Uploaded by kewlriko

Reformasi Pajak Daerah dalam Menghadapi Revolusi 4.0

advertisement
REFORMASI PAJAK DAERAH DALAM MENGHADAPI REVOLUSI 4.0
a. Tantangan Pajak di Era Revolusi Industri 4.0
Dunia menghadapi tatanan baru peradaban seiring dengan pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Kemunculan superkomputer, robot pintar,
kendaraan tanpa pengemudi, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menandai
hadirnya era digital baru, yang dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0. Revolusi
digital ini tak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi secara signifikan juga
mengubah cara dan fundamental bisnis zaman now. Disrupsi yang terjadi tak hanya
membuka peluang ekonomi yang semakin besar, tetapi juga berpotensi membawa
ancaman jika tidak dikelola dengan benar.
Belajar dari tiga fase revolusi industri sebelumnya, di mana kemajuan teknologi terbukti
berhasil meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kelancaran rantai pasok, pun
demikian dengan revolusi industri 4.0. Hanya saja yang perlu juga dicermati adalah
implikasi yang mungkin timbul dari pemanfaatan teknologi yang semakin dominan.
Perlahan tapi pasti, otomatisasi diramalkan akan menyingkirkan tenaga dan pikiran
manusia, terutama untuk tipe pekerjaan klerikal atau yang dibutuhkan secara
operasional, bersifat administratif harian, atau yang tidak membutuhkan proses
pengambilan keputusan. Sedangkan, yang masih akan bertahan kemungkinan besar
adalah jenis pekerjaan yang berkolaborasi dengan mesin, tetapi masih membutuhkan
kemampuan kognitif dan interaksi sosial, seperti kedokteran.
World Economic Forum (WEF) pada tahun 2016 memperkirakan digitalisasi secara
global akan menghilangkan sekitar 2 juta sampai dengan 2 miliar lapangan pekerjaan
hingga tahun 2030. Di sisi lain, digitalisasi membuka peluang bisnis dan memunculkan
jenis pekerjaan baru, terutama yang terkait dengan pengelolaan mesin dan data, logistik,
dan pekerja seni. WEF mengestimasi akan ada penciptaan 6 juta lapangan kerja baru di
bidang logistik dan teknologi hingga tahun 2025.
Bagi dunia usaha, revolusi digital akan menerobos jalur pemasaran tradisional dengan
memanfaatkan luas dunia yang semakin tak berbatas. Di satu sisi, ruang ekspansi dan
efisiensi semakin terbuka lebar. Di sisi lain, globalisasi digital memberikan segudang
akses informasi yang bisa saja membingungkan atau bahkan menyesatkan. Karenanya,
perencanaan adalah kunci. Dengan memahami pergeseran, peran, dan efek yang
diciptakan oleh industri 4.0, pelaku usaha dapat merancang strategi bisnis yang sesuai
dengan dinamika yang terjadi.
Pelaku usaha sangat mungkin dihadapkan pada tantangan untuk bagaimana
mewujudkan potensi efisiensi dan keuntungan yang ditawarkan oleh kemajuan
teknologi, baik dalam memperluas akses pasar, membuat produk baru, atau
menawarkan nilai tambah kepada konsumen. Dalam konteks ini tak melulu soal potensi
biaya dan keuntungan, tetapi juga soal konsekuensi perpajakan yang bakal timbul dan
harus diantisipasi. Dalam era industri 4.0, kompetisi tidak lagi hanya menghadapkan Si
Besar vs Si Kecil, melainkan waktunya pertarungan antara Si Cepat vs Si Lambat. Tak
hanya soal bisnis, siapa pun yang merespons cepat perkembangan teknologi dapat
dipastikan bakal meninggalkan jauh lawan-lawannya yang lambat beradaptasi.
Demikian halnya dengan pajak, ketika otoritas tak mampu mengikuti perkembangan
tren digital, negara akan dirugikan oleh risiko kebocoran penerimaan yang semakin
besar. Ini menjadi tantangan serius bagi regulator mengingat regulasi perpajakan yang
berlaku saat ini, ketika disusun, belum mempertimbangkan efek revolusi digital.
