Uploaded by User25629

PPT TERBUKA

advertisement
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK) OLEH KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERHADAP PUTUSAN
PRAPERADILAN (STUDI PERKARA MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 50 PK/PID.SUS/2016)
Dibuat oleh :
MAESHA
2017910010
Outline Sidang Tesis Terbuka
HASIL REVISI DARI SIDANG TERTUTUP
A. LATAR BELAKANG MASALAH
B. RUMUSAN MASALAH
C. KERANGKA TEORI
D. PEMBAHASAN
RUMUSAN MASALAH NOMOR 1
E. PEMBAHASAN
RUMUSAN MASALAH NOMOR 2
F. PENUTUP
A. Latar Belakang Masalah
Putusan praperadilan merupakan salah satu jenis penetapan pengadilan. Terhadap
putusan praperadilan, dapat pula diajukan upaya hukum, namun oleh KUHAP hal tersebut
dibatasi seperti yang diatur dalam Pasal 83 KUHAP. Namun dalam praktek peradilan untuk
pengaturan upaya hukum PK atas putusan praperadilan terdapat kekosangan pengaturan.
Sehingga ada ketentuan yang dijadikan dasar untuk melakukan PK terhadap putusan
praperadilan seperti SEMA Nomor 4 tahun 2014 dan PERMA No. 4 Tahun 2016 dengan
tujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan melengkapi KUHAP.
Akan tetapi dari kedua aturan tersebut masih menimbulkan perdebatan, karena apakah
SEMA dan PERMA bisa dijadikan dasar hukum untuk mengatur upaya hukum terhadap
putusan praperadilan, karena tidak terdapat dalam hierarki (susunan) peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Salah satu studi kasus yang mengajukan upaya hukum terhadap putusan praperadilan, ialah
Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh KPK terhadap putusan praperadilan Hadi
Poernomo (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 50 PK/Pid.Sus/2016).
Keputusan KPK untuk mengajukan upaya hukum PK atas putusan praperadilan mantan Dirjen
Pajak Hadi Purnomo tersebut menimbulkan pertanyaan dan permasalahan yaitu terkait
kedudukan hukum KPK dalam mengajukan PK terhadap putusan praperadilan, karena
kedudukan hukum KPK bukan sebagai terpidana atau ahli waris sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
KRONOLOGI PENGAJUAN PK OLEH KPK
1
2
3
PK ini bermula dari dikabulkannya
sebagian permohonan praperadilan yang
diajukan oleh Hadi Pernomo.
Hakim
Praperadilan
mengabulkan
permohonan praperadilan Hadi Purnomo
dalam hal penetapan tersangka dengan
pertimbangan bahwa KPK telah melanggar
prosedur penyidikan.
Alasan lain yang dipaparkan oleh Hakim
Praperadilan dalam putusan praperadilan
tersebut adalah penyelidikan terhadap Hadi
Poernomo dilakukan oleh penyelidik dan
penyidik independen yang pengangkatannya
tidak sah.
4
5
6
Atas putusan praperadilan tersebut
KPK telah melakukan upaya hukum,
yaitu dalam bentuk Peninjauan
Kembali.
Menurut KPK, PK dipandang sebagai
langkah yang tepat untuk melawan
putusan Hakim Praperadilan yang
dinilai salah kaprah dan melampaui
kewenangan hakim praperadilan.
Menurut KPK, salah satu alasannya adalah Hakim
Praperadilan memberikan putusan melebihi dari
yang dituntut pemohon, yakni memerintahkan KPK
untuk menghentikan penyidikan Hadi Poernomo
dengan alasan status penyidik dalam perkara
tersebut tidak sah.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah penerapan upaya hukum
peninjauan kembali yang dilakukan oleh
KPK terhadap putusan praperadilan
nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel?
B.
