma yang lain itu merupakan alasan antara untuk keabsahan norma
baru. Oleh karena itu, norma dasar ini merupakan alasan tertinggi bagi
keabsahan norma, norma yang satu diciptakan sesuai dengan yang lain,
dan dengan demikian tebentuklah sebuah tatanan hukum dalam
struktur hierarkisnya48.
Apabila ketetapan itu mempunyai fungsi untuk melaksanakan
suatu peraturan ke dalam hal yang nyata (konkret) tertentu karena
demikian Kelsen menyebutnya ketetapan itu sebagai indiviual norm,
norma yang berlaku terhadap subjek hukum tertentu dengan dengan
perkataan lain suatu norma yang mengikat subjek hukum tertentu.
Adapun Peraturan, Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan
Kaedah Dasar disebutnya General Norm, yaitu norma yang berlaku
atau mengikat umum49.
Hans Nawiasky, salah seorang murid dan Hans Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara
itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan
norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas50:
48
Hans Kelsen, op.cit., hal. 244
49
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 99
50
Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama,
Bandung, 1998, hlm. 10
Kelompok 1
: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan
Pelaksana
dan aturan otonom)
Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada
dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai
istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda
dalam setiap kelompoknya.
Staatsfundamentalnorm adalah norma dasar negara, yakni
sebagai norma tertinggi, sementara Staatsgrundgesetz merupakan
aturan-aturan dasar (pokok) negara. Biasanya, aturan-aturan dasar
negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen negara disebut
dengan Undang-Undang Dasar atau Verfassung dan apabila dituangkan
dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau
Grundgesetze. Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara
membentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang mengikat
umum, sifatnya masih merupakan aturan-aturan pokok, dan belum
mengandung suatu sanksi, dan sifatnya masih umum. Formell Gesetz
atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat dilekatkan
ketentuan
memaksa,
baik
berupa
paksaan
pelaksanaannya
(Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang
baru pada sistem undang-undang inilah kita memperoleh suatu tata
norma hukum yang mengikat (verbindlich) secara nyata. Terakhir
adalah
Verordnung dan Autonomic Satzung atau peraturan
pelaksanaan
merupakan
dan
peraturan-peraturan
peraturan-peraturan
yang
otonom.
Dalam
hal
sifatnya
delegasian
ini
atau
atribusian. Hans Nawiasky mengemukakan lebih lanjut bahwa yang
disebut sebagai peraturan perundang-undangan dalam suatu negara
adalah Formell Gesetz dan semua peraturan pelaksanaannya51.
c. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut. Hal ini
tamapk jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan bahwa52 :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai
berikut :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.”
Kita sudah menyepakati bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum. Rumusan Pancasila ini dijumpai dalam alinea
keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dengan perkataan lain, jika mengikuti teori
Nawiasky,
Staatsfundamentalnorm
Indonesia
adalah
Pancasila.
Sedangkan Staatsgrundgesetz merupakan aturan-aturan dasar (pokok)
negara adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’) yaitu
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang51
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 224
52
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Citra Umbara, Bandung
Undang. Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana &
aturan otonom) merupakan Peraturan Presiden dan Peratusan Daerah.
9. Teori Kepentingan
a. Teori Kepentingan Roscoe Pound
Setiap insan ciptaan Tuhan yang bernama manusia secara
individual
memiliki
kepentingan-kepentingan.
Kepentingan-
kepentingan ini merupakan kepentingan pribadi dan kepentingan antar
pribadi. Kepentingan pribadi-pribadi dapat diupayakan pemenuhannya
masing-masing tanpa saling bertemu ataupun berbenturan namun
kadang-kadang kepentingan antara pribadi dapat bertemu dan
berbenturan satu sama lain53.
Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut 54:
1) Kepentingan Umum (public interest)
a) Kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (social interest)
a) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) Perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) Pencegahan kemerosotan akhlak;
d) Pencegahan pelanggaran hak;
e) Kesejahteraan sosial.
3) Kepentingan Pribadi (private interest)
a) Kepentingan individu;
b) Kepentingan keluarga;
c) Kepentingan hak milik.
53
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001,
hal. 134
54
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 130-131
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu
berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial
dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, klasifikasi
tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehngga
membuat pembentuk undang-undang, hakim, pngacara dan pengajar
hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait
dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu
membantu menghubungan antara prinsip (hukum) dan praktiknya.
b. Teori Kepentingan Nasional
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli
hubungan internasional yang mendefinisikan bahwa kepentingan
nasional suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan
masalah eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan
tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut55:
The concept of the national interest, then, contains two elements,
one that is logically required and in that sense necessary, and
one that is variable and determined by circumstances.
Dengan
demikian
konsep
kepentingan
nasional
menurut
Morgenthau pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua
mempertimbangkan
berbagai
kondisi
lingkungan
strategis
disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di
peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam
mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem
politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun
pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah
55
Martinus Siswanto Prajogo (Tafung Ditkersin Ditjen Strahan Dephan), Kepentingan
Nasional : Sebuah Teori Universal dan Penerapannya oleh Amerika Serikat di Indonesia, 2009
dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya
diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia.
Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf
menyatakan bahwa tujuan dari sebuah negara dalam rangka mencapai
kepentingan nasional adalah56:
The State should promote the internal welfare of its citizens,
provide for defense against external aggression, and preserve the
state’s values and way of life. …No country can long afford to
pursue its own welfare in ways that reduce the security and
welfare of its competitor.
Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa
kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya
didasarkan pada upaya meningkatkan kesejahteraan internal bagi setiap
warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar,
dan melindungi nilai-nilai negara dan cara hidup. Lebih jauh mereka
juga menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah negara dapat mencapai
kepentingan
nasionalnya
dengan
mengurangi
keamanan
dan
kesejahteraannya terhadap kompetitornya. Dan untuk mencapai tujuan
nasional seperti
yang diharapkan maka setiap negara harus
mengkaitkan kepentingan nasionalnya melalui upaya kerjasama
dengan banyak bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan
keamanan global.
Terkait hal tersebut di atas setiap negara selalu berupaya
melakukan kerjasama dengan negara lain, baik dalam bentuk
kerjasama bilateral maupun multilateral. Untuk merealisasikan
kerjasama tersebut diperlukan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan
sebagai alat diplomasi dalam rangka menjamin dan mengembangkan
kepentingan nasionalnya. Dengan demikian terdapat kaitan yang
sangat erat antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri
suatu Negara.
56
Ibid
Dalam konteks ini dua orang peneliti kebijakan luar negeri
menarik
korelasi yang begitu erat dengan kepentingan nasional, antara lain
dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara sudah seharusnya
didasarkan pada beberapa sumber yang mengacu pada berbagai bentuk
kepentingan nasionalnya. Dalam tulisan mereka disebutkan bahwa
kebijakan luar negeri suatu negara yang paling pokok adalah
didasarkan pada kepentingan nasional yang dianggap fundamental
(mutlak). Jenis kepentingan nasional yang dianggap mutlak tersebut
adalah kelangsungan hidup (survival) bangsa tersebut dan integritas
wilayah nasionalnya.
The most fundamental of source foreign policy objectives is
perhaps the universally shared desire to insure the survival and
territorial integrity of the community and state.57
Atau dengan kata lain, keamanan nasional ditempatkan pada
skala prioritas yang paling tinggi. Selanjutnya kebijakan luar negeri
harus didasarkan pula pada sumber kepentingan nasional lainnya yang
dianggap sangat penting (vital). Kepentingan nasional yang termasuk
dalam kelompok ini adalah kepentingan nasional terkait dengan
kepentingan ekonomi bangsa tersebut dan dalam upaya penerapan
sistem demokrasi yang mampu mengakomodasi kepentingan individu
maupun kelompok ekonomi atau bisnis.
… the most important set of domestic sources of foreign policy
arethe economic needs of the community. … It is important to
emphasize that economic neds are fundamental sources of a state’s
foreign policy. … there are strong pressures generated in the
state’s political system to satisfy individual or group economic
needs through foreign policy. 58
57
Ibid
58
Ibid
Selanjutnya kebijakan luar negeri suatu negara seyogianya juga
didasarkan pada sumber kepentingan nasional lainnya yang sifatnya
tidak begitu signifikan. Dengan kata lain kepentingan nasional seperti
ini lebih bersifat sebagai pendukung. Yang masuk dalam kelompok ini
antara lain adalah yang menyangkut upaya memelihara akar budaya
dan ideologi sebagai indentitas yang dapat dijadikan sebagai
kebanggaan dalam percaturan internasional dan perhatian bangsa
tersebut terhadap terciptanya perdamaian dunia sebagai kewajiban
moral yang harus dipenuhi.
B. Kerangka Berpikir
UUD 1945
Pasal 33
Kesejahteraan dan
Kemakmuran Masyarakat
Indonesia
Demokrasi
Ekonomi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement
Establishing the WTO
WTO
Prinsip Non Diskriminasi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal
Norma
Kepentingan
Prinsip
Pemberian Insentif
Investor Domestik
Investor Asing
Bagan.1. Kerangka Berpikir
Sepanjang sejarah terdapat berbagai pemikiran tentang seberapa jauh
negara atas nama hukum harus terlibat dalam kegiatan ekonomi para
warganya. Pemikiran tersebut harus digunakan oleh negara sebagai dasar
dalam menentukan arah kebijakan perekonomian. Arah kebijakan ekonomi
tersebut harus ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Investor Asing
Demikian pula halnya Negara Indonesia mempunyai arah kebijakan ekonomi
yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat, dimana arah kebijakan ekonomi
tersebut dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai landasan pemerintah dalam membuat peraturan-peraturan dalam
bidang ekonomi. Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah adalah untuk
mengatur kegiatan ekonomi di negara ini dengan harapan agar kegiatan
ekonomi dapat dilaksanakan dengan adanya suatu keseimbangan antara para
pelaku pasar dengan masyarakat. Keseimbangan tersebut sangat penting dalam
menjaga perekonomian negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat dan
mewujudkan demokrasi ekonomi.
Dewasa ini hak untuk meregulasi investasi asing tidak lagi seluruhnya
tunduk pada kedaulatan Negara Tuan Rumah (Host Country). Sejumlah
peraturan WTO (World Trade Organization) membatasi ruang gerak bagi
pemerintah Negara Tuan Rumah untuk menetapkan sejumlah persyaratan dan
pembatasan bagi investasi asing. Agreements on TRIMs melarang sejumlah
persayaratan-persyaratan kandungan local (local containing requirement),
kebijakan kesimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan
akses valuta asing (foreign exchange limitation) dan pembatasan ekspor
(export limitation) dalam peraturan investasi asing.
Keikutsertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization), dan
dengan meratifikasi ketentuan-ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The WTO maka
hukum penanaman modal di Indonesia ikut menyesuaikannya. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan produk
hukum pasca ratifikasi ketentuan dalam WTO (World Trade Organization).
Undang-undang ini merupakan awal liberalisasi ekonomi di Indonesia.
Dengan adanya prinsip non diskriminasi yang merupakan ketentuan dari
Trade related Investment Measures (TRIMs), investor domestik dan investor
asing memperoleh perlakuan yang sama dalam hal pemberian insentif. Hal ini
mengakibatkan semakin sempitnya ruang gerak bagi penanam modal dalam
negeri terutama usaha mikro, kecil, menengah dan Koperasi karena mereka
akan kalah bersaing dalam kancah perdagangan bebas di era globalisasi.
Hukum seharusnya dibentuk untuk melindungi berbagai kepentingan.
Tak terkecuali Undang-Undang Penanaman Modal yang seharusnya dibuat
untuk melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan negara maupun
kepentingan penanam modal. Maka sudah suatu keharusan bagi Bangsa
Indonesia merusmuskan suatu peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan keseimbangan berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan untuk
mencegah berbagai ancaman dari pihak luar. Namun keseimbangan ini bukan
dimaknai dalam arti yang sempit, akan tetapi sebagai titik tolak dalam upaya
memasuki dunia global dan mewujudkan demokrasi ekonomi.
C. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah
Bagi Penanaman Modal Asing oleh I Made Putra Wibawa (Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta). Penelitian ini membahas
perlindungan hukum bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing atas Hak
Guna Bangunan serta akibat hukum bagi perusahaan penanaman modal asing
atas inkonsisten Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Mahmul Siregar. Penelitian
tersebut berjudul Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap
Kesiapan Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan
Multilateral yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal (Disertasi
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa liberalisasi kebijakan perdagangan bebas berkaitan
erat dengan peningkatan investasi asing. Namun, hal ini tidak sepenuhnya
dapat digunakan untuk menghapuskan seluruh pembatasan penanaman modal
yang banyak dilakukan oleh negara berkembang. Perbedaan kepentingan
ekonomi pembangunan dan kemampuan antara negara maju dan negara
berkembang membutuhkan ruang yang lebih luas untuk menetapkan kebijakan
penanaman
modal
yang
diselaraskan
dengan
pembangunan negara berkembang.
BAB III
METODE PENELITIAN
kebutuhan
ekonomi
Metode penelitian dapat dirumuskan sebagai tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian59. Oleh sebab itu, sebelum
dilaksanakan suatu penelitian maka terlebih dahulu harus ditentukan metode yang
akan dipergunakan. Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
A. Jenis Penelitian
Di dalam penelitian hukum, metode penelitian yang digunakan
tergantung pada konsep hukum itu sendiri. Soetandyo Wignyosubroto
mengemukakan lima konsep hukum yaitu :
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati serta
berlaku universal.
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan.
3. Hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan
tersistematisasi sebagai judge made law.
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan eksis sebagai
variabel sosial yang empirik.
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pada perilak sosial
sebagai dampak dalama interaksi antar mereka.
Dalam penelitian ini, digunakan konsep hukum pertama dan ke dua,
yaitu hukum merupakan asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
59
Soerjono Soekanto, Pengantar Penlitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta, 1986, hal. 5
serta berlaku universal dan hukum adalah norma-norma positif di dalam
sistem perundang-undangan hukum nasional. Dalam konsep normatif ini
hukum adalah norma, baik yang diidentikan dengan keadilan yang harus
diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan
sebagai perintah eksplisit dan secara positif telah terumus jelas (ius
constitutum) untuk menjamin kepastiannya60.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini merupakan jenis penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,
filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum atau implementasinya61.
B. Bentuk Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karekteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan62. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu
hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu
dalam melaksanakan hukum.
C. Pendekatan
60
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Progam Studi Ilmu
Hukum Pascasarjan Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2005, hal.21.
61
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hal. 101-102
62
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal.22
Pendekatan yng digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Untuk itu peneliti harus melihat
hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut63 :
a) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
a) All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
c) Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierakis.
2. Pendekatan Sejarah (Historis Approach)
Setiap peraturan perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah
yang berbeda. Dengan mengetahui latar belakang sejarah, kemudian dibuat
peraturan perundang-undangan tersebut, maka catur wangsa peradilan
akan memiliki interpretasi yang sama terhadap permaalahan hukum yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud64.
3. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)
Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif,
penjelajahan filsafat akan megupas isu hukum (legal issues) dalam
penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam65.
D. Jenis Data
63
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, 2006, hal. 303
64
Ibid. hal. 318
65
Ibid. hal. 320
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu meliputi data yang
diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan atau melalui literatur-literatur,
himpunan perundang-undangan yang berlaku, hasil penelitian yang berwujud
laporan, yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Bagi
Penanaman Modal Asing oleh I Made Putra Wibawa (Tesis Program Pasca
Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dan
Perdagangan dan
Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap Kesiapan Hukum di Indonesia
Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait dengan
Peraturan Penanaman Modal oleh Mahmul Siregar (Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan).
E. Sumber Data
Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikut, yang
terdiri dari :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the WTO.
f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Bahan Hukum Sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan
penjelasan
terhadap
bahan
hukum
primer,
seperti
bahan-bahan
kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, majalah serta surat kabar.
3. Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus dan
ensiklopedia,.
F. Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan data dalam penelitian ini dibutuhkan cara pengumpulan
data untuk mendapatkan data sekunder yang akan dianalisis. Cara
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi
kepustakaan
dilakukan
dengan
mempelajari
buku-buku
referensi
perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, dokumendokumen dan hasil-hasil penelitian yang ada relevansi kuat dengan masalah
yang diteliti serta informasi yang berasal dari internet.
G. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, digunakan analisis data, yang dibagi dalam beberapa
tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Inventarisasi peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini antara lain :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the WTO.
f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Penafsiran terhadap Undang-Undang
Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah beberapa
peraturan hukum yang mengandung beberapa kesamaan anasir-anasir,
atau bertujuan untuk mencapai obyek yang sama, bahwa diantara
peraturan hukum ternyata terdapat hubungan antara satu dengan yang lain.
Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Setiap peraturan hukum
mempunyai tempat dalam suatu lapangan hukum tertentu, hal ini sebagai
konsekuensi adanya interdepedensi antara masing-masing gejala sosial dan
bahwa hukum merupakan suatu gejala sosial66.
3. Analisis, yang dilakukan dengan memperhatikan penafsiran hukum yang
dilakukan serta asas-asas hukum yang berlaku pada ilmu hukum. Analisis
menggunakan logika deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat
umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari
hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan
kasus-kasus.
BAB IV
66
Sihombing Purwoatmodjo, Pengantar Ilmu Hukum, Sebelas Maret University Press,
Surakarta, 1997, hal. 171
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Prinsip-Prinsip Yang Melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dalam Konteks Pemberian Insentif
Setelah
krisis
moneter
menerjang
Indonesia
pada
tahun
1998/1999,daya saing ekonomi Indonesia terus menunjukkan penurunan.
Pemulihan kembali ekonomi Indonesia pasca krisis moneter relatif lebih
lambat dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh negara-negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Keadaan tersebut
diperburuk lagi dengan kurang siapnya infrastruktur di dalam negeri yang
sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya-upaya pemulihan ekonomi
nasional, dan masih banyaknya praktik ekonomi biaya tinggi terutama di
sektor riil. Hal ini mengakibatkan penanaman modal di tanah air tidak
mengalami perkembangan berarti, dan pemilik modal asing tidak melihat
iklim penanaman modal di Indonesia lebih baik dari yang dimiliki oleh
negara-negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN67.
