UJI DAYA INFEKTIVITAS Plasmodium berghei IRADIASI

advertisement
UJI DAYA INFEKTIVITAS Plasmodium berghei IRADIASI
PADA HATI DAN LIMPA MENCIT MENGGUNAKAN
METODE NESTED- POLYMERASE CHAIN REACTION
Skripsi
disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sain Biologi
Oleh
Ngaliyatun
4450408025
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Uji
Daya Infektivitas Plasmodium berghei Iradiasi Pada Hati dan Limpa Mencit Menggunakan
Metode Nested-Polymerase Chain Reaction” disusun berdasarkan hasil penelitian saya
dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi atau kutipan yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Skripsi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi manapun.
Semarang, 19 September 2013
Ngaliyatun
4450408025
ii
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul
Uji daya infektivitas Plasmodium berghei
Iradiasi Pada Hati dan Limpa
Mencit (Mus musculus) Menggunakan Metode Nested-Polymerase Chain Reaction
Disusun oleh
Nama
: Ngaliyatun
NIM
: 4450408025
telah dipertahankan dihadapan sidang panitia ujian skripsi FMIPA UNNES pada Tanggal
05 September 2013.
Panitia
Sekretaris
Prof Dr. Wiyanto, M.Si.
NIP. 196310121988031001
Andin Irsadi, S.Pd, M.Si.
NIP.197403102000031001
Ketua Penguji
Dr. Drh. R. Susanti, MP.
NIP. 197111071998022001
Anggota penguji/
Anggota penguji/
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Ir. Tuti Widianti, M.Biomed
NIP. 195102071979032001
Dr. Mukh Syaifudin
NIP.196506011989011001
iii
ABSTRAK
Ngaliyatun. 2013. Uji Daya Infektivitas Plasmodium berghei Iradiasi Pada Hati
dan Limpa Mencit Menggunakan Metode Nested-Polymerase Chain Reaction.
Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Ir.Tuti Widianti,
M. Biomed dan Dr. Mukh Syaifudin
Plasmodium berghei adalah parasit jenis protozoa penyebab malaria pada
rodensia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi
parasit tersebut. Iradiasi dapat menyebabkan perubahan struktur protein, degradasi
protein maupun perubahan konformasi DNA. Dosis iradiasi 150-175 Gy dapat
menurunkan daya infeksi P.berghei pada mencit dengan ditunjukkan oleh periode
prepaten yang panjang serta jumlah kematian mencit yang rendah. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaaan Plasmodium iradiasi pada hati dan
limpa mencit (Mus musculus) menggunakan metode Nested Polymerase Chain
Reaction (PCR).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di
Laboratorium Biologi Molekuler Bidang Biomedika PTKMR BATAN. Populasi
penelitian adalah mencit strain Swiss Webster jantan. Sampel yang digunakan yaitu
adalah mencit strain Swiss Webster jantan berumur ±2 bulan dengan berat badan
sekitar 35 gram, diperoleh dari Pusat Penyakit Tropis, Badan Litbang Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Jakarta. Penelitian ini menggunakan P. berghei yang diiradiasi
dosis 175 Gy tanpa booster, 175 Gy dengan booster, dan 0 Gy dan diinfeksikan ke
dalam tubuh mencit. Setelah 2 bulan hati dan limpa mencit diambil dan dilakukan
ekstraksi DNA. Hasil ekstraksi diamplifikasi menggunakan nested-PCR dengan dua
pasang primer yaitu rPLU1 dan rPLU5 untuk amplifikasi pertama dan rPLU3 dan
rPLU4 untuk amplifikasi kedua. Elektroforesis menggunakan gel agaros dilakukan
untuk melihat ada tidaknya pita DNA spesifik yang berukuran sesuai dengan DNA
target.
Hasil pemeriksaan DNA genom dari sampel hati dan limpa mencit menunjukkan
kualitas cukup baik. Proses amplifikasi nested-1 tidak menunjukkan adanya pita
berukuran 1640 bp baik pada sampel maupun pada kontrol positif. Amplifikasi nested-2
tidak menunjukkan adanya pita berukuran 240 bp pada sampel tetapi pada kontrol
positif menunjukkan ukuran pita berukuran 240 bp.
Simpulan penelitian adalah P. berghei iradiasi tidak terdeteksi pada hati dan
limpa mencit (Mus musculus) menggunakan metode nested-PCR. Hal ini berarti bahwa
penggunakan iradiasi efektif melemahkan atau mencegah daya infektif parasit.
Kata Kunci: Iradiasi, nested-Polymerase Chain Reaction, Plasmodium berghei
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Daya
Infektifitas Plasmodium berghei
musculus) Pasca
Iradiasi Pada Hati dan Limpa Mencit (Mus
Booster Menggunakan
Metode
Nested-Polymerase Chain
Reaction.” ini.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan semua pihak
yang terkait. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).
2.
Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang.
3.
Ibu Ir.Tuti Widianti, M.Biomed selaku dosen pembimbing utama dan Bapak Dr.
Mukh Syaifudin selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu sabar
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun rancangan penelitian,
pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan hasil penelitian (skripsi) ini.
4.
Ibu Dr. drh.R.Susanti, MP. selaku dosen penguji utama yang memberikan
masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Bapak dan ibu tercinta, Martawintana dan Samini, yang selalu memberi
semangat, dukungan moral dan material tanpa mengenal lelah serta pamrih.
6.
Teman-teman BIPANNES ’08 (Ferdi, Vicky, Nidaul, Yulia) yang mewarnai
hidup, menjadi penyemangat dan sumber inspirasi penulis.
7.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan skripsi ini.
Tiada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun penulis harapkan dari pembaca sekalian.
Semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.
Semarang, September 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .....................................................
ii
PENGESAHAN ........................................................................................
iii
ABSTRAK ................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR
.............................................................................
v
...........................................................................................
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
...................................................................................
viii
...............................................................................
ix
............................................................................
x
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
BAB II
BAB III
Latar Belakang ....................................................................
Rumusan Masalah ...............................................................
Penegasan Istilah ..................................................................
Tujuan Penelitian..................................................................
Manfaat Penelitian................................................................
1
3
4
4
4
TINJAUAN PUSTAKA dan HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka ..................................................................
1. Siklus Hidup Plasmodium berghei................................
a. Siklus aseksual ............................. ..........................
b. Siklus seksual .......................................................
2. Iradiasi Sinar Gamma ................................... ...............
3. Analisa DNA dengan Teknik Nested-PCR ..................
a. Molekul DNA .......................................................
b. Teknik Nested-Polymerase Chain Reaction ..........
5
5
6
7
8
10
10
12
B. Hipotesis .............................................................................
13
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................
B. Subyek Penelitian ................................................................
C. Variabel Penelitian...............................................................
vi
14
14
14
D.
E.
F.
G.
H.
BAB IV
Rancangan Penelitian...........................................................
Alat dan Bahan Penelitian ....................................................
Prosedur Penelitian..............................................................
Data dan Metode Pengumpulan Data ....................................
Analisa Data .........................................................................
HASIL dan PEMBAHASAN
A. Hasil.....................................................................................
B. Pembahasan..........................................................................
BAB V
14
16
17
20
20
21
24
PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................
B. Saran ....................................................................................
31
31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
32
LAMPIRAN ................................................................................................
36
vii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Alat penelitian isolasi dan amplifikasi DNA ............................................
16
2. Bahan Penelitian ....................................................................................
16
3. Hal amplifikasi DNA pada hati dan limpa mencit ..................................
20
4. Data elektroforegram hasil PCR nested-2 ................................................
24
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Siklus hidup Plasmodium sp ...................................................................
8
2. Gambaran skematis nested-PCR .............................................................
11
3. Produk amplifikasi PCR nested-2 Plasmodium sp ...................................
12
4. Rancangan penelitian ..............................................................................
15
5. Elektroforegram genom DNA pada gel agaros 2% ..................................
21
6. Elektroforegram nested-1 pada gel agaros 2%..........................................
22
7. Elektroforegram nested-2 pada gel agaros 2% .........................................
23
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Alat penelitian ........................................................................................
36
2. Dokumentasi penelitian............................................................................
38
3. Surat ijin penelitian .................................................................................
39
4. Surat persetujuan penelitian tugas akhir ...................................................
40
5. Surat undangan ujian skripsi ....................................................................
41
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit jenis protozoa
dari genus Plasmodium. Salah satunya adalah Plasmodium berghei
yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit
tersebut (Shi et al. 2007). P berghei mempunyai siklus hidup dan morfologi yang
sama dengan jenis Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria pada
manusia.
Sejauh ini, belum ada vaksin yang efektif mencegah malaria.
Penyebabnya antara lain adalah resistensi parasit terhadap obat anti malaria serta
siklus perkembangbiakan parasit yang rumit. Selain itu juga dipengaruhi oleh
vektor nyamuk Anopheles sp. yang resisten terhadap insektisida. Resistensi
Plasmodium terhadap
klorokuin terjadi karena ada perubahan membran sel
parasit sehingga klorokuin akan dikeluarkan dari sel (Abeku 2007).
Plasmodium mempunyai 2 siklus hidup yaitu siklus seksual dan aseksual.
Plasmodium termasuk parasit obligat karena selalu membutuhkan hospes selama
siklus hidupnya. Siklus seksual membutuhkan tubuh nyamuk sebagai hospes
definitif sedangkan mamalia digunakan sebagai hospes intermediate selama
siklus aseksual. Siklus seksual dimulai pada saat nyamuk menelan darah yang
terinfeksi Plasmodium (Capurro et al. 2000). Volume darah sekitar 1-2 µl yang
ditelan nyamuk betina berisi 1-10 gametosit, 5-6 diantaranya akan menjadi
ookinet. Hanya 2 ookinet yang akan berhasil menjadi ookista dalam waktu 2-7
hari dan menghasilkan sekitar 16.000 sporozoit (Sinden 1999). Sporozoit
Plasmodium yang terbentuk akan diinfeksikan ke dalam tubuh hospes pada saat
nyamuk betina terinfeksi menggigit manusia.
