PRINSIP KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL TERHADAP PEMBERIAN INSENTIF BAGI INVESTOR ASING (Tinjauan terhadap Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Penanaman Modal) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Bisnis OLEH : MONICA NUNIK GAYATRI NIM : S 320908011 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial1. Untuk mewujudkan salah satu tujuan tersebut, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan prinsip yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman modal2. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing3. Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antar bangsa yang semakin ketat sehingga kebijakan penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Perekonomian dunia juga diwarnai oleh adanya blok perdagangan, pasar bersama, dan perjanjian 1 Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Penjelasan Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 3 Ibid. perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan antarpihak atau antarnegara yang mengadakan perjanjian. Hal itu juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral, regional maupun multilateral (World Trade Organization/ WTO) dan menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati. Berbagai pertimbangan di atas dan mengingat hukum penanaman modal yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun semakin mendesak kebutuhan Undang-Undang tentang Penanaman Modal sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang selama ini merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia. Perubahan tersebut diperlukan karena tidak sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum nasional di bidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan nasional4. Indonesia sebagai Negara yang sedang berupaya memajukan ekonomi rakyatnya, sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, niscaya masih menghadapi banyak persoalan karena lemahnya kemampuan permodalan baik di tingkat masyarakat, pengusaha bahkan pemerintah. Untuk itu dibutuhkan kebijaksanaan yang mampu mendorong bagi masuknya penanaman modal asing sehingga penanaman modal asing dapat berinvestasi di Indonesia. Peranan investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi permintaan agregat merupakan salah satu komponen 4 Penjelasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. pengeluaran yang menentukan besar atau kecilnya pendapatan nasional, kedua dari sisi penawaran agregat, sebagai akibat investasi yang dilakukan, pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas produksi atau out put potensial dan perekonomian akan meningkat5. Dalam memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Tantangan pertama berskala dari dalam negeri, yaitu berbagai keterbatasan dari sisi permodalan, lebih-lebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 lalu yang sampai sekarang belum juga pulih. Tantangan kedua berasal dari luar Indonesia sendiri, yaitu perekonomian dunia semakin bersifat global, persaingan dalam mengisi pangsa pasar dunia semakin tajam. Tantangan ketiga adalah perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan Asia dan Asia Pasifik sebagai akibat semakin cepatnya terlaksana AFTA dan APEC di sektor perdagangan dan investasi yang akan menimbulkan berbagai peluang usaha terutama di sektor investasi. Tantangan keempat, kesiapan peraturan-peraturan atau kebijakan untuk mendukung terciptanya iklim berusaha yang menarik investor6. Dewasa ini hak untuk meregulasi investasi asing tidak lagi seluruhnya tunduk pada kedaulatan Negara Tuan Rumah (Host Country). Sejumlah peraturan WTO (World Trade Organization) membatasi ruang gerak bagi pemerintah Negara Tuan Rumah untuk menetapkan sejumlah persyaratan dan pembatasan bagi investasi asing. Agreements on TRIMs melarang sejumlah persayratan-persyaratan kandungan lokal (local containing requirement), kebijakan kesimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan akses valuta asing (foreign exchange limitation) dan pembatasan ekspor (export limitation) dalam peraturan investasi asing. Selanjutnya dalam General Agreement on Trade in Service (GATS) menetapkan sejumlah larangan-larangan atas persyaratan tertentu terhadap investasi asing yang 5 Lili Herawati, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta Peraturan Teknis, Kapusdilkat badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 2007 6 Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 174 dilakukan melalui kehadiran komersial di sektor jasa. Larangan ini, meskipun dilakukan dengan sistem liberalisasi bertahap, dan didasarkan pada komitmen khusus dengan pendekatan daftar positif investasi, namun sudah mengarah pada larangan pembatasan pemilikan saham, pembatasan bidang usaha, pembatasan jumlah tenaga kerja asing dan perlakuan lain yang berbeda antara investor asing dan investor domestik. Belakangan ini WTO (World Trade Organization) bermaksud melengkapi rezim investasi melalui perundingan trade and investment yang diharapakan mampu menghasilkan sebuah perjanjian investasi multilateral. Dengan demikian, jika tiba saatnya maka seluruh aspek kebijakan investasi asing akan diatur sesuai dengan ketentuan WTO (World Trade Organization)7. Bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, peraturan ini sangat membatasi ruang gerak pemerintah dalam membuat kebijakan yang menyangkut di bidang ekonomi nasional. Liberalisasi ini tidak dapat dihambat sehingga merugikan kepentingan nasional Negara berkembang karena memberikan ruang gerak yang luas bagi penanam modal asing. Adanya pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan produk hukum yang merespon perkembangan tersebut. Undang-Undang ini didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang-Undang Penanaman Modal mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanam modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan para pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan 7 Mahmul Siregar, Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap Kesiapan Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait Dengan Peraturan Penanaman Modal, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, 2005 perizinan, koordinasi kelembagaan, penyelenggaran urusan penanaman modal dan ketentuan tentang penyelesaian sengketa. Undang-Undang ini memuat bidang yang sebenarnya telah memiliki peraturan perundangannya sendiri, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yaitu dalam hal pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan. Undang-Undang Penanaman Modal ini tidak dapat berjalan dengan baik karena antara UndangUndang Penanaman Modal dengan Undang-Undang yang lainnya saling bertentangan (lex posterori derograt legi priori atau konflik Undang-Undang dengan Undang-Undang yang mengatur materi yang sama)8. Tumpang tindih peraturan perundangan dirasakan pula di tingkat daerah. Banyaknya Peraturan Daerah tentang retribusi yang dikenakan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya di daerah-daerah. Padahal dalam kontrak yang ditanda tangani antara penanaman modal dengan pemerintah pusat, pungutan-pungutan tersebut telah termasuk dalam kontrak yang dimaksud sehingga mengakibatkan pemilik modal sering mengalami pungutan berganda. Keadaan ini menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang melindungi kepentingan investor domestik maupun investor asing. Tanpa adanya kepastian hukum, maka akan sulit mengundang para investor baik investor domestik maupun asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 8 Sudikno Mertokusmo, Diktat Teori Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Jurusan Kenotariatan, UGM, Jogaja, 2002, hal. 30 Undang-Undang Penanaman Modal memberikan perlakuan yang sama antara investor domestik dengan investor asing. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi industri dalam negeri terutama di saat negara kita sedang mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dimana 99,97% usaha di Indonesia adalah unit usaha mikro9. Selain itu, mengenai penggunaan tenaga kerja asing yang memperoleh kemudahan untuk bekerja di Indonesia, pemberian fasilitas-fasilitas kemudahan perpajakan, keimigrasian dan pemberian hak atas tanah dalam jangka waktu yang panjang dinilai sangat liberal. Adanya asas non diskriminasi merupakan ketentuan dari Trade Related Investment Measures (TRIMs) yang menyatakan bahwa setiap negara penanda tangan persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs) tidak boleh membeda-bedakan antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing10. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan negara-negara peserta GATT-WTO tidak boleh lagi membedakan antara pemodal dalam negeri dan pemodal asing. Hal ini adalah tuntutan arus globalisasi dan kecenderungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan yang sama bagi semua peserta dalam perdagangan bebas. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak menggariskan secara tegas tentang penanaman modal dalam negeri karena 9 Ahmad Zabadi (Asisten Deputi Sarana), Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah. Materi disampaikan pada saat Kuliah Kerja Lapangan Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10 Nindyo Pramono, op.cit., hal. 376 terlindung dibalik bungkusan asas non diskriminasi dalam penanaman modal di Indonesia. Hal ini akan mempersempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri terutama usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang akan kalah bersaing dengan penanam modal asing di kancah perdagangan bebas. Memang, diakui bahwa pengaturan mengenai penanaman modal dalam negeri yang disatukan secara bersama-sama dengan pengaturan penanaman modal asing dalam satu Undang-Undang telah menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa kalangan, bahwa nasib penanam modal dalam negeri akan terabaikan oleh hukum pasar di masa-masa yang akan datang. Sehingga tidak melindungi kepentingan masyarakat Indonesia terutama kepentingan nasional dan menimbulkan ketidakadilan. Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa pembuat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah mengabaikan falsafah demokrasi ekonomi Indonesia yang termaktub dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa11 : 1. Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat; 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Al-Hikmah, Surakarta 4. Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; 5. Ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan Undang-Undang. Meskipun kegiatan penanaman modal memberikan sumbangan positif bagi pembangunan nasional, kegiatan tersebut perlu diatur dan diawasi secara sekasama karena motif utama para pemilik dana untuk menanamkan modalnya adalah mencari keuntungan12. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan yang tegas di bidang penanaman modal. Perlu diciptakan dan dipelihara keseimbangan antara motif untuk menyertakan penanaman modal dalam menyukseskan pembangunan nasional sebagaimana yang dikehendaki pemerintah, dengan motif untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh para pemilik modal. Hal ini dilakukan untuk menjadikan Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia dewasa ini jangan sampai menjadi tidak efektif karena terlalu banyak dipengaruhi oleh konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk mengakomodasi penanaman modal asing di Indonesia. Berdasarkan dari pemikiran ini, maka penulis melalui tesis ini bermaksud melakukan analisis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengenai 12 hal. 34 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2009, prinsip yang dianut sehubungan dengan pemberian insentif kepada investor asing. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan membawa pada pembahasan yang lebih terarah dari penelitian yang dilakukan, yaitu : 1. Prinsip apakah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam konteks pemberian insentif? 2. Kepentingan apa yang hendak dilindungi sehubungan dengan adanya insentif bagi investasi asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal? 3. Mengapa kepentingan tersebut yang dilindungi? 4. Bagaimana idealitas undang-undang penanaman modal dalam konteks pemberian insentif bagi investor domestik dan investor asing? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Khusus a. Mengetahui prinsip yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam konteks pemberian insentif. b. Mengidentifikasikan kepentingan yang hendak dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memberikan insentif bagi investasi asing. c. Menganalisis kepentingan yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. d. Mengkaji idealitas peraturan perundang-undangan penanaman modal dalam konteks pemberian insentif bagi investor domestik dan investor asing. 2. Tujuan Umum a. Memperluas dan menambah pengetahuan penulis mengenai prinsip dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap pemberian insentif bagi investasi asing. b. Memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan tesis sebagai syarat guna memperoleh derajat magister dalam bidang Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum terutama Hukum Perdata, khususnya di bidang Hukum Bisnis, yaitu menyangkut masalah penanaman modal serta diharapkan dapat menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah. b. Memberikan gambaran yang jelas mengenai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dewasa ini banyak memberikan insentif bagi investasi asing dan cenderung mengarah pada liberalisasi ekonomi. c. Memberikan saran mengenai peraturan perundang-undangan bagi penanam modal asing agar dapat mencerminkan asas kepastian keadilan serta melindungi kepentingan nasional. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Mencocokkan bidang Ilmu Hukum yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktek. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, yaitu pemerintah, investor dalam negeri, investor asing, para penegak hukum, masyarakat pada umumnya. BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoritik 1. Pengertian Penanaman Modal Pengertian Penanaman Modal Asing terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa: Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Sedangkan pengertian Penanam Modal Asing terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menyebutkan: “Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia”. Menurut Salim H.S, investasi diartikan sebagai berikut :“penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan”.13 Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa penanaman modal asing dilakukan oleh perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing namun di dalam pengaturan yang lebih lanjut, penanaman modal asing diwajibkan dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Pananaman Modal). 2. Jenis Penanaman Modal a. Investasi Berdasarkan Asetnya14 1) real asset, merupakan investasi yang berwujud, seperti gedunggedung, kendaraan dan sebagainya. 2) financial asset, merupakan dokumen (suarat-surat) klaim tidak langsung pemegangnya terhadap aktivitas riil pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut. b. Investasi Berdasarkan Pengaruhnya15 1) Investasi autonomus (berdiri sendiri), merupakan investasi yang tidak dipengaruhi tingkat pendapatan, bersifat spekulatif. Misalnya, pembelian surat-surat berharga. 13 Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 10 14 Kamaruddin Ahmad, Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, 15 Ensiklopedia Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, hal. 2 Jakarta, hal.1470. 2) Investasi induced (mempengaruhi-menyebabkan), merupakan investasi yang dipengaruhi kenaikan permintaan akan barang dan jasa serta tingkat pendapatannya. c. Investasi Berdasarkan Sumber Pembiayaannya16 1) Investasi yang bersumber dari modal asing, merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan asing. 2) Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri, merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri. d. Investasi Berdasarkan Bentuknya17 1) Investasi portfolio, adalah investasi yang dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi. 2) Investasi langsung, merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan. 3. Manfaat Investasi Dampak positif penanaman modal asing dikemukakan secara sistematis oleh William A. Fennel dan Joseph W. Tyler, serta Eris M Burt. Dampak Positif itu meliputi 18: a. Memberi modal kerja. b. Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan koneksi pasar. 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri 17 Pandji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang, 1994, hal. 46 18 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Rajawali, Jakarta, 2004, hal. 6 c. Meningkatkan pendapatan uang asing melalui aktivitas ekspor oleh perusahaan multinasional (multinasional enterprise atau MNE). d. Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru. e. Negara penerima tidak merisaukan atau menghadapi resiko ketika suatu Penanaman Modal Asing yang masuk ke negerinya, ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang diterimannya. f. Membantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negaranegara penerima. Di samping dampak positif penanaman modal asing, namun keberadaan modal asing juga memberikan dampak negatif kepada negara penerima modal. Dampak negatif itu, antara lain : a. Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian suatu negara. b. Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat khusunya negara-negara berkembang. c. Penanaman Modal Asing oleh perusahaan multinasional dapat mengotrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan politis adari negara penerima. d. Perusahaan multinasional dikecam telah mengembalikan keuntungankeuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara tempat perusahaan induknya berada. Praktik seperti ini sedikitnya telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing dari negara penerima. e. Adanya tuduhan terhadap perusahaan multinasional yang kegiatannya telah merusak lingkungan sekitar lokasi usahanya, terutama negaranegara sedang berkembang. f. Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal di negara-negara berkembang. 4. Pengertian Hukum Investasi Istilah hukum investasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu investment of law. Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan pengertian hukum investasi. Untuk mengetahui pengertian hukum investasi, diambil beberapa pandangan ahli hukum. Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, pengertian hukum investasi adalah19 norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dapat dilakukannya investasi, syarat-syarat investasi, perlindungan dan yang terpenting mengarahkan agar investasi dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Definisi lain dikemukakan oleh Salim. H.S. Beliau mengemukakan bahwa hukum investasi adalah20 keseluruhan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara investor dengan penerima modal, bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi, serta megatur tentang prosedur dan syaratsyarat dalam melakukan investasi dalam suatu Negara. Kaidah hukum investasi digolongkan menjadi dua macam, yaitu kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum investasi tertulis merupakan kaidah hukum yang mengatur tentang investasi, di mana kaidah hukum itu terdapat dalam undang-undang, yurisprudensi, traktat dan doktrin. Sementara itu, hukum investasi tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya masayarakat yang melakukan investasi didasarkan kaidah-kaidah yang tidak tertulis21. 5. Objek dan Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Invetasi Objek merupakan sasaran di dalam penyelidikan atau pengkajian hukum investasi. Objek itu dibagi menjadi dua macam, yaitu objek materiil dan objek forma. Objek materiil, yaitu bahan (materiil) yang 19 Ida Bagus Wyasa, dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 20 Salim dan Budi Sutrisno,Op.Cit., hal. 10 21 Ibid; hal. 11 54 dijadikan sasaran dalam dalam penyelidikannya. Objek hukum materiil hukum investasi adalah manusia dan investasi. Objek forma, yaitu sudut pandang tertentu terhadap objek materiilnya. Jadi, objek forma hukum investasi adalah mengatur 22: a. Hubungan antara investor dengan negara penerima modal. Hubungan antara investor dengan negara penerima modal sangat erat karena investor sebagai pemilik modal akan bersedia menanamkan investasinya di negara penerima modal dan negara penerima modal harus dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum dan rasa aman. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007, dimana pemerintah memberikan kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha bagi penanam modal. b. Bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi. Bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi merupakan bidang usaha yang diperkenankan untuk dilakukan investasi. Diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang daftar Bidang Usaha yang Terbuka. c. Prosedur dan syarat-syarat dalam melakukan investasi dalam suatu negara. Prosedur dan syarat-syarat merupakan tata cara yang ditentukan oleh negara penerima modal dalam melaksanakan investasi dalam suatu negara. Hal ini menjadi penting karena mempengaruhi tingkat kepercayaan para investor. The professional trustee is now required to conduct an ongoing investment process that is, in substance and procedure, more complex and sophisticated than was previously required by law. It is arguable that asset allocation is the single most important task in this process. Furthermore, this emerging 22 Ibid; hal 12 investment process may well establish the foundation for a standard by which not only professional trustees will be measured, but all financial intermediaries who provide professional investment advice, including financial planners23. Di Indonesia setiap penanam modal harus berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dan berkedudukan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Penanam modal wajib bebentuk Perseroan Terbatas terutama yang mengajukan permohonan insentif. Pemberian insentif ini diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 6. Asas Hukum Asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum. Disebut demikian karena pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya24. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan, 23 Eugene F. Maloney, The Investment Process Required by the Uniform Prudent Investor Act, FPA Journal, November 1999 24 Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 45 bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis25. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum26. Mengenai batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, di antaranya adalah sebagai berikut 27: a. Pendapat Bellefroid. Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. b. Pendapat van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjukpetunjuk bagi hukum yang berlaku. Pmebentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. c. Pendapat van der Velden. Asas hukum adalah tipe putusan yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas nilai atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi. hal.5 25 Ibid, hal. 46 26 Ibid, hal. 47 27 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, d. Menurut Scholten, bahwa asas hukum adalah kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. Dengan demikian, asas hukum ditemukan dan disimpulkan, langsung ataupun tidak langsung, dalam peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan. Oleh karena asas hukum terkandung dalam peraturanperaturan hukum, sedangkan peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat sifatnya tidak tetap, karena senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan perasaan yang hidup dalam masyarakat, maka dengan sendirinya asas hukum yang terkandung di dalamnya pun sifatnya tidak abadi. Asas hukum berubah sesuai dengan tempat dan waktu28. Selanjutnya asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo, dibagi menjadi dua, yaitu 29: a. Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, asas lex posteriori derograt legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh hakim. b. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt servanda, asas konsensualisme, asas praduga tak bersalah. 28 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 154 29 hal. 36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1999, 7. Teori Keadilan a. Teori Keadilan Aristoteles Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”30. Di samping keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang menetukan sikap manusia pada bidang tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh sifatsifat yang berikut31 : 1) Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang satu dengan yang lain. 2) Keadilan berada di tengan dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua pihak : jangan mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak lain. 3) Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yan tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan ini dihitung secara aritmetis atau geometris. 30 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusamedia, Bandung, 2004, hal. 24 31 Theo Huijebers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke 5, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal.29 Keadilan yang mengatur hubungan dengan sesama manusia, meliputi beberapa bidang 32: 1) Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan kedudukan orang dalam negara. 2) Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual beli. 3) Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga. 4) Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum kontrak dan dalam delik privat. Kesamaan yang dituju dalam bidang-bidang ini ialah kesamaan aritmetis. 5) Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum, di mana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang konkret. Aristoteles menghendaki, agar seorang hakim yang mengambil tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam menerapkan hukum pada perkara-perkara konkret itu kesamaan geometris atau aritmetris tidak berperanan lagi. Apa yang diperlukan adalah epikea : suatu rasa tentang apa yang pantas. Sebagai demikian epikea termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang memberi pedoman bagi praktek hidup negara menurut hukum. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang 32 Ibid, hal. 31 disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat33. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah34. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu 33 Ibid; hal. 25 34 Carl Joachim Friedrich, loc.cit dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia35. b. Teori Keadilan Thomas Aquinas Keutamaan yang disebut keadilan menurut Thomas menentukan bagaimana hubungan orang dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai ’apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional’ (aliquod opus adaequatum alteri secundum aliquem aequalitatis modum)36. Filsuf Hukum Alam, Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak Undang-Undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi : 1) Keadilan distributif (justitia distribution) Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. 2) Keadilan komutatif (justitia commutative) Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Keadilan ini juga sering disebut sebagai keadilan tukar menukar. Ukurannya bersifat aritmetis. Keadilan vindikatif (justitia vindication)37. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti 35 Ibid; hal. 26-27 36 Theo Huijebers, op.cit., hal. 42 37 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2002, hal. 156-157 31 Ibid; hal. 157 kerugian dalam tindak pidana38. keadilan ini termasuk dalam keadilan tukar menukar. 3) Keadilan legal (justitia legalis) Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal ini. Keadilan legal menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum. Dengan mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik dalam segala hal, maka keadilan legal disebut keadilan umum (justitis generalis). c. Teori Keadilan John Rawls Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal yang lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga Negara dianggap mapan; hakhak yang dijamin oleh keadlian tidak tunduk pada tawar menawar politik atau atau kalkulasi kepentingan sosial. Sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat39. 39 hal. 3-4 John Rawls, A Theory oj Justice (Teori Keadlian), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran keseimbangan itu diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan40. Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain. Hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi tetap memperhatikan kepentingan individunya. Jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-pisnsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Dengan diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal 41: 1) Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik institusional. 2) Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita ke dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan alam struktur dasar masyarakat. Rawls tidak menginginkan masyarakat baru (ideal) seperti disinggung di atas diwujudkan secara mendadak. Menurutnya, banyak orang memerlukan pendidikan sebelum mereka dapat menikmati kekayaan kebudayaan yang tersedia bagi manusia sekarang. Di lain pihak, keyakinannya teguh bahwa hidup bermasyarakat harus diberikan suatu aturan baru, agar kekayaan dunia dibagi secara adil. 40 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 161-162 41 Ibid; hal. 162-163 Rawls mengakui bahwa kecendurungan manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli, manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang palig mendasar, yaitu42 : 1) Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty) Menurut pinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. 2) Prinsip ketidaksamaan atau perbedaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (theprinciple of fair equality of opportunity). Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih dahulu daripada prinsip kedua dan ketiganya. Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadlian yang berlaku (yaitu prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan). 8. Teori Kepastian Hukum a. Teori Legalitas Lon Fuller 42 Ibid; hal. 165 Peringkat analisis yang fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan hukum atau sistem hukum adalah peringkat analisis moral. Lon Fuller membedakan muatan moral pada dua aspek, yakni aspek internal dan aspek eksternal43. Aspek internal moralitas hukum, menunjuk pada aturan-aturan tekhnikal dari perwujudan hukum dalam aturan-aturan atau kaidahkaidah hukum sebagai sarana yang memungkinkan aspek eksternal moralitas hukum dapat diwujudkan. Sedangkan aspek eksternal moralitas hukum, menunjuk pada tuntutan moral terhadap hukum yang harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan baik dan adil. Titik tolaknya adalah asas tunggal pengakuan dan penghormatan atas martabat manusia (human dignity), yang merupakan induk dari asasasas hukum lainnya. Asas ini mengimplikasikan hak tiap manusia individual untuk menjadi dirinya secara utuh. Hak ini adalah hak yang sangat fundamental. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa aspek internal moralitas hukum adalah aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum sebagai sarana yang memungkinkan aspek eksternal moralitas hukum dapat diwujudkan. Asas-asas ini dapat juga dipandang sebagai landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas (kepastian Hukum). Lon Fuller mengemukakan delapan asas sebagai landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas (kepastian hukum), yakni44 : 1) Hukum Dipresentasikan Dalam Aturan-Aturan Umum 2) Hukum Harus Dipublikasi 3) Hukum Harus Non Retroaktif (Tidak Berlaku Surut) 4) Hukum Harus Dirumuskan Secara Jelas 43 Arief Sidharta, Ethika Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, hal. 8 44 Ibid 5) Hukum Harus Tidak Mengandung Pertentangan Antara Hukum yang Satu Dengan yang Lain 6) Hukum Harus Tidak Menuntut atau Mewajibkan Sesuatu yang Mustahil 7) Hukum Harus Relatif Konstan 8) Pemerintah Sejauh Mungkin Berpegang Teguh Pada AturanAturan Hukum (yang Diciptakan Sendiri atau yang Diakuinya). b. Teori Struktur Hierarki Tatanan Hukum (Stufentheorie) Hans Kelsen Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang (Stufenthheorie). Teori melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut45. Norma tertinggi yang diandaikan itu disebut norma dasar. Semua norma yang keabsahannya bisa ditelusuri kembali kepada norma dasar yang satu itu merupakan sebuah sistem norma, sebuah tatanan norma. Norma dasar merupakan sumber keabsahan dari semua norma yang berasal dari tatanan yang sama- ini merupakan alasan umum bagi keabsahan semua norma itu46. Fakta bahwa norma tertentu berasal dari tatanan tertentu didasarkan pada keadaan di mana alasan terakhir bagi keabsahannya adalah norma dasar dari tatanan ini. Norma dasarlah yang membentuk 45 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 116 46 Hans Kelsen., Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 218 kesatuan dalam berbagai norma dengan memberikan alasan bagi keabsahan semua norma yang berasal dari tatanan ini. Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang hukum. Kaidah itu berbunyi sebagai berikut : orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan (Man soll-sich so varhalten wie die Verfassung vorschreibt)47. Kelsen tidak menentukan norma dasar itu sebagai suatu norma dari hukum alam, yakni suatu norma yang melekat pada hal-hal. Bagi Kelsen, norma dasar itu berfungsi secara melulu sebagai syarat transendental-logis (transcendental-logische Voraussetzung) berlakunya suluruh tata hukum. Itu berarti bahwa keharusan dan kewajiban yang berkaitan dengan hukum tidak berasal dari isi kaidah hukum tertentu, melainkan dari kaidah hukum sebagai demikian. Kaidah hukum tidak mewajibkan karena isinya, yakni karena segi materialnya, melainkan karena segi formalnya. Kekhasan hukum yang menjadikannya bisa mengatur penciptaannya sendiri, bisa dilakukan dengan norma yang hanya mengatur prosedur pembuatan norma lain. Namun ini juga bisa dilakukan dengan norma yang menetapkan, dalam batas tertentu, isi norma akan dibuat. Dengan adanya karakter dinamis hukum, suatu norma absah karena, dan bila, ia diciptakan dengan cara tertentu, yakni dengan cara yang ditentukan oleh norma lain, yang dengan demikian 47 Theo Huijbers, op.cit., hal. 158 norma yang lain itu merupakan alasan antara untuk keabsahan norma baru. Oleh karena itu, norma dasar ini merupakan alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu diciptakan sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian tebentuklah sebuah tatanan hukum dalam struktur hierarkisnya48. Apabila ketetapan itu mempunyai fungsi untuk melaksanakan suatu peraturan ke dalam hal yang nyata (konkret) tertentu karena demikian Kelsen menyebutnya ketetapan itu sebagai indiviual norm, norma yang berlaku terhadap subjek hukum tertentu dengan dengan perkataan lain suatu norma yang mengikat subjek hukum tertentu. Adapun Peraturan, Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan Kaedah Dasar disebutnya General Norm, yaitu norma yang berlaku atau mengikat umum49. Hans Nawiasky, salah seorang murid dan Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas50: 48 Hans Kelsen, op.cit., hal. 244 49 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 99 50 Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung, 1998, hlm. 10 Kelompok 1 : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’) Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana dan aturan otonom) Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompoknya. Staatsfundamentalnorm adalah norma dasar negara, yakni sebagai norma tertinggi, sementara Staatsgrundgesetz merupakan aturan-aturan dasar (pokok) negara. Biasanya, aturan-aturan dasar negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen negara disebut dengan Undang-Undang Dasar atau Verfassung dan apabila dituangkan dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau Grundgesetze. Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang mengikat umum, sifatnya masih merupakan aturan-aturan pokok, dan belum mengandung suatu sanksi, dan sifatnya masih umum. Formell Gesetz atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan pelaksanaannya (Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang baru pada sistem undang-undang inilah kita memperoleh suatu tata norma hukum yang mengikat (verbindlich) secara nyata. Terakhir adalah Verordnung dan Autonomic Satzung atau peraturan pelaksanaan merupakan dan peraturan-peraturan peraturan-peraturan yang otonom. Dalam hal sifatnya delegasian ini atau atribusian. Hans Nawiasky mengemukakan lebih lanjut bahwa yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan dalam suatu negara adalah Formell Gesetz dan semua peraturan pelaksanaannya51. c. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut. Hal ini tamapk jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan bahwa52 : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; 3) Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah.” Kita sudah menyepakati bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Rumusan Pancasila ini dijumpai dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan perkataan lain, jika mengikuti teori Nawiasky, Staatsfundamentalnorm Indonesia adalah Pancasila. Sedangkan Staatsgrundgesetz merupakan aturan-aturan dasar (pokok) negara adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’) yaitu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang51 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 224 52 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Citra Umbara, Bandung Undang. Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana & aturan otonom) merupakan Peraturan Presiden dan Peratusan Daerah. 9. Teori Kepentingan a. Teori Kepentingan Roscoe Pound Setiap insan ciptaan Tuhan yang bernama manusia secara individual memiliki kepentingan-kepentingan. Kepentingan- kepentingan ini merupakan kepentingan pribadi dan kepentingan antar pribadi. Kepentingan pribadi-pribadi dapat diupayakan pemenuhannya masing-masing tanpa saling bertemu ataupun berbenturan namun kadang-kadang kepentingan antara pribadi dapat bertemu dan berbenturan satu sama lain53. Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut 54: 1) Kepentingan Umum (public interest) a) Kepentingan negara sebagai badan hukum; b) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. 2) Kepentingan Masyarakat (social interest) a) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; b) Perlindungan lembaga-lembaga sosial; c) Pencegahan kemerosotan akhlak; d) Pencegahan pelanggaran hak; e) Kesejahteraan sosial. 3) Kepentingan Pribadi (private interest) a) Kepentingan individu; b) Kepentingan keluarga; c) Kepentingan hak milik. 53 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 134 54 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op. cit., hal. 130-131 Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehngga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pngacara dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungan antara prinsip (hukum) dan praktiknya. b. Teori Kepentingan Nasional Konsep-konsep yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli hubungan internasional yang mendefinisikan bahwa kepentingan nasional suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan masalah eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut55: The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in that sense necessary, and one that is variable and determined by circumstances. Dengan demikian konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah 55 Martinus Siswanto Prajogo (Tafung Ditkersin Ditjen Strahan Dephan), Kepentingan Nasional : Sebuah Teori Universal dan Penerapannya oleh Amerika Serikat di Indonesia, 2009 dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia. Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa tujuan dari sebuah negara dalam rangka mencapai kepentingan nasional adalah56: The State should promote the internal welfare of its citizens, provide for defense against external aggression, and preserve the state’s values and way of life. …No country can long afford to pursue its own welfare in ways that reduce the security and welfare of its competitor. Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada upaya meningkatkan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi nilai-nilai negara dan cara hidup. Lebih jauh mereka juga menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah negara dapat mencapai kepentingan nasionalnya dengan mengurangi keamanan dan kesejahteraannya terhadap kompetitornya. Dan untuk mencapai tujuan nasional seperti yang diharapkan maka setiap negara harus mengkaitkan kepentingan nasionalnya melalui upaya kerjasama dengan banyak bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan keamanan global. Terkait hal tersebut di atas setiap negara selalu berupaya melakukan kerjasama dengan negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral. Untuk merealisasikan kerjasama tersebut diperlukan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan sebagai alat diplomasi dalam rangka menjamin dan mengembangkan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian terdapat kaitan yang sangat erat antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri suatu Negara. 56 Ibid Dalam konteks ini dua orang peneliti kebijakan luar negeri menarik korelasi yang begitu erat dengan kepentingan nasional, antara lain dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara sudah seharusnya didasarkan pada beberapa sumber yang mengacu pada berbagai bentuk kepentingan nasionalnya. Dalam tulisan mereka disebutkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara yang paling pokok adalah didasarkan pada kepentingan nasional yang dianggap fundamental (mutlak). Jenis kepentingan nasional yang dianggap mutlak tersebut adalah kelangsungan hidup (survival) bangsa tersebut dan integritas wilayah nasionalnya. The most fundamental of source foreign policy objectives is perhaps the universally shared desire to insure the survival and territorial integrity of the community and state.57 Atau dengan kata lain, keamanan nasional ditempatkan pada skala prioritas yang paling tinggi. Selanjutnya kebijakan luar negeri harus didasarkan pula pada sumber kepentingan nasional lainnya yang dianggap sangat penting (vital). Kepentingan nasional yang termasuk dalam kelompok ini adalah kepentingan nasional terkait dengan kepentingan ekonomi bangsa tersebut dan dalam upaya penerapan sistem demokrasi yang mampu mengakomodasi kepentingan individu maupun kelompok ekonomi atau bisnis. … the most important set of domestic sources of foreign policy arethe economic needs of the community. … It is important to emphasize that economic neds are fundamental sources of a state’s foreign policy. … there are strong pressures generated in the state’s political system to satisfy individual or group economic needs through foreign policy. 58 57 Ibid 58 Ibid Selanjutnya kebijakan luar negeri suatu negara seyogianya juga didasarkan pada sumber kepentingan nasional lainnya yang sifatnya tidak begitu signifikan. Dengan kata lain kepentingan nasional seperti ini lebih bersifat sebagai pendukung. Yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah yang menyangkut upaya memelihara akar budaya dan ideologi sebagai indentitas yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan dalam percaturan internasional dan perhatian bangsa tersebut terhadap terciptanya perdamaian dunia sebagai kewajiban moral yang harus dipenuhi. B. Kerangka Berpikir UUD 1945 Pasal 33 Kesejahteraan dan Kemakmuran Masyarakat Indonesia Demokrasi Ekonomi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO WTO Prinsip Non Diskriminasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Norma Kepentingan Prinsip Pemberian Insentif Investor Domestik Investor Asing Bagan.1. Kerangka Berpikir Sepanjang sejarah terdapat berbagai pemikiran tentang seberapa jauh negara atas nama hukum harus terlibat dalam kegiatan ekonomi para warganya. Pemikiran tersebut harus digunakan oleh negara sebagai dasar dalam menentukan arah kebijakan perekonomian. Arah kebijakan ekonomi tersebut harus ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Investor Asing Demikian pula halnya Negara Indonesia mempunyai arah kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat, dimana arah kebijakan ekonomi tersebut dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan pemerintah dalam membuat peraturan-peraturan dalam bidang ekonomi. Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah adalah untuk mengatur kegiatan ekonomi di negara ini dengan harapan agar kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan dengan adanya suatu keseimbangan antara para pelaku pasar dengan masyarakat. Keseimbangan tersebut sangat penting dalam menjaga perekonomian negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat dan mewujudkan demokrasi ekonomi. Dewasa ini hak untuk meregulasi investasi asing tidak lagi seluruhnya tunduk pada kedaulatan Negara Tuan Rumah (Host Country). Sejumlah peraturan WTO (World Trade Organization) membatasi ruang gerak bagi pemerintah Negara Tuan Rumah untuk menetapkan sejumlah persyaratan dan pembatasan bagi investasi asing. Agreements on TRIMs melarang sejumlah persayaratan-persyaratan kandungan local (local containing requirement), kebijakan kesimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan akses valuta asing (foreign exchange limitation) dan pembatasan ekspor (export limitation) dalam peraturan investasi asing. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization), dan dengan meratifikasi ketentuan-ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The WTO maka hukum penanaman modal di Indonesia ikut menyesuaikannya. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan produk hukum pasca ratifikasi ketentuan dalam WTO (World Trade Organization). Undang-undang ini merupakan awal liberalisasi ekonomi di Indonesia. Dengan adanya prinsip non diskriminasi yang merupakan ketentuan dari Trade related Investment Measures (TRIMs), investor domestik dan investor asing memperoleh perlakuan yang sama dalam hal pemberian insentif. Hal ini mengakibatkan semakin sempitnya ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri terutama usaha mikro, kecil, menengah dan Koperasi karena mereka akan kalah bersaing dalam kancah perdagangan bebas di era globalisasi. Hukum seharusnya dibentuk untuk melindungi berbagai kepentingan. Tak terkecuali Undang-Undang Penanaman Modal yang seharusnya dibuat untuk melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan negara maupun kepentingan penanam modal. Maka sudah suatu keharusan bagi Bangsa Indonesia merusmuskan suatu peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan keseimbangan berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan untuk mencegah berbagai ancaman dari pihak luar. Namun keseimbangan ini bukan dimaknai dalam arti yang sempit, akan tetapi sebagai titik tolak dalam upaya memasuki dunia global dan mewujudkan demokrasi ekonomi. C. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Bagi Penanaman Modal Asing oleh I Made Putra Wibawa (Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta). Penelitian ini membahas perlindungan hukum bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing atas Hak Guna Bangunan serta akibat hukum bagi perusahaan penanaman modal asing atas inkonsisten Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Mahmul Siregar. Penelitian tersebut berjudul Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap Kesiapan Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal (Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa liberalisasi kebijakan perdagangan bebas berkaitan erat dengan peningkatan investasi asing. Namun, hal ini tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk menghapuskan seluruh pembatasan penanaman modal yang banyak dilakukan oleh negara berkembang. Perbedaan kepentingan ekonomi pembangunan dan kemampuan antara negara maju dan negara berkembang membutuhkan ruang yang lebih luas untuk menetapkan kebijakan penanaman modal yang diselaraskan dengan pembangunan negara berkembang. BAB III METODE PENELITIAN kebutuhan ekonomi Metode penelitian dapat dirumuskan sebagai tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian59. Oleh sebab itu, sebelum dilaksanakan suatu penelitian maka terlebih dahulu harus ditentukan metode yang akan dipergunakan. Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian sebagai berikut : A. Jenis Penelitian Di dalam penelitian hukum, metode penelitian yang digunakan tergantung pada konsep hukum itu sendiri. Soetandyo Wignyosubroto mengemukakan lima konsep hukum yaitu : 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati serta berlaku universal. 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan. 3. Hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law. 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pada perilak sosial sebagai dampak dalama interaksi antar mereka. Dalam penelitian ini, digunakan konsep hukum pertama dan ke dua, yaitu hukum merupakan asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati 59 Soerjono Soekanto, Pengantar Penlitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hal. 5 serta berlaku universal dan hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang diidentikan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai perintah eksplisit dan secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya60. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum atau implementasinya61. B. Bentuk Penelitian Ilmu hukum mempunyai karekteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan62. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum. C. Pendekatan 60 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Progam Studi Ilmu Hukum Pascasarjan Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2005, hal.21. 61 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 101-102 62 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal.22 Pendekatan yng digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut63 : a) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. a) All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. c) Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierakis. 2. Pendekatan Sejarah (Historis Approach) Setiap peraturan perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Dengan mengetahui latar belakang sejarah, kemudian dibuat peraturan perundang-undangan tersebut, maka catur wangsa peradilan akan memiliki interpretasi yang sama terhadap permaalahan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud64. 3. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach) Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan megupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam65. D. Jenis Data 63 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2006, hal. 303 64 Ibid. hal. 318 65 Ibid. hal. 320 Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan atau melalui literatur-literatur, himpunan perundang-undangan yang berlaku, hasil penelitian yang berwujud laporan, yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Bagi Penanaman Modal Asing oleh I Made Putra Wibawa (Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dan Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan Terhadap Kesiapan Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal oleh Mahmul Siregar (Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan). E. Sumber Data Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikut, yang terdiri dari : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO. f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 2. Bahan Hukum Sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, majalah serta surat kabar. 3. Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus dan ensiklopedia,. F. Teknik Pengumpulan Data Guna mendapatkan data dalam penelitian ini dibutuhkan cara pengumpulan data untuk mendapatkan data sekunder yang akan dianalisis. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku-buku referensi perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, dokumendokumen dan hasil-hasil penelitian yang ada relevansi kuat dengan masalah yang diteliti serta informasi yang berasal dari internet. G. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, digunakan analisis data, yang dibagi dalam beberapa tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Inventarisasi peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini antara lain : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO. f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 2. Penafsiran terhadap Undang-Undang Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa kesamaan anasir-anasir, atau bertujuan untuk mencapai obyek yang sama, bahwa diantara peraturan hukum ternyata terdapat hubungan antara satu dengan yang lain. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Setiap peraturan hukum mempunyai tempat dalam suatu lapangan hukum tertentu, hal ini sebagai konsekuensi adanya interdepedensi antara masing-masing gejala sosial dan bahwa hukum merupakan suatu gejala sosial66. 3. Analisis, yang dilakukan dengan memperhatikan penafsiran hukum yang dilakukan serta asas-asas hukum yang berlaku pada ilmu hukum. Analisis menggunakan logika deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus. BAB IV 66 Sihombing Purwoatmodjo, Pengantar Ilmu Hukum, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1997, hal. 171 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Prinsip-Prinsip Yang Melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam Konteks Pemberian Insentif Setelah krisis moneter menerjang Indonesia pada tahun 1998/1999,daya saing ekonomi Indonesia terus menunjukkan penurunan. Pemulihan kembali ekonomi Indonesia pasca krisis moneter relatif lebih lambat dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Keadaan tersebut diperburuk lagi dengan kurang siapnya infrastruktur di dalam negeri yang sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional, dan masih banyaknya praktik ekonomi biaya tinggi terutama di sektor riil. Hal ini mengakibatkan penanaman modal di tanah air tidak mengalami perkembangan berarti, dan pemilik modal asing tidak melihat iklim penanaman modal di Indonesia lebih baik dari yang dimiliki oleh negara-negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN67. Untuk merespon keadaan tersebut, pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 26 April 2007 telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Penanaman Modal berusaha mengakomodir perkembangan zaman dimana peraturan sebelumnya, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman 67 RPJMN 2004-2009, Bab 17 Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas, Sub Bab A, Permasalahan Modal Dalam Negeri, dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman68. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut antara lain disebutkan : a) Bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk tujuan bernegara. b) Bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selakyaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. c) Bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. d) Bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efesiensi dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 untuk dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanaman 68 Marina Eka Amalia, Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, http:\\www. Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal [1]_Legalitas.Org.htm, 23 September 2009, 09.21 modal tanpa mengorbanan kepentingan nasional69.Selain itu, undangundang dimaksud diundangkan pada masa Indonesia berada di tengahtengah euphoria semangat otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah selanjutnya mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Semangat otonomi daerah tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, dengan arahan bahwa harus didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Pemerintah menyadari adanya beberapa kendala pokok yang dihadapi pemilik modal yang akan menanamkan modalnya di Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dibuat dengan mengantisipasi hal-hal tersebut. Untuk itu ketentuan yang mencakup perizinan dan pengesahan pendirian usaha dibuat dengan melakukan layanan terpadu satu pintu. Dengan sistem pelayanan satu pintu diharapkan bahwa pelayanan terpadu di tingkat pusat maupun daerah akan dapat menyederhanakan dan mempercepat penyelesaian perizinan-perizinan yang dibutuhkan. Selanjutnya, institusi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang sebelumnya telah ada akan lebih ditingkatkan fungsinya dan ditugaskan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut. Dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mempunyai fungsi dan tugas untuk meningkatkan penanaman modal di Indonesia, institusi tersebut diharapkan akan dapat berperan untuk mengatasi hambatan-hambatan penanaman modal yang masih sering dikeluhkan oleh pemilik modal, meningkatkan kepastian pemeberian fasilitas yang menjadi hak penanam modal, serta memperkuat peran penanaman modal itu sendiri. Tentunya peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan 69 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 193 pembangunan nasional dengan tetap memperhatikan kestabilan ekonomi makro, keseimbangan ekonomi antar wilayah, antar sektor ekonomi, antar pelaku usaha dan kelompok masyarakat, mendukung peran serta usaha nsional, serta memnuhi kaidah tata kelola yang baik (good corporate governance). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga mengatur bahwa pemberian fasilitas penanaman modal harus tetap mempehatikan daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara, dan diusahakan untuk dapat tetap promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh negara-negara tetangga lainnya. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemilik modal, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 diatur secara lebih rinci tentang bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas atanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor. Selain itu, undangundang dimaksud dirancang dengan tetap memperhatikan aspek-aspek penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi nasional dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan bagi penanam modal yang menggunakan barang modal atau mesin-mesin peralatan produksi dalam negeri. Dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut juga diberikan fasilitas dan kemudahan-kemudahan penanaman modal yang terkait dengan lokasi penanaman modal di daerah tertinggal dan di daerah-daerah yang mempunyai infrstruktur. Penanaman modal di era globalisasi tidak dapat dipisahkan dari rangkaian perjanjian-perjanjian internasional, di mana Indonesia telah ikut serta melibatkan diri di dalamnya. Hal tersebut sebelumnya telah diantisipasi oleh pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, dan pemerintah juga telah mendapatkan ruang gerak yang cukup luas untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang telah ada maupun yang akan dibuat di kemudian hari. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk mendorong terciptanya kerja sama internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional maupun internasional bagi produk-produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh Indonesia. Selain dari itu ditempuh juga kebijakan pengembangan ekonomi di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini ditempatkan sebagai bagian penting dari upaya untuk menarik potensi pasar dan sebagai daya pendorong guna meningkatkan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus, yang mempunyai sifat strategis untuk pengembangan perekonomian nasional. Perekonomian dunia yang ditandai dengan persaingan antar bangsa yang makin ketat dewasa ini juga turut menjadi pemicu dari terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Perekonomian dunia dewasa ini telah diwarnai oleh blok-blok perdagangan, adanya pasar bersama, dan perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan antar pihak atau antar negara yang mengadakan perjanjian. Hal demikian juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia di berbagai kerja sama baik secara bilateral, regional, maupun multilateral (World Trade Organization) yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi yang mau tidak mau harus dihadapi. Bagaimanapun juga, Indonesia telah menandatangani Konvensi MIGA di Washington DC pada tanggal 27 Juni 1986 yang diikuti dengan meratifikasinya pada tahun yang sama, sehingga Indonesia harus menundukkan diri pada aturan-aturan yang ada pada Konvensi MIGA tersebut. Walaupun secara tidak jelas disebutkan, beberapa klausula dari Konvensi MIGA telah dimasukkan Indonesia ke dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 seperti asas perlakuan yang sama atau non diskriminasi antara penanaman modal dalam negeri dengan penanaman modal asing. Sehubungan dengan asas, maka asas dapat diartikan menjadi 2 pengertian yang berbeda, yaitu sebagai dasar, alas, pondamen di satu pihak, dan di pihak lain juga dimaksudkan sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat70. Sedangkan 70 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, cetakan ke 2, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 67 menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum. Disebut demikian karena pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum71. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan prinsip-prisip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat juga disebut titik tolak dalam pembentukkan undangundang dan interpretasi undang-undang tersebut. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya72. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis73. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyebutkan bahwa asas-asas penanaman modal meliputi hal-hal sebagai berikut : a) Kepastian Hukum Yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. b) Keterbukaan 71 Satjipto Rahardjo, loc.cit. 72 Ibid 73 Ibid Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. c) Akuntabilitas Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d) Perlakuan yang Sama dan Tidak Membedakan Asal Negara Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal nondiskriminasi negara" berdasarkan adalah asas ketentuan perlakuan peraturan pelayanan perundang- undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. e) Kebersamaan Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. f) Efisiensi Berkeadilan Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha. Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing. g) Berkelanjutan Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. h) Berwawasan Lingkungan Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan" adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. i) Kemandirian Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. j) Keseimbangan Kemajuan dan Kesatuan Ekonomi Nasional. Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional" adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional. Sehubungan dengan asas-asas dalam penanaman modal yang telah disebutkan di atas dapat dilihat keterkaitannya pada tataran perundangundangan khususnya peraturan perundang-undangan yang hierarkhinya lebih tinggi. Pemikiran Mariam Darus, tentang asas-asas hukum, maka asas-asas suatu penanaman modal haruslah bersumber pada Pancasila sebagai asas idiil (filosofis), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Pancasila sebagai jiwa, pandangan hidup dan dasar negara Republik Indonesia merupakan dasar yang bersifat lebih abstrak, yang kemudian dijabarkan secara lebih konkret ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut merupakan konkretisasi dari Pancasila ke dalam aturan-aturan hukum positif, sehingga dengan demikian Pancasila akan menyentuh kehidupan nyata masyarakat Indonesia74. Dengan mengkaji lebih jauh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka akan ditemukan di dalamnya asas-asas hukum yang relevan baik terhadap hukum perdata maupun dengan hukum bisnis dan hukum penanaman modal, yakni 75: a) asas kesatuan dan persatuan b) asas negara hukum c) asas persamaan d) asas keadilan e) asas kerakyatan f) asas kemanusiaan g) asas kekeluargaan h) asas keseimbangan i) asas kebebasan yang bertanggung jawab j) asas demokrasi ekonomi k) asas bhineka tunggal ika l) asas kepentingan nasional m) asas kepastian hukum. Sedangkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemberian insentif dapat dilihat dalam Energy Charter Treaty Part III yang menyebutkan : a) non-discriminatory and national treatment of investments; b) minimum standards under international law (including treaties); c) eschewing barriers such as domestic-content requirements , exportrelated import quotas, and restriction on access to foreign exchange; d) entry and work permits for ‘key personnel’; 74 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1997, hal. 16 76 Ibid, hal. 21 e )compensation for requisitioned assets or assets destroyed by use of excessive force in the event of armed conflict or disturbance; f) ‘prompt, adequate and effective’ compensation in the event of expropriation, repatriation of capital, profits and contract payments in convertible currency76. 2. Kepentingan yang Hendak Dilindungi Sehubungan dengan Adanya Insentif bagi Investasi Asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Penanaman modal menjadi salah satu alternatif yang digunakan untuk memecahkan masalah kesulitan pembiayaan dalam pembangunan nasional. Selain itu, penanaman modal juga memberikan dampak yang baik pada negara penerima. Dampak positif penanaman modal asing tersebut menurut William A. Fennel dan Joseph W. Tyler, serta Eris M Burt, meliputi 77: a) Memberi modal kerja. b) Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan koneksi pasar. c) Meningkatkan pendapatan uang asing melalui aktivitas ekspor oleh perusahaan multinasional (multinasional enterprise atau MNE). 76 Jan Paulsson, Arbitration Without Privity, Foreingn Investment Law Journal, International Center for Settlement of Investment Disputes, Volume 10, Number 2, Fall 1995 77 Huala Adolf, op.cit., hal. 6 d) Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru. e) Negara penerima tidak merisaukan atau menghadapi resiko ketika suatu Penanaman Modal Asing yang masuk ke negerinya, ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang diterimannya. 6. Membantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negaranegara penerima. Dengan adanya dampak-dampak positif penanaman modal asing, yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal antara lain 78 : a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. b) Menciptakan lapangan kerja. c) Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. d) Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional. 78 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di China, beberapa hal pokok yang menjadi tujuan penanaman modal asing. To direct foreign investment to go along with the development scenario of Chinese industries, and to avoid blind investment, the Chinese government promulgated in June 1995 the Interim Provisions for Guiding Foreign Investment and the Industrial Catalogue for Foreign Investment. The industrial projects in the catalogue are divided into four categories ― the encouraged, permitted, restricted, and prohibited. In late 1997, the Chinese government revised the above-mentioned catalogue in line with the development of the national economy. The revised catalogue reflects expansion in the investment scope encouraged by the state and highlights priority industries. It embodies the principles of compliance with structural readjustment, of being conducive to the introduction of advanced technology, and encouragement of foreign investment in China's central and western areas. The items in the catalogue encouraged for foreign investment mainly include: new agriculture technologies, comprehensive development of agriculture, energy resources, communications, important raw materials, new and high technologies, export-oriented and foreign-currency-earning projects, comprehensive utilization and regeneration of resources, prevention of environmental pollution, and those that give play to the advantages of China's mid-west areas. Meanwhile, foreign investment is directed to the technological upgrading of traditional industries and old industrial bases and to the continued development of labor-intensive projects that comply with the state's industrial policies. Foreign investment is prohibited in projects that endanger the state security and bring damages to public interest; that cause pollution of the environment and damage natural resources and public health; that use large farmland and are unfavorable to the protection and development of land resources; and that endanger the security and normal function of military facilities. The state will continue to make appropriate revisions to the Industrial Catalogue for Foreign Investment and to the Interim Provisions for Guiding Foreign Investment in accordance with the development need of the national economy and China's commitment on the entry of the WTO. (China Through A Lens, China Internet Information Cente, http://www.china.org.cn/english/index/htm.). e) Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional. f) Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan. g) Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. h) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia, maka pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan dasar tentang penanaman modal yang dimaksudkan untuk lebih mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal, sekaligus untuk penguatan daya saing perekonomian nasional yang akhirakhir ini dirasakan mengalami banyak kemunduran. Adanya berbagai langkah yang diambil pemerintah, diharapkan akan mampu untuk mempercepat dan meningkatkan penanaman modal di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memberikan berbagai fasilitas kepada penanam modal baik penanam modal asing maupun dalam negeri untuk mencapai hasil tersebut. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal yang telah memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan antara lain79: 79. Salim dan Budi Sutrisno, op.cit., hal. 274. In order to coordinate economic development in different areas, the Chinese government is encouraging foreign investment in central and western China. Key measures being taken are as follows. 1). The state has approved and issued the Catalogue of Advantageous Sectors for Foreign investment in Central and Western Regions. Projects included in this catalogue enjoy the same policy as offered to projects of encouraged category in the Industrial Catalogue for Foreign Investment, and favorable tax policy applies to the import of necessary equipment, parts, spares and technology used in such projects. 2). There will be fewer restrictions in investment fields, and on the conditions for establishment of foreign-invested enterprises in central and western China, as well as on the proportion of shares owned by the foreign contingent of the foreign-invested enterprises in these areas. 3). Encouraged Projects in central and western China shall pay income tax at the reduced rate of 15 percent for three years on expiry of the current favorable tax period. 4). If foreign-invested enterprises reinvest in central and western China with foreign capital accounting for 25 percent or more of the project, the new project will enjoy policies offered to enterprises with foreign investment. 5). Trial projects approved by the central government should, in principle, be carried out simultaneously in eastern, central and western China. On approval from the state government, provincial and autonomous regional capitals and municipalities may open the fields of commerce, foreign trade and banking to foreign investment on a trial basis. Foreign-funded banks in western a) Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. b) Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. c) Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. d) Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. China may embark on RMB business gradually. Foreign investors may invest in telecommunications and tourism insurance in accordance with relevant regulations, and set up Sino-foreign joint venture accounting firms, engineering design companies, railway and highway freight transport and public utility companies, and other fields open to foreign investment. 6). Provinces, municipalities and autonomous regions in central and western China may select a built-up development area in the provincial or regional capital and apply for the status of a national economic and technological development zone. 7). Enterprises with foreign investment engaged in energy and transportation infrastructure will pay income tax at the reduced rate of 15 percent with approval from the State Bureau of Taxation. 8). In the interests of protecting the ecological environment, income from special products reverting cultivated land to forestry and grassland is exempt from special agricultural product tax for a period of ten years. 9). There are also preferential policies for land use and mineral resource exploration, promoting forest farming and grass planting on barren mountain slopes and fields, and the reverting of cultivated land to forest and grassland. Those who revert cultivated land to forest and grassland enjoy land use rights, as well as rights of ownership of forest or grassland. Economic entities and individuals may apply to utilize barren mountain slopes and fields according to legal procedures, plant trees and grass, and practice ecological environmental protection. Alternatively, they can be granted the land use rights directly from the state, in which case the land utilization fee will be either exempted or reduced. Land use rights will remain unchanged for a period of 50 years. On expiration of this period, application may be made for renewal of these rights. The granted rights of land use may be inherited, or transferred on payment of a transfer fee. The government supports activities involving mineral resource exploration, evaluation, rational utilization and protection. 10). Foreign investment is encouraged in agriculture, water conservancy, transportation, energy, ecological and environmental protection, tourism, mining, municipal engineering and other infrastructure projects in western China. The establishment of foreign-invested research and development centers are also encouraged, and will be given support in terms of funding for accessory projects and pertinent policies. 11). Trials in western China to utilize foreign capital through BOT and TOT methods are encouraged. The state supports enterprises in the encouraged and permitted categories in the west to attract foreign investment through assignment of operation right, offering equity interests and enterprise merger and reorganization. (China Through A Lens, China Internet Information Center, http://www.china.org.cn/english/index/htm). e) Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat. f) Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. Selain fasilitas tersebut, pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanandan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh : a) Hak atas tanah. b) Fasilitas pelayanan keimigrasian. c) Fasilitas perizinan impor. Pada umumnya, negara berkembang meyakini penanaman modal sebagai suatu keniscayaan karena penanaman modal merupakan salah satu motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya80. Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya81. Menarik investasi sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri. Untuk mengarah kesana, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang 80 Ibid 81 Ahmad Yulianto, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 39. masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri82. Sejalan dengan itu, penghimpunan dana pembangunan perekonomian melalui pelaksanaan penanaman modal asing dipercaya sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan penghimpunan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar negeri83. Sehubungan dengan insentif yang diberikan oleh pemerintah yang menetapkan bahwa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan jangka waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanam modal baru yang termasuk dalam industri pionir, yakni industri yang memiliki keterkaitan yang luas, yang memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, industri yang memperkenalkan teknologi baru, serta industri yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Selain dari itu, untuk penanaman modal yang sedang berlangsung yang memerlukan penggantian mesin-mesin ataupun barang modal lainnya, pemerintah juga dapat memberikan keringanan atau pembebasan bea masuk. Dengan adanya pemberian keringanan fasilitas bea masuk maka penanam modal dapat melakukan penggantian (replacement) atas mesin-mesin produksinya yang telah usang, sehingga target produksi dapat dipenuhi oleh peralatan yang ada. Keringanan di bidang perpajakan merupakan salah satu hal yang sangat diinginkan oleh para penanam modal, baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing. Keringanan tersebut dibutuhkan terutama pada masa-masa awal penanam modalnya sampai saat penanaman modal tersebut dapat menghasilkan. Untuk memberikan keringanan perpajakan84 tersebut, pemerintah antara lain telah menerbitkan 82 Ridwan Khairandy, Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 51. 83 Yulianto Syahyu, Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 46. 84 Insentif khusus bagi investor asing (Non-residents) di Singapura memperoleh beberapa bentuk pembebasan maupun keringanan pajak, antara lain : pajak atas bunga dari deposito pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas PPh (Pajak Penghasilan) untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha dan Daerah tertentu. Fasilitas yang diberikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tersebut menyangkut: a) Pengurangan penghasilan neto kena pajak sebesar 30% selama 6 (enam) tahun. b) Penyusutan dan amortisasi dipercepat. c) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. d) Pengenaan potongan pajak atas deviden yang dibayar kepada wajib pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Selain insentif mengenai perpajakan, pemerintah juga memberikan insentif kepada penanam modal berupa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah. kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah yang diberikan oleh pemerintah ditempuh dengan cara hak atas tanah diperpanjang di muka sekaligus, dan dapat diperbaharui kembali sesuai permohonan penanam modal. Kemudahan-kemudahan tersebut berupa : a) Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b) Hak Guna Bangunan (HGB) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan bank-bank di Singapura; pembebasan pajak atas estate duty dari deposito dalam mata uang Asia,bonds dalam Dollar Asia, bonds pemerintah Singapura, serta pendapatan yang diperoleh dari kredit luar negeri yang disetujui atau fasilitas jaminan; tidak diterapkan skema pajak berganda; tidak diterapkan pajak-pajak atas capital gain, turn over, devolepment, surtax atas impor ke Singapura. (Ida Bagus Rahmadi Supanca, Kerangka Hukum Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 116) diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 30 (tiga puluh) tahun; serta c) Hak Pakai (HP) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 25 (dua puluh lima) tahun. Badan Koordinasi Penanaman Modal juga memberikan program yang bernama Regional Champions, yaitu merupakan bagian terpadu program promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal yang dirancang khusus untuk membuka pintu lebih lebar bagi beberapa wilayah terpilih di Indonesia yang memiliki nilai potensial yang bisa cepat direalisasikan (quick wins)85. Badan Koordinasi Penanaman Modal memahami bahwa setiap daerah berada pada tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda dan memiliki tingkat kesiapan yang berbeda pula dari segi kemampuan untuk menarik dan memfasilitasi investasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda untuk tiap-tiap daerah. Tahap pertama program Regional Champions adalah mengangkat 7 provinsi (Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur dan Papua) yang sudah memiliki kemampuan lebih dalam menarik investasi dari luar dan dalam negeri. Badan Koordinasi Penanaman Modal menggunakan sistem penilian kuantitatif dan kualitatif untuk menentukan wilayah yang terpilih. Kriteria tersebut terdiri dari pertumbuhan ekonomi regional, tekad untuk melakukan reformasi dan kesiapan perangkat daerah (khususnya di bidang iklim investasi), dan ketersediaan serta kualitas dari infrastruktur ‘lunak' dan ‘keras’. 85 BKPM,<http://www.bkpm.go.id/contents/P26/REGIONAL+CHAMPIONS/74>, 24 Maret 2010, 10.15 Program ini akan mengupayakan kegiatan promosi bersama yang komprehensif dan terarah untuk wilayah-wilayah ini guna menarik sumber dana investasi langsung yang lebih besar. Selain itu, program ini mengupayakan investasi strategis yang akan menjadi katalisator bagi pertumbuhan perekonomian daerah yang bersangkutan. Dengan program ini, diharapkan agar kisah sukses yang datang dari Regional Champions ini dapat memotivasi dan menjadi inspirasi bagi provinsi lain untuk mengikuti langkah keberhasilan tersebut. Walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini, namun para investor masih kurang berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Terbukti dengan merosotnya realisasi investasi dari tahun 1990 hingga tahun 2009 pada tabel di bawah ini : PMDN/Domestic Direct Investment PMA/Foreign Direct investment Tahun/ Proyek/ Nilai/Value Proyek/ Nilai/Value Year Project (RpMiliar/Billion) Project (RpMiliar/Billion) 1990 253 2.398,6 100 706,0 1991 265 3.666,1 149 1.059,7 1992 225 5.067,4 155 1.940,9 1993 304 8.286,0 183 5.653,1 1994 582 12.786,9 392 3.771,2 1995 375 11.312,5 287 6.698,4 1996 450 18.609,7 357 4.628,2 1997 345 18.628,8 331 3.473,4 1998 295 16.512,5 412 4.865,7 1999 248 16.286,7 504 8.229,9 2000 300 22.038,0 638 9.877,4 2001 160 9.890,8 454 3.509,4 2002 108 12.500,0 442 3.082,6 2003 120 12.247,0 569 5.445,3 2004 130 15.409,4 548 4.572,7 2005 215 30.724,2 907 8.911,0 2006 162 20.649,0 869 5.991,7 2007 159 34.878,7 982 10.341,4 2008 239 20.363,4 1.138 14.871,4 2009 248 37.799,8 1.221 10.815,2 Tabel.1. Perkembangan Realisasi Investasi, 31 Desember 2010 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (2010) Menurut data yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi total investasi mengalami kenaikan yang mencolok. Total persetujuan investasi selama Januari-Maret 2007 sebesar Rp 204,3 triliun, meningkat 447,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sejak dasawarsa 1970-an, realisasi investasi yang telah disetujui oleh BKPM berkisar antara 20-40%. Selama Januari-Maret 2007 pun realisasinya ”hanya” Rp 40,59 triliun atau sekitar 20%, yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PDMN) sebesar Rp 23,17 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp 59,91 triliun. Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp 248,5 triliun. Musim paceklik investasi di Indonesia jelas terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data BKPM menunjukkan, nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 triliun dengan 196 proyek. Rekor investasi asing langsung yang masuk lewat PMA menunjukkan perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar US$ 3,4 miliar dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1 miliar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit. Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung, mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti mulai turning point86. 3. Urgensi Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Alasan pertama suatu negara mengundang suatu modal asing adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas lapangan kerja. Baru kemudian dengan masuknya modal asing, tujuan-tujuan lain ingin dicapai seperti mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong esport non migas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana dan mengembangkan daerah tertinggal. Menurut Raden Pardede, pertumbuhan ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja adalah pertumbuhan ekonomi sekitar 6-7 prosen dengan kisaran angka itu diperkirakan lapangan kerja dan tabungan masyarakat meningkat87. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 5% (lima prosen) tahun 2005 dan 5,5% (lima koma lima prosen) pada 2006, memerlukan investasi Rp. 379,8 triliun dan Rp. 471,4 triliun. Dari investasi yang diperlukan tahun 2005 sebesar Rp. 379,8 triliun, hanya Rp. 82,3 triliun yang diperkirakan berasal dari pemerintah. Sebagian besar yakni Rp. 297,5 triliun berasal dari masyarakat. Sementara itu, untuk tahun 86 Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, <http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29270>, 10 Desember 2009, 15.10 87 Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 13 2006, dari investasi Rp. 471,4 triliun, dari masayarakat Rp. 378,6 triliun dan siasnya Rp. 92,9 trliun berasal dari pemerintah. Dalam perkembangan berikutnya, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sepakat menurunkan angka pertumbuhan ekonomi 2008 menjadi 6,5%-6,9% dari asumsi semula 6,6%-7%. Angka ini dilandasi masih rendahnya realisasi investasi dan daya beli konsumen Indonesia88. Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan perekonomian negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya beberapa negara berusaha keras untuk meningkatkan investasinya. Salah satu cara peningkatan investasi yang diharapkan adalah melalui investasi asing. Para investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan dapat membawa langsung dana segar atau fresh money dengan harapan agar modal yang masuk tersebut dapat menggerakkan roda perusahaan atau industri yang pada gilirannya dapat menggerakkan perekonomian suatu negara89. Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara berkembang merupakan salah satu peranan yang sangat signifikan dalam memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara berkembang kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah utama dalam pembangunan ekonomi. Sehingga diantara negara-negara berkembang yang menjadi perhatian bagi investor adalah tidak hanya sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Ada beberapa alasan Indonesia memerlukan modal asing, yakni90 : a) Penyediaan Lapangan Kerja 88 Ibid 89 Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi: Penataan Hukum Investasi dalam Upaya Mendorong Investasi di Indonesia, <http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=9>, 15 Januari 2010, 11.08 90 Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 14 Sejak terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, pengangguran mengalami peningkatan yang sangat besar. Ada beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia, yaitu : 1) Terjadinya krisis ekonomi sehinga menyebabkan menurunnya kegiatan usaha dan investasi asing. 2) Banyak perusahaan mengalami kebangkrutan karena utang dalam negeri atau luar negeri membesar akibat melemahnya rupiah. Salah satu dampak lain krisis moneter adalah ketidakmampuan perusahaan membeli bahan baku luar negeri, menurunnya permintaan masyarakat akan barang/jasa, sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar atau untuk mencegah kerugian yang lebih besar sebagian pengusaha mengurangi produksi dan mengurangi jumlah tenaga kerja. 3) Laju pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja tiap tahun sebesar 1,7 juta orang. Untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan dari penerimaan pajak, hasil ekspor migas dan non migas, tabungan dalam negeri dan bantuan luar negeri. Jika hanya mengandalkan sumber dalam negeri, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan bekelanjutan. Untuk itulah diperlukan adanya investasi asing. Pertumbuhan pertumbuhan angka ekonomi investasi dan jelas selanjutnya akan mempengaruhi mempengaruhi jumlah pengangguran serta perputaran roda ekonomi. Jika tidak ada perkembangan ekonomi yang optimal akan memicu terjadinya ledakan pengangguran yang akan menciptakan permasalahan sosial dan memperburuk stabilitas keamanan maupun politik. Gejolak sosial politik pada gilirannya mengganggu pertumbuhan ekonomi itu sendiri. b) Mengembangkan Industri Substitusi Import untuk Menghemat Devisa Pada permulaan kembalinya modal asing ke Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pemerintah mengembangkan industri substitusi import, untuk devisa. Perusahaan-perusahaan asing di Indonesia dengan demikian memproduksi barang-barang yang sebelumnya diimport. Dengan berkurangnya import, Indonesia akan memproduksi barang-barang jadi dan dapat menghemat devisa. c) Mendorong Berkembangnya Industri Barang-Barang Ekspor non Migas untuk Mendapatkan Devisa Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpuruknya nilai ekspor Indonesia, antara lain : 1) Rendahnya harga komoditas migas 2) Rendahnya nilai tukar rupiah dan tingginya tingkat suku bunga. Perubahan nilai tukar telah mengakibatkan meningkatnya biaya produksi (biaya penggunaan bahan baku, bahan penolong impor dan biaya produksi) 3) Rendahnya produksi sektor riil 4) Melemahnya daya saing komoditas tradisional seperti pakaian jadi, sepatu, kayu lapis dan karet yang telah diolah. 5) Pasar domestik tidak tumbuh sementara pasar internasional ambruk akibat jatuhnya ekonomi global. Pasar-pasar tradisional ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang saat itu memang sempat terpuruk dalam krisis ekonomi. Merosotnya nilai ekspor Indonesia mengancam sektor riil. Daya saing industri berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja besar menjadi sangat menurun. Ini terjadi antara lain pada industri, kayu, pulp dan kertas, elektronik, textil, alas kaki dan produk kulit yang merupakan 70% dari total ekspor non migas dan menyerap 70% dari total tenaga kerja. Sejak krisis ekonomi ekspor nasional non migas, terus mengalami penurunan. Padahal dari ekspor inilah, Indonesia bisa memperoleh devisa dengan cepat sehingga dapat digunakan untuk melakukan perbaikan ekonomi. Untuk menutup defisit transaksi berjalan, pemerintah harus memacu nilai ekspor baik migas maupun non migas. Upaya peningkatan ekspor menghadapi berbagai masalah seperti, masalah likuiditas mata uang asing, penegakkan hukum yang lemah, kurangnya jaminan keamanan, serta terlalu seringnya frekuensi perubahan kebijakan. Untuk meningkatkan nilai ekspor baik migas dan non migas diperlukan adanya investasi asing. Dengan peningkatan nilai ekspor diharapkan akan meningkatkan devisa atau valuta asing yang dicadangkan dan dikuasai oleh bank. Dana inilah yang akan digunakan untuk membiayai impor dan kewajiban lain kepada pihak asing. d) Pembangunan Daerah-Daerah Tertinggal Investasi asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan yang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti pelabuhan, telekomunikasi, perhubungan udara, air minum, listrik, air bersih, jalan, dan rel kereta api. Pembangunan infrastruktur ini diperlukan dalam rangka membangun daerah-daerah yang tertinggal atau rusak akibat terjadinya berbagai konflik seperti di provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku dan Poso. Pembangunan daerah tertinggal menjadi agenda pemerintah dalam rangka untuk mengentaskan kemiskinan. Banyak daerah tertinggal yang sebenarnya memiliki potensi pariwisata sehingga investor diharapkan dapat meningkatkan promosi investasi pariwisata. Dengan demikian investasi dapat mengembangkan sumber daya penduduk setempat dan mengurangi pengangguran. e) Alih Teknologi Penanaman modal asing diharapkan dapat mewujudkan alih teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan. Kelemahan negara berkembang dalam bidang teknologi akan sangat mempengaruhi proses transformasi dari agraris menuju industrialisasi. Untuk itulah diperlukan adanya dana yang cukup untuk dialokasikan dalam pengembangan teknologi. Bagi Indonesia, investasi asing mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi dan alih teknologi. Pada sisi lain, untuk meningkatkan pengembangan teknologi informasi, pemerintah Indonesia harus mendatangkan investor asing yang bergerak dalam bidang teknologi informasi. Investasi tersebut digunakan untuk mengurangi kesenjangan digital sesuai target pemerintah bahwa seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki akses internet tahun 2006. Untuk menarik investor asing, kemudahan-kemudahan investasi saja tidak cukup tetapi diperlukan juga adanya perlindungan Hak Milik Intelektual. Hal ini untuk mengatasi berbagai pelanggaran atau pembajakan pada piranti lunak (software). Pada saat ini di Indonesia, pembajakan software mencapai 88% dan mendudukkan Indonesia sebagai salah satu negara tertinggi tingkat pembajakanna di dunia setelah Vietnam dan Cina. Pada tahun 1986 sampai dengan 1990an mulai ada perubahan orientasi dalam kebijakan investasi yang lebih terbuka dan mulai dilakukan upaya deregulasi dalam berbagai struktur kebijakan ekonomi termasuk dalam bidang investasi. Pada masa ini upaya-upaya yang mengarah ke liberalisasi ekonomi perdagangan dan investasi semakin mengedepan dan sikap pemerintah terhadap investasi asing semakin terbuka. Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa awal berkembangnya ”paradigma liberal” yang mendorong perkembangan perekonomian Indonesai terintegrasi dengan perekonomian internasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara industri maju senantiasa memanfaatkan dan menggunakan pengaruhnya pada saat perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)-Putaran Uruguay. Hal ini dilakukan untuk memuluskan perusahaan transnasional mereka guna memperluas kekuatan monopolitisnya ke semua sektor ekonomi dunia. GATT yang sejak awal berdirinya didominasi oleh negaranegara maju (hanya 6 dari 23 negara pendiri berasal dari negara berkembang)91, dalam perkembangannya sering hanya membahas dan membicarakan usulan dari negara-negara maju. Sehingga, kepentingan negara-negara berkembang belum bisa terakomodasi dalam GATT. Dalam perkembangannya, sampai putaran ke delapan (Putaran Uruguay), kepentingan negara-negara berkembang sering tidak mendapat perhatian dari negara-negara maju. Hal ini bisa kelihatan jelas apabila kita melihat aturan-aturan dalam GATT yang hanya engatur perdagangan komoditi sekunder, yang notabene merupakan kepentingan negara maju. Dampak terhadap aturan ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional dari negara-negara indstri maju di bidang jasa yang beroperasi di Indonesia harus diberlakukan sama seperti perusahaanperusahaan atau pengusaha jasa domestik. Dengan kata lain pemerintah Indonesia tidak dimungkinkan lagi membuat aturan-aturan yang bersifat diskriminasi atau bersifat membatasi gerak atau aktivitas bisnis pengusaha atau perusahaan jasa asing. Dalam kondisi yang demikian sangat dimungkinkan dalam waktu dekat perusahaan transnasional milik negaranegara maju akan menguasai pangsa pasar negara-negara Dunia Ketiga. Padahal sektor jasa merupakan sektor terkahir yang masih tersisa bagi kontrol lokal, jejak impor produk manufaktur semakin menyerobot pasar barang-barang buatan lokal. 91 Adi Sulistyono, Reformasi Hukum Ekonomi IndonesiaLembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetkan UNS (UNS Press), , Surakarta, 2008, hal. 60 Sedangkan dalam hal investasi, sebagaimana yang diatur dalam Trade Related Investment Measure (TRIMs), negara-negara maju menginginkan agar Dunia Ketiga menghapus sebagian besar dari peraturan investasi yang menghambat investor asing. Mereka mengatakan aturan semacam itu merusak perdagangan bebas, karena peraturan itu memiliki pengaruh terhadap kondisi produksi, dan dengan demikian juga terhadap berbagai ongkos dan harga. Di samping itu, negara-negara industri juga berkeras menuntut, agar investor asing diperlakukan sama seperti para investor lokal. Diskriminasi terhadap penanaman modal asing yang selama ini biasa digunakan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin harus dihapus dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk negara berkembang dan 7 (tujuh) tahun untuk negara-negara miskin. Sebelum disepakatinya TRIMs, pemerintah Indonesia masih dapat melakukan pembatasan terhadap perusahaan-perusahaan ata pengusaha jasa asing dalam rangka melindungi perusahaan atau pengusaha domestik. pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dalam bentuk, antara lain : a) Penanaman modal asing harus menggunakan komponen-komponen lokal dalam proses produksi industri. b) Persyaratan penggunaan bahan baku, bahan setengah setengah jadi komponen dan suku cadang dalam negeri dalam suatu kegiatan usaha atau dalam produksi suatu barang, baik yang diproduksi sendiri maupun yang diperoleh dari perusahaan lain dalam negeri (local product/contain requirements). c) Persyaratan ekspor yang dikaitkan dengan investasi (eksport requirements). d) Persyaratan keseimbangan perdagangan (tradebalancing requirements). e) Pembatasan kapasitas produksi tertentu (manufacturing limitations). f) Ketentuan jenis produksi (manufacturing requirements). g) Kaharusan membuat produksi tertentu (mandatary product requirements) h) Pembatasan transfer devisa (remittance transfer requirements). i) Persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements). j) Keharusan komposisi pemilikan saham antara partner asing dan partner local (local eqity requirements) k) Incentives. 4. Idealitas Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Konteks Pemberian Insentif Bagi Investor Domestik dan Investor Asing Di era liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan megacompetition, investor semakin leluasa dalam berinvestasi. Untuk itu penerima modal harus menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Sebagaimana diketahui, pada era tahun tujuh puluhan, motivasi investor asing untuk berinvestasi di berbagai kawasan adalah memperoleh sumber daya alam dan memproduksi dari lokasi yang lebih murah. Namun pada era tahun delapan puluhan, motivasi relokasi lebih penting. Hal ini disebabkan, karena biaya produksi semakin tinggi. Lebih penting lagi adalah perusahaan-perusahaan transnasional telah mengglobal, lalu mereka mulai menciptakan jaringan produksi antar berbagai lokasi berdasarkan sumber daya alam dan tenaga kerja serta kepabilitas teknologi, proses produksi yang dapat dibagi antar lokasi berbeda. Jaringan produksi dibentuk, umumnya produk akhir diekspor ke negara lain. Pola tersebut telah menciptakan kaitan antara perdagangan dan investasi di berbagai kawasan dan merupakan tuntutan. Dampak globalisasi yang dapat dirasakan dewasa ini adalah adanya keterbukaan dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang bisnis yang lebih dikenal dengan istilah era pasar bebas atau liberalisasi perdagangan. Globalisasi memang tidak bisa dibendung, meskipun perdebatan tentang globalisasi masih terus bergulir. Oleh sebab itu, dalam memasuki pasar global jika ingin berhasil dalam kompetisi harus mempunyai nilai tambah (value added). Untuk itu berbagai pihak pun menggunakan kesempatan atau peluang yang semakin terbuka tersebut tentunya dengan tujuan dan sudut pandang masing-masing. Oleh karena itu, bagi pihak yang mempunyai naluri atau para pemilik modal tentu akan memanfaatkan peluang ini untuk melakukan perluasan jaringan usahanya ke berbagai penjuru dunia dengan satu tujuan agar dapat merebut pasar. Pemilik atau pemodal biasanya mengendalikan bisnis atau bagian bisnis tersebut di negara lain. Maka, investasi asing dalam hal ini perusahaan multinasional memang tidak bisa dilepaskan dari politik ekonomi global artinya seringkali juga kehadiran perusahaan multinasional tersebut dapat membawa pengaruh terhadap kebijakan negara yang bersangkutan. Atau paling tidak, perusahaan multinasional tersebut akan memanfaatkan peluang atau celah dalam peraturan perundang-undangan negara tersebut untuk kepentingan perusahaan multinasional itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, maka negara tujuan investasi (host country) harus mengantisipasi masalah ini. Artinya kemungkinan adanya celah yang dapat merugikan kepentingan nasional harus diminimalisasi sekecil mungkin. Di lain pihak, dengan semakin terbukanya arus komunikasi maka hubungan antar negara pun semakin dipererat melalui perjanjian internasional, baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti, United Nation, World Bank yang melahirkan berbagai konvensi, baik yang berkaitan langsung dengan dunia bisnis maupun tidak langsung dengan dunia bisnis. Selain itu bisa juga terjadi, para pemimpin negara tersebut melahirkan berbagai kesepakatan baik yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi masayarakat di negara tersebut. Salah satu perjanjian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia bisnis dalam dekade terakhir ini adalah didirikannya organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal dengan World Trade Organization (WTO) di Marakesh (Maroko) pada tahun 1994. Hasil keseakatan ini tentu membawa dampak juga dalam bidang bisnis yakni muncul apa yang dikenal dengan era liberalisasi atau era perdagangan bebas (free trade). Akibat yang muncul dari adanya era liberalisasi perdagangan adalah para pemilik modal akan mendapatkan berbagai kemudahan atau tidak ada lagi perbedaan perlakuan sesama pebisnis yang berada di bawah payung anggota World Trade Organization (WTO) dalam menjalankan bisnisnya di berbagai tempat yang dikehendaki oleh pebisnis tersebut. Untuk itu, berbagai negara pun mencoba menangkap peluang ini dengan menciptakan iklim bisnis yang kondusif khususnya di bidang investasi di negaranya secara sungguh-sungguh. Langkah yang ditempuh dalam menciptakan kondisi investasi yang kondusif yakni dengan mengadopsi kaedah-kaedah yang lahir dalam lalu lintas pergaulan internasional. Dengan cara ini diharapkan ada standar minimum yang dapat dijadikan ketentuan investasi di negara tersebut mempunyai kualifikasi internasional. Beberapa prinsip yang mendasari dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994 yang membawa implikasi dalam bisnis yakni Prinsip Most Favored National Treatment. Menurut prinsip ini tidak boleh ada diskriminasi terhadap semua anggota World Trade Organization (WTO), yang kedua yakni prinsip National Treatment. Menurut prinsip ini mensyararkan suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antar produk impor dengan produk lokal (produk yang sama) dengan tujuan proteksi. Selain kedua prinsip itu, dalam lampiran ketentuan WTO, juga dicantumkan ketentuan perdagangan yang dikaitkan dengan investasi yang lebih dikenal dengan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Dikaitkannya masalah perdagangan dengan investasi mempunyai beberapa alasan yakni 92: a) Karena adanya pengaturan tertentu dari masalah penanaman modal asing di negara-negara tertentu yang dapat menyebabkan pembatasan perdagangan dan memiliki distorsi-distorsi tertentu; 92 Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.88 b) Untuk melakukan elaborasi terhadap ketentuan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang berkenaan dengan efek restriktif terhadap perdagangan dari pengaturan dan praktik tentang penanaman modal asing di negara-negara anggota WTO; c) Untuk mempromosikan dan memfasilitasi investasi di negara-negara anggota WTO yang sesuai dengan liberalisasi perdagangan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masingmasing negara anggota WTO. B. Pembahasan dan Analisis 1. Prinsip-Prinsip Yang Melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam Konteks Pemberian Insentif Berdasarkan hasil penelitian, hal yang mengemuka dan menjadi kekhawatiran masyarakat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut adalah adanya asas perlakuan yang sama. Ini terjadi karena asas perlakuan yang sama akan membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi penanaman modal asing di Indonesia. Pemberian kesempatan yang sedemikian luasnya kepada penanam modal asing dapat melemahkan penanam modal dalam negeri. Mengingat penanam modal asing mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan penanam modal dalam negeri, selain permodalan yang lebih kuat, tekhnologi yang digunakan lebih canggih, sumber daya manusia yang lebih handal membuat posisi penanam modal dalam negeri semakin terhimpit. Asas perlakuan yang sama juga memberikan dampak negatif bagi perindustrian dalam negeri, dimana 99,97% merupakan industri kecil dan sangat membutuhkan modal untuk membangun usahanya. Dikhawatirkan dengan adanya asas perlakuan yang sama, industri dalam negeri tidak mampu untuk bersaing dengan industri penanam modal asing sehingga menyebabkan dominansi asing dalam ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada batasan-batasan untuk melindungi industri dalam negeri dari dominansi asing. Batasan-batasan tersebut, yaitu : bahwa penanaman modal asing itu hanya boleh diperkenankan apabila ia dapat mendorong dan membantu rakyat Indonesia untuk secara ekonomis dapat berdiri sendiri atas kekuatannya sendiri, dan/atau penanaman modal asing itu tidak merugikan rakyat khsusunya pengusaha nasional, dalam arti menyaingi secara tidak sehat usaha-usaha pengusaha nasional kita sendiri sehingga usahausaha yang ada terpaksa gulung tikar, atau usaha-usaha yang baru tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar93. Pada Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing tidak dikenal dengan adanya asas perlakuan yang sama. Asas ini baru muncul pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, dimana situasi perdagangan dunia pada waktu penerbitan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah berubah mengikuti arus globalisasi dan kecenderungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan yang sama bagi semua negara peserta dalam perdagangan bebas. Pemerintah Indonesia sendiri telah menandatangani Konvensi MIGA yang salah satu klausula di dalamnya adalah bahwa negara-negara penandatangan konvensi tidak boleh menciptakan diskriminasi bagi penanam modal dalam negeri terhadap penanam modal asing. Di dalam kesepakatan GATT-WTO khususnya yang berkaitan dengan perdagangan dan investasi yang disebut dengan Trade Related Investment Measure (TRIMs) ditentukan juga bahwa setiap negara penanda tangan persetujuan TRIMs tidak boleh membeda-bedakan antara penanaman modal dalam negeri dengan penanaman modal asing. Oleh karena itu, peraturan perundang93 Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transisional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung, 1972, hal. 35 undangan negara-negara peserta GATT-WTO tidak boleh lagi membedakan adanya modal asing dan modal dalam negeri94. Dengan membandingkan antara asas-asas penanaman modal yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dengan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan di atas, maka akan jelas kelihatan bahwa asas-asas dalam penanaman modal tersebut adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan asas-asas yang tercantum pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila. Sebagaimana yang telah disebutkan semula, Undang-Undang yang berlaku sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tidak mencantumkan secara khusus asas-asas penanaman modal seperti yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tersebut. Meskipun demikian, asas-asas yang secara nyata dicantumkan dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 sebenarnya secara tidak langsung dikandung juga oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, karena kedua Undang-Undang tersebut juga didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan tidak dicantumkannya secara eksplisit asas-asas penanaman modal pada kedua Undang-Undang yang disebutkan terlebih dahulu tidak berarti bahwa landasan penanaman modal pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 menjadi lebih lemah. Karena Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesia Tahun 1945 berlaku di seluruh tumpah darah Indonesia, maka penanaman modal di Indonesia tetap berlandasakan 94 Jonker Sihombing, op.cit., hal. 90 Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsiderans Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing anatara lain menyebutkan bahwa Pancasila adalah landasan idiil dalam membina sistem ekonomi Indonesia dan yang senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap merupakan acuan untuk pengaturan kebijakan ekonomi Indonesia menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera seperti yang tertera pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Apabila diteliti lebih jauh akan kelihatan bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang menerapkan asas perlakuan yang sama terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan permasalahan tersebut, yakni 95: a) Kontroversi terjadi karena adanya problem ideologis. Pihak yang menganut paham nasionalis memandang bahwa hal ini tidak cukup menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan nasional (sense of nacional priority) misalnya terhadap pelaku investasi dalam negeri seperti usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Sehingga akan terus terjadi perdebatan karena perbedaan ideologis ini. b) Perlakuan yang sama terhadap investor asing tampaknya secara agregat tidak akan memberikan perkembangan yang signifikan karena selama ini investasi asing ini masih relatif kecil. Secara empiris, investasi asing besar tapi share terhadap total invesment di Indonesia masih rendah. Aliran modal asing sekitar 1-3 % Gross Domestic Product (GDP) sedangkan total investasi dalam negeri sebesar 20%. c) Masalah ketiga mengenai waktu. Saat ini kita baru saja merasakan euforia demokrasi dan globalisasi. Saat ini masyarakat merasa tidak nyaman dengan semangat liberalisasi. Jika Undang-Undang ini terbit sebelum krisis mungkin akan berbeda. 95 Sosialisasi UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, IPB International Convention Centre (IICC), 29 Oktober 2007 Dengan adanya permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut menyebabkan menjadi semakin sempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri, terutama yang termasuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Mereka akan kalah bersaing dalam kancah perdagangan bebas dalam era globalisasi dewasa ini. Perekonomian global menuntut Indonesia untuk lebih terbuka terhadap pihak asing dalam pembangunan ekonmoni nasional khususnya pada kebijakan penanaman modal. Di sisi lain, kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional harus menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian. Untuk menemukan jalan keluar atas polemik ini, kebijakan penanaman modal asing di Indonesia tentunya harus dikembalikan kepada hukum dasar (grundnorm) perekonomian nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki tujuan yang ideal untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional. 2. Kepentingan yang Hendak Dilindungi Sehubungan dengan Adanya Insentif bagi Investasi Asing dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Secara teoritis, paling tidak terdapat tiga varian pemikiran dalam memahami kebijakan penanaman modal yang dapat dipilih untuk menjadi dasar pertimbangan atau pijakan kebijakan hukum investasi dari sisi kepentingan host country. Varian-varian tersebut adalah: Pertama, yang mewakili kelompok Neo Classical Economic Theory yang sangat ramah dan menerima dengan tangan terbuka terhadap masuknya investasi asing, karena investasi asing dianggap sangat bermanfaat bagi host country. Kedua, yang mewakili kelompok Dependency Theory yang secara diametral menolak masuknya investasi asing dan menganggap masuknya investasi asing dapat mematikan investasi domestik serta mengambil alih posisi dan peran investasi domestik dalam perekonomian nasional. Investasi asing juga dianggap banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat baik terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia ataupun lingkungan. Ketiga, pandangan yang mewakili kelompok “jalan tengah” (the middle path theory) yang memandang investasi asing selain bermanfaat (positif) juga menimbulkan dampak (negatif). Karena itu negara harus berperan untuk dapat mengurangi dampak negatif melalui berbagai kebijakan hukum yang ditetapkan antara lain melalui penapisan (screening) dalam perizinan dan upaya sungguh-sungguh dalam penegakan hukum96. Berbagai studi tentang penanaman modal asing menunjukkan bahwa motif suatu perusahaan menanamkan modalnya di suatu negara adalah mencari keuntungan. Keuntungan tersebut diperoleh dari berbagai faktor. Faktor itu antara lain97 : a) Upah Buruh Murah Untuk menekan biaya produksi, perusahaan negara-negara maju melakukan investasi di negara-negara nerkembang dengan tujuan untuk mendapatkan upah buruh yang murah. Kebanyakan negara berkembang memiliki tenaga kerja yang melimpah, dengan tingkat upah yang jauh lebih murah dibandingkan upah buruh untuk pekerjaan yang sama di negara-negara maju. Dengan menanamkan modal di negara berkembang yang memiliki tenaga kerja yang melimpah, para investor dapat mengembangkan modal atau usahanya dengan ongkos atau biaya murah. 