REFORMASI PAJAK DAERAH DALAM MENGHADAPI REVOLUSI 4.0 a. Tantangan Pajak di Era Revolusi Industri 4.0 Dunia menghadapi tatanan baru peradaban seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menandai hadirnya era digital baru, yang dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0. Revolusi digital ini tak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi secara signifikan juga mengubah cara dan fundamental bisnis zaman now. Disrupsi yang terjadi tak hanya membuka peluang ekonomi yang semakin besar, tetapi juga berpotensi membawa ancaman jika tidak dikelola dengan benar. Belajar dari tiga fase revolusi industri sebelumnya, di mana kemajuan teknologi terbukti berhasil meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kelancaran rantai pasok, pun demikian dengan revolusi industri 4.0. Hanya saja yang perlu juga dicermati adalah implikasi yang mungkin timbul dari pemanfaatan teknologi yang semakin dominan. Perlahan tapi pasti, otomatisasi diramalkan akan menyingkirkan tenaga dan pikiran manusia, terutama untuk tipe pekerjaan klerikal atau yang dibutuhkan secara operasional, bersifat administratif harian, atau yang tidak membutuhkan proses pengambilan keputusan. Sedangkan, yang masih akan bertahan kemungkinan besar adalah jenis pekerjaan yang berkolaborasi dengan mesin, tetapi masih membutuhkan kemampuan kognitif dan interaksi sosial, seperti kedokteran. World Economic Forum (WEF) pada tahun 2016 memperkirakan digitalisasi secara global akan menghilangkan sekitar 2 juta sampai dengan 2 miliar lapangan pekerjaan hingga tahun 2030. Di sisi lain, digitalisasi membuka peluang bisnis dan memunculkan jenis pekerjaan baru, terutama yang terkait dengan pengelolaan mesin dan data, logistik, dan pekerja seni. WEF mengestimasi akan ada penciptaan 6 juta lapangan kerja baru di bidang logistik dan teknologi hingga tahun 2025. Bagi dunia usaha, revolusi digital akan menerobos jalur pemasaran tradisional dengan memanfaatkan luas dunia yang semakin tak berbatas. Di satu sisi, ruang ekspansi dan efisiensi semakin terbuka lebar. Di sisi lain, globalisasi digital memberikan segudang akses informasi yang bisa saja membingungkan atau bahkan menyesatkan. Karenanya, perencanaan adalah kunci. Dengan memahami pergeseran, peran, dan efek yang diciptakan oleh industri 4.0, pelaku usaha dapat merancang strategi bisnis yang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Pelaku usaha sangat mungkin dihadapkan pada tantangan untuk bagaimana mewujudkan potensi efisiensi dan keuntungan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi, baik dalam memperluas akses pasar, membuat produk baru, atau menawarkan nilai tambah kepada konsumen. Dalam konteks ini tak melulu soal potensi biaya dan keuntungan, tetapi juga soal konsekuensi perpajakan yang bakal timbul dan harus diantisipasi. Dalam era industri 4.0, kompetisi tidak lagi hanya menghadapkan Si Besar vs Si Kecil, melainkan waktunya pertarungan antara Si Cepat vs Si Lambat. Tak hanya soal bisnis, siapa pun yang merespons cepat perkembangan teknologi dapat dipastikan bakal meninggalkan jauh lawan-lawannya yang lambat beradaptasi. Demikian halnya dengan pajak, ketika otoritas tak mampu mengikuti perkembangan tren digital, negara akan dirugikan oleh risiko kebocoran penerimaan yang semakin besar. Ini menjadi tantangan serius bagi regulator mengingat regulasi perpajakan yang berlaku saat ini, ketika disusun, belum mempertimbangkan efek revolusi digital. Alhasil, produk hukum perpajakan lawas akan dengan sangat mudah diakali Wajib Pajak yang menyalahgunakan teknologi dan regulasi. Pentingnya pelibatan teknologi dalam reformasi pajak sebenarnya sudah disadari oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembangan teknologi informasi DJP sejatinya sudah dimulai awal 90-an ketika membangun sistem pengendalian pembayaran pajak baru atau new payment control system (NPCS). Pembaruan sistem kemudian dilakukan pada tahun 1994, di mana pengawasan diperluas hingga mencakup monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak melaporkan SPT, dengan memperkenalkan Sistem Informasi Perpajakan (SIP). Update teknologi terus dikembangkan melalui pengembangan berbagai program aplikasi perpajakan, seperti: aplikasi Monitoring Pelaporan dan Pembayaran Pajak (MP3), e-registration (e-reg), pelaporan SPT secara online (e-filing), Sistem Informasi Geografis (SIG), Sistem Informasi DJP (pengganti SIP). Terakhir, pada tahun 2016, DJP meluncurkan program pemetaan Wajib Pajak menggunakan teknologi informasi yang diberi nama Geo-Tagging. Namun, pengembangan infrastruktur information & technology (IT) yang dilakukan oleh DJP selama ini kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan teknologi digital dan hasilnya belum banyak terlihat, baik dari sisi penerimaan negara maupun perluasan basis pajak. Otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia yang berubah, serta dampaknya terhadap perpajakan harus dikaji secara serius. Dalam berbagai hal, otoritas pajak harus selangkah lebih maju atau bahkan dua-tiga langkah di depan Wajib Pajak, Yakni dengan merancang sistem pajak yang lebih adaptif dan solutif (dapat memberikan berbagai solusi) dalam merespons dinamika perpajakan yang berkembang. Bukan hanya dengan melahirkan jenis-jenis pungutan pajak baru (ecommerce, dan lain-lain), tetapi otoritas pajak juga dituntut untuk mengubah paradigma pelayanan terhadap Wajib Pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan jawaban atas tuntutan publik yang mendambakan kehidupan yang mudah, murah, dan efisien. Dalam konteks perpajakan, revolusi industri 4.0 menjadi teguran keras bagi otoritas pajak untuk meninggalkan caracara konvensional menuju sistem operasional dan pelayanan yang terkoneksi dalam platform atau aplikasi digital, yang menimimalkan interaksi fisik antara fiskus dengan Wajib Pajak, tetapi memfasilitasi interaksi virtual yang lebih intens. Sistem perpajakan seharusnya tak hanya memudahkan Wajib Pajak, tetapi juga dapat memastikan Wajib Pajak menjalankan kewajibannya secara benar karena tidak ada ruang dan pilihan untuk mengelak dari ketentuan. Namun, keberhasilan proses transformasi kebijakan di suatu negara bergantung pada penciptaan aturan-aturan dan norma-norma etika yang mampu meningkatkan kepercayaan publik. Dalam lingkup perpajakan, peralihan sistem dari konvensional menuju digital pun harus dibarengi dengan penyiapan regulasi yang bisa memenangkan dan menenangkan semua pihak. Belajar dari kasus-kasus terbaru dimana ketiadaan regulasi yang bisa menjadi dasar pemajakan transaksi online menciptakan sengketa antara otoritas pajak di banyak negara dan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi dunia seperti Google, Yahoo, dan Facebook. Tak terkecuali di Indonesia, tidak adanya payung hukum yang tegas untuk bisa memajaki perusahaan Over the Top (OTT) menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merancang regulasi yang fleksibel menghadapi perkembangan zaman. OECD (2017) dalam risetnya menekankan bahwa sistem perpajakan harus bertransformasi dan berubah secara berkesinambungan menyesuaikan dengan pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi, serta perkembangan pola bisnis. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan efetivitas dan efisiensi pemajakan, atau menurunkan biaya dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi. Sistem perpajakan di era digital yang ideal menurut OECD adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) terhubung secara global (globally connected); (2) mumpuni secara teknologi (technologically enabled); (3) kolaboratif dan terintegrasi (collaborative and integrated); (4) mengutamakan data dan wawasan (data and insight led); (5) manajemen kepatuhan informasi yang lebih baik (better informed compliance management); memiliki sumber daya manusia yang mumpuni (enabled workforce); (6) dan terakhir, melanjutkan transformasi dan terus berubah secara signifikan mengikuti tren teknologi digital dan bisnis termutakhir. Disrupsi telah melahirkan satu generasi baru yang kreatif, memiliki kesadaran tinggi