Untuk merespon keadaan tersebut, pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 26 April 2007 telah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Undang-Undang Penanaman Modal berusaha mengakomodir
perkembangan zaman dimana peraturan sebelumnya, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman
67
RPJMN 2004-2009, Bab 17 Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas, Sub Bab A,
Permasalahan
Modal Dalam Negeri, dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman68.
Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut
antara lain disebutkan :
a) Bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang
berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk tujuan
bernegara.
b) Bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan
penanaman modal selakyaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan
yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah
dan koperasi.
c) Bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan
mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan
peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi
menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
d) Bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu
diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif,
memberikan kepastian hukum, keadilan dan efesiensi dengan tetap
memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
untuk dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada di
masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanaman
68
Marina Eka Amalia, Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, http:\\www. Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal [1]_Legalitas.Org.htm, 23 September 2009, 09.21
modal tanpa mengorbanan kepentingan nasional69.Selain itu, undangundang dimaksud diundangkan pada masa Indonesia berada di tengahtengah euphoria semangat otonomi daerah. Dengan adanya otonomi
daerah maka pemerintah daerah selanjutnya mempunyai hak, wewenang,
dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat. Semangat otonomi daerah tersebut
memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan
urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, dengan arahan
bahwa harus didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
Pemerintah menyadari adanya beberapa kendala pokok yang
dihadapi pemilik modal yang akan menanamkan modalnya di Indonesia,
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dibuat dengan mengantisipasi
hal-hal tersebut. Untuk itu ketentuan yang mencakup perizinan dan
pengesahan pendirian usaha dibuat dengan melakukan layanan terpadu
satu pintu. Dengan sistem pelayanan satu pintu diharapkan bahwa
pelayanan terpadu di tingkat pusat maupun daerah akan dapat
menyederhanakan dan mempercepat penyelesaian perizinan-perizinan
yang dibutuhkan.
Selanjutnya, institusi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
yang sebelumnya telah ada akan lebih ditingkatkan fungsinya dan
ditugaskan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman
modal tersebut. Dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) yang mempunyai fungsi dan tugas untuk meningkatkan
penanaman modal di Indonesia, institusi tersebut diharapkan akan dapat
berperan untuk mengatasi hambatan-hambatan penanaman modal yang
masih sering dikeluhkan oleh pemilik modal, meningkatkan kepastian
pemeberian fasilitas yang menjadi hak penanam modal, serta memperkuat
peran penanaman modal itu sendiri. Tentunya peningkatan peran
penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan
69
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 193
pembangunan nasional dengan tetap memperhatikan kestabilan ekonomi
makro, keseimbangan ekonomi antar wilayah, antar sektor ekonomi, antar
pelaku usaha dan kelompok masyarakat, mendukung peran serta usaha
nsional, serta memnuhi kaidah tata kelola yang baik (good corporate
governance).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga mengatur bahwa
pemberian fasilitas penanaman modal harus tetap mempehatikan daya
saing perekonomian dan kondisi keuangan negara, dan diusahakan untuk
dapat tetap promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh
negara-negara tetangga lainnya. Untuk memberikan kepastian hukum
kepada para pemilik modal, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 diatur secara lebih rinci tentang bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak
atas atanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor. Selain itu, undangundang dimaksud dirancang dengan tetap memperhatikan aspek-aspek
penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi nasional
dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang
lebih menguntungkan bagi penanam modal yang menggunakan barang
modal atau mesin-mesin peralatan produksi dalam negeri. Dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut juga diberikan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan penanaman modal yang terkait dengan lokasi
penanaman modal di daerah tertinggal dan di daerah-daerah yang
mempunyai infrstruktur.
Penanaman modal di era globalisasi tidak dapat dipisahkan dari
rangkaian perjanjian-perjanjian internasional, di mana Indonesia telah ikut
serta melibatkan diri
di dalamnya. Hal tersebut sebelumnya telah
diantisipasi oleh pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007, dan pemerintah juga telah mendapatkan ruang gerak yang
cukup luas untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai
perjanjian internasional yang telah ada maupun yang akan dibuat di
kemudian hari. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk mendorong
terciptanya kerja sama internasional lainnya guna memperbesar peluang
pasar regional maupun internasional bagi produk-produk barang dan jasa
yang dihasilkan oleh Indonesia. Selain dari itu ditempuh juga kebijakan
pengembangan ekonomi di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini ditempatkan
sebagai bagian penting dari upaya untuk menarik potensi pasar dan
sebagai daya pendorong guna meningkatkan daya tarik pertumbuhan suatu
kawasan atau wilayah ekonomi khusus, yang mempunyai sifat strategis
untuk pengembangan perekonomian nasional.
Perekonomian dunia yang ditandai dengan persaingan antar bangsa
yang makin ketat dewasa ini juga turut menjadi pemicu dari terbitnya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Perekonomian dunia dewasa ini
telah diwarnai oleh blok-blok perdagangan, adanya pasar bersama, dan
perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan
antar pihak atau antar negara yang mengadakan perjanjian. Hal demikian
juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia di berbagai kerja sama baik
secara bilateral, regional, maupun multilateral (World Trade Organization)
yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi yang mau tidak mau harus
dihadapi. Bagaimanapun juga, Indonesia telah menandatangani Konvensi
MIGA di Washington DC pada tanggal 27 Juni 1986 yang diikuti dengan
meratifikasinya pada tahun yang sama, sehingga Indonesia harus
menundukkan diri pada aturan-aturan yang ada pada Konvensi MIGA
tersebut. Walaupun secara tidak jelas disebutkan, beberapa klausula dari
Konvensi MIGA telah dimasukkan Indonesia ke dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 seperti asas perlakuan yang sama atau non
diskriminasi antara penanaman modal dalam negeri dengan penanaman
modal asing.
Sehubungan dengan asas, maka asas dapat diartikan menjadi 2
pengertian yang berbeda, yaitu sebagai dasar, alas, pondamen di satu
pihak, dan di pihak lain juga dimaksudkan sebagai suatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat70. Sedangkan
70
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, cetakan ke 2, Refika
Aditama, Bandung, 2003, hal. 67
menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan ”jantungnya”
peraturan hukum. Disebut demikian karena pertama, ia merupakan
landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum71. Ini
berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Dengan demikian, asas hukum
merupakan prinsip-prisip yang dianggap dasar atau fundamen hukum.
Asas-asas itu dapat juga disebut titik tolak dalam pembentukkan undangundang dan interpretasi undang-undang tersebut.
Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan
suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan
melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya72. Kalau dikatakan, bahwa
dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan
peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu
mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena asas hukum
mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa melalui asas
hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian
dari suatu tatanan etis73.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, menyebutkan bahwa asas-asas penanaman modal
meliputi hal-hal sebagai berikut :
a) Kepastian Hukum
Yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah asas dalam
negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan
tindakan dalam bidang penanaman modal.
b) Keterbukaan
71
Satjipto Rahardjo, loc.cit.
72
Ibid
73
Ibid
Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah asas yang terbuka
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.
c) Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah asas yang
menentukan
bahwa
setiap
kegiatan
dan
hasil
akhir
dari
penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d) Perlakuan yang Sama dan Tidak Membedakan Asal Negara
Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama dan tidak
membedakan
asal
nondiskriminasi
negara"
berdasarkan
adalah
asas
ketentuan
perlakuan
peraturan
pelayanan
perundang-
undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan
penanam modal dari negara asing lainnya.
e) Kebersamaan
Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah asas yang
mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam
kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
f) Efisiensi Berkeadilan
Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah asas yang
mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan
efisiensi berkeadilan dalam usaha. Yang dimaksud dengan "asas
efisiensi berkeadilan" adalah asas yang mendasari pelaksanaan
penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam
usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing.
g) Berkelanjutan
Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah asas yang secara
terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui
penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam
segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan
datang.
h) Berwawasan Lingkungan
Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan" adalah asas
penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
i) Kemandirian
Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah asas penanaman
modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa
dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing
demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
j) Keseimbangan Kemajuan dan Kesatuan Ekonomi Nasional.
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional" adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan
kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Sehubungan dengan asas-asas dalam penanaman modal yang telah
disebutkan di atas dapat dilihat keterkaitannya pada tataran perundangundangan khususnya peraturan perundang-undangan yang hierarkhinya
lebih tinggi. Pemikiran Mariam Darus, tentang asas-asas hukum, maka
asas-asas suatu penanaman modal haruslah bersumber pada Pancasila
sebagai asas idiil (filosofis), Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan
undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Pancasila sebagai jiwa,
pandangan hidup dan dasar negara Republik Indonesia merupakan dasar
yang bersifat lebih abstrak, yang kemudian dijabarkan secara lebih konkret
ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran
dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut merupakan konkretisasi dari Pancasila ke dalam aturan-aturan
hukum positif, sehingga dengan demikian Pancasila akan menyentuh
kehidupan nyata masyarakat Indonesia74. Dengan mengkaji lebih jauh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka akan
ditemukan di dalamnya asas-asas hukum yang relevan baik terhadap
hukum perdata maupun dengan hukum bisnis dan hukum penanaman
modal, yakni 75:
a) asas kesatuan dan persatuan
b) asas negara hukum
c) asas persamaan
d) asas keadilan
e) asas kerakyatan
f) asas kemanusiaan
g) asas kekeluargaan
h) asas keseimbangan
i) asas kebebasan yang bertanggung jawab
j) asas demokrasi ekonomi
k) asas bhineka tunggal ika
l) asas kepentingan nasional
m) asas kepastian hukum.
Sedangkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemberian insentif
dapat dilihat dalam Energy Charter Treaty Part III yang menyebutkan :
a) non-discriminatory and national treatment of investments;
b) minimum standards under international law (including treaties);
c) eschewing barriers such as domestic-content requirements , exportrelated import quotas, and restriction on access to foreign exchange;
d) entry and work permits for ‘key personnel’;
74
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,Proyek Penulisan
Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 1997, hal. 16
76
Ibid, hal. 21
e
)compensation for requisitioned assets or assets destroyed by use of
excessive force in the event of armed conflict or disturbance;
f) ‘prompt, adequate and effective’ compensation in the event of
expropriation, repatriation of capital, profits and contract payments in
convertible currency76.
2. Kepentingan yang Hendak Dilindungi Sehubungan dengan Adanya
Insentif bagi Investasi Asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal
Penanaman modal menjadi salah satu alternatif yang digunakan
untuk memecahkan masalah kesulitan pembiayaan dalam pembangunan
nasional. Selain itu, penanaman modal juga memberikan dampak yang
baik pada negara penerima. Dampak positif penanaman modal asing
tersebut menurut William A. Fennel dan Joseph W. Tyler, serta Eris M
Burt, meliputi 77:
a) Memberi modal kerja.
b) Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan
koneksi pasar.
c) Meningkatkan pendapatan uang asing melalui aktivitas ekspor oleh
perusahaan multinasional (multinasional enterprise atau MNE).
76
Jan Paulsson, Arbitration Without Privity, Foreingn Investment Law Journal,
International Center for Settlement of Investment Disputes, Volume 10, Number 2, Fall 1995
77
Huala Adolf, op.cit., hal. 6
d) Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru.
e) Negara penerima tidak merisaukan atau menghadapi resiko ketika
suatu Penanaman Modal Asing yang masuk ke negerinya, ternyata
tidak mendapatkan untung dari modal yang diterimannya.
6. Membantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negaranegara penerima.
Dengan adanya dampak-dampak positif penanaman modal asing,
yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal antara lain
78
:
a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
b) Menciptakan lapangan kerja.
c) Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
d) Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional.
78
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di China, beberapa
hal pokok yang menjadi tujuan penanaman modal asing. To direct foreign investment to go along
with the development scenario of Chinese industries, and to avoid blind investment, the Chinese
government promulgated in June 1995 the Interim Provisions for Guiding Foreign Investment and
the Industrial Catalogue for Foreign Investment. The industrial projects in the catalogue are
divided into four categories ― the encouraged, permitted, restricted, and prohibited. In late 1997,
the Chinese government revised the above-mentioned catalogue in line with the development of the
national economy. The revised catalogue reflects expansion in the investment scope encouraged by
the state and highlights priority industries. It embodies the principles of compliance with
structural readjustment, of being conducive to the introduction of advanced technology, and
encouragement of foreign investment in China's central and western areas. The items in the
catalogue encouraged for foreign investment mainly include: new agriculture technologies,
comprehensive development of agriculture, energy resources, communications, important raw
materials, new and high technologies, export-oriented and foreign-currency-earning projects,
comprehensive utilization and regeneration of resources, prevention of environmental pollution,
and those that give play to the advantages of China's mid-west areas. Meanwhile, foreign
investment is directed to the technological upgrading of traditional industries and old industrial
bases and to the continued development of labor-intensive projects that comply with the state's
industrial policies. Foreign investment is prohibited in projects that endanger the state security
and bring damages to public interest; that cause pollution of the environment and damage natural
resources and public health; that use large farmland and are unfavorable to the protection and
development of land resources; and that endanger the security and normal function of military
facilities. The state will continue to make appropriate revisions to the Industrial Catalogue for
Foreign Investment and to the Interim Provisions for Guiding Foreign Investment in accordance
with the development need of the national economy and China's commitment on the entry of the
WTO.
(China
Through
A
Lens,
China
Internet
Information
Cente,
http://www.china.org.cn/english/index/htm.).
e) Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional.
f) Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.
g) Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill dengan
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.
h) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penanaman modal di
Indonesia, maka pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan dasar
tentang penanaman modal yang dimaksudkan untuk lebih mendorong
terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal,
sekaligus untuk penguatan daya saing perekonomian nasional yang akhirakhir ini dirasakan mengalami banyak kemunduran. Adanya berbagai
langkah yang diambil pemerintah, diharapkan akan mampu untuk
mempercepat dan meningkatkan penanaman modal di Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah memberikan berbagai fasilitas kepada penanam
modal baik penanam modal asing maupun dalam negeri untuk mencapai
hasil tersebut. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal
yang telah memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan antara lain79:
79.
Salim dan Budi Sutrisno, op.cit., hal. 274. In order to coordinate economic
development in different areas, the Chinese government is encouraging foreign investment in
central and western China. Key measures being taken are as follows. 1). The state has approved
and issued the Catalogue of Advantageous Sectors for Foreign investment in Central and Western
Regions. Projects included in this catalogue enjoy the same policy as offered to projects of
encouraged category in the Industrial Catalogue for Foreign Investment, and favorable tax policy
applies to the import of necessary equipment, parts, spares and technology used in such projects.
2). There will be fewer restrictions in investment fields, and on the conditions for establishment of
foreign-invested enterprises in central and western China, as well as on the proportion of shares
owned by the foreign contingent of the foreign-invested enterprises in these areas. 3). Encouraged
Projects in central and western China shall pay income tax at the reduced rate of 15 percent for
three years on expiry of the current favorable tax period. 4). If foreign-invested enterprises
reinvest in central and western China with foreign capital accounting for 25 percent or more of
the project, the new project will enjoy policies offered to enterprises with foreign investment. 5).
Trial projects approved by the central government should, in principle, be carried out
simultaneously in eastern, central and western China. On approval from the state government,
provincial and autonomous regional capitals and municipalities may open the fields of commerce,
foreign trade and banking to foreign investment on a trial basis. Foreign-funded banks in western
a) Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai
tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan
dalam waktu tertentu.
b) Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal,
mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri.
c) Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan
penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan
persyaratan tertentu.
d) Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor
barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang
belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu.
China may embark on RMB business gradually. Foreign investors may invest in
telecommunications and tourism insurance in accordance with relevant regulations, and set up
Sino-foreign joint venture accounting firms, engineering design companies, railway and highway
freight transport and public utility companies, and other fields open to foreign investment. 6).
Provinces, municipalities and autonomous regions in central and western China may select a
built-up development area in the provincial or regional capital and apply for the status of a
national economic and technological development zone. 7). Enterprises with foreign investment
engaged in energy and transportation infrastructure will pay income tax at the reduced rate of 15
percent with approval from the State Bureau of Taxation. 8). In the interests of protecting the
ecological environment, income from special products reverting cultivated land to forestry and
grassland is exempt from special agricultural product tax for a period of ten years. 9). There are
also preferential policies for land use and mineral resource exploration, promoting forest farming
and grass planting on barren mountain slopes and fields, and the reverting of cultivated land to
forest and grassland. Those who revert cultivated land to forest and grassland enjoy land use
rights, as well as rights of ownership of forest or grassland. Economic entities and individuals
may apply to utilize barren mountain slopes and fields according to legal procedures, plant trees
and grass, and practice ecological environmental protection. Alternatively, they can be granted
the land use rights directly from the state, in which case the land utilization fee will be either
exempted or reduced. Land use rights will remain unchanged for a period of 50 years. On
expiration of this period, application may be made for renewal of these rights. The granted rights
of land use may be inherited, or transferred on payment of a transfer fee. The government supports
activities involving mineral resource exploration, evaluation, rational utilization and protection.
10). Foreign investment is encouraged in agriculture, water conservancy, transportation, energy,
ecological and environmental protection, tourism, mining, municipal engineering and other
infrastructure projects in western China. The establishment of foreign-invested research and
development centers are also encouraged, and will be given support in terms of funding for
accessory projects and pertinent policies. 11). Trials in western China to utilize foreign capital
through BOT and TOT methods are encouraged. The state supports enterprises in the encouraged
and permitted categories in the west to attract foreign investment through assignment of operation
right, offering equity interests and enterprise merger and reorganization. (China Through A Lens,
China Internet Information Center, http://www.china.org.cn/english/index/htm).
e) Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat.
f) Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Selain fasilitas tersebut, pemerintah juga memberikan kemudahan
pelayanandan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk
memperoleh :
a) Hak atas tanah.
b) Fasilitas pelayanan keimigrasian.
c) Fasilitas perizinan impor.
Pada umumnya, negara berkembang meyakini penanaman modal
sebagai suatu keniscayaan karena penanaman modal merupakan salah satu
motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong
perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan
masyarakatnya80.