Sporozoit yang diinfeksikan oleh nyamuk akan memasuki aliran darah.
Sebagian sporozoit akan difagosit oleh sel darah putih dan sebagian yang lain
menginfeksi sel hati. Sporozoit tersebut selanjutnya memperbanyak diri
1
2
membentuk skizon yang berisi merozoit. Skizon yang matang pecah kemudian
menginfeksi sel darah merah. Akibat aktivitas ini dapat menimbulkan anemia
bahkan menyebabkan kematian. Anemia disebabkan oleh merozoit yang
mengingesti sitoplasma eritrosit hospes dan mengubah hemoglobin menjadi
asam amino dan pigmen hemozoin. Pigmen yang dihasilkan oleh Plasmodium
menyebabkan perubahan pada hati dan limpa menjadi coklat kehitaman (Brown
1979).
Limpa merupakan salah satu organ yang penting dalam produksi limfosit.
Limpa pada penderita malaria berfungsi sebagai filter untuk menghancurkan
eritrosit yang terinfeksi Plasmodium. Plasmodium dan pigmen pada eritrosit
difagositosis secara aktif oleh makrofag limpa (Djanah 2007).
Diagnosa Plasmodium secara mikroskopis pada darah penderita malaria
di Pakistan, Iran, dan Afghanistan mempunyai tingkat infeksi 0-2,5% sedangkan
menggunakan nested-PCR tingkat infeksinya berturut-turut sebesar 6,5%, 22%,
dan 35% (Zakeri et al. 2010). Riset yang dilakukan oleh Ndao et al. (2004)
menunjukkan bahwa metode nested-PCR lebih akurat dibandingkan dengan
metode apusan darah dan deteksi antigen.
Penggunaan sinar gamma untuk melemahkan Plasmodium sebagai bahan
dasar vaksin telah banyak diteliti. Keefektifan sinar gamma dalam melemahkan
parasit telah dibuktikan dengan adanya imunitas protektif pada hewan coba
setelah diimunisasi sporozoit P.falciparum dan P.berghei iradiasi. Dosis radiasi
yang optimal dapat menghambat perkembangan parasit. Dosis radiasi optimal
untuk melemahkan P. falciparum stadium sporozoit adalah antara 150–200 Gy
(Hoffman et al. 2002). Dosis iradiasi 150-175 Gy dapat menurunkan daya infeksi
P.berghei pada mencit dengan ditunjukkan oleh periode prepaten yang panjang
serta jumlah kematian mencit yang rendah (Darlina & Tetriana 2008).
Berdasarkan respon imun yang diteliti yakni pengamatan makrofag pada
dosis 150 Gy belum menunjukkan efektivitas bahan vaksin. Berdasarkan
pemeriksaan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid menunjukkan bahwa
kandungan protein P.berghei semakin menurun dengan kenaikan dosis radiasi
3
(Tetriana et al. 2008). Perubahan protein dapat diakibatkan oleh denaturasi
protein,
degradasi
protein
maupun
perubahan
konformasi
asam
deoksiribonukleat (DNA).
Genom P. berghei berukuran 2,3-2,4 x107 pasang basa (pb) (Gardner et
al. 2002). Perubahan DNA dapat dideteksi menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR). PCR merupakan suatu metode invitro untuk
mengamplifikasi segmen DNA dari suatu kompleks DNA melalui suatu reaksi
enzimatik yang sederhana dengan menggunakan pasangan primer yang spesifik
melalui mekanisme perubahan suhu (Sulandari & Zein 2003).
Nested-PCR merupakan modifikasi dari PCR yang bertujuan mengurangi
kontaminasi produk PCR yang disebabkan oleh kesalahan amplifikasi primer.
Nested-PCR melibatkan dua pasang primer yang digunakan dalam dua proses
PCR yang berurutan. Set primer kedua digunakan untuk memperkuat DNA
target PCR nested-1 dan menghasilkan DNA target yang lebih pendek dari
produk PCR pertama (Neumaier et al. 1998). Teknik PCR merupakan metode
yang umum untuk mendeteksi resistensi Plasmodium secara lebih sensitif.
Sejumlah 13 sampel yang diteliti oleh Saiwichai et al. (2009) menggunakan
mikroskop menunjukkan hasil negatif, sedangkan 9 sampel diantaranya positif
terdeteksi Plasmodium menggunakan nested-PCR.
Selain keakuratan yang tinggi, sensitivitas dari metode nested- PCR juga
tinggi seperti penelitian Saiwichai et al. (2009) yang menggunakan pemeriksaan
darah segar untuk mendeteksi P. gallinaceum. Tingkat sensitivitas yang
didapatkan adalah sebesar 0.0000085% parasitemia atau 0,2 sel darah merah
terinfeksi/µl. Penelitian Iqbal et al. (1999) juga menunjukkan bahwa metode
PCR lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan mikroskopis.
B.
Rumusan masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana daya infektivitas
Plasmodium berghei iradiasi pada hati dan limpa mencit yang dideteksi
menggunakan metode nested-PCR?
4
C.
Penegasan istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami isi skripsi ini, perlu
ada batasan-batasan terhadap beberapa istilah sebagai berikut :
1. Plasmodium berghei adalah protozoa penyebab malaria pada rodensia yang
digunakan sebagai model dalam penelitian.
2. Iradiasi merupakan teknik radiasi buatan dengan meradiasi bahan dengan
sinar radiasi dan yang digunakan adalah sinar gamma dosis 175 Gy dengan
laju dosis 380 Gy/jam. Sumber radiasi gamma yang digunakan adalah 60 Co.
3. Nested-PCR merupakan modifikasi dari PCR yang bertujuan mengurangi
kontaminasi produk PCR yang disebabkan oleh kesalahan amplifikasi primer.
Nested-PCR melibatkan dua pasang primer yang digunakan dalam dua proses
PCR yang berurutan. Set primer kedua digunakan untuk memperkuat DNA
target PCR nested-1 dan menghasilkan DNA target yang lebih pendek dari
produk PCR pertama (Neumaier et al. 1998).
D.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi daya infektivitas Plasmodium
berghei iradiasi pada hati dan limpa mencit menggunakan metode NestedPolymerase Chain Reaction (PCR).
E.
Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai langkah untuk penelitian lebih lanjut tentang pembuatan vaksin
malaria melalui iradiasi parasit.
2. Menambah wawasan tentang deteksi parasit P. berghei yang diiradiasi
gamma.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA & HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit jenis protozoa dari
genus Plasmodium. Terdapat 400 spesies Plasmodium, 12 diantaranya bersifat
patogen pada manusia. Siklus hidup Plasmodium melibatkan interaksi antara parasit,
vektor, dan mamalia. Plasmodium falciparum merupakan salah satu parasit dari
genus Plasmodium yang menginfeksi manusia sebagai hospes intermediate. P.
falciparum sering menyebabkan malaria otak dan menyebabkan kematian. Selain
menggunakan manusia sebagai hospes, Plasmodium menggunakan tubuh nyamuk
sebagai hospes definitive (vektor) salah satunya adalah nyamuk Anopheles gambiae
(Sandoz 1973).
Sejak urutan genom P. falciparum dan A. gambiae diketahui, upaya
mengendalikan malaria dari sisi parasit dan vektor secara molekuler sudah mulai
dilakukan (Kanzo &Zheng 2003). Sulitnya memahami interaksi antara parasit dengan
vektor dan mamalia dikarenakan keragaman spesies parasit dan vektor tersebut
(Sinden 2002).
1. Siklus Hidup Plasmodium berghei
P. berghei adalah hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada
rodensia, terutama rodensia kecil seperti mencit. P. berghei banyak digunakan dalam
penelitian malaria pada manusia. Hal ini disebabkan teknologi pembiakan secara
invitro dan pemurnian pada tahapan siklus hidup, dan pengetahuan genom telah
diketahui. P. berghei mempunyai ukuran genom yang paling mirip dengan genom P.
falciparum dibandingkan dengan jenis Plasmodium yang lain (Gardner et al. 2002).
Selain genom, kemiripan sifat biokimiawi dan siklus hidup P. berghei juga
digunakan sebagai pertimbangan yang kuat tentang penggunaan parasit tersebut
dalam penelitian malaria pada manusia. P. falciparum tidak digunakan dalam
penelitian karena parasit tersebut hidup di dalam tubuh manusia sedangkan model
5
6
yang digunakan dalam penelitian adalah mencit. Manusia tidak dapat digunakan
sebagai model dalam penelitian malaria dikarenakan alasan etika.
Secara umum siklus hidup Plasmodium mempunyai dua hospes yakni
manusia dan nyamuk Anopheles. Siklus aseksual berlangsung pada tubuh manusia
disebut fase skizogoni dan siklus seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk disebut fase
sporogoni (Garnham 1965).
a. Siklus aseksual
Sporozoit
merupakan tahapan parasit yang berasal dari kelenjar ludah
nyamuk Anopheles betina masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
tersebut. Sporozoit selanjutnya memasuki sel-sel hati dan dimulailah stadium
eksoeritrositik dalam waktu tiga puluh menit. Sporozoit yang berada di sel hati
tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit (10.000-30.000 merozoit,
tergantung spesiesnya). Sel hati akan pecah dan merozoit akan masuk aliran darah
(Kappe et al. 2003).
Penelitian Frevert et al. (2005) menunjukkan bahwa sporozoit P.berghei
secara aktif menyerang sel makrofag. Hal ini diperankan oleh tethers yaitu sporozoit
yang aktif menginvasi makrofag. Proses terbentuknya tethers terjadi saat invasi
sporozoit ke dalam sel-sel yang melapisi lumen sinusoid hati (Vandenberg et al.
1990).