atas teknologi, dan melampaui batas-batas kepatutan yang tak pernah terduga sebelumnya. Disrupsi juga membenamkan bisnis-bisnis lama, pelaku industri yang tak mau berubah, serta pekerjaan-pekerjaan yang mudah tergantikan oleh mesin. Ketika wajah masyarakat di seluruh dunia berubah mengikuti tren digitalisasi, pun demikian pula seharusnya dengan otoritas pajak. b. Pajak Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0 Berdasarkan Wikipedia Indonesia, Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam tekhnologi pabrik. Istilah ini mencakup data sistem siber-fisik, internet untuk segala/Internet of Things (IoT), komputasi awan/cloud computing, dan komputasi kognitif. Revolusi ini menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dan membuat keputusan yang tidak terpusat lewat internet. Perkembangan otomatisasi, internet of things, big data dan artificial intelligent memberikan banyak peluangan serta pilihan baru bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya dan juga bagi para konsumen di dalam menentukan pilihannya. a. Perpajakan Berbasis Sistem dan Aplikasi Pajak sebagai komponen dalam mata rantai bisnis dan ekonomi yang tak terpisahkan mau tidak mau harus siap,cepat dan tanggap dalam merespon dampak era Revolusi industri 4.0 ini. sistem,proses dan produk perpajakan kita harus berbasis teknologi yang maju dan mumpuni. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai jawatan di bawah Kementerian Keuangan yang di beri tugas oleh Pemerintahmengatur sistem perpajakan di Indonesia sebenarnya sudah memulai di era awal 90-an,ketika sistem pembayaran pajak baru atau lebih di kenal dengan New Payment Control System (NPCS) dan berkembang terus seiring waktu dan tuntutan. Perkembangan jumlah Wajib Pajak baik OP maupun Badan , pola bisnis yang cenderung semakin beragam tidak mungkin lagi di tangani secara manual. Pemetaan Wajib Pajak,pelayanan pendaftaran,pembayaran,pelaporan dan pemeriksaan pajak harus di kelola dalam satu basis teknologi informasi yang canggih dan terintegrasi, sehingga mampu mengefesiensikan tugas tugas perpajakan itu sendiri tanpa mengabaikan prinsip prinsip perpajakan yang kita pegang. Maka dalam rangka itulah dalam 5 pilar Reformasi Pajak yang telah di canangkan termasuk di dalamnya adalah berkaitan dengan hal tersebut di atas yaitu Reformasi sistem informasi dan basis data serta proses bisnis, maka terciptalah pelayanan dan produk DJP yang secara berkesinambungan yang berbasis teknologi informasi internet seperti, e-Registration, e-Faktur, e-Filling, e-Billing, e-Bupot yang saat ini sudah mulai familiar di para Wajib Pajak. Dan yang akan menjadi harapan kita semua adalah apa yang di sebut e-TaxPayer Account yaitu sebuah Account tunggal untuk memberikan kemudahan pelayanan pajak. Hingga saat ini, layanan pajak berbasis aplikasi yang bisa diakses wajib pajak (WP) masih sebatas pendaftaran NPWP secara elektronik (e-registration), pelaporan SPT secara elektronik (e-filing), pembuatan kode billing pembayaran pajak secara elektronik (e-billing), dan e-faktur. Ditjen Pajak ke depan harus bisa memberikan produk-produk layanan pajak lainnya secara elektronik dan mobile dalam satu akun tunggal terintegrasi, yang dapat diakses oleh WP kapan pun di mana pun, tidak sebatas layanan yang telah disebut di atas. Dalam satu e-akun aplikasi, WP dapat melihat riwayat pembayaran pajakpajaknya dan saldo utang pajak yang masih harus dibayar. Melalui e-akun yang sama, kantor pajak dapat mengirimkan notifikasi berkaitan dengan hak dan kewajiban perpajakan WP. Contohnya, imbauan kewajiban pajak yang belum dilaksanakan, produk hukum hasil pemeriksaan, surat ketetapan pajak, dan surat tagihan pajak. Wajib pajak dapat melacak status terkini permohonan yang diajukan WP, seperti restitusi, keberatan, ataupun non keberatan. Jika tidak mau tergilas zaman dan ditinggalkan konsumennya, Ditjen Pajak harus cepat dan tanggap dalam merespon dampak era revolusi industri 4.0. Apalagi dengan melihat data pertumbuhan pengguna internet yang sangat cepat. Jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini sebanyak 143,26 juta, dengan demografi usia pengguna didominasi oleh generasi milenial. (Survey APJII, 2017). Jumlah WP yang makin banyak, juga menjadi isu krusial. Per tanggal 31 Maret 2018, WP terdaftar sudah sebanyak 38,6 juta WP. Bagaimana cara yang paling efektif dan efisien dalam melayani dan mengawasi WP sebanyak ini. Saat ini Ditjen Pajak sedang melakukan reformasi perpajakan. Tujuannya adalah menjadi institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan akuntabel untuk menghasilkan penerimaan negara yang optimal. Kondisi yang ingin dicapai adalah sinergi yang optimal antar lembaga, kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi, dan tax ratio 15% di tahun 2024. Menteri Keuangan juga menambahkan beberapa kebijakan fiskal untuk menunjang kesiapan Indonesia masuk dalam era industri 4.0 diantaranya adalah pembangunan infrastruktur digital terus dilanjutkan dengan melanjutkan pembangunan jaringan serat optik nasional palapa ring. Sampai saat ini, telah terealisasi sebanyak 35.280 km kabel laut dan 21.807 km kabel darat. Dari lima pilar reformasi pajak, dua di antaranya adalah reformasi sistem informasi dan basis data serta proses bisnis. Di dalamnya, ada aplikasi yang sedang dikembangkan, bernama e-Taxpayer Account, sebuah akun tunggal untuk memberikan kemudahan layanan pada wajib pajak. Aplikasi e-Taxpayer Account (eTPA) ini semacam jawaban atas tantangan disruptive technology yang tidak mungkin terelakkan lagi. Dengan adanya e-TPA, ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi kondisi Jurusita Pajak datang untuk menagih utang pajak, namun WP belum menerima surat tagihan pajaknya. Kasus seperti ini mungkin dikarenakan WP pindah alamat, namun belum/tidak memberitahukan ke kantor pajak, sehingga "surat cinta" dari kantor pajak tidak sampai. WP tidak perlu datang ke kantor pajak lagi hanya untuk menanyakan rincian pembayaran pajak bulanan untuk mengisi SPT Tahunannya. Semua informasi bisa dilihat di e-TPA. e-Taxpayer Account sebagai layanan yang consumer-friendly nantinya diharapkan menjadi lembaran baru era transparansi kepada WP, sehingga akan tercipta “trust” antara Ditjen Pajak dan WP. Kondisi saling percaya ini akan berdampak pada peningkatan kepatuhan WP. Pada akhirnya, penerimaan pajak akan meningkat seirama dengan meningkatnya kepatuhan WP. b. Regulasi Perpajakan yang Sesuai dengan Revolusi 4.0 1) Payung Hukum Virtual Audit Pajak Aplikasi-aplikasi elektronik, perusahaan virtual, hingga uang elektronik merupakan buah dari tumbuhnya revolusi industri ini. "Big Data" menjadi salah satu ide terbesarnya, menjadikan segala bentuk materialitas di dunia disimpan menjadi data. Tak ada yang tersembunyi dan tak terlihat. Hanya dibutuhkan kunci yang berfungsi sebagai otorisasi pembukanya. Benar atau tidaknya otoritas yang memegang ini, kemudian menjadi pertanyaan yang beralih, yaitu "siapa" yang mengendalikannya. Saat pemerintah gagal mengendalikan, akan timbul pengelembungan data, pemindahan data secara ilegal, penipuan, dan bahkan penggelapan data yang tidak benar. Data semakin riskan jika tidak diawasi secara berkala dan diatur lalu lintasnya. Inilah yang perlu cepat dikembangkan bagi otoritas pajak di dalam birokrasi pemerintahan. Pengawasan wajib pajak bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik. Pengumpulan data ini harus agresif memanfaatkan teknologi "Big Data". Segala penggunaan media maya harus membawa kita juga dalam pengawasan secara virtual ke dalam data digital. Konsep virtual audit pajak ini, memanfaatkan server, sebagai lokasi penyimpanan data wajib pajak maupun sebagai tempat persinggahan sementara. Jalur serat optik dan pemancaran sinyal data oleh satelit menjadi penghubung virtual audit ini. Pemeriksa dengan cepat dalam melihat dan mengklarifikasi data ekonomi berupa surat berharga di perbankan, kepemilikan aset, tersebarnya hutang piutang, bahkan legalitas setiap perijinan yang dimiliki. Seperti halnya permainan virtual, dengan menggunakan kacamata virtual dan perangkat pengirim alam sadar ke virtual server, pandangan pemeriksa dibawa berpindah ke lokasi yang dituju. Setiap pemeriksa diverifikasi identitas menggunakan otorisasi kornea mata (sistem perijinan birokrasi digital) di dalam program yang terinstal di kacamata. Saat mulai terhubung, penanda waktu bergerak, beserta log setiap kegiatan yang dilakukan. Hal yang menarik adalah terdapat panel virtual terproyeksikan di depan pemeriksa, saat koneksi mulai terhubung sebagai alat pengendali audit. Supervisor pemeriksa pun dapat ikut memantau jalannya audit virtual tersebut melalui layar komputer pengawasan yang dipilih. Dalam kurun waktu yang singkat, pandangan pemeriksa dapat mengobservasi dan meneliti setiap data lengkap milik wajib pajak sesuai preferensi yang dipilih. Data yang berkaitan dengan wajib pajak pun akan terinci jelas terlihat oleh pemeriksa. Pemeriksa pun bisa mengambil foto data untuk digunakan sebagai lampiran hasil audit. Lebih lanjut, jika masih dibutuhkan data lain, pemeriksa bisa berpindah ke server lain yang berhubungan dengan dokumen-dokumen elektronik yang dibutuhkan dari wajib pajak. Semua data digital terekam dan menjadi dasar laporan hasil yang akan dipaparkan dan diklarifikasi keabsahan kepada wajib pajak, dalam berita acara pertemuan langsung. Sepenggal prosedur atas konsep virtual audit pajak ini, tentunya bisa dilakukan jika terdapat payung hukum yang melindunginya. Petunjuk pelaksanaan, pelatihan SDM, serta perangkat teknologi yang sesuai harus dapat tercipta sebagai arah implementasi audit tersebut. Semakin cepat berarti akan semakin baik. Semakin cepat respon atas perubahan ini, pemerintah akan cepat menanggapi dan melindungi sisi keadilan ekonomi di Indonesia. Hanya diperlukan hukum yang jelas serta standar prosedur pelaksanaan yang canggih untuk dapat bereaksi dengan efek buruk yang ditimbulkan "Big Data" ini. Efek buruk yang akan mempengaruhi stabilitas di Indonesia yang mengancam kehidupan masa depan. Namun, berbeda hal jika Indonesia bisa cepat menggunakan teknologi "Big Data" ini, dengan salah satunya membuat struktur dan prosedur yang jelas dengan adanya virtual audit pajak ini. Audit pajak yang mampu melihat ancaman sebagai kekuatan untuk lebih meningkatkan kualitas dalam hal pengawasan. 2) Payung Hukum Perpajakan e-Commerce Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Pengaturan ini lebih menjelaskan tata cara dan prosedur pemajakan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional. Keputusan Menteri Keuangan pada Jumat (29/3) lalu, telah menarik kembali Peraturan Menteri Keuangan tentang aturan perpajakan e-commerce. Desasdesus yang sempat bertiup saat itu, Menkeu kemungkinan hanya akan menunda implementasi aturan ini. Itu pun hanya beberapa bulan, agar ada waktu untuk mengkajinya lebih jauh dan menyempurnakannya. Seperti dinyatakan dalam siaran pers Kementerian Keuangan, penarikan ini didasari pertimbangan masih perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar kementerian/lembaga. Koordinasi dibutuhkan agar pengaturan e-commerce tepat sasaran, berkeadilan, efisien serta mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Selain itu, masih diperlukan adanya sosialisasi dan komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Plus mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (ECommerce) dikeluarkan pada 31 Desember lalu. Rencananya, akan berlaku efektif pada 1 April 2019. Dikeluarkannya aturan ini, tak lepas dari desakan pelaku bisnis konvensional yang menuntut adanya perlakuan setara dalam hal perpajakan untuk pelaku bisnis digital. Mereka merasa keberlangsungan usahanya terancam, karena transaksi yang dilakukan melalui platform digital tidak terjangkau aturan perpajakan. Atas dasar menciptakan kesetaraan inilah PMK itu dikeluarkan. Di dalamnya mengatur soal kewajian para pedagang (seller) yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp 4,8 miliar setahun untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dari pembeli (buyer). Mereka juga wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN 10 persen kepada pembeli. Adapun untuk pedagang yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut PPN dari pembeli. Namun, diwajibkan menyetor Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mereka kepada penyedia platform marketplace, seperti halnya Tokopedia, Bukalapak atau Shopee. Melalui kewajiban penyerahan NPWP dan NIK ini, pemerintah berharap akan terjadi perluasan basis wajib pajak. Persoalannya, aturan baru ini belum memuat mekanisme yang efektif untuk menjangkau media sosial. Padahal, sebagian besar transaksi e-commerce dilakukan via media sosial, seperti facebook, instagram, whatsapp dan lainnya. Hasil survei PayPal terhadap 4.000 konsumen dan 1.400 merchant di tujuh negara Asia (Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina) pada 2017 menunjukkan, media sosial merupakan platform yang paling banyak digunakan dalam transaksi e-commerce: mencapai 80 persen. Menurut survei tersebut, porsi penggunaan media sosial dalam transaksi e-commerce di Indonesia pun mencapai 80 persen. Facebook merupakan media sosial yang paling banyak digunakan (92 persen). Indikasi serupa didapat dari Survei Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Bahkan hanya 16 persen porsi untuk platform marketplace. Kajian Katadata Insights Center (KIC) mencatat ada sejumlah persoalan yang akan muncul jika aturan ini dipaksakan berlaku saat ini. Pertama, menciptakan ketidaksetaraan lahan usaha (unequal playing field) antara platform marketplace dan media sosial. Jika tak hati-hati, adanya berbagai persyaratan di marketplace, bahkan bisa mengancam keberlangsungan perusahaan lapak digital yang sedang tumbuh. Ini dikarenakan, akan terjadi perpindahan massal para penjual dari marketplace ke media sosial. Pemerintah pun tentu akan semakin sulit jadinya untuk menjangkau para wajib pajak. Kedua, perlu juga diantisipasi, penyerahan NPWP dan NIK bagi para seller yang kebanyakan para pelaku usaha mikro, akan mempengaruhi minat masyarakat untuk memulai usaha baru. Survei PayPal menunjukkan, sekitar 9 persen pelaku usaha transaksi digital bahkan berusia di bawah 20 tahun, masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Mayoritas pelaku usaha ini tidak pernah memiliki NPWP. Karena itu, dibutuhkan waktu yang cukup untuk sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha pemula ini. Survei idEA terhadap sekitar 2.000 UMKM di 10 kota di Indonesia pada 2017 juga menunjukkan, ada 10 persen penjual dari kalangan UMKM yang belum pernah berusaha sebelumnya. Mereka baru mulai mencoba-coba berbisnis kecilkecilan dengan menjual barang secara online di marketplace. Menjaga keberlangsungan para UMKM ini tentu saja sangat penting, mengingat kini diperkirakan terdapat sekitar 10 juta penjual aktif yang bertransaksi via ecommerce. Sebagian besar di antaranya bahkan merupakan pengusaha mikro dengan pendapatan kurang dari Rp 300 juta tiap tahun. Keberadaan mereka seiring dengan perkembangan pesat transaksi e-commerce di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, dan diperkirakan akan terus membesar. Studi McKinsey menyebutkan, nilai barang yang diperjualbelikan (gross merchandise value) sudah mencapai US$ 8 miliar pada 2017, dan diperkirakan akan meningkat delapan kali lipat pada 2022 menjadi US$ 55-65 miliar. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memang merupakan negara dengan nilai ekonomi digital terbesar dan bertumbuh paling pesat. Berdasarkan riset GoogleTemasek, nilai ekonomi digital Indonesia yang mencapai US$ 27 miliar pada 2018, diperkirakan akan melesat hingga US$ 100 miliar (sekitar Rp1.440 triliun) pada 2022. Melihat besarnya potensi ini, Presiden Joko Widodo pada 21 Juli 2017 telah meneken Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE)/Road Map e-Commerce Tahun 2017-2019. Perpres itu mengamanatkan perlunya upaya mendorong percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce), usaha pemula (startup), pengembangan usaha, dan percepatan logistik. Dalam kaitan itu, keputusan Sri Mulyani untuk