Bagaiamanakah dasar pertimbangan
hukum yang digunakan oleh Hakim
Mahkamah Agung dalam menjatuhkan
Putusan
Perkara
Nomor
50
PK/PID.SUS/2016
KERANGKA TEORI
Dalam penulisan tesis ini untuk mendukung beberapa masalah yang telah diuraikan dalam
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, maka teori yang akan digunakan dalam
penelitian ini dapat dikorelasikan dengan teori keadilan distributif dan teori keadilan korektif
dari Aristoteles dan juga mengutip teori keadilan oleh John Rawls selain itu menggunakan
teori keadilan oleh W. Friedmann yang pada intinya mereka memiliki pandangan persamaan
prinsip dalam keadilan yakni kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya.
PENERAPAN PK OLEH KPK TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
NO 36/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL
A
DASAR HUKUM KPK DALAM
MENGAJUKAN PK TERHADAP
PUTUSAN PRAPERADILAN
B
KEDUDUKAN HUKUM KPK DALAM
MENGAJUKAN PK TERHADAP
PUTUSAN PRAPERADILAN
C
ALASAN-ALASAN KPK DALAM
MENGAUJUKAN PK TERHADAP
PUTUSAN PRAPERADILAN
2. KEDUDUKAN HUKUM KPK
1. DASAR HUKUM KPK
A.
Dari ketentuan yang ada dalam Pasal 83
KUHAP untuk upaya hukum peninjauan
kembali terhadap putusan praperadilan
terjadi kekosongan hukum karena tidak ada
satu pasal
pun
yang
secara tegas
menyebutkan
mengenai
adanya
kemungkinan upaya hukum peninjauan
kembali terhadap putusan praperadilan.
Namun dalam praktek peradilan terdapat
ketentuan yang dijadikan dasar upaya
hukum PK terhadap putusan praperadilan
seperti SEMA Nomor 4 tahun 2014 dan
PERMA No. 4 Tahun 2016 dengan tujuan
untuk mengisi kekosongan hukum dan
melengkapi KUHAP.
B.
Kedudukan hukum KPK dalam mengajukan PK
terhadap putusan praperadilan perkara a quo,
karena pemeriksaan dalam sidang Praperadilan
belum memasuki pokok perkara, oleh karena itu
pihak-pihak
bersangkutan
dalam
sidang
praperadilan
belum
berkedudukan
sebagai
terpidana atau ahli warisnya (ahli waris si
terpidana) Maka dalam perkara a quo hanya
terdapat dua pihak yang saling berhadapan yaitu
pihak pemohon praperadilan/Termohon Peninjauan
Kembali yakni Hadi Poernomo, sedangkan di sisi
lain KPK sebagai Ternohon Praperadilan/Pemohon
PK dalam perkara a quo selaku pemegang hak pula
untuk memperjuangkan keadilan dari pihak korban
ataupun masyarakat pencari keadilan dalam hal
melalui koreksi terhadap setiap putusan hakim
praperadilan jika terdapat kekhilafan/kekeliruan
hakim maupun penyelundupan hukum.
3. alasan-alasan KPK
C.
Alasan-alasan yang diajukan oleh KPK dalam
mengajukan PK terhadap putusan praperadilan
selain alasan peninjauan kembali yang diatur
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yakni adanya
keadaan baru/novum, Apabila dalam pelbagai
putusan terdapat saling pertentangan, dan
Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam
putusan. Dalam hal alasan peninjauan kembali
terhadap
putusan
praperadilan
KPK
menggunakan alasan yang diatur lebih lanjut di
dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2014 yakni
terhadap putusan praperadilan dapat diajukan
upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam
hal ditemukan adanya indikasi penyelundupan
hukum. Lantas apa yang dimaksud dengan
indikasi
penyelundupan
hukum?
Penyelundupan
hukum
merupakan
praperadilan yang melampaui kewenangannya
sesuai pasal 77 KUHAP.
Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dan Amar Putusan Mahkamah Agung dalam
Putusan Perkara Nomor 50 PK/PID.SUS/2016 ditinjau dari Teori Hukum Keadilan
I
Menurut Analisis Penulis terhadap dasar pertimbangan hakim pertama, bahwa
dari ketentuan yang ada dalam Pasal 83 KUHAP pengaturan upaya hukum
terhadap praperadilan hanya diatur larangan upaya hukum banding terhadap
putusan praperadilan
Selebihnya untuk upaya hukum kasasi terhadap putusan praperadlan diatur
dalam ketentuan Pasal 45A Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Menurut Analisis Penulis, dikarenakan terjadi kekosongan hukum pengaturan
PK terhadap putusan praperadilan, maka selama perbuatan itu tidak dilarang
atau tidak diatur oleh Undang-undang maka sah-sah saja dilakukan.
Pandangan tersebut diperkuat dengan ketentuan dalam Undang-undang No.
35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 14 ayat (1) yang
menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
II
Selain itu dasar pertimbangan hakim kedua terkait kedudukan KPK tidak
diperkenankan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan
praperadilan karena berdasarkan KUHAP pihk-pihak yang berhak mengajukan
Peninjauan Kembali, hanya terdakwa dan ahli waris saja.
Jika mencermati redaksional di dalam KUHAP tentang kedudukan hukum yang berhak
mengajukan Peninjauan Kembali, yakni hanya terdakwa dan ahli waris saja tampak
bahwa pembentuk Undang-undang (Pembentuk KUHAP) hanya memandang dari sudut
kepentingan terdakwa saja sehingga belum melahirkan keseimbangan akan pemenuhan
hak pihak lainnya.
Paradigma yang dianut saat proses awal pembentukan KUHAP adalah menekankan
terhadap perlindungan hak-hak asasi dari terpidana. Namun dalam perkembangannya
mengingat adanya pergeseran perpektif penyelesaian perkara dalam hukum pidana
dan sistem peradilan pidana dari perspektif retributive menjadi restorative justice
yakni penyelesaian lebih mengutamakan pemulihan baik terpidana, korban maupun
masyarakat. Perubahan tersebut menjadikan pembatasan atas pihak-pihak yang
dapat mengajukan peninjauan kembali yang secara limitatif hanya diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya menjadi longgar.
II
Apabila dihubungkan dengan teori, maka dalam penelitian ini dapat
dikorelasikan dengan teori keadilan distributif dan teori keadilan
korektif dari Aristoteles dan juga mengutip teori keadilan oleh John
Rawls serta teori keadilan oleh W. Friedmann yang pada intinya
mereka memiliki pandangan persamaan prinsip dalam keadilan yakni
kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya.
Oleh karena itu KPK yang mewakili kepentingan negara yang
mencerminkan kepentingan masyarakat dimana di dalamnya termasuk
kepentingan individu-individu dapat memiliki persamaan hak dengan
terpidana ataupun ahli waris yakni melalui koreksi terhadap setiap
putusan hakim apabila terdapat kekhilafan/kekeliruan bahkan
penyelundupan hukum dalam hal ini melalui pengajuan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan praperadilan tersebut.
III
Dasar Pertimbangan Hakim MA selanjutnya ialah berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) RI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan
Praperadilan, dalam Pasal 3 menentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat
diajukan peninjauan kembali.
Namun menurut analisis, upaya yang dapat ditempuh jika terdapat kesalahan dalam
putusan praperadilan dan merugikan pihak yang berperkara melalui pengawasan oleh
Mahkamah Agung seperti yang diatur dalam PERMA tersebut kurang memperhatikan
keadilan hukum, alasan pertama karena penyelesaian hanya melalui internal Mahkamah
Agung saja, tidak melibatkan pihak yang merasa dirugikan terhadap putusan praperadilan
yang terdapat kesalahan ataupun kekeliruan.
Menurut analisis Penulis seharusnya Mahkamah Agung tidak memilih jalan untuk
melarang PK atas putusan praperadilan, melainkan memberi tafsir yang jelas terkait
“penyelundupan hukum” sebagai alasan PK atas putusan praperadilan seperti yang
dijelaskan dalam pertimbangan Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel pada amar
putusan butir 2, butir 4, dan butir 5 adalah tidak tepat dan keliru, karena Judex Facti
telah melampaui batas wewenangnya dan dapat dikualifisir sebagai upaya mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001.