Motilitas sporozoit berperan penting saat invasi sporozoit ke dalam sel-sel hati
inang (Vandenberg et al. 1990). Sporozoit masuk ke hati secara tiba-tiba mengikuti
lapisan sel sinusoidal. Parasit masuk melalui sel sinusoidal searah atau melawan
aliran darah menuju sel Kupffer dan melintasi ruang Disse. Sel Kupffer dapat
dideteksi menggunakan lisosom autoflourescensi berwarna orange. Sporozoit akan
mencapai hepatosit dalam waktu beberapa menit( Frevert et al. 2005).
Tahap perkembangan parasit di dalam hati menghasilkan bentuk parasit baru.
Parasit tersebut hidup di dalam sel darah merah dengan lingkungan seluler dan
molekuler yang berbeda (Mikolajczak et al. 2006). Parasit yang lemah atau mati
berbentuk sabit dan tidak menunjukkan gerakan sel. Tiga jam setelah infeksi sekitar
5x106 sporozoit, sekelompok hepatosit mengalami nekrosis yang akan diinfiltrasi
7
oleh sel inflamatori. Infeksi sporozoit pada hepatosit menyebabkan kerusakan
hepatosit dan ditandai oleh tingginya jumlah alanine aminotransferase di dalam
serum.
Plasmodium tidak hanya menyebabkan kerusakan pada hati tetapi juga
menyebabkan pembesaran limpa (Brown 1979). Limpa merupakan kelenjar tanpa
saluran yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi. Limpa mempunyai dua fungsi
yaitu membentuk respon imun dan melawan antigen yang berada di dalam darah.
Limpa akan membuang bahan partikel dan sel darah yang sudah tua atau rusak,
terutama eritrosit dari sirkulasi. Sistem sirkulasi darah pada limpa memiliki fungsi
penting terhadap rangsangan antigen dan ekstraksi hemoglobin serta zat besi.
Limpa berperan penting dalam mengatasi infeksi malaria (clearance).
Cytoadherence merupakan salah satu cara Plasmodium untuk menghindari clearance
limpa dan digunakan sebagai mekanisme pertahanan Plasmodium untuk menghindari
sirkulasi darah. Cytoadherence menyebabkan oklusi pembuluh darah limpa dan
kerusakan organ limpa (Mohanty et al. 2006).
b. Siklus seksual
Siklus seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk nyamuk Anopheles betina
menghisap darah yang mengandung gametosit. Pada mikrogamet (jantan), sejumlah
6-8 inti sel akan bergerak ke tepi sel mikrogamet dan membentuk flagel atau filamen.
Pembuahan terjadi bila mikrogamet masuk ke dalam makrogamet sehingga terbentuk
zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet. Ookinet dapat
menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Di tempat ini ookinet
akan berkembang menjadi ookista (Garnham 1965).
Riset yang dilakukan oleh Wijayanti et al. (1997) menunjukkan bahwa infeksi
P. berghei pada mencit Swiss dapat menyebabkan kematian pada hospes. Imunitas
hospes muncul karena adanya sistem pada mencit. Imunitas mencit yang lebih tinggi
menyebabkan penurunan angka mortalitas mencit dan jumlah parasitemia yang
rendah. Patogen pada manusia dideteksi oleh sel-sel dari sistem imun innate seperti
sel dendritik, sel Natural Killer( NK), basofil, eosinofil, dan sel Mast melalui pattern
recognition receptors (PRRs), seperti Toll-like receptors (TLRs) dan
NOD-like
8
receptors (NLRs) (Takeuchi & Akira 2010). Interaksi antara hospes dan parasit ini
dapat mengurangi jumlah parasit dan merangsang sistem immune adaptive( sel B dan
sel T) yang akan mengenali dan mengikat antigen asing melalui ekspresi reseptor
pada permukaan sel ( Palm & Medzhitov 2009). Siklus hidup Plasmodium dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 Siklus hidup Plasmodium sp
Kematian sel terprogam (apoptosis) pada awal perkembangan Plasmodium di
dalam tubuh vektor digunakan untuk regulasi infeksi parasit. Hal ini akan
mempengaruhi kelangsungan hidup parasit. Zigot dan ookinet P.berghei yang sudah
mati ditunjukkan dengan peningkatan apoptosis sel di dalam lumen midgut. Infeksi
Plasmodium menginduksi terjadinya apoptosis pada sel-sel dari jaringan midgut dan
epitel folikuler (Hurd &Carter 2004).
2. Iradiasi sinar gamma
Radiasi adalah energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau
gelombang. Iradiasi merupakan radiasi yang sengaja dilakukan oleh manusia untuk
tujuan tertentu. Radiasi pengion merupakan salah satu bentuk radiasi yang
menyebabkan munculnya partikel bermuatan listrik. Radiasi sinar-X, sinar gamma,
9
alfa, dan beta termasuk jenis radiasi pengion. Radiasi pengion berinteraksi dengan
sistem seluler melalui pengubahan struktur, fungsi, dan respon sel terhadap produk
seluler (Nikjoo 2003).
Radiasi sinar gamma pada sel mempunyai efek secara tidak langsung
(stokastik) maupun langsung (deterministik). Efek langsung dapat ditandai dengan
kematian sel ataupun pemutusan ikatan senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung
terjadi karena sebagian besar penyusun sel adalah air. Radiasi gamma menyebabkan
air terhidrolisis menghasilkan radikal bebas yang akan merusak sel termasuk DNA
pada sel. Interaksi radiasi dengan DNA menyebabkan kerusakan DNA seperti single
strand break (SSB), double strand break (DSB), base damage (BD) dan lain-lain.
Kerusakan tingkat molekul disebabkan oleh deposisi energi, produksi ionisasi,
eksitasi oleh molekul yang berasal dari reaksi fisika dan spesies radikal, produk
molekul yang lain yang berasal dari reaksi kimia (Nikjoo 2003).
Sinar gamma sudah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang penelitian.
Iradiasi sinar gamma dimanfaatkan dalam bidang pangan seperti menginaktivasi
bakteri patogen pada produk makanan (Gunes et al. 2011). Selain itu iradiasi sinar
gamma juga dimanfaatkan dalam bidang vaksin. Penelitian Sanakkalaya et al (2005)
menunjukkan bahwa iradiasi gamma dapat menurunkan kemampuan replikatif bakteri
yang bisa digunakan sebagai alternatif vaksin untuk menginduksi imunitas protektif
dari infeksi Brucella abortus. Sinar gamma juga dimanfaatkan dalam penelitian
bahan vaksin mastitis dengan cara diinaktivasi tanpa merusak protein secara
keseluruhan
(Hermanto et al. 2008 ). Teknik radiasi pengion digunakan untuk
pembuatan vaksin malaria untuk mencegah infeksi P. berghei pada stadium eritrositik
(Tetriana et al. 2008). Hal ini disebabkan teknik iradiasi lebih menguntungkan
karena respon imun lebih kuat dan luas dalam inang setelah pemberian vaksin.
Pemanfaatan radiasi pengion dalam pembuatan vaksin malaria telah
dilakukan. Tujuan utamanya adalah menentuan dosis yang tepat untuk melemahkan
Plasmodium. Dosis radiasi gamma 150 Gy menyebabkan perubahan profil protein
yaitu hilangnya protein pada kisaran 15 kDa (Tetriana et al. 2008). Iradiasi dengan
dosis 150-200 Gy merupakan stadium paling efektif untuk melemahkan Plasmodium
10
pada stadium sporozoit. Hal ini dibuktikan oleh berkurangnya kemampuan infeksi
Plasmodium sampai ke sel-sel hati.
3. Analisis DNA dengan Teknik Nested-PCR
a. Molekul DNA
DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik dan berfungsi
untuk mengatur perkembangan biologis seluruh bentuk kehidupan secara seluler.
DNA di dalam sel berupa DNA mitokondria, DNA kloroplas dan DNA inti.
Keseluruhan DNA yang menyusun masing- masing komponen disebut DNA genom
(Muladno 2002).
P. berghei memiliki 14 kromosom. Secara analisis molekuler P. berghei sama
seperti Plasmodium yang menginfeksi manusia. P. berghei mempunyai genom
berukuran 2,3-2,4 x107 pb. DNA inti P. berghei mengandung (A+T) yang tinggi
sekitar 82% yang tersebar pada DNA koding dan DNA non-koding. Genom P.
berghei mengandung (G+C) sekitar 25-30 %. Plasmodium mempunyai sekitar 5300
gen yang mengkode berbagai protein yang berperan dalam metabolisme, transpor
materi organik, replikasi-perbaikan-rekombinasi DNA dan lain-lain. Selain itu parasit
mempunyai gen pengkode enzim sebagai biokatalis dan transport protein (Gardner et
al. 2002).
b. Teknik Nested-Polymerase Chain Reaction
Teknik PCR telah digunakan untuk mendeteksi berbagai penyakit infeksi
(Sulistyaningsih 2007). Nested-PCR merupakan metode amplifikasi sekuens DNA
yang spesifik secara invitro. Teknik ini menggunakan dua kali proses amplifikasi
dengan 2 pasang primer yang spesifik. Pasangan primer pertama
berfungsi
menggandakan fragmen seperti PCR standar, sedangkan pasangan primer kedua
berfungsi untuk memperkuat suatu fragmen DNA produk PCR pertama. Keuntungan
dari nested PCR adalah jika terdapat kesalahan amplifikasi fragmen, maka akan
diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh sepasang primer pada nested-2.
Amplifikasi metode
PCR memerlukan beberapa macam bahan yaitu: a)
primer, suatu oligonukleotida tunggal yang sekuensnya berkomplemen dengan
11
cetakan DNA dan panjangnya antara 18-30 basa, b) enzim Taq DNA polymerase, c)
dNTPs (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), DNA target, akuabides, dan buffer PCR yang di
dalamnya sudah terdapat garam magnesium (Sulandari & Zein 2003). Prinsip PCR
ada tiga, yaitu denaturasi yang berarti pemutusan untai ganda menjadi untai tunggal,
annealing yakni penempelan primer pada tempat yang spesifik dan elongasi yaitu
pemanjangan primer dengan bantuan enzim DNA polymerase membentuk untaian
DNA. Ilustrasi PCR dapat dilihat pada gambar 2.
