Uploaded by User33628

Chapter III-V

advertisement
68
BAB III
TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM YANG
MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM PEMBUATAN AKTA
A. Tinjauan Tentang Notaris
1.
Pengertian Notaris
Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang
dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya
ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan
kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan
oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya
di tengah masyarakat.128 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai
Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad
ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.129
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia,
menyebutkan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundangundangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta
dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan
128
129
G.H.S Lumban Tobing, (Notaris Reglement), 1999, Op.cit., hal. 41.
Ibid., hal. 15.
68
Universitas Sumatera Utara
69
dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli dan
minutanya atau mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan
benar”.130
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia131, “notaris mempunyai arti orang
yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan
berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya”.
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini”. Sementara dalam penjelasan atas UUJN menyatakan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya”.
Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan
wewenang yang dijalankan Notaris. Artinya Notaris memiliki tugas sebagai pejabat
umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan
lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.132
Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) 1860 ditegaskan bahwa pekerjaan
“Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat
130
Ibid., hal. 20.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta: Balai Pustaka,1990), hal. 618.
132
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op.cit., hal. 14.
131
Universitas Sumatera Utara
70
umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang
memberi wewenang serupa kepada pejabat lain”.133
Menurut G.H.S Lumban Tobing:
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan
umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain”.134
Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan
jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak
memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai
panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia
demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat
manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.135
2.
Notaris sebagai Pejabat Umum
Istilah Pejabat Umum, merupakan terjemahan dari istilah Openbare
Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 1868
KUHPerdata. Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
133
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2003), hal. 87.
134
G. H. S Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 31.
135
Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Medan: Upgrading dan Refreshing Course
Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
71
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.
Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat”.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan:
“Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Menurut kamus hukum, salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat.
Demikian dengan Openbare Ambtenaren adalah “pejabat yang mempunyai tugas
yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren
diartikan sebagai Pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang
melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris”.136
Berdasarkan ketentuan di atas, Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat
umum, tapi kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum, tidak hanya untuk Notaris
saja, karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi
kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai
Pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada Notaris, bertolak belakang dengan
136
Habib Adjie, 2014, Cetakan IV, Op. Cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
72
makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta
tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah
ditentukan, dan Pejabat Lelang untuk lelang saja.
Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara
dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai
Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta merupakan
formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam
akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris, dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam UUJN.137
3.
Tugas/ Kewenangan Notaris
Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur jabatan tersebut. Wewenang Notaris memiliki batasan sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan.
Setiap perbuatan pemerintah disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan
yang sah. Tanpa ada kewenangan yang sah seorang Pejabat ataupun Badan Tata
Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena
itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap Pejabat ataupun bagi setiap
Badan.138
137
138
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN.
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004),
hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
73
Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi
dan mandat.139 Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundangundangan
dan
perundang-undanganlah
yang
menciptakan
suatu
wewenang
pemerintahan yang baru. Kewenangan secara delegasi merupakan pemindahan/
pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
atau aturan hukum. Kewenangan mandat sebenarnya bukan pengalihan atau
pemindahan wewenang tapi karena yang berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai Pejabat Umum
memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan
diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal
dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.140Jadi
Notaris memiliki legalitas untuk melakukan tindakan hukum dalam membuat akta
otentik.
Berkaitan dengan tugas seorang notaris dalam pembuatan akta, A.W. Voors
membagi pekerjaan notaris menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.
Pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut pekerjaan
legal, maksudnya bahwa tugas notaris sebagai pejabat untuk melaksanakan
sebagian kekuasaan pemerintah, antara lain memberi kepastian tanggal, membuat
grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, memberi suatu keterangan dalam
suatu akta yang menggantikan tanda tangan, dan memberi kepastian mengenai
tanda tangan seseorang.
139
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005), hal. 139-140.
140
Habib Adjie, 2014, Cetakan ke IV, Op. cit., hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
74
2.
Pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang dipercayakan padanya dalam jabatan
itu yaitu menjamin dan menjaga perlindungan kepastian hukum bahwa setiap
warga mempunyai hak dan kewajiban yang tidak diperbolehkan secara sembrono
dikurangi atau disingkirkan begitu saja, baik karena yang berkepentingan masih
di bawah umur ataupun mengidap penyakit ingatan. 141
Sebagai
pejabat
umum,
dalam
menjalankan
tugas
yang
menjadi
kewenangannya notaris tidak boleh memihak, dan tidak boleh atau bukan menjadi
salah satu pihak. Itulah alasan mengapa dalam menjalankan tugas dan jabatannya
sebagai pejabat umum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, notaris
tidak diperbolehkan sebagai pihak yang berkepentingan pada akta yang dibuat oleh
atau dihadapannya.142
Seorang notaris tidak diperkenankan untuk menolak memberikan jasanya
kepada orang yang berkepentingan yang membutuhkan jasanya, namun apabila
notaris berpendapat bahwa terdapat alasan yang mendasar untuk menolaknya maka ia
wajib memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada pihak atau pihakpihak yang meminta jasanya atau penolakan tersebut harus merupakan penolakan
dalam arti hukum, artinya ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas
sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.143
Kewenangan Notaris dalam pembuatan akta, tecantum dalam ketentuan Pasal
15 UUJN, dimana kewenangan Notaris dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Kewenangan Umum Notaris
141
Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Houve, 2000), hal. 452.
142
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), hal. 87.
143
Ibid., hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
75
Kewenangan umum Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang
menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta secara
umum, namun dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada Pejabat lain yang
ditetapkan oleh undang-undang, menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang
membuat akta otentikmengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan, mengenai
subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta dibuat atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan.
2.
Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu
tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, seperti :
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus;
2. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku
khusus;
3. Membuat copy dan asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan ke dalam surat yang
bersangkutan;
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah
lelang.
Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yang membuat akta dalam
bentuk In Original, yaitu:
1. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pesniun;
2. Penawaran pembayaran tunai
3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
Universitas Sumatera Utara
76
4. Akta kuasa;
5. Keterangan kepemilikan;
6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut
dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulisan atau
kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani, dengan
cara membuat Berita Acara Pembetulan dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan
tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.
3.
Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tercantum dalam Pasal
15 ayat (3) UUJN. Dimana kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
merupakan kewenangan yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Dalam arti bahwa, jika Notaris melakukan tindakan
di luar wewenang yang telah ditentukan, maka Notaris telah melakukan tindakan di
luar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum
atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang merasa
dirugikan oleh tindakan Notaris diluar wewenang tersebut, maka Notaris dapat
digugat secara Perdata ke Pengadilan Negeri.144
144
Setiap orang yang datang menghadap Notaris sudah tentu berkeinginan agar perbuatan
atau tindakan hukumnya yang diterangkan dihadapan atau oleh Notaris dibuat dalam bentuk akta
Notaris tapi dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, kepada mereka, dibuatkan akta
dibawah tangan yang kemudian dilegalisasi atau dibukukan oleh Notaris sendiri. Tindakan Notaris
tersebut sebenanrnya tidak dapat dibenarkan untuk membuat surat semacam itu, tapi yang dibenarkan
adalah melegalisasi atau membukukan surat tersebut, agar sesuai dengan kewenangan Notaris.
Tindakan tersebut tidak perlu dilakukan oleh Notaris, kalau ingin dibuat dengan akta dibawah tangan
Universitas Sumatera Utara
77
4.
Kewajiban dan Larangan Notaris
Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban-
kewajiban sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU Perubahan atas
UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama, dan tidak memihak. Notaris
perlu memperhatikan apa yang disebut perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur
yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral yang mantap, harus jujur
bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya
dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.145
Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh
karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang
kepercayaan
Notaris
berkewajiban
untuk
merahasiakan
semua
apa
yang
diberitahukan kepadanya selaku Notaris.146
Notaris dalam menjalankan kewajibannya menganut beberapa asas yang dapat
dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Asas atau prinsip
merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk
menyadarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 147
Asas-asas dalam pelaksaan tugas Jabatan Notaris yang baik adalah sebagai
berikut:148
dapat dibuat sendori oleh yang bersangkutan saja, bukan dibuat oleh Notaris. (Habib Adjie, 2014, Op.
Cit, hal. 82.)
145
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hal. 93.
146
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 117.
147
Mahadi, Falsafah Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
78
a. Asas persamaan
Sesuai dengan perkembangan zaman, institusi Notaris telah menjadi bagian
dari masyarakat Indonesia dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan
Institusi Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris
tidak boleh membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan
sosial ekonomi atau alasan lainnya. Hanya alasan hukum yang dapat dijadikan
dasar bahwa Notaris tidak dapat memberikan jasa kepada pihak yang
menghadap.
b. Asas kepercayaan
Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, yaitu Notaris
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta
sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain
(Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN) (Pasal 4 ayat (2) UUJN).
c. Asas kepastian hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara
normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang
akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Akta yang dibuat oleh
Notaris harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yang apabila terjadi
permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman bagi para pihak.
148
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 82-87.
Universitas Sumatera Utara
79
d. Asas kecermatan
Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan
keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar
untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari
Pasal 16 ayat (1) huruf a antara lain:
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya
yang diperlihatkan kepada Notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab).
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak
para pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan
untuk minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris.
e. Asas pemberian alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus sesuai dengan
alasan serta fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada
pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/ penghadap..
f. Asas Larangan penyalahgunaan wewenang
Batas kewenangan Notaris dituangkan dalam Pasal 15 UUJN, apabila Notaris
melakukan tindakan di luar kewenangannya maka tindakan tersebut dapat
disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Jika tindakan seperti itu
merugikan para pihak, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntutu Notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai suatu
Universitas Sumatera Utara
80
tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita
kerugian dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris.
g. Asas Larangan bertindak sewenang-wenang
Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang
diperlihatkan kepadanya, dalam hal ini Notaris mempunyai peran untuk
menentukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan dalam bentuk akta atau
tidak, dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang
harus dijelaskan kepada para penghadap.
h. Asas Proposionalitas
Berdasarkan Pasal 16 angka (1) huruf a UUJN, Notaris wajib menjaga
kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam
menjalankan tugas jabatannya, wajib mengutamakan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban para penghadap.
i. Asas Profesionalitas
Dalam menjalankan tugas jabatannya mengutamakan keahlian (keilmuan)
berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal tersebut diwujudkan dalam
melayani masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Asas-asas tersebut sangat penting bagi seorang Notaris agar Notaris dapat
menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak bertentangan dengan aturan hukum
yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
81
Notaris merupakan salah satu bagian dari masyarakat Indonesia, sehingga
sesuai dengan asas persamaan maka Notaris tidak boleh membeda-bedakan
masyarakat satu dengan yang lain dalam memberikan pelayanan baik dilihat dari
sosial ekonomi maupun alasan lainnya. Selain itu, berdasarkan asas kepercayaan
maka seorang Notaris merupakan pihak yang sangat dipercaya oleh masyarakat yang
dalam hal ini adalah para pihak yang menghadap Notaris.