menarik PMK 210/2018 sebuah langkah tepat yang patut diapresiasi. Diperlukan kehati-hatian dan waktu yang cukup untuk melakukan kajian secara lebih mendalam, sembari menyiapkan sistem/regulasi perpajakan yang tepat dan adil bagi semua platform e-commerce. Dengan begitu, diharapkan industri e-commerce Indonesia dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan. Langkah ini pun sekaligus menegaskan kembali sikap Menkeu, seperti dinyatakan dalam pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF di Bali akhir tahun lalu, bahwa pemerintah akan mendorong tumbuh kembangnya industri digital, yang menjadi masa depan ekonomi Indonesia. 3) Super Deduction Tax Pemerintah menyiapkan sederet strategi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, di antaranya dengan memberikan insentif pajak berupa super deduction tax untuk industri yang berinvestasi pada pendidikan vokasi serta penelitan dan pengembangan. Targetnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait terbit pada Maret 2019. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, pelaku industri yang menerima insentif super deduction tax bisa menikmati pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) hingga 300%. Untuk vokasi sampai 200%, sementara untuk penelitian dan inovasi direncanakan sampai 300%. Insentif pajak tersebut sesuai usulan kalangan industri. Adapun upaya mendorong pendidikan vokasi perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sumber daya manusia pada era industri 4.0. Beberapa kemampuan baru yang diperlukan pada era 4.0 adalah penguasaan coding dan financial technology (fintech). Adapun Kadin telah menggandeng 2.614 perusahaan untuk berpartisipasi dalam program vokasi. c. Sumber Daya Manusia Perpajakan yang Mendukung Revolusi 4.0 Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Setiawan Wangsaatmaja mengatakan memang shifting pekerjaan tak terhindarkan. Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan salah satu aset penting dalam penyelenggaraan roda pemerintahan sebuah negara. Terlebih, saat ini dunia sedang mengadapi era disrupsi teknologi hingga munculnya Revolusi Industri 4.0. Dalam rekrutmen ASN terdapat beberapa pekerjaan yang sifatnya rutinitas sudah ditutup pengadaannya karena sudah banyak atau sekitar 38% yang bersifat berkompetensi umum. Kementerian PANRB tidak mengadakan lagi jabatan tertentu yang sifatnya tak up to date nantinya dan hanya merekrut jabatan baru yang sifatnya computerized, ke depan akan lebih banyak. Hal ini sudah dilakukan sejak 2014. Kalau biasanya merekrut lima ASN untuk mengerjakan 1 pekerjaan, nantinya pihaknya akan merekrut 1 orang untuk mengerjakan pekerjaan itu. Pemerintah juga telah merancang road map program Smart ASN yang ditargetkan dapat terwujud pada tahun 2024. Adapun kriterianya yaitu harus berintegritas, memiliki rasa nasionalisme tinggi, profesional, berwawasan global, memahami IT dan bahasa asing, hospitality, networking, dan entrepreneurship. Untuk mewujudkan Smart ASN 2024 itu, pemerintah sudah mulai mempersiapkannya sejak tahap perencanaan dan perekrutan melalui penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai pendaftaran sudah online sampai seleksi juga sudah komputerisasi, dan terbuka. Hasilnya bisa lihat melalui proses rekrutmen. Selama periode 2014 - 2019, Pemerintah telah merekrut total 317.979 CPNS, dengan rincian sebanyak 53.804 pada tahun 2015, 51.444 pada tahun 2016, 33.155 pada tahun 2017, dan 179.576 pada tahun 2018. Pemerintah menargetkan, sebanyak 25% ASN di tahun 2024 sudah diisi putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Di sisi pendidikan, Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Didik Suhardi menuturkan dalam menyiapkan SDM di era industri 4.0, pihaknya telah membekali melalui kurikulum 2013 yakni mereka harus memiliki pemikiran kritis, skillnya yang banyak, kreativitas tinggi, dan kolaboratif. Di tenaga pendidik, pihaknya memberi kesempatan guru untuk belajar ke luar negeri dan diklat kompetensi guru untuk meningkatkan kompetensi guru Tanah Air.