Whole genom
(a)
Target gene sequence
First PCR amplification
(b)
Second PCR amplification
(c)
Gambar 2 Gambaran skematis nested-PCR( Pooe 2011)
Nested-PCR adalah teknik yang lebih akurat dibandingkan pemeriksaan
mikroskopis. Nurhayati et al. (2009) mengkaji tentang penggunakan mikroskop yang
selama ini menjadi standar emas (gold standar) dalam pemeriksaan Plasmodium yang
dinilai sekarang kurang akurat. Diagnosis parasit tidak cukup hanya mengandalkan
teknik mikroskopis saja dikarenakan perubahan morfologi dan munculnya berbagai
strain baru yang disebabkan obat anti-malaria yang digunakan secara tidak tepat
sehingga parasit menjadi resisten terhadap obat.
12
Berbagai jenis Plasmodium dapat dibedakan dalam beberapa tahap
perkembangannya. Plasmodium dapat dibedakan melalui bentuk skizon, trofozoit,
dan bentuk gametosit. Setiap Plasmodium mempunyai bentuk spesifik tetapi
pemeriksaan mikroskopis masih cukup sulit dan membutuhkan ketelitian yang tinggi.
Selain pemeriksaan mikroskopis juga digunakan metode immunokromatografi yang
lebih mudah, cepat dan ekonomis dibandingkan secara mikroskopis tetapi
keakuratannya masih kurang jika dibandingkan dengan PCR (Arum et al. 2006).
Contoh elektroforegram nested-2 dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Produk amplifikasi nested-2 Plasmodium sp dari sampel darah (Singh et al.
1999)
Metode lain untuk mendeteksi protein atau asam nukleat telah dikembangkan.
Teknik dip-stick digunakan untuk mendeteksi secara immunoenzimatik protein yang
kaya histidin II yang spesifik pada P. falciparum. Selain itu deteksi berdasarkan
asam nukleat yakni hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensivitasnya
ditingkatkan dengan PCR juga dikembangkan. Kelebihan menggunakan PCR adalah
dapat mendeteksi Plasmodium dalam tingkat infeksi ringan dengan hasil yang lebih
akurat (Saiwichai et al. 2009).
13
B. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan permasalahan tersebut di atas, maka
hipotesisnya adalah bahwa iradiasi sinar gamma dapat menurunkan daya infektivitas
P. berghei pada tubuh mencit sehingga tidak terdeteksi saat diuji menggunakan
nested-Polymerase chain Reaction.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Bidang
Biomedika, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR),
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jl. Lebakbulus Raya No. 49 Pasar
Jum’at ,Jakarta Selatan, mulai bulan Mei sampai Agustus 2012.
B.
Subyek Penelitian
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit strain Swiss
Webster jantan. Sampel yang digunakan yaitu mencit strain Swiss Webster jantan
berumur ±2 bulan dengan berat badan sekitar 35 gram, diperoleh dari Pusat
Penyakit Tropis, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan Jakarta.
C.
Variabel Penelitian
1. Variabel bebas: dosis radiasi dan nested-PCR.
2. Variabel Tergantung: daya infektivitas mencit
3. Variabel kendali: umur dan berat badan mencit.
D.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental untuk menguji daya
infektivitas P. berghei iradiasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dosis
radiasi 0 Gy dan 175 Gy. Dosis 175 Gy dapat menurunkan daya infeksi P.
berghei pada mencit. Hati dan limpa diambil dari mencit yang telah diinfeksi P.
berghei 0 Gy satu kali suntikan, dosis 175 Gy satu kali suntikan dan dosis 175 Gy
dua kali suntikan (booster). Suntikan kedua dilakukan untuk meningkatkan daya
imun mencit sehingga diharapkan P. berghei dapat dinetralisir oleh sistem imun
yang dipicu parasit iradiasi. Bagian organ yang diuji diambil dari 3 titik yang
berbeda dan dianggap sebagai 3 kali ulangan. Kontrol yang digunakan adalah
ekstrak DNA P. berghei yang didapatkan dari Laboratorium Malaria, Lembaga
Biologi Molekuler Eijkman Jakarta. Rancangan penelitian disajikan pada Gambar
4.
14
15
penginfeksian P. berghei (±1x106 parasit inokulum stadium eritrositik)
pada mencit secara intraperitoneal.
Setelah 2 hari diamati,pengamatan parasitemia diamati sampai
didapatkan ±10% parasitemia
Penggigitan mencit terinfeksi oleh nyamuk Anopheles sp
Pemeliharaan nyamuk selama 14-16 hari
Diiradiasi 175 Gy selama 30 menit
Tidak diiradiasi(0 Gy)
Isolasi sporozoit
Isolasi sporozoit
Dilarutkan NaCl 0,9%
Dilarutkan NaCl 0,9%
Infeksi 100µl isolat sporozoit
ke dalam tubuh mencit
Infeksi 100µl isolat
sporozoit ke dalam
tubuh mencit
Infeksi 100µl isolat
sporozoit ke dalam
tubuh mencit
Setelah 2 minggu infeksi kedua (booster)
100µl isolat sporozoit ke tubuh mencit
Organ diambil 2
bulan setelah infeksi
Organ diambil 2 bulan
setelah booster
Organ diambil 2
bulan setelah infeksi
Hati
mencit
Limpa
mencit
Hati
mencit
Limpa
mencit
Hati
mencit
Limpa
mencit
Isolasi
DNA
Isolasi
DNA
Isolasi
DNA
Isolasi
DNA
Isolasi
DNA
Isolasi
DNA
Nested
PCR
Nested
PCR
Nested
PCR
Nested
PCR
Nested
PCR
Nested
PCR
Gambar 4 Rancangan penelitian.
16
E.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian berturut-turut disajikan pada
Tabel 1:
Tabel 1 Alat penelitian
No
1.
2.
3.
4.
5.
Uraian
Pengambilan sampel organ
Penyimpanan sampel organ
Isolasi DNA
Alat
Alat bedah, pinset, plastik steril
Freezer (-20°C)
Latex glove, pisau silet, pinset, neraca
Ohaus Pioneer TM, microtube 1,5 ml, rak
microtube, dry bath, microcentrifuge
survall Legend MICRO 17 R, kotak
sampel, tip kuning & biru, lemari
pendingin Sharp(-20°C), inkubator dan
vortex Labnet®, mikropipet Eppendorf,
tabung QIAamp Mini Spin.
Elektroforesis hasil isolasi dan Rak microtube, well forming combs,
amplifikasi DNA
horizontal elektroforesis Mupid ®-eXu,
Gel docTM XR+ with Image LabTM soft
ware, Hot plate Cimarec®, tip kuning &
putih, mikropipet Eppendorf .
Amplifikasi DNA
GeneAmp® PCR System 9700 Applied
Biosystem, microtube 0,2 µl, mikropipet
Eppendorf,
tip
kuning&
putih,
microcentrifuge survall Legend MICRO 17
R, vortex.
Tabel 2 Bahan Penelitian
No
1.
2.
3.
Uraian
Isolasi DNA
Bahan
Tissue Lysis Buffer, Proteinase K, Lysis
Buffer, Wash Buffer (1), Wash Buffer (2),
Elution Buffer, Etanol Absolut, Etanol 80%,
RNase, Tris-EDTA.
Elektroforesis hasil isolasi UltrapureTM Agarose InvitrogenTM , EtBr
dan amplifikasi DNA
aMResco®, Bufer TBE 0,5X, loading buffer
Invitrogen®, DNA ladder aMResco®,
parafilm M®, shaker DRS-12
Amplifikasi DNA
Primer (rPLU1, rPLU5, Primer rPLU3,
rPLU4) Invitrogen®, dNTPs Applied
Biosystem®, Enzim taq polymerase Applied
MgCl2 Applied
Biosystem®,
ddH2O,
Biosystem®,, Buffer A
17
F.
Prosedur Penelitian
a. Perolehan sporozoit dan isolasinya.
Sporozoit diperoleh dengan terlebih dahulu melakukan penginfeksian
secara intraperitoneal P. berghei (±1x106 parasit inokulum stadium eritrositik)
pada mencit dan 2 hari kemudian diamati parasitemia dalam darah mencit setiap
hari dengan mengambil darah perifer dari ujung ekor. Setelah diperoleh
parasitemia ±10%, mencit terinfeksi diletakkan dalam kandang nyamuk
Anopheles sp. dan dibiarkan nyamuk mengigit mencit. Nyamuk yang
mengkonsumsi darah (terinfeksi) dipelihara selama 14-16 hari dalam kandang
khusus untuk memperoleh sporozoit. Nyamuk tersebut diiradiasi sinar gamma
dosis 0 dan 175 Gy selama 30 menit. Isolasi kelenjar ludah nyamuk yang
mengandung sporozoit dilakukan dengan membedah nyamuk menurut prosedur
standar. Isolat dilarutkan dalam NaCl 0,9%. Isolat kelenjar ludah kemudian
disuntikkan secara intravena pada 3 mencit sehat melalui ekornya sebanyak
100µl setiap kali penyuntikan. Untuk beberapa perlakukan, penyuntikan kelenjar
ludah mengandung sporozoit ini diulangi 2 minggu kemudian (booster).
b. Isolasi DNA hati dan limpa mencit.
Isolasi DNA dilakukan menggunakan kit QIAGEN. Sampel hati 25 mg
dan limpa 10 mg dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan
pinset. Sampel dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml dan ditambahkan 180 µl
tissue lysis buffer. Selanjutnya sampel ditambahkan 20 µl Proteinase-K, divorteks,
dan diinkubasi pada suhu 56°C selama 1 jam sampai jaringan mengalami lisis.
Selama waktu inkubasi dilakukan 2-3 kali vorteks . Pengendapan pelet dilakukan
dengan cara disentrifus sebentar. Kemudian ditambahkan 4 µl RNA-se (100
mg/ml), divorteks 15 detik dan diinkubasi 2 menit pada suhu kamar. Kemudian
pada tabung ditambahkan 200 µl lysis buffer, lalu divorteks lagi selama 15 detik,
diinkubasi pada suhu 70°C selama 10 menit. Selanjutnya tabung ditambahkan 200
µl etanol absolut, divorteks lagi selama 15 detik, disentrifus sebentar kemudian
18
dipindahkan dengan hati-hati ke dalam tabung QIAamp Mini Spin dan disentrifus
pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
Supernatan yang dihasilkan dipindahkan ke QIAamp Mini spin kolom
baru. Selanjutnya supernatan ditambahkan 500 µl buffer Wash buffer(1) tanpa
membasahi
dinding, disentrifus pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
Hasilnya dipindahkan ke dalam pada tabung QIAamp Mini spin yang bersih.
Kemudian supernatan ditambahkan 500 µl wash buffer(2) tanpa membasahi
dinding, disentrifus pada kecepatan 14000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang
dihasilkan dipindahkan pada tabung QIAamp Mini spin yang bersih dan
disentrifus lagi pada kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Pada tahap ini sudah
didapatkan ekstrak DNA. Tabung QIAamp Mini spin ditempatkan pada tabung
1,5 ml kemudian ditambahkan 80 µl elution buffer dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 5 menit, disentrifus pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
Ekstrak DNA yang sudah didapatkan kemudian disimpan pada suhu -20°C.
c. Amplifikasi DNA
Tahap PCR untuk deteksi Plasmodium menggunakan 2 kali PCR yakni
nested-1 dan nested-2. Nested-2 dilakukan setelah diketahui hasil PCR pada
nested-1. Primer yang digunakan untuk nested-1 adalah rPLU1 & rPLU5 dengan
ukuran panjang DNA target sebesar 1640 bp (Michael 2005) sedangkan primer
pada nested-2 adalah rPLU3 & rPLU4 dengan ukuran panjang DNA target
sebesar 240 bp (Singh et al.1999). Produk PCR adalah gen 50S ribosomal sub
unit L21.
PCR nested-1
menggunakan primer rPLU1 sebagai primer F dengan
panjang 24 basa dan urutan basa 5’-TCA AAG ATT AAG CCA TGC AAG
TGA-3’, sedangkan rPLU 5 sebagai primer R dengan panjang 21 basa dan urutan
basanya adalah 5’-CCT GTT GTT GCC TTA AAC TCC-3’. Pada Nested-2,
rPLU3 sebagai primer F mempunyai panjang 30 basa dengan urutan 5’-TTT TTA
TAA GGA TAA CTA CGG AAA AGC TGT-3’ sedangkan rPLU4 sebagai
19
primer R mempunyai panjang 30 basa dengan urutan 5’-TAC CCG TCA TAG
CCA TGT TAG GCC ATT ACC-3’.
Langkah awal
adalah membuat larutan mix PCR dengan komposisi
sebagai berikut. Perbandingan distillated water adalah 17,75 µl; Buffer A
sebanyak 2,5µl ; MgCl2 1µl; dNTPs 0,5µl; primer F 0,25µl; primer R 0,25µl; Taq
polymerase 0,25µl.
Semua komponen yang sudah dicampur di dalam tabung kemudian
divorteks dan disentrifus sebentar. Setiap tabung PCR diisi campuran tersebut
sebanyak 22,5 µl. Sebanyak 3 µl ekstrak DNA dimasukkan ke dalam masingmasing tabung PCR dan diberi label. Tabung divorteks sebentar agar tidak ada
komponen yang menempel pada dinding tabung. Kemudian semua tabung
dimasukkan ke dalam mesin PCR (GeneAmp® PCR System 9700 Applied
Biosystem) yang sudah dihidupkan terlebih dahulu.
Kondisi PCR yang digunakan adalah sebagai berikut.
Kondisi PCR untuk nested-1:
a) Pre denaturasi pada suhu 94°C selama 4 menit.
b) Siklus sebanyak 29 kali terdiri denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik,
annealing pada suhu 55°C selama 1 menit, dan elongasi pada suhu 72°C
selama 1 menit.
c) Post elongasi pada suhu 72°C selama 4 menit.
Kondisi untuk nested-2:
a) Pre denaturasi pada suhu 94°C selama 4 menit
b) Siklus sebanyak 30 kali terdiri dari denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik,
annealing pada suhu 62°C selama 1 menit, dan elongasi pada suhu 72°C
selama 1 menit
c) Post elongasi pada suhu 72°C selama 4 menit.
20
d. Elektroforesis gel agaros hasil isolasi dan amplifikasi DNA
Elektroforesis dilakukan pada ekstrak DNA dan sampel produk PCR.
menggunakan gel agaros 2%. Produk ekstraksi DNA dielektroforesis dengan
perbandingan sampel : loading buffer adalah 4: 2. Produk PCR dielektroforesis
dengan perbandingan sampel : loading buffer adalah 8: 3. Sampel yang sudah
dicampur dengan loading buffer dimasukkan ke dalam sumur gel agaros yang
direndam dalam TBE 0,5 X. Gel kemudian di-running selama 30 menit pada 50
Volt. Selanjutnya gel direndam dengan larutan yang mengandung ethidium
bromide (EtBr) selama 15 menit sambil digoyang menggunakan shaker dan
direndam dengan aquades sambil digoyang selama 10 menit. Visualisasi pita
dilakukan DNA menggunakan Gel Doc yang sudah dilengkapi software Image
Lab.
G.
Data dan Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil pengamatan
panjang fragmen pita-pita DNA produk PCR. Jika terdapat pita DNA spesifik
dari sampel yang teramplifikasi dan DNA target berukuran sesuai dengan primer
yang digunakan, maka sampel tersebut mengandung parasit P. berghei. Data
pada hati dan limpa yang didapatkan dimasukkan ke dalam Tabel 3.
Tabel 3 Hal amplifikasi DNA pada hati dan limpa mencit.
No
Dosis
Ulangan I
Hati
1.
2.
3.
H.
Limpa
Ulangan II
Hati
Limpa
Ulangan III
Hati
Limpa
Kontrol
positif
Hati Limpa
Kontrol
negatif
Hati Limpa
0 Gy
175 Gy
175Gy
booster
Analisa Data
Pita-pita DNA yang tampak pada gel hasil elektroforesis dibandingkan
dengan pita DNA pada kontrol positif dan dianalisis secara deskriptif kualitatif
untuk menentukan ada tidaknya P. berghei pada organ hati dan limpa.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada 3 titik yang berbeda pada hati dan
limpa secara acak. Hal tersebut dianggap sebagai 3 kali ulangan isolasi DNA pada
masing-masing sampel. Sebelum dilakukan amplifikasi DNA dengan nested-PCR,
dilakukan pemeriksaan terhadap kandungan DNA genom pada semua sampel hasil
isolasi. Keberadaan/kandungan isolat DNA kemudian dicek menggunakan
elektroforesis gel agaros 2%. Elektroferogram hasil isolasi DNA disajikan pada
Gambar 5. Tampak bahwa isolasi DNA menggunakan kit dari hati dan limpa
berhasil dengan baik, kecuali H1 (Hati 0 Gy) (Gambar 5a).
(a)
(b)
Gambar 5. Elektroforegram genom DNA pada gel agarose 2%. H1, Hati 0 Gy; L1, Limpa
0 Gy; H2, Hati 175 Gy dengan booster; L2, Limpa 175 Gy dengan booster;
H3, Hati 175 Gy tanpa booster; dan L3, 175 Gy tanpa booster.
Hasil isolasi DNA dari sampel hati dan limpa kemudian diamplifikasi
menggunakan nested-PCR. Metode ini telah banyak digunakan pada penelitian
21
22
penyebab penyakit infeksi seperti Plasmodium (Sulistyaningsih 2007). NestedPCR adalah jenis PCR yang menggunakan dua kali proses PCR. Hasil PCR
nested-1 dicek menggunakan elektroforesis gel agaros 2%. Hasil amplifikasi pada
nested-1 mempunyai ukuran DNA target yang lebih besar dari nested-2 yaitu
sebesar 1640 bp (Michael 2005). Gen targetnya adalah 50S ribosomal protein L21.
Amplifikasi PCR menggunakan ekstrak DNA P. berghei sebagai kontrol positif.
Salah satu sumur pada gel agaros hanya diisi dengan mix PCR sebagai kontrol
negatif yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kontaminan selama proses
amplifikasi berlangsung. Elektroforegram hasil PCR nested-1 disajikan pada
Gambar 6.
(a)
(b)
Gambar 6 Elektroforegram nested-1 pada gel agarose 2%. M. Marker, H1. Hati
0Gy, L1. Limpa 0 Gy, H2. Hati 175 Gy dengan booster, L2. Limpa 175
Gy dengan booster, H3. Hati 175 Gy tanpa booster, L3. 175 Gy tanpa
booster, (K+) kontrol positif, (K-) kontrol negatif.
Data hasil PCR nested-1(Gambar 6) diketahui bahwa tidak ada DNA yang muncul
dan
terdeteksi
pada
gel
agarose.
Hal
ini
disebabkan
karena
terlalu
rendah/sedikitnya hasil DNA yang diamplifikasi. Ukuran DNA ini sangat besar
yakni 1640 bp (base pair).