Setiap
negara
selalu
berusaha
meningkatkan
pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut
dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan
negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah
menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya81.
Menarik investasi sebanyak mungkin ke dalam suatu negara
didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu
negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang
industri. Untuk mengarah kesana, sejak awal negara-negara tersebut
dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang
merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang
ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang
80
Ibid
81
Ahmad Yulianto, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam
Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 39.
masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri82. Sejalan
dengan itu, penghimpunan dana pembangunan perekonomian melalui
pelaksanaan penanaman modal asing dipercaya sebagai pilihan yang lebih
baik dibandingkan dengan penghimpunan dana internasional lainnya
seperti pinjaman luar negeri83.
Sehubungan dengan insentif yang diberikan oleh pemerintah yang
menetapkan bahwa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan
badan dalam jumlah dan jangka waktu tertentu hanya dapat diberikan
kepada penanam modal baru yang termasuk dalam industri pionir, yakni
industri yang memiliki keterkaitan yang luas, yang memberi nilai tambah
dan eksternalitas yang tinggi, industri yang memperkenalkan teknologi
baru, serta industri yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian
nasional. Selain dari itu, untuk penanaman modal yang sedang
berlangsung yang memerlukan penggantian mesin-mesin ataupun barang
modal lainnya, pemerintah juga dapat memberikan keringanan atau
pembebasan bea masuk. Dengan adanya pemberian keringanan fasilitas
bea masuk maka penanam modal dapat melakukan penggantian
(replacement) atas mesin-mesin produksinya yang telah usang, sehingga
target produksi dapat dipenuhi oleh peralatan yang ada.
Keringanan di bidang perpajakan merupakan salah satu hal yang
sangat diinginkan oleh para penanam modal, baik penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing. Keringanan tersebut dibutuhkan
terutama pada masa-masa awal penanam modalnya sampai saat
penanaman modal tersebut dapat menghasilkan. Untuk memberikan
keringanan perpajakan84 tersebut, pemerintah antara lain telah menerbitkan
82
Ridwan Khairandy, Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam
Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 51.
83
Yulianto Syahyu, Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme
Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5, Tahun 2003,
hlm 46.
84
Insentif khusus bagi investor asing (Non-residents) di Singapura memperoleh beberapa
bentuk pembebasan maupun keringanan pajak, antara lain : pajak atas bunga dari deposito pada
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas PPh (Pajak
Penghasilan) untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha dan
Daerah tertentu. Fasilitas yang diberikan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tersebut menyangkut:
a) Pengurangan penghasilan neto kena pajak sebesar 30% selama 6
(enam) tahun.
b) Penyusutan dan amortisasi dipercepat.
c) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun.
d) Pengenaan potongan pajak atas deviden yang dibayar kepada wajib
pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Selain insentif mengenai perpajakan, pemerintah juga memberikan
insentif kepada penanam modal berupa kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan hak atas tanah. kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak
atas tanah yang diberikan oleh pemerintah ditempuh dengan cara hak atas
tanah diperpanjang di muka sekaligus, dan dapat diperbaharui kembali
sesuai permohonan penanam modal. Kemudahan-kemudahan tersebut
berupa :
a) Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 95
(sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun, dan
kemudian dapat diperbaharui kembali selama 35 (tiga puluh lima)
tahun;
b) Hak Guna Bangunan (HGB) yang dapat diberikan untuk jangka waktu
80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan
bank-bank di Singapura; pembebasan pajak atas estate duty dari deposito dalam mata uang
Asia,bonds dalam Dollar Asia, bonds pemerintah Singapura, serta pendapatan yang diperoleh dari
kredit luar negeri yang disetujui atau fasilitas jaminan; tidak diterapkan skema pajak berganda;
tidak diterapkan pajak-pajak atas capital gain, turn over, devolepment, surtax atas impor ke
Singapura. (Ida Bagus Rahmadi Supanca, Kerangka Hukum Kebijakan Investasi Langsung di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 116)
diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun, dan
kemudian dapat diperbaharui kembali selama 30 (tiga puluh) tahun;
serta
c) Hak Pakai (HP) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 70 (tujuh
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun, dan kemudian dapat
diperbaharui kembali selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Badan Koordinasi Penanaman Modal juga memberikan program
yang bernama Regional Champions, yaitu merupakan bagian terpadu
program promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal yang dirancang
khusus untuk membuka pintu lebih lebar bagi beberapa wilayah terpilih di
Indonesia yang memiliki nilai potensial yang bisa cepat direalisasikan
(quick wins)85. Badan Koordinasi Penanaman Modal memahami bahwa
setiap daerah berada pada tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda
dan memiliki tingkat kesiapan yang berbeda pula dari segi kemampuan
untuk menarik dan memfasilitasi investasi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pendekatan yang berbeda untuk tiap-tiap daerah.
Tahap pertama program Regional Champions adalah mengangkat 7
provinsi (Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan Timur dan Papua) yang sudah memiliki kemampuan
lebih dalam menarik investasi dari luar dan dalam negeri. Badan
Koordinasi Penanaman Modal menggunakan sistem penilian kuantitatif
dan kualitatif untuk menentukan wilayah yang terpilih. Kriteria tersebut
terdiri dari pertumbuhan ekonomi regional, tekad untuk melakukan
reformasi dan kesiapan perangkat daerah (khususnya di bidang iklim
investasi), dan ketersediaan serta kualitas dari infrastruktur ‘lunak' dan
‘keras’.
85
BKPM,<http://www.bkpm.go.id/contents/P26/REGIONAL+CHAMPIONS/74>, 24
Maret 2010, 10.15
Program ini akan mengupayakan kegiatan promosi bersama yang
komprehensif dan terarah untuk wilayah-wilayah ini guna menarik sumber
dana investasi langsung yang lebih besar. Selain itu, program ini
mengupayakan investasi strategis yang akan menjadi katalisator bagi
pertumbuhan perekonomian daerah yang bersangkutan. Dengan program
ini, diharapkan agar kisah sukses yang datang dari Regional Champions
ini dapat memotivasi dan menjadi inspirasi bagi provinsi lain untuk
mengikuti langkah keberhasilan tersebut.
Walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah dalam
Undang-Undang Penanaman Modal ini, namun para investor masih kurang
berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Terbukti dengan
merosotnya realisasi investasi dari tahun 1990 hingga tahun 2009 pada
tabel di bawah ini :
PMDN/Domestic Direct Investment
PMA/Foreign Direct investment
Tahun/
Proyek/
Nilai/Value
Proyek/
Nilai/Value
Year
Project
(RpMiliar/Billion)
Project
(RpMiliar/Billion)
1990
253
2.398,6
100
706,0
1991
265
3.666,1
149
1.059,7
1992
225
5.067,4
155
1.940,9
1993
304
8.286,0
183
5.653,1
1994
582
12.786,9
392
3.771,2
1995
375
11.312,5
287
6.698,4
1996
450
18.609,7
357
4.628,2
1997
345
18.628,8
331
3.473,4
1998
295
16.512,5
412
4.865,7
1999
248
16.286,7
504
8.229,9
2000
300
22.038,0
638
9.877,4
2001
160
9.890,8
454
3.509,4
2002
108
12.500,0
442
3.082,6
2003
120
12.247,0
569
5.445,3
2004
130
15.409,4
548
4.572,7
2005
215
30.724,2
907
8.911,0
2006
162
20.649,0
869
5.991,7
2007
159
34.878,7
982
10.341,4
2008
239
20.363,4
1.138
14.871,4
2009
248
37.799,8
1.221
10.815,2
Tabel.1. Perkembangan Realisasi Investasi, 31 Desember 2010
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (2010)
Menurut data yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), realisasi total investasi mengalami kenaikan yang
mencolok. Total persetujuan investasi selama Januari-Maret 2007 sebesar
Rp 204,3 triliun, meningkat 447,2% dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Sejak dasawarsa 1970-an, realisasi investasi yang telah
disetujui oleh BKPM berkisar antara 20-40%. Selama Januari-Maret 2007
pun realisasinya ”hanya” Rp 40,59 triliun atau sekitar 20%, yang terdiri
dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PDMN) sebesar Rp 23,17 triliun
dan Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp 59,91 triliun.
Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp 248,5
triliun. Musim paceklik investasi di Indonesia jelas terlihat dari
menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data BKPM menunjukkan,
nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp 119 triliun dengan jumlah proyek
723 unit. Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 triliun dengan 196
proyek. Rekor investasi asing langsung yang masuk lewat PMA
menunjukkan perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar US$ 3,4 miliar
dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1
miliar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit.
Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia
diikuti dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut
sebagai net capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran
Indonesia, terutama pos investasi asing langsung, mencatat angka negatif
sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru pada sejak
tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti
mulai turning point86.
3. Urgensi Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Alasan pertama suatu negara mengundang suatu modal asing adalah
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna
memperluas lapangan kerja. Baru kemudian dengan masuknya modal
asing, tujuan-tujuan lain ingin dicapai seperti mengembangkan industri
substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong esport non migas
untuk menghasilkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana dan
mengembangkan daerah tertinggal.
Menurut Raden Pardede, pertumbuhan ekonomi yang dapat
menyerap tenaga kerja adalah pertumbuhan ekonomi sekitar 6-7 prosen
dengan kisaran angka itu diperkirakan lapangan kerja dan tabungan
masyarakat meningkat87. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 5% (lima
prosen) tahun 2005 dan 5,5% (lima koma lima prosen) pada 2006,
memerlukan investasi Rp. 379,8 triliun dan Rp. 471,4 triliun. Dari
investasi yang diperlukan tahun 2005 sebesar Rp. 379,8 triliun, hanya Rp.
82,3 triliun yang diperkirakan berasal dari pemerintah. Sebagian besar
yakni Rp. 297,5 triliun berasal dari masyarakat. Sementara itu, untuk tahun
86
Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator
Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM,
<http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29270>, 10
Desember 2009, 15.10
87
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 13
2006, dari investasi Rp. 471,4 triliun, dari masayarakat Rp. 378,6 triliun
dan siasnya Rp. 92,9 trliun berasal dari pemerintah. Dalam perkembangan
berikutnya,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
dan
Pemerintah
sepakat
menurunkan angka pertumbuhan ekonomi 2008 menjadi 6,5%-6,9% dari
asumsi semula 6,6%-7%. Angka ini dilandasi masih rendahnya realisasi
investasi dan daya beli konsumen Indonesia88.
Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan
perekonomian negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya
beberapa negara berusaha keras untuk meningkatkan investasinya. Salah
satu cara peningkatan investasi yang diharapkan adalah melalui investasi
asing. Para investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan dapat
membawa langsung dana segar atau fresh money dengan harapan agar
modal yang masuk tersebut dapat menggerakkan roda perusahaan atau
industri yang pada gilirannya dapat menggerakkan perekonomian suatu
negara89.
Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara
berkembang merupakan salah satu peranan yang sangat signifikan dalam
memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara berkembang
kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah
utama dalam pembangunan ekonomi. Sehingga diantara negara-negara
berkembang yang menjadi perhatian bagi investor adalah tidak hanya
sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah
bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan
kepastian hukum dan kepastian berusaha. Ada beberapa alasan Indonesia
memerlukan modal asing, yakni90 :
a) Penyediaan Lapangan Kerja
88
Ibid
89
Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi: Penataan Hukum Investasi dalam
Upaya Mendorong Investasi di Indonesia, <http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=9>, 15
Januari 2010, 11.08
90
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 14
Sejak terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997 yang
kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, pengangguran
mengalami peningkatan yang sangat besar. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia, yaitu :
1) Terjadinya krisis ekonomi sehinga menyebabkan menurunnya
kegiatan usaha dan investasi asing.
2) Banyak perusahaan mengalami kebangkrutan karena utang dalam
negeri atau luar negeri membesar akibat melemahnya rupiah. Salah
satu dampak lain krisis moneter adalah ketidakmampuan
perusahaan membeli bahan baku luar negeri, menurunnya
permintaan masyarakat akan barang/jasa, sehingga banyak
perusahaan yang gulung tikar atau untuk mencegah kerugian yang
lebih besar sebagian pengusaha mengurangi produksi dan
mengurangi jumlah tenaga kerja.
3) Laju pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja tiap tahun sebesar
1,7 juta orang.
Untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia tidak
bisa hanya mengandalkan dari penerimaan pajak, hasil ekspor migas
dan non migas, tabungan dalam negeri dan bantuan luar negeri. Jika
hanya mengandalkan sumber dalam negeri, angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia tidak akan bekelanjutan. Untuk itulah diperlukan
adanya investasi asing.
Pertumbuhan
pertumbuhan
angka
ekonomi
investasi
dan
jelas
selanjutnya
akan
mempengaruhi
mempengaruhi
jumlah
pengangguran serta perputaran roda ekonomi. Jika tidak ada
perkembangan ekonomi yang optimal akan memicu terjadinya ledakan
pengangguran yang akan menciptakan permasalahan sosial dan
memperburuk stabilitas keamanan maupun politik. Gejolak sosial
politik pada gilirannya mengganggu pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
b) Mengembangkan Industri Substitusi Import untuk Menghemat Devisa
Pada permulaan kembalinya modal asing ke Indonesia dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Pemerintah mengembangkan industri substitusi
import, untuk devisa. Perusahaan-perusahaan asing di Indonesia
dengan demikian memproduksi barang-barang yang sebelumnya
diimport. Dengan berkurangnya import, Indonesia akan memproduksi
barang-barang jadi dan dapat menghemat devisa.
c) Mendorong Berkembangnya Industri Barang-Barang Ekspor non
Migas untuk Mendapatkan Devisa
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpuruknya nilai ekspor
Indonesia, antara lain :
1) Rendahnya harga komoditas migas
2) Rendahnya nilai tukar rupiah dan tingginya tingkat suku bunga.
Perubahan nilai tukar telah mengakibatkan meningkatnya biaya
produksi (biaya penggunaan bahan baku, bahan penolong impor
dan biaya produksi)
3) Rendahnya produksi sektor riil
4) Melemahnya daya saing komoditas tradisional seperti pakaian jadi,
sepatu, kayu lapis dan karet yang telah diolah.
5) Pasar domestik tidak tumbuh sementara pasar internasional ambruk
akibat jatuhnya ekonomi global. Pasar-pasar tradisional ekspor
Indonesia seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang saat itu
memang sempat terpuruk dalam krisis ekonomi.
Merosotnya nilai ekspor Indonesia mengancam sektor riil. Daya
saing industri berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja besar
menjadi sangat menurun. Ini terjadi antara lain pada industri, kayu,
pulp dan kertas, elektronik, textil, alas kaki dan produk kulit yang
merupakan 70% dari total ekspor non migas dan menyerap 70% dari
total tenaga kerja.
Sejak krisis ekonomi ekspor nasional non migas, terus
mengalami penurunan. Padahal dari ekspor inilah, Indonesia bisa
memperoleh devisa dengan cepat sehingga dapat digunakan untuk
melakukan perbaikan ekonomi. Untuk menutup defisit transaksi
berjalan, pemerintah harus memacu nilai ekspor baik migas maupun
non migas. Upaya peningkatan ekspor menghadapi berbagai masalah
seperti, masalah likuiditas mata uang asing, penegakkan hukum yang
lemah, kurangnya jaminan keamanan, serta terlalu seringnya frekuensi
perubahan kebijakan.
Untuk meningkatkan nilai ekspor baik migas dan non migas
diperlukan adanya investasi asing. Dengan peningkatan nilai ekspor
diharapkan akan meningkatkan devisa atau valuta asing yang
dicadangkan dan dikuasai oleh bank. Dana inilah yang akan digunakan
untuk membiayai impor dan kewajiban lain kepada pihak asing.
d) Pembangunan Daerah-Daerah Tertinggal
Investasi asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan
dalam pembangunan yang dapat digunakan untuk membangun
infrastruktur, seperti pelabuhan, telekomunikasi, perhubungan udara,
air minum, listrik, air bersih, jalan, dan rel kereta api. Pembangunan
infrastruktur ini diperlukan dalam rangka membangun daerah-daerah
yang tertinggal atau rusak akibat terjadinya berbagai konflik seperti di
provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku dan Poso.
Pembangunan daerah tertinggal menjadi agenda pemerintah
dalam rangka untuk mengentaskan kemiskinan. Banyak daerah
tertinggal yang sebenarnya memiliki potensi pariwisata sehingga
investor diharapkan dapat meningkatkan promosi investasi pariwisata.
Dengan demikian investasi dapat mengembangkan sumber daya
penduduk setempat dan mengurangi pengangguran.
e) Alih Teknologi
Penanaman modal asing diharapkan dapat mewujudkan alih
teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan. Kelemahan negara
berkembang dalam bidang teknologi akan sangat mempengaruhi
proses transformasi dari agraris menuju industrialisasi. Untuk itulah
diperlukan adanya dana yang cukup untuk dialokasikan dalam
pengembangan teknologi. Bagi Indonesia, investasi asing mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi dan alih
teknologi.
Pada sisi lain, untuk meningkatkan pengembangan teknologi
informasi, pemerintah Indonesia harus mendatangkan investor asing
yang bergerak dalam bidang teknologi informasi. Investasi tersebut
digunakan untuk mengurangi kesenjangan digital sesuai target
pemerintah bahwa seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki akses
internet tahun 2006.
Untuk menarik investor asing, kemudahan-kemudahan investasi
saja tidak cukup tetapi diperlukan juga adanya perlindungan Hak Milik
Intelektual. Hal ini untuk mengatasi berbagai pelanggaran atau
pembajakan pada piranti lunak (software). Pada saat ini di Indonesia,
pembajakan software mencapai 88% dan mendudukkan Indonesia
sebagai salah satu negara tertinggi tingkat pembajakanna di dunia
setelah Vietnam dan Cina.
