Uploaded by User18047

TAGLINE GIZI edisi II 2019

advertisement
ASOSIASI DIETISIEN INDONESIA
DPD JAWA BARAT
SALAM REDAKSI
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Sahabat TaG LINE yang terhormat.
Seputar Kegiatan I :
Kemeriahan Pelatihan Pelayanan Gizi
Gelombang II Tahun 2019
Tabloid Gizi Online (TaG LINE) merupakan
Tabloid gizi pertama yang dikeluarkan oleh
Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI) DPD Jawa
Barat.
Halo teman-teman TaG LINE, hayo siapa
yang ikut pelatihan pelayanan gizi gelombang II
tahun 2019 kemarin?, pasti masih kebayang dong
serunya seperti apa
Tujuan diterbitkannya Tabloid Gizi Online
ini adalah supaya menjadi salah satu alternatif
Tambahan Informasi dan bacaan seputar gizi.
Yups, pelatihan pelayanan gizi gelombang
II tahun 2019 yang diadakan oleh AsDI DPD Jawa
Barat pada 21-24 Agustus 2019 di Hotel Grand
Tjokro Bandung telah selesai dilaksanakan dengan
jumlah total peserta sebanyak 180 peserta dari
sabang sampai merauke.
Tabloid Gizi Online (TaG LINE), akan terbit
secara online setiap 1 bulan sekali. Tentunya
dengan adanya keterbatasan sumber daya, waktu
pengerjaan Tabloid Gizi Online ini jauh dari Kata
Sempurna.
Oleh sebab itu kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi untuk kebaikan Tag
LINE di masa yang akan datang. Terima Kasih.
Berikut beberapa acara yang berhasil
dikumpulkan tim TaG Line :
1. Kegiatan dibuka langsung oleh Ibu Ketua
TP PKK Jawa Barat : Atalia Praratya
Ridwan Kamil
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
(Redaksi)
Tentang Redaksi
Pelindung :
Ketua DPP PERSAGI
Ketua DPP AsDI
Penanggung Jawab :
Ketua AsDI DPD Jawa Barat
Pimpinan Redaksi :
Yuni Kristina, SST., RD
Wakil Pimpinan Redaksi :
Yuliati Widiastuti., S.Gz., M.Gz
Editor, Tata Letak/Artistik :
Chriestien Porajow, S.Gz
Tota Stiawati, AMG
Suratman Abdillah Fajar, AMG
Penerbit :
Sie Pengabdian Masyarakat dan Publikasi
AsDI DPD Jawa Barat
Selain itu ibu Atalia memaparkan terkait
program TP PKK Jawa Barat dalam mengatasi
permasalah gizi di Jawa Barat.
Dan juga ibu Atalia Praratya memberikan
pesan bahwa betapa pentingnya peran organisasi
profesi seperti PERSAGI dan AsDI dalam
membantu menyelesaikan permasalahan gizi di
jawa barat.
3. Suasana pembelajaran di Kelas
Pada pelatihan kali ini AsDI DPD Jawa Barat
membuka 6 kelas pelatihan diantaranya :
2. Persembahan Tarian Merak dan Lagu-lagu
Selain itu Acara pembukaan pun
dimeriahkan oleh beberapa penampilan hiburan
dari adik adik mahasiswa jurusan gizi.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kelas NCP Basic
Kelas Nutrition & Immunity
Kelas Mutu Pelayanan Gizi
Kelas Keamanan Makanan
Kelas NFPA
Kelas Kredensial Gizi
Diawali dengan tarian merak dengan
keindahan gerakannya begitu sangat memukau di
bawakan oleh adik-adik mahasiswa jurusan gizi
STIK Immanuel Bandung
Lalu dilanjutkan dengan persembahan
lagu-lagu yang sangat merdu dari adik-adik
mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes
Bandung. Dengan lagu Indonesia Raya, Mars Gizi
dan Hymne AsDI DPD Jawa Baratnya.
4. Kegiatan Olahraga
“Men sana in Corpore sano”
yang artinya didalam tubuh yang kuat
terdapat jiwa yang sehat jadi selain menuntut ilmu
maka kesehatan jasmani pun perlu diperhatikan
Oleh sebab itu AsDI DPD Jawa Barat
dalam setiap pelatihannya selalu mengadakan
senam bersama dengan tujuan kesehatan dan
kebugaran para peserta dapat terjaga.