Alhasil, produk hukum perpajakan lawas akan dengan sangat mudah diakali Wajib
Pajak yang menyalahgunakan teknologi dan regulasi.
Pentingnya pelibatan teknologi dalam reformasi pajak sebenarnya sudah disadari oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembangan teknologi informasi DJP sejatinya
sudah dimulai awal 90-an ketika membangun sistem pengendalian pembayaran pajak
baru atau new payment control system (NPCS). Pembaruan sistem kemudian dilakukan
pada tahun 1994, di mana pengawasan diperluas hingga mencakup monitoring terhadap
kepatuhan Wajib Pajak melaporkan SPT, dengan memperkenalkan Sistem Informasi
Perpajakan (SIP).
Update teknologi terus dikembangkan melalui pengembangan berbagai program
aplikasi perpajakan, seperti: aplikasi Monitoring Pelaporan dan Pembayaran Pajak
(MP3), e-registration (e-reg), pelaporan SPT secara online (e-filing), Sistem Informasi
Geografis (SIG), Sistem Informasi DJP (pengganti SIP). Terakhir, pada tahun 2016,
DJP meluncurkan program pemetaan Wajib Pajak menggunakan teknologi informasi
yang diberi nama Geo-Tagging.
Namun, pengembangan infrastruktur information & technology (IT) yang dilakukan
oleh DJP selama ini kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan teknologi digital
dan hasilnya belum banyak terlihat, baik dari sisi penerimaan negara maupun perluasan
basis pajak.
Otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia
yang berubah, serta dampaknya terhadap perpajakan harus dikaji secara serius. Dalam
berbagai hal, otoritas pajak harus selangkah lebih maju atau bahkan dua-tiga langkah di
depan Wajib Pajak, Yakni dengan merancang sistem pajak yang lebih adaptif dan solutif
(dapat memberikan berbagai solusi) dalam merespons dinamika perpajakan yang
berkembang. Bukan hanya dengan melahirkan jenis-jenis pungutan pajak baru (ecommerce, dan lain-lain), tetapi otoritas pajak juga dituntut untuk mengubah paradigma
pelayanan terhadap Wajib Pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak.
Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan jawaban atas tuntutan publik yang
mendambakan kehidupan yang mudah, murah, dan efisien. Dalam konteks perpajakan,
revolusi industri 4.0 menjadi teguran keras bagi otoritas pajak untuk meninggalkan caracara konvensional menuju sistem operasional dan pelayanan yang terkoneksi dalam
platform atau aplikasi digital, yang menimimalkan interaksi fisik antara fiskus dengan
Wajib Pajak, tetapi memfasilitasi interaksi virtual yang lebih intens. Sistem perpajakan
seharusnya tak hanya memudahkan Wajib Pajak, tetapi juga dapat memastikan Wajib
Pajak menjalankan kewajibannya secara benar karena tidak ada ruang dan pilihan untuk
mengelak dari ketentuan.
Namun, keberhasilan proses transformasi kebijakan di suatu negara bergantung pada
penciptaan aturan-aturan dan norma-norma etika yang mampu meningkatkan
kepercayaan publik. Dalam lingkup perpajakan, peralihan sistem dari konvensional
menuju digital pun harus dibarengi dengan penyiapan regulasi yang bisa memenangkan
dan menenangkan semua pihak.
Belajar dari kasus-kasus terbaru dimana ketiadaan regulasi yang bisa menjadi dasar
pemajakan transaksi online menciptakan sengketa antara otoritas pajak di banyak
negara dan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi dunia seperti Google, Yahoo, dan
Facebook. Tak terkecuali di Indonesia, tidak adanya payung hukum yang tegas untuk
bisa memajaki perusahaan Over the Top (OTT) menjadi pelajaran berharga bagi
pemerintah untuk merancang regulasi yang fleksibel menghadapi perkembangan
zaman.
