BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Internasional, sebgaimana kita ketahui saat ini, merupakan keseluruhan kaidah yang sangat diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan-hubungan antar negara-negara, tanpa adanya kaidah-kaidah ini sungguh tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan tetap dan terus menerus. Sesungguhnya hukum internasional merupakan persoalan dengan keperluan hubungan timbal balik antar negara-negara. Pengertian hukum internasional sendiri menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan Negara, Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lain.1 Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara Negara-negara dan subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.2 Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Opperheim dan Brierly terbatas pada Negara sebagai satu-satunya pelaku hukum internasional dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.3 Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan, kerjasama dan kesalingtergantungan antar Negara, menjamurnya Negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi, munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional tidak saja mengatur hubungan antar Negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya.4 1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Binacipta, 1997, Hlm. 3-4 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, Hlm. 1 3 Ibid. 4 Ibid. 2 1 Dalam hal tidak adanya suatu system hukum internasional, maka masyarakat internasional negara-negara tidak dapat menikmati keuntungankeuntungan perdagangan dan komersial, saling pertukaran gagasan dan komunikasi rutin yang sewajarnya. B. Rumusan Masalah “Bagaimanakah perkembangan sejarah hukum internasional, teori-teori dalam hukum internasional, sumber hukum internasional, serta subyek dari hukum internasional ”. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Hukum internasional adalah lapangan hukum yang baru. Walaupun demikian dasar-dasar proses hukum internasional telah dikenal orang sejak lama. Berkembangnya system Negara kota di Yunani serta peranan dari hukum Romawi di Eropa pada abad keenam belas telah memberikan dorongan yang penting terhadap perkembangan hukum internasional.5 Pada masa abad pertengahan abad ke enam belas atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektorsektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci. Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang (reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380.6 konsepsi ahli-ahli pikir Yunani yang digabungkan dengan perkembangan hukum Romawi, keduanya memberikan sumbangan yang penting bagi berkembangnya hukum internasional. Pada periode kekusaan Romawi teradap dunia kuno, muncul kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubgnag antara Romawi dan berbagai macam bangsa atau rakyat dengan siapa Romawi mengadakan hubungan. Satu aspek penting dari kaidah-kaidah ini adalah karakter hukumnya, jadi berlawanan dengan hakikat keagamaan dalam kaidah-kaidah kebiasaan yang ditaati oleh negara-negara kota (city states) Yunani. Akan tetapi sumbangan utama Romawi terhadap perkembangan hukum internasional menlalui kadiah-kaidah tersebut hanya sedikit dibandingkan melalui pengaruh tidak langsung hukum Romawi pada umumnya, karena pada saat dihidupkannya 5 Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, (Jakarta, Djambatan, 1988), Hlm. 19 6 Tontowi Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung :Refika Aditama, 2006, hlm. 34 3 kembalu studi tentang hukum Romawi di Eropa, tampak adanya analogi-analogi dan prinsip-prinsip yang mampu menyesuaikan diri terhadap pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.7 Hukum Internasioan mempunyai pengaruh yang kuat dari hukum Romawi rupanya menjadi pusat perhatian. Hal ini disebut oleh seorang ahli sejarah ternama zaman Renaissance Garret Mattingly bahwa apa yang dikatakan Hukum Internasional dalam abad ke-15 elemennya yang paling penting adalah hukum Romawi. Penulis-penulis awal dari hukum internasional di antaranya ialah Suarez dan Vitoria dari Spanyol, yang menulis mengenai apa yang di sebut “perang yang benar dan perang yang tidak benar”. 