96 Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian I), <http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/21/paradigma-baru-kebijakan-hukum-investasiindonesia-bagian-i/>, 28 September 2009, 10.45 97 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia (Anatomi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 1 Dalam kaitannya mencari upah buruh yang murah, menurut Theodaore H. Moran, paling tidak ada lima pertimbangan lain yang digunakan para investor sebelum menanamkan modalnya, yaitu98 : 1) Cultural factors (worker motivation, capital movements, preparation, etc) 2) Labour regulation 3) Responsiveness of the surrounding economy in providing supporting good and services 4) Credibility of public, sector commitments about taxes, infrastructure and other regulatory issues 5) Institusional base of commercial law. Perbandingan upah buruh di Indonesia sebetulnya sangat pincang. Antara upah minimum dengan upah tertinggi di suatu perusahaan bisa 1:50. Perbandingan ini terasa semakin tidak adil, jika dibandingkan dengan upah-upah buruh di Negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika Serikat, Hongkong dan Jepang. b) Dekat dengan Sumber Bahan Mentah Bahan mentah merupakan faktor yang sangat penting dalam proses produksi. Kebanyakan negara-negara maju memiliki bahan mentah yang sangat terbatas, sedangkan negara-negara berkembang memiliki bahan mentah yang belum dieksploitasi. Untuk itulah, negara-negara maju melakukan penanaman modal memindahkan industrinya ke negara-negara berkembang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari dekatnya bahan mentah, dalam arti tidak perlu mengimpor bahan mentah yang memakan waktu dan biaya. Akibat dari eksploitasi bahan mentah oleh negara-negara maju dapat menimbulkan pembangunan yan tergantung. Ketergantungan yang klasik didasarkan pada eksploitasi bahan mentah, tetapi dengan 98 Ibid. berkembangnya teknologi, produksi bisa dilakukan di mana saja. Proses semacam ini, menurut Evans99, pada mulanya mdal asing masuk ke negara-negara pinggiran hanya bertujuan menguras bahan mentah dan menjual barang industri. Kemudian perkembangan teknologi memungkinkan proses produksi dipisah-pisahkan. Produksi barang modal dipusatkan di negara-negara pusat sedangkan produksi barang konsumsi dapat dilakukan dimana saja. Dengan demikian muncullah aliansi ”tripel”, yakni kerja sama antara modal asing, pemerintah di negara pinggiran yang bersangkutan dan kapitalis lokal. Modal asing melalui perusahaan-perusahaan multinasional raksasa, melakukan investasi di negara pinggiran. Kerja sama antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerja sama ekonomi. Bagi Indonesia sumber bahan mentah merupakan suatu keunggulan yang menjadi daya tarik bagi para investor asing, negeri yang sangat luas dan melimpahnya sumber daya alam. c) Menemukan Pasar yang Baru Negara-negara maju berusaha menanamkan modal di negara lain dengan tujuan untuk menjaga pasar hasil produksinya. Negara-negara berkembang merupakan pasar yang sangat efektif untuk memasarkan hasil produksi dari negara-negara maju. Dengan adanya pasar baru akan membawa keuntungan tersendiri bagi negara penanam modal asing. Jumlah penduduk yang sangat besar yang umumnya damai dan adaptif secara dinamis pada kemajuan merupakan salah satu potensi yang menjadi daya tarik bagi investor. Meskipun perekonomian Indonesia belum menunjukkan perbaikkan yang menggembirakan, Indonesia tetap menjadi pilihan investor karena adanya pasar yang prospektif. Perusahaan-perusahaan asing dan multinasional pada 99 Peter Evans, Dependent Development, Protection : Pricention University Press, dalam Erman Rajagukguk, Ibid, hal. 4. umumnya memproduksi barang-barang substitusi impor. Pasarnya memang lapisan pembeli tertentu yang berpendapat lebih tinggi, tetapi juga tidak melupakan sasaran konsumen berpendapatan rendah, misalnya di bidang sandang dan pangan. d) Royalti dari Alih Teknologi Penanaman modal asing, seringkali akan diikuti dengan alih teknologi. Negara ivestor akan mendapatkan keuntungan dari proses transfer teknologi melalui penjualan hak merek, paten, rahasia dagang, desain industri. Sebagai negara yang memiliki keunggulan di bidang teknologi, negara maju akan mendapatkan kompensasi dari pengguna teknologi tersebut. Teknologi pada awalnya dikuasai negara-negara maju dan pada perkembangan berikutnya dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Pada proses pemanfaatan inilah terjadi transfer of technology. Negara-negara maju melakukan transformasi teknologi dalam rangka melakukan sosialisasi budaya teknologi dan sekaligus untuk meningktakan keuntungan finansial. Sedangkan negara berkembang berkenan menerima transformasi teknologi dalam rangka mempercepat pembangunan. Untuk melakukan alih teknologi, negara maju tidak secara otomatis akan mentransfer semua teknologinya, ada beberapa bagian yang direserve atau diperlambat. e) Penjualan Bahan Baku dan Suku Cadang Investor asing juga dapat memperoleh keuntungan dari penjualan bahan baku. Hal ini terkait dengan ciri negara berkembang yaitu belum dapat memproduksi bahan baku yang memadai yang dapat dijadikan barang jadi. Selain itu penanam modal asing juga memperoleh keuntungan dari penjualan suku cadang (spare part). Negara-negara yang bersaing untuk menjual komponen produksi di Indonesia antara lain Jepang, negara-negara Eropa, Korea Selatan dan Cina. Volume impor kendaraan bermotor roda dua pada saat krisis ekonomi meningkat cukup tajam. Hal ini menyebabkan industri kendaraan bermotor dalam negeri mati satu per satu kecuali yang merakit kendaraan roda dua. Sebaliknya pasar mobil nasional bakal menembus angka penjualan 40.000 unit mulai semester dua tahun 2007100. f) Insentif Lain Faktor lain yang menarik investor adalah adanya insentif-insentif lain, yang bisa diberikan dalam bentuk insentif fiskal dan kelonggaran moneter; investor tidak dibebani untuk berdivestasi; tingkat suku bunga yang lebih rendah atau subsidi bunga bank dan kemudahan fasilitas kredit; kemudahan dan kepastian usaha yang diwujudkan lewat pemberian tax holiday atau tarif pajak lain. g) Status Khusus Negara-Negara tertentu dalam Perdagangan Internasional Tujuan lain dari penanaman modal di luar negeri adalah karena status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. Misalnya, investor asing lebih tertarik membuka usaha di negaranegara berkembang yang masih mendapatkan status GSP (General System of Preferences) dari negara maju. Dengan demikian eksport dari negara-negara yang mempunyai status GSP (General System of Preferences) tersebut lebih menguntungkan daripada eksport dari negara yang tidak memiliki lagi status GSP (General System of Preferences). Insentif berupa keringanan pajak ini tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan Beberapa kebijakan yang ada saat ini masih membutuhkan keputusan-keputusan dan penjelasan yang lebih rinci, seperti perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengaturan pajak, retribusi dan pendapatan lain, kebijakan perbankan yang sangat terkait dengan perizinan usaha kecil masih mengganjal. Otonomi daerah bagi sebagian daerah dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan ide baru 100 Laju Pertumbuhan Pasar Otomotif Makin Kencang, Bisnis Indonesia, 7 Juni 2007 tanpa harus melihat persetujuan dari pusat. Pemerintah daerah yang diasumsikan lebih mengenal karakter kewilayahan sekaligus kebutuhan masyarakatnya menjadi pihak yang paling tepat untuk mengambil keputusan-keputusan penting berkaitan dengan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan usaha kecil untuk memperlancar usahanya. Namun bagi sebagian pemerintah daerah lainnya, otonomi dapat dilihat sebagai peluang untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya. Hal ini dianggap sebagai haknya karena sebelumnya peluang istemewa ini telah diangkut ke pusat. Yang ingin disoroti secara khusus dalam bagian ini adalah kaitan perizinan usaha dan pendapatan daerah di dalam otonomi daerah. Saat ini terjadi kecenderungan besar bahwa otonomi daerah menimbulkan banyak pungutan baru. Berita di media massa mengenai otonomi daerah banyak mengulas soal munculnya berbagai Peraturan Daerah dan peraturan lainya yang mengatur berbagai pungutan baru di daerah. Peraturan Daerah yang tumpang tindih dan terlalu banyaknya Peraturan Daerah yang mengatur mengenai retribusi dan pungutan daerah yang dikenakan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya di daerah-daerah101. Padahal dalam kontrak yang ditandatangani antara penanam modal dengan pemerintah pusat, pungutan-pungutan seperti ini sebenarnya telah termasuk dalam kontrak yang dimaksud. Hal yang demikian menyebabkan penanam modal sering mengalami pungutan berganda. Kekhawatiran para pengusaha termasuk pengusaha kecil tentunya sangat bisa dipahami mengingat satu sisi keseluruhan biaya produksi meningkat karena adanya pungutan baru. Di sisi lain tuntutan dan persaingan di pasar mengharuskan mereka untuk melakukan berbagai tindakan efisiensi. Kekhawatiran tidak terlalu berlebihan karena sudah mulai dibuktikan beberapa yang terpaksa tutup karena tidak mmpu bersaing dan investasi yang mulai ditarik. 101 Camelia Malik, Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 4 Tahun 2007, hal. 17 Pemberian insentif berupa hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, apabila ditinjau dari segi peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak tepat. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria juga mengatur mengenai Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), yakni : a) Pada Pasal 29 Ayat (1), menyatakan Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Kemudian dalam Ayat (2) disebutkan bahwa untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun. Dan Ayat (3) menjelaskan lebih lanjut, atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam Ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. b) Pasal 35 Ayat (1) menyebutkan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Dalam Ayat (2) dinyatakan bahwa atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam Ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lam 20 (dua puluh) tahun. c) Pasal 41 Ayat (2) menjelaskan hak pakai diberikan : 1) selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; 2) dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun. Dalam pasal ini tidak disebutkan secara spesifik mengenai jangka waktu pemberian hak pakai. Hanya saja hak pakai timbul dari perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria ini. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa kedua undang-undang ini mengatur mengenai jangka waktu hak atas tanah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 merupakan lex specialis dalam bidang penanaman modal sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 merupakan lex specialis dalam bidang pertanahan. Namun hal ini telah mengabaikan asas lex specialis derograt lex generali, dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai lex specialis dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 sebagai lex generalis. Dalam pemberian hak atas tanah pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang memberikan perpanjangan di muka sekaligus hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai sejalan pula dengan asas perlakuan yang sama yang merupakan asas yang mendasari penanaman modal di Indonesia. Pada dasarnya bertentangan dengan konsep keseimbangan kepentingan dan demokrasi ekonomi yang didasarkan pada Pasal 33 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni: a) Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; b) Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sistem demokrasi ekonomi memberikan makna pada pengertian kepemilikan bukan semata-mata hanya dalam arti penguasaan aset sumber kepemilikan dan kekuatan ekonomi. Bidang-bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak atau produk barang/jasa yang menjadi kebutuhan vital bagi masayarakat dikuasai negara. Hal ini untuk menjaga agar rakyat banyak tidak di bawah kekuasaan orang perorangan yang menguasai cabang-cabang produksi penting yang menjadi kebutuhan utama masayarakat. Pengertian dikuasai negara tidak berarti bahwa negara sendiri yang menjadi pengusaha, tetapi penguasaan tersebut dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang menjamin kelancaran jalannya pereknomian yang di dalamnya memuat larangan penindasan golongan kuat terhadap golongan lemah. Dalam sistem demokrasi ekonomi harus dihindari sistem ekonomi liberalisme yang dapat menimbulkan eksploitasi manusia dan bangsa lain. Asas perekonomian Indonesia berlawanan dengan asas liberalisme, tetapi tidak berarti bahwa seluruh kegiatan ekonomi diselenggarakan oleh negara atau koperasi. Sistem ekonomi anti liberal tersebut harus dapat menjamin mekanisme harga tetap terjga tetapi di bawah pengendalian negara sehingga ada jaminan pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh masayarakat. Oleh karena itu diperlukan hukum untuk menjaga terselenggaranya kepentingan-kepentingan masyarakat dengan tujuan keadilan guna mencapai keseimbangan antara kepentingan umum, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Menurut Hans Kelsen, norma tertinggi yang diandaikan itu disebut norma dasar. Semua norma yang keabsahannya bisa ditelusuri kembali kepada norma dasar yang satu itu merupakan sebuah sistem norma, sebuah tatanan norma. Norma dasar merupakan sumber keabsahan dari semua norma yang berasal dari tatanan yang sama- ini merupakan alasan umum bagi keabsahan semua norma itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai norma fundamental negara yang merupakan syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Selanjutnya menurut teori Hans Nawiasky yang mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: a) Kelompok1, yakni Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), di Indonesia dikenal dengan Pancasila (Pembukaan UndangUndang Dasar 1945). b) Kelompok II, yakni Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara), dalam kelompok ini Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai penjabaran dari norma fundamental (Pancasila) c) Kelompok III, yakni Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), yang merupakan undang-undang sebagai wujud konkret dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 d) Kelompok IV, yakni Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana dan aturan otonom), yang kita kenal dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila102. Pengelompokkan ini juga terdapat 102 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 296 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan dimana diatur mengenai hierarki perundang-undangan di Indonesia. Dengan melihat fakta yang terjadi, berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada penanam modal melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan insentif yang diberikan kepada penanam modal asing atas dasar asas perlakuan yang sama, justru tidak melindungi kepentingan nasional. Sehingga tidak mencerminkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan efisiensi seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penanam modal dalam negeri yang tentunya akan kalah bersaing dengan penanam modal asing yang mempunyai modal jauh lebih besar. Uraian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi para penanam modal di Indonesia masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dapat dimaklumi mengapa investor membutuhkan adanya kepastian hukum sebab, dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ada ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan tersebut, antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan dan masalah pertanahan. Semua ketentuan ini akan menjadi pertimbangan bagi investor, dalam melakukan investasi. Mengenai kepastian hukum, Lon Fuller mengemukakan, terdapat delapan asas sebagai landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas (kepastian hukum), yakni103 : a) Hukum Dipresentasikan Dalam Aturan-Aturan Umum Dihubungkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang diberlakukan, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia 103 Arief Sidharta, loc.cit. Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724, maka undang-undang tersebut dipresentasikan dalam aturan-aturan umum. Artinya berlaku secara universal terhadap seluruh penanam modal baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing. Sehingga terdapat perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. Akibat dari adanya asas perlakuan yang sama ini, tidak menutup kemungkinan akan mempersempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri, terutama yang termasuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Mereka akan kalah bersaing dalam kancah perdagangan bebas dalam era globalisasi dewasa ini. b) Hukum Harus Dipublikasi Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena undang-undang ini sudah dipublikasikan dengan diumumkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lemabaran Negara, dengan demikian telah memenuhi syarat formal untuk berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Artinya bagi pihak yang melakukan hubungan hukum yaitu penanam modal dengan negara tuan rumah (host country), masing-masing berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan memenuhi serta terikat pada ketentuan sebagaimana yang dinyatakan dalam undangundang ini. c) Hukum Harus Non Retroaktif (Tidak Berlaku Surut) Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diterapkan secara non retroaktif, artinya semua sengketa yang lebih banyak terjadi antara penanam modal asing dengan pemerintah (seperti Pertamina, Telkom, PLN, PT. AMCO, dan lain-lain) dalam perjanjian yang dibuat, klausula penyelesaian sengketanya dibuat melalui badan arbitrase di Swiss. Penunjukkan badan arbitrase di Swiss dilakukan karena badan tersebut dianggap didirikan oleh beberapa negara sehingga lebih memperhatikan dan menerminkan kepentingan negara secara keseluruhan. d) Hukum Harus Dirumuskan Secara Jelas Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pembentuk undang-undang telah merumuskan secara jelas tentang insentif jangka waktu hak atas tanah beserta ketentuannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (1). Undang-undang ini, baik dalam ketentuan pasal-pasalnya, terutama dalam penjelasan Pasal 22 Ayat (1) dinyatakan : 1) Huruf a Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbahatui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. 2) Huruf b Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun. 3) Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Dengan demikian pembentuk undang-undang mempunyai tujuan yang jelas agar ketentuan undang-undang dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Penerapan Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang diberlakukan, perlu mempertimbangkan bahwa penerapannya tersebut akan berakibat adanya liberalisasi di bidang perekonomian yang dapat menimbulkan eksploitasi bidang-bidang yang mengusai hajat hidup orang banyak. e) Hukum Harus Tidak Mengandung Pertentangan Antara Hukum yang Satu Dengan yang Lain Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Penanaman Modal yang berlaku sekarang terutama Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22 Ayat (1). Di sini terjadi pertentangan antara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 18 Ayat (4) dengan Peraturan Daerah mengenai Retribusi dan Pungutan Daerah yang dikenakan kepada penanam modal di daerah. Artinya penanam modal melakukan kontrak dengan pemerintah pusat dan pungutan-pungutan seperti ini sebenarnya telah termasuk dalam kontrak yang dimaksud. Terjadi pertentangan pula antara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 22 Ayat (1) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 41. Terdapat perbedaan mengenai jangka waktu perizinan hak atas tanah yang dapat menimbulkan kebingungan bagi penanam modal yang ingin menanamkan modal dan membuka usaha di Indonesia. f) Hukum Harus Tidak Menuntut atau Mewajibkan Sesuatu yang Mustahil Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penananaman Modal, yakni dengan diberikannya insentif berupa keringanan pajak dan perizinan hak atas tanah, maka akan memberikan kelonggaran terhadap penanam modal untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini berdasarkan asas perlakuan yang sama, sebagai konsekuensi atas ratifikasi dari Agreements on TRIMs. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun ekonominya, membutuhkan banyak dana yang salah satunya diperoleh dari penanaman modal. Namun dengan adanya ketentuan dari Trade related Investment Measures (TRIMs), Indonesia harus menerapkannya dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini yang sebenarnya justru berakibat terciptanya liberalisasi ekonomi. g) Hukum Harus Relatif Konstan Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka sebagaimana Pasal 22 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4) mengenai insentif hak atas tanah, relatif tidak konstan, artinya dalam jangka waktu yang relatif pendek dapat diubah, ditambah atau diganti. Melalui Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 21-22/PUU-V/2007 tenggal 25 Maret 2008 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sepanjang kata-kata ”di muka sekaligus”, yakni yang menyangkut pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai tersebut adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. h) Pemerintah Sejauh Mungkin Berpegang Teguh Pada Aturan-Aturan Hukum (yang Diciptakan Sendiri atau yang Diakuinya) Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang berlaku, terutama Pasal 18 Ayat (4) dan Ayat (5) serta Pasal 22, dimana kedua pasal tersebut mengatur mengenai insentif yang diberikan kepada penanam modal, aparatur negara terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak dapat berpegang teguh pada aturan-aturan dalam Undang-Undang Penanam Modal. Adanya Peraturan Daerah mengenai Retribusi dan Pungutan Daerah dan terdapatnya dua peraturan perundangan yang mengatur mengenai hak atas tanah menyebabkan tumpang tindih peraturan. Jika arti pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, bagi para investor butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak. Sebagaimana dikemukakan oleh Budiono Kusumohamidjojo : Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama104. Dikaitkan dengan isu kedaulatan politik dan ekonomi nasional, polemik penanaman modal asing berkembang sampai kepada pandangan yang menyatakan sebagai bentuk imperialisme modern oleh negara maju kepada negara berkembang dan terbelakang. Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini juga tidak berarti suatu gabungan dari daerah jajahan, tetapi dapat berupa daerah yang statusnya merdeka namun pengaruh imperialis sangat besar di daerah tersebut105. Imperialisme telah berkembang sedemikian rupa dari bentuk imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism) intinya adalah semboyan gold, gospel, and glory (penyebaran agama, kekayaan dan kejayaan). Dalam konteks ini, suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan, dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal. Imperialisme Modern (Modern Imperialism) intinya adalah kemajuan 104 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil Problematika Filasafat Hukum, Cet. 1, Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 6 105 Imperialisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme, 15 Januari 2010, 10.54. ekonomi yang timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran akibat revolusi industri membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, di samping itu juga sebagai tempat penanaman modal bagi kapital surplus. Bentuk imperialisme modern salah satunya dilakukan di bidang ekonomi sehingga lazim disebut dengan imperialisme ekonomi. Dalam imperialisme ekonomi, walaupun secara politis suatu negara memiliki kedaulatan penuh, namun kebijakan ekonomi negara tersebut sangat dipengaruhi dan bergantung pada imperialis. Dengan kata lain, imperialis menguasai aspek ekonomi negara imperiumnya walaupun secara politik negara tersebut adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme politik106. 3. Analisis Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Penanaman Modal ini sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal, bab-bab atau ayat-ayatnya memang sangat memberi kemudahan-kemudahan pada calon investor. Semua keinginan atau permintaan (bahkan lebih) calon-calon investor sudah tertuang dalam undang-undang tersebut. Sudah begitu mengobral dan sangat liberal, karena selain memberi keringanan-keringanan atas izin, insentif, fasilitas yang menggiurkan, kemudahan memindahkan modal setiap saat, pembebasan lahan, tidak perlu mengkhawatirkan nasionalisasi, jauh yang 106 Ibid lebih mengerikan sekaligus kontroversial dan memancing perdebatan keras adalah diberikannya Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun. Mencermati peran penanam modal cukup signifikan dalam membangun perekonomian107, tidaklah mengherankan jika di berbagai Negara di dunia dalam dekade terakhir ini, baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang berusaha secara optimal agar negaranya dapat menjadi tujuan investasi. Di lain pihak, dari sudut pandang investor adanya keterbukaan pasar di era globalisasi membuka peluang untuk berinvestasi di berbagai Negara. Tujuannya sudah jelas, yakni bagaimana mencari keuntungan sedangkan Negara penerima modal berharap ada partisipasi nasionalnya. Mengingat ada perbedaan sudut pandang antara investor dengan penerima modal, dirasakan perlu untuk mengakomodasi kedua kepentingan itu ke dalam suatu norma yang jelas. Untuk menyatukan antara kepentingan investor dengan Negara penerima-penerima modal harus diasadari tidak mudah. Artinya apabila negera penerima modal terlau ketat dalam menentukan syarat penanaman modal investor, mungkin saja para investor yang sudah ada pun bisa jadi akan merelokasi perusahaannya. Disebut demikian, karena di era globalisasi ini, para pemilik modal sangat leluasa dalam menentukan tempat berinvestasi yang tidak terlalu dibatasi ruang geraknya. Untuk itu dalam menyikapi arus globalisasi yang terus merambah ke berbagai bidang tersebut maka, peraturan perundangan investasi asing langsung di berbagai negara pun terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin mengglobal. 