OECD (2017) dalam risetnya menekankan bahwa sistem perpajakan harus
bertransformasi dan berubah secara berkesinambungan menyesuaikan dengan pesatnya
kemajuan teknologi dan digitalisasi, serta perkembangan pola bisnis. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan efetivitas dan efisiensi pemajakan, atau menurunkan biaya
dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Sistem perpajakan di era digital yang ideal menurut OECD adalah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut: (1) terhubung secara global (globally connected); (2) mumpuni
secara teknologi (technologically enabled); (3) kolaboratif dan terintegrasi
(collaborative and integrated); (4) mengutamakan data dan wawasan (data and insight
led); (5) manajemen kepatuhan informasi yang lebih baik (better informed compliance
management); memiliki sumber daya manusia yang mumpuni (enabled workforce); (6)
dan terakhir, melanjutkan transformasi dan terus berubah secara signifikan mengikuti
tren teknologi digital dan bisnis termutakhir.
Disrupsi telah melahirkan satu generasi baru yang kreatif, memiliki kesadaran tinggi
atas teknologi, dan melampaui batas-batas kepatutan yang tak pernah terduga
sebelumnya. Disrupsi juga membenamkan bisnis-bisnis lama, pelaku industri yang tak
mau berubah, serta pekerjaan-pekerjaan yang mudah tergantikan oleh mesin. Ketika
wajah masyarakat di seluruh dunia berubah mengikuti tren digitalisasi, pun demikian
pula seharusnya dengan otoritas pajak.
b. Pajak Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0
Berdasarkan Wikipedia Indonesia, Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran
data terkini dalam tekhnologi pabrik. Istilah ini mencakup data sistem siber-fisik,
internet untuk segala/Internet of Things (IoT), komputasi awan/cloud computing, dan
komputasi kognitif. Revolusi ini menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dan
membuat keputusan yang tidak terpusat lewat internet.
Perkembangan otomatisasi, internet of things, big data dan artificial intelligent
memberikan banyak peluangan serta pilihan baru bagi para pelaku bisnis dalam
menjalankan usahanya dan juga bagi para konsumen di dalam menentukan pilihannya.
a. Perpajakan Berbasis Sistem dan Aplikasi
Pajak sebagai komponen dalam mata rantai bisnis dan ekonomi yang tak terpisahkan
mau tidak mau harus siap,cepat dan tanggap dalam merespon dampak era Revolusi
industri 4.0 ini. sistem,proses dan produk perpajakan kita harus berbasis teknologi
yang maju dan mumpuni.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai jawatan di bawah Kementerian Keuangan
yang di beri tugas oleh Pemerintahmengatur sistem perpajakan di Indonesia
sebenarnya sudah memulai di era awal 90-an,ketika sistem pembayaran pajak baru
atau lebih di kenal dengan New Payment Control System (NPCS) dan berkembang
terus seiring waktu dan tuntutan.
Perkembangan jumlah Wajib Pajak baik OP maupun Badan , pola bisnis yang
cenderung semakin beragam tidak mungkin lagi di tangani secara manual. Pemetaan
Wajib Pajak,pelayanan pendaftaran,pembayaran,pelaporan dan pemeriksaan pajak
harus di kelola dalam satu basis teknologi informasi yang canggih dan terintegrasi,
sehingga mampu mengefesiensikan tugas tugas perpajakan itu sendiri tanpa
mengabaikan prinsip prinsip perpajakan yang kita pegang.
Maka dalam rangka itulah dalam 5 pilar Reformasi Pajak yang telah di canangkan
termasuk di dalamnya adalah berkaitan dengan hal tersebut di atas yaitu Reformasi
sistem informasi dan basis data serta proses bisnis, maka terciptalah pelayanan dan
produk DJP yang secara berkesinambungan yang berbasis teknologi informasi
internet seperti, e-Registration, e-Faktur, e-Filling, e-Billing, e-Bupot yang saat ini
sudah mulai familiar di para Wajib Pajak. Dan yang akan menjadi harapan kita
semua adalah apa yang di sebut e-TaxPayer Account yaitu sebuah Account tunggal
untuk memberikan kemudahan pelayanan pajak.