Salah satu bentuk jabatan kepercayaan yaitu dengan melihat Notaris yang
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tentang akta yang
dibuatnya sesuai dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan sebelum diangkat
sebagai Notaris kecuali undang-undang menentukan lain. Dengan demikian,
batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk
membuka rahasia isi akta dan keterangan ataupun pernyataan yang diketahui Notaris
yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan isi
Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yaitu: “merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam membuat
akta otentik tentunya memiliki kewajiban yang harus dijalankan dan tidak boleh
bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Kewajiban
seorang Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut:
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
Universitas Sumatera Utara
82
b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari
satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya
pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan Akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementrian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta
wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris;
n. Menerima magang calon Notaris.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, “Notaris bersumpah atau berjanji untuk
merahasiakan isi akta dan keterangan yang ia peroleh dalam pelaksanaan jabatan
Notaris”. Secara umum Notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala
keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat dihadapannya, dengan batasan
bahwa hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan seorang Notaris untuk
Universitas Sumatera Utara
83
membuka rahasia tersebut. Hal ini dinamakan sebagai kewajiban ingkar
(verschoningsplicht). Kewajiban ingkar untuk Notaris melekat pada tugas jabatan
Notaris. Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris
itu sendiri melainkan kepentingan para pihak yang menghadap. Hal ini disebabkan
para pihak telah mempercayakan sepenuhnya kepada Notaris tersebut.
Adapun kewajiban-kewajiban Notaris yang harus dirahasiakan berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN meliputi:
keseluruhan isi akta yang terdiri dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta-akta
yang dibuat Notaris sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 UUJN, serta keteranganketerangan dan serangkaian fakta yang diberitahukan oleh klien kepada Notaris baik
yang tercantum dalam akta maupun yang tidak tercantum di dalam akta dalam proses
pembuatan akta.149
Selain kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang Notaris, terdapat pula
larangan bagi seorang Notaris. Larangan bagi seorang Notaris diatur dalam Pasal 17
ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut:
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturutturut
tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
149
Eis Fitriyana Mahmud, “Batas-batas Kewajiban Ingkar Notaris dalam Penggunaan Hak
Ingkar pada Proses Peradilan Pidana”, Jurnal, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm.18.
Universitas Sumatera Utara
84
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat
Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
Apabila seorang Notaris melanggar larangan yang tersebut dalam Pasal 17 ayat (1)
UUJN tersebut diatas maka Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat, atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, “Notaris dilarang untuk membuat akta dalam suatu keadaan tertentu
seperti membuat akta untuk diri sendiri maupun keluarga sendiri”. Apabila seorang
Notaris melanggar Pasal 52 ayat (1) tersebut diatas berdasarkan Pasal 52 ayat (3)
maka Notaris tersebut dikenakan sanksi perdata yaitu dengan “membayar biaya, ganti
rugi dan bunga kepada para penghadap dan konsekuensinya adalah akta yang dibuat
hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan”.
Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang dalam membuat akta karena
alasan-alasan yang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris, seperti150:
1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN).
2. Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UUJN).
150
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Cetakan Kesatu, Op. Cit, hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
85
3. Diluar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 ayat (2) UUJN.
4. Selama Notaris cuti (Pasal 25 UUJN).
B. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta
1.
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Istilah “perbuatan melawan hukum” ini, dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
“tort”. Kata tort itu sebenarnya hanya berarti “salah” (wrong). Akan tetapi khususnya
dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti
kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. 151 Jadi serupa dengan
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatge daad) dalam sistem hukum
Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari
kata latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong”
berasal dari kata “wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu sistem hukum yang
kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat
tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa latin, yaitu: Juris praecepta sunt
haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (Semboyan hukum
adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain
haknya).152
151
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 2.
152
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
86
Menurut pasal 1365 KUH Perdata, maka yang disebut dengan perbuatan
melawan hukum adalah :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Rumusan perbuatan melawan hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan keguncangan dalam kehidupan
bermasyarakat dan keguncangan ini tidak hanya terdapat dalam kehidupan
bermasyarakat apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat
dilanggar (langsung). Oleh karena itu, tergantung dari nilai hebatnya
keguncangan itu. Meskipun secara langsung hanya mengenai peraturan
kesusilaan, keagamaan atau sopan santun, tetapi harus dicegah keras, seperti
mencegah suatu perbuatan yang langsung melawan hukum”.153
Menurut Ter Haar, Pengertian Perbuatan Melawan Hukum adalah: “tiap-tiap
gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan
kerohaniaan dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang”. 154
Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan
melawan hukum adalah155:
a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh
hukum.
b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah,
perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia
mempunyai hak untuk melakukannya.
153
http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-perbuatan-melawan-hukum-menurutpakar-hukum.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2016.
154
Ibid.,
155
Munir Fuady, Op. cit., hal. 5
Universitas Sumatera Utara
87
c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan
dimana
pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Beberapa definisi lain terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai
berikut156:
a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban
kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk
meminta ganti rugi.
b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum,
dimana perbuatan atau tidak berbuat sesuatu baik merupakan suatu perbuatan
biasa maupun bisa juga merupakan suatu keelakaan.
c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban
mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak
memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti rugi kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban
lainnya.
e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih
tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan
hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu
ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
2.
Unsur- Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Apabila mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan
hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut157:
a. Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si
pelakunya. Perbuatan tersebut dapat berarti berbuat sesuatu (aktif) maupun
tidak berbuat sesuatu (pasif).
156
157
Ibid., hal. 3
Ibid., hal. 10
Universitas Sumatera Utara
88
b. Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum, unsur melawan
hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni dalam hal:
perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku, melanggar hak orang
lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan,
perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Pasal 1365 mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu
perbuatan melawan hukum. Suatu tindakan diangap oleh hukum mengandung
unsur kesalahan sehinga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum
jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya unsur kesengajaan, atau
2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.
d. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dikenakan. Berbeda dengan
kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka
kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil,
Universitas Sumatera Utara
89
yuriprudensi juga mengakui konsep immateril, yang juga akan dinilai dengan
uang.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Kerugian yang dialami oleh si korban haruslah memiliki hubungan kausal
dengan perbuatan si pelaku. Seandainya tidak ada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh si pelaku maka tidak ada kerugian yang dialami si
korban.
3.
Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta
Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang menimbulkan
kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata. Bentuk tanggung gugat yang dianut oleh Pasal 1365 KUHPerdata ini
adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based fault). Hal ini dilihat
dalam ketentuan pasal tersebut yang mensyaratkan adanya kesalahan pada pelaku
untuk sampai kepada keputusan apakah perbuatan seseorang itu merupakan perbuatan
melawan hukum. Selain itu, unsur kesalahan harus dibuktikan oleh pihak yang
menderita kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata dan 163
HIR.158
Perbuatan melawan hukum, yang dimaksud dalam perbuatan melawan hukum
oleh Notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung melawan hukum, melainkan juga
perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain, dimana yang dimaksud
158
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung:
Mandar Maju, 2011), hal. 179.
Universitas Sumatera Utara
90
peraturan lain adalah peraturan yang berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan
dan sopan santun dalam masyarakat yang dilanggar.159
Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
mengganti kerugian tersebut. Apabila Notaris melakukan suatu pembuatan akta atas
perintah dan permintaan dari para pihak dan syarat-syarat formil yang ditentukan oleh
undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris, maka Notaris
tidak bertanggungjawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya
praktis baru ada arti apabila melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh
hukum. Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum
(onrechmatige daad)160.
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah
satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut161:
1.
2.
3.
4.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan.
Perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehatihatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat.
Untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak disyaratkan adanya
keempat kriteria itu secara kumulatif, namun dipenuhinya salah satu kriteria secara
159
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum
Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 6-7.
160
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung,
1984), hal. 80.
161
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
91
alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya mengenai penjelasan kriteria perbuatan melawan hukum tersebut sebagai
berikut:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht)
Kewajiban hukum bagi Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN
adalah membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan /atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta. Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, maka
terhadap akta otentik diberikan kekuatan pembuktian, sehingga mewujudkan suatu
akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Dalam pelaksanaan wewenang tersebut berkaitan dengan kewajiban bagi
Notaris untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna.
Oleh karena itu, seorang Notaris harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
UUJN, ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Kode Etik Notaris Indonesia,
maupun ketentuan-ketentuan lainnya. Dengan dibuatnya akta yang cacat hukum, yang
kemudian dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formal akta otentik tidak
terpenuhi, sehingga menjadi akta di bawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau
menjadi batal demi hukum, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan
dengan kewajiban hukum bagi notaris.162
2. Melanggar hak subjektif orang lain
162
Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 180-181.
Universitas Sumatera Utara
92
Suatu perbuatan atau tidak berbuat merupakan perbuatan melanggar hukum
apabila terjadi pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang. Yang dimaksud dengan
hak subjektif adalah suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum,
kewenagan itu diberikan kepadanya untuk mempertahankan kepentingannya.
Hak-hak yang diakui sebagai hak subjektif, menurut yurisprudensi:
a. hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya (eigendom, erfpacht, hak
oktrooi, dan lain-lain).
b. hak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi dan integritas badaniah,
kehormatan, serta nama baik dan sebagainya).
c. hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seorang
penyewa.163
Beberapa contoh dibawah ini dikatakan sebagai pelanggaran hak orang lain:
1. seseorang melakukan perbuatan yang semata-mata menjadi wewenang
orang lain (pelanggaran atas hak eksklusif suatu hak).
2. Seseorang melakukan perbuatan yang menghalangi, atau mempersulit
orang lain yang berhak untuk melaksanakan hak-haknya.
Bentuk kesalahan yang kedua inilah yang paling tepat untuk diterapkan
terhadap kasus pembuatan akta notaris, sebab perbuatan Notaris yang bersangkutan
telah menghalangi atau mempersulit klien atau orang yang berhak atas akta untuk
melaksanakan haknya. Hak klien yang dijamin undang-undang selaku yang berhak
163
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2008),
hal. 260-261.
Universitas Sumatera Utara
93
atas akta adalah hak untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya
yang sah, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat meneguhkan atau mendalilkan
haknya, bahkan membantah hak orang lain. Kemudian, ternyata akta tersebut
dibatalkan dengan putusan pengadilan, sehingga klien Notaris tersebut tidak
mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat mempergunakan akta tersebut
sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta otentik, sehingga klien yang
seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat melaksanakan haknya.