KESIMPULAN
1
Dalam hal penerapan upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh KPK terhadap
putusan praperadilan menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang pertama didasari
dengan adanya permasalahan kekosongan hukum, dimana tidak diatur secara tegas dalam KUHAP
tentang upaya hukum PK terhadap putusan praperadilan, Namun dalam praktek peradilan telah
diisi oleh SEMA No. 04 Tahun 2014 dan PERMA No. 4 Tahun 2016 dengan tujuan untuk mengisi
kekosongan hukum dan melengkapi KUHAP. Permasalahan kedua terkait dengan filosofi
pengaturan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP terkait pihak-pihak yang dapat mengajukan PK atas
putusan perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu hanyalah terpidana atau ahli
warisnya, namun karena dalam perkara praperadilan belum memasuki pokok perkara atau masih
2
tahap pra adjudikasi. Oleh karena itu pihak-pihak bersangkutan dalam sidang praperadilan belum
berkedudukan sebagai terpidana atau ahli warisnya, maka KPK dalam perkara ini sebagai
pemegang hak pula untuk memperjuangkan keadilan dari pihak korban ataupun masyarakat
pencari keadilan dalam hal melalui koreksi terhadap setiap putusan hakim praperadilan jika
terdapat kekhilafan/kekeliruan hakim maupun penyelundupan hukum dalam hal ini melalui
mekanisme pengajuan upaya hukum PK terhadap putusan praperadilan.
KESIMPULAN
2
Dasar Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim MA dalam memutus perkara No 50
PK/Pid.Sus/2016 terlebih dahulu mempertimbangkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang mengatur
tentang pihak pihak yang dapat mengajukan PK yakni hanya terpidana atau ahli waris, Jika mencermati
redaksional di dalam KUHAP, maka pembentuk KUHAP hanya memandang dari sudut kepentingan
terdakwa saja sehingga belum melahirkan keseimbangan akan pemenuhan hak pihak lainnya. Apabila
dihubungkan dengan analisis Penulis dalam hal ini dapat dikorelasikan dengan teori keadilan distributif
dan teori keadilan korektif dari Aristoteles dan juga mengutip dan menggunakan teori keadilan oleh John
Rawls dan W. Friedmann yang pada intinya mereka memiliki pandangan persamaan prinsip dalam keadilan
yakni kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya.
Selain itu dasar hukum lainnya ialah PERMA RI No 4 Tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan, mengenai dasar hukum PERMA ini Penulis berpendapat bahwa Mahkamah
2Agung tidak seharusnya menutup akses upaya hukum atas putusan praperadilan, agar masih memiliki jalan
untuk mengkoreksi putusan praperadilan yang mengandung kesalahan/kekeliruan serta kekhilafan hakim,
karena dalam pertimbangan hakim MA selanjutnya disebutkan bahwa terdapat unsur Penyelundupan
Hukum yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan dalam Perkara Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel pada
amar putusan butir 2,4,5 adalah tidak tepat dan keliru, karena Judex Facti telah melampaui batas
wewenangnya dan dapat dikualifisir sebagai upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka atau terdakwa.
SARAN
Untuk Pemerintah
Dalam hal ini sebagai pembuat Peraturan
Perundang-undangan,
diharapkan
Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dapat dikaji, diuji, dan
diperbaiki kembali, Agar memuat aturan aturan
ataupun hukum acara tentang upaya hukum
terhadap putusan praperadilan terutama tentang
Peninjauan
Kembali
terhadap
Putusan
Praperadilan karena sampai saat ini di dalam
KUHAP masih terjadi kekosongan hukum,
sehingga aturan Peninjauan Kembali hanya diatur
melalui PERMA atau SEMA.
UNTUK PENEGAK
HUKUM
Majelis Hakim MA dalam perkara a quo
diharapkan dalam menjalankan tugasnya
memiliki jiwa keadilan dan kecermatan,
dalam menjatuhkan putusan, selain itu
Mahkamah Agung seharusnya tidak memilih
jalan untuk melarang PK atas putusan
praperadilan, melainkan memberi tafsir
yang jelas terkait “penyelundupan hukum”
sebagai syarat PK atas putusan praperadilan
agar
masih
memiliki
jalan
untuk
mengkoreksi putusan praperadilan yang
mengandung kesalahan.
Download