BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal ini gempa tektonik, adalah gempa bumi yang terjadi akibat pelepasan energi dari proses deformasi pada kerak bumi yang terakumulasi dalam kurun waktu yang sangat lama. Proses deformasi yang terjadi disebabkan oleh aktifitas tektonik berupa pergerakan lempenglempeng tektonik disekitarnya. Energi yang dilepaskan oleh gempa tektonik bersifat merusak dan menghasilkan getaran pada kerak bumi yang dapat dideteksi oleh alat pendeteksi gempa di seluruh dunia dengan intensitas yang berbeda, yang disebut dengan gelombang seismik. Gempa tektonik merupakan gempa bumi yang paling sering terjadi di dunia, biasanya terjadi di daerah batas antar lempeng dan sekitar sistem sesar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Kerapatan gempa tektonik di dunia pada 1963-1998, dimana sebagian besar terjadi di daerah batas antar lempeng dan sekitar sesar [www.wikipedia.com, 2007]. 6 2.2 Tektonik Lempeng Penyebab utama terjadinya gempa bumi disebabkan oleh adanya gaya yang berasal dari interior bumi, yang disebut gaya konveksi mantel. Gaya konveksi mantel yang disebabkan tekanan arus panas bumi inilah, yang mengakibatkan pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang berada diatasnya. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik ini kemudian membentuk daerah batas antar lempeng dan sistem sesar. Dalam istilah geologi, lempeng diartikan sebagai bagian materi penyusun bumi paling atas dengan ketebalan kira-kira hingga 100 km [Stein, 2003]. Sekitar 225 juta tahun yang lalu, lempeng-lempeng tergabung dalam satu benua besar bernama Pangaea. Menurut teori pergerakan benua (continental drift), yang dibuat oleh Wagener, Pangea kemudian terpecah menjadi dua benua besar bernama Laurasia di bagian utara dan Gondwanaland di bagian selatan. Berdasarkan hitungan waktu geologi, bagian-bagian bumi tersebut kemudian saling terpisah dan membentuk lempeng serta benua baru, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Sejarah pembentukan lempeng dan benua yang dikemukakan oleh Wagener dalam teori continental drift [http://usgs.gov, 2007]. 7 Lempeng-lempeng tektonik yang terbentuk sekarang ini, tanpa kita sadari bergerak terus menerus secara konstan. Akibat pergerakan tersebut terbentuklah daerah-daerah batas antar lempeng. Terdapat tiga jenis pergerakan antar lempeng tektonik relatif terhadap lempeng yang lain, yaitu bersubduksi, saling menjauh, dan saling geser. Selain itu terdapat pula beberapa batas antar lempeng yang belum terdefinisi jenis pergerakannya. Gambar 2.3 menunjukkan lempeng-lempeng tektonik yang ada di dunia saat ini, beserta jenis pergerakannya. Gambar 2.3 Lempeng-lempeng tektonik di dunia saat ini beserta jenis pergerakannya [www.weatherwizkids.com, 2007]. Proses subduksi dianalogikan seperti tongkat kayu yang dibengkokkan. Dengan tingkat elastisitasnya, tongkat kayu yang dibengkokkan tersebut pada akhirnya akan patah, sama halnya dengan lempeng tektonik yang bertabrakan atau bersubduksi. Lempeng-lempeng tertonik tersebut kemudian akan saling bergesekan, dan mengakibatkan terjadinya akumulasi energi di daerah gesekan tersebut. Ketika lempeng tidak mampu lagi mengakomodasi akumulasi energi yang terjadi, maka energi tersebut akan dilepaskan dalam bentuk gempa bumi. 8 2.3 Elastic Rebound Theory Penelitian ilmiah mengenai gempa bumi, pertama kali dilakukan setelah terjadinya peristiwa gempa Lisbon-Portugal yang disertai tsunami, pada 1 November 1755. Gempa bumi yang menewaskan hingga 70.000 korban jiwa ini, dihipotesa berasal dari pergerakan kerak bumi di dasar laut yang disebut zona subduksi. Kemudian penelitian mengenai gempa bumi mengalami perkembangan baru, yaitu ketika terjadinya peristiwa gempa San Francisco tahun 1906. Setelah peristiwa gempa bumi tersebut, para peneliti menemukan jejak sesar sepanjang 270 mil, yang dinamakan San Andreas Fault (Gambar 2.4) [Stein, 2003]. Gempa bumi tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran relatif antara kedua sisinya, yang diperlihatkan dengan saling menjauhnya kedua sisi sungai San Andreas yang memotong sesar tersebut. Sehingga muncullah sebuah teori yang menjelaskan proses terjadinya gempa bumi, yang dikemukakan Harry Fielding Reid seorang peneliti Amerika, yang kemudian dikenal dengan istilah Elastic Rebound Theory. Gambar 2.4 San Andreas Fault [Stein, 2003]. 