3. Melanggar kaidah tata susila
Pelanggaran terhadap kaidah tata susila merupakan kriteria ketiga perbuatan
melawan hukum. Hal ini mencerminkan kesadaran setidak-tidaknya dalam hukum
perdata, bahwa pengertian hukum dan undang-undang tidak identik, dan untuk
menghindari tanggung gugat keperdataan tidak cukup dengan mematuhi aturanaturan tingkah laku dalam undang-undang saja, melainkan harus pula dipatuhi normanorma sopan santun yang tidak tertulis.
Pasal 1335 KUHPerdata dan 1337 KUHPerdata menentukan bahwa:
“perjanjian yang bertentangan dengan kaidah tata susila tidak diperkenankan dan
tidak memiliki kekuatan hukum, demikian pula ajaran tentang perbuatan melawan
hukum menentukan bahwa suatu perbuatan ataupun tidak berbuat yang bertentangan
dengan kesusilaan adalah suatu perbuatan melawan hukum”. Kaidah tata susila
sebagai suatu pengertian hukum dimaksudkan kaidah-kaidah moral, sejauh ini
diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis. Namun dasar putusan
Universitas Sumatera Utara
94
hakim perdata untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat melawan hukum, jarang
yang mendasarkan pertimbangannya pada pelanggaran terhadap kaidah tata susila.164
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati
Kriteria keempat perbuatan melawan hukum ini berbunyi sebagai berikut:
bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat atau
terhadap barang milik orang lain, kriteria ini bersumber pada hukum tidak tertulis.
Kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati mewajibkan setiap orang dalam
memenuhi kepentingannya memperhatikan kepentingan orang lain. Pemenuhan
kepentingan seseorang haruslah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga tidak
berbahaya bagi kepentingan warga masyarakat yang lain. Dalam melaksanakan
kepentingan tersebut seseorang haruslah memperhatikan norma-norma kepatutan,
ketelitian, serta sikap hati-hati, sehingga tindakannya tidak boleh membahayakan atau
merugikan orang lain. Dalam hal ia bertindak tanpa memperhatikan norma-norma
tersebut dan tindakannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka dapat
dikatakan bahwa orang itu melakukan perbuatan melawan hukum. Kepatutan,
ketelitian, serta sikap hati-hati yang dimaksud disini bertujuan agar sedapat mungkin
Notaris memberikan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi kliennya melalui
nasihat dan penyuluhan hukumnya. Disamping menghasilkan suatu akta otentik yang
sah menurut hukum, sehingga dapat dipergunakan di kemudian hari oleh kliennya
sebagai bukti atas haknya.165
164
165
Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 183.
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
95
Sikap kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati ini dapat diwujudkan dalam
bentuk memberikan bantuan atau nasihat hukumnya. Notaris diwajibkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan dari sisi yuridis mengenai permasalahan yang
dihadapi oleh klien, tidak terkecuali konsekuensi-konsekuensi hukum apa yang
mungkin terjadi secara yuridis dapat diprediksikan. Sehingga sedapat mungkin upaya
ini dapat menunjukkan adanya langkah antisipatif terhadap akta otentik yang akan
dihasilkannya merupakan akta otentik yang sah dan dapat berperan sebagai alat bukti
yang sempurna.166
Dalam kasus pembuatan akta yang cacat hukum, dalam hal ini kewajiban
Notaris untuk menjelaskan dan menunjukkan kelemahan-kelemahan atau kekurangan
yang terdapat dalam suatu akta otentik tidak dilakukan, sehingga tindakan notaris
tersebut membahayakan atau merugikan orang lain. Dan apabila tindakan tersebut
merugikan orang lain, maka dapatlah dikatakan bahwa Notaris tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum.167
Disamping persyaratan-persyaratan di atas, Achmad Sanusi mengemukakan
syarat-syarat untuk menjalankan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum yaitu:
Causalitas antara perbuatan melawan hukum dengan timbulnya kerugian, dalam
pembuktiannya terdapat teori atau ajaran adequate yang dikemukakan oleh J. Von
Kries, yaitu apabila kerugian tersebut adalah menurut kebiasaan-kebiasaan dalam
pengalaman merupakan suatu akibat langsung dari perbuatan melawan hukum. 168
166
Ibid, hal. 184
Ibid.,
168
Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia,
(Bandung: Tarsito,1991), hal. 189.
167
Universitas Sumatera Utara
96
Lebih lanjut Moeljatno mengartikan teori J. Von Kries sebagai syarat yang
pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal dapat menimbulkan akibat
atau kejadian tersebut, dimana pengertian normal ini diartikan:
a. tergantung subjek tentang pandangannya mengenai bagaimanakah yang
dinamakan moral.
b. sepanjang
terdakwa
secara
persoonlijk
mengetahui
atau
seharusnya
mengetahui keadaan sekitar akibat.169
Pada intinya prinsip dari syarat causalitas, bahwa secara normal kerugian yang
diderita para pihak adalah akibat dari perbuatan notaris tersebut, sehingga dapat
dikatakan bahwa perbuatan notaris yang bersangkutan melawan hukum. Secara
normal, perbuatan notaris yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya kerugian,
karena notaris dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan sekitar.
Seorang Notaris yang membuat akta cacat hukum secara normal atas perbuatannya
tersebut telah menimbulkan kerugian bagi kliennya mengingat seorang notaris
mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa pembuatan akta yang cacat hukum
akan dibatalkan oleh pengadilan dan seharusnya mengetahui juga konsekuensi dari
pembuatan akta tersebut. Kalimat mengetahui atau seharusnya mengetahui
ditekankan, dengan alasan bahwa seorang Notaris tidak dapat mengatakan, bahwa
dirinya tidak mengetahui adanya larangan tersebut berikut konsekuensinya, asal
pembuatan akta tersebut disepakati para pihak, sebagai pembelaan diri. Seorang
169
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
97
Notaris dituntut untuk harus mengetahui mengingat seorang Notaris sebelum
memasuki dunia praktek telah dibekali kemampuan praktis dan teoritis.170
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan
secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang
timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang, sehingga
menimbulkan suatu pelanggaran. Demikian juga dalam pelanggaran terhadap UUJN
yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta, yaitu tidak terpenuhinya
ketentuan sebagai berikut:
1. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pelanggaran yang dilakukan Notaris yaitu Notaris tidak membacakan akta di
hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi
dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan
Notaris.171Pelanggaran seperti ini termasuk ke dalam cacat bentuk akta
Notaris, karena pembacaan akta oleh Notaris di hadapan para pihak dan saksi
merupakan suatu kewajiban dengan kehendak yang bersangkutan, dan telah
dilakukan pembacaan tersebut wajib dicantumkan pada bagian akhir akta
Notaris.172
170
Sjaifurrachman, Op.Cit., hal. 185.
Penandatanganan para pihak, saksi dan Notaris merupakan suatu kewajiban. Khusus untuk
para pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena cacat fisik tangannya atau tidak
dapat membaca-menulis, maka Notaris wajib menuliskan pada akhir akta keadaan tersebut.
172
Habib Adjie, 2011, Op. Cit., hal. 83
171
Universitas Sumatera Utara
98
2. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada
Pasal 39 UUJN dan Pasal 40 UUJN
Melanggar Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN mengenai tidak dipenuhinya
ketentuan dalam Pasal 39 mengenai kecakapan penghadap melakukan
perbuatan
melawan
hukum,
penghadap
dikenal
oleh
Notaris
atau
diperkenalkan kepadanya 2 (dua) orang saksi. Pasal 40 mengenai akta
dibacakan Notaris dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi yang cakap melakukan
perbuatan hukum.
Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN berkaitan dengan aspek subjektif
sahnya akta Notaris, yaitu cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Pelanggaran terhadap Pasal ini termasuk ke dalam tidak mampunya
pejabat umum yang bersangkutan untuk memahami batasan umum dewasa
untuk melakukan suatu perbuatan hukum.173
Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal
dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, akta Notaris mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Selain itu terdapat juga
pelanggaran yang dilakukan Notaris sehingga akta Notaris yang batal demi hukum
yaitu sebagai berikut:
1. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf l
Melanggar kewajiban Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf l, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar
173
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
99
Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
(termasuk memberitahukan bilamana nihil).174
2. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf k
Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k,
yaitu tidak mempunyai cap/ stempel yang memuat lambang Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukannya.
3. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 44 UUJN dirumuskan bahwa:
a. Penandatanganan akta dilakukan oleh setiap penghadap, saksi-saksi dan
Notaris, kecuali ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangannya dengan menyebutkan alasannya, yang dinyatakan secara tegas
dalam akta.
b. Jika akta dibuat dalam bahasa Indonesia yang tidak dimengerti oleh
penghadap, Notaris wajib menterjemahkan atau menjelaskan ke dalam
bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan harus dinyatakan secara tegas
pada akhir akta atau jika Notaris tidak menterjemahkan dan akta
diterjemahkan
dan
diterjemahkan
oleh
penerjemah,
maka
akta
174
Pengiriman atau pelaporan ke Daftar Pusat Wasiat (DPW) ini berlaku untuk semua warga
negara Indonesia yang membuat wasiat dengan bentuk apapun dengan akta Notaris. Tujuan
pengiriman atau pelaporan tersebut untuk melindungi kehendak terakhir hak pemberi wasiat dan calon
penerima wasiat. Sampai saat ini DPW hanya ada satu yaitu di Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) Republik Indonesia. Atas permintaan para pihak untuk mengetahui ada atau tidak ada
wasiat. DPW masih melakukannya secara manual yang memerlukan waktu lama. Untuk
mempersingkat waktu dan mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemerintah dalam
hal ini Departemen Hukum dan HAM untuk segera melakukam perubahan dengan cara membuat
permintaan ada atau tidak ada wasiat secara online. (Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 97.)
Universitas Sumatera Utara
100
ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi, Notaris dan penerjemah serta
harus dinyatakan secara tegas dalam akhir akta.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 UUJN mengakibatkan aktanya batal
demi hukum, sebab pasal 44 UUJN mengatur tentang penandatanganan dan
bahasa dalam akta. Jika akta tidak ditandatangani atau alasan tidak
ditandatangani dan penyebutan pada akhir akta tidak dilakukan dianggap tidak
ada tanda tangan dan tidak mengikat. Bahasa dalam akta harus dipahami oleh
penghadap, saksi-saksi dan Notaris.175
4. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 48 UUJN
Ketentuan Pasal 48 UUJN pada dasarnya mengatur mengenai larangan
perubahan isi akta dengan cara penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau
penghapusan dengan penggantian, kecuali perubahan berupa penambahan,
pencoretan dan penggantian yang diparaf atau diberi tanda pengesahan lain
oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris. Paraf berlaku sebagai tanda tangan,
sehingga perubahan isi akta tanpa paraf atau tanda pengesahan lain,
mengakibatkan perubahan tersebut tidak mengikat penghadap atau perubahan
dianggap tidak ada atau batal demi hukum.176
5. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 49 UUJN
Ketentuan Pasal 49 UUJN pada dasarnya mengatur mengenai tempat
perubahan isi akta dibuat di sisi kiri akta atau pada akhir akta sebelum
175
176
Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 148-149.