Hingga saat ini, layanan pajak berbasis aplikasi yang bisa diakses wajib pajak (WP)
masih sebatas pendaftaran NPWP secara elektronik (e-registration), pelaporan SPT
secara elektronik (e-filing), pembuatan kode billing pembayaran pajak secara
elektronik (e-billing), dan e-faktur.
Ditjen Pajak ke depan harus bisa memberikan produk-produk layanan pajak lainnya
secara elektronik dan mobile dalam satu akun tunggal terintegrasi, yang dapat
diakses oleh WP kapan pun di mana pun, tidak sebatas layanan yang telah disebut di
atas. Dalam satu e-akun aplikasi, WP dapat melihat riwayat pembayaran pajakpajaknya dan saldo utang pajak yang masih harus dibayar.
Melalui e-akun yang sama, kantor pajak dapat mengirimkan notifikasi berkaitan
dengan hak dan kewajiban perpajakan WP. Contohnya, imbauan kewajiban pajak
yang belum dilaksanakan, produk hukum hasil pemeriksaan, surat ketetapan pajak,
dan surat tagihan pajak. Wajib pajak dapat melacak status terkini permohonan yang
diajukan WP, seperti restitusi, keberatan, ataupun non keberatan.
Jika tidak mau tergilas zaman dan ditinggalkan konsumennya, Ditjen Pajak harus
cepat dan tanggap dalam merespon dampak era revolusi industri 4.0. Apalagi dengan
melihat data pertumbuhan pengguna internet yang sangat cepat. Jumlah pengguna
internet di Indonesia saat ini sebanyak 143,26 juta, dengan demografi usia pengguna
didominasi oleh generasi milenial. (Survey APJII, 2017). Jumlah WP yang makin
banyak, juga menjadi isu krusial. Per tanggal 31 Maret 2018, WP terdaftar sudah
sebanyak 38,6 juta WP. Bagaimana cara yang paling efektif dan efisien dalam
melayani dan mengawasi WP sebanyak ini.
Saat ini Ditjen Pajak sedang melakukan reformasi perpajakan. Tujuannya adalah
menjadi institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan akuntabel untuk menghasilkan
penerimaan negara yang optimal. Kondisi yang ingin dicapai adalah sinergi yang
optimal antar lembaga, kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi, dan tax ratio 15% di
tahun 2024. Menteri Keuangan juga menambahkan beberapa kebijakan fiskal untuk
menunjang kesiapan Indonesia masuk dalam era industri 4.0 diantaranya adalah
pembangunan infrastruktur digital terus dilanjutkan dengan melanjutkan
pembangunan jaringan serat optik nasional palapa ring. Sampai saat ini, telah
terealisasi sebanyak 35.280 km kabel laut dan 21.807 km kabel darat.
Dari lima pilar reformasi pajak, dua di antaranya adalah reformasi sistem informasi
dan basis data serta proses bisnis. Di dalamnya, ada aplikasi yang sedang
dikembangkan, bernama e-Taxpayer Account, sebuah akun tunggal untuk
memberikan kemudahan layanan pada wajib pajak. Aplikasi e-Taxpayer Account (eTPA) ini semacam jawaban atas tantangan disruptive technology yang tidak
mungkin terelakkan lagi.
Dengan adanya e-TPA, ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi kondisi Jurusita
Pajak datang untuk menagih utang pajak, namun WP belum menerima surat tagihan
pajaknya. Kasus seperti ini mungkin dikarenakan WP pindah alamat, namun
belum/tidak memberitahukan ke kantor pajak, sehingga "surat cinta" dari kantor
pajak tidak sampai.
