Jurnal Hukum HAM 1 KONSTRUKSI TEORI HUKUM HAM UNIVERSAL DAN RELATIVISME BUDAYA, SERTA INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL DALAM HUKUM HAM (STUDI KASUS : TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM SKALA BESAR TERHADAP ANGGOTA FALUN GONG DI CHINA) Oleh : Marybella Natasha Assa Fakultas Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado Jl. Kampus Unsrat Bahu, Malalayang, Manado, 95115 e-mail : [email protected] ABSTRAK Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan konsep daripada teori hukum hak asasi manusia (HAM) universalisme (universalism theory) dan relativisme budaya (cultural relativism theory) dengan memakai studi kasus pelanggaran HAM terhadap anggota Falun Gong di China. Pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China terhadap para praktisi Falun Gong ini berupa penganiayaan, penangkapan, pembunuhan bahkan transplantasi organ tubuh dengan skala besar. Universalisme dan relativisme budaya merupakan pandangan yang muncul karena adanya perbedaan konsep filosofis dalam hak asasi manusia. Di mana universalisme merupakan hak manusia yang dimiliki secara alamiah atau berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Sedangkan relativisme budaya memandang hak asasi manusia itu terbatas pada wilayah tempat tinggal dan kebudayaan. Untuk pembahasan kasus ini yaitu berdasarkan laporan dari hasil penelitian pengacara hak asasi manusia dari Kanada, David Matas dan mantan menteri luar negeri Kanada urusan Asia Pasifik, David Kilgour, serta jurnalis Ethan Gutmann yang diterbitkan pada tahun 2006 dalam ‘Bloody Harvest’ atau ‘Panen Berdarah: Laporan Dugaan Pengambilan Organ Praktisi Falun Gong di China’.Terkait dengan kasus transplantasi organ terhadap anggota Falun Gong ini, terdapat instrumen-instrumen hukum internasional maupun nasional yang mendasari kasus ini. Seperti di China ada undang-undang tentang pemanfaatan organ tubuh terhadap tahanan yang dieksekusi (tahanan hukuman mati), dan di kancah Internasional ada WHO (World Health Organisation) dalam resolusi WHA (World Health Assembly) menentukan 9 pedoman yang berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional khususnya mengenai perdagangan organ manusia secara ilegal, dan masih ada lagi aturan-aturan yang mendasari kasus ini. Kata Kunci : Teori Hukum HAM, Pelanggaran HAM di China, Falun Gong. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Indonesia lebih disebut dengan “Hak Asasi”, dalam bahasa Belanda disebut dengan “Mensenrechten/Menselijk Rechten”, dalam bahasa Perancis disebut dengan “Les Droits L’Homme”,dalam bahasa Inggris disebut dengan “Human Rights”, dalam bahasa Jerman disebut dengan “Menschenrechte, dan dalam Jurnal Hukum HAM 2 bahasa Latin disebut dengan “Hominum Iura”.1 Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa :2 “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia. Sejarah membuktikan bahwa kesadaran manusia terhadap hak-hak asasi akan meningkat bila terjadi pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan seperti adanya perbudakan, penjajahan, dan ketidakadilan. Perjuangan atas pengakuan dan usaha menegakkan hak-hak asasi manusia dari berbagai bangsa banyak dituangkan dalam berbagai konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori dan hasil pemikiran yang pernah hadir di muka bumi ini. Di Asia, kita mengetahui ada rezim komunis China yang represif dan totaliter, serta tidak mentolerir pluralisme dan demokrasi. Ini terjadi pada masa rezim Jiang Zemin, dimana rezim ini melakukan penindasan dan penganiayaan besar-besaran terhadap para praktisi Falun Gong. Pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Jiang Zemin muncul karena kekhawatiran akan jumlah praktisi Falun Gong yang begitu banyak yang akan mengganggu jalannya pemerintahan. Selain itu, pelanggaran HAM terhadap anggota Falun Gong oleh pemerintah China yaitu transplantasi organ tubuh dengan skala yang besar. Kasus ini diungkapkan oleh pengacara hak asasi manusia dari Kanada, David Matas dan mantan menteri luar negeri Kanada urusan Asia Pasifik, David Kilgour, serta jurnalis Ethan Gutmann melakukan penyelidikan terhadap tuduhan bahwa pemerintah China terlibat dalam transplantasi organ tubuh terhadap praktisi Falun Gong, yang diterbitkan dalam ‘Bloody Harvest’ atau ‘Panen Berdarah: Laporan Dugaan Pengambilan Organ Praktisi Falun Gong di China’. Falun Gong merupakan bagian dari praktik spiritual qigong, yang merupakan salah satu olahraga meditasi masyarakat yang dipimpin oleh Li Hongzhi. Namun, di mata pemerintah China, Falun Gong dipandang sebagai sebuah ajaran sesat atau kultus. Kasus transplantasi organ yang terjadi di China terhadap anggota Falun Gong ini telah mendapat perhatian dari pihak-pihak Internasional yang berusaha membantu para praktisi Falun Gong yang berusaha menyuarakan untuk mendapatkan kebebasan dalam mempraktikkan kepercayaannya dan bebas untuk berekspresi, di mana sudah tertera dalam DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) dan WHO (World Health Organisation) dalam resolusi WHA (World Health Assembly). Di China sendiri sudah ada aturan yang mengatur tentang pemanfaatan mayat atau organ dari tahanan yang dieksekusi, yaitu UndangUndang tahun 1984 dan juga pemerintah China sudah mengeluarkan undang-undang antikultus pada tahun 1999 yang ditujukan untuk menghadapi pergerakan Falun Gong dan sejumlah kultus lain di China. Namun meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang sumber transplantasi organ, penyimpangan tetap masih saja terjadi. 1 2 (1). Cornelius Tangkere, Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia, Unsrat Press, Manado, 2018, hlm. 12. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat Jurnal Hukum HAM 3 Ada dua konsep mengenai hak asasi manusia, yairu possessio naturalis dan juristic possessio. Possessio naturalis adalah hak yang diperoleh secara alamiah yang bebas dari hukum atau dari negara. Kepemilikan secara alamiah (possesio naturalis) adalah suatu konsep hak milik tentang fakta murni yang tidak tergantung atau berdasarkan pada ketentuan hukum. Selain itu, ”possesio naturalis” merupakan hukum yang bersifat materil, karena hakhak kepemilikan itu diperoleh sebelum adanya ketentuan hukum (formal) sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum perundang-undangan.3 Possessio naturalis yang merupakan hak alamiah yang sesuai dengan kodrat/sifat bawaan manusia, di mana tidak ada seorang pun yang diperkenankan untuk merampas hak tersebut. Dengan kata lain, keberadaannya ini bukan karena rekayasa manusia oleh sebab itu tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Hak-hak yang diperoleh secara alamiah seperti hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kebahagiaan, hak kebebasan, dan lain-lain. Sedangkan Juristic possessio merupakan hak yang diperoleh karena adanya sistem hukum. Kepemilikan secara hukum (juristic possessio) bahwa kehendak hukum formal yang menghasilkan hak hukum atas subjek dan objek (benda) untuk