23
Hasil amplifikasi DNA yang diperoleh dari nested-1 selanjutnya
diamplifikasi dengan PCR nested-2. PCR nested-2 digunakan untuk memfokuskan
wilayah amplifikasi pada nested-1. DNA target pada PCR nested-2 mempunyai
ukuran yang lebih kecil daripada nested-1 yaitu sebesar 240 bp (Singh et al.1999).
Gen targetnya adalah 50S ribosomal protein L21. PCR nested-1 dan nested-2
mempunyai gen target sama yaitu 50S ribosomal protein L21 karena nested-PCR
adalah PCR bersarang yaitu daerah produk PCR nested-2 berada di dalam produk
PCR nested-1. Produk PCR nested-1 merupakan daerah genus Plasmodium
sedangkan produk PCR nested-2 adalah daerah spesies spesifik. Elektroforegram
hasil PCR nested-2 menggunakan gel agaros 2% disajikan pada Gambar 7 & Tabel
4.
240
(a)
(b)
240 bp
240 bp
(c)
Gambar 7 Elektroforegram nested-2 pada gel agaros 2%. M. Marker, (a) H1. Hati
0Gy, L1. Limpa 0 Gy , (b) H2. Hati 175 Gy dengan booster, L2. Limpa
175 Gy dengan booster, (c) H3. Hati 175 Gy tanpa booster, L3. 175 Gy
tanpa booster, (K+) kontrol positif, (K-) kontrol negatif.
24
Tabel 4. Data elektroforegram hasil PCR nested-2
Organ yang diambil
Hati 0 Gy
Limpa 0 Gy
Kontrol positif
Kontrol negatif
Hati 175 Gy tanpa booster
Limpa 175Gy tanpa booster
Kontrol positif
Kontrol negatif
Marker
Hati 175 Gy dengan booster
Limpa 175 Gy dengan booster
Kontrol positif
Kontrol negatif
Kode
Sampel
H1
H1
H1
L1
L1
L1
K+
KH2
H2
H2
L2
L2
L2
K+
KM
H3
H3
H3
L3
L3
L3
K+
K-
Ada/tidaknya pita
DNA(240bp)
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Ada
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Ada/tidaknya
P. berghei
+
+
+
-
Keterangan:(+) = ada pendaran pita DNA ; (-) = tidak ada pendaran pita DNA
B. Pembahasan
1. Pemeriksaan DNA genom
DNA
diperiksa
menggunakan
teknik
elektroforesis
yang
akan
menunjukkan pita DNA pada gel dalam larutan penyangga. Migrasi pita DNA
pada pH netral bergerak dari kutub negatif menuju kutub positif. Pita DNA
berukuran besar berjalan lebih lambat dibanding DNA berukuran kecil. Hasil
ekstrak DNA yang didapatkan mempunyai ukuran DNA yang besar karena
merupakan DNA genom sampel hati dan limpa mencit. Ukuran DNA genom yang
didapatkan tidak diukur sehingga tidak diketahui besarnya ukuran genom hati dan
limpa mencit. Selain ukuran DNA, kecepatan migrasi DNA dipengaruhi oleh
25
konsentrasi agarose, voltase, ethidium bromide dan komposisi larutan bufer
(Muladno 2002).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kualitas DNA yang telah
disimpan sebelum dilakukan proses PCR. DNA berkualitas baik ditunjukkan oleh
pita yang kompak dan tidak terdapat smear. Smear merupakan DNA yang
terpotong-potong dan berukuran kecil. Smear juga dapat disebabkan oleh
kemurnian DNA hasil isolasi yang rendah. Hasil pemeriksaan DNA dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel terdapat smear. Salah
satu sampel hati 0 Gy tidak terdapat DNA sehingga isolasi DNA pada sampel
tersebut diulang kembali (Gambar 5). Kualitas DNA akan mempengaruhi DNA
target yang diinginkan.
Kualitas koleksi DNA yang baik dapat disebabkan adanya beberapa faktor,
antara lain penyimpanan DNA menggunakan buffer dan pada suhu dibawah -20oC.
Penyimpanan ekstrak DNA biasanya menggunakan elution buffer. Penyimpanan
DNA dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi kualitas DNA.
Penyimpanan pada suhu dingin atau kondisi beku lebih efektif untuk
mempertahankan DNA, seperti dinyatakan oleh Zetzsche dan Gemeinholzer
(2009) bahwa penyimpanan suhu -20 oC lebih baik dibandingkan suhu -4 oC.
2.
Amplifikasi P. berghei iradiasi pada hati dan limpa mencit tahap nested-1
Nested-PCR merupakan proses amplifikasi ganda menggunakan dua
pasang primer. Tahapan nested-PCR terdiri dari nested-1 dan nested-2. Nested-1
menggunakan primer rPLU1 dan rPLU5 sedangkan nested-2 menggunakan
pasangan primer rPLU3 dan rPLU4. Primer ini merupakan titik awal dimulainya
penggandaan DNA dalam proses PCR hingga didapatkan segmen DNA dengan
ukuran 1640 bp untuk nested-1 dan 240 bp untuk nested-2.
Hasil amplifikasi nested-1 menunjukkan bahwa tidak ada pita yang muncul
pada sampel setelah dielektroforesis. Pita hanya tampak pada marker sedangkan
pada sampel dan kontrol positif tidak terdapat pendaran pita DNA target. Hal ini
disebabkan komposisi mix PCR yang kurang tepat. Konsentrasi primer yang
26
terlalu tinggi menyebabkan kesalahan penempelan sekuens DNA sehingga hasil
amplifikasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya apabila konsentrasi
primer yang digunakan terlalu rendah akan menyebabkan hasil amplifikasi yang
didapatkan sangat sedikit (Muladno 2002).
Komposisi pre-mix PCR yang digunakan antara nested-1 dan nested-2
mempunyai perbandingan yang sama, sedangkan DNA target antara keduanya
berbeda. Nested-1 mempunyai DNA target sebesar 1640bp sedangkan nested-2
sebesar 240bp. Kurangnya komponen (pereaksi PCR, khususnya enzim Taq) untuk
menyusun fragmen DNA berukuran 1640 bp menyebabkan tidak munculnya pita
pada kontrol positif. Kontrol negatif menunjukkan bahwa hasil PCR tidak
diperoleh pita sehingga dapat dipastikan tidak terjadi kontaminasi.
3. Amplifikasi DNA P. berghei iradiasi pada hati dan limpa tahap nested-2
Meskipun pada nested-1 tidak menunjukkan hasil amplifikasi baik untuk
sampel maupun kontrol positif, tetapi belum tentu pada nested-2 tidak muncul
produk gen target. Amplifikasi nested-2 tetap dilanjutkan menggunakan hasil PCR
nested-1 sebagai DNA cetakan.
Analisa data nested-2 (Tabel 4) menunjukkan bahwa sampel hati maupun
limpa tidak ada yang mengandung P. berghei. Dosis 0 Gy menunjukkan bahwa
pada hati dan limpa mencit tersebut tidak mengandung P. berghei. Hal ini
dimungkinkan karena isolat yang diinfeksikan ke dalam tubuh mencit tidak
mengandung P. berghei. Tidak semua tubuh nyamuk yang dibiakkan dilakukan
pemeriksaan ada tidaknya P. berghei di dalam tubuhnya tetapi hanya sebagian
nyamuk saja yang diperiksa. Selain itu, tidak diketahui secara pasti jumlah P.
berghei iradiasi yang diinfeksikan ke dalam tubuh nyamuk karena penginfeksian
dalam bentuk isolat tubuh nyamuk.
Dosis iradiasi 175 Gy diharapkan sifat infektif parasit sudah melemah
sehingga tidak dapat menembus hati. Iradiasi sinar gamma pada parasit
menyebabkan kerusakan materi genetik parasit. Hal ini menyebabkan daya
infektifnya berkurang walaupun masih dapat melakukan proses biokimia atau
27
biologi lainnya, demikian juga dengan dosis 175 Gy booster. Booster bertujuan
untuk meningkatkan daya imun mencit sehingga imunitasnya lebih tinggi
daripada tanpa booster. Hasil PCR nested-2 dosis 175 Gy baik hati maupun limpa
ternyata sesuai dengan yang diharapkan.
Sirkulasi darah merupakan tempat pertama P. berghei masuk ke dalam
tubuh hospes yaitu dalam bentuk sporozoit. Sel-sel dari sistem imun innate adalah
pertahanan tubuh pertama yang melawan mikroorganisme. Setelah terjadi
fagositosis, antigen akan diproses dan muncul peptida major histocompability
complex( MHC) (Schmidt 2011). Sebagian sporozoit yang lolos akan menuju ke
organ hati. Sporozoit masuk ke dalam lumen sinusoidal searah atau melawan
aliran darah. Sporozoit ini dapat menyerang sel Kupffer. Sel Kupffer adalah
makrofag yang ada di dalam hati. Jika berhasil melewati sel Kupffer sporozoit
akan melewati ruang Disse untuk menginfeksi hepatosit. Iradiasi yang diberikan
membuat sporozoit lemah sehingga sulit untuk melawan sel Kupffer (Frevert et al.
2005).
Selain hati, limpa digunakan untuk identifikasi adanya infeksi Plasmodium.
Limpa berfungsi melawan antigen yang berada di darah. Limpa akan membuang
bahan partikel asing dan sel darah yang tua atau rusak. Sel darah yang terinfeksi
akan dihancurkan oleh sistem imun di limpa. Plasmodium mempunyai sistem
pertahanan untuk menghindari sistem imun limpa. Plasmodium yang lolos dari
sistem imun limpa menyebabkan oklusi pembuluh darah di dalam limpa sehingga
limpa akan membesar (Mohanty et al. 2005).
