ASOSIASI DIETISIEN INDONESIA DPD JAWA BARAT SALAM REDAKSI Assalamu’alaikum wr. Wb. Sahabat TaG LINE yang terhormat. Seputar Kegiatan I : Kemeriahan Pelatihan Pelayanan Gizi Gelombang II Tahun 2019 Tabloid Gizi Online (TaG LINE) merupakan Tabloid gizi pertama yang dikeluarkan oleh Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI) DPD Jawa Barat. Halo teman-teman TaG LINE, hayo siapa yang ikut pelatihan pelayanan gizi gelombang II tahun 2019 kemarin?, pasti masih kebayang dong serunya seperti apa Tujuan diterbitkannya Tabloid Gizi Online ini adalah supaya menjadi salah satu alternatif Tambahan Informasi dan bacaan seputar gizi. Yups, pelatihan pelayanan gizi gelombang II tahun 2019 yang diadakan oleh AsDI DPD Jawa Barat pada 21-24 Agustus 2019 di Hotel Grand Tjokro Bandung telah selesai dilaksanakan dengan jumlah total peserta sebanyak 180 peserta dari sabang sampai merauke. Tabloid Gizi Online (TaG LINE), akan terbit secara online setiap 1 bulan sekali. Tentunya dengan adanya keterbatasan sumber daya, waktu pengerjaan Tabloid Gizi Online ini jauh dari Kata Sempurna. Oleh sebab itu kami memohon kritik dan saran yang membangun demi untuk kebaikan Tag LINE di masa yang akan datang. Terima Kasih. Berikut beberapa acara yang berhasil dikumpulkan tim TaG Line : 1. Kegiatan dibuka langsung oleh Ibu Ketua TP PKK Jawa Barat : Atalia Praratya Ridwan Kamil Wassalamualaikum. Wr. Wb. (Redaksi) Tentang Redaksi Pelindung : Ketua DPP PERSAGI Ketua DPP AsDI Penanggung Jawab : Ketua AsDI DPD Jawa Barat Pimpinan Redaksi : Yuni Kristina, SST., RD Wakil Pimpinan Redaksi : Yuliati Widiastuti., S.Gz., M.Gz Editor, Tata Letak/Artistik : Chriestien Porajow, S.Gz Tota Stiawati, AMG Suratman Abdillah Fajar, AMG Penerbit : Sie Pengabdian Masyarakat dan Publikasi AsDI DPD Jawa Barat Selain itu ibu Atalia memaparkan terkait program TP PKK Jawa Barat dalam mengatasi permasalah gizi di Jawa Barat. Dan juga ibu Atalia Praratya memberikan pesan bahwa betapa pentingnya peran organisasi profesi seperti PERSAGI dan AsDI dalam membantu menyelesaikan permasalahan gizi di jawa barat. 3. Suasana pembelajaran di Kelas Pada pelatihan kali ini AsDI DPD Jawa Barat membuka 6 kelas pelatihan diantaranya : 2. Persembahan Tarian Merak dan Lagu-lagu Selain itu Acara pembukaan pun dimeriahkan oleh beberapa penampilan hiburan dari adik adik mahasiswa jurusan gizi. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelas NCP Basic Kelas Nutrition & Immunity Kelas Mutu Pelayanan Gizi Kelas Keamanan Makanan Kelas NFPA Kelas Kredensial Gizi Diawali dengan tarian merak dengan keindahan gerakannya begitu sangat memukau di bawakan oleh adik-adik mahasiswa jurusan gizi STIK Immanuel Bandung Lalu dilanjutkan dengan persembahan lagu-lagu yang sangat merdu dari adik-adik mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bandung. Dengan lagu Indonesia Raya, Mars Gizi dan Hymne AsDI DPD Jawa Baratnya. 4. Kegiatan Olahraga “Men sana in Corpore sano” yang artinya didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat jadi selain menuntut ilmu maka kesehatan jasmani pun perlu diperhatikan Oleh sebab itu AsDI DPD Jawa Barat dalam setiap pelatihannya selalu mengadakan senam bersama dengan tujuan kesehatan dan kebugaran para peserta dapat terjaga. 4. Kelas Keamanan Makanan : Rosidah Inayati, SST, S.Gz., MM., RD – RS Saiful Anwar malang 5. Kelas NFPA : Yudhi Andrianto - RSCM 6. Kelas Kredensial Gizi : Iswanto – RSUD Raden Mattaher Jambi 6. Malam Keakraban Rangkaian kegiatan pelatihan diselingi dengan malam keakraban, yang berlokasi di Sierra cafe Dago. Dimana acaranya adalah makan bersama dan setiap peserta kelas menampilkan yel-yel dan kreasi penampilan kelas. Tujuannya selain mempererat silaturahmi antar ahli gizi juga meningkatkan kekompakan dan keterampilan para peserta. 