Pada tahun 1986 sampai dengan 1990an mulai ada perubahan
orientasi dalam kebijakan investasi yang lebih terbuka dan mulai
dilakukan upaya deregulasi dalam berbagai struktur kebijakan ekonomi
termasuk dalam bidang investasi. Pada masa ini upaya-upaya yang
mengarah ke liberalisasi ekonomi perdagangan dan investasi semakin
mengedepan dan sikap pemerintah terhadap investasi asing semakin
terbuka. Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa awal berkembangnya
”paradigma liberal” yang mendorong perkembangan perekonomian
Indonesai terintegrasi dengan perekonomian internasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara industri maju
senantiasa memanfaatkan dan menggunakan pengaruhnya pada saat
perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)-Putaran
Uruguay. Hal ini dilakukan untuk memuluskan perusahaan transnasional
mereka guna memperluas kekuatan monopolitisnya ke semua sektor
ekonomi dunia. GATT yang sejak awal berdirinya didominasi oleh negaranegara maju (hanya 6 dari 23 negara pendiri berasal dari negara
berkembang)91, dalam perkembangannya sering hanya membahas dan
membicarakan usulan dari negara-negara maju. Sehingga, kepentingan
negara-negara berkembang belum bisa terakomodasi dalam GATT. Dalam
perkembangannya, sampai putaran ke delapan (Putaran Uruguay),
kepentingan negara-negara berkembang sering tidak mendapat perhatian
dari negara-negara maju. Hal ini bisa kelihatan jelas apabila kita melihat
aturan-aturan dalam GATT yang hanya engatur perdagangan komoditi
sekunder, yang notabene merupakan kepentingan negara maju.
Dampak
terhadap
aturan
ini
adalah
perusahaan-perusahaan
transnasional dari negara-negara indstri maju di bidang jasa yang
beroperasi di Indonesia harus diberlakukan sama seperti perusahaanperusahaan atau pengusaha jasa domestik. Dengan kata lain pemerintah
Indonesia tidak dimungkinkan lagi membuat aturan-aturan yang bersifat
diskriminasi atau bersifat membatasi gerak atau aktivitas bisnis pengusaha
atau perusahaan jasa asing. Dalam kondisi yang demikian sangat
dimungkinkan dalam waktu dekat perusahaan transnasional milik negaranegara maju akan menguasai pangsa pasar negara-negara Dunia Ketiga.
Padahal sektor jasa merupakan sektor terkahir yang masih tersisa bagi
kontrol lokal, jejak impor produk manufaktur semakin menyerobot pasar
barang-barang buatan lokal.
91
Adi Sulistyono, Reformasi Hukum Ekonomi IndonesiaLembaga Pengembangan
Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetkan UNS (UNS Press), , Surakarta, 2008,
hal. 60
Sedangkan dalam hal investasi, sebagaimana yang diatur dalam
Trade Related
Investment Measure (TRIMs), negara-negara maju
menginginkan agar Dunia Ketiga menghapus sebagian besar dari peraturan
investasi yang menghambat investor asing. Mereka mengatakan aturan
semacam itu merusak perdagangan bebas, karena peraturan itu memiliki
pengaruh terhadap kondisi produksi, dan dengan demikian juga terhadap
berbagai ongkos dan harga. Di samping itu, negara-negara industri juga
berkeras menuntut, agar investor asing diperlakukan sama seperti para
investor lokal. Diskriminasi terhadap penanaman modal asing yang selama
ini biasa digunakan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin
harus dihapus dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk negara
berkembang dan 7 (tujuh) tahun untuk negara-negara miskin.
Sebelum disepakatinya TRIMs, pemerintah Indonesia masih dapat
melakukan pembatasan terhadap perusahaan-perusahaan ata pengusaha
jasa asing dalam rangka melindungi perusahaan atau pengusaha domestik.
pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dalam bentuk,
antara lain :
a) Penanaman modal asing harus menggunakan komponen-komponen
lokal dalam proses produksi industri.
b) Persyaratan penggunaan bahan baku, bahan setengah setengah jadi
komponen dan suku cadang dalam negeri dalam suatu kegiatan usaha
atau dalam produksi suatu barang, baik yang diproduksi sendiri
maupun yang diperoleh dari perusahaan lain dalam negeri (local
product/contain requirements).
c) Persyaratan ekspor yang dikaitkan dengan investasi (eksport
requirements).
d) Persyaratan
keseimbangan
perdagangan
(tradebalancing
requirements).
e) Pembatasan kapasitas produksi tertentu (manufacturing limitations).
f) Ketentuan jenis produksi (manufacturing requirements).
g) Kaharusan
membuat
produksi
tertentu
(mandatary
product
requirements)
h) Pembatasan transfer devisa (remittance transfer requirements).
i) Persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements).
j) Keharusan komposisi pemilikan saham antara partner asing dan
partner local (local eqity requirements)
k) Incentives.
4. Idealitas Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Konteks
Pemberian Insentif Bagi Investor Domestik dan Investor Asing
Di era liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan
megacompetition, investor semakin leluasa dalam berinvestasi. Untuk itu
penerima modal harus menyiapkan berbagai sarana dalam menarik
investor. Sebagaimana diketahui, pada era tahun tujuh puluhan, motivasi
investor asing untuk berinvestasi di berbagai kawasan adalah memperoleh
sumber daya alam dan memproduksi dari lokasi yang lebih murah. Namun
pada era tahun delapan puluhan, motivasi relokasi lebih penting. Hal ini
disebabkan, karena biaya produksi semakin tinggi. Lebih penting lagi
adalah perusahaan-perusahaan transnasional telah mengglobal, lalu mereka
mulai menciptakan jaringan produksi antar berbagai lokasi berdasarkan
sumber daya alam dan tenaga kerja serta kepabilitas teknologi, proses
produksi yang dapat dibagi antar lokasi berbeda. Jaringan produksi
dibentuk, umumnya produk akhir diekspor ke negara lain. Pola tersebut
telah menciptakan kaitan antara perdagangan dan investasi di berbagai
kawasan dan merupakan tuntutan.
Dampak globalisasi yang dapat dirasakan dewasa ini adalah adanya
keterbukaan dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang bisnis
yang lebih dikenal dengan istilah era pasar bebas atau liberalisasi
perdagangan. Globalisasi memang tidak bisa dibendung, meskipun
perdebatan tentang globalisasi masih terus bergulir. Oleh sebab itu, dalam
memasuki pasar global jika ingin berhasil dalam kompetisi harus
mempunyai nilai tambah (value added). Untuk itu berbagai pihak pun
menggunakan kesempatan atau peluang yang semakin terbuka tersebut
tentunya dengan tujuan dan sudut pandang masing-masing. Oleh karena
itu, bagi pihak yang mempunyai naluri atau para pemilik modal tentu akan
memanfaatkan peluang ini untuk melakukan perluasan jaringan usahanya
ke berbagai penjuru dunia dengan satu tujuan agar dapat merebut pasar.
Pemilik atau pemodal biasanya mengendalikan bisnis atau bagian
bisnis tersebut di negara lain. Maka, investasi asing dalam hal ini
perusahaan multinasional memang tidak bisa dilepaskan dari politik
ekonomi global artinya seringkali juga kehadiran perusahaan multinasional
tersebut dapat membawa pengaruh terhadap kebijakan negara yang
bersangkutan. Atau paling tidak, perusahaan multinasional tersebut akan
memanfaatkan peluang atau celah dalam peraturan perundang-undangan
negara tersebut untuk kepentingan perusahaan multinasional itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, maka negara tujuan investasi (host country)
harus mengantisipasi masalah ini. Artinya kemungkinan adanya celah
yang dapat merugikan kepentingan nasional harus diminimalisasi sekecil
mungkin.
Di lain pihak, dengan semakin terbukanya arus komunikasi maka
hubungan antar negara pun semakin dipererat melalui perjanjian
internasional, baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional
seperti, United Nation, World Bank yang melahirkan berbagai konvensi,
baik yang berkaitan langsung dengan dunia bisnis maupun tidak langsung
dengan dunia bisnis. Selain itu bisa juga terjadi, para pemimpin negara
tersebut melahirkan berbagai kesepakatan baik yang bersifat bilateral
maupun multilateral dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi
masayarakat di negara tersebut. Salah satu perjanjian yang cukup
membawa pengaruh dalam dunia bisnis dalam dekade terakhir ini adalah
didirikannya organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal dengan
World Trade Organization (WTO) di Marakesh (Maroko) pada tahun
1994. Hasil keseakatan ini tentu membawa dampak juga dalam bidang
bisnis yakni muncul apa yang dikenal dengan era liberalisasi atau era
perdagangan bebas (free trade).
Akibat yang muncul dari adanya era liberalisasi perdagangan adalah
para pemilik modal akan mendapatkan berbagai kemudahan atau tidak ada
lagi perbedaan perlakuan sesama pebisnis yang berada di bawah payung
anggota World Trade Organization (WTO) dalam menjalankan bisnisnya
di berbagai tempat yang dikehendaki oleh pebisnis tersebut. Untuk itu,
berbagai negara pun mencoba menangkap peluang ini dengan menciptakan
iklim bisnis yang kondusif khususnya di bidang investasi di negaranya
secara sungguh-sungguh. Langkah yang ditempuh dalam menciptakan
kondisi investasi yang kondusif yakni dengan mengadopsi kaedah-kaedah
yang lahir dalam lalu lintas pergaulan internasional. Dengan cara ini
diharapkan ada standar minimum yang dapat dijadikan ketentuan investasi
di negara tersebut mempunyai kualifikasi internasional.
Beberapa prinsip yang mendasari dalam General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) 1994 yang membawa implikasi dalam bisnis yakni
Prinsip Most Favored National Treatment. Menurut prinsip ini tidak boleh
ada diskriminasi terhadap semua anggota World Trade Organization
(WTO), yang kedua yakni prinsip National Treatment. Menurut prinsip ini
mensyararkan suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan
secara diskriminasi antar produk impor dengan produk lokal (produk yang
sama) dengan tujuan proteksi. Selain kedua prinsip itu, dalam lampiran
ketentuan WTO, juga dicantumkan ketentuan perdagangan yang dikaitkan
dengan investasi yang lebih dikenal dengan Trade Related Investment
Measures (TRIMs). Dikaitkannya masalah perdagangan dengan investasi
mempunyai beberapa alasan yakni 92:
a) Karena adanya pengaturan tertentu dari masalah penanaman modal
asing di negara-negara tertentu yang dapat menyebabkan pembatasan
perdagangan dan memiliki distorsi-distorsi tertentu;
92
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004, hal.88
b) Untuk melakukan elaborasi terhadap ketentuan General Agreement on
Tariff and Trade (GATT) yang berkenaan dengan efek restriktif
terhadap perdagangan dari pengaturan dan praktik tentang penanaman
modal asing di negara-negara anggota WTO;
c) Untuk mempromosikan dan memfasilitasi investasi di negara-negara
anggota WTO yang sesuai dengan liberalisasi perdagangan, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masingmasing negara anggota WTO.
B. Pembahasan dan Analisis
1. Prinsip-Prinsip Yang Melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dalam Konteks Pemberian Insentif
Berdasarkan hasil penelitian, hal yang mengemuka dan menjadi
kekhawatiran masyarakat dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut adalah adanya
asas perlakuan yang sama. Ini terjadi karena asas perlakuan yang sama
akan membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi penanaman modal
asing di Indonesia. Pemberian kesempatan yang sedemikian luasnya
kepada penanam modal asing dapat melemahkan penanam modal dalam
negeri. Mengingat penanam modal asing mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan dengan penanam modal dalam negeri, selain permodalan
yang lebih kuat, tekhnologi yang digunakan lebih canggih, sumber daya
manusia yang lebih handal membuat posisi penanam modal dalam negeri
semakin terhimpit.
Asas perlakuan yang sama juga memberikan dampak negatif bagi
perindustrian dalam negeri, dimana 99,97% merupakan industri kecil dan
sangat membutuhkan modal untuk membangun usahanya. Dikhawatirkan
dengan adanya asas perlakuan yang sama, industri dalam negeri tidak
mampu untuk bersaing dengan industri penanam modal asing sehingga
menyebabkan dominansi asing dalam ekonomi di Indonesia. Oleh karena
itu, perlu ada batasan-batasan untuk melindungi industri dalam negeri dari
dominansi asing. Batasan-batasan tersebut, yaitu :
bahwa penanaman modal asing itu hanya boleh diperkenankan
apabila ia dapat mendorong dan membantu rakyat Indonesia untuk
secara ekonomis dapat berdiri sendiri atas kekuatannya sendiri,
dan/atau penanaman modal asing itu tidak merugikan rakyat
khsusunya pengusaha nasional, dalam arti menyaingi secara tidak
sehat usaha-usaha pengusaha nasional kita sendiri sehingga usahausaha yang ada terpaksa gulung tikar, atau usaha-usaha yang baru
tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara
wajar93.
Pada Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing tidak dikenal dengan adanya asas perlakuan yang sama. Asas
ini baru muncul pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, dimana
situasi perdagangan dunia pada waktu penerbitan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 telah berubah mengikuti
arus globalisasi dan
kecenderungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan yang
sama bagi semua negara peserta dalam perdagangan bebas. Pemerintah
Indonesia sendiri telah menandatangani Konvensi MIGA yang salah satu
klausula di dalamnya adalah bahwa negara-negara penandatangan
konvensi tidak boleh menciptakan diskriminasi bagi penanam modal
dalam negeri terhadap penanam modal asing. Di dalam kesepakatan
GATT-WTO khususnya yang berkaitan dengan perdagangan dan investasi
yang disebut dengan Trade Related
Investment Measure (TRIMs)
ditentukan juga bahwa setiap negara penanda tangan persetujuan TRIMs
tidak boleh membeda-bedakan antara penanaman modal dalam negeri
dengan penanaman modal asing. Oleh karena itu, peraturan perundang93
Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transisional dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, Binatjipta, Bandung, 1972, hal. 35
undangan negara-negara peserta GATT-WTO tidak boleh lagi membedakan
adanya modal asing dan modal dalam negeri94.
Dengan membandingkan antara asas-asas penanaman modal yang
tercantum pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dengan asas-asas
yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang disebutkan di atas, maka akan jelas kelihatan bahwa
asas-asas dalam penanaman modal tersebut adalah sejalan dan tidak
bertentangan dengan asas-asas yang tercantum pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila.
Sebagaimana yang telah disebutkan semula, Undang-Undang yang
berlaku sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tidak
mencantumkan secara khusus asas-asas penanaman modal seperti yang
terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut. Meskipun
demikian, asas-asas yang secara nyata dicantumkan dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 sebenarnya secara tidak langsung
dikandung juga oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, karena kedua Undang-Undang
tersebut juga didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan tidak dicantumkannya secara
eksplisit asas-asas penanaman modal pada kedua Undang-Undang yang
disebutkan terlebih dahulu tidak berarti bahwa landasan penanaman modal
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1968 menjadi lebih lemah. Karena Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republk Indonesia Tahun 1945 berlaku di seluruh tumpah
darah Indonesia, maka penanaman modal di Indonesia tetap berlandasakan
94
Jonker Sihombing, op.cit., hal. 90
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Konsiderans Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing anatara lain menyebutkan bahwa Pancasila
adalah landasan idiil dalam membina sistem ekonomi Indonesia dan yang
senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi. Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap
merupakan acuan untuk pengaturan kebijakan ekonomi Indonesia menuju
masyarakat Indonesia yang sejahtera seperti yang tertera pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
Apabila diteliti lebih jauh akan kelihatan bahwa Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 yang menerapkan asas perlakuan yang sama
terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan permasalahan
tersebut, yakni 95:
a) Kontroversi terjadi karena adanya problem ideologis. Pihak yang
menganut paham nasionalis memandang bahwa hal ini tidak cukup
menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan nasional
(sense of nacional priority) misalnya terhadap pelaku investasi dalam
negeri seperti usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Sehingga
akan terus terjadi perdebatan karena perbedaan ideologis ini.
b) Perlakuan yang sama terhadap investor asing tampaknya secara
agregat tidak akan memberikan perkembangan yang signifikan karena
selama ini investasi asing ini masih relatif kecil. Secara empiris,
investasi asing besar tapi share terhadap total invesment di Indonesia
masih rendah. Aliran modal asing sekitar 1-3 % Gross Domestic
Product (GDP) sedangkan total investasi dalam negeri sebesar 20%.
c) Masalah ketiga mengenai waktu. Saat ini kita baru saja merasakan
euforia demokrasi dan globalisasi. Saat ini masyarakat merasa tidak
nyaman dengan semangat liberalisasi. Jika Undang-Undang ini terbit
sebelum krisis mungkin akan berbeda.
95
Sosialisasi UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
IPB International Convention Centre (IICC), 29 Oktober 2007
Dengan adanya permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut
menyebabkan menjadi semakin sempit ruang gerak bagi penanam modal
dalam negeri, terutama yang termasuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil,
Menengah dan Koperasi. Mereka akan kalah bersaing dalam kancah
perdagangan bebas dalam era globalisasi dewasa ini. Perekonomian global
menuntut Indonesia untuk lebih terbuka terhadap pihak asing dalam
pembangunan ekonmoni nasional khususnya pada kebijakan penanaman
modal. Di sisi lain, kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional harus
menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian.
Untuk menemukan jalan keluar atas polemik ini, kebijakan penanaman
modal asing di Indonesia tentunya harus dikembalikan kepada hukum
dasar (grundnorm) perekonomian nasional sebagaimana digariskan dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki
tujuan yang ideal untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan
kedaulatan ekonomi nasional.
2. Kepentingan yang Hendak Dilindungi Sehubungan dengan Adanya
Insentif bagi Investasi Asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal
Secara teoritis, paling tidak terdapat tiga varian pemikiran dalam
memahami kebijakan penanaman modal yang dapat dipilih untuk menjadi
dasar pertimbangan atau pijakan kebijakan hukum investasi dari sisi
kepentingan host country. Varian-varian tersebut adalah: Pertama, yang
mewakili kelompok Neo Classical Economic Theory yang sangat ramah
dan menerima dengan tangan terbuka terhadap masuknya investasi asing,
karena investasi asing dianggap sangat bermanfaat bagi host country.