Meskipun nested-1 pada kontrol positif tidak muncul pita DNA tetapi
setelah dilanjutkan nested-2 terdapat produk amplifikasi dengan ukuran sebesar
240 bp. Tidak terdeteksinya DNA ini dapat disebabkan oleh tidak adanya DNA
parasit dalam sampel. Proses lisis sel secara mekanik kurang maksimal karena
penghancuran jaringan dengan cara dijepit menggunakan pinset. Kemungkinan
tersebut dapat terjadi karena sampel dalam penelitian ini berupa organ yaitu hati
dan limpa yang mempunyai jumlah parasit lebih sedikit dibandingkan dengan
sampel darah, sedangkan pada kontrol positif sebagai DNA pada parasit P.
28
berghei murni dan bukan di dalam organ. Singh et al. (1999) menyatakan bahwa
kemampuan PCR untuk mendeteksi tingkat parasitemia yang sedikit lebih dapat
dipercaya daripada secara mikroskopis.
Kemampuan infeksi parasit juga dipengaruhi oleh cara infeksinya.
Vaughan et al. (1999) menyatakan bahwa tingkat infeksi gigitan alami nyamuk
lebih besar daripada melalui inokulasi intravena. Penelitian ini menggunakan
infeksi intravena sehingga kemampuan infeksinya lebih rendah dibandingkan
secara alami. Darah perifer merupakan tempat pertama masuknya P. berghei ke
dalam tubuh manusia. Parasit yang masuk ke peredaran darah sebagian akan
difagositosis oleh sel neutrofil. Jumlah sel parasit yang berhasil lolos dari
peredaran darah lebih sedikit karena dipengaruhi oleh kemampuan infeksius
parasit tersebut serta reaksi individual terhadap infeksi P. berghei tidak sama. Ada
berbagai faktor ang mempengaruhi, seperti variasi genetik, metabolisme, dan
sistem imun masing-masing hospes (Miller et al. 2002). Parasit yang berhasil
lolos akan memasuki organ hati untuk melanjutkan siklus hidupnya.
DNA P. berghei tidak diiradiasi ditemukan di dalam limpa 5 jam setelah
infeksi, tetapi dalam waktu 25 jam intensitasnya berkurang karena parasit ini telah
dihancurkan oleh sel-sel makrofag limpa (Ferreira et al. 1986). Limpa merupakan
tempat berkumpulnya limfosit-limfosit aktif yang masuk ke dalam darah. Limpa
memberikan reaksi yang cepat terhadap antigen yang dibawa oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dalam darah. Limpa berfungsi sebagai organ aktivasi sistem
imun adaptif oleh sebab itu limpa merupakan filter imunogenik dari sistem
sirkulasi( Iskandar et al. 2006).
Pembesaran limpa merupakan petunjuk adanya infeksi Plasmodium. Selain
itu infeksi menyebabkan perubahan warna hati dan limpa menjadi coklat
kehitaman karena parasit mengeluarkan pigmen hemozoin. Hemozoin merupakan
produk detoksifikasi parasit yang dilepaskan ke dalam peredaran darah ketika
eritrosit terinfeksi sudah matang. Hemozoin digunakan oleh parasit untuk
menghambat fungsi monosit dan tidak bisa berdiferensiasi menjadi sel dendritik
(Schmidt 2011).Sampel yang digunakan baik hati maupun limpa dalam penelitian
29
ini tidak mengalami pembesaran ataupun perubahan warna menjadi gelap tetapi
masih berwarna merah seperti hati dan limpa normal. Sampel hati dengan tanpa
radiasi
seharusnya
mengalami
hapatomegali
dan
splenomegali
karena
kemampuan infeksi parasit lebih tinggi dibandingkan dengan parasit yang
diiradiasi (Darlina & D Tetriana, 2008).
Setiap penghancuran sel darah merah yang mengandung merozoit akan
merangsang
reaksi
humoral
dan
seluler.
Ini
menyebabkan
fagositosis
Plasmodium, sel yang diinfeksi, pigmen, dan sisa sel-sel histiosit bebas dan
makrofag dari sistem retikulo-endoteal khususnya limpa akan semakin membesar.
Penimbunan pigmen oleh parasit selama pertumbuhan di eritrosit memberi warna
kelabu pada organ hati dan ginjal (Brown 1979), sedangkan pada sampel tidak
menunjukkan adanya perubahan warna pada hati dan limpa. Hal ini disebabkan
karena adanya sistem imun yang dimediasi oleh sel T yang dipicu oleh pemberian
parasit iradiasi.
Sel T adalah sel di dalam salah satu grup sel darah putih yang diketahui
sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada kekebalan selular. Sel T
mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang
waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Sel T yang
telah disintesis dari kelenjar timus disebut sel T CD4+, akan terbawa oleh
sirkulasi darah hingga masuk ke dalam limpa dan bermigrasi ke dalam jaringan
limfatik, kemudian bermigrasi kembali ke dalam sirkulasi darah, hingga suatu
saat terjadi terstimulasi oleh antigen tertentu (Janeway et al. 2001). Sel ini
menyerang sel tubuh yang terinfeksi dan sel pathogen yang relatif besar secara
langsung.
Penggunaan sinar gamma untuk iradiasi parasit digunakan untuk
melemahkan daya infektivitas P. berghei di dalam siklus hidupnya dalam tubuh
mamalia (Syaifudin et al. 2008; Tetriana 2007). Iradiasi sinar gamma akan
mengurangi kemampuan Plasmodium untuk melanjutkan siklus hidupnya. Tidak
terdeteksinya Plasmodium pada hati dan limpa ini dapat disebabkan sel limfosit T
yang berperan dalam respon imun tubuh terhadap infeksi malaria. Setelah injeksi
30
parasit pasca iradiasi gamma, Plasmodium akan mengalir bersama darah dan akan
difagositosis oleh neutrofil. Neutrofil dapat memfagosit dan mempunyai lisosom
yang mengandung asam hidroksilase dan peroksidase untuk membunuh
mikroorganisme (Eales 1999). Kemampuan infeksi yang sudah dilemahkan atau
jumlah parasit yang sedikit menyebabkan parasit tidak mampu masuk ke dalam
sel-sel hati. Pada tahap ini siklus hidupnya terhenti sehingga tidak bisa terdeteksi
pada hati dan limpa.
31
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
P. berghei iradiasi tidak ditemukan pada hati dan limpa mencit (Mus musculus)
menggunakan metode nested-PCR. Hal ini berarti bahwa iradiasi gamma efektif
untuk menurunkan daya infektif P. berghei .
B. Saran
Penelitian tentang uji daya infektivitas P. berghei iradiasi menggunakan
nested-PCR perlu dilengkapi dengan pemeriksaan P. berghei iradiasi di dalam
tubuh nyamuk dan pengukuran jumlah sporozoit iradiasi yang diinfeksikan ke
dalam tubuh mencit. Cara lisis sel perlu menggunakan cara yang lebih maksimal
seperti penggerusan. Selain itu juga perlu dilengkapi dengan pengamatan
mikroskopis organ, apus darah untuk memastikan bahwa di dalam peredaran
darah terdapat parasit iradiasi yang diinginkan dan pengamatan serum untuk
deteksi kerusakan hati seperti serum alanine aminoransferase.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abeku TA. 2007. Response to malaria epidemic in Africa. Emergencing Infections
Diseases 13(5): 681-686.
Abraham EG & M Jacobs – Lorena. 2004. Mosquito midgut barries to malaria
parasite development. Insect Biochem Mol Biol 34 (7): 667-671.
on
line
Anonim.2011.Definition
of
Nested
PCR.
http://www.pcrstation.com/nested-pcr/ [diakses tanggal 20 April 2012].
at
Arum IL, AP Purwanto, S Arfi, H Tetrawindu, M Octora, Mulyanto, K Surayah &
Amanukarti. 2006. Uji diagnostik Plasmodium malaria menggunakan metode
imunkromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Indonesian Journal of clinical Pathology and Medical Laboratory 12(3): 118122.
Brown HW. 1979. Dasar Patologi Klinis. Penterjemah: Bintari Rukmono, Hoedojo,
Nani S. Djakaria, Siti Doemilah Soeprihatin, Sri S. Margono, Sri Oemijati,
Srisasi Ganda husada & Wita Pribadi. Jakarta: Gramedia.
Capurro M, de LJ Coleman, BT Beerntsen, KM Myles, KE Olson, E Rocha, AU
Krettli & AA James. 2000. Virus-expressed, recombinant single-chain
antibody blocks sporozoite infection of salivary glands in Plasmodium
gallinaceum-infected Aedes aegypti. Am J Trop Med Hyg. 62: 427-433.
Darlina & D Tetriana. 2008. Daya infeksi Plasmodium berghei stadium eritrositik
yang diirradiasi sinar gamma . on line at: www.batan.go.id[ diakses tanggal 20
April 2012].
Djanah SN. 2007. Jumlah dan aktivitas proliferasi limfosit lien mencit swiss jantan
yang diinfeksi Plasmodium berghei akibat pemberian 5 dan 100 mg/kgbb/hari
ekstrak etanol Phyllantus niruri. Kes Mas 1(1): 1-50.
Eales L. 1999. Immunology for lifescientist. Newyork: John Wiley & sons.
Ferreira A, Enea V, Morimoto T & Nussenzweig V. 1986. Infectivity of Plasmodium
berghei sporozoites measured with a DNA probe. Mol Biochem Parasitol
19(2): 103-109.
Frevert U, E Sabine, Z Sergine, S Jorg, Ng Bruce, M Kai , L Leonard & H Yee.
2005. Intravital observation of Plasmodium berghei infection of the liver.
PLoS Biology 3(6): 1034-1046.
Gardner MJ, N Hall, E Fung, O White, M Berriman, RW Hyman, JM Carlton, A Pain
, KE Nelson, S Bowman, IT Paulsen, K James, JA Eisen, K Rutherford, SL
Salzberg, A Craig, S Kyes, MS Chan, V Nene, SJ Shallom, B Suh, J Peterson,
S Angiuoli, M Pertea, J Allen, J Selengut, D Haft, MW Mather, AB Vaidya,
DM Martin, AH Fairlamb, MJ Fraunholz, DS Roos, SA Ralph, GI McFadden,
LM Cummings, GM Subramanian, C Mungall, JC Venter, DJ Carucci, SL
Hoffman, C Newbold, RW Davis, CM Fraser & B Barrell. 2002. Genome
sequence of the human malaria parasite Plasmodium falciparum. Natur
32
33
e 419(6906):498-511.Garnham PCC. 1965. The structure of early sporogenic stages
of Plasmodium berghei. Ann Soc belge Med trop 45(3): 259-266.