Ibid., hal 149.
Universitas Sumatera Utara
101
penutup akta atau dengan menyisipkan lembar tambahan dan semuanya harus
dilakukan dengan menunjuk bagian yang diubah. Penambahan isi akta dalam
minuta akta yang akan ditandatangani dalam praktek kenotariatan disebut
renvooi. Seringkali pada saat akta dibacakan atau sedang dibacakan perlu
diadakan perubahan, dan perubahan ini dapat disebabkan atas usul para
penghadap atau disebabkan atas usul para penghadap atau disebabkan salah
ketik yang diketahui oleh Notaris.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 49 dalam bentuk perubahan yang
dilakukan tanpa menunjuk bagian yang dirubah mengakibatkan perubahan
tersebut batal.177
6. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 50 UUJN
Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN , yaitu tidak melakukan pencoretan,
pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal
tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan
yang tercantum semula. Jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret
dinyatakan pada sisi kiri akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta
mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.178
7. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 51 UUJN
Pelanggaran ketentuan Pasal 51 UUJN yaitu tidak membetulkan kesalahan
tulis dan/ atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah
177
178
Ibid., hal 150.
Habib Adjie, 2011, Op. Cit., hal. 79
Universitas Sumatera Utara
102
ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut
dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang
tersebut dalam akta.179
Ketentuan tersebut di atas yang dapat dikualifikasikan akta Notaris batal demi
hukum sebenarnya merupakan tindakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya tanpa ada objek tertentu dan sebab yang halal.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat
mencakup ranah bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan
pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang
diterbitkan oleh negara. Pelanggaran secara pidana yang dilakukan Notaris yaitu yang
tercantum dalam Pasal 263 KUHPidana dalam hal melakukan pelanggaran membuat
surat secara palsu. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 KUHPidana
ini adalah sebagai berikut:
1. Unsur-unsur ojektifnya adalah:
a. Perbuatan yaitu memakai;
b. Objeknya adalah surat palsu dan surat yang dipalsukan;
c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
2. Unsur subjektifnya adalah dengan sengaja.180
C. Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum dalam Pembuatan Akta
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pengertian tanggung jawab adalah
“keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, apabila ada sesuatu hal, boleh
179
180
Ibid.,
Chazawi Adami, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hal. 99
Universitas Sumatera Utara
103
dituntut, dipersalahkan, diperbolehkan dan sebagainya”.181 Demikian pula halnya
dengan tanggung jawab seorang notaris dalam melaksanakan kewenangan dan
kewajibannya.
Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris berkewajiban untuk
bertanggung jawab atas perbuatannya/ pekerjaannya dalam membuat akta karena
masyarakat mempercayakan notaris tersebut sebagai seseorang yang ahli dalam
bidang kenotarisan. Besarnya tanggung jawab notaris dalam menjalankan profesinya
mengharuskan notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya.
Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang notaris dalam menjalankan
tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan
maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain.182
Notaris dalam menjalankan jabatannya harus berdasarkan pada ketelitian,
kecermatan dan ketepatan. Tiga unsur sifat pribadi harus mendapatkan perhatian
khusus yang membentuk karakter didalam menjalankan jabatan adalah183:
1. Jujur terhadap diri sendiri;
2. Baik dan benar;
3. Profesional.
Salah satu perilaku seorang notaris dalam menjalankan jabatannya adalah
senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku notaris harus jujur
terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral, mental dan akhlak baik
dan benar. Selain mempunyai tingkat intelektual tinggi serta yang mempunyai sifat
181
182
Wahyu Baskoro, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Setia kawan, 2005), hal. 785.
Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli 2016.
183
A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia,
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
104
netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak mengejar materi, menjunjung
harkat dan martabat Notaris yang profesional.184
Perilaku sehari-hari dalam menjalankan jabatannya harus profesional yang
mengandung arti:
1. Sesuai dengan undang-undang, kode etik, anggaran dasar, anggaran rumah
tangga;
2. Sesuai dan menguasai teknik pembuatan akta;
3. Teliti, jeli dan sikap kehati-hatian harus diperhatikan;
4. Tidak terpengaruh dan tidak memihak;
5. Merelatir atau membuat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;
6. Tidak menghalalkan segala cara atau memaksakan kehendak;
7. Dalam waktu yang cepat dan tepat.
Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan
oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu
permintaan dari para pihak maka notaris tidak akan membuatkan suatu akta apapun.
Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau pernyataan dari
para pihak yang hadir dihadapan notaris, kemudian notaris menuangkan keteranganketerangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu akta, dimana akta tersebut
telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan materiil dalam pembuatan akta
otentik. Serta notaris dalam membuat akta tersebut harus berpijak pada peraturan
hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta, sehingga Notaris dituntut untuk lebih
jeli dan berhati-hati dalam membuat akta. 185 Akta merupakan sebuah kebutuhan bagi
184
185
Ibid.,
Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli
2016.
Universitas Sumatera Utara
105
masyarakat (para penghadap) dan diharapkan akta tersebut dapat menjadi suatu bukti
apabila terjadi suatu sengketa dikemudian hari.
Apabila notaris lalai dan kurang berhati-hati dalam membuat akta sehingga
mengakibatkan akta tersebut cacat hukum, maka perbuatan notaris tersebut harus
dipertanggungjawabkan. Atas kesalahan notaris tersebut, menyebabkan Notaris telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu kumpulan dari prinsip-prinsip
hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk
memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan
untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.186
Perbuatan harus memenuhi rumusan bahwa perbuatan itu dilarang oleh undangundang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta
perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil.
Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum, menurut GHS
Lumban Tobing, Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya,
apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut187:
1. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Peraturan Jabatan Notaris.
2. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuknya
(gebrek in the vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau dianggap hanya
berlaku sebagai akta di bawah tangan.
3. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1365 mengenai tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan
dan kelalaian), Pasal 1366 mengenai tanggung jawab dengan unsur kesalahan
khususnya kelalaian, dan Pasal 1367 KUHPerdata mengenai tanggung jawab
186
187
Munir Fuady, Op. cit., hal. 3.
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 325.
Universitas Sumatera Utara
106
mutlak (tanpa kesalahan)188 terdapat kewajiban untuk membayar ganti
kerugian, artinya semua hal-hal tersebut harus dilalui proses pembuktian yang
seimbang.
Tanggung Jawab Notaris secara Perdata
Dalam
lapangan
hukum
keperdataan,
sanksi
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban notaris. Sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Sanksi yang
ditujukan kepada notaris merupakan sebagai penyadaran, bahwa notaris dalam
melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan untuk
mengembalikan tindakan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib
sesuai dengan UUJN.189
Di samping itu, sebagai bentuk tanggung jawab, pemberian sanksi terhadap
notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan notaris yang dapat
merugikan, misalnya membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang
bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut untuk
menjaga martabat lembaga notaris sebagai lembaga kepercayaan karena apabila
notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
notaris.
188
Munir Fuady , Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat ,Notaris,
Kurator, dan Pengurus, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), (selanjutnya disingkat Munir Fuady
II), hal. 4
189
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban.., Op. Cit., hal. 194.
Universitas Sumatera Utara
107
Tanggung jawab perdata atas akta yang dibuat oleh notaris dalam hal ini
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, maka dikenakan sanksi
keperdataan terhadap kesalahan yang terjadi dalam konstruksi perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini dalam sifat aktif maupun pasif.
Aktif dalam arti melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Sedangkan pasif, dalam arti tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan,
sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur perbuatan melawan hukum disini
yaitu adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan
hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan yang tidak saja melanggar undangundang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan, atau hak orang lain dan
menimbulkan kerugian.190
Sebagai bentuk pertanggungjawaban notaris dalam lapangan hukum
keperdataan, maka dikenakan sanksi berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
sebagai akibat yang akan diterima notaris dari gugatan para penghadap apabila akta
bersangkutan hanya mempunyai pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta
batal demi hukum. 191
Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga dapat digugat terhadap notaris harus
dengan mendasarkan pada suatu hubungan hukum antara notaris dengan para pihak
yang menghadap notaris. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat
langsung dari suatu akta notaris, maka yang bersangkutan dapat menuntut secara
190
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=32088&val=2282,
tanggal 27 Juni 2016, pukul 22.00 WIB)
191
Sjaifurrachman, Op.Cit., hal.195
diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
108
perdata terhadap notaris. Dalam hal gugatan karena perbuatan melawan hukum, maka
Pasal 1365 KUHPerdata yang berlaku. Pasal 1365 KUHPerdata membuka
kemungkinan pengajuan berbagai gugatan yaitu: gugatan ganti rugi, pernyataan
sebagai hukum, perintah atau larangan hakim.
Pada ganti rugi dalam hal perbuatan melawan hukum, terbuka kemungkinan
ganti rugi dalam bentuk lain selain sejumlah uang. Syarat ganti rugi dalam bentuk
lain yang bukan uang adalah:
1. Ditentukan oleh penggugat;
2. Hakim menganggapnya cocok.192
Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain selain ganti rugi uang
dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang dirumuskan:
“Pelaku perbuatan melawan hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah
uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang
dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam
bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti yang sesuai, maka
pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi
kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian
yang diderita”.193
Tanggung Jawab Notaris secara Pidana
Mengenai tanggung jawab Notaris atas akta yang dibuatnya dalam hal pidana,
tidak diatur dalam UUJN, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan
apabila Notaris melakukan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHPidana,
192
193
Ibid., hal. 197
Ibid., hal. 198.
Universitas Sumatera Utara
109
dengan catatan bahwa pemidanaan terhadap Notaris tersebut dapat dilakukan dengan
batasan yaitu194:
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan materiil
akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan, serta direncanakan
bahwa akta yang akan dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersamasama atau sepakat para penghadap dijadikan dasar untuk melakukan suatu
tindak pidana.
2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh
Notaris yang apabila diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.
3. Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.
Larangan tersebut disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
seperti denda maupun kurungan bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut.
Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh Notaris selaku
pejabat umum yang berwenang membuat akta dan tidak dalam konteks individu
sebagai warga negara.195
Biasanya pasal yang sering digunakan untuk menuntut Notaris dalam
pelaksanaan tugas jabatan adalah pasal yang mengatur mengenai tindak pidana
pemalsuan surat, yaitu Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 KUHPidana. Notaris
dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan surat yang
seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan (Pasal 263 ayat
1 KUHPidana), melakukan pemalsuan surat dan pemalsuan tersebut telah dilakukan
194
Ibid., hal 208-209.
Tesis Mahalia Nola Pohan, Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan, Magister Kenotariatan, Universitas
Sumatera Utara, 2011, hal. 112.
195
Universitas Sumatera Utara
110
di dalam akta-akta otentik (Pasal 264 ayat 1 angka (1) KUHPidana), mencantumkan
suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik (Pasal 266 ayat 1 KUHPidana).