Kedua, yang mewakili kelompok Dependency Theory yang secara
diametral menolak masuknya investasi asing dan menganggap masuknya
investasi asing dapat mematikan investasi domestik serta mengambil alih
posisi dan peran investasi domestik dalam perekonomian nasional.
Investasi asing juga dianggap banyak menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat baik terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia ataupun
lingkungan. Ketiga, pandangan yang mewakili kelompok “jalan tengah”
(the middle path theory) yang memandang investasi asing selain
bermanfaat (positif) juga menimbulkan dampak (negatif). Karena itu
negara harus berperan untuk dapat mengurangi dampak negatif melalui
berbagai kebijakan hukum yang ditetapkan antara lain melalui penapisan
(screening) dalam
perizinan
dan
upaya sungguh-sungguh
dalam
penegakan hukum96.
Berbagai studi tentang penanaman modal asing menunjukkan bahwa
motif suatu perusahaan menanamkan modalnya di suatu negara adalah
mencari keuntungan. Keuntungan tersebut diperoleh dari berbagai faktor.
Faktor itu antara lain97 :
a) Upah Buruh Murah
Untuk menekan biaya produksi, perusahaan negara-negara maju
melakukan investasi di negara-negara nerkembang dengan tujuan
untuk mendapatkan upah buruh yang murah. Kebanyakan negara
berkembang memiliki tenaga kerja yang melimpah, dengan tingkat
upah yang jauh lebih murah dibandingkan upah buruh untuk pekerjaan
yang sama di negara-negara maju. Dengan menanamkan modal di
negara berkembang yang memiliki tenaga kerja yang melimpah, para
investor dapat mengembangkan modal atau usahanya dengan ongkos
atau biaya murah.
96
Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian I),
<http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/21/paradigma-baru-kebijakan-hukum-investasiindonesia-bagian-i/>, 28 September 2009, 10.45
97
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia (Anatomi Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 1
Dalam kaitannya mencari upah buruh yang murah, menurut
Theodaore H. Moran, paling tidak ada lima pertimbangan lain yang
digunakan para investor sebelum menanamkan modalnya, yaitu98 :
1) Cultural
factors
(worker
motivation,
capital
movements,
preparation, etc)
2) Labour regulation
3) Responsiveness of the surrounding economy in providing
supporting good and services
4) Credibility
of
public,
sector
commitments
about
taxes,
infrastructure and other regulatory issues
5) Institusional base of commercial law.
Perbandingan upah buruh di Indonesia sebetulnya sangat
pincang. Antara upah minimum dengan upah tertinggi di suatu
perusahaan bisa 1:50. Perbandingan ini terasa semakin tidak adil, jika
dibandingkan dengan upah-upah buruh di Negara-negara maju seperti
di Eropa, Amerika Serikat, Hongkong dan Jepang.
b) Dekat dengan Sumber Bahan Mentah
Bahan mentah merupakan faktor yang sangat penting dalam
proses produksi. Kebanyakan negara-negara maju memiliki bahan
mentah yang sangat terbatas, sedangkan negara-negara berkembang
memiliki bahan mentah yang belum dieksploitasi. Untuk itulah,
negara-negara maju melakukan penanaman modal memindahkan
industrinya ke negara-negara berkembang dengan tujuan mendapatkan
keuntungan dari dekatnya bahan mentah, dalam arti tidak perlu
mengimpor bahan mentah yang memakan waktu dan biaya.
Akibat dari eksploitasi bahan mentah oleh negara-negara maju
dapat menimbulkan pembangunan yan tergantung. Ketergantungan
yang klasik didasarkan pada eksploitasi bahan mentah, tetapi dengan
98
Ibid.
berkembangnya teknologi, produksi bisa dilakukan di mana saja.
Proses semacam ini, menurut Evans99, pada mulanya mdal asing
masuk ke negara-negara pinggiran hanya bertujuan menguras bahan
mentah dan menjual barang industri. Kemudian perkembangan
teknologi memungkinkan proses produksi dipisah-pisahkan. Produksi
barang modal dipusatkan di negara-negara pusat sedangkan produksi
barang konsumsi dapat dilakukan dimana saja. Dengan demikian
muncullah aliansi ”tripel”, yakni kerja sama antara modal asing,
pemerintah di negara pinggiran yang bersangkutan dan kapitalis lokal.
Modal asing melalui perusahaan-perusahaan multinasional raksasa,
melakukan investasi di negara pinggiran. Kerja sama antara
pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerja sama ekonomi.
Bagi Indonesia sumber bahan mentah merupakan suatu
keunggulan yang menjadi daya tarik bagi para investor asing, negeri
yang sangat luas dan melimpahnya sumber daya alam.
c) Menemukan Pasar yang Baru
Negara-negara maju berusaha menanamkan modal di negara lain
dengan tujuan untuk menjaga pasar hasil produksinya. Negara-negara
berkembang merupakan pasar yang sangat efektif untuk memasarkan
hasil produksi dari negara-negara maju. Dengan adanya pasar baru
akan membawa keuntungan tersendiri bagi negara penanam modal
asing.
Jumlah penduduk yang sangat besar yang umumnya damai dan
adaptif secara dinamis pada kemajuan merupakan salah satu potensi
yang menjadi daya tarik bagi investor. Meskipun perekonomian
Indonesia belum menunjukkan perbaikkan yang menggembirakan,
Indonesia tetap menjadi pilihan investor karena adanya pasar yang
prospektif. Perusahaan-perusahaan asing dan multinasional pada
99
Peter Evans, Dependent Development, Protection : Pricention University Press, dalam
Erman Rajagukguk, Ibid, hal. 4.
umumnya memproduksi barang-barang substitusi impor. Pasarnya
memang lapisan pembeli tertentu yang berpendapat lebih tinggi, tetapi
juga tidak melupakan sasaran konsumen berpendapatan rendah,
misalnya di bidang sandang dan pangan.
d) Royalti dari Alih Teknologi
Penanaman modal asing, seringkali akan diikuti dengan alih
teknologi. Negara ivestor akan mendapatkan keuntungan dari proses
transfer teknologi melalui penjualan hak merek, paten, rahasia dagang,
desain industri. Sebagai negara yang memiliki keunggulan di bidang
teknologi, negara maju akan mendapatkan kompensasi dari pengguna
teknologi tersebut.
Teknologi pada awalnya dikuasai negara-negara maju dan pada
perkembangan
berikutnya
dimanfaatkan
oleh
negara-negara
berkembang dan negara-negara terbelakang. Pada proses pemanfaatan
inilah terjadi transfer of technology. Negara-negara maju melakukan
transformasi teknologi dalam rangka melakukan sosialisasi budaya
teknologi dan sekaligus untuk meningktakan keuntungan finansial.
Sedangkan negara berkembang berkenan menerima transformasi
teknologi dalam rangka mempercepat pembangunan. Untuk melakukan
alih teknologi, negara maju tidak secara otomatis akan mentransfer
semua teknologinya, ada beberapa bagian yang direserve atau
diperlambat.
e) Penjualan Bahan Baku dan Suku Cadang
Investor asing juga dapat memperoleh keuntungan dari penjualan
bahan baku. Hal ini terkait dengan ciri negara berkembang yaitu belum
dapat memproduksi bahan baku yang memadai yang dapat dijadikan
barang jadi. Selain itu penanam modal asing juga memperoleh
keuntungan dari penjualan suku cadang (spare part).
Negara-negara yang bersaing untuk menjual komponen produksi
di Indonesia antara lain Jepang, negara-negara Eropa, Korea Selatan
dan Cina. Volume impor kendaraan bermotor roda dua pada saat krisis
ekonomi meningkat cukup tajam. Hal ini menyebabkan industri
kendaraan bermotor dalam negeri mati satu per satu kecuali yang
merakit kendaraan roda dua. Sebaliknya pasar mobil nasional bakal
menembus angka penjualan 40.000 unit mulai semester dua tahun
2007100.
f) Insentif Lain
Faktor lain yang menarik investor adalah adanya insentif-insentif
lain, yang bisa diberikan dalam bentuk insentif fiskal dan kelonggaran
moneter; investor tidak dibebani untuk berdivestasi; tingkat suku
bunga yang lebih rendah atau subsidi bunga bank dan kemudahan
fasilitas kredit; kemudahan dan kepastian usaha yang diwujudkan
lewat pemberian tax holiday atau tarif pajak lain.
g) Status
Khusus
Negara-Negara
tertentu
dalam
Perdagangan
Internasional
Tujuan lain dari penanaman modal di luar negeri adalah karena
status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional.
Misalnya, investor asing lebih tertarik membuka usaha di negaranegara berkembang yang masih mendapatkan status GSP (General
System of Preferences) dari negara maju. Dengan demikian eksport
dari negara-negara yang mempunyai status GSP (General System of
Preferences) tersebut lebih menguntungkan daripada eksport dari
negara yang tidak memiliki lagi status GSP (General System of
Preferences).
Insentif berupa keringanan pajak ini tidak dapat berjalan dengan
baik. Hal ini disebabkan Beberapa kebijakan yang ada saat ini masih
membutuhkan keputusan-keputusan dan penjelasan yang lebih rinci,
seperti perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengaturan pajak,
retribusi dan pendapatan lain, kebijakan perbankan yang sangat terkait
dengan perizinan usaha kecil masih mengganjal. Otonomi daerah bagi
sebagian daerah dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan ide baru
100
Laju Pertumbuhan Pasar Otomotif Makin Kencang, Bisnis Indonesia, 7 Juni 2007
tanpa harus melihat persetujuan dari pusat. Pemerintah daerah yang
diasumsikan lebih mengenal karakter kewilayahan sekaligus kebutuhan
masyarakatnya menjadi pihak yang paling tepat untuk mengambil
keputusan-keputusan penting berkaitan dengan kemudahan-kemudahan
yang dibutuhkan usaha kecil untuk memperlancar usahanya.
Namun bagi sebagian pemerintah daerah lainnya, otonomi dapat
dilihat
sebagai
peluang
untuk
memenuhi
kepentingan
diri
dan
kelompoknya. Hal ini dianggap sebagai haknya karena sebelumnya
peluang istemewa ini telah diangkut ke pusat. Yang ingin disoroti secara
khusus dalam bagian ini adalah kaitan perizinan usaha dan pendapatan
daerah di dalam otonomi daerah. Saat ini terjadi kecenderungan besar
bahwa otonomi daerah menimbulkan banyak pungutan baru. Berita di
media massa mengenai otonomi daerah banyak mengulas soal munculnya
berbagai Peraturan Daerah dan peraturan lainya yang mengatur berbagai
pungutan baru di daerah.
Peraturan Daerah yang tumpang tindih dan terlalu banyaknya
Peraturan Daerah yang mengatur mengenai retribusi dan pungutan daerah
yang dikenakan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya di
daerah-daerah101. Padahal dalam kontrak yang ditandatangani antara
penanam modal dengan pemerintah pusat, pungutan-pungutan seperti ini
sebenarnya telah termasuk dalam kontrak yang dimaksud. Hal yang
demikian menyebabkan penanam modal sering mengalami pungutan
berganda. Kekhawatiran para pengusaha termasuk pengusaha kecil
tentunya sangat bisa dipahami mengingat satu sisi keseluruhan biaya
produksi meningkat karena adanya pungutan baru. Di sisi lain tuntutan dan
persaingan di pasar mengharuskan mereka untuk melakukan berbagai
tindakan efisiensi. Kekhawatiran tidak terlalu berlebihan karena sudah
mulai dibuktikan beberapa yang terpaksa tutup karena tidak mmpu
bersaing dan investasi yang mulai ditarik.
101
Camelia Malik, Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman Modal Di
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 4 Tahun 2007, hal. 17
Pemberian insentif berupa hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal
22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, apabila ditinjau dari segi
peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak tepat. Hal ini dikarenakan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria juga mengatur mengenai Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), yakni :
a) Pada Pasal 29 Ayat (1), menyatakan Hak Guna Usaha diberikan untuk
waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Kemudian dalam Ayat
(2) disebutkan bahwa untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35
(tiga puluh lima) tahun. Dan Ayat (3) menjelaskan lebih lanjut, atas
permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu yang dimaksud dalam Ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
b) Pasal 35 Ayat (1) menyebutkan Hak guna bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) tahun. Dalam Ayat (2) dinyatakan bahwa atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam Ayat (1) dapat
diperpanjang dengan waktu paling lam 20 (dua puluh) tahun.
c) Pasal 41 Ayat (2) menjelaskan hak pakai diberikan :
1) selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
2) dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa
berupa apa pun.
Dalam pasal ini tidak disebutkan secara spesifik mengenai jangka waktu
pemberian hak pakai. Hanya saja hak pakai timbul dari perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
ini.
Dengan demikian dapat dilihat, bahwa kedua undang-undang ini
mengatur mengenai jangka waktu hak atas tanah. Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 merupakan lex specialis dalam bidang penanaman modal
sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 merupakan lex specialis
dalam bidang pertanahan. Namun hal ini telah mengabaikan asas lex
specialis derograt lex generali, dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 sebagai lex specialis dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
sebagai lex generalis.
Dalam pemberian hak atas tanah pada Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 yang memberikan perpanjangan di muka sekaligus hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai sejalan pula dengan asas
perlakuan yang sama yang merupakan asas yang mendasari penanaman
modal di Indonesia.
Pada dasarnya bertentangan dengan konsep
keseimbangan kepentingan dan demokrasi ekonomi yang didasarkan pada
Pasal 33 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni:
a) Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
b) Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Sistem demokrasi ekonomi memberikan makna pada pengertian
kepemilikan bukan semata-mata hanya dalam arti penguasaan aset sumber
kepemilikan dan kekuatan ekonomi. Bidang-bidang usaha yang menguasai
hajat hidup orang banyak atau produk barang/jasa yang menjadi kebutuhan
vital bagi masayarakat dikuasai negara. Hal ini untuk menjaga agar rakyat
banyak tidak di bawah kekuasaan orang perorangan yang menguasai
cabang-cabang produksi penting yang menjadi kebutuhan utama
masayarakat.
Pengertian dikuasai negara tidak berarti bahwa negara sendiri yang
menjadi pengusaha, tetapi penguasaan tersebut dilakukan dengan
peraturan perundang-undangan yang menjamin kelancaran jalannya
pereknomian yang di dalamnya memuat larangan penindasan golongan
kuat terhadap golongan lemah. Dalam sistem demokrasi ekonomi harus
dihindari sistem ekonomi liberalisme yang dapat menimbulkan eksploitasi
manusia dan bangsa lain.
Asas perekonomian Indonesia berlawanan dengan asas liberalisme,
tetapi tidak berarti bahwa seluruh kegiatan ekonomi diselenggarakan oleh
negara atau koperasi. Sistem ekonomi anti liberal tersebut harus dapat
menjamin mekanisme harga tetap terjga tetapi di bawah pengendalian
negara sehingga ada jaminan pembagian pendapatan yang merata bagi
seluruh masayarakat. Oleh karena itu diperlukan hukum untuk menjaga
terselenggaranya kepentingan-kepentingan masyarakat dengan tujuan
keadilan guna mencapai keseimbangan antara kepentingan umum,
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.
Menurut Hans Kelsen, norma tertinggi yang diandaikan itu disebut
norma dasar. Semua norma yang keabsahannya bisa ditelusuri kembali
kepada norma dasar yang satu itu merupakan sebuah sistem norma, sebuah
tatanan norma. Norma dasar merupakan sumber keabsahan dari semua
norma yang berasal dari tatanan yang sama- ini merupakan alasan umum
bagi keabsahan semua norma itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Pancasila sebagai norma fundamental negara yang merupakan syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi.
Selanjutnya menurut teori Hans Nawiasky yang mengelompokkan
norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok
besar yang terdiri atas:
a) Kelompok1, yakni Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara), di Indonesia dikenal dengan Pancasila (Pembukaan UndangUndang Dasar 1945).
b) Kelompok II, yakni Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara),
dalam kelompok ini Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai penjabaran dari norma
fundamental (Pancasila)
c) Kelompok III, yakni Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), yang
merupakan undang-undang sebagai wujud konkret dari amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
d) Kelompok IV, yakni Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan
Pelaksana dan aturan otonom), yang kita kenal dengan Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden hingga Keputusan Bupati atau
Walikota.
Pancasila
sebagai
Staatsfundamentalnorm
mengharuskan
pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam
Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila102. Pengelompokkan ini juga terdapat
102
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran
hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 296
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan
Peraturan
Perundang-Undangan
dimana
diatur
mengenai
hierarki
perundang-undangan di Indonesia. Dengan melihat fakta yang terjadi,
berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada penanam modal
melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, tidak sesuai dengan
ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal
ini dikarenakan insentif yang diberikan kepada penanam modal asing atas
dasar asas perlakuan yang sama, justru tidak melindungi kepentingan
nasional. Sehingga tidak mencerminkan demokrasi ekonomi yang
berkeadilan dan efisiensi seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penanam modal
dalam negeri yang tentunya akan kalah bersaing dengan penanam modal
asing yang mempunyai modal jauh lebih besar.
Uraian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kepastian
hukum dan kepastian berusaha bagi para penanam modal di Indonesia
masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dapat dimaklumi mengapa
investor membutuhkan adanya kepastian hukum sebab, dalam melakukan
investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ada
ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Ketentuan
tersebut,
antara
lain
berkaitan
dengan
perpajakan,
ketenagakerjaan dan masalah pertanahan. Semua ketentuan ini akan
menjadi pertimbangan bagi investor, dalam melakukan investasi.
Mengenai kepastian hukum, Lon Fuller mengemukakan, terdapat
delapan asas sebagai landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi
implementasi asas legalitas (kepastian hukum), yakni103 :
a) Hukum Dipresentasikan Dalam Aturan-Aturan Umum
Dihubungkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal yang
sekarang diberlakukan, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia
103
Arief Sidharta, loc.cit.