dijamin dan dilindungi terhadap hak milik.4 Sebagai hak yang diperoleh karena adanya sistem hukum, contohnya seperti hak setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk memeluk atau menjalankan agama, hak untuk mengutarakan pendapat, hak untuk memperoleh pendidikan, dan lain sebagainya. Hak asasi manusia (HAM) dapat dipahami dari dua sudut pandang atau dikenal dengan teori dari hukum HAM. Sudut pandang yang pertama, yaitu universalisme, mengacu pada prinsip-prinsip HAM yang dianggap mutlak dimiliki oleh masing-masing individu. Pemahaman lain mengenai HAM dapat dilihat dari sudut pandang relativisme budaya. Melalui sudut pandang ini, pemahaman dan pengimplementasian HAM menjadi relatif dan berbeda di tiap-tiap negara, tergantung pada latar belakang budaya dan politik di negara tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu : 1) Bagaimanakah konstruksi teori universalisme dan teori relativitas budaya terhadap kasus Falun Gong? 2) Bagaimanakah instrumen hukum hak asasi manusia internasional maupun nasional terhadap kasus Falun Gong? II. Pembahasan Pada Tanggal 22 Juni 2006, pengacara hak asasi manusia dari Kanada, David Matas dan mantan menteri luar negeri Kanada urusan Asia Pasifik, David Kilgour, serta Ethan Gutmann melakukan penyelidikan terhadap tuduhan bahwa pemerintah China terlibat dalam transplantasi organ tubuh penganut Falun Gong, yang diterbitkan dalam Bloody Harvest atau Panen Berdarah: Laporan Dugaan Pengambilan Organ Praktisi Falun Gong di China. Falun Gong, dikenal sebagai Falun Dafa, dimulai pada Mei 1992 dengan ajaran yang dipimpin oleh Li Hongzhi. Falun Gong merupakan bagian dari praktik spiritual qigong, yang merupakan salah satu olahraga meditasi masyarakat yang biasanya dilakukan di lapangan-lapangan dan memiliki aspek filosofis, sehingga seringkali dikatakan bersifat religius. Qigong merupakan rangkaian gerakan yang dikatakan dapat menstimulasi energi 3 Cornelius Tangkere, Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah, Wilayah, Dan Sumber Daya Alam, Jurnal Penelitian Hukum. Vol.1 No.3 2012, hlm. 448. 4 Ibid. Jurnal Hukum HAM 4 vital (qi) dalam tubuh, yang memiliki kaitan dengan ajaran Buddha dan Taoisme. Namun, di mata pemerintah China, Falun Gong dipandang sebagai sebuah ajaran sesat atau kultus (cult). Pemerintah China bahkan mendefinisikan Falun Gong sebagai ancaman paling serius bagi pemerintahan komunis China dalam 50 tahun belakangan ini.5 Banyaknya praktisi yang berlatih Falun Gong menimbulkan anggapan bahwa kegiatan Falun Gong sudah menjurus ke politik. Padahal Falun Gong hanya mengajarkan senam dengan lima gerakan yang bermanfaat bagi kesehatan dan tidak ada unsur politik sama sekali. Penganiayaan terhadap Falun Gong merupakan bencana HAM terburuk yang terjadi di China, selain itu mereka ditahan bahkan termasuk genosida. Selain itu, ada laporan bahwa para praktisi Falun Gong menjadi korban transplantasi organ tubuh secara paksa, di mana adanya laporan terhadap tuduhan bahwa pemerintah China terlibat dalam transplantasi organ tubuh penganut Falun Gong oleh David Matas, David Kilgour, dan Ethan Gutmann (2006) dalam Bloody Harvest atau Panen Berdarah: Laporan Dugaan Pengambilan Organ Praktisi Falun Gong di China. Terdapat beberapa pendefinisian berbeda atas Falun Gong. Komunitas Falun Gong memaknai Falun Gong sebagai sebuah ajaran self-cultivation. Namun, ajaran ini dianggap pemerintah China sebagai ajaran sesat atau kultus (cult). Bagi sebagian masyarakat, Falun Gong dipandang sebagai sebuah agama; sebagian masyarakat yang lain, Falun Gong dianggap sebagai sebuah sekte; sedangkan bagi beberapa peneliti, Falun Gong dipandang sebagai sebuah pergerakan. Gagasan mengenai Falun Gong berangkat dari praktik kebugaran qigong, yang merupakan bagian dari tradisi bangsa China. Falun Gong kemudian pada perkembangannya memiliki ajaran yang lebih bersifat religius, sehingga mendapat definisi sebagai sebuah ajaran spiritual. Namun, di mata pemerintah China, Falun Gong dipandang sebagai sebuah ajaran sesat atau kultus. Pemerintah China bahkan mendefinisikan Falun Gong sebagai ancaman paling serius bagi pemerintahan komunis China dalam 50 tahun belakangan ini.49 Pendefinisian oleh pemerintah China mengenai Falun Gong turut mempengaruhi pengertian masyarakat akan ajaran ini, terutama pada masyarakat awam yang belum pernah mendengar narasi dari sisi Falun Gong.6 Pendefinisian oleh pemerintah China mengenai Falun Gong turut mempengaruhi pengertian masyarakat akan ajaran ini, terutama pada masyarakat awam yang belum pernah mendengar narasi dari sisi Falun Gong. Menurut laporan dari David Kilgour, pengacara HAM David Matas dan Jurnalis Ethan Gutmann dalam Bloody Harvest, yaitu menurut Partai Komunis China, setiap tahunnya ada sekitar 10.000 pencangkokan organ tubuh di negara itu. Namun berdasarkan survei ke berbagai rumah sakit yang menangani transplantasi organ, jumlah pencangkokan jauh lebih besar. Laporan memperkirakan ada sekitar 60.000 hingga 100.000 organ yang dicangkok di rumah sakit China. Organ-organ tubuh ini disebut didapatkan dari para terpidana mati, kebanyakan tahanan kasus politik atau keagamaan yang terlarang, seperti Falun Gong, Uighur, Tibet atau umat Kristen. Menurut Amnesty International, puluhan ribu penganut Falun Gong ditahan dan disiksa. Laporan ini menunjukkan bahwa para tahanan Falun Gong dipaksa menjalani tes darah dan uji medis lainnya. Hasil tes medis mereka kemudian dimasukkan ke database sumber pendonor organ. Jumlah organ tubuh yang luar biasa besar dari para terpidana mati ini menguntungkan rumah sakit dan dokter, membuat industri ini berkembang pesat. Bab tiga dan empat dalam Bloody Harvest / The Slaughter memberikan beberapa pernyataan saksi/korban Falun Gong. Pernyataan ini menunjukkan, dalam bab tiga, bahwa 5 Thomas Lum, “China and Falun Gong”, dalam Laporan CRS untuk Kongres, 25 Mei 2006, The Library of Congress, hlm. 10. 6 Ibid. Jurnal Hukum HAM 5 banyak praktisi Falun Gong yang ditahan menolak untuk mengidentifikasi diri mereka kepada pihak berwenang. Yang tidak diidentifikasi lebih banyak daripada yang diidentifikasi sendiri dan dengan pengecualian yang jarang, tidak pernah dirilis. Pernyataan ini juga menunjukkan, dalam bab empat, bahwa praktisi Falun Gong yang ditahan secara sistematis diperiksa darahnya dan diperiksa organnya. Tahanan yang bukan Falun Gong tidak mengalami tes dan ujian serupa. Dikatakan dalam Bloody Harvest / The Slaughter Bab delapan, dikatakan bahwa mereka berusaha memperkirakan sumber organ berdasarkan pernyataan volume transplantasi pemerintah Cina. Perkiraannya adalah, dari tahun 2000 hingga 2005, pada volume transplantasi dari angka resmi sepuluh ribu setahun, sekitar 41.500 organ selama enam tahun itu berasal dari para praktisi Falun Gong.7 Koalisi Penyelidikan Penganiayaan terhadap Praktisi Falun Gong mengumpulkan bukti-bukti kekejaman pengambilan organ tubuh dan aspek lainnya yang menyangkut penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong di China. Berikut bukti-bukti terbaru mengenai kasus tersebut : 1) Tahun 2001, berdasarkan penjelasan dari salah seorang informan yang ditahan selama dua tahun tanpa alasan hukum yang jelas. Pada saat ditahan di Kamp Kerja Paksa Jaimusi. Kamp ttersebut menggunakan berbagai macam alat untuk menyiksa para praktisi Falun Gong. Bulan Juni 2002, para sipir dan narapidana bekerjasama menerobos masuk ke setiap sel, menyeret setiap praktisi keluar satu persatu untuk berdiri di lapangan. Seorang praktisi perempuan diseret keluar oleh polisi, dan salah seorang sipir mengatakan bahwa perempuan tersebut akan dipindahkan serta dikenakan hukman. Tidak hanya itu, para pejabat juga sering membuat narapidana terutama para praktisi menjalani pemeriksaan fisik. 