5. Apresiasi dan Penghargaan Selain itu AsDI DPD Jawa Barat pun memberikan penghargaan dan apresiasi kepada para peserta telah berupaya keras melawan rasa kantuk, keaktifan, ketepatan menjawab dalam setiap pembelajaran. Diantaranya para peserta terbaik dari setiap kelas yaitu : 1. kelas Kelas NCP Basic : Luthfianti Diana Mauludiyah - RSCM 2. Kelas Nutrition & Immunity : Fachrurozi, S.Gz., RD – RSUD Banyumas Jateng 3. Kelas Mutu Pelayanan Gizi : Hendi Gunawan - RSUD Tamansari Jakarta Sajian Utama I : Gangguan Metabolisme Lemak Pada Penyakit Wolman Penulis : Suratman Abdillah Fajar, AMG a. Sejarah Penyakit ini ditemukan pada tahun 1956 oleh peneliti yang bernama Moshe Wolman. penyakit ini dikenal dengan LAL-D terbagi menjadi dua gangguan yaitu pertama penyakit wolman dan kedua Cholessteryl Ester Storage (CES). Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D). Penyakit wolman sering muncul pada bayi sedangkan CES sering terjadi pada anak-anak dan dewasa. Kedua gangguan ini disebabkan oleh Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D). b. Epidemiologi Penyakit wolman biasanya ditemukan pada komunitas iran-yahudi . dengan prevalensinya 1 dari 4200 kelahiran. Selain itu diturunkan melalui genetik sehingga setiap saudara kandung memiliki peluang 25% untuk mengalami penyakit ini jika ayah atau ibunya membawa sifat gen ini. c. Pengertian Penyakit wolman atau penyakit akibat Defisiensi Lipase Asam Lisomal (LAL-D) adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme lemak dimana penyakit ini bisa terjadi jika kekurangan enzim lipase asam lisosomal. Penyakit Wolman dihasilkan ketika jenis spesifik pada kolesterol dan trigliserida menumpuk dijaringan. Bianya penyakit ini disebabkan karena pembesaran limfa dan hati. Hal ini bisa mengakibatkan penumpukan racun dari lemak ke dalam sel dan jaringan tubuh. Penumpukan ini bisa berupa lipid termasuk lilin, minyak dan kolesterol. d. Etiologi Akibat adanya mutasi GEN LIPA, dan karena kekurangan enzim lipase asam lisosomal. Sehingga menyebabkan terjadinya hiperlipidemia dan pembesaran hati. e. Patogenesis Enzim lipase asam lisosom adalah kompartemen lisosom dengan sel. Saat enzim lipase asam lisosom berfungsi baik dan cukup maka lemak seperti trigliserida dan ester kolesterol dimetabolisme menjadi komponen lemak yang lebih sederhana melalui hidrolisis. Setelah trigliserida dipecah, asam lemak akan digunakan sebagai energi Sedangkan ester kolesterol akan dipecah menjadi komponen kolesterol dan asam lemak. Yang nantinya akan di transportasikan kedalam sel. Lalu lemak ini akan dibuang melalui hati. Ketika enzim lipase asam lisosomal berkurang maka akan terjadi mutasi gen LIPA yang memetakan kromosom 10q24-25 memiliki ekson dan panjangnya sekitar 45 kb. Mutasi ini mengakibatkan hilangnya fungsi pada gen. Gen LIPA sendiri bertanggung jawab untuk memfasilitasi produksi enzim lipase asam lisosomal. Akibat hilangnya fungsi gen , maka kerja enzim lipase asam lisosom pun akan menurun salah satu akibatnya adalah adanya gangguan metabolime pada lemak. Umumnya kadar lipid akan menjadi tinggi dan menumpuk di hati, limpa, sumsum tulang belakang, usus, kelenjar getah bening dan kelenjar adrenal. Bila metabolisme lemak terganggu maka akan menghasilkan penumpukan lemak beracun , pembersihan LDL berkurang, dalam sel dan jaringan tubuh yang menyebabkan beberapa tanda dan gejala pada penyakit wolman. Selain itu terjadinya penyimpanan kalsium pada kelenjar adrenalin membuat limfa dan hati menjadi lebih keras dan diare lamak dapat terjadi. f. Tanda dan Gejala Ketidakmampuan