WP tidak perlu datang ke kantor pajak lagi hanya untuk menanyakan rincian
pembayaran pajak bulanan untuk mengisi SPT Tahunannya. Semua informasi bisa
dilihat di e-TPA. e-Taxpayer Account sebagai layanan yang consumer-friendly
nantinya diharapkan menjadi lembaran baru era transparansi kepada WP, sehingga
akan tercipta “trust” antara Ditjen Pajak dan WP. Kondisi saling percaya ini akan
berdampak pada peningkatan kepatuhan WP. Pada akhirnya, penerimaan pajak akan
meningkat seirama dengan meningkatnya kepatuhan WP.
b. Regulasi Perpajakan yang Sesuai dengan Revolusi 4.0
1) Payung Hukum Virtual Audit Pajak
Aplikasi-aplikasi elektronik, perusahaan virtual, hingga uang elektronik
merupakan buah dari tumbuhnya revolusi industri ini. "Big Data" menjadi salah
satu ide terbesarnya, menjadikan segala bentuk materialitas di dunia disimpan
menjadi data. Tak ada yang tersembunyi dan tak terlihat. Hanya dibutuhkan kunci
yang berfungsi sebagai otorisasi pembukanya.
Benar atau tidaknya otoritas yang memegang ini, kemudian menjadi pertanyaan
yang beralih, yaitu "siapa" yang mengendalikannya. Saat pemerintah gagal
mengendalikan, akan timbul pengelembungan data, pemindahan data secara
ilegal, penipuan, dan bahkan penggelapan data yang tidak benar. Data semakin
riskan jika tidak diawasi secara berkala dan diatur lalu lintasnya.
Inilah yang perlu cepat dikembangkan bagi otoritas pajak di dalam birokrasi
pemerintahan. Pengawasan wajib pajak bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik.
Pengumpulan data ini harus agresif memanfaatkan teknologi "Big Data". Segala
penggunaan media maya harus membawa kita juga dalam pengawasan secara
virtual ke dalam data digital.
Konsep virtual audit pajak ini, memanfaatkan server, sebagai lokasi penyimpanan
data wajib pajak maupun sebagai tempat persinggahan sementara. Jalur serat
optik dan pemancaran sinyal data oleh satelit menjadi penghubung virtual audit
ini. Pemeriksa dengan cepat dalam melihat dan mengklarifikasi data ekonomi
berupa surat berharga di perbankan, kepemilikan aset, tersebarnya hutang
piutang, bahkan legalitas setiap perijinan yang dimiliki.
Seperti halnya permainan virtual, dengan menggunakan kacamata virtual dan
perangkat pengirim alam sadar ke virtual server, pandangan pemeriksa dibawa
berpindah ke lokasi yang dituju. Setiap pemeriksa diverifikasi identitas
menggunakan otorisasi kornea mata (sistem perijinan birokrasi digital) di dalam
program yang terinstal di kacamata. Saat mulai terhubung, penanda waktu
bergerak, beserta log setiap kegiatan yang dilakukan. Hal yang menarik adalah
terdapat panel virtual terproyeksikan di depan pemeriksa, saat koneksi mulai
terhubung sebagai alat pengendali audit. Supervisor pemeriksa pun dapat ikut
memantau jalannya audit virtual tersebut melalui layar komputer pengawasan
yang dipilih. Dalam kurun waktu yang singkat, pandangan pemeriksa dapat
mengobservasi dan meneliti setiap data lengkap milik wajib pajak sesuai
preferensi yang dipilih. Data yang berkaitan dengan wajib pajak pun akan terinci
jelas terlihat oleh pemeriksa. Pemeriksa pun bisa mengambil foto data untuk
digunakan sebagai lampiran hasil audit. Lebih lanjut, jika masih dibutuhkan data
lain, pemeriksa bisa berpindah ke server lain yang berhubungan dengan
dokumen-dokumen elektronik yang dibutuhkan dari wajib pajak. Semua data
digital terekam dan menjadi dasar laporan hasil yang akan dipaparkan dan
diklarifikasi keabsahan kepada wajib pajak, dalam berita acara pertemuan
langsung.