107 Menurut Akgul Zeynep, Foreign investment plays an important role in economic development. Mostly developing countries want to encourage foreign investment in their countries. When foreign investor invest in host country, he may encounter so many risk. The followings are some of the risk that foreign investor will face to face : His investment may be unlawfully expropriate or nasionalize by host country, or there might be currency transfer restriction in the host states. The other thing is that the treatment of investment will be changed after the establishment of investment. The host country may treat national investor more favourable than foreign investor. These situation may effect forein investor badly since there will be no competition at that time. (Akgul Zeynep, The Development of International Arbitration on Bilateral Investment Treaties : Disputes between States and Investor, ICSID Case Against Turkey Regarding Energy Sector, Disertation.com, Boca Raton, Florida, USA, 2008, hal. 8) Dengan kata lain dalam perspektif, dunia bisnis tidak lagi mengenal sekat-sekat atau batas negara. Tidak kalah pentingnya, ikut andil dalam perubahan kebijakan investasi asing adalah pesatnya perkembangan teknologi di berbagai sektor terutama di sektor informasi. Hal ini telah menimbulkan ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional terutama dibidang jasa keuangan. Menyikapi hal ini, maka sejumlah negara pun melakukan kebijakan liberalisasi di bidang investasi, antara lain membuka seluas-luasnya bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang sebelumnya tertutup. Selain itu prosedur untk berinvestasi pun disederhanakan108. Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO) yang menetapkan adanya keleluasaan atau kebebasan yang dinamis antar negara untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak dengan saling menghormati dan memberikan perlakuan tanpa diskriminasi. Sehubungan dengan kepentingan, Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut 109: a) Kepentingan Umum (public interest) 1) Kepentingan negara sebagai badan hukum; 108 Sentosa Sembiring, Op. Cit., hal. 62 109 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit., hal. 130-131 Pemerintah sebagai perumus kebijakan hukum harus mendasarkan pada konstitusi negara. Konstitusi selain menetapkan dasar kebijakan politik, ekonomi dan sosial tentunya juga menetapkan kebijakan hukum, dan dalam masalah kebijakan hukum investasi, maka rujukannya adalah dari kebijakan hukum dalam bidang ekonomi, karena kebijakan hukum investasi adalah merupakan salah satu implementasi kebijakan hukum dalam bidang ekonomi110. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal didasari pertimbangan agar dalam pembangunan nasional sumber-sumber dana dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk menutup kekurangan modal dalam negeri, tanpa menimbulkan ketergantungan kepada luar negeri. Pemerintah menyadari bahwa upaya yang dilaksanakan dengan hanya mengandalkan sumber daya yang dimiliki ketertinggalan dalam sendiri tidak pembangunan akan dapat nasional. mengejar Sebaliknya pemerintah melihat bahwa penanaman modal asing sangat dibutuhkan untuk merealisasikan potensi ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia. 2) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. Dengan melihat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstiusi di bidang ekonomi, yang menjadi rujukan utama dalam pembentukkan hukum penanaman modal di Indonesia, memberikan makna bahwa penanaman modal harus dijauhkan dari kapitalisme dan liberalisme. Penanaman modal asing harus diletakkan sebagai bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi. Dalam konteks ini, kepentingan rakyat tidak bisa dikalahkan oleh 110 Muchammad Zaidun, “Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian II)”, <http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/28/paradigma-baru-kebijakan-hukuminvestasi-indonesia-bagian-ii/> , 28 September 2009, 10.55 kepentingan apapun, apalagi pihak asing yang ingin mengambil keuntungan secara berlebihan atas sumber ekonomi melalui penguasaan cabang-cabang produksi dan sumber daya yang berlimpah di tanah air Indonesia. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 untuk dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanam modal dengan memberlakukan asas perlakuan yang sama. Namun adanya asas perlakuan yang sama, sering menimbulkan pengaruh negatif antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing. b) Kepentingan Masyarakat (social interest) 1) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; Hukum diciptakan untuk menjaga kedamaian dan ketertiban. Demikian juga Undang-Undang Penanaman Modal dibuat untuk menjaga kedamaian dan ketertiban dalam berinvestasi. Hal ini tertuang dalam pasal demi pasal yang mengsyaratkan adanya ketentuan-ketentuan bagi penanam modal yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Akan tetapi banyak terjdi sengketa dalam penanaman modal asing, seperti Freeport, Newmont, ConocoPhilips, ExxonMobil, AMCO dan CarahaBodas. Tidak hanya menyebabkan kerugian pada negara namun juga pada penduduk lokal setempat. 2) Perlindungan lembaga-lembaga sosial; Gesekan kepentingan antar instansi Pemerintah yang terkait dengan penanaman modal yang meliputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Dalam Negeri, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian. tidak dapat dipungkiri bahwa materi muatan Undang-Undang Penanaman Modal memang sarat konfik kepentingan yang melibatkan beberapa instansi yang memiliki tugas dan tanggung- jawab di bidang penanaman modal. Beberapa isu penting yang menjadi objek perdebatan dalam pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal antara lain kelembagaan, kategorisasi bidang usaha, fasilitas, insentif, dan kewenangan pusat dan daerah. 3) Pencegahan pelanggaran hak; Sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka dengan adanya Pasal 22 mengenai fasilitas pemberian ijin hak atas tanah, yang dimaksudkan untuk memberikan rangsangan kepada investor agar menanamkan modalnya di Indonesia, namun terjadi pelanggaran hak atas tanah yang dimiliki oleh warga sekitar. Sebagian besar masyarakatnya adalah petani, dan umumnya petani ini yang menggunakan atau memanfaatkan tanah tersebut. Kebijakan pemberian fasilitas hak atas tanah yang terlalu lama hal ini jelas sangat mengutungkan pihak investor dan tidak melindungi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah petani dan dengan adanya pemberian jangka waktu yang terlalu lama jelas sama dengan menimbulkan tuan-tuan tanah dengan versi yang baru. Pengaturan pemberian fasilitas hak atas tanah dalam Undang Undang Penanaman Modal kurang memperhatikan asas pemanfaatan tanah yang ada dalam UndangUndang TAP MPR No.IX tahun 2001 yang kurang memberikan perlindungan bagian sebesar masyarakat Indonesia dan dapat kurang memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakatnya. 4) Kesejahteraan sosial. Dalam Undang-Undang Penanaman Modal yang sekarang ini berlaku, dapat dilihat sangat sedikit memberikan kontribusi bagi masyarakat Indonesia. Penduduk lokat setempat tidak merasakan dampak yang besar dengan adanya penanaman modal terutama penanaman modal asing. Mereka tetap saja kurus, dekil, berpenyakit kulit, berbaju lusuh dan tidak bersepatu, sementara kekayaan alamnya terus digerus berlipat ganda. Bagaimana tentang kekayaan alam yang terus dihabisi, sementara kontribusinya hanya sedikit dapat dilihat dalam ilustrasi dibawah ini: Angka 800 juta dollar AS terlalu kecil buat kita. Lihat compensation (bukan gaji) tiap tahun untuk Chairman of the Board Freeport sebesar 9,509.183 dollar AS; Chief of Administrative Officer 1.756.159 dollarAS, Chief Operating Officer 815.554 dollar AS; dan President Director of Freeport Indonesia 1.641.877 dollar AS. Untuk kompensasi empat pejabat Freeprt saja jumlahnya 13.722.773 dollar AS. Bandingkan dengan dana keamanan selama 1996 – 2004 yang hanya 20 juta dollar AS. Artinya aparat keamanan kita hanya kecipratan 2,5 juta dollar AS setahun111. Melihat kenyataan tersebut, penduduk masih sangat jauh dari kesejahteraan sosial. Masyarakat masih kental dengan kemiskinan, kepiluan dan kesedihan. Merupakan suatu ironi yang cukup memilukan. Sementara rakyat semakin miskin, namun investor semakin meraup keuntungan besar. c) Kepentingan Pribadi (private interest) 1) Kepentingan individu; Individu bukan hanya diartikan sebagai manusia saja. Badan hukum juga merupakan subjek hukum (rechtspersoon). Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum seperti manusia112. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku. Suatu persyaratan di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mewajibkan penanam modal yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia harus berbadan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Ditinjau dari kepentingan Perseroan Terbatas pada 111 Kompas, 5 Februari 2006 112 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 11 umumnya didirikan untuk mencari keuntungan. Tidak terkecuali kepentingan Perseroan Terbatas dalam kegiatannya menanamkan modalnya di Indonesia, yaitu mencari keuntungan yang sebesarbesarnya. 2) Kepentingan keluarga; Keluarga merupakan bagian individu-individu juga tidak terlepas dari kepentingannya untuk mendapatkan keuntungan dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Undang-Undang Nomor 25 meningkatkan Tahun 2007 kesejahteraan mempunyai masyarakat kepentingan Indonesia untuk melalui pendapatan per kapita. Namun kemiskinan dan pendapatan yang tidak seimbang justru terjadi pada keluarga-keluarga yang tinggal di daerah perusahaan dimana kegiatan penanaman modal dilakukan. Hal ini jauh dari yang diharapakan bahwa penanaman modal dilakukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia. 3) Kepentingan hak milik. Konsep hak milik atas benda eksternal (di luar diri manusia), seperti anggota tubuh memegang peranan penting dalam pandangan hukum113. Untuk Indonesia, hak milik jelas harus mencerminkan aspek individual dan sosial. Milik pribadi dianggap tetap eksis, sekalipun diakui pula bahwa milik itu mempunyai fungsi sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 6 menyatakan, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, menegaskan, tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Penggunaan tanah itu tidak boleh merugikan atau bertentangan dengan kepentingan umum. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 22 mengenai insentif 113 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, 2008, hal. 31 pemberian hak atas tanah baik berupa Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha maupun Hak Milik, penggunaannya bertentangan dengan hak milik sebagai fungsi sosial. Karena dengan kepentingan hak milik yang dimiliki oleh para penanam modal akan berubah fungsi bukan lagi berfungsi individu dan sosial akan tetapi hanya berfungsi individu. Paradigma tersebut melahirkan suatu ketidakadilan bagi masyarakat, terutama penduduk lokal. Banyak ketidakadilan dan ketimpangan eknonomi yang terjadi. Bagaimana para investor asing mengeruk keuntungan dan mengambil kesempatan tanpa memperdulikan kondisi bangsa ini. Kesejahteraan yang tidak merata bukan hanya terjadi pada penduduk lokal saja tetapi pengusaha dalam negeri sebagai akibat asas perlakuan yang sama yang diterapkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini. Ketidakadilan terjadi manakala pengusaha dalam negeri yang memerlukan dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan industri dalam negeri justru terlibas karena World Trade Organization (WTO). Menurut John Rawls, keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat114. Perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran keseimbangan itu diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Teori keadilan yang berlaku di Indonesia secara jelas dapat kita temukan dalam rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat kata adil. Sila ke 114 John Rawls, loc. cit dua dari Pancasila berbunyi :“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke lima yang berbunyi :“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (yang kemudian dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998), butir-butir dari prinsip keadilan telah diungkapkan secara jelas. Selanjutnya apabila kita melihat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu. Jadi dapat dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah keadilan sosial. Seperti kata Notohamidjojo (1973:13)115, keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberikan kesempatan menurut kepatutan kemanusiaan (menselijke waarigheid). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan, tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Keadilan dengan begitu erat dengan haknya. Hanya saja, dalam konsepsi keadilan Bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Keadilan hanya dapat tegak dalam mayarakat yang beradab atau sebaliknya hanya masyarakat yang beradab yang dapat menghargai keadilan. Adanya keserasian antara hak dan kewajiban ini menunjukkan bahwa manusia makhluk beredimensi monodualistis, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Di Indonesia, pengertian adil tidak serta merta mengarah ke arah maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang. Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan ini pun tidak bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi, 115 Ibid; hal. 167 politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Suatu keadilan tidak tunduk hanya pada pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Suatu dilema dimana peraturan perundang- undangan hanya menjamin adanya kepastian hukum tetapi belum menjamin adanya keadilan yang dapat diperoleh semua pihak. UndangUndang Penanaman Modal ini dianggap mencapai kata adil apabila, pemerintah tidak memaksakan kehendak dengan mengorbankan masyarakat. Kehendak yang dimaksud yakni kebutuhan pemerintah dalam membangun memperhatikan perekonomian kondisi di negara masyarakat dan ini. Pemerintah kesiapan negara wajib dalam menghadapi perdagangan bebas melalui World Trade Organization (WTO). Kondisi masyarakat Indonesia terutama di daerah polosok dimana sumber daya alam tersedia melimpah, masih sangat tradisonal. Penduduk lokal masih berpikir secara sederhana justru dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Adil diperoleh apabila pemerintah dapat menjamin hak-hak warga negara dengan semestinya tanpa melihat adanya kepentingan politik. Penduduk lokal pun dapat memperoleh apa yang menjadi haknya sebagai warga negara Indonesia. Keadilan juga memerlukan keseimbangan antara kepentingan pemerintah, kepentingan masyarakat dan kepentingan penanam modal. Kepentingan pemerintah sebagai perumus kebijakan di bidang ekonomi yang menginginkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dapat meningkat. Kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang menginginkan adanya kesejahteraan hidup melalui pengelolaan sumber ekonomi. Kepentingan penanam modal yang mencari keuntungan. Dari semua kepentingan yang berbeda-beda ini harus diseimbangkan. Mulai dari pemerintah yang mendasarkan kebijakan ekonomi pada demokrasi ekonomi seperti yang dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Di sini jelas dikatakan bahwa prinsip keadilan harus dipegang teguh oleh pemerintah untuk mewujudkan perekonomian nasional salah satunya dalam menetapkan kebijakan investasi. 4. Idealitas Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Konteks Pemberian Insentif Bagi Investor Domestik dan Investor Asing Perkembangan perekonomian suatu negara, terlebih lagi bagi negara berkembang sangat ditentukan dari pertumbuhan penanaman modal asing. Arus penanaman modal asing bersifat fluktuatif, tergantung dari iklim investasi negara bersangkutan. Bagi penanam modal, sebelum melakukan investasi terlebih dahulu akan melakukan penilaian terhadap apek-aspek yang turut memperngaruhi iklim penanaman modal, yaitu keuntungan ekonomi, kepastian hukum dan stabilitas politik. As with every legal system, international investment protection law faces a trade-off: on the one hand, its legal norms are meant to create legal security and stability, on the other hand, the laws relating international investment protection try to accommodate unforeseen and special circumstances in individual cases as a requirement of justice116. Oleh karena itu, bagi negara-negara 116 Anne van Aaken, International Investment Law and Rationalist Contarct Theory, IIJL International Legal Theory Colloquium Spring 2009 : Virtues, Vices. Human Behavior and Democracy in International Law, Working Paper, to be presented at NYU, 22 January 2009, hal. 2 berkembang untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat, yakni 117: a) Syarat Keuntungan Ekonomi (Economic Oppurtunity) Untuk menarik modal asing dibutukan adanya keuntungan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah dan pasar yang perspektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki keunggulan alamiah dan komparatif, seperti negeri yang sangat luas dengan kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah. Dengan melihat beberapa potensi, Indonesia masih menjadi tempat tujuan penanaman modal yang menarik investor asing meskipun penegakan keamanan dan kepastian hukum masih dipertanyakan para pihak. Namun, potensi-potensi tersebut pada saat ini belum mampu diberdayakan secara maksimal dan Indonesia justru terpuruk dalam krisis ekonomi yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan. Selain itu kesulitan prasarana dan sarana pendukung akan menghambat investasi di Indonesia. Seperti infrastruktur (jalan tol, jembatan) yang sangat buruk, terjadinya krisis listrik yang akhir-akhir ini mengganggu kegiatan perindustrian. Bahkan dari fakta yang terjadi, Banyak investor 117 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 48 yang akan hengkang bila pembangunan infrastruktur jalan lambat. Mereka mengeluh belum andalnya infrastruktur118. Hal seperti ini akan menghambat investasi masuk ke Indonesia. b) Syarat Stabilitas Politik (Political Stability) Investor yang akan datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor Stabilitas Politik (Political Stability). Terjadinya konflik elite politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional. Memburuknya iklim investasi, meningkatnya country risk dan belum mantapya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap arus modal. Kondisi semacam inilah yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia. Akibatnya terjadilah pelarian arus modal yang sempat memuncak. Akibat lain, sampai saat ini Indonesia tidak termasuk negara favorit untuk berinvestasi. Sebenarnya resiko politik dan resiko ekonomi suatu negara tidak akan menyurutkan minat investasi, jika ada kompensasi terhadap resiko tersebut. c) Syarat Kepastian Hukum (Legal Certainty) Pemulihan ekonomi membutuhkan investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para investor akan datang ke suatu negara 118 Kompas, Senin, 25 Januari 2010 bila dirasakan negara terebut berada dalam situasi yang kondusif. Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah supremasi hukum (rule of law). Insentif yang paling efektif untuk menarik kegiatan investasi asing adalah pemerintah harus mampu menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan. Ketegasan pemerintah dalam menerapkan peraturan dan kebijakan, terutama konsistensi penegakan hukum dan keamanan. Banyak investor asing masih tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena Indonesia masih memiliki keunggulan komperatif dibandingkan dengan negara-negara tujuan investasi yang lain. Investor tidak akan melihat insentif seperti tax holiday sebagai daya tarik investasi, melainkan apakah ada jaminan keamanan maupun penegakan hukum. Untuk memulihkan perekonomian, bangsa Indonesia memerlukan investasi. Investasi bisa berjalan kalau ada strategi dalam hukum. Strategi akan goyah jika, pemerintah tidak menghormati kontrak-kontrak karya yang sudah ada. Akibatnya, investor enggan datang ke Indonesia karena tidak ada kepastian hukum. 1) Aspek Substansi Hukum Peraturan perundang-undangan di bidang investasi selama kurun waktu terakhir ini, belum mampu mencerminkan aspek kepastian hukum. Ketidakpastian hukum dan politik dalam negeri mengganggu merupakan bagian dari masalah-masalah yang menyebabkan iklim investasi tidak kondusif. Iklim yang kondusif tentunya akan sangat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Dampak yang paling nyata dari pelaksanaan otonomi daerah adalah menyangkut masalah perizinan. Perizinan merupakan faktor yang vital yang menentukan apakah investor bersedia menanamkan modalnya atau tidak. Salah satu akibat nyata dari adanya otonomi daerah dan pengaturan yang tidak jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam memberikan kewenangan secara wajib kepada kabupaten/kota untuk menyelenggrakan urusan pemerintah di bidang penanaman modal. Untuk melakukan pembenahan ekonomi, pemerintah dituntut untuk menyusun dan menyempurnakan sejumlah undang-undang yang terkait dengan pemulihan ekonomi. 2) Aparatur Hukum Aparatur hukum mempunyai peran yang sangat besar dalam menarik investor atau menciptakan iklim yang kondusif untuk berinvestai. Aparatur hukum meliputi badan yudikatif, legislatif dan eksekutif. Kualitas aparat hukum yang seringkali menyebabkan kerugian negara dan menyebabkan apriori dari para investor, dapat terlihat dari budaya atau pola-pola ilegal dalam mengimpor suatu produk. Investasi yang sudah ada tidak mungkin akan lari jika sistem usaha yang bersih diterapkan pada seluruh aparatur hukum. 