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan yang dilanggar sebagaimana yang telah tersebut, artinya di samping
memenuhi rumusan pelanggaran tersebut dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris
juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHPidana. Maka,
pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melanggar hukum, dapat
dikenakan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 263 Jo 264 ayat (1) KUHPidana
dimana ancaman pidana yang berat berupa pidana kurungan atau pidana 8 (delapan)
tahun penjara.196
Tanggung jawab Notaris secara Administratif
Di samping tanggung jawab keperdataan yang dijatuhkan kepada Notaris yang
telah melakukan pelanggaran hukum, terhadap Notaris juga dapat dijatuhkan
tanggung jawab dengan pengenaan sanksi secara administrasi. Menurut Philipus M.
Hadjon dan H.D van Wijk Willem Konijnenbelt, sanksi administratif meliputi:197
a. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang)
Yaitu sebagai tindakan-tindakan yang nyata atau feitelijke handeling dari
penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah
hukum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh
para warga negara karena bertentangan dengan undang-undang.
b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,
pembayaran, subsidi)
Mengenai sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali
suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan, dengan mengeluarkan
196
197
Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 215.
Habib Adjie, Sanksi.,2008, Op. Cit., hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
111
ketetapan baru. Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis
yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan
dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.198Pencabutan atau penarikan
yang menguntungkan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang
dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang
tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaankeadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.199
c. Pengenaan denda Administratif
Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang
melanggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada di pelanggar
dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan peundang-undangan
yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk
menerapkan sanksi tersebut.
d. Pengenaan Uang Paksa oleh Pemerintah (dwangsom)
Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah
hukuman yang pasti, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas di
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Tanggung jawab Administratif dikenakan kepada notaris apabila terbukti
melanggar ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:200
1. Melanggar ketentuan Pasal 7, dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak
tanggal pengambilan sumpah/ janji jabatan, Notaris tidak:
a. Menjalankan jabatannya dengan nyata;
b. Menyampaikan berita acara sumpah/ janji jabatan Notaris kepada Menteri,
Organisasi Notaris, Majelis Pengawas Daerah.
c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf, serta teraan
cap/ stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri, pejabat lain
yang bertanggung jawab di bidang agraria/ pertanahan, organisasi notaris,
ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, serta bupati atau
walikota ditempat notaris diangkat.
2. Melanggar larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 yaitu:
198
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 242.
199
Ibid., hal. 243.
200
Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 199.
Universitas Sumatera Utara
112
a. Melanggar jabatan di luar wilayah jabatannya
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang sah
c. Merangkap sebagai pegawai negeri
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara
e. Merangkap jabatan sebagai advokat
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah
g. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah
jabatan Notaris
h. Menjadi notaris pengganti
i. Melanggar pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan.
3. Melanggar ketentuan Pasal 20, yaitu dalam membentuk perserikatan perdata
atau perserikatan notaris telah bertindak tidak mandiri dan ada keberpihakan
dalam menjalankan jabatannya atau dalam menjalankan kantor bersama
tersebut.
4. Melanggar ketentuan Pasal 27 yaitu mengajukan permohonan cuti, tidak
memenuhi syarat bahwa cuti harus diajukan secara tertulis disertai dengan
penunjukan notaris pengganti, dan permohonan diajukan kepada:
a. Majelis Pengawas Daerah, apabila jangka waktu cuti tidak lebih dari enak
bulan
b. Majelis Pengawas Wilayah, apabila jangka waktu cuti lebih dari enam
bulan sampai dengan satu tahun dengan tembusan kepada Majelis
Pengawas Pusat
c. Majelis Pengawas Pusat, apabila jangka waktu cuti lebih dari satu tahun
dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas
Wilayah
5. Melanggar ketentuan Pasal 32 yaitu Notaris yang menjalankan cuti tidak
menyerahkan protokol notaris kepada notaris pengganti, dan notaris pengganti
menyerahkan kembali protokol kepada notaris setelah cuti berakhir, serah
Universitas Sumatera Utara
113
terima terhadap hal tersebut dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada
Majelis Pengawas Wilayah.
6. Melanggar
ketentuan
Pasal
54
yaitu
notaris
telah
memberikan,
memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau
kutipan akta, kepada orang yang tidak berkepentingan pada akta, ahli waris
atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.
7. Melanggar ketentuan Pasal 58 mengenai tidak dibuatnya daftar akta, daftar
surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang
dibukukan, tidak mengeluarkan akta dalam bentuk in originali dalam rangkap
dua.
8. Melanggar ketentuan Pasal 59, Notaris tidak membuat daftar klapper untuk
daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan sebagai mana
dimaksud dalam Pasal 58 disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan.
Atas pelanggaran sebagaimana yang telah tersebut, maka dikenakan sanksi
sebagaimana Pasal 85 UUJN yang merupakan sanksi internal yaitu: 201
1.
2.
3.
4.
5.
Teguran lisan
Teguran tertulis
Pemberhentian sementara
Pemberhentian dengan hormat
Pemberhentian tidak hormat
Sanksi-sanksi tersebut secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai
dengan pemberhentian tidak hormat. Dalam Pasal 85 UUJN dengan menempatkan
201
Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
114
teguran lisan pada urutan pertama dalam pemberian sanksi, merupakan suatu
peringatan kepada Notaris dari Majelis Pengawas yang jika tidak dipenuhi
ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis.202 Apabila sanksi seperti ini tidak
dipatuhi juga oleh notaris yang bersangkutan, maka dapat dijatuhi sanksi yang
berikutnya secara berjenjang.
Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal
untuk menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif.
Dalam sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi
harus didahului dengan teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai
prosedur paksaan nyata.
Pelaksanaan teguran lisan dan tertulis bertujuan untuk menguji ketepatan dan
kecermatan antara teguran lisan dan tertulis dengan pelanggaran yang dilakukan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Selanjutnya, kedudukan sanksi berupa
pemberhentian sementara dari jabatan notaris atau skorsing merupakan masa
menunggu pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi seperti ini dimaksudkan
agar notaris tidak melaksanakan tugas jabatannya untuk sementara waktu dan notaris
yang bersangkutan tidak dapat membuat akta apapun.203
202
Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf e dan f UUJN MPW berwenang untuk menjatuhkan
sanksi berupa:
a. Memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis
b. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa
pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; serta pemberhentian
dengan tidak hormat.
203
Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
115
Hal ini perlu dibatasi dengan alasan untuk menunggu hasil pemeriksaan
Majelis Pengawas. Untuk memberikan kepastian, maka pemberhentian sementara
tersebut harus ditentukan lama waktunya, sehingga nasib notaris tidak digantung oleh
keputusan pemberhentian sementara tersebut.204 Sanksi pemberhentian sementara dari
jabatan notaris merupakan sanksi paksaan nyata, sedangkan sanksi yang berupa
pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam
jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan.
Dengan demikian ketentuan Pasal 85 UUJN yang dapat dikategorikan sebagai
sanksi administratif, yaitu:205
1. Pemberhentian sementara
2. Pemberhentian dengan hormat
3. Pemberhentian tidak hormat
Tanggung Jawab Notaris berdasarkan Kode Etik Notaris
Hubungan profesi notaris dengan organisasi notaris diatur melalui kode etik
Notaris. Keberadaan kode etik merupakan konsekuensi dari suatu pekerjaan yang
disebut profesi.
Terdapat hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN, sebagaimana
terdapat dalam Pasal 4 mengenai sumpah jabatan. Sebelum menjalankan jabatannya,
Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau
204
Pasal 73 ayat (1) huruf f angka 1 UUJN, bahwa MPW mengusulkan pemberian sanksi
terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan.
205
Ibid., hal. 116
Universitas Sumatera Utara
116
pejabat yang ditunjuk. Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
“bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan lainnya.
bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama,
mandiri, dan tidak berpihak.
bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan
kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Notaris.
bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya.
bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."
Notaris mengenai sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya
dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan,
martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris.
Adanya hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN memberikan arti
terhadap esensi profesi Notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki
agar notaris mendapat acuan dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat
umum, selain harus tunduk kepada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta
harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dilayani. Dengan adanya
hubungan ini, maka terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat
jabatannya selain dapat dikenakan sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan
profesinya, juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai Notaris.206
206
Tesis Mahalia Nola Pohan, Suatu Tinjauan tentang Pembatalan Akta Notaris yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan, Magister Kenotariatan, Universitas
Sumatera Utara, 2011.
Universitas Sumatera Utara
117
BAB IV
PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN HAKIM DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO 3124 K/ PDT/ 2013
A. Duduk Perkara
1.
Duduk Perkara di Pengadilan Negeri
a.
Alasan Mengajukan Gugatan
Pewaris dalam putusan No 3124 K/ Pdt/ 2013 bernama TM (selanjutnya
disebut Almarhum), meninggal dunia di Jakarta Barat pada tanggal 28 Januari 2011.
Dalam putusan ini Almarhum TM memiliki 5 (lima) orang anak dimana diantaranya
bernama DM (selanjutnya disebut Penggugat) yang merupakan anak kandung kedua
dari Almarhum TM. Bahwa sebagai anak kandung, Penggugat memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Almarhum semasa hidupnya. Bahkan ketika Almarhum
sakit, dan terkena stroke berturut-turut, Penggugat merawat dan membawa berobat
ke China hingga akhir tahun 2005.
Diketahui bahwa sejak tahun 1995 Almarhum memiliki riwayat gangguan
kesehatan seperti stroke, diabetes, hipertensi yang secara langsung mempengaruhi
kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Adapun beberapa
keterangan Dokter yang secara medis menyatakan bahwa Almarhum TM tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan penjelasan medis sebagai berikut:
1.
Surat Keterangan Medis tanggal 16 Juni 2006 yang ditandatangani dr. George
Dewanto. Sp. S, menyatakan bahwa TM mengalami/ menderita stroke, diabetes,
117
Universitas Sumatera Utara
118
dan hipertensi. Sebagai akibat penyakit yang diderita oleh TM tersebut maka
daya cognitive serta fungsi motorik TM berkurang atau tidak normal.
2.
Surat Pengantar untuk dirawat yang dibuat oleh Dr. Melani Yustina Spesialis
Saraf pada rumah sakit telah merekomendasikan Alm. TM untuk dirawat.
3.
Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Kesehatan pada tanggal 1 April 2008 yang
ditandatangani oleh dr. Armahida Kusriana. Dokter pada bidang kedokteran dan
Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa fungsi motorik TM berkurang.
4.
Surat pengantar untuk bagian keperawatan Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk
yang dibuat oleh dr. Sudarto Apit, Sp. PD tertanggal 22 Juni 2009 yang
merekomendasikan agar TM dirawat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk.