Sepenggal prosedur atas konsep virtual audit pajak ini, tentunya bisa dilakukan
jika terdapat payung hukum yang melindunginya. Petunjuk pelaksanaan,
pelatihan SDM, serta perangkat teknologi yang sesuai harus dapat tercipta
sebagai arah implementasi audit tersebut. Semakin cepat berarti akan semakin
baik. Semakin cepat respon atas perubahan ini, pemerintah akan cepat
menanggapi dan melindungi sisi keadilan ekonomi di Indonesia.
Hanya diperlukan hukum yang jelas serta standar prosedur pelaksanaan yang
canggih untuk dapat bereaksi dengan efek buruk yang ditimbulkan "Big Data"
ini. Efek buruk yang akan mempengaruhi stabilitas di Indonesia yang
mengancam kehidupan masa depan. Namun, berbeda hal jika Indonesia bisa
cepat menggunakan teknologi "Big Data" ini, dengan salah satunya membuat
struktur dan prosedur yang jelas dengan adanya virtual audit pajak ini. Audit
pajak yang mampu melihat ancaman sebagai kekuatan untuk lebih meningkatkan
kualitas dalam hal pengawasan.
2) Payung Hukum Perpajakan e-Commerce
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan
melalui Sistem Elektronik. Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak
baru bagi pelaku e-commerce. Pengaturan ini lebih menjelaskan tata cara dan
prosedur pemajakan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong
kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan
yang setara dengan pelaku usaha konvensional.
Keputusan Menteri Keuangan pada Jumat (29/3) lalu, telah menarik kembali
Peraturan Menteri Keuangan tentang aturan perpajakan e-commerce. Desasdesus yang sempat bertiup saat itu, Menkeu kemungkinan hanya akan menunda
implementasi aturan ini. Itu pun hanya beberapa bulan, agar ada waktu untuk
mengkajinya lebih jauh dan menyempurnakannya.
Seperti dinyatakan dalam siaran pers Kementerian Keuangan, penarikan ini
didasari pertimbangan masih perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih
komprehensif antar kementerian/lembaga. Koordinasi dibutuhkan agar
pengaturan e-commerce tepat sasaran, berkeadilan, efisien serta mendorong
pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Selain itu, masih diperlukan adanya
sosialisasi dan komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Plus
mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (ECommerce) dikeluarkan pada 31 Desember lalu. Rencananya, akan berlaku
efektif pada 1 April 2019. Dikeluarkannya aturan ini, tak lepas dari desakan
pelaku bisnis konvensional yang menuntut adanya perlakuan setara dalam hal
perpajakan untuk pelaku bisnis digital. Mereka merasa keberlangsungan
usahanya terancam, karena transaksi yang dilakukan melalui platform digital
tidak terjangkau aturan perpajakan. Atas dasar menciptakan kesetaraan inilah
PMK itu dikeluarkan. Di dalamnya mengatur soal kewajian para pedagang
(seller) yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp 4,8
miliar setahun untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) 10 persen dari pembeli (buyer). Mereka juga wajib membuat faktur pajak
sebagai bukti pungutan PPN 10 persen kepada pembeli.
Adapun untuk pedagang yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut
PPN dari pembeli. Namun, diwajibkan menyetor Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mereka kepada penyedia
platform marketplace, seperti halnya Tokopedia, Bukalapak atau Shopee. Melalui
kewajiban penyerahan NPWP dan NIK ini, pemerintah berharap akan terjadi
perluasan basis wajib pajak. Persoalannya, aturan baru ini belum memuat
mekanisme yang efektif untuk menjangkau media sosial. Padahal, sebagian besar
transaksi e-commerce dilakukan via media sosial, seperti facebook, instagram,
whatsapp dan lainnya.