2) Rejim Jiang takut perkembangan jumlah prakisi Falun Gong akan mengancam kedudukannya. Segera dikeluarkan perintah ke polisi untuk mulai mengusik para praktisi, menghalangi mereka berlatih bersama, atau menangkap mereka dan memasukkannya ke dalam penjara. Tidak hanya itu, penangkapan, pengniayaan, dan pembunuhan terhadap para praktisi yang tidak bersalah terus dilakukan oleh pemerintah China, ribuan praktisi Falun Gong tewas bahkan dijadikan sumber organ untuk transplantasi di China. 3) Pemimpin Partai Komunis mulai resah dengan massa Falun Gong yang semakin banyak dan dianggap akan menjadi kekuatan yang beroposisi dengan pemerintah. Partai Komunis menganggap semua hal tentang jiwa, spiritual atau kepercayaan adalah takhayul karena bertentangan dengan kepercayaan mereka terhadap materialisme dan atheisme. Sedangkan Falun Gong merupakan suatu kelompok latihan kebugaran dan kejiwaan. 4) Partai Komunis China mengijinkan pencangkokan hati dalam jumlah yang sangat besar, tetapi tidak pernah menjelaskan darimana sumber hati tersebut. Kasus yang terjadi di China merupakan pelanggaran HAM serta pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintahan China. Tidak hanya itu, praktisi yang terbunuh dijadikan sebagai sumber transplantasi yang dilakukan di rumah sakit. Kejahatan tersebut terungkap ketika angka pencangkokan organ semakin meningkat serta penangkapan praktisi Falun Gon tanpa alasan yang kuat. Pemerintah China mengijinkan pencangkokan hati dalam jumlah besar, tanpa memberitahu darimana sumber hati tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mensejahterakan rakyatnya, tetapi pemerintah merampas hak yang dimiliki oleh rakyatnya. 7 7. David Matas, David Kilgour, dan Ethan Gutmann, Bloody Harvest / The Slaughter, June 22 2006, hlm. Jurnal Hukum HAM 6 Dengan melandaskan argumen pada pemahaman HAM sebagai suatu hal yang universal dan dimiliki oleh tiap-tiap individu, Falun Gong menyampaikan perjuangannya di muka publik internasional. Perjuangan Falun Gong ditujukan untuk mencapai pemenuhan hak-hak individu sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB yang di antaranya seperti hak untuk hidup, hak untuk berpikir, bermoral, dan beragama dan mempraktikkan ajaran agama atau kepercayaannya, serta hak untuk berekspresi dan berpendapat. Deklarasi Universal HAM PBB yang diresmikan oleh Sidang Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 mengatur hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya negara-negara anggotanya, sehingga Deklarasi ini juga turut mengikat China. Falun Gong menggunakan landasan dan justifikasi universalisme HAM sebagai latar belakang perjuangannya. Perjuangan Falun Gong di China diawali dengan niatan untuk memperoleh kebebasan dalam mempraktikkan kepercayaannya serta kebebasan dalam berekspresi. A. Konstruksi Teori Universalisme dan Relativisme Budaya Terhadap Kasus Falun Gong Sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan, konsep hak asasi manusia (HAM) dapat dipahami dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama, yaitu universalisme, mengacu pada prinsip-prinsip HAM yang dianggap mutlak dimiliki oleh masing-masing individu. Gagasan ini timbul dari ide-ide kebebasan yang kental dengan pengaruh Barat. Pemahaman mengenai universalisme HAM menjadi penting dalam penelitian ini mengingat Falun Gong menggunakan prinsip ini sebagai landasan perjuangannya. Pemahaman lain mengenai HAM dapat dilihat dari sudut pandang relativisme budaya. Melalui sudut pandang ini, pemahaman dan pengimplementasian HAM menjadi relatif dan berbeda di tiap-tiap negara, tergantung pada latar belakang budaya dan politik di negara tersebut. Pengertian akan sudut pandang ini menjadi penting, terutama agar dapat memahami sudut pandang China. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas pemahaman HAM dari kedua sudut pandang tersebut. Teori Universalisme (Universalism Theory) Teori universalisme Hak Asasi Manusia diawali dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dialihkan dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi sesuai ketentuan yang ada serta pemenuhan kepentingan komunitas berlandaskan pada relativisme kultural/budaya.8 Semua nilai adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk menyesuaiakan adanya perbedaaan budaya dan sejarah suatu negara menganggap nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat yangg memiliki latar belakang budaya dan sejarah yg berbeda. Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Pandangan universal mengenai HAM artinya menempatkan HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam berbagai bentuk internasional Bills of Human Rights dengan tidak mempertimbangkan faktor dan konfigurasi sosial budaya serta konteks ruang dan waktu yang melekat pada masing-masing negara atau bangsa. HAM ditempatkan 8 Miriam Budiardjo, Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.93 Jurnal Hukum HAM 7 sebagai nilai dan norma yang melintasi yurisdiksi negara-negara.9 Pasal 55 Point (C) Piagam PBB menyatakan penghormatan universal untuk, dan pengakuan terhadap, hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua tanpa perbedaan terhadap ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Selanjutnya, Pasal 56 Piagam PBB menyatakan bahwa semua Anggota berjanji untuk mengambil langkah bersama atau terpisah dengan bekerjasama dengan Organisasi untuk pencapaian yang dicantumkan di dalam Pasal 55. Pasal tersebut mendalilkan bahwa hak asasi manusia bersifat universal dan negara-negara harus mengakui dan mengambil tindakan terhadap pemenuhan hak-hak tersebut.10 Perspektif Barat secara umum, sebagaimana yang umum didefinisikan, termasuk di dalam instrumen hak asasi manusia PBB, hak asasi manusia dipandang sebagai hak-hak yang secara alamiah telah melekat pada diri manusia sejak keberadaannya dan tanpa hak-hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia,“Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we can not live as human being”. Bagi penganut paham universal, setiap orang memiliki hak asasi dan kebebasan fundamental secara mutlak, sehingga HAM berlaku universal untuk semua orang dan berlaku sama dimanapun. Hal tersebut mendalilkan bahwa meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan berada dalam budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai atau memiliki hak-hak tersebut. Menurut Universalisme, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Rhoda E. Howard, seorang sosiolog, pendukung paham universalisme menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia.11 Hak-hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena mereka adalah manusia, bukan karena mereka adalah warga negara dalam suatu negara. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut dimana hak asasi manusia merupakan hak kodrati (natural rights theory). Secara internasional, perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB pada tahun 1948. Melalui Deklarasi Universal HAM PBB, HAM dianggap sebagai sebuah nilai yang universal dan mutlak dimiliki oleh setiap individu. Deklarasi ini menjadi acuan internasional dalam menentukan batasan-batasan dan standardisasi HAM, yang pada dasarnya berpegang pada nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Deklarasi HAM PBB menyatakan bahwa seluruh umat manusia terlahir bebas, setara, dan memiliki harga diri dan hak-hak individu. Hak-hak tersebut berlaku bagi siapapun, tanpa pandang apa latar belakangnya. Deklarasi ini juga turut didukung dengan adanya berbagai perjanjian di level regional dan global yang telah diratifikasi oleh berbagai negara. Berbagai perundingan bilateral juga seringkali memasukkan isu HAM dalam agenda pembicaraan. Selain itu, di bawah naungan PBB juga telah dibentuk institusi perlindungan HAM internasional yang bekerjasama dengan berbagai organisasi nonpemerintah. Dari sudut pandang universalisme, HAM diyakini menjadi hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh masing-masing individu. HAM dianggap tertanam dalam diri setiap individu 9 Halili, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri, Yogyakarta, 2015, hlm. 8. 10 Belardo Mega Jaya & Muhammad Rusli Arafat, Universalism Vs. Cultural Relativism dan Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama Di Indonesia, Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum. Vol. 17 No. 1 2017, hlm. 57. 11 Rhoda E. Howard, Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya (terjemahan), PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm.1 Jurnal Hukum HAM 8 sehingga negara harus menghormati hak-hak tersebut.12 Meskipun seringkali disebut “universal”, namun prinsip-prinsip HAM, hak untuk menentukan nasib sendiri, serta kebebasan berekspresi di ruang publik menjadi problematik dalam ranah transnasional.13 Pada penerapannya, HAM diterima, dipahami, dan dipraktikkan secara berbeda di tiap negara, tergantung pada kondisi dan karakteristik nasional suatu negara, terutama menyangkut budaya politiknya. Kasus-kasus menyangkut pelanggaran HAM menjadi demikian problematiknya karena seringkali dianggap telah mengintervensi ranah nasional dari pemerintah negara-bangsa, sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Dengan argumen universalisme, pelanggaran HAM di suatu negara bukan hanya menarik perhatian internasional, namun juga diyakini sebagai masalah yang upaya penyelesaiannya menjadi bagian dari tanggung jawab aktor-aktor internasional. Dengan melandaskan argumen pada pemahaman HAM sebagai suatu hal yang universal dan dimiliki oleh tiap-tiap individu, Falun Gong menyampaikan perjuangannya di muka publik internasional. Perjuangan Falun Gong ditujukan untuk mencapai pemenuhan hak-hak individu sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB yang di antaranya seperti hak untuk hidup, hak untuk berpikir, bermoral, dan beragama dan mempraktikkan ajaran agama atau kepercayaannya, serta hak untuk berekspresi dan berpendapat. Deklarasi Universal HAM PBB yang diresmikan oleh Sidang Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 mengatur hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya negara-negara anggotanya, sehingga Deklarasi ini juga turut mengikat China. Falun Gong menggunakan landasan dan justifikasi universalisme HAM sebagai latar belakang perjuangannya. Perjuangan Falun Gong di China diawali dengan niatan untuk memperoleh kebebasan dalam mempraktikkan kepercayaannya serta kebebasan dalam berekspresi. Seiring represi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penganut Falun Gong yang tidak jarang ditunjukkan dalam bentuk kekerasan, perjuangan Falun Gong juga turut menuntut hak-hak yang sangat dasar sekalipun, seperti hak untuk hidup. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory) Isu relativisme budaya baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan HAM Internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.14 Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati, dengan demikian HAM harus diletakkan dalam konteks budaya tertentu di masing-masing negara. Dengan dalil tersebut relativisme budaya menyatakan bahwa “there is no such thing as universal rights” yang merupakan suatu penolakan terhadap pandangan adanya hak yang bersifat universal apalagi bila hak tersebut didominasi oleh suatu budaya tertentu.15 Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan 12 Antonio Cassesse, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 71. 13 John A. Guidry, Michael D. Kennedy, dan Mayer N. Zald, Globalizations and Social Movements: Culture, Power, and the Transnational Public Sphere, The University Press, Michigan, 2003, hlm. 20. 14 Muh. Budairi, HAM versus Kapitalisme,Insist Press, Yogyakarta, 2003, hlm.76. 15 Belardo Mega Jaya & Muhammad Rusli Arafat, Op.Cit, hlm.58 Jurnal Hukum HAM 9 menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negara-negara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi. Teori relativisme budaya memandang Hak Asasi Manusia berbeda-beda, terbatas pada wilayah tempat tinggal dan kebudayaan. Apa yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat belum tentu menjadi hak bagi kelompok masyarakat yang lain. Perbedaan persepsi tentang hak ini didukung juga oleh Todung Mulya Lubis yang menyebutkan, “Perbedaan-perbedaan tradisi budaya di antara masyarakat menyebabkan perbedaanperbedaan pula pada pemikiran dan persepsi tentang manusia, termasuk dalam hal hak asasi manusia.”16 Teori relativisme budaya berseberangan dengan teori universalisme yang memandang bahwa setiap manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang sama. Pandangan ini kemudian berkembang pada abad ke-18 setelah Johann Gottfried von Herder mengklaim bahwa tiap-tiap bangsa memiliki keunikan sendiri-sendiri yang mengakibatkan nilai universal adalah suatu kebohongan, yang ada hanyalah bersifat kewilayahan dan ketaksengajaan (contingent).17 Teori relativitas budaya berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nlai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Dengan demikian, Relativisme budaya (cultural relativism) merupakan suatu ide yang sedikit dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang yang berbeda.18 Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat secara sepihak serta tidak dapat mewakili setiap individu yang ada. Penegakan Hak Asasi Manusia menurut teori ini terdapat tiga jenis penerapan HAM yaitu: a) Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak kepemilikan pribadi. b) Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan sosial. c) Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self administration) dan pembangunan ekonomi. Teori ini mengajarkan bahwa kebenaran berlaku tiap waktu atau tempat yang diidentifikasi berdasarkan standar budaya seseorang. Dengan demikian, hak-hak yang fundamental dapat disimpangkan, dalam arti disesuaikan demi kebutuhan praktik budaya, sekaligus menentang justifikasi landasan moral dari sistem hak asasi manusia universal. Meskipun demikian, teori itu tidak sepenuhnya karena seberapa pun besar pengaruh budaya lokal terhadap kebenaran, sepanjang hal itu mengandung nilai kebenaran, dengan sendirinya ada unsur-unsur yang sama, universal. Joshua Preiss, seorang profesor filosofi dari Minnesota State University, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar, menyebutkan karakter dari teori relativisme budaya, antara lain:19 1) Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula; 16 Nur Afif Ardani, dkk, Relativisme Budaya Dalam Hak Asasi Manusia, Cakrawala Hukum. Vol. XIV No.1 2017, hlm. 40 17 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, Sebuah Pengantar Konseptual, IMR Press, Malang, 2010, hlm.156 18 Rhoda E. Howard, Op.cit, hlm.120 19 Pranoto Iskandar, Op.cit, hlm. 151. Jurnal Hukum HAM 10 2) Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial yang satu lebih baik dari yang lain; 3) Kode moral dari masyarakat kita tidak memiliki status yang lebih baik, tapi hanyalah sebagai salah satu kode yang ada; 4) Tidak ada kebenaran universal dalam etika yakni tiada kebenaran moral yang berlaku bagi semua orang pada tiap waktu; 5) Kode moral dari sebuah budaya hanya berlaku dalam lingkungan budaya tersebut; dan 6) Adalah sebuah arogansi ketika kita mencoba menghakimi tindakan orang lain. Kita harus bersikap toleran terhadap berbagai praktik yang hidup di berbagai kebudayaan. Meski konsep HAM dianggap universal dan diterima serta diterapkan secara umum di semua negara, implementasi perlindungan HAM berlaku berbeda di tiap negara. Perbedaan implementasi ini ada karena setiap negara memiliki pemahaman yang berbeda akan konsep HAM. Dalam contoh kasus negara China, pemerintah jelas memiliki pemahaman sendiri mengenai HAM yang membuat perlakuan dan pengimplementasian HAM di negara ini seringkali menuai kecaman internasional, yang terutama datang dari dunia Barat. China memiliki pemahaman akan HAM yang sangat berbeda dari pemahaman HAM yang selama ini dipahami oleh bangsa Barat. Pemahaman HAM China sangat dipengaruhi oleh akar sejarah, kondisi domestik, serta perspektif para pemimpin negara China, yang tergabung dalam Partai Komunis China (PKC). Bagi penganut aliran relativisme budaya, HAM seringkali dituding sebagai gagasan untuk menjustifikasi intervensi Barat. Penganut aliran ini memiliki interpretasi sendiri terhadap implementasi HAM di negaranya. Hung Chao Tai, sebagaimana dikutip dalam tulisan Jack Donnelly, mengungkapkan bahwa dalam tradisi Konfusianisme, setiap hak-hak individu dipandang sebagai penghargaan diri terhadap manusia, namun hal ini berbeda dengan konsep pemikiran Barat karena hak itu didapat melalui pemenuhan kewajiban akan kode etik.20 Dengan kata lain, hak tersebut bukan secara mutlak dimiliki, melainkan diperlukan upaya untuk mendapatkannya. HAM menjadi semacam reward yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Berkaca pada faktor sejarah, imperialisme Jepang dan bangsa Barat telah mempengaruhi perspektif China akan HAM. Trauma akan penjajahan membuat bangsa China melakukan berbagai upaya untuk menghambat pengaruh imperialisme dalam bentuk apapun, sehingga China tidak lantas mengadaptasi nilai-nilai HAM Barat. Sebaliknya, China meyakini bahwa hak-hak yang dimiliki oleh individu masyarakat harus sejalan dan mendukung kepentingan negara. Pemerintah negara dianggap mendapatkan mandat mulia untuk menjaga ketertiban dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, bukan secara individu sehingga kepentingan negara tetap dominan dan berada di atas kepentingan individu. Hal ini sesuai dengan tradisi Asia yang melihat pola hubungan antara negara dan masyarakat sebagai sebuah hubungan keluarga patriarkal, yang menempatkan pemimpin politik sebagai figur ayah dan masyarakat sebagai anak-anaknya.21 Andrew J. Nathan mengungkapkan sejumlah kategori pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh China, yang antara lain ialah:22 1) pemenjaraan, penghukuman yang 20 Hung Chao Tai, “Human Rights in Taiwan: Convergence of two Political Countries?”, dalam James C. (ed.), Human Rights in East Asia: A Cultural Perspective, (New York: Paragon House Publishers, 1985), dikutip dari Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 2nd ed., (New York: Cornell University Press, 2003), hlm. 80. 21 Antonio Cassesse, Op.Cit., hlm. 73. 22 Andrew J. Nathan, China’s Transition, Columbia University Press, New York, 1997. Jurnal Hukum HAM 11 sewenang-wenang, atau paksaan pengasingan terhadap masyarakat yang tidak menggunakan kekerasan namun memiliki pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; 2) represi terhadap ajaran dan pemeluk agama lain; 3) kekerasan terkait dengan prosedur kriminalitas; 4) penganiayaan terhadap penghuni penjara maupun kemahkemah konsentrasi dan pembeban kerja pada tahanan; 5) paksaan penyelesaian, supresi terhadap oposisi, dan pelanggaran terhadap hak-hak buruh dalam proyek Three Gorges; dan 6) paksaan aborsi dan sterilisasi sebagai bagian dari pengendalian populasi. Selain itu pula, pemerintah China juga mengabaikan hak berdemonstrasi, kebebasan pers lokal dan asing, serta perlakuan buruk terhadap individu homoseksual. Melalui pemahaman relativisme budaya HAM, represi pemerintah terhadap kelompok Falun Gong dapat dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap kepentingan negara. Kepentingan negara adalah untuk menjalankan pemerintahan dan mempertahankan stabilitas sehingga segala bentuk tindakan yang dianggap membahayakan negara dieliminasi oleh pemerintah. Dengan alasan yang sama, pemerintah China mengilegalkan perkembangan Falun Gong di negaranya karena dianggap sebagai sebuah kultus atau ajaran sesat, yang dapat merusak moral masyarakat. Segala upaya pembocoran informasi mengenai tindak kekerasan terhadap penganut Falun Gong dianggap sebagai bentuk pembongkaran rahasia negara. Hal ini juga turut menjadi justifikasi represi yang dilakukan oleh pemerintah China atas Falun Gong. Upaya pemberantasan Falun Gong oleh pemerintah China juga dapat dilihat dalam bentuk penangkapan, pemenjaraan, dan bahkan penyiksaan bagi penganut Falun Gong. Penganut Falun Gong juga dipaksa untuk meninggalkan kepercayaannya. Pemerintah China juga diduga mengirimkan mata-mata untuk