Berdasarkan fakta-fakta dan penjelasan medis sebagaimana telah diuraikan,
bahwa Almarhum TM tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam Akta Wasiat tersebut, Notaris LSN mencantumkan bahwa Almarhum
TM memberikan hibah wasiat (legaat) atas sejumlah bidang tanah kepada beberapa
ahli warisnya yaitu kepada Turut Tergugat I sampai dengan Turut Tergugat X.
Pada salah satu hibah wasiat pemberian Almarhum tersebut terdapat Sertifikat
Hak Guna Bangunan No 3180/ Kapuk seluas 2.964 m² (duaribu sembilan ratus enam
puluh empat meter persegi) yang diuraikan dalam surat ukur tanggal 28 Maret 2000
Nomor 52/2000, Sertifikat tanda bukti haknya tanggal 21 Desember 2000 yang
tercatat atas nama DM (Penggugat), bekas Hak Pakai No 41/ Kapuk yang dikenal
dengan jalan peternakan II No I.D, dihibahkan wasiatkan (legaat) kepada Turut
Universitas Sumatera Utara
119
Tergugat II dan Turut Tergugat IX, dimana tanah tersebut dengan jelas menyatakan
bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa Almarhum TM telah menghibah wasiatkan harta
benda yang bukan merupakan hak miliknya casu quo tanah milik Penggugat DM
kepada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat IX, akan tetapi Tergugat selaku notaris
yang telah mengetahui dengan benar bahwa tanah tersebut bukan milik dari
Almarhum TM masih tetap membuatkan akta wasiat dan mencatatkan akta wasiat
tersebut Menkumham.
Atas ketidakcakapan Almarhum TM dalam pembuatan akta wasiat tersebut,
Penggugat memperlihatkan bukti yang diajukannya dengan memberikan beberapa
surat keterangan medis beserta penjelasannya, video berupa CD yang dishooting pada
bulan Januari 2010 yang menunjukkan kondisi nyata fisik maupun kesadaran Alm.
TM, dan disamping keterangan surat, Penggugat mengajukan keterangan saksi dari
pihak Penggugat dimana Almarhum TM sudah dalam keadaan sakit stroke dengan
kondisinya yang tidak dapat melakukan aktivitas seperti orang pada umumnya, sulit
berkomunikasi, tidak dapat membuat tulisan, dan dapat mengenali saksi jika
diberitahu. Demikian juga SHGB No 3180 Kapuk yang merupakan milik Penggugat
DM, dengan menunjukkan fotocopy sesuai asli SHGB No 3180 yang tertulis bahwa
kepemilikan atas nama Penggugat DM.
Atas tindakan yang dilakukan Tergugat yang telah membuat akta wasiat
dengan mencantumkan harta peninggalan bukan dari pemberi wasiat casu quo
Almarhum, maka perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan
Universitas Sumatera Utara
120
menimbulkan potensi kerugian bagi Penggugat baik secara materiil maupun
immateriil sebagai berikut:
Kerugian materiil:
a. Potensi kerugian hilangnya tanah seluas 2.964m² yang merupakan milik
Penggugat yang mengakibatkan Penggugat menderita kerugian sejumlah @
Rp. 2.000.000,- per meter x 2.964 = Rp. 5. 928.000,- (Lima milyar sembilan
ratus duapuluh delapan juta rupiah).
b. Akibat tindakan Tergugat tersebut mengakibatkan Penggugat tidak bisa
mengusahakan/memberdayakan tanah a quo sehingga Penggugat mengalami
kerugian sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang mana jumlah
tersebut akan dihitung dan bertambah sampai putusan berkekuatan hukum
yang tetap.
c. Biaya pengurusan perkara ini Penggugat telah mengeluarkan biaya konsultasi
dan ongkos-ongkos sampai perkara didaftarkan sebesar Rp. 50.000.000,(Lima puluh juta rupiah).
Kerugian immateriil:
Akibat
perbuatan
melawan
hukum
Tergugat
kepada
Penggugat,
mengakibatkan Penggugat jatuh sakit dan menjadi beban pikiran Penggugat, serta
mengganggu kinerja dalam usaha Penggugat. Semua itu tidak dapat dinilai dengan
uang, namun patut dan wajar apabila Penggugat menuntut kerugian Immateriil
sebesar Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Universitas Sumatera Utara
121
b. Pertimbangan Hakim
Setelah mencermati gugatan Penggugat, Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Pertama berpendapat bahwa Penggugat dapat membuktikan pokok perkara
gugatannya. Majelis Hakim telah menilai dan memberikan pertimbangannya bahwa
dengan dinyatakannya tanah milik Penggugat DM dalam akta yang dibuat Tergugat
LSN, dalam hal ini tergugat telah melakukan suatu kekeliruan yang besar (gross
error) dalam pembuatan akta.
Almarhum yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum telah menghibah
wasiatkan harta benda yang bukan miliknya casu quo milik Penggugat
kepada
Tergugat II dan Tergugat IX. Posisi Tergugat selaku profesinya sebagai notaris
seharusnya berkewajiban untuk memeriksa bukti-bukti yang diajukan penghadap
casu quo Alm. TM selaku pembuat testamen sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat 1
huruf a UUJN yang secara implisit mengandung Asas Kehati-hatian yang wajib
diterapkan oleh Tergugat yaitu dengan melakukan pengenalan terhadap penghadap
berdasarkan identitas yang diperlihatkan kepada notaris, menanyakan dan mencermati
keinginan si penghadap, memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan si
penghadap, memenuhi segala teknik administrasi pembuatan akta notaris seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan
Atas tindakan Tergugat yang mencantumkan harta peninggalan yang bukan
milik Almarhum, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan membawa
kerugian bagi Penggugat.
Universitas Sumatera Utara
122
c.
Putusan Hakim
Dari serangkaian pertimbangan di atas, Majelis Hakim kemudian menjatuhkan
putusan dengan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan
tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan batal dan tidak
mengikat akta wasiat no 5 tertanggal 9 oktober 2009, menghukum tergugat untuk
mencoret dan mencabut akta wasiat yang terdaftar dalam buku register seksi daftar
wasiat.
2.
Duduk Perkara di Pengadilan Tinggi
a. Alasan Mengajukan Kasasi
Dalam uraian Putusan Pengadilan Negeri dimana surat keterangan dokter
yang dijadikan sebagai bukti, yang didalamnya menyatakan Almarhum dalam kondisi
stroke, diabetes, hipertensi sehingga fungsi motorik dan daya cognitive-nya
berkurang, namun tidak satu pun di dalam surat keterangan dokter menyatakan bahwa
Almarhum dinyatakan Pikun. Surat keterangan tersebut hanya rekomendasi agar
Almarhum dirawat di Rumah Sakit.
Notaris selaku tergugat telah berpedoman kepada kebenaran formal dari
syarat-syarat yang harus dipenuhi penghadap. Pada waktu Almarhum membuat akta
wasiat, Almarhum datang dengan menggunakan kursi roda dan membawa serta
menunjukkan sendiri seluruh dokumen yang diperlukan, dalam keadaan sadar dan
tanpa paksaan dari pihak manapun.
Demikian halnya dengan Akta Perjanjian dan Surat Kuasa sebagai bukti
pendukung dokumen atau berkas atas SHGB No 3180 Kapuk yang semula bekas Hak
Universitas Sumatera Utara
123
Pakai No 41 Kapuk atas nama Penggugat. Dalam Akta Perjanjian tersebut dinyatakan
dengan tegas Penggugat sebagai Pihak Pertama dan Almarhum Tan Malaka sebagai
Pihak Kedua bahwa:
“bahwa dengan demikian bagian tanah/ tanah tersebut sebenarnya adalah hak
dan miliknya Pihak Kedua, sehingga Pihak Pertama dengan cara apapun tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak kedua tidak berhak melakukan
tindakan-tindakan yang berakibat pengalihan/ pemindahan bagian tanah/ tanah
tersebut.”
Oleh karena kepemilikan dan kewenangan Almarhum TM yang juga
ditunjukkan dengan akta-akta otentik berupa Perjanjian dan Kuasa tersebut maka,
selama akta-akta itu tidak dibatalkan, maka kebenaran tentang apa yang dinyatakan
Penggugat DM dan Almarhum TM bahwa persil tersebut adalah milik Almarhum Tan
Malaka yang berhak atas tanah tersebut.
Selain itu, alasan ini juga diperkuat dengan keterangan saksi yang
menerangkan bahwa ketika Almarhum TM datang ke kantor notaris, Alm.
menggunakan kursi roda dan dapat berpikir dengan baik. Pada waktu tanya jawab,
Almarhum bisa menjawab. Serta Almarhum juga mengerti bahwa semua harta
peninggalan yang dibagikan itu adalah untuk anak-anaknya.
b. Pertimbangan Hakim
Selanjutnya, dalam Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak
sependapat
dengan
Pertimbangan
Hakim
Tingkat
Pertama
dimana
dalam
pertimbangannya menyatakan Tergugat tidak terbukti telah melakukan perbuatan
melawan hukum atas pembuatan akta wasiat no 5 tanggal 9 oktober 2009, bahwa
berdasarkan bukti para saksi yang menyatakan bahwa Almarhum TM datang ke
Universitas Sumatera Utara
124
Kantor Notaris dengan menggunakan kursi roda dan dapat diajak berkomunikasi serta
tidak terganggu jiwanya. Hal ini memberikan bukti bahwa hingga akhir pada tahun
2010, Almarhum TM masih cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum.
Mengenai SHGB No. 3180/ Kapuk atas nama Terbanding yang semula
Penggugat oleh Tergugat, tidak serta merta menyebabkan Pembanding I yang semula
Tergugat telah melakukan perbuatan hukum yang menyatakan bahwa Almarhum
memberikan hibah wasiat kepada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat IX berupa
Sertifikat Hak Guna Bangunan No 3180/ Kapuk seluas 2.964m² (dua ribu sembilan
ratus enampuluh empat) meter persegi yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal 28
Maret 2000 Nomor 52/2000, yang tercatat atas nama Penggugat sebagaimana ketika
menuangkan harta peninggalan pewaris tersebut sebagai warisan terdapat adanya
bukti berupa Akta Perjanjian tanggal 3 September 1979 Nomor 12 dan berdasarkan
Akta Kuasa tanggal 3 September 1979 Nomor 13 yang keduanya dibuat oleh Notaris
RS, Notaris di Jakarta.
c. Putusan Hakim Pengadilan Tinggi
Dari serangkaian pertimbangan di atas, majelis hakim menjatuhkan putusan
sebagai berikut: Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 53/ Pdt.
G/ 2012/ PN. Jkt. Sel tanggal 12 Desember 2012 yang dimohonkan banding; dalam
Pokok Perkara, menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
3.