Hasil survei PayPal terhadap 4.000 konsumen dan 1.400 merchant di tujuh negara
Asia (Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina)
pada 2017 menunjukkan, media sosial merupakan platform yang paling banyak
digunakan dalam transaksi e-commerce: mencapai 80 persen. Menurut survei
tersebut, porsi penggunaan media sosial dalam transaksi e-commerce di
Indonesia pun mencapai 80 persen. Facebook merupakan media sosial yang
paling banyak digunakan (92 persen).
Indikasi serupa didapat dari Survei Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA).
Bahkan hanya 16 persen porsi untuk platform marketplace.
Kajian Katadata Insights Center (KIC) mencatat ada sejumlah persoalan yang
akan muncul jika aturan ini dipaksakan berlaku saat ini. Pertama, menciptakan
ketidaksetaraan lahan usaha (unequal playing field) antara platform marketplace
dan media sosial. Jika tak hati-hati, adanya berbagai persyaratan di marketplace,
bahkan bisa mengancam keberlangsungan perusahaan lapak digital yang sedang
tumbuh. Ini dikarenakan, akan terjadi perpindahan massal para penjual dari
marketplace ke media sosial. Pemerintah pun tentu akan semakin sulit jadinya
untuk menjangkau para wajib pajak. Kedua, perlu juga diantisipasi, penyerahan
NPWP dan NIK bagi para seller yang kebanyakan para pelaku usaha mikro, akan
mempengaruhi minat masyarakat untuk memulai usaha baru. Survei PayPal
menunjukkan, sekitar 9 persen pelaku usaha transaksi digital bahkan berusia di
bawah 20 tahun, masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Mayoritas pelaku usaha
ini tidak pernah memiliki NPWP. Karena itu, dibutuhkan waktu yang cukup
untuk sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha pemula ini.
Survei idEA terhadap sekitar 2.000 UMKM di 10 kota di Indonesia pada 2017
juga menunjukkan, ada 10 persen penjual dari kalangan UMKM yang belum
pernah berusaha sebelumnya. Mereka baru mulai mencoba-coba berbisnis kecilkecilan dengan menjual barang secara online di marketplace. Menjaga
keberlangsungan para UMKM ini tentu saja sangat penting, mengingat kini
diperkirakan terdapat sekitar 10 juta penjual aktif yang bertransaksi via ecommerce. Sebagian besar di antaranya bahkan merupakan pengusaha mikro
dengan pendapatan kurang dari Rp 300 juta tiap tahun. Keberadaan mereka
seiring dengan perkembangan pesat transaksi e-commerce di Indonesia dalam
tiga tahun terakhir, dan diperkirakan akan terus membesar.
Studi McKinsey menyebutkan, nilai barang yang diperjualbelikan (gross
merchandise value) sudah mencapai US$ 8 miliar pada 2017, dan diperkirakan
akan meningkat delapan kali lipat pada 2022 menjadi US$ 55-65 miliar. Di
kawasan Asia Tenggara, Indonesia memang merupakan negara dengan nilai
ekonomi digital terbesar dan bertumbuh paling pesat. Berdasarkan riset GoogleTemasek, nilai ekonomi digital Indonesia yang mencapai US$ 27 miliar pada
2018, diperkirakan akan melesat hingga US$ 100 miliar (sekitar Rp1.440 triliun)
pada 2022.
Melihat besarnya potensi ini, Presiden Joko Widodo pada 21 Juli 2017 telah
meneken Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem
Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE)/Road Map e-Commerce
Tahun 2017-2019. Perpres itu mengamanatkan perlunya upaya mendorong
percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik
(e-commerce), usaha pemula (startup), pengembangan usaha, dan percepatan
logistik. Dalam kaitan itu, keputusan Sri Mulyani untuk menarik PMK 210/2018
sebuah langkah tepat yang patut diapresiasi. Diperlukan kehati-hatian dan waktu
yang cukup untuk melakukan kajian secara lebih mendalam, sembari menyiapkan
sistem/regulasi perpajakan yang tepat dan adil bagi semua platform e-commerce.