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4724, maka undang-undang tersebut dipresentasikan
dalam aturan-aturan umum. Artinya berlaku secara universal terhadap
seluruh penanam modal baik penanam modal dalam negeri maupun
penanam modal asing. Sehingga terdapat perlakuan yang sama bagi
penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. Akibat dari
adanya asas perlakuan yang sama ini, tidak menutup kemungkinan
akan mempersempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri,
terutama yang termasuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil,
Menengah dan Koperasi. Mereka akan kalah bersaing dalam kancah
perdagangan bebas dalam era globalisasi dewasa ini.
b) Hukum Harus Dipublikasi
Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, karena undang-undang ini sudah
dipublikasikan dengan diumumkan dalam Lembaran Negara dan
Tambahan Lemabaran Negara, dengan demikian telah memenuhi
syarat formal untuk berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.
Artinya bagi pihak yang melakukan hubungan hukum yaitu penanam
modal dengan negara tuan rumah (host country), masing-masing
berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan memenuhi serta
terikat pada ketentuan sebagaimana yang dinyatakan dalam undangundang ini.
c) Hukum Harus Non Retroaktif (Tidak Berlaku Surut)
Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal diterapkan secara non retroaktif, artinya
semua sengketa yang lebih banyak terjadi antara penanam modal asing
dengan pemerintah (seperti Pertamina, Telkom, PLN, PT. AMCO, dan
lain-lain) dalam perjanjian yang dibuat, klausula penyelesaian
sengketanya dibuat melalui badan arbitrase di Swiss. Penunjukkan
badan arbitrase di Swiss dilakukan karena badan tersebut dianggap
didirikan oleh beberapa negara sehingga lebih memperhatikan dan
menerminkan kepentingan negara secara keseluruhan.
d) Hukum Harus Dirumuskan Secara Jelas
Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang
Penanaman
Modal,
pembentuk
undang-undang
telah
merumuskan secara jelas tentang insentif jangka waktu hak atas tanah
beserta ketentuannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (1).
Undang-undang ini, baik dalam ketentuan pasal-pasalnya, terutama
dalam penjelasan Pasal 22 Ayat (1) dinyatakan :
1) Huruf a
Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun
dan dapat diperbahatui selama 35 (tiga puluh lima) tahun.
2) Huruf b
Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun
dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun.
3) Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima)
tahun dan dapat diperbaharui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Dengan demikian pembentuk undang-undang mempunyai tujuan yang
jelas agar ketentuan undang-undang dapat diterapkan sebagaimana
mestinya.
Penerapan Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang
diberlakukan, perlu mempertimbangkan bahwa penerapannya tersebut
akan berakibat adanya liberalisasi di bidang perekonomian yang dapat
menimbulkan eksploitasi bidang-bidang yang mengusai hajat hidup
orang banyak.
e) Hukum Harus Tidak Mengandung Pertentangan Antara Hukum yang
Satu Dengan yang Lain
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Penanaman
Modal yang berlaku sekarang terutama Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22
Ayat (1). Di sini terjadi pertentangan antara Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Pasal 18 Ayat (4) dengan Peraturan Daerah mengenai
Retribusi dan Pungutan Daerah yang dikenakan kepada penanam
modal di daerah. Artinya penanam modal melakukan kontrak dengan
pemerintah pusat dan pungutan-pungutan seperti ini sebenarnya telah
termasuk dalam kontrak yang dimaksud.
Terjadi pertentangan pula antara Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Pasal 22 Ayat (1) dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 41. Terdapat perbedaan
mengenai jangka waktu perizinan hak atas tanah yang dapat
menimbulkan
kebingungan
bagi
penanam
modal
yang
ingin
menanamkan modal dan membuka usaha di Indonesia.
f) Hukum Harus Tidak Menuntut atau Mewajibkan Sesuatu yang
Mustahil
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penananaman Modal, yakni dengan diberikannya insentif
berupa keringanan pajak dan perizinan hak atas tanah, maka akan
memberikan
kelonggaran
terhadap
penanam
modal
untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini berdasarkan asas
perlakuan yang sama, sebagai konsekuensi atas ratifikasi dari
Agreements on TRIMs.
Indonesia
sebagai
negara
berkembang
yang
sedang
membangun ekonominya, membutuhkan banyak dana yang salah
satunya diperoleh dari penanaman modal. Namun dengan adanya
ketentuan dari Trade related Investment Measures (TRIMs), Indonesia
harus menerapkannya dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini
yang sebenarnya justru berakibat terciptanya liberalisasi ekonomi.
g) Hukum Harus Relatif Konstan
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, maka sebagaimana Pasal 22 Ayat (1),
Ayat (2) dan Ayat (4) mengenai insentif hak atas tanah, relatif tidak
konstan, artinya dalam jangka waktu yang relatif pendek dapat diubah,
ditambah
atau diganti. Melalui
Mahkamah
Konstitusi
dalam
putusannya Nomor 21-22/PUU-V/2007 tenggal 25 Maret 2008
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
sepanjang kata-kata ”di muka sekaligus”, yakni yang menyangkut
pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
tersebut adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
h) Pemerintah Sejauh Mungkin Berpegang Teguh Pada Aturan-Aturan
Hukum (yang Diciptakan Sendiri atau yang Diakuinya)
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Penanaman
Modal yang sekarang berlaku, terutama Pasal 18 Ayat (4) dan Ayat (5)
serta Pasal 22, dimana kedua pasal tersebut mengatur mengenai
insentif yang diberikan kepada penanam modal, aparatur negara
terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak dapat
berpegang teguh pada aturan-aturan dalam Undang-Undang Penanam
Modal. Adanya Peraturan Daerah mengenai Retribusi dan Pungutan
Daerah dan terdapatnya dua peraturan perundangan yang mengatur
mengenai hak atas tanah menyebabkan tumpang tindih peraturan.
Jika arti pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, investor
membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya.
Artinya, bagi para investor butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan
dalam melakukan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan
yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu. Aturan tersebut
berlaku untuk semua pihak. Sebagaimana dikemukakan oleh Budiono
Kusumohamidjojo :
Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan
bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil.
Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan
patokan bagi perilaku itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri
harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa
dimilikinya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan
suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten
tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai
perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama104.
Dikaitkan dengan isu kedaulatan politik dan ekonomi nasional,
polemik penanaman modal asing berkembang sampai kepada pandangan
yang menyatakan sebagai bentuk imperialisme modern oleh negara maju
kepada negara berkembang dan terbelakang. Imperialisme ialah politik
untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri
sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak
berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan
kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan.
Imperium disini juga tidak berarti suatu gabungan dari daerah jajahan,
tetapi dapat berupa daerah yang statusnya merdeka namun pengaruh
imperialis sangat besar di daerah tersebut105.
Imperialisme telah berkembang sedemikian rupa dari bentuk
imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme Kuno
(Ancient Imperialism) intinya adalah semboyan gold, gospel, and glory
(penyebaran agama, kekayaan dan kejayaan). Dalam konteks ini, suatu
negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan
kekayaan, dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung
sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
Imperialisme Modern (Modern Imperialism) intinya adalah kemajuan
104
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil Problematika Filasafat Hukum, Cet.
1, Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 6
105
Imperialisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme, 15 Januari 2010, 10.54.
ekonomi yang timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran
akibat revolusi industri membutuhkan bahan mentah yang banyak dan
pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan
mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, di samping itu juga sebagai
tempat penanaman modal bagi kapital surplus. Bentuk imperialisme
modern salah satunya dilakukan di bidang ekonomi sehingga lazim disebut
dengan imperialisme ekonomi. Dalam imperialisme ekonomi, walaupun
secara politis suatu negara memiliki kedaulatan penuh, namun kebijakan
ekonomi negara tersebut sangat dipengaruhi dan bergantung pada
imperialis. Dengan kata lain, imperialis menguasai aspek ekonomi negara
imperiumnya walaupun secara politik negara tersebut adalah negara yang
merdeka dan berdaulat. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat
disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme
politik106.
3. Analisis Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Penanaman Modal ini sebagaimana yang tertuang
dalam pasal-pasal, bab-bab atau ayat-ayatnya memang sangat memberi
kemudahan-kemudahan pada calon investor. Semua keinginan atau
permintaan (bahkan lebih) calon-calon investor sudah tertuang dalam
undang-undang tersebut. Sudah begitu mengobral dan sangat liberal,
karena selain memberi keringanan-keringanan atas izin, insentif, fasilitas
yang menggiurkan, kemudahan memindahkan modal setiap saat,
pembebasan lahan, tidak perlu mengkhawatirkan nasionalisasi, jauh yang
106
Ibid
lebih mengerikan sekaligus kontroversial dan memancing perdebatan keras
adalah diberikannya Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun.
Mencermati peran penanam modal cukup signifikan dalam
membangun perekonomian107, tidaklah mengherankan jika di berbagai
Negara di dunia dalam dekade terakhir ini, baik negara-negara maju
maupun negara-negara berkembang berusaha secara optimal agar
negaranya dapat menjadi tujuan investasi. Di lain pihak, dari sudut
pandang investor adanya keterbukaan pasar di era globalisasi membuka
peluang untuk berinvestasi di berbagai Negara. Tujuannya sudah jelas,
yakni bagaimana mencari keuntungan sedangkan Negara penerima modal
berharap ada partisipasi nasionalnya. Mengingat ada perbedaan sudut
pandang antara investor dengan penerima modal, dirasakan perlu untuk
mengakomodasi kedua kepentingan itu ke dalam suatu norma yang jelas.
Untuk menyatukan antara kepentingan investor dengan Negara
penerima-penerima modal harus diasadari tidak mudah. Artinya apabila
negera penerima modal terlau ketat dalam menentukan syarat penanaman
modal investor, mungkin saja para investor yang sudah ada pun bisa jadi
akan merelokasi perusahaannya. Disebut demikian, karena di era
globalisasi ini, para pemilik modal sangat leluasa dalam menentukan
tempat berinvestasi yang tidak terlalu dibatasi ruang geraknya. Untuk itu
dalam menyikapi arus globalisasi yang terus merambah ke berbagai bidang
tersebut maka, peraturan perundangan investasi asing langsung di berbagai
negara pun terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan dunia bisnis
yang semakin mengglobal.
107
Menurut Akgul Zeynep, Foreign investment plays an important role in economic
development. Mostly developing countries want to encourage foreign investment in their countries.
When foreign investor invest in host country, he may encounter so many risk. The followings are
some of the risk that foreign investor will face to face : His investment may be unlawfully
expropriate or nasionalize by host country, or there might be currency transfer restriction in the
host states. The other thing is that the treatment of investment will be changed after the
establishment of investment. The host country may treat national investor more favourable than
foreign investor. These situation may effect forein investor badly since there will be no competition
at that time. (Akgul Zeynep, The Development of International Arbitration on Bilateral Investment
Treaties : Disputes between States and Investor, ICSID Case Against Turkey Regarding Energy
Sector, Disertation.com, Boca Raton, Florida, USA, 2008, hal. 8)
Dengan kata lain dalam perspektif, dunia bisnis tidak lagi mengenal
sekat-sekat atau batas negara. Tidak kalah pentingnya, ikut andil dalam
perubahan kebijakan investasi asing adalah pesatnya perkembangan
teknologi di berbagai sektor terutama di sektor informasi. Hal ini telah
menimbulkan ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional terutama
dibidang jasa keuangan. Menyikapi hal ini, maka sejumlah negara pun
melakukan kebijakan liberalisasi di bidang investasi, antara lain membuka
seluas-luasnya bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang
sebelumnya tertutup. Selain itu prosedur untk berinvestasi pun
disederhanakan108.
Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional
adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada
prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO) yang
menetapkan adanya keleluasaan atau kebebasan yang dinamis antar negara
untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati
kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum
investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan
memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi
antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar
sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip
perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak
dengan
saling
menghormati
dan
memberikan
perlakuan
tanpa
diskriminasi.
Sehubungan dengan kepentingan, Pound membuat penggolongan
atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai
berikut 109:
a) Kepentingan Umum (public interest)
1) Kepentingan negara sebagai badan hukum;
108
Sentosa Sembiring, Op. Cit., hal. 62
109
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit., hal. 130-131
Pemerintah
sebagai
perumus
kebijakan
hukum
harus
mendasarkan pada konstitusi negara. Konstitusi selain menetapkan
dasar kebijakan politik, ekonomi dan sosial tentunya juga
menetapkan kebijakan hukum, dan dalam masalah kebijakan
hukum investasi, maka rujukannya adalah dari kebijakan hukum
dalam bidang ekonomi, karena kebijakan hukum investasi adalah
merupakan salah satu implementasi kebijakan hukum dalam
bidang ekonomi110.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal didasari pertimbangan agar dalam pembangunan nasional
sumber-sumber dana dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk
menutup kekurangan modal dalam negeri, tanpa menimbulkan
ketergantungan kepada luar negeri. Pemerintah menyadari bahwa
upaya yang dilaksanakan dengan hanya mengandalkan sumber
daya
yang
dimiliki
ketertinggalan
dalam
sendiri
tidak
pembangunan
akan
dapat
nasional.
mengejar
Sebaliknya
pemerintah melihat bahwa penanaman modal asing sangat
dibutuhkan untuk merealisasikan potensi ekonomi yang dimiliki
oleh Indonesia.
2) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
Dengan melihat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstiusi di bidang
ekonomi, yang menjadi rujukan utama dalam pembentukkan
hukum penanaman modal di Indonesia, memberikan makna bahwa
penanaman
modal
harus
dijauhkan
dari
kapitalisme
dan
liberalisme. Penanaman modal asing harus diletakkan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi. Dalam
konteks ini, kepentingan rakyat tidak bisa dikalahkan oleh
110
Muchammad Zaidun, “Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian
II)”, <http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/28/paradigma-baru-kebijakan-hukuminvestasi-indonesia-bagian-ii/> , 28 September 2009, 10.55
kepentingan apapun, apalagi pihak asing yang ingin mengambil
keuntungan secara berlebihan atas sumber ekonomi melalui
penguasaan cabang-cabang produksi dan sumber daya yang
berlimpah di tanah air Indonesia.
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 untuk dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada
di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan
penanam modal dengan memberlakukan asas perlakuan yang sama.
Namun adanya asas perlakuan yang sama, sering menimbulkan
pengaruh negatif antara penanam modal dalam negeri dengan
penanam modal asing.
b) Kepentingan Masyarakat (social interest)
1) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
Hukum diciptakan untuk menjaga kedamaian dan ketertiban.
Demikian juga Undang-Undang Penanaman Modal dibuat untuk
menjaga kedamaian dan ketertiban dalam berinvestasi. Hal ini
tertuang dalam pasal demi pasal yang mengsyaratkan adanya
ketentuan-ketentuan bagi penanam modal yang akan menanamkan
modalnya di Indonesia. Akan tetapi banyak terjdi sengketa dalam
penanaman
modal
asing,
seperti
Freeport,
Newmont,
ConocoPhilips, ExxonMobil, AMCO dan CarahaBodas. Tidak
hanya menyebabkan kerugian pada negara namun juga pada
penduduk lokal setempat.
2) Perlindungan lembaga-lembaga sosial;
Gesekan kepentingan antar instansi Pemerintah yang terkait
dengan penanaman modal yang meliputi Badan Koordinasi
Penanaman
Modal
(BKPM),
Departemen
Dalam
Negeri,
Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian. tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
materi
muatan
Undang-Undang
Penanaman Modal memang sarat konfik kepentingan yang
melibatkan beberapa instansi yang memiliki tugas dan tanggung-
jawab di bidang penanaman modal. Beberapa isu penting yang
menjadi objek perdebatan dalam pembahasan Undang-Undang
Penanaman Modal antara lain kelembagaan, kategorisasi bidang
usaha, fasilitas, insentif, dan kewenangan pusat dan daerah.
3) Pencegahan pelanggaran hak;
Sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, maka dengan adanya Pasal 22
mengenai
fasilitas
pemberian
ijin
hak
atas
tanah,
yang
dimaksudkan untuk memberikan rangsangan kepada investor agar
menanamkan modalnya di Indonesia, namun terjadi pelanggaran
hak atas tanah yang dimiliki oleh warga sekitar. Sebagian besar
masyarakatnya adalah petani, dan umumnya petani ini yang
menggunakan atau memanfaatkan tanah tersebut.
Kebijakan pemberian fasilitas hak atas tanah yang terlalu
lama hal ini jelas sangat mengutungkan pihak investor dan tidak
melindungi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian
besar adalah petani dan dengan adanya pemberian jangka waktu
yang terlalu lama jelas sama dengan menimbulkan tuan-tuan tanah
dengan versi yang baru. Pengaturan pemberian fasilitas hak atas
tanah
dalam
Undang
Undang
Penanaman
Modal
kurang
memperhatikan asas pemanfaatan tanah yang ada dalam UndangUndang TAP MPR No.IX tahun 2001 yang kurang memberikan
perlindungan bagian sebesar masyarakat Indonesia dan dapat
kurang memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakatnya.
4) Kesejahteraan sosial.
Dalam Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang ini
berlaku, dapat dilihat sangat sedikit memberikan kontribusi bagi
masyarakat Indonesia. Penduduk lokat setempat tidak merasakan
dampak yang besar dengan adanya penanaman modal terutama
penanaman modal asing. Mereka tetap saja kurus, dekil,
berpenyakit kulit, berbaju lusuh dan tidak bersepatu, sementara
kekayaan alamnya terus digerus berlipat ganda. Bagaimana tentang
kekayaan alam yang terus dihabisi, sementara kontribusinya hanya
sedikit dapat dilihat dalam ilustrasi dibawah ini:
Angka 800 juta dollar AS terlalu kecil buat kita. Lihat
compensation (bukan gaji) tiap tahun untuk Chairman of the
Board Freeport sebesar 9,509.183 dollar AS; Chief of
Administrative Officer 1.756.159 dollarAS, Chief Operating
Officer 815.554 dollar AS; dan President Director of
Freeport Indonesia 1.641.877 dollar AS. Untuk kompensasi
empat pejabat Freeprt saja jumlahnya 13.722.773 dollar AS.
Bandingkan dengan dana keamanan selama 1996 – 2004
yang hanya 20 juta dollar AS. Artinya aparat keamanan kita
hanya kecipratan 2,5 juta dollar AS setahun111.
