Teori Sosiologi Klasik Karl Marx MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik Dosen Pengampu : Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D. Disusun Oleh : Ayuna Fristiani 1703272 Ginar Zsalsabila H 1702993 Selviana Muslim 1705285 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2019 BAB III PENDUKUNG & KRITIK A. TEORI PENDUKUNG 1. Teori Konflik Perspektif Mikro; Rendhal Collins Collins mengatakan bahwa perselisihan relatif jarang terjadi, apalagi perusakan fisik. Mengacu pada Simmel, Collins berpendapat bahwa kekuasaan, otoritas, atau pengaruh merupakan sifat dari proses interaksional, bukan merupakan sifat dari kepribadian individu. Teori konflik menurut collins tidak menganalisis cita-cita dan moral sebagai kesucian selama memberikanhasil dari analisis sosiologi. Teori konflik collins lebih sintetis dan integratif, karena arus orientasinya cenderung ke mikro. Meskipun kecnderungannya pada mikro, namun collins mulai dengan teori besar Marx dan Weber sebagai pedoman untuk analisisnya. Dia mulai dari prinsip Marxian, alasannya ia ingin mencoba “Memodifikasi kasus” sebagai dasar untuk pengembangan untuk teori konfliknya. Rendhal collins melakukan pendekatan konflik pada aras mikro. Pendekatan ini dinilai lebih integratif. Ia melihat stratifikasi sosial dan organisasimerupakan dua hal yang saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti kekayaan, karier, politik, keluarga, gaya hidup, masyarakat, dan juga kelompok. collins menyandarkan teorinya pada fenomenologi dan etnometodologi. Namun demikian, “Starting point” teorinya berasal dari teori weberian dan marxian. Dengan memodifikasi argumentasi marx (Ritzer, 2001: 263). Kontribusi Collins (1973) adalah untuk menambah teori tingkat mikro. Collins berusaha untuk memperlihatkan baha stratifikasi organisasi didasarkan pada interaksi-interaksi dari kehidupan seharihari. Dua fenomena paling penting dalam rangka konflik adalah pola perlaanan dan dominasi ( Ritzer, 2001: 33-36). Pendekatan konflik oleh Collins dibagi menjadi tiga prinsip dasar : 1) Collins percaya bahwa pendudyk tinggal pada dunia subjektif yang dikonstruksi sendiri. 2) Oeang lain mempunyai kekuatan untuk mengontrol pengalaman subjektif seseorang. 3) Orang lain secara terus menerus mengontrol seseorang yang melawan mereka. Collins mengembangkan lima prinsip analisis konflik : 1) Collins percaya bahwa teori konflik harus memfokuskan pada kehidupan nyata daripada kehidupan abstrak. 2) Collins percaya bahwa teori konflik dari stratifikasi harus menentukan faktor yang mempengaruhi interaksi. 3) Collins menjelaskan bahwa dalam sebuah grup yang memiliki banyak sumberakan memeras grup lain yang memiliki sumber yang sedikit. 4) Collins melihat semua grup dengan sumber dan tenaganya bisa memaksakan sistem ide mereka pada seluruh masyarakat. 5) Collins menyarankan agar para ahli sosiologi semestinya tidak berteori secara sederhana mengenai stratifikasi, tapi mesti mempelajari secara keseluruhan, jika mungkin dengan metode dan lapangan studi yang berbeda. Lalu, percobaan mesti dirumuskan dan diuji melaluistudi yang berbeda. Dan yang terakhir, para ahli sosiologi mesti mencari penyabab dari fenomena sosial , khususnya penyebab dari macam-macam bentuk perilaku sosial . Collins menjelaskan terjadinya hubungan konflik dalam kehidupan sosial , terutama pada hubungan jenis kelamin dan hubungan kelompok umur. Collins memandang penyebab konflik itu adalah perbedaan sumber yang dimiliki berbagai kelompok umur. Dalam sosiologi, ilmu pengetahuan yang berparadigma ganda dinyatakan bahwa teori konflik dibangun atas dasar paradigma yang sama dengan teori struktural fungsional yaitu paradigma fakta sosial . Meskipun demikian, teori konflik ini dibangun dalam rangka menentang secara langsung teori-teori struktural fungsional sehingga pola pikir dalam berbagai proposisi yang ditawarkan oleh keduanya saling bertentangan. 2. Teori Konfli Perspektif Lewis A. Coser Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial . Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Coser, 1956: 151-210). Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktikpraktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahuntahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial . Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutantuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. 2) Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuantujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubunganhubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. (Poloma, 1994: 113-120) Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubunganhubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih. (Coser, 1967: 32-70) Coser Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial . Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. B. KRITIK TEORI MARXISME Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structural-fungsionalnya. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat dan menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat elemen masyarakat memungkinkan pertikaian, disintegrasi dan perubahan. Kritik utama teori konflik tergolong kedalam berbagai alasan diantaranya : 1. Teori kritik diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas. 2. Teori kritik berideologi radikal. Kemudian terdapat beberapa kritik yang didasarkan oleh beberapa para ahli, diantaranya : 1. Kritik terhadap teori Konflik Dahrendolf Berbagai kritik terhadap teori konflik Dahrendolf ini terjadi karena hanya menerangkan sebagian saja dari kehidupan sosial Sedangkan sosiologi harus mampu menerangkan antara ketertiban sosial dan konflik sosial , struktur maupun perubahan. Teori konflik Dahrendorf menjadi subjek dari sejumlah analisi kritis oleh Hazelrigg, Turner, dan Weingart. Hasil analisis kritis itu sebgai berikut : 1) Model Dahrendorf tidak secara jelas merefleksikan teori yang sebenarnya ada pada Marxian. 2) Teori konflik lebih dari common sense / banyak kesamaan dengan fungsionalisme structural ketimbang dengan teori Marxian. 3) Teori konflik hanya bersifat makro dan secara tidak luas bahkan tidak dapat memandang atau memahami masalah dan tindakan individual. 4) Teori konflik tampaknya hanya dapat memecahkan masalah konseptual dalam tataran ide. 2. Kritik Terhadap Teori Konflik Lewis Coser Kritik yang dilancarkan terhadap teori konflik dan fungsionalisme structural maupun kekurangan yang melekat didalam masing-masing teori itu, menimbulkan upaya untuk mengatasi masalahnya dengan mengintegrasikan kedua teori itu. Karya paling terkenal berasal dari Lewis Coser, The Function Of Sosial Conflict (1956). Tetapi jika dilihat dari kemungkinan bahwa teori konflik memiliki fungsi mengeratkan ikatan kelompok yang longgar, maka perlu diingat bahwa konflik juga mempunyai disfungsi. Contohnya ada beberapa teoretis lainnya yang tidak mengintegrasikan lagi teori konflik dengan fungsionalisme structural yaitu Gunder Frank, seorang Marxian (1966/1974). Gunder Frank memberikan kritik bahwa dia menolak teori konflik karena teori itu mencerminkan bentuk yang tidak memadai dan tidak mencerminkan sebagaimana adanya dalam teori Marxian. Meski teori konflik mengandung unsur Marxian, namun tidak bisa dibuktikan bahwa unsur yang terkandungnya itu asli dari teori Marx. 3. Kritik Randall Collins Terhadap Teori Marxian Dari awal Collins menjelaskan bahwa perhatiannya terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis namun berdasarkan landasan yang realistik dalam kehidupan sosial . Collins dalam teori konfliknya lebih menganalisisi tingkat mikro yang didasarkan atas interaksi antarindividu masyarakat. Berbeda dengan teoritisi lainnya yang memulai dan tetap menganalisis kemasyarakatan, Collins mendekati konflik dari sudut pandang individu karena akar teoritisnya terletak dalam fenomenologi dan etnometodologi. Namun, Collins melihat teori Marxian sebagai “titik tolak” teori konflik, tetapi teori Marxian menurutnya mengandung berbagai masalah yaitu : 1) Seperti fungsionalisme structural, teori Marxian mengandung banyak ciri ideologis, ciri yang Collins hindari. 2) Analisis Marx cenderung dapat diturunkan ke tingkat analisis bidang ekonomi. 3) Teori-teori besar telah “gagal” menerangkan Stratifikasi sosial Teori yang dimaksud adalah teori fungsionalisme structural dan teori Marxian. Dia mengkritik teori Marxian dengan menyatakan “penjelasan monokausal untuk kehidupan multikausal” Selain konflik yang dikemukakan beberapa tokoh, juga terdapat sejumlah kritik yang diajukan pada teori Marx diantaranya sebagai berikut (Yohanes, 2010). : 1. Teori Karl Marx tidak hanya bersifat sosiologis dan ekonomi tetapi juga memiliki tujuan ideologis politik. Dalam teorinya Marx mengajak rakyar dan kaum buruh miskin melakukan perlawanan baik terhadap kaum pemilik modal (kapitalis) dan juga kepada negara sebagai institusi yang memberikan peluang bisnis kepada pemilik modal (Johnson, 1986). Marx juga menggunakan strategi perjuangan kelas yang antagonis, karena konflik dijadikan sebagai strategi perjuangan. Kegagalan teori politik Marx lebih disebabkan secara substansi teorinya tidak valid dengan hakekat kehidupan manusia, karena sesungguhnya manusia merupakan makhluk sosial yang penuh motivasi dan saling bersimpati. Kegagalan teori politik itu disebabkan juga karena sifatna yang doktrin dan Marx sendiri menolak koreksi dari pihak luar (Muhajir, 2000). 2. Marx gagal melihat adanya pertumbuhan kelas menengah yang besar yang secara politik dominan. Argument Marx yang terpatahkan adalah kapitalisme berkembang maka akan muncul dua kelas yang saling bermusuhan, pemilik modal (kapitalis) dan buruh proletar (Johnson, 1986). Teori ini kurang sesuai dengan realitas karena masyarakat semakin berkembang menjadi kelas menengah diantara dua kelas itu yang semakin besar perannya Lalu, faktanya terdapat keinginan kuat penuh simpati dan lebih menyejahterakan daripada hidup saling bermusuhan/berkonflik (Muhajir, 2000). 