Duduk Perkara di Tingkat Kasasi (MA)
a. Alasan Kasasi
Universitas Sumatera Utara
125
Pengadilan Tingkat Banding telah salah menerapkan atau melanggar hukum
yang berlaku. Mengenai bukti kondisi fisik, kesadaran, serta kemampuan motorik
Almarhum sejak tahun 2006 yang menyatakan Almarhum tidak dinyatakan Pikun,
demikian juga keterangan saksi bahwa Almarhum ketika datang ke kantor notaris,
masih dapat berkomunikasi dengan jelas dan mengerti akan akta wasiat yang
dibuatnya
dalaupun
datang
dengan
menggunakan
kursi
roda,
merupakan
pertimbangan tidak cermat yang mengabaikan prinsip kehati-hatian yang berakibat
telah salah menerapkan hukum.
Majelis Hakim tingkat pertama telah mengajukan bukti-bukti yang tepat yaitu
mengenai Surat Keterangan Dokter yang membuktikan keadaan Almarhum TM yang
sudah tidak sehat dan mengalami sakit. Berdasarkan Permenkes RI No
269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis merupakan data terdokumentasi tentang
keadaan sakit sekarang dan waktu lampau, serta pengobatan yang telah dan akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional secara tertulis, yang memiliki fungsi
sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum. Juga dalam hal bukti yang
diperlihatkan berupa Video yang dishooting pada tahun 2010, hasilnya menunjukkan
kondisi Alm dalam keadaan sakit dan tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Termohon Kasasi
(Tergugat) dalam akta wasiat tersebut, Almarhum TM memberikan hibah wasiat
(legaat) kepada Turut tergugat II dan Turut Tergugat IX berupa SHGB No 3180/
Kapuk seluas 2.964 m² (duaribu sembilan ratus enampuluh empat meter persegi) yang
diuraikan dalam surat ukur tanggal 28 Maret 2000 Nomor 52/2000, Sertifikat tanda
Universitas Sumatera Utara
126
bukti haknya tanggal 21 Desember 2000 yang tercatat atas nama DM (Penggugat),
bekas Hak Pakai No 41/ Kapuk yang dikenal dengan jalan peternakan II No I.D.
Sesuai dengan Pasal 32 PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, “Sertifikat
merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada di dalamnya.”
Berdasarkan uraian tersebut makatanah SHGB No 3180 Kapuk atas nama DM adalah
milik Pemohon Kasasi (Penggugat).
Majelis Hakim Tingkat Banding juga tidak melihat uraian keseluruhan proses
pemohon kasasi memperoleh SHGB No 3180 Kapuk, dimana pada tanggal 9 April
1998, Penggugat telah membeli sebidang tanah milik Alm TM dimana Alm. TM
membuat kwitansi pembayaran dari Penggugat DM berupa sejumlah uang sebesar
Rp. 296.400.000,- (dua ratus sembulan puluh enam juta empat ratus ribu rupiah)
berisi pernyataan Alm. TM yang menyatakan: 1(satu) bidang tanah berikut bangunan
diatasnya seluas 2.964m² dengan harga Rp 100.000,-/m² terletak di Kapuk Peternakan
II Rt.06/ Rw.07, Kel. Kapuk, Kec. Cengkareng, Jakarta Barat sesuai Sertifikat Hak
Pakai No. 41 Kel. Kapuk, gambar situasi No. 978/ 2526/ 1978, tanggal 22 November
1978 a/n DM (Penggugat).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut Pengadilan Tingkat Banding telah salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
b. Pertimbangan Hakim
Mahkamah Agung memberikan pertimbangannya mengenai alasan-alasan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Penggugat DM). Alasan-alasan kasasi
Universitas Sumatera Utara
127
dapat dibenarkan, karena Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah salah
menerapkan hukum. Pemohon kasasi telah membuktikan bahwa kondisi Almarhum
tidak layak atau stidak-tidaknya tidak sehat secara mental dan fisik, sehinga secara
keseluruhan tidak mampu berbuat dan bertanggung jawab secara hukum. Keadaan
tersebut didukung dengan Surat Keterangan Medis yang menyatakan Alm menderita
stroke, hipertensi dan diabetes sehingga daya cognitive serta fungsi motorik Alm.
berkurang.
c. Putusan Hakim
Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi (DM) dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Majelis
Hakim menyatakan batal dan tidak mengikat akta wasiat nomor 5 tanggal 9 oktober
2009 dihadapan Tergugat selaku Notaris di Jakarta. Menghukum tergugat untuk
mencoret dan mencabut akta wasiat dari buku register daftar wasiat. Menyatakan
batal demi hukum segala surat, baik akta otentik maupun di bawah tangan yang
sifatnya mengalihkan dan atau mengurangi hak Penggugat atas objek sengketa, serta
menetapkan Turut Tergugat I
s/d Turut Tergugat XV untuk tunduk dan patuh
terhadap putusan ini.
B. Analisis Putusan No 3124 K/ Pdt/ 2013
Putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh pihak yang
berperkara
untuk
menyelesaikan
sengketa.
Para
pihak
yang
bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang sedang
dihadapi. Peran Hakim sangat menetukan dalam menyelesaikan perkara dan Hakim
Universitas Sumatera Utara
128
memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara sesuai dengan undang-undang yang
mengatur.
Terkait putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa Notaris telah
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan Akta Wasiat Nomor 5
tanggal 9 Oktober 2009, apabila diperhatikan materi gugatan secara seksama, maka
notaris sudah seharusnya tidak disalahkan apalagi dituntut untuk mengganti kerugian.
Pada kasus diatas, Notaris sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang No 2 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas UU No 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Mengacu
pada ketentuan Pasal 4 UUJN, Notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban
untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Hal ini mengingat sumpah jabatan
Notaris yang sudah diemban Notaris sebelum menjalankan jabatannya. Atas adanya
sumpah jabatan Notaris, seorang Notaris dalam membuat akta sudah pasti mengingat
akan tanggung jawab besar yang harus dipegang oleh Notaris.207 Kewenangan Notaris
dalam membuat akta wasiat bukan berarti Notaris secara bebas sesuai kehendaknya
untuk membuatkan akta tanpa adanya permintaan/ kehendak pengahadap untuk
meminta Notaris membuatkan akta wasiat.
Adapun hal-hal yang mendasari kurang tepatnya putusan Majelis Hakim
tersebut adalah bahwa pembuatan Akta Wasiat Nomor 5 tanggal 9 Oktober 2009
207
Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Deli Serdang Erita Wagewati Sitohang, pada
tanggal 22 Juli.
Universitas Sumatera Utara
129
tersebut, Notaris LSN telah membuat akta tersebut sesuai dengan tata cara (prosedur)
yang berlaku terkait pembuatan akta Notaris berdasarkan UUJN, yaitu:
1.
Memenuhi ketentuan Pasal 39 UUJN, yaitu:
(1) a. Paling rendah berumur 18 tahun atau telah menikah.
b. Penghadap cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2
(dua) orang saksi pengenal.
Kecakapan pewaris dinilai menurut keadaannya pada saat akta wasiat
dibuat. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 895 KUHPerdata, pembuat
testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat
testament ialah orang sakit ingatan, dan orang yang sakitnya begitu berat,
sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur.208
Dalam putusan MA No 3124 K/ Pdt/ 2013, Penggugat tersebut berdalil
bahwa ketika pembuatan akta wasiat, Almarhum dalam keadaan tidak cakap,
dimana pernyataannya tersebut dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan
Medis yang dikeluarkan pada tahun 2006. Namun, dalam surat keterangan
medis tidak satupun menyatakan bahwa Almarhum berada dalam keadaan sakit
pikiran yang permanen yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk
melakukan perbuatan hukum. Surat Keterangan Medis tidak dapat menjadi
dasar untuk mengatakan seseorang tersebut
tidak cakap untuk melakukan
208
Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Kota Medan Rosniaty Siregar, pada tanggal 24
Agustus 2016.
Universitas Sumatera Utara
130
perbuatan hukum, jika dalam hal ini si penghadap masih mampu untuk bernalar/
berpikir secara teratur. Orang yang dalam kondisi sakit, sekalipun dalam
keadaan cacat fisik, apabila masih dapat berpikir, dan mampu menuangkan
kehendaknya, seseorang tersebut masih mampu untuk membuat suatu wasiat.209
Dalam kasus ini, pada Surat Keterangan Medis yang dikeluarkan pada
tahun 2006, Almarhum hanya dinyatakan stroke, diabetes dan hipertensi.
Menurut keterangan saksi, ketika Notaris melakukan tanya jawab mengenai
kehendak si penghadap, si penghadap (Almarhum) bisa menjawab. Hal ini,
menyatakan bahwa penghadap (Almarhum) memiliki akal yang sehat.
Berdasarkan kecakapan atau mampunya si penghadap dalam pembuatan
akta, maka Notaris LSN membuatkan akta wasiat sesuai dengan kehendak si
penghadap, dengan terlebih dahulu menanyakan identitas si penghadap
(Almarhum). Kemudian memeriksa secara terperinci satu per satu dokumen
atau berkas yang dibawa si penghadap (Almarhum) sebagai objek wasiat yang
akan dituangkan ke dalam akta wasiat, dan membacakan kembali apa saja yang
menjadi kehendak penghadap dengan maksud memastikan bahwa si
pengahadap dalam keadaan sadar dan mampu akan apa yang diwasiatkan
tersebut.
Notaris membuatkan akta wasiat karena atas permintaan si penghadap
dalam keadaan sadar/ mampu berpikir akan akta wasiat tersebut. Tanpa adanya
permintaan si penghadap, sudah tentu akta tersebut tidak akan dibuat.
209
Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Kota Medan Diana Nainggolan, pada tanggal 6
September 2016.
Universitas Sumatera Utara
131
2.
Memenuhi ketentuan Pasal 40 UUJN, yaitu: Akta tersebut telah dibacakan oleh
Notaris LSN kepada penghadap dihadapan dua orang saksi yang merupakan
pegawai di Kantor Notaris LSN, dan penghadap (Almarhum) memahami/
mengerti bahwa seluruh harta peninggalan milik penghadap diwasiatkan untuk
anak-anaknya.
3.
Memenuhi ketentuan Pasal 43 UUJN, yaitu Akta dibuat dalam bahasa yang
dimengerti oleh si penghadap dalam hal ini bahasa Indonesia dan penghadap pun
telah memahami mengenai apa yang tertuang dalam akta.
4.
Memenuhi ketentuan Pasal 44 UUJN, yaitu:
Setelah akta tersebut dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh
penghadap,
saksi
dan
Notaris.
Dalam
kasus,
penghadap
tidak
dapat
membubuhkan tanda tangan dikarenakan kondisi kesehatannya (stroke) sehingga
sulit menggerakkan tangan, dan penghadap meminta Notaris agar membantu
penghadap dalam membubuhkan cap jempol pada akta, dan dalam akta
disebutkan dengan tegas keterangan-keterangan
dan sebab-sebab yang
menjadikan halangan tersebut.