Melihat kenyataan tersebut, penduduk masih sangat jauh dari
kesejahteraan sosial. Masyarakat masih kental dengan kemiskinan,
kepiluan dan kesedihan. Merupakan suatu ironi yang cukup
memilukan. Sementara rakyat semakin miskin, namun investor
semakin meraup keuntungan besar.
c) Kepentingan Pribadi (private interest)
1) Kepentingan individu;
Individu bukan hanya diartikan sebagai manusia saja. Badan
hukum juga merupakan subjek hukum (rechtspersoon). Badan
hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum seperti
manusia112. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi
(natuurlijke persoon) dan mungkin pula kumpulan dari badan
hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku.
Suatu persyaratan di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 mewajibkan penanam modal yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia harus berbadan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas (PT). Ditinjau dari kepentingan Perseroan Terbatas pada
111
Kompas, 5 Februari 2006
112
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 11
umumnya didirikan untuk mencari keuntungan. Tidak terkecuali
kepentingan Perseroan Terbatas dalam kegiatannya menanamkan
modalnya di Indonesia, yaitu mencari keuntungan yang sebesarbesarnya.
2) Kepentingan keluarga;
Keluarga merupakan bagian individu-individu juga tidak
terlepas dari kepentingannya untuk mendapatkan keuntungan
dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Undang-Undang
Nomor
25
meningkatkan
Tahun
2007
kesejahteraan
mempunyai
masyarakat
kepentingan
Indonesia
untuk
melalui
pendapatan per kapita. Namun kemiskinan dan pendapatan yang
tidak seimbang justru terjadi pada keluarga-keluarga yang tinggal
di daerah perusahaan dimana kegiatan penanaman modal
dilakukan. Hal ini jauh dari yang diharapakan bahwa penanaman
modal dilakukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi di
Indonesia.
3) Kepentingan hak milik.
Konsep hak milik atas benda eksternal (di luar diri manusia),
seperti
anggota tubuh
memegang peranan
penting dalam
pandangan hukum113. Untuk Indonesia, hak milik jelas harus
mencerminkan aspek individual dan sosial. Milik pribadi dianggap
tetap eksis, sekalipun diakui pula bahwa milik itu mempunyai
fungsi sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang
Peraturan
Dasar
Pokok-Pokok
Agraria,
Pasal
6
menyatakan, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,
menegaskan, tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Penggunaan tanah itu tidak boleh
merugikan atau bertentangan dengan kepentingan umum. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 22 mengenai insentif
113
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo, Jakarta,
2008, hal. 31
pemberian hak atas tanah baik berupa Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha maupun Hak Milik, penggunaannya bertentangan
dengan hak milik sebagai fungsi sosial. Karena dengan
kepentingan hak milik yang dimiliki oleh para penanam modal
akan berubah fungsi bukan lagi berfungsi individu dan sosial akan
tetapi hanya berfungsi individu.
Paradigma tersebut melahirkan suatu ketidakadilan bagi masyarakat,
terutama penduduk lokal. Banyak ketidakadilan dan ketimpangan
eknonomi yang terjadi. Bagaimana para investor asing mengeruk
keuntungan dan mengambil kesempatan tanpa memperdulikan kondisi
bangsa ini. Kesejahteraan yang tidak merata bukan hanya terjadi pada
penduduk lokal saja tetapi pengusaha dalam negeri sebagai akibat asas
perlakuan yang sama yang diterapkan dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ini. Ketidakadilan terjadi manakala pengusaha dalam negeri yang
memerlukan dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan industri
dalam negeri justru terlibas karena World Trade Organization (WTO).
Menurut John Rawls, keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar
keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat
yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin
oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi
kepentingan sosial. Sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan
keadilan tidak bisa diganggu gugat114. Perlu ada keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran
keseimbangan itu diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Agar
tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu,
perlu ada aturan-aturan.
Teori keadilan yang berlaku di Indonesia secara jelas dapat kita
temukan dalam rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat kata adil. Sila ke
114
John Rawls, loc. cit
dua dari Pancasila berbunyi :“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan
sila ke lima yang berbunyi :“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (yang kemudian dicabut dengan
Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998), butir-butir dari prinsip keadilan
telah diungkapkan secara jelas. Selanjutnya apabila kita melihat pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap
keadilan itu.
Jadi dapat dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia
adalah keadilan sosial. Seperti kata Notohamidjojo (1973:13)115, keadilan
sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat.
Masing-masing
harus
diberikan
kesempatan
menurut
kepatutan
kemanusiaan (menselijke waarigheid). Pembangunan dan pelaksanaan
pembangunan, tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan
keadilan, melainkan juga kepatutan.
Keadilan dengan begitu erat dengan haknya. Hanya saja, dalam
konsepsi keadilan Bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan
dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Keadilan hanya dapat
tegak dalam mayarakat yang beradab atau sebaliknya hanya masyarakat
yang beradab yang dapat menghargai keadilan.
Adanya keserasian antara hak dan kewajiban ini menunjukkan bahwa
manusia makhluk beredimensi monodualistis, yaitu sebagai makhluk
individual dan sosial. Di Indonesia, pengertian adil tidak serta merta
mengarah ke arah maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas
atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan
tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang.
Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan ini pun tidak
bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi,
115
Ibid; hal. 167
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan
demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur.
Suatu keadilan tidak tunduk hanya pada pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
Suatu
dilema
dimana
peraturan
perundang-
undangan hanya menjamin adanya kepastian hukum tetapi belum
menjamin adanya keadilan yang dapat diperoleh semua pihak. UndangUndang Penanaman Modal ini dianggap mencapai kata adil apabila,
pemerintah
tidak
memaksakan
kehendak
dengan
mengorbankan
masyarakat. Kehendak yang dimaksud yakni kebutuhan pemerintah dalam
membangun
memperhatikan
perekonomian
kondisi
di
negara
masyarakat
dan
ini.
Pemerintah
kesiapan
negara
wajib
dalam
menghadapi perdagangan bebas melalui World Trade Organization
(WTO).
Kondisi masyarakat Indonesia terutama di daerah polosok dimana
sumber daya alam tersedia melimpah, masih sangat tradisonal. Penduduk
lokal masih berpikir secara sederhana justru dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Adil diperoleh apabila
pemerintah dapat menjamin hak-hak warga negara dengan semestinya
tanpa melihat adanya kepentingan politik. Penduduk lokal pun dapat
memperoleh apa yang menjadi haknya sebagai warga negara Indonesia.
Keadilan juga memerlukan keseimbangan antara kepentingan
pemerintah, kepentingan masyarakat dan kepentingan penanam modal.
Kepentingan pemerintah sebagai perumus kebijakan di bidang ekonomi
yang menginginkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dapat meningkat.
Kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang menginginkan adanya
kesejahteraan hidup melalui pengelolaan sumber ekonomi. Kepentingan
penanam modal yang mencari keuntungan. Dari semua kepentingan yang
berbeda-beda ini harus diseimbangkan. Mulai dari pemerintah yang
mendasarkan kebijakan ekonomi pada demokrasi ekonomi seperti yang
dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Di sini
jelas dikatakan bahwa prinsip keadilan harus dipegang teguh oleh
pemerintah untuk mewujudkan perekonomian nasional salah satunya
dalam menetapkan kebijakan investasi.
4. Idealitas
Undang-Undang
Penanaman
Modal
Dalam
Konteks
Pemberian Insentif Bagi Investor Domestik dan Investor Asing
Perkembangan perekonomian suatu negara, terlebih lagi bagi negara
berkembang sangat ditentukan dari pertumbuhan penanaman modal asing.
Arus penanaman modal asing bersifat fluktuatif, tergantung dari iklim
investasi negara bersangkutan. Bagi penanam modal, sebelum melakukan
investasi terlebih dahulu akan melakukan penilaian terhadap apek-aspek
yang turut memperngaruhi iklim penanaman modal, yaitu keuntungan
ekonomi, kepastian hukum dan stabilitas politik. As with every legal
system, international investment protection law faces a trade-off: on the
one hand, its legal norms are meant to create legal security and stability,
on the other hand, the laws relating international investment protection try
to accommodate unforeseen and special circumstances in individual cases
as a requirement of justice116. Oleh karena itu, bagi negara-negara
116
Anne van Aaken, International Investment Law and Rationalist Contarct Theory, IIJL
International Legal Theory Colloquium Spring 2009 : Virtues, Vices. Human Behavior and
Democracy in International Law, Working Paper, to be presented at NYU, 22 January 2009, hal. 2
berkembang untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya
dibutuhkan tiga syarat, yakni 117:
a) Syarat Keuntungan Ekonomi (Economic Oppurtunity)
Untuk menarik modal asing dibutukan adanya keuntungan
ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam,
tersedia bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik yang
cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah dan pasar yang perspektif.
Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki
keunggulan alamiah dan komparatif, seperti negeri yang sangat luas
dengan kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang sangat
besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah.
Dengan melihat beberapa potensi, Indonesia masih menjadi tempat
tujuan penanaman modal yang menarik investor asing meskipun
penegakan keamanan dan kepastian hukum masih dipertanyakan para
pihak.
Namun, potensi-potensi tersebut pada saat ini belum mampu
diberdayakan secara maksimal dan Indonesia justru terpuruk dalam
krisis ekonomi yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan.
Selain itu kesulitan prasarana dan sarana pendukung akan menghambat
investasi di Indonesia. Seperti infrastruktur (jalan tol, jembatan) yang
sangat buruk, terjadinya krisis listrik yang akhir-akhir ini mengganggu
kegiatan perindustrian. Bahkan dari fakta yang terjadi, Banyak investor
117
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 48
yang akan hengkang bila pembangunan infrastruktur jalan lambat.
Mereka mengeluh belum andalnya infrastruktur118. Hal seperti ini akan
menghambat investasi masuk ke Indonesia.
b) Syarat Stabilitas Politik (Political Stability)
Investor yang akan datang ke suatu negara sangat dipengaruhi
faktor Stabilitas Politik (Political Stability). Terjadinya konflik elite
politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim
investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan
usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas
politik dan proses demokrasi yang konstitusional.
Memburuknya iklim investasi, meningkatnya country risk dan
belum mantapya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap arus modal. Kondisi semacam inilah yang terjadi
dalam perkembangan politik di Indonesia. Akibatnya terjadilah
pelarian arus modal yang sempat memuncak. Akibat lain, sampai saat
ini Indonesia tidak termasuk negara favorit untuk berinvestasi.
Sebenarnya resiko politik dan resiko ekonomi suatu negara tidak akan
menyurutkan minat investasi, jika ada kompensasi terhadap resiko
tersebut.
c) Syarat Kepastian Hukum (Legal Certainty)
Pemulihan ekonomi membutuhkan investasi baik dari dalam
negeri maupun luar negeri. Para investor akan datang ke suatu negara
118
Kompas, Senin, 25 Januari 2010
bila dirasakan negara terebut berada dalam situasi yang kondusif.
Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim
investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha
sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini
adalah supremasi hukum (rule of law).
Insentif yang paling efektif untuk menarik kegiatan investasi
asing adalah pemerintah harus mampu menegakkan hukum dan
memberikan jaminan keamanan. Ketegasan pemerintah dalam
menerapkan peraturan dan kebijakan, terutama konsistensi penegakan
hukum dan keamanan. Banyak investor asing masih tertarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia karena Indonesia masih memiliki
keunggulan komperatif dibandingkan dengan negara-negara tujuan
investasi yang lain. Investor tidak akan melihat insentif seperti tax
holiday sebagai daya tarik investasi, melainkan apakah ada jaminan
keamanan maupun penegakan hukum.
Untuk memulihkan perekonomian, bangsa Indonesia
memerlukan investasi. Investasi bisa berjalan kalau ada strategi dalam
hukum. Strategi akan goyah jika, pemerintah tidak menghormati
kontrak-kontrak karya yang sudah ada. Akibatnya, investor enggan
datang ke Indonesia karena tidak ada kepastian hukum.
1) Aspek Substansi Hukum
Peraturan perundang-undangan di bidang investasi selama
kurun waktu terakhir ini, belum mampu mencerminkan aspek
kepastian hukum. Ketidakpastian hukum dan politik dalam negeri
mengganggu merupakan bagian dari masalah-masalah yang
menyebabkan iklim investasi tidak kondusif. Iklim yang kondusif
tentunya akan sangat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.
Dampak yang paling nyata dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah menyangkut masalah perizinan. Perizinan merupakan faktor
yang vital yang menentukan apakah investor bersedia menanamkan
modalnya atau tidak. Salah satu akibat nyata dari adanya otonomi
daerah dan pengaturan yang tidak jelas antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dalam memberikan kewenangan secara
wajib kepada kabupaten/kota untuk menyelenggrakan urusan
pemerintah di bidang penanaman modal. Untuk melakukan
pembenahan ekonomi, pemerintah dituntut untuk menyusun dan
menyempurnakan sejumlah undang-undang yang terkait dengan
pemulihan ekonomi.
2) Aparatur Hukum
Aparatur hukum mempunyai peran yang sangat besar dalam
menarik investor atau menciptakan iklim yang kondusif untuk
berinvestai. Aparatur hukum meliputi badan yudikatif, legislatif
dan eksekutif. Kualitas aparat hukum yang seringkali
menyebabkan kerugian negara dan menyebabkan apriori dari para
investor, dapat terlihat dari budaya atau pola-pola ilegal dalam
mengimpor suatu produk. Investasi yang sudah ada tidak mungkin
akan lari jika sistem usaha yang bersih diterapkan pada seluruh
aparatur hukum.
3) Budaya Hukum
Budaya hukum adalah persepsi atau pandangan masyarakat
terhadap sistem hukum. Para investor asing akan memperhatikan
budaya hukum masyarakat dan pelaku bisnis dalam menghadapi
setiap permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Pada investor
sangat membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan
melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerja sama yang telah dan
adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi
sengketa.
Pada saat ini, budaya hukum di Indonesia belum mampu
terbangun dengan baik. Rendahnya kualitas budaya hukum tersebut
sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat terhadap
hukum yang sangat beragam. Salah satu yang mempengaruhi
budaya hukum adalah perilaku para pengusaha atau investor.
Globalisasi memaksa Indonesia untuk tunduk pada peraturanperaturan WTO dan TRIMs. Sebagai negara berkembang tentu saja
Indonesia tidak siap dengan adanya perdagangan bebas. Melihat industri
dalam negeri yang masih membutuhkan perhatian dan bantuan modal dari
pemerintah. Tenaga kerja dan peralatan yang masih tergolong sederhana
akan sangat sulit untuk mengimbangi perusahaan-perusahaan
multinasional yang hadir di Indonesia. Apalagi dengan diberlakukannya
prinsip perlakuan yang sama terhadap penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing, akan mempersempit ruang gerak bagi industri
dalam negeri. Berbagai insentif yang diberikan kepada penanam modal,
justru semakin membuat leluasa bagi penanam modal asing untuk
melebarkan dominansinya.
Memang tak dapat dipungkiri penanaman modal banyak memberikan
dampak positif di Indonesia. Namun dampak positif tersebut hanya
dirasakan oleh segelintir orang. Kesejahteraan sosial yang tidak merata
sementara kekayaan alam yang tersimpan di Indonesia dikeruk habis oleh
investor asing untuk kemakmuran negaranya sendiri. Pengaturan
perundang-undangan mengenai investasi di Indonesia terutama mengenai
insentif-insentif yang diberikan terlalu melindungi kepentingan investor
asing. Sehingga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal merupakan produk hukum yang mendukung adanya
liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi ekonomi bertentangan dengan demokrasi ekonomi
sebagai dasar perekonomian nasional di Indonesia. Pembangunan hukum
ekonomi sangat diperlukan di negara ini. Sebab dengan pembangunan
hukum ekonomi akan tercipta pula suatu tatanan hukum sebagai dasar
berpijak dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Jika pondasi hukum
ekonomi dapat tercipta dengan baik, maka pembangunan ekonomi juga
dapat berjalan dengan lancar dan pertumbuhan ekonomi pun dapat
meningkat. Tak terkecuali hukum penanaman modal di Indonesia yang
memerlukan adanya pembangunan untuk melindungi kepentingan nasional
dan kesejahteraan sosial yang merata.
Berkaitan dengan perdagangan bebas perlu kiranya kita perhatikan
beberapa kesimpulan dari Seminar hukum tentang “Persetujuan Marakesh
dan Implikasinya bagi Hukum Nasional”, bahwa dalam membangun
sistem hukum nasional yang memadai dalam rangka memperkuat posisi
Indonesia di pasar internasional, ada 7 (tujuh) aspek yang harus
diperhatikan, yaitu 119:
a) Aspek pembentukan hukum (law making)
b) Aspek penerapan hukum dan pelayanan hukum (aplication of the law)
c) Aspek penyelesaian sengketa (dispute resolution), baik melalaui
pengadilan,
maupun
melalui
cara-cara
penyelesaian
alternatif
(alternative dispute resolution)
d) Pengembangan sumber daya manusia dan spesialisasi profesi di bidang
hukum, termasuk modernisasi system pendidikan hukum (formal, nonformal, dan informal)
e) Peningkatan pengumpulan informasi hukum dan efektifitas penyebaran
informasi hukum melalui sistem jaringan informasi hokum
f) Penelitian bahasa hukum yang dipakai dalam perjanjian internasional,
khususnya perjanjian WTO dan pembakuan bahasa hukum melalui
perbandingan bahasa hukum secara internasional dan nasional, dan
g) Pengembangan
metode-metode
interpretasi
hukum,
terutama
penafsiran hukum dari klausula-klausula perjanjian WTO.