Dengan begitu, diharapkan industri e-commerce Indonesia dapat tumbuh secara
sehat dan berkelanjutan. Langkah ini pun sekaligus menegaskan kembali sikap
Menkeu, seperti dinyatakan dalam pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF di Bali
akhir tahun lalu, bahwa pemerintah akan mendorong tumbuh kembangnya
industri digital, yang menjadi masa depan ekonomi Indonesia.
3) Super Deduction Tax
Pemerintah menyiapkan sederet strategi untuk menghadapi revolusi industri 4.0,
di antaranya dengan memberikan insentif pajak berupa super deduction tax untuk
industri yang berinvestasi pada pendidikan vokasi serta penelitan dan
pengembangan. Targetnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait terbit
pada Maret 2019. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, pelaku
industri yang menerima insentif super deduction tax bisa menikmati pengurangan
Pajak Penghasilan (PPh) hingga 300%. Untuk vokasi sampai 200%, sementara
untuk penelitian dan inovasi direncanakan sampai 300%.
Insentif pajak tersebut sesuai usulan kalangan industri. Adapun upaya mendorong
pendidikan vokasi perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sumber
daya manusia pada era industri 4.0. Beberapa kemampuan baru yang diperlukan
pada era 4.0 adalah penguasaan coding dan financial technology (fintech).
Adapun Kadin telah menggandeng 2.614 perusahaan untuk berpartisipasi dalam
program vokasi.
c. Sumber Daya Manusia Perpajakan yang Mendukung Revolusi 4.0
Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PANRB) Setiawan Wangsaatmaja mengatakan memang
shifting pekerjaan tak terhindarkan. Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan salah
satu aset penting dalam penyelenggaraan roda pemerintahan sebuah negara.
Terlebih, saat ini dunia sedang mengadapi era disrupsi teknologi hingga munculnya
Revolusi Industri 4.0.
Dalam rekrutmen ASN terdapat beberapa pekerjaan yang sifatnya rutinitas sudah
ditutup pengadaannya karena sudah banyak atau sekitar 38% yang bersifat
berkompetensi umum. Kementerian PANRB tidak mengadakan lagi jabatan tertentu
yang sifatnya tak up to date nantinya dan hanya merekrut jabatan baru yang sifatnya
computerized, ke depan akan lebih banyak. Hal ini sudah dilakukan sejak 2014.
Kalau biasanya merekrut lima ASN untuk mengerjakan 1 pekerjaan, nantinya
pihaknya akan merekrut 1 orang untuk mengerjakan pekerjaan itu.
Pemerintah juga telah merancang road map program Smart ASN yang ditargetkan
dapat terwujud pada tahun 2024. Adapun kriterianya yaitu harus berintegritas,
memiliki rasa nasionalisme tinggi, profesional, berwawasan global, memahami IT
dan bahasa asing, hospitality, networking, dan entrepreneurship. Untuk mewujudkan
Smart ASN 2024 itu, pemerintah sudah mulai mempersiapkannya sejak tahap
perencanaan dan perekrutan melalui penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) mulai pendaftaran sudah online sampai seleksi juga sudah komputerisasi,
dan terbuka. Hasilnya bisa lihat melalui proses rekrutmen.
Selama periode 2014 - 2019, Pemerintah telah merekrut total 317.979 CPNS, dengan
rincian sebanyak 53.804 pada tahun 2015, 51.444 pada tahun 2016, 33.155 pada
tahun 2017, dan 179.576 pada tahun 2018. Pemerintah menargetkan, sebanyak 25%
ASN di tahun 2024 sudah diisi putra-putri terbaik bangsa Indonesia.
Di sisi pendidikan, Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Didik
Suhardi menuturkan dalam menyiapkan SDM di era industri 4.0, pihaknya telah
membekali melalui kurikulum 2013 yakni mereka harus memiliki pemikiran kritis,
skillnya yang banyak, kreativitas tinggi, dan kolaboratif. Di tenaga pendidik,
pihaknya memberi kesempatan guru untuk belajar ke luar negeri dan diklat
kompetensi guru untuk meningkatkan kompetensi guru Tanah Air.
Download