mengamati pergerakan Falun Gong di luar negeri, seperti di Amerika Serikat dan Australia. Sebagai langkah antisipasi atas perkembangan ajaran Falun Gong, pemerintah China melakukan propaganda melalui berbagai saluran media dan memberi pencitraan buruk atas ajaran Falun Gong. Menanggapi propaganda ini, Falun Gong melakukan berbagai upaya untuk membersihkan namanya. Protes yang dilakukan oleh ribuan penganut Falun Gong di depan markas Partai Komunis China di Zhongnanhai pada tahun 1999 akibat propaganda pemerintah China menjadi aksi paling kontroversial dan menyebabkan pemerintah China mengilegalkan dan merepresi komunitas ini. Pengilegalan status Falun Gong juga ditandai dengan kampanye propanda pemerintah atas komunitas ini dengan memberikan pencitraan yang negatif dan menjuluki Falun Gong sebagai suatu “evil cult”. B. Instrumen Hukum Internasional Dan Nasional Terhadap Kasus Falun Gong Instrumen hak asasi manusia (HAM) adalah semua aturan dan peraturan yang dibuat untuk mengatur tentang pelaksanaan, pembatasan, dan sanksi pelanggarannya. Instrumen-instrumen hak asasi manusia ada yang bersifat Internasional dan Nasional. Instrumen HAM Internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) oleh PBB dan ada yang dibuat dengan skala tertentu, misalnya sesuai dengan negara masing-masing. Dan tentu saja instrumen ini dibentuk berdasarkan sifat-sifat HAM. Instrumen HAM Internasional, yaitu melindungi hak asasi manusia masyarakat internasional. Instrumen ini dijadikan sebagai acuan pembentukan instrumen HAM Nasional bagi negara-negara yang turut serta mengesahkan instrumen tersebut. Malcolm Shaw berpendapat bahwa hak-hak yang ada di dalam instrumen-instrumen internasional bisa dengan mudah diimplementasikan ketika aturan hukum yang diatur didalamnya sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sehingga hak asasi manusia yang diatur di dalamnya tidak lagi harus memaksakan ‘kewajiban hukum’ bagi setiap manusia untuk menghormatinya melainkan berisi tindakan kolektif dari masyarakat berdasarkan moralitas setempat. Ketika ini terjadi, maka implementasi hak asasi manusia bisa sangat mudah karena adanya penerimaan dari nilai-nilai lokal di masyarakat. Instrumen HAM internasional dapat disimpulkan sebagai berikut : Jurnal Hukum HAM 12 a) Wujud instrumen HAM internasional berupa Undang-Undang Internasional HAM (Inter nasional Bill of Rights) yang bentuknya berupa, kovenan, atau konvensi atau perjanjian (treaty) dan protokol. b) Konvensi maupun protokol akan berlaku dan mengikat secara hukum terhadap negara-negara yang telah menandatanganinya. Negara-negara lainnya (yang tidak ikut menandatangani dalam konvensi) dapat meratifikasi pada waktu selanjutnya. c) Ketika Majlis Umum PBB telah mengadopsi suatu kovenan atau protokol, maka terciptalah standar internasional. d) Konvensi maupun protokol akan berlaku dalam suatu negara yang bersifat nasional (secara domistik) jika negara yang bersangkutan telah meratifiksinya. Penganut Falun Gong juga secara aktif mencari dukungan dari berbagai pihak, seperti forum-forum HAM internasional, organisasi internasional, pemerintah lokal, kalangan bisnis, dan masyarakat umum. Cara-cara yang ditempuh, antara lain dengan memasang spanduk pada berbagai universitas, membuka booth, menjalankan ritual di tempat umum, membagikan flyers, berpartisipasi dalam berbagai parade, mempersiapkan dan menghadiri konferensi pers, serta menjelaska permasalahan pada pihak manapun yang ingin mengetahui isu ini.23 Upaya lain yang turut dilakukan oleh penganut Falun Gong antara lain seperti dengan menulis surat yang ditujukan pada politisi, mempraktikkan gerak badan Falun Gong di berbagai kesempatan, menggunakan baju Falun Gong, dan berbicara di muka media.24 Upaya-upaya ini bukan hanya telah berhasil menarik perhatian atas isu HAM yang dialami komunitas Falun Gong di China, namun juga telah berhasil menggalang dukungan dari berbagai pihak. Aktivitas penganut Falun Gong di luar negeri antara lain nampak dari berbagai aksi protes yang dilakukan oleh Falun Gong di Hong Kong ataupun di Amerika Serikat. Selain aksi protes, penganut Falun Gong di AS juga menyebarkan flyers dan mengadakan berbagai acara kebudayaan. Upayaupaya ini merupakan bentuk persuasi komunitas Falun Gong untuk memperkenalkan ajarannya kepada khalayak internasional, demi mendapatkan dukungan atas isu yang diperjuangkan. Salah satu contoh upaya yang dilakukan oleh penganut Falun Gong di Amerika Serikat (AS) ialah dalam mencari dukungan dari anggota Kongres AS untuk mendukung eksistensi Falun Gong. Selama enam tahun berturut-turut, Departemen Luar Negeri AS melihat China sebagai “country of particular concern” karena pelanggaran berat dalam kebebasan beragama, termasuk atas perlakuan pemerintah China pada penganut Falun Gong di negaranya.25 Undang-undang AS mengenai Opresi Agama tahun 1998 memberikan otoritas bagi Presiden untuk memberikan sanksi pada negara-negara yang melanggar kebebasan beragama. Tahun 2005, Kongres AS mengeluarkan House Resolution 608 yang mengutuk opresi keagamaan di China, termasuk kampanye brutal pemerintah untuk membasmi Falun Gong. Tahun 2006, Kongres AS mengeluarkan House Concurrent Resolution 365 untuk mendesak pemerintah China untuk mengembalikan izin praktik bagi pengacara pembela hak sipil Gao Zhisheng yang izinnya dicabut karena memberikan asistensi hukum pada demonstran petani, umat Nasrani, praktisi Falun Gong, dan berbagai komunitas sipil lainnya. Di tahun yang sama, Kongres AS mengeluarkan House Resolution 794 yang isinya berupa kecaman dan desakan pada pemerintah China untuk mengakhiri pelanggaran HAM, termasuk terhadap penganut Falun Gong.26 Selain itu, penganut Falun Gong AS juga melayangkan tuntutan terhadap pemerintah China atas kasus pelanggaran HAM, yang mana hal ini merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan Torture Victim Protection Act, Alien Tort Claims Act.27 23 Haiqing Yu, Bab 6: “Media Campaigns: The War over Falun Gong”, dalam Media and Cultural Transformation in China, Routledge, London, 2009, hlm. 130. 24 Noah Porter, “Falun Gong in the United States: An Ethnographic Study”, hlm. 248. 25 Thomas Lum, Loc. Cit., hlm. 10. 26 Ibid. 27 Ibid, hlm. 8. Jurnal Hukum HAM 13 Dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, hak untuk hidup, atau kedudukan yang lain. WHO (World Health Organisation) dalam resolusi WHA (World Health Assembly) menentukan 9 pedoman yang berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional khususnya mengenai perdagangan organ manusia secara illegal. Di dalam Pedoman 3 dikatakan bahwa organ untuk transplantasi harus didonor secara sukarela dari tubuh orang yang meninggal namun, manusia yang masih hidup yang mungkin akan menyumbangkan organ kepada orang lain secara umum pendonor tersebut harus terkait dengan genetik dari sang penerima organ. Pengecualian dapat dilakukan dalam kasus transplantasi sumsum tulang dan jaringan regeneratif lain yang dapat diterima. Selanjutnya organ dapat dikeluarkan dari tubuh seorang donor hidup yang telah dewasa untuk tujuan transplantasi jika pendonor memberikan persetujuan gratis. Dalam Statuta Roma 1998 (Mahkamah Pidana Internasional) atau International Criminal Court (ICC), mengatur mengenai berbagai macam kejahatan yang diadili dalam pengadilan ini. Kejahatan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Dalam kasus yang terjadi di China yang melibatkan para praktisi Falun Gong, yaitu pemerintah komunis china (PKC) berusaha untuk memusnahkan orang-orang yang terlibat dalam ajaran Falun Gong dengan cara melakukan penangkapan, penganiayaan, pembunuhan bahkan melakukan transplantasi organ terhadap anggota Falun Gong secara paksa. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah China ini sudah termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, dimana dalam ICC diatur dalam Pasal 7 ayat (1), yang mengatakan bahwa: Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu: (a) Pembunuhan; (b) Pemusnahan; (c) Perbudakan; (d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; (f) Penyiksaan; (g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; (h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah; (i) Penghilangan paksa; (j) Kejahatan apartheid; Jurnal Hukum HAM 14 (k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Berdasarkan pemaparan dan penjelasan mengenai definisi dan unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, maka segala bentuk tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah China dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Jiang Zemin saat itu terhadap pengikut ajaran Falun Gong adalah termasuk bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam berbagai sumber hukum internasional. Upaya penegakan hukum internasional bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan telah diatur secara tergas dalam Statuta Roma 1998 serta hukum internasional lainnya. Salah satu upaya hukum yang dapat digunakan untuk menjerat para pelaku tersebut adalah dengan menggunakan asas yurisdiksi universal, dimana suatu negara dapat memberlakukan ketentuan pidananya atas kejahatan yang terjadi di China. Instrumen HAM Nasional, instrumen ini berlaku secara nasional saja, artinya instrumen tersebut dibuat oleh pemerintah di suatu negara dan hanya berlaku di negara di bawah hukum dimana instrumen tersebut ditetapkan. Di China, ada Undang-Undang Tahun 1984 yang dikeluarkan paada tanggal 09 Oktober 1984 (Rules Concerning the Utilization of Corpses or Organs for the Corpses of Executed Prisoners) pemanfaatan mayat atau organ dari tahanan yang dieksekusi (tahanan hukuman mati), dan menetapkan bahwa organ tahanan yang dieksekusi dapat digunakan untuk tujuan medis. Pemberlakuan undang-undang tersebut diperparah dengan rezim represif Cina dibawah Partai Komunis Cina (PKC). Rezim represif Cina memberlakukan banyak cara guna mengamankan kursi pemerintahan, seperti dengan pemenjaraan tahanan dalam rumah sekaligus anggota keluarganya, hingga melakukan penghilangan orang secara paksa (forced disapperance) bagi yang dianggap sebagai pembangkang. Meskipun undang-undang ini melarang donor organ dengan paksaan, namun disini dibenarkan penggunaan organ dari para tahanan setelah mendapat izin dari keluarganya. Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa organ tubuh dari tahanan yang dieksekusi harus digunakan dalam keadaan berikut: The corpses or organs of executed criminals may be provided for use in any the following circumstances:28 1. No one claims the body or the family refuses to claim the body; 2. The executed criminal has volunteered to have his corpse provided to a medical treatment or health unit for use; 3. The family consents to the use of the corpse. Namun meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang sumber transplantasi organ, penyimpangan masih saja terjadi. Para penganut Falun Gong mengklaim bahwa pemerintah China melakukan transplantasi organ tubuh penganut Falun Gong. Berbagai tuduhan yang dilayangkan pada pemerintah China tersebut disangkal. Berbagai kritik yang ditujukan pada Cina kemudian dibantah olehnya dengan alasan organ yang diperjualbelikan merupakan donasi masyarakat umum dan para criminal. Hingga pada tahun 2006, Huang Jiefu melakukan publikasi terkait dengan banyaknya organ yang ditransplantasikan di Cina berasal dari tahanan mati, namun hanya beberapa kasus saja Sementara itu, Qin Gang, juru bicara kepresidenan menambahkan bahwa organ tersebut tidak diambil secara paksa tanpa persetujuan dari tahanan maupun. 28 Temporary Rules Concerning the Utilization of Corpses or Organs from the Corpses of Executed Criminals (Peraturan Sementara Tentang Pemanfaatan Mayat atau Organ dari Mayat Penjahat Eksekusi), October 9 1984, China, Article 3. Jurnal Hukum HAM 15 Pada 30 Oktober 1999, pemerintah China kemudian mengeluarkan undang-undang anti-kultus, yaitu melalui Pasal 300 undang-undang Kriminalitas, yang berlaku retroaktif yang ditujukan untuk menghadapi pergerakan Falun Gong dan sejumlah kultus lain di China. Represi yang dilakukan pemerintah, baik secara fisik, mental, maupun virtual, membuat banyak penganut Falun Gong yang melarikan diri ke negara lain. Banyak pula di antara penganut tersebut yang secara terpaksa meninggalkan ajaran Falun Gong dan bahkan menyerahkan sejumlah nama yang terlibat dalam protes 1999. Di China, informasi mengenai Falun Gong baik rincian kasus ataupun berita yang terkait dengan Falun Gong, segala informasi di rahasiakan oleh negara. “Falun Gong” merupakan salah satu kata yang tidak dapat diakses melalui internet China. Sejumlah situs yang terkait dengan Falun Gong yang diblokir aksesnya dari internet di China. Berbagai situs yang berkaitan dengan pergerakan religius Falun Gong, baik yang berbahasa China, maupun Inggris, tidak dapat diakses melalui situs pencari Google di China. Penelitian yang dilakukan oleh OpenNet Initiative juga menemukan bahwa konten-konten berhubungan dengan Falun Gong juga semakin tidak dapat diakses pada tahun 2005, apabila dibandingkan dengan tahun 2002. Sehingga untuk mencari berbagai informasi mengenai Falun Gong untuk keperluan penulisan materi ini agak sulit, baik dari segi aturan dari China sendiri maupun rincian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap praktisi Falun Gong. Karena untuk undangundang di China sendiri tidak dipublikasi maupun mengenai Falun Gong sendiri yang diblokir berbagai situsnya di internet. III. Penutup Berdasarkan Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia, maka muncul dua ideologi/pandangan yang berbeda terhadap konsep Hak Asasi Manusia yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Melalui pemahaman universalisme HAM, dengan melandaskan argumen pada pemahaman HAM sebagai suatu hal yang universal dan dimiliki oleh tiap-tiap individu, Falun Gong menyampaikan perjuangannya di muka publik internasional. Perjuangan Falun Gong ditujukan untuk mencapai pemenuhan hak-hak individu sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB yang diresmikan oleh Sidang Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 di antaranya seperti hak untuk hidup, hak untuk berpikir, bermoral, dan beragama dan mempraktikkan ajaran agama atau kepercayaannya, serta hak untuk berekspresi dan berpendapat. Falun Gong menggunakan landasan dan justifikasi universalisme HAM sebagai latar belakang perjuangannya. Perjuangan Falun Gong di China diawali dengan niat untuk memperoleh kebebasan dalam mempraktikkan kepercayaannya serta kebebasan dalam berekspresi. China memiliki pemahaman akan HAM yang sangat berbeda dari pemahaman HAM yang selama ini dipahami oleh negara Barat. Pemahaman HAM China sangat dipengaruhi oleh akar sejarah, kondisi domestik, serta perspektif para pemimpin negara China, yang tergabung dalam Partai Komunis China (PKC). Melalui pemahaman relativisme budaya HAM, represi pemerintah terhadap kelompok Falun Gong dapat dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap kepentingan negara. Kepentingan negara adalah untuk menjalankan pemerintahan dan mempertahankan stabilitas sehingga segala bentuk tindakan yang dianggap membahayakan negara dieliminasi oleh pemerintah. Dengan alasan yang sama, pemerintah China mengilegalkan perkembangan Jurnal Hukum HAM 16 Falun Gong di negaranya karena dianggap sebagai sebuah kultus atau ajaran sesat, yang dapat merusak moral masyarakat. Kasus transplantasi organ di China adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat atau pemerintah terhadap warga sipil. Akan tetapi kedua kasus tersebut tidak ada perkembangan. Pemerintah sangat berperan aktif dalam menegakkan keadilan bukan menciptakan konflik dalam masyarakat, agar tercipta keamanan, ketentraman, kenyamanan, dan eksistensi keharmonisan dalam masyarakat tetap terjaga. Sebaiknya pemerintah lebih mengedepankan penegakan HAM dan menghilangkan kecurigaan tidak mendasar terhadap warga sipil agar tidak menimbulkan kejahatan maupun peelanggaran HAM. Dalam instrumen Internasional yang mengatur mengenai kasus Falun Gong ini, bisa dilihat dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membedabedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, hak untuk hidup, atau kedudukan yang lain. WHO (World Health Organisation) dalam resolusi WHA (World Health Assembly) menentukan 9 pedoman yang berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional khususnya mengenai perdagangan organ manusia secara illegal. Di dalam Pedoman 3 dikatakan bahwa organ untuk transplantasi harus didonor secara sukarela dari tubuh orang yang meninggal namun, manusia yang masih hidup yang mungkin akan menyumbangkan organ kepada orang lain secara umum pendonor tersebut harus terkait dengan genetik dari sang penerima organ. Pengecualian dapat dilakukan dalam kasus transplantasi sumsum tulang dan jaringan regeneratif lain yang dapat diterima. Selanjutnya organ dapat dikeluarkan dari tubuh seorang donor hidup yang telah dewasa untuk tujuan transplantasi jika pendonor memberikan persetujuan gratis. Dalam Statuta Roma 1998 International Criminal Court (ICC), mengatur mengenai berbagai macam kejahatan, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dimana kasus yang terjadi di China yang melibatkan para praktisi Falun Gong, yaitu pemerintah komunis china (PKC) berusaha untuk memusnahkan orang-orang yang terlibat dalam ajaran Falun Gong dengan cara melakukan penangkapan, penganiayaan, pembunuhan bahkan melakukan transplantasi organ terhadap anggota Falun Gong secara paksa. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah China ini sudah termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus transplantasi yang terjadi di China, ada undang-undang tahun 1984 mengenai pemanfaatan mayat atau organ dari tahanan yang dieksekusi, dan menetapkan bahwa organ tahanan yang dieksekusi dapat digunakan untuk tujuan medis (Temporary Rules Concerning the Utilization of Corpses or Organs from the Corpses of Executed Criminals). Meskipun undang-undang ini melarang donor organ dengan paksaan, namun disini dibenarkan penggunaan organ dari para tahanan setelah mendapat izin dari keluarganya. Namun meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang sumber transplantasi organ, penyimpangan masih saja terjadi. Pada 30 Oktober 1999, pemerintah China kemudian mengeluarkan undang-undang anti-kultus, yaitu melalui Pasal 300 undang-undang Kriminalitas, yang berlaku retroaktif yang ditujukan untuk menghadapi pergerakan Falun Gong dan sejumlah kultus lain di China. Aturan ini dikeluarkan pemerintah untuk menghentikan perkembangan ajaran Falun Gong. Jurnal Hukum HAM 17 DAFTAR PUSTAKA Buku : Budiardjo, Miriam. 1988. Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia. Cassesse, Antonio. 1994. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Guidry, John A. 2003. Globalizations and Social Movements: Culture, Power, and the Transnational Public Sphere. Michigan: The University Press. Halili. 2015. Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri. Howard, Rhoda E. 2000. Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya (terjemahan). Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti. Iskandar, Pranoto. 2010. Hukum HAM Internasional, Sebuah Pengantar Konseptual. Malang : IMR Press. Muh. Budairi. 2003. HAM versus Kapitalisme, Yogyakarta : Insist Press. Nathan, Andrew J. 1997. China’s Transition. New York: Columbia University Press. Tai, Hung Chao. 2003. “Human Rights in Taiwan: Convergence of two Political Countries?”, dalam James C. (ed.), Human Rights in East Asia: A Cultural Perspective, (New York: Paragon House Publishers, 1985), dikutip dari Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 2nd ed. New York : Cornell University Press. Tangkere, Cornelius. 2018. Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia. Manado : Unsrat Press. Yu, Haiqing. 2009. Media and Cultural Transformation in China. London : Routledge. Jurnal : Ardani Afif Nur, dkk. 2017. Relativisme Budaya Dalam Hak Asasi Manusia. Cakrawala Hukum. 14 (1): 40. Cornelius Tangkere. 2012. Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah, Wilayah, Dan Sumber Daya Alam. Jurnal Penelitian Hukum. 1(3): 448. Jaya Belardo Mega & Arafat Muhammad Rusli. 2017. Universalism Vs. Cultural Relativism dan Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama Di Indonesia, Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum. 17 (1): 57. Undang-Undang : Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Temporary Rules Concerning the Utilization of Corpses or Organs from the Corpses of Executed Criminals (Peraturan Sementara Tentang Pemanfaatan Mayat atau Organ dari Mayat Penjahat Eksekusi), October 9 1984, China. Sumber-Sumber Lain : David Matas, David Kilgour, dan Ethan Gutmann. Bloody Harvest / The Slaughter, June 22 2006. Lum Thomas. “China and Falun Gong”, dalam Laporan CRS untuk Kongres, 25 Mei 2006, The Library of Congress. Porter Noah. “Falun Gong in the United States: An Ethnographic Study”.