3. Teori Marx mengenai kondisi ekonomi kaum Proletar yang semakin tertekan nampaknya tidak terjadi apabila melihat kedepan akan besarnya kenaikan dalam kapasitas produksi yang dihasilkan oleh perkembangan industry. Oleh karena itu, jam kerja buruh bertambah dan menghasilkan jumlah nilai gaji buruh semakin naik dan memperbaiki ekonomi kaum buruh. 4. Marx mengharapkan masyarakat tanpa kelas, tentu hal itu tidak mungkin diterapkan dalam masyarakat modern. Konsep masyarakat tanpa kelas ini sangat utopis, karena bertentangan dengan fakta kehidupan di masyarakat. Pada kenyataannya, tidak ada satu negarapun yang tanpa kelas bahkan di negara sosial is sekalipun. Bahkan dinegara sosial is ketika penghapusan system pasar selalu diikuti dengan pembagian kerja dan hasil kerja dari atas (pemerintah). Dengan kata lain terbentuk sebuah kelas baru yakni birokrasi (Suseno, 2001). 5. Marx venderung meremehkan kemampuan survive masyarakat kapitalis dalam menyelesaikan krisis serta kemampuannya dalam mempetahankan hidup. Padahal kaum kapitalisme tetap mampu fleksibel dan mengembangkan serta bertumbuh dalam jangka waktu kedepan. BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN Sosok Filsuf dan teoretikus Karl Marx pada abad ke-19 menyumbangkan sebagian besar pemikirannya terhadap pemikiran ahli abad berikutnya. Ideologi yang terkenal disebut Marxisme yaitu sebutan bagi ajaran resmi Karl Marx dalam bentuk perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia keluar dari penindasan dan kesewenang-wenangan. Teori Marx dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran, yaitu: (1) filsafat Kalsik Jerman; (2) Sosial isme Perancis; dan (3) ekonomi Inggris. Teori konflik Karl Marx melihat konflik social terjadi diantara kelompok atau kelas daripada individu. Marx berpendapat, konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan produksi, apabila ada control dari masyarakat konflik akan dihapus. (Wirawan, 2012: 68) Artinya, bila kapitalisme digantikan dengan sosial isme, kelas-kelas akan terhapus dan pertentangan kelas/konflik akan berhenti. Strategi konflik Marxian memandang masyarakat sebagai arena individu dan kelompok yang bertarung untuk memenuhi kebutuhannya. Terdapat Teori turunan Karl Marx yaitu Rendhal Collins dan Lewis Coser. Teori konflik menurut collins tidak menganalisis cita-cita dan moral sebagai kesucian selama memberikan hasil dari analisis sosiologi. Teori konflik collins lebih sintetis dan integratif, karena arus orientasinya cenderung ke mikro. Konflik menurut Lewis Coser dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial . Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Terdapat kritik atas masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structuralfungsionalnya. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat dan menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat elemen masyarakat memungkinkan pertikaian, disintegrasi dan perubahan. Berbagai kritik terhadap teori konflik Dahrendolf ini terjadi karena hanya menerangkan sebagian saja dari kehidupan sosial Kritik terhadap teori konflik Lewis Coser yaitu teori tersebut tidak mencerminkan sebagaimana adanya dalam teori Marxian. Dan berbagai kritik umum terhadap Marxian diantaranya: (1) memiliki tujuan ideologis politik; (2) Gagal melihat pertumbuhan kelas menengah yang besar yang secara politik dominan; (3) kondisi ekonomi kaum Proletar tidak semakin tertekan; dsb yang telah disebutkan diatas. B. SARAN Setelah pembahasan mengenai teori konflik yang sebagian besar digagas oleh Karl Marx, penulis mengetahui bahwa terdapat saran yang penulis ajukan yakni : 1. Bagi Akademis Teori-teori Karl Marx ini perlu untuk dipelajari supaya dapat menjadi kajian dalam pembelajaran, khususnya bagi mahasiswa jurusan sosiologi. 2. Bagi masyarakat Dalam masyarakat sebagai kajian sosiologi harus tetap menjaga ketertiban sosial supaya teori yang tercipta oleh Karl Marx tidak menimbulkan perpecahan diantara kelas sosial . DAFTAR PUSTAKA Wirawan. (2012). Teori-teori sosial dalam tiga paradigma. Jakarta:Kencana Prenadamedia Group. Hlm. 68 Lewis Coser . (1956). The Function of Sosial Conflict. New York: Free Press, hlm. 151-210 Margaret. M. Poloma. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 113-120. Lewis Coser. (1967). Continuities in the Study of Sosial Conflict. New York: Free Press, hlm. 32-70. Ritzer, George dan Goodman, D.J. (2012). Teori Sosiologi Modern Jakarta: Kencana. Hlm 153-161. Suseno. F. Magnis. (2010). Pemikiran Karl Marx Dari Sosial is Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Noeng, Muhajir. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Paul, D. Johnson. (1986). Sociological Theory Classical Founder And Contemporary Perspectives. Jakarta: Gramedia. Bahari, Yohanes. (2010). Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora. 1 (1). Hlm 7-9.