4. Kelas Keamanan Makanan : Rosidah
Inayati, SST, S.Gz., MM., RD – RS Saiful
Anwar malang
5. Kelas NFPA : Yudhi Andrianto - RSCM
6. Kelas Kredensial Gizi : Iswanto – RSUD
Raden Mattaher Jambi
6.
Malam Keakraban
Rangkaian kegiatan pelatihan diselingi
dengan malam keakraban, yang berlokasi di Sierra
cafe Dago.
Dimana acaranya adalah makan bersama
dan setiap peserta kelas menampilkan yel-yel dan
kreasi penampilan kelas.
Tujuannya selain mempererat silaturahmi
antar ahli gizi juga meningkatkan kekompakan
dan keterampilan para peserta.
5. Apresiasi dan Penghargaan
Selain itu AsDI DPD Jawa Barat pun
memberikan penghargaan dan apresiasi kepada
para peserta telah berupaya keras melawan rasa
kantuk, keaktifan, ketepatan menjawab dalam
setiap pembelajaran.
Diantaranya para peserta terbaik dari setiap
kelas yaitu :
1. kelas Kelas NCP Basic : Luthfianti Diana
Mauludiyah - RSCM
2. Kelas Nutrition & Immunity : Fachrurozi,
S.Gz., RD – RSUD Banyumas Jateng
3. Kelas Mutu Pelayanan Gizi : Hendi
Gunawan - RSUD Tamansari Jakarta
Sajian Utama I :
Gangguan Metabolisme Lemak
Pada Penyakit Wolman
Penulis : Suratman Abdillah Fajar, AMG
a. Sejarah
Penyakit ini ditemukan pada tahun 1956
oleh peneliti yang bernama Moshe Wolman.
penyakit ini dikenal dengan LAL-D terbagi
menjadi dua gangguan yaitu pertama penyakit
wolman dan kedua Cholessteryl Ester Storage
(CES).
Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D).
Penyakit wolman sering muncul pada bayi
sedangkan CES sering terjadi pada anak-anak dan
dewasa. Kedua gangguan ini disebabkan oleh
Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D).
b. Epidemiologi
Penyakit wolman biasanya ditemukan pada
komunitas iran-yahudi . dengan prevalensinya 1
dari 4200 kelahiran. Selain itu diturunkan melalui
genetik sehingga
setiap saudara kandung
memiliki peluang 25% untuk mengalami penyakit
ini jika ayah atau ibunya membawa sifat gen ini.
c. Pengertian
Penyakit wolman atau penyakit akibat
Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D) adalah
penyakit yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme lemak dimana penyakit ini bisa
terjadi jika kekurangan enzim lipase asam
lisosomal.
Penyakit Wolman dihasilkan ketika jenis
spesifik pada kolesterol dan trigliserida
menumpuk dijaringan. Bianya penyakit ini
disebabkan karena pembesaran limfa dan hati.
Hal ini bisa mengakibatkan penumpukan
racun dari lemak ke dalam sel dan jaringan tubuh.
Penumpukan ini bisa berupa lipid termasuk lilin,
minyak dan kolesterol.
d. Etiologi
Akibat adanya mutasi GEN LIPA, dan
karena kekurangan enzim lipase asam lisosomal.
Sehingga menyebabkan terjadinya hiperlipidemia
dan pembesaran hati.
e. Patogenesis
Enzim lipase asam lisosom adalah
kompartemen lisosom dengan sel. Saat enzim
lipase asam lisosom berfungsi baik dan cukup
maka lemak seperti trigliserida dan ester kolesterol
dimetabolisme menjadi komponen lemak yang
lebih sederhana melalui hidrolisis. Setelah
trigliserida dipecah, asam lemak akan digunakan
sebagai energi
Sedangkan ester kolesterol akan dipecah
menjadi komponen kolesterol dan asam lemak.
Yang nantinya akan di transportasikan kedalam
sel. Lalu lemak ini akan dibuang melalui hati.
Ketika enzim lipase asam
lisosomal
berkurang maka akan terjadi mutasi gen LIPA
yang memetakan kromosom 10q24-25 memiliki
ekson dan panjangnya sekitar 45 kb. Mutasi ini
mengakibatkan hilangnya fungsi pada gen. Gen
LIPA sendiri bertanggung jawab untuk
memfasilitasi produksi enzim lipase asam
lisosomal.
Akibat hilangnya fungsi gen , maka kerja
enzim lipase asam lisosom pun akan menurun
salah satu akibatnya adalah adanya gangguan
metabolime pada lemak. Umumnya kadar lipid
akan menjadi tinggi dan menumpuk di hati, limpa,
sumsum tulang belakang, usus, kelenjar getah
bening dan kelenjar adrenal.