8 Pada abad kesembian belas hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Hal ini adalah karena sejumlah factor yang mungkin lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam lingkup studi kesejahteraan, misalnya kebangkitan negaranegara baru yang kuat baik di dalam maupun di luar lingkungan eropa, modernisasi sarana angkutan dunia, pwnghancuran yang lebih dahsyat akibat peperangan modern dan pengaruh-pengaruh penemua baru. Di abad kesembilan belas ini hukum internsional berkembang dengan cepat karena beberapa factor: (1) Negara-negara Eropa sesudah kongres Wina 1815 berjanji untuk selalu memakai prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain. (2) banyak dibuat perjanjian-perjanjian (law making treaty) sepertidi bidang perang dan netralitas, peradilan dan arbitrasi. (3) berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang sering melahirkan ketertiban-ketertiban hukum yang baru.9 Semua factor ini mengakibatkan timbulnya kebutuhan yang mendesak pada masyarakat internasional negara-negara untuk memiliki system kaidah yang akan mengatur secara tegas tindakan hubungan-hubungan internasional. Juga terjadi perkembangan besar selama abad ini dalam hukum perang dan netralitas, serta peningkatan besar dalam penyelesaian perkara-perkara oleh pengadilanpengadilan arbitrasi internasional menyusul Albana Claims Award tahun 1872 yang memberikan suatu sumber kadiah dan prinsip-prinsip penting. Di samping 7 J. G Starke, Op.cit, Hlm. 9 Chairul Anwar, Op.cit, Hlm. 21 9 Boer Mauna, Op.cit, Hlm. 7 8 4 itu negara mulai terbiasa melakukan perundingan mengenai tarktat-traktat umum untuk mengatur hubungan-hubungan timbale balik mereka.10 Bersamaan dengan pertumbuhan ini, semakin banyaklah terbentuk perjanjian-perjanjian bilateral antara beberapa Negara tertentu yang meliputi berbagai hal seperti misalnya pengaturan-pengaturan di bidang perdagangan dan arbitrase. Arbitrase, khususnya sebagai alat dari hukum internasional telah mencapai debutnya dalam abad yang lalu. Dalam tahun 1899 pada konperensi Den Haag, bangsa-bangsa telah bersepakat untuk mendirikan Permanent Court of Arbitratior (Mahkamah Internasional Permanen). Walaupun mahkamah ini bukan merupakan peradilan tetap, dan para yurist anggotanya baru bersidang kalau dipanggil, namun hal ini telah merupakan suatu kemajuan kea rah terbentuknya suatu peradilan dunia. Agar para ahli hukum dari berbagai bangsa terus dapat memperkembangkan studi hukum internasional maka terbentuklah International Law Association. Demikianlah factor-faktor yang diuraikan di atas. Kemajuan teknologi, desakandesakan humaniter, kemerdekaan bangsa-bangsa yang sebelumnya adalah koloni Negara lain, dan lahirnya arbitrase internasional serta perhatian para cendikiawan di bidang ini, keseluruhannya tlah memperkembangkan hukum internasional mengikuti alunan pergaulan internasional di antara bangsa-bangsa di dunia. 11 B. Teori-Teori dalam Hukum Internasional Para sarjana mengemukakan beberapa teori untuk menerangkan dasar pengikat berlakunya hukum internasional di lingkungan masyarakat dunia. Di antara beberapa teori yang ada adalah: 1. Teori Hukum Alam (Natural Law) Penganut teori ini mendalilkan bahwa hukum internasional itu adalah hukum alam yang merupakan hukum negara, sehingga negara-negara harus mentaati hukum internasional. Pikiran ini kemudian dalam abad ke XVIII lebih disempurnakan lagi, antara lain oleh seorang ahli hukum dan diplomat bangsa Swiss Emmeric Vattel (1714-1767) dalam bukunya “Droit des Gens”, di mana ia antara lain mengatakan “we use the term necessary Law of Nations for that 10 11 J. G Starke, Op.cit, Hlm.14 Chairul Anwar, Op.cit, Hlm. 24-25 5 law which result from applying the natural law to nations. It is necessary, because nations are absolutely bound to observe it. It contains these precepts which the natural law dictates to states, and it is no less binding upon them it is upon individuals”. 12 Teori Hukum alam ( natural law ) merupakan teori tertua . Ajaran ini memiliki pengaruh yang sangat besarr atas hukum internasional sejak pertumbuhannya . Menurut penganut ajaran hukum alam , hukum internasional itu mengikat karena : a) Hukum internasional itu tidak lain daripada “hukum alam” yang diterapkan pada kehidupan bangsa – bangsa , atau dengan perkataan lain , b) Negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain , karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.13 Kelemahan dari konsep ini adalah konsep hukum alam teralu abstrak dan cenderung bersidat subjektif, tergantung pada apa yang diyakini oleh masingmasing pribadi ida. 2. Teori Voluntaris (Kehendak Negara) Teori ini mendalilkan bahwa hukum internasional ini berlaku karena danya kehendak dari negara yang bersangkutan untuk tunduk pada hukum internasional tersebut. Aliran ini menyandarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah George Jellineck yang terkenal dengan dengan “Selbst-limitation-theori”nya. Seorang pemuka lain dari aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidaklah lain dari pada hukum tata Negara yang mengatur hubungan luar suatu Negara (auszeres Staatsrech). Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan Negara. 12 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., Hlm.44 Kusumaatmadja, Indonesia Dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini Jakarta: Departemen Luar Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri, 1977, hlm. 33 13Mochtar 6 Kelemahan teori ini adalah tidak dapat diterimanya logika bahwa jika negara-negara tidak menghendaki suatu hukum untuk berlaku, maka ketentuan itu bukan lagi suatu “hukum” di masyarakat internasional. Kelemahan yang lain adalah berkenaan dengan penerapannya bagi negar-negara yang baru lahir (negara-negara bekas jajahan) yang langsung menghadapi kenyataan adanya “hukum” dimasyarakat internasional yang harus ditaati dan mengikat (seperti hukum kebiasaan internasional)14 3. Teori Obyektivis Dasar pengikat hukum internasional adalah norma hukum yang lebih tinggi yang didasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya hingga sampai ke tingkat norma/ kaidah dasar yang disebut grundnorm. Teori ini diserang ketika sampai kepada apa dasar pengikat dari gundnorm tersebut.15 4. Teori Kenyatan Sosial Teori lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum internasional terhadap Negara-negara adalah teori yang menghubungkan dengan “kenyataan hidup manusia” yang disebutnya dengan mazhab Perancis. Pemuka mashab ini antara lain Fauchile, Scelle, dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional (juga pada hukum pada umumnya) pada “factor biologis, social, dan sejarah kehidupan manusia” yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (fait social). Menurut penganut nashab ini persoalannya dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk social, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Dengan demikian dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyatan social bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.16 Kemudian dalam ada dua macam teori yang mencoba menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu teori monoisme 14 Ibid. Ibid. 16 Moctar Kusumaatmadja dalam Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional Perkembangannya, (Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2012), Hlm. 12 15 7 dan dan dualisme. Menurut aliran Monosime Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Sebaliknya menurut terori dualisme hukum internasional dan hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena masing-masingnya mempunyai sifat yang berlainan. C. Sumber-Sumber Hukum Internasional Sumber-sumber hukum intenasional berupa sumber hukum formal dan material. Sumber hukum formal menetapkan apa yang merupakan hukum sedangkan sumber material hanya menunjukan di mana hukum itu dapat ditemukan.17 1. Sumber Materiil Hukum Internasional Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan actual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori atau bentuk utama, yaitu:18 a. Kebiasaan (Custom) Sampai saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari akidahkaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional. Kaidah-kaidah kebiasaan tradisional yang besar tersebut makin menyusut sebagai akibat dari adanya sejumlah besar traktat “yang memberntuk hukum” (lawmaking). b. Traktat-Traktat Traktat-traktat mewakili sumber material yang penting dari hukum internasional. Nilai pentingnya tersbut makin bertambah. Pengaruh dari suatu traktat dalam member arahan pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional bergantung pada sifat hakikat traktat yang bersangkutan. c. Keputusan-Keputusan Pengadilan atau Pengadilan Arbitrasi Satu-satunya pengadilan yudisial internasional permanen yang ada yang memiliki yurisdiksi umum adalah International Court of Justice, yang sejak 17 18 Rebecca M. M Wallace, Hukum Internasional, Semarang: Sweet & Maxwell, 1986, hlm. 9 J.G Strake, Op.cit, Hlm. 42 8 tahun 1946 menggantikan kedudukan Permanent Court of International Court of Justice menurut Statuta sesungguhnya memuat aturan-atura organic yang sama dengan Statuta Court of International Justice yang digantikannya. d. Karya-Karya Hukum Karya-karya hukum bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, walaupun kadang-kadang opini hukum mengarahkan pada pembentukan hukum internasional. Pasal 38 Statuta International Court of justice memerintahkan Mahkamah itu unutk menerapkan “ajaran dari ahli-ahli hukum terkemuka berbagai negar, sebagai alat tambahan untuk menentuka kadiah-kadiah hukum”. e. Keputusan-Keputusan atau Penetapan-Penetapan Organ-Organ Lembaga Internaisonal. Keputusan-keputusan atau ketetapan organ lembaga-lembaga internasional, atau konferensi-konferensi internasional, dapar membawa kea rah pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional melalui berbagai cara yang berlain-lainan. 