3) Budaya Hukum Budaya hukum adalah persepsi atau pandangan masyarakat terhadap sistem hukum. Para investor asing akan memperhatikan budaya hukum masyarakat dan pelaku bisnis dalam menghadapi setiap permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Pada investor sangat membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerja sama yang telah dan adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa. Pada saat ini, budaya hukum di Indonesia belum mampu terbangun dengan baik. Rendahnya kualitas budaya hukum tersebut sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat terhadap hukum yang sangat beragam. Salah satu yang mempengaruhi budaya hukum adalah perilaku para pengusaha atau investor. Globalisasi memaksa Indonesia untuk tunduk pada peraturanperaturan WTO dan TRIMs. Sebagai negara berkembang tentu saja Indonesia tidak siap dengan adanya perdagangan bebas. Melihat industri dalam negeri yang masih membutuhkan perhatian dan bantuan modal dari pemerintah. Tenaga kerja dan peralatan yang masih tergolong sederhana akan sangat sulit untuk mengimbangi perusahaan-perusahaan multinasional yang hadir di Indonesia. Apalagi dengan diberlakukannya prinsip perlakuan yang sama terhadap penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, akan mempersempit ruang gerak bagi industri dalam negeri. Berbagai insentif yang diberikan kepada penanam modal, justru semakin membuat leluasa bagi penanam modal asing untuk melebarkan dominansinya. Memang tak dapat dipungkiri penanaman modal banyak memberikan dampak positif di Indonesia. Namun dampak positif tersebut hanya dirasakan oleh segelintir orang. Kesejahteraan sosial yang tidak merata sementara kekayaan alam yang tersimpan di Indonesia dikeruk habis oleh investor asing untuk kemakmuran negaranya sendiri. Pengaturan perundang-undangan mengenai investasi di Indonesia terutama mengenai insentif-insentif yang diberikan terlalu melindungi kepentingan investor asing. Sehingga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan produk hukum yang mendukung adanya liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi bertentangan dengan demokrasi ekonomi sebagai dasar perekonomian nasional di Indonesia. Pembangunan hukum ekonomi sangat diperlukan di negara ini. Sebab dengan pembangunan hukum ekonomi akan tercipta pula suatu tatanan hukum sebagai dasar berpijak dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Jika pondasi hukum ekonomi dapat tercipta dengan baik, maka pembangunan ekonomi juga dapat berjalan dengan lancar dan pertumbuhan ekonomi pun dapat meningkat. Tak terkecuali hukum penanaman modal di Indonesia yang memerlukan adanya pembangunan untuk melindungi kepentingan nasional dan kesejahteraan sosial yang merata. Berkaitan dengan perdagangan bebas perlu kiranya kita perhatikan beberapa kesimpulan dari Seminar hukum tentang “Persetujuan Marakesh dan Implikasinya bagi Hukum Nasional”, bahwa dalam membangun sistem hukum nasional yang memadai dalam rangka memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional, ada 7 (tujuh) aspek yang harus diperhatikan, yaitu 119: a) Aspek pembentukan hukum (law making) b) Aspek penerapan hukum dan pelayanan hukum (aplication of the law) c) Aspek penyelesaian sengketa (dispute resolution), baik melalaui pengadilan, maupun melalui cara-cara penyelesaian alternatif (alternative dispute resolution) d) Pengembangan sumber daya manusia dan spesialisasi profesi di bidang hukum, termasuk modernisasi system pendidikan hukum (formal, nonformal, dan informal) e) Peningkatan pengumpulan informasi hukum dan efektifitas penyebaran informasi hukum melalui sistem jaringan informasi hokum f) Penelitian bahasa hukum yang dipakai dalam perjanjian internasional, khususnya perjanjian WTO dan pembakuan bahasa hukum melalui perbandingan bahasa hukum secara internasional dan nasional, dan g) Pengembangan metode-metode interpretasi hukum, terutama penafsiran hukum dari klausula-klausula perjanjian WTO. 119 Ekonomi, Hudi Asrosri, Peranan Hukum di Dalam Menghadapi Transformasi Global di Bidang Pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan mendasar dibandingkan dengan istilah pembinaan atau pembaharuan hukum120. Di era reformasi, arah dan sasaran politik hukum ekonomi harus difokuskanpada terciptanya sistem hukum yang mampu memberikan keadilan ekonomi pada masyarakat, mengarahkan perhatian pada ekonomi kerakyatan, terciptanya nasionalisme ekonomi dan menggunakan tolok ukur pemerataan ekonomi dalam mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan arah dan sasaran yang baru tersebut diharapkan nantinya hukum ekonomi mampu menciptakan ketahanan ekonomi rakyat kuat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu adanya pendekatan baru untuk membangun hukum ekonomi. Pendekatan tersebut harus tetap bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga mampu mencakup aturan atau substansi hukum, struktur atau kelembagaan hukum, aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan keselarasan antara pendekatan di bidang ekonomi dengan pembangunan hukum di Indonesia yakni terbentuknya sistem hukum dan produk hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Hal ini dikarenakan selama ini para perancang undang-undang hanya mengadopsi sistem hukum ekonomi luar negeri tanpa memperdulikan benturan nilai-nilai liberal tersebut dengan nilai-nilai yang telah hidup dalam masyarakat. 120 Adi Sulistyono, op.cit., hal. 69 Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi sebagai bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas (stability)121, yaitu bagaimana potensi hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. Sehingga hukum kepentingan-kepentingan modal investasi asing dan dapat mengakomodasi sekaligus dapat pula melindungi pengusaha-pengusaha lokal atau usaha kecil. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik. Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor political stability. Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional. Kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat meramalkan (predictability), adalah mensyaratkan bahwa hukum tersebut mendatangkan kepastian. Investor akan datang ke suatu negara bila ia yakin hukum akan melindungi investasi yang dilakukan. Kepastian hukum akan memberikan jaminan kepada investor untuk memperoleh economic opportunity122 sehingga investasi mampu memberikan keuntungan secara ekonomis bagi investor. Adanya kepastian hukum juga merupakan salah satu faktor utama untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, karena dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan sebagai pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur investasi dan yang terkait dengan investasi kadangkala menimbulkan kekaburan atau ketidakpastian mana hukum yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan keberadaan hukum dengan masyarakat, maka perlunya wibawa hukum agar dapat ditaati dan sebagai pegangan dalam menjalankan relasi satu 121 Erman Rajagukguk, op.cit., hal.27-31 122 Ibid dengan yang lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis diperlukan adanya kepastian hukum yang berlaku. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama bagi semua orang atau pihak di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua orang dan adanya standar pola perilaku pemerintah, oleh banyak ahli ditekankan sebagai syarat untuk berjalannya menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Dalam kaitannya dengan aspek keadilan disini, maka faktor accountability dengan melakukan reformasi secara konstitusional serta perbaikan sistem peradilan123 dan hukum merupakan suatu syarat yang penting dalam rangka menarik investor. Apabila hal ini tidak dilakukan pada akhirnya berakibat pada lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan ketiadaan regulasi khususnya di bidang investasi yang mampu memberikan rasa aman, nyaman bagi investor serta kurang ramahnya perundang-undangan tersebut terhadap investor khususnya investor asing. Dengan kata lain perangkat perundangundangan yang ada sekarang dirasakan kurang mengakomodasi kepentingan para investor dalam berinvestasi. Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat. Salah satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim 123 Tribunals, instead of focusing exclusively on the “sole effect” on the owner, have also often taken into account the purpose and proportionality of the governmental measures to determine whether compensation was due. Thus a number of cases were determined on the basis of recognition that governments have the right to protect, through non-discriminatory actions, inter alia, the environment, human health and safety, market integrity and social policies without providing compensation for any incidental deprivation of foreign owned property. (Organisation for Economic Co-operation and Development, “Indirect Expropriation” and The “Right to Regulate” in International Investment Law, Working Papers on International Investment, Number 2004/4, September 2004) dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN khususnya, dalam menarik investasi asing. Faktor kepastian hukum tentang izin lokasi dan pembebasan retribusi daerah di suatu daerah dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan atau kebijakan investasi. Kepastian hukum yang dimaksud adalah tersedianya seperangkat peraturan daerah yang transparan dan menjamin keamanan berinvestasi, kemudahan berusaha dan efisiensi. Bila kepastian hukum yang demikian itu dapat memberi keyakinan yang kuat kepada calon investor serta sesuai dengan kebutuhan dan harapan para investor dalam berinvestasi, maka dengan sendirinya para investor akan merasa termotivasi untuk menanamkan modalnya dalam suatu bidang usaha yang dipilihnya. Namun sebaliknya, bila kepastian hukum yang dimaksud ternyata tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan yang lain yang dapat menyebabkan kebingungan penanam modal bahkan tidak menjamin keamanan berinvestasi, tidak memberi kemudahan berusaha dan meraih keuntungan, maka dapat dipastikan bahwa investor kurang dan bahkan tidak termotivasi untuk menanamkan modalnya. Karena meskipun dari pertimbangan ekonomi peluang investasi dipandang dapat memberikan keuntungan, namun bila keamanan dan kemudahan invetasi tidak terjamin, maka peluang itu menjadi tidak menarik. Pada dasarnya investasi adalah kegiatan usaha untuk jangka waktu yang panjang. Jika dari perhitungan jangka panjang pengelolaan investasi akan mengalami banyak resiko yang merugikan. Oleh karena itu, kepastian hukum yang tertuang dalam berbagai peraturan menjadi faktor motivasi bagi para investor dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi atau tidak berinvestasi. Pentingnya jaminan kepastian hukum, dan bahkan pemberian insentif kepada calon investor untuk berinvestasi di daerah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 176 menyebutkan bahwa : Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian secara yuridis formal telah disebutkan bahwa pemberian insentif tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Calon investor sebenarnya hanya membutuhkan penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan. Insentif yang diberikan tidak terlalu penting bagi calon investor. Namun bila pemerintah memberikan insentif yang sangat longgar dalam berinvestasi seperti yang tertuang pada UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal justru akan memberikan dampak negatif bagi kepentingan nasional. Pemberian insentif merupakan hal yang sah dilakukan pemerintah untuk menarik minat calon investor. Pemberian insentif seharusnya dilakukan dengan melihat berbagai pertimbangan dan kondisi masyarakat di negara ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia memang memerlukan banyak modal dalam membangun perekonomian akan tetapi secara tidak sadar Indonesia menjadi sasaran yang empuk bagi negaranegara maju yang ingin mencari keuntungan di Indonesia. Pembangunan hukum investasi memang sangat diperlukan sebagai pondasi dalam berinvestasi di Indonesia dan untuk memberikan keadilan bagi semua pihak terutama untuk melindungi kepentingan nasional. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan diperoleh pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari prinsip-prinsip yang melingkupi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengemuka dan menjadi kekhawatiran masyarakat adalah adanya asas perlakuan yang sama. Ini terjadi karena asas perlakuan yang sama akan membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi penanaman modal asing di Indonesia. 2. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat diketahui pemerintah Indonesia ingin melindungi kepentingan nasional, yaitu kepentingan penanam modal dalam negeri untuk mengembangkan industri nasional. Namun sehubungan dengan adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada penanam modal menciptakan liberalisasi perekonomian. Sebab melalui insentif tersebut, digunakan oleh penanam modal asing untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. 3. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan modal yang besar untuk membangun perekonomian bangsa, membutuhkan lapangan pekerjaan, mengembangkan industri eksport untuk mendapatkan devisa, pembangunan desa-desa tertinggal, dan alih teknologi. Dari kebutuhan tersebut, Indonesia membutuhkan dana dari penanam modal terutama penanam modal asing. Tidak dapat dipungkiri penanam modal asing lebih kuat dalam hal keuangan dan teknologi karena sebagian besar penanam modal asing merupakan negara maju. 4. Untuk menarik minat penanam modal untuk menanamkan modalnya di Indonesia memang tidak mudah. Dibutuhkan substansi hukum, aparatur hukum dan budaya hukum yang baik. Selain itu hukum investasi membutuhkan aspek stabilitas, aspek kemampuan untuk meramalkan dan aspek keadilan. B. Implikasi Konsekuensi logis dari kesimpulan yang diperoleh khususnya menyangkut insentif yang diberikan kepada penanam modal dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka mengandung implikasi, yaitu : 1. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) dan Trade Related Investment Measures (TRIMs) mengharuskan Indonesia untuk meratifikasi segala ketentuan di dalamnya. Sebagai negara yang berkembang Indonesia memang belum siap untuk mengikuti arus globalisasi perdagangan bebas. Namun mau tidak mau Indonesia harus mematuhi dari semua ketentuan yang telah diratifikasi. Adanya UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan tegas mengakui bahwa kompetisi perekonomian dunia semakin ketat sehingga kebijakan hukum mengenai penanaman modal pun juga semakin didorong kuat untuk menciptakan daya saing. 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebabkan liberalisasi yang bertentangan dengan demokrasi ekonomi di Indonesia. Dengan diberlakukannya prinsip non diskriminasi akan mempersempit ruang gerak bagi penanam modal dalam negeri. Penanam modal dalam negeri akan kalah bersaing di kancah perdagangan bebas. 3. Indonesia saat ini sedang membutuhkan dana yang besar untuk membangun perekonomian negara. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan penanam modal asing sehingga pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih banyak memberikan insentif kepada penanam modal asing untuk menarik minat mereka agar menanamkan modalnya di Indonesia dan menghadapi persaingan antar negara yang semakin ketat. 4. Adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal membuat para penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri enggan menanamkan modalnya di Indonesia. C. Saran 1. Pemerintah seharusnya tidak semata-mata hanya mengadopsi dari konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk mengakomodasi penanam modal asing di Indonesia saja yang menjadikan peraturan perundang-undangan menjadi tidak efektif. Perlu suatu kebijaksanaan lebih dari pemerintah untuk mengakomodir ketentuanketentuan dari konvensi internasional menjadi kebijaksanaan nasional yang dapat membangun bangsa. 2. Prinsip non diskriminasi dalam hal insentif untuk penanam modal asing seharusnya lebih dibatasi lagi, hanya di bidang perijinan, perpajakan dan pelayanan keimigrasian. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan oleh penanam modal asing adalah kepastian hukum, perlindungan hukum dan kemudahan dalam perijinan usaha. 3. Untuk mewujudkan hukum penanaman modal yang baik pemerintah juga wajib memperhatikan aspek keadilan dan kepastian hukum. 4. Diperlukan perbaikan sistem peradilan dan adanya perlakuan yang sama bagi semua pihak di depan hukum. Perlakuan yang sama bagi semua pihak dan adanya standar pola perilaku pemerintah perlu ditekankan untuk mencegah birokrasi yang berlebihan. DAFTAR PUSTAKA Buku Adi Sulistyono. 2008. Reformasi Hukum Ekonomi Indonesia, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetkan UNS (UNS Press), Surakarta Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Ade Maman Suherman. 2008. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo, Jakarta Arief Sidharta. 2008. Ethika Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Budiono Kusumohamidjojo. 1999. Ketertiban yang Adil Problematika Filasafat Hukum, Cet. 1, Grasindo, Jakarta Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusamedia, Bandung C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2002. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2002. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta Dudu Duswara Machmudin. 2003. Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, cetakan ke 2, Refika Aditama, Bandung Erman Rajagukguk. 2007. Hukum Investasi di Indonesia (Anatomi UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta Hans Kelsen. 2008. Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung Huala Adolf. 2004. Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Rajawali, Jakarta Hendrik Budi Untung. 2010. Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta Ida Bagus Rahmadi Supanca. 2006. Kerangka Hukum Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor Ida Bagus Wyasa, dkk. 2003. Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Jimly Asshiddiqie. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta John Rawls. 2006. A Theory oj Justice (Teori Keadlian), Pustaka Pelajar, Yogyakarta Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang Jonker Sihombing. 2009. Hukum Penanaman Modal di Indonesia, PT. Alumni, Bandung Kamaruddin Ahmad. 1996. Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Rineka Cipta, Jakarta Mariam Darus Badrulzaman. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung Munir Fuady. 2004. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Cutra Aditya Bakti, Bandung Nindyo Pramono. 2002. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung Pandji Anoraga. 1994. Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta Riduan Syahrani. 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Rosjisi Ranggawijaya. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung RPJMN 2004-2009, Bab 17 Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas, Sub Bab A, Permasalahan Salim dan Budi Sutrisno. 2008. Hukum Investasi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Sajtipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Sihombing Purwoatmodjo. 1997. Pengantar Ilmu Hukum, University Press, Surakarta Sebelas Maret Sudikno Mertokusmo. 2002. Diktat Teori Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Jurusan Kenotariatan, UGM, Jogja __________________. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta __________________. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta Sunaryati Hartono. 1972. Beberapa Masalah Transisional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung Sentosa Sembiring. 2007. Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung Soedjono Dirdjosisworo. 2001. Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penlitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1986. Penelitian Hukum Normatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta Setiono. 2005. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Progam Studi Ilmu Hukum Pascasarjan Universitas Sebelas Maret, Surakarta Theo Huijebers. 2005. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke 5, Kanisius, Yogyakarta Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Citra Umbara, Bandung Jurnal dan Makalah Anne van Aaken, International Investment Law and Rationalist Contarct Theory, IIJL International Legal Theory Colloquium Spring 2009 : Virtues, Vices. Human Behavior and Democracy in International Law, Working Paper, to be presented at NYU, 22 January 2009 Ahmad Yulianto, 2003, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5 Akgul Zeynep, The Development of International Arbitration on Bilateral Investment Treaties : Disputes between States and Investor, ICSID Case Against Turkey Regarding Energy Sector, Disertation.com, Boca Raton, Florida, USA, 2008 Camelia Malik, 2007, Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 4 Eugene F. Maloney, The Investment Process Required by the Uniform Prudent Investor Act, FPA Journal, November 1999 Jan Paulsson, Arbitration Without Privity, Foreingn Investment Law Journal, International Center for Settlement of Investment Disputes, Volume 10, Number 2, Fall 1995 Organisation for Economic Co-operation and Development, “Indirect Expropriation” and The “Right to Regulate” in International Investment Law, Working Papers on International Investment, Number 2004/4, September 2004 Ridwan Khairandy, 2003, Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5 Yulianto Syahyu, 2003, Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5 Sosialisasi UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, IPB International Convention Centre (IICC), 29 Oktober 2007 Martinus Siswanto Prajogo (Tafung Ditkersin Ditjen Strahan Dephan), Kepentingan Nasional : Sebuah Teori Universal dan Penerapannya oleh Amerika Serikat di Indonesia, 2009 Lili Herawati, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta Peraturan Teknis, Kapusdilkat badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 2007 Koran Kompas, Senin, 25 Januari 2010 Laju Pertumbuhan Pasar Otomotif Makin Kencang, Bisnis Indonesia, 7 Juni 2007 Data Elektronik Marina Eka Amalia, Analisis dan Kritisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, http:\\www. Analisis dan Kritisi atas UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal [1]_Legalitas.Org.htm, 23 September 2009, 09.21 BKPM,<http://www.bkpm.go.id/contents/P26/REGIONAL+CHAMPIONS/74>, 24 Maret 2010, 10.15 China Through A Lens, China Internet Information http://www.china.org.cn/english/index/htm., 9 Oktober 2009, 10.15 Cente, China Through A Lens, China Internet Information http://www.china.org.cn/english/index/htm, 9 Oktober 2009, 10.15 Center, Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian I), http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/21/paradigma-baru-kebijakan-hukuminvestasi-indonesia-bagian-i/, 28 September 2009, 10.45 Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&i d=29270, 10 Desember 2009, 15.10 Imperialisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme, 15 Januari 2010, 10.54. Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi: Penataan Hukum Investasi dalam Upaya Mendorong Investasi di Indonesia, http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=9, 15 Januari 2010, 11.08 Muchammad Zaidun, “Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia (Bagian II)”, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/07/28/paradigma-barukebijakan-hukum-investasi-indonesia-bagian-ii/ , 28 September 2009, 10.55 Hudi Asrosri, Peranan Hukum di Dalam Menghadapi Transformasi Global di Bidang Ekonomi, Ensiklopedia Ensiklopedia Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta