respons emosi musikal dalam gamelan jawa

advertisement
Djohan Salim
Gamelan Jawa
Respons Emosi Musikal dalam
RESPONS EMOSI MUSIKAL DALAM GAMELAN JAWA
Djohan Salim
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
Intisari
Penelitian dasar ini merupakan hasil eksperimen yang menggunakan
teknik pengukuran continuous response yang menguji pengaruh stimulasi
elemen tempo dan timbre gamelan Jawa terhadap respon emosi musikal
pendengar. Subjek yang terdiri dari musisi (N=16) dan non-musisi
(N=16) mendengarkan setiap gendhing sebanyak empat kali melalui
pemutar CD baik dalam tempo asli dengan timbre besi maupun perunggu,
dan dalam tempo modifikasi dengan timbre besi dan perunggu pula. Saat
mendengarkan gendhing, subjek diminta untuk menekan tombol pada
papan kibor komputer bila gendhing yang didengar terasa janggal atau
berbeda dari biasa. Kemudian mereka diminta mengisi skala laporan diri
tentang Respons Emosi Musikal di akhir gendhing. Penandaan akan
terekam secara langsung di monitor komputer melalui piranti lunak
Sound Forge 6.0. Hasil analisis statistik dan diskusi kelompok terpadu
secara signifikan menunjukkan pengaruh dan perbedaan respons emosi
musikal antara musisi dan non-musisi. Secara keseluruhan hasil
penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu pada musik Barat yang
menunjukkan bahwa elemen tempo lebih penting dari elemen timbre. Hal
tersebut terbukti bahwa respons emosi musikal pendengar gamelan Jawa
secara signifikan lebih dipengaruhi oleh elemen tempo dari pada timbre.
Kata Kunci: tempo, timbre, gamelan, respons emosi musikal
Abstract
This basic research reports the results of an experiment using continuous
response measurement tehnique that tested the effects of tempo and timbre
stimuli in Javanese gamelan music on the musical emotional responses of
listeners. Musicians (N=16) and non-musicians (N=16) listened to each
song four times through CD’s player which are in original tempo with
bronze’s and iron’s and then in modified tempo with bronze’s and iron’s
too. Listeners were asked to push the button on the computer keyboard in
real time when they feel that the song they hear is somehow strange and
different from what they use to hear. Thereafter, the listeners will be asked
to fill out the self report scale on Musical Emotional Responses at the end
of each song. Marking will directly recorded at the computer through the
Sound Forge 6.0 software. A statistical analysis and the result of focus
group discussion showed that there were significant effects and
differences on musical emotional responses between musicians and nonmusicians. This entire experiment adjoin previous studies on Western
music that tempo is a more important musical element than timbre. It was
shown by evidence that musical emotional responses of the Javanese
gamelan listener are significantly more affected by the tempo element
compared to the timbre element.
Key words: tempo, timbre, gamelan, musical emotional responses
63
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
Ketika mendengarkan sebuah musik,
biasanya tidak pernah menjadi perhatian kita
apa sebenarnya yang menimbulkan rasa suka
atau tidak suka dengan musik tersebut. Hal
tersebut dikarenakan semua musik yang kita
dengar sehari-hari atau dalam sebuah
peristiwa khusus telah terkemas sedemikian
rupa sesuai dengan budaya musik tersebut.
Misalnya musik klasik, pop, rock, blues,
jazz, samba yang berasal dari budaya barat.
Demikian pula musik India, Cina, Jepang,
Timur-Tengah, Indonesia dari budaya timur.
Hampir dapat dipastikan bahwa musik
tidak bisa lepas dari kehidupan manusia di
mana saja. Musik telah menyatu dalam
segala perilaku sosio-budaya manusia baik
disadari atau tidak. Pada kenyataannya kita
tidak bisa menghindari lingkungan musik
mulai
dari
pelosok
desa
sampai
kosmopolitan sekalipun. Karena sebagai
bagian dari budaya, musik memiliki ‘mutual
influences’ terhadap masyarakatnya. Apa
yang direspons, dipersepsi, dinikmati dari
sebuah musik akan kembali menjadi ide
penciptaan musik berikutnya. Siklus saling
terpaut ini berlangsung sepanjang masa
sejalan dengan perkembangan kebudayaan di
mana musik itu eksis (Hargreaves and North,
2003).
Masyarakat manapun pasti memiliki
sekelompok kecil seniman musik atau yang
berprofesi sebagai musisi, dan juga
kelompok terbesar berupa penggemar musik
yang bisa terdiri dari berbagai macam
kalangan dan profesi. Bagi kedua kelompok
tersebut fungsi musik akan berbeda. Bagi
musisi, kemampuan diri dan perilakunya
dengan sengaja ditujukan hanya untuk
musik, baik sebagai profesi yang menghidupi
atau untuk kepuasan batin yang tak terukur.
Sementara penggemar atau penikmat
umumnya hanya memfungsikan musik
sebagai hiburan mungkin sebagian kecil
mengapresiasi secara lebih serius (Djohan,
2003).
Maka, segala kekuatan musik penting
untuk dieksplorasi. Dalam penelitian ini
musik didefinisikan sebagai serangkaian
suara yang diorganisir secara sedemikian
rupa dengan menggunakan elemen-elemen
yang menyertainya. Dengan kata lain sebuah
kemasan musik sangat tergantung pada
racikan elemen-elemennya. Salah satu
elemen yang paling cepat dikenali dan
dipersepsi dari musik adalah bila disertai
lirik dalam bahasa yang dimengerti oleh si
pendengar (Sloboda dan O’Neil, dalam
Juslin & Sloboda, 2001). Bagaimana dengan
musik yang tanpa syair, apakah tidak akan
memberikan impresi tertentu?
Dari banyak hasil penelitian terbukti
bahwa
jenis
musik
tertentu
dapat
membangkitkan
respons
emosi
pendengarnya. Mekanisme yang menjadi
penyebabnya sampai sekarang masih terus
diteliti termasuk aspek lintas budayanya.
Sampai saat ini materi musik yang paling
banyak diteliti adalah musik barat dengan
segala validasi yang sangat terbatas untuk
diaplikasikan. Musik barat cenderung
menekankan bentuk dan formalisme
dibandingkan musik non barat lainnya
(Nettle, 1997).
Namun demikian menurut Kivy (1980)
ekspresi musik sangat terkait dengan ‘emosi
budaya’ seperti ekspresi gerak, cara bicara,
sikap tubuh. Karena ‘emosi budaya’ berbeda
maka hubungan antara berbagai stimuli
elemen musik dan emosi tertentu yang
dihasilkannya juga berbeda. Pendapat di atas
didukung oleh Walker (1996) yang
mengatakan bahwa musik pada setiap
budaya sangat bergantung pada lingkungan,
teknologi, dan cara berpikir serta keunikan
yang sulit diterjemahkan oleh budaya
lainnya.
Ortony dan Turner (1990) menegaskan
bahwa emosi musikal tidak persis sama
dengan emosi sehari-hari. Menurutnya,
kategori pokok mengenai emosi dalam
musik penelitiannya meliputi rasa gembira,
takut, marah dan sedih. Musik adalah materi
budaya (seperti bahasa) yang dilengkapi
sejenis semiotik dan kekuatan afektif yang
digunakan seseorang dalam konstruksi sosial
dari perasaan emosi. Pengaruh musik
terhadap emosi tidak secara langsung tetapi
interdependen pada situasi mendengarkannya
64
Djohan Salim
Gamelan Jawa
(Sloboda dan O’Neil, dalam Juslin &
Sloboda, 2001).
Yang diteliti dalam penelitian ini adalah
musik gamelan dan masyarakat Jawa (musisi
dan pendengar) khususnya Yogyakarta yang
masih kuat dipengaruhi oleh adat istiadat
Jawa. Diasumsikan faktor sosiobudaya yang
melatarbelakangi respons emosi akan sangat
dominan karena merupakan satu kesatuan
antara pengalaman dan pengetahuan baik
dari sisi makna musik maupun kehidupan
sehari-hari.
Musik gamelan di Jawa tidak hanya
dikenal sebagai ‘klenengan’ (pertunjukan
musik gamelan Jawa) tetapi bagian tak
terpisahkan dari budaya dan kehidupan
sehari-hari
masyarakatnya.
Gamelan
difungsikan mulai dari upacara religi,
perkawinan dan sebagainya. Di negaranegara maju penelitian terhadap elemen
tempo (cepat-lambat sebuah musik) telah
banyak dilakukan (Levitin & Cook, 1996;
Lapidaki, 2000), tetapi penelitian terhadap
elemen timbre (warna suara dari material alat
musik) masih sangat jarang. Elemen musik
yang memiliki dimensi psikofisik, khususnya
diketahui dapat menimbulkan respons emosi
tertentu. Dimensi psikofisik tersebut
didefinisikan oleh Balkwill dan Thompson
(1999) sebagai ”semua sifat suara yang dapat
dirasakan secara bebas melalui pengalaman
musikal, pengetahuan atau inkulturasi”.
Isyarat psikofisik dapat dipahami sebagai
stimuli yang terjadi dalam dimensi psikofisik
yang memicu respons emosi pada pendengar.
Secara spesifik dimensi itu dapat diketahui
melalui manipulasi terhadap timbre (Behrens
& Green, 1993), tempo (Crist, 2000;
Gabrielsson & Juslin, 1996), pitch
(Campbell, Krysciak & Schellenberg, 2000;
Kaminska & Woolf, 2000), dan dinamika
(Crist,2000;
Kamenetsky,
Hill
&
Trehub,1997). Keunikan musik gamelan
Jawa dengan segala elemen musikalnya
dapat menjadi bagian dari pengembangan
interdisiplin bahkan multidisiplin baik dalam
bidang,
etnomusikologi,
sosiologi,
antrobiologi, psikoneurologi, psikofisiologi,
65
Respons Emosi Musikal dalam
psikologi musik maupun aplikasi terapi
musik.
METODE PENELITIAN
Pada studi eksperimen ini, subjek diminta
untuk memberikan respons secara langsung
dengan menekan tombol pada papan
keyboard komputer yang telah disediakan
ketika mereka merasa ada sesuatu perasaan
yang berbeda dari gendhing (musik
instrumental dalam gamelan Jawa) yang
diperdengarkan. Respons ini akan terekam di
komputer yang menunjukkan pada detik ke
berapa dan tempo bagian apa subjek
merespons
gendhing
yang
didengar.
Gendhing soran (jenis gendhing yang
berdinamika keras) dengan judul Ladrang
Agun-Agun akan diperdengarkan dalam
empat versi masing-masing dalam tempo asli
timbre perunggu-besi dan tempo modifikasi
timbre perunggu-besi. Subjek juga diminta
mengisi skala ‘laporan diri’
(self report)
yang mengukur respons emosi musikal
sesaat setelah selesai mendengarkan masingmasing versi dari gendhing tersebut. Satu
minggu kemudian diadakan pengumpulan
data secara kualitatif tentang respons emosi
musikal melalui Diskusi kelompok terarah
dengan enam subjek yang dianggap tepat
untuk dijadikan nara sumber.
Subjek
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 16
musisi dan 16 (non-musisi) dalam kelompok
usia 30-55 tahun. Melalui purposive
sampling, subjek musisi (pengrawit) dipilih
berdasarkan profesi dan pengalaman lebih
dari 25 tahun menggeluti dunia karawitan
secara praktis dan berprofesi sebagai
pengrawit. Subjek non-musisi adalah para
pandhemen (penggemar) yang memiliki
pengalaman
mendengar
“uyon-uyon
manasuka” dari siaran RRI Yogyakarta atau
kerap menghadiri acara klenengan dan secara
sosiodemografis terdiri dari berbagai latar
belakang profesi. Subjek dikelompokkan
menjadi dua kelompok yang terdiri dari 4
sub-kelompok.
Masing-masing
subkelompok terdiri dari empat subjek yang
akan mendengarkan empat versi gendhing
sebagai manipulasi.
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
Satu minggu sebelum eksperimen
dilakukan, subjek diberi skala deteksi
suasana hati sebagai pra pengukuran untuk
mengobservasi emosi mereka sebelum
mendapat perlakuan. Skala berbentuk
laporan diri ini dimodifikasi dari skala
POMS (Profile of Mood State) yang
digunakan untuk memantau suasana hati
subjek baik selama satu minggu, tiga hari,
satu hari atau pada saat itu juga. Skala ini
dimaksudkan untuk memantau jika terjadi
perbedaan suasana hati pada subjek yang
kemungkinan disebabkan oleh kelelahan atau
faktor lainnya.
Stimuli
Gendhing
ladrang
agun-agun
diperdengarkan melalui CD audio yang
dioperasikan oleh empat unit komputer.
Setiap subjek mendengarkan gendhing
melalui earphone. Durasi untuk gendhing
dengan tempo asli baik timbre perunggu
maupun besi selama 03.38 menit. Kemudian
durasi untuk gendhing dengan tempo
modifikasi baik dalam timbre perunggu
maupun besi selama 05.12 menit. Total
durasi waktu yang dibutuhkan subjek untuk
mendengar keempat stimuli gendhing
tersebut selama 18.10 menit.
Prosedur
Gambar 1. Rancangan eksperimen One Way Repeated Measure
Perlakuan
Kelompok
I
II
III
IV
Pengrawit
X1.1 X2.1 Y1
X1.1 X2.2 Y2
X1.2 X 2.1 Y3
X1.2 X 2.2 Y4
Pandhemen
X1.1 X2.1 Y1
X1.1 X2.2 Y2
X1.2 X 2.1 Y3
X1.2 X 2.2 Y4
Keterangan:
X1.1 = tempo asli
X1.2 = tempo modifikasi
X2.1 = timbre perunggu
X2.2 = timbre besi
Y = respons emosi musikal
X1.1 X2.1 = TAP (Tempo Asli Perunggu)
X1.1 X2.2 = TAB (Tempo Asli Besi)
X1.2 X2.1 = TMP (Tempo Modifikasi Perunggu)
X1.2 X2.2 = TMB (Tempo Asli Besi)
Subjek diminta masuk ke dalam ruangan
ukuran 3 x 2,5 meter dengan diberi batas
penyekat antar keempatsubjek agar tidak
saling bertatapan. Warna dinding ruang hijau
muda dengan penerangan lampu TL 40 watt
dan bohlam putih 20 watt. Setelah
dipersilahkan duduk dengan posisi rileks
pada kursi dengan ketinggian 25cm dari
lantai dan kemiringan sandaran kursi 15
derajat, eksperimenter memberi instruksi
cara pengisian skala dan memencet tombol
penanda (huruf “m”). Semua tombol pada
papan jari komputer di tutup dengan karton
tebal dan hanya satu tombol yang timbul.
Keempatperangkat
komputer
yang
merekam penandaan ditangani oleh dua
orang operator dibalik ruangan eksperimen.
Penandaan pada komputer ini akan menjadi
blue print dari respons yang dialami subjek
pada bagian-bagian tertentu dari gendhing.
Saat perlakuan berlangsung, subjek juga
akan dimonitor melalui kamera video
tersembunyi untuk merekam ekspresi wajah
dan tubuh bagian atas secara acak.
Perekaman dilakukan dari ruang operator
melalui kaca satu arah sehingga subjek tidak
mengetahui bila sedang diamati. Rater akan
melakukan penilaian atmosfir suasana reaksi
emosi yang terjadi pada subjek melalui
monitor TV dari ruang di ruang operator.
Melalui teknik counter balancing, maka
masing-masing
kelompok
subjek
mendengarkan 4 versi gendhing yang berbeda
(tempo asli perunggu/TAP, tempo asli besi/TAB,
tempo modifikasi perunggu/TMP, dan tempo
modifikasi besi/TMB) dengan urutan yang
berbeda. Setelah mendengarkan gendhing
pertama, subjek diminta untuk mengisi skala
66
Djohan Salim
Gamelan Jawa
Respons Emosi Musikal dalam
respons emosi dan dilanjutkan dengan
gendhing kedua, ketiga, dan keempat.
Penyusunan faktor-faktor dalam skala
respons emosi dilakukan berdasarkan
pembagian yang dikemukakan oleh Osgood,
Suci dan Tannenbaum (1957) dengan
menggunakan proses elisitasi dan memilih
kata-kata sifat bipolar yang predominan.
Skala deteksi emosi ini dimodifikasi dari
skala yang disusun oleh Prawitasari (dalam
Supratiknya; Faturochman & Haryanto,
2000) untuk pelayanan kesehatan.
Tabel 1. Ringkasan Repeated Measure antar Elemen
Sumber Variasi
Temp Timbr JK
Db
o
e
Tempo
Linear
2096.281
1
MK
F
p
100.833
.000
R
Eta
.771
395.584
.000
.930
Tempo * Status
Linear
8224.031
1
Error(Tempo)
Linear
623.687
30
2096.28
1
8224.03
1
20.790
Timbre
Linear
351.125
1
351.125
23.792
.000
.442
Timbre * Status
Linear
703.125
1
703.125
47.643
.000
.614
Error(Timbre)
Linear
442.750
30
14.758
Tempo * Timbre
Linear
Linear
536.281
1
536.281
50.722
.000
.628
Tempo * Timbre *
Status
Error
(Tempo*Timbre)
Linear
Linear
52.531
1
52.531
4.968
.033
.142
Linear
Linear
317.187
30
10.573
Hipotesis Mayor
10
0
-10
Pengrawit & Pandhemen
TAP
TAB
TMP
TMB
6.32
-1.72
-6.19
-5.72
Gambar 2. Respons Emosi Musikal Pengrawit dan Pandhemen
HASIL PENELITIAN
Data penelitian diolah berdasarkan
analisis statistik yang menjelaskan pengujian
kuantitatif dan hasil penelusuran secara
kualitatif. Pada pembahasan analisis
kuantitatif, dilakukan juga uji asumsi
perlakuan untuk melihat kesesuaian antara
data secara empiris yang diperoleh di
lapangan dengan model analisisnya yang
meliputi uji normalitas sebaran data dan uji
homogenitas varian. Selanjutnya, hasil
penelusuran kualitatif melalui Diskusi
Kelompok Terarah (DKT).
67
1.
Hasil Pengujian Hipotesis Utama
Berdasarkan analisis Tabel 1, maka hasil
pengujian hipotesis utama yang berbunyi
“Terdapat pengaruh stimulasi elemen tempo
dan timbre dalam musik gamelan Jawa
terhadap respon emosi musikal pendengar”
secara signifikan diterima, dengan F hitung
sebesar 4,968 (p < 0,05).
Hasil dalam Tabel 1 menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan dari
pemberian perlakuan stimulasi elemen tempo
dan timbre terhadap respons emosi musikal.
Pada Gambar 2 menunjukkan nilai
pengrawit dan pandhemen digabung untuk
menunjukkan perbedaan respons emosi
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
musikal yang terjadi setelah masing-masing
kelompok menerima perlakuan eksperimen.
2. Hasil Tambahan
Hipotesis tambahan pertama berbunyi
“Terdapat perbedaan pengaruh stimulasi
elemen TAP dan TAB terhadap respon
emosi musikal pendengar ".
Dari hasil analisis Tabel 2, diperoleh F
hitung sebesar 17,020 (p < 0,01). Dengan
demikian hipotesis tambahan pertama dalam
penelitian ini diterima. Artinya stimulasi
elemen TAP dan elemen TAB secara
signifikan memberi pengaruh terhadap
respons emosi musikal pada pengrawit dan
pandhemen. Respons emosi musikal yang
dipengaruhi oleh elemen TAP dan TAB pada
pengrawit cenderung lebih menunjukkan
respons emosi musikal yang positif
dibandingkan dengan pandhemen.
Hipotesis tambahan kedua berbunyi: “
Terdapat perbedaan pengaruh stimulasi
elemen TMP dan TMB terhadap respon
emosi musikal pendengar”. Dari uji statistik
diperoleh F hitung sebesar 39,519 (p < 0,01).
Dengan demikian hipotesis tambahan kedua
dalam penelitian ini diterima. Artinya
elemen TMP dan elemen TMB secara
signifikan memberi pengaruh terhadap
respons emosi musikal pada pengrawit dan
pandhemen.
Pada pemberian elemen TMB kedua
kelompok sama-sama menunjukkan respons
emosi musikal tidak menyenangkan dengan
mean yang lebih tinggi secara signifikan
pada kelompok pengrawit. Dengan demikian
stimulasi
elemen
TMP
dan
TMB
berpengaruh terhadap respons emosi musikal
pendengar dengan respons emosi musikal
tidak menyenangkan yang lebih kuat pada
kelompok pengrawit.
Selanjutnya, hipotesis tambahan ketiga
yang
berbunyi
“Terdapat
perbedaan
pengaruh antara stimulasi elemen TAP dan
TMP dengan TAB dan TMB terhadap respon
emosi musikal pendengar” juga diterima.
Diperoleh F hitung sebesar 93,0444 (p <
0,01). Artinya pemberian stimulasi elemen
TAP dan TMP maupun TAB dan TMB
secara signifikan memberi pengaruh
terhadap respons emosi musikal pada
pengrawit dan pandhemen.
Berdasarkan perolehan data naratif
melalui penelitian kualitatif, dilakukan telaah
terhadap ringkasan DKT dan analisis isi.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
teknik, kepekaan, dan pengalaman para
pengrawit secara nyata lebih terasah untuk
merespons perbedaan antara gendhing yang
dimainkan dengan alat dan cara yang benar
dengan gendhing yang dimodifikasi.
Beberapa dimensi seperti “biasa dan tidak
biasa”, “gojag gajeg dan mantep”, “sesuai
dan tidak sesuai”, dengan segera tertangkap
oleh para pengrawit.
Tabel.2 Ringkasan Repeated Measure Antar Status
Sumber Variasi
Stimulus
JK
Stimulus
Level 1 vs. Level 2
1755.281
Level 2 vs. Level 3
731.531
Level 3 vs. Level 4
19.531
Stimulus * Status
Level 1 vs. Level 2
371.281
Level 2 vs. Level 3
4117.781
Level 3 vs. Level 4
1140.031
Error(Stimulus)
Level 1 vs. Level 2
654.438
Level 2 vs. Level 3
1327.688
Level 3 vs. Level 4
865.438
Semua subjek yang terlibat dalam DKT
sepakat bahwa tempo (Jawa: laya)
merupakan elemen terpenting dalam
gendhing. Walaupun demikian, elemen ini
sangat jarang dibicarakan di kalangan musisi
karawitan karena dianggap sudah otomatis
tercakup dalam irama. Bahwa kecepatan
db
1
1
1
1
1
1
30
30
30
MK
1755.281
731.531
19.531
371.281
4117.781
1140.031
21.815
44.256
28.848
F
80.464
16.529
.677
17.020
93.044
39.519
-
P
<.001
<.001
>.050
<.001
<.001
<.001
-
sebuah irama akan mempengaruhi gendhing
dan irama akan dipengaruhi oleh tempo
adalah
sebuah
kewajaran.
Sehingga
dikatakan bahwa tempo merupakan “nyawa”
dari gendhing. Karena itu, jika terjadi
perubahan terhadap tempo, maka sebuah
gendhing akan kehilangan maknanya.
68
Djohan Salim
Gamelan Jawa
Properti terbanyak yang dicatat dari DKT
menunjukkan,
para pengrawit dan
pandhemen banyak sekali mengungkapkan
perasaan emosi mereka dengan kosa kata
yang spesifik
untuk menunjukkan
ketidaknyamanan
yang
diakibatkan
perubahan
tempo.
Ungkapan seperti
wangun–ora
wangun,
menunjukkan
“ketidakrelaan” bahwa tempo sebuah
gendhing mengalami modifikasi. Sebagai
orang-orang Jawa, kata-kata yang berkaitan
dengan kepantasan pada umumnya bermakna
dalam karena hanya diungkapkan jika sangat
terpaksa, Hal ini berkaitan dengan budaya
Jawa yang sangat hati-hati dalam
pengungkapan
rasa
serta
cenderung
menghindari konflik (Mulder, 2001;
Endraswara, 2003).
Rangkaian hasil analisis seperti yang
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
pertanyaan penelitian pertama mengenai
tempo sebagai elemen penentu dalam musik
gamelan Jawa yang memiliki kekuatan untuk
menimbulkan respons dengan berbagai
persepsi bagi pendengarnya dapat diterima.
Dengan
kepekaan,
pengetahuan
dan
pengalaman mereka, kelompok pengrawit
yang dalam kesehariannya memainkan
gamelan segera terpengaruh.
Sebaliknya,
respons
emosi
yang
ditimbulkan oleh timbre dalam gamelan
Jawa tidak semata-mata disebabkan oleh
aspek dan hukum fisika bunyi tetapi lebih
oleh persepsi pendengar terhadap timbre
yang
dipengaruhi
aspek
kepekaan,
pengalaman, dan aspek sosiobudaya. Dengan
demikian pertanyaan penelitian kedua
terjawab.
Sesuai dengan hasil diskusi di atas
tampak jelas bahwa komentar mengenai
respons emosi musikal jauh lebih banyak
pada tempo dari pada timbre. Hal ini dengan
asumsi bahwa timbre memberikan pengaruh
tetapi tidak sebesar yang terjadi pada tempo.
Maka pertanyaan penelitian ketiga yang
mengatakan bahwa respons emosi musikal
pendengar musik gamelan Jawa lebih kuat
dipengaruhi oleh elemen tempo dari pada
69
Respons Emosi Musikal dalam
elemen timbre dapat dijelaskan dengan
pembahasan di atas.
Penelitian ini juga menjawab beberapa
tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan
penelitian pertama yaitu menguji pengaruh
elemen tempo dalam musik gamelan Jawa
terhadap respons emosi musikal pada
pengrawit dan pandhemen di mana faktor
musikal yang menjadi perlakuan adalah
elemen tempo yang dimodifikasi dengan
pembalikan pada bagian-bagian cepat-lambat
gendhing tersebut. Reaksi yang didapat dari
perubahan tempo yang di sengaja, baik pada
gamelan perunggu maupun besi mendukung
pendapat Sloboda (1991) bahwa pada
beberapa kasus, musik dapat membangkitkan
emosi secara intens.
Menurut Lerdahl dan Jackendoff (1983),
bila seorang pendengar “menjadi familiar
dengan idiom dan mengatribusi musiknya
maka ekspresi tidak berubah bahkan akan
mendesak melalui cara-cara yang khusus”.
Juga banyak bukti penelitian yang
menjelaskan bahwa secara budaya seorang
anak akan menunjukkan respons secara
spontan atau di bawah sadarnya ketika
mendengar musik dari lingkungan sosialnya
(France´s, 1988; Zenatti, 1993). Dengan
demikian faktor budaya memiliki peran
penting bagi seseorang untuk merespons
musik terutama dari latar belakang seni
budayanya sendiri.
Dalam penelitian ini kelompok
pengrawit menunjukkan bahwa mereka
memiliki kepekaan untuk membedakan rasa
musikal yang didengar sesuai dengan profesi
yang digeluti setiap hari. Profesi seorang
pengrawit dijalani dengan aktivitas latihan,
rekaman, dan pentas. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Dowling (dalam Tighe & Dowling
1986) bahwa kemampuan itu diperoleh
karena pengalaman dan lingkungan budaya.
Perspektif antropologis dirasa penting
karena musik gamelan Jawa secara geografis
terbagi dalam beberapa kantong budaya di
Jawa Tengah. Musik gamelan selain ada
dalam budaya keraton (misal, gaya
Yogyakarta-Surakarta) juga ada
di
lingkungan budaya luar keraton (Kedu-
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
Banyumas). Budaya ini sangat jelas
tercermin dalam interpretasi musik gamelan
yang pada akhirnya menghasilkan perbedaan
ekspresi pemain dan pendengar. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa
terdapat
perbedaan respons emosi musikal antara
pengrawit dan pandhemen.
Respons emosi yang diberikan oleh
kelompok pengrawit dan pandhemen dalam
penelitian ini selain diperoleh secara
langsung
melalui
‘penandaan’
pada
komputer (continuous response), mengisi
dua skala, satu skala pengamatan yang
dilakukan oleh rater dan juga diskusi. Secara
statistik, hipotesa dalam penelitian ini dapat
diterima dengan hasil yang signifikan.
Dari aspek budaya, respons emosi yang
tidak tampak secara langsung juga
dikarenakan kehidupan dalam masyarakat
Jawa tampaknya tidak menyisakan banyak
ruang bagi ekspresi individual. Ekspresi
personal terutama yang memperlihatkan
emosi adalah hal yang tidak sopan,
memalukan dan merupakan pelanggaran
privasi orang lain. Selain itu juga dikatakan
bahwa menghindari kemarahan memang
akan kondusif bagi kemapanan psikologis
(Mulder 2001).
Secara neurologis, ekspresi wajah dapat
dikatakan sebagai hasil dari sistem perilaku
adaptif yang diimplementasikan melalui
distribusi jaringan saraf termasuk sistem
limbik dan secara khusus amygdala.
Sementara emosi musikal dapat terjadi
dengan tiba-tiba secara otomatis dan dengan
perubahan tanpa sengaja pada respons
fisiologis dan perilaku. Konsepsi ini
dihubungkan dengan kenyataan bahwa “
Kita sering merasakan emosi yang terjadi
pada kita bukan seperti apa yang kita pilih.
Kita tidak menentukan kapan harus memiliki
atau tidak emosi tertentu” (Ekman, dalam
Ekman & Davidson, 1994).
Namun demikian pada penelitian ini,
ekspresi wajah yang direkam melalui
‘hidden camera’ menunjukkan perubahan
yang tidak signifikan untuk seluruh subjek
kecuali beberapa subjek dari masing-masing
kelompok. Demikian pula respons tubuh
bagian atas tidak terlalu tampak, hal ini bisa
dikatakan sebagai pengaruh dari budaya
Jawa yang tidak spontan dalam merespons
hal-hal yang belum diketahui secara pasti.
Dengan demikian, hal ini menegaskan
kebenaran jawaban terhadap pertanyaan
makna elemen tempo dan timbre dalam
musik gamelan Jawa dalam perannya untuk
menimbulkan respons emosi musikal.
Kajian berikutnya adalah mengenai peran
pengalaman dan faktor-faktor sosiobudaya
dalam mempengaruhi persepsi pendengar
sehingga respons emosi yang ditimbulkan
oleh timbre dalam gamelan Jawa tidak
semata-mata disebabkan oleh aspek dan
hukum fisika bunyi. Penelitian ini
menggunakan dua kelompok responden
(pengrawit-pandhemen)
yang
secara
sosiologis berbeda di mana kelompok
pengrawit kemungkinan besar memberikan
respons karena faktor intra musikal sebagai
bagian dari akumulasi referensi pengalaman,
pengetahuan, dan kepekaan terhadap musik
gamelan. Sebaliknya dengan kelompok
pandhemen yang kemungkinan besar
memberi respons karena faktor ekstra
musikal. Sehingga melalui aspek sosiologis
diharapkan fokus asosiasi pendengar dengan
musik dan emosi terjembatani.
Akhirnya, penggunaan dua pendekatan
dalam penelitian ini menjadi metode
triangulasi dalam memberikan gambaran
yang lebih komprehensif dan menjadi
langkah awal untuk memverifikasi respons
emosi musikal dan mengembangkan
penelitian lebih lanjut dalam bidang
psikologi musik. Namun demikian, dalam
penelitian ini masih terdapat beberapa
keterbatasan yang penting untuk penelitian
sejenis, diantaranya pra pengukuran, alat
ukur, skala deteksi emosi, karena itu
pemahaman yang lebih baik, mungkin dapat
menjelaskan reaksi emosi musikal yang lebih
bermakna dan menyeluruh.
DISKUSI
Penelitian dalam bidang psikologi
musik,
sudah
banyak
menemukan
70
Djohan Salim
Gamelan Jawa
keterkaitan antara musik dan emosi.
Penemuan yang telah dilakukan sampai saat
ini masih dalam taraf eksploratoris karena
emosi tidak dapat disimpulkan secara
sederhana, demikian pula musik sebagai
produk perkembangan budaya. Konsekuensi
lain adalah pemaknaan musik juga harus
mempertimbangkan aspek budaya. Seperti
yang dikatakan Dowling & Harwood (1986)
bahwa dalam setiap budaya terdapat tandatanda musikal sebagai karakter simbolik
yang dapat menimbulkan emosi.
Hipotesis dalam penelitian ini sesuai
dengan teori emosi dari Meyer (1956) yang
mengatakan bahwa ada elemen tertentu
dalam musik seperti melodi atau irama yang
dapat menghasilkan sesuatu di luar dugaan.
Manipulasi elemen tempo dalam penelitian
ini sangat terasa terutama saat dilakukan
pembalikan pada irama 1 dan irama 2.
Walaupun perubahan yang terjadi tidak
dilakukan dengan tiba-tiba tetapi respons
emosi lebih dominan dari elemen tempo
tersebut .
Demikian pula teori yang mengatakan
bahwa elemen yang potensial menimbulkan
efek relaksasi adalah tempo dan timbre yang
stabil atau perubahan secara berangsurangsur juga tidak terbukti dalam penelitian
ini (Wigram, Pedersen dan Bonde, 2002).
Karena perubahan tempo dengan transisi
yang berangsur-angsur tetap menimbulkan
respons tidak menyenangkan. Elemen timbre
tidak menunjukkan signifikansi yang tinggi
dalam eksperimen ini karena kuatnya
pengaruh tempo. Dari diskusi diketahui
bahwa beberapa subjek bahkan tidak dapat
membedakan timbre dari gendhing yang
didengar karena perhatian dan perasaan
mereka sedemikian kuat dipengaruhi oleh
tempo.
Elemen tempo juga diakui oleh subjek
sebagai “nyawa” atau “roh” dari sebuah
musik. Karena apa pun bentuk, jenis, dan
teknik musik yang memadai baik melodi,
irama, dan timbre, kalau terjadi penempatan
tempo yang tidak tepat, maka musik yang
dihasilkan akan berbeda sama sekali dengan
yang diharapkan. Elemen tempo adalah
71
Respons Emosi Musikal dalam
elemen natural yang dimiliki dan dirasakan
semua manusia tetapi dengan pemaknaan
yang berbeda.
Beberapa subjek terlatih mengakui
bahwa ada rasa tidak menyenangkan pada
beberapa gendhing yang diperdengarkan
tetapi tidak reaktif dalam menyikapinya
dikarenakan mereka sangat mengenal
gendhing tersebut baik secara kognitif
maupun afektif. Kondisi ini didukung oleh
teori yang menyebutkan bahwa ada
perbedaan respons emosi antara pendengar
yang terlatih dan yang tidak terlatih
(Waterman, 1996). Terutama respons
pengrawit, karena memiliki kemampuan
analisis secara kognitif.
Sebagian subjek pengrawit bereaksi
secara spontan terhadap perlakuan yang
diberikan dan sebagian tidak bereaksi sama
sekali. Hal itu bisa disebabkan oleh faktor
individu yang potensial mempengaruhi
respons emosi seperti, pengalaman dalam
bermain gamelan. Makin lama pengalaman
bermain gamelan yang dimiliki pengrawit
maka kepekaan dalam mendengarkan
gendhing akan semakin akurat. Sementara
bagi pandhemen, reaksi yang terjadi lebih
ditentukan oleh pengalaman mendengar.
Karena sebagai pendengar pasif dan tidak
aktif bermain gamelan maka kepekaan dalam
mendeteksi gendhing yang didengar belum
tentu sebaik pengrawit. Kedua hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian yang
ditemukan oleh Abeles dan Chung (1996).
Dalam penelitian ini, pengaruh elemen
timbre terhadap respons emosi tampak tidak
terlalu signifikan. Ini sejalan dengan teori
emosi dari Berlyne (1971) yang mengatakan
bahwa tingkat di mana suara musik terdengar
familiar akan menentukan apakah musik
yang dialami sebagai menyenangkan atau
tidak.
Hasil
penelitian
ini
memperkuat
penelitian sebelumnya bahwa tempo adalah
elemen yang penting, begitu pula dengan
respons yang ditimbulkannya. Respons
emosi musikal tetap lebih kuat terjadi karena
keputusan pendengarnya yang banyak
dipengaruhi oleh latihan musik. Dengan
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
demikian, penelitian yang berkaitan dengan
pengaruh
musik
terhadap
emosi
membutuhkan pengetahuan sumber-sumber
kausalitas.
(Collier, 2002). Maka
kelengkapan dari penelitian eksperimental
sebaiknya dilengkapi pula dengan studi
‘impressionistic’ tentang ekspresi, misal
melalui kajian sosiologi (Harris &
Sandresky, 1985; Middleton, 1990), filsafat
(Davies, 1994) dan psikoanalisa (Noy, dalam
Feder, Karmel & Pollock 1993).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan secara umum bahwa
respons emosi musikal merupakan bagian
dari emosi estetis yang belum banyak diteliti
dalam bidang psikologi. Respons yang
diakibatkan oleh stimuli elemen musikal
berupa tempo dan timbre hanya sebagian
dari penelitian terhadap efek elemen musik
lainnya. Walaupun hanya dua elemen
musikal yang digunakan dalam penelitian
ini, namun reaksi berupa respons emosi yang
ditimbulkannya menunjukkan perbedaan
signifikan antara subjek pendengar yang
terdiri dari kelompok pengrawit (musisi) dan
pandhemen (non musisi).
Hasil penelitian yang diperoleh melalui
eksperimen ini juga memberikan informasi
mengenai pentingnya elemen tempo sebagai
stimulator respons emosi musikal. Terujinya
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
maupun ungkapan kualitatif yang terucap
dari subjek penelitian menunjukkan hal
tersebut. Selain itu, pengaruh stimulasi
elemen tempo dan timbre serta efek terhadap
respons emosi musikal yang ditunjukkan
oleh penelitian ini melengkapi hasil-hasil
penelitian
yang
pernah
dilakukan
sebelumnya.
Secara keseluruhan, sebagai penelitian
dasar, pengolahan terhadap rangkaian
eksperimen ini menunjukkan bahwa
stimulasi elemen tempo asli perunggu dan
tempo asli besi serta tempo modifikasi
perunggu dan tempo modifikasi besi
berpengaruh secara sangat signifikan
terhadap
respons
emosi
musikal
pendengarnya.
Terlihat
pula
adanya
perbedaan pengaruh antara stimulasi elemen
tempo asli perunggu dan tempo modifikasi
perunggu dengan tempo asli besi dan tempo
modifikasi besi terhadap respons emosi
musikal pendengar, selain juga bahwa
kelompok pengrawit menunjukkan kepekaan
yang lebih tinggi dari pada kelompok
pandhemen dalam membedakan tempo dan
timbre baik asli maupun modifikasi.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan bagi pengembangan disiplin
psikologi musik di Indonesia walaupun saat
ini tidak dimaksudkan untuk diaplikasikan
atau menjawab semua pertanyaan yang
terkait dengan respons emosi musikal.
Penelitian
ini
masih
dirasa
perlu
menyertakan lebih rinci aspek fisiologis agar
evaluasi terhadap perilaku fisik selama
eksperimen sebagai bagian dari respons
emosi dapat lebih detail.
Respons
emosi
musikal
adalah
terminologi respons emosi yang tidak
terdapat dalam mainstream psikologi emosi
umum. Berdasarkan pemahaman dari aspek
antropologis, sosiologis maupun filosofis
musik yang lebih dikenal adalah terminologi
emosi estetis. Sementara istilah emosi
musikal adalah salah satu bagian dari
terminologi tersebut. Respons emosi musikal
memiliki sumbangan atau paling tidak akan
melengkapi pengembangan pengetahuan
tentang emosi dan membuka bidang kajian
baru yaitu psikologi musik.
Hasil akhir penelitian ini melengkapi
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan
terhadap musik Barat bahwa tempo adalah
elemen yang penting dalam musik, karena
respons emosi musikal pendengar musik
gamelan Jawa dalam penelitian ini teruji
lebih kuat dipengaruhi oleh elemen tempo
dari pada elemen timbre. Apabila penelitian
sejenis dapat dilakukan di berbagai wilayah
nusantara maka pengembangan selanjutnya
adalah pada aplikasi terapi musik yang khas
Indonesia atau pemanfaatan di luar
kepentingan musik. Sehingga terbuka
kemungkinan luas disiplin psikologi musik
72
Djohan Salim
Gamelan Jawa
Indonesia untuk sejajar dengan disiplin
sejenis secara internasional.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
masih terbuka kesempatan luas untuk
menggali potensi seni budaya lokal yang
bermanfaat tidak hanya bagi pengembangan
ilmu pengetahuan tetapi juga bagi makna
sehat bangsa ini. Oleh karena itu peneliti
merekomendasikan kepada peneliti bidang
psikologi dan musikologi agar dapat lebih
banyak berperan dengan mulai menyelidiki
aspek saintifik dan aplikatif dari potensi seni
budaya nusantara.
Sesuai dengan hasil penelitian ini baik
secara metodologis maupun teoritis sebagai
pendukung yang penting, kesempatan untuk
melakukan
interdisiplin
juga
perlu
ditumbuhkembangkan
di
lembaga
pendidikan tinggi. Mengingat selama ini
penelitian lintas disiplin masih belum banyak
dilakukan ataupun didukung oleh lembaga
pendidikan tinggi. Topik interdisiplin yang
digali dari budaya nusantara secara langsung
akan memberikan warna dan menunjukkan
kepada dunia luar bahwa bangsa ini memiliki
keistimewaan dengan seni budaya tradisinya.
Oleh karena itu metode penelitian dan
cara berpikir yang non-paradigmatik dirasa
perlu dikembangkan. Agar situasi dan
suasana kehidupan akademis selalu inovatif
maka hal-hal yang dirasa baru tetapi
bermanfaat perlu diperhatikan secara
seksama. Secara khusus bagi pengembangan
disiplin psikologi musik, penelitian yang
bersifat dasar masih perlu dilakukan. Ke
depan diharapkan peneliti Indonesia dapat
berperan secara aktif melalui hasil
penelitiannya bagi pengembangan psikologi
musik secara global.
DAFTAR PUSTAKA
Abeles, H.F. & Chung, J.W. (1996).
Responsses to music. In Handbook of
music psychology (2nd ed.) (ed.
D.A.Hodges),
pp.285-342.
San
Antonio,TX: IMR Press.
Balkwill, L.L.,& Thompson,W.F. (1999). A
cross-cultural investigation of the
73
Respons Emosi Musikal dalam
perception of emotion in music:
Psychophysical and cultural cues. Music
Perception, 17, 43-64.
Behrens, G.A. & Green, S. (1993). The
ability to identify emotional content of
solo improvisations performed vocally
and on three different instruments.
Psychology of Music. 21,20-33.
Berlyne, D. E. (1971). Aesthetics and
psychobiology. New York: Appleton
Century-Crofts.
Campbell,
R.J.,
Krysciak,
A.M.,&
Schellenberg, E.G (2000). Perceiving
emotion in melody: Interactive effects of
pitch and rhythm. Music Perception, 18,
155-171.
Collier, G.L. (2002). Affective synesthesia:
Extracting emotion space from simple
perceptual stimulus. Motivation and
Emotion, 20, 1-32.
Crist, M.R. (2000). The effect of tempo and
dynamic changes on listener’s ability to
identify
expresive
performances.
Contribution to Music Education, 27, 6377.
Davies, S. (1994). Musical meaning and
expression. Ithaca, New York: Cornell
University Press.
Djohan.
(2003).
Psikologi
Musik.
Yogyakarta. Penerbit Buku Baik.
Dowling, W. J & Harwood, D.L. (1986).
Music cognition. New York: Academic
Press.
Endraswara. S. (2003). Budi Pekerti Dalam
Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita
Graha Widya.
Feder, S., Karmel, R. L. and Pollock, G. H.
(Eds)
(1993),
Psychoanalytic
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005
Explorations in Music. Madison,
Connecticut: International Universities
Press.
Meyer, L. B.(1956). Emotion and meaning in
music. Chicago: University of Chicago
Press.
France´, S,R. (1988). The Perception of
music (trans. W.J. Dowling) (Hillsdale,
NJ, Erlbaum).
Middleton, R. (1990). Studying popular
music. Milton Keynes, UK: University
Press.
Gabrielsson, A & Juslin, P.N. (1996).
Emotional
expression
in
music
performance:
Between
performer’s
intention and the listener’s experience.
Psychology of Music,24.68-91.
Mulder, N. (2001). Mistisisme Jawa ideologi
Indonesia. Yogyakarta: Lkis.
Harris, C. T., & Sandresky, C. (1985). Love
and
death
in
classical
music:
Methodological problems in analyzing
human meaning in music. Symbolic
Interaction, 8, 291-310.
Nettle, B.,Capwell,C., Bohlman.P.V., Wong,
I.K.F. (1997). Excursions in world
music. Upper Saddle River, N.J: Prentice
Hill.
Ortony, A & Turner, T.J. (1990). What’s
basic
about
basic
emotion?.
Psychological Review, 97,3.315-531.
Hargreaves,D., & North,A.C. (2003). The
social psychology of music. NY. Oxford
University Press.
Osgood,CE., Suci,G.J.,& Tannenbaum,P.H.
(1957). The measurement of meaning.
Urbana,IL: University of Illionis Press.
Kamenetsky, S.B., Hill, D.S & Trehub, S.E.
(1997). Effect of tempo and dynamic on
the perception of emotion in music.
Psychology of Music, 25, 149-160.
Sloboda, J.A. (1991). Music structure and
emotional response: some empirical
findings. Psychology of Music, 19, 110120.
Kaminska, Z. & Woolf, J. (2000). Melodic
line and emotion: Cooke’s theroy
revisited. Psychology of Music, 28, 133153.
Sloboda, J.A. & O’ Neill, S.A. (2001).
Emotions in everyday listening to music.
In P.N. Juslin & J.A. Sloboda
(Eds.),(2001) Music and emotion: theory
and research (pp.415-30). NY: Oxford
University Press.
Kivy, P. (1980). The corded shell: reflection
on musical expression. Princeton, NY:
Princeton University Press.
Lapidaki, E. (2000). Stability of tempo
perception in music listening. Music
Education Research 2 (1):25-46.
Tighe, T.J. & W.J. Dowling (Eds) (1986)
Psychology
and
Music:
The
understanding of melody and rhythm.
Hillsdale, NJ, Erlbaum.
Lerdahl, F. & Jackendoff, R. (1983) A
Generative Theory of Tonal Music
(Cambridge, MA, MIT Press).
Supratiknya; Faturochman & Haryanto,
S.(2000)
Tantangan
Psikologi
Menghadapi
Milenium
Baru.
Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas
Psikologi UGM Yogyakarta.
Levitin,D.J & Cook,P.R. (1996). Memory for
musical tempo : additional evidence that
memory is absolute. Perception and
Psychophysics, 58: 927-935.
Walker, M. (1996). Emotional responses to
music: Implicit and explicit effects in
74
Djohan Salim
Gamelan Jawa
listeners and performers. Psychology of
Music, 24. 53-67.
Waterman, M. (1996). Emotional responses
to music. Implicit and explicit effects in
listeners and performers. Psychology of
Music, 24,53-67.
Wigram, T., Pedersen, I,N., & Bonde, O,L.
(2002). A comprehensive guide to Music
75
Respons Emosi Musikal dalam
Therapy : theory, clinical practice,
research and training. London: Jessica
Kingsley Publishers.
Zenatti, A. (1993). Children’s musical
cognition and taste, in: Tighe, T.J. &
Dowling, W.J. (Eds) Psychology and
Music. The Understanding of melody and
rhythm, pp. 177–196.Hillsdale, NJ,
Erlbaum.
Download