2. Sumber Formal Hukum Internasional Adapun sumber hukum formal hukum internasional dapat ditemukan pada Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) yang menentukan bahwa “dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan: 19 a. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan suatu pernyataan dari persetujuan antara negara-negara yang mengikatkan dirinya di dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang terpenting. Tidak semua perjanjian internasional dapat menciptakan satu aturan hukum internasional. Misalnya perjanjian perdagangan antara Argentina dan Brazil hanyalah mengikat kedua Negara tersebut. 19 Chairul Anwar, Op.cit, Hlm. 13-16 9 Pengertian perjanjian internasional baik berlandaskan pada pengertian teoritis maupun yuridis, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional dalam bentuk tertulis serta dalam pembuatannya tunduk pada rejim hukum internasional. Perjanjian internasional yang dapat dipandang sebagai sumber hukum internasional ialah yang disebut sebagai Law Making Treaty yakni perjanjian antar Negara yang disetujui oleh sejumlah Negara atas dasar kepentingan bersama. Contoh-contoh dalam hal ini adalah: Kongres Vienna 1814-1815; Konperensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907; Konperensi Perdamaian Paris 1919; dan Konperensi PBB tentang organisasi internasional San Fransisco 1945. Di Indonesia sebagai ius constitutum, terkait dengan pemberlakuan perjanjian internasional di wilayah Republik Indonesia, Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 24/2000 menegaskan: “…perjanjian internasional…disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden,…” Kata Undang-Undang dan Keputusan Presiden tersebut adalah Implementing Legislation atau tindakan legislative. Oleh karena itu agar hukum internasional dapat diterapkan dalam system peradilan di Indonesia, maka perjanjian tersebut harus “singgah” dulu ke DPR untuk disahkan dalam bentuk UU atau ke Presiden untuk dibuatkan peraturan presiden. b. Kebiasaan Internasional Kebiasaan internasional sudah lama dipandang sebagai sumber hukum internasional sebelum ditetapkan menjadi aturan statute dalam Kongres Vienna (1815), hak-hak khusus dan kekebalan diplomatic para diplomat, dijalankan berdasarkan kebiasaan internasional. Menurut pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional, yang dimaksud kebiasaan internasional ialah kebiasaan yang pada umumnya diterima sebagai hukum. Kasus The Paquette Habana and The Lola (1900) merupakan contoh dari kebiasaan internasional, untuk mengecualikan kapalkapal penangkap ikan pantai beserta muatan dan awak kapal sebagai tangkapan hadiah perang, dan Mahkamah Agung Amerika Serikat 10 memutuskan bahaw kebiasaan internasional tersebut diakui sebagai aturan dari hukum internasional. Pada era reformasi di Indonesia, terdapat suatu prinsip yang sangat ditekankan oleh Indonesia yaitu bahwa perjanjian internasional harus selaras denga hukum nasional dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang telah disepakati tetap dalam koridor hukum nasional. c. Asas-Asas Hukum Umum Asas-asas hukum umum ini mwiputi spectrum yang luas, yang juga meliputi asas-asas hukum perdata yang diterapkan oleh peradilan nasional yang kemudian dipergunakan untuk kasus-kasus hubungan internasional. Asas-asas hukum umum akan diterapkan oleh Mahkamah apabila sumbersumber utama hukum internasional tidak mencukupi untuk dijadikan landasan bagi putusan Mahkamah. d. Keputusan Pengadilan Pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional mengatakan bawa keputusan pengadilan merupakan sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum. Di samping itu pasal 59 dari Piagam mengatakan bawa keputusan Makamah hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan untuk suatu hal tertentu. Maksud dari pengaturan pasal 59 Piagam ini diperdebatkan oleh ahli-ahli hukum yang duduk dalam Panitia Penyusunan Piagam, dan kemudian mengatakan bahwa pasal 59 tidak semata-mata dimaksudkan untuk menyatakan prinsip res judicata, tetapi untuk menghilangkan system preseden yang mengikat. e. Tulisan Ahli-Ahli Ternama Tulisan ahli-ahli hukum ternama dari berbagai Negara disebut oleh pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan aturan hukum. Pendapat-pendapat dari ahliahli hukum internasional telah lama diakui oleh peradilan nasional seperti terlihat dalam kasus The Paquette Habanaa and The Lola. 11 D. Subyek Hukum Internasional Dalam arti yang sebenarnya subyek hukum internasional dalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasiona. Di samping itu dalam arti yang lebih luas dank arena itu lebih luwes (flexible) pengertian subyek hukum internasional adalah mencakup pula keadaan-keadaan dimana yang dimiliki itu hanya hak-hak dan kewajiban yang terbatas misalnya kewenangan untuk mengadakan penuntutan hak yang diberikan oelh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi. 20 Hukum internasional mengenal subyek-subyek sebagai berikut:21 1. Negara Negara adalah subyek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakekatnya adalah hukum antar negara. Beberapa penulis berpendapat bahwa negaralah yang menjadi subyek utama hukum internasional. Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subyek hukum internasional sesunggguhnya adalah Negara. Contohnya, apabila suatu Negara terikat pada suatu perjanjian misalnya Konvensi-konvensi Palang Merah (1949), di mana Konvensi itu memberikan hak dan kewajiban tertentu, maka hak dan kewajiban tersebut tidak diberikan oleh Konvensi secara langsung kepada perorangan (individu), akan tetapi harus melalui lebi dahulu negaranya yang menjadi peserta konvensi. 2. Tahta Suci Tahta suci merupakan suatu contoh dari pada suatu subyek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu di samping negara-negar. Hal ini merupkan peninggalan berkelanjutan sejak zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang Tahta suci mempunyai perwakilan-perwakilan 20 21 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, Hlm. 91-92 Idem, Hlm. 92-105 12 diplomatic di banyak ibu kota terpenting di dunia yang sejajar kedudukannya dengan wakil-wakil diplomatic negara-negara lain. 3. Palang Merah Internasional Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subyek hukum yang lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya itu diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan kemudia Konvensi-Konvensi perang Merah. Sekarang Palang Merah Internasional secata umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagi subyek hukum internasional. 4. Organisasi Internasional Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subyek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi tidak saja organisasi internasional public (Public International Organization) tetapi juga organisasi privat (Privat International Organization). Organisasi semacam itu meliputi juga organisasi regional dan organisasi sub-regional. Ada pula organisasi yang bersifat universal (organization of universal character).22 Organisasi internasional untuk membuat perjanjian internasional harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Harus jelas bahwa Organisasi Internasional itu didirikan oleh Negara dengan didasarkan pada perjanjian internasional; Organisasi internasional itu harus mempunyai suatu organ atau organ-organ yang mengidentifikasikan terpisah dari kemauan Negara-negara anggota secara individual; dan Organisasi itu harus bekerja sesuai dengan fungsi dari bidang Organisasi Internasional tersebut dalam mengadakan hubungan dengan pihak lain. Implikasi hukum dari keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional dalam globalisasi dibidang kontrak-kontrak bisnis internasional, 22 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, Hlm. 60 13 harus dapat member kesadaran hukum bagi pelaku bisnis bahwa asas kebebasan berkontrak tidaklah diartikan bahwa para pihak bebas membuat undang-undang bagi mereka, namun mereka hanya diberi kebebasan memilih hukumnya dimana mereka bias mempergunakan sebagai dasar dari kontrak yang dubuatnya. 5. Orang Perseorangan (Individu) Dalam arti yang terbatas orang perseorangan sudah agak lama dapat dianggap sebagai subyek hukum internasional. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tauhun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasalpasal yang memnugkinkan orang perseorangan mengajukan perkara kehadapan mahkamah-mahkamah arbitrase internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bias menjadi pihak dihadapan suatu peradilan internasional. 