9 Elastic rebound theory menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya pergeseran antara dua blok batuan yang bergerak berlawanan, relatif terhadap yang lainnya. Namun pada daerah sekitar sesar tidak terjadi pergerakan, yang menunjukkan adanya daerah kuncian (coupling zone) disekitar sesar tersebut. Kemudian ketika coupling zone, dengan tingkat elastisitas material batuannya, tidak mampu lagi mengakomodasi pergerakan dua blok batuan yang berlawanan, maka coupling zone tersebut akan patah dan terjadilah gempa bumi. Patahnya coupling zone mengakibatkan terjadinya pergeseran pada kedua blok batuan tersebut, yang pada Gambar 2.5 ditunjukkan dengan terpisahnya sebuah jalan yang memotong jalur sesar. Gambar 2.5 Ilustrasi Elastic Rebound Theory, yang dikemukakan Harry Fielding Reid, yang menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya gempa bumi. 10 2.4 Earthquake Geodesy Dewasa ini aplikasi GPS telah banyak digunakan dalam mempelajari dinamika sistem bumi (geodinamika), yang salah satunya adalah fenomena gempa bumi. Pada dasarnya, studi geodinamika dengan GPS adalah mengamati perubahan koordinat geodetik dari titik-titik pengamatan yang dilakukan secara kontinyu atau berkala (periodik), dengan ketelitian posisi hingga orde milimeter. Dengan tingkat ketelitian yang tinggi tersebut, diharapkan pergerakan kerak bumi yang relatif kecil dan lambat, dapat terdeteksi dengan baik. Untuk mencapai ketelitian tersebut, maka digunakan metode survey GPS serta strategi pengolahan data yang menunjang tujuan tersebut. Kontribusi data geodetik dalam bidang kajian gempa bumi dikenal pula dengan istilah earthquake geodesy. Teknologi GPS merupakan teknologi penentuan posisi global yang paling populer di dunia saat ini. GPS atau NAVSTAR GPS (Navigational Satellite Timing and Ranging Global Positioning System) adalah suatu sistem radio navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, serta didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia [Abidin, 1995]. Gambar 2.6 menunjukkan konstelasi satelit GPS yang terdiri dari 24 satelit yang terbagi dalam 6 orbit. Dengan adanya 24 satelit yang mengangkasa tersebut, maka 4 sampai 10 satelit GPS akan selalu dapat diamati pada setiap waktu dari manapun di permukaan bumi. Gambar 2.6 Konstelasi satelit GPS [Abidin, 2007]. 11 Beberapa kelebihan yang ditawarkan oleh GPS, khusus dalam studi geodinamika, adalah sistem ini tidak memerlukan banyak dana untuk proses risetnya. Selain itu hal yang tidak kalah penting pula adalah data hasil pengamatan GPS dapat menyediakan cakupan ketelitian posisi baik spasial maupun temporal yang luas beserta stabilitasnya. GPS muncul sebagai alternatif metode geodetik yang murah untuk digunakan dalam studi geodinamika seperti gempa bumi. Ketelitian posisi yang diperoleh dari hasil pengamatan GPS secara umum akan tergantung pada empat faktor [Abidin, 1995], seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7, yaitu : 1. Ketelitian data dari masing-masing satelit, 2. Geometri satelit, 3. Metode penentuan posisi, dan 4. Strategi pemrosesan data. Berdasarkan cara memperhitungkan dan memperlakukan faktor-faktor tersebut, maka kita akan memperoleh tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Gambar 2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas data [Abidin, 2007]. 12 Ketelitian data yang diterima receiver dari satelit GPS erat kaitannya juga dengan tipe receiver yang digunakan dalam pengamatan yang dilakukan. Berdasarkan tingkat ketelitian posisinya, terdapat 3 macam tipe receiver GPS [Abidin, 2007] : • Tipe Navigasi (Handheld), dengan tingkat ketelitian posisi yang dapat diberikan saat ini hanya mencapai 3-6 meter. • Tipe Geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan dengan tingkat ketelitian posisi mulai orde desimeter hingga sentimeter. • Tipe Geodetik dual frekuensi, dengan tingkat ketelitian posisi hingga mencapai orde milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning untuk