Bila metabolisme lemak terganggu maka
akan menghasilkan penumpukan lemak beracun ,
pembersihan LDL berkurang, dalam sel dan
jaringan tubuh yang menyebabkan beberapa tanda
dan gejala pada penyakit wolman. Selain itu
terjadinya penyimpanan kalsium pada kelenjar
adrenalin membuat limfa dan hati menjadi lebih
keras dan diare lamak dapat terjadi.
f. Tanda dan Gejala
Ketidakmampuan melakukan pemecahan
lemak pada penyakit wolman akan menimbulkan
gejala :
1. Distensi Perut
2. Kalsifikasi adrenal
3. Kegagalan hati
4. Hepatomegali
5. Mual dan muntah
6. Steatorhhea
7. Anemia
8. Asites
9. Cachexia
10. Penyakit kuning atau jaundice
11. Gagal tumbuh
12. Diare
13. Malabsorpsi
14. Sirosis hati akibat adanya fibrosis hati
g. Prognosis
Bayi dengan defisiensi LAL biasanya
menunjukan tanda-tanda penyakit pada minggu –
minggu pertama kehidupan dan jika tidak di obati,
meninggal dalam 6-12 bulan karena kegagalan
multi organ. Sedangkan anak-anak dapat bertahan
sampai pada usia 4-11 tahun.
Anak-anak yang lebih tua atau orang
dewasa dengan LAL-D dapat tetap tidak
terdiagnosa atau salah didiagnosis sampai mereka
meninggal lebih awal karena serangan jantung
atau stroke atau mati mendadak karena gagal hati.
Dalam uji klinis pengobatan sembilan bayi
diikuti selama satu tahun 6 dari mereka hidup
lebih dari satu tahun. Sedangkan anak-anak dan
orang dewasa yang lebih besar didikuti selama 36
minggu.
h. Pencegahan
Perlu adanya sebuah test genetik dan
konseling untuk anggota keluarga dan diagnosis
kehamilan prenatal genetik untuk wanita yng
memiliki resiko tinggi. Test genetik yang
dilakukan diantaranya pengujian gen tunggal,
panel multigene, ataupun bisa melakukan
pengujian genomik.
Perlu juga adanya pengujian laboratorium
seperti konsentrasi total kolesterol, lipoprotein dan
trigliserida.
i. Pengobatan
Penyakit wolman memfokuskan pada
perawatan bayi, terutama pada pengurangan
komplikasi spesifik dan diberikan di pusat pusat
khusus. Intervensi khusus pada bayi ini adalah
pemberian ASI, perubahan dari susu formula biasa
pada susu formula khusus rendah lemak.
Pemberian makan intravena. Antibiotik untuk
infeksi, dan terapi pergantian steroid.
Sedangkan salah satu obat yang biasa
digunkan untuk mengatasi penyakit wolman
adalah obat Sebelipa alfa yaitu bentuk rekombinan
dari LAL. Yang berfungsi untuk terapi
penggantian enzim yang memungkinkan tubuh
mampu memecah trigliserida dan ester koleterol
mejadi komponen lipid/lemak menjadi lebih
sederhana. Selain itu perlu adanya dukungan
nutrisi sperti diet rendah lemak.
Sajian Utama II :
Sistem Imun Pada Hepatitis
Penulis : Alia Sofaka, AMG., RD
A. PENDAHULUAN
Penyakit hepatitis B merupakan maalah
kesehatan utama, baik di dunia maupun di
Indonesia. Diperkirakan sepertiga populasi dunia
pernah terpajan oleh virus ini dan 350-400 juta
diantaranya merupakan pengidap hepatitis B.
Negara-negara berkembang memiliki prevalensi
yang lebih tinggi, dimana pengidap hepatitis B
pada populasi sehat diperkirakan mencapai 420,3% di Indonesia.
B.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis B(VHB), yang merupakan virus DNA
berlapis ganda dengan diameter 42 nm. Virus ini
berasal dari keluarga Hepadnaviridae dengan
struktur virus bagian terluar terdiri dari HBsAg
dan bagian dalam adalah nukleacapsid yang
tersusun atas HBcAg. Pajanan virus ini dapat
menimbulkan dua manifestasi klinis yaitu :
 Secara akut, yang kemudian sembuh secara
spontan dan membentuk kekebalan
terhadap penyakit
 Secara kronik, dengan definisi dari
hepatitis B kronik adalah persistensi VHB
lebih dari 6 bulan.
C.
PATOGENESIS
Struktur genom VHB terdiri dari empat open
reading frame (ORF), yatu gen S dan pre-S
(mengode HBsAg), gen pre-C dan gen C
(mengode HBeAg dan HBcAg) dan gen P yang
mengode DNA polymerase serta gen X yang
mengode HBxAg. Berikut genom VHB dengan 4
ORF.
Gambar 1. Genom VHB dengan ORF
Infeksi VHB dapat terjadi apabila pertikel utuh
VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit, emudian
kode genetic VHB akan masuk ke dalam inti sel
hati
dan kode
genetik tersebut akan
memerintahkan sel hati untuk membentuk proteinprotein komponen VHB.
Patogenesis penyakit ini dimulai dengan
masuknyaVHB ke dalam tubuh secara parenteral.
Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB
dalam hati, yaitu :

Attachment
Virus yang menempel pada reseptor
permukaan sel. Penempelan terjadi dengan
perantaraan protein pre-S1, protein pre-S2 dan
poly-HAS (polymerized Human Serum Albumin)
serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B
antigen surface).

Penetration
Virus masuk secara endositosis ke dalam
hepatosit. Membrane virus menyatu dengan
membrane sel pejamu (host) dan kemudian
memasukkan partikel core yang terdiri dari
HBcAg, enzyim polymerase dan DNA VB ke
dalam sitoplasma sel pejamu. Partikel core
selanjutnya ditransportasikan menuju nucleus
hepatosit.

Uncoating
VHB bereplikasi dengan menggunakan
RNA. VHB berbentuk partially double stranded
DNA yang harus diubah menjadi fully double
stranded DNA terlebih dahulu, dan membentuk
covalently closed circular DNA (cccDNA).
cccDNA inilah yang akan menjadi template
transkripsi untuk empat mRNA.

Replication
Pregenom RNA dan mRNA akan keluar
nucleus. Translasi akan menggunakan mRNA
yang terbesar sebagai kopi material genetic dan
menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzyme
polymerase. Translasi mRNA lainnya akan
membentuk komponen protein HBsAg.

Assembly
Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan
enzim polimerasii menjadi partikel core di
sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion
akan terbentuk dan masuk kembali ke dalam
nucleus.

Realiase
DNA kemudian disintesis melalui reserve
trancriptase. Kemudian terjadi proses coating
partikel core yang telah mengalami proses
maturase genom oleh protein HBsAg di dalam
reticulum endoplasmic. Virus baru akan
dikeluarkan ke sitoplasma, kemudian dilepaskan
dari membrane sel.
Gambar 2. Patogenesis VHB
D.
FATOFISIOLOGI
Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukan
merupakan virus sitopatik. Kelainan sel hati yang
diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh
reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang
terinfeksi
VHB
dengan
tujuan
akhir
mengeliminasi VHB tersebut.
Hepatitis B dapat berkembang secara akut
dan kronis. Apabila eliminasi VHB dapat
berlangsung secara efisien, makan infeksi VHB
dapat diakhiri, namun apabila proses tersebut
kurang efisien, maka akan terjadi infeksi VHB
yang menetap. Proses eliminasi yang tidak efisien
dipengaruhi oleh factor virus maupun pejamu.
Adapun factor viral dan pejamu sebagai berikut :
Tabel 1. Faktor virus dan factor pejamu
mempengaruhi respon imun
Faktor Virus
Toleransi imun terhadap
produk VHB
Hambatan terhadap sel
T
sitotoksik
yang
berfungsi melisis sel
terinfeksi
Terjadinya mutan VHB
yang
tidak
memproduksi HBeAg
Integrasi genom VH
dalam sel hati
Faktor Pejamu
Genetik
Rendahnya IFN
Adanya
antibody
terdahap
antigen
nukleokapsid
Kelainan fungsi limfosit
Factor kelamin atau
hormonal
Gambar 3.
Rangkuman proses patofisiologi pada penyakit hepatitis B
E. RESPON IMUN SPESIFIK & NON SPESIFIK

Hepatitis B Akut
VHB bersifat
non-sitopatik,
dengan
demikian kelainan sel hati pada infeksi VHB
disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap
hepatosit yang terinfeksi VHB.
Pada kasus hepatitis akut, respon imun
tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang
terkena infeksi VHB, sehingga nekrosisi pada sel
yang mengandung VHB dan muncul gejala klinik
yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada
sebagian penderita, respon imun tidak berhasil
menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga
VHB terus menjalani replikasi.
Pada infeksi primer, proses awal respon
imun terhadap virus sebagian besar belum dapat
dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut
berhubungan dengan imunitas innate pada liver
mengingat respon imun ini dapat terangsang
dalam waktu pendek, yakni beberapa menit
sampai beberapa jam. Terjadi pengenalan sel
hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell
(sel NK) pada hepatosit maupun natural killer cell
sel T (sel NK-T).
kemudian memicu teraktivasinya sel-sel
tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus,
termasuk diantaranya interferon (terutama IFN-α).
Kenaikan kadar IFN-α menyebabkan gejala panas
badan dan malaise. Proses eliminasi innate ini
terjadi tanpa restriksi HLA, melainkan dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T yang
terangsang oleh adanya IFN-α.
Dalam Textbook of Gastroenterology,
disebutkan peran imunitas innate dalam
mengaktivasi imunitas adaptif yang terdiri dari
respon humoral dan seluler.
Respon humoral bersama-sama dengan
antibody akan mencegah penyebaran virus da akan
mengeliminasi virus yang sudah bersirkulasi.
Terdapat eliminasi virus intrasel tanpa kerusaka
pada sel hati denga mekanisme non sitolitil yang
diperantarai aktivitas sitokin.
Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali
dan menjadi marker pada infeksi akut. Pada studi
yang dilakukan oleh Busca dan Kumar tahun
2014, disebutkan juga fase awal infeksi viral
ditandai dengan adanya produksi sitokin,
interferon tipe 1 (IFN)-α/β dan aktivasi sel natural
killer. Studi tersebut juga menemukan munculnya
sel T CD8+ cenderung tida langsung membunuh
hepatosit yang terinfeksi, melainkan mengontrol
replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ
dependen.
Untuk proses eradikasi lebih lanjut,
dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi sel
limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi
setelah kontak reseptor sel T dengan kompleks
peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati dan pada dinding
Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu
rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah
mengalami kontak dengan kompleks peptide
VHB-MHC kelas II pada dinding APC.
Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi
virus sel hati yang terinveksi. Proses nekrosis
tersebut bias berupa nekrosis sel hati yang dapat
meningkatkan kadar ALT. respon imun yang
pertama terjadi sekitar 10 hari sebelum terjadi
kerusakan sel hati.respon imun ini muncul
terhadap antigen pre-S, disususl respon terhadap
HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang
terkuat adalah respon terhadap antigen S yan
terjadi 10 hari sebelum kerusakan sel hati.
Pada infeksi akut hepatitis B dapat terjadi
peningkatan respon imun seluler yang spesifik dan
signifian, sedangkan padainfeksi kronis individu
yang terinfeksi memiliki respon anti-HBV yang
rendah.
Sel efektor yang yang predominan
menginfiltrasi hepatoseluler adalah makrofag.
Imunitas cell-mediated dapat mencetuskan
peningkatan respon imun yang bertujuan
menghilangkan virus, namun satu sisi respon imun
yang tidak adekuat dapat menyebabkan jejas
hepatoseluler yang kronis.
Limfosit T sitotoksik akan berinteraksi
dengan target utama melalui reseptor HBVspesific T cell dan molekul antigen precenting
HLA class I pada hepatosit dan menyebabkan
apoptosis hepatosit.
Dengan mensekresi sitokin (termasuk
diantaranya interferon), limfosit T sitotoksik akan
menginduksi berbagai sel antigen-nonspesific
inflammatory ke dalam liver, dan menghasilkan
jejas nekroinflamasi pada liver. Berikut
mekanisme inflamasi pada hepatitis B.
VHB berada dalam fase replikatif dengan titer
HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe
negative, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT
relative normal.
Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran
dimana pada fase ini jarang terjadi serokonversi
HBeAg secara spontan dan terapi untuk
menginduksi serokonversi juga tidak efektif.
Setelah mengalami
persistensi
yang
berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi
juga tidak efektif.
Setelah mengalami
persistensi
yang
berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi
dimana pada keadaan ini pasien mulai kehilangan
toleransi imun terhadap virus ditandai dengan
adanya peningkatan pada kadar ALT. Tubuh
berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB.