6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent) Pihak-pihak yang bersengketa yang telah mencapai tingkat perang dapat memperoleh kedudukan sebagai pihak dalam sengketa perang (belligerent) dan kepada mereka dapat diberikan hak-hak dan kewajiban Negara dalam keadaan perang. Kepada pihak dalam sengketa tersebut dapat pula diberikan kedudukan sebagai subjek hukum internasional. Pihak-pihak yang bersengketa ini biasanya mewakili kekuatan-keuatan politik yang ditujukan untuk kemerdekaan dan pemisahan. Timbulnya suatu pihak berperang (belligerent) dalam suatu negara didahului dengan adanya insurrection (pemberontakan dengan scoup yang kecil) , yang kemudian meluas menjadi rebellion (rebelli) selanjutnya rebelli ini untuk dapat berubah statusnya menjadi pihak berperang harus memenuhi syarat-syarat (obyektif).23 7. Perusahaan sebagai Badan Hukum Otorita 23 Abdul Muthalib, Op.cit,, hlm. 44-45 14 perusahaan sebagai badan hukum internasional Otorita merupakan subjek hukum internasional. Sebab ia memiliki status hukum (pribadi hukum Internasional), memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan didalam wilayah negara-negara peserta otorita, memiliki kapasitas membuat kontrakkontrak dan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara dan organisasiorganisasi internasional, serta ia dapat menjadi pihak dalam proses hukum. Mengenai perusahaan multinasional, pada hakikatnya perusahaan multinasional itu merupakan badan hukum (nasional) yang terdaftar di suatu negara, maka sebenarnya perusahaan multinasional hanya merupakan subyek hukum nasional, dan bukan subyek hukum internasional.24 Maka suatu perusahaan merupakan badan hukum otorita internasional apabila Perusahaan bertindak sesuai dengan konvensi ini dan ketentuanketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur Otorita maupun kebijaksanaankiebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Majelis dan tunduk pada pengarahan dan pengawasan dewan. Dimana suatu Perusahaan otorita memiliki kantor pusat yang berada ditempat kedudukan Otorita. 24 Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional, Lampung: Percetakan Unila, 2010, hlm.32 15 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pertama, dalam sejarah perkembangan hukum internasional, Berkembangnya system Negara kota di Yunani serta peranan dari hukum Romawi di Eropa pada abad keenam belas telah memberikan dorongan yang penting terhadap perkembangan hukum internasional. Kedua, Terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa untuk menerangkan dasar pengikat berlakunya hukum internasional di lingkungan masyarakat dunia. Di antara beberapa teori yang ada adalah teori hukum alam dimana negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain , karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam; teori voluntaris diaman hukum internasional ini berlaku karena danya kehendak dari negara yang bersangkutan untuk tunduk pada hukum internasional tersebut; teori obyektifis dimana dasar pengikat hukum internasional adalah norma hukum yang lebih tinggi yang didasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya hingga sampai ke tingkat norma/ kaidah dasar yang disebut grundnorm; dan yang terakhir ialah teori kenyataan social dimana dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyatan social bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat. Ketiga, Sumber materil hukum internasional terdiri dari Kebiasaan, Traktattraktat, Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrasi, Karya-karya hukum, Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga internaisonal.Sedangkan sumber formil hukum internasional terdiri dari Perjanian internsional, Kebiasaan internasional, Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai Negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaidah hukum. 16 Dan terakhir yang Keempat, Subyek dari hukum internasional tidak hanya Negara melainkan juga tahta suci (Vatican), palang merah internasional, organisasi internasional, orang perorangan (individu), dan belligerent. B. Saran Hendaknya hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai suatu pernyataan dari persetujuan antara negara-negara yang mengikatkan dirinya di dalam suatu perjanjian dapat ditaati dan hendaknya hukum internasional dapat terus meningkatkan perbaikan dalam pembentukan hukum yang mengatur hubungan yang melewati batas-batas antara Negara dengan Negara, Negara dengan subjek hukum internasional dan subjek hukum internasional satu sama laiinya. 17 DAFTAR PUSTAKA Anwar, Chairul. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta: Djambatan. 1988. G Starke, J. Pengantar Hukum Internasional Jilid I. Jakarta: Sinar Grafika. 1992. Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta. 1997. Muthalib Tahar, Abdul .Hukum Internasional. Lampung: Percetakan Unila. 2010. ____. Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2012. Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni. 2005. Jawahir, Tontowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung :Refika Aditama. 2006. Kusumaatmadja, Mochtar. Indonesia Dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini. Jakarta: Departemen Luar Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri. 1977. M. M Wallace. Rebecca. Hukum Internasional. Semarang: Sweet & Maxwell. 1986. 18