studi deformasi dan geodinamika seperti studi potensi gempa bumi. Prinsip penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak dari pengamat ke beberapa satelit secara simultan yang diketahui koordinatnya, sehingga posisi pengamat dapat ditentukan, seperti ilustrasi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.8. Untuk mendapatkan koordinat x, y, dan z, receiver membutuhkan pengamatan dari minimal tiga buah satelit, dan pengamatan dari satelit keempat atau lebih dibutuhkan untuk keakuratan estimasi dalam penentuan posisi pengamat. Semakin banyak satelit yang diamati, semakin baik pula geometri satelit dalam penentuan posisi yang dilakukan, kaitannya untuk memperoleh ketelitian posisi yang diinginkan. Dalam penentuan posisinya, satelit GPS menggunakan sistem referensi koordinat (datum) global, yang merupakan sistem yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang, yaitu World Geodetic System 1984 (WGS 84). Gambar 2.8 Prinsip penentuan posisi dengan GPS [Abidin, 2007]. 13 Dari berbagai metode penentuan posisi dengan GPS, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, metode yang tepat untuk digunakan dalam studi potensi gempa bumi adalah metode statik-diferensial. Metode pengamatan ini memerlukan minimal 2 buah receiver yang diukur secara bersamaan. Posisi titik yang satu ditempatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya yang disebut sebagai titik referensi (base station), sedangkan posisi titik lainnya (rover) ditentukan relatif terhadap titik referensi tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10. Gambar 2.9 Metode-metode penentuan posisi dengan GPS, dan metode yang digunakan dalam studi potensi gempa bumi, yang diarsir merah [Abidin, 2007]. Gambar 2.10 Metode penentuan posisi dengan GPS secara statik-diferensial [Abidin, 2007]. 14 Konsep dasar metode penentuan posisi secara diferensial adalah mereduksi atau mengeliminir efek-efek dari beberapa kesalahan dan bias yang terdapat dalam pengamatan. Kesalahan dan bias tersebut antara lain seperti kesalahan jam receiver, kesalahan orbit satelit, bias atmosfer, dan lain-lain. Dalam metode penentuan posisi secara diferensial, masing-masing kesalahan baik dari titik referensi maupun titik rover diasumsikan homogen karena diamati secara bersamaan dan oleh satelit yang sama pula. Sehingga kesalahan dari dua pengamatan tersebut dapat saling mengeliminir, sehingga akan diperoleh ketelitian posisi yang lebih baik dibandingkan dengan penentuan posisi hanya dari pengamatan satu buah receiver saja (absolut). Efektivitas dari metode penentuan posisi secara statik-diferensial sangat tergantung pada faktof-faktor sebagai berikut : • Jarak antara titik referensi dengan titik yang akan ditentukan posisinya (baseline), dimana semakin pendek baseline semakin efektif pengamatan yang dilakukan terhadap satelit yang sama antar titik-titik baseline. • Lama pengamatan yang dilakukan, dimana semakin lama pengamatan akan semakin banyak data posisi yang diterima oleh receiver dari satelit. • Strategi pengolahan data, dimana dalam studi potensi gempa bumi biasanya dilakukan dengan menggunakan software ilmiah seperti Bernesse. 2.5 Siklus Gempa Bumi Siklus gempa bumi didefinisikan sebagai perulangan gempa bumi. Peristiwa gempa bumi, dalam hal ini gempa besar, dihipotesa sebagai suatu siklus yang pernah terjadi sebelumnya dan akan berulang secara periodik pada masa yang akan datang. Periode suatu siklus gempa bumi biasanya berlangsung dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan tahun, tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Untuk mengetahui siklus gempa bumi di suatu daerah, salah satunya dapat dilakukan melalui penelitian pertumbuhan terumbu karang, seperti pada Gambar 2.11 yang menunjukkan siklus gempa bumi di sekitar Bengkulu-Mentawai. 15 Gambar 2.11 Grafik siklus gempa bumi hasil penelitian pertumbuhan terumbu karang di sekitar Bengkulu-Mentawai, yang menunjukkan periode ±200 tahun [Natawidjaja, 2004]. Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa mekanisme tahapan terjadinya gempa bumi, yaitu tahapan interseismic, pre-seismic, co-seismic, dan postseismic [Segall, 1997], dengan grafik siklus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.12. Tahapan interseismic merupakan tahap awal dari satu siklus gempa bumi. Tahapan sesaat sebelum terjadinya gempa bumi dinamakan tahapan pre-seismic, sedangkan tahapan ketika terjadinya gempa utama dinamakan tahapan co-seismic. Setelah gempa utama terjadi, siklus gempa memasuki tahapan post-seismic, untuk kemudian memasuki tahapan interseismic yang baru (siklus gempa bumi selanjutnya). Fenomena yang terjadi pada masing-masing tahapan gempa bumi tersebut dapat didokumentasikan dengan baik, salah satunya yaitu dari data hasil pengamatan GPS. Gambar 2.12 Grafik siklus dan tahapan gempa bumi [Andreas, 2005]. 16 2.6 Deformasi Interseismic Sebagai Salah Satu Parameter Studi Potensi Gempa Bumi Dalam memahami karakteristik gempa bumi secara menyeluruh tentunya diperlukan pengkajian terhadap tahapan demi tahapan siklus gempa bumi sebagai parameternya. Dengan mempelajari fenomena tahapan siklus gempa bumi, maka kita dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya perulangan gempa bumi di masa yang akan datang. Namun tentu saja memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat mempelajari semua tahapan tersebut, mengingat untuk memperoleh data satu siklus gempa bumi di zona subduksi Sumatra saja sekitar 200 tahun. Selain itu, banyak faktor lain yang menyebabkan kemungkinan terjadinya gempa bumi, yang mengakibatkan terjadi lebih awal atau lebih lama dari prediksi yang telah dibuat. Sehingga dapat dikatakan bahwa studi potensi gempa bumi melalui tahapan siklus gempa bumi merupakan studi jangka panjang. Tahapan interseismic, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan tahap awal dari suatu siklus gempa bumi. Tahapan interseismic ditunjukkan dengan fenomena terjadinya deformasi dan akumulasi energi akibat pergerakkan lempenglempeng tektonik. Fenomena deformasi interseismic yang menyertai tahapan interseismic dapat didokumentasikan dengan baik oleh hasil pengamatan GPS. Berdasarkan data hasil pengamatan GPS, fenomena deformasi interseismic ditunjukkan oleh vektor pergeseran yang terjadi di titik-titik pengamatan GPS selama selang waktu tertentu. Arah pergerakan interseismic cenderung searah dengan arah pergerakan subduksi lempeng samudera terhadap benuanya. Sedangkan arah pergerakan co-seismic dan post-seismic bergerak berlawanan dengan arah pergerakan interseismic, seperti ilustrasi yang ditunjukkan pada Gambar 2.13. 17 a) Relax Condition Titik GPS Lempeng Benua Lempeng Samudera Coupling Zone b) Interseismic Lempeng Benua Lempeng Samudera c) Co-seismic / Post-seismic Lempeng Benua Lempeng Samudera Gambar 2.13 Ilustrasi arah vektor pergeseran interseismic yang diperoleh dari data hasil pengamatan titik-titik GPS (b), dan perbandingannya dengan arah vektor pergeseran coseismic/post-seismic yang berlawanan (c). 18 Sebenarnya coupling zone yang terbentuk seperti pada Gambar 2.13 tidaklah sesederhana itu. Biasanya material batuan keras yang sebelumnya saling merekat kemudian tiba-tiba patah, ketika merekat lagi tidak akan kembali pada posisinya semula. Sehingga akan terjadi dislokasi yang mengakibatkan material batuan tersebut tidak merekat sepenuhnya Namun hanya merekat pada bidang-bidang rekat lebih kecil atau sebut saja titik rekat, yang dalam ilmu seismologi dinamakan asperity, dimana gempa bumi berawal dari titik tersebut. Bidang asperity pun bervariasi, yang menunjukkan kuat atau lemahnya kuncian pada coupling zone, dengan pengaruh yang berbeda-beda pula pada proses deformasi batuan dan titik-titik GPS diatasnya. Gambar 2.14 Ilustrasi realitas coupling zone. Dari data hasil pengamatan GPS dapat diketahui besarnya nilai deformasi yang terjadi serta kecepatan rata-rata (velocity rate) per tahunnya. Dari velocity rate yang diperoleh dapat diketahui besarnya akumulasi deformasi yang telah terjadi. Sehingga besarnya potensi energi gempa bumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dapat diestimasi. Hal ini menunjukkan bahwa deformasi interseismic dari suatu siklus gempa bumi dapat dikatakan sebagai salah satu parameter atau bahkan merupakan tahapan siklus gempa yang penting dalam studi potensi gempa bumi. 19