Fase ini disebut dengan fase immune
clearance(imunoeliminasi). Pada fase ini, baik
dengan bantuan pengobatan maupun spontan, 70%
individu dapat menghilangkan sebagai besar
partikel VHB tanpa disertai kerusakan sel hati
yang berarti (serokonversi HBeAg). Bila titer
HBsAg rendah dengan HBeAg negative dan anti
HBe positif secara spontan, disertai kadar ALT
yang normal, pasien sudah berada dalam fase
residual (non-replikatif).
Namun dapat terjadi reaktivasi pada 20-30%
pasien pada fase ini. Pada sebagian pasien
kekambuhan, terjadi fibrosis setelah nekrosis yang
berulang-ulang. Dalam fase ini reflikasi sudah
mencapai titik minimal, namun resiko pasien
untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin
meningkat. Hal ini diduga disebabkan adanya
integrase genom VHB ke dalam genom sel hati.
Gambar 3. Mekanisme inflamasi pada hepatitis B

Hepatitis B Kronis
Pada masa nak-anak maupun dewasa muda,
system imun tubuh dapat toleran terhadap VHB,
sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat
sedemikian tingginya namun tidak terjadi
peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan ini
Hal tersebut terbagi dalam empat fase pada
infeksi hepatitis B.
Fase
HBeAg
Imonotoleran
(+)
Imunoeliminasi
(+)
HBV
DNA
≥ 20.000
IU/ml
≥ 20.000
IU/ml
Enzim
Liver
Normal
yang
persisten
ALT
meningkat
Non-replikasi
(-)
tapi
HBsAg(+)
Reaktivasi
(-) & antiHBe (+)
<2.00020.000
IU/ml
Bervariasi
(dari
meningkat
sampai
sulit
terdeteksi)
Normal
peersisten
>6 bulan
Meningkat
(bias stabil,
intermiten
atau
berfluktuasi)
Gambar 4. Fase Hepatitis B Kronis
Gambar 5. Profil serologis dan status hepatitis B
Komplikasi akibat hepatitis B kronis
mencakup terjadinya sirosis hepatis dan
Karsinoma Hepatitis
Kenali Ahli Gizi Anda :
Ibu Sunita Almatsier
“Buku Kitab Hijau” ahli gizi pasti sangat
ingat buku ini, karena hampir setiap tugas dietetik
andalan kita adalah buku beliau, yupz buku
penuntun diet, ibu Sunita Almatsier yang
menyusun buku ini, dan tentunya beliau layak kita
sebut sebagai salah satu tokoh legenda gizi di
indonesia
Ibu Sunita Almatsier dilahirkan di
Kotagadang, Sumatra Barat. beliau lulus Sekolah
Ahli Diet/Akademi Gizi pada tahun 1956. Pada
tahun 1957 beliau melanjutkan pendidikan di
bidang nutrisi di University of Tennessee,
Amerika Serikat dan memperoleh gelar M.Sc.
pada tahun 1959. Cerificate in Nutrition Research
dari Columbia University, Amerika Serikat
didapatnya pada tahun 1971.
Pada tahun 1989 ia meraih gelar Doktor
Kependidikan dari IKIP Jakarta dengan disertasi
berjudul: Pengaruh Pendekatan Belajar; Status
Anemia, dan Tambahan Zat Besi terhadap Prestasi
Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar.
Pengalaman bekerja ibu Sunita Almatsier
antara lain: tahun 1961-1979 menjabat Kepala
Bagian Gizi Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo; tahun 1980-1984 menjabat
Direktur Akademi Gizi Jakarta; tahun 1984-1986
menjabat Kepala Bidang Penyelenggaraan
Pendidikan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Depkes RI; dan tahun 1989-1990 menjabat Ketua
Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik,
Universitas Sahid.
Sekilas Info :
Tunggu Informasi Selanjutnya Ya.....
Sejak tahun 1960 hingga sekarang ia
duduk sebagai anggota pengurus Persatuan Ahli
Gizi Indonesia, dan tahun 1994-1998 menjabat
Ketua Asia Pasific Institutional Network on
Education and Traning of Professionals in
Dietetics and Food Service Systems.
Semoga semangat menulis beliau dapat
diteruskan oleh para generasi Muda Ahli Gizi
diseluruh Indonesia. (S.A.F)
AsDI DPD Jawa Barat Collaboration with PT
Otsuka Indonesia
Nutrition and Dietetic Conferences :
“Nutritional Support Of stroke Patients”
Bagi Sahabat TaG LINE yang ingin
mengirimkan kritik, saran dan tulisannya bisa
melalui no whatsapp (081223859657) atau email
ke [email protected] . salam Svastha
Harena
Download