Dalam pembuatan Akta Wasiat Nomor 5 tanggal 9 Oktober 2009 tersebut,
Notaris LSN telah membuatnya sesuai dengan prosedur yang dipersyaratkan dalam
pembuatan suatu akta Notaris dimana para penghadap telah memenuhi persyaratan
mengenai batas umur dan cakap dalam melakukan perbuatan melawan hukum,
sebagaimana disyaratkan Pasal 39 UUJN, akta tersebut juga telah dibuat dalam
bahasa yang dimengerti oleh penghadap serta saksi, sehingga penghadap dalam hal
Universitas Sumatera Utara
132
ini telah memahami mengenai apa yang tercantum dalam akta tersebut sebagaimana
dipersyaratkan dalam Pasal 43 UUJN kemudian Notaris LSN juga telah membacakan
terlebih dahulu akta tersebut dihadapan penghadap tentang isi, maksud dan tujuan
daripada akta tersebut dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi sebagaimana
dipersyaratkan dalam Pasal 40 UUJN dimana setelah dibacakan para pihak tidak ada
yang menyatakan keberatannya mengenai apa yang tertuang dalam akta tersebut dan
segera setelah akta itu dibacakan para pihak menandatangani akta tersebut sebagai
tanda persetujuannya sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 44 UUJN, dimana
secara yuridis penandatangan suatu akta dapat diartikan sebagai suatu pernyataan
kemauan si penandatangan, bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di
bawah suatu tulisan, berarti ia menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap
sebagai tulisannya sendiri.210
Dalam kasus, selanjutnya yang menjadi dasar Penggugat menggugat Notaris
LSN adalah dicantumkannya harta peninggalan yang bukan milik si pewaris. Notaris
yang membuatkan akta wasiat seharusnya tidak dipersalahkan atas tindakannya itu
karena pembuatan akta tersebut inisiatifnya datang dari si penghadap, dan mengenai
seluruh berkas-berkas mengenai harta peninggalan, yang bersangkutan (Almarhum)
membawa serta menunjukkan sendiri seluruh dokumen yang diperlukan, dalam
keadaan sadar. Sebagai tugas Notaris dalam hal memeriksa berkas atau dokumen
sebelum membuatkan akta, Notaris LSN telah melakukan hal tersebut, demikian juga
210
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2007), hal. 408.
Universitas Sumatera Utara
133
terhadap memeriksa harta peninggalan berupa SHGB yang dipermasalahkan oleh si
Penggugat.
Mengenai SHGB No. 3180/ Kapuk atas nama DM yang dicantumkan sebagai
harta peninggalan si pewasiat (Almarhum) atas dasar adanya Akta Perjanjian No 12
tanggal 3 September 1979 dan Surat Kuasa No 13 tanggal 3 September 1979 yang
dibuat di Notaris X di Jakarta bahwa Penggugat (DM) sebagai Pihak Pertama dan
Almarhum (TM) sebagai Pihak Kedua yang menyatakan:
“bahwa tanah/ tanah tersebut sebenarnya adalah hak dan milik Pihak Kedua,
sehingga dengan cara apapun juga tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pihak kedua tidak berhak melalaikan tindakan-tindakan yang mengakibatkan
peralihan/ pemindahan bagian tanah tersebut”.211
Atas adanya Akta Perjanjian dan surat kuasa tersebut, maka Notaris LSN
mencantumkan SHGB No 3180/ Kapuk tersebut sebagai warisan, dengan
mempertegas kembali kepada Almarhum bahwa hal tersebut sebagai harta
peninggalannya.
Mengenai Harta peninggalan berupa SHGB No 3180/ Kapuk yang merupakan
bekas Hak Pakai yang dimaksud oleh Penggugat, Alm. TM ketika datang ke kantor
notaris untuk dibuatkan akta wasiat, Notaris LSN membuatkan akta atas kehendak
Alm. TM, dengan mengecek satu per satu berkas/ dokumen sebagai bukti kebenaran
atas harta-harta yang diwasiatkan Alm. TM, dimana diantaranya terdapat dokumen
berupa Akta Perjanjian dan Surat Kuasa yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik
211
Hasil wawancara dengan Notaris Diana Nainggolan, pada tanggal 6 September 2016.
Universitas Sumatera Utara
134
Alm. TM. Mengenai adanya kwitansi pembayaran atas tanah bekas Hak Pakai No. 41
a.n Penggugat DM, hal tersebut sudah diluar dari sepengetahuan Notaris LSN.
Karena pada saat memeriksa berkas/ dokumen pewaris, Alm. hanya menunjukkan
Akta Perjanjian dan Surat Kuasa dan tidak terdapat kwitansi pembayaran atas tanah
yang menyatakan bahwa bekas Hak Pakai tersebut sudah dibeli oleh Penggugat DM.
Namun, Akta Perjanjian dan Surat Kuasa tersebut hanya menunjukkan bahwa
Penggugat dan Almarhum TM mengadakan perjanjian berkenaan dengan tanah yang
bersertifikat Hak Pakai No 41 dan bukan tentang tanah dengan sertifikat Hak Guna
Bangunan No 3124 milik Penggugat. Sehingga hakim mengindahkan akta perjanjian
dan surat kuasa tersebut dengan menyatakan akta perjanjian dan surat kuasa tidak
berlaku. Hakim dalam memutus perkara dengan melihat dari adanya sertifikat secara
fisik atas nama Penggugat (DM) yang merupakan surat tanda bukti hak sebagai alat
bukti yang kuat mengenai data fisik dan yuridis di dalamnya. 212
Pada hakekatnya setiap individu memiliki kebebasan untuk mendapatkan
keadilan atas perkara yang diajukan di pengadilan. Namun, dalam kasus ini
Penggugat hanya merasa tidak adil, karena dicantumkannya Sertifikat atas namanya
sendiri ke dalam akta wasiat dan dibagikan kepada ahli waris yang lain. Tetapi,
kurang tepat apabila Penggugat tersebut mengatakan Notaris LSN telah menyalahi
aturan/ prosedur Jabatan Notaris yang ternyata dalam hal ini, Notaris LSN
menjalankan tugasnya sesuai dengan kehendak si pewasiat dalam pembuatan akta
wasiat.
212
Pasal 32 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
135
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Akibat hukum terhadap akta wasiat yang dibuat oleh Notaris atas kelalaiannya
yaitu akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan, dimana dari segi isinya, dalam akta tersebut terdapat kesalahan sebagai
pelanggaran yang dilakukan Notaris atau cacat dalam bentuknya, selain itu akta
wasiat tersebut juga dapat dibatalkan dimana dalam pembuatan akta wasiat
tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan dan pihak yang merasa dirugikan
tersebut meminta pembatalan kepada Hakim secara perdata, dengan adanya bukti
lawan dari pihak yang merasa dirugikan. Sebagaimana ketentuan Pasal 84 UUJN,
akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
selain itu wasiat tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat
membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karna pembuatan suatu akta
harus memenuhi tiga unsur yaitu lahiriah, formal, materiil atau salah satu unsur
tersebut tidak benar yang dapat menimbulkan perkara perdata yang kemudian
dapat dibuktikan kebenarannya.
2.
Bentuk pertanggungjawaban terhadap Notaris secara perdata sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata, berupa sanksi untuk melakukan
penggantian biaya atau rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Mengenai tanggung jawab Notaris
135
Universitas Sumatera Utara
136
atas akta yang dibuatnya dalam hal pidana, tidak diatur dalam UUJN, namun jika
terbukti
suatu
perbuatan
pidana,
Notaris
mempertanggung
jawabkan
perbuatannya dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pidana kurungan atau
pidana penjara sesuai Pasal 264 KUHPidana. Tanggung jawab secara
administratif juga dikenakan kepada Notaris sesuai dengan Pasal 85 UUJN
berupa teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat, pemberhentian tidak hormat. Secara Kode Etik Notaris, tanggung
jawab dikenakan sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya,
juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai Notaris.
3.
Dalam kasus tersebut, Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangannya
bahwa
alasan-alasan
kasasi
dapat
dibenarkan.
Pemohon
kasasi
telah
membuktikan bahwa kondisi Almarhum tidak layak atau setidak-tidaknya tidak
sehat secara mental dan fisik, sehinga secara keseluruhan tidak mampu berbuat
dan bertanggung jawab secara hukum. Sehingga Almarhum tidak mungkin dapat
melakukan pembuatan akta wasiat. Maka, hakim menyatakan dalam putusannya
bahwa atas kesalahan notaris dalam pembuatan akta wasiat, maka notaris telah
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta wasiat dan akta
wasiat tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Apabila diperhatikan materi gugatan secara seksama, maka notaris sudah
seharusnya tidak disalahkan apalagi dituntut untuk mengganti kerugian. Notaris
dalam membuat akta wasiat telah mematuhi tata cara (prosedur) sebagaimana
yang ditetapkan dalam Pasal 39 UUJN mengenai kecakapan penghadap dalam
Universitas Sumatera Utara
137
membuat akta. Penghadap juga cakap bertindak dalam hukum, karena masih
mampu bernalar. Hal ini didasarkan pasal 895 KUHPerdata, pembuat testament
harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testament adalah
orang yang sakit ingatan, dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak
dapat berpikir secara teratur. Tergugat juga memeriksa bukti surat yang berkaitan
dengan keinginan atau kehendak penghadap, akta wasiat juga dibacakan Notaris
dihadapan penghadap dan dihadiri oleh saksi, serta notaris juga membuat
pemahaman kepada penghadap terhadap akta yang dibuat dalam bahasa
indonesia.
B. Saran
Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka
selanjutnya dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1.
Sebelum membuat akta, untuk menjamin kepastiannya, Notaris harus selalu jeli
memeriksa satu per satu dokumen dengan benar dan menyesuaikannya kembali
dengan berkas-berkas yang dimiliki oleh penghadap. Akta yang dibuat Notaris
merupakan akta otentik yang memiliki alat bukti yang sempurna, karena apabila
akta yang telah dibuat Notaris mengandung cacat hukum, maka para pihak dalam
akta akan menuntut Notaris atas kesalahan dalam pembuatan akta.
2.
Notaris dalam membuat akta harus harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti
dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan
hukum yang berlaku dan berlandaskan pada moral dan etika serta lebih
Universitas Sumatera Utara
138
mengemban tanggung jawabnya sebagai Notaris yang berwenang dalam bidang
pembuatan akta.
3.
Dalam memutus perkara akta wasiat yang menyatakan Notaris melakukan
perbuatan hukum, sebaiknya hakim mempertimbangkan dari segi Notaris yang
telah memenuhi prosedur tata cara pembuatan akta yang baik dan benar
sebagaimana dalam UUJN. Atas putusan hakim yang berdampak langsung
membatalkan akta wasiat, memang mendatangkan keadilan bagi si Penggugat,
namun ahli waris lain menjadi tidak dapat melakukan tindakan hukum atas harta
peninggalan Almarhum.
Universitas Sumatera Utara
Download