119
Ekonomi,
Hudi Asrosri, Peranan Hukum di Dalam Menghadapi Transformasi Global di Bidang
Pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan
mendasar dibandingkan dengan istilah pembinaan atau pembaharuan
hukum120. Di era reformasi, arah dan sasaran politik hukum ekonomi harus
difokuskanpada terciptanya sistem hukum yang mampu memberikan
keadilan ekonomi pada masyarakat, mengarahkan perhatian pada ekonomi
kerakyatan, terciptanya nasionalisme ekonomi dan menggunakan tolok
ukur pemerataan ekonomi dalam mengukur keberhasilan pembangunan
ekonomi. Dengan arah dan sasaran yang baru tersebut diharapkan nantinya
hukum ekonomi mampu menciptakan ketahanan ekonomi rakyat kuat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu adanya pendekatan baru
untuk membangun hukum ekonomi. Pendekatan tersebut harus tetap
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan juga mampu mencakup aturan atau substansi
hukum, struktur atau kelembagaan hukum, aparat penegak hukum dan
budaya hukum masyarakat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan keselarasan
antara pendekatan di bidang ekonomi dengan pembangunan hukum di
Indonesia yakni terbentuknya sistem hukum dan produk hukum nasional
yang mengabdi pada kepentingan nasional. Hal ini dikarenakan selama ini
para perancang undang-undang hanya mengadopsi sistem hukum ekonomi
luar negeri tanpa memperdulikan benturan nilai-nilai liberal tersebut
dengan nilai-nilai yang telah hidup dalam masyarakat.
120
Adi Sulistyono, op.cit., hal. 69
Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi
sebagai bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas
(stability)121, yaitu bagaimana potensi hukum dapat menyeimbangkan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam
masyarakat.
Sehingga
hukum
kepentingan-kepentingan
modal
investasi
asing
dan
dapat
mengakomodasi
sekaligus
dapat
pula
melindungi pengusaha-pengusaha lokal atau usaha kecil. Dalam kaitannya
dengan hal ini, maka investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik.
Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor political
stability. Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan
berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang
dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun
proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.
Kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat meramalkan
(predictability),
adalah
mensyaratkan
bahwa
hukum
tersebut
mendatangkan kepastian. Investor akan datang ke suatu negara bila ia
yakin hukum akan melindungi investasi yang dilakukan. Kepastian hukum
akan memberikan jaminan kepada investor untuk memperoleh economic
opportunity122 sehingga investasi mampu memberikan keuntungan secara
ekonomis bagi investor. Adanya kepastian hukum juga merupakan salah
satu faktor utama untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor,
karena dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum
investasi, juga ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan
sebagai pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya.
Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur investasi dan yang
terkait dengan investasi kadangkala menimbulkan kekaburan atau
ketidakpastian mana hukum yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan
keberadaan hukum dengan masyarakat, maka perlunya wibawa hukum
agar dapat ditaati dan sebagai pegangan dalam menjalankan relasi satu
121
Erman Rajagukguk, op.cit., hal.27-31
122
Ibid
dengan yang lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis diperlukan adanya
kepastian hukum yang berlaku.
Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama bagi semua
orang atau pihak di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua
orang dan adanya standar pola perilaku pemerintah, oleh banyak ahli
ditekankan sebagai syarat untuk berjalannya menjaga mekanisme pasar
dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Dalam kaitannya dengan aspek
keadilan disini, maka faktor accountability dengan melakukan reformasi
secara konstitusional serta perbaikan sistem peradilan123 dan hukum
merupakan suatu syarat yang penting dalam rangka menarik investor.
Apabila hal ini tidak dilakukan pada akhirnya berakibat pada lemahnya
penegakan hukum (law enforcement) dan ketiadaan regulasi khususnya di
bidang investasi yang mampu memberikan rasa aman, nyaman bagi
investor serta kurang ramahnya perundang-undangan tersebut terhadap
investor khususnya investor asing. Dengan kata lain perangkat perundangundangan
yang
ada
sekarang
dirasakan
kurang
mengakomodasi
kepentingan para investor dalam berinvestasi.
Tiga hal utama
yang diinginkan investor dan pengusaha:
penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang
tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan. Tumpang tindih
peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan
jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu dieliminasi.
Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai
peraturan daerah dan pusat. Salah satu upaya untuk menggerakkan
kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim
123
Tribunals, instead of focusing exclusively on the “sole effect” on the owner, have also
often taken into account the purpose and proportionality of the governmental measures to
determine whether compensation was due. Thus a number of cases were determined on the basis
of recognition that governments have the right to protect, through non-discriminatory actions,
inter alia, the environment, human health and safety, market integrity and social policies without
providing compensation for any incidental deprivation of foreign owned property. (Organisation
for Economic Co-operation and Development, “Indirect Expropriation” and The “Right to
Regulate” in International Investment Law, Working Papers on International Investment, Number
2004/4, September 2004)
dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi khususnya
hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik
penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang
dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan
negara-negara di ASEAN khususnya, dalam menarik investasi asing.
Faktor kepastian hukum tentang izin lokasi dan pembebasan retribusi
daerah di suatu daerah dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi keputusan atau kebijakan investasi. Kepastian hukum yang
dimaksud adalah tersedianya seperangkat peraturan daerah
yang
transparan dan menjamin keamanan berinvestasi, kemudahan berusaha dan
efisiensi. Bila kepastian hukum yang demikian itu dapat memberi
keyakinan yang kuat kepada calon investor serta sesuai dengan kebutuhan
dan harapan para investor dalam berinvestasi, maka dengan sendirinya
para investor akan merasa termotivasi untuk menanamkan modalnya
dalam suatu bidang usaha yang dipilihnya. Namun sebaliknya, bila
kepastian hukum yang dimaksud ternyata tumpang tindih antara satu
peraturan dengan peraturan yang lain yang dapat menyebabkan
kebingungan penanam modal bahkan tidak menjamin keamanan
berinvestasi, tidak memberi kemudahan berusaha dan meraih keuntungan,
maka dapat dipastikan bahwa investor kurang dan bahkan tidak
termotivasi untuk menanamkan modalnya. Karena meskipun dari
pertimbangan ekonomi peluang investasi dipandang dapat memberikan
keuntungan, namun bila keamanan dan kemudahan invetasi tidak terjamin,
maka peluang itu menjadi tidak menarik. Pada dasarnya investasi adalah
kegiatan usaha untuk jangka waktu yang panjang.
Jika dari perhitungan jangka panjang pengelolaan investasi akan
mengalami banyak resiko yang merugikan. Oleh karena itu, kepastian
hukum yang tertuang dalam berbagai peraturan menjadi faktor motivasi
bagi para investor dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi atau
tidak berinvestasi. Pentingnya jaminan kepastian hukum, dan bahkan
pemberian insentif kepada calon investor untuk berinvestasi di daerah
tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 176 menyebutkan bahwa :
Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat
memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat
dan/atau investor yang diatur dalam Peraturan Daerah dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian secara yuridis formal telah disebutkan bahwa
pemberian insentif tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Calon investor sebenarnya hanya membutuhkan penyederhanaan sistem
dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan
transparansi biaya perizinan. Insentif yang diberikan tidak terlalu penting
bagi calon investor. Namun bila pemerintah memberikan insentif yang
sangat longgar dalam berinvestasi seperti yang tertuang pada UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal justru akan
memberikan dampak negatif bagi kepentingan nasional.
Pemberian insentif merupakan hal yang sah dilakukan pemerintah
untuk menarik minat calon investor. Pemberian insentif seharusnya
dilakukan dengan melihat berbagai pertimbangan dan kondisi masyarakat
di
negara ini. Sebagai
negara berkembang,
Indonesia memang
memerlukan banyak modal dalam membangun perekonomian akan tetapi
secara tidak sadar Indonesia menjadi sasaran yang empuk bagi negaranegara maju yang ingin mencari keuntungan di Indonesia. Pembangunan
hukum investasi memang sangat diperlukan sebagai pondasi dalam
berinvestasi di Indonesia dan untuk memberikan keadilan bagi semua
pihak terutama untuk melindungi kepentingan nasional.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan diperoleh pokok-pokok kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dari prinsip-prinsip yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal yang mengemuka dan menjadi
kekhawatiran masyarakat adalah adanya asas perlakuan yang sama. Ini
terjadi karena asas perlakuan yang sama akan membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi penanaman modal asing di Indonesia.
2. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman
Modal,
dapat
diketahui
pemerintah
Indonesia
ingin
melindungi kepentingan nasional, yaitu kepentingan penanam modal
dalam
negeri
untuk
mengembangkan
industri
nasional.
Namun
sehubungan dengan adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah
kepada penanam modal menciptakan liberalisasi perekonomian. Sebab
melalui insentif tersebut, digunakan oleh penanam modal asing untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
3. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan modal yang besar
untuk membangun perekonomian bangsa, membutuhkan lapangan
pekerjaan, mengembangkan industri eksport untuk mendapatkan devisa,
pembangunan desa-desa tertinggal, dan alih teknologi. Dari kebutuhan
tersebut, Indonesia membutuhkan dana dari penanam modal terutama
penanam modal asing. Tidak dapat dipungkiri penanam modal asing lebih
kuat dalam hal keuangan dan teknologi karena sebagian besar penanam
modal asing merupakan negara maju.
4. Untuk menarik minat penanam modal untuk menanamkan modalnya di
Indonesia memang tidak mudah. Dibutuhkan substansi hukum, aparatur
hukum dan budaya hukum yang baik. Selain itu hukum investasi
membutuhkan aspek stabilitas, aspek kemampuan untuk meramalkan dan
aspek keadilan.
B. Implikasi
Konsekuensi
logis
dari
kesimpulan
yang
diperoleh
khususnya
menyangkut insentif yang diberikan kepada penanam modal dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka mengandung
implikasi, yaitu :
1. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO)
dan Trade Related Investment Measures (TRIMs) mengharuskan Indonesia
untuk meratifikasi segala ketentuan di dalamnya. Sebagai negara yang
berkembang Indonesia memang belum siap untuk mengikuti arus
globalisasi perdagangan bebas. Namun mau tidak mau Indonesia harus
mematuhi dari semua ketentuan yang telah diratifikasi. Adanya UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan tegas
mengakui bahwa kompetisi perekonomian dunia semakin ketat sehingga
kebijakan hukum mengenai penanaman modal pun juga semakin didorong
kuat untuk menciptakan daya saing.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
menyebabkan liberalisasi yang bertentangan dengan demokrasi ekonomi di
Indonesia. Dengan diberlakukannya prinsip non diskriminasi akan
mempersempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri. Penanam
modal dalam negeri akan kalah bersaing di kancah perdagangan bebas.
3. Indonesia saat ini sedang membutuhkan dana yang besar untuk
membangun
perekonomian
negara.
Oleh
karena
itu,
Indonesia
membutuhkan penanam modal asing sehingga pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih
banyak memberikan insentif kepada penanam modal asing untuk menarik
minat mereka agar menanamkan modalnya di Indonesia dan menghadapi
persaingan antar negara yang semakin ketat.
4. Adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal membuat para penanam modal asing
maupun penanam modal dalam negeri enggan menanamkan modalnya di
Indonesia.
C. Saran
1. Pemerintah seharusnya tidak semata-mata hanya mengadopsi dari
konvensi-konvensi
dan
perjanjian-perjanjian
yang
dibuat
untuk
mengakomodasi penanam modal asing di Indonesia saja yang menjadikan
peraturan perundang-undangan menjadi tidak efektif. Perlu suatu
kebijaksanaan lebih dari pemerintah untuk mengakomodir ketentuanketentuan dari konvensi internasional menjadi kebijaksanaan nasional
yang dapat membangun bangsa.
2. Prinsip non diskriminasi dalam hal insentif untuk penanam modal asing
seharusnya lebih dibatasi lagi, hanya di bidang perijinan, perpajakan dan
pelayanan keimigrasian. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan oleh
penanam modal asing adalah kepastian hukum, perlindungan hukum dan
kemudahan dalam perijinan usaha.
3. Untuk mewujudkan hukum penanaman modal yang baik pemerintah juga
wajib memperhatikan aspek keadilan dan kepastian hukum.
4. Diperlukan perbaikan sistem peradilan dan adanya perlakuan yang sama
bagi semua pihak di depan hukum. Perlakuan yang sama bagi semua pihak
dan adanya standar pola perilaku pemerintah perlu ditekankan untuk
mencegah birokrasi yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adi Sulistyono. 2008. Reformasi Hukum Ekonomi Indonesia, Lembaga
Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetkan
UNS (UNS Press), Surakarta
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Ade Maman Suherman. 2008. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
RajaGrafindo, Jakarta
Arief Sidharta. 2008. Ethika Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Budiono Kusumohamidjojo. 1999. Ketertiban yang Adil Problematika Filasafat
Hukum, Cet. 1, Grasindo, Jakarta
Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusamedia,
Bandung
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2002. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum
Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2002. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia,
Jakarta
Dudu Duswara Machmudin. 2003. Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa,
cetakan ke 2, Refika Aditama, Bandung
Erman Rajagukguk. 2007. Hukum Investasi di Indonesia (Anatomi UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), Universitas
Al-Azhar Indonesia, Jakarta
Hans Kelsen. 2008. Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung
Huala Adolf. 2004. Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan
Internasional (WTO), Rajawali, Jakarta
Hendrik Budi Untung. 2010. Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta
Ida Bagus Rahmadi Supanca. 2006. Kerangka Hukum Kebijakan Investasi
Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor
Ida Bagus Wyasa, dkk. 2003. Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama,
Bandung
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Jimly Asshiddiqie. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta
John Rawls. 2006. A Theory oj Justice (Teori Keadlian), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang
Jonker Sihombing. 2009. Hukum Penanaman Modal di Indonesia, PT. Alumni,
Bandung
Kamaruddin Ahmad. 1996. Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Rineka Cipta,
Jakarta
Mariam Darus Badrulzaman. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional,Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum
Nasional bekerja sama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung
Munir Fuady. 2004. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO),
Cutra Aditya Bakti, Bandung
Nindyo Pramono. 2002. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Pandji Anoraga. 1994. Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing,
Pustaka Jaya, Semarang
Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta
Riduan Syahrani. 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Rosjisi Ranggawijaya. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,
Ctk. Pertama, Bandung
RPJMN 2004-2009, Bab 17 Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas, Sub
Bab A, Permasalahan
Salim dan Budi Sutrisno. 2008. Hukum Investasi di Indonesia, RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Sajtipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Sihombing Purwoatmodjo. 1997. Pengantar Ilmu Hukum,
University Press, Surakarta
Sebelas Maret
Sudikno Mertokusmo. 2002. Diktat Teori Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Jurusan Kenotariatan, UGM, Jogja
__________________. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta
__________________. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti,
Yogyakarta
Sunaryati Hartono. 1972. Beberapa Masalah Transisional dalam Penanaman
Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung
Sentosa Sembiring. 2007. Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung
Soedjono Dirdjosisworo. 2001. Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penlitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1986. Penelitian Hukum Normatif,
Universitas Indonesia Press, Jakarta
Setiono. 2005. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Progam
Studi Ilmu Hukum Pascasarjan Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Theo Huijebers. 2005. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke 5,
Kanisius, Yogyakarta
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Citra Umbara, Bandung
Jurnal dan Makalah
Anne van Aaken, International Investment Law and Rationalist Contarct Theory,
IIJL International Legal Theory Colloquium Spring 2009 : Virtues, Vices. Human
Behavior and Democracy in International Law, Working Paper, to be presented at
NYU, 22 January 2009
Ahmad Yulianto, 2003, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency
(MIGA) dalam Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5
Akgul Zeynep, The Development of International Arbitration on Bilateral
Investment Treaties : Disputes between States and Investor, ICSID Case Against
Turkey Regarding Energy Sector, Disertation.com, Boca Raton, Florida, USA,
2008
Camelia Malik, 2007, Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman
Modal Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 4
Eugene F. Maloney, The Investment Process Required by the Uniform Prudent
Investor Act, FPA Journal, November 1999
Jan Paulsson, Arbitration Without Privity, Foreingn Investment Law Journal,
International Center for Settlement of Investment Disputes, Volume 10, Number
2, Fall 1995
Organisation for Economic Co-operation and
Development, “Indirect
Expropriation” and The “Right to Regulate” in International Investment Law,
Working Papers on International Investment, Number 2004/4, September 2004
Ridwan Khairandy, 2003, Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint
Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5
Yulianto Syahyu, 2003, Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam:
Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 22, No. 5
Sosialisasi UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, IPB International Convention Centre (IICC), 29 Oktober 2007
Martinus Siswanto Prajogo (Tafung Ditkersin Ditjen Strahan Dephan),
Kepentingan Nasional : Sebuah Teori Universal dan Penerapannya oleh Amerika
Serikat di Indonesia, 2009
Lili Herawati, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal beserta Peraturan Teknis, Kapusdilkat badan Koordinasi Penanaman
Modal, Jakarta, 2007
Koran
Kompas, Senin, 25 Januari 2010
Laju Pertumbuhan Pasar Otomotif Makin Kencang, Bisnis Indonesia, 7 Juni 2007
Data Elektronik
Marina Eka Amalia, Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, http:\\www. Analisis dan Kritisi atas UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal [1]_Legalitas.Org.htm,
23 September 2009, 09.21
BKPM,<http://www.bkpm.go.id/contents/P26/REGIONAL+CHAMPIONS/74>, 24 Maret
2010, 10.15
China
Through
A
Lens,
China
Internet
Information
http://www.china.org.cn/english/index/htm., 9 Oktober 2009, 10.15
Cente,
China
Through
A
Lens,
China
Internet
Information
http://www.china.org.cn/english/index/htm, 9 Oktober 2009, 10.15
Center,
Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia
(Bagian I), http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/21/paradigma-baru-kebijakan-hukuminvestasi-indonesia-bagian-i/, 28 September 2009, 10.45
Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM,
Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu
Ekonomi FE UGM,
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&i
d=29270, 10 Desember 2009, 15.10
Imperialisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme, 15 Januari 2010, 10.54.
Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi: Penataan Hukum
Investasi
dalam
Upaya
Mendorong
Investasi
di
Indonesia,
http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=9, 15 Januari 2010, 11.08
Muchammad Zaidun, “Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia
(Bagian II)”, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/28/paradigma-barukebijakan-hukum-investasi-indonesia-bagian-ii/ , 28 September 2009, 10.55
Hudi Asrosri, Peranan Hukum di Dalam Menghadapi Transformasi Global di
Bidang Ekonomi,
Ensiklopedia
Ensiklopedia Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects,
Jakarta
Download