Ghosh A, P Srinivasan, EG Abraham, H Fujioka & M Jacobs-Lorena. 2003.
Molecular strategies to study Plasmodium- mosquito interactions. Trends
Parasitol 19 (2): 94-101.
Gunes G, N Yilmaz & A Ozturk. 2011. Effects of irradiation dose and O2 and CO2
concentrations in packages on foodborne pathogenic bacteria and quality of
ready-to-cook seasoned ground beef product (meatball) during refrigerated
storage. The ScientificWorld Journal 20(12): 1-7.
Hermanto S, I Sugoro & Akmalia. 2008. Profil protein Escherichia coli hasil
inaktivasi iradiasi gamma sebagai bahan vaksin mastitis. Depok: Prosiding
Seminar Nasional Biokimia UI.
Hoffman SL, LML Goh, TC Luke, I Schneider, TP Le, DL Doolan, J Sachi, P de la
Vega, M Dowler, C Paul, DM Gordon, JA Stoute, LWP Church, M Sedegah, DG
Heppener, WR Ballou & TL Richie. 2002. Protection of humans against malaria
by immunization with radiation-attenuated Plasmodium falciparum Sporozoites.
J Infect Diseases 185(8): 1155-1164.
Hurd H & V Carter. 2004. The role of programed cell death in Plasmodiummosquito interactions. Int J Parasitol 34 (13-14): 1459-1472.
Iqbal J, S Ali, R H Parsotam & R Al-Owaish. 1999. Comparison of the optimal test
with PCR for diagnosis of malaria in immigrants. Journal of Clinical
Microbiology 37(11): 3644-3646.
Iskandar T, DT Subekti & EF Diani. 2006. Gambaran splenosit, limpa, dan kekebalan
pada mencit galur BALB/C yang diberi allantoin dan diinfeksi Toxoplasma
gondii. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Balai
Penelitian Veteriner. Bogor.
Janeway CA, Jr P Travers, M Walport & MJ Shlomchik. 2001. Immunobiology: The
Immune System in Health and Disease. 5th edition, New York: Garland
Science.
Kanzo K SM & L Zheng. 2003. The mosquito genome-a turning point?. Trends
Parasitol 19 (8): 329-331.
Kappe SHI, K Kaiser & K Matuschewski. 2003. The Plasmodium sporozoite journey:
a rite of passage. TRENDS in Parassitology 19(3): 135-143.
Leids Universitair Medisch Centrum. The genome of P. berghei. On line at:
https://www.lumc.nl/con[ diakses tanggal 25 Januari 2013].
Michael JCR. 2005. Plasmodium sp infection in ex-captive Bornean orangutans
(Pongo pygmaeus) housed at the orangutans care center and quarantine, Padang
Panjang, Kalimantan Tengah, Indonesia. (Thesis). Departement of Archaeology,
Simon Fraser University.
Mikolajczak SA & SH Kappe. 2006. A clash to conquer: The malaria parasite liver
infection. Mol Microbiol 62(6): 1499-1506.
34
Miller LH, DI Baruch, K Marsh & OK Duombo. 2002. The pathogenic basis of
malaria. Nature (415): 673-667.
Mohanty S, DK Patel, SS Pati & SK Mishra. 2006. Adjuvant therapy in cerebral
malaria. Indian J Med Res 124(3): 245.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha
Muda.
Neumaier M, A Braun & C Wagener. 1998. Fundamentals of quality assessment of
molecular amplification methods in clinical diagnostics. Clinical Chemistry
44(1):12-26.
Nikjoo H. 2003. Radiation track and DNA damage. Iran J Radiat Res 1(1): 3 – 16.
Nurhayati S, D Tetriana, Darlina, T Rahardjo & M Syaifudin. 2009. Pemeriksaan
Mikroskopis Plasmodium sp Sebagai Penunjang Pengembangan Vaksin
Malaria Iradiasi. Jakarta. On line at http://www.batan.go.id/ptkmr [diakses
tanggal 20 Januari 2012].
Palm NW & R Medzhitov. 2009. Pattern recognition receptors and control of
adaptive immunity. Immunol (227): 221–233
Pooe OJ. 2011. The detection of Plasmodium falciparum in human saliva samples
(Disertasi). South Africa: Zululand University.
Saiwichai T, M Maneepak, P Songprakhon, P Harnyuttanakorn & S nithiuthai. 2009.
Species – specific nested PCR for detecting Plasmodium gallinaceum infresh
chicken blood. Top Mad Parasitol 32:75-81.
Sanakkayala N, A Sokolovska, J Gulani, HH Esch, N Sriranganathan, SM Boyle, GG
Schurig & R Vemulapalli. 2005. Induction of antigen-specific Th1-Type
Immune Responses by gamma-irradiated recombinant Brucella abortus RB51.
Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. 12( 12): 1429-1436.
Sandoz.1973. Atlas of haematology. Switzerland: Sandoz.
Schmidt KE. 2011. Analysis of parasite-specific T cells and cellular interactions in
the spleen during Plasmodium berghei induced experimental cerebral malaria.
(Disertasi). Germany: University of Bonn.
Shahabuddin M. 1998. Plasmodium ookinete development in the mosquito midgut: A
case of reciprocal manipulation . Parasitology 116: 83-93.
Shi Q, MM Lynch, M Romero & JM Burns. 2007. Enhanced protection against
malaria by chimeric merozoite surface protein vaccine. Infection and
Immunity 75(3): 1349-1358.
Sinden RE. 1999. Plasmodium differentiation in the mosquito. Parassitologia 41 (13): 139-148.
. 2002. Molecular interactions between plasmodium and its insect vectors.
Cell Microbiol 4 (11): 713-724.
35
Singh B, Bobogare A, Cox-Singh J, Snounou J, Abdullah MS & Rahman HA. 1999.
A Genus- and species-specific nested Polymerase Chain Reaction malaria
detection assay for epidemologic studies. The Amer Soc Tropical Med & Hyg
60(4): 687-692.
Sulandari S & MSA Zein. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor
:Bidang Zoologi LIPI.
Sulistyaningsih E. 2007. Polymerase Chain Reaction(PCR): Era baru diagnosis dan
managemen penyakit infeksi. Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran
Jember 1(1): 16-25.
Syaifudin M, S Nurhayati & D Tetriana. 2008. Pengembangan vaksin malaria dengan
radiasi pengion. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sains dan
Teknologi- II. Universitas Lampung. Lampung 17-18 November 2008.
Syaifudin M, D Tetriana, Darlina & S Nurhayati. 2009. Respon imun sebagai faktor
penting dalam pengembangan vaksin malaria dengan iradiasi. Dalam:
Prosiding Seminar Nasional Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan V.
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi radiasi-Badan Tenaga Nuklir
Nasional. Depok, 14 Oktober 2009.
Takeuchi O & S Akira. (2010) Pattern recognition receptors and inflammation. Cell
(140): 805–820.
Tetriana D, Darlina, Armanu & M Syaifudin 2008. Pengaruh radiasi gamma terhadap
profil protein Plasmodium berghei stadium eritrositik. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan IV. Pusat
Teknologi Keselamatan dan Metrologi radiasi-Badan Tenaga Nuklir Nasional
dan Fakultas Kesehatan Masyarakat- Universitas Indonesia. Depok, 27
Agustus 2008. Hlm 282-291.
Vandenberg JP , Chews & MJ Stewat. 1990. Plasmodium sporozoite interactions with
macrophages in vitro: a ideomicroscopic analysis. J Protozool 37 (6): 528-536.
Vaughan JA, LF Scheller, RA Wirtz & AF Azad. 1999. Infectivity of Plasmodium
berghei sporozoites delivered by intravenous inoculation versus mosquito bite:
implications for sporozoite vaccine trials. Infect & Immun 67(8): 4285-4289.
Wijayanti MA, S Noerhajati, Supargiyo & EF Loeki. 1997. Pengaruh imunisasi
mencit dengan stadium eritrositik terhadap infeksi Plasmodium berghei.
Berkala Ilmu Kedokteran 29(2): 53-59.
Zakeri S, TN Sohalia, Z Ahmad & DD Navid. 2002. Detection of malaria parasites by
Nested – PCR in South-Eastern Iran: Evidence of Highly Mixed Infection in
Chahbahar District. Malaria Journal 1:2.
Zetzsche H & B Gemeinholzer. 2009. Workshop Long-term storage of DNA
material. Online at http://[email protected]. [diakses tanggal 30 Juni
2011].
36
37
Lampiran 1. Alat Penelitian
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam tabel berikut :
No
Nama Alat
1
Neraca Ohaus®
2
Dry bath Aoseng
3
Horizontal
Gambar
elektroforesis
Mupid ®-eXu
4
microcentrifuge
survall
Legend MICRO 17 R
38
5
GeldocTM XR+ with Image
LabTM software
6
GeneAmp® PCR System
9700 Applied Biosystem
Lampiran 2. Dokumentasi penelitian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Keterangan: 1) Sampel hati dan limpa, 2) proses vortex, 3) proses inkubasi
menggunakan drybath, 4) sampel hasil isolasi, 5) proses pembuatan gel agaros, 6)
proses pemasukan sampel ke dalam sumur, 7) proses elektroforesis, 8) shaking gel
agaros menggunakan Ethidium Bromide sebagai pengkelat, 9) Visualisasi
menggunakan gel doc dilengkapi seperangkat komputer dan software.
39
40
41
Download