melakukan pemecahan lemak pada penyakit wolman akan menimbulkan gejala : 1. Distensi Perut 2. Kalsifikasi adrenal 3. Kegagalan hati 4. Hepatomegali 5. Mual dan muntah 6. Steatorhhea 7. Anemia 8. Asites 9. Cachexia 10. Penyakit kuning atau jaundice 11. Gagal tumbuh 12. Diare 13. Malabsorpsi 14. Sirosis hati akibat adanya fibrosis hati g. Prognosis Bayi dengan defisiensi LAL biasanya menunjukan tanda-tanda penyakit pada minggu – minggu pertama kehidupan dan jika tidak di obati, meninggal dalam 6-12 bulan karena kegagalan multi organ. Sedangkan anak-anak dapat bertahan sampai pada usia 4-11 tahun. Anak-anak yang lebih tua atau orang dewasa dengan LAL-D dapat tetap tidak terdiagnosa atau salah didiagnosis sampai mereka meninggal lebih awal karena serangan jantung atau stroke atau mati mendadak karena gagal hati. Dalam uji klinis pengobatan sembilan bayi diikuti selama satu tahun 6 dari mereka hidup lebih dari satu tahun. Sedangkan anak-anak dan orang dewasa yang lebih besar didikuti selama 36 minggu. h. Pencegahan Perlu adanya sebuah test genetik dan konseling untuk anggota keluarga dan diagnosis kehamilan prenatal genetik untuk wanita yng memiliki resiko tinggi. Test genetik yang dilakukan diantaranya pengujian gen tunggal, panel multigene, ataupun bisa melakukan pengujian genomik. Perlu juga adanya pengujian laboratorium seperti konsentrasi total kolesterol, lipoprotein dan trigliserida. i. Pengobatan Penyakit wolman memfokuskan pada perawatan bayi, terutama pada pengurangan komplikasi spesifik dan diberikan di pusat pusat khusus. Intervensi khusus pada bayi ini adalah pemberian ASI, perubahan dari susu formula biasa pada susu formula khusus rendah lemak. Pemberian makan intravena. Antibiotik untuk infeksi, dan terapi pergantian steroid. Sedangkan salah satu obat yang biasa digunkan untuk mengatasi penyakit wolman adalah obat Sebelipa alfa yaitu bentuk rekombinan dari LAL. Yang berfungsi untuk terapi penggantian enzim yang memungkinkan tubuh mampu memecah trigliserida dan ester koleterol mejadi komponen lipid/lemak menjadi lebih sederhana. Selain itu perlu adanya dukungan nutrisi sperti diet rendah lemak. Sajian Utama II : Sistem Imun Pada Hepatitis Penulis : Alia Sofaka, AMG., RD A. PENDAHULUAN Penyakit hepatitis B merupakan maalah kesehatan utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Diperkirakan sepertiga populasi dunia pernah terpajan oleh virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap hepatitis B. Negara-negara berkembang memiliki prevalensi yang lebih tinggi, dimana pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 420,3% di Indonesia. B. ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B(VHB), yang merupakan virus DNA berlapis ganda dengan diameter 42 nm. Virus ini berasal dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus bagian terluar terdiri dari HBsAg dan bagian dalam adalah nukleacapsid yang tersusun atas HBcAg. Pajanan virus ini dapat menimbulkan dua manifestasi klinis yaitu : Secara akut, yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit Secara kronik, dengan definisi dari hepatitis B kronik adalah persistensi VHB lebih dari 6 bulan. C. PATOGENESIS Struktur genom VHB terdiri dari empat open reading frame (ORF), yatu gen S dan pre-S (mengode HBsAg), gen pre-C dan gen C (mengode HBeAg dan HBcAg) dan gen P yang mengode DNA polymerase serta gen X yang mengode HBxAg. Berikut genom VHB dengan 4 ORF. Gambar 1. Genom VHB dengan ORF Infeksi VHB dapat terjadi apabila pertikel utuh VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit, emudian kode genetic VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dan kode genetik tersebut akan memerintahkan sel hati untuk membentuk proteinprotein komponen VHB. Patogenesis penyakit ini dimulai dengan masuknyaVHB ke dalam tubuh secara parenteral. Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB dalam hati, yaitu : Attachment Virus yang menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi dengan perantaraan protein pre-S1, protein pre-S2 dan poly-HAS (polymerized Human Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B antigen surface). Penetration Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membrane virus menyatu dengan membrane sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzyim polymerase dan DNA VB ke dalam sitoplasma sel pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju nucleus hepatosit. Uncoating VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially double stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA terlebih dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA). cccDNA inilah yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA. Replication Pregenom RNA dan mRNA akan keluar nucleus. Translasi akan menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetic dan menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzyme polymerase. Translasi mRNA lainnya akan membentuk komponen protein HBsAg. Assembly Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerasii menjadi partikel core di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion akan terbentuk dan masuk kembali ke dalam nucleus. Realiase DNA kemudian disintesis melalui reserve trancriptase. Kemudian terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturase genom oleh protein HBsAg di dalam reticulum endoplasmic. Virus baru akan dikeluarkan ke sitoplasma, kemudian dilepaskan dari membrane sel. Gambar 2. Patogenesis VHB D. FATOFISIOLOGI Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukan merupakan virus sitopatik. Kelainan sel hati yang diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan akhir mengeliminasi VHB tersebut. Hepatitis B dapat berkembang secara akut dan kronis. Apabila eliminasi VHB dapat berlangsung secara efisien, makan infeksi VHB dapat diakhiri, namun apabila proses tersebut kurang efisien, maka akan terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi yang tidak efisien dipengaruhi oleh factor virus maupun pejamu. Adapun factor viral dan pejamu sebagai berikut : Tabel 1. Faktor virus dan factor pejamu mempengaruhi respon imun Faktor Virus Toleransi imun terhadap produk VHB Hambatan terhadap sel T sitotoksik yang berfungsi melisis sel terinfeksi Terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg Integrasi genom VH dalam sel hati Faktor Pejamu Genetik Rendahnya IFN Adanya antibody terdahap antigen nukleokapsid Kelainan fungsi limfosit Factor kelamin atau hormonal Gambar 3. Rangkuman proses patofisiologi pada penyakit hepatitis B E. RESPON IMUN SPESIFIK & NON SPESIFIK Hepatitis B Akut VHB bersifat non-sitopatik, dengan demikian kelainan sel hati pada infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB. Pada kasus hepatitis akut, respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga nekrosisi pada sel yang mengandung VHB dan muncul gejala klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada sebagian penderita, respon imun tidak berhasil menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga VHB terus menjalani replikasi. Pada infeksi primer, proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum dapat dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas innate pada liver mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek, yakni beberapa menit sampai beberapa jam. Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell (sel NK) pada hepatosit maupun natural killer cell sel T (sel NK-T). kemudian memicu teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus, termasuk diantaranya interferon (terutama IFN-α). Kenaikan kadar IFN-α menyebabkan gejala panas badan dan malaise. Proses eliminasi innate ini terjadi tanpa restriksi HLA, melainkan dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T yang terangsang oleh adanya IFN-α. Dalam Textbook of Gastroenterology, disebutkan peran imunitas innate dalam mengaktivasi imunitas adaptif yang terdiri dari respon humoral dan seluler. Respon humoral bersama-sama dengan antibody akan mencegah penyebaran virus da akan mengeliminasi virus yang sudah bersirkulasi. Terdapat eliminasi virus intrasel tanpa kerusaka pada sel hati denga mekanisme non sitolitil yang diperantarai aktivitas sitokin. Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali dan menjadi marker pada infeksi akut. Pada studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar tahun 2014, disebutkan juga fase awal infeksi viral ditandai dengan adanya produksi sitokin, interferon tipe 1 (IFN)-α/β dan aktivasi sel natural killer. Studi tersebut juga menemukan munculnya sel T CD8+ cenderung tida langsung membunuh hepatosit yang terinfeksi, melainkan mengontrol replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ dependen. Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi sel limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan kompleks peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada dinding Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptide VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus sel hati yang terinveksi. Proses nekrosis tersebut bias berupa nekrosis sel hati yang dapat meningkatkan kadar ALT. respon imun yang pertama terjadi sekitar 10 hari sebelum terjadi kerusakan sel hati.respon imun ini muncul terhadap antigen pre-S, disususl respon terhadap HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang terkuat adalah respon terhadap antigen S yan terjadi 10 hari sebelum kerusakan sel hati. Pada infeksi akut hepatitis B dapat terjadi peningkatan respon imun seluler yang spesifik dan signifian, sedangkan padainfeksi kronis individu yang terinfeksi memiliki respon anti-HBV yang rendah. Sel efektor yang yang predominan menginfiltrasi hepatoseluler adalah makrofag. Imunitas cell-mediated dapat mencetuskan peningkatan respon imun yang bertujuan menghilangkan virus, namun satu sisi respon imun yang tidak adekuat dapat menyebabkan jejas hepatoseluler yang kronis. Limfosit T sitotoksik akan berinteraksi dengan target utama melalui reseptor HBVspesific T cell dan molekul antigen precenting HLA class I pada hepatosit dan menyebabkan apoptosis hepatosit. Dengan mensekresi sitokin (termasuk diantaranya interferon), limfosit T sitotoksik akan menginduksi berbagai sel antigen-nonspesific inflammatory ke dalam liver, dan menghasilkan jejas nekroinflamasi pada liver. Berikut mekanisme inflamasi pada hepatitis B. VHB berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negative, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT relative normal. Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran dimana pada fase ini jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk menginduksi serokonversi juga tidak efektif. Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi juga tidak efektif. Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi dimana pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap virus ditandai dengan adanya peningkatan pada kadar ALT. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Fase ini disebut dengan fase immune clearance(imunoeliminasi). Pada fase ini, baik dengan bantuan pengobatan maupun spontan, 70% individu dapat menghilangkan sebagai besar partikel VHB tanpa disertai kerusakan sel hati yang berarti (serokonversi HBeAg). Bila titer HBsAg rendah dengan HBeAg negative dan anti HBe positif secara spontan, disertai kadar ALT yang normal, pasien sudah berada dalam fase residual (non-replikatif). Namun dapat terjadi reaktivasi pada 20-30% pasien pada fase ini. Pada sebagian pasien kekambuhan, terjadi fibrosis setelah nekrosis yang berulang-ulang. Dalam fase ini reflikasi sudah mencapai titik minimal, namun resiko pasien untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat. Hal ini diduga disebabkan adanya integrase genom VHB ke dalam genom sel hati. Gambar 3. Mekanisme inflamasi pada hepatitis B Hepatitis B Kronis Pada masa nak-anak maupun dewasa muda, system imun tubuh dapat toleran terhadap VHB, sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya namun tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan ini Hal tersebut terbagi dalam empat fase pada infeksi hepatitis B. Fase HBeAg Imonotoleran (+) Imunoeliminasi (+) HBV DNA ≥ 20.000 IU/ml ≥ 20.000 IU/ml Enzim Liver Normal yang persisten ALT meningkat Non-replikasi (-) tapi HBsAg(+) Reaktivasi (-) & antiHBe (+) <2.00020.000 IU/ml Bervariasi (dari meningkat sampai sulit terdeteksi) Normal peersisten >6 bulan Meningkat (bias stabil, intermiten atau berfluktuasi) Gambar 4. Fase Hepatitis B Kronis Gambar 5. Profil serologis dan status hepatitis B Komplikasi akibat hepatitis B kronis mencakup terjadinya sirosis hepatis dan Karsinoma Hepatitis Kenali Ahli Gizi Anda : Ibu Sunita Almatsier “Buku Kitab Hijau” ahli gizi pasti sangat ingat buku ini, karena hampir setiap tugas dietetik andalan kita adalah buku beliau, yupz buku penuntun diet, ibu Sunita Almatsier yang menyusun buku ini, dan tentunya beliau layak kita sebut sebagai salah satu tokoh legenda gizi di indonesia Ibu Sunita Almatsier dilahirkan di Kotagadang, Sumatra Barat. beliau lulus Sekolah Ahli Diet/Akademi Gizi pada tahun 1956. Pada tahun 1957 beliau melanjutkan pendidikan di bidang nutrisi di University of Tennessee, Amerika Serikat dan memperoleh gelar M.Sc. pada tahun 1959. Cerificate in Nutrition Research dari Columbia University, Amerika Serikat didapatnya pada tahun 1971. Pada tahun 1989 ia meraih gelar Doktor Kependidikan dari IKIP Jakarta dengan disertasi berjudul: Pengaruh Pendekatan Belajar; Status Anemia, dan Tambahan Zat Besi terhadap Prestasi Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Pengalaman bekerja ibu Sunita Almatsier antara lain: tahun 1961-1979 menjabat Kepala Bagian Gizi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo; tahun 1980-1984 menjabat Direktur Akademi Gizi Jakarta; tahun 1984-1986 menjabat Kepala Bidang Penyelenggaraan Pendidikan, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI; dan tahun 1989-1990 menjabat Ketua Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Sahid. Sekilas Info : Tunggu Informasi Selanjutnya Ya..... Sejak tahun 1960 hingga sekarang ia duduk sebagai anggota pengurus Persatuan Ahli Gizi Indonesia, dan tahun 1994-1998 menjabat Ketua Asia Pasific Institutional Network on Education and Traning of Professionals in Dietetics and Food Service Systems. Semoga semangat menulis beliau dapat diteruskan oleh para generasi Muda Ahli Gizi diseluruh Indonesia. (S.A.F) AsDI DPD Jawa Barat Collaboration with PT Otsuka Indonesia Nutrition and Dietetic Conferences : “Nutritional Support Of stroke Patients” Bagi Sahabat TaG LINE yang ingin mengirimkan kritik, saran dan tulisannya bisa melalui no whatsapp (081223859657) atau email ke [email protected] . salam Svastha Harena